DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT"

Transkripsi

1 VI DINAMIKA RASIONALITAS TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT 6.1. Pendahuluan Foucault ketika membahas tentang kesadaran subjek, dalam masyarakat borjuis, Foucault mengikuti Weber. Bagi Foucault, subjek dipandang sebagai makhluk rasional, otonom dan mampu memprakarsai tindakan (Sarup, 2008). Sama halnya ketika Weber menyatakan bahwa tindakan dapat bersifat rasional, baik dalam sarana maupun tujuan (Hindess, 1977). Menekankan efisiensi sarana dan organisasi yang birokratis dan impersonal, penalaran dibentuk oleh rasionalitas ilmiah. Tujuan rasionalitas ilmiah adalah mendapatkan penguasaan atas lingkungan fisik dan sosial. Mengikuti Nietzche, Weber mengatakan bahwa rasionalitas ilmiah memusatkan perhatian pada sarana dan bukan pada tujuan (Sarup, 2008). Foucault menghawatirkan produktivitas dan efisiensi instrumental-rasional yang dilihat Weber dalam birokrasi modern, karena menurut Foucault, kekuasaan dalam masyarakat modern tidak bergantung pada kecakapan dan wibawa individu, tetapi dilaksanakan melalui mesin administrasi impersonal dan peraturan-peraturan yang abstrak. Di sinilah menurut Foucault, pengetahuan bekerja mengarahkan perilaku sosial manusia melalui sistem rasionalitas ilmiahnya. Kesadaran subjek dalam tindakan sosialnya selalu diarahkan oleh sistem rasionalitas yang bekerja secara abstrak bersama dengan sistem pengetahuan yang selanjutnya kekuasaan menjelma dan menguasai manusia dalam bentuk rasionalitas teknis. Bekerjanya rasionalitas pada tatakelola zakat terlihat pada perbedaan logika kepatuhan dan instrumen kepatuhan yang digunakan oleh ragam lembaga tatakelola yang ada dewasa ini. Tatakelola zakat di tangan kaum tradisionalis dengan kaum modernis logika kepatuhan dan instrumen penundukannya berbeda. Kelompok tradisionalis memberikan kepatuhannya pada "ajaran" melalui perantara otoritas personal yang melekat pada agamawan (tokoh ulama atau kiyai). Kelompok modernis menyalurkan kepatuhannya kepada "ajaran" melalui perantara otoritas impersonal yang ada pada institusi atau organisasi (Mas'udi, 1991 dan 1993). Zakat oleh kaum tradisionalis umumnya dijadikan

2 182 sebagai sumber dana penunjang untuk membangun sarana-sarana formalisme keagamaan seperti tempat ibadah, pusat penyebaran, dan proses pewarisan ajaran. Sementara bagi kaum modernis, dana zakat digunakan membangun sarana fisik yang relatif lebih mentereng seperti: perkantoran, masjid, sekolahan, rumah sakit dan asrama-asrama panti, dan cenderung untuk dikomersilkan dalam melayani kepentingan kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat lapisan bawah (Mas udi, 1991 dan Miftah, 2004). Tiga model lembaga tatakelola zakat yang saat ini bekerja dalam masyarakat mengelola zakat dengan sistem rasionalitas dan kepentingan yang berbeda yaitu: Komunitas/Civil Society, Negara dan Swasta. Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis civil society merupakan praktek tatakelola zakat yang berada di luar struktur negara dengan legitimasi kekuasaan lokal, berbasis pengetahuan lokal di bawah kuasa kelembagaan kiyai (Sadili, 2006). Persoalannya adalah munculnya desakan dalam diskursus zakat berbasis pengetahuan modern yang menyebar luas dan menggugat rasionalitas LAZ berbasis civil society. Badan Amil Zakat (BAZ) berbasis birokrasi pemerintah, berada di bawah naungan pengetahuan modern dengan legitimasi kekuasaan politik negara, bekerja mengelola zakat dengan aktor aparat pemerintah. Negara hadir dalam wacana tatakelola zakat dilandasi dengan alasan historis, bahwa zakat masa lalu dikelola oleh Rasulullah sebagai pemimpin agama yang sekaligus pemimpin negara. Dari sinilah landasannya sehingga zakat dikonstruksi sebagai hak negara dan harus dikelola oleh pemerintah sebagai aparatur negara melalui kekuasaan dengan instansi milik negara. Zakat oleh negara dipandang terkait erat dengan kepentingan masyarakat luas dan masuk dalam wacana negara dan pembangunan, sehingga zakat dianggap sebagai hak kuasa negara yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Wacana BAZ ini kemudian menyebar menjamah aras gagasan zakat dan tatakelolanya dalam masyarakat, sehingga persentuhan dengan gagasan LAZ komunitas, sulit terhindari. Perusahaan industri swasta dengan institusi LAZ disana berbasis birokrasi perusahaan dipayungi oleh rezim pengetahuan ekonomi modern dengan legitimasi kekuasaan manajemen swasta, di bawah kuasa manajer. Kehadiran perusahaan-perusahaan industri dalam arena kelembagaan zakat, dilandasi oleh pertimbangan ekonomi dan kepedulian sosial terhadap ekonomi lemah, dan

3 183 sekaligus sebagai respon atas tuntutan etika industri (social responsibility), sebagai hasil wacana dari wacana the humanist corporate. Persoalan yang muncul di sini adalah munculnya wacana zakat berbasis rasionalitas ekonomi industri dari LAZ swasta bertemu dengan rasionalitas budaya dari LAZ komunitas dan BAZ dengan rasionalitas politik. Ketiga lembaga zakat ini secara lansung memang tidak berbenturan, namun pada aras disiplin dan norma mengalami pertemuan dan gesekan dalam proses konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas zakat masyarakat ketika disiplin dan norma bekerja dan menyebar di segala ruang sosial. Kehadiran tiga entitas sosial (Civil Society atau Komuintas, Negara, dan Swasta) dalam arena tatakelola zakat dengan berbeda basis pengetahuan, institusi, dan aktor, memberikan pengaruh yang besar pada munculnya perbedaan basis etika moral atau rasionalitas dan kepentingan. Masing-masing membangun wacana dalam memperluas pengaruh dan kekuasaan terhadap masyarakat zakat dan menggiring pengakuan publik, membangun pengetahuan tatakelola zakat yang menurut masing-masing baik, tepat dan benar. Proses ini berjalan dalam pertarungan gagasan tatakelola, membangun pengetahuan dan kekuasaan untuk menaklukkan logika publik. Fenomena pembenaran, peniadaan dan penaklukan satu terhadap yang lainnyapun tak terhindari. Akibatnya pertarungan wacana muncul dan berwujud pada fenomena penerimaan dan penolakan dari masyarakat Problematika Tatakelola Zakat Kehadiran tiga entitas sosial dalam praktek tatakelola zakat, memunuculkan banyak isu-isu kritikal tentang ketatakelolaan zakat. Model yang ditawarkan oleh negara misalnya, dengan bentuk kelembagaan resmi bentukan negara secara formal dinilai lebih efektif karena memiliki perangkat kekuasaan yang kuat di bawah naungan negara, namun persoalannya model ini dinilai sebagai fenomena sentralisasi, bersifat mendominasi dan berpeluang munculnya politisasi 29 terhadap masyarakat zakat 30. Lembaga zakat berbasis swasta, yang menawarkan dan menjalankan pengelolaan zakat dengan LAZ swasta berbasis perusahaan/industri dinilai lebih 29 Politisasi yang dimasud adalah segala bentuk tindakan, baik melalui gagasan atau perbuatan yang digunakan dalam mengadapi maupun memperoleh kekuasaan. 30 Masyarakat zakat adalah sekelompok orang yang terkait dengan tindakan sosial zakat (muzakki, mustahik, amil dan masyarakat luas)

4 184 efisien, karena menggunakan manajemen ekonomi industri. Namun persoalan yang mencuat adalah isu ketergantungan dari kaum lemah terhadap ekonomi kuat dan peluang munculnya komodifikasi zakat. Sementara lembaga zakat berbasis komunitas (civil society) menawarkan dan telah lama menerapkan pengelolaan zakat model LAZ lokal berbasis masjid. Model ini dinilai aspiratif karena menggunakan lembaga lokal seperti masjid/langgar/surau, madrasah atau pesantren, yang melekat dalam tradisi beragama masyarakat. Namun persoalan yang muncul adalah isu hegemoni elit agama lokal dan dinilai tidak tertata dengan baik Konstalasi Ideologi Aktor Tatakelola Zakat Konstalasi ideologi tatakelola zakat berbasis komunitas, menempatkan agamawan sebagai pusat dan sumber wacana sekaligus pemangku kuasa tatakelola zakat. Disini agamawan membangun pemahaman dan keyakinan bahwa zakat adalah ajaran agama yang bernuansa ibadah menuju keshalehan individu yang berimplikasi sosial. Sehingga berzakat bertujuan untuk mematuhi perintah agama dan sekaligus mengayomi kaum lemah. Ideologi asketisisme dan altruisme merupakan ciri yang sangat kental dan mendasari rasionalitas tatakelola zakat komunitas pedesaan. Konstelasi ideologi tersebut terlihat pada tabel 14. Tabel 14 : Ideologi Tiga Lembaga Tatakelola Zakat Berbasis Komunitas Berbasis Negara Berbasis Industri Pengetahuan Local Knowledge Sain Modern Sain Modern Sistem rasionalitas Nilai /Budaya Lokal Politik Ekonomi Ideologi Asketisisme dan Altruisme Developmentalisme Utility dan Profit Maximization Data Primer : 2008 (diolah) Zakat difahami sebagai tindakan sosial yang bersumber dari ajaran agama dan merupakan bagian dari ritual beragama, makanya bagi komunitas, agamawan ditempatkan sebagai sosok yang paling berhak atas tatakelola zakat. Zakat difahami sebagai bentuk ibadah terkait dengan status sosial ummat (khususnya zakat harta), seorang yang dikenakan wajib zakat difahami karena memiliki kelebihan dalam penguasaan harta, sehingga ia diwajibkan untuk menyisihkan sebagian untuk orang lain sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Tidak mentaati perintah wajib zakat dimaknai sebagai bentuk pengingkaran dan

5 185 diancam dosa. Tidak berzakat pada saat yang sama juga dianggap menahan haknya orang lain (mustahik), hal ini adalah tindakan zholim dan juga dianggap dosa. Tidak berzakat selalu digambarkan sebagai salah satu sebab dari bencana yang terkadang menimpa harta dan jiwa seseorang. Menekankan pada stabilitas sosial komunitas merupakan orientasi sosial zakat bagi tatakelola zakat komunitas. Tindakan sosial zakat ditekankan dalam ruang sosial yang dibatasi oleh komunitas. Maka berzakat lebih dipentingkan dalam wilayah komunitas kepada amil komunitas dan untuk kaum lemah dalam komunitas. Zakat dipandang sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan komunitas untuk meringkankan beban kaum lemah dalam satu komunitas. Memberikan zakat keluar komunitas dianggap kurang pantas manakala dalam komunitas itu masih ada yang memerlukannya. Logika commonality dan togetherness merupakan landasan yang sangat mewarnai tatakelola zakat berbasis komunitas. Bagaimana capaian hasil dari zakat yang diberikan tidak begitu penting, yang penting adalah semua yang layak dan berhak mendapatkan bagian zakat memperoleh haknya dalam batasan yang sama tanpa ada perlakuan perbedaan. Berzakat bagi komunitas dipayungi oleh paradigma memberikan hak kaum lemah, bukan membantu kaum lemah, sehingga meminta atau tidak meminta seorang yang dianggap berhak tetap saja diberikan haknya atas zakat yang terkumpul. Konstelasi ideologi tatakelola zakat berbasis negara menganut faham developmentalisme (lihat tabel 14) yang menempatkan aparatur negara sebagai aktor utama dalam tatakelola. Disini membangun keyakinan bahwa perintah zakat adalah perintah agama untuk memberdayakan kaum lemah agar tidak menyebabkan muncul keresahan sosial yang mengancam kehidupan yang lebih luas dalam konteks bernegara. Makanya negara di posisikan sebagai lembaga yang paling berkompeten dalam tatakelola zakat. Kalau pada komunitas zakat lebih dilihat sebagai bentuk ibadah yang berefek pada muncul tindakan yang dinilai peduli kepada kaum lemah. Berbeda dengan pemahaman dalam tatakelola zakat berbasis negara, berzakat lebih dinilai sebagai sebuah kewajiban sosial yang dikenakan karena kelebihan harta, lalu diwajibkan untuk membantu kaum lemah untuk mengatasi kesulitan mereka, agar kesulitan mereka tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat banyak.

6 186 Konstelasi ideologi tatakelola zakat komunitas berorietasi proses dan nilai, sedangkan tatakelola zakat berbasis negara berorietasi mekanisme dan tujuan (hasil). Memenuhi prasyarat nilai merupakan logika penting bagi tatakelola zakat berbasis komunitas, sementara tatakelola zakat berbasis negara, prasyarat pencapaian tujuan bagi pengentasan kemiskinan ummat dalam konteks bernegara adalah hal yang lebih penting oleh karena itu di sini menempatkan sistem tatakelola berbasis manajemen negara dianggap penting dan mendasar demi tercapainya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa payung ideologi tatakelola zakat berbasis negara berada di bawah logika developmentalisme, bahwa segala potensi agar dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemerintah untuk mewujudkan pembangunan bangsa dan negara. Konstelasi Ideologi tatakelola zakat berbasis swasta menganut logika utility maximization atau profit maximization. Pengusaha swasta sebagai pelaku utama tatakelola, membangun pemahaman bahwa berzakat adalah memberdayakan dan mengamankan secara ekonomi, makanya siapapun yang memiliki kemampuan memberdayakan dan mewujudkan keamanan ekonomi berhak atas kuasa tatakelola zakat. Berzakat adalah perintah agama yang mengandung maksud untuk membantu kaum lemah agar terbebas dari kemiskinan dan mampu memenuhi kebutuhannya sehingga tidak mengancam hak kepemilikan orang lain dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Keterangan informan yang menunjukkan bangunan ideologi zakat LAZ Industri digambarkan oleh ZM (59) bahwa : Siapa saja boleh mengelola zakat, yang penting mampu mewujudkan tujuan zakat dalam memberdayakan masyarakat miskin. PT. SP yang merupakan satu perusahan yang di dalamnya bekerja banyak orang Islam, dan memiliki kepedulian pada masyarakat miskin dan para karyawan mendapatkan harta di sini sehingga mereka diwajibkan berzakat, maka selayaknya pengelolaan zakat dikelola dibawah koordinasi perusahaan dengan bekerjasama dengan pihak-pihak petinggi perusahaan dibantu oleh unsur ulama sebagai dewan pertimbangan terkait dengan aturan agama (fiqh) dan perusahaan ini memiliki perangkat manajemen yang efektif dan pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat berupa program CSR. Berzakat adalah kewajiban dan hak atas muzakki untuk memilih di mana, kepada siapa dan untuk apa zakatnya diberikan dan dimanfaatkan. Berzakat dipandang sebagai mekanisme distribusi kekayaan kepada kaum lemah untuk

7 187 membangun keseimbangan dan stabilitas ekonomi antara dua struktur yang berbeda. Berzakat adalah tindakan beragama yang benuansa ekonomi, sehingga di dalamnya pandang sebagai proses negosiasi dan transaksi secara ekonomi. Keamanan dan kenyamanan investasi dari kaum muzakki merupakan salah satu tujuan zakat yang dipandang penting bagi aktor tatakelola zakat berbasis swasta. Wacana social resposibility mewarnai logika tatakelola berbasis swasta, dibuktikan dengan adanya persandingan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) dibeberapa perusahaan yang menerapkan sistem tatakelola zakat. Logika ini memang secara sederhana terlihat cenderung menempatkan wacana pemberdayaan terhadap kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan, sebagai wacana terdepan, namun dibalik logika tersebut juga melekat kepentingan pengamanan ekonomi pihak swasta dalam bentuk upaya menciptakan susana usaha dan investasi yang aman dan nyaman. Fenomena kemiskinan sekitar perusahaan seringkali menjadi pemicu lahirnya konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal, memberikan pengaruh dan mendorong munculnya program CSR atau Community Development (CD) sebagai upaya mengatasi kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Hal serupa juga menjadi pendorong lahirnya gerakan zakat dan tatakelola zakat perusahaan yang saat ini telah menerapkan sistem tatakelola zakat berbasis swasta. Gerakan zakat dan tatakelolanya dilingkungan swasta diwarnai dengan logika ekonomi yang mengedepankan upaya utility maximization atau profit maximization di bawah ideologi ekonomi kapitalisme. Bangunan ideologi tiga sistem tatakelola zakat yang diteliti ditemukan perbedaan sehingga muncul potensi benturan Ideologi dan praktek pengelolaannya. Sistem tatakelola berbasis komunitas dengan ideologi asketisme dan atruisme meyakini zakat sebagai fenomena pengabdian dan keshalehan menggiring ummat untuk berzakat atas dasar logika ibadah ketuhanan dan kemanusiaan, sehingga kepentingan berzakatpun lebih pada kepentingan pengabdian kepada Tuhan dan kepedulian kepada sesama. Sementara bangunan ideologi sistem tatakelola zakat berbasis negara lebih pada logika developmentalisme yang mengedepankan pembangunan masyarakat berbasis kekuatan negara, sehingga tatakelola zakat di sini menempatkan negara dan pemerintah pada posisi sentral dan masyarakat zakat ditempatkan pada posisi yang diharuskan tunduk pada mekanisme yang ditentukan oleh

8 188 negara melalui aparatur pemerintah. Negara dianggap paling tepat untuk mengelola zakat dan paling mampu mewujudkan tujuan zakat dalam memberdayakan masyarakat lemah dalam bentuk pembangunan berbasis negara. Berbeda dengan tatakelola zakat berbasis swasta. Di sini kekuasaan bangunan ideologinya lebih pada logika kapitalisme, yang mendahulukan logika penguatan modal. Zakat diasumsikan sebagai modal ekonomi dan kemiskinan diasumsikan karena keterbatasan pada sumberdaya produksi. Oleh karenanya mewujudkan zakat lebih dipercaya dengan melalui logika swasta ketimbangan komunitas dan negara. Penguasa sektor ekonomi dianggap sentral dari upaya perwujudan pemberdayaan masyarakat lemah. Kepedulian sosial dan tanggungjawab sosial ada pada kaum pemilik modal, sehingga untuk melahirkan kepedulian sosial dan terwujudnya tanggungjawab sosial seharusnya dimulai dari kekuatan pemilik modal khususnya Industri. Tiga bangunan ideologi dari sistem tatakelola zakat yang berbeda tersebut, berpotensi melahirkan benturan ideologi secara internal maupun antara sistem tatakelola. Pada aras internal masyarakat zakat khususnya kaum muzakki masih dipengaruhi oleh ideologi asketisisme dan altruisme. Pada sistem tatakelola zakat berbasis komunitas hal ini tidak menjadi persoalan yang besar karena masih bersinergis dengan indeologi yang memayunginya logika aktor tatakelola dan masyarakat zakat. Berbeda dengan yang terjadi pada sistem tatakelola zakat berbasis negara dengan logika developementalisme dan sistem tatakelola berbasis swasta dengan logika kapitalisme (utility maximization atau profit maximization) yang berbenturan dengan idelolgogi masyarakat yang menganut logika asketisisme dan altruisme Sustainability dan Acceptability Lembaga Tatakelola Zakat Menyinggung tentang sustainability dan acceptability Tatakelola zakat menjadi penting, karena zakat tradisi beragama yang akan terus menjadi fenomena beragama dan melintasi struktur sosial dan ekonomi ummat. Tradisi berzakat memposisikan ummat yang mapan sebagai wajib zakat dan ekonomi lemah sebagai penerima zakat yang dalam prakteknya dikelola oleh sekelompok orang yang manjadi amil (pengelola zakat). Siapa yang bertindak sebagai amil,

9 189 bagaimana model dan mekanisme tatakelolanya, akan menentukan sustainability dan acceptability dari masyarakat zakat. Pada tiga model tatakelola zakat yang diteliti (LAZ Komunitas, BAZDA dan LAZ swasta) ditemukan peluang sustainability dan acceptability yang berbeda karena disana ada perbedaan setting sosial, aktor tatakelola, mekanisme dan kekuatan pengetahuan dan rasionalitas yang bekerja Sustainability dan Acceptability Tatakelola Zakat Komunitas Mengasuh rumah ibadah, pengajian agama dan pendidikan agama tanpa meminta dibayar oleh ummat, merupakan ciri yang sangat kental sebagai jalan hidup seorang agamawan komunitas sejak masa lalu. Mereka juga bercirikan kehidupan sederhana, dengan gaya hidup yang kental dengan budaya santri, mulai dari kebiasaannya yang selalu dekat dengan masjid, akrab dengan kitabkitab agama, dan cara berpakaiannya yang selalu serba putih, kemudian melekat makna keshalehan, kedalam pengetahuan agama dan kesucian. Dikuasainya pengetahuan agama yang luas, membuat seorang agamawan kemudian lebih dikenal dengan sebagai ulama, membuat sang agamawan menjadi sosok yang dikonstruksi sebagai orang memiliki kemampuan yang luar biasa dan seringkali di konstruksi sebagai sosok yang memiliki kemampuan membaca realitas di luar kemampuan manusia biasa. Membuat sang agamawan memiliki kekuasaan yang besar dalam mewarnai, membetuk dan mengarahkan konstruksi sosial dan tindakan sosial ummat. Kekuatan pengetahuan di sini menjadi begitu terlihat ampuh dalam membangun dan mengokohkan satu kekuasaan yang khas bagi agamawan. Kekuasaan tersebut menjadi lebih kokoh ketika disertai dengan konstruksi sosial yang diperkuat oleh nilai yang menggiring keyakinan ummat bahwa seorang ulama adalah pewaris kenabian yang seringkali didengungkan oleh agamawan dalam berbagai kesempatan dalam pengajian. Ditambah lagi dengan diskursus yang mengetengahkan wacana ulama sebagai sosok yang bersandingan dengan umara (pemerintah) yang diposisikan harus tunduk di bawah kontrol moral ulama. Kesemua ini membuat sosok agamawan (ulama ) dikonstruksi sebagai sosok dimana kebenaran selalu menyertainya. Struktur kuasa dalam tatakelola zakat berbasis komunitas menempatkan agamawan sebagai pemangku kuasa atas kekuatan pengetahuan (power

10 190 knowledge) yang dimilikinya secara dominan sebagai pangku kuasa sosialisasi pengetahaun agama. Konstruksi pengetahuan dan rasionalitas zakat dan tatakelola zakat yang dibangun oleh agamawan, menghegemoni ummat. Agamawan dipandang sebagai orang yang paling mengetahui dan menguasai pengetahuan tentang zakat dan diberikan tugas oleh Allah sebagai penyiar, pengawal dan pemimpin agama sehingga zakat sebagai ajaran agama merupakan hak kuasa agamawan yang terwujud dalam konsep amil. Masyarakat sebagai penganut agama dinilai sebagai sekelompok orang yang harus tunduk pada agamawan sebagai ummat (jama ah) jika ingin menjadi penganut agama dengan benar, dan mentaati agamawan dinilai sebagai perintah agama yang sama halnya dengan kewajiban kepatuhan pada para nabi. Konstruksi sosial komunitas terhadap agamawan yang sedemikian rupa, memberikan pengaruh yang besar dalam perjalanan tatakelola zakat komunitas. Agamawan dikonstruksi sosial sebagai orang yang sholeh, bersih, jujur dan sebagai pengawal moral, selalu identik dengan kebenaran, membuat tatakelola zakat di bawah kuasa agamawan sangat dipercaya oleh komunitas. Namun belakangan konstruksi ini kemudian menghadapi persoalan ketika konstruksi tentang yang sholeh, bersih, jujur dan benar mulai bergeser dari logika asketisisme dan altruisme ke logika developmentalisme (sebagai basis ideologi tatakelola zakat berbasis negara) dan kapitalisme (sebagai basis ideologi tatakelola zakat berbasis swasta). Pergeseran konstruksi merupakan hasil dinamika pengetahuan yang terus berkembang dan tersosialisasi secara luas. Rasionalitas masyarakat di sini terus mengalami dinamika sejalan dengan dinamika pengetahuan, dan berimbas pada perkembangan wacana tatakelola zakat. Model tatakelola zakat komunitas di sini menghadapi tantangan besar karena berhadapan dengan developmentalisme dan kapitalisme yang merupakan basis rasionalitas dalam tatakelola zakat negara dan swasta. Tatakelola zakat komunitas berbasis logika asketik dan altruis mengedepankan rasionalitas nilai, berhadapan dengan tatakelola zakat negara dan swasta dengan logika developmentalisme dan kapitalisme yang mengedepankan rasionalitas tujuan. Di sini tatakelola zakat komunitas mendapatkan tekanan pada aras rasionalitas yang menjamah dan mengintervensi serta menggugat ruang gagasan masyarakat komunitas lewat wacana tatakelola zakat modern. Pada sisi yang lain, tatakelola zakat komunitas

11 191 menghadapi tantangan legalitas yang mengancam. Resiko terpinggirkan dan tergilas oleh dominasi rasionalitas developmentalisme dan kapitalisme terus membayangi, karena keduanya menjadi ideologi zakat yang mendominasi. Model tatakelola berbasis komunitas, secara internal potensi benturan terjadi ketika agamawan sebagai sosok yang dipercaya sebagai pemangku kuasa agama termasuk dalam tatakelola zakat dengan kepentingan penyiaran dan penguatan agama oleh ulama berhadapan dengan kepentingan penguatan sosial dan kekuasaan ekonomi oleh para wajib zakat (muzakki) serta tuntutan sosial lingkungan yang menuntut kedermawanan mereka. Akibatnya terjadi dualisme praktek tatakelola zakat pada level komunitas dalam bentuk tatakelola zakat berpusat pada kekuasaan ulama komunitas dan tatakelola berpusat pada kekuasaan para muzakki secara individu. Dualisme praktik tatakelola zakat berbasis komunitas ini merupakan wujud adanya penolakan dari muzakki, namun penolakan ini tidak begitu kentara karena para muzakki mengambil jalan kompromi dengan berzakat melalui dua cara, yaitu: mengelola sendiri sebahagian zakatnya dan sebahagiannya diserahkan kepada petugas amil zakat komunitas. Di sini akseptabilitas dari masyarakat cukup baik, karena tuntutan sistem tatakelola dari masyarakat hanya pada batas dilaksanakannya kewajiban berzakat dan tersalurnya dana zakat kepada yang berhak (mustahiq). Makanya kelebihan tatakelola zakat berbasis komunitas terletak pada partisipasi ummat yang terbebas dari intervensi dan terbangunnya kepercayaan bahwa berzakat kemanapun sah selagi penyalurannya tidak melenceng dari aturan agama (berzakat melalui amil atau langsung kemustahik keduanya sama sahnya) Sustainability dan Acceptability Tatakelola Zakat Negara Kekuasaan dalam sistem negara bekerja dan menyebar dalam wilayah yang luas, melintasi ruang sosial dalam masyarakat dan melekat dalam lembaga dan isntansi pemerintah sebagai instrumen pendisiplinan masyarakat oleh negara. Instrumen pendisiplinan menuntut kepatuhan masyarakat logika stabilitas negara. Keamanan, kenyamanan dan kekuasaan yang menjelma dalam kepatuhan dan penundukan rakyat bagi negara merupakan satu kondisi yang sangat diharapkan.. Makanya, penguasaan sumber-sumber daya potensial bagi penundukan dan penaklukan sangat penting untuk dikuasai oleh negara. Zakat dan tatakelolanya di

12 192 sini kemudian terlihat dan dimaknai sebagai sumberdaya potensi bagi penguatan kekuasaan, membangun stabilitas dan menjadi instrumen menudukan dan penaklukan khalayak, makanya kemudian zakat dan tatakelolanya bagi negara menjadi penting untuk dikuasai menjadi. Upaya menguasai zakat dan tatakelolanya oleh negara dilakukan melalui wacana tatakelola zakat dan wacana pembangunan serta pengentasan kemiskinan berbasis zakat. Berangkat dari konstruksi sosial zakat sebagai ajaran agama berorientasi pembangunan dan pengentasan kemiskinan, maka zakat memiliki memiliki dimensi kemanusiaan dan pembebasan. Hal ini melahirkan pemikiran menuju transformasi zakat dalam ranah rasionalitas zakat melalui transformasi pengetahuan zakat (Kontowijoyo, 1991, Mas ud, 1991 dan Idris, 1997). Melembaganya zakat dalam praktek sosial tak terlepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan rasionalitas bekerja membentuk konstruksi zakat melalui proses internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi (Berger, 1967) secara terus menerus tanpa pernah terhenti. Di BAZDA, proses ini dilakukan oleh aparat negara atau agamawan bias negara, yang mengajarkan zakat kepada ummat melalui lembaga pendidikan, media pendidikan dan saluran informasi lainnya, seperti media cetak hingga media audio visual. Pemahaman zakat di sini diajarkan kepada ummat oleh aparat atau agamawan negara dan ummat menyerap lalu mencerna dalam ranah subjektif yang berkomunikasi dengan stock of knowledge mereka. Informasi di cerna secara subjektif lalu ditafsirkan kembali untuk kemudian disikapi dalam tindakan sosial sehari-hari. Proses ini berjalan dalam kontrol dan arahan kekuasaan yang melekat pada rezim pengetahuan yang bekerja membangun pengetahuan zakat dan berdialektika dengan peran dan posisi sosial aparat yang bekerja membangun pengetahuan zakat tersebut. Berzakat secara umum dikonstruksi sebagai tindakan sosial spiritual berdimensi theosentris yang kemudian juga dikontruksi berdimensi anthrophocentris. Membuat sinergis antara dimensi theosentrisme berorientasi ukrawi (nilai dan derajat keshalehan) dan dimensi antrophosentrisme berorientasi duniawi (dalam wujud pembangunan) terbuka untuk dirajut dalam wacana tatakelola zakat berbasis negara. Dominannya logika sekularisme (Effendi, 2001) sebagai akibat bekerjanya sains modern dalam ruang agama, memberikan desakan yang menggiring wacana berzakat masuk ke ruang logika yang semakin sekuler dan didominasi oleh ideologi antrophocentrisme.

13 193 Munculnya wacana tatakelola zakat berbasis negara merupakan hasil dari diskursus intelektual Islam yang panjang tentang relasi Islam dan negara (Effendi, 2001), dan membawa diskursus agama memasuki ruang sains modern yang membangun interpretasi dan reinterpretasi tentang agama dan beragama tidak hanya dikonstruksi dalam ruang theologi tetapi meluas hingga keruang sosial, ekonomi dan politik. Zakatpun kemudian dipandang sebagai sumberdaya sosial, ekonomi dan politik yang bisa memberikan dukungan yang besar bagi pembangunan (Idris, 1997). Membawa wacana tatakelola zakat masuk dalam ruang negara, berimplikasi pada struktur kuasa tatakelola zakat dan meleburkannya dalam strukur kuasa institusi dan aparat negara, dan difahami sebagai salah satu instrumen pembangunan khususnya pengentasan kemiskinan ummat oleh negara. Tatakelola zakat berbasis negara sebagai salah satu instrumen negara, sustainabilitasnya lebih terjamin karena mekanismenya diatur dalam kebijakan peraturan dan perundang-undangan negara yaitu: Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, membuat tradisi berzakat dan tatakelolanya menjadi bagian dari mekanisme bernegara atau beragama (berzakat) dengan mekanisme yang diatur oleh negara. Hak kuasa dan kepatuhan para aktor dibangun sedemikian rupa dan terkonstruksi bahwa zakat merupakan perintah berorientasi pembangunan, zakat dipandang sebagai sumberdaya potensial yang harus dimanfaatkan semaksimalnya oleh negara untuk pembangunan dan pemberdayaan rakyat. Disana juga terbangun pemahaman bahwa zakat terkait dengan hak orang banyak, makanya zakat selayaknya diatur oleh negara Memandang zakat sebagai sumberdaya maka sustainability tatakelolanya sangat dipengaruhi oleh sejauh mana dan sampai kapan zakat dianggap memiliki potensi dan negara masih menganggap efektif serta diperlukan bagi menunjang pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Tatakelola zakat berbasis negara, keberlanjutannya diupayakan dengan menggunakan dukungan kebijakan negara. Kekuatan instrumen hukum, kelembagaan, dan aparat serta konstruksi pengetahuan dibangun sebagai landasan rasionalitas. Keyakinan terhadap sistem tatakelola zakat negara sebagai tatakelola yang rasional bagi banyak orang dibangun sedemikian rupa melalui proses konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas masyarakat, dari rasionalitas asketisisme dan altruisme ke rasionalitas developmentalisme.

14 194 Konstruksi rasionalitas dilakukan secara sistimatis, simultan dan dialektis. Berawal dari pembangunan wacana zakat yang menggiring gagasan ummat pada konstruksi rasionalitas melalui kekuatan pengetahuan. Proses objektivasi dilakukan ketika lembaga tatakelola zakat muncul dan hadir dalam interaksi sosial secara intersubjektif berupa lembaga tatakelola zakat yang dipatuhi. Proses internalisasi selanjutnya terjadi ketika ummat secara individu mengindetifikasikan dirinya dengan lembaga tatakelola zakat yang ada sebagai proses interaksi dan dialektika dunia objektif dan dunia subjektif yang terlihat pada proses sosialisasi membangun pemahaman berzakat ummat. Proses momen objektivasi dan internalisasi berlanjut ke momen eksternalisasi sebagai konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas atas lembaga zakat yang ada dalam bentuk pemahaman zakat sebagai landasan etika moral tindakan berzakat. Bagaimana bentukan rasionalitas hasil eksternalisasi sangat ditentukan oleh kekuatan kekuasaan dan pengetahuan bekerja dalam membentuk dan mewarnai momen internalisasi dan eksternalisasi. Tatakelola zakat berbasis negara yang didukung oleh perangkat negara, akseptabilitas publik dibentuk melalui berbagai kebijakan, mulai dalam himbauan pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah pusat dan daerah, hingga pada perundang-undangan. Membangunan akseptabilitas tatakelola zakat, pemerintah melakukan sosialisasi, mobilisasi, yang didukung dengan kebijakan-kebijakan yang memiliki kekuatan memaksa. Akseptabilitas sangat ditentukan oleh sejauh mana negara mampu membangun kerangka gagasan, keyakinan, dan kepercayaan serta memobilisir masyarakat untuk tunduk, dan terbangunnya pemahaman bahwa tatakelola zakat BAZ merupakan pilihan yang paling tepat secara rasional. Konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas di sini sangat penting dalam membangunan keyakinan, mobilitas, kepercayaan dan penerimaan masyarakat. Perbedaan aras rasionalitas dalam masyarakat berakibat pada munculnya penolakan-penolakan dan benturan-benturan gagasan pada aras wacana yang mencuat dalam diskursus zakat sebagai proses konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas melalui momen objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi ala Berger (1990). Milik siapa dan dari mana argumen yang kuat dan rasional datang maka dialah yang akan tampil sebagai pemenang dan berkuasa. Kekuatan argumen dalam membangun logika yang rasional bagi banyak orang tergantung pada

15 195 dukungan kekuasaan dan rezim pengetahuan yang mampu membangun argumen menjadi rasional bagi banyak orang dengan pilihan-pilihan yang logis dan diakui. Pada model tatakelola zakat berbasis negara, ditemukan potensi benturan internal dalam Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA). Hal ini terjadi ketika pertemuan rasionalitas kuasa aktor pengelola zakat dan kekuasaan pemerintah. Aktor tatakelola di BAZDA yang terdiri dari unsur masyarakat, ulama dan unsur pemerintah dalam prakteknya mengalami benturan pada aras rasionalitas. Aktor beranggapan bahwa mereka selayaknya mendapatkan kuasa penuh atas tatakelola zakat, namun pada saat yang sama disana mereka terbatasi oleh kekuasaan birokrasi BAZDA yang melekat pada sistem kuasa birokrasi dan administrasi pemerintah daerah. Keterangan IH (61 tahun) menerangkan bahwa : kami di sini agak terbatas bergerak untuk mengambil keputusan dalam pendayagunaan dana zakat, karena kekuasaan kebijakan terkait pengunaan dana zakat berada di tangan pemerintah daerah oleh Sekretaris Daerah (sekda) sebagai ketua BAZDA. Hampir semua rencana penggunaan dana harus atas persetujuan pihak pemerintah daerah. Benturan lain antara BAZDA dan muzakki juga ditemukan dalam bentuk benturan alasan pengaturan zakat oleh BAZDA dengan alasan berzakat oleh muzakki. Benturan terlihat ketika adanya muzakki dari kelompok pengawai negeri sipil yang berzakat dengan dua cara sekaligus, yaitu: berzakat pada BAZDA dengan batasan tertentu (atau hanya dengan berinfaq) dengan kepentingan kepatuhan pada sistem birokrasi dan administrasi ditempat kerja dan selanjutnya berzakat pada LAZ komunitas dengan kepentingan memenuhi tuntutan sosial lingkungan yang menuntut kedermawanan mereka. Akseptalitas BAZDA begitu rendah, meski kepatuhan cukup tinggi, karena disana terjadi penekanan birokrasi dan administrasi yang cukup kuat. Muzakki berzakat pada BAZDA lebih karena kepatuhan pada sistem birokrasi dan administrasi tempat bekerja ketimbang sebuah kesadaran beragama. Keterangan Sulaiman (49 tahun), menyatakan bahwa : kami memang berzakat di BAZDA tapi rasanya tidak seperti berzakat dengan amil di masjid. Berzakat di BAZDA karena kewajiban dikantor saja, sehingga kami lebih senang hanya memberikan infaq saja, untuk mendukung program pemerintah dan agar tidak dianggap membangkang pada atasan. Berzakat di masjid

16 196 dekat tempat tinggal kami lebih meyakinkan dan menenangkan karena masyarakat lemah terdekat ada dilingkungan tempat tinggal Muzakki yang dipungut zakatnya oleh BAZDA, selain sebagai pegawai atau keryawan di dinas/instansi pemerintah, mereka juga sekaligus sebagai anggota masyarakat dalam sebuah komunitas di lingkungan tempat tinggal mereka yang sekaligus menjadi nasabah zakat berbasis komunitas. Posisi dilematis dihadapi para muzakki, ketika harus berzakat di tempat kerja sementara dilingkungan kumunitas, mereka juga memiliki kewajiban dan beban sosial komunitas sebagai wajib zakat yang seharusnya juga berzakat di sana. Pemahaman zakat muzakki BAZDA bahwa berzakat di lingkungan tempat tinggal lebih baik dengan alasan di sana ada kelompok lemah yang berhak menerima zakat, dan berinfak ke BAZDA sebagai bentuk kepatuhan pada sustem administrasi dan birokrasi tempat kerja, mencuat dalam tindakan berzakat dan berinfak yang dilakukan oleh muzakki BAZDA dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Persoalan membangun keyakinan dan kepercayaan muzakki serta desakan sosial politik menjadi faktor dominan dan menentukan sejauh mana akseptabilitas dan sustainabilitas BAZDA di tengah-tengah masyarakat. Kekuatan politik, mungkin efektif untuk mendesak lahirnya partisipasi yang tinggi, namun sistem bangunan rastinalitas zakat ummat juga sangat menentukan, dan inilah yang menjadi persoalan BAZDA. Rasionalitas zakat dan ketatakelolaannya yang bekerja di BAZDA berbeda dengan rasionalitas yang bekerja di tengah-tengah masyarakat Sustainability dan Acceptability Tatakelola Swasta Kekuasaan dalam dunia swasta (industri) bekerja dan menyebar dalam wilayah yang luas, meliputi wilayah sumber-sumber produksi dan alat-alat produksi, proses produksi, pasar dan lingkungan produksi, yang kesemuanya menganut logika maksimalisasi keuntungan ekonomi. Kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam dunia industri merupakan satu rajutan yang sulit diurai, keduanya sulit dipilah mana yang melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis perwajahannya yang lebih menonjolkan aspek ekonomi, namun belakangan posisi keduanya menjadi kabur sekaligus kental dan keduanya saling melahirkan. Kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi dan alat-alat produksi mewarnai perkembangan industri kapitalisme modern dewasa ini. Penguasaan sumber-sumber ekonomi potensial sangat penting dan menjadi perhatian untuk

17 197 dikuasai. Gejala ini kemudian terlihat merambah masuk kesegala ruang, mulai dari ruang sosial budaya, politik, dan bahkan ruang agama dalam bentuk tatakelola zakat berbasis swasta. Wacana tatakelola zakat, tadinya hanya muncul dalam tradisi beragama komunitas dan tradisi beragama ala negara, belakangan wacana tatakelola zakat muncul dalam dunia swasta mengikuti diskursus pemberdayaan dan petanggungjawaban sosial. Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang lebih dahulu muncul dalam wacana pemberdayaan berbasis swasta, belakangan diikuti oleh program sadar zakat yang disertai pembentukan lembaga tatakelola zakat khusus untuk mengelola zakat karyawan perusahaan (karyawan dan manajer) yang mengedepankan wacana pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Kehadiran lembaga tatakelola zakat dalam sebuah perusahaan swasta secara internal terbentuk dari wacana pertanggungjawaban sosial bersama dalam struktur perusahaan terhadap fenomena kemiskinan sekitar perusahaan. Melalui Lembaga Tatakelola Zakat (LAZ) perusahaan, dibangun pemahaman zakat yang memandang zakat sebagai kewajiban beragama yang bertujuan pemberdayaan sebagai bentuk upaya mengatasi persoalan sosial masyarakat sekitar perusahaan. Wacana ini muncul terkait erat dengan fenomena masalah sosial yang kerap dihadapi perusahaan dalam bentuk gangunan kenyamananan kerja, keamanan usaha dan investasi yang dianggap sebagai akibat kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan. Gerakan berzakat dan tatakelola zakat berbasis swasta, terbangun dalam kompleksnya relasi struktur sosial internal dan eksternal perusahaan, seperti : antar-manajer, antara manajer dengan pekerja, antar pekerja dan antara berbagai kelompok pekerja serta dengan masyarakat luar disekitar perusahaan. Bangunan relasi dalam tatakelola zakat secara external memiliki hubungan hampir sama dengan program Corporate Social Responsibility (CSR), dimana keduanya samasama membangun relasi dengan masyarakat luar perusahaan. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam hal relasi internal perusahaan. Kalau CSR lebih merupakan program pertanggungjawaban sosial perusahaan yang merupakan beban dan kewajiban perusahaan untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat sekitarnya yang diambil dari keuntungan bersih perusahaan. Sementara program tatakelola zakat merupakan kewajiban beragama karyawan secara individu dalam perusahaan yang kemudian

18 198 diakumulasi dalam satu wadah berupa Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan muncul atas nama perusahaan menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Persoalan kemiskinan sekitar perusahaan yang tadinya hanya berada dalam tanggungjawab CSR dengan beban pembiayaan dari perusahaan, belakangan memunculkan LAZ yang dananya diberasal dari zakat individu karyawan yang juga diwacanakan bertanggungjawab. Persoalan yang dihadapi perusahaan dalam wacana zakat swasta dikonstruksi sebagai tanggungjawab bersama semua elemen perusahaan. Wacana penciptaan kondisi kerja yang aman dan nyaman, demi pengamanan investasi dikedepankan untuk membangun pemahaman bahwa berzakat bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban agama, akan tetapi juga memberdayakan kaum lemah dan membangun suasana yang aman, khsusnya keamanan dan kenyaman kerja bagi karyawan serta pengamanan investasi bagi perusahaan. Sustainabilitas tatakelola zakat swasta, sangat ditentukan oleh seberapa jauh pihak manajemen perusahaan atau paling tidak LAZ mampu menciptakan kepercayaan dan keyakinan terhadap semua wajib zakat dari elemen perusahaan. Karena merekalah kunci terpenting berjalan atau terhentinya program tatakelola zakat dalam sebuah perusahaan. Membangun rasionalitas berzakat dalam komunitas perusahaan menjadi bagian yang sangat penting bagi kelanjutan tatakelola zakat swasta. Rasionalitas utility dan profit maximization, sebagai landasan logika dominan dalam kerangka berfikir swasta, membuat program tatakelola zakat di sini harus menganut rasionalitas yang sama. Manakala sudah tidak mampu memberikan dukungan bagi maksimalisasi perolehan keuntungan ekonomi, maka seketika dianggap tidak penting dan bahkan akan dihentikan. LAZ hanya akan ada dan diterapkan selama dianggap mampu memberikan keuntungan yang bersifat ekonomi secara langsung atau tidak langsung. Akseptabilitas sebagai bagian penting dari keberlanjutan sebuah program kebijakan dan budaya dalam masyarakat, membuat tatakelola zakat berbasis swasta agaknya menghadapi tantangan yang rumit. Sebuah LAZ swasta dalam prakteknya mengatasnamakan perusahaan sementara sumberdaya yang dikelola bersumber dari muzakki secara personal. Hal ini membuat LAZ harus mampu membangun ikatan-ikatan sosial dan kepercayaan dari para muzakki sekaligus mampu memberikan bukti nyata bahwa LAZ mewujudkan harapan mereka secara signifikan bagi perusahaan dan berefek secara positif bagi semua elemen perusahaan. Jika tidak, maka penolakan bisa saja muncul dalam berbagai bentuk dari muzakki, apalagi ketika keikutsertaan mereka membiayai program

19 199 perusahaan, tidak mampu memberikan kenyamananan dan pengamanan ekonomi secara personal. Memaksakan penerimaan masyarakat perusahaan dalam bentuk kebijakan yang mewajibkan semua elemen perusahaan untuk berzakat pada LAZ perusahaan, sebagai mana yang diterapkan oleh BAZDA/BAZNAS oleh negara terhadap masyarakat khususnya aparat negara, bisa efektif namun persoalannya, keterpaksaan bisa memicu munculnya gejolak atau bahkan penolakan, ketika kebijakan tersebut dirasakan begitu memaksa dan tanpa memberikan ruang, apalagi ketika secara rasional, hal itu dianggap tidak tepat. JN (42 tahun) karyawan PT. SP, menerangkan bahwa : perusahaan ini mewajibkan semua karyawan berzakat ke LAZ dengan melakukan pemotongan gaji sebesar 2,5%... kami semua patuh walaupun ada yang keberatan tapi tidak ada yang protes.anggap saja itu syarat kerja di sini, lagi pula kan berzakat itu wajib kalau mampu, yang penting penggunaan zakat itu tepat sasaran dan memberikan manfaat buat bagi mayarakat dan kita semua. Memberikan zakat kepada orang miskin di sekitar perusahaan yang selalu mengganggu keamanan kerja karyawan karena desakan kebutuhan sehari-hari. Pemotongan zakat memang membuat kami agak terpaksa membayar zakat, tapi itu tidak bisa dihindari karena melalui pemotongan dari bendaharawan gaji padahal seperti saya yang tinggal di luar lingkungan perusahaan mendapatkan desakan lingkungan tempat tinggal saya untuk berzakat di masjid disana, yang saya lakukan hanya bisa berinfaq atau sadaqah saja Kesan keterpaksaan muncul di sini, namun karena pemotongan zakat telah dianggap sebagai prasyarat bekerja pada perusahaan, maka keberatan dan penolakan tidak pernah muncul dipermukaan. Bagi karyawan, zakat mereka yang dipotong perusahaan bisa memberikan manfaat bersama berupa keamanan dan kenyamanan kerja di perusahaan dan tersalur kepada yang berhak. Persoalan dilematis dihadapi oleh karyawan perusahaan PT. SP khsusnya yang tinggal di luar lingkungan perusahaan, sebagaimana yang dihadapi oleh Nasabah zakat di BAZDA, pada satu sisi mereka diwajibkan membayar zakat pada LAZ-SP, sementara pada sisi yang lain mereka juga didesak oleh untuk berpartisipasi berzakat di masjid lingkungan dimana mereka menjadi warga komunitas. Artinya bahwa muzakki mendapatkan desakan sosial dan mereka menghadapi persoalan dilematis harus berzakat di tempat kerja setiap bulan dengan pemotongan langsung, dan harus berpartisipasi berzakat di lingkungan tempat tinggal pada waktu yang lain. Padahal nilai kewajiban zakat angkanya telah ditentukan oleh

20 200 aturan agama secara jelas, kalau memenuhi desakan tempat kerja dan lingkungan tempat tinggal sekaligus, maka pengeluaran zakat akan terhitung dua kali. Berbeda dengan di BAZDA, ruang masih terbuka untuk memenuhi dua desakan (desakan tempat kerja dan lingkungan), karena masih ada ruang untuk memilih berzakat, berinfaq dan bersadaqah atau memilih salah satu saja. Oleh pegawai negeri yang diwajibkan berzakat di BAZDA Jambi, mengatasi dua desakan membuat mereka memilih berinfaq atau bersadaqah di BAZDA dan berzakat di masjid yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka atau terhadap mustahik dilingkungannya Peta Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Jambi Konsep amil 31 yang muncul dan menyejarah dalam tradisi agamawan merupakan konsep yang berasal dari wahyu dan telah menjadi bagian penting dalam tradisi tatakelola zakat. Konsep amil ini memotivasi lahirnya wacana tatakelola zakat pedesaan di Jambi. Konsep ini dibangun dan diwariskan oleh agamawan dalam proses sosialisasi ajaran agama melalui mimbar masjid (pengajian) dan kelembagaan madrasah atau pesantren dan kemudian melembaga. Melalui sosialisasi ajaran zakat oleh agamawan, zakat terinternalisasi dalam ranah kognitif ummat dan menjelma dalam kerangka berfikir sebagai basis logika berzakat. Sosialisasi agamawan dicerna oleh ummat tidak selamanya sama dengan yang digambarkan, akan tetapi ummat secara individu memiliki ruang untuk memaknai dan menafsirkan secara berbeda, karena di pengaruhi oleh perbendaharaan pengetahuan dan rezim pengetahuan yang menguasai aras kognitif mereka. Makanya pemahaman yang muncul tentang amil selalu berbeda dan dinamis. Pemahaman atau pemahaman baru tereksternalisasi dalam bentuk tindakan berzakat dan tatakelolanya yang mentradisi dalam tindakan sosial zakat, siapa yang berhak menjadi amil, apa peran dan fungsinya serta dibawah kuasa lembaga yang bagaimana amil memiliki ruang kuasa. 31 Amil bagi komunitas merupakan orang atau sekelompok orang yang bertugas menerima atau memungut, mengelola dan mendistribusikan zakat dari para wajib zakat, sekaligus memiliki hak atas manfaat dari dana zakat. Amil merupakan mekanisme tatakelola zakat pedesaan di Provinsi Jambi yang selalu melekat pada kelembagaan masjid dan ulama (imam masjid dan guru ngaji) serta dukun bayi (sanro).

21 201 Pentingya tatakelola zakat bagi komunitas dilandasi oleh pemahaman bahwa zakat adalah kewajiban beragama, terkait dengan hak kaum dhua fa, bertujuan untuk penguatan agama, mencegah kekufuran, kepedulian kepada kaum dhu fa, dan zakat adalah hak komunitas. Hal ini terbukti dari beberapa pengakuan informan dalam wawancara yang dikutip dalam box berikut : Box : Logika Aktor Tatakelola Zakat Komunitas Pengakuan Ust. H. A.HAS (59) Imam dan amil Zakat Desa Simburnaik, menyatakan bahwa...mengeluarkan zakat itu kewajiban mutlak yang wajib dijalankan, dan zakat adalah perintah Allah yang diperintah dalam agama Islam. Menjadi amil itu perintah agama dan sebagai fardu kifayah, sehingga harus ada paling tidak satu orang menjadi amil zakat dalam satu kelompok ummat... Berzakat itu menyerahkan hak fakir miskin yang sudah ditentukan jumlahnya. Berbeda dengan sumbangan (shadaqah atau infaq).... dan mengurus zakat itu juga perintah Allah, supaya ada salah seorang dari satu kelompok yang menjadi amil yang bisa mengumpukan zakat untuk dibagikan kepada mustahik.... memungut dan membagikan zakat adalah tugas yang wajib dilaksanakan oleh amil, kerena kormban waktu dan tenaga maka ia diberikan hak menerima bagian dari zakat yang di pungutnya. Pertimbangan mengapa zakat menjadi penting dan harus dikelola dalam kaitannya dengan ummat dan agama, oleh Ustad SDD (41 tahun) amil zakat simburnaik, menjelaskan bahwa :...Zakat diwajibkan memiliki maksud untuk menguatkan agama, zakat untuk untuk mencegah kekufuran ummat. Orang miskin bisa kufur karena penderitaan kemiskinan dan orang kaya bisa kufur karena nikmat kekayaan....zakat juga diwajibkan mengelola supaya ummat bisa ikut bersama ulama, membangun agama dengan mengeluarkan zakat untuk membiayai syiar agama. Oleh H. AMR (56 tahun) seorang muzakki, menyatakan bahwa : berzakat itu penting karena kewajiban yang diperintahkan dalam agama. Berzakat juga memberikan hak orang lain yang dititipkan oleh Allah dalam harta setiap orang yang mampu. Kalau tidak berzakat artinya ingkar dengan Allah dan menahan hak orang lain. Makanya agar zakat terlaksana dengan baik harus ada amil... Berzakat itu ibadah, tanda syukur, dan melindungi orang miskin. Berzakat juga mendatangkan berkah,membersihkan harta dan mengamankan kita dan harta dari ancaman tangan jahil karena kemiskinan.... kami hanya tahu kalau zakat itu wajib, ada berpahala dan manfaat kebaikan kalau dilaksanakan dan berdosa jika tidak dilaksanakan... kami kurang tahu bagaimana cara supaya zakat itu sah dan berkah... Oleh SLHD (45 tahun) seorang mustahik yang profesinya buruh tani, menyatakan bahwa : zakat adalah kewajiban orang kaya kepada Allah untuk memberikan sebahagian hartanya kepada orang miskin,... tapi kalau tidak di atur oleh amil, mereka bisa jadi enggan membayar zakat... ada paling karena takut diganggu hartanya... jadi dikasi hanya yang berani minta, yang malu minta yah, tidak diberi. Oleh H. TAM (56 tahun) muzakki Simbur Naik, dikatakan :... dekat dengan Puang Imam itu bagus, mengikuti anjuran puang Imam berarti patuh dengan agama karena nasehat puang Imam itu untuk kebaikan.... dekat dengan Imam ikut taat dan semua orang menganggap baik dekat dengan ustad.... Membayar zakat itu bagusnya kepada amil, karena amil itu orang jujur dan taat. Kalau berzakat dengan amil akan berkah karena didoakan oleh amil agar murah rejeki dan selamat dunia akhirat. Guru Ngaji dan Guru Agama di beberapa Desa di Tanjung Jabung Timur ditemukan ada yang keberatan menjadi amil zakat jika diberikan bagian zakat dua bagian, yaitu bagian sebagai Guru Ngaji/Guru Agama dan sebagai amil Zakat. Mereka ini dalam kultur zakat desa dijadikan salah satu tempat para Muzakki menyerahkan zakatnya karena alasan telah mengajarkan mengaji dan agama kepada anak-anak desa tanpa pamrih. Mereka ini menjadi amil di luar kelembagaan masjid dan selalu berlangsung di rumah sang Guru yang diantarkan langsung oleh Muzakki atau oleh anaknya yang belajar mengaji di sana. H. ABD (59 tahun), Imam Masjid Raya Simburnaik, menjelaskan bahwa : Zakat itu rukun Islam yang wajib ditunaikan. Zakat mengandung maksud untuk melahirkan rasa kasihan kepada orang miskin. Zakat awalnya ditunaikan karena itu perintah Allah, tapi nanti zakat ditunaikan karena rasa tanggungjawab terhadap saudara-saudaranya seagama yang miskin... MASTG (49 tahun), amil zakat dari tokoh masyarakat yang sekaligus Muzakki menyatakan bahwa ia membayar zakat karena menyadari itu kewajiban sebagai orang Islam yang memiliki kelebihan harta yang memiliki kewajiban terhadap orang miskin yang ada di lingkungannya (tau mareppek). Menurutnya bahwa Zakat itu lebih utama diberikan kepada orang dekat, karena mereka itu yang melihat dan mengetahui kita punya harta dan menikmati harta di depan mereka yang kesusahan. Pentingnya tatakelola sebagai upaya melaksanakan perintah keharusan adanya amil dalam tradisi berzakat, merupakan upaya melaksanakan ajaran dan menjadi landasan utama bagi komunitas. Munculnya seorang atau sekelompok

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

VIII KESIMPULAN DAN SARAN VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Empirik 8.1.1. Konstruksi Pengetahuan Zakat Konstruksi pengetahuan zakat LAZ Komunitas, BAZDA, dan LAZ Swasta, merupakan hasil dari bekerjanya rezim pengetahuan

Lebih terperinci

VII DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT

VII DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT VII DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT 7.1. Pendahuluan Diskursus tatakelola zakat yang berkembang, berhujung pada lahirnya tiga model tatakelola zakat, yaitu : Tatakelola zakat berbasis

Lebih terperinci

KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT Pendahuluan

KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT Pendahuluan V KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT 5.1. Pendahuluan Fenomena berzakat merupakan realitas kehidupan sehari-hari yang menyimpan dan menyediakan kenyataan, bekerjanya pengetahuan yang membimbing

Lebih terperinci

KONSTRUKSI SOSIAL PENGETAHUAN DAN DINAMIKA RASIONALITAS AMIL ZAKAT KOMUNITAS: STUDI DI KOTA AMBON MALUKU

KONSTRUKSI SOSIAL PENGETAHUAN DAN DINAMIKA RASIONALITAS AMIL ZAKAT KOMUNITAS: STUDI DI KOTA AMBON MALUKU KONSTRUKSI SOSIAL PENGETAHUAN DAN DINAMIKA RASIONALITAS AMIL ZAKAT KOMUNITAS: STUDI DI KOTA AMBON MALUKU Subair 1 Abstract: The construction of community tithe knowledge is result from knowledge and power

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUNGO NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BUNGO, Menimbang : a. bahwa pembayaran zakat fitrah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Nasional bangsa di Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental spiritual, antara lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara historis, konsep zakat 1 muncul dari wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Wahyu ditafsirkan oleh Muhammad SAW, sebagai manusia yang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQOH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQOH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQOH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa penunaian Zakat merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijauhi. Diantara perintah-perintah tersebut adalah saling berbagi - bagi

BAB I PENDAHULUAN. dijauhi. Diantara perintah-perintah tersebut adalah saling berbagi - bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk besar yang sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, dimana dalam ajaran Islam terdapat perintah yang harus

Lebih terperinci

BUPATI MERANGIN, Menimbang : a.

BUPATI MERANGIN, Menimbang : a. BUPATI MERANGIN PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

isempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

isempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, isempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang : a. bahwa pembayaran zakat fitrah dan harta

Lebih terperinci

RINGKASAN. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat

RINGKASAN. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat RINGKASAN Peran Pemerintah Daerah Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Zakat Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat Disertasi ini memfokuskan kajian tentang peran pemerintah Kabupaten Mamuju dalam mengoptimalkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 3 TAHUN 2007 SERI PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 3 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diwajibkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada mustahik yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. diwajibkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada mustahik yang telah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Zakat menurut terminologi merupakan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada mustahik yang telah disebutkan di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, yaitu kurang dari $ USA. Pada awal tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, yaitu kurang dari $ USA. Pada awal tahun 1997 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Di Indonesia kemiskinan masih menjadi isu utama pembangunan, saat ini pemerintah masih belum mampu mengatasi kemiskinan secara tuntas. Hingga tahun 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dituntut untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dituntut untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas. Organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga zakat adalah lembaga yang berada ditengah-tengah publik sehingga dituntut untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas. Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ) dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mampu serta menjadi unsur dari Rukun Islam, sedangkan Infaq dan Shodaqoh

BAB I PENDAHULUAN. yang mampu serta menjadi unsur dari Rukun Islam, sedangkan Infaq dan Shodaqoh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) merupakan bagian dari kedermawanan (filantropi) dalam konteks masyarakat Muslim. Zakat merupakan kewajiban bagian dari setiap

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

107 LAMPIRAN-LAMPIRAN

107 LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN-LAMPIRAN 107 108 Lampiran 01 KOESIONER ANGKET A. Pengantar Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan bapak/ibu/ saudara(i) untuk mengisi atau menjawab pertanyaan yang ada dalam angket

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 13 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK

PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 13 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 23 SERI E.23 ================================================================= PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 13 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTENEGARA, Menimbang : a. bahwa Zakat

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian ini dapatlah disimpulkan bahwa penalaran dan kontekstualisasi ibadah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian ini dapatlah disimpulkan bahwa penalaran dan kontekstualisasi ibadah BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Pada bagian ini dapatlah disimpulkan bahwa penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA merupakan program yang dirancang sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam memahami zakat masih sedikit di bawah shalat dan puasa.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam memahami zakat masih sedikit di bawah shalat dan puasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam dibangun di atas lima pilar yang terangkum dalam rukun Islam. Zakat yang merupakan rukun ketiga dari lima rukun Islam tersebut tidak seperti shalat ataupun puasa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS UDI. A. Analisis Terhadap Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid

BAB IV ANALISIS KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS UDI. A. Analisis Terhadap Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid 63 BAB IV ANALISIS KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS UDI A. Analisis Terhadap Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas udi Pada awal Islam ada kejelasan dalam kewajiban

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT NAHDLATUL ULAMA DAN PENGELOLAAN DANA TERHADAP KEBERHASILAN PENGELOLAAN LAZISNU KOTA SURABAYA

BAB IV ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT NAHDLATUL ULAMA DAN PENGELOLAAN DANA TERHADAP KEBERHASILAN PENGELOLAAN LAZISNU KOTA SURABAYA BAB IV ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT NAHDLATUL ULAMA DAN PENGELOLAAN DANA TERHADAP KEBERHASILAN PENGELOLAAN LAZISNU KOTA SURABAYA A. Analisis Partisipasi Masyarakat Nahdlatul Ulama Terhadap Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF QARDAWI DAN MASDAR FARID MAS UDI MENGENAI PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK KEMASLAHATAN UMAT

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF QARDAWI DAN MASDAR FARID MAS UDI MENGENAI PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK KEMASLAHATAN UMAT BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF QARDAWI DAN MASDAR FARID MAS UDI MENGENAI PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK KEMASLAHATAN UMAT Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu secara finansial. Zakat menjadi salah satu rukun islam keempat setelah puasa di bulan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 24 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 24 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 24 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara layak. Menurut Siddiqi mengutip dari al-ghazali dan Asy-Syathibi

BAB I PENDAHULUAN. secara layak. Menurut Siddiqi mengutip dari al-ghazali dan Asy-Syathibi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya lembaga filantropi di dalam memberdayakan usaha mikro agar dapat menjadikan manusia yang produktif melalui peran penyaluran dana ZIS yang telah dikumpulkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Al-Qur an dan Hadist. Dana zakat yang terkumpul akan diberikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. pada Al-Qur an dan Hadist. Dana zakat yang terkumpul akan diberikan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat merupakan salah satu rukun islam yang wajib ditunaikan oleh umat muslim atas harta kekayaan seorang individu yang ketentuannya berpedoman pada Al-Qur an

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 SERI E NOMOR 1 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan ibadah yang tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan ibadah yang tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan ibadah yang tidak hanya berhubungan dengan nilai ketuhanan saja namun berkaitan juga dengan hubungan kemanusian yang bernilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang begitu pesat membuat perusahaan harus mampu mengelola sumber. politik, lingkungan sekitar dan kondisi ekonomi makro.

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang begitu pesat membuat perusahaan harus mampu mengelola sumber. politik, lingkungan sekitar dan kondisi ekonomi makro. xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan zaman secara global yang cepat dan karena kemajuan era teknologi yang begitu pesat membuat perusahaan harus mampu mengelola sumber daya manusia (SDM)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Zakat merupakan salah zatu dari rukun Islam, seornag mukmin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Zakat merupakan salah zatu dari rukun Islam, seornag mukmin BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Zakat merupakan salah zatu dari rukun Islam, seornag mukmin yang mampu diwajibkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya yang notabenenya adalah hak orang lain. Zakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkeinginan untuk mengikuti pendidikan di Kota ini. Khusus untuk pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. berkeinginan untuk mengikuti pendidikan di Kota ini. Khusus untuk pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu kota yang dikenal sebagai kota kembang, Bandung menyediakan sarana pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dukungan penuh agama untuk membantu orang-orang miskin yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dukungan penuh agama untuk membantu orang-orang miskin yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zakat adalah sebuah langkah kemandirian sosial yang diambil dengan dukungan penuh agama untuk membantu orang-orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka

Lebih terperinci

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI hanyalah yang tidak mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai partai. Biasanya dalam sistem komunikasi seperti itu, isi media massa juga ditandai dengan sejumlah slogan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 164, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data dari Badan Perencana Pembangunan (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data dari Badan Perencana Pembangunan (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Menurut data dari Badan Perencana Pembangunan (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah

Lebih terperinci

Pengantar. responsibility (CSR).

Pengantar. responsibility (CSR). Pengantar Perusahaan mengejar laba memang sudah menjadi wataknya. Tetapi jika kemudian sebuah perusahaan juga ikut repot-repot melibatkan diri dalam suatu gerakan mencerdaskan bangsa melalui pemberian

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA PEMBAYARAN ZAKAT MELALUI LAYANAN MOBILE-ZAKAT (M-ZAKAT) MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DIAN NOVITA Fakultas Hukum, Universitas Wiraraja Sumenep dianovita79@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam perannya pada aspek sosial-ekonomi yang sangat besar.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam perannya pada aspek sosial-ekonomi yang sangat besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu serta menjadi unsur dari rukun Islam. Zakat merupakan pilar utama dalam Islam khususnya dalam perannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akademis serta bermunculannya lembaga perekonomian islam di Indonesia. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. akademis serta bermunculannya lembaga perekonomian islam di Indonesia. Begitu BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang. Perkembangan ekonomi islam telah menjadikan islam sebagai satu-satunya solusi masa depan. Hal ini di tandai dengan semakin banyak dan ramainya kajian akademis serta

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG Tahun 200

LEMBARAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG Tahun 200 LEMBARAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG Tahun 200 008 Nomor 7 Seri E.1 PERATURAN DAERAH KOTA PADANG PANJANG NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PANJANG,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang, termasuk Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS)

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 7.1 Kesimpulan. mobilisasi tidak mutlak, mobilisasi lebih dalam hal kampanye dan ideologi dalam

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 7.1 Kesimpulan. mobilisasi tidak mutlak, mobilisasi lebih dalam hal kampanye dan ideologi dalam BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan Berdasarkanpada rumusan masalah dan hasil penelitian yang telah dipaparkan oleh peneliti pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi hasil kesimpulan penelitian secara keseluruhan yang dilakukan oleh penulis Selain kesimpulan, diuraikan pula rekomendasi yang penulis berikan kepada beberapa pihak

Lebih terperinci

PERANAN MENTORING AL ISLAM DALAM PENDISIPLINAN SHOLAT MAHASISWI UMS SKRIPSI

PERANAN MENTORING AL ISLAM DALAM PENDISIPLINAN SHOLAT MAHASISWI UMS SKRIPSI PERANAN MENTORING AL ISLAM DALAM PENDISIPLINAN SHOLAT MAHASISWI UMS SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S1 Fakultas Psikologi Disusun oleh: Ugulia Meri Susilowati F 100

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA SOSIAL PADA YAYASAN AL-JIHAD SURABAYA

BAB IV ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA SOSIAL PADA YAYASAN AL-JIHAD SURABAYA BAB IV ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA SOSIAL PADA YAYASAN AL-JIHAD SURABAYA A. Analisis Manajemen Penghimpunan, Pengelolaan serta Pendistribusian Dana Sosial pada Yayasan Al-Jihad Surabaya Setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Pembangunan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut didalam Al-Quran, salah satunya pada surah Al-Baqarah ayat 43 : yang rukuk. (QS. Al-Baqarah Ayat 43)

BAB I PENDAHULUAN. disebut didalam Al-Quran, salah satunya pada surah Al-Baqarah ayat 43 : yang rukuk. (QS. Al-Baqarah Ayat 43) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang di dalamnya terdapat unsur ibadah, sosial dan ekonomi, yang mana setiap orang muslim mempunyai kewajiban melaksanakan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zakat dan Infaq merupakan ibadah yang tidak hanya bersifat vertikal (hablun min

BAB I PENDAHULUAN. zakat dan Infaq merupakan ibadah yang tidak hanya bersifat vertikal (hablun min BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat dan Infaq mempunyai peranan sangat besar dalam meningkatan kualitas kehidupan sosial masyarakat kurang mampu. Hal ini disebabkan karena zakat dan Infaq

Lebih terperinci

Good Governance. Etika Bisnis

Good Governance. Etika Bisnis Good Governance Etika Bisnis Good Governance Good Governance Memiliki pengertian pengaturan yang baik, hal ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pelaksanaaan etika yang baik dari perusahaan Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengendalikan tujuan perusahaan. Good Corporate Governance yang. seringkali digunakan dalam penerapannya di perusahaan-perusahaan,

BAB I PENDAHULUAN. mengendalikan tujuan perusahaan. Good Corporate Governance yang. seringkali digunakan dalam penerapannya di perusahaan-perusahaan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum Good Corporate Governance merupakan sebuah sistem yang terdapat pada sebuah perusahaan atau badan usaha baik yang mencari laba maupun nirlaba yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH DI KJKS BMT ISTIQLAL PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH DI KJKS BMT ISTIQLAL PEKALONGAN 56 BAB IV ANALISIS MANAJEMEN PENGELOLAAN DANA ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH DI KJKS BMT ISTIQLAL PEKALONGAN Secara sosial ataupun ekonomi bahwa zakat adalah lembaga penjamin. Lewat institusi zakat, kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, peranan Negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (Government) menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan dapat dikatakan sebagai salah satu aktor ekonomi dalam satu wilayah, baik itu wilayah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Tato merupakan salah satu karya seni rupa dua dimensi yang layak untuk dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang merupakan

Lebih terperinci

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI l Edisi 003, Agustus 2011 SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI P r o j e c t i t a i g k a a n D Saiful Mujani Edisi 003, Agustus 2011 1 Edisi 003, Agustus 2011 Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi perilaku anak yang semakin hilangnya nilai-nilai karakter bangsa. Hilangnya nilai-nilai karakter bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang menjadi salah satu fondasi penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang menjadi salah satu fondasi penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang menjadi salah satu fondasi penting dalam Islam. Zakat disebutkan dalam Alquran sebanyak 35 kali, yang dalam 27 diantaranya penggunaan

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran atau serangkaian sasaran bersama (Robbins, 2006:4). Akibat

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran atau serangkaian sasaran bersama (Robbins, 2006:4). Akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan unit sosial yang dengan sengaja diatur, terdiri atas dua orang atau lebih yang berfungsi secara relatif terus menerus untuk mencapai sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan BAB I PENDAHULUAN A. KONTEKS PENELITIAN Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan zakat itu berlaku bagi setiap muslim yang dewasa, merdeka, berakal sehat, dan telah memiliki harta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Moral Ekonomi Pedagang Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. berpengaruh terhadap minat membayar zakat di Badan Amil. Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Gresik.

BAB V PEMBAHASAN. berpengaruh terhadap minat membayar zakat di Badan Amil. Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Gresik. BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pengaruh secara simultan Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa variabel bebas yakni religiusitas (X 1 ), gaji (X 2 ) dan kepercayaan (X 3 )

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keith Davis ( 2007 ) mengemukakan bahwa : Dicipline is management action

BAB I PENDAHULUAN. Keith Davis ( 2007 ) mengemukakan bahwa : Dicipline is management action BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai macam pengertian disiplin kerja yang dikemukakan oleh para ahli, Keith Davis ( 2007 ) mengemukakan bahwa : Dicipline is management action to enforce organization

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat. PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 9 Tahun 2012 TENTANG

Gubernur Jawa Barat. PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 9 Tahun 2012 TENTANG 1 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 9 Tahun 2012 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT PROFESI, INFAK DAN SEDEKAH PEGAWAI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membicarakan masalah kemiskinan berarti membicarakan suatu masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Membicarakan masalah kemiskinan berarti membicarakan suatu masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membicarakan masalah kemiskinan berarti membicarakan suatu masalah yang sebenarnya telah berlangsung lama dalam kehidupan manusia. Kemiskinan merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus diberikan terhadap seorang anak. Pendidikan terbagi menjadi tiga yaitu pendidikan formal seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 38,4 juta jiwa (18,2%) yang terdistribusi 14,5% di perkotaan dan 21,1% di

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 38,4 juta jiwa (18,2%) yang terdistribusi 14,5% di perkotaan dan 21,1% di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Kemiskinan ini sudah ada sejak lama dan telah menjadi kenyataan dalam kehidupan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan

Lebih terperinci

2. Stakeholders dalam Organisasi Bisnis dan Fungsi dari Masing-Masing Stakeholder dalam Organisasi Bisnis

2. Stakeholders dalam Organisasi Bisnis dan Fungsi dari Masing-Masing Stakeholder dalam Organisasi Bisnis RESUME ETIKA ADMINISTRASI UNTUK PERSIAPAN UTS 1. Makna Penting Administrasi sebagai Filosofi in Action Filsafat merupakan sikap terhadap kegiatan tertentu. Semua administrator memiliki filosofi yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan adalah kurangnya atau terbatasnya barang-barang dan jasa-jasa yang

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan adalah kurangnya atau terbatasnya barang-barang dan jasa-jasa yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Para penganut sistem ekonomi kapitalisme berpendapat bahwa inti masalah ekonomi adalah masalah produksi. Mereka berpendapat bahwa penyebab kemiskinan adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN ZAKAT, INFAK DAN SHADAQAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN ZAKAT, INFAK DAN SHADAQAH 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN ZAKAT, INFAK DAN SHADAQAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

ABSTRAKSI PENGGUNAAN DANA ZAKAT OLEH BADAN AMIL (BAZ) SURAKARTA

ABSTRAKSI PENGGUNAAN DANA ZAKAT OLEH BADAN AMIL (BAZ) SURAKARTA ABSTRAKSI PENGGUNAAN DANA ZAKAT OLEH BADAN AMIL (BAZ) SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang-orang dalam bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. orang-orang dalam bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Organisasi merupakan suatu wadah yang di dalamnya terdapat aktivitas orang-orang dalam bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditentukan

Lebih terperinci

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan. Written by Mudjia Rahardjo Wednesday, 14 April :55 - Last Updated Thursday, 15 April :07

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan. Written by Mudjia Rahardjo Wednesday, 14 April :55 - Last Updated Thursday, 15 April :07 (tulisan ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul Pengembangan Profesionalisme Guru atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com ) Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan bagian dari kedermawanan

BAB I PENDAHULUAN. Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan bagian dari kedermawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) merupakan bagian dari kedermawanan dalam konteks masyarakat muslim. Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, zakat memiliki arti kata berkembang (an-namaa), mensucikan (atthaharatu)

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, zakat memiliki arti kata berkembang (an-namaa), mensucikan (atthaharatu) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zakat adalah salah satu pilar penting dalam ajaran Islam. Secara etimologis, zakat memiliki arti kata berkembang (an-namaa), mensucikan (atthaharatu) dan berkah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 277 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Umum Pelaksanaan penguatan civic governance melalui partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung belum dapat dilaksanakan

Lebih terperinci

Optimalisasi Pengelolaan Zakat di BAZNAS Tulungagung dilaksanakan. dengan beberapa langkah. Adapun langkah langkah pengoptimalan diantaranya

Optimalisasi Pengelolaan Zakat di BAZNAS Tulungagung dilaksanakan. dengan beberapa langkah. Adapun langkah langkah pengoptimalan diantaranya 85 BAB V PEMBAHASAN A. Upaya Optimalisasi Pengelolaan Zakat Optimalisasi Pengelolaan Zakat di BAZNAS Tulungagung dilaksanakan dengan beberapa langkah. Adapun langkah langkah pengoptimalan diantaranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua organisasi. Sumber daya manusia yang sangat penting dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. semua organisasi. Sumber daya manusia yang sangat penting dan sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan organisasi dan industri yang pesat dewasa ini tidak lepas dari pentingnya unsur sumber daya manusia di dalam organisasi, karena sumber daya manusia adalah

Lebih terperinci