VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL"

Transkripsi

1 VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL 7.1. Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen basis pengetahuan yang berinteraksi dengan sistem dialog. Hasil keluaran berupa data atau informasi dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dari sistem penunjang keputusan (SPK) AGRIBEST Identifikasi Model Pengembangan Agroindustri Pembangunan peternakan sapi potong di Sumatera Barat selama ini belum mampu meningkatkan perkembangan industri hilir (agroindustri) sapi potong dan belum memenuhi harapan keinginan berbagai pihak yang berkepentingan. Peternak sapi belum mengusahakan ternak sapi potong sebagai usaha utama, terbatasnya akses permodalan untuk menambah jumlah ternak dan seringkali peternak berada pada posisi yang lemah dalam hal pemasaran sapi. Pengembangan wilayah atau daerah masih diperuntukkan sebagai pengembangan komoditi ternak sapi, baik untuk pembibitan atau penggemukkan. Belum berkembangnya agroindustri sapi potong sebagai penggerak dan mempercepat pembangunan peternakan dan perekonomian masyarakat dalam suatu wilayah/daerah memerlukan komitmen dari seluruh stakeholder dalam mengembangkan agroindustri sapi potong terutama pihak pemerintah, pengusaha dan masyarakat di kawasan serta mamberikan solusi penyelesaian konflik yang mungkin terjadi dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Perencanaan pembangunan suatu agroindustri menurut Yusdja dan Iqbal (2002) dalam suatu kebijaksanaan paling tidak mempunyai dua simpul utama, yaitu 1) agroindustri tersebut mampu menggerakkan pembangunan masyarakat di wilayah produksi pertanian, dan 2) mampu mendorong pertumbuhan suplai hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri. Perencanaan pembangunan agroindustri minimal harus mempertimbangkan kelayakan dari sisi teknis, biaya investasi, kelayakan dari sisi ekonomi, kondisi pasar dan pasokan bahan baku serta kelayakan lingkungan fisik dan pertimbangan sosial budaya. Pembangunan agroindustri sapi potong terlebih dahulu dimulai dengan menentukan pola perencanaan pembangunan agroindustri yang sesuai dengan kondisi wilayah/daerah setempat dengan mengidentifikasi model dan elemen

2 penyusunnya. Berdasarkan identifikasi beberapa model perencanaan pengembangan industri/agroindustri dari hasil studi literatur dan perbandingannya dengan model perencanaan pengembangan agroindustri yang dibangun, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komparasi beberapa model perencanaan pengembangan industri/agroindustri Diskripsi Aspek No. Model Perencanaan I Strategi Perencanaan : F A O C L F U N D A U S G T G 1. Evaluasi Faktor Lingkungan 2. Posisi dan Alternatif Strategi 3. Strategi Prioritas II Teknis Perencanaan : 1. Izin Usaha + 2. Pasar 3. Kapasitas/Bahan baku 4. Tenaga kerja/sdm + 5. Lokasi 6. Pengembangan produk (Teknik/Teknologi ) 7. Lingkungan + 8. Manajemen + Pembiayaan : 9. Sumber Pembiayaan Resolusi Konflik : 10. Prioritas Resolusi 11. Penyelesaian Konflik Komitmen dan Kelayakan 12. Komitmen Stakeholder 13. Dampak/Kelayakan Ekonomi 14. Kelayakan Finansial III Evaluasi Model Perencanaan 1. Parameter Penilaian 2. Rule Base / Aturan 3. Penilaian / konsultasi 4 Deskripsi Keputusan Keterangan: FAO - Food and Agricultures HSN - Husnan dan Suwarsono, 2000 Organization, 1972 STY - Sutojo, 2002 CLF - Clifton and Fyffe, 1977 BPP - Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, 2002 UND - UNIDO, 1978 HMG - Haming dan Basalamah, 2003 AUS - Austin, 1981 UMR - Umar, 2003 GTG - Gittinger, 1982 SLD - Sulistyadi, 2005 NTS - Nitisemito dan Burhan, 1990 ASP - Agroindustri Sapi Potong BRW - Brown et.al., Kajian yang dibahas DKP - Dekopin, Persyaratan yang seharusnya sudah ada N T S B R W D K P H S N S T Y B P P H M G U M R S L D A S P Memperhatikan Tabel 1, terlihat jelas bahwa dalam perencanaan pengembangan industri selama ini lebih menekankan secara teoritis kepada kelayakan finansial dalam prospektif kepentingan investor, tidak melihat kelangsungan dari pembangunan industri, manfaat dan biaya terhadap perekonomian dan pertimbangan aspek sosial budaya serta evaluasi model sebagai umpan balik dalam perencanaan yang dibangun. Akibatnya dalam pelaksanaan terjadi kendala-kendala,

3 seperti tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya karena terjadi penyimpangan dan model atau program tidak dapat terlaksana, sehingga tidak tercapai sasaran yang diinginkan dari perencanaan yang dibangun. Di lain pihak Nitisemito dan Burhan (1995) dan Yusdja dan Iqbal (2002) menyatakan bahwa suatu proses pengambilan keputusan untuk dapat diteruskan atau tidak, di samping penekanan kelayakan finansial juga dapat dari sisi kelayakan ekonomi dan mempertimbangkan sosial budaya setempat dalam perencanaan pengembangan agroindustri. Untuk mengurangi terjadinya penyimpangan dari sasaran, pada penelitian ini dirancang evaluasi model perencanaan pada pengembangan agroindustri sapi potong, sehingga dapat mengakomodasikan kepentingan berbagai pihak. Model perencanaan dan evaluasi perencanaan pada pengembangan agroindustri sapi potong yang dibangun agar memenuhi keinginan berbagai pihak, perlu merancang faktor penting dalam menentukan kriteria setiap elemen model perencanaan pengembangan. Model perencanaan dimulai dengan menganalisa faktor eksternal dan faktor internal lingkungan pengembangan usaha sapi potong, merumuskan strategi dan merancang perencanaan dari aspek teknis, pembiayaan, dan resolusi/penyelesaian konflik serta melakukan kelayakan dan evaluasi terhadap perencanaan dalam model pengembangan agroindustri sapi potong Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Industri pertanian (agroindustri) di Sumatera Barat memiliki peluang besar untuk dikembangkan karena Sumatera Barat memiliki keunggulan komparatif dari potensi beberapa komoditi hasil pertanian. Disisi lain, dalam pelaksanaannya terkendala pada beberapa permasalahan, seperti pemanfaatan lahan/tanah ulayat, akses pada sumber pembiayaan, usaha masih skala rumah tangga (mikro), persaingan, mutu, dan ekspor produk mentah. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut perlu disusun rumusan strategi dalam pengembangan agroindustri Sumatera Barat. Perancangan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dilakukan menggunakan pendekatan Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) untuk menentukan prioritas pada penerapan strategi. Prioritas strategi dihasilkan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data rumusan strategi, sistem menajemen basis model, dan sistem menajemen basis pengetahuan pengembangan agroindustri sapi potong. Analisis pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dilakukan terhadap sejumlah aktor (pengusaha swasta, koperasi, kelompok peternak, pemda

4 kabupaten/kota, masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan daerah); berdasarkan prinsip, yaitu (1) potensi dan pemberdayaan masyarakat dengan kriteria (peran masyarakat perantau, kemampuan dan potensi masyarakat); prinsip (2) kepastian status dan fungsi lahan dengan kriteria (kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha, kejelasan fungsi dan penggunaan lahan, kesesuaian perencanaan); prinsip (3) ketersediaan sarana dan prasarana dengan kriteria (infrastruktur, sarana tranportasi, sistem dan prosedur informasi); prinsip (4) kejelasan struktur dan fungsi kelembagaan dengan kriteria (kemampuan sumber daya manusia, struktur organisasi, kewenangan dan tanggung jawab); dan beberapa alternatif strategi pembangunan lumbung (kawasan) agroindustri sapi potong, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan produk dan pengembangan pasar, peningkatan partisipasi investasi perantau, dan peningkatan mutu ternak dan hasil ternak sapi potong. Untuk mendapatkan prioritas strategi keputusan kelompok dilakukan pengolahan menggunakan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) melalui masukan data komparasi tiap hirarki dari pendapat para pakar. Hasil verifikasi model Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) berdasarkan keputusan kelompok untuk fokus (1) pola umum pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan bahwa (2) aktor yang berperan menjadi prioritas dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) pengusaha swasta, 2) koperasi, 3) kelompok peternak, 4) pemda kabupaten/kota, 5) masyarakat setempat, 6) lembaga swadaya masyarakat, dan 7) perusahaan daerah; (3) prinsip dasar yang menjadi urutan prioritas dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) kepastian status dan fungsi lahan, 2) potensi dan pemberdayaan masyarakat, 3) kejelasan struktur dan fungsi kelembagaan, dan 4) ketersediaan sarana dan prasarana; (4) kriteria berdasarkan urutan prioritas dari prinsip prioritas pertama kepastian status dan fungsi lahan, yaitu: 1) kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha, 2) kejelasan fungsi dan penggunaan lahan, 3) kesesuaian perencanaan; dan (5) strategi yang dipilih berdasarkan prioritas, yaitu: 1) pengembangan produk dan pasar, 2) peningkatan partisipasi investasi perantau, 3) pengembangan usaha kecil dan menengah, 4) pembangunan lumbung (kawasan) agroindustri sapi potong, 5) peningkatan mutu ternak dan hasil ternak sapi potong. Hasil analisis pengambilan keputusan pemilihan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menggunakan pemrograman FUZZY-AHAPE ditampilkan pada Gambar 25. Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif strategi yang menjadi prioritas berdasarkan pendapat pakar gabungan adalah strategi pengembangan produk dan

5 pasar pada kawasan sentra peternakan sapi potong yang menjadi lumbung ternak di Sumatera Barat dengan prinsip adanya kepastian status dan fungsi lahan dan kriterianya, yaitu terjadinya kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha, sedangkan aktor yang berperan lebih diprioritaskan dalam pengembangan agroindustri sapi potong adalah pengusaha swasta. Gambar 25. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat Hasil analisis pemilihan strategi prioritas berdasarkan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari pendapat gabungan pakar. Prioritas tertinggi pada pemilihan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terhadap kriteria adalah strategi pengembangan produk dan pasar ditunjukkan dengan nilai 0,2330. Validasi model dilakukan dengan wawancara kepada Prof. Dr. Ir. Arnim, MS. Hasil wawancara diperoleh bahwa strategi pengembangan produk dan pasar cukup sesuai dan dapat diterapkan dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Metode Fuzzy-AHP yang digunakan dalam pengolahan data untuk penetapan strategi pengembangan agroindustri sapi potong merupakan metode baru yang memudahkan bagi pakar dalam melakukan penilaian, berbeda dengan metode AHP, dimana menilai dengan angka-angka dan cukup membingungkan sewaktu pengisian kuisioner. Hirarki hasil analisis pengambilan keputusan pemilihan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat secara rinci disajikan pada Gambar 26.

6 Wawancara untuk validasi model juga dilakukan kepada Djaswir Loewis (Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Impor Cabang Padang). Hasil wawancara diperoleh bahwa strategi pengembangan produk dan pasar untuk produk agroindustri sapi potong sangat cocok diterapkan di Sumatera Barat. Hasil wawancara diketahui bahwa salah satu produk industri makanan yang berasal dari Sumatera Barat, yaitu rendang telah dipatenkan dan diekspor oleh negara tetangga Malaysia dengan nama rendang padang dan produk agroindustri sapi potong dari Sumatera Barat selain rendang yang dapat dikembangkan dan telah diekspor ke Singapura sejak tahun 1995 adalah dendeng kering, sehingga strategi pengembangan produk dan pasar yang terpilih sesuai untuk produk hasil sapi potong. Fokus Pola Umum Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat Pelaku (Aktor) : Perusahaan Daerah Pengusaha Swasta Koperasi LSM Kelompok Peternak Masyarakat Setempat Pemda (Kab/Kota) 0,0645 0,3150 0,2430 0,0690 0,1322 0,0880 0,0883 Prinsip : Potensi dan Pemberdayaan Masyarakat Kepastian Status dan Fungsi Lahan Ketersediaan Sarana dan Prasarana Kejelasan Struktur dan Fungsi Kelembagaan 0,2905 0,3180 0,1883 0,2031 Kriteria : Peran Masyarakat Perantau Kemampuan dan Potensi Masyarakat Kesesuaian Perencanaan Kejelasan Fungsi dan Penggunaan Kesepakatan Penggunaan Lahan Sistem dan Prosedur Informasi Infrastruktur Sarana Transportasi Kemampuan SDM Struktur Organisasi Kewenangan dan Tanggung Jawab 0,2026 0,0879 0,0878 0,0895 0,1407 0,0344 0,0849 0,0691 0,1004 0,0745 0,0282 Strategi : Pembangunan Lumbung (Kawasan) AI Sapi Potong Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pengembangan Produk dan Pasar Peningkatan Partisipasi Investasi Perantau Peningkatan Mutu Ternak dan Hasil Ternak Sapi Potong 0,1971 0,2140 0,2330 0,2282 0,1276 Gambar 26. Hirarki strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat

7 7.4. Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terdiri atas beberapa aspek, yaitu: aspek teknis, sumber pembiayaan, dan resolusi konflik yang terjadi. Hasil penilaian agregatif dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen basis pengetahuan Teknis Perencanaan Aspek teknis yang di disain dalam model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong terdiri atas beberapa submodel, yaitu (1) submodel kelayakan pasar, (2) submodel pengembangan produk, (3) submodel lokasi pengembangan, (4) submodel perencanaan produksi. A. Kelayakan Pasar Pengembangan peternakan sapi potong terutama ditujukan untuk peningkatan populasi dan produksi ternak yang mampu menyediakan protein hewani berupa daging dan bahan baku industri hasil ternak sapi potong. Daging merupakan salah satu produk utama hasil ternak sapi potong. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, permintaan akan kebutuhan daging sapi sebagai sumber protein hewani untuk konsumsi atau olahan (pengawetan) cenderung terus meningkat. Prospek produk agroindustri sapi potong utama berupa daging sangat dipengaruhi oleh fluktuasi permintaan pasar domestik dan pasar luar negeri. Proses prediksi dilakukan dengan mengaktifkan data kelayakan pasar, yaitu permintaan dan potensial pasar. Data permintaan total produk utama hasil ternak daging sapi 13 periode dengan inisialisasi tahun 1993 dihasilkan dari masukan data sekunder Statistik Peternakan Tahun dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat ( ), yakni: (1) data konsumsi per kapita per tahun produk utama hasil ternak daging sapi, (2) data jumlah konsumen produk. Data permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi per kapita disajikan pada Tabel 2. Data permintaan total yang dihasilkan dari Tabel 2 dilakukan prediksi dengan program SAS. Pada Tabel 2 terlihat bahwa permintaan trotal daging sapi untuk kebutuhan konsumsi cenderung meningkat setiap tahunnya. Permintaan total produk utama hasil ternak daging sapi per tahun dihitung menggunakan pendekatan sisi permintaan (demand) berdasarkan kebutuhan per kapita per tahun terhadap jumlah konsumen pengguna produk (Nitisemito dan Burhan, 1995). Data permintaan produk

8 yang diprediksi adalah permintaan total produk tahun 1993 sampai tahun Permintaan total produk merupakan jumlah kebutuhan produk yang dikonsumsi, yaitu hasil perkalian dari jumlah produk yang konsumsi dengan jumlah konsumen setiap tahunnya. Pengolahan data dilakukan berdasarkan metoda prediksi dengan pendekatan time series. Beberapa model prediksi yang digunakan pada penelitian adalah: 1) Exponential Smoothing Method (EXPO); 2) Stepwise Autoregressive Method (STEPAR); dan 3) Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS) (Sitepu dan Sinaga, 2006). Tabel 2. Permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi di Sumatera Barat Jumlah Konsumen/ Konsumsi Permintaan Tahun Pengguna per Kapita Total (orang) (kg/tahun) (kg) , , , , , , , , , , , , , Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat Tahun Metode STEPAR mengkombinasikan kecenderungan waktu (time trend) dengan model autoregressive dan menggunakan metoda stepwise untuk memilih lag yang digunakan pada proses autoregressive, metode EXPO menghasilkan peramalan kecenderungan waktu, tetapi dalam trend yang tepat, parameter-parameter diijinkan untuk dirubah secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu. Dengan pengamatan awal yang diberikan pembobot secara eksponensial menurun, sedangkan metode WINTERS merupakan metode yang mengkombinasikan kecenderungan waktu dengan faktor perkalian musiman dalam menghitung fluktuasi musiman series. Metoda ini juga diijinkan untuk merubah parameter secara berangsur-angsur dari waktu ke

9 waktu, dengan pengamatan awal yang diberikan pembobot secara eksponensial secara eksponensial menurun. Beberapa model prediksi dilakukan, tetapi analisis kelayakan pasar terhadap permintaan total (DEMD) produk yang ditentukan dari jumlah kebutuhan produk yang dikonsumsi (hasil perkalian dari jumlah produk yang konsumsi dan jumlah konsumen) setiap tahun menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan Stepwise Autoregressive Method (STEPAR) terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yakni dengan MAE = ; RMSE = ,9; dan MSE = 4.41E11 merupakan model terbaik dibanding beberepa model prediksi lain. Pengolahan data berdasarkan metoda prediksi time series pada model prediksi Exponential Smoothing Method (EXPO) menghasilkan nilai prediksi dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = ; RMSE = ; dan MSE = 9.79E11. Hasil pengolahan dengan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS) juga dihasilkan nilai prediksi permintaan total dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = ; RMSE = ; dan MSE = 6.36E11. Perbandingan analisa statistik dari beberapa metode prediksi terhadap jumlah konsumen (user) ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat No Metode Prediksi Analisis Statistik ME MAE MPE MAPE RMSE MSE 1. Eksponential Smoothing Method (expo) 2. Stepwise Autoregressive Method (Stepar) 3. Winters Exponentially Smoothed Trend- Seasonal Method (winters) E E E E11 Keterangan: MSE = Mean squared error (Nilai tengah kesalahan kuadrat) RMSE = Root mean squared error (Nilai tengah kesalahan akar kuadrat) MAPE = Mean absolute percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase absolut) MPE = Mean percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase) MAE = Mean absolute error (Nilai tengah kesalahan absolut) ME = Mean error (Nilai tengah kesalahan)

10 Perbandingan analisa statistik dilakukan juga dengan tiga metode prediksi. Perbandingan analisa statistik dari jumlah ketersediaan produk (POTS) ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat No Metode Prediksi Analisis Statistik ME MAE MPE MAPE RMSE MSE 1. Eksponential Smoothing Method (expo) E9 2. Stepwise Autoregressive Method (Stepar) 4.03E E9 3. Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (winters) E9 Keterangan: MSE = Mean squared error (Nilai tengah kesalahan kuadrat) RMSE = Root mean squared error (Nilai tengah kesalahan akar kuadrat) MAPE = Mean absolute percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase absolut) MPE = Mean percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase) MAE = Mean absolute error (Nilai tengah kesalahan absolut) ME = Mean error (Nilai tengah kesalahan) Analisis kelayakan pasar terhadap ketersediaan (POTS) daging sapi yang ditentukan dari jumlah produksi dan permintaan total daging sapi (hasil pengurangan dari jumlah produksi yang dihasilkan dengan permintaan total) setiap tahun menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan Stepwise Autoregressive Method (STEPAR) terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yakni dengan MAE = ; RMSE = ; dan MSE = 4.03E9 merupakan model terbaik dibanding beberepa model prediksi lain. Pengolahan data berdasarkan metoda prediksi time series pada model prediksi Exponential Smoothing Method (EXPO) menghasilkan nilai prediksi dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = ; RMSE = ; dan MSE = 5.41E9. Hasil pengolahan dengan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS) juga dihasilkan nilai prediksi permintaan total dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = ; RMSE = ; dan MSE = 6.23E9. Hasil prediksi permintaan produk dengan Stepwise Autoregressive Method (STEPAR) untuk Tahun ditunjukkan pada Tabel 5. Hasil prediksi tahun

11 2009 sampai 2025 peningkatan permintaan total daging sapi pada Tabel 5 terlihat semakin jelas seiring dengan pertambahan jumlah konsumen atau pengguna. Tabel 5. Hasil verifikasi model prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat Tahun Prediksi Permintaan (Kg) , , , , , , , , , , , , , , Verifikasi model prediksi terbaik digunakan berdasarkan hasil analisa statistik dari beberapa metode prediksi adalah Stepwise Autoregressive Method (Stepar), dimana variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yaitu dengan MAE = ; RMSE = ,9; dan MSE = 4.41E11. Validasi model nyata dilakukan melalui wawancara kepada Prof. Dr. Ir. Arnim, MS (Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang) dan Drh. Erinaldi (Dinas Peternakan Sumatera Barat) yang memberikan gambaran kebenaran kebutuhan akan permintaan produk utama hasil ternak sapi berupa daging sapi di Sumatera Barat yang cenderung meningkat, begitu pula pemotongan sapi, produksi dan konsumsi daging di Propinsi Sumatera Barat menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.

12 B. Perencanaan Pengembangan Produk Agroindustri Sapi Potong Pengembangan produk dari hasil sapi potong saat ini belum berkembang secara optimal. Hasil ternak sapi potong untuk ekspor masih berupa bahan baku yang belum diolah menjadi produk hilir, sehingga nilai tambah terbesar belum dapat diperoleh di dalam negeri. Hal ini terlihat dari ekspor produk dan hasil ternak sapi potong berupa ternak hidup, kulit, tulang dan tanduk. Menurut Sudarjat (2002) peningkatan ekspor ternak dan hasil ternak Indonesia belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena karena penerapan keamanan maksimum terhadap beberapa penyakit ternak dan Harmonized System dan Standard International Trade Classification (HS dan SITC) dari hasil ternak. Produk agroindustri sapi potong dikaji dari pohon industri cukup luas untuk dapat dikembangkan. Sapi potong sebagai penghasil utama daging dan jeroan, hasil ikutannya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan dan non pangan. Produk utama hasil ternak sapi potong adalah daging dan jeroan. Produk sampingnya adalah kulit, lemak, tulang, tanduk, darah, lidah dan otaknya, sedangkan limbahnya berupa isi rumen dan kotoran. Daging sapi dapat dilakukan proses pengolahan dan pengawetan dalam industri. Pengolahan daging sapi untuk produk makanan dan hidangan siap saji yang dihasilkan melalui proses pengolahan adalah daging lumat, ekstrak/esense daging dan daging potongan. Produk dan hasil olahan daging sapi dapat disimpan tahan lama jika dilakukan proses pengawetan melalui proses pendinginan, irradiasi dan pengeringan. Bagian hasil sapi potong yang dimanfaatkan dan diolah dapat dikelompokkan ke dalam empat produk industri, yaitu produk industri makanan, industri kulit, industri pakan dan produk industri pupuk. Produk industri makanan berasal dari olahan bahan baku daging, jeroan, kulit, lidah dan otak sapi. Produk industri kulit berasal olahan kulit, yakni: kulit kalf atau kulit halus/ringan, kulit berat, kulit samak/berbulu, dan kulit perkamen. Produk industri pakan berupa tepung darah, tepung jeroan dan tepung tulang dihasilkan dari darah, jeroan, dan tulang sapi. Kotoran dan isi rumen sapi dijadikan sebagai bahan baku industri pupuk. Dari berbagai produk yang dihasilkan sapi potong baik dari hasil utama daging dan jeroan maupun dari hasil sampingnya, berdasarkan hasil survey dan diskusi dengan pakar di bidang peternakan, diidentifikasi 10 jenis alternatif produk agroindustri sapi potong yang sesuai dan dapat dikembangkan di Sumatera Barat. Produk-produk agroindustri sapi potong yang dapat dikembangkan di Sumatera Barat terbagi ke dalam 4 (empat) kelompok produk industri yang berbeda,

13 yakni: (1) produk industri makanan; (2) produk industri kulit; (3) produk industri pakan; dan (4) produk industri pupuk. Produk dari industri makanan yang dipilih dan sesuai dikembangkan, yaitu 1) sosis, 2) bakso dan 3) abon. 4) rendang; 5) dendeng kering; 6) kerupuk kulit. Produk pengawetan kulit dalam industri kulit adalah 1) kulit lapis dan 2) kulit sol. Produk dari industri pakan berupa produk olahan dari tulang sapi yaitu tepung tulang dan 10) produk dari kelompok industri pupuk, yakni pupuk kandang. Pemilihan produk agroindustri dalam model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong, dikembangkan sesuai dengan strategi yang dihasilkan, yaitu strategi pengembangan produk dan pasar produk agroindustri sapi potong. Model perencanaan produk agroindustri yang dibangun berdasarkan pada beberapa kriteria dari berbagai alternatif produk hasil sapi potong. Analisis pengembangan produk agroindustri sapi potong dilakukan berdasarkan kriteria: potensi pasar, lokasi, bahan baku, sarana produksi, aksesibilitas, dukungan pemerintah, gangguan dan pencemaran lingkungan, peralatan dan alat (teknologi penunjang), dan sumberdaya manusia terhadap produk yang dipilih dan direkomendasikan sebagai pilihan alternatif produk (sosis, bakso, abon, dendeng kering, rendang, kerupuk kulit, kulit lapis, kulit sol, tepung tulang, dan pupuk kandang). Model pengembangan dan pemilihan produk agroindustri sapi potong menggunakan metoda perbandingan eksponensial (MPE). Menurut Marimin (2004) penggunaan MPE dapat menghasilkan nilai alternatif dengan perbedaan yang lebih kontras dari alternatif keputusan yang sulit dibedakan. Metoda ini mempunyai keuntungan untuk mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Model pemilihan pengembangan produk agroindustri sapi potong dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data pengembangan produk, sistem manajemen basis model pengembangan produk, dan sistem manajemen basis pengetahuan pengembangan produk. Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif produk agroindustri sapi potong yang dipilih dikembangkan di Sumatera Barat berdasarkan kriteria yang dipilih hasil pendapat pakar adalah dendeng kering. Hasil analisis pemilihan produk agroindustri sapi potong berdasarkan metoda perbandingan eksponensial (MPE) ditunjukkan oleh nilai skor tertinggi dari pendapat gabungan. Skor tertinggi yang menunjukkan rangking pertama pada pemilihan produk pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terhadap kriteria adalah dendeng kering dengan nilai skor secara eksponensial sebesar ,82. Hasil analisis pemilihan produk agroindustri sapi potong berdasarkan pendapat pakar gabungan ditunjukkan pada Tabel 6.

14 Tabel 6. Hasil verifikasi pengolahan metoda perbandingan eksponensial pemilihan produk agroindustri sapi potong Keterangan kriteria: A. Potensi pasar, F. Dukungan pemerintah, B. Lokasi, G. Gangguan dan pencemaran lingkungan, C. Bahan baku, H. Peralatan dan alat (teknologi penunjang), D. Sarana produksi, I. Sumberdaya manusia. E. Aksesibilitas, Dendeng kering sesuai dan cocok dikembangkan di Sumatera Barat. Dendeng kering umumnya dihasilkan dari Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Solok. Validasi model dilakukan dengan cara wawancara kepada Ir. Fuad Madarisa, MSc (Ketua Tim Konsultan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Sumatera Barat). Hasil wawancara tersebut menyatakan bahwa pengembangan industri dendeng kering sesuai dengan rencana pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang untuk industri di Sumatera Barat. Dendeng kering dari hasil usaha rumah tangga (mikro) dan industri kecil merupakan salah satu produk industri makanan yang dikembangkan sesuai dengan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang dalam penyusunan kawasan sentra peternakan sapi potong di Sumatera Barat khususnya untuk pengembangan industri kecil. Industri makanan yang berkembang lainnya merupakan industri berasal dari hasil tanaman pangan (kerupuk sanjai, kerupuk ubi, aneka makanan dari jagung) dan

15 dari hasil ternak sapi potong (aneka makanan sate, dendeng, rendang, kerupuk kulit, dan aneka kerajinan kulit untuk bahan tas, sepatu), serta industri pakaian jadi. Pengembangan agroindustri dendeng kering sesuai dengan perencanaan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang kawasan sentra produksi khususnya di Agam bagian Timur sebagai pengembangan produk hasil pengolahan industri makanan (Bappeda Propinsi Sumatera Barat, 2000). Hasil wawancara dengan Daswilza, SP, MM (Kepala Seksi Usaha Kecil Menengah, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan, Kabupaten Agam) menyimpulkan bahwa usaha dendeng kering dan makanan olahan lain dari hasil sapi potong terutama untuk usaha kecil (industri kecil) sesuai dengan program pemerintah Kabupaten Agam sebagai pengembangan industri hilir dari komoditi sapi potong. C. Perencanaan Lokasi Pengembangan Pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong dilakukan menggunakan metoda faktor peringkat (Factor-Rating Method). Pengambilan keputusan suatu lokasi didasarkan pada rating tertinggi dari skor terbobot gabungan hasil penilaian para pakar. Skor terbobot diperoleh berdasarkan urutan tingkat kepentingan setiap faktor/kriteria dan skala faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi pengembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi pengembangan agroindustri, yaitu: (1) kondisi wilayah belakang (hinterland), (2) lokasi strategis, (3) infrastruktur dan teknologi, (4) ketersediaan jaringan utilitas, (5) masalah lingkungan sosial budaya, (6) ketersediaan sumberdaya manusia, (7) jaminan keamanan, (8) pemasok bahan baku, dan (9) kondisi iklim dan topografi. Pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ditentukan dari kabupaten yang memiliki kawasan peternakan sapi potong atau lumbung ternak nagari di Sumatera Barat menurut Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat (2002; 2007), yaitu: (1) Kabupaten Lima Puluh Kota, (2) Kabupaten Agam, (3) Kabupaten Swl Sijunjung (Dharmasraya), (4) Kabupaten Tanah Datar, (5) Kabupaten Solok, (6) Kabupaten Padang Pariaman, (7) Kabupaten Pesisir Selatan, dan (8) Kabupaten Pasaman Barat. Deskripsi masing-masing lumbung ternak nagari disajikan pada Lampiran 8. Hasil verifikasi model pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan bahwa Kabupaten Agam memiliki total nilai skor terbobot terbesar dan peringkat pertama yang merupakan keputusan kelompok hasil penilaian pakar gabungan. Hasil verifikasi model perencanaan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditunjukkan pada Tabel 7.

16 Tabel 7. Hasil verifikasi metoda faktor peringkat (factor-rating method) pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong Keterangan Kriteria: A. Kondisi wilayah belakang (hinterland) B. Lokasi strategis C. Infrastruktur dan teknologi D. Ketersediaan jaringan utilitas E. Masalah lingkungan sosial budaya F. Ketersediaan sumberdaya manusia G. Jaminan keamanan H. Pemasok bahan baku I. Kondisi iklim dan topografi. Validasi model pemilihan lokasi pengembangan dilakukan melalui komunikasi kepada Ir. Fuad Madarisa, MSc (Ketua Tim Konsultan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Sumatera Barat) yang menyimpulkan bahwa wilayah Kabupaten Agam bagian Timur berada pada posisi strategis, memiliki infrastruktur dan ketersediaan jaringan utilitas, dekat dengan pasar perdagangan Sumatera tengah (Sumbar, Riau, Jambi) dan pasar wisata untuk pengembangan bagi industri kecil makanan olahan hasil sapi potong. Wilayah Agam bagian Timur merupakan kawasan sentra produksi (KSP) peternakan sapi potong pada tahun 2000 yang diberi nama KSP Koto Hilalang. Pada KSP Koto Hilalang terdapat kelompok-kelompok peternak sapi potong yang berhasil dalam pengelolaan dan pengembangan kemampuan usaha kelompok dengan pembinaan instansi/dinas terkait. Sebelumnya kawasan pada wilayah Agam bagian Timur ini dijadikan sebagai wilayah organic farming yang

17 mengintegrasikan pemanfaatan hasil samping pengembangan sapi potong dengan usaha tanaman pangan dan hortikultura. Populasi sapi di Kabupaten Agam tahun 2006 berjumlah ekor. Pada kawasan Agam bagian Timur Kabupaten Agam yang terdiri dari Kecamatan IV Angkat Candung, Baso, Tilatang Kamang dan Kecamatan Kamang Magek memiliki konsentrasi populasi sapi lebih banyak dari kecamatan lainnya. Persentase jumlah sapi betina adalah 55,67 persen dari populasi sapi potong. Pemotongan sapi pada tahun 2006 di Kabupaten Agam adalah sebesar ekor dengan produksi daging sebesar Kg. Rumah tangga pemelihara sapi potong sebanyak kepala keluarga. Dari realisasi kegiatan inseminasi buatan (IB) pada tahun 2006 di realisasi akseptor Kabupaten Agam, sebanyak ekor dari target ekor. Realisasi IB sebanyak dosis (100 persen dari target) dengan tingkat kelahiran ekor. Faktor-faktor yang paling berpengaruh berdasarkan bobot rata-rata hasil penilaian pakar adalah faktor lokasi strategis dan faktor infrastruktur dan teknologi, kemudian diikuti dengan kondisi wilayah belakang (hinterland) dan faktor ketersediaan sumber daya manusia. Pada tahun 2002, lokasi di kawasan Agam bagian Timur Kabupaten Agam menjadikan komoditi sapi potong sebagai bisnis utama dalam pengembangan kawasan agropolitan di Sumatera Barat (Pemerintah Kabupaten Agam, 2002a). Kawasan agropolitan di Kabupaten Agam merupakan kawasan agropolitan yang pertama di Sumatera Barat. Sebagai kawasan peternakan dengan sapi potong yang menjadi produk unggulan, kawasan ini memiliki akses dan utilitas pada fasilitas pendukung untuk pengembangan sapi potong, seperti tersedianya pos inseminasi buatan (IB), petugas inseminator, pemeriksa kebuntingan dan kesehatan dan penyuluh di Kecamatan IV Angkat, Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) di Kecamatan Baso, jaringan telekomunikasi, alat transportasi dengan jalan yang lancar di setiap nagari, sehingga kawasan dijadikan sebagai wilayah pasar bagi produk hasil ternak sapi potong. Usaha pengembangan sapi potong turut mendorong tumbuhnya usaha/industri penyamakan kulit, industri makanan, dan industri pupuk organik. Berdasarkan hasil evaluasi pengembangan pendamping usaha bagi kelompok pengolahan hasil peternakan bahwa Kabupaten Agam (Kecamatan Tilatang Kamang) merupakan konsentrasi pengolahan hasil peternakan sapi potong bagi kelompok usaha dendeng (Dinas Peternakan Propinsi Sumbar, 2006a). Hasil kajian ulang beberapa komoditi untuk profil komoditi unggulan Kabupaten Agam Tahun 2000 (Pemerintah Kabupaten Agam, 2000), komoditi sapi potong dan hasil produk

18 olahannya ditetapkan sebagai komoditi dan produk unggulan dari sub sektor peternakan di Kecamatan IV Angkat, Candung dan Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Industri pengolahan produk hasil sapi potong yang berkembang di kawasan sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Agam merupakan usaha dari industri kecil yang masuk ke dalam kelompok industri makanan. Berdasarkan perkembangan industri kecil dari data statistik, jumlah industri kecil di Kabupaten Agam pada tahun 2004 berjumlah unit yang tersebar di beberapa kecamatan yang kebanyakan merupakan industri pengolahan makanan. Jumlah industri kecil tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2000 jumlah industri kecil di Kabupaten Agam sebanyak unit, kemudian tahun 2001 meningkat menjadi unit. Pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi unit dan setahun kemudian tahun 2003 meningkat menjadi unit. Industri kecil yang tersebar dalam beberapa kecamatan dalam kawasan sentra pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Agam memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding kecamatan lain di luar kawasan. Kecamatan-kecamatan yang berada dalam kawasan sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Agam tersebut, yakni: Kecamatan IV Angkat memiliki industri kecil sebanyak unit, Candung sebanyak 7 unit, Baso memiliki sebanyak 235 unit, Tilatang Kamang sebanyak 577 unit dan Kecamatan Kamang Magek sebanyak 5 unit (BPS Kabupaten Agam, 2004). D. Perencanaan Kapasitas Produksi Sesuai dengan strategi pengembangan produk dan pasar serta produk agroindustri sapi potong yang dipilih adalah dendeng kering, maka dirancang pengembangan produk dendeng kering dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku daging sapi. Dalam rancangan, proses pengeringan dendeng kering dilakukan dengan menggunakan oven pengering yang berbahan bakar gas (elpiji), sehingga proses pengeringan dapat lebih cepat dibanding menggunakan sinar matahari. Proyeksi produksi dendeng kering, didasarkan pada perencanaan kapasitas produksi menggunakan pendekatan metoda titik impas/pulang pokok (BEP). Perencanaan kapasitas BEP dipengaruhi oleh biaya variabel per unit, biaya tetap yang dikeluarkan dan harga jual produk per unit. Berdasarkan asumsi kebutuhan daging sapi sebesar kg per tahun, membutuhkan biaya variabel untuk pengolahan daging sapi dalam membuat dendeng kering sebesar Rp ,- per tahun atau sebesar Rp ,- per kg daging sapi,- Biaya tersebut terdiri dari

19 biaya bahan baku, biaya bahan tambahan, upah tenaga kerja langsung, gaji pegawai, biaya kemasan dan biaya listrik, air dan telepon. Biaya variabel pengolahan daging sapi menjadi produk dendeng kering disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Biaya variabel produksi dendeng kering No. Komposisi Biaya Variabel Jumlah Biaya (Rp) Biaya / Kg (Rp) 1 Bahan baku dan tambahan Upah tenaga kerja langsung Gaji pegawai Kemasan Listrik, air, telepon Total Biaya variabel per unit diperoleh dari biaya variabel dendeng kering per kg yang ditentukan oleh biaya variabel dalam memproduksi dendeng kering sebanyak satu kg. Diketahui rendemen dendeng kering sebesar 35,5% (Gambar 33), artinya untuk menghasilkan setiap kg dendeng kering dibutukan bahan baku sebesar 2,8 kg daging termasuk bumbunya. Rendemen dendeng kering 35,5% diperoleh berdasarkan perhitungan neraca massa dari daging sapi mempunyai kadar air sebesar 72,4%, kadar air campuran daging dan bumbu sebesar 71,6% (Purnomo, 1997) dan kadar air dendeng kering mutu I dan mutu II sebesar 12% (Palupi, 1986; SNI, 1992). Berdasarkan biaya pengolahan per kg daging sapi sebesar Rp ,- dan untuk menghasilkan setiap kg dendeng kering dibutukan bahan baku daging dan bumbunya sebesar 2,8 kg, diperoleh biaya variabel produksi dendeng kering sebesar Rp ,- setiap kg. Biaya tetap yang dibutuhkan dalam industri dendeng kering sebesar Rp ,- per tahun. Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan, perbaikan dan pemeliharaan, biaya pemasaran yang tetap, dan biaya administrasi yang tetap. Kapasitas produksi BEP industri dendeng kering diperoleh berdasarkan pada kebutuhan biaya variabel per kg dendeng kering sebesar Rp ,- per kg, biaya tetap sebesar Rp ,- per tahun dan asumsi harga jual BEP dendeng kering sebesar Rp ,- per kg, dengan menggunakan persamaan (14). Kapasitas produksi BEP diperoleh sebesar ,98 kg dendeng kering, dalam perhitungan dibulatkan menjadi kg. Pada kapasitas produksi sebesar kg per tahun

20 perusahaan tidak mengalami kerugian. Hasil perhitungan kapasitas produksi minimal (kapasitas BEP) disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil verifikasi kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering Perencanaan kapasitas produksi yang dirancang berdasarkan pada kapasitas produksi minimal (kapasitas BEP = kg), yaitu sebesar 5 persen sampai 20 persen di atas kapasitas BEP dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku daging sapi. Kapasitas produksi dendeng kering pada tahun pertama diatur sebesar 5 persen di atas kapasitas BEP (105 persen), tahun ke dua 110 persen, dan tahun ke tiga sampai ke sepuluh dengan kapasitas 120 persen. Pengaturan perencanaan kapasitas produksi dalam program disajikan pada Tabel 10. Perencanaan kapasitas produksi dendeng kering dalam operasional, tahun pertama dirancang 5 persen di atas kapasitas BEP, yaitu sebesar kg per tahun. Tahun ke dua 10 persen di atas kapasitas BEP, yaitu sebesar kg per tahun. Tahun ke tiga sampai tahun ke dua puluh kapasitas terpasang sebesar 20 persen di atas kapasitas produksi BEP, yakni sebesar kg per tahun.

21 Tabel 10. Proyeksi perencanaan kapasitas produksi dendeng kering E. Pembiayaan Pengembangan Agroindustri Perkiraan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menggunakan metoda Fuzzy investment model dengan kaidah logika fuzzy semi numerik. Pengambilan keputusan didasarkan pada rata-rata dari sensor agregasi dari hasil defuzzifikasi agregasi penilaian pakar setelah melalui proses fuzzifikasi dan fuzzy komputasi. Penilaian pakar menggunakan nilai label linguistik (kualitatif), yaitu: Sangat Tinggi (ST), Tinggi (T), Sedang (S), Rendah (R), Sangat Rendah (SR). Nilai selang label lingusitik (nilai fuzzy) antara 0 sampai 200, yaitu: SR = 0 40; R = 30 80; S = ; T = ; ST = , sedangkan bobot derajat keanggotaannya, yaitu: SR = 0,0 0,2; R = 0,1 0,4; S = 0,3 0,6; T = 0,5 0,8; ST = 0,7 1,00. Verifikasi model perkiraan pemilihan pembiayaan dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan penilaian pakar gabungan menghasilkan perbankan konvensional menduduki skala Tinggi (T) sebagai sumber pembiayaan dengan nilai hasil defuzzifikasi sebesar 144,44. Hasil verifikasi model pemilihan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, ditunjukkan pada Tabel 11.

22 Tabel 11. Hasil verifikasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong Keterangan Alternatif Pembiayaan: 1. Perbankan Konvensional 2. Perbankan Syariah 3. Bagi Hasil Saduoan (Dipasaduoaan). Validasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong dilakukan melalui wawancara kepada H. Masni Arifin (Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) / Lumbung Pitih Nagari (LPN) Panampung) Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam menyatakan bahwa sistem kredit perbankan konvensional masih sering digunakan kreditor karena prosesnya relatif lebih mudah dan praktis serta jangkauannya menyentuh masyarakat nagari dalam batas wilayah pemerintahan nagari. Program pemerintah dalam mengembangkan usaha peternakan sapi sampai saat ini masih menggunakan fasilitas perbankan konvensional dalam memfasilitasi pemberian kredit seperti dalam penyaluran dana investasi perantau bagi pengembangan peternakan sapi potong dan pemberian kredit modal usaha kepada peternak sapi dilakukan melalui kredit perbankan konvensional dengan bunga kredit sebesar 6 persen per tahun dan waktu pengembalian selama 2 x 18 bulan atau selama 3 tahun (Noer-TA, 2002). Kredit perbankan konvensional di BPR Panampung Kabupaten Agam untuk pengembangan ternak sapi potong diberikan dalam bantuan tambahan modal pembelian sapi bibit yang dimulai sejak tahun 2000 pada implementasi pembentukan kawasan sentra produksi Koto Hilalang Kabupaten Agam

23 dan berkembang penyalurannya sampai tahun 2006 kepada kelompok-kelompok peternak sapi potong. Pemberian kredit dalam pengembangan kawasan sentra produksi peternakan dan pengembangan kawasan terpadu dalam bidang peternakan di Sumatera Barat pada tahun 2000 sebesar Rp ,- (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumbar, 2001). Pemerintah Kabupaten Agam pada Tahun Anggaran 2001 memberikan bantuan kredit modal lanjutan dalam pengembangan kawasan sentra produksi peternakan sapi potong sebesar Rp ,- yang penyalurannya bekerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat/LPN Panampung IV Angkat kepada kelompok peternak sapi potong (Noer-TA, 2002) Resolusi Konflik Pengembangan Agroindustri Sapi Potong A. Prioritas Resolusi Perancangan model resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat yang kemungkinan akan terjadi atas pemanfaatan aset ulayat dilakukan menggunakan pendekatan Fuzzy-AHP untuk menentukan prioritas penyelesaian. Prioritas resolusi dihasilkan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data resolusi konflik, sistem menajemen basis model, dan sistem menajemen basis pengetahuan resolusi konflik dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Analisis resolusi konflik dalam perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dilakukan berdasarkan beberapa hal yang menjadi faktor penentu (perundingan di luar pengadilan, kesepakatan yang disyahkan oleh pengadilan, kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat, kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri, terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan keponakan); dengan aktor/pelaku (pemerintahan nagari, kerapatan adat nagari, ninik mamak dalam kaum, pengadilan negeri, pihak industri atau pengelola aset/tanah ulayat, pemegang otoritas aset adat/tanah ulayat); dan beberapa alternatif penyelesaian/resolusi (penyelesaian konflik/kompromi dan mufakat di luar pengadilan, kesepakatan tertulis yang disyahkan oleh pengadilan negeri, kompensasi atau kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, menggunakan prinsip adat diisi limbago dituang, tukar guling penggunaan aset ulayat, kesesuaian pembagian saham di dalam kaum). Hasil analisis pengambilan keputusan prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan pemrograman FUZZY-AHAPE ditampilkan pada Gambar 27.

24 Metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) digunakan dalam pengolahan data untuk mendapatkan prioritas resolusi (penyelesaian) konflik keputusan kelompok melalui masukan data komparasi tiap hirarki dari para pakar. Hasil verifikasi model Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) berdasarkan keputusan kelompok untuk fokus pada pola umum model resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan, bahwa faktor penentu yang menjadi prioritas penyelesaian konflik dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri, 2) kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat, 3) terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan keponakan, 4) kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, 5) perundingan di luar pengadilan, 6) kesepakatan yang disyahkan oleh pengadilan. Gambar 27. Hasil analisis prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat Aktor yang berperan menjadi urutan prioritas penyelesaian terjadinya konflik dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) ninik mamak dalam kaum yang bersangkutan, 2) pemegang otoritas aset adat/tanah ulayat, 3) kerapatan adat nagari (KAN), 4) pihak industri atau pengelola aset/tanah ulayat, 5) pemerintahan nagari, 6) pengadilan negeri; dan resolusi/penyelesaian konflik yang dipilih berdasarkan prioritas, yaitu: 1) kesesuaian pembagian saham di dalam kaum, 2) mengunakan prinsip adat diisi limbago dituang, 3) kompensasi atau kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, 4) penyelesaian konflik/kompromi dan mufakat di luar pengadilan, 5) kesepakatan tertulis yang disyahkan oleh pengadilan negeri, 6)

25 tukar guling penggunaan aset ulayat. Hirarki resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditunjukkan pada Gambar 28. Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif resolusi/penyelesaian konflik yang menjadi prioritas berdasarkan pendapat pakar gabungan adalah kesesuaian pembagian saham di dalam kaum dan industri, dengan pelaku/aktornya adalah ninik mamak dalam kaum yang bersangkutan berdasarkan faktor penentu kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri. Hasil analisis pemilihan prioritas resolusi/penyelesaian konflik berdasarkan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari pendapat gabungan pakar. Dengan adanya kesepakatan pembagian saham dengan pihak industri, prioritas tertinggi pada pemilihan resolusi konflik dalam penggunaan lahan (tanah ulayat) pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat adalah kesesuaian pembagian saham di dalam kaum dengan nilai 0,3290. Fokus : Model Pola Umum Resolusi Konflik Stakeholders Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat 1,0000 Faktor penentu : Perundingan diluar pengadilan 0,0747 Kesepakatan yang disyahkan pengadilan 0,0387 Kesediaan industri memberikan sebagian keuntungan nya 0,1455 Kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat 0,1859 Kesepakatan pembagian saham didalam kaum dan industri 0,3793 Terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan kemenakan 0,1759 Pelaku (Aktor) : Pemerintahan Nagari 0,1166 Kerapatan Adat Nagari (KAN) 0,1442 Ninik Mamak dalam kaum 0,2447 Pengadilan Negeri 0,1051 Pihak Industri/ Pengelola Aset (Tanah Ulayat) 0,1456 Pemegang otoritas aset adat (Tanah Ulayat) 0,2438 Resolusi : Penyelesaian konflik diluar Pengadilan (kompromi dan mufakat) 0,1191 (4) Kesepakatan tertulis yang disyahkan pengadilan negeri 0,1028 (5) Kompensasi /Kesediaan pihak industri memberikan sebagian keuntungannya 0,1421 Mengunakan prinsip Adat Diisi Limbago Dituang 0,2035 Tukar guling penggunaan aset adat 0,1011 (3) Gambar 28. Hirarki resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat (2) (6) Kesesuaian pembagian saham di dalam kaum 0,3314 (1) Validasi model dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Djaswir Loewis (Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Cabang Padang) dan

26 Drs. Bachzan Tidor Dt. Bandaro (Penghulu Kaum Suku Caniago, Nagari Guguk Solok) yang menyatakan bahwa keikutsertaan peternak/petani dalam pemanfaatan lahan (tanah ulayat) oleh industri adalah dengan memberikan saham kepemilikan sesuai dengan nilai dari aset mereka selama dipakai. Pembagian saham berdasarkan kepada kesepakatan antara pengelola dan pemegang hak ulayat. Apabila terjadi persoalan di dalam suatu kaum atas sesuatu hal dan menjadi perselisihan (pembagian saham di dalam kaum), maka persoalan tersebut terlebih dahulu diselesaikan olah kaum yang bersangkutan. B. Resolusi Konflik Penyelesaian (resolusi) konflik antara pemegang hak dengan pengelola (industri) atas pemanfaatan tanah/lahan ulayat yaitu adanya kesepakatan untuk keikutsertaan pemegang hak ulayat dalam memiliki saham dalam pembangunan industri. Besarnya nilai kepemilikan saham ditentukan oleh besarnya nilai lahan/tanah ulayat yang digunakan dalam pembangunan industri. Hasil kesepakatan diperoleh nilai per meter lahan/tanah ulayat adalah Rp ,- antara pihak industri dan pemegang hak ulayat. Pemegang hak ulayat dengan lahan atau tanah yang dimiliki seluas 400 M2, memiliki nilai saham yang sebesar Rp ,- atau 16,97 % dari total modal perusahaan sebesar Rp ,- sedangkan nilai saham pengelola lahan/tanah ulayat/investor (pihak industri) sebesar 83,03 % dari total modal perusahaan atau sebesar Rp ,-. Bagi hasil usaha diperoleh setiap tahun setelah perusahaan mendapatkan keuntungan berdasarkan persentase kepemilikan saham dari laba bersih yang dihasilkan selama perusahaan berjalan Komitmen stakeholders Pengembangan agroindustri sapi potong sangat tergantung dari usaha peternakan sapi potong dalam persediaan bahan baku. Rencana pengembangan agroindustri sapi potong terlihat dari komitmen stakeholders dalam pengembangan peternakan sapi potong. Analisis model komitmen stakeholders dengan metoda Multi- Expert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) digunakan dalam penilaian perkiraan komitmen dari pemerintah daerah, pelaku bisnis, dan masyarakat (stakeholders) terhadap perkembangan lumbung ternak dan rangka pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.

27 Metoda fuzzy ME-MCDM merupakan metoda analisis non numerik. Pengambilan keputusan didasarkan pada evaluasi hasil perhitungan agregasi kriteria dan agregasi pakar terhadap alternatif keputusan. Penilaian oleh pakar menggunakan nilai label linguistik, yaitu: ST = Sangat Tinggi, T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah, SR = Sangat Rendah. Hasil verifikasi model penilaian komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil verifikasi model komitmen stakeholder pengembangan agroindustri sapi potong Keterangan alternatif komitmen: 1. Pengembangan kawasan sentra peternakan sapi potong 2. Pengembangan unit usaha kecil 3. Pelayanan kebutuhan sarana dan sumberdaya manusia 4. Penyerahan kewenangan ke kab/kota dalam mempercepat pembangunan peternakan. Verifikasi model perkiraan penilaian komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan nilai agregasi kriteria-pakar gabungan, diperoleh komitmen pengembangan unit usaha kecil lebih tinggi dari alternatif lain. Validasi model penilaian komitmen dilakukan melalui wawancara kepada Ir. Afriadi Laudin, MSi (Kepala Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Sumatera Barat) menyatakan langkah-langkah yang perlu dalam perencanaan pembangunan untuk mengembangkan suatu produk/komoditi diperlukan adalah komitmen yang tinggi dalam menyediakan dukungan secara penuh terhadap

28 pelaksanaan program yang mendorong bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan aktif dalam mengembangkan usaha Kelayakan Ekonomi Analisis model kelayakan (dampak) ekonomi dengan metoda Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) digunakan untuk melihat kelayakan dari sisi manfaat dan biaya terhadap pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Metoda fuzzy ME-MCDM merupakan metoda analisis non numerik yang penilaiannya melalui perhitungan agregasi kriteria dan agregasi pakar disetiap alternatif penilaian. Skala penilaian yang digunakan, yaitu 1. ST = Sangat Tinggi, 2. T = Tinggi, 3. S = Sedang, 4. R = Rendah, dan 5. SR = Sangat Rendah. Hasil verifikasi model penilaian komitmen pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil verifikasi model kelayakan ekonomi (manfaat dan biaya) terhadap pengembangan agroindustri sapi potong Keterangan alternatif kelayakan ekonomi: 1. Manfaat langsung (direct benefits) 2. Manfaat tidak langsung (indirect benefits) 3. Manfaat tidak kentara (intangible benefits) 4. Biaya tidak langsung (indirect costs)

29 Verifikasi model kelayakan (dampak) ekonomi dari hasil penilaian agregasi kritaria - pakar dari analisis Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) ternyata manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dinilai lebih tinggi dampaknya dari manfaat tidak kentara dan biaya tidak langsung akibat pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Dengan adanya manfaat langsung dan tidak langsung terhadap dampak pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, maka secara ekonomi, pengembangan agroindustri sapi potong layak untuk dikembangkan. Validasi model kelayakan ekonomi dilakukan melalui wawancara kepada Novrial, SE, MA (Kepala Bidang Produksi dan Sarana Perekonomian Bappeda Sumatera Barat) menyatakan secara umum berdasarkan kriteria-kriteria dalam kelayakan ekonomi dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian masyarakat Sumatera Barat dengan mengembangkan agroindustri sapi potong Kelayakan Finansial Pembangunan agroindustri hasil produk sapi potong dendeng kering direncanakan pada tahun 2008 dengan skala usaha kecil sesuai dengan prioritas program pemerintah, potensi dan kemampuan pengusaha dendeng kering yang membutuhkan daging sapi sebanyak kg per tahun, atau 100 kg daging sapi per hari. Berdasarkan kebutuhan bahan baku sebesar kg per tahun diperoleh kapasitas produksi titik impas sebesar kg dendeng kering per tahun. Pada produksi titik impas tersebut membutuhkan alokasi investasi senilai Rp ,- (Tiga ratus sembilan puluh dua juta delapan ratus lima puluh lima ribu tiga ratus rupiah). Hasil verifikasi kelayakan finansial produk dendeng kering pada kapasitas produksi 5, 10 dan 20 persen di atas kapasitas BEP, harga jual dendeng kering sebesar Rp ,- per kg menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp ,-; Tingkat kemampulabaan internal (IRR) sebesar 49,87 persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal (PBP) selama 2,15 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,12. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pembangunan agroindustri hasil produk olahan sapi potong dendeng kering secara finansial dinyatakan layak. Hasil analisis sensitivitas dengan memperkirakan semua biaya variabel naik 9 persen menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp. ( ),-; Tingkat kemampulabaan internal (internal rate of return, IRR) sebesar 8,60 persen; Pemulihan

30 investasi atau tahun kembali modal (payback method, PBP) selama 6,16 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,03. Pada kondisi tersebut secara analisis finansial usaha industri dendeng kering sudah tidak layak. Validasi kapasitas produksi agroindustri hasil produk olahan sapi potong dendeng kering berdasarkan wawancara dengan pengusaha dendeng sapi di Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh Bukittinggi dan Kecamatan Baso Kabupaten Agam dengan Kelompok Bina Maju dan Usaha Pengolahan Daging dan Sapi Jorong Koto Tangah IV Nagari Pandan Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam (2007), bahwa selama ini usaha mereka tetap berjalan dengan produksi dendeng kering sebesar 25 kg sampai 50 kg per minggu. Penilaian evaluasi model KBMS dilakukan oleh drh. Erinaldi dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat bahwa tingkat kelayakan produk agroindustri sapi potong (dendeng kering) tersebut dinilai tinggi, sehingga layak untuk dikembangkan Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Evaluasi model perencanaan dilakukan dengan menggunakan metoda Fuzzy dengan kaidah IF THEN Rule di dalam sistem manajemen basis pengetahuan (knowledge base management system, KBMS). KBMS merupakan akuisisi pendapat pakar ke dalam sistem pakar. Penilaian pakar merupakan acuan dalam model evaluasi dari model perencanaan yang telah dihasilkan. Hasil keputusan evaluasi merupakan keputusan setelah dilakukan verifikasi dan validasi terhadap model yang telah dirancang. Keputusan akan memberikan umpan balik apakah model yang dirancang sesuai dengan harapan atau perlu dilakukan perbaikan. Model KBMS terdiri dari 1) input parameter, yaitu merupakan hasil analisis model perencanaan yang dijadikan sebagai masukan model dalam parameter yang akan dievaluasi, 2) deskripsi keputusan evaluasi, 3) masukan/input aturan (rule base) model yang menghasilkan rule base model, 4) aturan (rule base), dan 5) sistem dialog (lembar konsultasi). Berdasarkan data hasil verifikasi model strategi dan model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong dijadikan sebagai input parameter di dalam model KBMS seperti ditunjukkan pada Tabel 14. Data evaluasi model perencanaan yang digunakan adalah data hasil dari analisis strategi pengembangan, hasil analisis teknis perencanaan (pemilihan produk dan lokasi, ketersediaan bahan baku dan perencanaan kapasitas produksi), sumber pembiayaan, nilai bagi hasil dari kepemilikan saham, serta dilengkapi penilaian komitmen dari stakeholder, kelayakan/dampak ekonomi dan kelayakan finansial. Hasil

31 analisia model perencanaan tersebut dijadikan sebagai data untuk input parameter, acuan untuk data aturan (rule base) penilaian, perumusan alternatif keputusan evaluasi (deskripsi evaluasi) serta penilaian untuk konsultasi dan sistem dialog pakar menggunakan software KBMS. Tabel 14. Input parameter evaluasi KBMS model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong. Parameter yang digunakan merupakan dasar masukan aturan (input rule) yang menghasilkan alternatif aturan (rule) dan deskripsi keputusan evaluasi. Rule base evaluasi model perencanaan menggunakan metoda if then rule dengan pilihan kombinasi AND atau OR. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat disajikan pada Tabel 15. Hasil yang diperoleh dari penerapan Model AGRIBEST akan dievaluasi dengan Knowledge Base Manajemen System (KBMS), sehingga memberikan

32 keputusan evaluasi untuk tindakan yang akan dilakukan. Apabila dalam operasi model teridentifikasi strategi terpilih dan aspek teknis perencanaan serta komitmen dan kelayakan dinilai kurang atau rendah maka model perencanaan pengembangan yang dirancang tidak diteruskan. Penelitian terhadap alternatif strategi yang lain akan menjadi keputusan evaluasi jika strategi terpilih dan aspek teknis perencanaan dinilai rendah atau kurang dan penilaian komitmen dan analisa kelayakan cukup, tetapi jika penilaian komitmen dan analisa kelayakan dinilai tinggi perlu evaluasi elemen model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong. Tabel 15. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong Rincian Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan berdasarkan penilaian dari parameter yang telah diidentifikasi dan disajikan dalam Lampiran 5.

METODA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

METODA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian IV. METODA PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Komoditi sapi potong merupakan sumber daya lokal yang sangat potensial dikembangkan di Sumatera Barat. Pengembangan sapi potong di Sumatera

Lebih terperinci

VI. PERMODELAN SISTEM PERENCANAAN

VI. PERMODELAN SISTEM PERENCANAAN VI. PERMODELAN SISTEM PERENCANAAN 6.1. Susunan Model Perencanaan Perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terdiri atas beberapa model. Perencanaan dimulai dengan menganalisis

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 42 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Pemerintah daerah Sumatera Barat dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah melakukan upaya memperbaiki perekonomian dengan menfokuskan pengembangan

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG

MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG VIII. MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG 8.1. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Sumatera Barat Mendisain model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di suatu daerah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala 50 III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 3.1.1 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala a. Penentuan Kriteria dan Alternatif : Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan

Lebih terperinci

Sistem Manajemen Basis Data

Sistem Manajemen Basis Data 85 KONFIGURASI MODEL Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pengembangan Agrokakao bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumsi daging dan produk-produk peternakan dalam negeri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan dan daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian pendirian agroindustri berbasis ikan dilaksanakan di Kabupaten Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian yang tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan ketahanan pangan Nasional pada hakekatnya mempunyai arti strategis bagi pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata,

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT Sasongko W Rusdianto, Farida Sukmawati, Dwi Pratomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara

Lebih terperinci

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU. (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR. Oleh RONNY MARTHA FO

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU. (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR. Oleh RONNY MARTHA FO ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR Oleh RONNY MARTHA FO3496087 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian yang memiliki peranan penting dalam kegiatan ekonomi Indonesia. Salah satu tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 185 IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 9.1 Karakteristik Responden Dalam rangka pengambilan keputusan maka perlu dilakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi Pada tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 juta jiwa dan diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BBKBN)

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG, PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong percepatan

Lebih terperinci

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG 78 VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG 7.1. Perumusan Strategi Penguatan Kelompok Tani Karya Agung Perumusan strategi menggunakan analisis SWOT dan dilakukan melalui diskusi kelompok

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian.

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORITIS

III. LANDASAN TEORITIS III. LANDASAN TEORITIS 3.1. Konsep Pengembangan Kawasan Zen (1999) menyatakan, pengembangan dalam arti development merupakan kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat dilakukan, apa yang mereka miliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber :

I. PENDAHULUAN. Sumber : I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk Indonesia merupakan penduduk terbesar keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TIJAUA TEORITIS 2.1 Peramalan (Forecasting) 2.1.1 Pengertian Peramalan Peramalan dapat diartikan sebagai berikut: a. Perkiraan atau dugaan mengenai terjadinya suatu kejadian atau peristiwa di waktu

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN Paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan proses partisipatif dan terdesentralisasi, oleh karena itu dalam menyusun

Lebih terperinci

KAJIAN ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI PANGAN SKALA KECIL DI SUMATERA BARAT ABSTRAK

KAJIAN ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI PANGAN SKALA KECIL DI SUMATERA BARAT ABSTRAK KAJIAN ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI PANGAN SKALA KECIL DI SUMATERA BARAT Gunarif Taib 1, Asmawi 2, dan Novi Elian 2 1 Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas 2 Fakultas

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus

AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus 2013 103 PENENTUAN LOKASI INDUSTRI PALA PAPUA BERDASARKAN PROSES HIERARKI ANALITIK (ANALYTIC HIERARCHY PROCESS ) DAN APLIKASI SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN (SPK) DI KABUPATEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri dan Kota adalah dua hal yang saling berkaitan. Hal ini disebabkan sektor industri merupakan salah satu indikator suatu daerah telah maju atau bisa disebut

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan. No.304, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR :40/Permentan/PD.400/9/2009 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 37

METODOLOGI. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 37 Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 37 Penyusunan Master Plan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur meliputi beberapa tahapan kegiatan utama, yaitu : 1) Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK

III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK Teknik heuristik adalah suatu cara mendekati permasalahan yang kompleks ke dalam komponen-komponen yang lebih sederhana untuk mendapatkan hubungan-hubungan dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh beberapa sektor usaha, dimana masing-masing sektor memberikan kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kontribusi pertanian terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta e-mail : goested@yahoo.com Abstrak Kebutuhan daging

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 Pada Kamis dan Jumat, Tanggal Lima dan Enam Bulan Maret Tahun Dua Ribu Lima Belas bertempat di Samarinda, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2011 DIREKTUR PERBIBITAN TERNAK ABUBAKAR

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2011 DIREKTUR PERBIBITAN TERNAK ABUBAKAR 0 KATA PENGANTAR Kondisi usaha pembibitan sapi yang dilakukan oleh peternak masih berjalan lambat dan usaha pembibitan sapi belum banyak dilakukan oleh pelaku usaha, maka diperlukan peran pemerintah untuk

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 40/Permentan/PD.400/9/2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa usaha

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan tingginya tingkat kemiskinanberhubungan erat dengan permasalahan pertanian di Indonesia. Menurut Nasution (2008), beberapa masalah pertanian yangdimaksud

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR,

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR, BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa untuk pelaksanaan lebih lanjut Peraturan

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah memberikan amanat bahwa prioritas pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi I. PENDAHULUAN.. Latar Belakang Dalam era otonomi seperti saat ini, dengan diberlakukannya Undang- Undang No tahun tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi sesuai dengan keadaan dan keunggulan daerah

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 08 TAHUN 2017 TENTANG PENGANEKARAGAMAN PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI

KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI Disusun Oleh : Muhammad Ikbal Praditiyo (10.12.4370) STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 Jl. Ring Road Utara Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta Usaha peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein

Lebih terperinci

(Rp.) , ,04

(Rp.) , ,04 LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN APBD PROVINSI SUMATERA BARAT BELANJA LANGSUNG URUSAN : PILIHAN ( PERTANIAN ) KEADAAN S/D AKHIR BULAN : DESEMBER 2015 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pengelolaan usahatani pada hakikatnya akan dipengaruhi oleh prilaku petani yang mengusahakan. Perilaku

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal.  [20 Pebruari 2009] I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia maka semakin meningkat pula kebutuhan bahan makanan, termasuk bahan makanan yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis pembuatan kerupuk kulina (kulit ikan nila) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis pembuatan kerupuk kulina (kulit ikan nila) merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN Bisnis pembuatan kerupuk kulina (kulit ikan nila) merupakan salah satu bentuk kegiatan menciptakan nilai tambah kulit ikan nila dengan mengidentifikasi peluang bisnis kerupuk tersebut

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 55 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Membangun agroindustri yang tangguh dan berdaya saing tinggi seharusnya dimulai dengan membangun sistem jaringan rantai pasokan yang tangguh dan saling menguntungkan

Lebih terperinci

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1 PROGRAM UTAMA mangosteen 1.0 Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Pengembangan Agroindustri Manggis dirancang dalam sebuah paket program bernaman mangosteen 1.0. Model mangosteen

Lebih terperinci

Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Maluku Utara BOX 1

Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi Maluku Utara BOX 1 BOX 1 LAPORAN HASIL PENELITIAN DASAR POTENSI EKONOMI DAERAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KOMODITI UNGGULAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2007 (BASELINE ECONOMIC SURVEY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah memberikan sumbangan yang nyata dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional sangat penting karena sektor ini mampu menyerap sumber daya yang paling besar dan memanfaatkan sumber daya yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, masih merupakan

I. PENDAHULUAN. Tingginya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, masih merupakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Tingginya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, masih merupakan permasalahan besar yang dapat mempengaruhi pembangunan bidang kesehatan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan pertanian pada masa sekarang adalah dengan meletakkan masyarakat sebagai pelaku utama (subyek pembangunan), bukan lagi sebagai obyek pembangunan

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : WORKSHOP PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA RABIES DINAS PETERNAKAN KAB/KOTA SE PROVINSI ACEH - DI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D

PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D 003 322 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan Pertanian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian bangsa, hal ini ditunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci