BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam proses formulasi obat. Umumnya untuk obat-obat peroral, sebelum diabsorbsi melalui dinding usus, bahan obat tersebut harus larut terlebih dulu dalam cairan pencernaan di sekitar tempat absorbsi obat. Obat yang sudah terlarut kemudian diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh (Cartensen, 1974). Obat-obatan dengan sifat sukar larut dalam air umumnya mengalami proses disolusi yang lambat. Zat aktif obat yang sedikit terdisolusi dari sediaan akan diabsorbsi namun dalam laju yang rendah sehingga sering menghasilkan bioavailabilitas yang rendah pula (Abdou, 1989). Pada intinya, karakter kecepatan disolusi dari suatu active pharmaceutical ingredient (API) dari suatu bentuk sediaan sangat tergantung dari kelarutannya (Ali, 2005). Tabel I. Klasifikasi kelarutan obat (Anonim, 2011) Istilah Bagian solven per satu bagian solute Sangat mudah larut < 1 Mudah larut 1-10 Larut Agak larut Sukar larut Sangat sukar larut Praktis tidak larut

2 2 Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk menaikkan kecepatan disolusi obat-obat yang sukar larut dalam air, di antaranya: 1. Melalui pembentukan dispersi padat (Ghanem, dkk., 1980; Noviandi, 1998). 2. Dengan memperkecil ukuran partikel bahan obat (Riswaka, dkk., 1981). 3. Dengan penambahan surfaktan (Armstrong & Hainess, 1973). Dispersi padat adalah salah satu cara yang dapat dipakai untuk memperbaiki karakteristik disolusi dan kelarutan obat. Istilah dispersi padat mengacu kepada sebuah komponen padat yang umumnya berisikan matriks yang bersifat hidrofilik dan obat hidrofobik (Datta, dkk., 2011). Metode ini menaikkan kecepatan disolusi obat dengan menambahkan carrier yang bersifat hidrofilik. Pada penelitian ini digunakan nifedipin sebagai zat aktif obatnya dan PEG 4000 sebagai bahan pembawanya. Nifedipin merupakan obat yang sukar larut dalam air dengan bioavailabilitas rendah ketika digunakan secara peroral dalam bentuk kristalnya (Sugimoto, dkk., 1982). Nifedipin umumnya digunakan sebagai antihipertensi dengan mekanisme calcium channel blocker (Moffat, dkk., 2011) dan juga sebagai antiangina. Penyakit-penyakit seperti angina, asma, epilepsi membutuhkan respon obat yang cepat untuk mengontrol kondisi penyakitnya (Jagdale, dkk., 2012). PEG 4000 merupakan polimer yang larut dalam air dan telah digunakan secara luas dan sangat baik untuk meningkatkan laju disolusi dan absorbsi oral untuk obat-obat yang sukar larut dalam air (Chiou & Riegelman, 1971). Metode dispersi dengan penambahan carrier yang hidrofilik dilaporkan menghasilkan laju disolusi yang lebih cepat dibanding hanya komponen obat tanpa carrier (Nagarajan,

3 3 dkk., 2010). Campuran obat-carrier akan membentuk senyawa komplek dengan terbentuknya ikatan hidrogen di antara kedua senyawa tersebut (Soemardi, 1999). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan dispersi padat dengan metode kopresipitasi. Nifedipin dan PEG 4000 masing-masing dilarutkan terlebih dahulu dengan menggunakan pelarut yang sama yaitu etanol 95 %. Setelah itu, keduanya dicampur hingga terbentuk larutan jernih, kemudian dilakukan penguapan pelarut hingga kering. Dispersi padat nifedipin-peg 4000 yang dihasilkan dilakukan uji disolusi intrinsik. Disolusi intrinsik dipilih untuk menggambarkan proses pelepasan nifedipin-peg 4000 sebagai senyawa aktif di dalam cairan tubuh. Data yang diperoleh kemudian dihitung jumlah bobot nifedipin terlarut dan tetapan kecepatan disolusi intrinsik. B. Perumusan Masalah 1. Apakah dispersi padat nifedipin-peg 4000 memiliki laju disolusi intrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan nifedipin murni? 2. Bagaimana pengaruh dari perbedaan jumlah PEG 4000 dalam campuran dispersi padat mempengaruhi laju disolusi intrinsik nifedipin? C. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, di antaranya :

4 4 1. Bagi penulis, penelitian ini meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis, pengalaman, dan pengetahuan baru serta dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Farmasi. 2. Bagi peneliti lain, memberikan wawasan mengenai pengaruh PEG 4000 dalam meningkatkan laju disolusi nifedipin dengan pembentukan dispersi padat melalui metode kopresipitasi. 3. Bagi industri farmasi, memberikan alternatif dalam upaya pengembangan dan peningkatan laju disolusi nifedipin. D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui apakah dispersi padat nifedipin-peg 4000 mampu menghasilkan laju disolusi intrinsik nifedipin yang lebih tinggi dibandingkan dengan nifedipin murni. 2. Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi PEG 4000 antarsampel dispersi padat nifedipin-peg 4000 terhadap laju disolusi intrinsik nifedipin yang dihasilkan. E. Tinjauan Pustaka 1. Dispersi padat Dispersi padat merupakan merupakan suatu metode yang sering digunakan untuk meningkatkan kecepatan disolusi suatu obat yang sukar larut dalam air. Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau

5 5 matriks pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau pelelehan-pelarutan (Chiou dan Riegelman, 1971). a. Metode pelelehan Metode sederhana tetapi tidak semua obat dapat dilakukan dengan metode ini karena dapat mengalami dekomposisi dan penguapan ketika proses pelelehan (peleburan) berlangsung. Metode ini dilakukan dengan cara mencampur bahan obat dengan bahan pembawa yang larut air, kemudian dipanaskan hingga melebur. Campuran yang terbentuk segera dibekukan dengan cepat dalam wadah berisi es sambil diaduk-aduk. Pada keadaan tersebut, molekul obat terperangkap matriks solven melalui proses pemadatan secara mendadak. Setelah itu padatan yang diperoleh digerus dan diayak hingga mendapat hasil yang diinginkan (Noviandi, 1998). Bahan-bahan obat yang berhasil dibuat dispersi padat dengan metode ini adalah nitrofurantoin dengan PEG 6000 dan etotoin dengan PEG 6000 (Simonelli, dkk., 1970). b. Metode pelarutan Pelarutan merupakan rangkaian proses berkesinambungan tetapi saling berdiri sendiri dimana terdiri dari 3 tahap, yaitu pertukaran partikel pada permukaan zat padat, perubahan zat padat menjadi larutan, perpindahan zat padat yang terlarut ke dalam mediumnya (Tawashi, 1968).

6 6 Pada metode pelarutan, dekomposisi termal bahan obat dan bahan pembawa dapat dicegah karena metode ini menggunakan pelarut organik dengan temperatur ruangan yang rendah. Kesulitan yang biasa muncul pada metode ini terjadi pada proses penguapan pelarut, pemilihan pelarut, dan kemampuan pelarut dalam mempengaruhi stabilitas obat. c. Metode pelarutan-peleburan Pengerjaan metode ini dilakukan dengan melarutkan bahan obat ke dalam pelarut yang sesuai, kemudian larutan dicampur dengan lelehan PEG 6000 dan dikerjakan pada temperatur di bawah 70 o C, tanpa menguapkan pelarutnya. Chiou menggunakan metode ini untuk membuat dispersi padat spinolakton-peg 6000 dan griseofulvin-peg 6000 (Chiou & Riegelman, 1971). Secara umum, tahapan yang terjadi antara obat dan polimer pada dispersi padat adalah, a. Perubahan obat dan polimer dari bentuk padat menjadi cair b. Pencampuran semua komponen dalam bentuk cairan c. Perubahan larutan campuran menjadi padat melalui proses seperti pembekuan, penghilangan pelarut (Ronny, 2005) 2. Kopresipitasi Metode ini dilakukan dengan melarutkan bahan obat dengan bahan pembawa pada pelarut yang cocok, kemudian pelarutnya diuapkan atau dengan menambah

7 7 suatu pelarut lain sehingga terjadi suatu kristal yang merupakan dispersi molekuler antara bahan obat dengan bahan pembawa (Noviandi, 1998). Dengan menggunakan metode kopresipitasi, didapatkan material berbentuk padatan (solid) dari presipitatnya yang berbentuk cairan (Zhu, dkk., 2005). Hasil yang diperoleh dari metode ini disebut kopresipitat. Metode kopresipitasi telah banyak diteliti di antaranya alopurinol-peg 4000 (Buana, 1997), reserpin-pvp (Bates, 1969), dan sulfatiazol-pvp (Simonelli, dkk., 1969). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode kopresipitasi ini dapat meningkatkan kecepatan kelarutan obat yang sukar larut dalam air. Ada 3 mekanisme utama kopresipitasi walaupun perbedaan terjadinya tidak selalu jelas, yaitu inklusi, adsorpsi permukaan, dan oklusi (Hermann & Suttle, 1961). Proses inklusi terjadi ketika serapan ion dengan ukuran dan muatan yang sama dalam suatu larutan mulai mengalami pemadatan dan pengendapan sehingga terbentuk kristal campuran atau larutan padat. Kemudian selama proses adsorpsi permukaan, ion-ion teradsorbsi dari fase larutan menuju permukaan partikel kristal pada endapan yang terbentuk. Hal ini dapat terjadi dengan adanya ion-ion pada permukaan endapan yang belum stabil (belum mencapai batas koordinasi) yang menyebabkan permukaan endapan aktif untuk menarik ion lain dengan muatan yang berlawanan. Sementara proses oklusi terjadi ketika adanya pengotor yang ikut teradsorbsi di dalam kristal sehingga muncul ketidaksempurnaan kristal.

8 8 3. Disolusi obat Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses liberasi, disolusi dan absorbsi. Secara skematis proses tersebut ditunjukan pada Gambar 1. Disintegrasi Deagregasi Sediaan Granul Partikel Halus k1 k2 k3 Obat larut dalam cairan tubuh Ka Obat di dalam darah, cairan tubuh lain, dan jaringan Proses disolusi Proses absorbsi Gambar 1. Skema disintegrasi dan disolusi (Wagner, 1971) Obat dalam bentuk tablet ketika digunakan secara per oral akan masuk ke dalam saluran pencernaan. Tablet kemudian akan terdisintegrasi menjadi granul. Granul-granul ini kemudian akan terdeagregasi menjadi partikel halus. Tablet, granul, dan partikel halus masing-masing akan terdisolusi dengan kecepatan tertentu. Di sini dinyatakan dalam k1, k2, dan k3. Dalam hal ini k1<k2<k3 karena perbedaan luas permukaan efektifnya. Setelah terdisolusi, obat akan berada dalam bentuk larutan yang terdisolusi dalam cairan tubuh (di dalam saluran pencernaan). Kemudian obat akan terabsorpsi dengan tetapan kecepatan absorpsi (Ka). Apabila ka >>> k1+k2+k3, maka kecepatan disolusi obat tersebut menjadi langkah penentu dalam proses absorpsinya (Gibaldi & Feldman, 1970).

9 9 Mekanisme masuknya obat ke dalam saluran sistemik adalah melalui mekanisme difusi pasif. Mekanisme difusi pasif memiliki karakteristik dimana kecepatan absorpsi sebanding dengam gradien kadar yang ada. Semakin tinggi kadar obat yang berada di dalam medium disolusi, mengakibatkan gradien kadar obat antar medium semakin besar. Gradien kadar obat yang tinggi mengakibatkan kecepatan disposisi obat yang tinggi pula. Apabila obat yang berada di dalam tubuh kita dapat mencapai sirkulasi sistemik dengan cepat, maka otomatis kadar obat dalam siskulasi sistemik akan cepat mencapai Kadar Efek Minimum (KEM). Hal ini berakibat pada efek obat yang kita harapkan akan semakin cepat tercapai. Kecepatan absorpsi obat juga turut berperan pada efektifitas obat dalam mencapai efek yang diinginkan. Hal ini disebabkan apabila suatu obat memiliki kecepatan eliminasi yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kecepatan absorpsinya. Hal ini mengakibatkan kadar obat dalam darah tidak dapat mencapai kadar yang optimum. Selain itu, apabila kadar obat tidak dapat mencapai KEM, maka obat tersebut tidak akan memberikan efek seperti yang kita kehendaki (Shargel, dkk., 2007). 4. Teori disolusi Disolusi adalah hilangnya kohesi suatu zat padat karena pengaruh cairan yang menghasilkan dispersi homogen dalam bentuk molekul atau ion (Fudholi, 2013). dc dt = k. (Cs Cb)...(1) dimana, dc/dt = kecepatan pelarutan obat k = tetapan kecepatan pelarutan

10 10 Cs = kelarutan jenuh obat dalam medium Cb = banyaknya bahan obat yang larut dalam medium pada waktu t Dari persamaan Noyes-Whitney tersebut setidaknya ada 2 parameter penting sebagai penentu kecepatan pelarutan bahan obat dalam suatu medium, yaitu kelarutan bahan obat tersebut dalam medium disolusi dan luas permukaan bahan obat yang terbasahi oleh medium (Wagner, 1971). Proses disolusi dapat dijelaskan dengan 3 macam teori, yaitu teori film, teori pembaruan permukaan, dan teori kecepatan solvatasi terbatas (Cartensen, 1974). a. Teori film Teori ini mengasumsikan zat padat yang dicelupkan dalam suatu medium akan membentuk suatu lapisan film yang menyelubungi zat padat tersebut dengan ketebalan h dan merupakan lapisan film yang tidak bergerak. Berdasarkan teori ini kecepatan reaksi antara permukaan zat padat dan medium lebih tinggi dibanding kecepatan perpindahan zat padat ke medium sehingga proses pelepasan yang terjadi pada permukaan yaitu lepasnya molekul menembus lapisan film ditentukan oleh kecepatan difusi molekul melawan lapisan film (Swarbrick, 1970). Hukum Fick 1, dimana,...(2) dc dt : kecepatan disolusi

11 11 A D Cs C : luas area disolusi : koefisien difusi : konsentrasi obat dalam medium disolusi : konsentrasi obat dalam medium disolusi pada waktu t h : ketebalan lapisan difusi (Parikh, 2005) Pada kondisi terkontrol maka D dan h mempunyai harga yang konstan sehingga ada 2 parameter yang mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, yaitu konsentrasi pada saat saturasi dan luas permukaan efektif obat. b. Teori pembaruan permukaan Dankwerts menghilangkan semua kemungkinan adanya lapisan batas stagnant dan menggambarkan adanya lapisan batas turbulen. Pada permukaan padatan terus menerus mengalami pergantian dengan cairan baru. Kemudian padatan melarut dan molekul yang larut bergerak menuju medium sejauh h. Menurut teori ini kecepatan perpindahan zat padat ke medium lebih tinggi daripada kecepatan reaksi antarmuka zat padat (Cartensen, 1974). c. Teori kecepatan solvatasi terbatas Teori ini mengasumsikan bahwa ada lapisan film yang tetap pada jarak tertentu, dimana kecepatan reaksi antarmuka dan kecepatan perpindahan solut dapat mencapai harga yang sama sehingga jumlah solut yang menuju dan meninggalkan bidang batas (film) pada jarak tertentu dari permukaan zat padat menjadi tetap, dan

12 12 jumlah solut yang melewati bidang batas sama untuk sembarang waktu, serta kadar solut pada bidang tersebut selalu konstan (Cartensen, 1974). Menurut Higuchi (1967), ada 3 model yang dapat menjelaskan laju disolusi,yaitu: a. Model lapisan film Model ini mengasumsikan ada film cair statis di sekeliling permukaan zat padat. Reaksi antarmuka antara film cair dengan zat padat berlangsung cepat, sehingga kecepatan disolusi tergantung seluruhnya pada difusi molekul obat melalui film cair. Jika molekul obat mampu menembus film cair maka molekul obat akan bercampur dengan cairan medium dan gradien konsentrasinya akan berubah. b. Model halangan antarmuka Model ini mengasumsikan bahwa reaksi di permukaan zat padat tidak terjadi secara cepat dan reaksi tersebut membutuhkan aktivasi energi bebas yang tinggi. Peristiwa yang terjadi di antarmuka cairan dengan zat padat merupakan langkah penentu dan bergantung pada proses perpindahan molekul obat dari permukaan zat padat ke dalam medium. c. Model Danckwert Model ini mengasumsikan bahwa perpindahan molekul obat dari permukaan zat padat ke cairan medium terjadi karena molekul obat terabsorbsi ke dalam solven di permukaan zat padat dan kemudian terjadi pergantian solven dengan solven baru

13 13 (solven yang belum mengabsorbsi obat). Pertukaran molekul obat tersebut berlangsung cepat dan kecepatannya tergantung pada kecepatan perpindahan molekul obat dan disolusinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi obat (Leeson & Cartensen, 1974; Wurster & Taylor, 1965; Parrot, 1971; Thuladhar, dkk., 1983), yaitu : a. Faktor sifat fisika kimia obat 1). Polimorfi Umumnya polimorfi metastabil mempunyai kecepatan pelarutan lebih tinggi daripada bentuk stabilnya (Thuladhar, dkk., 1983). 2). Bentuk hidrat dan anhidrat Bentuk hidrat dan anhidrat dapat mempengaruhi kecepatan disolusi obat tetapi pengaruhnya tidak dapat dipastikan. Kalsium sulfat bentuk anhidrat mempunyai kecepatan disolusi lebih tinggi daripada bentuk hidratnya, namun pada kondisi tertentu bentuk hidrat mempunyai kecepatan disolusi yang lebih tinggi (Wurster & Taylor, 1965). 3). Ukuran partikel Faktor yang mempengaruhi luas kontak muka padatan cairan yaitu ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel suatu bahan obat maka luas permukaan obat yang kontak langsung dengan medium semakin besar sehingga kecepatan disolusinya semakin besar (Thuladhar, dkk., 1983).

14 14 b. Faktor peralatan dan kondisi percobaan 1). Intensitas pengadukan Semakin cepat pengadukan gerakan cairan semakin cepat sehingga kecepatan disolusinya semakin besar. 2). Komposisi cairan pelarut Kecepatan pelarutan suatu zat akan berbeda-beda pada medium yang berbeda (Leeson & Cartensen, 1974). 3). Tegangan permukaan Turunnya tegangan permukaan akan menaikkan kecepatan pelarutannya (Leeson & Cartensen, 1974). 4). Temperatur percobaan Kecepatan pelarutan menjadi semakin tinggi dengan naiknya temperatur (Parrot, 1971). 5). ph percobaan Kenaikan ph medium akan menaikkan kecepatan disolusi obat-obat yang bersifat asam lemah (Cartensen, 1974). c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan formulasi dan pembuatan sediaan 1). Jenis dan kuantitas bahan tambahan yang digunakan sebagai pengisi, pelicin, dan pengikat (Parrot, 1971).

15 15 2). Tekanan kompresi, apabila tekanan kompresi diperbesar maka kecepatan disolusinya semakin kecil (Leeson & Cartensen, 1974). 5. Disolusi intrinsik Apabila permukaan zat padat per satuan luas bersentuhan langsung dengan medium maka kecepatan disolusi zat padat disebut sebagai kecepatan disolusi intrinsik (Hansen, 1982). Kecepatan disolusi intrinsik didefinisikan sebagai kecepatan disolusi senyawa aktif murni dimana kondisi luas permukaan, suhu, pengadukan, dan ph media semuanya konstan (Sehić, dkk., 2010). Keuntungan dari uji disolusi intrinsik adalah penggunaan jumlah sampel yang sedikit (Steele, 2001). Dalam keadaan yang sangat terkontrol, temperatur, intensitas pengadukan, dan homogenitas cairan medium adalah konstan (Wagner, 1971). Dalam keadaan demikian kecepatan disolusi zat padat sangat dipengaruhi luas kontak muka atau luas permukaan efektif zat padat terhadap pelarutnya. w/s = k.t...(3) dengan w = jumlah zat padat terlarut dalam medium; t = waktu; s = luas kontak zat padat dengan medium; k = kecepatan disolusi intrinsik. 6. Evaluasi hasil a. Perhitungan bobot nifedipin terlarut Perhitungan bobot terlarut dilakukan berdasarkan nilai kadar nifedipin yang diperoleh di setiap waktu pengambilan sampel masing-masing sampel uji. b. Perbandingan kecepatan disolusi intrinsik Perhitungan kecepatan disolusi intrinsik (k) dilakukan dengan cara

16 16 1). Perhitungan berdasarkan kurva w/s vs t Cara ini dilakukan dengan menghitung bobot terlarut nifedipin dibagi luas kontak pellet dengan medium disolusi selanjutnya dihitung regresi linear vs waktu. Nilai kecepatan disolusi intrinsik (k) dihitung berdasarkan plot kurva antara w/s vs t (Fudholi, 2013). 2). Metode Kitazawa Metode ini mengasumsikan kondisi uji sebagai berikut : a. Luas permukaan solid (s) konstan. b. Volume medium cukup besar untuk menjaga uji penelitian dalam kondisi sink. c. Kecepatan pelarutan proporsional dengan perbedaan konsentrasi saturasi dan konsentrasi dalam larutan. melalui metode ini dapat dihitung kecepatan disolusi (k) dari plot kurva antara ln w w w vs t (Fudholi, 2013). Rumus yang digunakan yaitu : ln w w w = K. t...(4) dimana, w = bobot nifedipin mula-mula dalam pellet, w = bobot nifedipin terlarut pada waktu t, K = kecepatan disolusi, dan t = waktu. c. Uji Statistika Uji statistika dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS Statistics Version 20 dengan taraf kepercayaan 95%. Uji ini bertujuan untuk

17 17 mengetahui ada atau tidaknya perbedaan signifikan antara nilai k yang dihasilkan dari masing-masing sampel uji. 7. Monografi bahan a. Nifedipin Gambar 2. Rumus struktur nifedipin (Moffat, dkk., 2011) Nifedipin memiliki rumus struktur dimetil 1,4-dihidro-2,6-dimetil-4-(2- nitrofenil)piridin-3,5-dikarboksilat seperti pada Gambar 2 dengan BM 346,3. Nifedipin praktis tidak larut air dengan daya larut sekitar 20 µg/ml (Hecq, dkk., 2005), sedikit larut dalam etanol, serta larut dalam aseton dan kloroform. Serbuk nifedipin berbentuk kristal berwarna kuning dengan titik lebur 172 o C sampai 174 o C (Moffat, dkk., 2011). Nifedipin disimpan di tempat kering pada suhu di bawah 30 o C dan terlindung dari cahaya langsung.

18 18 b. PEG 4000 Gambar 3 : Rumus struktur polietilen glikol (Rowe, dkk., 2009) PEG atau polietilenglikol merupakan polimer dari etilen oksida. Polietilen glikol berbentuk cair dan polietilen glikol 1000 ke atas berbentuk padatan pada suhu kamar. Polietilenglikol memiliki sifat hidrofilik dan tidak mengiritasi kulit (Rowe, dkk., 2009). PEG 4000 mempunyai rumus kimia H(O-CH2-CH2)n OH seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dengan harga n antara 68 dan 84. Serbuk licin atau putih berwarna kuning gading, praktis tidak berbau, dan tidak berasa. Sangat mudah larut dalam air, etanol (95 %) P, dan kloroform, praktis tidak larut dalam eter P. Bobot molekul rata-rata tidak kurang dari 3000 dan tidak lebih dari 3700, titik lebur zat 53 C (Anonim, 1979). Polietilen glikol harus disimpan pada wadah tertutup baik dan disimpan pada tempat yang sejuk dan kering. c. Etanol 95 % Etanol disebut juga dengan alkohol. Memiliki sifat mudah menguap, mudah terbakar, dan tak berwarna. Etanol (C2H5OH) merupakan pelarut organik yang paling umum digunakan, mempunyai titik lebur -114,3 o C dan titik didih 78,4 o C.

19 19 d. HCl Hidrogen klorida (HCl) berupa gas tidak berwarna pada suhu kamar dan bersifat higroskopis. Memiliki titik didih -85,1 o C dan kelarutan dalam air 72 g/100 ml. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya. e. Metanol Metanol dikenal juga sebagai spiritus, merupakan bentuk alkohol yang paling sederhana. Berbentuk cairan yang mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan bau yang khas. Metanol umumnya juga digunakan sebagai pelarut. Memiliki rumus molekul CH3OH, titik lebur metanol adalah -97 o C sedangkan titik didihnya adalah 64,7 o C. F. Landasan Teori Sediaan obat yang masuk ke dalam tubuh secara per oral akan mengalami berbagai tahap sebelum obat tersebut dapat diserap tubuh dan meghasilkan efek terapi yang diharapkan. Cairan tubuh yang membasahi sediaan akan memacu terjadinya disolusi yaitu pelepasan obat dari sediaannya. Kemudian obat akan bercampur dan terlarut dengan cairan tubuh dan diabsorbsi sebelum didistribusikan melalui sirkulasi sistemik. Nifedipin merupakan golongan obat yang sukar larut dalam air. Namun, obat ini memiliki daya permeabilitas yang baik dengan koefisien partisi 2,2 (Moffat, dkk., 2011) sehingga mudah untuk diabsorbsi. Menurut Hiroyuki, dkk. (2009), peningkatan kelarutan obat yang sukar larut dalam air merupakan salah satu faktor

20 20 penting dalam rangka memperbaiki daya absorbsi dan mendapatkan tingkat bioavailabilitas yang memadai. Maka dari itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan kelarutan nifedipin agar dapat meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh sehingga dapat memberikan efek terapi yang diinginkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto (1994), menyatakan bahwa dispersi padat dengan bahan PEG 4000 dan PEG 6000 dapat meningkatkan kecepatan pelarutan Sulfadiazina. Demikian juga peningkatan kelarutan Dikumarol melalui pembentukan dispersi padat Dikumarol-PEG 4000 (Ravis, dkk., 1981). Soemardi (1999) juga menyatakan bahwa PEG 4000 mampu meningkatkan kecepatan disolusi intrinsik fenilbutazon melalui peningkatan kelarutan fenilbutazon. Dengan demikian tentunya PEG 4000 diharapkan dapat juga untuk meningkatkan kelarutan nifedipin. Pembentukan dispersi padat nifedipin-peg 4000 merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan laju disolusi intrinsik nifedipin. Penambahan PEG 4000 yang bersifat hidrofilik dapat meningkatkan kelarutan pada obat yang sukar larut dalam air dengan menarik air dari sekitarnya. Keadaan ini tentunya akan semakin mempercepat bercampur dan terlarutnya nifedipin dalam cairan tubuh dengan bantuan PEG 4000 tadi. Hal ini menguntungkan agar proses absorbsi nifedipin dapat berjalan semakin cepat dan optimal sehingga menghasilkan efek terapi yang lebih cepat pula untuk meredakan gejala angina pektoris dan hipertensi. Pembuatan dispersi padat nifedipin-peg 4000 dapat dilakukan salah satunya dengan metode kopresipitasi. Penelitian yang dilakukan Simonelli, dkk. (1969)

21 21 kopresipitat antara Sulfatiazol dengan PVP telah terbukti dapat meningkatkan kecepatan pelarutan Sulfatiazol sebagai bahan obatnya. Sementara itu, pada penelitian ini metode kopresipitasi (penguapan pelarut) dilakukan dengan menguapkan pelarut etanol 95% pada larutan nifedipin-peg 4000 dengan perbandingan konsentrasi 85:15, 90:10, dan 95:5 b/b hingga kering. Selanjutnya serbuk nifedipin-peg 4000 ini dilakukan uji disolusi intrinsik. Kemudian dihitung bobot terlarut nifedipin dan kecepatan disolusi intrinsiknya. G. Hipotesis 1. Sediaan dispersi padat nifedipin-peg 4000 mampu menghasilkan laju disolusi intrinsik nifedipin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nifedipin murni. 2. Perbedaan konsentrasi PEG 4000 dapat mempengaruhi laju disolusi intrinsik dispersi padat nifedipin-peg H. Rencana Penelitian Secara garis besar penelitian ini terbagi dalam 2 tahap, yaitu pembentukan dispersi padat nifedipin-peg 4000 dan uji disolusi intrinsik. Pembentukan dispersi padat dengan meliputi pembentukan kopresipitat antara nifedipin dan PEG 4000 pada berbagai perbandingan komposisi. Kemudian dispersi padat yang dihasilkan dilakukan uji kecepatan disolusi intrinsik. Percobaan uji kecepatan disolusi intrinsik nifedipin meliputi : 1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum nifedipin dengan spektrofotometer UV-Vis.

22 22 2. Pembuatan kurva baku nifedipin murni pada panjang gelombang serapan maksimum nifedipin. 3. Uji kecepatan disolusi intrinsik sampel uji yang telah dibuat. 4. Perhitungan bobot nifedipin terlarut dan penentuan kecepatan disolusi intrinsik. I. Konsep Penelitian Nifedipin Murni Dicampur PEG 5 % Dicampur PEG 10 % Dicampur PEG 15 % Uji Disolusi Intrinsik Hasil Gambar 4. Konsep penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disolusi Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat. I. Pembahasan Disolusi Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,

Lebih terperinci

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Contoh difusi : a. Difusi gas b. Difusi air Hukum I Ficks : Q = - D dc/dx Ket : D Q dc/dx = Koofisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kecepatan disolusi merupakan salah satu masalah pokok dalam pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat kecil. Obat yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, perkembangan terhadap metode pembuatan sediaan obat untuk meningkatkan mutu obat juga semakin maju. Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelarutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada

Lebih terperinci

KELARUTAN DAN GEJALA DISTRIBUSI. Oleh : Nur Aji, S.Farm., Apt

KELARUTAN DAN GEJALA DISTRIBUSI. Oleh : Nur Aji, S.Farm., Apt KELARUTAN DAN GEJALA DISTRIBUSI Oleh : Nur Aji, S.Farm., Apt LARUTAN Larutan sejati didefinisikan sebagai suatu campuran dari dua atau lebih komponen yang membentuk suatu dispersi molekul yang homogen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran obat dengan memperpanjang waktu tinggal di lambung memiliki beberapa keuntungan, diantaranya untuk obat-obat yang memiliki absorpsi rendah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ibuprofen Ibuprofen atau asam 2-(-4-isobutilfenil) propionat dengan rumus molekul C 13 H 18 O 2 dan bobot molekul 206,28, Rumus bangun dari Ibuprofen adalah sebagai berikut (4)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Glimepirid (GMP) GMP mempunyai nama kimia 1H pyrrole 1-carboxamide, 3 ethyl 2,5 dihydro 4 methyl N [2[4[[[[(4methylcyclohexyl) amino] carbonyl] amino] sulfonyl] phenyl] ethyl]

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi dalam bidang kefarmasian saat ini telah cukup maju atau dapat dikatakan mengalami modernisasi. Hal ini berkenaan dengan derajat kualitas obat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan kristal merupakan persoalan. dalam sediaan suspensi parenteral terutama dalam melewati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan kristal merupakan persoalan. dalam sediaan suspensi parenteral terutama dalam melewati 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan kristal merupakan persoalan serius dalam sediaan suspensi parenteral terutama dalam melewati lubang jarum suntik dan rasa sakit yang ditimbulkan pada saat disuntikkan.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008 OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN TABLET TEOFILIN DENGAN STARCH 1500 SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DAN NATRIUM ALGINAT SEBAGAI BAHAN PENGHANCUR DENGAN MODEL SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Oleh : YENNYFARIDHA K100040034

Lebih terperinci

1. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum Pembuatan kurva baku... 35

1. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum Pembuatan kurva baku... 35 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv INTISARI... xv ABSTRACT... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Perumusan Masalah...

Lebih terperinci

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum BAB 1 PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, teknologi farmasi telah berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai metode baru dalam industri farmasi yang memiliki tujuan akhir untuk mendapatkan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Samarinda, 5 6 Juni 2015 Potensi Produk Farmasi dari Bahan Alam Hayati untuk Pelayanan Kesehatan di Indonesia serta Strategi Penemuannya PENGARUH ph MEDIUM TERHADAP

Lebih terperinci

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5% A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Asetosal 150 mg Starch 10% PVP 5% Laktosa q.s Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5% Monografi a. Asetosal Warna Bau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, memberikan dampak pengembangan terhadap metode untuk meningkatkan mutu suatu obat.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Formulasi Granul Mengapung Teofilin Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula untuk dibandingkan karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

Sifat fisika kimia - Zat Aktif

Sifat fisika kimia - Zat Aktif Praformulasi UKURAN PARTIKEL, DISTRIBUSI PARTIKEL BENTUK PARTIKEL / KRISTAL POLIMORFI, HIDRAT, SOLVAT TITIK LEBUR, KELARUTAN KOEFISIEN PARTISI, DISOLUSI FLUIDITAS (SIFAT ALIR), KOMPAKTIBILITAS PEMBASAHAN

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1 Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1 Melibatkan berbagai investigasi bahan obat mendapatkan informasi yang berguna Data preformulasi formulasi sediaan yang secara fisikokimia stabil dan secara biofarmasi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. Obat ini dapat menyebabkan masalah gastrointestinal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Serbuk Dispersi Padat Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan dihasilkan serbuk putih dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda. Semakin

Lebih terperinci

Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi

Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi Majalah Yandi Syukri Farmasi Indonesia, 15 (1), 37 43, 2004 Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi Characterization

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeriksaan Bahan Baku GMP Pada tahap awal penelitian dilakukan pemeriksaan bahan baku GMP. Hasil pemeriksaan sesuai dengan persyaratan pada monografi yang tertera pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Mengapung Verapamil HCl Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih lima formula untuk dibandingkan kualitasnya, seperti

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSTRASI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSTRASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSTRASI EKTRAKSI Ekstraksi tanaman obat merupakan suatu proses pemisahan bahan obat dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien) Defenisi tablet Berdasarkan FI III : Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 4.1.1 Pemeriksaan bahan baku Hasil pemeriksan bahan baku ibuprofen, Xanthan Gum,Na CMC, sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

a. Pengertian leaching

a. Pengertian leaching a. Pengertian leaching Leaching adalah peristiwa pelarutan terarah dari satu atau lebih senyawaan dari suatu campuran padatan dengan cara mengontakkan dengan pelarut cair. Pelarut akan melarutkan sebagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses elektrokoagulasi terhadap sampel air limbah penyamakan kulit dilakukan dengan bertahap, yaitu pengukuran treatment pada sampel air limbah penyamakan kulit dengan menggunakan

Lebih terperinci

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, bentuk sediaan transdermal telah diperkenalkan untuk menyediakan pengiriman obat yang dikontrol melalui kulit ke dalam sirkulasi sistemik (Tymes et al., 1990).

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA

PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh : ALFA DWI WARSITI K. 100.040.055 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FORMULASI SEDIAAN SEMISOLIDA

FORMULASI SEDIAAN SEMISOLIDA FORMULASI SEDIAAN SEMISOLIDA @Dhadhang_WK Laboratorium Farmasetika Unsoed 1 Pendahuluan Sediaan farmasi semisolid merupakan produk topikal yang dimaksudkan untuk diaplikasikan pada kulit atau membran mukosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. saluran cerna, mual, diare dan nyeri abdominal sehingga konsumen tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. saluran cerna, mual, diare dan nyeri abdominal sehingga konsumen tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asam mefenamat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) yang banyak digunakan oleh para pemakai, namun senyawa ini juga memiliki efek samping yang merugikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Getah Jarak Pengumpulan getah jarak (Jatropha curcas) berada di Bandarjaya, Lampung Tengah yang berusia 6 tahun. Pohon jarak biasanya dapat disadap sesudah berumur

Lebih terperinci

I. Judul : Membandingkan Kenaikan Titik Didih Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit.

I. Judul : Membandingkan Kenaikan Titik Didih Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit. I. Judul : Membandingkan Kenaikan Titik Didih Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit. II. Tujuan : Membandingkan Kenaikan Titik Didih Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit pada konsentrasi larutan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi nonsteroidal turunan asam propionat yang mempunyai aktivitas kerja menghambat enzim siklooksigenase

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Penelitian ini diawali dengan pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan bahan baku yang akan digunakan dalam formulasi mikroemulsi ini dimaksudkan untuk standardisasi agar diperoleh

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK Subtitle PENGERTIAN ZAT DAN SIFAT-SIFAT FISIK ZAT Add your first bullet point here Add your second bullet point here Add your third bullet point here PENGERTIAN ZAT Zat adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Hasil Evaluasi Sediaan a. Hasil pengamatan organoleptis Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan krim berwarna putih dan berbau khas, gel tidak berwarna atau transparan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. PERSEMBAHAN... v. DEKLARASI... vi. KATA PENGANTAR... vii. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. PERSEMBAHAN... v. DEKLARASI... vi. KATA PENGANTAR... vii. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii MOTTO... iv PERSEMBAHAN... v DEKLARASI... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Ag2SO4 SIFAT FISIKA. Warna dan bentuk: serbuk putih BM: Titik leleh (derajat C) : tidak ada. Titik didih: 1085 C. Tekanan uap: tidak berlaku

Ag2SO4 SIFAT FISIKA. Warna dan bentuk: serbuk putih BM: Titik leleh (derajat C) : tidak ada. Titik didih: 1085 C. Tekanan uap: tidak berlaku Ag2SO4 Warna dan bentuk: serbuk putih BM: 311.8 Titik leleh (derajat C) : tidak ada Titik didih: 1085 C Tekanan uap: tidak berlaku Specific gravity: 5.45 Kelarutan dalam air: 0.57g/100 cc (0 C) Bahaya

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: HENI SUSILOWATI K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

SKRIPSI. Oleh: HENI SUSILOWATI K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008 OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN TABLET TEOFILIN DENGAN STARCH 1500 SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DAN EXPLOTAB SEBAGAI BAHAN PENGHANCUR DENGAN MODEL SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Oleh: HENI SUSILOWATI K100 040 020

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP

PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP Yulias Ninik Windriyati (1), Sugiyono (1), Widhi Astuti (1), Maria Faizatul Habibah (1) 1) Fakultas Farmasi Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kulit pisang merupakan bahan buangan limbah buah pisang yang jumlahnya cukup banyak. Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, kulit pisang

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik, Kimia, dan Formulasi Tablet Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok. Waktu pelaksanaannya adalah dari bulan Februari

Lebih terperinci

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pendahuluan Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pelarut lain yang digunakan adalah etanol dan minyak. Selain digunakan secara oral, larutan juga

Lebih terperinci

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi BAB 1 PENDAHULUAN Sampai saat ini, sediaan farmasi yang paling banyak digunakan adalah sediaan tablet, yang merupakan sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkular,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Dari jenis sediaan obat yang ada, tablet dan jenis-jenis modifikasinya merupakan sediaan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. modifikasinya tidak pelak lagi merupakan sediaan yang paling popular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. modifikasinya tidak pelak lagi merupakan sediaan yang paling popular 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tablet Dari jenis sedian obat yang ada, tablet (komprimat) dan jenis-jenis modifikasinya tidak pelak lagi merupakan sediaan yang paling popular (Voight, 1995). Tablet adalah

Lebih terperinci

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009). BAB 1 PENDAHULUAN Tablet merupakan bentuk sediaan yang paling popular di masyarakat karena bentuk sediaan tablet memiliki banyak keuntungan, misalnya: massa tablet dapat dibuat dengan menggunakan mesin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk sediaan yang sudah banyak dikenal masyarakat untuk pengobatan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KITSAN Kitosan adalah polimer alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitin adalah polisakarida terbanyak kedua setelah selulosa. Kitosan merupakan polimer yang aman, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit

Lebih terperinci

Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena. Oleh : Kelompok 3

Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena. Oleh : Kelompok 3 Reaksi Dehidrasi: Pembuatan Sikloheksena Oleh : Kelompok 3 Outline Tujuan Prinsip Sifat fisik dan kimia bahan Cara kerja Hasil pengamatan Pembahasan Kesimpulan Tujuan Mensintesis Sikloheksena Menentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, salah satu penyebab masalah lingkungan hidup yang sering dijumpai adalah limbah. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang kian pesat, produksi limbah juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan memainkan peranan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi di bidang farmasi begitu pesat, termasuk pengembangan berbagai

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Penghambat kanal Ca 2+ adalah segolongan obat yang bekerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 PEMISAHAN KOMPONEN DARI CAMPURAN 11 NOVEMBER 2014 SEPTIA MARISA 1113016200027 ABSTRAK Larutan yang terdiri dari dua bahan atau lebih disebut campuran. Pemisahan kimia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh: RARAS RUSMININGSIH K 100 040 059 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL Cl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90S : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh: INDA LUTFATUL AMALIYA K 100040058 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUAMMADIYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah kita ketahui bahwa materi terdiri dari unsur, senyawa, dan campuran. Campuran dapat dipisahkan melalui beberapa proses pemisahan campuran secara fisika dimana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN Hingga saat ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam meningkatkan mutu suatu obat. Tablet adalah sediaan

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA PENUNTUN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2015 PERCOBAN I PENGARUH FORMULASI TERHADAP LAJU DISOLUSI (2 Kali Pertemuan) I. Tujuan Pecobaan

Lebih terperinci

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN Disusun Oleh : Nama NIM : Anita Ciptadi : 16130976B PROGRAM STUDI D-III FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2013/2014 KATA PENGANTAR Puji syukur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, semakin banyak bentuk sediaan obat yang beredar di pasaran, salah satunya adalah sediaan tablet. Tablet merupakan sediaan yang paling umum digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentagamavunon-0 (PGV-0) atau 2,5-bis-(4ʹ hidroksi-3ʹ metoksibenzilidin) siklopentanon adalah salah satu senyawa analog kurkumin yang telah dikembangkan oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat adalah suatu bahan baik zat kimia, hewani, maupun nabati dalam dosis yang layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit dan gejalanya, baik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja Baja merupakan paduan yang terdiri dari unsur utama besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang tersusun dalam

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Titik Leleh dan Titik Didih

Titik Leleh dan Titik Didih Titik Leleh dan Titik Didih I. Tujuan Percobaan Menentukan titik leleh beberapa zat ( senyawa) Menentukan titik didih beberapa zat (senyawa) II. Dasar Teori 1. Titik Leleh Titik leleh adalah temperatur

Lebih terperinci

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol PENGARUH PENAMBAHAN SURFAKTAN hexadecyltrimethylammonium (HDTMA) PADA ZEOLIT ALAM TERDEALUMINASI TERHADAP KEMAMPUAN MENGADSORPSI FENOL Sriatun, Dimas Buntarto dan Adi Darmawan Laboratorium Kimia Anorganik

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK VOLUM MOLAL PARSIAL. Nama : Ardian Lubis NIM : Kelompok : 6 Asisten : Yuda Anggi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK VOLUM MOLAL PARSIAL. Nama : Ardian Lubis NIM : Kelompok : 6 Asisten : Yuda Anggi LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK VOLUM MOLAL PARSIAL Nama : Ardian Lubis NIM : 121810301028 Kelompok : 6 Asisten : Yuda Anggi LABORATORIUM KIMIA FISIK JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. ALAT Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV Vis V-530 (Jasco, Jepang), fourrier transformation infra red 8400S (Shimadzu, Jepang), moisture analyzer

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi jernih yang terbentuk dari fasa lipofilik, surfaktan, kosurfaktan dan air. Dispersi mikroemulsi ke dalam air bersuhu rendah akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Rosmawati, 2016), Penentuan formula tablet floating propranolol HCl menggunakan metode simple lattice design

Lebih terperinci