BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini permintaan minyak bumi semakin meningkat sehingga berbagai perusahaan minyak berupaya meningkatkan hasil produksinya. Salah satunya adalah PT. Pertamina EP Region Jawa Area Cepu yang merupakan perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Wilayah PT. Pertamina EP terbagi atas dua Distrik yaitu Distrik I meliputi wilayah Kawengan dan Wonocolo dan Distrik II yang meliputi wilayah Ledok, Nglobo, Banyuasin, dan Semanggi. Pada tiap Distrik terdapat sistem penampungan produksi. Sistem penampungan merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan kegiatan menampung gross oil yang telah dieksploitasi. Gross oil yang telah dipompa pertama kali dialirkan ke tempat penampungan sementara yaitu Stasiun Pengumpul (SP) kemudian dialirkan lagi ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan ke Pusat Penampungan Produksi (PPP) Menggung yang terletak di kecamatan Cepu. Pusat Penampungan Produksi (PPP) merupakan tangki penyimpanan minyak akhir di kawasan Cepu sebelum dibawa ke kilang minyak. Sifat crude oil yang mudah terbakar memerlukan perhatian dan biaya yang tinggi pada tangki karena bila terjadi kegagalan akan menyebabkan hilang atau berkurangnya kapasitas pemuatan minyak dan dapat membahayakan keselamatan umum serta merusak lingkungan. Oleh karena itu tangki-tangki tersebut diperlukan pemeliharaan untuk menjamin berlangsungnya suatu operasi sehingga kegagalan seperti kebocoran akibat korosi dan design yang tidak sesuai dapat diminimalkan. Korosi merupakan proses alam yang tidak dapat dicegah tetapi dengan teknologi anti korosi dapat dikendalikan sehingga kerugian yang timbul akibat korosi dapat dikurangi (Bushman,1994). Tangki penyimpanan PPP mempunyai resiko tinggi jika terjadi kebocoran karena terdapat 6 buah dengan ketinggian rata-rata 11meter serta lokasi yang dekat dengan penduduk sehingga mengakibatkan kebakaran dan

2 kerusakan lingkungan dimana bahan yang disimpan mudah menyala dan bertekanan. Hal ini pernah terjadi kebakaran di tangki SPU dengan ukuran yang lebih kecil dari tangki PPP pada tahun 2008 yang terletak di Ledok, Distrik II. Dalam kejadian tersebut tidak ada korban luka maupun korban jiwa tetapi kerugian diperkirakan lebih dari dua juta dolar Amerika, penduduk sekitar lokasi harus dievakuasi, dan sekolah-sekolah di wilayah tersebut ditutup selama dua hari. Oleh karena itu perlu adanya program inspeksi pada tangki penyimpanan minyak tersebut sesuai dengan tingkat resikonya. Penentuan kegiatan inspeksi yang tepat akan dapat mendukung kelancaran proses produksi dan dapat menurunkan resiko dari potensi bahaya pada tangki penyimpanan. PT. Pertamina EP sudah melakukan salah satu upaya untuk mencegah suatu kegagalan dari tangki penyimpanan tersebut. Namun upaya yang dilakukan oleh devisi HSE khususnya tim inspeksi belum menyertakan analisa resiko dan hanya menggunakan perkiraan dalam penentuan kegiatan inspeksinya. Sehingga tingkat resiko yang dimiliki tangki tersebut tidak diketahui, yang berguna untuk rencana inspeksi. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan sebuah kajian terhadap perencanaan aktifitas inspeksi pada tangki penyimpanan crude oil dengan menggunakan metode RBI (Risk Based Inspection) dimana jika diterapkan dapat berfungsi untuk memprediksi terjadinya kegagalan. RBI adalah suatu metode dengan menggunakan analisis resiko peralatan sebagai dasar untuk memprioritaskan perencanaan manajemen program inspeksi. Metode ini memberikan kemampuan untuk mengalokasikan sumber daya inspeksi dan perawatan yang lebih untuk peralatan yang berisiko tinggi dan penghematan pemakaian sumber daya tersebut untuk peralatan dengan resiko rendah. Sehingga dengan metode tersebut bisa dibuat program inspeksi berdasarkan tingkat resiko yang terjadi pada tangki penyimpanan PPP Menggung. Metode ini pernah dilakukan oleh Azwar Manaf dengan obyek pipeline dan Nida Akmaliati dengan obyek ammonia storage tank. Sebelum memasuki metode RBI dilakukan identifikasi bahaya pada system

3 penampungan dengan menggunakan FMEA yang sesuai untuk single-point failure seperti pada PPP. Metode ini mampu mengidentifikasi setiap komponen untuk mengetahui model kegagalan serta efeknya yang kemudian dirangking komponen mana yang paling besar kegagalannya untuk dilakukan analisa menggunakan RBI. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat resiko (risk level) pada crude oil storage tank dengan menggunakan metode RBI. 2. Berapakah nilai resiko pada crude oil storage tank. 3. Bagaimana perencanaan inspeksi pada crude oil storage tank. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi tingkat resiko pada crude oil storage tank dengan metode RBI. 2. Mengidentifikasi nilai resiko dari crude oil storage tank. 3. Melakukan perencanaan inspeksi yang harus dilakukan berdasarkan tingkat resiko dan metode RBI. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Meningkatkan pemahaman penulis terhadap storage tank sehingga dapat mengetahui potensi bahaya dan frekuensi (waktu) dalam melakukan inspeksi sebagai upaya preventif. 2. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan untuk menentukan prioritas pelaksanaan inspeksi sebagai sarana untuk meminimalkan dampak kegagalan, sekaligus berfungsi untuk penghematan waktu, biaya dan tenaga dalam melakukan aktifitas inspeksi. 1.5 Ruang Lingkup 1. Peralatan yang di analisa berupa Storage Tank yang merupakan peralatan statis. 2. Berpedoman pada Code API RBI Recommended Practice Berpedoman pada Code API RBI Recommended Practice 653

4 4. Penelitian yang di lakukan merupakan Crude Oil Storage Tank T-936 di PPP Menggung PT. Pertamina EP.

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya 1. Azwar Manaf Telah ada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azwar Manaf, lulusan Universitas Indonesia pada tahun Pada penelitiannya diambil sample bahan pipa diameter 24 inchi yang sampelnya diambil dari potongan pipeline yang telah diuji dengan menggunakan metoda Risk Based Inspection (RBI) ternyata pipa tersebut termasuk ke dalam kelompok pipeline dengan beberapa segmen ranking paling kritis diantara pipa-pipa lainnya. Maka disimpulkan metode inspeksinya adalah pengujian ultrasonik dan uji visual dengan selang waktu setiap 12 bulan. 2. Nida Akmaliati Mahasiswa lulusan ITS tahun 2007 ini juga menggunakan metode RBI dalam penelitian rencana jadwal inspeksi untuk ammonia storage tank. Hasil dari penelitiannya tersebut disimpulkan bahwa menurut metode RBI program inspeksi yang harus dilakukan adalah 3 tahun sekali. Dari kedua penelitian tersebut menghasilkan rencana inspeksi yang berbeda sesuai dengan peralatan dan materialnya. Untuk penelitian ini mengambil obyek storage tank yang menyimpan crude oil. 2.2 Tinjauan Risk Based Inspection (RBI) Risk Based Inspection (API 581,2002) adalah suatu perencanaan inspeksi yang berbasis pada analisis resiko peralatan. Analisis resiko dibutuhkan untuk mengidentifikasi skenario kecelakaan yang disebabkan oleh kegagalan peralatan, mekanisme penurunan kualitas (degradation) suatu material /peralatan, peluang terjadinya likelihood of failure (LoF) yang berpotensi menurunkan kinerja peralatan, menilai konsekuensi consequence of

6 failure (CoF) yang mungkin timbul, menetapkan resiko dan menyusun tingkatan serta kategori resiko (risk ranking and categorization). Penerapan Risk Based Inspection secara benar dan konsisten telah terbukti mampu meningkatkan safety peralatan pabrik yang pada akhirnya meningkatkan keandalan peralatan pabrik dengan cara meminimalkan resiko Menurut API Recommended Practice 580, Risk Based Inspection adalah Risk Assessment dan manajemen proses yang terfokus pada kegagalan peralatan karena kerusakan material. Dengan RBI, dapat dibuat inspection program berdasarkan risk yang terjadi. Risk Based Inspection (RBI) adalah metode untuk menentukan rencana inspeksi (equipment mana saja yang perlu di inspeksi, kapan diinspeksi, dan metode inspeksi apa yang sesuai) berdasarkan resiko kegagalan suatu peralatan. Definisi RBI menurut API 581 adalah suatu metode untuk menggunakan risiko sebagai dasar memeringkatkan dan mengelola aktifitasaktifitas di dalam sebuah program inspeksi. Metode RBI menyediakan dasar untuk mengelola resiko dengan menyediakan informasi pengambilan keputusan atas frekuensi inspeksi, tingkat kedetilan, dan tipe metode NDT (Non Destructive Test) yang di pakai. RBI memberikan kemampuan untuk mengalokasikan sumber daya inspeksi dan perawatan yang lebih besar untuk peralatan yang berisiko tinggi dan penghematan pemakaian sumber daya tersebut untuk peralatan dengan risiko rendah. Konsep RBI API 581 mempertimbangkan risiko yang bersumber dari hal-hal sebagai berikut : 1. Resiko terhadap personel di dalam lokasi pabrik (on-site risk to employee) 2. Resiko terhadap masyarakat di sekitar lokasi pabrik (off-site risk to community) 3. Resiko finansial (business interruption risk) 4. Resiko kerusakan lingkungan (environmental damage risk)

7 Jenis resiko tersebut dalam konsep RBI API 581 di kombinasikan ke dalam faktor-faktor yang menghasilkan keputusan mengenai kapan, di bagian mana dari peralatan dan bagaimana inspeksi di lakukan. Manfaat pelaksanaan RBI yaitu tercapainya program inspeksi yang lebih terarah sehingga menambah waktu operasi peralatan (berkurangnya waktu unplanned shutdown akibat kegagalan peralatan) dan secara jangka panjang meningkatkan efisiensi perusahaan. Namun demikian ada hal-hal yang berkontribusi terhadap risiko suatu peralatan yang tidak dapat dikurangi oleh aktifitas inspeksi. Faktor-faktor tersebut paling tidak meliputi hal-hal berikut (API 581,2002): 1. Kesalahan manusia 2. Bencana alam 3. Peristiwa eksternal (misal, tumbukan dengan benda jatuh) 4. Efek sekunder dari unit yang berdekatan 5. Tindakan yang disengaja seperti sabotase 6. Keterbatasan yang di miliki oleh metode inspeksi itu sendiri 7. Kesalahan desain 8. Mekanisme kerusakan yang tidak diketahui Metode RBI API 581 mendefinisikan empat konsekuensi kegagalan yaitu konsekuensi kebakaran (flammable consequence), konsekuensi racun (toxic consequence), konsekuensi lingkungan (environmental risk), dan konsekuensi financial (business interruption consequence) Dokumen API 581 secara spesifik ditujukan untuk aplikasi RBI di industri hidrokarbon dan kimia. Metode RBI API 581 juga membatasi peralatan yang masuk ke dalam jangkauan RBI API P 580 pada peralatan-peralatan bertekanan dan tidak bergerak atau komponen bertekanan dan tidak bergerak dari sebuah rotating equipment. Selengkapnya peralatan yang termasuk ke dalam jangkauan RBI adalah sebagai berikut : 1. Bejana tekan : semua peralatan yang mewadahi tekanan 2. perpipaan proses: pipa dan komponen pipa

8 3. Tangki penyimpanan: atmospheric dan pressurized 4. Rotating Equipment: komponen bertekanan 5. Boiler dan Heater: komponen bertekanan 6. Penukar kalor 7. Pressure Relief Devices Keuntungan RBI 1. Merupakan suatu alat yang memiliki kekuatan untuk mengatur banyak elemen penting dari proses plant 2. Membantu mengatur untuk mereview keselamatan dan integrated cost 3. RBI secara sistematika mengurangi kemungkinan kegagalan dengan membuat pengawasan sumber daya dengan lebih baik 4. RBI adalah suatu alat untuk memperbaiki keadaan dari plant 2.3 Failure Mode Effect and Analysis (FMEA) FMEA adalah sekumpulan aktivitas yang di harapkan dapat mengenali dan mengevaluasi potential failure dari sebuah produk atau proses dan dampaknya. Selain itu juga diharapkan mampu mengidentifikasi tindakan yang dapat mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya potential failure. Tujuan umum dari FMEA (Modarres,1999) adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi failure mode dan meringkatkan sesuai dengan effect pada product performance, selanjutnya menetapkan prioritas sistem untuk perbaikan 2. Mengidentifikasi design actions untuk mengeliminasi potensi failure mode atau mengurangi occurance pada masing-masing kegagalan 3. Sebagai dokumen yang melatar belakangi perubahan design produk dengan melengkapi ragam reference untuk analisis, mengevaluasi perubahan design dan mengembangkan perbaikan design

9 FMEA ini memiliki kegunaan, diantaranya : 1. Ketika di perlukan tindakan preventive atau pencegahan sebelum masalah terjadi 2. Ketika ingin mengetahui atau mendata alat deteksi yang ada jika terjadi kegagalan 3. Pemakaian proses baru 4. Perubahan atau penggantian komponen peralatan 5. Pemindahan komponen atau proses kearah baru Risk Priority Number (RPN) RPN merupakan perkalian matematis dari keseriusan efek (severity), kemungkinan terjadi cause akan menimbulkan kegagalan yang berhubungan dengan efek (occurance) dan kemampuan untuk mendeteksi kegagalan sebelum terjadi pelanggaran (detection). Dalam bentuk persamaan (Modarres,1999) : RPN = Severity rating X Frequence rating X Probability of detection rating Severity Severity menunjukkan nilai keseriusan masalah yang timbul pada proses setempat, proses selanjutnya dan end user, adapun nilainilai yang menggambarkan severity bisa diinterprestasikan sebagai berikut :

10 Tabel 2.1 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Alat SEVERITY (KEPARAHAN) DAMPAK POTENSIAL DEFINISI 0 1 RENDAH Tanpa Kerusakan Kerusakan Sangat Kecil 2 SEDANG Kerusakan Kecil - Tidak menimbulkan gangguan operasi Biaya perbaikan US $ 1,000 Menimbulkan gangguan operasi cukup besar US $ 1,000 < Biaya perbaikan US $ 10,000 Lanjutan Tabel 2.1 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Alat SEVERITY DAMPAK DEFINISI (KEPARAHAN) POTENSIAL TINGGI (Sumber : PT. Pertamina EP Cepu) Kerusakan Sedang Kerusakan Besar Kerusakan Parah Menimbulkan gangguan operasi cukup besar US $ 10,000 < Biaya perbaikan US $ 100,000 Menimbulkan gangguan operasi cukup besar (operasi berhenti) US $ 100,000 < Biaya perbaikan US $ US $ 1,000,000 Menyebabkan terhentinya operasi dan bisnis perusahaan (Unit operasi/ field) US $ 1,000,000 < Biaya perbaikan

11 SEVERITY (KEPARAHAN) DAMPAK POTENSIAL POTENSI

12 0 RENDAH 1 2 SEDANG 3 TINGGI 4 Tanpa Dampak - Dampak Ringan Dampak Sedang Dampak Besar Setempat (Skala Daerah) Dampak Besar (Skala Nasional) Dapat menimbulkan dampak tehadap lingkungan namun dapat diabaikan Konsekuensi keuanagn dapat diabaikan Menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah setempat yang dapat segera Konsekuensi keuangan kecil Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar (melebihi nilai baku mutu lingkungan / ketentuan lainnya) dan luas (menyebar sampai ke luar lokasi / tempat kejadian) namun tidak bersifat permanen Diperlukan biaya cukup besar untuk rehabilitasi lingkungan Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar dan luas, terus menerus dalam jangka waktu yang panjang Diperlukan biaya sangat besar untuk rehabilitasi lingkungan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi (keuangan) cukup besar namun tidak menggangu aliran kas perusahaan (cash flow) 5 Dampak Luar Biasa (Skala Internasional) (Sumber : PT. Pertamina EP Cepu) Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar dan luas, bersifat permanen (berdampak jangka panjang dan tidak bisa direhabilitasi) Menimbulkan kerugian ekonomi (keuangan) sangat besar yang menggangu aliran kas perusahaan (cash flow) Tabel 2.2 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Lingkungan

13 2.3.3 Occurrence Occurrence menunjukkan keseringan suatu masalah yang terjadi karena potensial cause, adapun nilai-nilai yang menggambarkan occurrence bisa diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 2.3 Definisi Tingkat Kemungkinan Gagal Fungsi Kemungkinan DAMPAK POTENSIAL DEFINISI Gagal Fungsi < 1 dalam 0 Tanpa kerusakan RENDAH 1 dalam Kegagalan jarang terjadi 2 SEDANG Kegagalan relative sedikit 1 dalam Kegagalan kadang-kadang 1 dalam 80 4 TINGGI Kegagalan berulang-ulang 1 dalam 8 5 (Sumber : PT. Pertamina EP Cepu) Detection Kegagalan hampir tidak bisa dihindari 1 dalam 3 Detection merupakan kemampuan design control untuk mendeteksi potensi penyebab model kegagalan sebelum komponen beroperasi. Berikut peringkat untuk Detection : Tabel 2.4 Sistem Peringkat Untuk Detection Rating Descriptio Definition n 10 Uncertain Desain control tidak dapat mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan 9 Very remote Sangat jauh kemungkinan Desain control akan mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan 8 Remote Jauh kemungkinan Desain control akan mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan 7 Very low Sangat lemah kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan

14 Lanjutan Tabel 2.4 Sistem Peringkat Untuk Detection Rating Descriptio Definition n 6 Low Lemah Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan 5 Moderate Sedang Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan 4 Moderate high Sedang tinggi Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan 3 High Besar Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan 2 Very high Sangat besar Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan 1 Almost certain Desain control selalu mendeteksi semua sebab potensial dari model kegagalan 2.4 Resiko (sumber : Reability Engineering and Risk Analysis) Resiko didefinisikan sebagai hasil kali antara kemungkinan kegagalan LoF dengan konsekuensi kegagalan Consequence of Failure CoF. Kemungkinan kegagalan dinyatakan dalam satuan frekuensi kegagalan pertahun. Konsekuensi kegagalan merupakan besaran yang mewakili efek yang di timbulkan oleh terjadinya kegagalan. Biasanya di dalam analisis resiko kuantitatif, besaran ini dinyatakan dalam jumlah jiwa atau dalam satuan mata uang. Jadi risiko nantinya akan memiliki satuan jumlah jiwa pertahun atau satuan mata uang. Jadi risiko nantinya akan memiliki satuan jumlah jiwa per tahun atau satuan mata uang per tahun($/tahun atau Rp/tahun, dan lainlain) Resiko tersebut akan diukur dalam terminologi terminologi konsekuensi kegagalan (Consequences of Failure, CoF) dan kemungkinan kegagalan (Probability of Failure, PoF), (API 581,2002). 2.5 Pendekatan Kualitatif RBI Pada dasarnya faktor-faktor yang di perhitungkan dalam metode kualitatif sama dengan metode kuantitatif. Akan tetapi tingkat kerinciannya berbeda. Di dalam metode kualitatif, data-data masukan banyak yang berupa

15 data kualitatif hasil penilaian (judgement). Pada API 581 di dalam Appendix A untuk memudahkan pelaksanaannya terdapat buku kerja yang berbentuk kuisioner. Kuisioner ini berisi jawaban Ya dan Tidak atau berupa pilihan berganda. Masing-masing jawaban akan memiliki nilai dan nilai ini nantinya di jumlahkan untuk memperoleh nilai total. Nilai total ini akan dikonversi menjadi kategori LoF dan CoF Likelihood Faktor-faktor yang di perhitungkan dalam penentuan kategori kemungkinan antara lain (API 581,2002) : 1. Faktor Peralatan (Equipment Factor, EF) 2. Faktor Kerusakan (Damage Factor, DF) 3. Faktor Inspeksi (Inspection Factor, IF) 4. Faktor Kondisi (Condition Factor, CCF) 5. Faktor Proses (Process Factor, PF) 6. Faktor Desain Mekanikal (Mechanical Design Factor, MDF) Consequence Jenis konsekuensi yang di perhitungkan ada dua (API 581,2002) yaitu konsekuensi kebakaran dan konsekuensi kesehatan (sama dengan konsekuensi racun). Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam penentuan Kategori Konsekuensi kebakaran antara lain : 1. Faktor Kimia (Chemical Factor, CF) 2. Faktor Banyaknya fluida (Quantity Factor, QF) 3. Faktor Penyalaan sendiri (Autoignition Factor, AF) 4. Faktor Kredit (Credit Factor, CF) Faktor-faktor yang di perhitungkan dalam penentuan Kategori Konsekuensi Kesehatan antara lain: 1. Faktor Banyaknya Racun (Toxic Quantity Factor, TQF) 2. Faktor Dispersibilitas (Dispersibility Factor, DIF) 3. Faktor Kredit (Credit factor, CRF) 4. Faktor Populasi (Population Factor, PPF)

16 Evaluasi faktor-faktor di atas dilakukan menggunakan kuisioner. Jawaban kuisioner akan menentukan besarnya skor total. Skor total tersebut akan dikonversi menjadi kategori Penentuan Resiko Kualitatif Di dalam metode kualitatif, resiko dipresentasikan di dalam matriks risiko. Sumbu x matriks resiko adalah kategori konsekuensi dan sumbu y matrik adalah kategori kemungkinan kegagalan. Matrik Resiko dapat di lihat pada Gambar 2.1 Consequence Category A B C D E 5 4 Probability category Low Risk Medium Risk Medium- High Risk High Risk Gambar 2.1 Matriks resiko API 581 (Sumber : API 581)

17 2.6 Pendekatan Kuantitatif RBI Tinjauan Consequence Adalah suatu akibat dari suatu kejadian yang biasanya diekspresikan sebagai kerugian dari suatu kejadian atau suatu resiko. Dalam penelitian, consequence biasanya diekspresikan dengan biaya kerugian yang dialami dalam suatu periode waktu dari suatu kejadian atau suatu resiko. Analisa CoF dilakukan perkasus secara terpisah, misal kasus kebocoran yang menyebabkan kebakaran dipisahkan dengan kasus kebocoran yang tidak menyebabkan kebakaran. CoF dapat dihitung dari: a. Keselamatan: potential loss of life (PLL), yaitu jumlah personel/pekerja yang meninggal apabila terjadi kegagalan. b. Ekonomi: jumlah uang yang hilang akibat berhentinya produksi, kerusakan alat, atau pembangunan kembali sarana yang rusak. c. Lingkungan: massa atau volume yang keluar ke lingkungan atau dinyatakan dalam jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembersihan polutan dan kompensasi yang lainnya. Langkah-langkah perhitungan Konsekuensi Kegagalan meliputi : 1. Memilih Representative Fluid dan sifat-sifatnya 2. Memilih ukuran lubang kebocoran 3. Memperkirakan jumlah total fluida yang bias terlepas apabila terjadi kebocoran 4. Memperkirakan laju aliran kebocoran 5. Menentukan tipe kebocoran 6. Memilih fasa akhir fluida sesudah terlepas akibat kebocoran 7. Menentukan konsekuensi kebocoran

18 Pemilihan Representative fluid dan sifatnya Kebanyakan aliran di dalam pabrik kimia bukan merupakan fluida murni tetapi berupa campuran. Pemilihan representative fluid dilakukan karena tidak semua fluida di ketahui persamaan areal konsekuensinya. Untuk campuran, representative fluid berdasarkan kedekatan Normal Boiling Point (NBP) dan Molecular Weight antara campuran tersebut dengan representative fluid. Kriteria kedua adalah kedekatan massa jenis. Apabila tidak diketahui, sifat campuran, Property mix, dapat di hitung dengan persamaan, Property Mix = x 1 property1 Apabila salah satu atau lebih komponen campuran merupakan zat yang tidak beracun atau tidak dapat terbakar seperti steam, zat tersebut harus dikecualikan pada saat peerhitungan sifat campuran Pemilihan ukuran lubang API 581 menggunakan lubang yang sudah di tentukan terlebih dahulu. Pendekatan ini memungkinkan konsisten antar analisis RBI dan meningkatkan kemudahan. API 581 mendefinisikan ukuran lubang yang mewakili ukuran relative kecil, sedang, besar dan rupture yang tergantung pada ukuran obyek yang di analisa. RBI secara umum menggunakan empat ukuran lubang pada setiap item peralatan. Tabel 2.5 Ukuran Lubang Kebocoran yang Digunakan Ukuran Lubang Jangkauan Nilai yang mewakili Small 0-1/4 inci ¼ inci Medium ¼-2 inci 1 inci Large 2-6 inci 4 inci (Sumber: API 581) Lanjutan Tabel 2.5 Ukuran Lubang Kebocoran yang Digunakan

19 Ukuran Lubang Rupture (Sumber: API 581) Jangkauan >6 inci Nilai yang mewakili Sama dengan diameter alat sampai maksimum 16 inci Memperkirakan Total Jumlah Fluida yang Bisa Terlepas Apabila Terjadi Kebocoran Perhitungan konsekuensi di dalam API 581 membutuhkan batas atas massa fluida yang dapat terlepas ketika terjadi kebocoran (Inventory). Fluida yang dapat terlepas tersebut berasal dari peralatan yang di analisis dan peralatan lain yang berhubungan yang dapat memberikan kontribusi fluida kepada peralatan yang di analisis apabila mengalami kebocoran. Peralatan yang berhubungan disebut Inventory Group dipilih sebagai yang lebih kecil antara 1. Massa fluida di dalam peralatan ditambah massa fluida yang dapat di tambahkan kedalamnya selama tiga menit oleh Inventory Group dengan asumsi laju aliran sama dengan laju aliran pada peralatan yang di analisis 2. Massa total fluida di dalam Inventory Group Memperkirakan Aliran Kebocoran Apabila fluida di dalam peralatan berfasa cair digunakan persamaan (API 581, 2002): gc Q L = C d A 2ρ ρ...(2.1) 144 Di mana Q L :Liquid discharge rate (lbs/s) C d :discharge coefficient (0,60-0,64) A :Luas penampang lubang (in 2 ) ρ :Massa jenis cairan (lb/ft 3 )

20 g c :Faktor konversi dari lbf ke lbm (32.2 lbm-ft/lbf-s 2 ) Apabila fluida berfasa gas, harus di tentukan dulu apakah laju aliran kebocoran termasuk sonic atau subsonic dengan membandingkan tekanan fluida dengan tekanan transisi. Apabila tekanan fluida lebih besar di banding tekanan transisi aliran termasuk sonic apabila lebih kecil termasuk subsonic, persamaan untuk menghitung tekanan transisi (API 581, 2002) adalah sebagai berikut, P trans = Di mana K + Pa Χ 2 K 1 K + 1 P trans :tekanan transisi (psia) P a K =C p /C v :tekanan udara luar (psia)... (2.2) Persamaan laju aliran untuk tipe sonic adalah k+ 1 2 KM k 1 W g (sonic) = C d AP....(2.3) RT K + 1 Sedangkan persamaan laju aliran untuk tipe subsonic adalah, W g (subsonic) = C d AP Di mana C d M RT gc 2K Pa 144 K 1 P : discharge coefficient 2 k Pa 1 P (untuk gas bernilai antara 0,85-1) A : Luas penampang lubang (in 2 ) P M : Tekanan gas (psia) : Massa molekul (lb/lb-mol) K 1 K R : Konstanta gas (10.73 ft 3 -psia/lb-mol. 0 R) T : Temperatur gas ( 0 R) (2.4)

21 Menentukan Tipe kebocoran Ada dua tipe kebocoran yang di definisikan oleh API 581 yaitu kebocoran seketika dan kebocoran kontinyu, kriteria penentuan tipe kebocoran tersebut adalah: 1. Semua lubang kebocoran ukuran kecil (0,25 inci) di modelkan sebagai kebocoran kontinyu 2. Apabila di butuhkan kurang dari tiga menit untuk melepas lb. fluida, kebocoran dari lubang tersebutr dianggap kebocoran seketika 3. Semua kebocoran yang melepaskan kurang dari lb. fluida dalam tiga menit dianggap bertipe kontinyu Gambar 2.2 Proses untuk Penjelasan mengenai Tipe Pelepasan (Sumber : API 581) Penentuan Fasa Akhir Fluida Sesudah Terlepas ke Lingkungan Pada API 581 untuk menentukan fasa fluida sesudah terlepas ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.6.

22 Tabel 2.6 Panduan Untuk Menentukan Fasa Fluida Fasa fluida Fasa fluida pada Fasa fluida setelah terlepas ke pada kondisi kondisi operasi lingkungan ambient Gas Gas Gas Gas Cair Gas Gas (kecuali normal boiling Cair Gas point material lebih dari 80 0 F, fasanya cair) Cair Cair Cair (sumber : API RBI 581) Penentuan Konsekuensi Kebocoran Pada konsekuensi kebakaran ada 2 hal yang perlu diperhitungkan yaitu equipment damage area dan potensial fatality area. Untuk konsekuensi tersebut menggunakan rumus yang berdasarkan tipe kebocoran dan dapat dilihat pada Tabel 2.7, 2.8, 2.9, Tabel 2.7 Continuous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material Final Phase Gas Final Phase Liquid Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) C1- C2 A= 43x 0.98 A = 110x 0.96 C3-C4 A = 49x 0.98 A = 125x 0.96 C5 A = 25.4x 0.98 A = 62.1x 1.00 A = 536x 0.90 A = 1544x 0.90 C6-C8 A = 29x 0.98 A = 68x 0.96 A = 182x 0.89 A = 516x 0.89 C9-C12 A = 12x 0.98 A = 29x 0.96 A = 130x 0.90 A = 373x 0.89 C13-C16 A = 64x 0.90 A = 183x 0.89 C17-C25 A = 20x 0.90 A = 57x 0.89 C25+ A = 11x 0.91 A = 33x 0.89 H2 A = 198x A = 614x (sumber : API 581)

23 Lanjutan Tabel 2.7 Continuous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material Final Phase Gas Final Phase Liquid Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) H2S A = 32x1.00 A = 52x 1.00 HF Aromatic A= A =359x x Styrene A=121.39x A = 359x (sumber : API 581) Tabel 2.8 Tabel Instantaneous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material Final Phase Gas Final Phase Liquid Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) C1- C2 A= 41x 0.67 A = 79x 0.67 C3-C4 A = 28x 0.72 A = 57.7x 0.75 C5 A = 13.4x 0.73 A = 20.4x 0.76 A = 1.49x 0.85 A = 4.34x 0.85 C6-C8 A = 14x 0.67 A = 26x 0.67 A = 4.35x 0.78 A = 12.7x 0.78 C9-C12 A = 7.1x 0.66 A = 13x 0.66 A = 3.3x 0.76 A = 9.5x 0.76 C13-C16 A = 0.46x 0.88 A = 1.3x 0.88 C17-C25 A = 0.11x 0.91 A = 0.32x 0.91 C25+ A = 0.03x 0.99 A = 0.081x 0.99 H2 A = 545x A = 982x H2S A = 148x 0.63 A = 271x 0.63 HF Lanjutan Tabel 2.8 Tabel Instantaneous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material Final Phase Gas Final Phase Liquid Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Aromatic A = 2.26x A =10.5x Styrene A = 2.26x A = 10.5x

24 (sumber : API 581) Tabel 2.9 Tabel Continuous Release Consequence Auto Ignition Likely Material Final Phase Gas Final Phase Liquid Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) C1- C2 A= 280x 0.95 A = 745x 0.92 C3-C4 A = 315x 1.00 A = 837x 0.92 C5 A = 304x 1.00 A = 811x 1.00 C6-C8 A = 313x 1.00 A = 828x 1.00 A = 525x 0.95 A = 1315x 0.92 C9-C12 A = 391x 0.95 A = 981x 0.92 A = 560 x 0.95 A = 1401x 0.92 C13-C16 A = 1023x 0.92 A = 2850x 0.90 C17-C25 A = 861x 0.92 A = 2420x 0.90 C25+ A = 544x 0.90 A = 1604x 0.90 H2 A = 1146x 1.00 A = 3072x 1.00 H2S HF Aromatic Styrene (sumber : API 581) Tabel 2.10 Tabel Instantaneous Release Consequence Auto Ignition Likely Material Final Phase Gas Final Phase Liquid Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) Equipment Damage (ft²) Fatalities (ft²) C1- C2 A= 1079x 0.62 A = 3100x 0.63 C3-C4 A = 523x 0.63 A = 1768x 0.63 C5 A = 275x 0.61 A = 959x 0.63 C6-C8 A = 76x 0.61 A = 962x 0.63 C9-C12 A = 281x 0.61 A = 988x 0.63 A = 6.0x 0.53 A = 20x 0.54 C13-C16 A = 9.2x 0.88 A = 26x 0.88 C17-C25 A = 5.6x 0.91 A = 16x 0.91 C25+ A = 1.4x 0.99 A = 4.1x 0.99 H2 A = 1430x A = 4193x H2S A = 357x 0.61 A = 1253x 0.63 HF Aromatic Styrene (sumber : API RBI 581)

25 Pengurangan Konsekuensi Pengurangan konsekuensi ini diperhitungkan karena adanya mitigation system sebagai penanggulangan kebakaran. Kategori mitigation dapat dilihat pada Tabel Tabel 2.11 Tabel Mitigation System Mitigation System Consequence Adjustment Inventory blowdown, coupled Reduce consequence area by with isolation system. 25% Fire water deluge system and Reduce consequence area by monitor 20% Fire water monitor only Reduce consequence area by 5% Foam spray sistem Reduce consequence area by 15% (sumber : API 581) Tinjauan Likelihood Komponen-komponen perhitungan LoF untuk analisis kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 2.1. Generic Failure Frequency adalah rata-rata frekuensi kegagalan untuk suatu tipe peralatan. Equipment Modification Factor (F E ) adalah jumlah dari Technical Module Subfactor, Universal Subfactor, Mechanical Subfactor, dan Process Subfactor, Management System Evaluation Factor (F M ) adalah faktor yang di gunakan untuk memperhitungkan efektivitas modification factor. Likelihood of Failure merupakan hasil kali Generic Failure Frequency, Equipment Modification factor, Management System Evaluation Factor. Prinsip dasar dari metode perhitungan ini adalah memodifikasi Generic Failure Frequency yang merupakan nilai median frekuensi kegagalan untuk di sesuaikan dengan kondisi spesifik peralatan menggunakan F E dan F M

26 Equipment Generic Failure Likelihood of Failure = = X x x Modification X x x Frequency Factor (F E ) Technical Module Subfactor Damage Rate Management System Evaluation Factor (F M ) Inspection Efectivenees Universal Subfactor Plant Condition Cold worker Seismic Activity Mechanical Subfactor Equipment Company Construction Code Life Cycle Safety Factors Vibration Monitoring Process subfactor Continuity Stability Relief Valves Gambar 2.3 Faktor-faktor dalam Perhitungan Kemungkinan Kegagalan untuk Analisis Kuantitatif (Sumber : API 581)

27 Generic Failure Frequency Meskipun suatu peralatan belum mengalami kegagalan, dari pengalaman diketahui bahwa kemungkinan kegagalannya lebih dari nol karena di mungkinkan peralatan tersebut beroperasi belum cukup lama untuk mengalami kegagalan. Langkah pertama untuk memperkirakan besarnya kemungkinan kegagalan ini adalah melihat kelompok yang lebih besar untuk memperoleh perkiraan yang baik mengenai besarnya kemungkinan kegagalan. Kelompok yang besar tersebut misalnya peralatan yang sama dalam satu jenis industri. Kemungkinan kegagalan yang diperoleh dari kelompok yang lebih besar ini di sebut Generic Failure Frequency Equipment Modification Factor Equipment Modification Factor (F E ) merupakan penjumlahan dari empat subfaktor seperti terlihat pada gambar 2.1. Faktor ini digunakan untuk memodifikasi generic failure frequency sesuai dengan kondisi operasi peralatan yang dianalisis. 1. Technical Module Subfactor Technical Module Subfactor (TMSF) merupakan komponen yang memperhitungkan laju dan tingkat kerusakan peralatan. TMSF merupakan perbandingan antara generic failure frequency dengan failure frequency yang ditimbulkan oleh mekanisme kerusakan yang bersangkutan. Faktor ini dihitung di dalam technical module. Komponen ini memiliki kontribusi paling besar terhadap F E. Perhitungan komponen ini di lakukan menggunakan technical module yang terdapat pada API 581.

28 2. Universal Subfactor Universal Subfactor digunakan untuk memperhitungkan pengaruh kondisi plant, aktifitas seismic, dan musim dingin terhadap resiko. Kondisi plant meliputi penampilan plant secara umum (pemeliharaan secara umum, perbaikan sementara, pengelupasan cat dan lain-lain), efektifitas program perawatan, serta sejumlah mana lay-out dan konstruksi plant memfasilitasi perawatan aktivitas seismic dinilai berdasarkan pengelompokan zona seismic menurut ANSI A58.1, Mechanical Subfactor Komponen ini di gunakan untuk memperhitungkan pengaruh desain dan fabrikasi peralatan terhadap risiko. Ada tiga faktor yang di nilai yaitu kompleksitas, pemenuhan code dan life cycle peralatan. Kompleksitas meliputi kompleksitas peralatan dan perpipaan Life cycle adalah perbandingan lama operasi dan umur desain 4. Process Subfactor Komponen ini menilai pengaruh kontinyuitas proses, stabilitas proses dan kondisi relief valve. Kontinuitas proses di ukur berdasarkan frekuensi pemadaman pabrik rata-rata pertahun untuk tiga tahun terakhir baik pemadaman terencana maupun tidak terencana. Kondisi relief valves dinilai dengan mempertimbangkan faktor perawatan, fouling, dan korosi Management System Evaluation Factor Management System Evaluation Factor digunakan untuk memodifikasi Generic Failure Frequency sesuai dengan efektifitas Process Safety Management plant yang

29 bersangkutan. Faktor-faktor yang di pertimbangkan dalam evaluasi meliputi : 1. Kepemimpinan dan administrasi 2. Process safety information 3. Process Hazard Analysis 4. Manajemen perubahan 5. Prosedur operasi 6. Safety Work Practices 7. Pelatihan 8. Mechanical Integrity 9. Pre-Startup safety review 10. Tanggap Darurat (Emergency response) 11. Penyelidikan kecelakaan 12. Kontraktor 13. Management System Assessment RBI memanfaatkan kuisioner untuk melakukan evaluasi ini. Kuisioner tersebut ada di Appendix D API Penentuan Resiko Kuantitatif Di dalam analisis kuantitatif, hasil perhitungan LoF berupa frekuensi kegagalan yang memiliki satuan tahun. Hasil perhitungan CoF untuk analisis kuantitatif bisa berupa luas area dengan satuan ft 2 untuk konsekuensi kebakaran dan konsekuensi racun atau dalam mata uang untuk konsekuensi finansial. Risiko dinyatakan sebagai hasil kali antara CoF dan LoF sehingga risiko bisa memiliki satuan ft 2 /tahun atau $/tahun (API 581). 2.7 Mekanisme Kerusakan Terdapat banyak alasan, mengapa harus dilakukan inspeksi pada bejana tekan, akan tetapi yang paling utama adalah untuk meyakinkan bahwa proses berjalan masih dalam keadaan aman. Setiap storage tank mempunyai karakteristik yang khas mengenai mekanisme kerusakan karena pengaruh dari

30 material konstruksinya. Program inspeksi yang di- lakukan setidaknya harus dapat mendeteksi mekanisme kerusakan yang terjadi dengan tepat. Beberapa mekanisme kerusakan yang biasanya dialami oleh bejana tekan adalah 1. Korosi Mekanisme kerusakan korosi merupakan mekanisme yang paling umum yang sering terjadi pada pengoperasian bejana tekan mekanisme korosi dapat terjadi karena adanya ikatan kimia antara oksigen dan atom logam sehingga membentuk lapisan logam oksida. Faktor yang dapat memicu terjadinya korosi material, salah satunya adalah lingkungan kerja atau kondisi proses dari peralatan. Kondisi proses yang terdiri dari kombinasi fluida cair dan gas dapat mempercepat terjadinya korosi. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya korosi pada bejana tekan adalah dengan memperhatikan pemilihan bahan atau material konstruksi dan perubahan kondisi proses. Inspeksi yang dapat di lakukan salah satunya adalah tes ketebalan (Ultrasonic test wall thickness). Beberapa lokasi dari bejana tekan yang rentan terkena mekanisme korosi adalah bagian atau tempat bertemunya fluida gas dan cair, daerah uap dan daerah yang di lewati fluida kerja dengan kecepatan tinggi. Selain proses inspeksi menggunakan test ketebalan, inspeksi secara visual menggunakan partikel magnet dan cairan dye penetrant juga dapat dilakukan untuk mendeteksi terjadinya korosi pada bejana tekan 2. Erosi Mekanisme erosi merupakan salah satu mekanisme kerusakan yang dapat mendegradasi material konstruksi dari suatu peralatan. Mekanisme kerusakan erosi biasanya terjadi pada bagian yang di lewati fluida dengan kecepatan tinggi 3. Retak lelah (Fatique Cracking) Pada umumnya mekanisme kerusakan ini terjadi pada bejana tekan yang beroperasi dengan menggunakan prinsip rotasi, inspeksi tanpa

31 merusak (Non Destructive Test) pada umumnya dapat di pakai untuk mengetahui seberapa panjang dan dalam keretakan yang telah terjadi 4. SCC (Stress Corrosion Craking) Mekanisme kerusakan jenis ini biasanya terlihat sekali pada kondisi operasi dengan fluida kerja senyawa klorida dan senyawa sodium 5. Mulur Mekanisme kerusakan jenis ini biasanya terjadi pada bejana tekan yang mempunyai kondisi operasi pada temperatur tinggi. Mekanisme mulur menyebabkan terjadinya deformasi plastis yang permanent walaupun tegangan yang terjadi pada bejana tekan telah dihilangkan mekanisme yang dipakai untuk mendeteksi mekanisme mulur dan dimensi pada saat desain visual, yaitu membandingkan dimensi setelah mulur dan dimensi pada saat desain. 6. HTHA (High Temperature Hydrogen Attack) HTHA pada umumnya terjadi pada baja karbon dan baja paduan rendah dengan kondisi kerja tekanan dan temperatur tinggi 2.8 Kegiatan PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu Kegiatan yang dilakukan oleh PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu ini ada 2 yaitu : 1. Eksplorasi Kegiatan eksplorasi di PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu meliputi kegiatan : - Survey Geologi - Survey Seismik - Pemboran Eksplorasi Seluruh kegiatan eksplorasi ini bertujuan untuk mencari cadangan baru minyak bumi. 2. Eksploitasi

32 Kegiatan eksploitasi/pengembangan yaitu kegiatan pemboran eksploitasi di lapangan-lapangan produksi yang sudah ada dan di lahan-lahan pengembangan sumur-sumur eksplorasi. Kegiatan itu meliputi: Pemboran Pengembangan - Reopening - KUPL (Kerja Ulang Pindah Lapisan) - Stimulasi - Reparasi - Produksi Lapangan Produksi dan Fasilitas Produksi PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu mengelola 2 lapangan produksi masing-masing, yaitu : Distrik I Kawengan Terletak 22 km sebelah timur laut Cepu yang merupakan bagian dari Propinsi Jawa Timur, merupakan antiklin memanjang dari barat laut ke tenggara dengan panjang 15 km dan lebar 1 km. Lapangan ini dikembangkan sejak tahun 1926 dengan jumlah sumur yang telah dibor sebanyak 154 sumur terdiri dari 125 sumur menghasilkan minyak dan 12 sumur kosong (dry hole) dengan produksi puncak sebesar 2300 m 3 /hari dicapai pada tahun 1983 dan1953. Kedalaman pemboran antara 413m-2350 m. Sampai dengan saat ini jumlah sumur yang berproduksi berjumlah 45 buah dengan produksi minyak rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 1108 bopd. Distrik ini meliputi Lapangan Kawengan dan Wonocolo di Kabupaten bojonegoro dan Tuban. Fasilitas produksi terdapat pada distrik I Kawengan sebagai berikut: - 7 SP (Kapasitas total 2252,5 m 3 ) - 1 SPU (Kapasitas 6900 m 3 ) Distrik II Nglobo/Semanggi-Ledok Distrik ini terletak di Propinsi Jawa Tengah dan telah dikembangkan sejak tahun Lapangan produksi Distrik II Ledok/Nglobo terdiri dari beberapa lapangan, yaitu:

33 a. Lapangan produksi Ledok terletak ±11 km sebelah barat Cepu, merupakan antiklin sepanjang 2,5 km dan lebar 1,25 km, dikembangkan sejak tahun Puncak produksi dicapai pada tahun 1928 sebesar 715 m 2 /hari. Jumlah sumur produktif saat ini sebanyak 30 sumur, dengan produksi minyak rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 253 bopd. b. Lapangan produksi Nglobo terletak ±28 km sebelah barat Cepu, merupakan antiklin sepanjang 1,5 km, dikembangkan sejak tahun 1903, jumlah sumur produktif saat ini sebanyak 14 sumur, dengan produksi minyak rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 127 bopd. c. Lapangan produksi Semanggi terletak ±35 km sebelah barat cepu, melalui Nglobo, dengan luas ±2,5 x 0,5 km 2. Lapangan produksi ini dikembangkan sejak tahun Jumlah sumur produktif saat ini sebanyak 7 sumur, dengan produksi minyak rata-rata selama tahun 2007 sebanyak 260 bopd. d. Lapangan Banyuasin terletak ±40 km sebelah barat Cepu dengan luas ±2,5 x 0,5 km 2. Lapangan produksi ini dikembangkan sejak tahun Jumlah sumur produktif saat ini sebanyak 1 sumur, dengan produksi minyak ratarata selama tahun 2007 sebanyak 13 bopd. Fasilitas produksi yang terdapat pada distrik II Nglobo dan Ledok sebagai berikut: Nglobo/Semanggi: - 3 SP (kapasitas total 438 m 3 ) - 1 SPU (kapasitas 3220 m 3 ) Ledok - 1 SP (kapasitas total 123 m 3 ) - 1 SPU (kapasitas 2430 m 3 ) Kapasitas yang terdapat pada Pusat Pengumpul Produksi (PPP) Menggung adalah m Teori Mengenai Minyak Bumi Minyak mentah (minyak bumi) atau crude oil adalah istilah untuk minyak yang belum mengalami pemrosesan. Minyak bumi merupakan

34 bahan bakar fosil yang berarti minyak bumi terbentuk secara alami dari pengendapan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan (plankton) yang mati dalam lautan purba antara 10 juta dan 600 juta tahun yang lalu. Setelah organisme-organisme tesebut mati, mereka meresap ke dalam pasir dan mengendap di dasar laut. Selama bertahun-tahun, organism tersebut mengendap dalam lapisan sedimentary. Dalam lapisan ini, terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali oksigen sehingga mikroorganisme menghancurkan endapan ini menjadi senyawa yang kaya akan carbon sehingga terbentuk lapisan organic. Materi organic yang tercampur dengan sedimen membentuk serpihan halus (fine-grained shale) atau source rock. Karena lapisanlapisan sedimentary terus terbentuk, materi organic mengalami desakan dan pemanasan yang tinggi pada source rock. Panas dan tekanan ini mengubah materi organic menjadi crude oil dan gas alam. Crude oil ini mengalir dari source rock dan berkumpul dalam lapisan batu kapur dan batu pasir yang disebut reservoir rock. Pergerakan lapisan bumi menyebabkan crude oil dan gas alam terjebak dalam reservoir rock diantara lapisan-lapisan impermeable rock atau cap rock seperti granit atau marbel. Pergerakan lapisan bumi ini dapat berupa: 1. Folding, yakni pergerakan tekanan secara horizontal kea rah dalam dan menggerakkan lapisan batuan ke arah atas membentuk tekukan (fold) atau inticline. 2. Faulting, retaknya lapisan batuan dimana salah satu sisi bergerak ke atas atau ke bawah. 3. Pinching out, fenomena dimana lapisan impermeable rock tertekan ke arah atas menuju reservoir rock Karakteristik Minyak Bumi

35 Minyak bumi bervariasi dalam hal warnanya, dari yang jernih hingga yang berwarna hitam (tar-black) dan bervariasi dalam hal kekentalannya, dari yang cairan hingga yang hampir padat. Minyak bumi mengandung senyawa hidrokarbon yakni senyawa yang terdiri atas hidrohidrogen dan carbon yang dapat terbentuk dengan berbagai variasi panjang dan struktur molekul, dari yang bentuk molekulnya berupa rantai lurus, rantai bercabang, hingga yang berbentuk cincin. Terdapat dua hal yang menyebabkan hidrokarbon menjadi senyawa yang sangat berguna bagi suatu reaksi kimia, diantaranya. 1. Kandungan energy dalam hidrokarbon sangat besar. Banyak bahan bakar yang berasal dari hidrokarbon seperti gasoline, lilin paraffin, minyak tanah, dll. 2. Hidrokarbon dapat terbentuk dalam berbagai bentuk. Hidrokarbon yang paling sederhana adalah metana (CH 4 ), yang merupakan gas yang lebih ringan dari udara. Hidrokarbon dengan panjang rantai lebih dari lima berfasa cair, sementara hidrokarbon dengan rantai yang sangat panjang berfasa padat seperti lilin atau tar. Gidrokarbon juga dapat dibuat secara sintetik seperti karet (rubber), nylon, dan plastik. Hidrokarbon yang terdapat di alam sangat bermacam-macam secara kimianya sehingga hidrokarbon diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yakni sebagai berikut. 1. Paraffin Paraffin memiliki cirri-ciri sebagai berikut: a. Rumus kimia: C n H 2n+2 b. Molekulnya berbenruk rantai lurus atau rantai bercabang c. Dapat berupa gas atau cairan pada temperature ruang tergantung pada molekulnya

36 d. Contoh paraffin: metana, etana, propane, butane, isobutana, pentane, dan heksana 2. Aromatic Cirri-ciri aromatic antara lain: a. Rumus kimia: C 6 H 5-Y, dimana Y adalah panjang rantai molekul yang berhubungan dengan cincin benzene b. Strukturnya berbentuk cincin yang dapat berjumlah satu atau lebih c. Cincin terdiri atas enam atom karbon dengan ikatan tunggal dan ganda yang berubah-ubah diantara atom-atom karbon d. Contohnya: benzene dan naptalin 3. Naptalena atau sikloalkana Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: a. Rumus kimia: C 6 H 2n b. Strukturnya berbentuk cincin dengan satu atau lebih cincin c. Ikatan antara atom-atom karbonnya berupa ikatan tunggal d. Berfasa cair pada temperature ruang e. Contohnya: sikloheksana dan metal siklopentana Hidrokarbon lainnya antara lain: 1. Alkena Ciri-ciri alkena antara lain: a. Rumus kimia: C n H 2n b. Molekulnya ada yang berbentuk lurus dan ada yang bercabang serta memiliki sebuah ikatan ganda antara dua buah karbon c. Dapat berbentuk cair atau gas d. Contohnya: etilena, butane, dan isobutana 2. Diena atau Alkynes Cirri-ciri Diena atau Alkynes antara lain: a. Rumus kimia: C n H 2n-2

37 b. Molekulnya dapat berupa rantai lurus dan bercabang dan memiliki dua buah ikatan ganda pada susunan atom-atom karbonnya c. Dapat berupa cairan atau gas d. Contohnya: acetilena dan butadiene Sistem Penampungan System penampungan merupakan suatu system yang berkaitan dengan kegiatan menampung gross minyak yang telah dieksploitasi. Gross minyak yang telah terpompa pertama kali dialirkan ke tempat penampungan sementara yang disebut Stasiun Pengumpul (SP). Kemudian dari SP, gross minyak dialirkan ke tempat penampungan akhir yang disebut Stasiun Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan ke Pusat Penampungan Produksi Menggung (PPP Menggung) yang terletak di kecamatan Cepu. Dalam satu lokasi tedapat enam tangki penyimpanan crude oil. P&ID dapat dilihat pada Lampiran Crude Oil Tank T-936 Tangki T-936 merupakan tangki yang terdiri dari lima tingkat plat dengan kapasitas 2200 m 3. Tangki ini berfungsi sebagai tempat penampungan produksi yang berasal dari SPU serta koperasi yang dikelola oleh masyarakat dengan cara tradisional. Sebelum crude oil disimpan dalam tangki, crude oil mengalami pemisahan dengan gas menggunakan scrubber di lokasi SP sehingga hanya sebagian kecil gas yang ikut tersimpan dalam tangki. Inspeksi tangki yang terakhir dilakukan pada tahun 2009 oleh pihak ketiga yaitu Biro Klasifikasi Indonesia dengan hasil rekomendasi sebagai berikut : 1. Agar dilakukan perbaikan dan tindakan yang sesuai prosedur, dengan menitik beratkan pada NCR (Temuan) yang bersifat critical dan major.

38 2. Agar dilakukan inspeksi rutin, sesuai dengan standar API 653 (5 tahun). 3. Agar dilakukan pencatatan hasil inspeksi rutin dan perbaikan (apabila ada) ke dalam log book, untuk mendukung hasil inspeksi berikutnya. 4. Agar dijadwalkan segera cleaning tangki, untuk melihat kondisi / keadaan dari pelat dasar tangki. (sesuai dengan API 653, untuk Interval inspection bagaimanapun tidak boleh lebih dari 20 tahun)

39 BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini diperlukan proses penelitian yang terstruktur, sehingga diperlukan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaannya sehingga nantinya dapat dipahami secara sistematis, dengan mengacu kaidah-kaidah metode penelitian. Tempat penelitian dilakukan di lapangan (field research). Teknik penelitian adalah penelitian survey (survey research). 3.1 Identifikasi Masalah Tahap ini dilakukan untuk mengetahui sistem yang telah berjalan dan masalah-masalah yang timbul pada obyek penelitian dengan mengidentifikasi potensi bahaya pada fasilitas yang dimiliki PT. Pertamina EP. Identifikasi kondisi awal tersebut akan digunakan untuk merumuskan masalah dengan melakukan studi pustaka dan studi lapangan. 3.2 Studi Pustaka Studi kepustakaan diperlukan sebagai acuan referensi untuk mendalami permasalahan yang akan diteliti di PT Pertamina EP Region Jawa Area Cepu, terutama yang berhubungan dengan teori Risk assessment, kerusakan material dan Risk Based Inspection 3.3 Studi Lapangan Studi lapangan dilakukan dalam rangka untuk mengetahui kondisi sistem/ obyek yang akan dijadikan bahan penelitian di perusahaan.studi ini penting dilakukan agar peneliti dapat dengan jelas mengetahui gambaran proses kerja dari sistem yang diamati serta proses produksi secara keseluruhan, sehingga akan dapat memudahkan peneliti dalam penyusunan laporan. 3.4 Penerapan Tujuan Pada tahapan penerapan tujuan ini merupakan hasil dari studi pustaka dan lapangan. Dengan mengetahui masalah dan dasar-dasar teori maka dapat

40 ditetapkan tujuan yaitu menganalisa resiko sebagai dasar perencanaan inspeksi dengan menggunakan metode RBI. Dengan demikian semua data yang akan diolah memiliki dasar referensi yang pasti. 3.5 Tahap Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk penelitian ini memerlukan data P&ID Tangki PPP Menggung, data kondisi tangki, dan data laporan inspeksi T-963 yang pernah dilakukan. 3.6 Tahap identifikasi bahaya Melakukan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) untuk mengembangkan mekanisme kegagalan dan mengetahui tingkat resiko pada storage tank. Penggunaan metode FMEA ini dikarenakan FMEA adalah salah satu teknik yang banyak digunakan untuk melakukan analisa kualitatif terhadap kehandalan suatu sistim. 3.7 Tahap Metode Kualitatif RBI Tingkat resiko merupakan hasil analisa kualitatif RBI untuk mengetahui seberapa tinggi resiko yang dihasilkan oleh peralatan yang dianalisa. Dengan melakukan tinjauan dari likelihood dan consequencenya kemudian diplotkan dalam risk matriks. Dari risk matriks ini maka ditunjukkan tingkat resiko dari peralatan untuk kemudian dilakukan analisa kuantitaif RBI. 3.8 Tahap Metode Kuantitatif RBI Nilai resiko merupakan hasil analisa kuantitatif RBI untuk mengetahui seberapa besar resiko yang ditimbulkan oleh peralatan dan dinyatakan dalam satuan luas per tahun. Dengan melakukan perhitungan dari likelihood dan consequencenya. Dimana untuk likelihood dilakukan perhitungan generic failure frequency, equipment modification factor (EMF), dan management evaluation factor. Dan untuk consequensenya dengan menetapkan ukuran lubang, penjelasan tipe pelepasan, evaluasi respon tanda kebocoran, menghitung rate of release, equipment damage area dan potential fatality

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Separator minyak dan pipa-pipa pendukungnya memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu proses pengilangan minyak. Separator berfungsi memisahkan zat-zat termasuk

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini yaitu mengurangi dan mengendalikan resiko maka dalam penelitian ini tentunya salah satu bagian utamanya

Lebih terperinci

Tugas Akhir (MO )

Tugas Akhir (MO ) Company Logo Tugas Akhir (MO 091336) Aplikasi Metode Pipeline Integrity Management System pada Pipa Bawah Laut Maxi Yoel Renda 4306.100.019 Dosen Pembimbing : 1. Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D. 2. Ir.

Lebih terperinci

Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG

Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG Aga Audi Permana 1*, Eko Julianto 2, Adi Wirawan Husodo 3 1 Program Studi

Lebih terperinci

SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010

SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010 SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010 Analisa Resiko pada Reducer Pipeline Akibat Internal Corrosion dengan Metode RBI (Risk Based Inspection) Oleh: Zulfikar A. H. Lubis 4305 100

Lebih terperinci

SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI. Arif Rahman H ( )

SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI. Arif Rahman H ( ) SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI Arif Rahman H (4305 100 064) Dosen Pembimbing : 1. Ir. Hasan Ikhwani, M.Sc 2. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D Materi

Lebih terperinci

4.1 INDENTIFIKASI SISTEM

4.1 INDENTIFIKASI SISTEM BAB IV ANALISIS 4.1 INDENTIFIKASI SISTEM. 4.1.1 Identifikasi Pipa Pipa gas merupakan pipa baja API 5L Grade B Schedule 40. Pipa jenis ini merupakan pipa baja dengan kadar karbon maksimal 0,28 % [15]. Pipa

Lebih terperinci

Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection (RBI)

Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection (RBI) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-356 Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection

Lebih terperinci

Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator

Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-89 Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator Moamar Al Qathafi dan

Lebih terperinci

Analisis Keandalan Pada Boiler PLTU dengan Menggunakan Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA)

Analisis Keandalan Pada Boiler PLTU dengan Menggunakan Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA) Analisis Keandalan Pada Boiler PLTU dengan Menggunakan Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA) Weta Hary Wahyunugraha 2209100037 Teknik Sistem Pengaturan Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN

BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN Seluruh jenis konsekuensi kegagalan dicari nilainya melalui perhitungan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Salah satu input

Lebih terperinci

Non Destructive Testing

Non Destructive Testing Prinsip dan Metode dari NDT dan Risk Based Inspeksi Non Destructive Testing Pengujian tak merusak (NDT) adalah aktivitas pengujian atau inspeksi terhadap suatu benda/material untuk mengetahui adanya cacat,

Lebih terperinci

Oleh : Achmad Sebastian Ristianto

Oleh : Achmad Sebastian Ristianto IDENTIFIKASI BAHAYA MENGGUNAKAN METODE HAZOP DAN FTA PADA DISTRIBUSI BAHAN BAKAR MINYAK JENIS PERTAMAX DAN PREMIUM (STUDI KASUS : PT. PERTAMINA (PERSERO) UPMS V SURABAYA) Oleh : Achmad Sebastian Ristianto

Lebih terperinci

1 BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korosi merupakan salah satu masalah utama dalam dunia industri. Tentunya karena korosi menyebabkan kegagalan pada material yang berujung pada kerusakan pada peralatan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pada dasarnya Boiler adalah suatu wadah yang berfungsi sebagai pemanas air, panas pembakaran dialirkan ke air sampai terbentuk air panas atau steam. Steam pada tekanan

Lebih terperinci

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum K3 KEBAKARAN Pelatihan AK3 Umum Kebakaran Hotel di Kelapa Gading 7 Agustus 2016 K3 PENANGGULANGAN KEBAKARAN FENOMENA DAN TEORI API SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN FENOMENA & TEORI API Apakah...? Suatu proses

Lebih terperinci

ARINA ALFI FAUZIA

ARINA ALFI FAUZIA ARINA ALFI FAUZIA 6507040029 IDENTIFIKASI RESIKO PADA DAPUR INDUKSI MENGGUNAKAN METODE FMEA (FAILURE MODES AND EFFECT ANALYSIS) DAN RCA (ROOT CAUSE ANALYSIS) SERTA EVALUASI MANAJEMEN TANGGAP DARURAT (STUDI

Lebih terperinci

BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga

BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga Pada bab ini dianalisis pengaruh dari variasi parameter kondisi pipeline terhadap kategori resiko pipeline. Dengan berbagai macam parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada jaman sekarang minyak masih menjadi kebutuhan bahan bakar yang utama bagi manusia. Minyak sangat penting untuk menggerakkan kehidupan dan roda perekonomian.

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP

Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP. 2411 105 002 Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP. 1971070219988021001 LATAR BELAKANG Kegagalan dalam pengoperasian yang berdampak pada lingkungan sekitar Pengoperasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun dunia industri, dapat menimbulkan kecelakaan bagi manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun dunia industri, dapat menimbulkan kecelakaan bagi manusia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alamnya terutama pada sumber daya minyak dan gas bumi. Pada masa sekarang ini permintaan akan minyak bumi

Lebih terperinci

FMEA SEBAGAI ALAT ANALISA RISIKO MODA KEGAGALAN PADA MAGNETIC FORCE WELDING MACHINE ME-27.1

FMEA SEBAGAI ALAT ANALISA RISIKO MODA KEGAGALAN PADA MAGNETIC FORCE WELDING MACHINE ME-27.1 ISSN 1979-2409 FMEA SEBAGAI ALAT ANALISA RISIKO MODA KEGAGALAN PADA MAGNETIC FORCE WELDING MACHINE ME-27.1 Iwan Setiawan Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Kawasan Puspiptek, Serpong ABSTRAK FMEA SEBAGAI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terkait Dari topik yang akan penulis ambil untuk penelitian ini, penulis mencari beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan untuk dijadikan referensi. Diharapkan

Lebih terperinci

JOB SAFETY ANALYSIS (JSA)

JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) DEFINISI JSA (Job Safety Analysis) merupakan analisa keselamatan kerja pada suatu kegiatan yang berupa rekomendasi kerja aman berdasar potensi bahaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah proses produksi di PT. XY, sedangkan objek penelitian ini adalah perbaikan dan meminimalisir masalah pada proses produksi

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Stasiun Pengolahan Gas (PFD)

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Stasiun Pengolahan Gas (PFD) BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Analisa Klasifikasi Awal 4.1.1 Analisa Ruang Lingkup RBI Berdasarkan ruang lingkup yang telah ditentukan di awal bahwa penelitian ini akan dilaksanakan pada suatu stasiun pengolahan

Lebih terperinci

Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring)

Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 G-218 Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring) Dwi Angga Septianto, Daniel M. Rosyid, dan Wisnu Wardhana

Lebih terperinci

ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT.

ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT. ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT.PETROKIMIA GRESIK Diajukan Oleh: Septian Hari Pradana 2410100020 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

Analisa Konsekuensi. Pada kasus ini tergolong dalam C6-H8 (Gasoline, Naphta, Light Straight, Heptane), memiliki sifat :

Analisa Konsekuensi. Pada kasus ini tergolong dalam C6-H8 (Gasoline, Naphta, Light Straight, Heptane), memiliki sifat : Metodologi Metodologi Pada kasus ini tergolong dalam C6-H8 (Gasoline, Naphta, Light Straight, Heptane), memiliki sifat : Berat molekular : 100 Berat jenis ( lb/ft3) : 42.7 Titik didih normal ( NBP ) (f)

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, hasil pengolahan data untuk analisis jaringan pipa bawah laut yang terkena korosi internal akan dibahas lebih lanjut. Pengaruh operasional pipa terhadap laju korosi dari

Lebih terperinci

ANALISA BAHAYA KEBAKARAN DAN LEDAKAN PADA STORAGE TANK BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) JENIS PREMIUM DENGAN METODE DOW S FIRE AND EXPLOSION INDEX

ANALISA BAHAYA KEBAKARAN DAN LEDAKAN PADA STORAGE TANK BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) JENIS PREMIUM DENGAN METODE DOW S FIRE AND EXPLOSION INDEX ANALISA BAHAYA KEBAKARAN DAN LEDAKAN PADA STORAGE TANK BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) JENIS PREMIUM DENGAN METODE DOW S FIRE AND EXPLOSION INDEX (Studi Kasus :PT. PERTAMINA (persero) UPMS V, SURABAYA) Oleh :

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN 2 1 A B C D E CONSEQUENCE CATEGORY. Keterangan : = HIGH = MEDIUM = MEDIUM HIGH = LOW

BAB IV PEMBAHASAN 2 1 A B C D E CONSEQUENCE CATEGORY. Keterangan : = HIGH = MEDIUM = MEDIUM HIGH = LOW BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Analisis Kategorisasi Risiko Pada penelitian kali ini didapatkan hasil berupa nilai kategorisasi risiko pada bagian ini akan membahas tentang hasil dari risiko pipa Kurau dan Separator

Lebih terperinci

STUDI ANALISIS RESIKO PADA PIPELINE OIL DAN GAS DENGAN METODE RISK ASSESMENT KENT MUHLBAUER DAN RISK BASED INSPECTION API REKOMENDASI 581

STUDI ANALISIS RESIKO PADA PIPELINE OIL DAN GAS DENGAN METODE RISK ASSESMENT KENT MUHLBAUER DAN RISK BASED INSPECTION API REKOMENDASI 581 SIDANG TUGAS AKHIR - RL 1585 JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FTI-ITS STUDI ANALISIS RESIKO PADA PIPELINE OIL DAN GAS DENGAN METODE RISK ASSESMENT KENT MUHLBAUER DAN RISK BASED INSPECTION API REKOMENDASI

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Analisis Risk (Resiko) dan Risk Assessment Risk (resiko) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Sebagai contoh apabila seseorang ingin melakukan suatu kegiatan

Lebih terperinci

Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline

Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline JURNAL TEKNIK ITS Vol., No. (Sept. 0) ISSN: 30-97 G-80 Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline Wahyu Abdullah, Daniel M. Rosyid, dan Wahyudi Citrosiswoyo Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

Mulai. Merancang bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Diukur bahan yang akan digunakan

Mulai. Merancang bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Diukur bahan yang akan digunakan Lampiran 1. Flow Chart Pelaksanaan Penelitian Mulai Merancang bentuk alat Menggambar dan menentukan dimensi alat Memilih bahan Diukur bahan yang akan digunakan Dipotong, dibubut dan dikikir bahan yang

Lebih terperinci

(Badan Geologi Kementrian ESDM, 2010)

(Badan Geologi Kementrian ESDM, 2010) Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) adalah sebuah power generator yang menggunakan panas bumi (geothermal) sebagai sumber energi penggeraknya. Indonesia dikaruniai

Lebih terperinci

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi Istilah minyak bumi diterjemahkan dari bahasa latin (petroleum), artinya petrol (batuan) dan oleum (minyak). Nama petroleum diberikan kepada fosil hewan dan tumbuhan

Lebih terperinci

BAB III PROSES PEMBAKARAN

BAB III PROSES PEMBAKARAN 37 BAB III PROSES PEMBAKARAN Dalam pengoperasian boiler, prestasi yang diharapkan adalah efesiensi boiler tersebut yang dinyatakan dengan perbandingan antara kalor yang diterima air / uap air terhadap

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN Penelitian yang di gunakan oleh penulis dengan metode deskritif kuantitatif. Yang dimaksud dengan deskritif kuantitatif adalah jenis penelitian terhadap masalah masalah berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gas alam adalah bahan bakar fosil bentuk gas yang sebagian besar terdiri dari metana (CH4). Pada umumnya tempat penghasil gas alam berlokasi jauh dari daerah dimana

Lebih terperinci

Penilaian Risiko Dan Perencanaan Inspeksi Pipa Transmisi Gas Alam Cepu-Semarang Menggunakan Metode Risk Based Inspection Semi-Kuantitatif Api 581

Penilaian Risiko Dan Perencanaan Inspeksi Pipa Transmisi Gas Alam Cepu-Semarang Menggunakan Metode Risk Based Inspection Semi-Kuantitatif Api 581 MESIN, Vol. 25, No. 1, 2016, 18-28 18 Penilaian Risiko Dan Perencanaan Inspeksi Pipa Transmisi Gas Alam Cepu-Semarang Menggunakan Metode Risk Based Inspection Semi-Kuantitatif Api 581 Gunawan Dwi Haryadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Disaster Management Disaster Management adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai

Lebih terperinci

Bab 4 Quantitative Risk Assessment pada Platform Hang Tuah untuk Equipment Pemroses Gas

Bab 4 Quantitative Risk Assessment pada Platform Hang Tuah untuk Equipment Pemroses Gas Bab 4 Quantitative Risk Assessment pada Platform Hang Tuah untuk Equipment Pemroses Gas 4.1 Platform Hang Tuah Studi kasus di dalam tugas sarjana ini diambil dari platform Hang Tuah milik Conoco-Phillips.

Lebih terperinci

QUANTITATIVE RISK ASSESSMENT UNTUK EQUIPMENT DALAM GAS PROCESSING UNIT DI TOPSIDE OFFSHORE PLATFORM

QUANTITATIVE RISK ASSESSMENT UNTUK EQUIPMENT DALAM GAS PROCESSING UNIT DI TOPSIDE OFFSHORE PLATFORM QUANTITATIVE RISK ASSESSMENT UNTUK EQUIPMENT DALAM GAS PROCESSING UNIT DI TOPSIDE OFFSHORE PLATFORM TUGAS SARJANA Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Oleh Reza Hadyansyah

Lebih terperinci

Kata Kunci Risk Management, boiler, HAZOP, emergency response plan, SIL

Kata Kunci Risk Management, boiler, HAZOP, emergency response plan, SIL 1 ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT.PETROKIMIA GRESIK Septian Hari Pradana, Ronny Dwi Noriyati, Ali Musyafa Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Perpipaan Dalam kegiatan sehari-hari, transportasi fluida dari satu tempat ke tempat yang lainnya sangat fital bagi kehidupan. Untuk itu, dibentuklah sebuah sistem yang

Lebih terperinci

Mulai. Perancangan bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Pengukuran bahan yang akan digunakan

Mulai. Perancangan bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Pengukuran bahan yang akan digunakan Lampiran 1. Flow chart pelaksanaan penelitian Mulai Perancangan bentuk alat Menggambar dan menentukan dimensi alat Memilih bahan Pengukuran bahan yang akan digunakan Dipotong, dibubut, dan dikikir bahan

Lebih terperinci

BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN III.1 DATA III.1.1 Pipeline and Instrument Diagram (P&ID) Untuk menggambarkan letak dari probe dan coupon yang akan ditempatkan maka dibutuhkan suatu gambar teknik yang menggambarkan

Lebih terperinci

ANALISA RESIKO PADA REDUCER PIPELINE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI (RISK BASED INSPECTION)

ANALISA RESIKO PADA REDUCER PIPELINE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI (RISK BASED INSPECTION) ANALISA RESIKO PADA REDUCER PIPELINE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI (RISK BASED INSPECTION) Z. A. H. Lubis 1 ; D. M. Rosyid 2 ; H. Ikhwani 3 1) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan, ITS-Surabaya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. panas. Karena panas yang diperlukan untuk membuat uap air ini didapat dari hasil

BAB II LANDASAN TEORI. panas. Karena panas yang diperlukan untuk membuat uap air ini didapat dari hasil BAB II LANDASAN TEORI II.1 Teori Dasar Ketel Uap Ketel uap adalah pesawat atau bejana yang disusun untuk mengubah air menjadi uap dengan jalan pemanasan, dimana energi kimia diubah menjadi energi panas.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menejemen Resiko Manajemen resiko adalah suatu proses komprehensif untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan resiko yang ada dalam suatu kegiatan. Resiko

Lebih terperinci

BAB II INSPEKSI BERBASIS RISIKO

BAB II INSPEKSI BERBASIS RISIKO BAB II INSPEKSI BERBASIS RISIKO 2.1. Inspeksi Berbasis Risiko Berdasarkan API 581 Inspeksi Berbasis Risiko (Risk Based Inspection) adalah suatu metode inspeksi yang menggunakan risiko (risk) sebagai dasar

Lebih terperinci

Pembimbing : Bpk. Ir Arie Indartono MT Bpk. Projek Priyongo SL ST MT

Pembimbing : Bpk. Ir Arie Indartono MT Bpk. Projek Priyongo SL ST MT BAB 1 BAB 2 PRESENTASI SIDANG TUGAS AKHIR ANALISA KEANDALAN PADA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN METODE FAILURE MODE EFFECT & ANALYSIS (FMEA) DALAM MERENCANAKAN STRATEGI PREVENTIVE MAINTENANCE (Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tugas akhir ini akan dilakukan perancangan bejana tekan vertikal dan simulasi pembebanan eksentrik pada nozzle dengan studi kasus pada separator kluster 4 Fluid

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO 6506 040 032 Latar Belakang PT. Philips Indonesia merupakan pabrik lampu yang dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT. Bukit Asam adalah perusahaan penghasil batu bara terbesar di Indonesia yang bertempat di Tanjung Enim, Sumatra Selatan, Indonesia. PT. Bukit Asam menggunakan pembangkit

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori yang menjadi landasan atau dasar dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Dari pembahasan bab ini nantinya diharapkan dapat

Lebih terperinci

125 SNI YANG SUDAH DITETAPKAN BSN DI BIDANG USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

125 SNI YANG SUDAH DITETAPKAN BSN DI BIDANG USAHA MINYAK DAN GAS BUMI 125 SNI YANG SUDAH DITETAPKAN BSN DI BIDANG USAHA MINYAK DAN GAS BUMI NO NOMOR SNI J U D U L KETERANGAN 1. SNI 07-0728-1989 Pipa-pipa baja pengujian tekanan tinggi untuk saluran pada industri minyak dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1970 pasal 1 ayat (1) yang

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1970 pasal 1 ayat (1) yang BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjuan Pustaka 1. Tempat Kerja Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1970 pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini ilmu dan teknologi telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Perkembangan ini diiringi pula dengan berkembangnya dunia industri yang semakin maju. Pemanfaatan

Lebih terperinci

ANALISIS PENILAIAN RISIKO PADA FLOWLINE JALUR PIPA GAS DARI WELLHEAD MENUJU CENTRAL PROCESSING PLANT. (Studi Kasus : Industri Pengolahan Gas Alam)

ANALISIS PENILAIAN RISIKO PADA FLOWLINE JALUR PIPA GAS DARI WELLHEAD MENUJU CENTRAL PROCESSING PLANT. (Studi Kasus : Industri Pengolahan Gas Alam) ANALISIS PENILAIAN RISIKO PADA FLOWLINE JALUR PIPA GAS DARI WELLHEAD MENUJU CENTRAL PROCESSING PLANT (Studi Kasus : Industri Pengolahan Gas Alam) Doni Rahmawan 1*, Adi Wirawan Husodo 2, dan George Endri

Lebih terperinci

PERANCANGAN HIDRAN DAN GROUNDING TANGKI DI STASIUN PENGUMPUL 3 DISTRIK 2 PT.PERTAMINA EP REGION JAWA FIELD CEPU. Aditya Ayuningtyas

PERANCANGAN HIDRAN DAN GROUNDING TANGKI DI STASIUN PENGUMPUL 3 DISTRIK 2 PT.PERTAMINA EP REGION JAWA FIELD CEPU. Aditya Ayuningtyas PERANCANGAN HIDRAN DAN GROUNDING TANGKI DI STASIUN PENGUMPUL 3 DISTRIK 2 PT.PERTAMINA EP REGION JAWA FIELD CEPU Aditya Ayuningtyas Latar Belakang SP 3 Distrik 2 Nglobo Ledok PT.Pertamina EP Field Cepu

Lebih terperinci

ANALISA PERAWATAN BERBASIS RESIKO PADA SISTEM PELUMAS KM. LAMBELU

ANALISA PERAWATAN BERBASIS RESIKO PADA SISTEM PELUMAS KM. LAMBELU Jurnal Riset dan Teknologi Kelautan (JRTK) Volume 14, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ANALISA PERAWATAN BERBASIS RESIKO PADA SISTEM PELUMAS KM. LAMBELU Zulkifli A. Yusuf Dosen Program Studi Teknik Sistem

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Dasar Steam merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari teknologi modern. Tanpa steam, maka industri makanan kita, tekstil, bahan kimia, bahan kedokteran,daya, pemanasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut merupakan kebutuhan yang esensial bagi keberlangsungan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut merupakan kebutuhan yang esensial bagi keberlangsungan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam tersebut merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III PERHITUNGAN RESIKO

BAB III PERHITUNGAN RESIKO BAB III PERHITUNGAN RESIKO 3.1. Diagram Alir Perhitungan Risiko Perhitungan dilakukan pada pipa Kurau dan Separator V-201 dengan perhitungan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1 dimana data masukan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai gabungan antara senyawa hidrokarbon (unsur karbon dan hidrogen) dan nonhidrokarbon (unsur oksigen,

Lebih terperinci

Tujuan Pembelajaran. Saat kuselesaikan bab ini, kuingin dapat melakukan hal-hal berikut.

Tujuan Pembelajaran. Saat kuselesaikan bab ini, kuingin dapat melakukan hal-hal berikut. Tujuan Pembelajaran Saat kuselesaikan bab ini, kuingin dapat melakukan hal-hal berikut. Mengenal contoh-contoh dari tujuh (7) obyektif pengendalian pada proses-proses kimia Menghitung indikator dari variabilitas

Lebih terperinci

Pratama Akbar Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK ITS

Pratama Akbar Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK ITS Pratama Akbar 4206 100 001 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK ITS PT. Indonesia Power sebagai salah satu pembangkit listrik di Indonesia Rencana untuk membangun PLTD Tenaga Power Plant: MAN 3 x 18.900

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keselamatan dalam dunia industri ini merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap perusahaan, terutama industri minyak dan gas bumi. Hal ini dikarenakan citra

Lebih terperinci

BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI

BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI III. 1 DATA DESAIN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah merupakan data dari sebuah offshore platform yang terletak pada perairan Laut Jawa, di utara Propinsi

Lebih terperinci

Teknik Identifikasi Bahaya Menggunakan Metode HAZOP (Hazard and Operability Study)

Teknik Identifikasi Bahaya Menggunakan Metode HAZOP (Hazard and Operability Study) Teknik Identifikasi Bahaya Menggunakan Metode HAZOP (Hazard and Operability Study) Olivia marie Caesaria Kesualiya 6512040039 Syaifal Hijazi 6512040045 Adita Hanggara P 6512040059 K3 3B Definisi : Menurut

Lebih terperinci

Analisis Potensi Bahaya Dengan Metode Checklist dan What-If Analysis Pada Saat Commissioning Plant N83 Di PT. Gas Industri

Analisis Potensi Bahaya Dengan Metode Checklist dan What-If Analysis Pada Saat Commissioning Plant N83 Di PT. Gas Industri Analisis Potensi Bahaya Dengan Metode Checklist dan What-If Analysis Pada Saat Commissioning Plant N83 Di PT. Gas Industri Adhi Sudrajat 1*, Adhi Setiawan 2, dan Nora Amelia Novitrie 3 1,2,3 Program studi

Lebih terperinci

RESUME PENGAWASAN K3 PESAWAT UAP DAN BEJANA TEKAN

RESUME PENGAWASAN K3 PESAWAT UAP DAN BEJANA TEKAN RESUME PENGAWASAN K3 PESAWAT UAP DAN BEJANA TEKAN MATA KULIAH: STANDAR KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Ditulis oleh: Yudy Surya Irawan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang

Lebih terperinci

Korosi Retak Tegang (SCC) Baja Karbon AISI 1010 dalam Lingkungan NaCl- H 2 O-H 2 S

Korosi Retak Tegang (SCC) Baja Karbon AISI 1010 dalam Lingkungan NaCl- H 2 O-H 2 S Korosi Retak Tegang (SCC) Baja Karbon AISI 1010 dalam Lingkungan NaCl- H 2 O-H 2 S (Agus Solehudin)* * Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FPTK Universitas Pendidikan Indonesia Emai : asolehudin@upi.edu Abstrak

Lebih terperinci

Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak

Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak Bagus Indrajaya, Daniel M. Rosyid, dan Hasan Ikhwani Jurusan Teknik Kelautan,

Lebih terperinci

Bab III Penilaian Kondisi

Bab III Penilaian Kondisi Bab III Penilaian Kondisi 3.1. Latar Belakang Penggunaan Penilaian Kondisi 3.1.1. Pengertian Penilaian Kondisi Penilaian Kondisi merupakan suatu metode penilaian terhadap suatu obyek yang berdasarkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG Pada lingkungan industri modern saat ini, kegagalan sistem (failure) akibat korosi adalah hal yang tidak ditolerir, terutama ketika hal tersebut melibatkan penghentian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan menjelaskan latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian yang ingin dicapai, batasan masalah dan sistematika penulisan laporan. 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

#10 MANAJEMEN RISIKO K3

#10 MANAJEMEN RISIKO K3 #10 MANAJEMEN RISIKO K3 Risiko adalah sesuatu yang berpeluang untuk terjadinya kematian, kerusakan, atau sakit yang dihasilkan karena bahaya. Selain itu Risiko adalah kondisi dimana terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Gambar 3.1 Flow Chart Metodologi Penelitian Metodologi penelitian perlu ditentukan agar di dalam mencari solusi untuk memecahkan masalah lebih terarah dan mempermudah proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan. Ungkapan yang sering kita dengar tersebut menggambarkan bahwa api mempunyai manfaat yang banyak tetapi juga dapat mendatangkan

Lebih terperinci

NATURAL GAS TO LIQUIFIED NATURAL GAS

NATURAL GAS TO LIQUIFIED NATURAL GAS NATURAL GAS TO LIQUIFIED NATURAL GAS Gas alam merupakan sumber energi yang andal dan efisien, mampu terbakar lebih bersih dibandingkan dengan sumber energi fosil lainnya. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya

Lebih terperinci

(Studi Kasus PT. Samator Gas Gresik) Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya. Oleh : Niki Nakula Nuri

(Studi Kasus PT. Samator Gas Gresik) Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya. Oleh : Niki Nakula Nuri PENENTUAN SKENARIO DAN ANALISIS RESIKO KEGAGALAN PADA INSTALASI PENYIMPANAN GAS HIDROGEN DENGAN MENGGUNAKAN CHEMICAL PROCESS QUANTITATIVE RISK ANALYSIS (Studi Kasus PT. Samator Gas Gresik) Oleh : Niki

Lebih terperinci

APA YANG SALAH? Kasus Sejarah Malapetaka Pabrik Proses EDISI KEEMPAT

APA YANG SALAH? Kasus Sejarah Malapetaka Pabrik Proses EDISI KEEMPAT Untuk Denise, Yang selalu menunggu ketika saya menikmati kesendirian dan tinggal di laboratorium berhari-hari namun kamu tidak pernah melihat hasilnya. APA YANG SALAH? Kasus Sejarah Malapetaka Pabrik Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Strategi pengendalian resiko, yang bertujuan untuk memitigasi konsekuensikonsekuensi dan mengurangi frekuensi kejadian yang potensial dapat dibagi ke dalam empat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa ke masa. Dengan demikian, setiap tenaga kerja harus dilindungi

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa ke masa. Dengan demikian, setiap tenaga kerja harus dilindungi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tenaga kerja merupakan tulang punggung suksesnya pembangunan bangsa dari masa ke masa. Dengan demikian, setiap tenaga kerja harus dilindungi keselamatan dan kesehatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan gas bumi di Indonesia adalah sangat penting mengingat hasil pengolahan gas bumi digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, industri maupun transportasi.

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR PROSES PENILAIAN KESELAMATAN

BAB II TEORI DASAR PROSES PENILAIAN KESELAMATAN BAB II TEORI DASAR PROSES PENILAIAN KESELAMATAN 2.1 PENDAHULUAN SAE ARP4761 dikeluarkan oleh SAE (Society for Automotive Engineers) International The Engineering Society for Advancing Mobility Land Sea

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR DESAIN, OPERASI DAN PIHAK KETIGA TERHADAP KATEGORI RESIKO PIPELINE. Dodi Novianus Kurniawan

PENGARUH FAKTOR DESAIN, OPERASI DAN PIHAK KETIGA TERHADAP KATEGORI RESIKO PIPELINE. Dodi Novianus Kurniawan PENGARUH FAKTOR DESAIN, OPERASI DAN PIHAK KETIGA TERHADAP KATEGORI RESIKO PIPELINE Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Teknik Mesin Oleh: Dodi Novianus Kurniawan 231 06 022

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN INTEPRETASI

BAB V ANALISA DAN INTEPRETASI 56 BAB V ANALISA DAN INTEPRETASI Pada Bab ini dibahas tahap Analyze (A), Improve (I), dan Control (C) dalam pengendalian kualitas terus menerus DMAIC sebagai langkah lanjutan dari kedua tahap sebelumnya.

Lebih terperinci

Muhammad

Muhammad Oleh: Muhammad 707 100 058 Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pembimbing: Ir. Muchtar Karokaro M.Sc Sutarsis ST, M.Sc Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

KONVERSI ENERGI PANAS BUMI HASBULLAH, MT

KONVERSI ENERGI PANAS BUMI HASBULLAH, MT KONVERSI ENERGI PANAS BUMI HASBULLAH, MT TEKNIK ELEKTRO FPTK UPI, 2009 POTENSI ENERGI PANAS BUMI Indonesia dilewati 20% panjang dari sabuk api "ring of fire 50.000 MW potensi panas bumi dunia, 27.000 MW

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi akan semakin meningkat bersamaan dengan. perkembangan teknologi dan pertumbuhan penduduk. Saat ini sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi akan semakin meningkat bersamaan dengan. perkembangan teknologi dan pertumbuhan penduduk. Saat ini sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi akan semakin meningkat bersamaan dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan penduduk. Saat ini sebagian besar energi dihasilkan dari bahan bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PLTU 3 Jawa Timur Tanjung Awar-Awar Tuban menggunakan heat. exchanger tipe Plate Heat Exchanger (PHE).

BAB I PENDAHULUAN. PLTU 3 Jawa Timur Tanjung Awar-Awar Tuban menggunakan heat. exchanger tipe Plate Heat Exchanger (PHE). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Heat Exchanger adalah alat penukar kalor yang berfungsi untuk mengubah temperatur dan fasa suatu jenis fluida. Proses tersebut terjadi dengan memanfaatkan proses perpindahan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEROLEHAN MINYAK MENGGUNAKAN PEMISAHAN SECARA BERTAHAP

OPTIMALISASI PEROLEHAN MINYAK MENGGUNAKAN PEMISAHAN SECARA BERTAHAP OPTIMALISASI PEROLEHAN MINYAK MENGGUNAKAN PEMISAHAN SECARA BERTAHAP Reza Fauzan *Email: reza.fauzan@gmail.com ABSTRAK Penelitian tentang peningkatan jumlah produksi minyak yang diperoleh dari sumur produksi

Lebih terperinci

REFRIGERAN & PELUMAS. Catatan Kuliah: Disiapakan Oleh; Ridwan

REFRIGERAN & PELUMAS. Catatan Kuliah: Disiapakan Oleh; Ridwan REFRIGERAN & PELUMAS Persyaratan Refrigeran Persyaratan refrigeran (zat pendingin) untuk unit refrigerasi adalah sebagai berikut : 1. Tekanan penguapannya harus cukup tinggi. Sebaiknya refrigeran memiliki

Lebih terperinci

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

Lebih terperinci