BAB IV PEMBAHASAN 2 1 A B C D E CONSEQUENCE CATEGORY. Keterangan : = HIGH = MEDIUM = MEDIUM HIGH = LOW

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PEMBAHASAN 2 1 A B C D E CONSEQUENCE CATEGORY. Keterangan : = HIGH = MEDIUM = MEDIUM HIGH = LOW"

Transkripsi

1 BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Analisis Kategorisasi Risiko Pada penelitian kali ini didapatkan hasil berupa nilai kategorisasi risiko pada bagian ini akan membahas tentang hasil dari risiko pipa Kurau dan Separator V-201 yang telah dihitung dari beberapa aspek yang berpengaruh. Hasil perhitungan didapat dari perhitungan perangkat lunak hingga didapat hasil nilai akhir risiko dari pipa Kurau dan Separator V-201. Hasil perhitungan risiko berdasarkan pendekatan RBI semikuantitatif memberikan tingkatan risiko yang berbeda-beda pada pipa yang diamati. Tingkat risiko diperoleh melalui perkalian kemungkinan terhadap konsekuensi kemudian di plot pada matriks 5 x 5 seperti pada Gambar 4.1. L I K E L I H O O D C A T E G O R Y High A B C D E CONSEQUENCE CATEGORY Pipa 12 tj.mayo BM Pipa 12 BM BK Pipa 12 BH BG Tie in Pipa 16 BG BG Tie in Pipa 8 AC2 AC3 Pipa 12 AC3 BG Pipa 12 BK BH Pipa 16 BG Tie in Separator V-201 Separator V-201 Keterangan : = HIGH = MEDIUM = MEDIUM HIGH = LOW Gambar 4.1. Tingkat dan kategorisasi pipa yang dianalisis -87-

2 Pipa 12 Tanjung Mayo - BM Pipa 12 Tanjung Mayo BM memiliki nilai kategorisasi 4D, Tabel 4.1 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 12 Tanjung Mayo BM. Tabel 4.1. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi Tj.mayo - BM Peralatan yang dianalisis Pipa 12 Tanjung Mayo BM Nilai konsekuensi (ft 2 ) 1674 Kategorisasi konsekuensi D Nilai kemungkinan kegagalan 358 Kategorisasi kemungkinan 4 Risk = PoF x CoF 4D Nilai kemungkinan kegagalan pipa pada jalur ini dipengaruhi oleh kerusakan luar dari pipa dan penipisan. Kerusakan luar lebih disebabkan karena pipa menyentuh tanah, terlebih lagi karena tanah gambut sukar untuk menyerap air maka apabila terjadi hujan pipa di sepanjang BM Tanjung Mayo akan terendam oleh air selama berhari-hari. Hal ini yang membuat tingkat korosifitas eksternalnya cukup tinggi dan pipa semakin terkikis, hal ini juga disebabkan coating pipa yang sudah kurang bagus membuat kemungkinan pipa untuk terkikis semakin besar. Dari pengukuran tak merusak dengan menggunakan Ultrasonic Testing sebanyak 3 titik didapat hasil yang berbeda-beda dan cukup signifikan perbedaannya padahal jarak pengukuran hanya berbeda 12 meter di tiap pengukurannya yang membuat laju korosi di ketiga titik tersebut berbeda-beda seperti dapat dilihat pada Gambar

3 0,005 Laju korosi (inch/year) 0,0045 0,004 0,0035 0,003 0, jarak dari BG Tie in (km) Gambar 4.2. Laju korosi pada BM Tj.Mayo Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa laju korosi yang paling tinggi adalah pada kilometer ke 19,127 dari BG Tie in. Hal ini tentunya berbanding lurus dengan nilai kemungkinan kegagalan suatu pipa sesuai dengan Gambar Nilai kemungkinan kegagalan Jarak dari BG Tie in (km) Gambar 4.3. Nilai kemungknan kegagalan pipa jalur BM Tj. Mayo -89-

4 Dari segi konsekuensi pipa ini memiliki laju aliran (flow rate) yang cukup besar yaitu 1831 Barrel Oil Per Day. Pipa ini juga memiliki nilai upstream pressure yang tinggi sehingga sangat mempengaruhi nilai laju pelepasan fluida. Kondisi lingkungan sekitar pipa merupakan hutan belantara yang mudah terbakar apabila fluida mengalami keterbakaran, hal ini juga memicu amarah warga yang tinggal sekitar 1 kilometer dari pipa jalur ini sehingga nilai konsekuensi sebesar D sesuai dengan keadaan operasi dari pipa yang mengalirkan fluida yang cukup besar jumlahnya, nilai upstream pressure yang tinggi juga menyebabkan tingginya nilai konsekuensi. Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya korosi internal berupa pitting yang dikarenakan fluida dari pipa mengandung CO 2 yang apabila bereaksi dengan air (H 2 O) maka akan membentuk H 2 CO 3 dimana senyawa tersebut dapat menyebabkan korosi piting, dan hal ini diperkuat dengan perbedaan laju korosi yang cukup signifikan dari 3 titik yang berdekatan (dapat dilihat pada gambar 5.2), kemungkinan saat pengukuran UT adanya korosi pitting saat pengukuran, padahal pipa jalur BM Tj.Mayo adalah satu-satunya jalur pipa yang disuntikkan dengan chemical inhibitor sesuai dengan gambar 5.4 dan untuk gambaran tentang jalur pipa 12 BM Tj.Mayo digambarkan pada Gambar 4.5. Gambar 4.4. Chemical Inhibitor -90-

5 Gambar 4.5. Pipa Jalur BM Tj.Mayo Inhibitor pada BM Tj.Mayo harus diperiksa apakah masih layak dipakai atau tidak mengingat fungsi inhibitor itu sendiri yaitu menghindari korosi internal namun yang terjadi pada pengukuran adalah adanya perbedaan ketebalan yang cukup signifikan dari 3 titik yang tidak terlalu jauh jaraknya. Dari Gambar 4.5 dapat dilihat kondisi pipa yang menyentuh tanah sehingga korosi eksternal pipa tinggi, maka sebaiknya pipa tersebut diberikan support dengan besi agar tidak menyentuh tanah Pipa 12 BM BK Pipa 12 BM - BK memiliki nilai kategorisasi 4D, Tabel 4.2 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 12 BM BK. Tabel 4.2. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi BM - BK Peralatan yang dianalisis Pipa 12 BM BK Nilai konsekuensi (ft 2 ) 3423 Kategorisasi konsekuensi D Nilai kemungkinan kegagalan 414 Kategorisasi kemungkinan 4 Risk = PoF x CoF 4D -91-

6 Dari segi konsekuensi Pipa 12 BM BK memiliki karakteristik yang hampir sama dengan pipa 12 Tanjung Mayo BM baik itu keadaan lingkungan sekitar pipa maupun keadaan fluida dari pipa tersebut termasuk nilai laju aliran fluida yang sama karena sumur BM tidak berjalan lagi. Nilai konsekuensi yang cukup tinggi disebabkan adanya faktor penduduk yang cukup banyak berbeda dengan pipa 12 Tanjung Mayo BM. Hal ini membuat adanya perbedaan nilai konsekuensi antara pipa 12 BM BK yang memiliki nilai konsekuensi lebih besar dari pipa 12 Tanjung Mayo BM. Dari segi kemungkinan kegagalan, nilai 414 didapat sebagian besar karena penipisan dan kerusakan luar, kerusakan luar pada pipa disebabkan pipa yang menyentuh tanah, dan pipa akan tergenang apabila hujan terjadi, hal ini menyebabkan korosi eksternal pipa menjadi tinggi dan akan membuat coating pipa pun akan semakin buruk kualitasnya. Dari segi penipisan internal akibat korosi merata didapat nilai ketebalan yang tipis menyebabkan nilai konstanta reduksi ketebalan yang tinggi yaitu 0,25 sehingga nilai subfaktor dari penipisan adalah 290 (belum dikalikan dengan 0,7) hal ini harus diperhatikan sebab pipa juga menyentuh tanah gambut yang basah dan asam, perbedaan dengan pipa 12 Tanjung Mayo BM terletak pada nilai ketebalannya, pipa 12 BM BK memiliki nilai ketebalan yang lebih kecil daripada pipa Tanjung Mayo BM. Pipa yang memiliki nilai ketebalan yang paling kecil ada pada KM 18 18,5 sehingga laju korosi pada jarak tersebut juga paling tinggi sesuai dengan Gambar 4.6. Hal ini menyebabkan nilai kemungkinan dari pipa 12 BM BK KM 18 18,5 juga paling tinggi seperti pada Gambar 4.7 sehingga pada KM 18 18,5 dijadikan representatif dari perhitungan. -92-

7 Laju korosi (inch/year) 0,006 0,0058 0,0056 0,0054 0,0052 0,005 0,0048 0,0046 0,0044 0,0042 0,004 17, ,5 18,5-19 jarak dari BG Tie in (km) Gambar 4.6. Laju Korosi Pipa 12 BM BK Nilai kemungkinan kegagalan , ,5 18,5-19 Jarak dari BG Tie in (km) Gambar 4.7. Nilai kemungkinan kegagalan pipa 12 BM BK -93-

8 Pipa jalur ini juga ada kemungkinan terkorosi internal sebab pipa dialiri oleh CO 2 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengukuran pipa dilakukan pada titik-titik critical yaitu pada belokan, pada pipa yang setengah terendam sehingga hal ini menyebabkan nilai ketebalan pipa 12 BM BK lebih rendah daripada pipa Tanjung Mayo BM Pipa 12 BK BH Pipa 12 BK BH memiliki nilai kategorisasi 4D, Tabel 4.3 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 12 BK - BH Tabel 4.3. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan BK BH Peralatan yang dianalisis Pipa 12 BK BH Nilai konsekuensi (ft 2 ) 4565 Kategorisasi konsekuensi D Nilai kemungkinan kegagalan 8,1 Kategorisasi kemungkinan 2 Risk = PoF x CoF 2D Pipa ini berada di bawah tanah sehingga pengukuran dilakukan pada titik-titik looping yang tentunya tidak menyentuh tanah, adanya faktor penduduk yang sangat banyak menyebabkan nilai konsekuensi tinggi, volume yang tinggi juga menyebabkan nilai konsekuensi tinggi. Dari segi kemungkinan kegagalan setelah diukur dengan Ultrasonic Testing (UT), didapat hasil yang cukup baik, pipa-pipa ini masih dalam kondisi bagus, nilai test box pada pipa juga masih dalam rentang yang baik yaitu -870 mv, tetapi pengukuran dengan UT memberikan informasi bahwasannya tidak terjadi penipisan secara signifikan pada pipa jalur BM BK ini. Hasil pengukuran dengan UT bukan berarti memiliki tingkat penipisan yang sama pada setiap tempat dimana looping itu berada. Ada satu daerah looping pipa yang memiliki -94-

9 laju korosi yang sedikit diatas pipa-pipa lainnya meskipun masih dalam batas yang wajar, pada Gambar 4.8 menunjukkan pada perbedaan jarak ukur dimana dalam hal ini looping pipa, memiliki nilai laju korosi yang berbeda-beda. 0,003 Laju korosi (inch/year) 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0, Loop 1 Loop 2 Loop 3 Loop 4 jarak dari BG Tie in (km) Gambar 4.8. Laju korosi pada jalur pipa 12 BK BH Pada Gambar 4.8 dapat dilihat pada pipa looping ke 3 memiliki nilai laju korosi yang cukup tinggi, namun nilai ini masih dalam taraf wajar dan memiliki nilai konstanta reduksi ketebalan yang tidak tinggi dimana konstanta reduksi ketebalan telah dibahas pada bab 3. Oleh karena memiliki nilai laju korosi yang berbeda-beda maka nilai Teknik Modul Subfaktor penipisan memiliki nilai yang berbeda sesuai dengan Gambar 4.9 8,2 Nilai kemungkinan kegagalan 7,8 7,4 7 6,6 Loop 1 Loop 2 Loop 3 Loop 4 Jarak dari BG Tie in (km) Gambar 4.9. Nilai kemungkinan kegagalan pada BK BH -95-

10 Dari gambar 5.9 didapatkan bahwa pada looping 1, 2, dan 4 nilai kemungkinan bernilai sama yaitu 6,7 meskipun memiliki nilai laju korosi yang berbeda tetapi memiliki nilai kemungkinan yang sama, ini dikarenakan nilai konstanta reduksi penipisan yang tergantung dari laju korosi nilainya ( a.r/t ) masih dalam range yang sama. Untuk melihat range konstanta reduksi penipisan dapat dilihat pada gambar Pipa BH BG Tie in Pipa 12 BH BG Tie in memiliki nilai kategorisasi 4D, Tabel 4.4 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 12 BH BG Tie in. Tabel 4.4. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan BH BG Tie in Peralatan yang dianalisis Pipa 12 BH BG Tie in Nilai konsekuensi (ft 2 ) 2297 Kategorisasi konsekuensi D Nilai kemungkinan kegagalan 282 Kategorisasi kemungkinan 4 Risk = PoF x CoF 4D Nilai konsekuensi dari pipa 12 jalur BH BG Tie in ini berada di bawah konsekuensi dari pipa BM BK maupun BK BH dikarenakan tidak adanya penduduk yang ada pada pipa jalur BH BG Tie in ini. Namun konsekuensi pipa BH BG Tie in ini berada diatas pipa 12 BM Tanjung mayo karena selain flow rate yang lebih tinggi, faktor fluida representatif dari pipa 12 BH BG Tie in ini memiliki fluda representatif C6-C9 dimana pengaruh fluida representatif ini akan dijelaskan kemudian. Nilai kemungkinan kegagalan berjumlah 282 disebabkan karena penipisan pada pipa 12 BH BG Tie in. Pipa jalur ini telah di support dan sepanjang jalur ini sudah di cat ulang (painting) oleh karena itu korosi eksternal pada pipa dapat ditekan, sehingga pengaruh kegagalan pipa ada pada penipisan. Nilai penipisan cukup tinggi karena sebelum pipa di support pipa ini dalam keadaan cukup mengkhawatirkan, selain pipa terendam air pipa ini -96-

11 menyentuh tanah dan sedikit terendam tanah, ada beberapa pipa di jalur ini yang bocor pada tahun dimana terdapat banyak patching pada pipa akibat pipa tersebut mengalami kebocoran. Akhirnya pada awal 2007 pipa tersebut di angkat dan di cat ulang agar menekan kemungkinan terjadi kegagalan. Akan tetapi sisa-sisa terjadinya korosi merata masih tersisa sehingga pipa masih memiliki nilai ketebalan dinding pipa yang kecil. Laju korosi di jalur pipa 12 BH BG Tie in ini memiliki nilai yang berbeda-beda, pada Gambar 4.10 dapat diketahui profil jarak terhadap laju korosi yang terjadi pada pipa 12 BH BG Tie in sehingga memudahkan untuk inspeksi. Gambar 5.11 juga menunjukkan suatu profil jarak terhadap nilai kemungkinan kegagalan dimana hal ini tentu saja sangat berguna bagi inspeksi suatu peralatan khususnya pipeline. 0,006 0,0054 0,0048 Laju korosi (inch/year) 0,0042 0,0036 0,003 0,0024 0,0018 0,0012 0, ,7 jarak dari BG Tie in (km) Gambar Profil jarak terhadap laju korosi pipa 12 BH BG Tie in -97-

12 ,7 Nilai kemungkinan keagagalan Jarak dari BG Tie in (km) Gambar Profil jarak terhadap nilai kemungkinan kegagalan BH BG Tie in Gambar 4.10 dan 4.11 memperlihatkan pada kilometer 7-8 didapatkan laju korosi dan kemungkinan kegagalan yang paling tinggi sehingga apabila melakukan suatu inspeksi khususkan pada kilometer 7-8, untuk kilometer 1-3 memiliki laju korosi dan kemungkinan kegagalan yang paling kecil Pipa 8 AC2 AC3 Pipa 8 AC2 AC3 memiliki nilai kategorisasi 3C, Tabel 4.5 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 8 AC2 AC3. Tabel 4.5. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan pipa 8 AC2 AC3 Peralatan yang dianalisis Pipa 8 AC2 AC3 Nilai konsekuensi (ft 2 ) 356 Kategorisasi konsekuensi C Nilai kemungkinan kegagalan 40,5 Kategorisasi kemungkinan 3 Risk = PoF x CoF 3C -98-

13 Dari segi konsekuensi di sekitar pipa AC2 AC3 terbentang luas pasir dengan sedikit rerumputan yang menyambung ke hutan, didaerah ini tidak ada penduduk dan flow rate pipa 8 pun cenderung tidak sebanyak pipa-pipa lainnya sehingga pipa ini memiliki nilai konsekuensi paling kecil dari pipa-pipa lainnya. Dari segi kemungkinan pipa ini baru saja di lakukan repainting dan keadaan lingkungan menyebabkan pipa tidak mengalami korosi eksternal secara signifikan, nilai kemungkinan kegagalan pipa 8 AC2 AC3 sebagian besar dikarenakan penipisan akibat korosi merata pada internal pipa. Namun nilai laju korosi yang didapat tidak membuat pipa ini mudah untuk gagal Pipa 12 AC3 BG Pipa 12 AC3 BG memiliki nilai kategorisasi 3C, Tabel 4.6 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 12 AC3 BG. Tabel 4.6. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan pipa 12 AC3 BG Peralatan yang dianalisis Pipa 12 AC3 BG Nilai konsekuensi (ft 2 ) 529 Kategorisasi konsekuensi C Nilai kemungkinan kegagalan 37 Kategorisasi kemungkinan 3 Risk = PoF x CoF 3C Dari segi konsekuensi pipa 12 AC3 BG ini mirip dengan pipa 8 AC2 AC3 dimana di sekitar pipa AC3 BG terbentang luas pasir dengan sedikit rerumputan yang menyambung ke hutan, didaerah ini tidak ada penduduk. Namun faktor flow rate pipa 12 AC3 BG dan diamter pipa yang lebih besar membuat nilai konsekuensinya pun cenderung lebih besar. -99-

14 Dari segi kemungkinan pipa ini tidak banyak perbedaan dengan pipa 12 AC2 AC3 dimana pipa baru saja di lakukan repainting dan keadaan lingkungan menyebabkan pipa tidak mengalami korosi eksternal secara signifikan, nilai kemungkinan kegagalan pipa 12 AC3 BG sebagian besar dikarenakan penipisan akibat korosi merata pada internal pipa, hanya saja nilai laju korosi pipa 12 AC3 BG lebih kecil daripada nilai laju korosi pipa 8 AC2 AC3. Namun nilai laju korosi yang didapat tidak membuat pipa ini mudah untuk gagal Pipa 16 BG BG Tie in Pipa 16 AC3 BG Tie in memiliki nilai kategorisasi 4C, Tabel 4.7 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 16 BG BG Tie in. Tabel 4.7. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan pipa 16 BG BG Tie in Peralatan yang dianalisis Pipa 12 BG BG Tie in Nilai konsekuensi (ft 2 ) 541 Kategorisasi konsekuensi C Nilai kemungkinan kegagalan 205 Kategorisasi kemungkinan 3 Risk = PoF x CoF 3C Dari segi konsekuensi pipa 16 AC3 BG ini mirip dengan pipa 8 AC2 AC3 dan pipa 12 BG BG Tie in dimana di sekitar pipa AC3 BG terbentang luas pasir dengan sedikit rerumputan yang menyambung ke hutan, didaerah ini tidak ada penduduk. Namun faktor flow rate pipa 12 AC3 BG dan diameter pipa yang lebih besar membuat nilai konsekuensinya pun cenderung lebih besar. Dari segi kemungkinan pipa 16 BG BG Tie in memiliki nilai yang cukup signifikan yaitu 149 dimana nilai tersebut sebanyak 147 merupakan kontribusi dari teknik modul subfaktor penipisan. Laju korosi yang cukup besar membuat nilai konstanta reduksi -100-

15 penipisan (ar/t) semakin besar pula sehingga nilai kemungkinan kegagalan pun semakin besar Pipa 16 BG Tie in Separator V-201 Pipa 16 BG Tie in Separator V-201 memiliki nilai kategorisasi 2D, tabel 4.8 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Pipa 16 BG Tie in Separator V-201. Tabel 4.8. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan Pipa 16 BG Tie in Separator V-201 Peralatan yang dianalisis Pipa 16 BG Tie in Separator V-201 Nilai konsekuensi (ft 2 ) 7398 Kategorisasi konsekuensi D Nilai kemungkinan kegagalan 4,7 Kategorisasi kemungkinan 2 Risk = PoF x CoF 2D Dari segi konsekuensi pipa 16 BG Tie in Separator V-201 memiliki nilai konsekuensi yang tinggi yaitu 2164 ft 2 hal ini dikarenakan pipa berada di plant dan faktor penduduk yang tidak lain adalah karyawan dari EMP Malacca Strait sendiri. Nilai flow rate yang cukup tinggi dan nilai diameter 16 membuat konsekuensi dari pipa merupakan konsekuensi yang tertinggi apabila dibandingkan dengan pipa-pipa sebelumnya. Dari segi kemungkinan pipa 16 BG Tie in Separator V-201 memiliki nilai kemungkinan yang kecil yaitu 4,7 dan nilai tersebut kelelahan mekanik memiliki kontribusi paling besar yaitu sejumlah 2,7 adanya indikasi kelelahan mekanik sebab pipa berhubungan dengan kompresor dan letak pipa yang berdekatan dengan pipa lainnya, pipa tersebut bergetar dengan secara terus menerus meskipun tidak terlalu kuat getarannya, nilai 2,7 ini bukan berarti pipa sudah pasti terkena kegagalan mekanik namun ada indikasi untuk pipa mengalami kelelahan mekanik, dan selama ini belum ada pengecekan secara terukur apakah pipa mengalami kelelahan mekanik atau tidak

16 Separator V-201 Separator V-201 memiliki nilai kategorisasi 2E, Tabel 4.9 akan menunjukkan hasil dari nilai konsekuensi, nilai kemungkinan dan kategorisasi dari Separator V-201. Tabel 4.9. Hasil perhitungan kemungkinan dan konsekuensi kegagalan Separator V-201 Peralatan yang dianalisis Separator V-201 Nilai konsekuensi (ft 2 ) Kategorisasi konsekuensi E Nilai kemungkinan kegagalan 2,7 Kategorisasi kemungkinan 2 Risk = PoF x CoF 2E Nilai konsekuensi kegagalan Separator V-201 adalah yang paling tinggi dari 9 segmen yqang dianaisis penyebebnya karena separator memiliki diameter yang sangat besar yaitu 144 inchi, diameter yang sangat besar ini menampung fluida dalam jumlah yang sangat besar. Letak Separator V-201 yang berada dalam Kurau Process Plant dan penduduk yang lebih dari 100 orang tinggal di sekitar plant membuat konsekuensi kegagalan dari separator menjadi sangat tinggi. Nilai kemungkinan kegagalan dari Separator V-201 sangat kecil karena secara historical separator jarang mengalami kegagalan, tapi hal ini bukan berarti inspeksi diabaikan, inspeksi tetap dijalankan tetapi cukup satu tahun sekali seperti biasa atau inspeksi secara visual dirasa sudah cukup. Selain itu nilai ketebalan separator yang masih sangat baik membuat nilai laju korosi sangat kecil. Dari hasil seluruh segmen yang dianalisis, seluruh segmen memiliki indikasi adanya korosi interna berupa pitting sebab seluruh fluida yang mengalir terdapat CO 2 yang -102-

17 apabila bereaksi dengan H 2 O akan menghasilkan H 2 CO 3 yang dapat menghasilkan korosi internal berupa pitting. Oleh karena itu alangkah baiknya menggunakan intelegent pig untuk mengetahuinya namun dengan cost yang tinggi dan pipa yang sudah banyak di patching maka sudah tidak memungkinkan lagi dilakukannya intelegent pig. Namun alat LRUT ( Long Range Ultrasonic Testing ) dapat digunakan untuk pengukuran korosi-korosi yang terjadi di dalam pipa namun pengukuran dilakukan pada eksternal pipa Kategorisasi Konsekuensi Kegagalan Dari nilai seluruh konsekuensi kegagalan yang telah dihitung berdasarkan perhitungan API 581 semikuantitatif dianalisis pengaruh-pengaruh apa saja yang mempengaruhi tingkat kategorisasi konsekuensi. Pada Gambar 4.12 dapat dilihat pengaruh flow rate, dan pengaruh diameter pipa terhadap konsekuensi kegagalan Konsekuensi (ft2) Flow rate (BOPD) 0 Pipa 8 AC2 AC3 Pipa 12 AC3 BG Pipa 16 BG BG Tie Pipa 16 BG Tie in in Separator V Jalur pipa Flow Rate konsekuensi Gambar Pengaruh diameter pipa dan flow rate terhadap nilai konsekuensi kegagalan -103-

18 Dari Gambar 4.12 dapat dilihat semakin besar diameter pipa memiliki kecenderungan konsekuensi kegagalan lebih besar apabila dibandingkan dengan pipa berdiameter lebih kecil sebab secara logika pipa berdiameter lebih besar dapat menampung fluida dengan jumlah yang lebih besar daripada pipa berdiameter lebih kecil sehingga luas area keterbakarannya pun akan semakin luas. Selain dari diameter pipa, dari Gambar 4.12 dapat dilihat semakin besar flow rate akan memiliki kecenderungan konsekuensi kegagalan yang lebih luas daripada pipa dengan nilai flow rate yang lebih kecil. Semakin besar flow rate mengindikasikan semakin besar minyak yang terkandung dimana minyak merupakan fluida yang mudah terbakar. Selain dari diameter pipa dan flow rate banyak hal lagi yang mempengaruhi besar konsekuensi dan penentuan fluida representatif salah satunya dimana pengaruh fluida representatif terhadap konsekuensi kegagalan akan diperlihatkan pada Gambar 4.13 dimana untuk mengetahui pengaruh dari fluida representatif, seluruh nilai operasi dianggap sama kecuali nilai fluida representatif Konsekuensi (ft2) C6 - C9 C9 - C12 C13 - C16 Fluida Representatif Gambar Pengaruh fluida representatif terhadap konsekuensi kegagalan -104-

19 Dari Gambar 4.13 dapat dilihat fluida representatif C6 C9 memiliki kecenderungan konsekuensi yang paling tinggi diantara 3 fluida representatif yang lainnya, dan fluida representatif C13 C16 memiliki kecenderungan nilai konsekuensi paling rendah dibanding dengan 3 fluida representatif lainnya, hal ini dikarenakan pada tabel 3.17 hingga 3.20 fluida representatif C6 C9 memiliki nilai pengali yang lebih besar daripada ketiga fluida representatif yang lain Kategorisasi Kemungkinan Kegagalan Dari seluruh faktor kerusakan yang dihitung pada API 581, faktor kerusakan akibat penipisan adaah kerusakan yang selalu ada pada peralatan yang dianalisis, jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju korosi terukur dengan menggunakan Ultrasonic testing. Peralatan yang mengalami penipisan paling besar terdapat pada pipa jalur BH BG Tie in dimana nilai kemungkinan kegagalan berupa penipisan memiliki nilai 280 dari total 282 nilai kemungkinan kegagalan pada pipa jalur BH BG Tie in. Selain faktor kemungkinan kegagalan berupa penipisan yang berpengaruh, faktor kemungkinan kegagalan berupa kelelahan mekanik juga dihitung dan satu-satunya pipa yang ada kemungkinan terpengaruh kelelahan mekanik adalah pipa jalur BG Tie in Separator V-201 dimana indikasi ini muncul karena adanya getaran cukup tinggi pada pipa 16 BG Tie in Separator V-201. Faktor lain pada peralatan yang dianalisis adalah Korosi eksternal pada pipa sesuai dengan pertanyaan saringan yang ada, seuluruh pipa juga terkena korosi eksternal namun hanya ada 2 jalur pipa yang memiliki nilai diatas 1 yaitu pipa jalur tanjung mayo BM dan pipa BM BK hal ini dikarenakan kedua jalur pipa ini menyentuh tanah dan korosi yang terjadi adalah CUI eksternal karena pipa diisolasi. Kondisi eksternal di sepanjang pipa Tanjung mayo BM, BM BK, BH BG Tie in semuanya temperate dan selebihnya arid

20 4.2. Penentuan Umur Pipa dan Separator Penentuan umur peralatan erat kaitannya dengan prioritas inspeksi dimana peralatan yang memiliki umur sisa lebih cepat harus di inspeksi terlebih dahulu apabila dibandingkan dengan peralatan yang memiliki umur yang lebih lama. Ada beberapa metode penentuan umur peralatan, pada penelitian kali ini penentuan umur peralatan ditentukan dan dibandingkan dengan dua cara, yang pertama adalah cara perusahaan EMP Malacca Strait dalam mencari umur pipa yaitu dengan analisis penipisan dengan penentuan T req (rumus untuk mendapatkannya dapat dilihat pada persamaan 3.10) dimana nilai tersebut merupakan ketebalan minimum yang diijinkan suatu peralatan dalam beroperasi. Variabel yang berubah ada pada ketebalan peralatan dimana asumsi yang telah disepakati korosi yang terjadi adalah korosi merata sehingga apabila di plot dalam grafik nilai ketebalan akan berubah secara garis lurus sesuai dengan bertambahnya umur suatu peralatan. Sedangkan yang kedua adalah dengan menganalisis tegangan yang bekerja Analisis Penipisan Ada 3 batasan dalam penentuan T req karena pada rumus terdapat nilai S (allowable stress) sesuai dengan teori untuk API 5L X-42 nilai S ada 3 yaitu : SMYS x 0,72 ( psi ) SMYS ( psi ) UTS ( psi ) Dimana dari ketiga nilai S tersebut tentunya nilai S dari UTS akan memiliki nilai T req yang paling kecil daripada nilai S dari SMYS x 0,72 yang artinya umur peralatan dengan UTS sebagai allowable stress akan semakin panjang. Selama ini perusahaan EMP Malacca Strait memakai nilai SMYS x 0,72 sebagai batas aman pemakaian umur peralatan. Pada Tabel 4.10 diperlihatkan umur sisa peralatan dengan menggunakan analisis pengurangan ketebalan karena laju korosi yang tetap

21 Tabel Umur sisa peralatan dengan analisis penipisan Segmen Umur sisa dengan S pada T rec = SMYS x 0,72 (years) Umur sisa dengan S pada T rec = SMYS (years) Umur sisa dengan S pada T rec = UTS (years) Separator V-201 >150 >150 >150 Pipa 12 tj.mayo BM Pipa 12 BM BK Pipa 12 BK BH Pipa 12 BH BG Tie in Pipa 8 AC2 AC Pipa 12 AC3 BG Pipa 16 BG BG Tie in Pipa 16 BG Tie in Separator V Dapat dilihat umur pipa dengan analisis penipisan memiliki umur sisa yang masih sangat lama, umur pipa tercepat dimiliki oleh pipa dari BH BG Tie in dengan 26 tahun yang akan datang atau tepatnya pada tahun Panjangnya umur pipa ini disebabkan hanya pengaruh penipisan saja (tidak terpengaruh pressure pada pipa yang memiliki pressure cukup tinggi) berupa korosi merata yang bekerja pada peralatan sehingga pada grafik pencarian pipa yang failure nilai ketebalannya akan turun linier seiring bertambahnya tahun. Oleh karena itu diperlukan suatu perhitungan umur pipa yang dipengaruhi oleh penipisan dan tekanan pada peralatan yaitu dengan analisis tegangan. V.2.2. Analisis Tegangan Umur sisa peralatan juga dapat dihitung dengan pengaruh penipisan dan pressure pada peralatan dengan cara menghitung tegangan hoop pada pipa sesuai dengan Persamaan (2.3). Batasan dari nilai tersebut, yaitu : SMYS x 0,72 ( psi ) SMYS ( psi ) UTS ( psi ) -107-

22 Berbeda dengan perhitungan T req dimana ketiga batasan tersebut dimasukkan kedalam rumus sehingga didapat ketebalan minimumnya, pada perhitungan umur sisa peralatan dengan anlisis hoop ketiga batasan tersebut tidak dimasukkan kedalam suatu rumus karena ketiga nilai tersebutlah yang menjadi batasan dari perhitungan tegangan hoop dimana nilai perpotongan antara tegangan hoop dan perbatasan itulah umur sisa peralatan. Pada Tabel 4.11 terlihat umur sisa peralatan dengan analsis tegangan hoop. Tabel Umur sisa peralatan dengan menggunakan tegangan hoop Umur sisa dengan Umur sisa dengan Umur sisa Segmen batasan SMYS x batasan SMYS dengan batasan 0,72 (years) (years) UTS (years) Separator V-201 >150 >150 >150 Pipa 12 tj.mayo BM Pipa 12 BM BK Pipa 12 BK BH Pipa 12 BH BG Tie in Pipa 8 AC2 AC Pipa 12 AC3 BG Pipa 16 BG BG Tie in Pipa 16 BG Tie in Separator V Dari Tabel 4.11 dapat diketahui umur sisa yang paling cepat adalah pipa dengan jalur BH BG Tie in dimana pada 2 tahun yang akan datang yaitu pada tahun 2011 pipa sudah memasuki batas SMYS x 0,72 namun sebenarnya pipa tersebut masih aman untuk digunakan, tetapi alangkah baiknya apabila setelah pipa melewati daerah batasan tegangannya maka pipa tersebut harus di inspeksi lebih intensif dan menjadi pertimbangan untuk menjadi prioritas inspeksi. Separator V-201 memiliki umur sisa yang sangat lama sebab separator ini berada di plant sehingga separator selalu di inspeksi, Separator V-201 baru saja di painting ulang, dan ketebalan dinding separator masih sangat baik, keadaan separator yang seperti ini harus dijaga agar tidak mengalami kegagalan

23 Setelah dihitung analisis berbasis risiko dan umur pipa, maka untuk mengetahui apakah hasil perhitungan dengan kondisi aktual di lapangan adalah dengan menghitung Maximum Allowable Operation Pressure (M.A.O.P) sesuai dengan Persamaan (2.2) dimana apabila pressure operasi melebihi nilai M.A.O.P (M.A.O.P < P op ) maka peralatan tersebut seharusnya sudah mengalami kegagalan. Namun sebaliknya apabila nilai M.A.O.P berada diatas pressure operasi ( M.A.O.P > P op ) maka pipa seharusnya masih dalam keadaan baik. Pada Tabel 4.12 menunjukkan keadaan nilai M.A.O.P dan kondisi keamanan pipa terhadap nilai M.A.O.P. Tabel Nilai M.A.O.P dan tingkat keamanan pipa Nilai M.A.O.P yang paling tinggi dimiliki oleh pipa jalur AC2-AC3 dan nilai paling kecil adalah separator V-201 dimana diameter separator paling besar. Semakin besar diameter peralatan maka nilai M.A.O.P pun akan semakin kecil Umpan Balik Inspeksi Berbasis Risiko Inspeksi berbasis risiko dapat memberikan pemecahan masalah terhadap begitu banyaknya alat yang diinspeksi. Pengaturan frekuensi dan pemilihan metode inspeksi merupakan tugas yang paling penting karena meningkatnya kesadaran akan keselamatan, -109-

24 banyaknya peralatan yang sudah berumur dan biaya efektifitas dalam mengelola peralatan. Pada API 581 tidak semua kerusakan dipandu dalam merencanakan inspeksi. Adapun mekanisme kerusakan pada pipa adalah penipisan, SCC, kelelahan mekanik dan kerusakan luar. Modul penipisan tidak memuat perencanaan inspeksi yang disarankan berdasarkan subfaktor secara langsung tetapi perencanaan inspeksi dilakukan dengan mensimulasikan beberapa rencana inspeksi lalu memilih paling efektif diantara rencana-rencana tersebut. Sebagai contoh perhitungan inspeksi adalah pipa 12 Tanjung Mayo BG dengan nilai konstanta reduksi ketebalan ( a.r/t ) adalah 0,2 dan dengan efektifitas inspeksi fairly maka nilai modul penipisan adalah 149 sesuai dengan Tabel Maka untuk menurunkan nilai tersebut jumlah inspeksi tiap tahunnya harus ditambah seperti dijelaskan dalam Gambar Nilai kemungkinan kegagalan Banyak inspeksi dalam 1 tahun nilai TMSF Penipisan batas kemungkinan low batas kemungkinan medium Gambar Banyaknya inspeksi yang disarankan untuk mengurangi nilai kemungkinan kegagalan Pada Gambar 4.14 dapat dilihat dimana inspeksi baiknay dilakukan 5 tahun sekali untuk mengurangi tingkat kemungkinan kegagalan hingga mencapai batas low. Tabel 4.13 akan -110-

25 memperlihatkan seluruh saran inspeksi yang direkomendasikan untuk EMP Malacca Strait. Tabel Saran inspeksi dari hasil analisis perhitungan risiko semikuantitatif Segmen Separator V-201 Saran inspeksi Inspeksi cukup dengan UT dan setahun sekali Pipa 12 tj.mayo BM 1. lakukan inspeksi sebanyak 5 kali dalam 1 tahun dengan UT khususnya pada km Cek keadaan inhibitor 3. Baiknya lakukan intelegent pig Pipa 12 BM BK 1. lakukan inspeksi sebanyak 6 kali dalam 1 tahun dengan UT khususnya pada km 18 18,5 2. Baiknya lakukan intelegent pig Pipa 12 BK BH 1. Cek test box 2. Inspeksi dapat dilakukan setaun sekali dengan UT terutama pipa looping 3 Pipa 12 BH BG Tie in 1. Inspeksi dilakukan 6 kali satu tahun dengan UT terutama pada km Sangat disarankan menggunakan intelegent pig atau LRUT Pipa 8 AC2 AC3 1. Inspeksi dilakukan baiknya 3 kali dalam setahun 2. Inspeksi dengan UT probe tegak 3. Lakukan intelegent pig Pipa 12 AC3 BG 1. Inspeksi dilakukan baiknya 3 kali dalam setahun 2. Inspeksi dengan UT probe tegak 3. Lakukan intelegent pig atau LRUT Pipa 16 BG BG Tie in 1. Inspeksi dilakukan baiknya 5 kali dalam setahun 2. lakukan intelegent pig atau LRUT 3. Untuk inspeksi lakukan baiknya dengan UT probe sudut Pipa 16 BG Tie in Separator V Lakukan NDT dengan menggunakan magnetic particle testing 2. Modifikasi pipa oleh seorang engineer bila diperlukan Selain dari inspeksi-inspeksi pada Tabel 4.14 alangkah baiknya apabila seluruh jalur pipa maupun separator V-201 digunakan coupon corrosion sebagai laju korosi pembanding terhadap hasil pengukuran ketebalan inspeksi sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap laju korosi. Lalu dengan melakukan pengamatan rutin terhadap komposisi aliran, perubahan temperatur dan tekanan, pembersihan permukaan pipa yang tidak diinsulasi, melakukan pengamatan insulasi pada pipa yang terinsulasi, dan pengematan keadaan support, cabang, fitting, dan katub pada perpipaan.saran untuk para inspektor EMP Malacca Strait adalah dengan mengikuti pelatihan berbasis risiko agar petugas tanggap dan cermat dalam memelihara peralatan dan mengantisipasi kegagalan

26 4.4. Ringkasan Hasil perhitungan risiko jalur pipa Kurau dan Separator V-201 disarikan melalui risk maping sebagaimana diperlihatkan pada Gambar Pada gambar tersebut dapat dilihat segmen pipa yang memiliki tingkat risiko yang lebih besar dibanding yang lainnya, sehingga perlu mendapat perhatian lebih melalui program inspeksi yang intensif. Gambar Hasil perhitungan beserta maping analisis -112-

27 Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan portable UT, dimana nilai yang didapat memberikan hasil laju korosi yang seragam untuk suatu segmen pipa tertentu. Pemeriksaan ini juga tidak dapat mendeteksi korosi lokal pada dinding pipa. Berdasarkan catatan operasi telah terjadi kebocoran pada beberapa segmen pipa. Hal ini menunjukkan adanya laju korosi yang lebih cepat dibandingkan dengan laju korosi menurut pengukuran dengan menggunakan portable UT. Ketidakpastian ini menjelaskan tingkat risiko yang sebenarnya mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan nilai risiko menurut hasil yang diperoleh. Tingkat akurasi perhitungan risiko ini dapat diperbaiki setelah inspeksi dengan menggunakan intelegent pig dilakukan -113-

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Separator minyak dan pipa-pipa pendukungnya memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu proses pengilangan minyak. Separator berfungsi memisahkan zat-zat termasuk

Lebih terperinci

BAB III PERHITUNGAN RESIKO

BAB III PERHITUNGAN RESIKO BAB III PERHITUNGAN RESIKO 3.1. Diagram Alir Perhitungan Risiko Perhitungan dilakukan pada pipa Kurau dan Separator V-201 dengan perhitungan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1 dimana data masukan berupa

Lebih terperinci

INSPEKSI BERBASIS RISIKO DAN PENENTUAN UMUR SISA JALUR PIPA KURAU DAN SEPARATOR V-201 EMP MALACCA STRAIT. Oleh : ALRIZAL DIYATNO NIM

INSPEKSI BERBASIS RISIKO DAN PENENTUAN UMUR SISA JALUR PIPA KURAU DAN SEPARATOR V-201 EMP MALACCA STRAIT. Oleh : ALRIZAL DIYATNO NIM INSPEKSI BERBASIS RISIKO DAN PENENTUAN UMUR SISA JALUR PIPA KURAU DAN SEPARATOR V-201 EMP MALACCA STRAIT Tugas Sarjana Diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan tingkat sarjana Program Studi Teknik Metalurgi

Lebih terperinci

SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI. Arif Rahman H ( )

SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI. Arif Rahman H ( ) SIDANG P3 JULI 2010 ANALISA RESIKO PADA ELBOW PIPE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI Arif Rahman H (4305 100 064) Dosen Pembimbing : 1. Ir. Hasan Ikhwani, M.Sc 2. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D Materi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV. 1 PERHITUNGAN CORROSION RATE PIPA Berdasarkan Corrosion Rate Qualitative Criteria (NACE RP0775-99), terdapat empat (4) tingkat laju korosi (hilangnya ketebalan per mm/

Lebih terperinci

SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010

SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010 SIDANG P3 TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK KELAUTAN 28 JANUARI 2010 Analisa Resiko pada Reducer Pipeline Akibat Internal Corrosion dengan Metode RBI (Risk Based Inspection) Oleh: Zulfikar A. H. Lubis 4305 100

Lebih terperinci

Tugas Akhir (MO )

Tugas Akhir (MO ) Company Logo Tugas Akhir (MO 091336) Aplikasi Metode Pipeline Integrity Management System pada Pipa Bawah Laut Maxi Yoel Renda 4306.100.019 Dosen Pembimbing : 1. Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D. 2. Ir.

Lebih terperinci

4.1 INDENTIFIKASI SISTEM

4.1 INDENTIFIKASI SISTEM BAB IV ANALISIS 4.1 INDENTIFIKASI SISTEM. 4.1.1 Identifikasi Pipa Pipa gas merupakan pipa baja API 5L Grade B Schedule 40. Pipa jenis ini merupakan pipa baja dengan kadar karbon maksimal 0,28 % [15]. Pipa

Lebih terperinci

SKRIPSI PURBADI PUTRANTO DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008 OLEH

SKRIPSI PURBADI PUTRANTO DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008 OLEH PENILAIAN KELAYAKAN PAKAI (FFS ASSESSMENTS) DENGAN METODE REMAINING WALL THICKNESS PADA PIPING SYSTEM DI FLOW SECTION DAN COMPRESSION SECTION FASILITAS PRODUKSI LEPAS PANTAI M2 SKRIPSI OLEH PURBADI PUTRANTO

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini yaitu mengurangi dan mengendalikan resiko maka dalam penelitian ini tentunya salah satu bagian utamanya

Lebih terperinci

Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator

Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-89 Studi Aplikasi Metode Risk Based Inspection (RBI) Semi-Kuantitatif API 581 pada Production Separator Moamar Al Qathafi dan

Lebih terperinci

BAB II INSPEKSI BERBASIS RISIKO

BAB II INSPEKSI BERBASIS RISIKO BAB II INSPEKSI BERBASIS RISIKO 2.1. Inspeksi Berbasis Risiko Berdasarkan API 581 Inspeksi Berbasis Risiko (Risk Based Inspection) adalah suatu metode inspeksi yang menggunakan risiko (risk) sebagai dasar

Lebih terperinci

BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI

BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI BAB III DATA DESAIN DAN HASIL INSPEKSI III. 1 DATA DESAIN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah merupakan data dari sebuah offshore platform yang terletak pada perairan Laut Jawa, di utara Propinsi

Lebih terperinci

1 BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korosi merupakan salah satu masalah utama dalam dunia industri. Tentunya karena korosi menyebabkan kegagalan pada material yang berujung pada kerusakan pada peralatan

Lebih terperinci

Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG

Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG Penilaian Risiko dan Penjadwalan Inspeksi pada Pressure Vessel Gas Separation Unit dengan Metode Risk Based Inspection pada CPPG Aga Audi Permana 1*, Eko Julianto 2, Adi Wirawan Husodo 3 1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB 4 DATA HASIL PENGUJIAN

BAB 4 DATA HASIL PENGUJIAN 30 BAB 4 DATA HASIL PENGUJIAN Data data hasil penelitian mencakup semua data yang dibutuhkan untuk penentuan laju korosi dari metode metode yang digunakan (kupon, software, dan metal loss). Pengambilan

Lebih terperinci

STUDI ANALISIS RESIKO PADA PIPELINE OIL DAN GAS DENGAN METODE RISK ASSESMENT KENT MUHLBAUER DAN RISK BASED INSPECTION API REKOMENDASI 581

STUDI ANALISIS RESIKO PADA PIPELINE OIL DAN GAS DENGAN METODE RISK ASSESMENT KENT MUHLBAUER DAN RISK BASED INSPECTION API REKOMENDASI 581 SIDANG TUGAS AKHIR - RL 1585 JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FTI-ITS STUDI ANALISIS RESIKO PADA PIPELINE OIL DAN GAS DENGAN METODE RISK ASSESMENT KENT MUHLBAUER DAN RISK BASED INSPECTION API REKOMENDASI

Lebih terperinci

Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring)

Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 G-218 Studi RBI (Risk Based Inspection) Floating Hose pada SPM (Single Point Mooring) Dwi Angga Septianto, Daniel M. Rosyid, dan Wisnu Wardhana

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Stasiun Pengolahan Gas (PFD)

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Stasiun Pengolahan Gas (PFD) BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Analisa Klasifikasi Awal 4.1.1 Analisa Ruang Lingkup RBI Berdasarkan ruang lingkup yang telah ditentukan di awal bahwa penelitian ini akan dilaksanakan pada suatu stasiun pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga

BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga BAB IV Pengaruh Parameter Desain, Kondisi Operasi dan Pihak Ketiga Pada bab ini dianalisis pengaruh dari variasi parameter kondisi pipeline terhadap kategori resiko pipeline. Dengan berbagai macam parameter

Lebih terperinci

BAB IV DATA SISTEM PIPELINE DAERAH PORONG

BAB IV DATA SISTEM PIPELINE DAERAH PORONG BAB IV DATA SISTEM PIPELINE DAERAH PORONG Sistem pipeline yang dipilih sebagai studi kasus adalah sistem pipeline yang terdapat di daerah Porong, Siodarjo, Jawa Timur yang lokasinya berdekatan dengan daerah

Lebih terperinci

BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN BAB 3 DATA DAN PEMBAHASAN III.1 DATA III.1.1 Pipeline and Instrument Diagram (P&ID) Untuk menggambarkan letak dari probe dan coupon yang akan ditempatkan maka dibutuhkan suatu gambar teknik yang menggambarkan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, hasil pengolahan data untuk analisis jaringan pipa bawah laut yang terkena korosi internal akan dibahas lebih lanjut. Pengaruh operasional pipa terhadap laju korosi dari

Lebih terperinci

Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection (RBI)

Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection (RBI) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-356 Analisis Remaining Life dan Penjadwalan Program Inspeksi pada Pressure Vessel dengan Menggunakan Metode Risk Based Inspection

Lebih terperinci

1 BAB IV DATA PENELITIAN

1 BAB IV DATA PENELITIAN 47 1 BAB IV DATA PENELITIAN 4.1 Pengumpulan Data Dan Informasi Awal 4.1.1 Data Operasional Berkaitan dengan data awal dan informasi mengenai pipa ini, maka didapat beberapa data teknis mengenai line pipe

Lebih terperinci

Analisa Pemasangan Ekspansi Loop Akibat Terjadinya Upheaval Buckling pada Onshore Pipeline

Analisa Pemasangan Ekspansi Loop Akibat Terjadinya Upheaval Buckling pada Onshore Pipeline Sidang Tugas Akhir Analisa Pemasangan Ekspansi Loop Akibat Terjadinya Upheaval Buckling pada Onshore Pipeline HARIONO NRP. 4309 100 103 Dosen Pembimbing : 1. Dr. Ir. Handayanu, M.Sc 2. Yoyok Setyo H.,ST.MT.PhD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG Pada lingkungan industri modern saat ini, kegagalan sistem (failure) akibat korosi adalah hal yang tidak ditolerir, terutama ketika hal tersebut melibatkan penghentian

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN HASIL SURVEY

BAB III METODE DAN HASIL SURVEY BAB III METODE DAN HASIL SURVEY 3.1 SURVEY 3.1.1 Pengukuran Ketebalan Pipa Dan Coating. Pengukuran ketebalan pipa dan coating dilakukan untuk mengetahui ketebalan aktual pipa dan coating. Sebelum dilakukan

Lebih terperinci

ANALISA RESIKO PADA REDUCER PIPELINE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI (RISK BASED INSPECTION)

ANALISA RESIKO PADA REDUCER PIPELINE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI (RISK BASED INSPECTION) ANALISA RESIKO PADA REDUCER PIPELINE AKIBAT INTERNAL CORROSION DENGAN METODE RBI (RISK BASED INSPECTION) Z. A. H. Lubis 1 ; D. M. Rosyid 2 ; H. Ikhwani 3 1) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan, ITS-Surabaya

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 3 ISSN (E) :

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 3 ISSN (E) : KOMPARASI HARAPAN UMUR PAKAI ANTARA DESAIN AWAL PIPA DENGAN HASIL PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN ERF PIGGING PADA JARINGAN PIPA DISTRIBUSI GAS PT. XYZ DARI TEMPINO KECIL KE PAYO SELINCAH, JAMBI Hary Munandar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada jaman sekarang minyak masih menjadi kebutuhan bahan bakar yang utama bagi manusia. Minyak sangat penting untuk menggerakkan kehidupan dan roda perekonomian.

Lebih terperinci

Prasetyo Muhardadi

Prasetyo Muhardadi ANALISA KEKUATAN SISA PIPELINE AKIBAT CORROSION BERBASIS KEANDALANDI PETROCHINA-PERTAMINA TUBAN Oleh: Prasetyo Muhardadi 4305 100 039 Dosen Pembimbing: 1.Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, PhD 2. Prof. Ir. Soegiono

Lebih terperinci

4.1 ANALISA PENGUJIAN KEKERASAN MATERIAL

4.1 ANALISA PENGUJIAN KEKERASAN MATERIAL xxxiii BAB IV ANALISA 4.1 ANALISA PENGUJIAN KEKERASAN MATERIAL Dari pengujian kekerasan material dapat disimpulkan bahwa nilai kekerasan material master block, wing valve dan loop spool berada dalam rentang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. Ketebalan pipa dapat berbeda-beda sesuai keadaan suatu sistem perpipaan.

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. Ketebalan pipa dapat berbeda-beda sesuai keadaan suatu sistem perpipaan. BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Perhitungan dan Analisa Tegangan 4.1.1 Perhitungan Ketebalan Minimum Ketebalan pipa dapat berbeda-beda sesuai keadaan suatu sistem perpipaan. Perbedaan ketebalan pipa

Lebih terperinci

BAB V ANALISA HASIL. Dari hasil perhitungan awal dapat diketahui data-data sebagai berikut :

BAB V ANALISA HASIL. Dari hasil perhitungan awal dapat diketahui data-data sebagai berikut : BAB V ANALISA HASIL 5.1. Evaluasi Perhitungan Secara Manual 1. Tegangan-tegangan utama maksimum pada pipa. Dari hasil perhitungan awal dapat diketahui data-data sebagai berikut : - Diameter luar pipa (Do)

Lebih terperinci

NAJA HIMAWAN

NAJA HIMAWAN NAJA HIMAWAN 4306 100 093 Ir. Imam Rochani, M.Sc. Ir. Hasan Ikhwani, M.Sc. ANALISIS PERBANDINGAN PERANCANGAN PADA ONSHORE PIPELINE MENGGUNAKAN MATERIAL GLASS-REINFORCED POLYMER (GRP) DAN CARBON STEEL BERBASIS

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Analisis Risk (Resiko) dan Risk Assessment Risk (resiko) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Sebagai contoh apabila seseorang ingin melakukan suatu kegiatan

Lebih terperinci

Muhammad

Muhammad Oleh: Muhammad 707 100 058 Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pembimbing: Ir. Muchtar Karokaro M.Sc Sutarsis ST, M.Sc Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

Non Destructive Testing

Non Destructive Testing Prinsip dan Metode dari NDT dan Risk Based Inspeksi Non Destructive Testing Pengujian tak merusak (NDT) adalah aktivitas pengujian atau inspeksi terhadap suatu benda/material untuk mengetahui adanya cacat,

Lebih terperinci

Bab 3 Data Operasi Sistem Perpipaan pada Topside Platform

Bab 3 Data Operasi Sistem Perpipaan pada Topside Platform Bab 3 Data Operasi Sistem Perpipaan pada Topside Platform Pada area pengeboran minyak dan gas bumi Lima, Laut Jawa milik British Petrolium, diketahui telah mengalami fenomena subsidence pada kedalaman

Lebih terperinci

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN 3.1. Perhitungan Ketebalan Pipa (Thickness) Penentuan ketebalan pipa (thickness) adalah suatu proses dimana akan ditentukan schedule pipa yang akan digunakan. Diameter pipa

Lebih terperinci

UJIAN P3 TUGAS AKHIR 20 JULI 2010

UJIAN P3 TUGAS AKHIR 20 JULI 2010 UJIAN P3 TUGAS AKHIR 20 JULI 2010 ANALISA RISIKO TERHADAP PIPA GAS BAWAH LAUT KODECO AKIBAT SCOURING SEDIMEN DASAR LAUT OLEH : REZHA RUBBYANTO 4306.100.026 DOSEN PEMBIMBING : 1. Dr. Ir. Wahyudi, M. Sc

Lebih terperinci

Penilaian Risiko Dan Perencanaan Inspeksi Pipa Transmisi Gas Alam Cepu-Semarang Menggunakan Metode Risk Based Inspection Semi-Kuantitatif Api 581

Penilaian Risiko Dan Perencanaan Inspeksi Pipa Transmisi Gas Alam Cepu-Semarang Menggunakan Metode Risk Based Inspection Semi-Kuantitatif Api 581 MESIN, Vol. 25, No. 1, 2016, 18-28 18 Penilaian Risiko Dan Perencanaan Inspeksi Pipa Transmisi Gas Alam Cepu-Semarang Menggunakan Metode Risk Based Inspection Semi-Kuantitatif Api 581 Gunawan Dwi Haryadi

Lebih terperinci

Muhammad (NRP )

Muhammad (NRP ) IMPLEMENTASI RISK ASSESSMENT PADA PIPELINE GAS JALUR BADAK - BONTANG Muhammad (NRP. 2707100058) Dosen Pembimbing : Ir. Muchtar Karokaro, M.Sc. ; Sutarsis, ST. M.Sc., Fakultas Teknologi Industri Institut

Lebih terperinci

ANALISA PELETAKAN BOOSTER PUMP PADA ONSHORE PIPELINE JOB PPEJ (JOINT OPERATING BODY PERTAMINA PETROCHINA EAST JAVA)

ANALISA PELETAKAN BOOSTER PUMP PADA ONSHORE PIPELINE JOB PPEJ (JOINT OPERATING BODY PERTAMINA PETROCHINA EAST JAVA) ANALISA PELETAKAN BOOSTER PUMP PADA ONSHORE PIPELINE JOB PPEJ (JOINT OPERATING BODY PERTAMINA PETROCHINA EAST JAVA) O l e h : D eb r i n a A l f i t r i Ke n t a n i a 4 3 1 0 1 0 0 0 7 9 D o s e n Pe

Lebih terperinci

Pemeriksaan secara visual dengan mata, kadang kadang memakai kaca pembesar. 2.

Pemeriksaan secara visual dengan mata, kadang kadang memakai kaca pembesar. 2. III. PENGUJIAN TANPA MERUSAK (N D T) 1. Pengertian NDT NDT adalah singkatan non destruktif test, yang artinya adalah pengujian tak merusak. Maksud dari pengujian ini adalah bahwa bendanya tidak akan dirusak,

Lebih terperinci

BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN

BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN BAB III STUDI PENGARUH PERUBAHAN VARIABEL TERHADAP KONSEKUENSI KEGAGALAN Seluruh jenis konsekuensi kegagalan dicari nilainya melalui perhitungan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Salah satu input

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PERUMUSAN MASALAH. Bagaimana pengaruh interaksi antar korosi terhadap tegangan pada pipa?

PENDAHULUAN PERUMUSAN MASALAH. Bagaimana pengaruh interaksi antar korosi terhadap tegangan pada pipa? PENDAHULUAN Korosi yang menyerang sebuah pipa akan berbeda kedalaman dan ukurannya Jarak antara korosi satu dengan yang lain juga akan mempengaruhi kondisi pipa. Dibutuhkan analisa lebih lanjut mengenai

Lebih terperinci

Korosi Retak Tegang (SCC) Baja Karbon AISI 1010 dalam Lingkungan NaCl- H 2 O-H 2 S

Korosi Retak Tegang (SCC) Baja Karbon AISI 1010 dalam Lingkungan NaCl- H 2 O-H 2 S Korosi Retak Tegang (SCC) Baja Karbon AISI 1010 dalam Lingkungan NaCl- H 2 O-H 2 S (Agus Solehudin)* * Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FPTK Universitas Pendidikan Indonesia Emai : asolehudin@upi.edu Abstrak

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN Analisis Tekanan Isi Pipa

BAB IV PEMBAHASAN Analisis Tekanan Isi Pipa BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini akan dilakukan analisis studi kasus pada pipa penyalur yang dipendam di bawah tanah (onshore pipeline) yang telah mengalami upheaval buckling. Dari analisis ini nantinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tugas akhir ini akan dilakukan perancangan bejana tekan vertikal dan simulasi pembebanan eksentrik pada nozzle dengan studi kasus pada separator kluster 4 Fluid

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISIS

BAB IV DATA DAN ANALISIS 52 BAB IV DATA DAN ANALISIS 4.1 Kondisi Umum Pipa Kondisi umum pipa penyalur gas milik Salamander Energy yang digunakan sebagai studi kasus analisis resiko adalah sebagai berikut: Pipa penyalur ini merupakan

Lebih terperinci

Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline

Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline JURNAL TEKNIK ITS Vol., No. (Sept. 0) ISSN: 30-97 G-80 Analisa Risiko dan Langkah Mitigasi pada Offshore Pipeline Wahyu Abdullah, Daniel M. Rosyid, dan Wahyudi Citrosiswoyo Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

Gambar 11. Perbandingan hasil produksi antara data lapangan dengan metode modifikasi Boberg- Lantz pada sumur ADA#22

Gambar 11. Perbandingan hasil produksi antara data lapangan dengan metode modifikasi Boberg- Lantz pada sumur ADA#22 Sekali lagi dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa perbandigan kurva produksi metode modifikasi Boberg-Lantz dengan data lapangan berpola mendekati. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan produksi

Lebih terperinci

FULL DEVELOPMENT OF PIPELINE NETWORKING AT X FIELD

FULL DEVELOPMENT OF PIPELINE NETWORKING AT X FIELD Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 FULL DEVELOPMENT OF PIPELINE NETWORKING AT X FIELD Fazri Apip Jurusan Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Kebumian

Lebih terperinci

BAB V ANALISA HASIL. 1. Tegangan-tegangan utama maksimum pada pipa. Dari hasil perhitungan awal dapat diketahui data-data sebagai berikut :

BAB V ANALISA HASIL. 1. Tegangan-tegangan utama maksimum pada pipa. Dari hasil perhitungan awal dapat diketahui data-data sebagai berikut : BAB V ANALISA HASIL 5.1. Evaluasi Perhitungan Secara Manual 1. Tegangan-tegangan utama maksimum pada pipa. Dari hasil perhitungan awal dapat diketahui data-data sebagai berikut : - Diameter luar pipa (Do)

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III PROSEDUR ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA BAB III PROSEDUR ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini akan membahas tentang prosedur penelitian yang tergambar dalam diagram metodologi pada gambar 1.1. Selain itu bab ini juga akan membahas pengolahan

Lebih terperinci

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor. 7 Gambar Sistem kalibrasi dengan satu sensor. Besarnya debit aliran diukur dengan menggunakan wadah ukur. Wadah ukur tersebut di tempatkan pada tempat keluarnya aliran yang kemudian diukur volumenya terhadap

Lebih terperinci

Bab 4 Pemodelan Sistem Perpipaan dan Analisis Tegangan

Bab 4 Pemodelan Sistem Perpipaan dan Analisis Tegangan Bab 4 Pemodelan Sistem Perpipaan dan Analisis Tegangan Pada bab ini akan dilakukan pemodelan dan analisis tegangan sistem perpipaan pada topside platform. Pemodelan dilakukan berdasarkan gambar isometrik

Lebih terperinci

PIPELINE STRESS ANALYSIS PADA ONSHORE DESIGN JALUR PIPA BARU DARI CENTRAL PROCESSING AREA(CPA) JOB -PPEJ KE PALANG STATION DENGAN PENDEKATAN CAESAR

PIPELINE STRESS ANALYSIS PADA ONSHORE DESIGN JALUR PIPA BARU DARI CENTRAL PROCESSING AREA(CPA) JOB -PPEJ KE PALANG STATION DENGAN PENDEKATAN CAESAR P3 PIPELINE STRESS ANALYSIS PADA ONSHORE DESIGN JALUR PIPA BARU DARI CENTRAL PROCESSING AREA(CPA) JOB -PPEJ KE PALANG STATION DENGAN PENDEKATAN CAESAR II P3 PIPELINE STRESS ANALYSIS ON THE ONSHORE DESIGN

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan minyak, maka berbagai cara dilakukan untuk dapat menaikkan produksi minyak, adapun beberapa cara yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Penampang luar pipa elbow

Gambar 4.1 Penampang luar pipa elbow BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Latar Belakang Material Material yang digunakan pada penelitian ini merupakan material yang berasal dari pipa elbow pada pipa jalur buangan dari pompa-pompa pendingin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Diagram alir studi perencanaan jalur perpipaan dari free water knock out. Mulai

BAB III METODE PENELITIAN. Diagram alir studi perencanaan jalur perpipaan dari free water knock out. Mulai BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Diagram Alir ( Flow Chart ) Diagram alir studi perencanaan jalur perpipaan dari free water knock out (FWKO) ke pump suction diberikan pada Gambar 3.1 Mulai Perumusan Masalah

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Sistem perpipaan steam 17 bar

Gambar 1.1 Sistem perpipaan steam 17 bar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya bahan bakar minyak dan gas, menjadi kebutuhan utama untuk dunia transportasi, dunia industri, dan rumah tangga. Setiap tahun kebutuhan akan pasokan bahan

Lebih terperinci

Manajemen Resiko Korosi Internal pada Pipa Penyalur Minyak

Manajemen Resiko Korosi Internal pada Pipa Penyalur Minyak Manajemen Resiko Korosi Internal pada Pipa Penyalur Minyak Oleh : Bagus Indrajaya 4309 100 026 Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D.,M.RINA Ir. Hasan Ikhwani, M. Sc. Outline Pendahuluan

Lebih terperinci

Analisa Resiko Penggelaran Pipa Penyalur Bawah Laut Ø 6 inch

Analisa Resiko Penggelaran Pipa Penyalur Bawah Laut Ø 6 inch Analisa Resiko Penggelaran Pipa Penyalur Bawah Laut Ø 6 inch Oleh : NOURMALITA AFIFAH 4306 100 068 Dosen Pembimbing : Ir. Jusuf Sutomo, M.Sc Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D Agenda Presentasi : Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS 28 BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS 4.1 Kondisi Operasi Kondisi operasi dan informasi teknis dari sampel sesuai dengan data lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.1, sedangkan posisi sample dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB III PERHITUNGAN PERALATAN PEMADAM KEBAKARAN 3.1 PERHITUNGAN JUMLAH HIDRAN, SPRINKLER DAN PEMADAM

BAB III PERHITUNGAN PERALATAN PEMADAM KEBAKARAN 3.1 PERHITUNGAN JUMLAH HIDRAN, SPRINKLER DAN PEMADAM BAB III PERHITUNGAN PERALATAN PEMADAM KEBAKARAN 3.1 PERHITUNGAN JUMLAH HIDRAN, SPRINKLER DAN PEMADAM API RINGAN. Tabel 3.1 Jumlah Hidran, Sprinkler dan Pemadam Api Ringan No Uraian Elevasi (m) Luas Bersih

Lebih terperinci

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 32 BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 PELAKSANAAN Kerja praktek dilaksanakan pada tanggal 01 Februari 28 februari 2017 pada unit boiler PPSDM MIGAS Cepu Kabupaten Blora, Jawa tengah. 4.1.1 Tahapan kegiatan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Upheaval Buckling Pada Pipa Penyalur Minyak di Riau ± 21 km

Gambar 3.1 Upheaval Buckling Pada Pipa Penyalur Minyak di Riau ± 21 km BAB III STUDI KASUS APANGAN 3.1. Umum Pada bab ini akan dilakukan studi kasus pada pipa penyalur minyak yang dipendam di bawa tana (onsore pipeline). Namun karena dibutukan untuk inspeksi keadaan pipa,

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. [CO 2 ] = H. pco 2 (2.1) pco 2 = (mol % CO 2 ) x (gas pressure) (2.2)

BAB 2 DASAR TEORI. [CO 2 ] = H. pco 2 (2.1) pco 2 = (mol % CO 2 ) x (gas pressure) (2.2) iv BAB 2 DASAR TEORI Sistem produksi minyak dan gas terutama untuk anjungan lepas pantai memerlukan biaya yang tinggi untuk pemasangan, pengoperasian dan perawatan. Hal ini diakibatkan faktor geografis

Lebih terperinci

Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak

Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Manajemen Resiko Korosi pada Pipa Penyalur Minyak Bagus Indrajaya, Daniel M. Rosyid, dan Hasan Ikhwani Jurusan Teknik Kelautan,

Lebih terperinci

ANALISA RANCANGAN PIPE SUPPORT PADA SISTEM PERPIPAAN DARI POMPA MENUJU PRESSURE VESSE DAN HEAT EXCHANGER DENGAN PENDEKATAN CAESARR II

ANALISA RANCANGAN PIPE SUPPORT PADA SISTEM PERPIPAAN DARI POMPA MENUJU PRESSURE VESSE DAN HEAT EXCHANGER DENGAN PENDEKATAN CAESARR II ANALISA RANCANGAN PIPE SUPPORT PADA SISTEM PERPIPAAN DARI POMPA MENUJU PRESSURE VESSE DAN HEAT EXCHANGER DENGAN PENDEKATAN CAESARR II Asvin B. Saputra 2710 100 105 Dosen Pembimbing: Budi Agung Kurniawan,

Lebih terperinci

PROSEDUR MOBILISASI DAN PEMASANGAN PIPA AIR MINUM SUPLEMEN MODUL SPAM PERPIPAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN POLA KKN TEMATIK

PROSEDUR MOBILISASI DAN PEMASANGAN PIPA AIR MINUM SUPLEMEN MODUL SPAM PERPIPAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN POLA KKN TEMATIK PROSEDUR MOBILISASI DAN PEMASANGAN PIPA AIR MINUM SUPLEMEN MODUL SPAM PERPIPAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN POLA KKN TEMATIK A. DEFINISI - Pengangkutan Pekerjaan pemindahan pipa dari lokasi penumpukan ke

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR DESAIN, OPERASI DAN PIHAK KETIGA TERHADAP KATEGORI RESIKO PIPELINE. Dodi Novianus Kurniawan

PENGARUH FAKTOR DESAIN, OPERASI DAN PIHAK KETIGA TERHADAP KATEGORI RESIKO PIPELINE. Dodi Novianus Kurniawan PENGARUH FAKTOR DESAIN, OPERASI DAN PIHAK KETIGA TERHADAP KATEGORI RESIKO PIPELINE Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Teknik Mesin Oleh: Dodi Novianus Kurniawan 231 06 022

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Diagram alir studi perencanaan jalur perpipaan dari tower DA-501 ke tower DA-401 dijelaskan seperti diagram alir dibawah ini: Mulai Memasukan Sistem Perpipaan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI II. 1 PROSES PENGOLAHAN MIGAS

BAB II DASAR TEORI II. 1 PROSES PENGOLAHAN MIGAS BAB II DASAR TEORI II. 1 PROSES PENGOLAHAN MIGAS Minyak dan gas alam yang akan diolah diambil dari dalam tanah dengan menggunakan sumur-sumur pompa, baik di darat (onshore) maupun lepas pantai (offshore).

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN ANALISA SISTEM PERPIPAAN PROCESS PLANT DENGAN METODE ELEMEN HINGGA

PERANCANGAN DAN ANALISA SISTEM PERPIPAAN PROCESS PLANT DENGAN METODE ELEMEN HINGGA PERANCANGAN DAN ANALISA SISTEM PERPIPAAN PROCESS PLANT DENGAN METODE ELEMEN HINGGA *Hendri Hafid Firdaus 1, Djoeli Satrijo 2 1 Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro 2

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis History

BAB V ANALISIS BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis History BAB V ANALISIS 5.1 Analisis History Seperti telah diuraikan di Bab III bahwa hasil perkiraan tingkat risiko yang dijadikan dasar untuk membuat Corrosion Mapping disandingkan dengan data historis yang dapat

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2 (2017), ( X Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2 (2017), ( X Print) Analisa Pengaruh Jarak Sistem Proteksi Water Hammer Pada Sistem Perpipaan (Studi Kasus Di Rumah Pompa Produksi Unit Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) Karang Pilang 3 Distribusi Wonocolo PT PDAM Surya

Lebih terperinci

SOLUSI PENURUNAN PRODUKSI MIGAS DENGAN MENGGUNAKAN METODA RISK BASED INSPECTION (RBI) Muh.Yudi MS, Johni wahyuadi S.,

SOLUSI PENURUNAN PRODUKSI MIGAS DENGAN MENGGUNAKAN METODA RISK BASED INSPECTION (RBI) Muh.Yudi MS, Johni wahyuadi S., IATMI 2006-TS-15 PROSIDING, Simposium Nasional & Kongres IX Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) 2006 Hotel The Ritz Carlton Jakarta, 15-17 November 2006 SOLUSI PENURUNAN PRODUKSI MIGAS DENGAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

Kondisi Abnormal pada Proses Produksi Migas

Kondisi Abnormal pada Proses Produksi Migas Di dalam proses produksi migas (minyak dan gas), ada beberapa kejadiaan merugikan yang tidak diinginkan yang bisa mengancam keselamatan. Jika tidak ditangani dengan baik, kejadian tersebut bisa mengarah

Lebih terperinci

Perhitungan Teknis LITERATUR MULAI STUDI SELESAI. DATA LAPANGAN : -Data Onshore Pipeline -Data Lingkungan -Mapping Sector HASIL DESAIN

Perhitungan Teknis LITERATUR MULAI STUDI SELESAI. DATA LAPANGAN : -Data Onshore Pipeline -Data Lingkungan -Mapping Sector HASIL DESAIN MULAI STUDI LITERATUR DATA LAPANGAN : -Data Onshore Pipeline -Data Lingkungan -Mapping Sector DATA NON LAPANGAN : -Data Dimensi Anode -Data Harga Anode DESAIN MATERIAL ANODE DESAIN TIPE ANODE Perhitungan

Lebih terperinci

Analisa Tegangan pada Pipa yang Memiliki Korosi Sumuran Berbentuk Limas dengan Variasi Kedalaman Korosi

Analisa Tegangan pada Pipa yang Memiliki Korosi Sumuran Berbentuk Limas dengan Variasi Kedalaman Korosi 1 Analisa Tegangan pada Pipa yang Memiliki Sumuran Berbentuk Limas dengan Variasi Kedalaman Muhammad S. Sholikhin, Imam Rochani, dan Yoyok S. Hadiwidodo Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2000-an berkembang isu didunia internasional akan dampak

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 2000-an berkembang isu didunia internasional akan dampak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2000-an berkembang isu didunia internasional akan dampak dari konsumsi bahan bakar minyak yang menjadi topik utama di berbagai media massa. Salah satu dampaknya

Lebih terperinci

4 BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISA

4 BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISA 4 BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISA 4.1 Data Penelitian Data material pipa API-5L Gr B ditunjukkan pada Tabel 4.1, sedangkan kondisi kerja pada sistem perpipaan unloading line dari jetty menuju plan ditunjukan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI,

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI, [Home] KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR: 300.K/38/M.PE/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI, MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Analisa Kekuatan Sambungan Pipa Yang Menggunakan Expansion Joint Pada Sambungan Tegak Lurus

TUGAS AKHIR. Analisa Kekuatan Sambungan Pipa Yang Menggunakan Expansion Joint Pada Sambungan Tegak Lurus TUGAS AKHIR Analisa Kekuatan Sambungan Pipa Yang Menggunakan Expansion Joint Pada Sambungan Tegak Lurus Diajukan guna melengkapi sebagian syarat dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR 27 BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR 4.1 Pemilihan Sistem Pemanasan Air Terdapat beberapa alternatif sistem pemanasan air yang dapat dilakukan, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab 2.2.1 mengenai

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (213) ISSN: 2337-3539 (231-9271 Print) 1 Analisa Peletakan Booster Pump pada Onshore Pipeline JOB PPEJ (Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java) Debrina

Lebih terperinci

SEPARATOR. Nama Anggota: PITRI YANTI ( } KARINDAH ADE SYAPUTRI ( ) LISA ARIYANTI ( )

SEPARATOR. Nama Anggota: PITRI YANTI ( } KARINDAH ADE SYAPUTRI ( ) LISA ARIYANTI ( ) SEPARATOR Nama Anggota: PITRI YANTI (03121403032} KARINDAH ADE SYAPUTRI (03121403042) LISA ARIYANTI (03121403058) 1.Separator Separator merupakan peralatan awal dalam industri minyak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

ANALISA KOROSI BAUT PENYANGGA OCEAN BOTTOM UNIT (OBU) RANGKAIAN SISTEM PERINGATAN DINI TSUNAMI PADA PERAIRAN PELABUHAN RATU.

ANALISA KOROSI BAUT PENYANGGA OCEAN BOTTOM UNIT (OBU) RANGKAIAN SISTEM PERINGATAN DINI TSUNAMI PADA PERAIRAN PELABUHAN RATU. ANALISA KOROSI BAUT PENYANGGA OCEAN BOTTOM UNIT (OBU) RANGKAIAN SISTEM PERINGATAN DINI TSUNAMI PADA PERAIRAN PELABUHAN RATU Oleh: Zefanya Christa (2709 100 019) Dosen Pembimbing: Budi Agung Kurniawan,

Lebih terperinci

ini merupakan nilai asli yang didapat oleh mikrokontroler tanpa perkalian

ini merupakan nilai asli yang didapat oleh mikrokontroler tanpa perkalian BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada sistem pringatan dini bahaya banjir, terdapat beberapa pengujian yang telah dilakukan yaitu pengujian terhadap sensor Ultrasonik SRF02, sensor pembaca kecepatan air,

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI. 2.1 Lokasi dan kondisi terjadinya kegagalan pada sistem pipa. 5th failure July 13

Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI. 2.1 Lokasi dan kondisi terjadinya kegagalan pada sistem pipa. 5th failure July 13 BAB II DASAR TEORI 2.1 Lokasi dan kondisi terjadinya kegagalan pada sistem pipa 4th failure February 13 1st failure March 07 5th failure July 13 2nd failure Oct 09 3rd failure Jan 11 Gambar 2.1 Riwayat

Lebih terperinci

ANALISA KEGAGALAN PIPA BAJA TAHAN KARAT 316L DI BANGUNAN LEPAS PANTAI PANGKAH-GRESIK

ANALISA KEGAGALAN PIPA BAJA TAHAN KARAT 316L DI BANGUNAN LEPAS PANTAI PANGKAH-GRESIK ANALISA KEGAGALAN PIPA BAJA TAHAN KARAT 316L DI BANGUNAN LEPAS PANTAI PANGKAH-GRESIK SALMON PASKALIS SIHOMBING NRP 2709100068 Dosen Pembimbing: Dr. Hosta Ardhyananta S.T., M.Sc. NIP. 198012072005011004

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN 4.1 Perhitungan Ketebalan Minimum ( Minimum Wall Thickess) Dari persamaan 2.13 perhitungan ketebalan minimum dapat dihitung dan persamaan 2.15 dan 2.16 untuk pipa bending

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN Penelitian yang di gunakan oleh penulis dengan metode deskritif kuantitatif. Yang dimaksud dengan deskritif kuantitatif adalah jenis penelitian terhadap masalah masalah berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT. Bukit Asam adalah perusahaan penghasil batu bara terbesar di Indonesia yang bertempat di Tanjung Enim, Sumatra Selatan, Indonesia. PT. Bukit Asam menggunakan pembangkit

Lebih terperinci