IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR"

Transkripsi

1 IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 4.1 Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak di belahan paling selatan Indonesia dan merupakan wilayah kepulauan. Luas wilayah daratan km 2 dengan jumlah pulau sebanyak 566 pulau dimana hanya 42 pulau yang berpenghuni. Luas wilayah perairan sebesar km 2, dengan panjang garis pantai km. Musim penghujan di Provinsi NTT relatif pendek yaitu 3-4 bulan dengan rata-rata curah hujan berkisar mm per tahun. Provinsi NTT memiliki 5 kabupaten baru yang terbentuk antara tahun diantaranya Kabupaten Manggarai timur, Kabupaten Nagakeo, Kabupaten Sumba Barata, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sabu Raijua (BPS NTT, 2010). Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 sebesar jiwa dimana lebih dari 70 persen masyarakat NTT tinggal di pedesaaan. Komposisi penduduk di provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun. Tingginya persentase penduduk muda terhadap total penduduk secara keseluruhan disebabkan oleh tingginya tingkat kelahiran atau angka fertilitas (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya migrasi ke daerah lain terutama ke Indonesia bagian Barat menyebabkan jumlah penduduk kelompok umur di atas 20 tahun semakin berkurang. Masyarakat NTT umumnya memandang pangan secara sangat sederhana berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Bagi masyarakat NTT pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh semua anggota keluarga mulai dari saat panen sampai pada musim panen berikutnya. Jika dalam rentang waktu selama 1 periode musim panen, persediaan pangan mereka mencukupi maka keadaan pangan mereka dikatakan aman. Jika sebaliknya, persediaan pangan mereka tidak mencukupi sampai musim panen berikutnya maka keadaan pangan mereka dikatakan tidak aman 1. 1 Hasil kegiatan PRA (perticipatory rural appraisal) dan penelitian di Flores, Timor dan Sumba yang dilaksanakan oleh Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB) tahun

2 Ketersediaan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pengadaan pangan yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi penduduk merupakan salah satu masalah yang memerlukan penanganan serius. Program pembangunan pertanian di bidang produksi pangan pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan produksi pangan. Dalam uraian ketersediaan pangan disini, dibatasi pada ketersediaan pangan perkapita, yaitu ketersediaan jenis pangan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, pedagang eceran, rumah makan dan sejenisnya pada periode tertentu. Data ketersediaan yang dimaksud dapat memberikan gambaran volume ketersediaan untuk individu penduduk. Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibanding komoditas lainnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi beras, tidak terkecuali di Provinsi NTT. Akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras. Sejak tahun 1979, pangan pokok masyarakat NTT telah mengalami pergeseran ke arah beras. Walaupun begitu data dilapangan menunjukkan bahwa saat ini masyarakat NTT cenderung mengkonsumsi beras dan jagung dibanding bahan pangan pokok lainnya. Sebagian penduduk NTT mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok pada saat ketersediaan beras terbatas, biasanya jagung digunakan sebagai pengganti beras. Pada tahun 2010 kebutuhan konsumsi beras bagi 4,9 juta jiwa penduduk NTT adalah sekitar ton, sedangkan produksi padi hanya sebesar ton GKG yang hanya menghasilkan beras pangan sebesar ton. Dengan demikian masih ada kekurangan beras untuk konsumsi penduduk NTT yakni sebanyak ton. Untuk kekurangan produksi beras, pemerintah NTT masih mengandalkan distribusi beras bagi warga miskin atau yang disebut dengan RASKIN. Tahun 2010 pagu beras miskin untuk penduduk NTT meningkat ton menjadi ton (Perum Bulog, 2010). Sedangkan untuk rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin masih tetap seperti tahun sebelumnya yaitu sebanyak kepala keluarga. Dimana pada tahun 2010

3 45 terjadi penambahan kouta kembali untuk raskin dari 13 kg menjadi 15 kg dengan harga Rp ,-/ kg. Realisasi penyaluran beras miskin kepada RTS hingga bulan Juli 2010 telah mencapai ton atau sekitar 82,63 persen dari total pagu, sisanya sebesar ton atau sekitar 46,17 persen. Sebenarnya Provinsi NTT memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan dengan lebih baik, jika saja didukung dengan ketersediaan sarana produksi yang baik. Tapi karena faktor geografis dan lingkungan di Provinsi NTT yang kurang mendukung terutama untuk jenis tanaman pangan seperti padi, maka untuk produksi beras sendiri, Provinsi NTT masih memerlukan bantuan distribusi dari luar wilayah NTT. Beberapa sentra produksi padi di NTT terdapat di Kabupaten Manggarat Barat, Manggarai Timur, Ngada, Rote Ndao, Kupang, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Nagakeo dengan produktivitas hasil padi sawah rata-rata sebanyak 3,6 ton/ha dan padi ladang sebanyak 2,1 ton/ha. Berikut tabel produksi dan konsumsi beras di Provinsi NTT pada tahun Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) No Uraian Produksi Penggunaan GKG non pangan GKG yang diolah menjadi beras Produksi Beras Penggunaan beras non pangan Produksi beras pangan Total Konsumsi Penduduk Defisit ( ) Sumber : BPS Prov. NTT Sentra produksi jagung di Provinsi NTT terdapat dibeberapa kabupaten diantaranya Kabupaten Timor Tengah Selatan, Belu, TTU, Kupang, Sumba Barat Daya dan Sumba Timur dengan produktivitas rata-rata 2,5 ton/ha. Total konsumsi jagung penduduk NTT pada tahun 2010 hanya sebesar ton, sedangkan produksi jagung mencapai ton sehingga pada tahun 2010 terdapat surplus untuk produksi jagung sebesar ton. Provinsi NTT sebenarnya mengalami surplus untuk produksi jagung selama empat tahun terakhir yaitu tahun , hanya saja untuk konsumsi jagung masyarakat NTT saat ini memang masih kurang. Jagung hanya dikonsumsi jika ketersediaan beras sudah habis, biasanya

4 46 jagung digunakan sebagai pengganti beras walaupun sebagian penduduk NTT memang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Berikut tabel produksi dan konsumsi jagung di Provinsi NTT tahun Tabel 6. Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton). No Uraian Produksi jagung (pipilan kering) Penggunaan jagung non pangan Produksi jagung pangan Total Konsumsi Penduduk Surplus Sumber : BPS Prov.NTT Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber baik itu produksi pangan domestik, cadangan pemerintah dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Jika dilihat dari produksi komoditas tanaman pangan di Provinsi NTT, selain beras dan jagung komoditas lain yang berpeluang cukup besar untuk di konsumsi adalah jenis umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan pangan untuk beras selama empat tahun terakhir cenderung menurun, walaupun laju penurunanya relatif kecil. Berikut produksi tanaman pangan di Provinsi NTT tahun pada Gambar 5. 1,200,000 1,000,000 Produksi (ton) 800, , , , , , , , Tahun padi Jagung Ubi Kayu Ubi jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang hijau Sumber : BPS (diolah) Gambar 5. Produksi Tanaman Pangan di Provinsi NTT Tahun

5 47 Jika dilihat dari produksi tahun tanaman pangan di provinsi NTT, maka terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap komoditas ubi kayu dan jagung. Produksi ubi kayu selama empat tahun terakhir terus meningkat di Provinsi NTT dengan produksi mencapai ton pada tahun Walaupun untuk padi sendiri terdapat penurunan di tahun 2010, tapi dengan peningkatan pada jenis tanaman pangan lain maka konsumsi beras selama ini dapat dialihkan dengan diversifikasi sumber makanan baru olahan yang berasal dari ubi kayu dan jagung. Selain itu, dilihat dari luas panen dan potensi tanaman pangan lokal, yang tergarap baru sekitar 45 persen, mengindikasikan bahwa jika potensi tersebut dioptimalkan maka kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap produksi yang tentu saja harapanya ketahanan pangan di NTT dapat tercapai. Kebijakan peningkatan produksi pangan lokal di provinsi NTT telah banyak dilaksanakan guna meningkatkan pendapatan petani pedesaan di NTT. Sejak dahulu para gubernur ketika memulai masa jabatanya, yang pertama kali dicanangkan adalah kebijakan strategis yang membantu petani agar dapat meningkatkan produksi pertanian dan pendapatanya. Diantara program tersebut adalah Program Operasi Nusa Makmur (ONM), Program Operasi Nusa Hijau (ONH), Program Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar), Program Membangun Desa (Gerbades) dan lain-lain. Program pangan terakhir adalah program Anggur Merah yang merupakan singkatan dari anggaran pembangunan untuk mensejahterahkan rakyat. Di antara kebijakan operasional peningkatan produksi tanaman pangan lokal yang telah dilaksanakan untuk mendukung ketahanan pangan provinsi NTT yaitu program statistik pertanian tanaman pangan lokal, program intensifikasi penanaman jagung, program peta data kekeringan, program penanaman singkong unggulan lokal dan program perbanyakan benih lokal. Berbagai program diatas dirasa belum memberikan hasil yang signifikan bagi perbaikan kondisi peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani sehingga ketahanan pangan penduduk NTT sangat rapuh terbukti daerah ini masih mengalami rawan pangan dan gagal panen. Belum optimalnya implementasi kebijakan produksi tanaman pangan lokal di provinsi NTT disebabkan masih

6 48 banyaknya kendala baik itu menyangkut operasional di lapangan, kordinasi yang belum berjalan efektif, komitmen untuk keberhasilan program yang masih rendah dan kurangnya alokasi anggaran dari pengambil kebijakan, sehingga kebijakan dan program yang selama ini ada hanya menjadi dokumen para pakar dan praktisi tanpa mencapai hasil yang diharapkan Stabilitas Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Stabilitas ketahanan pangan di tingkat RT dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga. Hal ini dinilai mempengaruhi faktor ekonomi suatu rumah tangga yang terkait dengan stabilitas ketahanan pangan suatu rumah tangga. Beberapa indikator yang dapat dilihat dari subsistem stabilitas pangan seperti faktor cuaca, faktor harga, faktor politik dan faktor ekonomi, tetapi dalam hal ini penulis hanya menggunakan faktor ekonomi yang mencakup lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga saja. Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur yang mayoritas tinggal di pedesaan. Sektor pertanian sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Tahun 2010, sebanyak 50 persen angkatan kerja di provinsi NTT melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian, kecuali di kota Kupang dimana persentase penduduk yang bekerja disektor pertanian cenderung menurun (BPS Prov. NTT, 2010). Tersier 24 % Primer 65 % Sekunder 11 % Primer 65 persen Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 6. Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010

7 49 Gambar 6 menunjukan persentase pekerjaan penduduk Nusa Tenggara Timur berdasarkan lapangan pekerjaan utama dari penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun Sektor pertanian merupakan sektor p r i m e r yang memiliki persentase terbesar yaitu 65 persen, diikuti oleh sektor tersier dan sekunder yaitu masing-masing sebesar 24 persen dan 11 persen. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Komposisi penduduk juga merupakan hal yang penting dalam pembangunan. Komposisi penduduk secara langsung terkait dengan jumlah anggota rumah tangga di setiap keluarga. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dalam suatu rumah tangga dikhawatirkan dapat menyebabkan terhambatnya akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Komposisi penduduk di Provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun lebih banyak dari usia penduduk lainya (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya persentase penduduk muda terhadap penduduk total NTT karena tingginya tingkat kelahiran di Provinsi tersebut. Beban pembangunan dimasa yang akan datang akan lebih kompleks apabila tingkat kelahiran tidak diantisipasi dengan baik misalnya dengan program KB. Sudah selayaknya jumlah penduduk yang besar menjadi modal pembangunan apabila ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan. Tapi sebaliknya jumlah penduduk yang besar yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan, lapangan pekerjaan yang tersedia maka akan menyebabkan tingginya angka pengangguran dan beban kehidupan di masing-masing rumah tangga Akses Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Akses pangan merupakan faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan. Meskipun di suatu daerah ketersediaan pangan mencukupi dan berlimpah namun jika tidak didukung dengan adanya akses yang baik maka ketahanan pangan tidak dapat tercapai. Faktor yang menentukan akses pangan terhadap suatu wilayah diantaranya adalah pendapatan yang tercermin dari PDRB wilayah dan tingkat pendidikan.

8 50 Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah provinsi maupun kabupaten. PDRB perkapita lazim digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang akan berdampak pada ketahanan pangan di suatu wilayah. PDRB perkapita Provinsi NTT atas dasar harga konstan mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun Pada tahun 2009, PDRB Provinsi NTT atas dasar harga konstan sebesar 11,921 milyar rupiah meningkat menjadi 12,532 milyar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 1). Peningkatan PDRB atas harga konstan (2000) tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa volume kegiatan usaha di NTT memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan PDRB per kapita disebabkan oleh karena peningkatan pendapatan lebih tinggi dari peningkatan jumlah penduduk di Provinsi NTT. Berdasarkan PDRB atas harga berlaku di Provinsi NTT maka terdapat peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dari milyar rupiah menjadi milyar rupiah dimana secara umum perekonomian NTT meningkat dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan ekonomi di NTT dari tahun ke tahun akan lebih jelas diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pada tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi NTT mencapai 4,84 persen, dimana tahun 2009 melemah menjadi 4,29 persen tetapi meningkat kembali menjadi 5,23 persen pada tahun Kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap seluruh perekonomian di Provinsi NTT dapat dilihat pada Gambar 7. Struktur perekonomian NTT tahun 2010 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana sektor-sektor yang paling dominan adalah pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terbesar dalam PDRB NTT tahun 2010 berasal dari sektor pertanian yakni sebesar 38,45 persen, disusul dengan sektor jasa-jasa sebesar 24,69 persen. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 16,76 persen dengan peringkat tertinggi ke-3 setelah sektor pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terendah berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih yang hanya sebesar 0,42 persen.

9 51 25% 38% Pertanian Pertambangan Industri pengolahan 4% 6% 17% 7% Listrik,gas dan air bersih bangunan/ kontruksi perdagangan, hotel dan restoran 0% 1% 2% pengangkutan dan komunikasi keuangan, persewaan dan jasa perushanaan Sumber : BPS Prov. NTT (diolah) Gambar 7. Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut lapangan Usaha Tahun Besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian di Provinsi NTT mengisyaratkan bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang harus dikembangkan oleh pemerintah daerah NTT, walaupun sektor pertanian pada kenyataanya masih relatif sulit untuk dikembangkan peningkatan kapasitas produksinya, mengingat sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman bahan makanan lebih banyak bergantung pada faktor musim. Sektor pertanian perlu diperhatikan dan ditingkatkan guna pembangunan di Provinsi NTT yang lebih baik. Hal ini diharapkan dapat mendukung terciptanya ketahanan pangan yang kuat di Provinsi NTT dengan tingginya kontribusi terhadap sektor pertanian. Gambaran tentang peranan sektor-sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB NTT tersebut memperlihatkan bahwa sampai saat ini struktur ekonomi NTT masih relatif lemah, terutama dari sisi kemampuan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan luas perairan NTT yang kurang lebih km 2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ternyata penduduk NTT yang bekerja di sub sektor perikanan hanya sebesar 2,51 persen (DDA NTT, 2010), Hal ini sungguh ironis mengingat hampir seluruh luas wilayah NTT dikelilingi perairan. Oleh karena itu peningkatan sektor perikanan oleh pemerintah perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius di wilayah NTT, mengingat potensi sumberdaya kelautan NTT masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan.

10 52 Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan karawanan pangan. Pendidikan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat di Provinsi NTT adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang digambarkan melalui indeks pembangunan manusia yang rendah (Human Development Index). 1% 1% 2% 3% 11% 10% 27% 45% tidak punya ijazah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU SMK D1 dan D2 D3 D4-S3 Sumber : BPS NTT dalam angka (diolah) Gambar 8. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 di Provinsi NTT. Masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan mempunyai pengetahuan akan gizi dan konsumsi pangan yang lebih baik. Sehingga dapat meningkatkan produktivitas kinerja yang dapat berkontribusi dalam pembangunan. Kualitas pendidikan di Provinsi NTT dapat dilihat dari persentase kelulusan yang ditempuh oleh masyarakat NTT. Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Provinsi NTT masih tergolong rendah. Hampir 45,42 persen penduduk NTT pada tahun 2010 yang berumur diatas 10 tahun tidak lulus SD dan tidak memiliki ijazah. Sedangkan penduduk yang tamat Sekolah Dasar hanya sebesar 27,37 persen (Gambar 8).

11 53 Jumlah kelulusan penduduk di Provinsi NTT jika dilihat dari tahun mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini sungguh ironis. Dimana masyarakat yang tidak lulus SD jumlahnya ternyata semakin meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan masyarakat NTT bukanya semakin membaik, tetapi malah semakin memburuk. Peningkatan hanya terjadi untuk lulusan D4 sampai dengan S3 yang peningkatannya cukup kecil, hanya sebesar 0,2 persen (Gambar 9). Rendahnya kualitas pendidikan di Provinsi NTT mencerminkan ketahanan pangan di wilayah NTT dalam kondisi yang tidak aman. Pendidikan D4-S3 D3 D1 dan D2 SMK Tamat SMU Tamat SMP Tamat SD tidak punya ijazah Persen Sumber : BPS NTT (diolah) Gambar 9. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun di Provinsi NTT 4.2 Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan suatu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup tinggi di Provinsi NTT. Hasil pengolahan data SUSENAS tahun 2010 di Provinsi NTT menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan sebesar 68,24 persen, hal ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan yang hanya sebesar 54,31 persen (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan di NTT dimana mengindikasikan rendahnya tingkat kesejahteraan

12 54 rumah tangga di desa. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah NTT saat ini hasilnya masih lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan daripada penduduk pedesaan. Berikut pangsa pengeluaran pangan dan non pangan di Provinsi NTT atas desa-kota Tahun Tabel 7. Persentase Pengeluaran Rata-rata Rumahtangga di Provinsi NTT Tahun 2010 No Keterangan Pangsa Pangan (%) Non Pangan (%) 1 Kota 54,31 45,69 2 Desa 68,24 31,76 Total NTT 66,08 33,92 Sumber : BPS, 2010 (diolah) Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Pola konsumsi pangan yang bermutu dengan gizi seimbang adalah konsumsi pangan yang dapat menyediakan zat tenaga (energi), zat pembangun (protein) dan zat pengatur (vitamin dan mineral) dalam kuantitas yang cukup yang terdiri dari beraneka ragam pangan. Pangan yang beraneka ragam sangat penting karena kenyataanya tidak ada satu komoditas pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan konsumsi pangan yang beraneka ragam maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis pangan akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi antara berbagai jenis pangan tersebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah yang cukup. Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Sebesar 24,2 persen konsumsi masyarakat NTT masih didominasi oleh padi-padian. Konsumsi padi-padian tertinggi berada di pedesaan sebesar 26,4 persen sedangkan diperkotaan konsumsi padi-padian hanya sekitar 17,4 persen (Tabel 8). Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen (Lampiran 2). Hal ini didukung oleh penelitian Ariningsih (2008) yang menyimpulkan bahwa beras merupakan pangan pokok utama bagi

13 55 sebagian besar masyarakat Indonesia dimana masih menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubi kayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan raskin. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Berikut persentase konsumsi pangan di Provinsi NTT tahun 2010 di daerah pedesaan dan perkotaan. Tabel 8. Persentase Konsumsi Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Tahun 2010 No Kelompok Pangan Desa Kota Desa+Kota 1 Padi-padian 26,4 17,4 24,2 2 Umbi-umbian 3,0 2,3 2,8 3 Ikan 7,2 9,3 7,8 4 Daging 16,4 13,3 15,7 5 Telur dan susu 5,6 7,1 6,4 6 Sayuran 7,2 9,0 7,5 7 Kacang-kacangan 3,5 3,8 3,6 8 Buah-buahan 3,3 4,5 3,5 9 Minyak dan lemak 3,0 3,2 3,0 10 Bahan Minuman 5,2 4,0 4,9 11 Bumbu-bumbuan 1,2 1,6 1,2 12 Konsumsi lainnya 2,4 2,3 2,4 13 Makanan dan Minuman jadi 9,4 12,8 10,4 14 Tembakau dan Sirih 6,4 9,4 6,7 Total 100,0 100,0 100,0 Sumber : BPS, 2010 (diolah) Konsumsi komoditi padi-padian lainnya memiliki persentase yang sangat kecil di Provinsi NTT (Lampiran 2). Konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah pedesaan, hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan jadi (olahan) di perkotaan yang menggunakan tepung terigu. Perbandingan konsumsi antara penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi NTT menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan. Selain beras dan jagung, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian. Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa konsumsi umbi-

14 56 umbian masyarakat NTT masih sangat rendah baik itu di pedesaan maupun di perkotaan yaitu hanya sebesar 3 persen. Daging merupakan komoditas pangan kedua tertinggi setelah padi-padian di Provinsi NTT yaitu sebesar 15,7 persen. Sedangkan makanan dan minuman jadi merupakan kelompok pangan tertinggi ke- 3 yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu sebesar 10,4 persen. Konsumsi makanan dan minuman jadi yang terbesar terdapat di wilayah perkotaan dengan persentase sebesar 12,8 persen dibandingkan dengan pedesaan yang hanya sebesar 9,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan cepat saji, hal ini terkait dengan pola hidup masyarakat perkotaan yang cenderung lebih senang dengan produk instan dan olahan. Di perkotaan dengan segala aktivitas yang padat dan cepatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan dan restoran mengakibatkan masyarakat lebih muda mengkonsumsi makanan dan minuman jadi. Sedangkan di pedesaan masyarakat lebih memilih untuk mengolah pangan mereka sendiri. Upaya diversifikasi pangan di Indonesia tak terkecuali di Provinsi NTT dinilai kurang berhasil karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini terlihat dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lainnya seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mie dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mie instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. 4.3 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein di Provinsi NTT Tingkat kecukupan gizi juga merupakan salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu penduduk dengan asumsi bahwa semakin tercukupinya gizi maka semakin sejahtera. Kecukupan gizi yang lazim adalah disajikan dalam unit kalori dan protein. Norma kecukupan gizi yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah hasil kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, walaupun banyak penelitian lain yang menggunakan standar angka kecukupan lainya, tetapi dalam penelitian

15 57 ini penulis menggunakan standar WNPG yang menetapkan angka kecukupan konsumsi pangan yang dianjurkan yaitu energi (kalori) dan protein masingmasing sebesar kal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 adalah sebanyak 1740 rumah tangga, dengan jumlah kabupaten sebanyak 19 kabupaten/kota. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2010, tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari kkal sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori Konsumsi Kalori Kabupaten Sumber : BPS, 2010 (diolah) Gambar 10. Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (Kkal) Dilihat dari sisi rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan sampel rumah tangga yang dianalisis, maka jumlah rumah tangga yang jumlah kalorinya diatas kkal hanya sebesar 47 persen sedangkan yang konsumsi kalori dibawah kkal jauh lebih tinggi sebesar 53 persen. Persentase kecukupan kalori rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan jumlah sampel rumah tangga pada tahun 2010 dapat dilihat pada (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa

16 58 kecukupan kalori di tingkat kabupaten (provinsi) pada tahun 2010, belum tentu menjamin kecukupan kalori di tingkat rumah tangga. Tingginya jumlah rumah tangga di NTT yang konsumsi kalorinya masih dibawah 2000 kkal/kap/hari menunjukkan bahwa provinsi NTT masih belum mencukupi kalori standar yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 dari sisi rumah tangga. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ariningsih tentang konsumsi gizi (2002) yang menyatakan bahwa perbaikan konsumsi gizi secara makro ternyata tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro di Indonesia. Selain itu fakta juga menunjukkan bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan, hal ini sesuai dengan penelitian Rachman (2004). Belum terpenuhinya konsumsi kalori sesuai standar yang ada antara lain disebabkan karena belum sadarnya masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang sesuai dengan angka kecukupan gizi. Menurut Ariningsih (2008) kunci permasalahan rendahnya konsumsi kalori dan protein terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang harus diperhitungkan. Berdasarkan konsumsi protein di Provinsi NTT pada tahun 2010, kecukupan protein yang dikonsumsi penduduk NTT sebesar 52,7 gram/kap/hari. Hal ini sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan masih lebih rendah dibandingkan perkotaan, begitu juga dengan kecukupan konsumsi kalori di perkotaan yang masih jauh lebih tinggi dibanding dengan pedesaan (Tabel 9). Secara keseluruhan kecukupan konsumsi protein dan kalori di Provinsi NTT secara wilayah dapat dikatakan sudah memenuhi standar tapi untuk konsumsi kalori di tingkat rumah tangga sendiri, ternyata rumah tangga

17 59 di Provinsi NTT konsumsi kalorinya masih dibawah ketentuan yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun Tabel 9. Kecukupan Konsumsi Protein dan Kalori di Provinsi NTT Menurut Desa dan Kota Tahun Tahun 2010 Kelompok Protein (gr) Kalori (kkal) Desa 51, ,51 Kota 59, ,17 Total 52, ,05 Sumber : BPS, 2010 (diolah) Gambar 11 menunjukkan bahwa konsumsi protein per kapita sehari tiap Kabupaten di Provinsi NTT selama tahun 2010 sudah diatas standar yang ditetapkan yaitu 52 gram/kap/hari. Walaupun masih ada beberapa daerah kabupaten yang kecukupan proteinya masih dibawah rata-rata seperti Sumba barat, Sumba Timur, Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Sikka, Ende, Rote Ndao, dan Sumba Barat Daya tetapi tidak terlalu jauh dari angka batas yang ditetapkan WNPG VIII tahun Hampir 57 persen rumah tangga di NTT kecukupan proteinya sudah diatas 52 gram/kap/hari. Hal ini memperkuat pendapat bahwa secara wilayah dan rumah tangga, provinsi NTT untuk konsumsi proteinya sudah tercukupi dan diatas rata-rata standar yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun Konsumsi Protein Kabupaten Sumber : BPS (diolah) Gambar 11. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (gram)

18 Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen. Tabel 10. Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 Status Rumah tangga 2010 Kota Desa Total Rawan Pangan 10,37 24,15 22,01 Kurang Pangan 14,07 7,89 8,85 Rentan Pangan 30,37 52,52 49,08 Tahan Pangan 45,19 15,44 20,06 Total 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS, Susenas 2010 (diolah) Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat NTT. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk

19 61 mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih digalakkan. Kelompok rumah tangga kurang pangan di Provinsi NTT proporsinya relatif kecil yakni hanya 8,85 persen. Kelompok ini merupakan golongan dari sisi ekonomi relatif mampu untuk mengkonsumsi pangan, namun dari indikator gizi termasuk kurang (konsumsi kalori kurang dari syarat kecukupan). Oleh karena itu penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi, terutama tentang pola konsumsi pangan yang beragam dan seimbang perlu mendapat prioritas. Rumah tangga di perkotaan biasanya lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya dibawah standar minimum yang dianjurkan. Hal ini diperkuat dari hasil pola konsumsi masyarakat perkotaan NTT yang cenderung ke arah instan dimana indikasi ini dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi tepung terigu dan makanan juga minuman siap jadi di Provinsi NTT pada tahun Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Tahun 2010, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan mencapai 24,15 sedangkan di perkotaan sebesar 10,37 persen. Sebaliknya rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan rumah tangga di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan mencapai 45,19 persen sedangkan di pedesaan hanya sebesar 15,44 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi di daerah pedesaan lebih buruk dibanding di daerah perkotaan. Terbatasnya akses dan infrastruktur di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan di pedesaan. Sebaliknya diperkotaan dengan segala fasilitas dan sarana yang ada menyebabkan tingkat rumah tangga yang tahan pangan juga cukup tinggi. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga rentan pangan di pedesaan NTT mencapai 52,52 persen. Rumah tangga yang diidentifikasikan rentan pangan pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaaan

20 62 menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa panganya masih lebih besar. Apabila hanya menggunakan indikator ekonomi (diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) dengan kriteria apabila pangsa pengeluaran pangan tinggi (>60% pengeluaran total), maka kelompok tersebut merupakan golongan yang relatif kurang sejahtera. Dengan indikator tunggal tersebut, kelompok yang tidak tahan pangan adalah kelompok rentan pangan dan rawan pangan. Dengan kriteria tersebut, maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di Provinsi NTT sekitar 71 persen, bila dibedakan kota dengan desa ternyata proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa (77%) lebih tinggi dibanding didaerah kota yang mencapai 41 persen. Sementara itu bila menggunakan indikator tunggal dari kecukupan konsumsi energi (kalori), sebagai proksi dari peubah gizi maka kelompok rumah tangga dengan konsumsi kalori 80 persen dari syarat kecukupan merupakan kelompok yang tidak tahan pangan. Dengan kategori diatas, maka kelompok kurang pangan dan rawan pangan tergolong tidak tahan pangan, dengan demikian maka proporsi kelompok rumah tangga tidak tahan pangan sekitar 31 persen, bila dibedakan menurut wilayah maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa dan di kota masing-masing sekitar 32 persen dan 24 persen. Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendeskripsikan ketahanan pangan rumah tangga Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber pendapatan rumah tangga. Sektor lapangan pekerjaan rumah tangga mencerminkan perolehan sumber pendapatan. Sumber pendapatan juga dianggap

21 63 sebagai akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Jika suatu rumah tangga memiliki pendapatan yang tinggi, maka diharapkan daya belinya terhadap kebutuhan akan pangan juga dapat tercukupi. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem single budget. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk yang rawan pangan pada tahun 2010 di Provinsi NTT, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 82 persen (Gambar 12). Hal ini merupakan kondisi yang sangat ironis mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan pangan pokok, namun rumah tangga di sektor pertanian justru merupakan rumah tangga yang rawan pangan. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saliem et. al., (2001) yang menyatakan bahwa di Indonesia rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan. 3% 4% 3% 2% 0% 1% 5% Rawan Pangan Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik gas dan air bersih Bangunan dan kontruksi 82% Perdagangan,hotel dan restoran Pengangkutan, transportasi dan komunikasi Sumber : BPS (diolah) Gambar 12. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga di Provinsi NTT (persen)

22 64 Dengan kondisi seperti ini dikhawatirkan banyak rumah tangga yang beralih ke sektor lain selain lapangan usaha pertanian yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi, semisal jasa dan perdagangan walaupun dari hasil kontribusi terhadap PDRB keseluruhan di NTT menunjukkan bahwa subsektor pertanian memberikan kontribusi terbesarnya. Hal ini merupakan ancaman bagi ketahanan pangan, dimana dengan beralihnya rumah tangga pertanian ke sektor lain maka ketersediaan pangan yang merupakan penopang ketahanan pangan nasional dapat terancam keberadaanya. Selain itu bahan pangan maupun hasilhasil pertanian hanya akan bergantung kepada impor pangan dari negara lain sehingga Provinsi NTT tidak lagi memiliki kemandirian pangan. Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Tabel 11. menunjukkan distribusi pendapatan rumah tangga berdasarkan tingkat derajat ketahanan pangan berdasarkan lapangan pekerjaan. Tabel 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut lapangan Pekerjaan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Lapangan Pekerjaan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Pertanian 41,64 76,84 65,25 81,94 2 Pertambangan dan penggalian 1,31 2,37 1,42 2,78 3 Industri pengolahan 1,64 1,87 2,84 1,67 4 Listrik gas dan air bersih 0,66 0,12 7,80 0,28 5 Bangunan dan kontruksi 1,31 2,74 4,26 4,17 6 Perdagangan,hotel dan restoran 8,52 3,86 5,67 2,78 7 Pengangkutan, transportasi dan komunikasi 3,61 1,49 2,84 1,39 8 Keuangan,perseroan dan jasa perusahaan 40,66 10,46 9,93 5,00 9 Lainnya 0,66 0,25 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

23 Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar (Tabel 12). Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil yakni hanya sebesar 13,47 persen. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus SMU dengan persentase sebesar 30 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik. Tabel 12. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendidikan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Tingkat Pendidikan Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 1 Tidak lulus SD 13,47 34,83 34,53 37,16 2 SD 21,56 38,33 33,09 51,36 3 SMP 10,78 9,99 16,55 10,27 4 SMU 29,64 14,17 10,07 1,21 5 Perguruan Tinggi 24,55 2,70 5,76 0,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Kepala rumah tangga dengan pendidikan yang tinggi akan lebih muda mendapatkan pekerjaan sehingga akan memiliki pendapatan yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas yang selanjutnya dapat meningkatkan output yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Selain itu pendidikan yang tinggi juga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai gizi dan kesehatan sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.

24 Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Status pekerjaan kepala rumah tangga juga dapat dijadikan sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga. Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap (buruh tidak dibayar), berusaha dibantu buruh tetap (buruh dibayar), buruh (karyawan/pegawai), pekerja tidak dibayar dan lainnya. Gambar 13 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 76 persen. Tingginya persentase tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga rawan pangan sangat beresiko dengan status kepala rumah tangga dengan status tersebut. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan yang informal dengan ketidak pastian pekerjaan dan tidak adanya jaminan yang kuat. Rawan Pangan 1% Berusaha sendiri 3% 9% 4% 7% Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar 76% Buruh/karyawan/pegawai Pekerja tidak dibayar Lainnya Sumber : BPS (diolah) Gambar 13. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Sedangkan untuk rumah tangga dengan status tahan pangan, hampir 40 persen kepala rumah tangganya memiliki status pekerjaan sebagai buruh/ karyawan/ pegawai (Gambar 14). Hal ini dapat dimaklumi karena dengan status kepala rumah tangga yang bekerja di bidang formal seperti pegawai negeri

25 67 maupun karyawan swasta dengan pendapatan yang tinggi dan pekerjaan yang pasti tentunya dapat menjamin kebutuhan akan pangan di masing-masing rumah tangga. Kepala rumah tangga dengan status pekerjaan seperti ini biasanya lebih 40% 2% 1% 12% Tahan Pangan 38% Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar Buruh/karyawan/pegawai 7% Pekerja tidak dibayar Lainnya tahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan panganya dengan baik. Sumber : BPS (diolah) Gambar 14. Rumah Tangga Tahan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Umur KRT dan Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan yang semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Jika dilihat dari umur kepala rumah tangga maka secara agregat umur kepala rumah tangga di provinsi NTT masih dalam usia produktif. Walaupun dari kelompok umur untuk rumah tangga tahan pangan lebih tinggi dari rawan pangan, tetapi rentang umur rumah tangga tahan pangan berkisar antara 15 tahun s/d 92 tahun. Sedangkan untuk rumah tangga rawan pangan rentang umurnya berkisar 20

26 68 tahun s/d 98 tahun. Berikut kategori umur dan jumlah anggota rumah tangga berdasarkan derajat ketahanan panganya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Umur dan JART Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Kategori Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 1 Umur KK (th) 48,15 49,44 48,59 46,94 2 Jumlah Anggota RT (orang) 4,3 4,5 5,3 5,4 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Konsumsi Kalori dan Protein Sesuai rekomendasi angka kecukupan energi dan protein agar seseorang dapat hidup sehat dan aktif menjalankan akrivitas sehari-hari secara produktif maka diwajibkan mengkonsumsi kalori dan protein sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/ kap/hari (WNPG, 2004). Keragaan tingkat konsumsi kalori (energi) dan protein masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di provinsi NTT disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan Konsumsi Kalori dan Protein Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Status Gizi Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Konsumsi Kalori (kkal) 2418,8 2360,3 1343,9 1324,3 2 Konsumsi Protein (gram) 65,3 59,8 33,9 32,8 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Sesuai dengan kriteria yang dirumuskan bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga dari sisi gizi cukup ( 80% dari syarat kecukupan), seperti terlihat pada data Tabel 14. Kedua kelompok tersebut mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka kecukupan. Sebaliknya pada kelompok kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Secara umum konsumsi kalori di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali untuk kelompok rumah tangga rawan pangan terjadi sebaliknya. Kelompok rentan pangan diindikasikan mengkonsumsi cukup kalori dan protein walaupun dari sisi ekonomi tergolong kurang sejahtera.

27 Pola Pengeluaran Rumah Tangga Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga (Pakpahan dkk., 1993). Pengeluaran total rumah tangga juga dapat dipandang sebagai pendekatan pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu pemahaman pola pengeluaran (pangan dan non pangan) dapat dijadikan salah satu indikator ketahanan rumah tangga. Secara rinci pola pengeluaran rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di NTT dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan RT Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan Wilayah Status Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan Desa Pangan 51,8 72,8 51,4 70,6 Non Pangan 48,2 27,2 48,6 29,4 Kota Pangan 47,6 68,1 53,4 68,3 Non Pangan 52,4 31,9 46,6 34,8 Total Pangan 52,3 71,3 51,5 66,0 Non Pangan 47,7 28,7 48,5 34,0 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Sesuai dengan kategori pengelompokkan derajat ketahanan pangan maka kelompok rawan pangan dan rentan pangan adalah kelompok rumah tangga secara ekonomi (diproksi dari pola pengeluaran pangan) termasuk kurang sejahtera dalam hal ini pengeluaran panganya masih diatas 60 persen. Di desa, rata-rata pangsa pengeluaran pangan relatif lebih tinggi dibanding di kota untuk semua kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan. dengan demikina dapat dikatakan bahwa di kota kondisinya relatif lebih baik dibandingkan di desa. 4.5 Dinamika Kerawanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Dinamika ketahanan pangan di Provinsi NTT dapat dilihat dari perbandingan kerawanan pangan antara tahun 2009 dan Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson and Toole dalam Maxwel et. al., (2009) maka telah terjadi perubahan status kerawanan pangan pada beberapa kabupaten di Provinsi NTT. Adapun kabupaten/ kota yang masuk ke dalam 12 peringkat tertinggi tingkat kerawanan panganya dapat dilihat pada Tabel 16. Beberapa kabupaten yang awalnya di tahun 2009 masuk kedalam 12 kabupaten dengan kondisi rawan

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PRODUKSI TANAMAN PADI DAN PALAWIJA NTT (ANGKA TETAP 2009 DAN ANGKA RAMALAN II 2010) No. 03/07/53/Th.XIII, 1 Juli 2010 PUSO NTT 2010 MENGHAMBAT PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

Lebih terperinci

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 08/08/Th.IV, 3 Agustus 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN Ekonomi Kabupaten Ngada pada tahun 2011 tumbuh

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No.05/08/Th.V, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ngada yang diukur

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2014 No. 06/11/53/Th. XV, 5 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2014 AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,26% Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2014 mencapai 3,26

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA KELOLA PRODUK-PRODUK UNGGULAN PERTANIAN DAN PERIKANAN DI JAWA TIMUR I. UMUM Wilayah Provinsi Jawa Timur yang luasnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : Katalog BPS : 9302008.53 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak bagi sistem perekonomian nasional. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif dan memberikan kontribusi nyata terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2016 MENCAPAI 5,19 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2016 MENCAPAI 5,19 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 02/08/Th.IX, 8 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2016 MENCAPAI 5,19 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan nasional Bangsa Indonesia yaitu mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka mempertinggi taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Responden 1. Umur Umur merupakan suatu ukuran lamanya hidup seseorang dalam satuan tahun. Umur akan berhubungan dengan kemampuan dan aktivitas seseorang dalam melakukan

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Geografis Secara astronomis Kabupaten Bolaang Mongondow terletak antara Lintang Utara dan antara Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya,

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Katalog BPS : 9302008.53 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 Anggota Tim Penyusun : Pengarah :

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka ketersediaan pangan harus dapat dijamin

Lebih terperinci

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN ahanan pangan nasional harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ketela pohon atau ubi kayu dengan nama latin Manihot utilissima merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia selain tanaman padi, jagung, kedelai, kacang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 61 V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 5.1. Keadaaan Geografis dan Administrasi Daerah Provinsi NTT terletak antara 8 0-12 0 Lintang Selatan dan 118 0-125 0 Bujur Timur. Luas wilayah daratan 48 718.10

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Indonesia. Mengacu pada keadaan itu, maka mutlak diperlukannya

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Kondisi Fisik Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 1.192 pulau, 432 pulau mempunyai nama dan 44 pulau berpenghuni.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Handewi P.S. Rachman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2015 MENCAPAI 4,86 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2015 MENCAPAI 4,86 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 03/09/Th. VIII, 13 September 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2015 MENCAPAI 4,86 PERSEN Tahukah Anda? RIlis PDRB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Administratif BAB IV GAMBARAN UMUM Secara astronomi Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak antara 8 0 12 0 Lintang Selatan dan 118 0 125 0 Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bagian I :

KATA PENGANTAR Bagian I : KATA PENGANTAR Segala Puji Syukur patut kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rakhmat-nya sehingga pelaksanaan Penelitian Baseline Economic Survey-KPJu Unggulan UMKM Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 No. 06/11/53/Th. XV, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 AGUSTUS 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,83 % Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2015 mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci