BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit tumbuh baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah, yaitu di sepanjang garis khatulistiwa antara 23,5o LU-23,5o LS, memiliki curah hujan mm/tahun merata di sepanjang tahun dengan bulan kering tidak lebih dari 3 bulan, memiliki suhu 22-23oC, dan kelembaban 5090%, dataran berada di atas 400 m dan matahari bersinar sepanjang tahun dengan minimal 5 jam/hari (PPKS, 2003). Kelapa sawit memiliki waktu tumbuh yang panjang, kira-kira hingga 30 tahun. Secara morfologi umur tanaman bisa diketahui dari perubahan daun, batang, akar, bunga dan buah. Daun pada tanaman sawit tersusun secara spiral dari titik tumbuh. Setiap primordium daun terpisah dari primordium sebelumnya pada spiral genetik berdasarkan suatu sudut, yaitu sudut divergen yang besarnya 137,5o. Susunan spiral mengikuti deret Fibonacci, yaitu 1:1:2:3:5:8:13:21 dan seterusnya, dimana setiap angka pada susunan spiral merupakan penjumlahan dari dua angka sebelumnya. Pada batang kelapa sawit dewasa, susunan kelipatan 8 daun umumnya bias ditemui, tetapi kelipatan 5, 13, dan 21 juga dapat dijumpai. Luas daun tanaman sawit meningkat secara progresif pada umur sekitar 8-10 tahun setelah tanam. Biasanya luas daun pada umur yang sama beragam dari satu daerah ke daerah lain, tergantung dari faktor-faktor seperti kesuburan dan kelembaban tanah serta tingkat stress air (Pahan, 2006). Pada batang tanaman sawit, penebalan dan pembesaran batang terjadi karena aktivitas penebalan meristem primer yang terletak di bawah meristem pucuk dan ketiak daun. Pada tahun pertama atau kedua, pertumbuhan membesar terlihat sekali pada bagian pangkal, dimana diameter batang bisa mencapai 60 cm. Setelah itu batang akan mengecil biasanya hanya berdiameter 40 cm, tetapi pertumbuhan tingginya menjadi lebih cepat. Umumnya, pertambahan tinggi batang bisa mencapai 35-75cm/tahun, tergantung pada keadaan lingkungan tumbuh dan keragaman genetik (Pahan, 2006).

2 5 Dari sisi produksi, pada umumnya tanaman sawit sudah menghasilkan buah pada usia tiga tahun setelah tanam. Kelapa sawit akan berproduksi maksimal pada usia 8-14 tahun. Setelah itu akan menurun. Jumlah produksi per hektar per tahun dipengaruhi oleh kesesuaian lahan dan kondisi lingkungan yang favorable. Secara umum, temperatur tahunan, ketersediaan air, dan retensi hara menjadi faktor yang banyak menentukan tingkat produksi. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan RI (2009), luas areal perkebunan kelapa sawit pada level nasional sebesar 7 juta ha dengan perkiraan produksi sebesar 18,5 juta ton. Ada peningkatan luas areal rata-rata sebesar 2% setiap tahunnya dengan peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 2,9%. Sentra produksi minyak sawit Indonesia terutama berasal dari tujuh provinsi yang memberikan kontribusi sebesar 81,80% terhadap produksi minyak sawit Indonesia. Provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan provinsi sentra produksi terbesar yang berkontribusi masing-masing sebesar 28,52% dan 17,77%, disusul berturut-turut provinsi Sumsel, Kalteng, Jambi, Kalbar dan Sumbar masingmasing sebesar 10,19%, 7,92%, 7,04%, 5,44%, dan 4,94%. 2.2 Sistem Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah suatu ilmu untuk memperoleh informasi tentang objek (permukaan bumi dan perairan) atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh pada jarak tertentu tanpa kontak langsung dengan objek melalui pengukuran reflektansi ataupun emisi objek dengan gelombang elektromagnetik (Lillesand dan Kiefer, 1979 ). Secara garis besar, penginderaan jauh dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) sistem data fotografik (pictorial) yang menghasilkan gambar berbentuk foto atau yang dikenal dengan foto udara dan memakai waha pesawat terbang, dan 2) sistem data numerik adalah sistem yang umumnya menggunakan wahana satelit, dimana hasil yang direkam merupakan data digital berbentuk angka. Angka-angka tersebut diterjemahkan oleh komputer agar dapat ditampilkan sebagai gambar.

3 6 Komponen Utama Sistem Penginderaan jauh Pada dasarnya komponen utama sistem penginderaan jauh meliputi: wahana, sensor, sumber energi, interaksi antara energi dan obyek, sistem pengolahan data dan aplikasinya (Gambar 1). Gambar 1 Komponen Utama Sistem Penginderaan Jauh (Sumber: Sutanto, 1986) Wahana Sistem satelit dalam penginderaan jauh tersusun atas pemindai (scanner) dengan dilengkapi sensor pada wahana (platform) satelit, dan sensor tersebut dilengkapi oleh detektor. Ada banyak wahana yang digunakan untuk penginderaan jauh, antara lain, satelit, pesawat udara, pesawat ultralight, pesawat aeromodelling, balon udara, atau bahkan layang-layang. Dalam pembahasan berikutnya, wahana yang dikaji hanya khusus satelit untuk penginderaan jauh. Berdasarkan cara mengorbitnya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu: a. Satelit geostasioner, satelit ini mengorbit pada ketinggian sekitar km dari bumi pada posisi tetap di atas suatu wilayah tertentu. Orbit ini disebut juga sinkron bumi (geosynchronous). Pada umumnya satelit cuaca merupakan satelit geostasioner, misalnya satelit (Geosynchronous Meteorological Satellite). GOES, Meteosat, dan GMS

4 7 b. Satelit sinkron matahari yang mengorbit bumi dengan melintas dekat kutub dan memotong arah rotasi bumi. Orbit sinkron matahari adalah orbit yang mengkombinasikan ketinggian dan inklinasi (kemiringan) sedemikian rupa sehingga satelit tersebut melintas di atas titik tertentu dari permukaanbumi pada waktu matahari lokal (local solar time) sama. Orbit tersebut dapat menempatkan satelit pada cahaya matahari yang konstan, dan keadaan ini menguntungkan bagi satelit penginderaan jauh, satelit mata-mata, maupun satelit cuaca. Karena itu, umumnya satelit penginderaan jauh termasuk dalam kelompok ini, misalnya Landsat, SPOT, dan ERS. Ketinggian satelit ini sekitar km. Sensor Sensor adalah alat perekam energi elektromagnetik yang datang dari obyek. Namun, setiap sensor mempunyai keterbatasan, sebab tidak ada sensor yang mampu merekam seluruh energi tersebut. Parameter yang menjadi ukuran kemampuan suatu sensor adalah resolusi, yaitu batas kemampuan memisahkan/ mengidentifikasi obyek. Ada lima jenis resolusi yang dikenal dalam penginderaan jauh, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, resolusi temporal, dan resolusi termal. Sensor dapat juga dibedakan atas sensor pasif dan sensor aktif. Sensor pasif mendeteksi pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik dari sumber alam, sedangkan sensor aktif mendeteksi respon pantulan dari obyek yang diradiasi dari sumber energi buatan, seperti radar. Sumber Energi Seluruh sistem penginderaan jauh memerlukan sumber energi. Sumber energi ini dapat berupa sumber energi alami, misalnya matahari, maupun sumber energi buatan. Sumber energi alami digunakan untuk sistem penginderaan jauh pasif, sedangkan sumber energi buatan digunakan untuk sistem penginderaan jauh aktif. Energi yang umumnya digunakan dalam penginderaan jauh adalah energi elektromagnetik.

5

6

7 10 b. Penginderaan jauh inframerah panas: sumber energi adalah energi radian dari obyek itu sendiri sebab setiap obyek dengan temperatur normal akan memancarkan radiasi elektro-magnetik dengan puncak sekitar 10 m. c. Penginderaan jauh gelombang mikro: terbagi atas penginderaan jauh gelombang mikro pasif (radiasi gelombang mikro dipancarkan dari obyek yang dideteksi) dan aktif (mendeteksi koefisien hamburan balik). Interaksi antar Energi dan Obyek Tiap benda mempunyai karakteristik tersendiri dalam menyerap dan memantulkan energi yang diterimanya. Karakteristik ini disebut karakteristik spektral atau tanda-tangan spektral. Obyek yang banyak memantulkan energi elektromagnetik tampak cerah, sedangkan yang banyak menyerap tampak gelap. Suatu obyek memancarkan fluks radian spektral unik tergantung pada temperatur dan sifat emisiviti (pancaran) obyek tersebut. Radiasi ini disebut radiasi termal karena terutama tergantung pada temperatur. Interaksi energi dengan obyek akan menimbulkan tiga hal, yaitu dipantulkan, diserap, atau diteruskan (ditransmisikan). Reflektan adalah perbandingan fluks sinar datang pada permukaan dengan fluks sinar pantulannya. Asumsi dasar dalam penginderaan jauh adalah bahwa reflektan spektral bersifat unik dan berbeda dari satu obyek dengan obyek lain yang berbeda. Pengenalan objek di permukaan bumi didasarkan pada nilai reflektan energi elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek yang direkam oleh sensor. Di permukaan bumi terdapat tiga kelompok objek utama, yaitu vegetasi, tanah, dan air yang masing-masing memancarkan energi elegtromagnetik dengan panjang gelombang tertentu. Sifat-sifat inilah yang dipergunakan oleh poenginderaan jauh untuk mengenali objek-objek atau tipe-tpe penutupan lahan di permukaan bumi (Lillesand dan Kiefer, 1979 ). Gambar 4 memperlihatkan grafik reflektan spektral untuk tanah, vegetasi, dan air

8 Persentase Reflektan E A Keterangan: A = tanah lempung berlumpur B = tanah musk C = vegetasi B D = air sungai keruh C E = air sungai jernih D Panjang Gelombang 2.4 Gambar 4 Reflektan Spektral untuk Tanah, Vegetasi, dan Air (Sumber: Lillesand and Kiefer, 1986) Sistem Pengolahan Data dan Aplikasinya Hasil akhir suatu proses pengolahan penginderaan jauh tergantung pada tujuan dan kebutuhan si pengguna. Sebab itu, pihak pengguna merupakan komponen penting dalam sistem penginderaan jauh. Diterima-tidaknya hasil penginderaan jauh tergantung pada kecermatan, keterpercayaan, dan kesesuaian dengan kebutuhan pengguna. Berbagai aplikasi penginderaan jauh telah meluas keberbagai bidang kajian, antara lain di bidang pemetaan, pertanahan, geologi, kehutanan, pertanian, keteknikan, kelautan, kajian bencana alam, pertambangan, dan sebagainya. 2.3 Citra Landsat 7 Gambar 5 Satelit Landsat 7 (Sumber: Landsat Handbook, 2009)

9 12 Landsat 7 (Gambar 5) dengan sensor ETM+ merupakan turunan dari Thematic Mapper (TM) yang dipasang untuk Landsat 4 dan 5, tetapi lebih terkait erat dengan Enhanced Thematic Mapper (ETM) yang hilang karena Landsat 6 gagal orbit. Desain sensor ETM+ seperti sensor ETM pada Landsat 6 ditambah dua sistem model kalibrasi untuk gangguan radiasi matahari dengan penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik. Sensor ETM+ bekerja pada 3 resolusi, yaitu 30 resolusi meter untuk saluran 1-5, resolusi 60 meter untuk saluran 6, dan resolusi 15 meter untuk saluran 8. Karakteristik instrumen Landsat 7 terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Instrumen Landsat 7 No. Parameter Landsat-7 Keterangan 1 Sensor ETM+ Resolusi Spasial Pankhromatik (PA) 15 m (B8) 2,5 m identik 1: Visible (VIS) 30 m (B1, B2, B3) 5 m identik 1: Near Infrared (NIR) 30 m (B4) 10 m identik 1: Short Infrared (SWIR) 30 m (B5, B7) 20 m identik 1: Thermal Infrared (TIR) 60 m (B6) 30 m identik 1: Ketelitian di lapang - produk standar 250 m - produk ortho - 3 Ukuran frame citra 185 km x 185 km 4 Pemanfaatan: - suberdaya alam ME, MA - mitigasi bencana MA, ME - kartografi MA - urban MA, ME - sumberdaya pesisir ME, MA - - Sumber: Kusumowidagdo (2006) Keterangan: MA= Skala Makro; ME= Skala Menengah Fungsi-fungsi aplikasi dari delapan saluran pada Landsat 7 dapat dilihat pada Tabel 2.

10 13 Tabel 2 Saluran pada Citra Landsat 7 Kisaran Saluran Kegunaan Utama Gelombang (µm) 1 0,45 0,52 Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan. 2 0,52 0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat 3 0,63 0,69 Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil 4 0,76 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. 5 1,55 1,75 Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah. 6 2,08 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal. 7 10,40 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal. 8 Pankromatik Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang Sumber: Lillesand dan Kiefer, 1979 dengan modifikasi. 2.4 Karakterisitik Data Penginderaan Jauh Karakteristik data dalam penginderaan jauh dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu resolusi spektral dan resolusi spasial. Resolusi Spektral adalah banyaknya saluran yang dapat diserap oleh sensor. Semakin banyak saluran yang dapat diserap oleh sensor maka resolusi spektralnya semakin tingi. Resolusi spektral berkaitan langsung dengan kemampuan sensor untuk dapat mengidentifikasi objek. Karakteristik Spektral adalah karakteristik objek dalam berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh air mempunyai sifat banyak menyerap sinar matahari sehingga sinar yang dipantulkan sedikit, sebagai akibatnya maka air akan tampak gelap pada citra.

11 14 Resolusi Spasial adalah kemampuan sensor dalam membedakan dua objek yang jaraknya berdekatan atau jarak minimum antar dua objek yang masih data dibedakan. Dengan kata lain objek yang berjarak lebih kecil dari resolusi spasial akan tampak sebagai objek tunggal pad citra. Karakteristik Spasial adalah karakterisitik objek dalam hubungannya dengan keruangan seperti bentuk, ukuran, bayangan tekstur, pola dan asosiasi. Sebagai contoh pasar yang dikenali berdasarkan bangunan yang besar dengan pola yang teratur yang berjarak rapat satu sama lain, situsnya di tepi jalan, dan berasosiasi dengan tempat parker kendaraan. Resolusi Temporal adalah waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk meliput kembali satu objekyang sama di permukaan bumi. Resolusi temporal yang tinggi berarti satelit hanyamembutuhkan waktu yang singkat untuk mengorbit (memutari) bumi. Karakter spektral dan spasial digunakan untuk mengenali objek yang tergambar pada citra. Proses pengenalan kenampakan pada citra disebut sebagai proses interpretasi citra. Pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua proses, yaitu pengenalan objek pada citra dan proses analisis-klasifikasi-sintesis untuk menentukan keteraturan atau pola keterkaitan antar unsur lingkungan. 2.5 Karakteristik Spektral Vegetasi Daun tanaman memantulkan, menyerap, meneruskan, dan memancarkan sinar yang diterima dari sinar matahari. Banyaknya sinar yang dipantulkan ditentukan oleh kuatnya sinar matahari, banyaknya sinar yang diserap, dan dipancarkan kembali. Pada panjang gelombang tampak (0,4-0,7 µm) pigmentasi mendominasi tanggapan spektral dari tumbuhan, keberadaan klorofil sangat penting pada panjang gelombang ini. Pantulan (reflektansi) dan pemancaran sinar matahari pada saluran biru (0,4-0,5 µm) dan merah (0,6-0,7 µm) relatif rendah, karena kandungan klorofil pada daun menyerap energi paling tinggi pada panjang gelombang 0,45 µm dan 0,65 µm (Rambe, 1989). Pada panjang gelombang inframerah, pantulan meningkat sangat cepat (pada 0.8 µm dan tetap tinggi sampai 1,3 µm). Pantulan tinggi berkaitan dengan

12 15 kenyataan bahwa pada panjang gelombang ini serapan klorofil daun sangat kecil, sedangkan struktur internal daun lebih berperan dalam pertambahan pantulan. Pada saluran spektral 1,2-2,3 µm (inframerah dekat), struktur internal daun kurang berperan memberikan informasi kandungan air dalam jaringan daun. Pada saluran spektral 1,4 µm, 1,95 µm, dan 2,6 µm pantulan menjadi rendah sesusai dengan saluran serapan air yang utama. Saluran spektral 2,5-2,6 µm (inframerah jauh) daun menunjukkan serapan radiasi lama persentase yang lebih tinggi lagi sekitar 15% dari jumlah energi yang terserap diteruskan, dan sekitar 25% dihamburkan. Pada julat gelombang inframerah jauh ini terjadi pantulan yang rendah. 2.6 Image Enhancement Didefinisikan sebagai suatu teknik untuk meningkatkan kualitas gambar atau citra sehinga menjadi lebih baik dan lebih mudah untuk diidentifikasi atau diinterpretasi kenampakan objek yang ada pada citra. Tipe penajaman citra meliputi perentangan kontras, konversi histogram, komposit citra, dan fusi data (ERDAS, 1999). Perentangan Kontras Perentangan kontras dapat diformulasikan dengan hubungan sistematis y= f(x) dimana x adalah data asli dan y adalah data luaran. Secara garis besar ada dua tipe perentangan, yaitu linier dan nonlinier seperti pada Gambar 6. Perentangan linier menggunakan hubungan sistematis y= ax+b dimana a dan b merupakan konstanta, sedangkan perentangan nonlinier ada beberapa macam diantaranya fold convertion, saw convertion, continuous function. Fold convertion merupakan perentangan kontras mengikuti kurva multiple liner. Perentangan ini menguntungkan karena perentangan kontras dapat dilakukan dengan bagian per bagian sesuai dengan nilai spektral yang diinginkan untuk dipertajam/direntang. Saw convertion hampir sama dengan fold convertion, tetapi perentangannya tidak kontinyu. Perentangan dengn continuous eksponesial, logaritmik, dan polinomial. function menggunakan fungsi

13 16 Gambar 6 Hasil Proses Perentangan Kontras (Sumber: Jensen,1986) Konversi Histogram Konversi histogram bertujuan untuk melakukan perentangan kontras dengan cara mengubah bentuk histogram nilai spektal citra asli menjadi histogram baru sehinga menghasilkan citra data gambar yang lebih jelas. Teknik yang biasa digunakan adalah histogram equalization dan histogram normalization. Histogram equalization adalah teknik mengkonversi histogram citra asli menjadi histogram yang terdistribusi merata. Sedangkan histogram normalization menghasilkan histogram yang terdistribusi normal. Proses konversi histogram ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7 Hasil Konversi Histogram dalam Penginderaan Jauh (Sumber:

14 17 Komposit Citra Komposit citra dibuat untuk mendapatkan tampilan visual citra yang optimal untuk identifikasi lahan dengan tujuan menonjolkan detail bentuk kenampakan dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman. Guna menampilkan citra komposit warna ke layar monitor hanya diperlukan tiga saluran, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam layer merah (Red), hijau (Green), dan biru (Blue). Ketiga layer ini merupakan warna dasar bagi pembentukan warna yang dapat dilihat monitor. Jika masing-masing saluran menggunakan resolusi radiometrik 8 bit, berarti tiap saluran mempunyai jumlah maksimum 256 tingkat keabuan, maka kombinasi dari ketiga layer tersebut dapat menghasilkan 2563 warna. Komposit warna dapat dilakukan dengan melakukan pemilihan kombinasi saluran terbaik dengan parameter Optimum Index Factor (OIF) yang dikembangkan oleh Chaves et al. (1982, dalam Jensen, 1986). Cara ini meranking kombinasi tiga saluran spektral yang dapat dibuat dari citra multispektral. Nilai OIF secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standar deviasi nilainilai spektral pada tiga saluran dengan jumlah nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga saluran. Untuk memperoleh nilai OIF maka digunakan persamaan sebagai berikut: Keterangan: Sk = ( ) = Standar deviasi nilai-nilai spektral pada saluran Abs (rj) = Nilai absolut koefisien antara tiap dua dari tiga saluran Dari perhitungan nilai OIF akan terdapat banyak kombinasi yang kemudian ditentukan urutan nilai OIF. Nilai OIF tertinggi akan dipilih sebagai kombinasi saluran terbaik. Dari kombinasi saluran terbaik tersebut selanjutnya akan dilakukan kombinasi kembali, yaitu dengan cara membolak-balik urutannya sehingga akan didapatkan 6 kombinasi baru. Keenam kombinasi tersebut bisa

15 18 berbeda dalam warna, namun jumlah urutannya akan tetap sama, sehingga pengubahan susunan kombinasi tidak akan mengubah kedetilan informasi. Fusi Data Untuk mempertajam informasi spektral dan spasial, maka dilakukan fusi data yang merupakan penggabungan citra dengan informasi spektral dan informasi spasial. Fusi multispektral adalah penggabungan kombinasi antar saluran yang memiliki resolusi spektral yang berbeda dan resolusi spasial yang sama. Dalam citra Landsat 7 saluran yang digunakan adalah saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m, dan saluran 8 yang memiliki resolusi spasial 15 m. Saluran 6 tidak digunakan dalam fusi karena memiliki resolusi spasial yang berbeda, yaitu 60 m. Fusi spasial merupakan penggabungan saluran-saluran yang memiliki resolusi spasial berbeda. Pada Landsat 7 dilakukan penggabungan antara citra multispektral (saluran 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) yang memiliki resolusi spasial 30 m dengan pankromatik (saluran 8) yang memiliki resolusi spasial 15 m, sehingga hasil akhirnya akan didapatkan citra baru yang memiliki resolusi spasial 15 m. Fusi multispasial dilakukan dengan menggunakan kombinasi saluran yang sudah terpilih. Berbagai teknik fusi data yang dikenal adalah Principal Component, Multiplicative, dan Brovey Transform (ERDAS, 1999). Principal Component. Teknik ini mentransformasikan data multispektral menjadi komponen utama (PC) 1,2,,n dimana PC1 mempunyai informasi paling banyak, dan berkurang sampai PCn. Fusi data dengan komponen utama digunakan dengan langkah sebagai berikut: PC1 diganti dengan data yang mempunyai informasi tekstur, kemudian ditransformasikan balik menjadi saluran semula. Multiplicative. Pada suatu kombinasi warna RGB (542) dengan intensitas dari saluran pankromatik dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: dari domain RGB (542) ditransformasikan ke domain HIS (542). Intensitas hasil transformasi diganti dengan saluran pankromatik, sehingga menjadi I(Pan)HIS(542). I(Pan)HIS(542) ditransformasikan balik menjadi RGB yang merupakan hasil dari gabungan saluran 542 dengan intensitas dari pankromatik.

16 19 Brovey Transform. Teknik baik digunakan untuk mempertajam kenampakan air, dan menampilkan daratan dengan lebih alami. Jika kombinasi saluran RGB (542) digabung dengan saluran pakromatik, maka Brovey Transform: RED : B5/(B2+B4+B5)*Pan GREEN : B4/(B2+B4+B5)*Pan BLUE : B2/(B2+B4+B5)*Pan Data Landsat 7 saluran 1-5, dan 7 dengan resolusi spasial 30x30 meter digabungkan dengan Landsat saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15x15 meter akan memperjelas kenampakan visual, dimana kesan warna didapat dari data Landsat multispektral, sedangkan kesan tekstur diambil dari data Landsat saluran pankromatik. 2.7 Interpretasi Citra Interpretasi citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya (Howard, 1991 ). Dari interpretasi citra dapat diperoleh informasi kualitatif dan kuantitatif dari sebuah citra melaui pengenalan bentuk, lokasi, tekstur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar objek yang ada, dan lain-lain dengan mengunakan pengetahuan dan pengalaman manusia. Beberapa elemen yang paling banyak digunakan dalam interpretasi citra adalah ukuran, bentuk, bayangan, rona, warna, teksktur, pola, dan asosiasi. Rona adalah ukuran relatif cerah gelapnya suatu citra yang mencerminkan ukuran banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh suatu objek dan direkam oleh sensor hitam putih. Misalnya pasir kering akan terefleksi menjadi putih, sedangkan pasir basah akan terefleksi menjadi hitam. Warna penting untuk mengidentifikasi benda-benda yang rumit. Misalnya jenis tumbuh-tumbuhan dan spesies dapat lebih mudah dibedakan dengan memperjelas warna.

17 20 Tekstur adalah derajat kekasaran atau kehalusan yang ditunjukkan oleh suatu kenampakan pada citra. Misalnya padang rumput yang sejenis akan memperlihatkan sebuah tekstur yang halus, hutan pinus akan memperlihatkan tekstur yang kasar. Pola adalah susunan ruang yang teratur mengenai kenampakan objek permukaan bumi. Keteraturan bisaanya mengulang bentuk yang sama dengan tetap memperhatikan sebuah objek. Asosiasi adalah kombinasi elemen interpretasi untuk mengidentifikasi sesuatu objek denganbantuan karakeristik geografi, konfigurasi lingkungan atau konteks dari sebuah objek di sekitarnya. Unsur-unsur ini dapat digunakan satu persatu atau secara gabungan. Selain unsur-unsur tersebut, diperlukan pula suatu teknik interpretasi citra, yaitu suatu cara ilmiah dalam metode penginderaan jauh. Cara tersebut antara lain menggunakan data acuan/lapangan, penanganan data, dan penerapan konsep multi, seperti multispektral, multispasial, dan multitemporal. 2.8 Model Estimasi Umur Tanaman Kelapa Sawit McMorrow (2001) mengatakan bahwa tanaman kelapa sawit secara struktur memiliki kemiripan dengan hutan. Kerapatan kanopi pada tanaman yang homogen memudahkan dalam pengenalan ciri spektral (spectral signature). Pembuatan model estimasi umur mengadopsi dari hasil penelitian Kustiyo (2003) yang berjudul Model Estimasi Fase Tumbuh dan Luas Panen Padi Sawah dengan Menggunakan Data Landsat 7. Dalam penelitiannya Kustiyo mengambil sampling area dengan kriteria tertentu dari setiap petak tanaman padi yang sudah diketahui umurnya pada masa vegetatif. Dari setiap sampel tersebut diekstrak rataan digital number (DN). DN tersebut merupakan ciri spektral, sehingga dapat dikorelasikan dengan umur tanaman padi. Parameter indeks vegetasi tidak digunakan dalam penelitian ini. Karena menurut Jansen (2004) bahwa MIRI, RVI dan NDVI tidak berkorelasi dengan umur tanaman sawit. Strategi pembuatan model dilakukan dengan cara mencari hubungan fungsional terbaik antara umur tanaman dengan saluran-saluran citra

18 21 Landsat 7. Korelasi yang digunakan adalah regresi linier ganda yang dirumuskan seperti formula dibawah: y =a0+a1s1+ +ansn Keterangan: y = umur tanaman a1 = koefisien regresi dari saluran ke-i s1 = nilai spektral saluran ke-i n = jumlah saluran y digunakan Pendugaan model terbaik dilakukan bertahap dengan cara mengurangi jumlah saluran yang digunakan satu demi satu (all possible regression method). Pada tahap pertama, umur tanaman dikorelasikan dengan semua saluran multispektral landat 7 yaiu 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Dari 6 saluran, diambil satu saluran untuk dilakukan kombinasi sehingga akan nada 6 kombinasi masingmasing terdiri dari 5 saluran. Dari 6 kombinasi ini dikorelasikan dengan umur tanaman dan diambil kombinasi dengan koefisien korelasi paling besar. Pada tahap kedua kombinasi dari 5 saluran dengan nilai koefisien paling besar diambil satu saluran lagi, sehingga diperoleh 5 kombinasi dimana setiap kombinasi terdiri dari 4 saluran. Masing-masing kombinasi dikorelasikan dengan umur tanaman padi, dan diambil kombinasi dengan nilai koefisien paling besar.

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 7 UNTUK ESTIMASI UMUR TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN VIII CISALAK BARU, BANTEN) YUDI ASWANDI A

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 7 UNTUK ESTIMASI UMUR TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN VIII CISALAK BARU, BANTEN) YUDI ASWANDI A PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 7 UNTUK ESTIMASI UMUR TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN VIII CISALAK BARU, BANTEN) YUDI ASWANDI A1405286 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

Radiasi Elektromagnetik

Radiasi Elektromagnetik Radiasi Elektrmagnetik 3. Radiasi Elektrmagnetik Berangkat dari bahasan kita di atas mengenai kmpnen sistem PJ, energi elektrmagnetik adalah sebuah kmpnen utama dari kebanyakan sistem PJ untuk lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias)

PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:104-109 PENGINDERAAN JAUH DENGAN NILAI INDEKS FAKTOR UNTUK IDENTIFIKASI MANGROVE DI BATAM (Studi Kasus Gugusan Pulau Jandaberhias) Susanto, Wikanti Asriningrum

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan itra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN VEGETASI MENGGUNAKAN ER MAPPER 7.0 (Laporan Peongolahan Citra Satelit)

PENGOLAHAN CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN VEGETASI MENGGUNAKAN ER MAPPER 7.0 (Laporan Peongolahan Citra Satelit) PENGOLAHAN CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN VEGETASI MENGGUNAKAN ER MAPPER 7.0 (Laporan Peongolahan Citra Satelit) Oleh: Arianto Fetrus Silalahi (1215051008) Dedi Yuliansyah (1215051017)

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH Pemahaman Peta Citra 80 5.1. PENDAHULUAN Materi Hasil-Hasil Penginderaan Jauh merupakan materi lanjutan dari materi Pengantar Penginderaan Jauh. Jika pada materi sebelumnya

Lebih terperinci

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi 01. Suatu ilmu atau teknik untuk mengetahui suatu benda, gejala, dan area dan jarak jauh dengan menggunakan alat pengindraan berupa sensor buatan disebut... (A) citra

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH 2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN Danau Rawa Pening, Provinsi Jawa Tengah PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH LI1020010101 PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci