BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kecepatan disolusi merupakan salah satu masalah pokok dalam pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat kecil. Obat yang memiliki kecepatan disolusi yang rendah menjadikan kecepatan disolusinya sebagai langkah penentu dalam proses absorbsinya (Kaplan, 1973). Dengan meningkatkan kecepatan disolusi suatu bahan obat, maka kecepatan absorbsinya akan meningkat. Sudah banyak peneliti yang membuktikan adanya korelasi antara kecepatan disolusi dengan kecepatan absorbsi untuk obat yang memiliki sifat demikian (Shargel dkk, 2007). Obat-obat oral yang memiliki tujuan sistemik harus dapat diabsorbsi dalam saluran pencernaan, kemudian baru melewati efek lintas pertama kemudian masuk dalam sirkulasi sistemik tubuh. Sebelum dapat diabsorbsi, obat-obat oral harus dapat terdisolusi dengan baik dalam cairan saluran pencernaan, terutama untuk obat-obat dalam bentuk partikel padat (Soemardi, 1999). Obat-obat yang memiliki karakter disolusi yang kurang baik seringkali menjadi masalah tersendiri dan berpengaruh langsung pada jumlah kadar obat yang sampai di dalam sirkulasi sistemik. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri dalam perkembangan obat, terutama obat-obat yang diharapkan dapat bereaksi dalam waktu singkat. Permasalahan ini dapat diatasi salah satunya dengan pembentukan 1

2 2 dispersi padat dengan menambah bahan pembawa yang mudah larut dalam air. Nifedipin merupakan obat anti-angina vasolidator, termasuk di golongan penghambat kanal kalsium, dan berkhasiat sebagai obat antihipertensi (tekanan darah tinggi) dan anti angina. Nifedipin berbentuk serbuk kristalin berwarna kuning, memiliki titik lebur pada 172 o C-174 o C. Nifedipin memiliki karakter yang praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol, larut dalam aseton dan kloroform. Nifedipin memiliki koefisien partisi 2,2, yang menandakan permeabilitasnya cukup baik (Moffat dkk., 2011). Dispersi padat hadir sebagai salah satu metode alternatif untuk meningkatkan kecepatan disolusi terutama untuk obat yang sukar larut dalam air. Metode dispersi padat pertama kali dikerjakan oleh Sekiguchi dan Obi. Metode dispersi padat waktu itu dikerjakan dengan cara membentuk campuran eutektik antara bahan obat dengan bahan pembawa yang sesuai dan memiliki sifat mudah menguap. Kemudiaan diikuti dengan penguapan bahan pembawa secara cepat (Chiou dan Riegelman, 1971). Untuk tujuan di atas, pada penelitian ini dilakukan percobaan untuk mengetahui karakter fisik dari nifedipin khususnya pada kecepatan disolusinya setelah dimodifikasi partikelnya dengan menggunakan metode dispersi padat. Dispersi padat nifedipin dibuat dengan menggunakan metode kopresipitasi. Hasil dispersi padat kemudian dibuat dalam bentuk pellet untuk selanjutnya diuji kecepatan disolusinya. Disolusi intrinsik merupakan salah satu teknik uji disolusi in vitro yang digunakan khususnya pada pengembangan zat aktif pada tahap preformulasi. Hal

3 3 ini disebabkan disolusi intrinsik hanya membutuhkan jumlah sampel yang sedikit. Selain itu, dari hasil uji disolusi, diharapkan dapat memberi gambaran kepada peneliti mengenai masalah apa yang mungkin muncul pada pengembangan zat aktif tersebut (Issa dan Ferraz, 2011). Hasil uji disolusi kemudian diungkapkan dengan melakukan plotting hubungan bobot solid terlarut persatuan luas terhadap fungsi waktu dan hubungan ln w (w w) dari persamaan Kitazawa terhadap fungsi waktu. Plotting kurva ini didasarkan pada persamaan yang diturunkan dari persamaan Noyes-Whitney. Melalui kedua kurva ini, akan didapatkan harga slope yaitu tetapan kecepatan disolusi intrinsik (G) dan tetapan kecepatan disolusi k dari persamaan Kitazawa. Dengan membandingkan harga G dan harga k maka akan didapatkan informasi apakah sistem dispersi padat nifedipin-pvp K-30 dapat meningkatkan kecepatan disolusi atau tidak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan dan pengaplikasian pembuatan dispersi padat khususnya pada obatobat yang memiliki karakter disolusi yang buruk. Sekaligus dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang teknologi kefarmasian dan peningkatan aspek klinis dari nifedipin.

4 4 B. Rumusan Masalah 1. Apakah pembentukan dispersi padat nifedipin dan polovinil pirolidon K-30 dengan metode kopresipitasi dapat meningkatkan kecepatan disolusi dari nifedipin murni? 2. Apakah peningkatan konsentrasi polivinil pirolidon K-30 dalam dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30 dapat meningkatkan kecepatan disolusi dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30? C. Pentingnya Penelitian Diusulkan 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini dapat membuktikan bahwa sistem dispersi padat dapat meningkatkan kecepatan disolusi nifedipin. Melalui dispersi padat, kecepatan disolusi nifedipin akan meningkatkan efektifitas nifedipin sebagai sediaan oral. 2. Bagi Peneliti Melalui penelitian ini, peneliti dapat menerapkan teori dalam kenyataan penelitan dengan mengaplikasikan sistem dispersi padat pada nifedipin. Selain itu penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat meraih gelar strata satu bagi peneliti. 3. Bagi Masyarakat Sistem dispersi padat yang diaplikasikan pada bentuk sediaan nifedipin akan sangat membantu masyarakat yang akan mengkonsumsi nifedipin. Hal ini dikarenakan dengan profil disolusi yang lebih baik, akan meningkatkan efektifitas penggunaan bentuk sediaan nifedipin.

5 5 D. Tujuan Penelitian 1. Membuktikan bahwa pembentukan dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30 dengan metode kopresipitasi dapat meningkatkan kecepatan disolusi nifedipin secara signifikan bila dibandingkan dengan kecepatan disolusi nifedipin murni. 2. Membuktikan bahwa peningkatan konsentrasi polivinil pirolidon K-30 dalam dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30 akan meningkatkan kecepatan disolusi dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30. E. Tinjauan Pustaka 1. Disolusi Obat Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses liberasi, disolusi dan absorbsi. Secara skematis proses tersebut ditunjukan pada gambar 1. Tablet disintegrasi deagregasi Granul Partikel Halus disolusi k1 k2 k3 disolusi disolusi Obat larut dalam cairan tubuh Ka absorbsi Obat di dalam darah, cairan tubuh lain, dan jaringan Gambar 1. Skema disintegrasi dan disolusi (Wagner, 1971).

6 6 Obat dalam bentuk tablet ketika digunakan secara per oral akan masuk ke dalam saluran pencernaan dan mengalami kontak dengan medium. Tablet kemudian akan terdisintegrasi menjadi granul-granul. Granul-granul ini kemudian akan terdeagregasi menjadi partikel halus. Tablet, granul, dan partikel halus masing-masing akan terdisolusi dengan kecepatan tertentu. Di sini dinyatakan dalam k1, k2, dan k3. Dalam hal ini k1<<k2<<k3 karena perbedaan luas permukaan efektifnya. Setelah terdisolusi, obat akan berada dalam bentuk larutan yang terdisolusi dalam cairan tubuh (di dalam saluran pencernaan). Kemudian obat akan terabsorpsi dengan tetapan kecepatan absorpsi (Ka). Apabila ka>>>k1+k2+k3, maka kecepatan disolusi obat tersebut menjadi langkah penentu dalam proses absorpsinya (Gibaldi dan Feldman, 1970). Mekanisme masuknya obat ke dalam saluran sistemik adalah melalui mekanisme difusi pasif. Mekanisme difusi pasif memiliki karakteristik dimana kecepatan absorpsi sebanding dengam gradien kadar yang ada. Apabila obat yang berada di dalam tubuh kita dapat mencapai sirkulasi sistemik dengan cepat, maka otomatis kadar obat dalam sirkulasi sistemik akan cepat mencapai jendela terapi dan efek obat akan semakin cepat tercapai. Kecepatan absorpsi obat juga turut berperan pada efektifitas obat dalam mencapai efek yang diinginkan. Apabila suatu obat memiliki kecepatan eliminasi yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kecepatan absorpsinya, maka akan mengakibatkan kadar obat dalam darah tidak dapat mencapai kadar optimum. Selain itu, apabila kadar obat tidak dapat mencapai

7 7 KEM, maka obat tersebut tidak akan memberikan efek seperti yang kita kehendaki (Shargel dkk, 2007). Karakter kecepatan disolusi dari suatu active pharmaceutical ingredient (API) dari suatu bentuk sediaan sangat tergantung dari kelarutannya (Ali, 2005). Hampir 40% dari API dan new chemical entity (NCE) memiliki kelarutan dalam air yang buruk dan mengakibatkan kecepatan disolusi bentuk sediaan yang buruk. Kondisi ini mengakibatkan waktu absorpsi yang dibutuhkan oleh bahan obat menjadi lebih lama (Kavitha dkk, 2011). Mengacu pada data tersebut, kecepatan disolusi yang buruk merupakan masalah yang umum dihadapi dalam formulasi bentuk sediaan. Berbagai strategi telah dilakukan oleh banyak peneliti untuk mengatasi masalah ini, seperti: sintesis bentuk garam, pengecilan ukuran partikel, kompleksasi, dispersi padat, spray dry, dan mikroenkapsulasi (Kumar dkk, 2010). Uji disolusi biasanya dilaksanakan di industri farmasi. Pelaksanaan uji disolusi, disesuaikan dengan tujuan uji itu sendiri. Tujuan pertama dari uji disolusi adalah untuk optimasi formula. Uji ini dilakukan di bagian Riset dan Pengembangan dan bertujuan untuk memperoleh suatu formula obat yang paling baik. Tujuan lainnya adalah untuk kontrol rutin setelah fabrikasi. Uji ini dilakukan di bagian Kontrol Kualitas dan bertujuan untuk jaminan kesamaan kualitas produksi antar bets dan jaminan kualitas ketersediaan farmasetis secara in-vivo (Fudholi, 2013). 2. Teori Disolusi Kecepatan disolusi bisa didefinisikan sebagai kecepatan melarut suatu obat dari sediaan farmasi, granul, atau partikel halus sebagai hasil terdisintegrasinya

8 8 bentuk sediaan farmasi obat tersebut setelah terjadi kontak fisik dengan pelarut (Carstensen, 1974). Noyes dan Whitney telah merumuskan suatu persamaan yang dapat menyatakan hubungan antara kecepatan disolusi dengan kadar obat dalam persamaan (1) (Wagner, 1971): dc dt = k(cs Cb)...(1) dimana dc/dt adalah kecepatan disolusi suatu bahan obat, k adalah tetapan kecepatan disolusi, Cs adalah kelarutan jenuh obat dalam medium, sedangkan Cb adalah kadar obat terlarut dalam medium pelarut pada waktu tertentu (t). Dari persamaan Noyes-Whitney di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang paling berperan dalam menentukan kecepatan disolusi suatu obat adalah kelarutan bahan obat tersebut dalam medium disolusi. Terdapat tiga macam teori disolusi. Teori ini adalah teori film, teori pembaharuan permukaan, dan teori kecepatan solvatasi terbatas (Carstensen, 1974). Pada ketiga teori di atas, ada dua faktor yang dapat dikembangkan dalam memformulasikan suatu obat supaya dapat memperbaiki karakter disolusinya. Kedua faktor ini adalah luas permukaan efektif obat dan kelarutan bahan obat. Meningkatkan luas permukaan efektif obat dan meningkatkan kelarutan bahan obat dapat memperbaiki karakter disolusi obat tersebut. Ada beberapa metode yang dapat kita lakukan dalam hal meningkatkan luas permukaan efektif bahan obat. Beberapa metode ini adalah pengecilan ukuran partikel bahan obat, pemberian surfaktan untuk mempercepat pembasahan (Finholt, 1974), dan pembentukan dispersi padat (Goldberg dkk, 1965).

9 9 Luas permuakaan efektif berbanding langsung dan proporsional dengan kecepatan disolusi. Luas permukaan efektif dapat ditingkatkan dengan menurunkan ukuran partikel dari obat atau dengan mengoptimasi karakteristik pembasahan. Reduksi ukuran partikel, pembentukan garam, kompleksasi, dan solubilisasi obat dalam solven juga berguna untuk meningkatkan disolusi, akan tetapi ada beberapa batasan untuk teknik-teknik di atas. Penggunaan obat dalam keadaan perut penuh (setelah makan) juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan kecepatan disolusi dengan meningkatkan waktu yg dibutuhkan untuk disolusi itu sendiri (Patil dkk, 2011). 3. Disolusi Intrinsik Disolusi intrinsik merupakan salah satu cara pengungkapan data uji disolusi yang digunakan untuk menguji kecepatan disolusi zat aktif murni atau pengembangan dari zat aktif murni. Karena hanya dibutuhkan jumlah yang sedikit, sangat memungkinkan untuk melakukan penghitungan disolusi intrinsik dan memprediksi problem disolusi yang mungkin terjadi (Issa dan Ferraz, 2011). Kecepatan disolusi intrinsik didefinisikan sebagai kecepatan disolusi zat aktif murni persatuan luas permukaan kontak. Dengan mengetahui kecepatan disolusi intrinsik, kita dapat mengetahui secara lebih dalam mengenai bagaimana kecepatan disolusi suatu obat dalam kondisi fisiologis (Hadžiabdić dkk, 2013). Kecepatan disolusi intrinsik dapat diperoleh dengan menggunakan peralatan tertentu yang telah didesain sedemikian rupa (disesuaikan dengan kondisi fisiologis yang diinginkan). Bahan obat dikempa hingga berbentuk pellet, lalu dimasukan ke dalam die. Selanjutnya pellet obat dicelupkan ke dalam larutan

10 10 medium dengan luas area kontak yang konstan. Nilai kecepatan disolusi intrinsik dinyatakan dalam mg cm -2 s -1 (Anonim, 2009; Viegas dkk, 2001).. 4. Dispersi Padat Metode dispersi padat pertama kali dikerjakan oleh Sekiguchi dan Obi. Metode ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kecepatan disolusi dan absorpsi suatu obat yang sukar larut dalam air. Metode dispersi padat waktu itu dikerjakan dengan cara membentuk campuran eutektik antara bahan obat dengan bahan pembawa yang sesuai dan memiliki sifat mudah menguap. Kemudiaan diikuti dengan penguapan bahan pembawa secara cepat (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi padat merupakan suatu campuran dari satu atau lebih bahan obat dalam suatu bahan pembawa yang inert atau berupa matriks padat. Dalam perkembangannya, metode pembuatan dispersi padat dapat dibagi-bagi menjadi beberapa metode, yaitu dilakukan dengan metode peleburan, metode pelarutan, metode pelarutan-peleburan, serta metode campuran fisik (Chiou dan Riegelman, 1971). Pionir dalam bidang dispersi padat adalah Sekiguchi dan Obi, dimana kedua peneliti ini menggunakan metode peleburan atau dalam istilah asing disebut sebagai melt/fusion method. Metode ini dikerjakan dengan memanaskan campuran fisik dari obat dan bahan pembawa secara langsung hingga terjadi. Campuran yang terlebur ini kemudian disolidifikasi menggunakan penangas es. Massa yang telah dingin kemudian diiris dan diayak. Produk-produk yang telah diadministrasikan terbukti meningkatkan absorpsi obat. Hingga kini, masih banyak sekali variasi-variasi yang dikembangkan untuk memperbaiki metode ini (Parikh, 2005).

11 11 Tachibana dan Nakamura memperkenalkan konsep preparasi dispersi padat dengan menggunakan metode pelarutan. Metode yang diusulkan meliputi pelarutan obat dan bahan pembawa di dalam suatu solven dan diikuti evaporasi dari solven tersebut dalam kondisi vakum. Dispersi padat yang dihasilkan dari metode ini secara umum disebut sebagai koevaporat (coevaporates) (Parikh, 2005). Metode pelarutan termasuk dalam salah satu metode pembuatan sistem dispersi padat telah umum dilakukan. Pada metode ini, dekomposisi termal (penguapan, oksidasi, dan degradasi zat aktif) bahan obat dan bahan pembawa dapat dicegah karena metode ini menggunakan pelarut organik dengan temperatur penguapan yang relatif rendah. Akan tetapi, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu kemungkinan pelarut memengaruhi stabilitas kimia bahan obat, sulit untuk menguapkan pelarut secara sempurna, pemilihan pelarut yang sesuai dan adanya kemungkinan pelarut memengaruhi stabilitas bahan obat (Fudholi, 2013). Metode peleburan-pelarutan merupakan metode campuran/gabungan dari metode peleburan dan metode pelarutan. Bahan obat dilarutkan dalam pelarut organik yang sesuai dan digabungkan secara langsung dalam bahan pembawa yang telah dileburkan. Kemudian pelarut organik tersebut dievaporasi (Parikh, 2005). Setidaknya sudah ada tiga macam teknik pembuatan dispersi padat yang telah sukses digunakan dalam produksi komersil. Metode-metode ini adalah metode melt extrusion, yang dapat digunakan pada obat-obat dengan titil leleh yang tidak terlalu tinggi, spray drying, yang berguna untuk obat-obat yang larut setidaknya pada satu solven yang mudah menguap, dan kopresipitasi, yang berguna untuk obat

12 12 dengan titik leleh yang tinggi dan memiliki solubilitas yang rendah pada solven organik yang umum (Huang dan Dai, 2014). Kesuksesan dari suatu sistem dispersi padat ditentukan dari kemampuannya untuk terdisolusi setelah administrasi secara per oral. Untuk dispersi padat, obat harus terdisolusi bersamaan dengan matriks polimer untuk menghasilkan sebuah campuran supersaturasi. Keadaan supersaturasi harus bisa dipertahankan cukup lama supaya proses absorpsi obat bisa berjalan (Huang dan Dai, 2014). Ketika suatu sistem dispersi padat drug loading-nya rendah, obat dan polimer dalam sistem dispersi padat dapat terdisolusi secara cepat. Setelah itu, obat dapat diabsorpsi secara kontinyu dan mengalami presipitasi karena kehadiran polimer dan komponen endogen seperti empedu, fosfolipid, dan mucin. Berbagai macam bentuk struktur bisa terbentuk, seperti obat bebas atau obat terdapat di dalam empedu/misel fosfolipid, nanoprecipitate amorf, atau nanocrystal yang distabilkan oleh polimer. Bentuk-bentuk nanopartikel tersebut memiliki kelarutan yang tinggi. Dengan pemilihan polimer yang tepat, konsentrasi obat bebas bisa dibuat dengan menyesuaikan kelarutannya (Friesen dkk, 2008). Sistem dispersi padat menghasilkan suatu larutan obat pada kondisi supersaturasi ketika ada di dalam lingkungan cair pada jalur gastrointestinal. Obat pada kondisi ini memiliki tendensi untuk terpresipitasi secara cepat sebelum diabsorbsi dan mengakibatkan bioavailabilitasnya rendah. Banyak macam polimer yang telah diteliti untuk memperpanjang kondisi supersaturasi dan menghambat presipitasi obat. Untungnya, polimer yang biasanya digunakan dalam formulasi dispersi padat juga dapat digunakan untuk menghambat presipitasi obat, khususnya

13 13 derivat selulosa seperti hidroksipropilmetilselulosa (HPMC) dan polimer vinil seperti polivinil pirolidon (PVP). (Huang dan Dai, 2014) Interaksi antara polimer dan bahan obat kemungkinan disebabkan karena formasi ikatan hidrogen dan/atau interaksi hidrofobik (Huang dan Dai, 2014). Selain itu, dalam penelitian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa semakin tinggi lipofilisitas suatu polimer akan meningkatkan pula kekutan interaksi antara polimer dan bahan obat. Tetapi, ada suatu batasan dimana lipofilisitas polimer tidak lagi berpengaruh pada interaksi antara polimer dan bahan obat (Ilevbare dkk, 2012). Kecepatan disolusi suatu obat yang meningkat karena sistem dispersi padat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu mekanisme penarikan (dragging mechanism) dan mekanisme pembasahan (wetting mechanism). Polimer bahan pembawa yang lebih mudah larut dalam medium akan berinteraksi dengan bahan obat dan mengelilingi bahan obat dalam medium. Setelah sistem kontak dengan medium, polimer bahan pembawa akan terlarut secara cepat dengan membawa serta (menarik) bahan obat. Peristiwa inilah yang disebut sebagai mekanisme penarikan. Selain mekanisme ini,ada pula kemungkinan terjadinya mekanisme pembasahan. Mekanisme pembasahan terjadi setelah interaksi terjadi antara bahan obat dan polimer bahan pembawa. Senyawa hasil interaksi tersebut akan membentuk suatu ikatan hidrogen dan/atau ikatan van der Waals dengan medium dalam larutan yang menyebabkan senyawa tersebut melarut di dalam medium (Moechtar, 1992). Mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan bisa terjadi secara tunggal dan/atau sinergis tergantung pada interaksi yang terjadi antara polimer bahan pembawa dan bahan obat. Contohnya pada PVP yang mengandung 2 unsur

14 14 yang dapat mengadakan ikatan hidrogen (Nitrogen dan Oksigen) dan 3 unsur yang dapat mengadakan ikatan van der Waals (C3, C4, dan C5). Hal ini memungkinkan terjadinya mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan yang bekerja sinergis. Contoh lain pada PEG yang hanya memiliki 1 unsur yang dapat mengadakan ikatan hidrogen (oksigen) dan tidak memiliki unsur yang dapat menyebabkan ikatan van der Waals. Hal ini mengakibatkan mekanisme pembasahan tidak dapat terjadi secara maksimal (Moechtar, 1992). 5. Kopresipitasi Kopresipitasi termasuk salah satu metode pembuatan sistem dispersi zat padat di dalam zat padat. Suatu dispersi bahan obat dengan bahan pembawa yang dapat dibuat dengan cara pelelehan pada titik leburnya atau dilarutkan dengan pelarut yang cocok, dapat pula dibuat dengan metode pelarutan-pelelehan (Ritschel, 1976). Pada metode pelelehan biasa, digunakan bahan pembawa derifat selulosa, manitol, atau campuran manitol dengan karbohidrat lain (Ritchel, 1976). Metode pelarutan yang menghasilkan kopresipitat dilakukan dengan melarutkan bahan obat dengan bahan pembawa pada pelarut yang cocok, kemudian pelarutnya diuapkan. Bila hal ini tidak mungkin/sukar dilakukan dapat ditambahkan zat lain sehingga terjadi pembentukan kristal yang merupakan dispersi padat molekuler antara bahan obat dengan bahan pembawa. Padatan yang diperoleh bila belum dalam bentuk serbuk halus perlu digerus dan diayak terlebih dahulu (Fudholi, 2013). Pembentukan kopresipitat telah banyak diteliti, antara lain: kopresipitasi reserpin-pvp (Stupak dan Bates, 1972); digitoksin-pvp (Stupak dan Bates, 1972);

15 15 dan sulfatiazol-pvp (Simonelli dkk, 1969). Dari hasil penelitian-penelitian tersebut ternyata pembentukan kopresipitat dapat meningkatkan kecepatan disolusi obat yang sukar larut dalam air. 6. Nifedipin Gambar 2. Struktur kimia nifedipin (Moffat dkk, 2011) Nifedipin mengandung tidak kurang 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C17H18N2O6 dihitung dalam keadaan kering. Nifedipin mempunyai nama kimia, 1,4-dihidro-2,6-dimetil-4-(O-nitrofenil)-3,5-piridin karboksilat. Nifedipin mempunyai berat molekul 346,3 (Anonim, 1995). Nifedipin berupa serbuk berwarna kuning, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak higroskopis. Titik leleh nifedipin antara o C (Sweetman, 2009). Nifedipin merupakan obat yang sukar larut dalam air (5,6 µg/ml pada ph 7) (Ali, 1989), disolusi obat dari fase kristalin stabil dilaporkan merupakan langkah yang paling lambat dalam absorpsi obat dan menyebabkan bioavailabilitas yang rendah (Benita dkk, 1990). Ditambah lagi, nifedipin juga memiliki kecepatan klirens yang tinggi. Hal ini menyebabkan bentuk sediaan nifedipin konvensional per oral harus diadministrasikan tiga kali sehari, yang menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah yang signifikan dan efek samping obat yang lebih tinggi. Oleh

16 16 karena itu, pengembangan bentuk sediaan nifedipin dalam bentuk lepas terkontrol sangat dibutuhkan untuk mereduksi efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien dan kenyamanan pasien dalam mengkonsumsi nifedipin (Huang dkk, 2006). Nifedipin merupakan senyawa yang sensitif terhadap cahaya. Nifedipin akan segera berubah menjadi turunan nitrosofenil piridin jika terpapar sinar matahari atau sinar artifisial pada panjang gelombang tertentu. Studi degradasi lerutan nifedipin dalam metilen klorida yang terpapar sinar pada panjang gelombang UV 366 nm dan sinar tampak menghasilkan senyawa 2,6-dimetil-3,5- dikarbometoksi-4-(2 -nitrosofenil)-piridin. Dalam isopropil alkohol, metilen klorida, serta karbon tetraklorida, hasil degradasi nifedipin memberikan fluoresensi pada panjang gelombang 425 nm (Shim dkk, 1988). Untuk mencegah degradasi nifedipin, maka serbuk nifedipin harus dikemas dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya (Anonim, 1995). Nifedipin merupakan obat golongan dihidropiridin sebagai penghambat kanal kalsium yang sering digunakan sebagai terapi hipertensi dan angina. Mekanisme kerja nifedipin adalah menghambat masuknya ion Ca 2+ sehingga menghambat terjadinya kontraksi pada otot jantung dan otot polos vaskuler. Nifedipin akan menimbulkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah, sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Untuk pengobatan jangka panjang pada angina stabil dan kronik, sering digunakan antagonis kalsium sebagai obat pilihan pertama (Sweetman, 2009). Bioavailabilitas sediaan nifedipin oral adalah 40-60% dari dosis yang diberikan. Sebanyak 92-98% dari dosis yang diberikan berikatan dengan protein

17 17 plasma. Nifedipin memiliki waktu paruh relatif pendek yakni 2-5 jam, volume distribusi 0,8 L/kg dan kliren plasma 7 ml/menit/kg. Nifedipin diabsorpsi dengan cepat secara hampir sempura (90%) dalam lambung (Moffat dkk, 2011). 7. Polivinil Pirolidon Gambar 3. Struktur kimia PVP (Rowe dkk, 2009) Polivinil Pirolidon, dengan nama kimia 1-etenil-2-pirolidon homopolimer dan mempunyai rumus molekul (C6H9NO)n, merupakan serbuk halus, berwarna putih sampai putih krem, tidak berbau, bersifat higroskopis. Beberapa kegunaan PVP dalam formulasi farmasetik adalah sebagai pensuspensi dan pengikat tablet, baik sebagai pengikat kering (serbuk) atau sebagai pengikat dalam granulasi basah (larutan); agen peningkat viskositas pada beberapa sediaan topikal, suspensi maupun larutan oral. PVP juga dapat meningkatkan kelarutan obat-obat yang suka larut dalam air (Rowe dkk, 2009). Spesifikasi PVP adalah sebagai berikut: ph 3,0-7,0 (5% b/v dalam air), kandungan nirogen 11,2-12,3%, kerapatan 1,17-1,18 g/cm 3, bulk density 0,31 g/cm 3 untuk PVP K-30 tapped density 0,40 g/cm 3 untuk PVP K-30, dan pada suhu 150 o C padatan mulai melunak. PVP larut dalam asam,kloroform, etanol, keton, metanol, dan air. Praktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak mineral. PVP akan

18 18 menjadi lebih gelap pada pemanasan di atas suhu 150 o C dan dapat menurunkan kelarutannya dalam air (Rowe dkk, 2009). PVP, adalah suatu polimer hidrofilik dari n-vinyl pyrrolidone (povidon) yang umum digunakan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam sistem dispersi padat. PVP memiliki berbagai jenis bobot molekul yang mempengaruhi viskositasnya. Secara umum, yang digunakan sebagai bahan pembawa dalam formulasi dispersi padat adalah dari PVP K-12 (bobot molekulnya 2400 Da) hingga PVP K-90 (bobot molekulnya 100kDa). PVP K-90 memiliki viskositas yang sangat tinggi dalam berbagai jenis solven, sehingga sulit digunakan untuk formulasi dispersi padat. Dalam pemilihan PVP pada nilai bobot molekul tertentu harus berhati-hat, karena pada PVP dengan nilai K yang sama pun dapat memiliki distribusi bobot molekuler yang berbeda dan end group dari PVP juga berbeda. Hal ini akan mempengaruhi prosedur manufakturnya (Raith dkk, 2002). PVP K-30 sendiri memiliki bobot molekul Da (Rowe dkk, 2009). Penanganan PVP, terkait dengan kondisi penyimpanan dan pemrosesan dalam pembuatan dispersi padat perlu diperhatikan. Hal ini karena sifat PVP yang higroskopis. Sifat higroskopis ini dipengaruhi oleh bobot molekul PVP (harga K). Misalnya pada PVP K-12 yang mmiliki bobot molekul kecil dapat menyerap lembab sebanyak bobot molekulnya dalam kelembaban tinggi (Paudel dkk, 2013). Obat-obat dengan sifat disolusi yang buruk telah banyak yang sukses diformulasikan sebagai dispersi padat dengan fisik yang stabil dengan PVP dan PVP-VA. Obat-obat ini juga menunjukan sifat fisikokimia, kecepatan disolusi in vitro maupun in vivo yang baik (Paudel dkk, 2013).

19 19 8. Tetapan Kecepatan Disolusi Intrinsik Tetapan kecepatan disolusi intrinsik dihitung melalui hasil plotting antara jumlah kumulatif dari komponen obat yang terdisolusi persatuan luas terhadap fungsi waktu. Jumlah kumulatif dari komponen obat yang terdisolusi merupakan hasil perhitungan dari kadar obat yang sudah terkoreksi dengan volume medium, volume pengambilan, serta luas permukaan kontak. Hal ini dikarenakan ada bobot sampel yang hilang dalam medium disolusi selama uji disolusi karena terambil ketika dilakukan sampling (Viegas dkk, 2001) Persamaan kecepatan disolusi intrinsik diturunkan dari persamaan Noyes- Whitney. Bentuk sederhana dari persamaan kecepatan disolusi intrinsik adalah: w s = G. t...(2) dimana harga G adalah tetapan kecepatan disolusi intrinsik, w s adalah bobot terlarut persatuan luas pada saat waktu t. Bobot terlarut adalah bobot kumulatif terkoreksi berdasarkan volume sampling dan volume medium total. Sedangkan t adalah waktu sampling. Persamaan ini berlaku apabila uji disolusi berjalan dalam kondisi sink sehingga Cs>>>C, dan luas permukaan kontak yang konstan (Fudholi, 2013). Sehingga, apabila dilakukan plotting antara bobot terdisolusi persatuan luas terhadap fungsi waktu, akan didapatkan persamaan garis lurus dengan slope sebagai harga G. Harga G adalah tetapan kecepatan disolusi intrinsik (Fudholi, 2013).

20 20 9. Tetapan Kecepatan Disolusi Kitazawa Teori disolusi Kitazawa didasarkan pada beberapa kondisi sebagai berikut: a. Luas permukaan solid konstan. b. Volume medium cukup besar untuk menjaga uji penelitian dalam kondisi sink. c. Kecepatan pelarutan proporsional dengan perbedaan konsentrasi saturasi dari konsentrasi dalam larutan (Kitazawa dkk., 1975). Dalam persamaannya dipakai C yaitu konsentrasi total zat aktif larut dalam medium atau w yaitu bobot total zat aktif larut dalam medium. Persamaan kecepatan disolusi Kitazawa adalah: ln w (w w) = k. t...(3) dimana w adalah bobot zat aktif terlarut, t adalah fungsi waktu, dan k adalah tetapan kecepatan disolusi Kitazawa (Kitazawa dkk., 1975). F. Landasan Teori Agar suatu obat dapat diabsorpsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Hal ini terutama berlaku bagi obat-obat yang memiliki bentuk sediaan padat seperti tablet dan kapsul yang digunakan secara per oral. Setelah terdisolusi, obat tersebut akan terabsorpsi dan masuk ke dalam saluran sistemik. Apabila kecepatan absorpsinya jauh lebih besar dari kecepatan disolusinya, maka kecepatan disolusi obat tersebut menjadi langkah penentu dalam proses absorpsinya.

21 21 Hampir 40% dari keseluruhan active pharmaceutical ingredient (API) dan new chemical entity (NCE) memiliki karakter disolusi yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan disolusi yang buruk merupakan masalah yang umum dihadapi dalam formulasi bentuk sediaan. Untuk itu, dilakukan berbagai pendekatan untuk mengatasi masalah ini seperti: pengecilan ukuran partikel, kompleksasi, dispersi padat, dan mikroenkapsulasi. Dari teori disolusi yang telah dijelaskan di atas, didapatkan kesimpulan bahwa ada dua faktor yang dapat dikembangkan dalam memformulasikan suatu obat supaya dapat memperbaiki karakter disolusinya. Faktor ini adalah luas permukaan efektif obat dan meningkatkan kelarutan bahan obat. Kecepatan disolusi intrinsik digunakan untuk menganalisis kecepatan disolusi zat aktif murni dan pengembangan dari zat aktif murni. Disolusi intrinsik terutama berguna untuk mempreduksi problem disolusi yang mungkin terjadi karena hanya dibutuhkan sampel yang sedikit. Uji disolusi dilakukan secara luas untuk keperluan preformulasi pada kandidat obat baru ataupun pengembangan obat yang sudah ada. Kecepatan disolusi intrinsik didefinisikan sebagai kecepatan disolusi zat aktif murni persatuan luas permukaan kontak. Dengan menggunakan data kecepatan disolusi intrinsik, dapat diprediksi bagaimana kecepatan disolusi suatu obat dalam kondisi fisiologis. Salah satu strategi untuk meningkatkan karakter disolusi obat adalah dengan pembentukan dispersi padat. Dispersi padat merupakan suatu campuran dari satu atau lebih bahan obat dalam suatu bahan pembawa yang inert atau berupa matriks

22 22 padat. Dalam perkembangannya, ada tiga metode pembuatan dispersi padat, yaitu: metode peleburan, metode pelarutan, dan metode pelarutan-peleburan. Karakter disolusi obat yang meningkat karena pembentukan dispersi padat terjadi melalui dua mekanisme yaitu mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan. Polimer bahan pembawa yang lebih mudah larut dalam medium akan berinteraksi dengan bahan obat dan mengelilingi bahan obat dalam medium. Setelah sistem kontak dengan medium, polimer bahan pembawa akan terlarut secara cepat dengan membawa serta (menarik) bahan obat. Peristiwa inilah yang disebut sebagai mekanisme penarikan. Selain mekanisme ini,ada pula kemungkinan terjadinya mekanisme pembasahan. Mekanisme pembasahan terjadi setelah interaksi terjadi antara bahan obat dan polimer bahan pembawa. Senyawa hasil interaksi tersebut akan membentuk suatu ikatan hidrogen dan/atau ikatan van der Waals dengan medium dalam larutan yang menyebabkan senyawa tersebut melarut di dalam medium. Mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan dapat terjadi secara tunggal dan/atau sinergis, tergantung pada bahan pembawa dan bahan obat dalam sistem dispersi padat tersebut. Salah satu metode pembuatan dispersi padat yang cukup sederhana adalah dengan menggunakan metode kopresipitasi. Metode kopresipitasi dapat dilakukan dengan cara melarutkan bahan obat dengan bahan pembawa pada pelarut yang sesuai, kemudian pelarutnya diuapkan. Bila hal ini sukar dilakukan, dapat ditambahkan bahan lain supaya terjadi pembentukan kristal. Padatan yang diperoleh kemudian digerus dan diayak hingga didapatkan serbuk halus. Cara lainnya adalah dengan melelehkan bahan obat dengan bahan pembawanya pada

23 23 titik leburnya. Setelah itu dapat didinginkan kembali sehingga didapatkan padatan, Padatan yang didapat kemudian digerus dan diayak hingga didapatkan serbuk yang halus. Nifedipin merupakan obat yang memiliki karakter disolusi yang buruk. Selain itu, disolusi nifedipin dari fase kristalin stabil dilaporkan merupakan langkah yang paling lambat dalam absorpsi dan menyebabkan bioavailabilitas yang rendah. Ditambah lagi, nifedipin memiliki kecepatan klirens yang tinggi. Hal ini menyebabkan bentuk sediaan konvensional nifedipin per oral perlu diadministrasikan tiga kali sehari, yang menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah dan efek samping obat yang lebih tinggi. Berbagai jenis polimer telah banyak digunakan sebagai bahan pembawa dalam formulasi sistem dispersi padat dengan berbagai metode. Salah satu polimer yang umum digunakan adalah polivinil pirolidon. Polivinil pirolidon atau PVP adalah suatu polimer hidrofilik dari n-vinyl pyrrolidone (povidon) yang umum digunakan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam sistem dispersi padat. PVP sendiri memiliki berbagai jenis bobot molekul yang mempengaruhi viskositasnya. Secara umum, yang digunakan sebagai bahan pembawa dalam formulasi dispersi padat adalah dari PVP K-12 (bobot molekulnya 2400 Da) hingga PVP K-90 (bobot molekulnya 100kDa). Semakin tinggi harga K, maka viskositas PVP akan semakin tinggi dalam berbagai jenis solven. Viskositas yang terlalu tinggi akan menyulitkan formulasi dispersi padat. Selain itu, harga K yang terlalu kecil akan meningkatkan sifat higroskopisnya. Hal ini perlu diperhatikan terutama untuk menentukan kondisi penyimpanan dan pemrosesan dalam formulasi dispersi padat.

24 24 Obat-obat yang karakter disolusi yang buruk telah banyak yang sukses diformulasikan sebagai dispersi padat dengan fisik yang stabil dengan PVP K-30 dengan berbagai metode. Obat-obat ini juga menunjukan sifat fisikokimia, kecepatan disolusi in vitro maupun in vivo yang baik. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa PVP K-30 merupakan salah satu bahan pembawa terbaik yang digunakan dalam formulasi dispersi padat. G. Hipotesis 1. Dispersi padat nifedipin dengan bahan pembawa polivinil pirolidon K-30 dengan metode kopresipitasi akan memiliki kecepatan disolusi yang berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kecepatan disolusi nifedipin murni 2. Peningkatan konsentrasi polivinil pirolidon dalam dispersi padat nifedipinpolivinil pirolidon K-30 akan meningkatkan kecepatan disolusi dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30. H. Rencana Penelitian Penelitian ini bisa dibagi dalam beberapa tahap, yaitu: 1. Pembuatan dispersi padat nifedipin-pvp K Pembuatan kurva baku nifedipin. 3. Uji disolusi dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K Analisis data dengan melihat tetapan kecepatan disolusi intrinsik dan tetapan kecepatan disolusi k masing-masing campuran dispersi padat dan nifedipin murni.

25 25 I. Konsep Penelitian Penimbangan bahan Nifedipin murni Nifedipin 90% b/b-pvp K-30 10% b/b Nifedipin 75% b/b-pvp K-30 25% b/b Nifedipin 60% b/b-pvp K-30 40% b/b Pembentukan Dispersi Padat Pembentukan Pellet Uji Disolusi Analisis Data Kesimpulan Gambar 4. Konsep penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam proses formulasi obat. Umumnya untuk obat-obat peroral, sebelum diabsorbsi melalui dinding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran obat dengan memperpanjang waktu tinggal di lambung memiliki beberapa keuntungan, diantaranya untuk obat-obat yang memiliki absorpsi rendah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disolusi Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi dalam bidang kefarmasian saat ini telah cukup maju atau dapat dikatakan mengalami modernisasi. Hal ini berkenaan dengan derajat kualitas obat

Lebih terperinci

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, perkembangan terhadap metode pembuatan sediaan obat untuk meningkatkan mutu obat juga semakin maju. Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum BAB 1 PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, teknologi farmasi telah berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai metode baru dalam industri farmasi yang memiliki tujuan akhir untuk mendapatkan

Lebih terperinci

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, memberikan dampak pengembangan terhadap metode untuk meningkatkan mutu suatu obat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ibuprofen Ibuprofen atau asam 2-(-4-isobutilfenil) propionat dengan rumus molekul C 13 H 18 O 2 dan bobot molekul 206,28, Rumus bangun dari Ibuprofen adalah sebagai berikut (4)

Lebih terperinci

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat. I. Pembahasan Disolusi Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,

Lebih terperinci

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN Hingga saat ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam meningkatkan mutu suatu obat. Tablet adalah sediaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Penghambat kanal Ca 2+ adalah segolongan obat yang bekerja

Lebih terperinci

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dunia farmasi saat ini berkembang dengan pesatnya yang memberikan dampak berkembangnya metode dalam meningkatkan mutu suatu obat. Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaptopril adalah senyawa aktif yang berfungsi sebagai inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) yang banyak digunakan untuk pasien yang mengalami gagal jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tablet adalah sediaan oral dalam bentuk padat yang mengandung bahan aktif dengan atau tanpa bahan tambahan yang sesuai (Departemen Keshatan RI, 2014). Tablet

Lebih terperinci

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan BAB 1 PENDAHULUAN Sediaan Tablet merupakan suatu bentuk sediaan solid mengandung bahan obat (zat aktif) dengan atau tanpa bahan pengisi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Tablet terdapat dalam berbagai ragam,

Lebih terperinci

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi BAB 1 PENDAHULUAN Sampai saat ini, sediaan farmasi yang paling banyak digunakan adalah sediaan tablet, yang merupakan sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkular,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelarutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi nonsteroidal turunan asam propionat yang mempunyai aktivitas kerja menghambat enzim siklooksigenase

Lebih terperinci

Sifat fisika kimia - Zat Aktif

Sifat fisika kimia - Zat Aktif Praformulasi UKURAN PARTIKEL, DISTRIBUSI PARTIKEL BENTUK PARTIKEL / KRISTAL POLIMORFI, HIDRAT, SOLVAT TITIK LEBUR, KELARUTAN KOEFISIEN PARTISI, DISOLUSI FLUIDITAS (SIFAT ALIR), KOMPAKTIBILITAS PEMBASAHAN

Lebih terperinci

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1 Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1 Melibatkan berbagai investigasi bahan obat mendapatkan informasi yang berguna Data preformulasi formulasi sediaan yang secara fisikokimia stabil dan secara biofarmasi

Lebih terperinci

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009). BAB 1 PENDAHULUAN Tablet merupakan bentuk sediaan yang paling popular di masyarakat karena bentuk sediaan tablet memiliki banyak keuntungan, misalnya: massa tablet dapat dibuat dengan menggunakan mesin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tablet merupakan salah satu sediaan farmasi yang sangat digemari, karena bentuknya yang padat, mudah di bawa dan dapat menghasilkan efek yang cepat. Dalam

Lebih terperinci

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, terutama dalam bidang farmasi, memberikan kesempatan pada bagian Research and Development di sebuah industri farmasi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

identik dengan semua campuran unit lainnya dalam campuran serbuk. Metode campuran interaktif dapat digunakan dengan mencampur partikel pembawa yang

identik dengan semua campuran unit lainnya dalam campuran serbuk. Metode campuran interaktif dapat digunakan dengan mencampur partikel pembawa yang BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam peningkatkan mutu dan kualitas suatu obat, terutama di bidang

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Glimepirid (GMP) GMP mempunyai nama kimia 1H pyrrole 1-carboxamide, 3 ethyl 2,5 dihydro 4 methyl N [2[4[[[[(4methylcyclohexyl) amino] carbonyl] amino] sulfonyl] phenyl] ethyl]

Lebih terperinci

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, bentuk sediaan transdermal telah diperkenalkan untuk menyediakan pengiriman obat yang dikontrol melalui kulit ke dalam sirkulasi sistemik (Tymes et al., 1990).

Lebih terperinci

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, penyakit saluran cerna merupakan penyakit yang sangat sering dialami oleh banyak orang karena aktivitas dan rutinitas masingmasing orang, yang membuat

Lebih terperinci

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Al Syahril Samsi, S.Farm., M.Si., Apt 1 Faktor yang Mempengaruhi Liberation (Pelepasan), disolution (Pelarutan) dan absorbtion(absorbsi/difusi)lda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentagamavunon-0 (PGV-0) atau 2,5-bis-(4ʹ hidroksi-3ʹ metoksibenzilidin) siklopentanon adalah salah satu senyawa analog kurkumin yang telah dikembangkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, salah satu penyebab masalah lingkungan hidup yang sering dijumpai adalah limbah. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang kian pesat, produksi limbah juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaptopril merupakan golongan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor yang banyak digunakan sebagai pilihan untuk pengobatan gagal jantung dan hipertensi

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi

Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi Majalah Yandi Syukri Farmasi Indonesia, 15 (1), 37 43, 2004 Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi Characterization

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kulit pisang merupakan bahan buangan limbah buah pisang yang jumlahnya cukup banyak. Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, kulit pisang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Rosmawati, 2016), Penentuan formula tablet floating propranolol HCl menggunakan metode simple lattice design

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan perkembangan dunia dewasa ini, industri farmasi mengalami kemajuan yang pesat.

Lebih terperinci

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL Cl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90S : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh: INDA LUTFATUL AMALIYA K 100040058 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUAMMADIYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk sediaan yang sudah banyak dikenal masyarakat untuk pengobatan adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Dari jenis sediaan obat yang ada, tablet dan jenis-jenis modifikasinya merupakan sediaan yang

Lebih terperinci

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, sintesis obat dengan tingkat kelarutan rendah terus meningkat. Beberapa obat yang kelarutannya rendah seperti ibuprofen, piroxicam, carbamazepine, furosemid

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rute pemberian secara oral merupakan rute yang paling umum digunakan hingga 50 60% dari keseluruhan bentuk sediaan. Bentuk sediaan padat pada umumnya lebih disukai

Lebih terperinci

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam BAB 1 PENDAHULUAN Klorfeniramin maleat merupakan obat antihistamin H 1 Reseptor yang dapat menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos, serta bekerja dengan mengobati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KITSAN Kitosan adalah polimer alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitin adalah polisakarida terbanyak kedua setelah selulosa. Kitosan merupakan polimer yang aman, tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Formulasi Granul Mengapung Teofilin Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula untuk dibandingkan karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Mengapung Verapamil HCl Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih lima formula untuk dibandingkan kualitasnya, seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh: RARAS RUSMININGSIH K 100 040 059 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5% A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Asetosal 150 mg Starch 10% PVP 5% Laktosa q.s Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5% Monografi a. Asetosal Warna Bau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi di bidang farmasi begitu pesat, termasuk pengembangan berbagai

Lebih terperinci

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat terutama dalam bidang industri farmasi memacu setiap industri farmasi untuk menemukan dan mengembangkan berbagai macam sediaan obat. Dengan didukung

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP

PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP Yulias Ninik Windriyati (1), Sugiyono (1), Widhi Astuti (1), Maria Faizatul Habibah (1) 1) Fakultas Farmasi Universitas

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeriksaan Bahan Baku GMP Pada tahap awal penelitian dilakukan pemeriksaan bahan baku GMP. Hasil pemeriksaan sesuai dengan persyaratan pada monografi yang tertera pada

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA

PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI Oleh : ALFA DWI WARSITI K. 100.040.055 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu,

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu, BAB 1 PENDAHULUAN Dalam sistem penghantaran suatu obat di dalam tubuh, salah satu faktor yang penting adalah bentuk sediaan. Penggunaan suatu bentuk sediaan bertujuan untuk mengoptimalkan penyampaian obat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga I. PENDAHULUAN Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari. Lambung merupakan tempat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom

Lebih terperinci

efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan antiinflamasi lainnya. Dosis ibuprofen sebagai anti-inflamasi mg sehari.

efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan antiinflamasi lainnya. Dosis ibuprofen sebagai anti-inflamasi mg sehari. BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini industri farmasi telah tumbuh dan berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut ditandai dengan adanya kemajuan di bidang teknologi farmasi, khususnya dalam pembuatan sediaan

Lebih terperinci

struktur yang hidrofobik dimana pelepasannya melalui beberapa tahapan sehingga dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorpsi (Bushra et al,

struktur yang hidrofobik dimana pelepasannya melalui beberapa tahapan sehingga dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorpsi (Bushra et al, BAB 1 PENDAHULUAN Sediaan farmasi terdapat berbagai macam bentuk berbeda yang didalamnya terkandung suatu bahan obat untuk pengobatan penyakit tertentu. Salah satu bentuk sediaan yang paling populer adalah

Lebih terperinci

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini indutri farmasi berfokus pada pengembangan sistem penghantaran obat secara oral yang menawarkan kepatuhan pasien dan dosis yang efektif. Rute pemberian oral tidak diragukan lagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran lepas lambat sedang dikembangkan untuk mengatasi kekurangan dari sistem penghantaran obat konvensional. Sistem lepas lambat dapat bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ibuprofen merupakan salah satu obat yang sukar larut dalam air dan menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik (Bushra dan Aslam, 2010; Mansouri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meloksikam (MEL) merupakan salah satu obat golongan NSAID yang digunakan sebagai terapi penyakit osteoarthritis dan reumatoid arthritis (Mahrouk dkk., 2009).

Lebih terperinci

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien) Defenisi tablet Berdasarkan FI III : Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, kemajuan dibidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan dalam meningkatkan mutu dan kualitas suatu obat, terutama dibidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Teofilin Rumus Bangun : Nama Kimia : 1,3-dimethylxanthine Rumus Molekul : C 7 H 8 N 4 O 2 Berat Molekul : 180,17 Pemerian : Serbuk hablur, Putih; tidak berbau;

Lebih terperinci

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Contoh difusi : a. Difusi gas b. Difusi air Hukum I Ficks : Q = - D dc/dx Ket : D Q dc/dx = Koofisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, teknologi di bidang farmasi saat ini

Lebih terperinci

KETOKONAZOL TABLET PREFORMULASI DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 (SATU) C S1 FARMASI 2013

KETOKONAZOL TABLET PREFORMULASI DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 (SATU) C S1 FARMASI 2013 KETOKONAZOL TABLET PREFORMULASI DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 (SATU) C S1 FARMASI 2013 Rancangan formula R/ Ketokenazol PVP Amilum Sagu pregelatinasi Avicel ph 102 Tween 80 Magnesium Stearat Talk HOME 200 mg

Lebih terperinci

bahan tambahan yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang baik sehingga dapat dicetak langsung. Pada pembuatan tablet diperlukan bahan

bahan tambahan yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang baik sehingga dapat dicetak langsung. Pada pembuatan tablet diperlukan bahan BAB 1 PENDAHULUAN Tablet merupakan bentuk sediaan padat yang relatif lebih stabil secara fisika kimia dan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang sering dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang farmasi semakin pesat, khususnya dalam pengembangan berbagai macam rancangan sediaan obat. Rancangan sediaan obat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan kristal merupakan persoalan. dalam sediaan suspensi parenteral terutama dalam melewati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan kristal merupakan persoalan. dalam sediaan suspensi parenteral terutama dalam melewati 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan kristal merupakan persoalan serius dalam sediaan suspensi parenteral terutama dalam melewati lubang jarum suntik dan rasa sakit yang ditimbulkan pada saat disuntikkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat adalah suatu bahan baik zat kimia, hewani, maupun nabati dalam dosis yang layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit dan gejalanya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemberian pulveres kepada pasien ini dilakukan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. Pemberian pulveres kepada pasien ini dilakukan dengan cara BAB I PENDAHULUAN A. Pada pelayanan kefarmasian ada berbagai macam bentuk sediaan yang diresepkan oleh dokter untuk pasien, baik berupa sediaan jadi ataupun sediaan racikan. Di Indonesia bentuk sediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kanal kalsium. Nifedipin sering digunakan karena mudah didapatkan dan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kanal kalsium. Nifedipin sering digunakan karena mudah didapatkan dan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nifedipin adalah obat anti hipertensi yang memiliki aksi sebagai antagonis kanal kalsium. Nifedipin sering digunakan karena mudah didapatkan dan juga toksisitasnya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi kelainan musculoskeletal, seperti artritis rheumatoid, yang umumnya hanya meringankan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008 OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN TABLET TEOFILIN DENGAN STARCH 1500 SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DAN NATRIUM ALGINAT SEBAGAI BAHAN PENGHANCUR DENGAN MODEL SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Oleh : YENNYFARIDHA K100040034

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rute pemberian oral merupakan rute yang paling digemari dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Rute pemberian oral merupakan rute yang paling digemari dibandingkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rute pemberian oral merupakan rute yang paling digemari dibandingkan dengan berbagai macam rute pemberian obat lainnya karena pemberiannya mudah sehingga dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di masyarakat kita, banyak ditemukan penyakit kelainan muskuloskeletal

Lebih terperinci

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari. BAB I PENDAHULUAN Saat ini banyak sekali penyakit yang muncul di sekitar lingkungan kita terutama pada orang-orang yang kurang menjaga pola makan mereka, salah satu contohnya penyakit kencing manis atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. Obat ini dapat menyebabkan masalah gastrointestinal

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Samarinda, 5 6 Juni 2015 Potensi Produk Farmasi dari Bahan Alam Hayati untuk Pelayanan Kesehatan di Indonesia serta Strategi Penemuannya PENGARUH ph MEDIUM TERHADAP

Lebih terperinci

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan dalam meningkatkan mutu dan kualitas suatu obat, utamanya di bidang sediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam dunia kesehatan, obat dengan berbagai sediaan sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengobati suatu penyakit. Obat-obatan bentuk padat dapat diberikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tablet merupakan salah satu bentuk sediaan oral berupa sediaan padat, kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: HENI SUSILOWATI K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

SKRIPSI. Oleh: HENI SUSILOWATI K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008 OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN TABLET TEOFILIN DENGAN STARCH 1500 SEBAGAI BAHAN PENGIKAT DAN EXPLOTAB SEBAGAI BAHAN PENGHANCUR DENGAN MODEL SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Oleh: HENI SUSILOWATI K100 040 020

Lebih terperinci

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011).

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011). BAB 1 PENDAHULUAN Obat dapat diberikan kepada pasien melalui sejumlah rute pemberian yang berbeda. Rute pemberian obat dapat dilakukan secara peroral, parenteral, topikal, rektal, intranasal, intraokular,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tablet Tablet adalah sediaan padat, kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Dari jenis-jenis sediaan obat yang ada di pasaran, tablet merupakan bentuk sediaan yang paling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Serbuk Dispersi Padat Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan dihasilkan serbuk putih dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda. Semakin

Lebih terperinci