TINGKAT KEPARAHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT KARAT TUMOR TEGAKAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA HUTAN RAKYAT DI BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINGKAT KEPARAHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT KARAT TUMOR TEGAKAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA HUTAN RAKYAT DI BOGOR"

Transkripsi

1 TINGKAT KEPARAHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT KARAT TUMOR TEGAKAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA HUTAN RAKYAT DI BOGOR ADE MULYA SYAKIRIN DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Ade Mulya Syakirin NIM E

4 ABSTRAK ADE MULYA SYAKIRIN. Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor. Dibimbing oleh MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan salah satu jenis tanaman yang dipilih masyarakat desa sebagai tanaman hutan rakyat. Penanaman sengon juga dapat dilakukan dengan pola tanam monokultur. Pola tanam monokultur dapat meningkatkan resiko penyebaran penyakit secara cepat. Salah satu penyakit tersebut adalah karat tumor. Penyakit karat tumor pada sengon disebabkan oleh jenis fungi Uromycladium tepperianum. Penelitian ini dilakukan untuk menilai tingkat keparahan penyakit (disease severity) dan membandingkan intensitas penyakit karat tumor pada tegakan sengon di hutan rakyat yang menggunakan pola tanam agroforestri dan pola tanam monokultur. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Horsfall-Barrat dengan metode forest health monitoring untuk menilai kesehatan hutan. Berdasarkan penilaian, hutan dengan pola tanam agroforestri memiliki luas serangan penyakit sebesar 12.16% dan termasuk dalam kategori keparahan penyakit yang sedang dengan intensitas penyakit 6.39 %. Hutan dengan pola tanam monokultur memiliki luas serangan penyakit sebesar 15.87% dan termasuk dalam kategori keparahan penyakit yang sedang dengan intensitas penyakit 7.65 %. Kata kunci: agroforestri, karat tumor, keparahan penyakit, monokultur, sengon ABSTRACT ADE MULYA SYAKIRIN. Disease Severity and Intensity of Gall Rust Disease on Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) Stands in Community Forest in Bogor. Supervised by MUHAMMAD ALAM FIRMANSYAH. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) is a kind of plant that choosen by people as villager forest plantation. Sengon plantation could be planting by monoculture pattern. Although it can increasing the risk of disease outbreak. One such disease is rust galls. Rust gall caused by fungi Uromycladium tepperianum. This study was conducted to assess the severity of disease and comparing the intensity of its in sengon plantation that using agroforestry and monoculture cropping pattern. Assessment is done by using the Horsfall-Barratt scale with forest health monitoring method for assessing forest health. Based on the assessment, forest with agroforestry cropping pattern have extensive disease at 12.16% and it is included in the category of medium disease severity with 6.39% disease intensity. Forests with monoculture cropping pattern have extensive disease at 15.87% and it is included in the category of medium disease severity with 7.65% disease intensity. Keywords: agroforestry, disease severity, gall rust, monoculture, sengon

5 TINGKAT KEPARAHAN DAN INTENSITAS PENYAKIT KARAT TUMOR TEGAKAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA HUTAN RAKYAT DI BOGOR ADE MULYA SYAKIRIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi Nama NIM : Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor : Ade Mulya Syakirin : E Disetujui oleh Muhammad Alam Firmansyah, SHut, MSi Pembimbing Diketahui oleh Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari Mei 2014 ini ialah Tingkat Keparahaan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Muhammad Alam Firmansyah, SHut, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, solusi, dan seluruh bantuannya dalam penyelesaian skripsi, serta Dra Illa Anggraeni yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dikti yang sebagian telah mendanai penelitian ini melalui program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dengan judul penelitian Tingkat Keparahan dan Intensitas Penyakit Karat Tumor Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada Hutan Rakyat di Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf dan petugas laboratorium pathologi hutan, pengaruh hutan, dan kebakaran hutan yang telah membantu penyediaan sarana dan prasarana penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pemilik Hutan Sengon di Desa Benteng dan Desa Giri Mulya. Bapak, ibu, kakak, dan keluarga tercinta yang selalu memberikan do a dan dukungan secara moral dan spiritual dalam penyusunan skripsi. Terimakasih juga kepada Kasfy Allama yang telah memberikan bantuan dan semangat dalam penulisan skripsi. Teman satu angkatan Silvikultur 47, teman-teman Kost Tasima, Hario Alfarisi selaku teman satu bimbingan, serta kakak Vera Linda yang telah memberikan banyak masukan. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2014 Ade Mulya Syakirin E

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 METODE 3 Pengumpulan Data 3 Tahapan Penelitian 4 Bahan 4 Alat 4 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 5 Prosedur Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6 Penilaian Keparahan dan Intensitas Penyakit 7 Analisis Kualitas Tapak (Site Quality) 13 Forest Health Monitoring (FHM) 16 SIMPULAN DAN SARAN 20 Simpulan 20 Saran 21 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 23 RIWAYAT HIDUP 29

10 DAFTAR TABEL 1 Tingkat keparahan penyakit karat tumor 10 2 Penilaian intensitas serangan menggunakan skala Horsfall-Barrat 11 3 Skoring intensitas penyakit berdasarkan skala Horsfal-Barrat 11 4 Skoring akhir parameter PLI 17 5 Skoring PLI pada klaster I dan II 18 6 Skoring akhir parameter VCR 18 7 Skoring VCR pada klaster I dan II 19 DAFTAR GAMBAR 1 Bentuk klaster plot FHM 3 2 Diagram alir penelitian 4 3 Luas serangan penyakit pada hutan agroforestri dan monokultur 10 4 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri pada tiap skala 12 5 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan monokultur pada tiap skala 12 6 Intensitas serangan karat tumor pada hutan agroforestri dengan monokultur 13 7 Perbandingan nilai KTK pada hutan agroforestri dengan monokultur 15 8 Perbandingan nilai ph pada hutan agroforestri dengan monokultur 16 9 Rata-rata LCR, CDS, FTR, CDB, dan CD pada areal hutan agroforestri dan hutan monokultur Penilaian akhir PLI dan VCR 20 DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan luas serangan penyakit 23 2 Perhitungan intensitas penyakit karat tumor hutan agroforestri dan monokultur 24 3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan 25 4 Deskripsi kode lokasi kerusakan 26 5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan 27 6 Dokumentasi pengambilan data di lapangan 28

11 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan sumber daya alam yang semakin meningkat berdampak adanya tekanan bagi masyarakat. Di lain pihak masih banyak lahan kering yang tidak produktif belum dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Salah satu usaha untuk mengembangkan pemanfaatan lahan kering ataupun lahan kritis yang tidak produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu (hutan rakyat) dengan menggunakan pola tanam agroforestri yang mempunyai nilai komersial. Selain manfaat tersebut, pengembangan hutan rakyat juga menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi di masyarakat pedesaan (Dirgantara 2008). Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan salah satu komoditas kayu perdagangan yang saat ini diminati oleh berbagai industri kayu. Jenis kayunya yang mudah diolah dan dikembangkan menjadi salah satu jenis pohon yang paling banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam pola tanam agroforestri di Indonesia. Sengon termasuk dalam jenis pohon intoleran yang tidak memerlukan naungan untuk tumbuh. Pertumbuhannya yang tergolong fast growing species (cepat tumbuh) menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menjualnya langsung atau mengolahnya menjadi kayu papan. Sengon menghasilkan kayu berwarna terang dan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku veneer dan juga dipakai untuk bahan kayu pertukangan. Selain itu sengon juga bisa digunakan untuk bahan baku pulp. Penanaman sengon juga dapat dilakukan dengan pola monokultur. Menurut Anggraeni (2008) penanaman dengan menggunakan pola ini menimbulkan berbagai permasalahan yang serius salah satunya adalah penyakit karat tumor (gall rust). Penyebab penyakit karat tumor pada sengon salah satunya adalah jenis fungi Uromycladium tepperianum. Jenis fungi ini masuk dalam divisio Basidiomycota, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae. Fungi ini umumnya dianggap sebagai parasit obligat (hanya dapat tumbuh dan berkembang biak pada jaringan hidup) (Anggraeni 2008). Pengendalian penyakit karat tumor saat ini masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia dinilai memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya berupa rusaknya tanaman pertanian atau degradasi tanah. Pengendalian lainnya adalah dengan sistem perawatan silvikultur intensif dengan memaksimalkan pola tanam dan perlakuan tanah. Selain itu perlakuan lain seperti prunning (pemangkasan), thinning (penjarangan), dan clear cutting (tebang habis) mampu mengurangi timbulnya karat tumor. Phytopathometry (penilaian penyakit tanaman) merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan dan intensitas penyakit suatu areal. Selain menilai tingkat keparahan penyakit khususnya karat tumor, diperlukan pula Forest Health Monitoring (FHM). FHM adalah metode yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana gangguan yang terjadi pada kesehatan hutan. Pemantauan kesehatan dengan metode FHM ini penting diterapkan guna memperoleh informasi tentang vitalitas pohon dan kualitas tapak pada areal hutan. Penelitian ini dilakukan pada hutan sengon yang menggunakan

12 2 pola tanam agroforestri dan hutan yang menggunakan pola tanam monokultur di Bogor, Jawa Barat. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, penulis membuat rumusan penelitian yaitu bagaimana tingkat keparahan dan intensitas serangan penyakit yang diakibatkan oleh karat tumor pada hutan dengan pola tanam agroforestri dibandingkan dengan hutan monokultur di Bogor, Jawa Barat. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menilai tingkat keparahan penyakit dan membandingkan intensitas penyakit karat tumor pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di hutan rakyat yang menggunakan pola tanam agroforestri dan monokultur. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat sekitar hutan terkait penyakit karat tumor dan penerapan pola tanam yang tepat, guna mengurangi intensitas dan tingkat keparahan serangan karat tumor pada hutan sengon. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini mencakup tegakan P. falcataria di areal hutan rakyat dengan pola tanam agroforestri dan monokultur. Penelitian ini memiliki batasan sebagai berikut: (1) Nilai intensitas dan luas serangan penyakit karat tumor pada tegakan sengon yang menggunakan pola tanam agroforestri dan monokultur; (2) Hasil akhir dari penilaian adalah tingkat keparahan penyakit (disease severity) untuk masing-masing hutan rakyat; (3) Skoring kesehatan hutan menggunakan metode FHM dengan dua indikator yaitu kondisi kerusakan pohon dan kualitas tapak; (4) Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan tegakan sengon umur 4 tahun pada hutan agroforestri di Desa Benteng, Kecamatan Ciampea dengan hutan monokultur di Desa Giri Mulya, Kecamatan Cibungbulang Bogor, Jawa Barat.

13 3 METODE Pengumpulan Data Pengambilan data dalam penelitian ini terdiri atas pengambilan data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang langsung diambil dari pengukuran di lapangan. Sebelum pengambilan data primer dilakukan, langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan klaster plot FHM (Gambar 1), pada area hutan agroforestri maupun monokultur. Plot klaster terdiri atas empat annular plot dengan jari-jari m dan di dalamnya terdapat subplot (dipisah) dengan jari-jari 7.32 m dan mikroplot dengan jari-jari 2.07 m yang dibuat dengan azimuth 90 dari titik pusat subplot, adapun jarak antara titik pusat subplot dengan mikroplot adalah 3.66 m. Azimuth antar annular plot yakni plot 1 dan 2 sebesar 360, annular plot 1 dan 3 sebesar 120, dan annular plot 1 dan 4 adalah 240. Soil sample plot Gambar 1 Bentuk klaster plot FHM Pembuatan plot dilakukan dengan menggunakan meteran 30 meter dan kompas. Data primer yang diambil pada plot FHM adalah tinggi pohon menggunakan haga hypsometer, diameter pohon menggunakan meteran jahit, jarak datar (horizontal distance) menggunakan meteran 30 m dan kompas, pengukuran panjang dan lebar tajuk menggunakan meteran, dan azimuth menggunakan kompas. Data lain yang diambil adalah pengamatan kerusakan tegakan dan jumlah tegakan yang terserang penyakit karat tumor. Kegiatan lain selain inventarisasi tegakan dan pengamatan kerusakan adalah pengambilan sampel tanah pada masing-masing klaster. Sampel tanah diambil pada tiga titik mikroplot yakni antara plot 1 dengan 2, plot 1 dengan 3 dan plot 1 dengan 4. Masing-masing mikroplot berjarak m dari titik pusat subplot. Sampel tanah diambil dengan kedalaman 0 15 cm dan diameter 10 cm. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan lima titik secara acak di masing-

14 4 masing mikroplot. Kemudian dikompositkan untuk masing-masing mikroplot. Sampel tanah tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui kadar keasaman tanah (ph) dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah untuk mengetahui kesuburan tanah pada lahan. Tahapan Penelitian Penelitian akan dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2 Diagram alir penelitian Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) berumur 4 tahun di hutan agroforestri dan monokultur. Alat Alat yang digunakan adalah kompas untuk menentukan arah mata angin dan lintang derajat, meteran untuk mengukur jarak horizontal dan membuat plot, pita ukur untuk mengukur keliling pohon, haga hypsometer untuk mengukur tinggi pohon, densiometer untuk mengukur kerapatan tajuk, parang untuk mengambil

15 sampel tanah, dan kamera digital untuk mengambil foto penelitian, kalkulator, mistar, kertas label, plastik, tally sheet, dan alat tulis. 5 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di hutan rakyat Desa Benteng, Kecamatan Ciampea dan hutan rakyat Desa Giri Mulya Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari Mei Prosedur Analisis Data Analisis Vegetasi Analisis vegetasi pada klaster plot dilakukan dengan pencatatan jenis pohon pada annular plot berdiameter m. Pada sub plot berdiameter 7.32 m tiang dan pancang dicatat. Parameter yang digunakan dalam data primer adalah diameter dan tinggi pohon. Analisis Intensitas Penyakit Pencatatan jumlah pohon dan luas serangan penyakit dihitung kemudian dianalisis intensitas penyakitnya pada hutan agroforestri dan monokultur. Data lain yang dianalisis adalah kerusakan akibat penyakit karat tumor terhadap masing-masing klaster. Parameter yang dicatat adalah intensitas penyakit dan luas serangan karat tumor. Hasil analisisnya yang diperlukan adalah nilai atau persentase dari jumlah pohon yang terserang penyakit, luas serangan, dan intensitas penyakit yang dinilai dengan menggunakan skala Horsfall-Barrat. Hasil analisis tersebut digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit pada hutan sengon yang menggunakan pola tanam agroforestri dan monokultur. Intensitas serangan suatu patogen dihitung dengan rumus (Towsend dan Huberger 1963 dalam Kadeni 1990) yaitu: I = (n x v) N x Z x 100 % I = Intensitas serangan N= Jumlah pohon yang diamati n = Pohon yang terserang karat tumor v = Nilai kategori serangan Z = Nilai kategori serangan tertinggi Analisis Kualitas Tapak Sampel tanah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium tanah untuk dilakukan analisis ph tanah dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Kedua data ini diperlukan untuk menentukan kadar kesuburan tanah pada masing-masing hutan. Kesuburan tanah kemudian dibandingkan diantara kedua tipe hutan.

16 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Desa Benteng merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa ini memiliki luas keseluruhan 2.84 km 2 dengan jumlah penduduk mencapai jiwa. Masyarakat desa umumnya memiliki mata pencaharian pertanian tanaman pangan. Beberapa warga menggunakan lahannya untuk membudidayakan tanaman pertanian di areal kehutanan atau agroforestri. Desa Giri Mulya merupakan salah satu desa yang berada dalam Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa ini memiliki kepadatan penduduk sebanyak 4061 jiwa. Wilayah Kecamatan Cibungbulang pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rumpin dan Ranca Bungur, sebelah barat Kecamatan Leuwiliang, sebelah timur Kecamatan Ciampea, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pamijahan. Suharjito (2000) menyatakan hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Artinya hutan tersebut dibangun, dikelola dan dimanfaatkan oleh rakyat di atas tanah milik atau tanah adat, sehingga dalam pengelolaannya petani atau masyarakat yang mengelola hutan tersebut memiliki peran yang besar. Petani hutan rakyat mengelola hutan rakyat tersebut dengan berbagai macam model pengelolaan. Menurut Awang (2001), dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat, yaitu (1) Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi oleh satu jenis tanaman keras saja. Pada hutan ini cenderung tidak ada tanaman pertanian di dalam hutan rakyat, (2) Hutan rakyat agroforestri, hutan rakyat ini ditumbuhi oleh lebih dari satu jenis tanaman. Pada hutan ini ditanami tanaman pangan, buah-buahan, atau sayur-sayuran. Agroforestri merupakan salah satu bentuk pengelolaan lahan yang memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. Prinsip pertanian adalah suatu pemanfaatan lahan untuk memperoleh pangan, serat, dan protein hewani. Sedangkan dari segi prinsip kehutanan yaitu untuk memperoleh produksi kayu pertukangan, kayu bakar, fungsi estetik, hidrologi, dan konservasi flora dan fauna (Fadri 2010). Ahli ekologi mengemukakan bahwa peningkatan jumlah kelompok fungsional dalam suatu ekosistem akan meningkatkan jumlah perubahan yang akan dialami oleh suatu sistem sebelum organisasi ekosistem itu berubah. Sifatsifat ini dapat didefinisikan sebagai resiliensi sistem ekologi. Keragaman fungsi yang diperankan oleh suatu spesies sangat terbatas dan karenanya ahli ekologi mengemukakan bahwa peningkatan kekayaan jumlah spesies akan meningkatkan pula keragaman fungsi ekologi yang akhirnya menghasilkan peningkatan stabilitas ekologi. Sistem agroforestri dinilai memiliki keragaman fungsi yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem monokultur. Tanaman pertanian yang ditanam di desa adalah cabai, talas, dan pisang, sedangkan tanaman kehutanan yang ditanam umumnya adalah Sengon (P. falcataria). Masyarakat masih memilih sengon karena jenis ini tergolong fast

17 growing species (tumbuh cepat) dengan daur 4 tahun panen. Kelebihan lain dari sengon adalah tahan terhadap kondisi tanah yang kurang hara. Hutan dengan pola tanam agroforestri umumnya memiliki persyaratan modal yang rendah, menghasilkan berbagai barang yang bermanfaat secara ekonomis, dan dapat membantu mempertahankan tingkat hara tanah, mengurangi erosi, dan konservasi air. Pengikatan N oleh tanaman dalam pola tanam agroforestri dapat meningkatkan asupan nitrogen pada tanah yang dikontribusikan oleh tanaman legum seperti sengon. Fiksasi N bergantung pada tanah, iklim, spesies, dan manajemen areal tegakan hutan (Szott et al 1991). 7 Penilaian Keparahan dan Intensitas Penyakit Penilaian penyakit atau phytopathometry adalah suatu pengukuran penyakit. Determinasi dari nilai x (fraksi penyakit). Tidak ada resep yang tepat dalam penilaian penyakit, pathometry atau phytopathometry merupakan suatu studi kuantitatif tentang penderitaan tanaman. Pengetahuan mengenai kejadian penyakit, keparahan penyakit tanaman, dan pola spasial dari penyakit tanaman menjadi penting sejalan dengan ekonomi pertanian yang memerlukan keputusan kritis yang lebih banyak pada setiap tingkat. Pemerintah umum dan institusi pribadi menggunakan informasi ini untuk mengevaluasi hasil penelitian jangka panjang dan sumber-sumber alokasinya. Petani dan penasehat pertanian menggunakannya untuk membuat keputusan manajemen. Pengetahuan ini juga merupakan unsur penting untuk meningkatkan efisiensi pengawasan tanaman, monitoring, dan peramalan penyakit. Nurhayati (2011) menyatakan keparahan penyakit (disease severity) merupakan proporsi atau persentase luas tanaman yang sakit. Sedangkan intensitas penyakit adalah gambaran kuantitatif meliputi kepadatan atau density jumlah individu per area, atau jumlah individu per volume yang terserang penyakit. Keparahan penyakit tegakan sengon dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan pendekatan plot level index atau tingkat kerusakan pohon pada satu ekosistem. Areal hutan agroforestri dan hutan monokultur menggunakan cara tersebut untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang diakibatkan oleh karat tumor. Syaufina (2008) mengemukakan bahwa kriteria kondisi vegetasi terdiri atas tiga indikator, yakni kerusakan individu, tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi. Penelitian ini dilakukan pada areal hutan rakyat yang tergolong homogen sehingga indikator yang digunakan untuk menilai kriteria kondisi vegetasi adalah kerusakan individu pohon, dan tingkat keparahan vegetasi. Indikator keanekaragaman vegetasi tidak digunakan dikarenakan indikator ini hanya digunakan pada hutan alam. Permasalahan Penyakit Pohon Permasalahan utama yang sering dihadapi oleh petani dalam usaha budidaya tanaman sengon adalah serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit ini merupakan kendala yang sangat penting untuk diatasi. Usaha pengendalian penyakit yang biasa dilakukan oleh petani adalah secara konvensional.

18 8 Pengendalian ini menitik beratkan pada pengendalian secara kimiawi. Akan tetapi pengendalian tersebut saat ini justru menimbulkan masalah baru yang penting, yakni kekebalan hama dan penyakit terhadap bahan kimia yang biasa digunakan. Keterkaitan faktor lingkungan dengan perkembangan suatu penyakit tanaman sangat jelas. Hal ini mengingat tanaman tumbuh pada suatu media tumbuh, pada suatu ruang atau wilayah yang membutuhkan cahaya, kelembaban dan udara serta berhubungan erat dengan keberadaan organisme lain. Kelembaban mempengaruhi perkembangan penyakit, dalam proses infeksi atau penetrasi, germinasi spora dan penyebaran spora. Sumber kelembaban ini berasal dari hujan, irigasi dan juga kelembaban relatif udara (RH). Kelembaban sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Karena patogen umumnya memerlukan adanya lapisan air atau kelembaban tertentu untuk dapat melakukan infeksi atau penetrasi pada inangnya. Cuaca berkabut dan lembab pada malam hari yang diikuti oleh sinar matahari yang cerah di pagi hari dapat menstimulasi pembentukan konidia dalam jumlah besar pada daun yang terinfeksi fungi ataupun patogen lainnya. Keadaan ini bila terjadi terus menerus dapat memicu terjadinya epidemi (Nurhayati 2011). Gejala penyakit karat tumor pada sengon menunjukkan gejala yang khas, yaitu pembengkakan pada bagian tumbuhan yang terserang. Epidemi penyakit karat tumor karena fungi U. tepperianum ini akan menyebabkan penurunan produksi kayu. Gejala penyakit karat tumor ini merupakan hiperplasia (pertumbuhan berlebih) gejala penyakit ini diawali deengan adanya pembengkakan lokal di bagian tanaman yang terserang. Lama kelamaan pembengkakan tersebut akan berubah menjadi tumor. Tumor yang ditimbulkan bermacam-macam bentuk dan ukuran. Karat tumor ini menyerang seluruh bagian tanaman baik daun, cabang, batang utama, maupun pucuk tanaman. Tumor yang masih muda berwarna hijau kecoklatan muda, kemudian akan berkembang dan diselimuti oleh lapisan seperti tepung berwarna agak kemerahan yang merupakan kumpulan dari spora patogen. Tumor yang tua berwarna coklat kemerahan sampai hitam dan biasanya tumor sudah keropos berlubang serta digunakan sebagai sarang semut. Selain semut, karat tumor yang sudah tua juga akan dimanfaatkan oleh penggerek batang sengon sebagai tempat berlindung. Jika tanaman mengalami serangan yang parah, maka seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh tumor, kemudian daun mengering mengalami kerontokan, diikuti oleh batang dan cabang pohon dan akhirnya tanaman mati Rahayu (2008) menyatakan fungi karat tumor hanya memerlukan 1 jenis inang saja yakni sengon untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya (monosiklik). Jamur hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora. Secara spesifik, teliospora mempunyai struktur yang berjalur, bergerigi dan setiap satu tangkai terdiri dari 3 teliospora. Ukuran spora berkisar antara lebar µm dan panjang µm. Fungi U. tepperianum hanya mampu menginfeksi jaringan-jaringan tanaman yang muda. Dengan demikian kemungkinan terjadinya infeksi baru pada jaringan tanaman dewasa di lapangan adalah sangat kecil. Gejala pada tanaman dewasa pada dasarnya berasal dari infeksi yang terjadi pada tanaman muda atau bahkan semai. Respon tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor dipengaruhi oleh faktor genetik dari tanaman itu sendiri dan dari faktor lingkungan sekitar

19 pertanaman. Benih yang berasal dari induk superior dengan karakteristik yang jelas akan menghasilkan tanaman yang relatif kuat dan lebih toleran terhadap karat tumor. Bibit sengon yang ditanam di hutan rakyat pada umumnya diusahakan sendiri oleh petani dengan menggunakan biji yang tidak jelas asal-usul induk dan kualitasnya. Rahayu (2008) menyatakan penyakit karat tumor berkembang intensif di daerah berkabut (kelembaban tinggi). Adanya kabut di musim kemarau maupun musim penghujan berpotensi meningkatkan terjadinya penyakit karat tumor baik di persemaian maupun di lapangan. Tanaman sengon yang tumbuh di tempat tinggi seperti di lereng bukit maupun gunung, berpeluang mendapatkan serangan karat tumor lebih besar dibanding tanaman sengon yang tumbuh di tempat rendah dan rata. Pada dasarnya, ketinggian tempat bukanlah faktor utama yang dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan jamur karat ini. Namun kondisi lingkungan seperti kelembaban yang tinggi, angin yang perlahan serta adanya kabut, umumnya terdapat di lokasi yang relatif tinggi. Pertanaman murni di hutan tanaman, mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit karat tumor dibanding pertanaman campuran di hutan rakyat. Namun pengelolaan penyakit karat tumor di hutan rakyat jauh lebih komplek dibanding pengelolaan penyakit di hutan tanaman industri. Hal ini disebabkan lebih kompleknya faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit karat tumor di hutan rakyat dibanding hutan tanaman. Strategi pengendalian karat tumor di hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang lebih besar agar mendapatkan hasil yang optimal. Tingkat Keparahan Penyakit Tingkat keparahan penyakit dalam penelitian ini menggunakan tolak ukur seberapa parah kerusakan suatu tegakan hutan dalam suatu tingkatan. Perlu dilakukannya penilaian tingkat keparahan penyakit tegakan hutan guna menanggulangi kerusakan yang terjadi dengan menerapkan pengendalian penyakit. Pengendalian yang saat ini diterapkan adalah dengan melakukan pemangkasan pada bagian pohon yang terserang karat tumor. Bagian yang terserang selanjutnya dilapisi campuran belerang dengan garam. Pelapisan bagian pohon dengan campuran belerang dan garam terbukti ampuh mengurangi terjangkitnya karat tumor pada tegakan sengon. Jika tingkat keparahan sudah diketahui maka langkah selanjutnya dapat dianalisis kerugian secara ekonomi akibat penyakit yang menyerang hutan agroforestri maupun monokultur atau melakukan pengendalian untuk mengurangi keparahan penyakit yang disebabkan oleh karat tumor. Kondisi kerusakan pohon bisa dikaitkan dengan luas serangan penyakit karat tumor yang menyerang tegakan sengon. Penilaian luas serangan penyakit ditentukan untuk mengetahui seberapa luas penyakit karat tumor menyerang suatu tegakan dalam satu ekosistem. Semakin luas serangan penyakit cenderung memiliki tingkat keparahan yang juga tinggi. Luas serangan yang telah dinilai selanjutnya diklasifikasikan dalam tingkatan keparahan penyakit (Tabel 1). 9

20 10 Tabel 1 Tingkat Keparahan Penyakit Karat Tumor Persentase Luas Serangan Tingkat Keparahan Penyakit (%) 0 Sehat 1 5 Sangat Ringan 6 12 Ringan Sedang Berat Sangat Berat Sumber: Modifikasi dari IRRI (1996) Luas serangan penyakit dapat dikur dengan mengamati seluruh pohon yang diamati, kemudian mengamati pohon yang positif terkena penyakit karat tumor (Lampiran 2). Rumus yang digunakan untuk menghitung luas serangan (Agrios 1988) adalah: Luas Serangan = Jumlah Pohon yang terserang penyakit X 100 % Jumlah pohon yang diamati Luas Serangan (%) 20,0 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0, Klaster Plot Hutan Agroforestry Hutan Monokultur Gambar 3 Luas serangan penyakit pada hutan agroforestri dan monokultur Gambar 3 menunjukkan dari 74 pohon pada hutan agroforestri 9 diantaranya terserang penyakit karat tumor. Penilaian luas serangan penyakit karat tumor klaster I (hutan agroforestri) sebesar % sedangkan pada klaster II (hutan monokultur) menjukkan 10 dari 63 pohon yang diamati terserang penyakit karat tumor sehingga persentase luas serangan penyakit sebesar %. Hutan dengan pola tanam monokultur cenderung terserang penyakit karat tumor lebih luas dibanding hutan dengan pola tanam agroforestri. Hutan agroforestri maupun monokultur dapat dikategorikan memiliki tingkat keparahan penyakit yang tergolong sedang.

21 Intensitas Penyakit Karat Tumor Intensitas penyakit dalam penelitian ini berkaitan dengan tinggi atau rendahnya setiap pohon yang terserang penyakit berdasarkan skala. Penilaian intensitas penyakit tegakan sengon pada penelitian ini menggunakan skala Horsfall-Barrat sebagai acuan skala intensitas penyakit. Horsfall-Barrat membagi suatu skala logaritme untuk pengukuran penyakit tanaman. Skala tersebut mempunyai 50% sebagai pusat alami dan yang menentukan sebagai contoh skala keseimbangan berkisar 50%. 11 Tabel 2 Penilaian intensitas serangan menggunakan skala Horsfall-Barrat Skala Berat Serangan Persentase Kerusakan Pohon yang Terserang Karat Tumor Sumber: Bock et al. (2009) Tabel 2 menyatakan bahwa suatu tegakan dengan persentase intensitas penyakit bila dibawah 50 % dikatakan tanaman tidak sakit dan bila diatas 50 % dikatakan tanaman sakit. Penilaian intensitas penyakit pohon akibat serangan karat tumor selanjutnya akan dimasukkan ke dalam skala Horsfall-Barrat untuk menentukan skoring intensitas penyakit karat tumor pada tegakan sengon (Tabel 2). Hasil skoring dari skala Horsfall-Barrat selanjutnya akan ditentukan kategori intensitas. Tabel 3 Skoring intensitas penyakit berdasarkan skala Horsfall- Barrat Intensitas Penyakit (%) Kategori Penyakit Karat Tumor 0 Sehat 1 5 Sangat Ringan 6 15 Ringan Sedang Berat >50 Sangat Berat Sumber: Modifikasi dari BPTH (2009)

22 12 Penggunaan skala Horsfall-Barrat dapat digunakan juga untuk menilai persentase jumlah pohon yang terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri maupun monokultur. Sehingga penyakit karat tumor dapat terdeteksi dengan jelas pada skala yang ditentukan. Persentase Jumlah Pohon Terserang (%) Gambar 4 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri pada tiap skala Gambar 4 menunjukkan intensitas penyakit karat tumor berdasarkan jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan agroforestri. Persentase tertinggi ada pada skala 5 sebesar 5.41 % sedangkan persentase paling rendah ada pada skala 7 yakni 2.70 %. Kerusakan pohon akibat karat tumor yakni pada skala 6 dan 7 dapat dikatakan tinggi sehingga perlu dilakukan pengendalian secepatnya agar fungi U. tepperianum tidak menyebar lebih luas Skala Berat Serangan Persentase Jumlah Pohon Terserang (%) Skala Berat Serangan Gambar 5 Persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan monokultur pada tiap skala Gambar 5 menunjukkan persentase jumlah pohon terserang penyakit karat tumor pada hutan monokultur. Persentase yang paling tinggi ada pada skala 5 sebesar % sedangkan persentase paling rendah ada pada skala 6 dan 7 yakni 1.59 % (Gambar 5). Langkah selanjutnya dalam penilaian intensitas penyakit menggunakan skala Horsfall-Barrat dilakukan secara menyeluruh pada tiap ekosistem yakni pada hutan agroforestri dan monokultur (Lampiran 2). Penilaian

23 yang dilakukan pada hutan dengan pola tanam agroforestri memiliki intensitas serangan karat tumor sebesar 6.39 % sedangkan hutan dengan pola tanam monokultur memiliki intensitas serangan sebesar 7.65 % (Gambar 6). 13 Intensitas Serangan (%) 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0, Hutan Agroforestry Hutan Monokultur Klaster Plot Gambar 6 Intensitas serangan karat tumor pada hutan agroforestri dengan monokultur Berdasarkan penilaian intensitas serangan penyakit, dapat dikatakan bahwa hutan agroforestri maupun monokultur tergolong memiliki intensitas serangan penyakit karat tumor yang ringan. Tegakan sengon pada hutan monokultur cenderung lebih banyak yang terserang penyakit karat tumor dibanding hutan agroforestri. Beberapa pohon sengon pada hutan monokultur memiliki tingkat kerusakan yang berat, diantaraya diakibatkan oleh dieback yang tinggi, banyaknya luka terbuka, lubang gerek akibat hama, kemudian yang utama adalah karat tumor yang sudah lama bersarang dalam suatu pohon. Sehingga lama-kelamaan karat tumor yang telah tua tersebut menjadi sarang bagi penggerek batang sengon. Analisis Kualitas Tapak (Site Quality) Tanah merupakan medium kehidupan tanaman. Hadjowigeno (1987) mengemukakan tanah adalah media khusus yaitu sebagai media tumbuhnya tumbuhan darat. Berhasil tidaknya pertumbuhan tanaman banyak ditentukan oleh sifat tanah, karena sifat-sifat tanah menentukan kesesuaian lingkungan akar tanaman (Walla 1997). Kualitas tapak menjadi salah satu indikator kesehatan hutan karena merupakan suatu pengukuran yang mengacu kepada kemampuan tapak tumbuh, terutama tanah untuk menyokong pertumbuhan (produktivitas) tanaman. Dan merupakan gambaran sifat-sifat, fungsi, atau kondisi yang mengacu pada kesehatan tanah secara umum (Numahara 2001). Pohon memberikan pengaruh positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui peningkatan masukan bahan organik, peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila pohon yang ditanam dari keluarga leguminose, mengurangi kehilangan bahan organik tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi limpasan

24 14 permukaan dan pencucian, memperbaiki sifat fisik tanah, dan perbaikan struktur tanah. Organisme tanah memberikan keuntungan bagi tanah karena membantu menyediakan ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman. Tingginya kelembaban udara dan suhu di daerah tropis menyebabkan tingginya pembusukan bahan organik. Fungsi lain dari organisme tanah yakni membantu pengendalian serangan hama dan penyakit. Organisme tanah memakan organisme lain yang lebih kecil dapat menekan serangan hama penyakit dengan cara mengontrol jenis dan jumlah organisme di dalam tanah. Mikroorganisme tanah, fungi tanah mempunyai peranan penting dalam mendekomposisi di dalam tanah, terutama dalam tanah hutan. Secara umum dilihat dari populasi dan jenisnya, fungi pada tanah top soil lebih banyak dari pada subsoil, hal ini menunjukkan tanah top soil lebih sesuai bagi sejumlah fungi dari pada subsoil. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh lingkungan tanah top soil yang lebih sesuai, diantaranya mempunyai aerasi (pengudaraan) yang cukup, selang suhu yang cukup dan adanya sumber pangan yang cukup (Adam 2002). Sifat Kimia Tanah Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tanah dapat secara langsung terkait dengan tanah atau terkait dengan segala sesuatu yang dipengaruhi oleh tanah seperti tanaman dan air. Dari sisi sifat kimia tanah, faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai indikator kualitas tanah adalah kemasaman tanah (ph) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Kemasaman tanah (ph) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (H + ) dalam gram ion per-liter. Tanah dikatakan masam jika ph-nya kurang dari 7, netral jika ph sama dengan 7 dan basa jika ph-nya lebih besar dari 7. Umumnya tanah di Indonesia bereaksi masam dengan ph 4.0 sampai 5.5, sehingga tanah dengan ph 6.0 sampai 6.5 sering dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam. Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan tanah dalam menjerap dan mempertukarkan kation-kation. Menurut Hardjowigeno (1986), KTK adalah banyaknya kation (dalam mili ekuivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah. KTK merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah berpasir. Hal ini terjadi karena unsur-unsur hara terdapat dalam komplek jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci air. Kemampuan tanah untuk menahan ion-ion nutrisi dalam bentuk tersedia yang dapat dimanfaatkan tanaman sangat penting dalam hutan. Hal ini disebabkan hutan pada umumya tumbuh pada tanah-tanah yang memiliki sediaan zat-zat nutrisi yang rendah. Secara umum, tanah yang terdiri dari partikel-partikel liat memiliki KTK yang rendah, namun KTK yang rendah ini sangat penting bagi nutrisi tumbuhan dan siklus nutrisi yang efisien. Berdasarkan hasil analisis tanah yang dilakukan pada mikroplot 1, 2, dan 3 di hutan agroforestri menunjukkan nilai KTK sebesar 14.9, 16.4, dan 21.8 meq/100 gr, dengan rata-rata KTK 19.1 meq/100 gr. Nilai derajat keasaman tanah (ph) pada mikroplot 1, 2, dan 3 sebesar 7, 6, dan 5.5 dengan rata-rata ph sebesar

25 6.2. Nilai KTK pada area ini termasuk dalam skor 4, berdasarkan skoring tersebut maka KTK tanah memiliki kategori sedang. Tanah pada areal hutan agroforestri di Desa Benteng tergolong subur karena memiliki tingkat kemasaman tanah yang netral. Kesuburan tanah berkaitan erat dengan tingkat pertumbuhan tegakan. Tegakan sengon yang berada pada hutan agroforestri cenderung lebih resisten terhadap penyakit dikarenakan unsur hara yang cukup dan dapat tumbuh optimal. Selain itu struktur tanah pada hutan agroforestri yang gembur juga mendukung pertumbuhan tegakan sengon. Ketahanan terhadap penyakit ditandai dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah dibanding hutan monokultur. Pada areal hutan monokultur, sampel tanah pada mikroplot 1, 2, dan 3 menunjukkan nilai KTK sebesar 19.96, 17.19, dan meq/100 gr, dengan ratarata KTK sebesar nilai derajat keasaman tanah (ph) pada mikroplot 1, 2, dan 3 sebesar 5, 5.6, dan 5.3, dengan rata-rata ph sebesar 5.3. Nilai KTK pada area ini termasuk dalam skor 4, berdasarkan skoring tersebut maka KTK tanah memiliki kategori sedang. Tanah pada areal hutan monokultur di Desa Giri Mulya cenderung masam karena ph bernilai kurang dari Niai KTK (meq/100 gr) 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0, Klaster Plot Hutan Agroforestry Hutan Monokultur Gambar 7 Perbandingan nilai KTK pada hutan agroforestri dengan monokultur Berdasarkan hasil perhitungan KTK tanah pada hutan agroforestri memiliki nilai KTK sebesar meq/100 gr sedangkan pada hutan monokultur meq/100gr. Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai KTK hutan agroforestri lebih tinggi dibanding hutan monokultur.

26 16 10,0 Nilai ph 8,0 6,0 4,0 2, Hutan Agroforestry Hutan Monokultur 0,0 1 2 Klaster Plot Gambar 8 Perbandingan nilai ph pada hutan agroforestri dengan monokultur Gambar 8 menunjukkan bahwa ph tanah pada hutan monokultur memiliki nilai yang lebih rendah yakni sebesar 5.3 dibandingkan dengan hutan agroforestri sebesar 6.2, dengan demikian nilai ph hutan agroforestri tergolong lebih tinggi dari hutan monokultur. Tanah yang masam dan struktur tanah yang padat mengakibatkan pertumbuhan pohon yang kurang maksimal, selain itu KTK tanah yang rendah menyebababkan kesuburan tanah menurun. Pertumbuhan sengon yang terhambat karena kurang suburnya tanah menyebabkan pohon rentan terhadap penyakit karat tumor. Kondisi lingkungan hutan monokultur yang relatif kurang terawat dan keragaman yang rendah dinilai menjadi penyebab intensitas penyakit karat tumor yang lebih tinggi dibanding hutan agroforestri. Forest Health Monitoring (FHM) Kondisi Kerusakan Pohon FHM merupakan suatu kegiatan pencatatan parameter yang berulang atau pengambilan data-data contoh sebagai pembanding terhadap informasi dasar yang telah teridentifikasi. Menurut Supriyanto et al. (2001), terdapat empat indikator yang seusai untuk hutan tropis Indonesia, meliputi produktivitas, biodiversitas, vitalitas (kondisi pohon), dan kualitas tapak. Tujuan keseluruhan dari FHM adalah untuk menilai dan melaporkan tentang status saat ini, perubahan dan kencendrungan jangka panjang dalam kesehatan ekosistem hutan, memonitor jenis-jenis tanaman yang mengindikasikan kondisi hutan dan mengidentifikasi hubungan antara gangguan-gangguan alami dan gangguan akibat aktivitas manusia dikaitkan dengan kondisi ekologis hutan. Kondisi kerusakan pohon dapat diukur dari hasil perhitungan skoring Tree Level Indeks (TLI). Rata-rata dari TLI akan dihitung kembali dalam parameter Plot Level Indeks (PLI). Pembagian skoring akhir untuk parameter PLI ditetapkan dengan pembagian nilai tertinggi dan terendah dalam 10 kelas (Tabel 4).

27 17 Tabel 4 Skoring akhir parameter PLI PLI Skor PLI Penilaian kerusakan tegakan dilakukan pada setiap plot pada klaster hutan agroforestri dan monokultur. Pada klaster agroforestri terdapat 74 pohon sedangkan klaster monokultur terdapat 63 pohon, dimana pada kedua klaster tersebut tidak ditemukan pohon yang mati. Sebaran diameter pada klaster agroforestri yakni cm, sedangkan pada hutan monokultur adalah cm. Pada hutan agroforestri maupun monokultur terdapat beberapa tegakan yang positif terkena serangan penyakit karat tumor. Bagian yang terserang lebih banyak pada batang dan cabang pohon. Tanda-tanda adanya karat tumor dapat dilihat dengan adanya jendolan berwarna coklat keemasan pada bagian-bagian pohon yang terserang Berdasarkan hasil penilaian kerusakan pohon pada klaster 1 ditemukan adanya tiga kerusakan pada pohon sengon yakni pohon dengan kode 1.2.1, 1.2.2, 1.2.3, 1.2.6, , , 1.3.5, 1.3.8, , , , Lima puluh satu pohon lainnya memiliki dua dan satu kerusakan. Keparahan pada klaster I berkisar kode 1 hingga 8, namun kerusakan terbanyak adalah kode 3. Tipe kerusakan tertinggi paling banyak berupa kerusakan dengan kode 21 dan 22 atau kerusakan yang disebabkan hilangnya ujung dominan atau mati ujung serta cabang patah dan mati (Lampiran 3). Selebihnya dua pohon dengan kode dan terserang penyakit ganoderma (akar merah). Perlu pengendalian segera agar penyebaran penyakit tersebut tidak meluas. Kerusakan lain berupa luka terbuka, batang patah dan daun berubah warna (tidak hijau). Kemudian kerusakan akibat karat tumor pada pohon dengan kode , , , , , , 1.4.4, , dan Hasil penilaian kerusakan pohon pada klaster II ditemukan adanya tiga kerusakan pada pohon sengon yakni pohon dengan kode , , 2.3.3, 2.3.5, 2.4.3, 2.4.8, , dan Sedangkan lima puluh lima pohon lainnya ditemukan satu dan dua kerusakan saja. Keparahan pada klaster II berkisar antara kode 1 hingga 8 namun tidak ditemukannya kode 1, namun keparahan terbanyak ada pada kode 2 (Lampiran 5). Tipe kerusakan yang paling banyak ada pada kode 21 dan 22 atau kerusakan yang disebabkan hilangnya ujung dominan atau mati ujung serta cabang patah dan mati. Sebanyak 17 pohon mengalami tipe kerusakan

28 18 luka terbuka pada pohon dengan kode 2.1.2, 2.1.5, , , , 2.3.1, 2.3.2, 2.3.3, 2.3.4, 2.3.5, 2.3.9, 2.4.2, 2.4.4, 2.4.6, 2.4.8, , dan Kemudian kerusakan yang diakibatkan penyakit karat tumor menyerang pohon dengan kode 2.1.7, , , 2.2.2, , 2.3.3, 2.4.5, 2.4.7, 2.4.8, dan Tabel 5 Skoring PLI pada klaster I dan II Klaster Jumlah pohon Nilai PLI Skoring Nilai PLI yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kerusakan pohon semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah nilai PLI menunjukkan kondisi tegakan semakin bagus. Penilaian pada masing-masing klaster berdasarkan PLI pada klaster I memiliki nilai PLI sebesar 3.26 sedangkan pada klaster II menunjukkan nilai PLI sebesar Nilai ini menunjukkan bahwa pada areal hutan agroforestri maupun monokultur memiliki skor 8. Skor yang dimiliki oleh hutan agroforestri dan monokultur dapat dikategorikan ringan. Bentuk kerusakan yang ada tidak terlalu menimbulkan kerugian secara ekonomi (Tabel 5). Kondisi Tajuk Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan hutan adalah kondisi tajuk dengan melakukan Value Crown Ratio (VCR). Rata-rata dari VCR akan dihitung kembali dalam parameter VCR. Pembagian skoring akhir untuk parameter VCR ditetapkan dengan pembagian nilai tertinggi dan terendah dalam 10 kelas. Skor VCR tertinggi menunjukkan kondisi kesehatan tajuk yang semakin baik (Tabel 6). Tabel 6 Skoring akhir parameter VCR VCR Skor VCR Penilaian kondisi tajuk pada FHM yang digunakan dalam perhitungan VCR adalah Live Crown Ratio (LCR), Crown Density (CDS), Foliage Transparancy Ratio (FTR), Crown Dieback (CDB), dan Crown Diameter (Gambar 9).

29 LCR % CDS % FTR % CDB % CD (m) Hutan Agroforestry Hutan Monokultur Gambar 9 Rata-rata LCR, CDS, FTR, CDB, dan CD pada areal hutan agroforestri dan hutan monokultur Berdasarkan hasil penilaian, rata-rata LCR pada klaster I hutan agroforestri didapatkan persentase sebesar 40 % begitupun dengan klaster II memiliki nilai rata-rata LCR sebesar 40 %, persentase CDS pada klaster I lebih tinggi yakni sebesar 40 % dibanding pada klaster II sebesar 30 %, untuk parameter FTR didapatkan persentase yang sama baik pada klaster I maupun klaster II yakni sebesar 70 %. Persentase parameter CDB untuk kedua klaster menunjukkan nilai yang sama yakni 40 %, kemudian nilai CD klaster I lebih besar yakni 3.17 m sedangkan pada klaster II sebesar 2.83 m. Tabel 7 Skoring VCR pada klaster I dan II Klaster Jumlah pohon Rata-rata VCR Skoring Penilaian VCR pada areal hutan monokultur lebih besar dibanding areal hutan agroforestri, yakni 2.19 dan 2.11 (Tabel 7). Meskipun demikian nilai VCR kedua areal ini tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tajuk tegakan sengon yang cepat pulih dari keadaan lingkungan yang rusak. Berdasarkan skoring kesehatan hutan nilai VCR pada areal hutan agroforestri maupun monokultur mendapat skoring 4 pada masing-masing areal. Dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan hutan pada hutan agroforestri maupun monokultur tergolong sedang. Kondisi kesehatan tajuk yang sedang sangat dipengaruhi oleh kondisi kerusakan pohon akibat penyakit karat tumor, selain itu faktor abiotik seperti suhu dan curah hujan yang tinggi menentukan kepadatan tajuk tegakan sengon. Sengon merupakan jenis pohon yang memiliki tajuk yang

30 20 cenderung kurang rindang. Perbandingan penilaian rata-rata PLI dan VCR untuk hutan agroforestri dengan monokultur dapat ditunjukkan pada Gambar 10 Rata-Rata 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0, Klaster Plot PLI VCR Gambar 10 Penilaian akhir PLI dan VCR Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai PLI dari hutan monokultur lebih tinggi yakni 3.52 dibandingkan dengan hutan agroforestri sebesar Nilai VCR pada hutan monokultur sebesar 2.19 dan hutan agroforestri sebesar 2.11, hal ini menandakan bahwa hutan agroforestri memiliki nilai VCR yang lebih rendah dari hutan monokultur. Adanya hasil penilaian keparahan penyakit (disease severity) yang menyatakan bahawa penyakit karat tumor yang terjadi pada klaster I maupun klaster II termasuk kedalam kategori ringan. Jika dikaitkan dengan kondisi kerusakan pohon atau kondisi tajuk maka penyakit karat tumor yang menyerang tegakan sengon kedua areal ini tidak memberikan dampak yang berarti. Hasil penilaian disease severity tersebut dapat dikaitkan dengan hasil skoring FHM dimana berdasarkan kondisi kerusakan pohon dan tajuk menyatakan bahwa klaster I dan II tergolong dalam kondisi yang ringan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat keparahan penyakit (disease severity) yang diakibatkan oleh karat tumor pada tegakan sengon areal hutan dengan pola tanam agroforestri tergolong sedang dengan luas serangan % sedangkan hutan sengon dengan pola tanam monokultur memiliki tingkat keparahan yang sedang dengan persentase luas serangan sebesar %. Nilai intensitas penyakit pada hutan dengan pola tanam agroforestri sebesar 6.39 % sedangkan hutan dengan pola tanam monokultur sebesar 7.65 %. Hutan dengan pola tanam agroforestri memiliki intensitas penyakit yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan yang menggunakan pola tanam monokultur.

31 21 Saran Harus dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kecocokan ph tanah yang mendukung berkembangnya penyakit karat tumor sehingga dapat dilakukan pengendalian lebih awal. Perlu dilakukan sosialisasi tentang pola tanam agroforestri kepada masyarakat desa yang memiliki lahan tegakan sengon atau jenis lain sehingga dapat meningkatkan produktifitas lahan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap penyakit karat tumor. DAFTAR PUSTAKA Adam B Analisis sifat fisik, kimia, dan biologi tanah hutan pada tanaman hutan pinus (Pinus merkusii) kelas umur II, IV, VIII di RPH Cikole dan RPH Lembang BPKH Lembang KPH Bandung Utara Unit III Jawa Barat [Internet][Skripsi]. [Diunduh 2014 Juni 1]. Tersedia pada ence=2 Agrios GN Plant pathology. 3 rd ed. Departement of Plant Pathology. University of Florida Gainesville Anggraeni I Pengendalian penyakit karat tumor (Gall rust) pada sengon (Paraserianthes falcataria) di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri dalam: Makalah Workshop Penanggulangan Serangan karat Tumor pada Tanaman Sengon, 19 Nop 2008; Yogyakarta. Bogor (ID): Puslitbang Hutan Tanaman Awang S Gurat hutan Rakyat di Kapur Selatan. Yogyakarta (ID): Debut Press [BPTH] Balai Penelitian Tanaman Hias Panduan karakterisasi tanaman hias krisan [Internet]. [Diunduh 2014 Sep 5]. Tersedia pada Bock CH, Gottwald TR, Parker PE, Cook AZ, Ferrandino F, Parnell The Horsfall-Barrat scale and severity estimates of citrus cancer. Eur J Plant Pathol. 125:23-38.doi /s x Dirgantara U Analisis potensi fisik, sosial dan ekonomi untuk pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi [Internet][Tesis]. [Diunduh 2013 Nov 30]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tersedia pada / 11118/2008udi.pdf?sequence=2 Fadri A Pertumbuhan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) pada kebun campuran di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor [Internet][Skripsi]. [Diunduh 2014 Januari 20]. Tersedia pada bitstream/ handle/ /63442/ E 10afa.pdf?sequence=1 Hadjowigeno S Genesis dan Klasifiasi Tanah. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor (ID). P

32 22 [IRRI] International Rice Research Institute Standard Evaluation System of Rice. Philippines (PH): International Rice Research Institute. Kadeni A Studi kasus derajat kerusakan pada sengon (Paraserianthes falcataria) dan kerugiannya karena serangan Xystrocera festiva di Kecamatan Cibeureum Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Nuhamara ST, Kasno Present Status of Forest Vitality. FHM Technical Report No. 11. Di dalam : Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest Volume II. Japan: ITTO dan Bogor: SEAMEO-BIOTROP Nurhayati Epidemologi penyakit tumbuhan [internet]. [Diunduh 2014 Juni 13]. Tersedia pada buku_ epidemiologi_pdf_ 2011_tbr.pdf Rahayu S Penyakit karat tumor pada sengon [internet]. [Diunduh 2014 Maret 10]. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tersedia padahttp:// T%20TUMOR%20PADA%20SENGON.pdf Suharjito D Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor (ID): Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor Supriyanto, Stole KW, Soekotjo, Gintings AN Plot Establishment. FHM Technical Report No. 1. Di dalam : Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest Volume I. Japan: ITTO dan Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP Syaufina Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang (ID): Bayumedia Publishing Szott TL, Fernandes CME, Sanches P Soil-plant interaction in agroforestry systems. For.Ecol.Manage., 45: [USDA-FS] USDA Forest Service Forest Health Monitoring: Field Methods Guide (International Indonesia 1997). Asheville NC: USDA Forest Service Research Triangle Park Utomo WH Agroforestri: hidup layak berkesinambungan pada lahan sempit [Internet]. [Diunduh 2013 Nov 30]. Tersedia pada Walla NN Hubungan antara sifat kimia tanah dengan pertumbuhan tanaman [Internet][Skripsi]. [Diunduh 2014 Juni 1]. Tersedia pada quence=1

33 23 LAMPIRAN Lampiran 1 Perhitungan luas serangan penyakit

34 24 Lampiran 2 Perhitungan intensitas penyakit karat tumor hutan agroforestri dan monokultur Skala Berat Serangan Jumlah Pohon Terserang Nilai Persentase , , , Jumlah ,16 I agrof = 52 X 100 % = 6.39 % 74 x 11 Skala Berat Serangan Jumlah Pohon Terserang Nilai I mono = 53 X 100 % = 7.65 % 63 x 11 Persentase , , , Jumlah ,87

35 Lampiran 3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan 25

36 26 Lampiran 4 Deskripsi kode lokasi kerusakan

37 Lampiran 5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan 27

38 28 Lampiran 6 Dokumentasi pengambilan data di lapangan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2014, untuk

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2014, untuk 18 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2014, untuk kegiatan pengumpulan data, pengelolaan data, dan analisis data.

Lebih terperinci

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA NUR HIDAYATI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN KONSEP PENYAKIT TANAMAN Penyakit tumbuhan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Lokasi penelitian yaitu di RPH Jatirejo, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes)

BAB I PENDAHULUAN. Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) merupakan tanaman fast growing, yaitu memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, masa panen yang pendek, teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby &

BAB I PENDAHULUAN. Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengon atau dengan nama ilmiah Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) termasuk kedalam famili Leguminosae yang tergolong jenis pohon cepat tumbuh (fast

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan baik aspek ekonomi, sosial, pembangunan, maupun lingkungan. Hutan dan ekosistemnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Tegakan Berdasarkan Tabel 3 produktivitas masing-masing petak ukur penelitian yaitu luas bidang dasar (LBDS), volume tegakan, riap volume tegakan dan biomassa kayu

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN PADA TEGAKAN AKASIA DI BKPH PARUNG PANJANG KPH BOGOR, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN PADA TEGAKAN AKASIA DI BKPH PARUNG PANJANG KPH BOGOR, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 08 No. 1, April 2017, Hal 55-62 ISSN: 2086-8227 PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN PADA TEGAKAN AKASIA DI BKPH PARUNG PANJANG KPH BOGOR, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 2 lokasi penelitian yang digunakan yaitu Harapan dan Inalahi yang terbagi menjadi 4 plot pengamatan terdapat 4 jenis tanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan,

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumber kehidupan karena hutan bukan hanya penopang kehidupan manusia namun juga hewan dan bahkan tumbuhan itu sendiri. Kelangsungan hutan terancam oleh

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini BAB V PEMBAHASAN 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini diperuntukan untuk perkebunan dan budidaya. Disebelah timur lokasi tambang pada jarak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

Teknik Pengendalian Penyakit Karat Puru Pada Pohon Sengon

Teknik Pengendalian Penyakit Karat Puru Pada Pohon Sengon 1 Teknik Pengendalian Penyakit Karat Puru Pada Pohon Sengon Oleh : Budi Budiman, S.Hut. Indri Puji Rianti, S.Hut. Dalam rangka mendukung gerakan penanaman satu milyar pohon yang digalakan oleh pemerintah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013 PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH 1 BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH Budidaya untuk produksi benih sedikit berbeda dengan budidaya untuk produksi non benih, yakni pada prinsip genetisnya, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah sengon (Falcataria moluccana). Jenis ini dipilih karena memiliki beberapa

BAB I PENDAHULUAN. adalah sengon (Falcataria moluccana). Jenis ini dipilih karena memiliki beberapa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan salah satu program untuk penyediaan kayu dalam jumlah cukup, berkualitas baik secara terus menerus dan lestari. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani yang mempunyai tanaman jati pada hutan rakyat di Desa Karanglayung, Desa Babakan Asem dan Desa Conggeang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n T E N T A N G P E R M A K U L T U R S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n A PA ITU P ERMAKULTUR? - MODUL 1 DESA P ERMAKULTUR Desa yang dirancang dengan Permakultur mencakup...

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BUDIDAYA TANAMAN DURIAN

BUDIDAYA TANAMAN DURIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA BUDIDAYA TANAMAN DURIAN Dosen Pengampu: Rohlan Rogomulyo Dhea Yolanda Maya Septavia S. Aura Dhamira Disusun Oleh: Marina Nurmalitasari Umi Hani Retno

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar Agroforestri jarak pagar di bawah tegakan mahoni di BKPH Babakan Madang berada di dua macam jenis tegakan yaitu mahoni muda dan mahoni tua.

Lebih terperinci

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora AMDAL (AGR77) Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Hidroorologis

Lebih terperinci

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : SIFAT KIMIA TANAH Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : 1. Derajat Kemasaman Tanah (ph) Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

(Pertemuan 5) TANAMAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN LINGKUNGAN BIOTIK

(Pertemuan 5) TANAMAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN LINGKUNGAN BIOTIK (Pertemuan 5) TANAMAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN LINGKUNGAN BIOTIK EKOLOGI PERTANIAN (AGROEKOLOGI) Bagaimana mengaplikasikan konsep dan prinsip-prinsip ekologi untuk mendesain dan memanage sistem produksi pangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 5 II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 2.1. Karakteristik tanah tropika basah Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas di kawasan tropika basah, tetapi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 di lahan percobaan Fakulas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Bahan dan Alat Penelitian Adapun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salak merupakan salah satu buah tropis yang banyak diminati orang karena memiliki keunggulan baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Ada 3 (tiga) jenis salak yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk jarak tanam 3 m x 3 m terdapat 3 plot dengan jumlah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

Efektivitas Jarak Pagar (Jathropa curcas Linn) Sebagai Sekat Bakar Ditinjau Dari Kondisi Tajuk

Efektivitas Jarak Pagar (Jathropa curcas Linn) Sebagai Sekat Bakar Ditinjau Dari Kondisi Tajuk JURNAL SILVIKULTUR TROPIKA Vol. 02 No. April 012011 April 2011, Hal. 35 39 Efektivitas Jarak Pagar Sebagai Sekat Bakar 35 ISSN: 2086-8227 Efektivitas Jarak Pagar (Jathropa curcas Linn) Sebagai Sekat Bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan

Lebih terperinci

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian 5 2 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas: 1) Pengaruh alelopati daun dan ranting jabon terhadap pertumbuhan, produksi rimpang dan kandungan kurkumin tanaman kunyit, 2) Pengaruh pemupukan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman perdu dan berakar tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. Tomat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lumut merupakan kelompok tumbuhan kecil yang tumbuh menempel pada berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada pohon, kayu mati, kayu

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN Isi Materi Teknik Tk ikpenanaman Teknik Pemeliharaan Tanaman Evaluasi Hasil Penanaman Faktor Keberhasilan Penanaman Kesesuaian Tempat Tumbuh/Jenis Kesesuaian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah 3 TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah Hillel (1998) menyatakan bahwa tanah yang padat memiliki ruang pori yang rendah sehingga menghambat aerasi, penetrasi akar, dan drainase. Menurut Maryamah (2010) pemadatan

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah hutan di Indonesia pada umumnya berjenis ultisol. Menurut Buckman dan Brady (1982), di ultisol kesuburan tanah rendah, pertumbuhan tanaman dibatasi oleh faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperlukan dalam bidang pertanian.dalam menentukan sifat tanah serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperlukan dalam bidang pertanian.dalam menentukan sifat tanah serta BAB II TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Prediksi sifat-sifat tanah dan tanggapannya terhadap pengelolaan sangat diperlukan dalam bidang pertanian.dalam menentukan sifat tanah serta tanggapannya terhadap pengelolaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan jabon dan vegetasi tumbuhan bawah yang terdapat

Lebih terperinci

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilam (Pogostemon sp.) merupakan salah satu tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri (essential oil). Di dalam dunia perdagangan Intemasional minyak nilam sering

Lebih terperinci

Bibit Sehat... Kebun Kopi Selamat

Bibit Sehat... Kebun Kopi Selamat PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 PROBOLINGGO 67271 Bibit Sehat... Kebun Kopi Selamat Oleh : Ika Ratmawati, SP POPT Perkebunan Pendahuluan Kabupaten Probolinggo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan tumbuh yang digunakan pada tahap aklimatisasi ini, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet Nepenthes. Tjondronegoro dan Harran (1984) dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian set akar

TINJAUAN PUSTAKA. yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian set akar TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Tanaman Jagung - Akar Jagung mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar, yaitu akar seminal, akar adventif, dan akar kait atau penyangga. Akar seminal adalah akar yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENILAIAN KESEHATAN KEBUN BENIH SEMAI Pinus merkusii DENGAN METODE FHM (FOREST HEALTH MONITORING) DI KPH SUMEDANG TAUFIK ISKANDAR

PENILAIAN KESEHATAN KEBUN BENIH SEMAI Pinus merkusii DENGAN METODE FHM (FOREST HEALTH MONITORING) DI KPH SUMEDANG TAUFIK ISKANDAR PENILAIAN KESEHATAN KEBUN BENIH SEMAI Pinus merkusii DENGAN METODE FHM (FOREST HEALTH MONITORING) DI KPH SUMEDANG TAUFIK ISKANDAR DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU Oleh : Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan BP2SDM Berdasarkan sifat fisiologis jenis-jenis

Lebih terperinci

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Radish (Raphanus sativus L) merupakan salah satu tanaman perdu semusim yang

I. PENDAHULUAN. Radish (Raphanus sativus L) merupakan salah satu tanaman perdu semusim yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Radish (Raphanus sativus L) merupakan salah satu tanaman perdu semusim yang berumbi. Dibandingkan dengan sayuran berumbi yang lain, misalnya wortel (Daucus

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) 1. Cara memperbaiki tanah setelah mengalami erosi yaitu dengan cara?? Konservasi Tanah adalah penempatansetiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang batangnya mengandung zat gula sebagai bahan baku industri gula. Akhir-akhir ini

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Hasil análisis data penelitian dari masing-masing parameter adalah sebagai berikut: a. Hasil Analisis Kandungan Tabel 1. Tandan Kosong Kelapa Sawit *) Parameter

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Lebih terperinci