... "". t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "... "". t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR."

Transkripsi

1 ',',~:' c '\"~l, ;, ~,,:,~~'".,1'."'... ;,;...~~'.t... J, ".:rr ",.,t;,:..'tr~,'".~"... :~... ;!.t:~* ( ' ~ \ KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS Oleh NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan B !>... "". t'..' FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1985

2 RINGKASAN Nasip Eli. Kemungkinan Pasteurella multocida Sebagai Zoonosis adalah suatu studi literatur dibawah bimbingan Drh. Roso Soejoedono, MPH. E. multocida merupakan suatu organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada berbagai hewan. Umumnya penyakit tersebut dikenal sebagai pasteurellosis. Serotipe E. multocida ditentukan dengan mengkombinasi antigen somatik (dinyatakan dengan nomor) dengan antigen kapsul (dinyatakan dengan abjad) misalnya serotipe l:a, 3:A, 6:B dan seterusnya. Habitat utama organisme ini adalah bagian atas saluran respirasi dan saluran digesti, penularan utama dari hewan ke hewan adalah secara kontak langsung melalui kedua saluran tersebut. Sedangkan penularan deri hewan ke manusia adalah melalui gigitan dan cakaran anjing dan kucing. Pada hewan pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan cara imunisasi, kemotherapi, perbaikan sanitasi, ventilasi dan mengurangi kepadatan hewan sedangkan pada manusia belum ada suatu cara yang efektif untuk mencegah penyakit ini, usaha pencegahan penyakit pada hewan tidak dapat menurunkan kasus pasteurellosis pada manusia karena hewan yang sangat berperan adalah anjing dan kucing. Tapi hewan ini tidak dimasukkan dalam usaha pencegahan.

3 KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS SKRIPSI Oleh NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan B Skripsi ini diajukan kepada Pani tia Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. FAKULTAS KEDOKTERAN HEW AN INSTITUT PERTANIAN 1985 BOGOR

4 KEMUNGKINAN Pasteurella mu1tocida SEBAGAI ZOONOSIS.< Oleh NASIP BIN ELI SARJANA KEDOKTERAN HEWAN B Skripsi ini te1ah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing. /il'rlt0yv"c)'.-,r\/&~ (!Drh. RosOUSoejoedono, MPH. Tanggal: j I

5 BIOGRAFI Penulis dilahirkan di Kota Belud, Sabah, Malaysia pada tanggal 10 Mei Dia merupakan pu~ra bongsu dari lima orang bersaudara. Beliau menerima pendidikan dasar di Sekolah Rendah Kerajaan Kota Belud, Sabah. Pada tahun 1970 beliau mendapat beasiswa dari Kerajaan Negeri Sa bah untuk melanj'utkan pendidikan menengah di Sekolah Datuk Abdul Razak, Seremban, Negeri Sembilan dan selesai pada tahun Sebelum melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor beliau pernah berkhidmat di Bank Pertanian Malaysia cabang Kota Kinabalu selama lebih kurang satu tahun. Pada tahun 1979, beliau ditawarkan beasiswa oleh Kerajaan Negeri Sabah untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor khususnya di Fakultas Kedokteran Hewan dan 1ulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada bulan Agustus 1984.

6 KATA PENGHANTAR Kemungkinan Pasteurella multocida Sebagai Zoonosis, merupakan suatu studi literatur mengenai epidemiologi, kasus-kasus infeksi pada b.e.rbagai hewan dan manusia serta pencegahan dan pengendalian penyakit. E. multocida sudah dikenal sejak tahun 1880, tapi pada waktu itu hanya dianggap sebagai mikroorganisme yang hanya menyerang hewan dan unggas. Pada tahun 1969 dengan adanya beberapa kasus penularan dari hewan ke manusia maka Schwabe mengklasifikasikan mikroorganisme ini sebagai 'emerging zoonosis'. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Drh. Roso Soejoedono, MPH selaku dosen pembimbing atas segala saran, kritik dan bimbingannya selama studi ini dilaksanakan. Juga ucapan terima kasih penulis kepada Pegawai Perpustakaan Fakultas Kedokteran Hewan, Balai Penelitian Penyakit Hewan (BPPH Bogor) dan Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi serta kepada semua pihak yang telah membantu sehingga selesainya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa isi daripada skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh yang demikian segala kritik, saran dan teguran sentiasa diharapkan demi untuk melengkapi dan memperbaiki isi skripsi ini. Akhir sekali penulis mengharapkan semoga hasil yang tertuang dalam skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Januari 1985 Penulis

7 DAFTAR lsi Halaman DAFTAR TABEL vi.' I; PENDAHULUAN. 1 II. EPIDEMIOlOGI. 4 Agen Penyebab 6 Reservoir 10 Cara Keluar 10 Cara Transmisi. 12 Cara Masuk 13 Host Yang Peka 13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian 13 III. INFEKSI Pasteurella multocida PADA MANUSIA 18 IV. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 24 Imunisasi. 24 Kemotherapi 26 Pencegahan 26 V. PEMBAHASAN 29 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 33 DAFTAR PUSTAKA 37

8 DAFTAR TABEL Nomor Ha1aman 1. Ringkasan serotipe )2. mu1tocida yang umum dijumpai pada berbagai hewan 7 2. Hubungan an tara serotipe )2. mu1tocida dengan species host dan patogenisitasnya Host dari E. multocida Lokasi anatomis dari infeksi )2. mu1tocida da1am hubungannya terhadap kemungkinan hewan sebagai sumber infeksi se1ain dengan cara gigi tan

9 1. PENDAHULUAN Pasteurellg. adalah genus sekelompok bakteri yang termasuk dalam Familia Brucellaceae (B~uner dan Gillespie, 1973). Pemberian nama tersebut didasarkan atas jasa seorang ahli mikrobiologi asal Perancis bernama Pasteur (Bruner dan Gillespie, 1973; Buxton dan Fraser, 1977). Beliau berhasil untuk pertama kalinya'mengidentifikasi mikroorganisme,penyebab penyakit kolera pada ayam (fowl cholera), yang sekarang ini dikenal sebagai Pasteurella multocida. Genus lain yang bersifat patogen yang termasuk dalam familia ini adalah Bordetella, Brucella, Hemophilus, Moraxella dan Actinobacillus, umumnya kecil berbentuk kokoid sampai bentuk batang (Bruner dan Gillespie, 1973). Penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella umumnya disebut pasteurellosis (Steele, 1979; West, 1979; Bruner dan Gillespie, 1977). Ini merupakan sindrom penyakit yang beragam luas pada hewan berdarah panas. Pada species ayam bentuk epidemik dari infeksi ;e. multocida dikenal se bagai kolera ayam. Pada sapi berbagai macam septicemia masih umum dibeberapa bagian benua Asia dan Afrika dan ini sering dikaitkan dengan beberapa serotipe E. multocida (Steele, 1979). E. multocida dan E. hemolitica sangat berperan terhadap pneumonia pada hewan terutama ruminansia. Salah satu penyakit pada sapi yang disebut shipping fever atau stockyard pneumonia atau transport fever sering diasosiasikan

10 2 dengan hewan yang mengalami stress akibat transportasi yang jauh dan lama. Penyakit yang sama juga terdapat pada domba dan disebut 'enzootic pneumonia' atau 'summer pneumonia'. Pneumonia yang bersifat fibrinosa pada babi merupakan infeksi sekunder oleh E. multocida setelah hewan tersebut diserang oleh virus. Istilah 'snuffle' sering digunakan pada kelinci yang terinfeksi pada saluran respirasi bagian atas oleh. multocida (Steele, 1979). Pada kerbau penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut barbone (Buxton dan Fraser, 1977). Pada hewan telah banyak diketahui tentang penyakitpenyakit yang disebabkan oleh Pasteurella terutama E. multocida, tetapi bagaimana kasusnya dengan manusia? Akhirakhir ini beberapa literatur menyatakan bahwa. multocida termasuk dalam zoonosis, yaitu suatu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya (Schwabe, 1979). Kasus pertama infeksi E. multocida pada manusia (disebut purperal sepsis) adalah pada seorang wanita yang tinggal dikawasan peternakan (Brugnatelli, 1913 dalam Schwabe, 1969). Walaupun Brugnatelli menceritakan dalam literatur veterinernya mengenai E. multocida, tetapi tidak dijelaskan secara spesifik bahwa wanita tersebut mendapat infeksi dari hewan. Menurut Brugnatelli agen penyebab mempunyai sifat-sifat motil dan resisten terhadap cairan empedu yang mana sifatsifat tersebut tidak dimiliki oleh P. rnultocida (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975).

11 Dua kasus infeksi pada saluran pernafasan dilaporkan pada tahun 1919 (Debre dan Hundes, 1919 dalam Hubbert, Mc,Culloch dan Schnurrenberger, 1975). Dalam, dua abad terakhir ini laporan mengenai penyakit pada manusia yang disebabkan,< oleh. multocida telah banyak dipublikasi, ini menunjukkan bahwa hewan sebagai reservoir adalah sumber infeksi yang paling mungkin. Karpal dan Holm pada tahun 1930 membuktikan bahwa kasus. multocida dapat ditransmisikan dari hewan ke manusia, yaitu dari gigitan kucing (Schwabe, 1969). Pada tahun 1969 Schwabe mengklasifikasikan. multocida sebagai 'emerging zoonosis' dan hal ini tentu dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan manusia. Tujuan mengadakan studi literatur ini adalah untuk mengenal sifat-sifat. multocida lebih mendalam, menggumpul kasus-kasus zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme ini serta mempelajari kemungkinan berbagai faktor yang berperan dalam penularan penyakit dari hewan ke manusia. 3

12 II. EPIDEMIOLOGI E. multocida pertama sekali diidentifikasi oleh Pasteur, ketika itu beliau bersama rekan-rekannya sedang menyelidiki suatu epidemik penyakit pada ayam dan berhasil mengisolasi bakteri yang mempunyai sifat-sifat yang sarna dengan Paste~rella. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa gejala klinis yang terlihat pada ayam tersebut sangat menyerupai gejala-gejala kolera pada manusia, dengan demikian mereka menyebutnya sebagai kolera ayam atau fowl cholera. Dalam beberapa literatur sering ada kekeliruan antarafowl cholera dengan fowl thypoid, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella ga1linarum yang pada waktu itu penyebarannya lebih luas dibanding dengan kolera ayam (Buxton dan Fraser, 1977). E. multocida mempunyai sinonim yang bermacam-macam, misalnya E. septica, E. boviseptica, E. suiseptica dan E. aviseptica. Pemberian nama tersebut tergantung pada species hewan yang terinfeksi oleh mikroorganisme tersebut (Buxton dan Fraser, 1977). E. multocida mempunyai bentuk kokoid, berukuran sekitar 0,3 mikron lebar dan panjangnya 0,4 mikron. Pewarnaan yang tipis dari suatu jaringan memperlihatkan bagian ujung batang lebih gelap daripada bagian tengah, sehingga memberikan gambaran yang bipolar. Tapi sifat-sifat ini tidak begitu kelihatan pada mikroorganisme yang dibiakkan dan dalam beberapa kasus sangat mudah terganggu oleh pewarnaan yang berlebihan.

13 5 Bersifat gram negatif dan tidak membentuk spora. Beberapa strain membentuk substansi kapsul bila baru diisolasi, tapi sifat-sifat ini biasanya akan segera hilang (Bruner dan Gillespie, 1973). E. multocida akan tumbuh secara aerobik atau anaerobik dengan tekanan oksigen yang rendah, temperatur yang optimal adalah 37 C. Pada media laboratorium yang umum digunakan E. mu1tocida dapat tumbuh, tapi pertumbuhan ini akan dipercepat dengan adanya serum atau darah pada media tersebut (Buxton dan Fraser, 1977). Pada agar, koloni dari E. multocida memperlihatkan pol a disosiasi yang secara praktis dapat dibagi menjadi tiga variasi, yaitu: i) koloni mukoid yang besar dengan virulensi terhadap mencit sedang saja, ii) adalah koloni licin atau flourescent colony, ukurannya sedang dan iii) adalah koloni kasar (rough) atau koloni biru, ukurannya relatif kecil, virulensi terhadap mencit rendah (Bruner dan Gillespie, 1973). E. multocida tidak tahan terhadap bahan kimia dan perubahan fisik, dapat dengan mudah diinaktifkan dengan semua bahan-bahan disinfektan. Beberapa penulis beranggapan bahwa mikroorganisme ini tersebar luas atau ditemukan dim ana-mana sebagai saprofit. Kebanyakan hidup pada membrana mukosa yang normal dan masih diragukan apakah mereka bisa berkembang pada tempat lain (Bruner dan Gillespie, 1973). Namioka dan Murata pada tahun 1964 dalam studinya memperlihatkan bentuk kompleks dari antigen somatik dan adanya antigen bersama (shared antigens) diantara strain yang di-

14 6 ambi1 dari berbagai sumber. Kesemuanya ada 11 antigen somatik yang berbeda te1ah diidentifikasi, dan antigen struktur dari tiap E. multocida sekarang dapat dikemukakan dengan nomor yang menunjukkan antigen somatik, kemudian diikuti oleh abjad yang menunjukkan antigen kapsu1 (Buxton dan Fraser 1977). Tabe1 1 memper1ihatkan serotipe-serotipe yang umum dijumpai pada berbagai hewan. Pada sapi masa 'inkubasi adalah 2 sampai 5 hari. Onset biasanya mendadak, pada hari pertama atau hari kedua akan terlihat diare berdarah, pneumonia dan demam. Pada hari kedua atau ketiga akan terjadi perkembangan 1ebih 1anjut, biasanya 1ebih parah. Kematian umumnya terjadi da1am waktu 24 jam pada satu atau beberapa ekor yang pertama terkena penyakit. Umumnya semua kematian terjadi dalam waktu 2 atau 3 hari pertama. Khusus pada sapi mortalitas umumnya tinggi dan disertai dengan demam yang tinggi (Udall, 1978)..i)gen Penyebab Kuman Pasteurella yang pertama kalinya ditemukan oleh Pasteur pada tahun 1880 pada sekelompok ayam yang menderita ko1era. Kitt pada tahun 1886 memberi nama pada mikroorganisme tersebut sebagai Bacterium bipo1are mu1tocidum. Oleh karena identitas mikroorganisme ini dan persamaan penyakit yang ter1ihat pada bermacam species hewan membuat Hueppe pada tahun yang sama mengelompokkan mereka dalam satu nama yaitu Bacterium septicemiae haemorrhagicae. Pada tahun ber-

15 7 Tabel 1. Ringkasan serotipe Pasteurella multocida yang umum dijumpai pada berbagai hewan. (Modifikasi dari Namioka dan Bruner, 1963 dan Carter" 1967 dalam Buxton dan Fraser, 1977)..' Serotipe l:a 3:A 5:A 7:A 8:A 9:A 6:B l:d 2:D 3:D 4:D lo:d 6:E Species host Babi Mencit Babi Ayam Kalkun Itik Babi Sa pi Ayam Kalkun Sapi Babi Domba Babi Kucing Babi Domba Babi Sa pi Penyakit Pneumonia Sepsis Pneumonia Kolera ayam Kolera ayam Kolera ayam Pneumonia Sepsis Kolera ayam Kolera ayam Septicemia epizootica Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Septicemia epizootica

16 8 ikutnya Trevison mengusulkan agar mikroorganisme ini dibagi dalam beberapa species, tapi dikelompokkan dalam satu genus yaitu Pasteurella, sebagai menghormati orang yang pertama menemukan mikroorganisme tersebut. Lignieres pada tahun 1900 mengusulkan agar nama kuman sesuai dengan nama hewan yang diserang. Kemudian Rosenbusch dan Merchant pada tahun 1939 mengusulkan agar mikroorganisme yang menyebabkan septicemia epizootica pada berbagai hewan digolongkan dalam satu species yaitu. multocida. Nomenclatur yang terakhir inilah yang digunakan sampai sekarang (Bruner dan Gillespie, 1973). Roberts pada tahun 1947 membagi kuman. multocida menjadi 4 serotipe yaitu serotipe 1,11,111 dan IV, pembagian ini didasarkan atas 'mouse protection test', kemudian ditambah oleh Hudson (1945) dengan serotipe V. Carter pada tahun 1955 membagi kuman. multocida kedalam 5 serotipe yaitu serotipe A, B, C, D dan E, dasar pembagiannya adalah sifat-sifat antigen selubung (kapsul) kuman dalam 'indirect hemagglutination test'. Oleh sesuatu sebab serotipe C dicabut dari pembagian. Sejak tahun 1952, dari 14 negara Afrika dan Asia sejumlah 120 strain Pasteurella yang telah diperiksa, ternyata keseluruhannya termasuk dalam serotipe I klasifikasi Roberts (Direktorat Kesehatan Hewan, 1981). Hubungan kedua klasifikasi (Roberts dan Carter) dapat dilihat dalam tabel 2, yang telah dimodifikasi oleh Namioka (Steele, 1979). Penentuan serotipe kuman. multocida dilakukan dengan mengkombinasi tipe antigen somatik dengan tipe antigen selubung (kapsul), misalnya kuman penyebab septicemia epizoo-

17 tica di Asia dengan serotipe 6:B, di Afrika Tengah dengan 6:E, ko1era unggas dengan 5:A dan 9:A, shipping fever dengan l:a atau l:d dan sebagainya (Direktorat Kesehatan Hewan, 1981)..' Kuman E. multocida berbentuk coccobacillus, ukuran sangat halus dan bersi.fat bipolar. Sifat bipolar ini 1ebih jelas ter1ihat pada kuman yang baru diiso1asi dari penderita dan diwarnai misa1nya dengan cara Giemsa Wright atau dengan karbo1 fuchsin. Kuman ini bersifat gram negatif, tidak membentuk spora, non-motil dan mempunyai selubung yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama. Koloni kuman yang baru diiso1asi dari penderita atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama ke1amaan berubah menjadi 1icin (smooth) atau kasar (rough). Koloni yang bersifat iridescent pada pengelihatan dari permukaan bawah cawan petri, biasanya masih virulen. Kuman ini membebaskan gas yang berbau seperti sperma (Direktorat Kesehatan Hewan, 1981) Gambaran preva1ensi pada hewan sehat sebagai carrier sangat bervariasi dari satu species dengan species yang lain. Pada tahun 1955 Smith dalam reviewnya memberikan gambaran prevalensi carrier pada hewan sebagai berikut: 3,5% pada sapi dan 90% pada kucing. Beberapa literatur menyatakan bahwa prosentase ini ada1ah sebesar 5,56% pad a domba, 9% pada babi dan 79,5% pada anjing. Sedangkan pada popu1asi tertentu burung gereja, merpati dan tikus yang pernah kontak dengan suatu wabah kolera ayam, ratio carri 9

18 10 cara berurutan adalah 35%, 66% dan 77%. Pada saluran respirasi manusia, prevalensi yang pernah dilaporkan adalah sebesar 0,2 sampai 0,25% (Bruner dan Gillespie, 1973). Reservoir Hewan merupakan host primer dari E. multocida dan merupakan reservoir yang paling penting terhadap infeksi pada manusia. Hampir semua mammalia dan unggas merupakan host yang primer bagi E. multocida (Steele, 1979). Tabel 3 memperlihatkan daftar mammalia dan ordo unggas yang pernah diketahui sebagai hostnya. Qara Keluar Habitat utama E. multocida adalah permukaan mukosa dari host terutama bagian cranial dari saluran respirasi dan saluran digesti. Dengan demikian cara keluar mikroorganisme ini bisa melalui kedua saluran tersebut, terutama pada keadaan dimana tidak terjadi epidemik (Steele, 1979). Pada sapi jika terjadi bakteremia yang akut maka mikroorganisme ini juga ditemukan pada ambing yang terserang mastitis, demikian juga pad a domba, pada kasus ini mikroorganisme bisa keluar melalui air susu (Bruner dan Gillespie, 1973). Pada anjing dan kucing pengeluaran mikroorganisme biasanya melalui air liur yang mengandung kuman tersebut (Steele, 1979)

19 11 Tabel 2. Hubungan an tara serotipe Pasteurella multocida dengan species host dan patogenisitasnya. (Modifikasi dari Namioka, 1970 dalam Steele, 1979). Tipe Sero- Patogenisitas Hewan Jumlah strain tipe yang diperiksa Somatik(O) Kapsul 1 A l:a Pneumonia Septicemia Babi Mencit 9 2 D l:d Pneumonia Babi 1 -a 1: Pneumonia Babi 1 Domba 2 Sapi 2 2 D 2:D Pneumonia Babi 12 3 A 3:A Pneumonia Babi 3 D 3:D Pneumonia Kucing 1 4 D 4:D Pneumonia Babi 2 Pneumonia Domba 2 5 A 5:A Kolera ayam Pneumonia Ayam Babi :_ Kolera ayam Ayam 21 Pneumonia Babi 1 Luka lokal Manusia 1 6 B 6:B S.E b Sa pi 6 E 6:E S.E. Sapi 1 6: S.E. Sapi 10 7 A 7:A Septicemia Sa pi 5 7:_ Septicemia Sapi 2 8 A 8:A Kolera ayam Ayam 1 9 A 9:A Kolera ayam Ayam 7 10 D lo:d Pneumonia Babi 1 11 B 11:B Luka lokal Sapi 1 Keterangan a : Tidak ada kapsul b Septicemia epizootica

20 12 Cara Transmisi Pernah dilaporkan bahwa arthropoda dapat bertindak sebagai vektor mekanik atau vektor biologik. Caplak dan tungau pernah menunjukkan kesanggupan untuk 'harbouring' E. multocida selama 100 hari walaupun tidak terjadi penularan secara transovarial (Steele, 1979). Transmisi secara langsung lebih sering terjadi tanpa ada induk semang antara, yaitu dengan cara melalui pernafasan dan makanan. Sedangkan transmisi melalui arthropoda masih dianggap cara penyebaran alami (Steele, 1979). Penularan E. multocida dari hewan ke manusia dengan cara gigitan dan cakaran yang terkontaminasi dengan sekresi sangat berperan. Hampir separuh kasus infeksi oleh mikroorganisme ini pada manusia diasosiasikan dengan cara pendedahan ini. Prevalensi yang tinggi E. mu1tocida pada anjing dan kucing pada luka akibat berkelahi menunjukkan juga bahwa pada hewanpun cara infeksinya sama (Steele, 1979). Transmisi secara tidak langsung oleh benda-benda mati atau hasil-hasil hewan diduga terjadi atau pernah menunjukkan sekurang-kurangnya sebagai teori yang mungkin, karena mikroorganisme ini sanggup untuk bertahan hidup untuk beberapa waktu dalam suatu lingkungan. Kecuali pad a keadaan epidemik cara transmisi seperti ini dianggap tidak begitu penting baik penyebaran penyakit atau melindungi species ini (Steele, 1979).

21 13 Cara Masuk Infeksi atau kolonisasi pada permukaa~ mukosa pada hewan umumnya melalui saluran respirasi dan saluran digesti,., yaitu dengan cara inhalasi dan ingesti. Cara masuk dari hewan ke manusia melalui luka akibat gigitan atau cakaran. Pada penularan dari hewan ke manusia,.kucing merupakan sumber infeksi yang paling sering kemudian yang kedua adalah anjing. Ditekankan bahwa kucing bisa menyebabkan infeksi dari hasil gigitan dan cakarannya, sedangkan pada anjing cakarannya tidak menyebabkan infeksi. Beberapa penulis beranggapan bahwa hal ini terjadi karena perbedaan cara pemeliharaan kedua hewan tersebut (Steele. 1979). Hampir semua mammalia dan unggas merupakan host E. multq- ida. Hewan piaraan dan ruminansia liar, anjing, kucing, roden sia dan berbagai jenis unggas merupakan host primernya. Tapi kuda jarang merupakan host bagi E. multocida. Pada hewan percobaan, kelinci dan mencit sangat peka terhadap inokulasi, sedangkan tikus dan cavia bersifat resist en (Steele, 1979). Faktor~Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian. Septicemia epizootica. merupakan penyakit akut pada sapi dan kejadian ini terbat'as untuk daerah Asia dan Afrika, walau-

22 Tabel 3. Host dari Pasteurella multocida a 14 Mammalia Primata Owl monkeys Squirrel monkeys Manusia Ungulata Sapi Elk Kambing Babi Kuda Kerbau air Bighorn sheep Rusa Caribou Bison Unta Reindeer Karnivora Kucing Lynx Beruang Anjing laut Mink Panther Puma Anjing Bobcat Rubah Racoons Singa Otter Rodentsia Tikus Mencit Nutria Gerbils Chipmunk Muskrat Voles Insectivora Mole Lagomorpha Kelinci Hewan berkantong Wallaby Kanguru Marmosa Opposum Probosidae Gajah Burung b Pinguin Grebes Pelikan Kuntul Unggas air, Angsa, Geese dan Itik liar atau piaraan Predator: Hawks, Burung elang dan Vul tures Ayam, Kalkun dan ayam hutan Bangau Betet Burung hantu Merpati Camar Sandpipers Sumber: Steele, 1979 a : Host yang diketahui penting dalam pola patogenik dan epidemiologis dari E. multocida b Daftar yang dikumpul oleh M. Rosen yang terdiri dari 58 species burung liar yang bisa kena infeksi oleh E. multocida Tidak semua ordo dimasukkan dalam tabel diatas.

23 15 pun beberapa wabah penyakit pernah di1aporkan di Amerika Utara. Pada daerah endemik kejadian ini terjadi pada musim hujan. Tanda-tanda awa1 ada1ah kematian secara mendadak pada satu atau beberapa hewan. Kematia~ pertama ini mungkin disebabkan oleh kepekaan yang tinggi pada beberapa hewan yang terdedah pada hewan carrier, se1anjutnya akan terjadi penularan secara besar-besaran pada daerah tersebut sehingga terjadi epidemik pada ke1ompok hewan yang tidak diimunisasi (Steele, 1979). Pada kasus kolera ayam, kejadian penyakit berupa septicemia dengan onset yang tiba-tiba serta mempunyai angka morbiditas dan morti1itas yang tinggi, tapi kadang-kadang bisa terjadi infeksi yang bersifat kronis dan asimptomatik. (Siegmund, 1979). Di Indonesia khususnya di Bali yaitu Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, wabah penyakit kolera unggas yang mulai pad a bulan Oktober, 1979 angka kematian mencapai 23,3% dari 4662 ekor popu1asi itik di desa tersebut dalam waktu 3 minggu (Direktorat Kesehatan Hewan, 1982). Faktor-faktor predisposisi adalah sanitasi yang tidak baik, ventilasi kandang tidak teratur dan ayam diternakkan dalam jumlah yang banyak pada suatu ruangan yang terbatas (Steele, 1979). Kejadian penyakit septicemia epizootica pada sapi terdapat hampir se1uruh dunia, kasus yang primer terjadinya wabah penyakit kemungkinan besar pada hewan carrier yang selanjutnya menyebar kepada hewan lain yang mempunyai re-

24 16 sistensi yang rendah (Gracey, 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian adalah pengaruh dingin, keadaan yang lembab, pengangkutan dalam jarak jauh, hewan berdesak-desakan dalam kandang yang kecil dan juga oleh faktor kelelahan. Pada swine plague umumnya didahului oleh penyakit-penyakit seperti kolera dan influenza. Malnutrisi karena pemberian pakan yang kwalitasnya kurang baik, parasit-parasit pada usus, sanitasi yang tidak memadahi dan keadaan kandang yang terlalu sempit juga merupakan faktor predisposisi (Steele, 1979). Secara alami penyebaran penyakit hanya terjadi pada satu species saja, yang berarti jika terjadi wabah penyakit pada ayam, jarang sekali menyebar pada sapi atau domba walaupun kontak antara hewan terse but sangat dekat. Tetapi kalau strain atau galur penyebab penyakit diisolasi dan disuntikkan pada species lain, dapat menyebabkan septicemia yang akut dan fatal (Bruner dan Gillespie, 1973). Hubbert dan Rosen pernah mempelajari tentang kejadian infeksi E. multocida pada manusia dalam hubungannya dengan umur dan jenis kelamin. Tipe luka terinfeksi akibat gigitan hewan memberikangambaran distribusi yang tidak merata pada jenis kelamin, ini tergantung pada species hewan yang menggigit. Kucing lebih sering menggigit wanita, tapi anjing distribusinya merata pada wanita dan lelaki. Kurang dari satu per tiga individu yang digigit berumur kurang dari 20 tahun, dalam kelompok ini tidak ada perbedaan kejadian infeksi dari anjing dan kucing yang ditemukan menurut jenis

25 17 kelamin (Steele, 1979). Kasus-kasus pasteurellosis yang tidak berhubungan dengan gigitan hewan pada manusia, lelaki lebih sering terinfeksi dibanding dengan wanita. Mayoritas lelaki yang terinfeksi melalui saluran respirasi dan berumur 40 tahun atau lebih. Individu yang lebih muda yaitu kurang dari 20 tahun hanya 25% saja dari kelompok tersebut (Steele, 1979).

26 III. INFEKSI Pasteurella multocida PADA MANUSIA Hewan adalah host utama r. multocida dan merupakan reservoir yang penting terhadap infeksi pada manusia. Menurut pengamatan hampir setengah infeksi pada manusia yang tidak berhubungan dengan luka bagian luar, tidak dapat ditelusuri adanya kontak dengan hewan yang bersangkutan. Hal ini mungkin terjadi karena 'casual exposure', Fungsi daripada pendedahan ini dalam epidemiologi dari pasteurellosis merupakan suatu subyek yang sering menjadi spekulasi tetapi tidak pernah diselidiki secara kritis. Dalam suatu review dari 136 gigitan yang tidak dihubungkan dengan infeksi r. multocida pada manusia, Hubbert dan Rosen sanggup mendeteksi kemungkinan hewan sebagai sumber dalam 69 kasus dan 31 kasus bukan disebabkan oleh hewan sedangkan sisanya tidak dapat ditentukan (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Proposi yang sama yaitu 73% infeksi pada manusia yang ada hubungannya dengan hewan telah dilaporkan lebih awal oleh Olsen dan Needham (Steele, 1979). Pasteurellosis pada manusia sudah lama dikenal di Amerika Serikat, tetapi laporan penyakit belum didapatkan. Data epidemiologi yang ada terbatas pada beberapa pernyataan yang mengandung keterangan khusus untuk penelitian klinis dan beberapa penelitian laboratorium. Laporan ini kurang lengkap untuk penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan resiko terhadap infeksi, misalnya distribusi geografis, umur, jenis kelamin, reservoir yang potensial pada beberapa hewan,

27 pengaruh musim atau kemungkinan transmisi antar manusia. Dengan a1asan ini maka studi dimu1ai pada tahun 1965 untuk mengetahui kepentingan infeksi E. multocida terhadap kesehatan masyarakat di Amerika Serikat (Hubbert, Rosen dan Caten, 1967 dalam Schwabe, 1969). Dari studi tersebut didapatkan 196 kasus lengkap (yaitu 123 dari gigitan hewan dan 75 kasus bukan dari gigitan hewan) dari 33 negara bagian dan District Columbia dalam waktu sekitar 18 bulan. Review kasus ini dalam literatur dan dalam studi semuanya 380, ini menunjukkan gambaran yang menarik tentang epidemiologi dari infeksi E. multocida pada manusia (Schwabe, 1969). Dari 200 1uka' gigitan yang terinfeksi, kucing bertanggungjawab terhadap 115 dan anjing 80 (secara berurutan adalah 57,5% dan 40%), dan masih ada kasus tersendiri yang disebabkan oleh singa, opposum, harimau kumbang, kelinci dan tikus. Distribusi anatomis dari infeksi E. mu1tocida akibat gigitan anjing sarna dengan hewan-hewan lainnya, tetapi pada kucing agak berbeda. Kejadian pada muka jarang terjadi, yang lebih sering adalah pada daerah kaki. Pada kucing ini, infeksi disebabkan oleh cakarannya terdiri dari 16% dibanding dengan dari gigitannya. Sebagai contoh seorang anak laki-1aki yang dicakar kucing, terjadi u1kus pada cornea dengan sisa parut. Tapi sayangnya tidak ada studi epidemiologi dari gigitan kucing yang bisa dipakai sebagai pembanding (Schwabe, 1969). Abses lokal dan'cellulitis dari ekstremitas merupakan 19

28 20 kasus yang umum dari hasil gigitan hewan walaupun septicemia atau komplikasi yang hebat bisa terjadi. Tidak didapatkan pengaruh variasi musim terhadap infeksi f. multocida hasil dari gigitan hewan (Schwabe, 1969). Ada perbedaan jelas dalam distribusi usia antara pa-, sien yang terdedah terhadap kucing dan anjing. Diantara yang terdedah pada kucing sebagian besar berusia lebih dari 45 tahun dengan beberapa kasus pada anak-anak. Sebaliknya anak-anak berusia 19 tahun atau kurang, separuhnya mende~ rita infeksi dari gigitan anjing. Dalam kedua kelompok jumlah wanita lebih banyak dibanding dengan lelaki (Schwabe, 1969) Sebenarnya semua organ tubuh bisa terkena oleh penyakit ini dan penyakitnya bisa bertahan seumur hidup. Diantara 75 kasus yang pernah dipelajari, 44 kasus menyangkut alat respirasi, 15 kasus daerah abdomen dan hanya 10 kasus berupa lesio lokal pada ekstremitas. Pada alat respirasi kelihatannya lebih umum pada lelaki dan kelompok usia lanjut. Organisme ini dapat merupakan penyebab utama dari tonsilitis, pneumonia, empyma dan abses paru-paru. Pada kasus bronchiectasis, emphysema dan bronchogenik carcinoma dapat pula dihubungkan dengan agen penyebab lain. Terdapat 8 kasus pada daerah abdomen yang menyebabkan abses pada usus buntu (appendix) atau abses peritoneum yang berdekatan dengan usus buntu. Organisme ini dapat diisolasi dari urine, abses kelenjar Bartholin dan polyp endometrium (Schwabe, 1969)

29 21 Pernah pula dilaporkan kasus cervicitis, ulkus pada duodenum dan gastroenteritis yang disebabkan oleh E. multocida. Pada kasus yang menyangkut ekstremitas termasuk ulkus pada telapak kaki, abses, arthritis dan osteomyelitis pada bagian atas dan bagian bawah kaki, agen pernah diisolasi dari cairan kaki dan lutut yang menderita gout (Schwabe, 1969). Penyakit pada susunan syaraf pusat yang mungkin disebabkan oleh E. multocida termasuk abses pada otak dan meningitis. Conjunctivitis, otitis media chronica dan septicemia juga bisa disebabkan oleh agen ini. Tentang asal infeksi E. multocida, Schwabe (1969) menerangkan dari 136 kasus yang dipelajari, 89 daripadanya kemungkinan kontak dengan hewan, 70 dari 89 kasus adalah terdedah pada unggas dan mammalia. Peranan unggas dan mammalia disini hanya sebagai 'harbour' dari Pasteurella. Sisanya yang 19 lagi tidak diketahui adanya kontak dengan hewan. Tabel 4 memperlihatkan hal tersebut. Pada infeksi yang tidak berhubungan dengan gigitan hewan, asumsi yang bisa diterima adalah infeksi mungkin transmisi lang sung dari hewan tingkat rendah kepada manusia dengan cara yang lain selain dari route gigitan. Penularan dari manusia ke manusia jarang sekali terjadi walaupun ada beberapa bukti menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi. Smith (1959) pernah mengisolasi agen dari tenggorokan dua orang mahasiswa veteriner yang sehat dan Mulder dan De Boer (1938) mencatat bahwa organisme ini tinggal dalam sputum

30 22 seorang wanita dengan penyakit respirasi se1ama 5 tahun. Sp~tum dari seorang 1agi masih positif untuk sekurang-kurangnya 12 tahun sete1ah pneumonectomi (Hubbert, Rosen dan eaten, 1967 da1am Schwabe, 1969).

31 23 Tabel 4. Lokasi anatomis dari infeksi Pasteurella multocida dalam hubungannya terhadap kemungkinan hewan sebagai sumber infeksi selain dengan cara gigitan. Lokasi anatomis Ternak Sum b e r Hewan lain Satwa Bukan liar Hewan Hewan kesayangan Tidak Total diketahui Saluran respirasi * 2 II Abdomen 4 6 o Esktremitas 0 7 1** Susunan syaraf pusat 5 4 1*** Septicemia 1 Conjunctivitis o 0 o o 5 3 Total Sumber: Schwabe, Keterangan * Penjual daging, peternak rubah, petugas veteriner dan peminum susu mentah ** Luka dijari pada waktu menangani daging kalkun. **-1(- Berkontak dengan serabut daging kelinci yang digunakan untuk keperluan hemostasis.

32 IV. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN Imunisasi Pada sapi septicemia epizootica yang disebabkan oleh. mgltocida, menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat besar (Buxton dan Fraser, 1977). Menurut Francis, Schel dan Carter (1980), ~i Thailand kematian tiap tahun pada sapi adalah , di Sri Langka pada tahun 1955 sampai tahun 1958 kematian tiap tahun sekitar 5.000, di India sampai per tahun sedangkan di Zambia pada tahun 1978 kematian pada sapi adalah (Bain, DeAlwis, Carter dan Gupta, 1982). Di Indonesia khususnya di Sumatra Barat yaitu di Kabupaten 50 Kota, Tanah Datar dan Pesisir Selatan wabah pada bulan Juni sampai Agustus 1983 menyebabkan kematian 58 kerbau dan 33 sapi dalam hal ini tidak termasuk hewan yang dipotong paksa (Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah II Bukit Tinggi, 1983). Oleh karena onset penyakit secara tibatiba serta komplikasi lainnya yang bisa menyebabkan kematian maka kerugian ekonomis tidak dapat dielakkan (Udall, 1978). Hal tersebut diatas merangsang penelitian mengenai metode perlindungan terhadap penyakit yang dianggap terpercaya dan praktis. Bermacam agen imunisasi pernah dibuat yaitu terdiri dari filtrat bakteri, bakteri yang diinaktifkan dan dari bakteri yang hidup. Beberapa hasil yang memuaskan pernah didapat dengan memakai 'formolised vaccine' yang disediakan dari pupukan 'iridescent' yang diemulsikan dengan

33 lanolin dan parafin cairo Demikian juga 'alum precipitated vaccine' pernah terbukti bermanfaat. Perlindungan yang dapat diberikan oleh vaksin-vaksin tersebut diata~ 25 yang diukur di laboratorium dengan cara 'mouse protection test' bisa berak- "' hir sampai satu tahun. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, adalah perlu sediaan vaksin dari strain/galur yang berkapsul yang terdiri dari E. multocida yang sarna serotipenya (Buxton dan Fraser, 1977). 'Aerated culture' pernah digunakan untuk sediaan vaksin karena dalam teknik ini pertumbuhan bakteri akan menghasilkan be rat jenis yang lebih besar dalam media cairo Berat jenis akhir sesuai untuk merangsang perlindungan yang maksimum tanpa mengkonsentrasikan organisme sebagai langkah tambahan dalam pembuatan vaksin. Tapi dalam beberapa laporan vaksin ini menghasilkan reaksi anafilaksi setelah pemberiannya pada individu tertentu (Buxton dan Fraser, 1977). Percobaan untuk pengendalian terhadap kolera ayam dengan cara vaksinasi dimulai oleh Pasteur yang menggunakan biakan yang diatenuasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa untuk mendapatkan derajat perlindungan yang maksimum adalah pen ting menggunakan galur/strain yang berkapsul yang antigennya berhubungan dengan serotipe penyebab penyakit. Vaksin-vaksin 'formolised' dalam emulsi minyak sudah pernah digunakan tapi hasilnya sangat beragam (Buxton dan Fraser, 1977). Serum hiperimun pernah digunakan untuk pengendalian septicemia epizootica bila perlindungan cepat dari sapi diperlukan untuk mencegah wabah atau mencegah penyakit berkembang

34 26 sewaktu ditransportasikan atau keadaan-keadaan lain dimana terjadi stress yang tiba-tiba. Dalam praktek penyuntikan serum hiperimun memberikan perlindungan yang cepat, walaupun imunitas pasif mempunyai jangka waktu yang pendek dan terbatas (Buxton dan Fraser, 1977). Kemothera.pi Sangat penting untuk diketahui bahwa pengobatan haruslah dilakukan sedini mungkin, oleh karena itu pengobatan hewan yang menderita penyakit akut, akan selalu tidak efektif. Pada kasus yang kurang akut pengobatan yang berulang dengan dosis tinggi penting dilakukan dan ini hanya ekonomis untuk kasus individual atau kelompok kecil hewan. Pengobatan dengan penicillin G, carbamycin, chloramphenicol, chlortetracycline dan oxytetracycline memberikan hasil yang baik karena E. multocida merupakan salah satu dari beberapa species bakteri yang bersifat gram negatif yang sensitif terhadap p~ nicillin. Pada. multocida tidak terjadi resistensi yang c~ pat dengan agen-agen kemotherapetik seperti pada beberapa species bakteri lainnya, tapi resistensi terjadi sebagai aki bat pemberian streptomycin dan bacitracin (Buxton dan Fraser, 1977) Pencegahan Menurut Beach (1923) perbaikan sanitasi, penurunan overcrowding dan menghindarkan makanan konsentrat biasanya

35 akan menghilangkan dengan cepat kasus pasteurellosis pada ayam. Tetapi sekarang ini lebih banyak digunakan produkproduk biologis dan antibiotika, khususnya' antibiotika lebih banyak digunakan untuk pencegatlan (Bruner dan Gillespie, 1973). Rekomendasi telah dibuat untuk usaha-usaha pencegahan penyakit pada ternak dan petugas yang mengawasi ternak sewaktu ditransportasi. Harus dipelajari beberapa metode untuk perbaikan sanitasi dan fasilitas dalam penanganan sapi sewaktu transit, hal ini saegat membantu menurunkan kejadian pasteurellosis pada hewan-hewan tersebut. Menurut Foley et al. pemberian obat penenang pada sapi sebelum dimuatkan kedalam wahana transpor akan memper!lludah penanganan, adaptasi terhadap makanan dan menunjukkan kejadian infeksi yang lebih rendah (Bruner dan Gillespie, 1973). Pada sapi prosedur imunisasi yang efektif bisa didapatkan untuk mencegah septicemia epizootica yang klasik tipe Asia dan Afrika yang disebabkan oleh serotipe 6:B (Asia) dan 6:E (Afrika). Bakterin dalam adjuvant-minyak sudah pernah di gunakan pada daerah yang terinfeksi dan dapat memberikan pe~ lindungan selama 2 tahun. Bakterin tersebut. harus disediakan dari biakan fase koloni tertentu, yaitu yang mengandung 'antigen permukaan kritis (fase 1), hal ini sudah pernah direview secara luas oleh Carter (Steele, 1979). Pada unggas, akhir-akhir ini pengembangan vaksin aktif dengan cara memanfaatkan strain yang tidak virulen dan dimasukkan dalam air minum memberikan harapan dan dapat di- 27

36 28 gunakan dalam berbagai kondisi pada daerah yang berbedabeda. Usaha-usaha imunisasi pada pasteurellosis dalam bentuk lain tidak begitu berhasil dalam pencegahannya (Steele, 1979). Pada manusia kasus-kasus pasteurellosis sangat sporadis sehingga untuk program imunisasi sukar dilaksanakan atau bah kan tidak terpikirkan walaupun secara teknis dan teoritis m~ mungkinkan. Pengalaman dengan pasteurellosis, dan usaha untuk imunisasi terhadap penyakit pada hewan mengarahkan kita bahwa penerapannya pada manusia tidaklah layak. Pendekatan pencegahan sebaliknya diarahkan pada kondisi yang memungkin kan species E. multocida dapat tumbuh dan berproliferasi sam pai pada suatu titik yang menyebabkan gangguan klinis. lni berarti mencegah penggigitan dan menggunakan obat-obatan antimikroba yang sesuai bila ada petunjuk atau kemungkinan ter jadi infeksi. Pasteurella mempunyai derajat kepekaan yang III as terhadap obat-obatan antimikroba, mulai dari penicillin yang dianggap sebagai obat pili han untuk pengobatan pasteurellosis (Steele, 1979) sampai pada penggunaan carbamycin, chloramphenicol, chlortetracycline dan oxytetracycline (Buxton dan Fraser, 1977).

37 v. PEMBAHASAN Dalam perkembangan dunia yang begitu cepat, sudah diusahakan untuk mengelompokkan masalah-masalah penyakit dan telah pula diidentifikasi cara-cara pengendalian yang antara lain termasuk karantina, vaksinasi massal, memberantas hewan yang terinfeksi dan terdedah, pengobatan dan penggunaan disinfektansia. Juga harus dipertimbangkan efek program pengendalian dalam beberapa penyakit. Usaha ini ternyata memberikan sukses besar dalam hal memberantas dan pengendalian yang efektif terhadap beberapa wabah penyakit hewan dan manusia. Tetapi Brander dan Ellis (1976) masih mempertanyakan apakan usaha-usaha ini masih memadahi untuk waktu yang akan datang. Dengan meningkatnya kesadaran terhadap E. multocida yang kurang jelas patogenisitasnya atau tentang beberapa species bakteri yang dulunya dianggap tidak patogen tetapi sekarang diketahui sebagai penyebab infeksi, maka hal ini mendorong untuk mengidentifikasi secara definitif, mikroorganisme dalam laboratorium klinik atau rumah sakit. Sebagai konsekwensinya E. multocida mulai dikenal sebagai suatu penyebab penyakit pada manusia (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Dari segi ekonomis, adanya kolera ayam pada peternakan ayam dan shipping fever pada industri peternakan sapi mendorong usaha pengembangan vaksin yang lebih efektif. Pendekatan terhadap usaha pencegahan dan pemberantasan penya-

38 kit ditujukan lang sung terhadap beberapa hewan reservoir yang mempengaruhi kesehatan manusia (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Perpindahan penduduk kota ke daerah-daerah pinggir ko-.., ta, yang disertai dengan peningkatan populasi anjing dan kucing pada kawasan perumahan yang baru akhirnya menyebabkan terjadinya ledakan populasi hewan kesayangan. Meningkatnya jumlah anjing dan kucing akan disertai dengan meningkatnya kejadian gigjtan dari hewan kesayangan dan lebih banyak infeksi Pasteurella. Dibeberapa negara diadakan or-" donansi dengan tujuan untuk menekan populasi anjing dan tidak 30 membenarkan hewan berkeliaran. Di daerah lain malahan menghendaki agar anjing dij~ga secara lebih ketat. status ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap gigitan anjing. Dengan demikian pemusnahan anjing-anjing liar dari daerah kota dan daerah sekitarnya merupakan salah satu tindakan dalam pencegahan penyakit ini (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Menurut Schwartz dan Kunz, 1959 (dalam Ayres et al, 1968). multocida tersebar luas pada populasi hewan piaraan dan ayam. Penyakit yang disebabkan oleh organisme ini pada hewan piaraan berupa septicemia, oleh karena itu organisme penyebab terdapat pada seluruh ~aringan tubuh sewaktu dalam keadaan akut. Penyebarannya mungkin sekali terjadi melalui makanan dan juga 'occupational exposure', tetapi tidak ada kesimpulan yang jelas mengenai transmisi yang demikian (Ayres et al:, 1968).

39 Respon serologis tidak banyak diketahui pada manusia. Perbaikan dalam teknik serologis yang digunakan dalam diagnostik, bukan hanya dapat menghambat lebi~ dalam infeksi E. multocida, tetapi juga dapat membuka fakta-fakta baru ten- ~ 31 tang imunitas pada manusia. Respon tubuh hewan terhadap beberapa bagian mikroorganisme ini dapat diteliti secara serologis kerumitan antigennya, dimana ternyata bahwa walaupun tit~r serologis tinggi tapi belum tentu terdapat perlindungan dalam imunitas. Walaupun benar bahwa kemajuan telah dicapai dalam menimbulkan imunitas pada sapi dan ayam, tetapi respon ini sangat bervariasi dan masih memerlukan penelitian secara seksama dan lebih lanjut (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Steele masih meragukan apakah usaha-usaha yang dilakukan pada waktu sekarang ini untuk mencegah atau mengendalikan pasteurellosis pada hewan mempunyai pengaruh terhadap kejadian infeksi pada manusia. Alasannya adalah: pertama karena usaha-usaha yang dilakukan diarahkan terhadap pencegahan penyakit klinis, yang tentunya tidak akan mempengaruhi secara pasti prevalensi carrier yang normal. Kedua adalah bahwa hewan yang sangat berperan terhadap penularan pasteurellosis pada manusia secara jelas yaitu anjing dan kucing, tetapi hewan ini tidak atau jarang sekali dimasukkan dalam usaha pencegahan dan pengendalian penyakit ini (Steele, 1979). Hal ini akan tetap menjadi sesuatu yang masih meragukan sejauh mana peranan kontak secara casual dengan hewan-

40 32 hewan peliharaan dan burung terhadap kejadian Pasteurella pada manusia. Pasteurellosis pada manusia seperti apa yang dikenal sekarang ini masih tetap seperti demikian dan tidak akan mengalami perubahan dalam peranannya terhadap kesehatan masyarakat, kecuali bila dilakukan pencegahan yang memadahi terhadap adanya penyakit pada anjing dan kucing. Ada kecenderungan bahwa penyakit tersebut akan tetap seperti apa adanya, yaitu berupa masalah individu yang diselesaikan antara mereka, masalah kontak dengan hewan atau merupakan masalah antara mereka dengan dokter pribadinya (Steele, 1979).

41 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan keterangan-keterangan yang mendetail tentang epidemiologi, kasus-kasus infeksi pada manusia, cara pencegahan dan pengendalian serta pembahasan mengenai p. multocida, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut: r. p. mul tocida adalah mikroorganisme yang berbentuk kokoid, lebar 0,3 mikron, panjang 0,4 mikron. Bersifat gram negatif, tidak membentuk spora, non-motil dan pada mikroorganisme yang baru diisolasi dari jaringan memperlihatkan gambaran bipolar. Pada media biasa mikroorganisme dapat tumbuh tapi dengan penambahan sedikit serum atau darah pertumbuhan akan dipercepat. 2. Semua hewan berdarah panas dapat merupakan host utama bagi p. multocida. 3. Habitat utama p. multocida pada hewan dan manusia adalah permukaan mukosa bagian atas sa luran respirasi dan saluran digesti. 4. Pada hewan cara keluar mikroorganisme ini umumnya melalui air liur dan melalui pernafasan, tapi pada keadaan tertentu bisa juga melalui air susu. 5. Transmisi alami dari hewan ke hewan bisa secara tidak langsung yaitu melalui arthropoda, benda-benda mati atau bahan-bahan asal hewan. Tapi yang lebih sering adalah secara langsung yaitu melalui air liur dan pernafasan. 6. Penularan p.:::multocida dari hewan ke manusia lebih sering

42 34 dengan cara gigitan atau cakaran hewan sedangkan cara lain belum dapat dibuktikan. 7. Sumber utama penularan dari hewan ke manusia adalah anjing dan kucing. 8. Hewan percobaan kelinci dan mencit sangat peka terhadap inokulasi, sedangkan cavia dan tikus bersifat resisten. 9. Pada daerah endemik kejadian penyakit pada hewan biasanya bersamaan dengan datangnya musim hujan. 10. Pad a unggas faktor-faktor predisposisi adalah sanitasi, ventilasi kandang yang kurang baik, apalagi bila disertai dengan kepadatan yang tinggi. 11. Pada sapi dan domba pengaruh suhu, lembab, transportasi yang jauh, kandang terlalu sempit, kelelahan dan faktorfaktor stress lain dapat mempengaruhi timbulnya penyakit. 12. Secara alami, jika terjadi suatu wabah penyakit pada satu species, jarang sekali terjadi penularan pada species lainnya. 13. Pada manusia tidak ada pengaruh musim terhadap infeksi. Sebagian besar dari manusia yang terinfeksi oleh kucing berusia 45 tahun atau lebih. Sebaliknya anak-anak berusia kurang dari 19 tahun menderita infeksi dari gigitan anjingo Dalam kedua kelompok tersebut wanita lebih banyak dibanding dengan lelaki. 14. Penyebaran infeksi dari manusia ke manusia tidak ada. 15. Organ-organ tubuh manusia yang bisa terinfeksi adalah saluran respirasi, daerah abdomen dan lesio lokal pada

43 ekstremitas Pada hewan pencegahan dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan menggunakan aerated culture, formolised vaccine, alum precipitated vaccine, serum hiperimun dan bakterin dalam.minyak:-adjuvant. Pada unggas bisa digunakan biakan yang diatenuasi dari galur yang berkapsul yang antigennya berhubungan dengan serotipe penyebab penyakit. 17. Kemotherapetika yang bisa digunakan untuk hewan adalah penicillin G, carbamycin, chloramphenicol, chlortetracycline dan oxytetracycline. 18. Pada manusia karena kasus pasteurellosis sangat sporadis maka program imunisasi tidak dilakukan. 19. Pencegahan dan pengendalian pasteurellosis pada hewan tidak mempunyai pengaruh terhadap kejadian infeksi pada manusia. 20. Infeksi E. multocida pada anjing dan kucing di Indonesia diduga ada, tapi oleh karena hewan-hewan tersebut tidak begitu penting dari segi ekonomis maka penelitian yang lebih mendalam pada hewan-hewan tersebut belum pernah diadakan. 21. Kejadian infeksi E. multocida pada manusia di Indonesia melalui gigitan atau cakaran anjing dan kucing belum pernah dilaporkan, hal ini mungkin disebabkan oleh: pertama penderita tidak pernah melaporkan kejadian tersebut kepada dokter yang bersangkutan, kedua mungkin 'misdiagnosed', yang ketiga mungkin penderita tidak memperlihat-

44 kan gejala Oleh karena hal tersebut masih dalam keadaan yang tidak pasti maka perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut. 23. Kepada pemilik anjing dan kucing, disarankan agar lebih hati-hati terhadap kemungkinan bahaya penularan penyakit ini melalui hewan-hewan tersebut.

45 DAFTAR PUSTAKA Ayres, J.C., F.R. Blood, C.O. Chichester, H.D. Graham, R.S. McCutcheon, J.J. Powers, B.S. Schweig~rt, A.D. stevens and G. Zweig The Safety of Foods. The Avi Publishing Company, Inc. Westport.., Connecticut. Hal. 211 Bain, R.V.S., M.C.L. DeAlwis, G.R. Carter and B.K. Gupta Hemorrhagic Septicaemia. Food and Agriculture Organisation of United Nations. Rome. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah II Bukit Tinggi Laporan Investigasi Kenaikan Kasus Penyakit S.E. di Sumatra Barat,Bulan Juli Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Brander, C.G. and P.R. Ellis The Control of Disease. 1st. Ed. Bailliere Tindall, London. Bruner, D.W. and J.H. Gillespie Hagan's Infectious Disease of Domestic Animals. 6th. Ed. Cornell University Press, London. Hal Buxton, A. and G. Fraser Animal Microbiology. 1st. Ed. Blackwell Scientific Publication, Oxford. Hal Direktorat Kesehatan Hewan Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Hal Direktorat Kesehatan Hewan Penyakit Septicemia Epizootica (SE). Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular I. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Hal Gracey, J.F Thornton's Meat Hygiene. 7th. Ed. The English Language Book Society and Bailliere Tindall London. Hal. 277, 278 dan 287 Hubbert, W.T., W.F. McCulloch and P.R. Schnurrenberger Diseases Transmitted From Animals to Man. 6th. Ed. Charles C Thomas Publisher, Springfield, Illionois. USA. Hal Schwabe, C.W Veterinary Medicine and Humen Health. 2nd. Ed. The Williams and Wilkins Company, Baltimore. Hal Siegmund, O.H The Merck Veterinary Manual. 5th. Ed.

46 Merck and Co. Inc., New Jersey, USA. Hal. 832 dan 912 Steele, J.H CRC Handbook Series In Zoonosis I. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. Hal Udall, D.H The Practi~e of Veterina~y Medicine. 6th. Ed. Oxford and IBH Publishing Co", New Delhi. Hal west, G.P Black's Veterinary Dictionary. 13th. Ed. The English Language Book Society and Adam & Charles Black, London. Hal

... "". t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

... . t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. ',',~:' c '\"~l, ;, ~,,:,~~'".,1'."'... ;,;...~~'.t... J, ".:rr ",.,t;,:..'tr~,'".~"... :~... ;!.t:~* ( ' ~ \ KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS Oleh NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Escherichia coli Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Familia Genus : Bacteria : Proteobacteria : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales

Lebih terperinci

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT LATAR BELAKANG FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT KESEHATAN KUNCI SUKSES USAHA BUDIDAYA PETERNAKAN MOTO KLASIK : PREVENTIF > KURATIF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO NO JENIS MEDIA PEMBAWA PEMERIKSAAN DOKUMEN TINDAKAN KARANTINA HEWAN PEMERIKSAAN TEKNIS MASA KARANTINA KETERANGAN 1. HPR 14 hari Bagi HPR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA (AI) DI RW02 KELURAHAN PANUNGGANGAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANUNGGANGAN KOTA TANGERANG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

BAB 4 ANTRAKS. 1. Defenisi Penyakit Antraks

BAB 4 ANTRAKS. 1. Defenisi Penyakit Antraks BAB 4 ANTRAKS 1. Defenisi Penyakit Antraks Kuman antraks pertama kali di isolasi oleh Robert Koch pada tahun 1877. Meskipun penyakit alaminya sudah banyak berkurang, antraks menarik perhatian karena dapat

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN 69 GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DI KELURAHAN WANGUNSARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LEMBANG KECAMATAN LEMBANG TAHUN 2007 1. Nama : 2. Alamat : Kelurahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi 1 Lab Biomedik dan Biologi Molekuler Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl Raya Sesetan-Gang Markisa No 6 Denpasar Telp: 0361-8423062; HP: 08123805727 Email: gnmahardika@indosat.net.id;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE Nama : Margareta Krisantini P.A NIM : 07 8114 025 STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE Streptococcus pneumoniae adalah sel gram possitf berbentuk bulat telur atau seperti bola yang dapat menyebabkan berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

Food-borne Outbreak. Saptawati Bardosono

Food-borne Outbreak. Saptawati Bardosono Food-borne Outbreak Saptawati Bardosono Pendahuluan Terjadinya outbreak dari suatu penyakit yang disebabkan oleh makanan merupakan contoh yang baik untuk aplikasi epidemiologi dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang bersifat patogen merupakan prioritas utama untuk dilakukan pada bidang kesehatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan lewat makanan, dengan ciri berupa gangguan pada saluran pencernaan dengan gejala umum sakit perut, diare dan atau

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 10 Tahun 2008 Seri : D Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( ) Pendahuluan : NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin (078114032) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Newcastle Disease (ND) juga di kenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

: Clostridium perfringens

: Clostridium perfringens Clostridium perfringens Oleh : Fransiska Kumala W 078114081 / B Clostridium perfringens adalah salah satu penyebab utama infeksi luka berakibat gangrene gas. Seperti banyak clostridia, organisme ini banyak

Lebih terperinci

lingkungan sosial meliputi lama pendidikan, jenis pekerjaan dan kondisi tempat bekerja (Sudarsono, 2002).

lingkungan sosial meliputi lama pendidikan, jenis pekerjaan dan kondisi tempat bekerja (Sudarsono, 2002). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003). Leptospirosis adalah suatu zoonosis yang disebabkan suatu mikroorganisme

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada PENGANTAR Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan hewan (zoonosis). Penyakit ini sangat penting dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya, bakteri, virus, dan parasit. Dari ketiga faktor tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic Escherichia coli atau disebut EHEC yang dapat menyebabkan kematian pada manusia (Andriani, 2005; Todar,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maternal Antibodi pada Anak Babi (Piglet) Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. 3.1 Analisis Kebutuhan dan Masalah Analisis Masalah

BAB 3 METODOLOGI. 3.1 Analisis Kebutuhan dan Masalah Analisis Masalah BAB 3 METODOLOGI 3.1 Analisis Kebutuhan dan Masalah 3.1.1 Analisis Masalah Berdasarkan kajian jurnal, banyak pemilik anjing yang kurang memperhatikan kesehatan anjingnya karena masalah biaya, keberadaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, dapat menginfeksi pada hewan dan manusia dengan prevalensi yang bervariasi (Soulsby, 1982). Hospes

Lebih terperinci

Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Khairul Daulay, Sarji, Deden Amijaya, Neneng Atikah, Meutia Hayati, Ernes Andesfha

Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Khairul Daulay, Sarji, Deden Amijaya, Neneng Atikah, Meutia Hayati, Ernes Andesfha STUDI MUTU VAKSIN SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE) DAN DURASI IMUNITI BOOSTER DAN NON BOOSTER VAKSINASI PADA SAPI DI EMPAT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2014 Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Khairul Daulay, Sarji,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang menyebabkan dampak merugikan terhadap hewan dan manusia diseluruh dunia. Toxoplasma gondii

Lebih terperinci

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus AgroinovasI Waspadailah Keberadaan Itik dalam Penyebaran Virus Flu Burung atau AI Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus penyakit flu burung, baik yang dilaporkan pada unggas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli dikenal sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi Vibrio vulnificus Vibrio vulnificus merupakan bakteri yang relatif baru dalam identifikasinya sebagai bakteri yang patogen bagi manusia. Bakteri ini ditemukan sebagai patogen di tiram pada tahun1976 dan

Lebih terperinci

Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan

Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan antigen yang diperoleh dari agen menular pada ternak sehingga tanggap kebal dapat ditingkatkan dan tercapai resistensi terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang ditularkan kepada manusia dan menyerang susunan saraf pusat. Penyakit ini mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu kecamatan yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu kecamatan yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu kecamatan yang berada di Selatan Kabupaten Badung Provinsi Bali, tepatnya antara 8 o 46 58.7 LS dan 115 o 05 00 115 o 10

Lebih terperinci

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR WAFIATININGSIH 1, BARIROH N.R 1 dan R.A. SAPTATI 2. 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu burung merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas bagi masyarakat karena

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Kuta Selatan Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º46 58.7 LS dan 115º05 00-115º10 41.3 BT, berada pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii i PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN

Lebih terperinci

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru 1.1 Pengertian Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis

Lebih terperinci

TUBERKULOSIS PADA SAPI SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS DITINJAU DARI SEGI KESEHATAN MASYARAKAT SKRIPSI. oleh ZULKARNAEN ASNAWI SAID. Nrp B.

TUBERKULOSIS PADA SAPI SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS DITINJAU DARI SEGI KESEHATAN MASYARAKAT SKRIPSI. oleh ZULKARNAEN ASNAWI SAID. Nrp B. TUBERKULOSIS PADA SAPI SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS DITINJAU DARI SEGI KESEHATAN MASYARAKAT SKRIPSI oleh ZULKARNAEN ASNAWI SAID Nrp B. 15 0458 INSTITUT PERTANJAN BOGOR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN 1983 RINGKASAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia,

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

Tinjauan Mengenai Flu Burung

Tinjauan Mengenai Flu Burung Bab 2 Tinjauan Mengenai Flu Burung 2.1 Wabah Wabah adalah istilah umum baik untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging Sampel daging sapi dan ayam diperoleh dari pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar pedagang daging sapi (54.2%)

Lebih terperinci

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Rita Shintawati Pendahuluan Relapsing fever (RF) demam berulang infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Gejala klinis yg khas timbulnya demam berulang diselingi periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian pedesaan di Kabupaten Bima. Sebagian besar petani peternak

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian pedesaan di Kabupaten Bima. Sebagian besar petani peternak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bidang peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang perekonomian pedesaan di Kabupaten Bima. Sebagian besar petani peternak masih mengandalkan hidupnya dari

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006)

Pertanyaan Seputar Flu Burung (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006) Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006) Reproduced from FAQ "Frequently Asked Question" of Bird Flu in

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis bersifat tahan

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

ISSN situasi. diindonesia

ISSN situasi. diindonesia ISSN 2442-7659 situasi diindonesia PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi

Lebih terperinci

Penyisihan Osteologi Sitologi Fisiologi Agen Penyakit (Protozoa) Biologi Molekuler (Genetika Umum) Kesehatan Masyarakat Veteriner

Penyisihan Osteologi Sitologi Fisiologi Agen Penyakit (Protozoa) Biologi Molekuler (Genetika Umum) Kesehatan Masyarakat Veteriner Penyisihan Osteologi 1. Mengetahui tentang osteologi pada bagian kepala beberapa hewan 2. Mengetahui tentang osteologi pada bagian ekstremitas cranial pada beberapa hewan 3. Mengetahui tentang osteologi

Lebih terperinci

PEMOTONGAN EKOR, IDENTIFIKASI, KASTRASI, DAN PEMBERIAN Fe PADA ANAK BABI LOU AYY ALZAMAKHSYARI D

PEMOTONGAN EKOR, IDENTIFIKASI, KASTRASI, DAN PEMBERIAN Fe PADA ANAK BABI LOU AYY ALZAMAKHSYARI D MK : Produksi Ternak Babi dan Kuda Dosen : Dr. Ir. Salundilk, M Si Asisten : Desmawita K Barus, S Pt, M Si Jadwal : Kamis, 07.00-10.00 WIB PEMOTONGAN EKOR, IDENTIFIKASI, KASTRASI, DAN PEMBERIAN Fe PADA

Lebih terperinci

Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong

Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong Potensi sapi potong di Indonesia sangat menjanjikan, dengan keadaan tanah yang subur sehingga pakan berupa hijauan yang merupakan kebutuhan sapi seharusnya juga lebih

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN HEWAN DAN BAHAN ASAL HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia. PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia. Luasnya penyebaran toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci