KAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS"

Transkripsi

1 219 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 KAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS ABSTRAK Erfan Andi Hendrajat dan Gunarto Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan Kepiting bakau jenis Scylla spp. mempunyai nilai ekonomis tinggi di kawasan Asia Tenggara, sehingga keberadaannya semakin berkurang akibat penangkapan intensif. Rehabilitasi hutan bakau seperti di kawasan ITP Marana, Maros merupakan suatu cara untuk mengembalikan eksistensi populasi kepiting bakau jenis Scylla spp. yang hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan bakau. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan peningkatan jumlah populasi kepiting bakau Scylla spp. di kawasan bakau di ITP Marana dalam kaitannya dengan kegiatan pengelolaannya. Pengamatan kelimpahan kepiting bakau dilakukan mulai bulan April 2012 hingga Maret 2013, setiap bulan selama dua hari berturut-turut (4 kali tangkap) pada puncak pasang tinggi, sampling dilakukan dengan cara menangkap kepiting menggunakan alat tangkap perangkap (rakkang). Lima stasiun penangkapan kepiting di dalam kawasan hutan bakau di ITP Marana ditetapkan berdasarkan perbedaan jarak dari Sungai Marana. Kepiting yang tertangkap diukur panjang dan lebar karapas, bobot total, diidentifikasi hingga spesies berdasarkan ciri morfologinya. Selanjutnya kepiting dilepas kembali ke tambak/kawasan bakau di ITP Marana. Data yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan kepiting dan data jumlah kepiting bakau yang telah ditebar di kawasan tambak hutan bakau Marana baik yang berasal dari hatcheri maupun dari alam. Data kualitas air (salinitas, oksigen terlarut, ph, dan suhu air) di kawasan hutan bakau Marana juga dimonitor setiap bulan sekali. Berdasarkan hasil tangkapan kepiting bakau setiap bulan jumlahnya berfluktuatif dan didominasi oleh S. olivacea dan S. serrata (April-Desember 2012) dengan ukuran bobot/ekor berkisar g. Namun setelah terjadi banjir pada awal Januari 2013, S. serrata lebih dominan tertangkap dari pada S. Olivacea pada bulan Februari-Maret Jumlah hasil tangkapan rakkang di hutan bakau ITP marana relatif lebih tinggi dari hutan bakau lainnya yakni 2,32 ind. kepiting/rakkang/hari. Hal ini karena adanya Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, kegiatan pembenihan yang produksinya langsung ditebar di tambak, serta kegiatan pemacuan stok kepiting bakau menyebabkan terjadinya peningkatan populasi kepiting bakau di kawasan tersebut. KATA KUNCI: kepiting bakau, Scylla spp, hutan bakau, rehabilitasi, ITP Marana PENDAHULUAN Kepiting bakau jenis Scylla spp. secara alami tersebar di perairan kawasan Indo Pasifik (Keenan, 1998). Di Asia Tenggara kepiting tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga banyak ditangkap untuk diperdagangkan baik untuk konsumsi dalam negeri, maupun ekspor. Di Indonesia, kepiting hasil tangkapan tersebut terdiri atas ukuran kecil g digunakan untuk bibit pada budidaya pembesaran di tambak, ukuran g untuk industri produksi kepiting cangkang lunak. Sedangkan untuk ukuran g digunakan untuk pembesaran dan produksi kepiting bertelur atau penggemukan. Dengan demikian sebenarnya industri hilir budidaya kepiting bakau di Indonesia telah berkembang, namun industri hulunya, yaitu produksi benih dari panti benih belum berhasil dengan baik, di mana pasok benih untuk budidaya sampai saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Hal tersebut menyebabkan semakin hari populasi kepiting bakau di alam semakin berkurang akibat tangkap lebih seperti yang terjadi di perairan muara Sungai Cenranae Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Gunarto et al., 1999). Sementara upaya produksi benih kepiting dari hatcheri masih dalam taraf penelitian dan produksinya masih berfluktuatif. Dengan demikian sebagai alternatif lain dalam upaya penyediaan benih kepiting bakau dilakukan dengan cara peningkatan stok secara alami dan harus digiatkan terutama di kawasan mangrove hasil rehabilitasi (Walton et al., 2007; Lewis et al., 2008).

2 Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 220 Penanaman kembali/rehabilitasi kawasan mangrove telah dilakukan di kawasan tambak ITP Marana dan pada saat ini tanaman bakau telah berumur 18 tahun. Dengan umur tersebut menurut Macintosh et al. (2002), organisme yang hidupnya berasosiasi dengan mangrove telah nampak pulih kembali melalui proses penambahan atau kolonisasi. Untuk mempelajari peningkatan stok, hal yang pertama harus diketahui adalah data awal hasil tangkapan kepiting bakau di daerah mangrove yang terpilih untuk peningkatan stok dan juga pemilihan spesies yang tepat untuk peningkatan stok kepiting bakau di lokasi tersebut yang telah ditentukan. Menurut Lewis et al. (2008), untuk mempelajari peningkatan stok kepiting bakau di mana benihnya dari hatcheri, maka harus dilakukan pendekatan multi disiplin di antaranya dinamika populasi, genetika stok alami kepiting yang ada, interaksi kepiting yang distoking dengan habitat yang baru ditempati, kesehatan benih yang dihasilkan dari hatcheri, dan monitoring keberhasilan lepas tangkap kepiting. Adanya informasi hasil penelitian yang detail mengenai kelimpahan, pergerakan, pertumbuhan, mortalitas alami dari kepiting yang telah dilepas juga sangat diperlukan. Telah diketahui terdapat empat spesies kepiting bakau yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain (Keenan, 1998). Menurut Lewis et al. (2008), kepiting bakau S. olivacea sangat cocok untuk upaya peningkatan stok karena pada umumnya habitatnya di lubang-lubang dalam kawasan mangrove, sedangkan S. paramamosain dan S. serrata habitatnya lebih luas tidak hanya di mangrove tetapi juga pergerakannya lebih luas hingga ke laut. Kelimpahan kepiting bakau di mangrove hasil rehabilitasi bervariasi. Walton et al. (2006) mengestimasi sebanyak ind./ha, sedangkan Lebata et al. (2007) mengestimasi populasi kepiting bakau di mangrove hasil rehabilitasi di Naisud dan Bugtong Bato, Ibajay, Aklan, Filipina hanya sebanyak ind./ha. Hubungan antara kepiting bakau Scylla sp. dan hutan bakau telah diketahui sejak dulu, sehingga rehabilitasi kawasan dengan penanaman tanaman mangrove dimaksudkan untuk menginisiasi pulihnya stok alami fauna yang telah hilang, satu di antaranya adalah kepiting bakau jenis Scylla spp. Kelimpahan kepiting S. olivacea di kawasan mangrove hasil rehabilitasi sebanyak ind./ha adalah sama dengan kelimpahan kepiting bakau di kawasan hutan bakau yang masih sehat (Walton et al., 2007). Chandrasekaran & Natarajan (1994) mendapatkan kepiting bakau dengan ukuran lebar karapas mm banyak didapatkan pada daerah pasang surut di daerah mangrove Pichavaram, India Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi spesies dan peningkatan jumlah populasi kepiting bakau Scylla spp. di kawasan bakau ITP Marana, sebagai dampak adanya kegiatan penelitian pembenihan kepiting bakau, budidaya silfo kultur kepiting bakau di kawasan mangrove, dan upaya peningkatan stok kepiting bakau yang pada akhirnya data tersebut sangat penting dalam pengelolaan kepiting bakau di kawasan hutan bakau hasil rehabilitasi seperti di ITP Marana. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kawasan hutan bakau kurang lebih seluas 10 ha yang terpencar di areal pertambakan Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Lokasi tersebut telah ditetapkan sebagai areal pengelolaan sumberdaya kepiting bakau, di mana berbagai kegiatan penelitian kepiting bakau telah dilakukan di antaranya pembenihan dan pembesaran kepiting bakau di tambak maupun di areal mangrove. Lima stasiun penangkapan kepiting bakau ditetapkan di kawasan bakau terutama di aliran saluran air masuk dari Sungai Marana (Salo Marana) yang memasok air ke pertambakan dan hutan bakau yang ada di ITP Marana (Gambar 1). Di setiap stasiun dipasang rakkang yang merupakan alat tangkap tradisional masing-masing sebanyak 14 unit. Penangkapan dilakukan setiap bulan selama dua hari berturut-turut (4 kali tangkap) pada puncak pasang tinggi dimulai dari bulan April 2012 hingga Maret Pada setiap operasional penangkapan, rakkang diberi umpan berupa potongan ikan non ekonomis, selanjutnya rakkang diletakkan berjejer di saluran dengan jarak antara rakkang sekitar 10 m. Setelah air mulai surut, maka keberadaan kepiting di dalam rakkang diperiksa. Kepiting yang tertangkap dalam rakkang selanjutnya diikat dan dibawa ke laboratorium untuk diukur panjang dan lebar karapas, bobot total, serta jenis kelaminnya. Setelah 4 kali penangkapan (2 hari) selesai, selanjutnya kepiting bakau dilepas kembali ke tambak. Bersamaan dengan waktu penangkapan kepiting bakau juga dilakukan pengambilan data kualitas air (salinitas, oksigen terlarut, suhu air, dan ph air).

3 221 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Jumlah benih kepiting bakau baik yang dari alam (S. serrata) maupun dari hatcheri (S. paramamosain dan S. olivacea) yang telah ditebar/distoking seperti terlihat pada Tabel 1. Total jumlah benih sebanyak individu yang terdiri atas ukuran 0,5-1,0 g (benih hatcheri) dan g (benih alam). Data jumlah kepiting hasil tangkapan di lima stasiun dibandingkan dan dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok, di mana waktu penangkapan (bulan) diasumsikan sebagai kelompok. Data kualitas air dan data penunjang lainnya dianalisis secara deskriptif. Identifikasi spesies kepiting bakau yang tertangkap dengan rakkang berdasarkan bentuk morfologinya (Keenan et al., 1998). Tabel 1. Jumlah kepiting yang distocking di kawasan hutan bakau ITP Marana Sumber benih Waktu tebar Ukuran (g) Jumlah benih kepiting ditebar Tambak Mangrove Jumlah dipanen Benih hatcheri 2011 Jan-Des 0, Benih hatcheri 2012 Jan-Des 0, Benih alam (2012) April Benih alam (2012) Juni Benih alam (2012) Juli Benih hatcheri (2013) Jan-Maret 0, Total hingga Maret Gambar 1. Kawasan hutan bakau hasil rehabilitasi di ITP Marana dengan 5 stasiun penangkapan kepiting bakau HASIL DAN BAHASAN Hasil tangkapan kepiting bakau di hutan bakau hasil rehabilitasi di ITP Marana dari bulan April 2012 hingga Maret 2013 ditunjukkan pada Gambar 1. Pada bulan April hingga Juni jumlah hasil tangkapan masih rendah, tertinggi 8 ind./4 kali tangkap/stasiun. Pada bulan Juli hingga September 2012 jumlah hasil tangkapan meningkat tajam terutama di stasiun 1, 3, dan 5 hingga mencapai ind./4 kali tangkap. Hal ini berkaitan dengan kedekatan lokasi stasiun 1 dengan tempat budidaya kepiting bakau di lahan bakau (Gambar 1). Tempat budidaya kepiting di lahan bakau meskipun dipagari dengan waring hitam, tetapi kepiting masih bisa keluar lokasi tambak bakau dengan cara menggali lubang di bawah pematang dan keluar ke saluran air terdekat. Di stasiun 3 dan 5 lokasinya berdekatan dengan tempat budidaya kepiting bakau hasil pembenihan dan juga berdekatan dengan

4 Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 222 tambak bakau lokasi peningkatan stok kepiting bakau, sehingga hasil tangkapan kepiting bakau di stasiun tersebut relatif tinggi. Pada bulan Oktober hingga November 2012, hasil tangkapan yang paling rendah adalah di stasiun 2. Sedangkan pada bulan Desember 2012 hasil tangkapan kepiting relatif sama di semua stasiun. Hal ini mengindikasikan bahwa kepiting telah terdistribusi merata di seluruh perairan hutan bakau di ITP Marana yang kemungkinan akibat air pasang tinggi. Hill et al. (1982) menyatakan bahwa hutan bakau menyediakan pakan yang cukup untuk kepiting bakau Scylla spp. di antaranya berbagai jenis krustasea, gastropoda, dan bivalvia (Gambar 2). Gambar 2. Populasi kepiting hasil tangkapan di kawasan bakau hasil rehabilitasi di ITP Marana Hasil tangkapan pada bulan Januari 2013, nampak menurun, hal ini akibat terjadi banjir yang merendam daerah hutan bakau di ITP Marana selama 3 hari, sehingga kemungkinan banyak kepiting yang mati atau hanyut terbawa air ke laut. Sedangkan hasil tangkapan bulan Februari hingga Maret nampak mulai mengalami peningkatan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting di stasiun 1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan hasil tangkapan kepiting bakau di stasiun 3 dan 5, tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan hasil tangkapan kepiting di stasiun 4. Hasil tangkapan kepiting bakau di stasiun 2 lebih rendah dan berbeda nyata (P<0,05) dengan hasil tangkapan kepiting di stasiun 1, 3, 4, dan 5. Sedangkan hasil tangkapan kepiting di stasiun 3 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan hasil tangkapan kepiting di stasiun 4 dan stasiun 5. Komposisi dan kelimpahan tiap spesies kepiting bakau hasil tangkapan di setiap stasiun ditunjukkan pada Gambar 3, 4, 5, 6, dan 7. Di stasiun 1, terdapat dua tren puncak hasil penangkapan kepiting yaitu dari bulan April dan puncaknya di bulan Juli dan September sebanyak 24 ind./4 kali tangkap dan 15 ind./4 kali tangkap. Tingginya hasil tangkapan pada bulan Juli 2012 terutama pada stasiun 1 disebabkan posisi stasiun 1 berdekatan dengan lokasi budidaya silfo kultur di mana kepiting dari tambak silfo kultur banyak yang lepas keluar dari tambak setelah masuk bulan ketiga pemeliharaan. Puncak kedua terjadi dari bulan Oktober hingga Maret Jumlah hasil tangkapan tertinggi dijumpai pada bulan Desember 2012 dan Februari 2013 masing-masing sebanyak 14 dan 15 ind./4 kali tangkap. Dominasi spesies kepiting hasil tangkapan adalah S. olivacea dan diikuti oleh spesies S. serrata. S. olivacea merupakan Jenis kepiting asli pantai Barat, Selatan dan Timur Sulawesi Selatan, jenis kepiting ini banyak tertangkap di kawasan mangrove Malili Kabupaten Luwu, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, juga di Kabupaten Maros dan Pangkep. Pada bulan Maret S. serrata mulai menggeser dominasi S. olivacea dan nampak nyata di stasiun 3 dan 4 di mana jumlah hasil tangkapan pada bulan Februari dan Maret 2013 S. serrata lebih banyak dari pada S. olivacea. Di Stasiun 2, tren kepiting hasil tangkapan hampir sama dengan stasiun 1, yaitu puncak tertinggi jumlah kepiting hasil tangkapan diperoleh pada bulan September dan Desember 2012 dengan jumlah hasil tangkapan antara ind./4 kali tangkap. Hasil tangkapan kepiting di stasiun 4 nampak berbeda, di mana puncak tertinggi hasil tangkapan kepiting adalah pada bulan September yang didominasi oleh S. serrata dengan jumlah tangkapan mencapai 13 ind./4 kali tangkap (Tabel 1).

5 223 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Gambar 3. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 1 hutan bakau ITP Marana Gambar 4. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 2 hutan bakau ITP Marana Gambar 5. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 3 hutan bakau ITP Marana Gambar 6. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 4 hutan bakau ITP Marana Gambar 7. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 5 hutan bakau ITP Marana Total hasil tangkapan sebanyak 651 individu selama satu tahun dari bulan April 2012 hingga Maret Penangkapan kepiting tersebut dilakukan pada saat air puncak pasang tinggi dan dilakukan selama dua hari (4 kali tangkap) setiap bulan. Jumlah alat tangkap yang digunakan sebanyak 70 unit. Dengan demikian kepadatan kepiting yang tertangkap rakkang sebanyak 651/70/4 = 2,32 ind. kepiting/rakkang/hari. Jumlah hasil tangkapan tersebut ternyata lebih tinggi dari pada jumlah kepiting yang tertangkap/rakkang/hari di hutan bakau alami (1,89 ind. kepiting/rakkang/hari) ataupun di hutan mangrove hasil rehabilitasi di Filipina (1,71 dan 0,8 ind. kepiting/rakkang/hari) (Walton et al., 2007). Untuk upaya konservasi dan peningkatan produksi kepiting bakau di hutan bakau maka pengetahuan yang perlu diperdalam adalah patologi, ekofisiologi, genetik, dan reproduksinya (Biswaranjan & Chainy, 2012).

6 Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 224 Tabel 2. Jumlah dan jenis kepiting bakau yang tertangkap di hutan bakau ITP Bulan Jumlah S. serrata S. olivacea S. paramamosain Kelimpahan (%) Jumlah Kelimpahan (%) Jumlah Kelimpahan (%) S. transquebarica Jumlah Kelimpahan (%) April 3 17,6 7 41,2 7 41, Mei ,6 1 4, Juni 9 17, , Juli ,6 1 1, Agustus 17 27, , September 29 28, , Oktober 22 36, , ,7 60 Nopember 11 23, , ,2 46 Desember 26 32, , Januari 13 41, , ,2 31 Februari 23 43, , Maret 35 62, , ,8 56 Total Jumlah hasil tangkapan rakkang di hutan bakau ITP Marana relatif lebih tinggi dari hutan bakau lainnya. Hal ini karena adanya beberapa aktivitas penelitian di antaranya pembenihan kepiting yang produksinya langsung ditebar di tambak, meskipun diberi pakan, tetapi tidak pernah dipanen massal. Panen hanya beberapa ekor yang sudah memijah ataupun matang gonad penuh dan selanjutnya ditetaskan di hatcheri. Jumlah kepiting hasil pembenihan dapat dilihat pada Tabel 1. Di samping itu, adanya penelitian budidaya kepiting bakau secara silfo kultur, di mana kepiting ditebar dengan padat tebar 1-5 ekor/m2 dengan total benih ditebar sebanyak ind. Selanjutnya adanya penebaran kepiting untuk peningkatan stok kepiting bakau sebanyak ind. pada lahan mangrove yang dipagari seluas 2,1 ha. Dengan demikian berdasarkan kalkulasi jumlah kepiting bakau yang ditebar di areal mangrove dan tambak ITP Marana sebanyak ind. (Tabel 1). Tabel 3. Panjang dan lebar karapas, serta bobot kepiting yang tertangkap rakkang di hutan bakau ITP Marana Bulan Panjang karapas (mm) Kisaran Lebar arapas (mm) Bobot (g) Jumlah tertangkap Kepiting muda/lebar < 100 mm (%) Kepiting dewasa/lebar > 100 mm (%) April , ,06 52,94 Mei , ,26 21,74 Juni ,86-596, ,69 17,31 Juli ,3-377, ,14 22,86 Agustus ,85 31,15 September ,33 32,67 Oktober , Nopember ,07 13,93 Desember ,11 22,78 Januari ,06 41,93 Februari ,58 26,41 Maret ,07 51,92 Rata-rata 70,62 29,38

7 225 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Jumlah kepiting yang tertangkap rakkang pada waktu sampling setiap bulan ukurannya bervariasi dari tingkat benih hingga induk dewasa baik jantan maupun betina. Berdasarkan persentase maka jumlah kepiting bakau muda selalu lebih banyak tertangkap pada setiap bulan dibanding kepiting ukuran dewasa (lebar karapas > 100 mm). Pada bulan April persentasi kepiting muda maupun kepiting dewasa yang tertangkap agak berimbang yaitu masing-masing 47% dan 53%. Sedangkan pada bulanbulan berikutnya persentase kepiting muda selalu lebih tinggi dari pada kepiting dewasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting bakau yang masuk ke daerah mangrove untuk mencari makan pada saat air pasang adalah didominasi kepiting ukuran kecil dengan lebar karaps < 100 mm. Kepiting seperti krustasea lainnya tidak mempunyai bagian-bagian tubuh yang keras yang dapat digunakan untuk melacak umur, untuk itu metode interpretasi data frekuensi panjang (dalam hal ini lebar karapas) adalah yang paling umum digunakan. Dari analisis pertumbuhan lebar karapas didapat persamaan regresi (Gulland & Holt, 1959 dalam Pauly, 1984) variabel bebas (x) berpengaruh nyata (signifikan) terhadap y (variabel tak bebas). Persamaan regresi: Y= 21,78-2x di mana: Variabel bebas (x)= (Lt+Lt+1)/2 Variabel tak bebas (y)= L/ T Nilai konstanta pertumbuhan (k)=-b =2 Lebar infinity (L oo )= -a/b= 10,89 cm Pendugaan hubungan umur dengan lebar karapas kepiting berdasarkan persamaan Von Bertalanffy (Pauly, 1984): Lt = L oo (1-e -k(t-t0) ) Dengan demikian bentuk persamaan pertumbuhan adalah sebagai berikut: Lt = 10,89 (1-e -2(t-t0) ) Nilai L oo = 10,89 ini lebih rendah dibanding L oo kepiting bakau dari Segara Anakan, Cilacap yaitu sebesar 12,90 cm (Toro, 1982). Hal ini disebabkan lebih banyak kepiting muda (ukuran benih) yang tertangkap di kawasan hutan bakau ITP Marana dengan menggunakan alat tangkap rakkang, selain itu, penelitian ini dilaksanakan pada tahun pertama kegiatan peningkatan stok kepiting bakau di kawasan tersebut. Kondisi lingkungan juga memengaruhi kecepatan pertumbuhan kepiting bakau. Gunarto et al. (1987) melaporkan bahwa laju pertumbuhan kepiting lebih lambat pada kadar garam ppt dibandingkan dengan kadar garam ppt. Kadar garam di kawasan hutan bakau ITP Marana berkisar 0-61 ppt. Jumlah benih kepiting bakau yang digunakan untuk stocking di kawasan bakau seluas sekitar 10 ha sebanyak ind. dengan asumsi harga per Rp 1.000,- maka total dana yang dikeluarkan untuk pengadaan benih sebanyak Rp ,-. Seandainya panen/penangkapan kepiting di areal lahan bakau tersebut dimulai setelah satu tahun dari penebaran dan dilakukan selama 2 hari (4 kali tangkap/bulan) dengan jumlah rakkang sebanyak 70 unit. Dalam satu tahun diperoleh kepiting bakau sebanyak 647 ind. Jumlah tersebut sebanyak 70,62% adalah kepiting muda dengan lebar karapas <100 mm dan bobot < 200 g, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 29,38% merupakan kepiting dewasa dengan lebar karapas > 100 mm dan berjumlah sekitar 187 ind. kepiting atau sekitar 37,4 kg (1kg terdiri atas 5 ind. dengan 200 g) yang bisa langsung dijual dengan harga per kg Rp ,- Rp ,-. Sedangkan sisanya sebanyak 460 ind. kepiting bisa dibesarkan di tambak, atau untuk restocking di kawasan hutan bakau. Apabila panen/penangkapan kepiting bakau dilakukan selama 6 hari (12 kali tangkap/bulan) dalam 2 kali periode pasang, diharapkan bisa diperoleh sebanyak ind./tahun, di mana 112 kg adalah kepiting ukuran konsumsi yang bisa langsung dijual dengan Rp ,- Rp ,- per kilogram. Artinya bahwa setiap bulan hanya diperbolehkan menjual sebanyak 9 kg kepiting

8 Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 226 ukuran konsumsi. Sedangkan kepiting yang ukurannya lebih kecil bisa digemukkan, untuk produksi kepiting cangkang lunak atau dibesarkan di tambak untuk restocking kembali. Hasil pengukuran kualitas air di lahan bakau ITP Marana, Maros dapat dilihat pada Tabel 4. Pada musim hujan terutama pada bulan Januari, salinitas terendah mencapai 0 ppt dijumpai di stasiun 2, sedangkan stasiun lainnya salinitas terendah adalah 2 ppt. Pada musim kemarau (bulan September hingga Desember) salinitas berkisar ppt. Hal tersebut akibat tidak adanya sumber air tawar yang masuk ke pertambakan mangrove di ITP Marana. Kondisi ini menyebabkan banyak kepiting bakau mati akibat gagal ganti kulit. Salinitas yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 15 ppt (Gunarto et al., 1987). Konsentrasi oksigen terlarut di kawasan perairan hutan bakau Marana nampak sangat berfluktuatif di semua stasiun. Hal ini berkaitan dengan proses pembusukan dedaunan mangrove dan adanya pasang surut. Konsentrasi oksigen terendah pada saat air surut pada kisaran 0,4-2,28 mg/l. Sedangkan pada saat air pasang pada kisaran 4,76-8,04 mg/l. Purnamaningtyas & Syam (2010) melaporkan bahwa habitat kepiting di hutan bakau Mayangan, Subang dengan kandungan oksigen 1,94-3,78 mg/l; ph 7,7-8,3; dan salinitas ppt. Kepiting bakau mampu hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen yang rendah, karena kepiting biasanya hidup membenamkan dirinya di lumpur, namun pada saat pergantian kulit biasanya diperlukan konsentrasi oksigen yang tinggi. Kisaran suhu air terluas di perairan hutan bakau Marana dijumpai di stasiun 1 dan 2 yaitu 28,3 C-36,1 C dan 26,6 C-34,9 C. Sedang yang mempunyai kisaran suhu tersempit adalah di stasiun 5 yaitu 28 C-33,9 C. Nilai ph air di semua stasiun berada pada kisaran 7,5-8. Berdasarkan data hasil tangkapan kepiting, maka di stasiun 2 paling sedikit jumlah kepiting bakau yang tertangkap rakkang. Hal ini kemungkinan ada kaitan dengan salinitas dan suhu yang paling rendah dijumpai di stasiun 2. Sedangkan yang paling banyak kepiting tertangkap adalah di stasiun 3 diikuti oleh stasiun 4, 1, dan 5. Tabel 4. Kisaran beberapa parameter kualitas air di kawasan bakau ITP Marana, Maros Parameter Status Salinitas (ppt) DO (mg/l) 0,4-8,04 0,98-5,96 1,89-7,21 2,28-4,76 1,97-7,5 Suhu air ( C) 28,3-36,1 26,6-34,9 27,8-34,9 27,8-33,5 28,0-33,9 ph air 7,5-8,0 7,5-8,0 7,5-8,0 7,5-8,0 7,5-8,0 KESIMPULAN Komposisi jenis kepiting bakau yang tertangkap dengan rakkang di kawasan bakau ITP Marana dengan jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah S. olivacea sebesar 35,7%-82,7%; S. serrata sebesar 13% 62,5%; S. paramamosain sebesar 1,4%-41,2% dan S. tranquebarica sebesar 1,7%-3,2%. Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau menggunakan alat tangkap rakkang di hutan bakau ITP Marana relatif lebih tinggi dibanding hutan bakau lainnya yakni 2,32 ind. kepiting/rakkang/hari. Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, adanya kegiatan pembenihan yang produksinya langsung ditebar di tambak, serta kegiatan pemacuan stok kepiting bakau menyebabkan terjadinya peningkatan populasi kepiting bakau di kawasan tersebut. DAFTAR ACUAN Biswaranjan, P. & Chainy, G.B.N Biology and conservation of the genus Scylla spp. in India subcontinent. J. Environ Biol., 33: Chandrasekaran, V.S. & Natarajan, R Seasonal abundance and distribution of seeds of mud crab Scylla serrata in Pichavaram mangrove, Southeast India. J. Aqua Trop., 9: Gunarto, Mustafa, A., & Suharyanto Pemeliharaan kepiting bakau, Scylla serrata Forskal pada berbagai tingkat kadar garam dalam kondisi laboratorium. J. Penel. Bud. Pantai, 3(2):

9 227 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Gunarto, Daud, R., & Usman Kecenderungan penurunan populasi kepiting bakau di perairan muara sungai Cenranae, Sulawesi Selatan ditinjau dari analisis parameter sumberdaya. J. Pen. Perik. Pantai, 5(3): Hill, B.J., Williams, M.J., & Dutton, P Distribution of juvenile subadult and adult Scylla serrata on tidal flat of Australia. Marine Biology, 69: Keenan, C.P., Davie, P.J.F., & Mann, D.L A revision of the Genus Scylla de Haan, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). Raffles Bull. Zool., 46: Lebata, J.H., Le Vay, L., Primavera, J.H., Walton, M.E.M., & Binas, J.B Population and fisheries of Scylla spp. in the mangrove of Naisud and Bugtong Bato, Ibajay, Aklan, Philiphina. Bull. Mar. Sci., 80: Lewis, L.V., Lebata, J.H., Walton, M.E., Primavera, J., Quinitio, E., Lavilla-Pitogo, C., Parado-Estepa, F., Rodriguez, E., Ut, V. Ng., Truong, T. Ng., Sorgeloos, P., & Wille, M Approaches to stock enhancement in mangrove-associated crab fisheries. Fisheries Science, 16(1-3): Macintosh, D.J., Ashton, E.C., & Havanon, S Mangrove rehabilitation and intertidal biodiversity. A study in Ranong mangrove ecosystem, Thailand. Estuar. Coast. Shelf Sci., 55: Pauly, D Some simple method for the assessment of tropical fish stock. FAO of the United Rome. Purnamaningtyas, E. & Syam, A Kajian kualitas air dalam mendukung pemacuan stok kepiting bakau di Mayangan Subang, Jawa Barat. Limnotek, 17(1): Toro, A.V Pengamatan segi-segi biologi kepiting bakau (Scylla serrata Forskall) di perairan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Stasiun Penelitian Oseanologi Pulau Pari. LON- LIPI. Jakarta, 23 hlm. Walton, M.E., Le Vay, L., Lebata, J.H., Binas, J., & Primavera, J.H Seasonal abundance, distribution, and reqruitment of mud crab (Scylla spp.) in replanted mangrove. Est. Coast. Shelf Sci., 66: Walton, M.E., Le Vay, L., Lebata, J.H., Binas, J., & Primavera, J.H Replanting of mangroves restores mud crab Scylla olivacea populations in mangrove rehabilitation efforts. Panay island, Philipphina. Biological Conservation, 138: Williams, M.J. & Primavera, J.H Choosing tropical Portunid species for culture, domestication and stock enhancement in the Indo-Pacific. Asian Fisheries Science, 14:

10 Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 228 DISKUSI Nama Penanya: Pertanyaan: Tanggapan: Pak Jojo Banyak bidang terkait genetik, apakah yang lain ikut terlibat? Apakah ada faktor lain yang menurunnya populasi/predator/hama? Kami berharap ada rekan-rekan untuk terlibat dalam penelitian ini, dari peneliti belum ada Hamanya adalah kepiting itu sendiri (kanibal) dan biawak dan juga manusia/ pencuri. Faktor faktor lain belum ada

PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU

PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU MAROS, 10 MEI 2016 SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

ANALISIS BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SUKOLILO, PANTAI TIMUR SURABAYA

ANALISIS BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SUKOLILO, PANTAI TIMUR SURABAYA ANALISIS BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SUKOLILO, PANTAI TIMUR SURABAYA Yusrudin Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Dr. Soetomo Surabaya E-mail: yusrudin2@gmail.com

Lebih terperinci

BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU

BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador, 1949) Scylla olivacea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

Analisis Parameter Dinamika Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara

Analisis Parameter Dinamika Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 1, Juni 2013 Analisis Parameter Dinamika Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Srirahayu

Lebih terperinci

TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK

TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK 1117 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 ABSTRAK TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK Burhanuddin Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka

Lebih terperinci

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 Kajian Karakteristik Biometrika Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang, Studi kasus di Desa Mojo Kecamatan Ulujami Biometrical Characteristic Study of Mudcrab

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA 1233 Pertumbuhan calon induk ikan beronang Siganus guttatus... (Samuel Lante) PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA ABSTRAK Samuel

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya RINGKASAN MISWAR BUDI MULYA. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Rutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara 1. Kondisi Goegrafis Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Gorontalo dengan luas yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara produksi udang terbesar di dunia, namun produksi tambak udang di Indonesia sejak tahun 1992 mengalami penurunan. Peristiwa penurunan produksi

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS KEPITING BAKAU, Scylla tranquebarica Fabricius, 1798 DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT pms-04 Agus A. Sentosa* dan Amran R. Syam Balai Penelitian Pemulihan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA 419 Pendederan ikan beronang dengan ukuran tubuh benih... (Samuel Lante) ABSTRAK PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA Samuel Lante, Noor Bimo Adhiyudanto,

Lebih terperinci

LAJU EKSPLOITASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE MAYANGAN, SUBANG JAWA BARAT

LAJU EKSPLOITASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE MAYANGAN, SUBANG JAWA BARAT LAJU EKSPLOITASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE MAYANGAN, SUBANG JAWA BARAT ABSTRAK Amran Ronny Syam 1), Suwarso 2) dan Sri Endah Purnamaningtyas 1) 1) Peneliti pada Balai Riset Pemulihan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau 19 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011 pada kawasan mangrove di Desa Tongke-Tongke dan Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

SERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA

SERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA 185 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 214 SERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA ABSTRAK Sahabuddin, Andi Sahrijanna, dan Machluddin

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik : PENANGKAPAN DAN DISTRIBUSI HIU (APPENDIX II CITES) OLEH NELAYAN RAWAI DI PERAIRAN SELATAN TIMOR CATCH AND DISTRIBUTION OF SHARKS (APPENDIX II CITES) BY LONGLINE FISHERMEN IN SOUTH WATER OF TIMOR Oleh :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Kepiting bakau (Scylla serrata) pada banyak temapat dalam wilayah Indo-Pasifik dikenal dengan berbagai nama. Di Jawa masyarakat mengenalnya dengan nama Kepiting

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA 853 Upaya peningkatan produksi pada budidaya... (Gunarto) UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA ABSTRAK Gunarto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove

Lebih terperinci

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT 1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea

PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea 281 Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva... (Gunarto) PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea ABSTRAK Gunarto dan Aan Fibro Widodo Balai Penelitian

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA

PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA 41 Pentokolan udang windu siste hapa... (Erfan Andi Hendrajat) PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA ABSTRAK Erfan Andi Hendrajat dan Brata Pantjara Balai Penelitian

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Maya Ekaningtyas dan Ardiansyah Abstrak: Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah salah satu jenis ikan yang banyak di konsumsi oleh masyarakat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian. Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian Perlakuan A B C Ulangan L P (gr/hari) L K (cm) P K (cm) L P (gr/hari) L K

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perairan pantai Indonesia yang cukup luas adalah merupakan

I. PENDAHULUAN. Potensi perairan pantai Indonesia yang cukup luas adalah merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi perairan pantai Indonesia yang cukup luas adalah merupakan salah satu peluang untuk kegiatan budidaya tambak baik yang dilakukan secara tradisional maupun intensif.

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Bimafika, 2010, 2, 114-121 ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Tahir Tuasikal*) Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon Diterima 15-04-10;

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau besar dan pulau kecil, serta garis pantai sepanjang 81.000 km yang didalamnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE)

TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE) Abstrak TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE) Johan Danu Prasetya, Ita Widowati dan Jusup Suprijanto Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain

PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain 387 Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting... PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain Gunarto, Aan Fibro Widodo, dan Herlinah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA

PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA 169 Pembesaran kepiting bakau di tambak... (Herlinah) PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA Herlinah, Sulaeman, dan Andi Tenriulo ABSTRAK Balai Riset Perikanan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober 2011 sampai 18 Desember 2011 selama 42 hari masa pemeliharaan di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie

Lebih terperinci

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU Nurlaila Ervina Herliany, Zamdial Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011

Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011 SEBARAN TEMPORAL KONDISI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT BP-03 Agus Arifin Sentosa dan Amran Ronny Syam Staf peneliti pada Balai Riset Pemulihan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut: BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama ± 2 bulan yang dimulai dari Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012, yang berlokasi di Kecamatan Kwandang. Peta lokasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA

EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA 869 Efisiensi penggunaan plankton untuk pembenihan... (Suko Ismi) EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA ABSTRAK Suko Ismi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anonimus Data Administratif Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.

DAFTAR PUSTAKA. Anonimus Data Administratif Kecamatan Medan Belawan Kota Medan. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2001. Peraturan Pemerintah No. 82/KEPPRES/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. 3 halaman. Anonimus. 2011. Data Administratif Kecamatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove adalah kawasan hutan yang terdapat di daerah pasang surut. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958 dalam Supriharyono, 2007). Menurut

Lebih terperinci

SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI PERAIRAN KARANGANTU SERANG BANTEN

SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI PERAIRAN KARANGANTU SERANG BANTEN Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2014 Vol. 3 No.1 Hal : 47-54 ISSN 2302-6308 Available online at: http://umbidharma.org/jipp SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI PERAIRAN KARANGANTU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING

PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING 1297 Pengangkutan krablet kepiting bakau sistem kering (Muhamad Yamin) PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING ABSTRAK Muhamad Yamin *) dan Sulaeman **) *) Balai Riset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK 729 Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang... (Gunarto) PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK Gunarto dan Abdul Mansyur ABSTRAK Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09 KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM :11.12.5999 KELAS : S1-SI-09 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Karya ilmiah ini berjudul BISNIS DAN BUDIDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

POTENSI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA TARAKAN, PROPINSI KALIMANTAN UTARA. Natanael 1), Dhimas Wiharyanto 2)

POTENSI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA TARAKAN, PROPINSI KALIMANTAN UTARA. Natanael 1), Dhimas Wiharyanto 2) Potensi Sumberdaya Kepiting Bakau (Natanael dan Dhimas Wiharyanto) POTENSI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA TARAKAN, PROPINSI KALIMANTAN UTARA Natanael 1), Dhimas Wiharyanto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

Utara, (  Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE TERHADAP KELIMPAHAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI DESA TANJUNG REJO KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI SUMATERA UTARA (The Relationship of Mangrove

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan

Lebih terperinci

Studi Morfometri dan Tingkat Kematangan Telur Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Perairan Demak

Studi Morfometri dan Tingkat Kematangan Telur Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Perairan Demak ISSN 0853-7291 Studi Morfometri dan Tingkat Kematangan Telur Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Perairan Demak Edi Wibowo*, Suryono, R. Ario, Ali Ridlo dan Dodik S. Wicaksono Departemen Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak. Latar belakang. rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia.

PENDAHULUAN. serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak. Latar belakang. rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia. PENDAHULUAN Latar belakang Estuaria merupakan salah satu bentuk dari ekosistem lahan basah yang - luasnya di Indonesia mencapai 38 juta ha (Wetland Indonesia. 1996). Kawasan- kawasan lahan basah (termasuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG SS Oleh: Ennike Gusti Rahmi 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA ABSTRAK

ANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA ABSTRAK ANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA Annita Sari 1 1 Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Uniyap ABSTRAK Ikan

Lebih terperinci

WAhaNa berita Mangrove INdonesiA WAhaNa berita Mangrove INdonesiA

WAhaNa berita Mangrove INdonesiA WAhaNa berita Mangrove INdonesiA Gambar 1. Perubahan bentang lahan di kawasan pantai bagian utara Banda Aceh (atas) dan kawasan pantai bagian barat Aceh Jaya (bawah) akibat gempa dan tsunami 26 Desember 2004 WANAMINA 2 WAhaNa berita Mangrove

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ARTIKEL ILMIAH STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR OLEH ASMARIYA NIM A1C412039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci