KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR RIFQI NAUFALDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR RIFQI NAUFALDI"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR RIFQI NAUFALDI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Rifqi Naufaldi NIM G

4 ABSTRAK RIFQI NAUFALDI. Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur. Dibimbing oleh MUH TAUFIK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kekeringan hidrologi pada komponen groundwater recharge dan menganalisis hubungan karakteristik kekeringan tersebut dengan fenomena ENSO. Metode neraca air dengan input curah hujan dan evapotranspirasi bulanan digunakan untuk menduga nilai recharge bulanan selama periode Kekeringan recharge dihitung apabila nilai recharge bulanan berada di bawah ambang batas kekeringan. Nilai ambang batas kekeringan ditentukan dengan menggunakan metode ambang batas bervariasi (varying threshold). Nilai ambang batas bervariasi berdasarkan lokasi dan kondisi tanah pada tiap-tiap daerah kajian. Hasil analisis menunjukkan semakin lama durasi kekeringan, nilai defisit recharge akan meningkat signifikan. Semakin panjang durasi kekeringan, frekuensi kekeringan yang terjadi akan semakin rendah. Wilayah Samarinda dengan kondisi tanah gambut bervegetasi hutan termasuk yang paling rentan terhadap kekeringan. Hal ini diindikasikan dengan frekuensi kekeringan yang cukup besar (56) dan terdapat durasi kekeringan panjang (10 bulan berturut-turut). Sedangkan wilayah Banjarmasin dengan kondisi tanah mineral bertutupan vegetasi hutan memiliki tingkat kerentanan terendah yang diindikasikan dengan frekuensi kekeringan terendah (19). Pada kondisi EL-Niňo kuat, kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan bagian timur cenderung mengalami peningkatan frekuensi, durasi, dan nilai defisit volume recharge. Kata kunci: recharge, volume defisit, ambang batas, durasi, ENSO

5 ABSTRACT RIFQI NAUFALDI. Hydrological Drought Characteristics in the Eastern part of Kalimantan. Supervised by MUH TAUFIK. This study aimed to identify the hydrological drought using groundwater recharge component and analyze the relation between hydrological drought and ENSO phenomena. Water balance model with monthly rainfall and ETp input was used to assess the monthly recharge value from 1901 to In this study we used a monthly varying threshold method. The threshold varied depending on the climate regime and soil condition. Drought in groundwater was considered when the monthly recharge is below the drought threshold. We found that the longer drought duration, the volume deficit would significantly increase. Additionally, the longer drought duration, the number of drought events would significantly reduce. This study indicates that Samarinda region under peat soil and forest cover is more prone to drought as indicated by the highest drought frequency (56). In other hand, Banjarmasin region under mineral and forest cover is less vulnerable to drought. Furthermore, this study shows that peat soils are more pronounced to severe drought than mineral soils. Our findings also confirmed that strong El-Niňo would trigger severe hydrological droughts. Key words: recharge, volume deficit, threshold, duration, ENSO

6

7 KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR RIFQI NAUFALDI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

8

9 Judul Skripsi : Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur Nama NIM : Rifqi Naufaldi : G Disetujui oleh Muh Taufik, SSi MSi. Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Tania June, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini telah berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah karakteristik kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan bagian timur, yang sudah dilaksanakan sejak Bulan Februari Banyak terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Muhammad Taufik selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, masukan, dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan saya kedepan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kakak angkatan Taufiq Yuliawan yang telah banyak membantu memecahkan masalah dalam penelitian yang saya lakukan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa, semangat, motivasi dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2014 Rifqi Naufaldi

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Data 2 Metode Penelitian 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Profil Iklim 8 Ambang Batas Kekeringan 9 Durasi dan Frekuensi Kekeringan Hidrologi 10 Defisit Volume Kekeringan Hidrologi 11 Hubungan antara Fenomena SOI dengan Karakteristik Kekeringan 14 SIMPULAN DAN SARAN 16 Simpulan 16 Saran 16 DAFTAR PUSTAKA 16 LAMPIRAN 18 RIWAYAT HIDUP 28

12 DAFTAR TABEL 1 Faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu 4 2 Nilai ambang batas kekeringan (Q 80 ) di ketiga wilayah kajian (Tarakan, Samarinda dan Banjarmasin) dengan tipe tanah dan tutupan vegetasi yang berbeda 9 3 Lama durasi dan jumlah kejadian kekeringan pada setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode Karakteristik kekeringan meteorologi pada ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode DAFTAR GAMBAR 1 Peta wilayah kajian (sumber: BAPPENAS) 3 2 Sebaran nilai curah hujan (kiri) dan evapotranspirasi potensial (kanan) bulanan pada wilayah Kalimantan bagian timur periode Rerata nilai defisit (mm) pada tanah gambut untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode Rerata nilai defisit (mm) pada tanah mineral untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode Karakteristik kekeringan hidrologi pada tanah gambut bervegetasi hutan di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin saat kejadian ENSO kuat (SOI < -5.5) 15 DAFTAR LAMPIRAN 1 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan 18 2 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan 20 3 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda 22 4 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda 24 5 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin 26 6 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin 27

13 0

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Kekeringan merupakan fenomena hidro-meteorologi yang memberi dampak negatif serta kerugian sosial ekonomi masyarakat yang hidup di suatu daerah (Wilhite 1993). Secara umum kekeringan dapat dipengaruhi oleh faktor variabilitas dan perubahan iklim. Kedua faktor ini mampu mengakibatkan perubahan pada pola curah hujan dan sebaran suhu permukaan. Seiring dengan tekanan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan iklim, terdapat kecenderungan peningkatan dampak, area, dan frekuensi kekeringan yang terbentuk di suatu wilayah (Jing et al. 2012). Pada kondisi tropis, Indonesia memiliki dua musim berupa musim hujan dan musim kering yang terjadi pada setiap tahun. Secara garis besar, musim kering dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang berada di bawah normal. Hal ini mengakibatkan kelembaban tanah yang tersedia di suatu lahan menjadi tidak seimbang antara suplai dengan kebutuhan air pada periode waktu tertentu. Kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi. Kekeringan meteorologi adalah defisit curah hujan dalam jangka waktu lama. Kekeringan meteorologi menyebabkan perubahan pada kapasitas simpanan air di dalam tanah, yang apabila nilai simpanan air tersebut semakin turun dapat menyebabkan kekeringan pertanian. Lalu apabila kekeringan pertanian dikaitkan dengan kondisi pengurangan air bumi maka kekeringan tersebut dinyatakan sebagai kekeringan hidrologi (Wilhite 2000; Tallaksen dan Van Lanen 2004). Kekeringan ini mengakibatkan sumber air, waduk, serta jumlah aliran air yang masuk sebagai air tanah (groundwater) semakin berkurang. Kekeringan hidrologi berkembang secara perlahan pada area luas dengan periode waktu yang panjang (mulai dari bulanan hingga tahunan) yang dapat disebabkan oleh curah hujan pada kondisi di bawah normal (Van Lanen et al. 2012). Kekeringan hidrologi yang intensif dan berdurasi lama menjadi penyebab kelangkaan dan pengurangan suplai air untuk irigasi, yang berdampak negatif pada produksi pertanian di suatu wilayah. Kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan dapat dianalisa dengan menggunakan komponen groundwater recharge. Nilai recharge bulanan yang ada di suatu daerah dapat dihitung dengan menggunakan model neraca air lahan. Nilai recharge ini berfungsi untuk menentukan sifat-sifat dan pola kekeringan, yang disebut sebagai karakteristik kekeringan. Karakteristik kekeringan dibentuk dari beberapa komponen dan parameter utama berupa durasi, defisit, dan waktu kejadian (Hisdal et al. 2004). Karakteristik kekeringan hidrologi dapat diaplikasikan pada skala regional, serta mampu menyediakan informasi yang handal dalam memprediksi kejadian kekeringan. 1

15 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi karakteristik kekeringan hidrologi menggunakan komponen groundwater recharge, (ii) menganalisis hubungan antara kekeringan hidrologi dengan fenomena ENSO yang terjadi di Indonesia. Manfaat Penelitian Analisis kekeringan pada groundwater recharge digunakan untuk mengetahui pola dan tingkat kekeringan hidrologi yang terjadi di wilayah Kalimantan bagian timur. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal pengelolaan irigasi pertanian, manajemen sumber daya air, serta untuk antisipasi, adaptasi, dan mitigasi bencana kekeringan. METODE Data Pemodelan neraca air lahan untuk mengestimasi groundwater recharge dilakukan dengan menggunakan satu set parameter data dan masukan sebagai berikut: 1. Data time-series bulanan berupa suhu udara dan curah hujan dalam kurun waktu 109 tahun ( ). Data suhu udara dan curah hujan bulanan pada penelitian ini merupakan data dari Climate Research Unit (CRU) ( Data ini merupakan data grid hasil pemetaan satu set data iklim dari observasi bulanan di seluruh daratan stasiun meteorologi yang ada di dunia (Harris et al. 2004). 2. Komponen soil water retention berupa: SMfc (soil moisture at field capacity, SMwp (soil moisture at wilting point), dan SMcp (soil moisture at critical point) yang berasal dari kurva soil water retention pada lapisan atas tanah dan lapisan bawah tanah. Kurva tersebut diperoleh berdasarkan acuan dari Sayok et al. (2008) dan Shaliha et al. (2012). 3. Data SOI bulanan dalam kurun waktu 109 tahun yang tersedia dari situs Bureau of Meteorology 4. Nilai koefisien tanaman berupa tutupan vegetasi hutan dan non-hutan. Data curah hujan dan suhu permukaan diperoleh berdasarkan letak wilayah kajian masing-masing. Area wilayah kajian untuk Provinsi Kalimantan Utara menggunakan data grid Tarakan ( LU dan BT). Sedangkan area kajian untuk Provinsi Kalimantan Timur menggunakan data grid Samarinda koordinat (00 o o LS dan 117 o o ). Lalu untuk area kajian Provinsi Kalimantan Selatan 2

16 menggunakan data grid Banjarmasin (3 o o LS dan 114 o o ). Lokasi untuk ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Peta wilayah kajian (sumber: BAPPENAS) Metode Penelitian Analisis neraca air lahan dimulai dengan perhitungan evapotranspirasi pertanaman dengan memasukkan data suhu udara dan koefisien tanaman (kc). Setelah itu diperlukan data curah hujan dan kapasitas simpanan air tanah untuk menentukan nilai kadar air tanah (soil moisture), recharge, dan evapotranspirasi aktual, dengan menggunakan model neraca air lahan. Data recharge tersebut digunakan untuk memperoleh nilai ambang batas kekeringan pada berbagai macam tipe tanah dan tutupan vegetasi. Dalam penelitian ini, kejadian kekeringan hidrologi didefinisikan sebagai nilai recharge bulanan yang berada di bawah nilai ambang batas. Nilai recharge bulanan yang termasuk kedalam kategori kekeringan, digunakan untuk menganalisa karakteristik kekeringan hidrologi berupa durasi dan defisit volume kekeringan. Karakteristik kekeringan tersebut dikaitkan dengan kejadian ENSO untuk melihat pengaruh variabilitas iklim terhadap kejadian kekeringan. 3

17 1. Evapotranspirasi potensial (ETp) Menurut Chen et al. (2005) evapotranspirasi potensial merupakan kombinasi proses evaporasi dan transpirasi yang dipengaruhi oleh jumlah energi dan kondisi atmosfer, dengan anggapan ketersediaan air tidak menjadi faktor pembatas pada proses tersebut. Penentuan ETp dilakukan dengan menggunakan model evapotranspirasi potensial Thornthwaite. Model ini hanya menggunakan parameter input berupa data suhu udara bulanan pada wilayah yang dikaji. Formulasi perhitungan evapotranspirasi Thornthwaite dilakukan dengan menghitung indeks panas pada Persamaan (1) terlebih dahulu. i = (t/5) (1) Melalui Persamaan (1), dapat ditentukan jumlah nilai indeks bulanan (I), dengan formulasi berikut: I = ( ) (2) Persamaan (3) dicari dengan memformulasikan I pada persamaan (2). a = (0.675 * 10-6 * I 3 ) (0.77 * 10-4 * I 2 ) *I (3) Dengan menggunakan persamaan (2) dan (3), evapotranspirasi potensial dapat dirumuskan seperti pada Persamaan (4) di bawah ini: PE x = 16 * (10t/I) a (4) Persamaan (4) masih perlu dikoreksi kembali terhadap letak lintang dan waktu dengan menggunakan nilai-nilai faktor koreksi yang ada pada Tabel 1. Sehingga didapat rumus seperti pada persamaan (5): ETp = PEx*(f) (5) Keterangan: PE x : Evapotranspirasi potensial belum terkoreksi (mm) ETp : Evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm) t : suhu rata-rata bulanan ( o C) f : faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu I : jumlah nilai i (indeks panas) dalam setahun Tabel 1 Faktor Koreksi Berdasarkan Letak Lintang dan Waktu Bulan Lintang 4

18 2. Evapotranspirasi pertanaman (ETc) Menurut Allen et al. (1997) ETc merupakan evapotranspirasi dalam kondisi potensial dimana tanaman berada pada kriteria sehat, berkecukupan hara, dan bebas hama penyakit. Formulasi perhitungan ETc dimodelkan melalui Persamaan (6). ETc = ETp * kc (6) Keterangan: ETp : Evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm) kc : Koefisien tanaman Berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1994) dalam Widodo dan Dasanto (2010), nilai koefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0.82 (untuk LAI < 2) sampai 0.93 (untuk LAI > 5). Kelapa sawit dengan kelompok umur > 7 tahun memiliki nilai LAI berkisar antara Oleh karena itu, nilai koefisien tanaman yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0.93 dengan asumsi rata-rata tanaman kelapa sawit yang ada di wilayah Kalimantan Utara telah berumur lebih dari 25 tahun. Koefisien tanaman hutan dalam penelitian ini bernilai 1.1. Sue et al. (2011) menyatakan bahwa selama musim pertumbuhan, koefisien tanaman untuk hutan konifer basah dapat melampaui nilai Pemodelan neraca air lahan Recharge merupakan besarnya aliran air yang masuk ke dalam tanah menuju ke groundwater. Aliran air tersebut merupakan air gravitasi yang berhasil melewati gaya kohesi dan adhesi disekitar pori-pori tanah. Pada kondisi tertentu seperti pada muka air dangkal (shallow water table), groundwater mensuplai air ke permukaan dengan gaya capillary rise sehingga kelembaban tanah meningkat hingga kapasitas lapang. Nilai recharge ditentukan oleh kadar air tanah dan soil water retention. Formulasi perhitungan recharge dilakukan menggunakan persamaan Van Lanen et al. (2013). SMC i = SMC i-1 + P ETc (7) Dengan menggunakan persamaan (7), dapat ditentukan nilai recharge pada jenis lahan berupa mineral dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: Apabila (SMC i SMfc) maka: ETa = ETc Recharge = SMC i - SMfc Apabila (SMC i SMcp) dan (SMC i SMfc), maka: ETa = ETc Recharge = 0.2 * ((SMCi - SMcp) / (SMfc - SMcp)) 3.4 Lalu apabila (SMC i < SMcp) dan (SMC i > SMwp), maka: ETa = ((SMC i - SMwp) / (SMcp - SMwp)) * ETc Recharge = 0 5

19 Lalu yang terakhir apabila SMC i < SMwp, maka: ETa = 0 Recharge = 0 Pada kondisi lahan gambut, diasumsikan nilai evapotranspirasi selalu dalam kondisi potensial. Kondisi water table di lahan ini tergolong dangkal dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Nilai kadar air tanah yang terukur akan selalu mendekati kapasitas lapang. Bahkan bisa saja mencapai tingkat kejenuhan (pf 1). Hal ini akan berdampak pada perhitungan nilai recharge seperti pada formulasi berikut: ETa Recharge SMCi = ETc = P-ETc = SMfc Keterangan: ETc ETa pf 1 SMfc (pf 2.54) SMwp (pf 4.2) SMcp (pf 3) = Evapotranspirasi Tanaman (mm) = Evapotranspirasi aktual (mm) = Kondisi tanah pada saat keadaan jenuh air = Simpanan air pada saat kapasitas lapang (mm) = Simpanan air pada saat mencapai titik layu permanen (mm) = Simpanan air pada saat mencapai critical point (mm) Nilai soil water retention terbagi menjadi empat kategori yakni pf 1 (tingkat saturasi), pf 2.54 (tingkat kapasitas lapang), pf 3 (tingkat titik kritis: berada diantara tingkat kapasitas lapang dan titik layu permanen), serta pf 4.2 (tingkat titik layu permanen). Keempat kategori ini memiliki nilai simpanan yang berbedabeda. Pada lahan berupa mineral, nilai pf 2.54, pf 3, dan pf 4.2 secara berturutturut adalah 381.3, 347.9, dan 171 (Shaliha et al. 2012). Sedangkan pada lahan berupa gambut, nilai pf 2.54, pf 3, dan pf 4.2 secara berturut-turut sebesar 472, 403, dan 300 (Sayok et al. 2008). 4. Penentuan nilai ambang batas kekeringan (Q 0 ) Penetapan ambang batas/threshold kekeringan (Q 0 ) pada penelitian ini menggunakan metode ambang batas bervariasi bulanan (varying threshold). Perhitungan ambang batas recharge bulanan ini merujuk pada nilai ambang batas (threshold) tersebut, yaitu sebesar 80% data terlampaui. Ambang batas bervariasi digunakan untuk mengidentifikasi kekeringan pada recharge. Fleig et al. (2006) menyebutkan nilai threshold sebesar 70-90% sering digunakan dalam analisis kekeringan hidrologi. 5. Analisis durasi dan volume defisit kekeringan Durasi merupakan jangka waktu kekeringan yang dihitung dari awal hingga akhir kejadian kekeringan. Sedangkan volume defisit merupakan akumulasi defisit disepanjang durasi kekeringan dalam satuan mm. Pada saat menentukan durasi dan volume defisit dibutuhkan komponen parameter seperti awal kejadian 6

20 (onset) dan akhir kejadian (end) kekeringan.. Berikut ini merupakan tahapan perhitungan analisis durasi dan volume defisit dalam menentukan karakteristik kekeringan yang terjadi di suatu wilayah: 1. Memilih seluruh tanggal dan kejadian yang memiliki nilai recharge berada di bawah ambang batas Q Menghitung nilai defisit kekeringan dengan rumusan berikut: Defisit = Q 80 Recharge. 3. Menentukan lama periode dari awal hingga akhir kejadian kekeringan (durasi) dalam satuan bulan. 4. Menghitung volume defisit dengan rumusan sebagai berikut. V defisit Setelah komponen karakteristik kekeringan hidrologi (durasi dan volume defisit) diperoleh, kejadian kekeringan akan dikaitkan dengan nilai SOI untuk mengetahui pengaruh variabilitas iklim terhadap karakteristik kekeringan hidrologi di suatu wilayah. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Iklim Berdasarkan data iklim yang diperoleh dari ketiga daerah kajian, Tarakan dan Samarinda memiliki pola hujan ekuatorial yang dicirikan dengan bentuk bimodal (dua puncak hujan) yang terjadi disekitar Bulan Maret dan Oktober (Gambar 2). Pada daerah Banjarmasin (Gambar 2), pola hujan yang terbentuk cenderung bertipe muson yakni dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan disekitar Bulan Desember). Sebaran nilai curah hujan bulanan di daerah Tarakan cenderung lebih beragam dibandingkan kedua daerah yang lain (Gambar 2). Sebarah curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Mei dan November, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 287 mm dan 306 mm. Sedangkan daerah Samarinda memiliki sebaran nilai curah hujan bulanan yang cenderung tidak lebih bervariasi dibandingkan daerah kajian Tarakan dan Banjarmasin. Sebaran curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Mei dan Desember, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 250 mm dan 247 mm. Banjarmasin memiliki sebaran nilai curah hujan bulanan yang cenderung lebih fluktuatif dibandingkan kedua daerah kajian yang lain. Sebaran curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Desember dan Januari, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 345 mm dan 321 mm. Secara berturut-turut dari Bulan Juni hingga Oktober, sebaran curah hujan dan median pada daerah Banjarmasin mengalami penurunan nilai yang cukup besar. Hal ini dapat mengakibatkan defisit suplai air dalam jangka waktu yang cukup lama. 7

21 Rainfall (mm/month) ETp (mm/month) Tarakan Rainfall (mm/month) ETp (mm/month) Samarinda Rainfall (mm/month) ETp (mm/month) Banjarmasin Gambar 2 Sebaran nilai curah hujan (kiri) dan evapotranspirasi potensial (kanan) bulanan pada wilayah Kalimantan bagian timur periode Berdasarkan hasil perhitungan, sebaran ETp selama 12 bulan cenderung memiliki pola yang sama untuk ketiga wilayah kajian (Gambar 2). Sebaran ETp bulanan tertinggi dan terendah di ketiga wilayah kajian secara berturut-turut jatuh pada Bulan Mei dan Februari. Daerah Tarakan secara umum memiliki sebaran nilai ETp yang paling bervariasi, dengan nilai median ETp bulanan tertinggi dibandingkan kedua daerah yang lain. Sedangkan pada daerah Banjarmasin dan Samarinda memiliki sebaran nilai ETp yang tidak begitu besar. 8

22 Apabila dilihat pada Gambar 2, terindikasi bulan-bulan dengan sebaran nilai curah hujan yang tinggi memiliki sebaran nilai evapotranspirasi potensial di atas rata-rata. Namun ketika sebaran nilai curah hujan bulanan tersebut bernilai rendah, evapotranspirasi potensial yang tercatat menjadi tidak begitu besar. Sehingga semakin tinggi curah hujan yang ada di suatu wilayah, dapat meningkatkan proses evapotranspirasi potensial secara signifikan. Ambang Batas Kekeringan Nilai ambang batas recharge yang dimiliki setiap wilayah kajian berbedabeda (Tabel 2). Hal ini dikarenakan pengaruh evapotranspirasi tanaman, curah hujan dan karakteristik tanah (soil water retention) yang dimiliki oleh tiap wilayah berbeda. Tabel 2 Nilai ambang batas kekeringan (Q 80 ) di ketiga wilayah kajian (Tarakan, Samarinda dan Banjarmasin) dengan tipe lahan dan tutupan vegetasi yang berbeda Bulan Ambang Batas Tarakan Samarinda Banjarmasin GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Keterangan: GH = Gambut Hutan GNH = Gambut Non Hutan MH = Mineral Hutan MNH = Mineral Non Hutan Berdasarkan hasil analisa, setiap jenis lahan dan tutupan vegetasi pada daerah Banjarmasin memiliki rerata varying threshold terendah dibandingkan kedua daerah yang lain (Tabel 2). Hal ini dikarenakan jumlah curah hujan di daerah Banjarmasin tidak sebesar dengan yang ada di daerah Tarakan dan Samarinda (Gambar 2). Kondisi sebaliknya terjadi pada daerah Samarinda, dimana rerata ambang batas recharge bulanan yang tercatat di daerah ini secara umum tergolong lebih besar dibandingkan kedua daerah lain untuk tipe tanah gambut dan mineral. Ambang batas yang dimiliki oleh tutupan lahan bervegetasi non hutan (kelapa sawit) secara umum bernilai lebih besar dibandingkan dengan tutupan lahan bervegetasi hutan (Tabel 2). Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah evapotranspirasi potensial yang ada pada vegetasi non hutan tidak sebesar dengan yang ada pada vegetasi hutan. 9

23 Durasi dan Frekuensi Kekeringan Hidrologi Ketiga daerah kajian memiliki frekuensi kekeringan yang berbeda-beda (Tabel 3). Frekuensi kekeringan terbesar untuk setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi yaitu pada durasi selama 2 bulan (durasi terendah). Daerah Samarinda secara keseluruhan memiliki frekuensi kekeringan terbesar untuk kedua tipe tanah dan tutupan vegetasi yakni sebanyak 56 kejadian untuk GH, 54 kejadian untuk GNH, 35 kejadian untuk MH, 47 kejadian untuk MNH (Tabel 3). Durasi kekeringan terpanjang (10 bulan berturut-turut) terdapat di daerah ini pada jenis tanah gambut dengan frekuensi yang terjadi hanya sekali dalam periode 109 tahun. Pada daerah Banjarmasin, frekuensi kekeringan yang terjadi tidak begitu tinggi, yakni sebanyak 28 kejadian untuk GH, 29 kejadian untuk GNH, 19 kejadian untuk MH, dan 31 kejadian untuk MNH (Tabel 3). Tanah gambut dan mineral di daerah ini banyak mengindikasikan tidak terjadi kekeringan hidrologi untuk setiap tingkat durasi yang cukup lama. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini disebabkan oleh pola curah hujan yang ada di daerah tersebut, sebaran curah hujan yang tidak begitu beragam, serta besar nilai ambang batas recharge yang dimiliki daerah Banjarmasin. Berdasarkan Tabel 3, durasi kekeringan yang berlangsung semakin lama mendapati jumlah kejadian defisit recharge yang semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena kekeringan dengan durasi yang semakin lama menunjukkan akumulasi dari kekeringan hidrologi yang semakin besar dan kuat. Oleh karena itu durasi kekeringan yang panjang sangat jarang terjadi lagi dalam suatu periode waktu tertentu di suatu wilayah. Sedangkan untuk durasi kekeringan yang semakin singkat memiliki kemungkinan yang tinggi untuk bisa terjadi kembali dalam suatu periode waktu tertentu. Tabel 3 Lama durasi dan jumlah kejadian kekeringan pada setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi di ketiga daerah yang berbeda (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode Durasi Kekeringan (Bulan) Frekuensi Tarakan Samarinda Banjarmasin GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH Jumlah Keterangan: G H = Gambut Hutan G NH = Gambut Non Hutan M H = Mineral Hutan M NH = Mineral Non Hutan 10

24 Defisit Volume Kekeringan Hidrologi Jumlah defisit volume recharge di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) secara umum akan semakin meningkat seiring dengan lama durasi kekeringan yang terjadi (Gambar 3 dan Gambar 4). Nilai defisit volume recharge tertinggi di wilayah Tarakan ada pada jenis lahan berupa gambut bertutupan vegetasi hutan, yakni sebesar 657 mm pada 8 bulan durasi kekeringan. Sedangkan jika dilihat dari sisi kekeringan meteorologi, justru dalam periode 7 bulan durasi kekeringan jumlah defisit curah hujan tercatat yang paling tinggi, yakni sebesar 412 mm (Tabel 4). Sehingga kejadian antara defisit recharge dan defisit curah hujan yang terbentuk di wilayah tersebut memiliki keterkaitan yang cukup erat. Rerata defisit volume recharge terendah pada setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi terdapat di daerah Banjarmasin (Gambar 3 dan Gambar 4). Lahan mineral di wilayah ini kurang mengindikasikan defisit recharge yang berarti pada kedua tutupan vegetasi (Gambar 4). Nilai defisit recharge tertinggi pada daerah ini terdapat pada jenis tanah gambut bervegetasi non hutan, yakni sebesar 148 mm untuk 7 bulan durasi kekeringan. Berdasarkan aspek kekeringan meteorologi, pada durasi 7 bulan kekeringan ini didapati pula nilai defisit curah hujan tertinggi, yakni sebesar 317 mm. Sehingga antara defisit kekeringan hidrologi dan defisit kekeringan meteorologi yang terjadi di daerah ini memiliki kaitan yang erat. Pada daerah Samarinda, rerata defisit recharge yang terjadi pada lahan gambut untuk setiap jenis tutupan lahan (223 mm dan 224 mm) bernilai lebih besar dibandingkan dengan lahan mineral (42 mm dan 77 mm). Lahan gambut bervegetasi hutan memiliki nilai defisit recharge tertinggi (677 mm) pada 9 bulan durasi kekeringan. Dilihat dari aspek kekeringan meteorologi, defisit curah hujan yang terbentuk bernilai besar (606 mm) pada saat periode 8 bulan durasi kekeringan (Gambar 5). Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekeringan meteorologi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap besar defisit recharge yang terjadi di daerah Samarinda. Tabel 4 Karakteristik kekeringan meteorologi pada ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode Durasi Frekuensi Defisit rerata curah hujan(mm) Kekeringan (Bulan) Tarakan Samarinda Banjarmasin Tarakan Samarinda Banjarmasin

25 Deficit Deficit Tarakan Deficit Deficit Samarinda Deficit Deficit Banjarmasin Gambar 3 Rerata nilai defisit (mm) pada lahan gambut untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode

26 Deficit Deficit Deficit Deficit Deficit Deficit Tarakan Samarinda Banjarmasin Gambar 4 Rerata nilai defisit (mm) pada lahan mineral untuk setiap tingkat durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode

27 Secara umum, defisit recharge yang terjadi pada lahan mineral di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) tidak begitu besar dibandingkan dengan defisit recharge yang terjadi pada lahan gambut (Gambar 3 dan Gambar 4). Hubungan antara Fenomena SOI dengan Karakteristik Kekeringan Menurut Pearcy dan Spoener (1987), fenomena ini merupakan corak dan ciri khas yang dimiliki oleh Samudera Pasifik. El-Niňo dan La Nina merupakan proses fluktuasi temperatur di permukaan laut Samudera Pasifik bagian timur. Fenomena El-Niňo biasa terjadi pada saat waktu natal disekitar pantai barat Amerika Selatan. Pada tahun 1997 fenomena El-Niňo sangat kuat hingga mengakibatkan kekeringan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, nilai SOI yang tercatat pada setiap waktu kekeringan mengidentifikasi bahwa sebagian besar defisit air lahan terjadi ketika SOI bernilai negatif (Gambar 5). Pada saat SOI bernilai lebih kecil dari -5 dalam kurun waktu lebih dari 5 bulan, maka dapat dikatakan telah terjadi fenomena El- Niňo di wilayah Indonesia. Fenomena ENSO bukanlah faktor utama penyebab kekeringan hidrologi. Namun pengaruhnya terhadap karakteristik kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan cukup kuat dan signifikan. Ini semua dibuktikan pada saat keadaan jumlah defisit volume recharge bernilai tinggi atau maksimal, kejadian SOI yang tercatat selalu bernilai negatif. Sama halnya dengan defisit volume, lama durasi kekeringan yang terjadi pada saat fenomena El-Niňo memiliki tren yang akan semakin meningkat seiring dengan nilai SOI yang semakin negatif. Pada tahun 1997, kekeringan yang terjadi di ketiga daerah kajian dapat dikatakan sebagai yang paling parah (Gambar 5). Defisit volume recharge pada tahun tersebut tercatat sebagai yang paling besar dibandingkan tahun-tahun yang lain. Pada tahun tersebut, rerata SOI bernilai kurang dari -10, yang mana mengindikasikan telah terjadi peristiwa El-Niňo yang sangat kuat. Berdasarkan Gambar 5, durasi kekeringan yang terbentuk pada saat nilai SOI yang semakin negatif, maka cenderung akan semakin lama. Terlihat pada tahun 1997, durasi kekeringan hidrologi di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) tergolong diatas rata-rata, yakni secara berturut selama 8, 9, dan 7 bulan. Defisit volume recharge terendah di daerah Tarakan (Kalimantan Utara), jatuh pada tahun 1906 dari Bulan Maret hingga April (Gambar 5). Nilai SOI yang tercatat di bulan ini tidak begitu besar, sehingga fenomena El-Niňo yang terbentuk tidak begitu kuat. Lalu untuk defisit volume recharge terendah (23 mm) di daerah Samarinda, terdapat pada tahun 2006 dari Bulan Juli hingga Agustus ketika SOI bernilai Sedangkan untuk defisit volume recharge terendah (6.91 mm) di daerah Banjarmasin terdapat pada tahun 1977 mulai dari Bulan September hingga Oktober ketika SOI bernilai -11. Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena ENSO memiliki pengaruh yang cukup kuat dengan peningkatan karakteristik kekeringan hidrologi di ketiga daerah kajian. 14

28 DEFICIT (mm) Tarakan IOS Mar-Apr 05 Mar-Apr 06 Mar-Apr 09 Jan-Feb 12 Sep-Okt 14 Des-Feb Des-Jan Apr-Ags 65 Okt-Nov 65 Jan-Feb 66 Des-Feb 69 Nov-Jan Sep-Des 82 Feb-Apr 83 Feb-Mar 87 Sep-Okt 91 Jan-Jul 92 Nov-Jan 93 Sep-Nov 94 Mar-Jun 97 Ags-Mar Ags-Okt 002 Deficit Durasi soi DEFICIT (mm) Samarinda IOS Mar-Apr 09 Jan-Feb 12 Apr-Mei 57 Sep-Jan Jun-Jul 65 Sep-Nov 65 Okt-Nov 69 Feb-Mar 81 Jul-Des 82 Feb-Mei 83 Jun-Mar Mei-Jul 92 Ags-Sep 93 Sep-Okt 94 Deficit Durasi soi Mar-Nov 97 Jan-Mar 98 Jul-Ags 006 Okt-Nov 006 DEFICIT (mm) Banjarmasin IOS Mei-Jun 29 Sep-Nov 57 Jul-Sep 65 Jan-Feb 69 Mei-Jun 72 Ags-Des 72 Sep-Okt 77 Jan-Feb 78 Sep-Des 82 Feb-Mar 90 Jun-Okt 91 Sep-Nov 94 Mei-Nov 97 Apr-Jun 05 Deficit Durasi soi Gambar 5 Karakteristik kekeringan pada tanah gambut bervegetasi hutan di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) saat kejadian ENSO kuat (SOI < -5.5) 15

29 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi yang ada di wilayah Kalimantan bagian timur memiliki karakteristik kekeringan hidrologi yang berbeda-beda. Secara umum, lama durasi kekeringan menentukan besar defisit volume recharge yang terjadi. Diantara ketiga daerah kajian, Samarinda dengan kondisi tanah berupa gambut merupakan wilayah yang paling rentan terhadap kekeringan. Ambang batas recharge bulanan, durasi, dan frekuensi kekeringan yang terbentuk di wilayah ini merupakan yang tertinggi diantara kedua daerah yang lain. Sedangkan untuk daerah Tarakan memiliki sebaran defisit volume terbesar dibandingkan daerah Samarinda dan Banjarmasin. Namun sebaliknya, daerah Banjarmasin mendapati sebaran defisit volume dan ambang batas recharge terendah untuk setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi. Oleh sebab itu tingkat kekeringan yang ada di daerah Banjarmasin tidak begitu besar dibandingkan dengan kedua daerah yang lain. Secara keseluruhan, daerah bertipe lahan gambut memiliki rerata defisit volume recharge yang lebih besar dibandingkan lahan mineral. Pola kekeringan hidrologi yang terbentuk di ketiga daerah ini memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai SOI. Mayoritas kejadian dan tingkat kekeringan hidrologi terjadi ketika SOI bernilai negatif, yaitu pada saat Indonesia sedang mengalami fenomena El-Niňo kuat. Saran Sampai saat ini, analisa dan pendugaan karakteristik kekeringan belum dapat dimodelkan dengan metode yang cocok dan benar-benar 100% akurat. Perhitungan defisit recharge saja belum cukup untuk merepresentasikan besar tingkat kekeringan hidrologi yang ada di suatu wilayah. Oleh karena itu, dibutuhkan satu kesatuan metode yang bersifat universal dan berkualitas tinggi dengan rumusan yang disesuaikan dengan kondisi iklim, geografis, dan lingkungan di tiap-tiap negara, untuk bisa menduga tingkat dan frekuensi kekeringan dengan persentase keakuratan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan metode-metode yang pernah ada. DAFTAR PUSTAKA Allen RG, Smith M, Pereira LS, dan Pruitt WO Proposed revision to the FAO procedure for estimating crop water requirements. In: Chartzoulakes, K. S. (ed.). Proc. 2nd. Int. Sym. on Irrigation of Horticultural Crops, ISHS, Acta Hort. Vol. I:

30 Chen D, Gao G, Xu CY, Guo J, dan Ren G Comparison of the Thornthwaite method and pan data with the standard Penman-Monteith estimates of reference evapotranspiration in China. J. Clim. Res. 28: Fleig AK, Tallaksen LM, Hisdal H, dan Demuth S A global evaluation of streamflow drought characteristics. Hydrol.Earth Syst. Sci. 10: Harris, Jones PD, Osborn TJ, dan Lister DH Updated high-resolution grids of monthly climatic observations the CRU TS3.10 Dataset. Int. J.Climatol. 34: Hisdal H, Tallaksen LM, Clausen B, Peters E, Gustard A Hydrological drought characteristics. Di dalam: Tallaksen LM, Van Lanen HAJ, editor. Hydrological Drought: Processes and Estimation Methods for Streamflow and Groundwater. Volume 48. Development Water in Science. Amsterdam (NL): Elsevier. hlm Jing F, Baisha W, Peng Z, Qing W The recognition of drought and its driving mepanism based on Natural-artificial dual water cycle. Procedia Engineering. 28: Pearcy WG, Spoener A Panges in the marine biota coincident with the El Niño in the northeastern subarctic Pacific Ocean. J. Geophys. Res. P. 92 (C13): Sayok AK, Nik AR, Melling L, Samad RA, Efransjah E Some characteristics of peat in Loagan Bunut National Park, Sarawak, Malaysia. In: International Symposium, Workshop and Seminar on Tropical Peatland, Yogyakarta, Indonesia, August [tersedia di: CARBOPEAT website ( Shaliha JA, Arifin A, Hazandy AH, Latib A, Majid NM, Shamshuddin J Emphasizing the properties of soils occuring in different land use types of tropical rainforest in Sarawak, Malaysia. African J. Agric. Res. 7(48) : doi : /AJAR Sue G, Alstad K, Chen J, Chen S, Ford C R, Lin G, Liu C, Lu N, McNulty S G, Miao H, Noormets A, Vose J M, Wilske B, Zeppel M, Zhang Y, Zhang Z A general predictive model for estimating monthly ecosystem evapotranspiration. Ecohydrol. 4, doi: /eco.194. Tallaksen LM. dan van Lanen HAJ. (Eds.). 2004: Hydrological Drought Processes and Estimation Methods for Streamflow and Groundwater, Developments inwater Sciences 48, Elsevier B.V. Amsterdam. Van Lanen HAJ, Wanders N, Tallaksen LM, Van Loon AF Hydrological drought across the world: impact of climate and physical catchment structure. J. Hydrol. Earth Syst. Sci.doi: /hess Widodo IT dan Dasanto BD Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus:Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Propinsi Riau). Agromet. Vol. 24, No.1. ISSN Pp ipb.ac.id/index.php/agromet. Wilhite DA Drought Assessment, Management and Planning: Theory and Case Studies. Natural Resources Management and Policy Series. A. Dinar and D. Zilberman, Series Editors, Kluwer Publishers. April, 293 pp. 17

31 LAMPIRAN Lampiran 1 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan Gambut + Hutan Gambut + Non Hutan No Awal Akhir Durasi Defisit SOI Awal Akhir Durasi Defisit SOI 1 Mar-03 Jun Mar-03 Jun Mar-05 Apr Mar-05 Apr Mar-06 Apr Mar-06 Apr Jan-08 Jun Jan-08 Jun Mar-09 Apr Mar-09 Apr Jan-12 Feb Jan-12 Feb Jun-12 Des Jun-12 Des Mar-14 Mei Mar-14 Mei Sep-14 Okt Sep-14 Okt Des-14 Feb Des-14 Feb Nop-28 Des Nop-28 Des Agu-38 Sep Agu-38 Sep Feb-39 Mar Feb-39 Mar Mei-43 Jun Mei-43 Jun Des-58 Jan Des-58 Jan Apr-61 Jun Apr-61 Jun Agu-61 Sep Agu-61 Nop Mei-64 Agu Mei-64 Agu Apr-65 Agu Apr-65 Agu Okt-65 Nop Okt-65 Nop Jan-66 Feb Jan-66 Feb Jul-66 Sep Jul-66 Sep Apr-67 Mei Apr-67 Mei Agu-67 Okt Agu-67 Okt Des-68 Feb Des-68 Feb Agu-71 Sep Agu-71 Sep Nop-72 Jan Nop-72 Jan Okt-79 Nop Okt-79 Nop Sep-82 Des Sep-82 Des Feb-83 Apr Feb-83 Apr Okt-84 Nop Okt-84 Nop Feb-87 Mar Feb-87 Mar Nop-89 Des Nop-89 Des Jul-90 Agu Jul-90 Agu Jan-91 Mar Jan-91 Mar Sep-91 Okt Sep-91 Okt

32 37 Jan-92 Jul Jan-92 Jul Nop-92 Jan Nop-92 Jan Sep-94 Nop Sep-94 Nop Jun-95 Jul Jun-95 Jul Mei-96 Agu Mei-96 Agu Mar-97 Jun Mar-97 Jun Agu-97 Mar Agu-97 Mar Jun-98 Agu Jun-98 Agu Jan-02 Mar Jan-02 Mar Agu-02 Okt Agu-02 Okt Agu-04 Okt Agu-04 Okt

33 Lampiran 2 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan Mineral + Hutan Mineral + Non Hutan No Awal Akhir Durasi Defisit SOI Awal Akhir Durasi Defisit SOI 1 Mar-03 Mei Mar-03 Jun Mar-05 Apr Mar-05 Apr Jan-08 Mei Jan-08 Jun Mar-09 Apr Mar-09 Apr Jan-12 Feb Jan-12 Feb Okt-12 Jan Agu-12 Jan Mar-14 Mei Sep-13 Okt Okt-14 Apr Mar-14 Jun Feb-36 Mar Agu-14 Apr Okt-40 Des Nop-28 Des Apr-53 Mei Feb-36 Mar Des-58 Jan Agu-38 Sep Apr-61 Mei Feb-39 Mar Okt-61 Nop Mei-43 Jun Apr-65 Mei Des-58 Jan Okt-65 Nop Apr-61 Jun Jan-66 Feb Agu-61 Nop Nop-66 Des Sep-63 Nop Apr-67 Mei Mei-64 Jun Des-68 Mei Apr-65 Jun Nop-72 Jan Agu-65 Nop Okt-79 Nop Jan-66 Feb Okt-82 Des Agu-66 Sep Feb-83 Apr Nop-66 Des Feb-87 Mar Apr-67 Mei Nop-89 Des Agu-67 Okt Jan-91 Mar Mei-68 Jun Jan-92 Mei Des-68 Feb Nop-92 Jan Mei-69 Jun Okt-94 Nop Agu-71 Sep Mar-97 Mei Nop-72 Des Okt-97 Apr Okt-79 Nop Jan-02 Mar Agu-82 Des Okt-02 Nop Feb-83 Mei Okt-84 Nop Feb-87 Mar Nop-89 Des Jan-91 Mar Sep-91 Okt

34 Jan-92 Jun Nop-92 Jan Sep-94 Nop Mei-96 Jun Mar-97 Jun Agu-97 Apr Jan-02 Mar Agu-02 Nop Agu-04 Okt

35 Lampiran 3 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda Gambut + Hutan Gambut + Non Hutan No Awal Akhir Durasi Defisit SOI Awal Akhir Durasi Defisit SOI 1 Feb-08 Mei Feb-08 Mei Mar-09 Apr Mar-09 Apr Jan-12 Feb Jan-12 Feb Nop-12 Des Okt-12 Des Feb-14 Mei Feb-14 Mei Feb-39 Mar Feb-39 Mar Feb-50 Mar Feb-50 Mar Nop-51 Jan Nop-51 Jan Apr-57 Mei Apr-57 Mei Okt-57 Nop Okt-57 Nop Jun-59 Agu Jun-59 Agu Mei-61 Jun Mei-61 Jun Okt-61 Nop Okt-61 Nop Sep-63 Jan Sep-63 Jan Mei-64 Sep Mei-64 Sep Nop-64 Des Nop-64 Des Jun-65 Jul Jun-65 Jul Sep-65 Nop Sep-65 Nop Apr-66 Jun Apr-66 Jun Sep-66 Nop Sep-66 Nop Okt-67 Nop Agu-67 Nop Jan-69 Mar Jan-69 Mar Mei-69 Agu Mei-69 Agu Okt-69 Nop Okt-69 Nop Mei-71 Jun Mei-71 Jun Nop-72 Feb Nop-72 Feb Des-76 Jan Des-76 Jan Mar-79 Apr Feb-81 Mar Feb-81 Mar Jul-81 Agu Jul-81 Agu Jul-82 Des Jul-82 Des Feb-83 Mei Feb-83 Mei Agu-83 Sep Agu-83 Sep Okt-84 Nop Okt-84 Nop Mei-85 Jun Mei-85 Jun Mei-86 Jun Mei-86 Jun Sep-87 Okt Sep-87 Okt Jul-90 Sep Jul-90 Nop Jun-91 Mar Jun-91 Mar Mei-92 Jul

36 40 Mei-92 Jul Agu-93 Sep Agu-93 Sep Sep-94 Okt Sep-94 Okt Mei-95 Okt Mei-95 Okt Jul-96 Agu Jul-96 Agu Mar-97 Nop Mar-97 Nop Jan-98 Mar Jan-98 Mar Jul-98 Agu Jul-98 Agu Jul-99 Agu Jul-99 Agu Nop-99 Des Nop-99 Des Apr-00 Mei Apr-00 Mei Jan-02 Feb Jan-02 Feb Jul-06 Agu Agu-04 Okt Okt-06 Nop Jul-06 Agu Okt-07 Nop Okt-06 Nop Agu-09 Okt Okt-07 Nop Agu-09 Okt

37 Lampiran 4 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda Mineral + Hutan Mineral + Non Hutan No Awal Akhir Durasi Defisit SOI Awal Akhir Durasi Defisit SOI 1 Feb-08 Mei Feb-08 Mei Mar-09 Apr Mar-09 Apr Jan-12 Feb Jan-12 Feb Nop-12 Des Nop-12 Des Feb-14 Mei Feb-14 Mei Feb-15 Apr Feb-39 Mar Feb-39 Mar Feb-50 Mar Feb-50 Mar Nop-51 Jan Nop-51 Jan Apr-57 Mei Apr-57 Mei Okt-57 Nop Mei-61 Jun Jun-59 Jul Nop-61 Des Mei-61 Jul Nop-63 Jan Okt-61 Des Mei-64 Jun Okt-63 Jan Apr-66 Jun Mei-64 Jul Jan-69 Mar Jun-65 Jul Mei-69 Jun Okt-65 Nop Mei-71 Jun Apr-66 Jun Nop-72 Feb Okt-66 Nop Des-76 Jan Okt-67 Nop Feb-81 Mar Jan-69 Mar Nop-82 Des Mei-69 Jul Feb-83 Mei Okt-69 Nop Mei-85 Jun Mei-71 Jun Mei-86 Jun Nop-72 Feb Mar-87 Apr Des-76 Jan Mei-90 Jun Okt-79 Nop Nop-91 Mar Feb-81 Mar Mei-92 Jun Okt-82 Des Mei-95 Jun Feb-83 Mei Mar-97 Jun Okt-84 Nop Jan-98 Mar Mei-85 Jun Nop-99 Des Mei-86 Jun Apr-00 Mei Okt-90 Nop Jan-02 Feb Jun-91 Jul Okt-91 Mar Mei-92 Jul Okt-94 Nop Mei-95 Jul

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI PADA WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN BARAT PIPIT PUTRI AJI

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI PADA WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN BARAT PIPIT PUTRI AJI KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI PADA WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN BARAT PIPIT PUTRI AJI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

corespondence Author ABSTRACT

corespondence Author   ABSTRACT Ecogreen Vol. 1 No. 1, April 2015 Halaman 23 28 ISSN 2407-9049 PENETAPAN NERACA AIR TANAH MELALUI PEMANFAATAN INFORMASI KLIMATIK DAN KARAKTERISTIK FISIK TANAH Determination of soil water balance through

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

ESTIMASI NERACA AIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE MATTER. RAHARDYAN NUGROHO ADI BPTKPDAS

ESTIMASI NERACA AIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE MATTER. RAHARDYAN NUGROHO ADI BPTKPDAS ESTIMASI NERACA AIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE MATTER RAHARDYAN NUGROHO ADI (dd11lb@yahoo.com) BPTKPDAS Pendahuluan Analisis Neraca Air Potensi SDA Berbagai keperluan (irigasi, mengatur pola

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS)

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Taufiq, dkk., Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Keseimbangan Air Hutan 47 PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Mohammad Taufiq 1),

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEKERINGAN HIDROLOGI DI DAS CITARUM HULU

IDENTIFIKASI KEKERINGAN HIDROLOGI DI DAS CITARUM HULU IDENTIFIKASI KEKERINGAN HIDROLOGI DI DAS CITARUM HULU Nyayu Fatimah Zahroh 1 dan Sara Aisyah Syafira 1 1 Staf Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan, UPT-Hujan Buatan, BPPT Gedung 1lt.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai. 6 KAT i = KAT i-1 + (CH-ETp) Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI Maulani Septiadi 1, Munawar Ali 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS MONEV TATA AIR DAS ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN Oleh: Agung B. Supangat Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. A.Yani-Pabelan PO Box 295 Surakarta Telp./fax. (0271)716709, email: maz_goenk@yahoo.com

Lebih terperinci

A. Metode Pengambilan Data

A. Metode Pengambilan Data 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Data Dalam penelitian ini prosedur yang digunakan dalam pengambilan data yaitu dengan mengambil data suhu dan curah hujan bulanan dari 12 titik stasiun

Lebih terperinci

ANALISIS KERENTANAN PRODUKTIVITAS KEDELAI (Glycine max (L.)merril) AKIBAT FLUKTUASI NERACA AIR LAHAN DAN DINAMIKA IKLIM DI KABUPATEN GORONTALO

ANALISIS KERENTANAN PRODUKTIVITAS KEDELAI (Glycine max (L.)merril) AKIBAT FLUKTUASI NERACA AIR LAHAN DAN DINAMIKA IKLIM DI KABUPATEN GORONTALO ANALISIS KERENTANAN PRODUKTIVITAS KEDELAI (Glycine max (L.)merril) AKIBAT FLUKTUASI NERACA AIR LAHAN DAN DINAMIKA IKLIM DI KABUPATEN GORONTALO Mantu Ririn, Nikmah Musa, Wawan Pembengo ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

ANALISA KETERSEDIAAN AIR ANALISA KETERSEDIAAN AIR 3.1 UMUM Maksud dari kuliah ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologi suatu Wilayah Sungai yang yang berada dalam sauatu wilayah studi khususnya menyangkut ketersediaan airnya.

Lebih terperinci

ANALISIS PENENTUAN WAKTU TANAM PADA TANAMAN KACANG TANAH

ANALISIS PENENTUAN WAKTU TANAM PADA TANAMAN KACANG TANAH ANALISIS PENENTUAN WAKTU TANAM PADA TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) BERDASARKAN METODE PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI PENMAN DI KABUPATEN GORONTALO Widiyawati, Nikmah Musa, Wawan Pembengo ABSTRAK

Lebih terperinci

rata-rata P 75%

rata-rata P 75% LAMPIRAN 21 Lampiran 1 Hasil Perhitungan Peluang Hujan Terlampaui Peluang Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jumlah rata-rata 200 192 255 276 207 133 157 170 206 264 328 269 2657 SD 96 124

Lebih terperinci

ANALISA NERACA AIR LAHAN WILAYAH SENTRA PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH

ANALISA NERACA AIR LAHAN WILAYAH SENTRA PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH ANALISA NERACA AIR LAHAN WILAYAH SENTRA PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH Wenas Ganda Kurnia, Laura Prastika Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri Palu Email: gaw.lorelindubariri@gmail.com

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya jumlah curah hujan di bawah normal pada suatu periode atau biasa disebut dengan kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama yang selanjutnya mulai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak 13 Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 1 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak TAHUN PERIODE JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 25 I 11 46 38 72 188 116 144 16 217

Lebih terperinci

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop)

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop) PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop) Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara disebut

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI.

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI. ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI Happy Mulya Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang,

Lebih terperinci

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satu dari komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia selain padi dan jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki arti penting

Lebih terperinci

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri 1 Evapotranspirasi adalah. Evaporasi (penguapan) didefinisikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Tangkapan Hujan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan stasiun curah hujan Jalaluddin dan stasiun Pohu Bongomeme. Perhitungan curah hujan rata-rata aljabar. Hasil perhitungan secara lengkap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis

Lebih terperinci

DEFINISI IRIGASI TUJUAN IRIGASI 10/21/2013

DEFINISI IRIGASI TUJUAN IRIGASI 10/21/2013 DEFINISI IRIGASI Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian, meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Penentuan Masa Tanam Kacang Hijau Berdasarkan Analisis Neraca Air di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

Penentuan Masa Tanam Kacang Hijau Berdasarkan Analisis Neraca Air di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara Penentuan Masa Tanam Kacang Hijau Berdasarkan Analisis Neraca Air di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara Musyadik 1), Agussalim dan Pungky Nungkat 2) 1) BPTP Sulawesi Tenggara 2) Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 52 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS LST MODIS merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT

ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT ANALISIS POTENSI ENERGI MATAHARI DI KALIMANTAN BARAT Ida sartika Nuraini 1), Nurdeka Hidayanto 2), Wandayantolis 3) Stasiun Klimatologi Kelas II Mempawah Kalimantan Barat sartikanuraini@gmail.com, nurdeka.hidayanto@gmail.com,

Lebih terperinci

KESEIMBANGAN AIR DI KECAMATAN TELUK PAKEDAI, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT

KESEIMBANGAN AIR DI KECAMATAN TELUK PAKEDAI, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT KESEIMBANGAN AIR DI KECAMATAN TELUK PAKEDAI, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT Amdalia Sri Swastiastuti 1), Gusti Zulkifli Mulki 2), Erni Yuniarti 3) Abstrak Daya dukung air suatu wilayah menjadi faktor

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

NERACA AIR METEOROLOGIS DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI DI CEPU. Oleh: Agung B. Supangat & Pamungkas B. Putra

NERACA AIR METEOROLOGIS DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI DI CEPU. Oleh: Agung B. Supangat & Pamungkas B. Putra NERACA AIR METEOROLOGIS DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI DI CEPU Oleh: Agung B. Supangat & Pamungkas B. Putra Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPTKPDAS 212 Solo, 5 September 212 Pendahuluan

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI

ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI Analisis Debit DI Daerah Aliran Sungai Batanghari Propinsi Jambi (Tikno) 11 ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI Sunu Tikno 1 INTISARI Ketersediaan data debit (aliran sungai)

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE DISUSUN OLEH : Nama : Winda Novita Sari Br Ginting Nim : 317331050 Kelas : B Jurusan : Pendidikan Geografi PEDIDIKAN

Lebih terperinci

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung)

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-1 Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) Anindita Hanalestari Setiawan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Winarna dan Hasril H. Siregar

Lebih terperinci

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE FEBRUARI 2017)

PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE FEBRUARI 2017) PRAKIRAAN KONDISI IKLIM DI INDONESIA (UPDATE FEBRUARI 2017) Tim Agroklimatologi Kelti Ilmu Tanah dan Agronomi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) Outline

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Penelitian ini menggunakan data curah hujan, data evapotranspirasi, dan peta DAS Bah Bolon. Data curah hujan yang digunakan yaitu data curah hujan tahun 2000-2012.

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU TANAM SEMANGKA (CITRULLUS VULGARIS) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN DI KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA

PENENTUAN WAKTU TANAM SEMANGKA (CITRULLUS VULGARIS) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN DI KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA PENENTUAN WAKTU TANAM SEMANGKA (CITRULLUS VULGARIS) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN DI KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA Ni Putu Lia Cahyani 1*), I Made Sukerta 2), I Made Suryana 3) [123] Prodi Agroteknologi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Press Release BMKG Jakarta, 12 Oktober 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 2 BMKG A F R I C A A S I A 3 Proses EL NINO, DIPOLE MODE 2 1 1963 1972 1982 1997 1 2 3 EL NINO / LA NINA SUHU PERAIRAN

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

Oleh : I.D.S Anggraeni *), D.K. Kalsim **)

Oleh : I.D.S Anggraeni *), D.K. Kalsim **) PERBANDINGAN PERHITUNGAN KEBUTUHAN IRIGASI PADI METODA DENGAN CROPWAT-8.0 (CALCULATION OF PADDY IRRIGATION REQUIREMENT RATIO ON WITH CROPWAT-8.0 METHOD) Oleh : I.D.S Anggraeni *), D.K. Kalsim **) Departement

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Klimatologi Daerah Cirebon-Indramayu-Majalengka- Kuningan (Ciayu Majakuning)

Kajian Hidro-Klimatologi Daerah Cirebon-Indramayu-Majalengka- Kuningan (Ciayu Majakuning) Jurnal Biologi Indonesia 5 (3):355-361 (2009) Kajian Hidro-Klimatologi Daerah Cirebon-Indramayu-Majalengka- Kuningan (Ciayu Majakuning) Dodo Gunawan Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi

Lebih terperinci

Evapotranspirasi. 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi

Evapotranspirasi. 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi Evapotranspirasi 1. Batasan Evapotranspirasi 2. Konsep Evapotranspirasi Potensial 3. Perhitungan atau Pendugaan Evapotranspirasi Departemen Geofisika dan Meteotologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

dari tahun pada stasiun pengamat yang berada di daerah Darmaga, Bogor.

dari tahun pada stasiun pengamat yang berada di daerah Darmaga, Bogor. Jika plot peluang dan plot kuantil-kuantil membentuk garis lurus atau linier maka dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi (Mallor et al. 2009). Tingkat Pengembalian Dalam praktik, besaran atau

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI BEBERAPA DAERAH ALIRAN SUNGAI DI PULAU JAWA NYAYU FATIMAH ZAHROH

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI BEBERAPA DAERAH ALIRAN SUNGAI DI PULAU JAWA NYAYU FATIMAH ZAHROH KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI BEBERAPA DAERAH ALIRAN SUNGAI DI PULAU JAWA NYAYU FATIMAH ZAHROH DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MODUL PERHITUNGAN NERACA AIR STUDI KASUS KOTA CIREBON

MODUL PERHITUNGAN NERACA AIR STUDI KASUS KOTA CIREBON STUDI KASUS KOTA CIREBON ARIS RINALDI 22715007 Program Magister Teknik Airtanah Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung DAFTAR ISI BAB I Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan dan ketersediaan air tanah merupakan dua faktor utama yang saling berkaitan dalam memenuhi kebutuhan air tanaman. Terutama untuk tanaman pertanian. yang

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG Juniarti Visa Bidang Pemodelan Iklim, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN Bandung Jl. DR. Junjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443,

Lebih terperinci

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah Yohana Fronika a, Muhammad Ishak Jumarang a*, Andi Ihwan a ajurusanfisika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

Analisis Neraca Air di Kecamatan Sambutan - Samarinda

Analisis Neraca Air di Kecamatan Sambutan - Samarinda Jurnal AGRIFOR Volume XII Nomor 1, Maret 2013 ISSN : 1412 6885 Analisis Neraca Air di Kecamatan Sambutan - Samarinda (Water Balance Analysis at Kecamatan Sambutan - Samarinda) 1 Program Studi Teknik Sipil,

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD 4.1. Pendahuluan Kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat diperlukan dalam

Lebih terperinci

PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG

PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG Abstrak PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG Basillius Retno Santoso 1) Kekeringan mempunyai peranan yang cukup penting dalam perencanaan maupun pengelolaan sumber

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA Salmani (1), Fakhrurrazi (1), dan M. Wahyudi (2) (1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN Jonizar 1,Sri Martini 2 Dosen Fakultas Teknik UM Palembang Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak

Lebih terperinci

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ; 5 yang telah tersedia di dalam model Climex. 3.3.3 Penentuan Input Iklim untuk model Climex Compare Location memiliki 2 input file yaitu data letak geografis (.LOC) dan data iklim rata-rata bulanan Kabupaten

Lebih terperinci