BAB II LANDASAN TEORI. biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997)."

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II.A. Homoseksual II.A.1. Pengertian Homoseksual Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang: heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997). Istilah homoseksual paling sering digunakan untuk menggambarkan perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial. Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah gay dan lesbian dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama. Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada: orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama. 13

2 Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia, 2007). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual. II.A.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002). Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil 14

3 dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya, konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda, dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual secara lahiriah (Carroll, 2005). Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang terbentuknya perilaku homoseksual. 1. Pendekatan Biologis Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang mengatakan bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon, atau sifat (trait) fisik sederhana. a. Genetik Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual. Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen 15

4 homoseksual melalui garis keturuan ibu, menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen gay ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen lesbian. b. Hormon Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner, 1988), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut (Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama kehamilan (yang bisa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995). Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah pada homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan 16

5 umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988). Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990). c. Fisiologi Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman, 1990). Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria heteroseksual. Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000) menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal kehidupannya. 17

6 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu (Carroll, 2005). a. Freud dan Psikoanalitis Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit. Dia bahkan menemukan homoseksual dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis. Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi 18

7 pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis penyakit mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an. Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak. Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari 100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk 19

8 lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita lainnya (Carroll, 2005). b. Ketidaknyamanan Peran Gender Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki hubungan sebab akibat. Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau sissy boy memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi biseksual. Sissy boy tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990). Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak perempuan yang tidak nyaman dengan jendernya, menjadi tomboy, 20

9 tidak berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam menjelaskan homoseksual, karena banyak pria gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay. c. Interaksi Kelompok Teman Sebaya Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria bisa muncul lebih cepat daripada wanita. d. Teori Behavioris Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap 21

10 perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005). 3. Pendekatan Sosiologi Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005). Penggunaan istilah homoseksual yang mengacu pada perilaku sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orangorang secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah seseorang homoseksual atau heteroseksual bukanlah fakta biologis tetapi hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial. 22

11 4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminnya atau tidak. Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996) mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis. Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih eksotis dan menarik. II.A.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya. Tahapan 1: Identitiy confusion. Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa menerima 23

12 peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya (seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa dia adalah gay yang sebenarnya ). Tahapan 2: Identity comparison. Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual. Tahapan 3: Identity tolerance. Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan gaya hidup ganda. Tahapan 4: Identity acceptance. Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam budaya homoseksual. 24

13 Tahapan 5: Identity pride Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya hidupnya. Tahapan 6: Identity synthesis Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam gay dan lesbian yang baik dan heteroseksual yang buruk. Individu menjalani gaya hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah selesai. II.B. Makna Hidup II.B.1. Pengertian Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (purpose of living). Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, maka kehidupan yang dirasakan berguna, berharga, dan berarti (meaningful) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat 25

14 ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless). Di dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni halhal yang perlu dicapai dan dipenuhi (Bastaman, 2007). Dalam teorinya, Victor Frankl menjelaskan tentang tiga aspek dasar mengenai kebermaknaan hidup yaitu : a. Manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak (freedom to will) b. Ada kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning) c. Menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life) Kebebasan berkehendak adalah kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural serta sejarah hidupnya. Manusia bukan saja mampu mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi di luar dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri (self-detachment). Kemampuan inilah yang menyebakan manusia disebut the self determining being yag menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab (Bastaman, 1996). II.B.2. Karakteristik Makna Hidup Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), makna hidup memiliki beberapa karakteristik, yaitu : a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi, dan temporer, sehingga tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan sendiri. 26

15 Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu penting dan berharga bagi orang lain. b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, hanya dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan idealistis, renungan filosofis dan prestasi akademik yang menakjubkan.. c. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang kita lakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang kita untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, kita seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan kita pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu. II.B.3. Sumber Makna Hidup Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu : a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values) Dengan apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to live). Maksudnya melalui tindakan-tindakan kreatif atau menciptakan suatu karya seni atau bahkan dengan melayani orang lain dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Melalui karya dan kerja seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna 27

16 b. Nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values) Dengan apa yang dapat kita ambil dari dunia ini (what we take from the world). Maksudnya dengan mengalami sesuatu misalnya melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam alam dan budaya, atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya, dengan mencintainya. c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values) Dengan sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari (the attitude we take toward unavoidable suffering). Ketika manusia menghadapi nasib buruk atau situasi menghambat yang tidak bisa diubahnya, dengan kata lain ketika menderita, dia tetap bisa merealisasikan nilai yang bisa mengantarkannya kepada makna. Bastaman menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu : d. Nilai-nilai Harapan (Hopeful Values) Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan, sekalipun belum tentu menjadi kenyataan, dapat memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. 28

17 II.B.4 Makna dalam Penderitaan Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia maupun derita, karena manusia selama hidup di dunia ini tidak selalu dalam keadaan menyenangkan (Bastaman, 1996). II.B.4.a Penderitaan Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, kerena eksisstensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air mata, derita dan bahagia. Terlepas dari berat-ringannya, setiap orang dalam hidupnya pasti pernah mengalami penderitaan (Bastaman, 1996). Bastaman (1996) menggambarkan penderitaan sebagai perasaan tidak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan yang dialami seseorang. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Bastaman 1996) digambarkan penderitaan sebagai proses, perbuatan, cara menderita, dan penanggungan yang terkait dengan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat, kesengsaraan dan kesusahan. Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyatakan tiga hal yang dapat menimbulkan penderitaan. Tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia atau the three tragic triads of human existence antara lain: 1. Rasa sakit (pain), suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau kegelisahan mental dan fisik. Intensitas rasa sakit berkisar mulai dari setengah gelisah atau perasaan ayng membosankan, hingga penderitaan yang akut, barangkali rasa sakit yang tidak terperikan dan 29

18 dapat dirasakan secara menyeluruh atau hanya pada beberapa bagian, sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari, melarikan diri, atau menghancurka faktor penyebabnya. 2. Rasa bersalah (guilt), merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak sesuai hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu. 3. Kematian (death), baik kematian itu sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragdi alami yang pasti terjadi dan dialami oleh setiap orang. II.B.4.b Tahap-Tahap Penemuan Makna dalam Penderitaan Bastaman (1996) memaparkan beberapa tahap yang harus dilalui seseorang dalam menemukan dan memenuhi makna hidupnya dalam suatu penderitaan, yaitu: 1. Tahap derita, yaitu pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa makna. Suatu peristiwa tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, apatis, bosan, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan hidup. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengambil prakarsa. 30

19 2. Tahap penerimaan diri, individu mulai menerima apa yang terjadi pada hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Munculnya kesadaran diri biasanya didorong oleh beraneka ragam sebab. Misalnya, karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pendangan dari seseorang, hasil do a dan ibadah, belajar dari orang lain, dan lain-lain. 3. Tahap penemuan makna hidup. Tahap ini ditandai dengan penyadaran individu akan nilai-nilai berharga yang sangat penting dalam hidupnya. Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilainilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. 4. Tahap realisasi (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup). Pada tahap ini, individu akan mengalami semangat dan gairah dalam hidupnya, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self commitment) untuk melakukan kegiatan nyata yang lebih terarah guna memenuhi makna hidupnya. 5. Tahap kehidupan bermakan (penghayatan bermakna, kebahagiaan). Keberhasilan dalam menemukan dan memenuhi makna hidup akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia. II.B.5. Kelompok Orang yang Mencari Makna Frankl membagi dua kelompok orang yang mencari makna : a. People in Doubt 31

20 Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan dalam hidup mereka dan sedang mencari makna. Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi pemanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis serius, psikotis,atau bahkan depresi. b. People in Despair Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya atau menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan, dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk bunuh diri. 32

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).

BAB II LANDASAN TEORI. biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997). 13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Homoseksual Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang: heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau biseksual

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa. sapiens) dan bahasa latin sex yang berarti seks (Kinsey, 1948; Sell, 1987).

BAB II KAJIAN TEORI. Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa. sapiens) dan bahasa latin sex yang berarti seks (Kinsey, 1948; Sell, 1987). BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Homoseksual 2.1.1 Definisi Homoseksual Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga. BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP II. 1. Pendekatan Psikologi Setiap kejadian, apalagi yang menggoncangkan kehidupan akan secara spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga

BAB II LANDASAN TEORI. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga BAB II LANDASAN TEORI II.A. MAKNA HIDUP II.A.1. Definisi Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain. B A B I I L A N D A S A N T E O RI I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam (Caroll,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata logos yang artinya makna

BAB II LANDASAN TEORI. logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata logos yang artinya makna BAB II LANDASAN TEORI A. MAKNA HIDUP A.I. Definisi Makna Hidup Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat pederitanya merasa bahwa identitas gendernya (sebagai laki-laki atau perempuan) tidak sesuai dengan anatomi biologisnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Makna Hidup 1. Definisi Makna Hidup Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana teori ini dituangkan ke dalam suatu terapi yang dikenal dengan nama logoterapi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Terlampir B. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki Anak Autis Tingkat kebersyukuran orang tua

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konseptualisasi topik yang diteliti 1. Kebermaknaan Hidup a. Pengertian Kebermaknaan Hidup Makna hidup menurut Frankl adalah kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Formation 1. Pengertian Identity Formation Marcia (1993) menyatakan bahwa identity formation atau pembentukan identitas diri merupakan: Identity formation involves

Lebih terperinci

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu 63 BAB V PENUTUP 5.1. Pembahasan Identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Jika seorang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anxiety 2.1.1 Definisi Anxiety atau kecemasan adalah emosi spesifik yang terkarakterisasi dari timbulnya kewaspadaan yang tinggi, negatif valensi, ketidakpastian, dan rendahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends Bab 4 Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis data yang penulis lakukan pada bab analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli

BAB II LANDASAN TEORI. Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli BAB II LANDASAN TEORI A. Makna Hidup A. 1. Definisi Makna Hidup Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 14 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini membahas landasan teori religiusitas Homoseksual di Surabaya meliputi : A. Religiusitas Homoseksual 1. Pengertian Religiusitas dan agama a. Definisi Religiusitas Secara

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan.

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan. Bab 5 Ringkasan 5.1 Ringkasan Isi Skripsi Mengenai Analisis Psikologi Transgender Pada Tokoh Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Dalam bab ini, penulis akan menjabarkan ringkasan dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebermaknaan Hidup 2.1.1. Pengertian Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa keseluruhan subyek yang sedang dalam rentang usia dewasa awal mengalami tahapan pembentukan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis. BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

PERAN KOMUNIKASI SEKSUAL ORANGTUA-ANAK TERHADAP GANGGUAN IDENTITAS GENDER

PERAN KOMUNIKASI SEKSUAL ORANGTUA-ANAK TERHADAP GANGGUAN IDENTITAS GENDER PERAN KOMUNIKASI SEKSUAL ORANGTUA-ANAK TERHADAP GANGGUAN IDENTITAS GENDER SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Diajukan oleh : MUNIFAH F 100 040 091 Kepada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : 5.1.1. Indikator Identitas Diri Menurut subjek SN dan GD memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan hidup merupakan tujuan yang harus dicapai oleh setiap individu. Ketidakmampuan manusia dalam mencapai makna

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditariklah suatu kesimpulan yaitu : 5.1.1 Indikator kepuasan Seksual Subyek A, B dan C menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja (adolescense) adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

tersisih , mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap BABI PENDAHUL UAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Pada umumnya, masyarakat di Indonesia mengenal adanya 3 Jems orientasi seksual. Ketiga orientasi tersebut adalah heteroseksual, homoseksual dan biseksual.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan,

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan satu hal yang baru. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan, dari anak anak sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjenis kelamin wanita disebut lesbian, dan homoseksual yang berjenis kelamin

BAB I PENDAHULUAN. berjenis kelamin wanita disebut lesbian, dan homoseksual yang berjenis kelamin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual dan romantik terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Homoseksual yang berjenis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik 1. Pengertian Konflik Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Kurt Lewin (dalam Hall, Lindzey, Loehlin, Locke, 1985) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan manusia. Peristiwa tragis yang mengakibatkan penderitaan kadangkala terjadi dan tidak dapat dihindari. Penderitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Orang yang mengkonsumsi dan kecanduan minuman keras atau alkohol

BAB I PENDAHULUAN. Orang yang mengkonsumsi dan kecanduan minuman keras atau alkohol BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Orang yang mengkonsumsi dan kecanduan minuman keras atau alkohol disebut dengan istilah alcoholism (ketagihan alkohol), istilah ini pertama kali diperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan tentang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan tentang 152 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan tentang makna hidup pada pekerja seks komersial (PSK), diperoleh bahwa : a. The Freedom

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu: penderitaan dan kepedihan sekalipun.

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu: penderitaan dan kepedihan sekalipun. BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup II.A.1. Definisi Makna Hidup Teori mengenai makna hidup dikemukakan oleh Frankl. Teori ini kemudian dikembangkan dalam suatu istilah yang dikenal dengan logoterapi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya sama dan dari bahasa Latin yaitu sex yang artinya jenis kelamin. Homoseksual biasanya dikonotasikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup II.A.1. Pengertian Makna Hidup Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana kemudian teori ini kemudian dituangkan ke dalam suatu terapi yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir

BAB II LANDASAN TEORI. Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir BAB II LANDASAN TEORI II.A. Waria II.A.1. Pengertian Waria Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir memiliki jenis kelamin laki-laki, akan tetapi dalam proses berikutnya menolak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah

BAB I PENDAHULUAN. dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah pecandu narkoba di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah mengungkap 807 kasus narkoba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana pada masa ini akan terjadi perubahan fisik, mental, dan psikososial yang cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia sekolah mempunyai berbagai resiko yang lebih mengarah pada kecerdasan, moral, kawasan sosial dan emosional, fungsi kebahasaan dan adaptasi sosial.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja atau dikenal dengan istilah adolescene adalah suatu transisi proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu dalam keseluruhan hidupnya. Transisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perubahan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini khususnya bagi remaja merupakan suatu gejala yang dianggap normal, sehingga dampak langsung terhadap perubahan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun keluarga melalui pernikahan lalu memiliki keturunan dan terkait dengan kecenderungan seksual

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan masa dewasa. Dalam masa ini, remaja itu berkembang kearah kematangan seksual, memantapkan identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nadia Aulia Nadhirah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nadia Aulia Nadhirah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan suatu fase perkembangan yang dinamis dalam perkembangan kehidupan individu. Masa remaja adalah masa peralihan dari anakanak ke dewasa. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gita Annisa Rahmalia Fajriani,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gita Annisa Rahmalia Fajriani,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orientasi seksual yang lazim di masyarakat adalah heteroseksual. Akan tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ada pula yang memiliki orientasi seksual yang berbeda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecemasan merupakan suatu emosi yang paling sering di alami oleh manusia. Kadang-kadang kecemasan sering disebut sebagai bentuk ketakutan dan perasaan gugup yang dialami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh Indonesia, antara lain dengan adanya Peraturan Menteri Sosial No.8 / 2012 yang memasukan kelompok

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Perceived Social Support 2.1.1 Definisi perceived social support Pada dasarnya social support terdiri dari dukungan yang benar-benar diberikan kepada individu serta bagaimana

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

Rentang Perkembangan Manusia UMBY

Rentang Perkembangan Manusia UMBY Rentang Perkembangan Manusia UMBY 1. Infancy & Early Childhood (masa bayi dan kanak-kanak awal) Belajar berjalan, mengambil makanan padat Belajar bicara Belajar mengontrol eliminasi (urin & fekal) Belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya. Kehidupan waria sama dengan manusia lainnya. Selaras dengan kodrat manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Homoseksualitas 1. Definisi Homoseksualitas Para ahli behaviorisme tidak membuat persetujuan bersama mengenai arti homoseksualtas. Segala usaha untuk memperoleh definisi yang pasti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan pria. Istilah lain waria adalah wadam atau wanita adam. Ini bermakna pria atau adam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu.

BAB II LANDASAN TEORI. yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu. BAB II LANDASAN TEORI A. PENERIMAAN DIRI A.1. Definisi Penerimaan Diri Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengolahan Data 4.1.A Validitas Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena menurut Azwar (1996), suatu item dikatakan valid apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Novianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Novianti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membuat perubahan hidup positif adalah sebuah proses multi tahapan yang dapat menjadi kompleks dan menantang. Pengalaman emosi marah, benci, dan kesedihan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan adalah berarti, mengandung arti yang penting (Poewardarminta, 1976). Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci