BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu: penderitaan dan kepedihan sekalipun.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu: penderitaan dan kepedihan sekalipun."

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup II.A.1. Definisi Makna Hidup Teori mengenai makna hidup dikemukakan oleh Frankl. Teori ini kemudian dikembangkan dalam suatu istilah yang dikenal dengan logoterapi. Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu: a. Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. b. Setiap manusia memiliki kebebasan-yang hampir tak terbatas-untuk menemukan sendiri makna hidupnya. c. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetap tidak berhasil. Bastaman (2007) juga mengungkapkan bahwa pada hakikatnya asas-asas ini merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar kehidupan senantiasa berarti bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan agama. Frankl (dalam Bastaman, 2007) menjelaskan tentang tiga asumsi dasar mengenai kebermaknaan hidup, yaitu: 3

2 a. Kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will). Kebebasan ini sifatnya bukan tak-terbatas karena manusia adalah makhluk serba terbatas, baik dalam aspek ragawi (tenaga, daya tahan, stamina, usia), aspek kejiwaan (kemampuan, keterampilan, kemauan, ketekunan, bakat, sifat, tanggung jawab pribadi), aspek sosial budaya (dukungan lingkungan, kesempatan, tanggung jawab sosial, ketaatan pada norma), dan aspek kerohanian (iman, ketaatan beribadah, cinta kasih). Kebebasan ini untuk menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Kebebasan ini harus disertai dengan rasa tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. b. Kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning). Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga, dan berarti (meaningfull). Sebaliknya, bila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless). c. Tentang makna hidup (the meaning of life). Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan. 3

3 Menurut Abidin (2002), dorongan terkuat bukanlah dorongan untuk mendapatkan kepuasan, seperti yang dinyatakan oleh Freud, atau kekuasaan, seperti pendapat Adler, namun kebutuhan akan makna. Tujuan atau tugas tertentulah yang membuat seseorang bertahan hidup. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang dilakukan merupakan fenomena kompleks, yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus mengalaminya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup merupakan suatu hal yang dianggap penting, berharga dan bernilai bagi seseorang dan dapat menjadi tujuan hidup dari orang tersebut. Apabila seseorang telah berhasil menemukan makna hidupnya, maka kehidupannya akan dirasakan lebih berarti. II.A.2. Karakteristik Makna Hidup Makna hidup, sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman, 2007) memiliki beberapa karakteristik, yaitu: a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Selain itu, makna hidup juga bersifat berubah-ubah dari waktu ke waktu. b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak-filosofis, tujuantujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba menakjubkan. 3

4 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka karakteristik dari makna hidup adalah unik, pribadi, temporer, spesifik dan nyata. II.A.3. Penghayatan Hidup II.A.3.a. Penghayatan Hidup Bermakna Menurut Bastaman (2007), penghayatan hidup bermakna dapat berupa: 1) Menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah, serta jauh dari perasaan hampa. 2) Mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang, sehingga kegiatan-kegiatan menjadi terarah. 3) Merasakan sendiri kemajuan yang telah dicapai. 4) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari batasan-batasan lingkungan dan tetap dapat menentukan sendiri apa yang paling baik dilakukan. 5) Menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruknya keadaan. 6) Menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau penderitaan dengan sikap tabah dan sadar ada makna serta hikmah dibalik penderitaannya. 7) Benar-benar menghargai hidup dan kehidupan. Tidak pernah berpikir untuk bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan yang ada. Jadi, penghayatan hidup bermakna tercermin dalam perilaku-perilaku sebagai berikut: menjalani hidup dengan semangat, memiliki tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah diperoleh, dapat menyesuaikan diri dengan 3

5 lingkungan, menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bersikap sabar dan tabah dalam menghadapi suatu peristiwa bahkan penderitaan sekalipun, dan benar-benar menghargai kehidupannya. II.A.3.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna Bastaman (2007) mengemukakan bahwa dalam kehidupan seseorang mungkin saja hasrat untuk hidup secara bermakna ini tidak terpenuhi. Penyebabnya antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu sendiri dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup yang potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan. Selain itu mungkin karena pengetahuan yang kurang mengenai prinsip dan teknik dalam menemukan makna hidup itu sendiri. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan makna hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money). 3

6 Penghayatan hidup tanpa makna ini jika tidak diatasi dapat berkembang menjadi karakter pribadi neurosis noogenik, karakter totaliter dan karakter konformis. 1) Neurosis Noogenik, merupakan suatu gangguan perasaan yang cukup menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali. Motto hidup dari pribadi ini adalah Aku salah dan Kamu pun tidak benar. Aku serba salah. 2) Karakter Totaliter, adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional. Motto hidup dari ribadi totaliter ini adalah Aku benar dan Kamu salah. Semau aku. 3) Karakter Konformis adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri. Motto hidup karakter konformis adalah Aku salah dan Kamu benar. Aku ikut kamu saja. Jadi, jika seseorang tidak berhasil menemukan makna hidupnya, maka ia akan mengalami penghayatan hidup tanpa makna. Individu tersebut akan merasa kehampaan dalam hidup, bersikap apatis, bosan, dan merasa tidak memiliki tujuan 4

7 hidup. Sikap ini biasanya berkembang menjadi karakter-karekter khusus, yaitu: neurosis noogenik (sering mengeluh bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali); karakter totaliter (cenderung untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain); dan karakter konformis (cenderung untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri). II.A.4. Sumber-sumber Makna Hidup Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna hidup dalam diri manusia, yaitu: a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values), yaitu berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup; makna hidup tidak terletak pada pekerjaan, tapi lebih tergantung pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya. b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values), yaitu keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai 4

8 dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya, dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh pengalaman hidup yang membahagiakan. c. Nilai-nilai bersikap (Attitude Values), yaitu sikap tabah terhadap realitas yang dihadapi. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis yang tak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan kita dari semula yang diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka sumber-sumber makna hidup ada tiga, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), yaitu berkarya dengan melakukan suatu pekerjaan dengan bertanggung jawab; nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat; dan nilai-nilai bersikap (attitude values), yaitu menyikapi suatu peristiwa dengan sabar dan tabah. II.A.5. Komponen-komponen Perubahan Penghayatan Makna Hidup Bastaman (1996) mengemukakan beberapa komponen yang menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, yaitu: a. Pemahaman Diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. 4

9 b. Makna Hidup (the meaning of life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya. c. Pengubahan sikap (changing attitude) dari yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang tak terelakkan. d. Keterlibatan diri (self commitment) terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. e. Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, ketrampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. f. Dukungan sosial (social support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu memberi bantuan saat-saat diperlukan. Keenam unsur tersebut merupakan proses integral dan dalam konteks mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, antara satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan. Selanjutnya Bastaman (1996) juga mengkategorikan komponen-komponen tersebut menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Kelompok komponen personal (Pemahaman diri, pengubahan sikap) b. Kelompok komponen sosial (Dukungan sosial) c. Kelompok komponen nilai (Makna hidup, keikatan diri, kegiatan terarah) 4

10 Seperti halnya komponen-komponen penemuan makna hidup, tahap-tahap di atas pun dapat dikategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan urutannya (Bastaman, 1996), yaitu: a. Tahap Derita (Peristiwa tragis, Penghayatan tanpa makna) b. Tahap Penerimaan diri (Pemahaman Diri, Pengubahan sikap) c. Tahap Penemuan makna hidup (Penemuan makna dan penentuan tujuan hidup) d. Tahap Realisasi makna (Keikatan diri, Kegiatan terarah dan Pemenuhan makna hidup) e. Tahap Kehidupan bermakna (Penghayatan bermakna, Kebahagiaan) Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat enam komponen perubahan penghayatan makna hidup, yaitu: pemahaman diri (self insight), makna hidup (the meaning of life), pengubahan sikap (changing attitude), keikatan diri (self commitment), kegiatan terarah (directed activities), dan dukungan sosial (social support). II.A.6. Metode Menemukan Makna Hidup Bastaman (1996) mengungkapkan ada 5 metode yang dapat digunakan untuk menemukan makna hidup, yaitu: a. Pemahaman Pribadi Metode ini pada dasarnya membantu memperluas dan mendalami beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupan seseorang. Hasil memanfaatkan metode ini antara lain: 4

11 1). Mengenali keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan pribadi (penampilan, sifat, bakat, pemikiran) dan kondisi lingkungannya (keluarga, tetangga, teman sekerja); 2). Menyadari keinginan-keinginan masa kecil, masa muda, dan keinginankeinginan sekarang, serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang mendasari keinginan itu; 3). Merumuskan secara lebih jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa mendatang, dan menyusun rencana yang realistis untuk mencapainya. Mengenali dan memahami sendiri hal-hal di atas sangat bermanfaat untuk mengembangkan segi-segi positif dan mengurangi segi-segi negatif masingmasing pribadi, baik yang potensial maupun yang sudah aktual. b. Bertindak Positif Metode ini diawali dengan cara menanamkan berpikir positif di dalam pikiran, kemudian dilakukan bertindak positif. Kalau pada berpikir positif di dalam pikiran ditanamkan hal-hal yang serba baik dan bermanfaat dengan harapan akan terungkap dalam perilaku nyata, maka metode bertindak positif benar-benar mencoba menerapkan hal-hal yang baik itu dalam perilaku dan tindakan seharihari. c. Pengakraban Hubungan Hubungan sesama manusia adalah sangat azasi dan karenanya merupakan salah satu sumber makna bagi manusia sendiri. Inilah pandangan yang melandasi metode pengakraban hubungan. Hubungan akrab yang dimaksud adalah hubungan antara seorang pribadi dengan pribadi lain sedemikian rupa, sehingga dihayati 4

12 sebagai hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya dan memahami. Selain itu, hubungan juga dirasakan sangat berarti bagi masing-masing pihak. Metode ini menganjurkan agar seseorang membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu (misalnya: anggota keluarga, teman, rekan sekerja). Hal ini disebabkan karena dalam hubungan pribadi yang akrab seseorang benar-benar merasa diperlukan dan memerlukan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini seseorang merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Hal yang terpenting dalam metode ini adalah perasaan kedekatan yang senantiasa harus dipelihara dan ditingkatkan. d. Pendalaman Tri-nilai Yang dimaksud dengan Pendalaman Tri-nilai adalah usaha-usaha untuk memahami benar-benar nilai-nilai berkarya (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) yang dapat menjadi sumber makna hidup bagi seseorang. 1). Pendalaman Nilai-nilai Kreatif. Nilai ini intinya adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada kehidupan. Pendalaman nilai-nilai kreatif membantu orang untuk lebih mencintai dan menekuni pekerjaan yang dihadapi atau sekurang-kurangnya melakukannya dengan penuh kesungguhan. 2). Pendalaman Nilai-nilai Penghayatan. Metode ini mengambil sesuatu yang bermakna di lingkungan luar dan mengalaminya. Mendalami nilai-nilai 4

13 penghayatan berarti mencoba memahami, meyakini dan menghayati berbagai nilai yang ada dalam kehidupan. 3). Pendalaman Nilai-nilai Bersikap. Metode ini memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat terhadap kondisi dan peristiwa-peristiwa tragis yang telah terjadi dan tidak dapat dihindari lagi. Dengan mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman tragis itu akan berkurang, bahkan mungkin peristiwa itu dapat memberikan pelajaran berharga dan menimbulkan makna tertentu, yang dalam bahasa sehari-hari disebut hikmah. e. Ibadah Menurut pengertian umum ibadah adalah segala kegiatan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan, dan mencegah diri dari hal-hal yang dilarang-nya menurut ketentuan agama. Dalam pengertian yang lebih khusus, ibadah adalah ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan dalam agama. Ibadah yang dilakukan secara khidmat sering menimbulkan perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta tak jarang menimbulkan perasaanperasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting. Menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama memberikan corak penghayatan bahagia dan bermakna bagi si pelaku. Doa merupakan salah satu bentuk ibadah dan sarana penghubung psikis dan spiritual antara manusia dengan Sang Pencipta. Ibadah dan doa dapat memberikan makna tertentu pada seseorang apabila orang itu benar-benar melaksanakan dengan baik dan penuh kesungguhan. 4

14 Sehubungan dengan metode ibadah ini, maka berdoa bagi kebaikan orang lain (termasuk orang yang tidak disukai) termasuk ibadah yang dapat memberikan makna khusus bagi orang yang berdoa. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima metode untuk menemukan makna hidup, yaitu: pemahaman pribadi, yang bertujuan untuk mengenali dan memahami diri sendiri, termasuk kekurangan dan kelebihan diri sendiri; bertindak positif, yang diawali dengan berpikir positif dan kemudian melakukan perilaku yang positif; pengakraban hubungan, yaitu membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu; pendalaman tri-nilai, yaitu usaha-usaha untuk memahami sumber makna hidup bagi seseorang; dan metode ibadah, yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan senantiasa berdoa kepada-nya. II.B. Penderitaan dan Pandangan Logoterapi Mengenai Penderitaan Menurut Bastaman (1996) penderitaan tampaknya merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, karena eksistensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air mata, derita dan bahagia. Dengan demikian lepas dari berat-ringannya penderitaan, setiap orang dalam hidupnya pasti pernah mengalaminya, dan siapa pun yang merasa belum pernah mengalami penderitaan pasti pada suatu saat akan mengalaminya juga. Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Bastaman, 1996) menggambarkan penderitaan sebagai proses, perbuatan, cara menderita, dan penanggungan yang terkait dengan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat, 4

15 kesengsaraan dan kesusahan. Atas dasar uraian tersebut, maka penderitaan dapat dirumuskan sebagai perasaan tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Rumusan ini mengandung beberapa unsur, yaitu: 1. Perasaan yang tidak menyenangkan. Unsur emosi ini tak terpisahkan dari penderitaan, dan dihayati secara unik oleh masing-masing penderita dengan intensitas yang berbeda-beda, mulai dari sekedar perasaan tak nyaman yang temporer sampai dengan kesedihan mendalam yang berlangsung lama. 2. Reaksi-reaksi atas penderitaan yang dialami. Seperti halnya dengan perasaan yang tak menyenangkan, reaksi seseorang atas penderitaan sifatnya individual dan unik, serta terungkap dalam berbagai perilaku yang terletak diantara polar berontak dan menerima. Travelbee (dalam Bastaman 1996) menyebut tipe-tipe reaksi ini sebagai The why me reaction dan The acceptance reaction, atau bahkan The why not me reaction. Yang pertama adalah corak reaksi yang paling sering terjadi pada orang-orang yang sedang mengalami penderitaan. Mereka seakan-akan mempertanyakan mengapa nasib buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan terjadi pada orang lain. Reaksi tidak menerima ini biasanya terungkap dalam bentuk-bentuk marah, mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan mencari-cari kesalahan pada orang lain. Selanjutnya, yang kedua adalah reaksi menerima dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang dialami. Sedangkan yang ketiga adalah reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami sendiri penderitaan yang menimpa orang lain, khususnya orang yang dikasihi. 4

16 Ini sama sekali bukan masochistis, melainkan reaksi yang lebih banyak didasari oleh keyakinan agama dan filsafat hidup yang menganggap bahwa penderitaan merupakan bagian intrinsik dari kehidupan manusia dan kesediaan berkorban untuk menanggung penderitaan orang lain merupakan perbuatan yang mulia. 3. Seseorang yang menderita. Dalam rumusan ini unsur penderita diartikan secara luas. Tidak saja penderitaan itu dirasakan oleh orang yang langsung mengalaminya sendiri, tetapi derita yang menimpa orang-orang yang dicintai akan dirasakan pula sebagai penderitaan oleh orang yang mencintainya. Contoh paling nyata adalah penderitaan yang sedang dialami seorang anak akan dirasakan pula sebagai penderitaan oleh kedua orang-tua yang mengasihinya. 4. Kesulitan-kesulitan yang menimbulkan penderitaan. Jenis keempat ini ternyata banyak ragamnya, seperti penyakit-penyakit badani, gangguan-gangguan dan penyakit kejiwaan, keterpisahan (cerai, lari, mati, terkucil menyendiri), dosa dan kesalahan, kegagalan, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang status tinggi dan kemewahan ditanggapi justru sebagai hal menyusahkan bagi orang-orang yang hampa hidupnya. Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyebut hal ini sebagai the tragic triads of human existence, yakni tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia, yaitu pain (sakit), guilt (salah), dan death (maut). a. Sakit (pain) secara komprehensif dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau kegelisahan mental dan fisik. 5

17 Intensitas sakit (pain) berkisar dari mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan yang akut bahkan seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara generelized atau localized, sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari, melarikan diri atau menghancurkan faktor kausatif dan yang menyebabkannya (Travelbee, dalam Bastaman, 1996). b. Salah (guilt) merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolok ukur tertentu. Secara umum dikenal bermacam-macam rasa salah, seperti fantasy guilt, situation guilt, dan real guilt. Semuanya dianggap melanggar hati nurani dan norma-norma sosial, dan biasanya berakhir dengan penyesalan. Selama orang masih merasa menyesal atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya itu menandakan bahwahati nuraninya masih berfungsi. c. Kematian (death), baik kematian sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradoksal. Di satu pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih bila menyangkut kematian sendiri. 5

18 Menurut Bastaman (1996) ketiga fenomena tersebut (pain, guilt, dan death) sebagai wujud dari the tragic triads oleh Logoterapi dipandang sebagai tanda kefanaan (mortality) manusia. Manusia tidak mungkin hidup selamanya dengan selalu berjaya tanpa cela. Setiap manusia dalam hidupnya pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dosa, sakit dan derita, dan pada akhirnya akan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Hal ini tidak berarti bahwa Logoterapi mengembangkan pandangan hidup pesimistis, tetapi sebaliknya Logoterapi menganjurkan sikap optimistis dalam menghadapi penderitaan dalam kaitannya dengan penemuan makna hidup. Hidup bermakna dicapai melalui proses penemuan dan pemenuhan makna hidup dengan jalan memberikan sesuatu kepada kehidupan melalui kegiatan berkarya dan bekerja, menerima sesuatu dari kehidupan dengan meyakininya sebagai hal yang bernilai, menghayati cinta kasih dan mengasihi sesama manusia, serta mengambil sikap tepat dalam menghadapi penderitaan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Fenomenologi memandang penderitaan sebagai bagian integral dari kehidupan dan merupakan aspek intrinsik dalam eksistensi manusia sebagai makhluk fana (mortal being). Dalam menghadapi penderitaan, setiap manusia wajib berupaya seoptimal mungkin untuk mengatasinya, tetapi bila ternyata penderitaan itu tidak dapat dihindarkan lagi, maka tiba saatnya penderitaan itu harus diterima sebagai bagian dari hidupnya. Penerimaan diri ini, harus diakui, memang tidak mudah dilakukan karena selain memerlukan kesediaan dan kesadaran akan pentingnya mengubah sikap terhadap pendritaan, juga 5

19 memerlukan dukungan kekeluargaan dan persahabatan dari lingkungan terdekat, serta bantuan profesional (Bastaman, 1996). Dalam pandangan Logoterapi, makna penderitaan bukan semata-mata terletak dalam keberhasilan mengatasinya, melainkan juga dalam kesediaan untuk mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari lagi. Keberhasilan mengatasi penderitaan sendiri (dan orang lain) merupakan wujud nyata pemenuhan nilai-nilai kreatif (creative values), sedangkan kesediaan menerima kondisi tragis yang tak dapat diatasi bahkan mampu menemuka makna dari penderitaannya itu merupakan prestasi monumental dalam memenuhi nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values). Semuanya seakan-akan membuka gerbang ke arah hidup yang bermakna (Bastaman, 1996). II.C. Orang-tua Tunggal II.C.1. Definisi Orang-tua Tunggal Menurut Perlmutter dan Hall (1995), orang-tua tunggal adalah orang-tua tanpa partner (pasangan) yang secara kontinu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Pengertian orang-tua tunggal menurut Sager, dkk (dalam Duvall & Miller, 1995) adalah orang-tua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya. Laswell (dalam Wolf, 1995) mengatakan bahwa orang-tua tunggal muncul karena kematian pasangan dan 5

20 putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang-tua tunggal adalah seorang pria ataupun wanita yang pernah menikah atau tidak menikah, yang secara sendirian bertanggung jawab membesarkan anaknya tanpa didampingi oleh pasangannya. II.C.2. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Orang-tua Tunggal Menurut Glasser dan Navarre (1999), terdapat empat perbedaan utama antara keluarga utuh dan keluarga orang-tua tunggal, yaitu: a. Struktur Tugas Berbagai tugas utama dalam keluarga merupakan tanggung jawab orangtua. Memenuhi kebutuhan fisik, emosi, dan sosial dari seluruh anggota keluarga adalah pekerjaan bagi kedua orang-tua. Jika tugas tersebut harus dilakukan oleh satu orang-tua, maka orang tersebut harus cukup matang, kompeten dan memiliki cukup waktu untuk melakukan tugasnya. Walau demikian tetap sulit bagi satu orang-tua untuk dapat mengambil alih semua tugas dua orang-tua sekaligus dalam jangka waktu yang panjang. Dukungan kekuatan, pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orang-tua. Jika harus dilakukan oleh satu orang-tua saja, maka ada berbagai keterbatasan yang dimilikinya, yaitu keterbatasan waktu dan tenaga serta keterbatasan sosial, dimana 5

21 tugas-tugas yang bersifat pria atau wanita harus dilakukan oleh orang-tua tunggal dalam menjalankan peran ganda, baik sebagai ibu maupun sebagai ayah. b. Struktur Komunikasi Bagi anak, orang-tua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: 1). Sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya diinternalisasi oleh orang-tua. 2). Sebagai penghubung dan mewakili anak dalam dunia orang dewasa. Berdasarkan asumsi bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia, maka seorang anak akan mengalami gangguan dalam saluran komunikasinya jika hanya ada satu orang-tua. Tipe dan kualitas pengalaman orang-tua cenderung diatur menurut jenis kelaminnya. Dalam keluarga dengan dua orang-tua bukan hanya anak yang memperoleh pengalaman yang lebih bervariasi, tetapi orang-tua melalui pasangannya dapat mengetahui tipe pengalama dari lawan jenisnya. c. Struktur Kekuasaan Orang-tua punya tanggung jawab penuh dalam keluarga. Oleh karena itu, kehidupan keluarga dengan satu orang-tua, dalam setiap situasi orang-tua tunggal akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerja sama atau menentang si anak. Dengan kondisi yang demikian, anak akan melihat otoritas sebagai pribadi daripada kesepakatan bersama. Jika orang-tua tunggal tersebut tidak punya 5

22 pengalaman untuk mengambil keputusan secara demokratis, maka akan mempersulit hubungan dengan anaknya. Pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab orang-tua dari dua jenis kelamin, baik ayah maupun ibu dalam keluarga utuh. Dalam keluarga orang-tua tunggal, figur otoritas atau pemegang kekuasaan dipegang oleh satu jenis kelamin saja, sehingga bagi anak tiap keputusan yang diambil diidentifikasikan dengan jenis kelamin tersebut. d. Struktur Afeksi Kebutuhan emosional bagi anggota keluarganya merupakan tanggung jawab orang-tua untuk memenuhinya. Orang-tua harus memiliki kasih sayang dan rasa aman yang diperlukan anak untuk mempertahankan stabilitas emosionalnya dalam keadaan yang menekan (stres) dan dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri si anak. Struktur keluarga merupakan elemen penting dalam menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional. Pada keluarga dengan orang-tua tunggal, terjadi perubahan dalam struktur keluarga dengan dua orang-tua sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai kesulitan. Berdasarkan berbagai struktur dalam keluarga tersebut, tampak jelas bahwa keluarga orang-tua tunggal mempunyai kekurangan dan keterbatasan jika dibandingkan dengan keluarga utuh. Hal ini dapat menimbulkan berbagai kesulitan pada keluarga dengan orang-tua tunggal. 5

23 II.C.3. Masalah yang Dihadapi oleh Orang-tua Tunggal Setiap keluarga memang tidak akan lepas dari berbagai masalah yang harus dihadapi, namun orang-tua tunggal memiliki masalah yang khusus. Weiss (dalam Leslie & Korman, 1995) mengidentifikasikan adanya tiga sumber ketegangan pada orang-tua tunggal, yaitu: a. Tanggung jawab yang berlebihan Dalam keluarga dengan dua orang-tua, pengambilan keputusan merupakan tanggung jawab bersama. Suami dan istri membicarakan dan merencanakan segala sesuatunya secara bersama-sama. Pada orang-tua tunggal bertanggung jawab sendiri untuk mengambil keputusan, merencanakan serta memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya. b. Tugas yang berlebihan Mereka harus mengambil alih semua pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh dua orang. Mereka harus bekerja untuk memperoleh penghasilan, mengurus rumah, dan memperhatikan semua kebutuhan anak-anaknya. Menghadapi semua tugas tersebut setiap hari membuat mereka lelah dan jarang memiliki waktu untuk mereka sendiri. c. Emosi yang berlebihan Orang-tua tunggal harus mengatasi sendiri kebutuhan emosi anaknya. Hal ini disebabkan waktu mereka habis untuk bekerja, mengurus rumah dan keluarga, sulit untuk memenuhi kebutuhan emosi dan keinginan mereka sendiri. 5

24 Menurut Duncan ( Sulitnya menjadi orang-tua tunggal, 2007), pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya dipimpin oleh orang-tua tunggal adalah masalah anak. Tugas utama orang-tua memang membesarkan anak, jadi tugas tersebut kini harus ditanggung sendiri oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Perlmutter dan Hall (1995) menyatakan bahwa dalam keluarga orang-tua tunggal, satu orang-tua bertanggung jawab untuk menghadapi semua tugas yang biasnya dilakukan oleh dua orang-tua. Orang-tua tunggal harus bertanggung jawab penuh untuk mengurus rumah, mengatur keuangan, merawat anak, dan memenuhi kebutuhan emosi anak. Menurut Egelman (2004), terdapat tiga dampak umum keluarga orang-tua tunggal bagi orang-tua, yaitu: a. Multitasking, yaitu konflik peran yang muncul pada orang-tua tunggal karena banyaknya peran yang harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan. b. Solo Parenting, yaitu kesulitan dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan hidup sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. c. Issues of self, yaitu self image pada orang-tua tunggal akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orang-tua. Selanjutnya, Lopata (dalam Dyer, 1983) mengemukakan bahwa masalah utama yang dialami oleh individu yang telah kehilangan pasangannya adalah kesepian. Serupa dengan pendapat tersebut, Kimmel (1990) menegaskan bahwa 5

25 kesepian merupakan masalah bagi orang-tua tunggal, perasaan terjebak oleh keharusan menjadi orang-tua dan mencari penghasilan, kurangnya waktu untuk diri sendiri, kelelahan karena tanggung jawab yang berat untuk mengasuh anak dan membesarkan anak sendirian. Latar belakang pendidikan dan kelas sosial juga merupakan faktor yang penting dalam memperkirakan seberapa baik janda atau duda dapat beradaptasi dengan perubahan hidup mereka. Lopata (dalam Belsky, 1990) menyebutkan bahwa janda yang berlatar belakang pendidikan rendah dan memiliki kelas sosial yang menengah ke bawah pada umumnya merasakan depresi dan terisolasi secara sosial. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, terlihat bahwa menjadi orang-tua tunggal bukanlah hal yang mudah, karena harus mengalami berbagai masalah dan kesulitan. Masalah utamanya berkaitan dengan tugas yang berlebihan, dimana orang-tua tunggal berperan ganda, menjadi ayah dan ibu sekaligus bagi anakanaknya. II.C.4. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal Menurut Hurlock (1991), terdapat beberapa masalah-masalah umum pada wanita yang menjanda, yaitu: a. Masalah Ekonomi Akibat inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima janda secara turun temurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. 5

26 Walaupun seorang janda memulai untuk bekerja pada usia madya, biasanya ia tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasanya dilakukan. b. Masalah Keluarga Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang janda harus memainkan peran ganda sebagai ayah dan ibu, serta harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. Selain itu janda juga sering mendapat masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga pihak suami, khususnya anggota keluarga yang tidak menyenangi menjadi isteri suaminya semasa hidup. c. Masalah Tempat tinggal Dimana seorang janda akan tinggal biasanya bergantung pada dua kondisi. Pertama, status ekonominya, dan kedua adalah apakah ia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. d. Masalah sosial Kehidupan sosial orang-orang yang berusia dewasa awal sama dengan orang yang berusia dewasa, yaitu berorientasi pada pasangan, seorang janda segera akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat baginya apabila ia diantara pasangan yang menikah. e. Masalah Praktis Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami, menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihidupi oleh seorang janda, terkecuali dia mempunyai anak 6

27 yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. f. Masalah Seksual Akibat keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia ini, janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam bertahuntahun perkawinannya, sekarang mereka merasa frustasi dan tidak terpakai. Menurut Bell (1991), secara sosial maupun psikologis, peran janda lebih menyulitkan daripada duda, hal ini disebabkan oleh: a. Perkawinan biasanya dianggap lebih penting bagi wanita daripada pria, sehingga akhir dari suatu perkawinan dirasakan oleh wanita sebagai akhir dari peran dasarnya sebagai istri. b. Janda kurang memiliki keberanian, baik secara pribadi maupun secara sosial untuk menikah kembali, sehingga mereka cenderung untuk tidak menikah lagi. c. Janda lebih mengalami kesulitan keuangan daripada duda. d. Wanita secara sosial kurang agresif, dan mereka lebih membatasi kehidupan sosialnya dibandingkan pria. e. Lebih banyak janda dibandingkan duda, sehingga kesempatan untuk mengubah status pernikahan kembali lebih sulit bagi janda daripada duda. Sucahyani (2006) juga mengemukakan beberapa hal yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, antara lain: a. Harus mandiri secara ekonomi. b. Kehilangan kesempatan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah. 6

28 c. Harus menyesuaikan diri dalam pemenuhan kebutuhan biologis secara sehat yang tidak menyimpang. d. Menjadi ibu yang over protective, yaitu menjadi lebih emosional atau menjadi memanjakan anak secara berlebihan. Bahkan menjadi ibu yang ambisi untuk menjadikan anaknya yang terbaik sebagai kompensasi kekurangan yang dimilikinya. e. Meningkatkan kebutuhan emosional yang besar akibat kesendiriannya. f. Status orang-tua tunggal seringkali memunculkan anggapan yang tidak mengenakkan. g. Menjalin keakraban dalam komunikasi dan keintiman dengan anak-anak, karena anak-anaklah yang biasanya menjadi sumber kekuatan ibu. Begitu pula bagi anak, ibu adalah sumber harapan bagi mereka. Masalah keuangan pada umumnya menjadi masalah yang paling sulit bagi wanita yang menjadi orang-tua tunggal (Glasser & Navarre,1999). Hal ini biasanya terjadi apabila sebelum wanita kehilangan pasangannya, ia sangat bergantung pada suaminya tersebut dalam hal ekonomi (Glick, dalam Aiken, 1994). Selain itu, masalah usia juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri janda terhadap perubahan hidupnya menjadi orang-tua tunggal. Karena kurangnya persiapan menjadi janda, kebutuhan untuk mengurus anak yang masih kecil serta masalah-masalah praktis lainnya, maka janda yang usianya lebih muda biasanya lebih sulit untuk menyesuaikan diri daripada janda yang usianya lebih tua (Blau, dalam Aiken, 1994). 6

29 Masalah lain yang muncul pada janda adalah mengenai stigma masyarakat. Mereka cenderung diasingkan secara sosial oleh masyarakat karena dianggap dapat mengancam kehidupan rumah tangga orang lain (Rando, 1994). Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalahmasalah yang dihadapi oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal adalah masalah ekonomi atau keuangan, masalah keluarga, masalah tempat tinggal, masalah sosial, masalah praktis, dan masalah seksual. II.D. Duka cita II.D.1. Definisi Duka cita Menurut Rando (1997), duka cita adalah proses dari reaksi psikologis, sosial dan juga somatik sebagai persepsi dari kehilangan. Hal ini mengimplikasikan bahwa duka cita: (a) dimanifestasikan dalam reaksi psikologis, sosial dan somatik; (b) perkembangan yang berkelanjutan dan meliputi banyak perubahan; (c) reaksi yang alami dan dapat diduga; (d) suatu reaksi yang timbul karena pengalaman kehilangan sesuatu, tidak hanya akibat kematian; dan (e) duka cita bersifat unik, berbeda-beda pada setiap orang, sesuai dengan persepsi individu yang mengalami kehilangan tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, Corr dkk (2003) juga mengemukakan bahwa duka cita merupakan reaksi dari kehilangan, baik reaksi secara internal maupun eksternal. Cavanaugh dan Fredda (2006) menyatakan bahwa duka cita merupakan perasaan-perasaan terluka, marah, merasa bersalah, bingung, dan perasaanperasaan lainnya yang timbul karena kehilangan sesuatu yang dianggap berharga. 6

30 Aiken (1994) mendefinisikan duka cita sebagai perasaan murung dan distress yang disebabkan karena kondisi kehilangan seseorang. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa duka cita merupakan suatu reaksi internal dan reaksi eksternal pada individu dan perasaanperasaan emosional individu, misalnya perasaan terluka dan marah yang muncul karena hilangnya sesuatu yang dianggap berharga bagi individu tersebut. II.D.2. Representasi dari Duka Cita Worden (dalam Corr dkk, 2003) menyebutkan bahwa duka cita dapat dialami dan diekspresikan dalam beberapa cara, yaitu: a. Physical sensations (sensasi fisik), misalnya rasa sesak di dada, terlalu sensitif terhadap suara yang bising, nafas pendek, kekurangan energi, depersonalisasi, otot-otot melemah, atau kehilangan koordinasi. b. Feelings (perasaan), misalnya sedih, marah, perasaan bersalah, kecemasan, kesepian, tidak berdaya, shock, kerinduan, kebebasan atau perasaan lega. c. Thoughts or cognition (pikiran atau kognisi), misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, preokupasi, atau pengalaman halusinasi. d. Behaviors (perilaku), misalnya gangguan tidur atau nafsu makan, merasa kosong, penarikan sosial, hilangnya keinginan untuk ber yang dulunya merupakan sumber kepuasan bagi individu, mengalami mimpi buruk, menangis, mengelak ingatan tentang kematian, mengunjungi tempat-tempat atau menyimpan barang-barang yang dapat mengingatkan individu pada seseorang yang telah meninggal. 6

31 e. Social difficulties (kesulitan sosial) dalam hubungan interpersonal atau timbulnya masalah-masalah dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari. f. Spiritual searching (pencarian spiritual) untuk memperoleh makna, mengingkari takdir Tuhan atau realisasi bahwa kerangka nilai seseorang tidak adekuat untuk mengatasi rasa kehilangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa duka cita dapat direpresentasikan oleh individu yang kehilangan dengan beberapa cara, yaitu dengan sensasi fisik, perasaan, pikiran atau kognisi, perilaku, kesulitan sosial dalam kehidupannya dan juga pencarian spiritual. II.D.3. Manifestasi Psikologis dari Duka Cita Rando (1997) menjelaskan bahwa terdapat manifestasi psikologis dari proses duka cita yang terdiri dari tiga fase, yaitu: a. The Avoidance Phase Selama fase ini, individu menolak kenyataan bahwa sesuatu yang disayanginya telah hilang. Individu juga merasakan perasaan-perasaan bingung, tidak percaya terhadap kejadian yang dialaminya dan juga perasaan kosong atau hampa. Bahkan individu juga mengalami depersonalisasi, penarikan diri, dan disorganisasi. b. The Confrontation Phase Dalam fase ini, individu sudah mulai menyadari kenyataan yang sebenarnya, bahwa ia telah kehilangan sesuatu. Namun perasaan sedih dan penolakan masih tetap ada. Perasaan-perasaan emosional lainnya seperti 6

32 kemarahan, merasa bersalah, depresi dan kecemasan juga dapat meningkat, apalagi jika individu teringat akan kehilangannya. c. The Reestablishment Phase Pada fase ini duka cita individu mulai berkurang. Individu mulai belajar menerima kenyataan, membentuk semangat baru, dan mulai menjalin hubungan yang baru dengan orang lain. Dari penjelasan di atas, manifestasi psikologis dari duka cita ada 3 fase, yaitu the avoidance phase, dimana individu merasa shock, penolakan terhadap kenyataan dan tidak percaya pada nasib yang dialaminya; the confrontation phase, yaitu individu mengalami masalah emosional yang cukup tinggi, dan juga masih melakukan reaksi-reaksi psikologis sebagai akibat dari kehilangan; the reestablishment phase, dimana sudah berkurangnya duka cita, dan individu mulai membentuk hidup baru, belajar menerima kenyataan. II.D.4. Duka Cita pada Wanita karena Kematian Suami Kematian pasangan hidup dapat menimbulkan perasaan kehilangan yang sangat mendalam (Cavanaugh & Fredda, 2006). Perasaan kehilangan tersebut merupakan duka cita atau reaksi seseorang karena kehilangan (Corr, 1997). Gender atau jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi duka cita pada seseorang. Lemme (1995) menyebutkan bahwa wanita akan merasa lebih sulit untuk menerima perasaan kehilangan tersebut. Wanita lebih sulit untuk menerima kenyataan bahwa pasangan hidupnya telah tiada daripada pria. Selain itu hasil penelitian lain ditemukan bahwa wanita 6

33 memiliki banyak perubahan dan penyesuaian hidup yang lebih sulit daripada pria setelah kematian pasangannya (Healy, dalam Rando, 1997). Terdapat beberapa alasan mengapa wanita lebih banyak mengalami perubahan daripada pria setelah kematian pasangannya. Lopata (dalam Rando, 1997) menemukan bahwa perubahan ini bergantung pada keterlibatan dan keterikatan hubungannya dengan suaminya dulu, dan juga berapa lama ia bersama dengan suaminya. Pertama, janda kehilangan partner tempat ia berbagi perasaan. Kedua, janda harus membentuk identitas baru, yang biasanya sangat sulit bagi janda yang dulu hidupnya hanya untuk berbakti pada suami. Ketiga, janda telah kehilangan ikatan sosial antara dirinya dan masyarakat. Ia merasa berbeda dengan wanita lainnya dan hal ini menimbulkan perasaan tidak kompeten, tidak utuh dan isolasi serta perasaan-perasaan lain yang menyertai duka cita. Carr et al (dalam Cavanaugh dan Fredda, 2006) menyatakan bahwa perasaan kehilangan dan kecemasan yang kuat lebih dirasakan oleh janda yang dulunya sangat bergantung pada suaminya. Beberapa janda masih merasakan keterikatan yang sangat kuat pada pasanganya yang telah meninggal dalam jangka waktu 5 tahun. Menurut Goleman (2003) wanita yang kehilangan suaminya karena kematian akan mengalami perasaan sedih. Kesedihan yang ditimbulkan oleh kematian suami akan menimbulkan akibat-akibat yang berbeda, misalnya menutup minat pada kesenangan, mengarahkan perhatian pada seseorang yang telah meninggal, berusaha untuk menghimpun energi untuk memulai kegiatankegiatan baru. Pendek kata, kesedihan memaksa seseorang beristirahat dari 6

34 kesibukan duniawi dan membuat perhatian pada sosok yang telah tiada, akibatnya seseorang cenderung merenungkan hikmahnya. Pada akhirnya wanita tersebut membuat penyesuaian psikologis serta menyusun rencana-rencana baru yang akan menungkinkan hidup seseorang yang ditinggalkan agar dapat terus berjalan. Hal lain yang mempengaruhi duka cita adalah usia. Janda yang usianya lebih muda menunjukkan duka cita yang lebih intens daripada janda yang sudah tua (Cavanaugh dan Fredda, 2006). Perbedaan tersebut biasanya muncul karena kematian pasangan pada usia yang lebih muda biasanya tidak terduga, sedangkan pada pasangan yang lebih tua, biasanya mereka telah mengantisipasi kemungkinan akan kematian pasangan (Raphael, dalam Cavanaugh & Fredda, 2006). Sejalan dengan pendapat tersebut, Rando (1997) menyebutkan bahwa faktor usia berpengaruh terhadap duka cita. Janda yang usianya di bawah 40 tahun terlihat lebih berisiko dalam menghadapi kematian pasangan hidupnya (Parker & Weiss dalam Rando, 1997). Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih merasakan duka cita atau perasaan duka cita daripada pria. Wanita juga mengalami lebih banyak perubahan dan penyesuaian hidup setelah kematian pasangannya. Usia wanita yang berada pada tahap dewasa awal yaitu kurang dari 40 tahun juga lebih beresiko dalam menghadapi kehilangan pasangan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk memfokuskan penelitian ini pada wanita dewasa yang berusia kurang dari 40 tahun sebagai responden penelitian. 6

35 II.E. Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal Menurut Lopata (dalam Belsky, 1997), peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan setelah ditinggalkan pasangan. Kematian pasangan hidup mengakhiri ikatan perkawinan yang kuat dan lama dan memiliki pengaruh pada setiap aspek kehidupan. Pasangan yang ditinggalkan akan kehilangan sosok seorang teman, sahabat, pasangan seksual, pendukung dan juga pelindung bagi dirinya (Hoyer & Roodin, 2003). Kematian pasangan hidup memunculkan rasa kehilangan yang sangat mendalam, khususnya jika pasangan tersebut sangat dekat dan telah lama bersama. Kenyataannya, jika salah satu pasangan meninggal, maka ada bagian dari pasangan lain yang juga meninggal (Cavanaugh & Fredda, 2006). Kematian membuka hati manusia untuk memaknai hidupnya sendiri. Ketika suatu keluarga kehilangan anggota keluarga yang dicintai, yang sekian tahun telah saling berbagi, kenangan-kenangan terdahulu akan selalu teringat. Mereka memaknai kehidupan yang telah ditinggalkan, memperbaharui identitas sebagai keluarga dan individu (Duvall & Miller, 1985). Elliot (dalam Duvall & Miller, 1985) mengatakan bahwa kematian merupakan penenun kehidupan yang membuat hidup menjadi lebih kaya, berharga dan berjaya. Jika mengingkari kematian, sama saja dengan menipu diri kita sendiri tentang apakah makna hidup itu. Seseorang tidak dapat menerima hidup tanpa mengetahui bahwa hidup dapat 6

36 berakhir. Kematian bukanlah gunting yang memotong benang kehidupan. Namun merupakan salah satu benang yang menenun eksistensi kehidupan. Kematian pasangan khususnya yang terjadi pada wanita bukan hanya akan menimbulkan perasaan duka cita tetapi juga menimbulkan perubahan-perubahan yang membutuhkan penyesuaian. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan permasalahan seperti masalah ekonomi, pengasuhan anak, keluarga, sosial, pekerjaan, praktis dan seksual (Hurlock, 1991). Wanita yang menjadi orang-tua tunggal bagi anaknya memiliki peran ganda, menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Mereka mencari nafkah, mengurus rumah, mengurus anak, dan menjadi kepala keluarga yang dapat menambah beban tanggung jawab bagi wanita dalam keluarga orang-tua tunggal (Le Masters, dalam Dyer, 1983). Beberapa janda tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan mereka yang telah berubah dan juga terhadap kebutuhan untuk membentuk identitas baru dan peran sosial yang berbeda. Mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mengalami masalah yang dapat diekspresikan melalui konsumsi alkohol yang berlebihan, ketergantungan obat, penyakit mental, dan bahkan kehilangan keinginan untuk hidup (Glick, dalam Aiken, 1994). Bertahan menjadi janda merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dijalani oleh setiap orang. Orang yang sukses menghadapi peristiwa ini dipandang sebagai orang yang mandiri, menikmati minatnya, aman dalam hal ekonomi, memiliki filosofi hidup yang nyaman, mempertahankan hubungan 7

BAB II LANDASAN TEORI. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga

BAB II LANDASAN TEORI. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga BAB II LANDASAN TEORI II.A. MAKNA HIDUP II.A.1. Definisi Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga. BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP II. 1. Pendekatan Psikologi Setiap kejadian, apalagi yang menggoncangkan kehidupan akan secara spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konseptualisasi topik yang diteliti 1. Kebermaknaan Hidup a. Pengertian Kebermaknaan Hidup Makna hidup menurut Frankl adalah kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Makna Hidup 1. Definisi Makna Hidup Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana teori ini dituangkan ke dalam suatu terapi yang dikenal dengan nama logoterapi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya mengalami suatu proses perkembangan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya mengalami suatu proses perkembangan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya mengalami suatu proses perkembangan. Ia berkembang sejak dilahirkan hingga meninggal dunia. Dalam proses perkembangan itu, berbagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Terlampir B. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Tingkat Kebersyukuran Orang Tua yang Memiliki Anak Autis Tingkat kebersyukuran orang tua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan hidup merupakan tujuan yang harus dicapai oleh setiap individu. Ketidakmampuan manusia dalam mencapai makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, darah atau adopsi (Burgess & Locke, dalam Khairuddin, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, darah atau adopsi (Burgess & Locke, dalam Khairuddin, 1997). BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi (Burgess & Locke, dalam Khairuddin, 1997). Keluarga merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata logos yang artinya makna

BAB II LANDASAN TEORI. logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata logos yang artinya makna BAB II LANDASAN TEORI A. MAKNA HIDUP A.I. Definisi Makna Hidup Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana seseorang akan kehilangan orang yang meninggal dengan penyebab dan peristiwa yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memiliki buah hati tentunya merupakan dambaan bagi setiap orang yang telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah terbesar nan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebermaknaan Hidup 2.1.1. Pengertian Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan adalah berarti, mengandung arti yang penting (Poewardarminta, 1976). Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketika era globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketika era globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika era globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah diperoleh, negara berkembang dapat segera meniru kebiasaan negara barat yang dianggap sebagai cermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

para1). BAB I PENDAHULUAN

para1). BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menjadi tua merupakan suatu proses perubahan alami yang terjadi pada setiap individu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan 60 tahun sampai 74 tahun sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anakanak. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 95 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari wawancara, observasi dan analisis antar subjek, dapat disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup ibu rumah tangga penderita HIV/AIDS merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengikuti mereka. Biasanya, pasangan yang bertahan lama dalam masa

BAB I PENDAHULUAN. mengikuti mereka. Biasanya, pasangan yang bertahan lama dalam masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang wanita yang suaminya meninggal dunia, tentu tidak mudah menjalanikehidupan seorang diri tanpa pendamping. Wanita yang kehilangan pasangan merasa sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah

BAB I PENDAHULUAN. dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah pecandu narkoba di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah mengungkap 807 kasus narkoba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PEDOMAN WAWANCARA

LAMPIRAN A PEDOMAN WAWANCARA LAMPIRAN A PEDOMAN WAWANCARA I. Identitas Responden II. Penghayatan wanita dalam menghadapi perasaan duka cita setelah kematian suaminya: a. Bagaimanakah cara responden merepresentasikan perasaan duka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan manusia. Peristiwa tragis yang mengakibatkan penderitaan kadangkala terjadi dan tidak dapat dihindari. Penderitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

KEBERMAKNAAN HIDUP PADA JANDA.

KEBERMAKNAAN HIDUP PADA JANDA. KEBERMAKNAAN HIDUP PADA JANDA. NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan,

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan satu hal yang baru. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan, dari anak anak sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup II.A.1. Pengertian Makna Hidup Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana kemudian teori ini kemudian dituangkan ke dalam suatu terapi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Makna Hidup. diraih. Makna hidup ini bila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Makna Hidup. diraih. Makna hidup ini bila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Makna Hidup A. Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal khusus yang dirasakan penting dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta layak dijadikan sebagai tujuan hidup

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SIKAP PENYELESAIAN MASALAH DAN KEBERMAKNAAN HIDUP DENGAN SOMATISASI PADA WANITA KARIR

HUBUNGAN ANTARA SIKAP PENYELESAIAN MASALAH DAN KEBERMAKNAAN HIDUP DENGAN SOMATISASI PADA WANITA KARIR HUBUNGAN ANTARA SIKAP PENYELESAIAN MASALAH DAN KEBERMAKNAAN HIDUP DENGAN SOMATISASI PADA WANITA KARIR SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : TRI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi reproduksi dan memberikan perlindungan kepada anggota keluarga dalam masyarakat. Keluarga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Makna Hidup Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. murid-murid dengan baik dan hasilnya tidak mengecewakan. Diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. murid-murid dengan baik dan hasilnya tidak mengecewakan. Diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah luar biasa (SLB), bukan pekerjaan ringan. dibutuhkan kesabaran ekstra agar bisa mendidik murid-murid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pasti akan mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan sendiri pada dasarnya melibatkan pertumbuhan yang berarti bertambahnya usia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menikah merupakan salah satu tujuan hidup bagi setiap orang. Usia dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain menimbulkan sikap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss). BAB II LANDASAN TEORITIS A. GRIEF 1. Definisi Grief Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Sendy Puspitasari F 100 040 029 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri kehidupan. Komitmen laki-laki dan perempuan untuk menjalani sebagian kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti mempunyai harapan-harapan dalam hidupnya dan terlebih pada pasangan suami istri yang normal, mereka mempunyai harapan agar kehidupan mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua tunggal dengan berbagai macam penyebab yang berbeda. Tidak ada ibu rumah tangga yang menginginkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang selalu ingin dicapai oleh semua orang. Baik yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka ingin dirinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Orang yang mengkonsumsi dan kecanduan minuman keras atau alkohol

BAB I PENDAHULUAN. Orang yang mengkonsumsi dan kecanduan minuman keras atau alkohol BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Orang yang mengkonsumsi dan kecanduan minuman keras atau alkohol disebut dengan istilah alcoholism (ketagihan alkohol), istilah ini pertama kali diperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup senantiasa barada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berakhir ketika individu memasuki masa dewasa awal, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung pula oleh sumber daya manusia yang berkualitas, baik dari segi mental, spritual maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hadapi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong seseorang

BAB I PENDAHULUAN. hadapi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong seseorang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seiring dengan kemajuan teknologi di Indonesia dan lapangan pekerjaan yang sedikit maka biaya hidup seseorang adalah masalah terbesar yang sedang di hadapi oleh sebagian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup. Dalam kamus besar psikologi, menjelaskan bahwa meaning di artikan sebagai makna atau pemaknaan. Frankl (dalam Koeswara,1992),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah dan memiliki anak adalah salah satu fase yang dialami dalam kehidupan dewasa awal. Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah adanya cinta dan komitmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan merupakan suatu misteri yang dijalani seseorang. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: Ikatan lahir dan batin antara seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran dan fungsi ibu dalam kehidupan seorang anak sangat besar. Anak akan lebih merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

Lebih terperinci