MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG"

Transkripsi

1 VIII. MODEL PERENCANAAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SAPI POTONG 8.1. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Sumatera Barat Mendisain model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di suatu daerah tidak terlepas dari aspek ketersediaan bahan baku. Ketersediaan bahan baku agroindustri sapi potong ditentukan dari kondisi dan potensi dalam pengembangan sapi potong. Kondisi dan potensi sapi potong sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dari jumlah populasi sapi potong, sumber daya manusia dan dukungan sarana prasarana pengembangan usaha peternakan sapi potong. Sumatera Barat sebagai salah satu daerah sentra populasi sapi potong di Indonesia memiliki potensi dalam mengembangkan usaha sapi potong dan agroindustri sapi potong. Sebagai salah satu sentra pengembangan sapi potong untuk Indonesia bagian Barat, konsentrasi populasi sapi potong di Sumatera Barat tersebar di 12 kabupaten dan 7 kota. Walaupun jumlah pemotongan sapi setiap tahunnya cukup besar serta pengeluaran sapi yang lebih besar dari pemasukannya, populasi sapi potong di Sumatera Barat tahun 1989 sampai 2005 masih cenderung meningkat. Kecenderungan jumlah populasi dan pemotongan sapi potong tahun 1989 sampai 2005 disajikan dalam Gambar 29 dan data perkembangannya pada Tabel 17. Jumlah (ekor) 700, , , , , , ,000 0 Populasi dan Pemotongan Sapi Potong di Sumatera Barat Tahun Tahun Populasi Pemotongan Gambar 29. Peningkatan populasi dan pemotongan sapi di Sumatera Barat

2 Gambar 29 menunjukkan mulai dari tahun terjadi peningkatan jumlah populasi sapi potong. Hal ini disebabkan banyaknya program-program pemerintah dalam mengembangkan ternak sapi potong setelah diberlakukan desentralisai dan kembalinya sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Pada tahun 2000, pengembangan ternak sapi dilakukan melalui program dan kegiatan pengembangan kawasan sentra produksi (P-KSP) yang bertujuan menambah modal peternak dengan cara pemberian kredit tambahan modal untuk pembelian sapi betina produktif untuk dikembangbiakan. Tahun berikutnya pemda kabupaten melanjutkan program tersebut melalui program pengembangan kawasan peternakan di berbagai daerah. Tahun 2003 salah satu kawasan sentra produksi di Sumatera Barat ditetapkan sebagai salah satu kawasan agropolitan pertama di Indonesia, dimana komoditi unggulan (tanaman pangan dan peternakan sapi potong) dinilai berhasil dan dikembangkan melalui berbagai kegiatan saling mendukung dari berbagai lini sektor pembangunan untuk menjadikan kota pertanian, sehingga hasil produksi komoditi utama berkembangan dan menjadi komoditi unggulan daerah. Tabel 17. Jumlah populasi dan pemotongan sapi di Sumatera Barat Tahun Populasi (ekor) Pemotongan (ekor) Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Sumbar ( ); Dirjen Peternakan (2006) Ketersediaan sapi juga ditentukan oleh jumlah pengeluaran dan pemasukan sapi dari suatu daerah. Berdasarkan data tahun 2001 sampai 2004 jumlah pengeluaran sapi lebih besar dari jumlah pemasukan dan pengeluaran sapi terbesar terjadi pada tahun 2005, yakni sebesar ekor. Kondisi ini jika tidak ada

3 kebijakan pembatasan pengeluaran sapi dari Sumatera Barat akan menguras ketersediaan sapi di Sumatera Barat. Selama ini Sumatera Barat merupakan pemasok sapi untuk daerah sekitarnya, seperti Riau, Jambi dan Sumatera Utara bagian Selatan. Besarnya jumlah pengeluaran, pemasukan dan pemotongan sapi di Sumatera Barat disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Pengeluaran, pemasukan dan pemotongan sapi di Sumatera Barat Tahun Tahun Pengeluaran (ekor) Pemasukan (ekor) Pemotongan (ekor) Sumber: Dirjen Peternakan (2006); Dinas Peternakan Propinsi Sumbar ( ) Berdasarkan data pengeluaran dan pemasukan sapi sampai tahun 2005, Sumatera Barat merupakan daerah dengan jumlah pengeluaran sapi terbesar di Sumatera, kemudian diikuti dengan Lampung dan Sumatera Selatan. Pengeluaran sapi dari Lampung pada tahun 2005 tercatat sebesar ekor, Sumatera Selatan sebesar ekor, sedangkan pengeluaran sapi dari Sumatera Barat sebesar ekor. Berdasarkan data tahun 2006, pemasukan sapi terbesar di Sumatera adalah Lampung sebesar ekor, Jambi sebesar ekor, Riau sebesar ekor, Sumatera Barat sebesar ekor, sedangkan NAD hanya sebesar ekor dan Sumatera Utara sebesar 4 ekor (Dirjen Peternakan, 2006). Pemotongan sapi di Sumatera Barat setiap tahun terjadi peningkatan. Sampai tahun 2006 dari Tabel 18 terlihat jumlah pemotongan sapi sebesar ekor. Dari populasi sapi potong, jumlah populasi sapi betina lebih besar dari jumlah populasi sapi jantan, yakni sebesar 63,52%, realisasi Inseminasi Buatan (IB) sebesar dosis dan jumlah kelahiran sebanyak ekor dari ekor akseptor. Tingkat kelahiran sapi potong sebesar 20,07 persen dan tingkat kematian sebesar 0,39 persen (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, 2007). Jumlah pemotongan sapi rata-rata dari tahun di Sumatera Barat adalah sebesar ekor, peningkatan tiap tahunnya sebesar ekor dan

4 peningkatan rata-rata produksi dagingnya sebesar 500,7 ton. Berdasarkan jumlah konsumsi daging dan jeroan tahun 2005, sebanyak 31,28% berasal dari kontribusi daging sapi, yakni sebesar ton. Kontribusi daging sapi merupakan kontribusi daging terbesar setelah daging ayam ras (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, 2006). Produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat Tahun Tahun Produksi (kg) Konsumsi (kg) Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat Pada Tabel 19, terlihat produksi daging sapi yang dihasilkan Sumatera Barat pada rentang tahun rata-rata sebesar kg per tahun. Konsumsi daging sapi pada rentang waktu yang sama terjadi peningkatan sebesar kg per tahun dengan rata-rata konsumsi daging sapi sebesar kg per tahun. Kecenderungan peningkatan produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 30. Berdasarkan produksi daging sapi tahun 2002 sampai 2006, Sumatera Barat merupakan daerah yang memproduksi daging sapi terbesar di Sumatera. Pada tahun 2006, produksi daging Sumatera Barat sebesar ton, Sumatera Selatan sebesar ton, Sumatera Utara sebesar ton, sedangkan Propinsi NAD sebesar ton, Lampung sebesar ton, Riau sebesar ton, Jambi sebesar ton, dan Bengkulu sebesar ton (Dirjen Peternakan, 2006). Perkembangan peternakan sapi potong dipengaruhi dengan ketersediaan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang tersedia. Di Sumatera Barat,

5 beternak sapi umumnya dijadikan sebagai usaha sampingan yang merupakan usaha peternakan rakyat dan dipelihara oleh rumah tangga peternak. Jumlah rumah tangga peternak sapi potong tahun 2006 adalah Kepala Keluarga (KK). Jumlah rumah potong hewan dan tempat pemotongan hewan (RPH dan TPH) terdapat sebanyak 40 unit dan pasar ternak tersebar di Sumatera Barat sebanyak 20 lokasi dan memiliki pos kesehatan hewan (poskeswan) sebanyak 41 unit (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, 2007). Jumlah (kg) Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Sumatera Barat Tahun Produksi (kg) Konsumsi (kg) Tahun Gambar 30. Peningkatan produksi dan konsumsi daging sapi di Sumatera Barat Pengembangan sapi potong juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hijauan makanan ternak dan pakan tambahan. Penyediaan bahan makanan ternak selain dari HMT (Hijauan Makanan Ternak), dapat dilakukan dengan mengembangkan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak SITT atau CLS (crop livestock system), Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT), Penyediaan pakan dengan Sistem Integrasi Sapi di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit (SISKA), Pola Integrasi Horizontal serta Pendekatan Zero Waste dan Zero Cost. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak SITT atau CLS (crop livestock system) dapat dilakukan dengan memanfaatkan penambahan biji kakao ke dalam ransum sapi (Ningrum, 1995), pemanfaatan daun kaliandra (Aryogi et al., 1997; Aryogi et al., 1999) dan daun gliricidia sebagai sumber protein pakan (Zulbahri et al., 2000) serta pemanfaatan pucuk tebu (Nurhayu et al., 2001) sebagai pakan ternak sapi. Penyediaan HMT melalui Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) dapat dilakukan dengan memanfaatkan daun padi atau jerami padi dalam bentuk hay dan silase (Jamarun,

6 1991; Kostaman et al., 1999), bekatul dari dedak padi/kulit ari padi (Sarwono dan Arianto, 2001) sebagai pakan ternak. Penyediaan pakan dengan Sistem Integrasi Sapi di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit (SISKA) dapat dilakukan dengan cara integrasi sapi-sawit (Sinurat et al., 2004; Sitompul et al., 2004), pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan dalam ransum sapi potong (Batubara, 2002), serta produk samping dan pengolahan buah kelapa sawit dalam ransum pakan (Matheus et al., 2004). Peyediaan pakan melalui Pola Integrasi Horizontal dan Pendekatan Zero Waste dan Zero Cost, antara lain dengan memanfaatkan gula aren (Aryogi et al., 1997a), daun gamal (Rusman et al., 1998), campuran dedak padi dan ampas tebu sebagai pengganti rumput (Wardhani dan Musofie, 1992), penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum sapi potong (Manurung, 1996), dan pemanfaatan tetes urea putih dari limbah tebu (Wardhani et al., 1985) di dalam pakan ternak sapi Model Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Kelayakan pengambilan keputusan dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat selama ini dilakukan dengan tidak terencana dan dilakukan secara parsial, sehingga tidak memenuhi harapan berbagai pihak. Peran pemerintah diperlukan dalam menyusun rancangan kebijakan yang mampu meningkatkan investasi pengembangan agroindustri sapi potong melalui perencanaan yang menguntungkan usaha, menarik investor dan berkeadilan. Oleh karena itu, untuk melengkapi implementasi kelayakan pengembangan agroindustri sapi potong yang komprehensif dilakukan penelusuran melalui identifikasi faktor lingkungan, evaluasi faktor strategis dan pemilihan strategi. Suatu integrasi konsep dari David (2002) dalam perumusan strategi dapat melalui tiga (3) tahapan, yaitu: (1) tahap identifikasi faktor-faktor strategis lingkungan yang terdiri atas a) penilaian faktor eksternal ke dalam matriks External Factor Evaluation (EFE), b) penilaian faktor internal ke dalam matriks Internal Factor Evaluation (IFE), c) menghasilkan ringkasan analisis faktor-faktor strategis (Strategic Factors Analysis Summary, SFAS) (Hunger dan Wheelen, 2001), (2) tahap analisis perumusan alternatif strategi berdasarkan analisis matriks internal-eksternal, analisis matriks Grand Strategy, analisis SWOT, dan (3) tahap pengambilan keputusan terhadap alternatif strategi dari analisis SWOT sebagai strategi prioritas menggunakan pendekatan Fuzzy-AHP. Pendekatan Fuzzy-AHP merupakan penggabungan dua pendekatan, dimana dalam penyusunan hirarki dan pengolahan menggunakan

7 pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dari Saaty (1991), sedangkan penilaian perbandingan berpasangan menggunakan pendekatan logika Fuzzy (Marimin, 2002). Hasil penilaian evaluasi perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menggunakan model KBMS menunjukkan kesesuaian strategi pengembangan produk dan pasar yang cukup sebagai strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Strategi pengembangan produk dan pasar merupakan hasil rumusan dari beberapa tahapan, yaitu: a) identifikasi faktor strategi dan b) analisis perumusan alternatif strategi Tahap identifikasi faktor-faktor strategi A. Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Penilaian faktor eksternal dapat dilakukan beberapa tahap berdasarkan matriks evaluasi faktor eksternal (David, 2002). Tahap 1 mengidentifikasi faktor-faktor strategis lingkungan eksternal dari peluang dan ancaman. Tahap 2 menentukan bobot faktor strategis melalui penilaian perbandingan berpasangan. Nilai 0 untuk faktor kurang (tidak) penting, nilai 1 untuk faktor sangat penting. Tahap 3 menjumlahkan setiap faktor eksternal dan jumlah total. Tahap 4 mencari bobot tiap faktor berdasarkan jumlah nilai terhadap jumlah total. Tahap 5 menentukan peringkat (rating) faktor strategis dengan menilai kemampuan merespon faktor-faktor peluang dan ancaman. Untuk faktor peluang, nilai empat (4) respon pemanfaatan faktor peluang sangat baik, nilai 3 (tiga) cukup baik, nilai dua (2) sedang, dan satu (1) tidak baik/kurang, sedangkan pengaruh faktor ancaman menggunakan: nilai empat (4) faktor tersebut sangat mudah dihindari/diatasi, nilai 3 (tiga) mudah dihindari/diatasi, nilai dua (2) sulit dihindari/diatasi, dan nilai satu (1) sangat sulit dihindari/diatasi. Tahap 6 menentukan nilai skor yang merupakan hasil perkalian bobot dan nilai rating. Tahap 7 menjumlahkan nilai skor dan nilai total faktor eksternal. Identifikasi faktor peluang dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, yaitu: (1) tersedianya sarana transportasi yang lancar, (2) besarnya peran masyarakat perantau, (3) kesesuaian dengan perencanaan (tata ruang), (4) diversifikasi produk sapi potong yang masih luas, dan (5) pengembangan usaha sapi potong yang besar. Pada sisi lain, identifikasi faktor ancaman pengembangan agroindustri sapi potong yaitu: (1) fungsi dan penggunaan lahan semakin menurun, (2) persaingan produk sejenis dari negara/daerah lain, (3) pemanfaatan lahan/tanah ulayat, (4) ekspor produk mentah (bahan baku) agroindustri sapi potong, dan (5)

8 penyakit hewan (ternak) menular. Penilaian faktor eksternal yang terdiri dari faktor peluang dan ancaman dalam pengembangan agroindustri sapi potong secara rinci ditunjukan pada Tabel 20. Tabel 20. Penilaian faktor eksternal pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Peluang Sarana transportasi lancar Peran Masyarakat Perantau Kesesuaian dengan perencanaan (tata ruang) Diversifikasi produk sapi potong masih luas Pengembangan sapi potong besar Ancaman Fungsi dan penggunaaan lahan Persaingan produk agroindustri sejenis Pemanfaatan tanah/lahan ulayat Ekspor produk mentah (bahan baku produk) sapi potong Penyakit hewan (ternak) menular Sub Total Total Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa faktor peluang dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat yang memiliki nilai skor yang tinggi adalah peran masyarakat perantau, sarana transportasi yang lancar, dan kesesuaian dengan perencanaan (tata ruang). Faktor ancaman yang harus dihindari atau diatasi adalah pemanfaatan tanah/lahan ulayat dan fungsi dan penggunaan lahan. B. Evaluasi Faktor Internal (IFE) Penilaian faktor internal dapat dibedakan di dalam matriks evaluasi faktor internal berdasarkan penilaian sebagai berikut. Tahap 1 mengidentifikasi faktor-faktor strategis lingkungan internal dari kekuatan dan kelemahan. Tahap 2 menentukan bobot faktor strategis melalui penilaian perbandingan berpasangan. Nilai 0 untuk faktor kurang (tidak) penting, nilai 1 untuk faktor sangat penting. Tahap 3 menjumlahkan setiap faktor internal dan jumlah total. Tahap 4 mencari bobot tiap faktor berdasarkan jumlah nilai terhadap jumlah total. Tahap 5 menentukan peringkat (rating) faktor strategis dengan menilai besarnya pengaruh faktor-faktor kekuatan dan kelemahan. Untuk faktor kekuatan, nilai empat (4) faktor kekuatan berpengaruh sangat besar (kekuatan utama), nilai 3 (tiga) berpengaruh besar (kekuatan kecil), sedangkan faktor kelamahan, nilai dua (2) agak sulit diatasi (kelemahan kecil), dan nilai satu (1) sangat

9 sulit diatasi (kelemahan utama). Tahap 6 menentukan nilai skor yang merupakan hasil perkalian bobot dan nilai rating. Tahap 7 menjumlahkan nilai skor dan nilai total faktor internal. Secara rinci penilaian faktor lingkungan internal ditunjukkan pada Tabel 21. Tabel 21. Penilaian faktor internal pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat Faktor Internal Bobot Rating Skor Kekuatan Kemampuan dan potensi masyarakat Potensi dan kontribusi produksi ternak sapi potong Kemampuan sumber daya manusia Dukungan kebijakan pemerintah Ketersediaan sarana dan prasarana (infrastruktur) Sub Total Kelemahan Sistem dan prosedur Informasi sarana dan prasarana Perkembangan fungsi kelembagaan dan struktur organisasi Permodalan Kewenangan dan tanggung jawab pengembangan kelembagaan AI sapi potong Kualitas hasil ternak sapi potong Sub Total Total Identifikasi faktor kekuatan dalam pengembangan agroindustri sapi potong, yaitu: (1) kemampuan dan potensi masyarakat semakin meningkat, (2) potensi dan kontribusi produksi ternak sapi potong semakin besar, (3) kemampuan sumber daya manusia semakin meningkat, (4) dukungan kebijakan pemerintah, dan (5) ketersediaan sarana dan prasarana (infrastruktur). Faktor kekuatan internal yang mempunyai skor yang tinggi dalam perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat adalah kemampuan dan potensi masyarakat, kemampuan sumber daya manusia, dan ketersediaan sarana dan prasarana (infrastruktur), sedangkan faktor kelemahan internal adalah sistem dan prosedur informasi sarana dan prasarana, perkembangan fungsi kelembagaan dan struktur organisasi, dan kewenangan dan tanggung jawab pengembangan kelembagaan agroindustri sapi potong. C. Ringkasan analisis faktor eksternal dan internal (Strategic Factors Analysis Summmary, SFAS) Satu cara untuk menyimpulkan sekian banyak faktor-faktor strategis yang digunakan adalah mengkombinasikan faktor strategis eksternal dengan faktor strategis internal ke dalam sebuah ringkasan analisis faktor-faktor strategis. Ringkasan analisis faktor-faktor strategis ditunjukan pada Tabel 22.

10 Tabel 22. Ringkasan analisis faktor-faktor strategis pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat Durasi Faktor-Faktor Strategis Bobot Rating Skor Keterangan/Komentar 1. Kemampuan dan potensi Pemberdayaan masyarakat (S) masyarakat 2. Kemampuan sumber daya manusia (S) Memanajemen organisasi 3. Ketersediaan sarana dan prasarana/infrastruktur (S) Fasilitas yang tersedia 4. Sistem dan prosedur Informasi sarana dan prasarana (W) Perlunya infoware 5. Perkembangan fungsi kelembagaan dan struktur organisasi (W) Kewenangan dan tanggung jawab pengembangan kelem- Pendek Menengah Panjang Peran swasta (swastanisasi) bagaan AI sapi potong (W) Instansi/institusi terkait Kelancaran saluran 7. Sarana transportasi (O) pemasaran Alternatif sumber 8. Peran masyarakat perantau permodalan yang (O) potensial 9. Kesesuaian dengan perencanaan (tata ruang) (O) Master Plan sudah ada 10. Fungsi dan penggunaaan Lahan tidak diusahakan lahan (T) semakin luas Permasalahan sering 11. Pemanfaatan tanah/lahan terjadi dalam ulayat (T) pembangunan Total Penggunaan bentuk SFAS meliputi langkah-langkah sebagai berikut. 1) daftarkan item-item yang paling penting dalam kolom faktor strategis kunci, tunjukkan item-item yang merupakan kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O), dan ancaman (T), 2) menentukan bobot faktor strategis pada kolom bobot melalui penilaian perbandingan berpasangan. Nilai 0 untuk faktor kurang penting, nilai 1 untuk faktor sama penting dan nilai 2 untuk faktor lebih penting. Jumlahkan nilai faktor strategis. Bobot tiap faktor berdasarkan jumlah nilai terhadap jumlah total, 3) menentukan peringkat (rating) faktor strategis pada kolom rating dengan menilai kemampuan merespon faktor-faktor strategis. Untuk penilaian, nilai empat (4) respon pemanfaatan faktor strategis sangat baik, nilai 3 (tiga) cukup baik, nilai dua (2) sedang, dan satu (1) tidak baik (kurang), 4) menentukan nilai skor pada kolom skor yang merupakan hasil perkalian bobot dan nilai rating, 5) memberikan horizon waktu jangka dengan tanda ( ) pada kolom durasi. Faktor yang memiliki waktu jangka pendek memiliki durasi (< 1

11 tahun), jangka menengah (1-5 tahun), dan jangka panjang (lebih 5 tahun), dan 6) memberi keterangan untuk masing-masing faktor. Ringkasan analisis faktor-faktor strategis dalam pengembangan agroindustri sapi potong, yaitu: (1) faktor kemampuan dan potensi masyarakat merupakan elemen strategis kekuatan jangka panjang dalam pemberdayaan masyarakat, (2) faktor kemampuan sumber daya manusia, merupakan kekuatan dalam manajemen organisasi/perusahaan untuk jangka panjang, (3) faktor ketersediaan sarana dan prasarana (infrastruktur), adalah kekuatan yang tersedia dalam jangka waktu menengah, (4) sistem dan prosedur informasi sarana dan prasarana merupakan faktor kelemahan yang masuk ke dalam waktu pendek perlu dibangun dalam bentuk infoware, (5) perkembangan fungsi kelembagaan dan struktur organisasi merupakan faktor kelemahan termasuk ke dalam waktu jangka pendek dan diserahkan ke pihak swasta (swastanisasi), (6) kewenangan dan tanggung jawab pengembangan kelembagaan agroindustri sapi potong juga merupakan faktor kelemahan yang masuk ke dalam waktu jangka pendek dan perlu ditangani segera oleh instansi/institusi terkait, (7) Sarana transportasi yang lancar merupakan faktor peluang yang masuk ke dalam jangka menengah dalam kelancaran distribusi pemasaran produk agroindustri sapi potong, (8) Peran masyarakat perantau merupakan peluang alternatif sumber pembiayaan untuk jangka panjang, (9) Faktor kesesuaian dengan perencanaan (tata ruang) sesuai dengan master plan yang telah ada memiliki durasi waktu jangka menengah, (10) fungsi dan penggunaan lahan yang tidak diusahakan merupakan faktor ancaman yang masuk waktu jangka menengah, (11) fungsi dan penggunaan lahan (tanah) ulayat merupakan tantangan dan ancaman jangka menengah dalam menjaga kelestarian adat jika tidak sesuai pemanfaatannya tanpa kesepakatan dari pemegang hak Tahap analisis perumusan alternatif strategi A. Analisis Matriks Internal Eksternal/Internal external matrix (IE Matrix) Kajian analisis berdasarkan matriks internal-eksternal (matriks IE) adalah untuk menentukan posisi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Posisi agroindustri Sumatera Barat di dalam matriks eksternal internal disajikan pada Gambar 31. Total Nilai Skor EFI Tinggi Sedang Rendah

12 3,0-4,0 2,0-2,99 1,0-1,99 4,00 3,00 2,00 1,00 Tinggi 3,0-4,0 I II III Total Nilai Skor EFE Sedang 2,0-2,99 3,00 2,00 IV V VI Rendh 1,0-1,99 VII VIII IX 1,00 Gambar 31. Posisi agroindustri sapi potong Sumatera Barat Terdapat sembilan sel di dalam matriks internal eksternal. Hasil penilaian, kondisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan total skor faktor eksternal dengan nilai 2,622 dan total skor faktor internal dengan nilai 3,033 yang di dalam matriks internal dan eksternal berada pada posisi sel IV. Posisi sel IV termasuk dalam strategi tumbuh dan bina. Strategi yang paling mungkin pada posisi tumbuh dan bina adalah strategi intensif atau strategi integratif. Strategi intensif yaitu strategi pengembangan produk dan strategi pengembangan dan penetrasi pasar. Strategi integratif, yaitu strategi integrasi ke belakang, integrasi ke depan, dan integrasi horisontal. Industri yang termasuk tumbuh dan bina dalam matriks IE adalah sel I, II, dan IV. Posisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dinilai berada pada posisi perkembangan dan pertumbuhan pasar karena berada dalam posisi menuju perkembangan pasar. Hal ini terjadi dari perkembangan dan pemasaran produk agroindustri Sumatera Barat, seperti produk olahan masakan rendang dan dendeng kering. Produk agroindustri sapi potong Sumatera Barat, seperti dendeng kering atau dendeng sapi baru mulai diekspor pada tahun 1995, namun volumenya relatif masih kecil dan belum signifikan sebagai produk ekspor yang dipertimbangkan, sehingga belum berpengaruh terhadap peningkatan nilai tambah secara keseluruhan nilai ekspor hasil produk pertanian.

13 Perkembangan produk agroindustri sapi potong untuk pasar ekspor tersebut masih berfluktuasi dan belum terlihat pertumbuhannya. Dari sisi persaingan dengan produk yang sama, terutama pasar ekspor produk agroindustri sapi potong Sumatera Barat seperti rendang berada pada posisi lemah. Hal tersebut terkait dalam hal standarisasi dan paten dimana Malaysia telah lebih dahulu memiliki paten dengan nama Rendang Padang, sehingga produk agroindustri Sumatera Barat perlu pengembangan dengan karakteristik yang lain untuk perluasan pasar melalui standarisasi mutu dan paten. Oleh karena itu bila tidak ada komitmen melakukan usaha perbaikan dan memiliki standarisasi mutu dan paten, dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan produk khas Sumatera Barat dan pemasarannya. B. Analisis Matriks Grand Strategy Matriks Grand strategy digunakan untuk menetapkan alternatif strategi pengembangan agroindustri sapi potong berdasarkan dua dimensi evaluatif, yaitu posisi persaingan dan pertumbuhan pasar. Posisi agroindustri sapi potong di Sumatera Barat perlu dilakukan evaluasi dengan pendekatan pasar agar posisi bersaingnya lebih kuat, terutama persaingan untuk pasar ekspor. Penilaian menggunakan matriks grand strategy ditunjukkan pada Gambar 32. Pertumbuhan Pasar Cepat Kuadran II Kuadran I - Pengembangan pasar - Pengembangan pasar - Penetrasi Pasar - Penetrasi Pasar - Pengembangan produk - Pengembangan produk - Integrasi horisontal - Integrasi ke depan - Divestasi - Integrasi ke belakang - Likuidasi - Integrasi horisontal Posisi - Diversifikasi konsentrik Posisi Bersaing Bersaing Lemah Kuadran III Kuadran IV Kuat - Penghematan - Diversifikasi konsentrik - Diversifikasi konsentrik - Diversifikasi horisontal - Diversifikasi horisontal - Diversifikasi konglomerat - Diversifikasi konglomerat - Usaha patungan - Divestasi - Likuidasi Pertumbuhan Pasar Lambat Gambar 32. Penilaian matriks Grand Strategy (David, 2002) Pertumbuhan pasar produk agroindustri Sumatera Barat dapat dikatakan cukup, karena permintaan produk agroindustri Sumatera Barat selalu terbuka untuk pasar ekspor dan regional, namun belum dapat memenuhi permintaannya dan kalah bersaing dengan produk sejenis dalam hal mutu, kemasan dan standarisasi. Kondisi

14 tersebut menggambarkan posisi produk agroindustri Sumatera Barat berada pada posisi yang sedang tumbuh namun lemah dalam persaingan, sehingga di dalam matriks grand strategy, posisi produk agroindustri Sumatera Barat berada pada kuadran II. Alternatif strategi yang sesuai dalam pengembangan agroindustri sapi potong Sumatera Barat dari kuadran II adalah: (1) strategi pengembangan produk, dan (2) strategi pengembangan pasar. C. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan alat pencocokan digunakan untuk mengembangkan perumusan alternatif strategi berdasarkan faktor eksternal yang terdiri atas peluang dan ancaman dan faktor internal yang terdiri atas kekuatan dan kelemahan. Dihasilkan 5 (lima) alternatif strategi yang sesuai dan dapat dikembangkan dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat yang secara rinci ditunjukkan pada Gambar 33. Faktor Eksternal Peluang (O) Faktor Internal O1= Sarana transportasi lancar (0,533) O2= Peran Masyarakat Perantau (0,600) O3= Kesesuaian dengan perencanaan/tataruang (0,317) O4= Diversifikasi produk sapi potong masih luas (0,267) O5=Pengembangan sapi potong besar (0,278) Ancaman (T) T1= Fungsi dan penggunaaan lahan belum jelas (0,200) T2= Persaingan produk agroindustri sejenis (0,078) T3= Pemanfaatan tanahlahan ulayat (0,217) T4= Ekspor produk mentah (bahan baku produk) sapi potong (0,089) T5= Penyakit hewan (ternak) menular (0,044) Kekuatan (S) S1= Kemampuan dan potensi Masyarakat (0,800) S2= Potensi dan kontribusi produksi ternak sapi potong (0,200) S3= Kemampuan sumber daya manusia (0,711) S4= Dukungan kebijakan pemerintah (0,117) S5= Ketersediaan sarana dan prasarana (infrastruktur) (0,378) Strategi SO Pengembangan usaha kecil dan menengah (S1,S2,S3,S4, S5,O1,O3,O5) Pengembangan produk dan pasar (S1,S2,S3,S5,O1,O2, O3,O4,O5) Strategi ST Pengembangan lumbung (kawasan) agroindustri sapi potong (S1,S2,S3,S5,T1,T2,T3) Kelemahan (W) W1= Sistem dan prosedur Informasi sarana dan prasarana belum ada (0,267) W2= Perkembangan fungsi kelembagaan dan struktur organisasi lambat (0,256) W3= Permodalan (0,089) W4= Kewenangan dan tanggung jawab pengembangan kelembagaan agroindustri sapi potong (0,167) W5= Kualitas hasil ternak sapi potong (0,050) Strategi WO Peningkatan partisipasi investasi perantau (W1,W2,W3,W4,O1, O2,O4,O5) Strategi WT Peningkatan mutu ternak dan hasil ternak sapi potong (W5, T2, T4, T5) Gambar 33. Matriks SWOT agroindustri sapi potong Sumatera Barat

15 Alternatif strategi yang dirumuskan berdasarkan atas keinginan, rencana program pemerintah kabupaten/kota dan masukan dari berbagai pihak, yaitu peternak sapi potong/kelompok peternak sapi, pengurus koperasi, pengusaha pengolahan hasil sapi potong, masyarakat/konsumen, akademisi (peneliti), dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan Kota. Hasil rumusan digunakan dalam proses pengambilan keputusan ke dalam empat (4) tipe strategi, yaitu Strategi SO, Strategi WO, Strategi ST dan Strategi WT yang sangat penting diagendakan dalam pembangunan peternakan sapi potong melalui investasi masyarakat di Sumatera Barat dan perantau Minang dalam rangka perencanaan pengembangan agroindustri hasil ternak sapi potong Tahap Pengambilan Keputusan Pada tahap pengambilan keputusan digunakan pendekatan Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) untuk menentukan prioritas pada penerapan strategi. Proses pengambilan keputusan pada penetapan peringkat alternatif strategi dilakukan dengan bantuan Fuzzy-AHP. Fuzzy-AHP merupakan alat yang memungkinkan pakar untuk mengevaluasi alternatif strategi berdasarkan pada penilaian menggunakan logika fuzzy dan analisis AHP dilakukan untuk menentukan prioritas/pemilihan strategi dari beberapa alternatif sesuai dengan faktor-faktor pelaku (aktor), prinsip, kriteria dan startegi yang ingin dicapai atau diprioritaskan dalam pengembangan produk agroindustri sapi potong. Proses pengolahan data dilakukan secara individual dengan persyaratan setiap individu pakar harus konsisten. Untuk mendapatkan solusi hirarki terbaik dilakukan agregasi sebagai keputusan kelompok para pakar. Hasil keputusan kelompok menunjukkan bahwa pada hirarki kesatu fokus pola umum pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat mengidentifikasikan hirarki kedua sebagai pelaku (aktor) yang berperan utama, yaitu: (1) pengusaha swasta, (2) koperasi, (3) kelompok peternak, (4) pemda kabupaten/kota, (5) masyarakat setempat, (6) lembaga swadaya masyarakat, dan (7) perusahaan daerah. Pada hirarki kedua, pengusaha swasta merupakan pelaku (aktor) yang paling prioritas dan berperan dalam mengembangkan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dimasa yang akan datang. Hal ini dutunjukkan dengan nilai bobot paling tinggi dari hasil pengolahan vektor prioritas dan vertikal penilaian gabungan pakar, yakni 0,3137. Secara umum persoalan investasi dari perusahaan/pengusaha swasta di Sumatera Barat adalah rendahnya pertumbuhan investasi, baik oleh Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Keadaan ini

16 sejalan dengan rendahnya investasi yang dilakukan pemerintah. Investasi pemerintah yang dilakukan lebih untuk mendorong pertumbuhan sektor swasta melalui pembangunan infrastruktur publik. Perusahaan/pengusaha swasta diharapkan lebih banyak berkontribusi dalam pengembangan investasi di Sumatera Barat, sedang investasi pemerintah lebih diarahkan pada penciptaan iklim investasi yang kondusif agar lebih menarik bagi investor dengan cara: 1) mempermudah prosedur perizinan; 2) menciptakan kepastian hukum dan kepastian berusaha; 3) pemberian insentif investasi dari pemerintah daerah; 4) dukungan pembangunan infrastruktur; 5) menciptakan situasi keamanan dan ketertiban yang kondusif; 6) membangun model penyelesaian konflik/masalah karena dominannya kepemilikan masyarakat adat (tanah ulayat) dalam iklim investasi; dan 7) membangun jaringan kerja (network) dengan pihak ekstenal baik di tingkat regional maupun daerah. Pada hirarki ketiga, sebagai prinsip yang prioritas, yaitu (1) kepastian status dan fungsi lahan, kemudian diikuti dengan prinsip (2) potensi dan pemberdayaan masyarakat, (3) kejelasan struktur dan fungsi kelembagaan, dan (4) ketersediaan sarana dan prasarana berdasarkan urutan nilai bobot. Perumusan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat harus mempertimbangkan prinsip adanya kepastian status dan fungsi lahan dengan nilai bobot tertinggi (0,3280). Dari luas daerah Propinsi Sumatera Barat sekitar 42,2 ribu km 2, dimanfaatkan untuk budidaya tercatat baru sekitar 54,82 persen dari luas keseluruhan (BPS Sumbar, 2006). Secara umum, status tanah yang ada di Sumatera Barat terdiri atas tanah milik adat dan tanah negara. Sebagaian besar aset nagari merupakan ulayat yang berbentuk lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, hutan, pemukiman, irigasi, pertambangan, perikanan dan kelautan, dan sebagainya. Persoalan yang cukup mendasar berkenaan dengan pembangunan nagari dari lahan/tanah ulayat adalah kejelasan status dan fungsinya. Menurut Badan Pertanahan Nasional Sumatera Barat, dari 533 nagari di Sumatera Barat, diprediksi luas tanah ulayat lebih kurang seluas ha (Pemda Sumbar, 2005). Tanah yang terdaftar dan bersertifikat berupa hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak guna usaha baru seluas ,8 ha (14,06%). Potensi ulayat nagari yang belum terdata dan adanya konflik tata batas nagari menjadikan persoalan penting terhadap kepastian status dan fungsi lahan dalam rencana pembangunan atau pengembangan agroindustri sapi potong. Kejelasan status dan fungsi lahan sesuai pembangunan penataan ruang dapat diupayakan

17 dengan: 1) mewujudkan penataan ruang yang terarah dan menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi investasi; 2) penerapan hukum pertanahan yang adil dan transparan dalam penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah; 3) membentuk lembaga penyelesaian konflik antar lintas pelaku penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan dan pengelolaan tanah; 4) melaksanakan sertifikasi massal bagi tanah ulayat dalam sistem pendaftaran yang efisien dan transparan. Kepastian status dan fungsi lahan/lokasi usaha merupakan prinsip prioritas pada pengembangan agroindustri sapi potong. Sebagai kriteria dari prinsip utama tersebut, yaitu (1) kesesuaian perencanaan, (2) kejelasan fungsi dan penggunaan lahan, dan (3) kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha. Kriteria prinsip yang menjadi prioritas adalah kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha. Kriteria ini penting setelah adanya kejelasan adanya kepastian status dan fungsi lahan dalam perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong (bobot 0,1407). Usaha yang dapat dilakukan dalam penggunaan lahan atau lokasi usaha dalam mengembangkan agroindustri sapi potong adalah dengan cara memusyawarahkan bila terjadi konflik antara pemilik hak dan pengelola untuk mendapatkan kata kesepakatan. Model penggunaan/pemanfaatan lahan yang dimiliki ulayat dalam pengembangan agroindustri sapi potong dilakukan dengan mengidentifikasi dan menentukan prioritas penyelesaian konflik, kemudian merumuskan resolusi (penyelesaian) konflik. Langkah-langkah tersebut dimulai dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor-faktor penentu dalam penyelesaian konflik, menentukan pelaku yang dapat menyelesaikan persengketaan yang mungkin terjadi dan merumuskan resolusi (penyelesaian) konflik tersebut. Hasil rumusan penyelesaian konflik diwujudkan dengan kesepakatan antara pemegang dengan pengelola hak ulayat untuk menentukan besaran nilai atau kompensasi terhadap pemanfaatan lahan/tanah ulayat dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Hirarki kelima, merupakan alternatif prioritas strategi yang akan dipilih berdasarkan peringkat. Hasil pengolahan menggunakan metoda fuzzy-ahp diperoleh strategi pengembangan produk dan pasar memiliki bobot yang paling tinggi, yakni 0,2330. Kegiatan industri telah berperan dalam perekonomian Sumatera Barat, terutama industri kecil dan rumah tangga yang banyak menyerap tenaga kerja. Jumlah usaha unit industri kecil mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Tahun 2000 jumlah industri besar dan menengah sebanyak 186 unit dan industri kecil sebanyak unit. Pada tahun 2004 jumlah usaha industri besar dan menengah

18 adalah sebanyak 190 unit dan industri kecil meningkat menjadi unit. Dari struktur industri tersebut menunjukkan bahwa 95 persen dari industri di Sumatera Barat merupakan industri kecil (Pemda Sumbar, 2005). Diamati dari pembangunan dan pertumbuhan industri di Sumatera Barat selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, baik industri besar, sedang dan menengah, maupun industri kecil. Pertumbuhan produksi dari industri dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya sebesar 16,8 persen, demikian pula dengan daya saing produk industri belum menunjukkan hasil yang berarti, ditambah lagi dengan persoalan semakin banyaknya produk-produk industri dari daerah lain yang memasuki pasar-pasar, mulai dari pasar tradisional sampai ke supermarket. Produk dari luar tersebut sangat beragam dan dalam jumlah yang sangat besar. Kondisi tersebut akan berdampak tidak baik terhadap produk-produk yang dihasilkan dari Sumatera Barat. Rendahnya pembangunan industri di Sumatera Barat disebabkan antara lain oleh pertumbuhan dan peran kegiatan ekonomi industri masih rendah, industri pengolahan produk pertanian (agroindustri) belum berkembang, teknologi proses produksi yang masih sederhana, dan akses pasar produk yang masih lemah. Mengatasi permasalahan tersebut dimasa yang akan datang, arah pengembangan industri dalam kebijakan pemerintah di Sumatera Barat adalah mengembangkan industri yang bergerak dalam pengolahan produk-produk pertanian, mengembangkan industri rumah tangga dan industri kecil yang mengolah bahan baku lokal, mengembangkan industri-industri pedesaan yang banyak menggunakan bahan baku lokal, mengembangkan industri-industri pada kawasan-kawasan khusus berdasarkan ketersediaan bahan baku dengan pasar sasaran spesifik, dan memperluas akses pasar produk industri, baik untuk produk ekspor maupun untuk pasar domestik. Terdapat empat (4) kelompok hasil/produk agroindustri sapi potong dapat dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu: (1) industri pengolahan dan makanan dari daging sapi yang terdiri atas: a) pengolahan melalui pengawetan, yaitu dendeng kering; dan b) pengolahan makanan/hidangan, yaitu sosis, bakso, abon, dan rendang; (2) industri pengolahan dan makanan dari kulit sapi, yaitu: kerupuk kulit; (3) industri pengawetan kulit, yaitu: a) kulit awet, kulit lapis, b) kulit sol; (3) industri pakan, yaitu tepung tulang; dan (4) industri pupuk, yaitu pupuk kandang. Produk agroindustri sapi potong Sumatera Barat yang diidentifikasi dapat dikembangkan tersebut saat ini lebih banyak dikonsumsi dan dipasarkan di dalam negeri, sedangkan untuk pasar ekspor produk agroindustri sapi potong masih relatif sedikit yang merupakan produk hasil

19 usaha rumah tangga (usaha mikro) dan industri kecil, sehingga strategi pengembangan produk dan pengembangan pasar agroindustri sapi potong merupakan strategi yang sesuai diprioritaskan penerapannya di Sumatera Barat Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Pengembangan model perencanaan agroindustri sapi potong tidak dapat dilakukan secara parsial pada daerah yang masih menjunjung tinggi nilai adat (kepemilikan tanah ulayat) di Sumatera Barat, untuk itu perlu penerapan kelayakan secara terpadu berdasarkan komponen 1) teknis perencanaan, terdiri atas aspek kelayakan pasar, pengembangan produk, perencanaan lokasi pengembangan, dan perencanaan produksi, 2) pembiayaan pengembangan agroindustri dan resolusi/ penyelesaian konflik, dan 3) perkiraan komitmen stakeholders untuk mengembangkan agroindustri sapi potong serta analisis kelayakan dari sisi ekonomi dan finansial Teknis Perencanaan A. Kelayakan Pasar Produk utama dari sapi potong adalah daging. Daging sapi sebagai salah satu sumber protein merupakan pilihan utama bagi konsumen. Konsumsi daging sapi untuk masa yang akan datang diperlukan perkiraan proyeksi ketersediaan daging sapi. Kebutuhan akan konsumsi daging sapi setiap tahun selalu meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Permintaan total daging sapi ditentukan oleh jumlah daging sapi yang dikonsumsi per kapita per tahun. Analisis kelayakan pasar dilakukan berdasarkan masukan data jumlah penduduk (konsumen) dan data konsumsi yang menghasilkan data permintaan total selama 13 periode dengan inisialisasi tahun 1993 sampai 2005 dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat yang diolah dengan beberapa model peramalan. Proses pengolahan data dilakukan berdasarkan pendekatan sisi permintaan (demand). Besarnya permintaan total diprediksi dengan menggunakan Stepwise Autoregressive Method (Stepar) terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil yang merupakan metoda terbaik dibandingkan beberapa model prediksi lain. Secara keseluruhan 13 periode basis data permintaan dan potensial pasar daging sapi diprediksi untuk 20 tahun ke depan. Data pemasaran menggunakan data konsumsi dan produksi di semua kabupaten dan kota di Sumatera Barat dari data sekunder hasil verifikasi dan validasi

20 data Statistik Peternakan Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat tahun 1993 sampai tahun Data proyeksi ketersediaan daging sapi diperoleh berdasarkan perbedaan selisih dari data prediksi penyediaan/produksi daging sapi yang dihasilkan dengan data prediksi permintaan daging sapi. Hasil verifikasi model kelayakan pasar menunjukkan bahwa prediksi permintaan, penyediaan dan proyeksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat cenderung terus meningkat. Proyeksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat Tahun ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23. Proyeksi ketersediaan daging sapi Sumatera Barat Tahun Prediksi Permintaan (Kg) Prediksi Penyediaan (Kg) Proyeksi Ketersediaan Daging Sapi (Kg) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,89 Proyeksi ketersediaan bahan baku daging sapi untuk masa yang akan datang dinilai tinggi menurut hasil evaluasi perencanaan. Kondisi tersebut memberikan harapan untuk pembangunan agroindustri sapi potong dapat berkembang dan berkelanjutan. Dari Tabel 23 terlihat bahwa kebutuhan daging sapi berdasarkan hasil prediksi permintaan dapat dipenuhi dari penyediaan daging sapi. Hal ini terlihat bahwa ketersediaan daging sapi diprediksi masih cukup besar. Peluang potensi ketersediaan daging dan ternak sapi selama ini didistribusikan ke pasar regional yang merupakan pasar potensi ke daerah propinsi tetangga, seperti Riau, Jambi, Sumatera Utara bagian Selatan. Namun di sisi lain, dengan semakin meningkatnya permintaan pasar regional akan ternak dan daging sapi, sedangkan jumlah penambahan sapi akibat

21 jumlah akseptor yang terbatas, dapat menyebabkan pengurangan jumlah populasi sapi di Sumatera Barat walaupun belum begitu besar pengurangannya akibat pemotongan dan keluaran ternak sapi. Dari pemotongan sapi dan keluar dari Sumatera Barat tahun 2001 mencapai ekor per tahun, sedang kelahiran sapi satu tahun hanya sekitar ekor (Dinas Peternakan Propinsi Sumbar, 2002). Potensi ketersediaan dan pemotongan sapi yang cukup besar, di samping untuk kebutuhan konsumsi, hasil samping dan ikutannya, seperti kulit, tanduk, dan tulang serta kompos dapat diolah menjadi berbagai produk agroindustri yang bernilai tinggi. B. Pengembangan Produk Agroindustri Sapi Potong Daging dan jeroan merupakan hasil utama dari sapi potong. Daging sapi dapat diolah menjadi daging lumat, ekstrak/esense daging, daging potongan, melalui proses pengawetan dapat menghasilkan berbagai jenis produk. Produk utama sapi potong berupa daging berdasarkan bagian potongan/kualitas dan peningkatan daya simpan atau masa simpannya dapat dihasilkan menjadi produk olahan dan hidangan melalui proses pengawetan. Daging sapi dapat dilakukan proses pengawetan dengan cara pendinginan (chilling), pembumbuan/perawatan (curing), pengasapan (smoking), pengeringan (drying), pengalengan (canning), pembekuan (freezing), irradiasi (irradiation) dan diekstrak (extract). Hasil pengawetan daging dapat menghasilkan produk daging beku, daging curing, daging asap, daging panggang, daging goreng, daging kering, dendeng (kering, irisan/sayat, ragi, giling), daging kaleng (daging sapi kuah dalam kaleng, corned, daging cincang, roast beef, dan potted meat), sedangkan jeroan sapi dapat diolah menghasilkan produk makanan (babat kaleng) Palupi (1986). Berdasarkan peta rangka sapi sesuai dengan kualitasnya, daging kualitas I berupa bagian dari Has Luar (sirloin) diolah untuk Bistik (Beef-steak), Roll. Daging kualitas II berupa bagian Has Dalam (fillet) untuk produk: Empal, Sate, Rendang, Sukiyaki, Grill, Steak. Daging kualitas III berupa bagian Penutup (topside rump) untuk Empal, Beef-steak, Rendang, Dendeng, Kari, Bakso dan Abon. Daging kualitas IV, bagian Pendasar (Penutup) dan Gandik untuk Empal, Bistik, Rendang, Dendeng, Baso dan Abon, dan bagian Pangkal (inside) untuk Sate, Daging giling, Corned, Sop, dan Rawon. Daging kualitas V, bagian Lamusir Depan untuk Beef-steak, Sate, Rendang, Empal dan Sukiyaki. Daging kualitas VI, bagian Paha Depan untuk Empal, Semur, Sop, Kari, dan Abon. Daging kualitas VII bagian Daging Punuk untuk Empal,

22 Semur, Sop, Kari, dan Abon. Daging kualitas VIII, bagian Sengkel untuk Semur, Sop, dan Rawon. Daging kualitas IX, bagian Daging Iga dan Sandung Lamur untuk Sop, Corned, Rawon, Roll, dan Roas. Daging Kualitas X, bagian Samcan untuk Sate, Daging Giling, Sop, Corned, dan Rawon (Palupi, 1986; Murtidjo, 2005). Hasil samping sapi potong berupa lidah dan otak umumnya dijadikan produk bahan makanan (otak sapi kalengan) Palupi (1986). Tulang sapi dihaluskan menjadi tepung tulang dapat diolah menjadi osein dan gelatin yang dihasilkan melalui proses ekstraksi osein untuk industri makanan dan pakan ternak. Darah sapi melalui proses pengeringan dan digiling menjadi tepung darah digunakan sebagai sumber protein dalam bahan makanan ternak, sedangkan kulit sapi di samping dijadikan untuk bahan makanan berupa kerupuk rambak kulit sapi (Wahyono dan Marzuki, 2004), dapat diolah menjadi berbagai produk yang bernilai komersial, seperti kulit awet dan kulit samak (Murtidjo, 2005). Beberapa produk hasil olahan dan pengawetan daging, jeroan dan produk olahan kulit sapi dapat dilihat pada Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24. Produk-produk agroindustri daging sapi dan hasil samping Komoditi/ Bahan Baku Produk Antara/Proses Produk Agroindustri Daging Olahan: 1. Daging lumat 2. Ekstrak/esense daging 3. Daging potongan Pengawetan: 1. Pendinginan 2. Perawatan 3. Pengasapan 4. Pengeringan 5. Pengalengan 6. Pembekuan 7. Irradiasi Produk olahan daging dan pengawetan: Bistik Sosis Bakso Nugget Abon Dendeng giling Ekstrak/esense daging Rendang, rendang kalengan Rawon Daging beku Dendeng (kering, sayat, ragi) Daging asap Corned Jeroan Jeroan Produk makanan basah Bahan Pakan ternak Lidah Lidah Produk makanan basah Tulang Tepung Tulang Osein Gelatin Otak Otak Produk makanan basah Darah Tepung darah Produk pakan ternak Sumber: Palupi (1986); Murtidjo (2005) Berbagai produk dapat dihasilkan dari sapi potong baik dari hasil utama daging dan jeroan maupun dari hasil sampingnya. Pengembangan produk agroindustri sapi potong pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kebiasaan masyarakat setempat serta adanya permintaan pasar. Pemilihan produk yang sesuai dikembangkan atas permintaan pasar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

23 (pasar lokal dan regional) maupun pasar ekspor dirancang berdasarkan pada kriteriakriteria: potensi pasar, lokasi, bahan baku, sarana produksi, aksesibilitas, dukungan pemerintah, gangguan dan pencemaran lingkungan, peralatan dan alat (teknologi penunjang), dan sumberdaya manusia. Tabel 25. Produk-produk agroindustri kulit sapi Komoditi/ Bahan Baku Produk Antara/Proses Produk Agroindustri Kulit Kulit jangat Kerupuk kulit Kulit awet Kulit samak Kulit Perkamen Kulit kalf (kulit halus/ringan) Kulit berat Kulit samak/berbulu Kulit Perkamen Kulit lapis Bahan pembuat tas Bahan pembuat sepatu Bahan pembuat jaket Bahan pembuat dompet Bahan pembuat ikat pinggang Kulit sol Harmes Ban mesin Kulit samak/berbulu Bahan pembuat kap lampu Bahan pembuat wayang kulit Bahan pembuat drum Bahan pembuat rebana Sumber: Judoamidjojo (1980); Wahyono dan Marzuki (2004); Murtidjo (2005) Penilaian kriteria terhadap beberapa alternatif produk agroindustri sapi potong yang dipilih menggunakan metoda perbandingan eksponensial (MPE). Hasil pengolahan MPE menghasilkan produk yang cocok dan sesuai dikembangkan di Sumatera Barat adalah dendeng kering. Hasil evaluasi model perencanaan menunjukkan bahwa produk dendeng kering cukup sesuai dikembangkan di Sumatera Barat. Dendeng merupakan makanan yang tradisional yang cukup terkenal dan pada umumnya yang banyak dipasarkan adalah dendeng sapi, yaitu dendeng yang dibuat dengan bahan baku daging sapi. Di Sumatera Barat dendeng sapi disebut dengan dendeng kering. Dendeng kering merupakan produk agroindustri sapi potong Sumatera Barat dan telah dipasarkan sebagai produk ekspor sektor pertanian sejak tahun Negara tujuan ekspor dendeng kering asal Sumatera Barat adalah Singapura. Volume ekspor dendeng kering Sumatera Barat dari tahun 1995 sampai 2005 sangat

24 berfluktuatif, rata-rata volume ekspor dendeng kering Sumatera Barat adalah sebesar kg per tahun (GPEI Cabang Padang, 2006). Usaha dendeng kering cukup berkembang di Sumatera Barat dan dihasilkan oleh industri (usaha pengolahan) makanan dengan skala kecil atau usaha rumah tangga. Usaha dendeng kering dan produk makanan hasil produk sapi potong lainnya biasa berkembang disekitar lokasi/kawasan sentra produksi peternakan sapi potong atau kawasan pengembangan ternak sapi di Sumatera Barat dalam usaha kecil. Dendeng kering lebih disukai konsumen karena berasal dari daging sapi yang kandungan lemak yang rendah dan serat-seratnya lebih lembut dibanding jenis ternak besar lainnya. Berdasarkan peta rangka sapi, bagian yang dijadikan dendeng sapi atau dendeng kering adalah bagian penutup (topside rump) atau bagian pendasar (penutup) dan gandik. Bagian penutup (topside rump) menurut Palupi (1986); Murtidjo (2005) termasuk kelompok daging kualitas III, bagaian pendasar dan gandik termasuk ke dalam kualitas IV. Berdasarkan kandungan lemak yang terdapat di dalam daging, daging dengan kualitas prima dihasilkan oleh sapi yang berumur kurang dari empat tahun, sedangkan sapi yang yang berumur lebih dari empat tahun menghasilkan daging dengan kualitas komersial (Palupi, 1986) Purnomo (1997) menyatakan bahwa dendeng berwarna coklat gelap, disebabkan oleh pigmen coklat atau pigmen melanoidin yang dihasilkan oleh reaksi pencoklatan non enzimatis dan kemungkinan warna coklat diakibatkan oleh adanya proses karamelisasi selama produksi dendeng tersebut. Sebelumnya Winarno et al. (1980) dalam Palupi (1986) menyatakan, warna dendeng coklat sampai hitam terjadi karena reaksi antara asam amino dari protein dengan gula pereduksi, di samping disebabkan olah warna gula yang digunakan. Perebusan daging sebelum pengeringan dapat membantu menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat pada daging, sehingga dapat mengurangi terjadinya reaksi browning enzimatik. Dendeng yang diperoleh di pasar menurut Purnomo (1997) mempunyai mutu mikrobilologis yang kurang baik, karena mempunyai total mikroorganisme sebanyak 5 x cfu/g dendeng. Hal ini disebabkan oleh sanitasi dan higiene yang kurang baik di tempat pembuatan dendeng atau daging yang dipakai telah tercemar mikroorganisme atau terkontaminasi selama proses pembuatan, penanganan pasca produksi dan selama penyimpanan. Bumbu-bumbu yang digunakan selain sebagai penambah rasa khas pada dendeng juga dapat menjadi sumber pencemaran mikroorganisme apabila bumbu-bumbu tersebut sejak awal sudah banyak mengandung mikroorganisme.

25 Syarat mutu dendeng sapi menurut Standar Perdagangan (SP) , yaitu dendeng sapi dalam bentuk dendeng sapi irisan atau dendeng sayat, digolongkan ke dalam jenis Mutu I dan Mutu II (Palupi, 1986). Syarat mutu dendeng sapi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Syarat mutu dendeng sapi menurut Standar Perdagangan (SP) Syarat Karakteristik Mutu I Mutu II Khas Dendeng Sapi 12 - Warna dan bau - Kadar air, % (bobot/bobot) maksimum - Kadar protein, % (bobot/bobot kering) minimum - Abu tidak larut dalam asam, % (bobot/bobot kering) maksimum - Benda asing, % (bobot/bobot kering) maksimum - Kapang dan serangga Sumber: Palupi (1986) Tidak tampak Khas Dendeng Sapi Tidak tampak Menurut Standar Perdagangan (SP) pada Tabel 26, benda asing adalah benda-benda lain bukan bagian dari dendeng sapi selain serangga/kapang, misalnya tanah, batu-batuan, ranting-ranting dan sebagainya yang terdapat pada dendeng sapi dan ikut serta dalam kemasan. Dendeng sapi yang berkapang adalah dendeng sapi yang ditumbuhi oleh kapang yang dapat dilihat dengan mata. Dendeng sapi yang berserangga adalah dendeng sapi yang dicemari serangga hidup atau mati serta bagian-bagian tubuh serangga di dalam dendeng sapi atau kemasan yang dapat dilihat dengan mata. Apabila meragukan, pengujian dapat dilakukan dengan kaca pembesar 10 kali. Proses pembuatan dendeng sapi praktis tidak sulit. Dendeng daging sapi terasa lebih enak, karena dalam proses pembuatannya daging sapi setelah diiris tipis diberi bumbu dan dilakukan proses pengeringan sehingga dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Bumbu diberikan dalam pembuatan dendeng mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam pembentukan flavor yang khas dan cita rasa produk. Bumbu-bumbu yang dipakai adalah rempah-rempah dari bagian tanaman yang mempunyai flavor dan aroma tertentu untuk meningkatkan flavor dan aroma produk, menutupi atau mengurangi flavor dan aroma bahan baku dan bahan-bahan tambahan lainnya yang tidak dikehendaki. Proses pembuatan dendeng belum dibakukan, karena merupakan seni memasak yang bersifat rahasia (Purnomo, 1997).

26 Bumbu-bumbu yang diberikan dalam proses pembuatan dendeng sapi yang umum di Sumatera Barat setelah daging disayat tipis dicampur dan diaduk dengan bawang putih, asam jawa atau jeruk nipis, jahe, garam dan ketumbar yang telah dihaluskan. Takaran untuk setiap kg daging sapi dibutuhkan bahan tambahan bumbu bawang putih sebanyak 20 gr, asam jawa sebanyak 10 gr, jahe sebanyak 15 gr, ketumbar bubuk sebanyak 25 gr dan garam sekitar 30 gr yang telah dihaluskan, kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari selama 6-7 hari atau menggunakan alat pengering (oven) berbahan bakar minyak atau gas pada suhu o C selama 4-5 jam. Diagram alir pembuatan dendeng kering disajikan pada Gambar 34. Daging segar Kg (ka 72,4%) 1 Bumbu 100 Kg (ka 63,6%) 3 Pencucian Penghalusan Penyayatan (3 mm) Pencampuran Campuran daging dan bumbu Kg (ka 71.6 %) 1 Penginkubasian pada suhu ruang selama 1 jam Pengeringan dengan sinar matahari di atas tampah selama 6-7 hari atau dengan oven pada suhu o C selama 4-5 jam Uap air 745 Kg 3 Dendeng kering 355 Kg 3 (ka 12 %) 2 Keterangan: 1 Purnomo, 1997; 2 SNI, 1992; 3 Hasil perhitungan Gambar 34. Proses pembuatan dendeng kering (Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001)

27 C. Perencanaan Lokasi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Dataran Sumatera Barat (kabupaten/kota) sebagian besar berada pada dataran tinggi, terletak pada jajaran bukit barisan yang meliputi gugusan gunung dan pegunungan dihampir semua kabupaten, kecuali kabupaten pada daerah pesisir Barat Sumatera, seperti Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, sebagian Kabupaten Agam (Agam bagian Barat), Kabupaten Pasaman dan Kota Padang. Lokasi pengembangan peternakan sapi potong sebagai lumbung ternak nagari di Sumatera Barat disajikan dalam peta lumbung ternak nagari pada Gambar 35. Kab. Lima Puluh Kota Kab. Pasaman Barat Kab. Tanah Datar Kab. Agam Kab. Padang Pariaman Kab. Solok Kab. Dharmasraya Kab. Pesisir Selatan Peta Lumbung Ternak Nagari Sumatera Barat Gambar 35. Peta lokasi pengembangan peternakan sapi potong Sumatera Barat Kawasan yang dijadikan untuk pengembangan peternakan sapi potong di Sumatera Barat tersebar di enam belas (16) lokasi/kenagarian pada delapan (8)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Kegiatan penelitian berlangsung pada Februari 2015. B. Alat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein

Lebih terperinci

METODA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

METODA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian IV. METODA PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Komoditi sapi potong merupakan sumber daya lokal yang sangat potensial dikembangkan di Sumatera Barat. Pengembangan sapi potong di Sumatera

Lebih terperinci

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Matheus Sariubang, Novia Qomariyah dan A. Nurhayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. P. Kemerdekaan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Koperasi Unit Desa (KUD) Puspa Mekar yang berlokasi di Jl. Kolonel Masturi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.

Lebih terperinci

VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL

VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL 7.1. Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen basis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok, 98 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

Lebih terperinci

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT Sasongko W Rusdianto, Farida Sukmawati, Dwi Pratomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3. Disain Penelitian Menurut Sarwono, Jonathan (2006:79) dalam melakukan penelitian salah satu hal penting adalah membuat desain penelitian. Desain Penelitian bagaikan sebuah peta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 A. Metode Dasar Penelitian III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Ciri-ciri metode deskriptif analitis adalah memusatkan pada pemecahan

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi utama perkebunan di Indonesia. Komoditas kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis dalam perekonomian Indonesia. Pertama, minyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode analisis

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode analisis BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode analisis deskriptif adalah metode yang digunakan untuk meneliti sekelompok manusia,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PROBLEM SOLVING

BAB 3 METODE PROBLEM SOLVING BAB 3 METODE PROBLEM SOLVING Penetapan Kriteria Optimasi Penetapan kriteria optimasi dalam studi ini akan dijabarkan sebagai berikut: Kekuatan aspek internal perusahaan yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. di industri perunggasan khususnya telur ayam ras petelur. AAPS berlokasi di km

IV. METODE PENELITIAN. di industri perunggasan khususnya telur ayam ras petelur. AAPS berlokasi di km 37 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perusahaan AAPS, perusahaan yang bergerak di industri perunggasan khususnya telur ayam ras petelur. AAPS berlokasi

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian yang dilakukan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa perlu dilaksanakan pengembangan agroindustri serat sabut kelapa berkaret. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI. oleh perusahaan. Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan

BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI. oleh perusahaan. Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan 144 BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI 7.1 Analisis Matriks EFE dan IFE Tahapan penyusunan strategi dimulai dengan mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan serta kekuatan dan

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT... RINGKASAN EKSEKUTIF... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFRTAR LAMPIRAN... i ii v vii ix xii xiii xiv I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanaman Salak Tanaman salak memiliki nama ilmiah Salacca edulis reinw. Salak merupakan tanaman

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN Strategi Pengembangan Usaha Maharani Farm Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Rumah Potong Ayam Maharani Farm yang beralamat

Lebih terperinci

VII. FORMULASI STRATEGI

VII. FORMULASI STRATEGI VII. FORMULASI STRATEGI 7.1 Tahapan Masukan (Input Stage) Tahapan masukan (input stage) merupakan langkah pertama yang harus dilakukan sebelum melalui langkah kedua dan langkah ketiga didalam tahap formulasi

Lebih terperinci

PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYUR-SAYURAN DI KABUPATEN KARIMUN RIAU

PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYUR-SAYURAN DI KABUPATEN KARIMUN RIAU PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYUR-SAYURAN DI KABUPATEN KARIMUN RIAU Almasdi Syahza Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPKPEM) Universitas Riau Email: asyahza@yahoo.co.id:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Wisata Agro Tambi yang terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN VII VII. MANAJEMEN PEMASARAN. Mengetahui kelas dan grade ternak potong yang akan dipasarkan

POKOK BAHASAN VII VII. MANAJEMEN PEMASARAN. Mengetahui kelas dan grade ternak potong yang akan dipasarkan Tatap muka : ke 12 POKOK BAHASAN VII VII. MANAJEMEN PEMASARAN Tujuan Instruksional Umum : Agar mahasiswa mengetahui dan mengerti arti penting manajemen pemasaran pada ternak potong, sehingga dapat menyusun

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rahat Cafe 1 yang berlokasi di Jalan Malabar 1 No.1 (samping Pangrango Plaza) kota Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data 27 III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data Lokasi tempat pelaksanaan Program Misykat DPU DT berada di kelurahan Loji Gunung Batu, Kecamatan Ciomas, Kotamadya Bogor, Jawa Barat. Waktu pengumpulan data selama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumsi daging dan produk-produk peternakan dalam negeri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan dan daya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode yang Digunakan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang cukup penting di dalam proses pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Produk peternakan merupakan sumber protein hewani. Permintaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN.. 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN.. 1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman.. i..vi.. viii.. ix I. PENDAHULUAN.. 1 1.1. Latar Belakang.. 1 1.2. Identifikasi Masalah..5 1.3. Rumusan Masalah.. 6 1.4. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis pembuatan kerupuk kulina (kulit ikan nila) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis pembuatan kerupuk kulina (kulit ikan nila) merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN Bisnis pembuatan kerupuk kulina (kulit ikan nila) merupakan salah satu bentuk kegiatan menciptakan nilai tambah kulit ikan nila dengan mengidentifikasi peluang bisnis kerupuk tersebut

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perusahaan Tyas Orchid yang berkantor di Bukit Cimanggu City Blok Q6 No 19 Jl. KH. Sholeh Iskandar, Bogor. Pemilihan objek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut menunjukkan peternakan memiliki

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. (PKPBDD) yang terletak di Jalan Raya Sawangan No. 16B, Pancoran Mas,

IV. METODE PENELITIAN. (PKPBDD) yang terletak di Jalan Raya Sawangan No. 16B, Pancoran Mas, IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok (PKPBDD) yang terletak di Jalan Raya Sawangan No. 16B, Pancoran Mas, Depok. Pemilihan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 1. Data keuangan perusahaan. 2. Data kegiatan operasional Perusahaan. ini dapat berupa:

BAB III METODOLOGI. 1. Data keuangan perusahaan. 2. Data kegiatan operasional Perusahaan. ini dapat berupa: BAB III METODOLOGI III.1 Tehnik Pengumpulan Data III.1.1 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penyusunan GFP ini dibagi 2, yaitu :! Data Primer Merupakan data internal yang didapat dari PT. QCC.

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala 50 III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 3.1.1 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala a. Penentuan Kriteria dan Alternatif : Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yakni Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, khususnya di Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) Agroforestry yang membawahi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko. RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, 2005. Analisis Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis di Kabupaten Dompu Propinsi Nusa Tenggara Barat. Di Bawah bimbingan E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian menyebar ke seluruh benua dengan perantara penduduk asli. James Drummond Dole adalah orang pertama yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pabrik Kelapa Sawit Adolina PT Perkebunan Nusantara IV yang terletak di Kelurahan Batang Terap Kecamatan Perbaungan Kabupaten

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI Oleh: Yusmichad Yusdja Rosmijati Sajuti Sri Hastuti Suhartini Ikin Sadikin Bambang Winarso Chaerul Muslim PUSAT

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan masyarakat pedesaan dan berkembang di hampir seluruh wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan masyarakat pedesaan dan berkembang di hampir seluruh wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prospek Peternakan Domba Secara Nasional Kambing dan domba (kado) mempunyai peran yang sangat strategis bagi kehidupan masyarakat pedesaan dan berkembang di hampir seluruh wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Disain Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Arikunto (2005: 234) adalah penelitian yang dimaksud untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Asahan, untuk melihat kajian secara umum. Sedangkan untuk kajian detil dilakukan di kecamatan-kecamatan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Responden

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Responden IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada usaha Durian Jatohan Haji Arif (DJHA), yang terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang KM. 14 Kecamatan Baros, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang bertujuan membantu memecahkan masalah yang bertujuan membantu memecahkan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PROBLEM SOLVING

BAB 3 METODE PROBLEM SOLVING BAB 3 METODE PROBLEM SOLVING 3.1 Penetapan Kriteria Penelitian Kriteria Optimasi yang digunakan untuk menganalisis alternatif-alternatif strategi bisnis yang akan digunakan Restaurant PT Okirobox Indonesia

Lebih terperinci

4. IDENTIFIKASI STRATEGI

4. IDENTIFIKASI STRATEGI 33 4. IDENTIFIKASI STRATEGI Analisis SWOT digunakan dalam mengidentifikasi berbagai faktor-faktor internal dan eksternal dalam rangka merumuskan strategi pengembangan. Analisis ini didasarkan pada logika

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian adalah PT Godongijo Asri yang beralamat di Desa Serua, Kecamatan Cinangka, Sawangan, Depok, Jawa

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kajian

III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kajian III. METODE KAJIAN 3.. Kerangka Pemikiran Kajian Sinergi yang saling menguntungkan antara petani dan perusahaan (PT ATB) dalam pengusahaan perkebunan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan perkebunan

Lebih terperinci

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA bab lima belas MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA Pendahuluan Di Indonesia, ternak domba diduga telah mulai dikenal sejak nenek moyang pertama bangsa Indonesia mendiami Indonesia. Adanya ternak

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Pengumpulan data primer melalui survei lapangan, wawancara

III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Pengumpulan data primer melalui survei lapangan, wawancara 20 III. METODE KAJIAN A. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Pengumpulan data primer melalui survei lapangan, wawancara (lampiran 1) dengan pihak perusahaan sebanyak 3 responden

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR PADA PERUSAHAAN AAPS KECAMATAN GUGUAK, KABUPATEN 50 KOTA, SUMATERA BARAT

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR PADA PERUSAHAAN AAPS KECAMATAN GUGUAK, KABUPATEN 50 KOTA, SUMATERA BARAT STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR PADA PERUSAHAAN AAPS KECAMATAN GUGUAK, KABUPATEN 50 KOTA, SUMATERA BARAT Oleh: NIA YAMESA A14105579 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah Carica 2.2. One Village One Product (OVOP)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah Carica 2.2. One Village One Product (OVOP) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah Carica Buah carica atau pepaya gunung merupakan rumpun buah pepaya yang hanya tumbuh di dataran tinggi. Di dunia, buah carica hanya tumbuh di tiga negara yaitu Amerika Latin,

Lebih terperinci

BAB VII FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA. 7.1 Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Produk Sayuran Organik

BAB VII FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA. 7.1 Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Produk Sayuran Organik 96 BAB VII FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA 7.1 Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Produk Sayuran Organik Analisis lingkungan membantu perusahaan dalam menentukan langkah strategi yang tepat dalam

Lebih terperinci

RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN TAPIN Anggaran : 207 Formulir RKA SKPD 2.2 Urusan Pemerintahan : 3. 03 Urusan Pilihan Pertanian Organisasi : 3. 03. 0 Dinas

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur.

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di peternakan domba Tawakkal Farm (TF) Jalan Raya Sukabumi Km 15 Dusun Cimande Hilir No. 32, Caringin, Bogor. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah yang dimanfaatkan sebagian besar penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN. B. Pengolahan dan Analisis Data

III. METODE KAJIAN. B. Pengolahan dan Analisis Data 19 III. METODE KAJIAN Kajian ini dilakukan di unit usaha Pia Apple Pie, Bogor dengan waktu selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga bulan November 2007. A. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data 15 III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu Pengambilan data dilakukan di PT. Mitra Bangun Cemerlang yang terletak di JL. Raya Kukun Cadas km 1,7 Kampung Pangondokan, Kelurahan Kutabaru, Kecamatan Pasar

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK Susy Edwina, Dany Varian Putra Fakultas Pertanian Universitas Riau susi_edwina@yahoo.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL

PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL Mochammad Taufiqurrochman 1) dan Buana Ma ruf 2) Manajemen Industri Program Studi Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lebih terperinci

STRATEGI PEMASARAN PRODUK OLAHAN WORTEL (Studi Kasus Kelompok Wanita Tani Kartini Di Kawasan Rintisan Agropolitan Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur)

STRATEGI PEMASARAN PRODUK OLAHAN WORTEL (Studi Kasus Kelompok Wanita Tani Kartini Di Kawasan Rintisan Agropolitan Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur) STRATEGI PEMASARAN PRODUK OLAHAN WORTEL (Studi Kasus Kelompok Wanita Tani Kartini Di Kawasan Rintisan Agropolitan Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur) Oleh : DESTI FURI PURNAMA H 34066032 PROGRAM SARJANA

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci