KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER PANKREAS DEWASA DALAM MENGARAHKAN (DIFERENSIASI) EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI SEL BETA PANKREAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER PANKREAS DEWASA DALAM MENGARAHKAN (DIFERENSIASI) EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI SEL BETA PANKREAS"

Transkripsi

1 KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER PANKREAS DEWASA DALAM MENGARAHKAN (DIFERENSIASI) EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI SEL BETA PANKREAS DINI BUDHIARKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemampuan Conditioned Medium Dari Kultur Primer Pankreas Dewasa Dalam Mengarahkan (Diferensiasi) Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2010 Dini Budhiarko NRP: B

3 ABSTRACT DINI BUDHIARKO. The Ability of Conditioned Medium Resulted from Primary Culture of Adult Pancreas to Differentiate Mouse Embryonic Stem Cells into Pancreatic Beta Cells. Under direction of ITA DJUWITA and ADI WINARTO. The ability of embryonic stem cells (ESC) to differentiate into all cell types of the body has become a new hope in curing various degenerative diseases including diabetes. In diabetes, ESC can be used as a cell source that can be differentiated into pancreatic beta cells before being transplanted. The differentiation of ESC was influenced by several growth factors, such as activin, fibroblast growth factor, retinoic acid, and transforming growth factor. In this research, we examined the influence of conditioned medium (CM) resulted from the primary culture of adult mouse pancreas in various concentration (0%, 10%, 30%, and 50%) toward differentiation of ESC into pancreatic beta cells. Differentiation of ESC into pancreatic beta cells indicated by the positive result from dithizone staining and the expression of proinsulin 1 and proinsulin 2 genes. The results showed that ESC cultured with 50% CM concentration had higher quality of colour intensity than the 30% and 10% concentration (P < 0.05). The RNA analysis clearly showed that dithizone positive cells are expressing proinsulin 1 and proinsulin 2, which indicate gene mark of pancreatic beta cells. In conclusion, CM resulted from the primary culture of adult mouse pancreas was able to differentiate ESC into pancreatic beta cells with 50% CM as the optimum concentration to direct ESC differentiation into pancreatic beta cells. Keywords: conditioned medium, pancreas, pancreatic beta cells, mouse embryonic stem cells.

4 RINGKASAN DINI BUDHIARKO. Kemampuan Conditioned Medium Dari Kultur Primer Pankreas Dewasa Dalam Mengarahkan (Diferensiasi) Embryonic Stem Cell Mencit Menjadi Sel Beta Pankreas. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan ADI WINARTO. Pankreas merupakan kelenjar endokrin dengan salah satu fungsinya sebagai penghasil insulin, yaitu hormon yang mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen. Peningkatan kadar glukosa dalam darah yang tidak diimbangi dengan peningkatan insulin merupakan salah satu karakter dari penyakit diabetes. Diabetes dikelompokan dalam 2 kategori, yaitu tipe 1 dan 2. Pada umumnya diabetes tipe 1 terjadi akibat kegagalan sistem imun tubuh dan ditanggulangi dengan pemberian insulin harian ataupun transplantasi organ. Kendala dalam ketersediaan insulin, ketersediaaan organ dan kesesuaiannya, serta efek samping akibat penggunaan immunosuppresan menjadi kendala yang dihadapi. Penggunaan cell replacement therapy atau terapi berbasis sel merupakan alternatif lain yang dapat digunakan. Cara ini mengurangi permasalahan yang timbul akibat penggunaan immunosuppresan. Namun tetap menghadapi kendala pada ketersediaan sumber sel yang digunakan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka digunakanlah stem cells sebagai alternatif sumber sel. Stem cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang memiliki sifat pluripotent, yaitu kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dalam tubuh dengan fungsi yang lebih spesifik. Berdasarkan sumbernya stem cells dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok utama, yaitu embrionik (embryonic stem cells, ESC) dan non-embrionik (adult stem cells, ASC). Embryonic stem cells adalah stem cells yang diperoleh atau diisolasi dari embrio. Sedangkan ASC adalah stem cells yang ditemukan diberbagai jaringan tubuh (tulang, otak, hati, kulit, lemak, otot dan darah) yang memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan dan memperbaiki jaringan. Pada cell replacement therapy, stem cells diarahkan menjadi sel beta pankreas sebelum kemudian ditransplantasikan pada resipien. Pengarahan stem cells menjadi suatu tipe sel tertentu sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan lingkungan ekstraselular. Beberapa metode pengarahan yang telah dilakukan antara lain, melalui modifikasi genetik, penggunaan growth factor, penggunaan extracellular matrix serta conditioned medium (CM). Conditioned medium merupakan medium yang diperoleh dari kultur primer pankreas. Umumnya CM yang digunakan merupakan hasil dari kultur primer pankreas neonatal dengan masa koleksi CM berkisar antara hari 3 hingga ke 7 kultur. Namun pada penelitian ini CM yang digunakan merupakan hasil kultur primer pankreas dewasa selama 14 hari, yaitu hari ke 9 hingga 21 masa kultur. Conditioned medium tersebut diharapkan mengandung faktor-faktor pertumbuhan selama terjadinya pembentukan sel-sel beta pankreas yang kemudian akan mengarahkan diferensiasi ESC mencit menjadi sel beta pankreas.

5 Embryonic stem cells diperoleh dengan mengisolasi inner cell mass (ICM) dari embrio pada fase blastosis menggunakan metode immunosurgery. Embryonic stem cells kemudian dikultur dalam medium DMEM-high glucose (Sigma, USA) yang mengandung non-essential amino acid 1%, FBS 10%, penicillinstreptomycin (Sigma, USA) 5μl/ml, mercaptoethanol (Sigma, USA) 0,1 mm, Leukimia Inhibitory Factor/LIF (Sigma, USA) 20 ng/ml. Diferensiasi ESC menjadi sel penghasil insulin dilakukan dengan mengkultur ESC dalam medium diferensiasi, yaitu medium tanpa LIF yang mengandung CM dengan konsentrasi volume per volume (v/v) 0%, 10%, 30% dan 50% selama 14 hari. Paramater yang diamati adalah pembentukan sel beta pankreas yang teridentifikasi melalui pewarnaan dithizone dan kemampuannya dalam mengekspresikan mrna proinsulin 1 dan proinsulin 2. Hasil pewarnaan dithizone memperlihatkan adanya intensitas warna yang berbeda pada tiap koloni ESC, yaitu merah muda, merah, dan merah tua. Pewarnaan dithizone merupakan pewarnaan yang mengikat zinc (zinc-binding substance) sehingga menghasilkan warna merah muda hingga merah tua pada selsel yang mengandung zinc (Zn). Zinc dalam sel beta pankreas berfungsi sebagai pengikat insulin sehingga membentuk dimer ataupun hexamer yang mempermudah penyimpanan insulin dalam secretory vesicles pada sel beta pankreas. Variasi warna yang dihasilkan menandakan adanya perbedaan konsentrasi atau jumlah Zn yang terkandung di dalam suatu sel. Peningkatan warna pada pewarnaan dithizone dapat disimpulkan sebagai adanya peningkatan akumulasi Zn yang berasosiasi dengan peningkatan jumlah insulin di dalam sel beta pankreas. Perbedaan konsentrasi CM dalam medium pengarahan menghasilkan perbedaan warna (merah muda, merah dan merah tua) pada saat pewarnaan dithizone. Untuk mempermudah dalam menganalisa data maka warna merah muda diberi skor 1, merah diberi skor 2 dan merah tua diberi skor 3. Secara statistik warna yang dihasilkan pada pewarnaan dithizone menunjukkan hasil yang secara nyata berbeda. Perlakuan CM 50% merupakan hasil yang terbaik diikuti dengan perlakuan CM 30%. Sedangkan pada perlakuan CM 10% tidak memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan CM 0% (kontrol) (P > 0,05). Hal tersebut sejalan dengan Vaca et al. (2006) yakni konsentrasi CM yang umum digunakan dalam pengarahan stem cell menjadi sel beta pankreas adalah 50%. Pita pada gel hasil elektroforesis produk RT-PCR menunjukkan bahwa B-actin terekspresi pada seluruh perlakuan yang menandakan tidak terjadi kesalahan pada proses analisa, baik pada pengisolasian RNA maupun proses RT- PCR yang dilakukan. Hasil elektroforesis juga memperlihatkan bahwa proinsulin 2 terekspresi pada seluruh perlakuan sedangkan pada proinsulin 1 hanya perlakuan 1 yang tidak mengekspresikan adanya proinsulin 1. Proses sintesis insulin dipengaruhi oleh 2 gen insulin yaitu insulin 1 dan insulin 2. Insulin 2 diekspresikan tidak hanya pada pankreas namun juga oleh selsel otak sedangkan insulin 1 hanya diekpresikan pada sel-sel pankreas. Akan tetapi, kedua gen tersebut, insulin 1 dan 2 memiliki peranan yang sama besar dalam sintesa insulin pada pankreas. Pada proses sintesis insulin akan dihasilkan preproinsulin yaitu protein prekursor dari proinsulin. Preproinsulin tersebut kemudian akan mengalami perubahan bentuk menjadi proinsulin. Proinsulin

6 adalah insulin yang masih berikatan dengan C-peptide. Ekspresi proinsulin 2 yang ditemukan pada seluruh perlakukan dan ekspresi proinsulin 1 pada perlakuan 2, 3, dan 4 menandakan bahwa pada perlakukan tersebut (2, 3, dan 4) mengandung sel-sel beta pankreas yang dihasilkan dari proses diferensiasi ESC. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan CM yang dihasilkan dari kultur primer pankreas dewasa mampu mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas dengan konsentrasi optimum 50%. Sel-sel beta pankreas yang terbentuk mampu mengekspresikan mrna dari gen insulin 1 dan 2. Kata kunci: conditioned medium, pancreas, sel beta pankreas, embryonic stem cells mencit.

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER PANKREAS DEWASA DALAM MENGARAHKAN (DIFERENSIASI) EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI SEL BETA PANKREAS DINI BUDHIARKO TESIS Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Mokhamad Fakhrudin, Ph.D

10

11 PRAKATA Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga atas segala berkat, rahmat, dan penyertaan-nya yang senantiasa bagi penulis selama penelitian hingga terselesaikannya tesis dengan judul Kemampuan Conditioned Medium Dari Kultur Primer Pankreas Dewasa Dalam Mengarahkan (Diferensiasi) Embryonic Stem Cells Mencit Menjadi Sel Beta Pankreas. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam program studi Sains Veteriner pada program PASCASARJANA Institut Pertanian Bogor. Berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian dan penulisan tesis ini telah terselesaikan berkat bantuan, dukungan, dan kerjasama dengan berbagai pihak. Dengan penuh rasa syukur, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap terhadap penyelesaian tesis ini, yaitu: 1. Ibu Dr. drh Ita Djuwita, M.Phil., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak drh. Adi Winarto, Ph.D., selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan masukan yang diberikan dalam penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Bapak dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D., Bapak Ferry Sandra, drg., Ph.D., Ibu dr. Caroline Tan Sardjono, Ph.D., Bapak Ahmad Utomo, Ph.D., dan dr. Santoso Cornain, Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 di IPB. 3. Stem Cell and Cancer Institute dan PT. Kalbe Farma, Tbk., yang telah menjadi sponsor dalam pendidikan dan penelitian, serta rekan-rekan di Stem Cell and Cancer Institute atas dukungannya selama penulis melakukan pendidikan Strata 2 di IPB. 4. Bapak Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D., Bapak drh. Mokhamad Fakhrudin, Ph.D., Bapak drh Kusdiantoro Mohammad, M.Si., Ibu drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si., serta staf Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi lainnya, atas bantuan, masukan, dan dukungannya selama penulis menempuh pendidikan Strata 2.

12 5. Prof. drh. Bambang Pontjo P., M.S., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Sains Veteriner, yang juga telah meluangkan waktunya untuk dapat hadir dalam sidang thesis dan memberikan masukan serta dukungan yang menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis, dan segenap staf Program Studi Sains Veteriner serta Sekolah Pasca Sarjana IPB. 6. Dwi Agustina, S.Si., Harry Murti, S.Si., Riris Lindiawati S.Si., Bapak Dr. Ir. Thomas Mata Hine, M.Si., Bapak Ir. Bayu Rosadi, M.Si., serta rekan-rekan Program Studi Sains Veteriner 2006 dan Program Studi Biologi Reproduksi , atas masukan, bantuan, dan dukungannya selama ini. 7. Keluarga ku dan Mas Yohanes yang senantiasa menemani dan mendukung dalam doa dan kasih. Serta seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan akan dilipatgandakan oleh Allah Bapa. Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun, semoga tesis ini dapat berguna dalam penelitian dan pengembangan stem cells sebagai alternatif dalam pengobatan terhadap penyakit-penyakit degeneratif, khususnya penggunaan stem cells dalam penanganan diabetes. Bogor, Mei 2010 Dini Budhiarko

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 April 1980 dari ayah Drs. Aloysius Djamilan Budhiarko dan ibu Christina T. Penulis merupakan putri ketiga dari lima bersaudara. Pada tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan di SMA Bunda Hati Kudus dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pada perguruan tinggi tersebut penulis memilih Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan menyelesaikan studinya dengan gelar Sarjana Sains pada tahun Penulis kemudian bergabung dengan Stem Cell and Cancer Institute pada tahun 2006 hingga saat ini. Pada research institute tersebut penulis bekerja sebagai Research Assistant dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata 2 pada tahun yang sama. Biaya pendidikan dan penelitian sepenuhnya didukung oleh Stem Cell and Cancer Institute dan PT. Kalbe Farma, Tbk. tempat penulis bekerja.

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... xvi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Kerangka Pemikiran... 2 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 3 Hipotesis Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Pankreas... 4 Proses Pembentukan Insulin... 6 Diabetes dan Penanganannya... 8 Embryonic Stem Cells... 9 Isolasi Inner Cell Mass Kultur Embryonic Stem Cells Karakteristik Embryonic Stem Cells Diferensiasi Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas Conditioned Medium 16 MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan Percobaan Tahapan dan Prosedur Kerja Pembuatan Conditioned Medium Penyediaan Embryonic Stem Cells Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas 21 Analisa Sel Beta Pankreas Kemampuan Ekspresi Gen Insulin Analisa Data HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Conditioned Medium Penyediaan Embryonic Stem Cells Koleksi Blastosit dan Isolasi Inner Cell Mass Kultur Embryonic Stem Cells dan Uji Pluripotensi Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas Kemampuan Ekspresi Gen Insulin SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv

15 DAFTAR TABEL 1. Primer yang digunakan dalam RT-PCR Persentase perolehan blastosis Hasil pewarnaan dithizone pada pengarahan ESC menjadi sel beta pankreas... 33

16 DAFTAR GAMBAR 1. Pankreas manusia Proses sintesis insulin Embrio fase blastosit Isolasi ICM dengan metode immunosurgery Morfologi sel yang ditemukan pada kultur primer pankreas Pewarnaan dithizone pada kultur primer pankreas Hasil positif pada pewarnaan alkaline phosphatase terhadap koloni ICM Sel-sel beta pankreas berbentuk bulat yang dihasilkan pada pengarahan ESC Hasil pewarnaan dithizone pada pengarahan ESC Jalur diferensiasi yang diaktifkan oleh fibroblast growth factors Pita cdna hasil RT-PCR mrna b-actin dan proinsulin 1 & proinsulin 2 sel beta pankreas hasil pengarahan ESC menggunakan berbagai konsentrasi CM... 36

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Pankreas merupakan organ dengan salah satu fungsinya sebagai penghasil insulin, yaitu hormon yang mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen. Peningkatan kadar glukosa dalam darah yang tidak diimbangi dengan peningkatan insulin merupakan salah satu karakter dari penyakit diabetes (Beattie & Hayek 2004). Diabetes dikelompokan dalam 2 kategori, yaitu tipe 1 dan 2. Diabetes tipe 1 pada umumnya terjadi akibat kegagalan sistem imun tubuh sehingga merusak sel beta pankreas. Sedangkan diabetes tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin ataupun kurangnya jumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta pankreas (Noguchi 2007). Penanggulangan diabetes tipe 1 dilakukan dengan pemberian insulin harian ataupun transplantasi organ. Namun, ketersediaan insulin yang tidak dapat diperoleh dengan mudah, ketersediaaan organ yang didonorkan dan tingkat kesesuaian organ terhadap resipien, serta efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan immunosuppresan menjadi kendala yang sering dihadapi (Burns et al. 2004, Sameer et al. 2006). Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam penanganan diabetes tipe 1 adalah penggunaan cell replacement therapy atau terapi berbasis sel dengan cara hanya menggantikan sel-sel yang rusak dengan sel-sel baru, yaitu mentransplantasikan sel-sel beta pankreas pada pasien. Cara ini mengurangi permasalahan yang timbul akibat penggunaan immunosuppresan. Akan tetapi cara ini tetap pula menghadapai kendala pada ketersediaan sumber sel yang digunakan, yaitu sel-sel beta pankreas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka digunakanlah stem cells sebagai alternatif sumber sel (Brolen et al. 2005, Sameer et al. 2006). Stem cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang memiliki sifat pluripotent, yaitu suatu kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dalam tubuh dengan fungsi yang lebih spesifik (NIH 2001). Pada penggunaannya dalam cell replacement therapy khususnya yang berkaitan dengan diabetes, sebelum ditransplantasikan pada pasien stem cells terlebih dahulu diarahkan menjadi sel beta pankreas (Blyszczuk & Wobus 2004).

18 2 Pengarahan stem cells menjadi suatu tipe sel tertentu (sel-sel beta pankreas) sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan lingkungan ekstraselularnya sehingga dalam mengarahkan diferensiasi stem cells diperlukan lingkungan yang mendukung diferensiasi tersebut (Ding & Schultz 2004). Kerangka Pemikiran Pengarahan stem cell menjadi sel penghasil insulin (sel-sel beta pankreas) telah banyak dilakukan. Beberapa metode pengarahan yang telah dilakukan antara lain, melalui modifikasi genetik sehingga sel akan mengekspresikan pancreas specific promotor atau melalui diferensiasi spontan yang kemudian diikuti dengan seleksi, penggunaan growth factor (seperti activin, fibroblast growth factor, retinoic acid, dan transforming growth factor) (Shi et al. 2005; Ku et al. 2004; Skoudy et al. 2004), penggunaan extracellular matrix (seperti laminin, firbronectin dan collagen) (Blyszczuk et al. 2004; Schroeder et al. 2006) serta conditioned medium (CM) (Vaca et al. 2006). Conditioned medium merupakan medium yang diperoleh dari kultur primer pankreas. Umumnya organ pankreas yang digunakan pada kultur primer adalah organ yang berasal dari fetus ataupun neonatal berumur 1-3 hari. Selain itu CM yang digunakan juga diperoleh dari kultur primer dengan masa koleksi CM berkisar antara hari 3 hingga ke 7 masa kultur (Vaca et al. 2006). Pada penelitian ini CM dihasilkan dari kultur primer pankreas dewasa dan dengan lama masa kultur adalah 21 hari. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan Katdare et al. (2004) dan Leng & Lu (2005) yang menyatakan bahwa pada kultur primer pankreas dewasa akan ditemukan adanya sel-sel beta pankreas pada hari ke 21 pengkulturan yang ditandai dengan adanya sel-sel yang berwarna merah saat dilakukan pewarnaan dithizone. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pada penelitian ini CM yang digunakan akan diisolasi dari kultur primer pankreas dewasa dengan waktu pengkoleksian CM selama 14 hari, yaitu dari hari ke 9 hingga hari ke 21 masa kultur. Conditioned medium tersebut diharapkan mengandung faktor-faktor pertumbuhan selama terjadinya pembentukan sel-sel beta pankreas yang kemudian akan mengarahkan diferensiasi ESC mencit menjadi sel beta pankreas.

19 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kemampuan berbagai konsentrasi CM yang dihasilkan dari kultur primer pankreas mencit dewasa dalam mengarahkan (diferensiasi) ESC mencit menjadi sel beta pankreas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas terutama dalam penggunaan CM sebagai media diferensiasi. Aplikasi dari penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi penelitian di bidang kesehatan khususnya yang berkaitan dengan penanggulangan penyakit diabetes yang ditimbulkan akibat kerusakan sel beta pankreas. Hipotesis Penelitian Pada penelitian ini diajukan hipotesis bahwa penggunaan CM yang diperoleh dari kultur primer pankreas dewasa mencit dapat mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas.

20 4 TINJAUAN PUSTAKA Pankreas Pankreas adalah organ yang memiliki 2 fungsi yang berbeda, yaitu menghasilkan hormon dan mensekresikan enzim. Organ tersebut terdiri dari 3 komponen utama, yaitu jaringan eksokrin yang terdiri dari sel-sel acinar dan saluran pankreas (pancreatic duct) serta endokrin berupa pulau-pulau Langerhans (islet of Langerhans) (Gambar 1). Sel-sel eksokrin (sel-sel acinar) bertanggung jawab terhadap produksi enzim. Enzim yang dihasilkan kemudian akan disalurkan ke dalam duodenum melalui saluran pankreas (pancreatic duct). Berbeda dengan keduanya, sel-sel endokrin dari pulau-pulau Langerhans memiliki fungsi untuk mensekresikan hormon yang kemudian akan dialirkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Sel-sel endokrin yang letaknya tersebar diantara sel-sel eksokrin memiliki jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan eksokrin. Pada pankreas perbandingan antara jumlah sel-sel endokrin dan eksokrin mencapai 1 : 10. (Ramiya et al. 2000, Murtaugh et al. 2007). a b c d e f g Gambar 1. Pankreas manusia, (a) pankreas, (b) sel acinar, (c) saluran pankreas, (d) sel alfa, (e) sel beta, (f) sel beta pankreas mensekresikan insulin ke dalam pembuluh darah, (g) insulin membantu penyerapan glukosa pada sel otot (NIH 2001).

21 5 Pada awal pembentukannya, sel-sel endokrin pada pankreas dihasilkan dari tunas (buds) yang muncul pada sel-sel epitel pada saluran pakreas atau disebut juga dengan epithelium duct cells. Tunas tersebut kemudian tumbuh hingga membentuk struktur spheroid. Setelah berbentuk spheroid, kumpulan sel tersebut kemudian bermigrasi ke dalam jaringan acinar, mengalami angiogenesis (pembentukan pembuluh darah) dan menjadi matang (mature). Kematangan selsel endokrin tersebut ditandai dengan kemampuan sel-sel tersebut untuk menghasilkan hormon dan mensekresikannya ke dalam pembuluh darah (Ramiya et al. 2000, Peck et al. 2002, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008). Sel-sel endokrin/pulau-pulau Langerhans merupakan suatu kumpulan sel yang terdiri dari 5 tipe sel yang berbeda, yaitu sel alfa (α) yang mensekresikan hormon glukagon, sel beta (β) mensekresikan insulin, sel delta (δ) mensekresikan somatostatin, sel PP mensekresikan pancreatic polypeptide, serta sel epsilon (ε) yang mensekresikan ghrelin (Murtaugh et al. 2007). Namun, sel epsilon hanya dapat ditemukan pada saat pembentukan dan perkembangan pankreas. Setelah kelahiran jumlah sel tersebut akan menurun hingga akhirnya menghilang. Hal tersebut menyebabkan sel-sel epsilon tidak banyak diketahui (Brissova & Powers 2008). Pada rodentia (mencit dan tikus), morfologi pulau-pulau Langerhans berupa kumpulan sel yang berbentuk bola (spheroid) dengan sel-sel beta terletak di tengah-tengah dan dikelilingi atau dibungkus oleh sel-sel alfa. Sedangkan selsel delta terletak tersebar diantara sel beta dan alfa (Ramiya et al. 2000, Bouwens 2004). Pada manusia, non-human primate, babi, dan anjing, letak sel beta pankreas tidak berada di tengah-tengah atau menjadi inti dari pulau-pulau Langerhans tapi tersebar di antara sel-sel lainnya (alfa, delta dan PP) (Brissova & Powers 2008). Berdasarkan populasi ke empat sel endokrin yang ada, sel beta pankreas memiliki jumlah yang paling banyak, yaitu sekitar 80% dari seluruh selsel endokrin, diikuti dengan sel alfa, sel delta dan sel PP (Murtaugh et al. 2007, Brissova & Powers 2008).

22 6 Proses Pembentukan Insulin Insulin merupakan protein yang dihasilkan oleh sel beta dari pulau-pulau Langerhans pankreas. Gen yang bertanggung jawab terhadap produksi insulin pada mencit dan tikus (rodentia) adalah insulin 1 dan insulin 2. Kedua gen tersebut bukan merupakan pasangan gen atau alel (non-allelic insulin genes) (Artner & Stein 2008). Insulin 1 berasal dari insulin 2 karena insulin 1 merupakan hasil duplikasi dari insulin 2. Perbedaan antara kedua gen tersebut terletak pada pengurangan sekitar 500 basepairs (bp) di bagian awal (upstream) pada situs trankripsi pada insulin 1. Selain itu pada bagian yang mengkode (coding region) pada insulin 1 juga hanya diselingi oleh 1 intron. Intron tersebut jika disesuaikan letaknya pada insulin 2 berada pada intron pertama, sedangkan intron kedua dan selanjutnya tidak dimiliki oleh insulin 1 (Devaskar et al. 1993, Giddings et al. 1994, Artner & Stein 2008). Ekspresi dari insulin 2 sebagai gen asal (ancestral gene) diekspresikan tidak hanya pada organ pankreas namun juga dapat ditemukan ekspresinya pada bagian otak. Sedangkan ekspresi dari insulin 1 hanya dapat ditemukan pada pankreas. Pada pankreas ekspresi kedua gen tersebut (insulin 1 dan insulin 2) menunjukkan ekspresi yang sama besar/setara yang menandakan bahwa kedua gen tersebut memiliki peranan yang sebanding di dalam sintesa insulin pada pankreas (Devaskar et al. 1993, Giddings et al. 1994). Pada proses sintesis insulin, gen insulin akan ditranskripsikan menjadi mrna yang kemudian akan ditranslasi menjadi prekursor protein yang disebut preproinsulin. Preproinsulin tersusun dari 4 bagian dengan urutan sebagai berikut, rantai A, C-peptide, rantai B dan signal peptide (berupa hydrophobic N-terminal). Signal peptide adalah suatu peptida yang terdapat pada prekursor protein dan merupakan karakteristik dari protein yang akan disekresikan oleh hewan, tumbuhan maupun bakteri. Signal peptide pada prekursor protein tersebut menyandi tujuan atau tempat dimana prekursor protein akan dibawa dan mengalami proses selanjutnya (post-translation process). Ketika disekresikan ke dalam sitosol signal peptide akan berinteraksi dengan signal recognition particle (SRP), yaitu partikel ribonucleoprotein di dalam sitosol yang akan memfasilitasi pemisahan rantai polipeptida sehingga dihasilkan proinsulin (rantai A, C-peptide,

23 7 dan rantai B). Proinsulin kemudian akan ditranslokasikan ke dalam lumen retikulum endoplasmik (RE) melalui peptide-conducting channel dan mengalami perubahan bentuk sehingga menghasilkan bentuk dasar dari insulin akibat ikatan sulfida yang terbentuk antara sulfid pada rantai A dan B. Setelah itu, proinsulin kemudian dibawa menuju golgi aparatus (badan golgi) untuk dikemas dan kemudian dilepas ke dalam sitoplasma berupa kantung-kantung yang nantinya akan disekresikan (secretory vesicles). Di dalam secretory vesicles tersebut proinsulin mengalami proses pematangan yaitu pemisahan rantai insulin dengan peptida penghubungnya (connecting peptide atau C-peptide) sehingga dihasilkan insulin dan C-peptide (Gambar 2). Keduanya kemudian akan disekresikan secara bersamaan ke dalam darah pada saat terjadi peningkatan glukosa dalam darah (Bosher 2001 & Steiner 2008). a b c Gambar 2. Proses sintesis insulin. (a) proinsulin dalam retikulum endoplasma membentuk bentuk dasar insulin, terjadi ikatan sulfida antar sulfid pada rantai A dan B, (b) proinsulin kemudian dikemas oleh badan golgi berupa kantung (vesicles), (c) dalam vesicles proinsulin mengalami pematangan membentuk insulin dan C-peptide dan siap disekresikan oleh secretory granules (Bosher 2001).

24 8 Diabetes dan Penanganannya Sel beta pankreas dan sel alfa merupakan komponen terpenting dalam sel endokrin pada pankreas. Setelah mengkonsumsi makanan (karbohidrat), kadar gula (glukosa) dalam darah akan meningkat. Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas akan menstimulasi penyerapan glukosa oleh sel-sel tubuh serta menstimulasi hati untuk mengubah glukosa menjadi glikogen dan menyimpannya dalam hati dan otot. Sedangkan pada saat terjadi penurunan glukosa, sel alfa akan mensekresikan hormon glukagon yang menstimulasi hati untuk mengubah glikogen menjadi glukosa (Bouwens & Rooman 2005). Ketidakmampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan kadar gula dalam darah merupakan karakterisik dari penyakit diabetes. Berdasarkan data WHO, diabetes diperkirakan akan diderita oleh lebih dari 150 juta orang di dunia dan prevalensinya akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada tahun 2025 (WHO 2002). Berdasarkan tipenya, diabetes dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe utama, yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 juga dikenal sebagai Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Penyakit tipe ini disebabkan karena adanya kegagalan sistem imun dalam tubuh sehingga sistem imun tubuh mengenali sel beta pankreas sebagai suatu benda asing yang harus dimusnahkan. Berkurangnya hingga hilangnya sel beta pankreas menyebabkan jumlah insulin yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh dan terus menurun hingga akhirnya tidak lagi dihasilkan. Diabetes tipe ini ditangani dengan penambahan insulin (exogenous insulin) secara berkala untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan insulin ataupun dengan melakukan transplantasi sel beta pankreas maupun pankreas secara utuh sehingga tubuh kembali menghasilkan insulin (Dugi 2006, Noguchi 2007, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008). Sedangkan pada diabetes tipe 2 atau disebut juga dengan Non Independent Diabetes Mellitus (NIDDM), umumnya terjadi karena berkurangnya sensitivitas reseptor insulin pada sel-sel tubuh. Hal ini menyebabkan insulin yang diperlukan untuk menurunkan kadar gula dalam darah meningkat jumlahnya dari jumlah yang seharusnya. Pengobatan yang dilakukan pada diabetes tipe 2 ini adalah menstimulasi sel beta pankreas sehingga menghasilkan lebih banyak insulin.

25 9 Namun, pengobatan tersebut dapat menyebabkan terjadinya kelelahan pada sel beta sehingga dalam proses yang berkelanjutan diabetes tipe 2 akan berubah menjadi diabetes tipe 1 (Dugi 2006, Noguchi 2007, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008). Secara alami peningkatan jumlah sel beta pankreas terjadi pada saat masa tubuh meningkat atau saat adanya pertambahan berat badan serta pada masa kehamilan. Hal tersebut disebabkan karena di dalam pankreas terdapat sel-sel progenitor yang terstimulasi untuk membentuk sel beta pankreas guna memenuhi peningkatan kebutuhan tubuh akan insulin (Bouwens 2004). Namun, kecepatan pembentukan sel beta pankreas yang tidak dapat mengimbangi kerusakan dan kematian sel, serta adanya autoimmune attack pada diabetes tipe 1 menyebabkan pasien harus mendapatkan transplantasai sel beta pankreas. Kesulitan dalam pengadaan sel beta pankreas disebabkan karena sel-sel tersebut tidak dapat diperbanyak melalui metode kultur. Selain itu jumlah sel yang diperlukan dalam satu kali proses transplantasi juga cukup banyak (Colman et al. 2004). Hal tersebut menunjukkan kendala yang harus dihadapi dalam penggunaan cell replacement therapy untuk menanggulangi penyakit diabetes yang timbul akibat kerusakan sel beta pankreas. Embryonic Stem Cells Stem cells adalah sel yang memiliki kemampuan untuk memperbaharui diri (self-renewal) dan berdiferensiasi menjadi sel lain dengan fungsi yang lebih spesifik. Kemampuan tersebut ditentukan oleh daya plastisitas yang dimilikinya atau disebut juga dengan sifat pluripoten. Sifat pluripoten menyebabkan stem cells mampu berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dalam tubuh yang dihasilkan dari tiga lapis kecambah, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm. Namun demikian, sifat pluripoten tersebut akan berkurang seiring dengan terjadinya diferensiasi atau pembentukan sel yang lebih spesifik (Burdon et al. 2002, NIH 2001, Mayhal et al. 2004). Secara umum stem cells memiliki karakteristik morfologi berupa inti sel (nukleus) yang besar bila dilihat dari perbandingan antara nukleus dengan sitoplasmanya. Selain itu stem cells juga memiliki kecenderungan untuk tumbuh

26 10 membentuk koloni berlapis yang kompak (compact multilayered colonies). Karakteristik lain yang dimiliki oleh stem cells adalah fase G1 yang pendek pada siklus selnya, serta memiliki aktivitas telomerase yang tinggi, dan ukuran telomere yang lebih panjang bila dibandingkan dengan sel-sel pada umumnya (Bhat et al. 2004). Berdasarkan sumbernya stem cells dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok utama, yaitu embrionik (embryonic stem cells, ESC) dan nonembrionik (adult stem cells, ASC). Embryonic stem cells adalah stem cells yang diperoleh atau diisolasi dari embrio. Sedangkan ASC atau yang juga dikenal sebagai mesenchymal stem cells (MSC) ataupun multipotent adult progenitor cells (MAPC), adalah sel yang ditemukan di berbagai jaringan tubuh yang memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan dan memperbaiki jaringan tubuh. Adult stem cells dapat diisolasi dari sumsum tulang, otak, hati, kulit, lemak, otot, dan darah (Davila et al. 2004). Namun dari kedua sumber utama stem cells tersebut, ESC merupakan stem cells yang paling baik karena kemampuan proliferasinya dalam waktu yang lebih panjang (long-term self-renewal) dan kemampuan diferensiasinya menjadi berbagai tipe sel dari 3 lapis kecambah, serta imunitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan stem cells dari sumber lainnya (NIH 2001, Lie & Xie 2005). Embryonic stem cells mulai diisolasi pada tahun 1980an. Diawali dengan keberhasilan Evans dan Kaufman dalam mengisolasi inner cell mass dari blastosis mencit pada tahun Selain itu, Evans dan Kaufman juga berhasil menemukan kondisi kultur in vitro yang baik sehingga dapat menumbuhkan ESC mencit hingga menghasilkan cell lines (sel yang telah diisolasi dan dikultur secara in vitro dengan tetap mempertahankan sifat-sifat yang dimilikinya). Pada penelitian-penelitian selanjutnya selain berhasil membiakkan stem cells para peneliti juga melakukan pengarahan stem cells secara in vitro sehingga stem cells berdiferensiasi menjadi sel-sel dengan tipe tertentu. Hal tersebut kemudian menjadikan stem cells sebagai sumber sel yang sangat potensial bagi terapi untuk menggantikan sel-sel atau jaringan yang rusak (NIH 2001).

27 11 Berbagai penelitian pada hewan coba telah dilakukan dengan menggunakan stem cells sebagai terapi terhadap suatu penyakit dengan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan terapi konvensional. Penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan dengan menggunakan stem cells antara lain luka bakar, penyakit jantung, stroke, diabetes tipe 1, osteoarthritis dan rheumatoid arthritis, Parkinson dan Alzheimer, serta penyakit-penyakit lain yang diakibatkan kerusakan sistem saraf (NIH 2001, Bhat et al. 2005). Namun penggunaan stem cells tidak hanya terbatas dalam terapi pada penyakit tapi juga digunakan pada penelitian-penelitian dasar (basic research) seperti dalam memahami kejadian kompleks yang terjadi dalam proses perkembangan (development). Selain itu stem cells juga digunakan dalam mempelajari fungsi-fungsi gen yang terkait dalam mekanisme on dan off nya suatu gen, ataupun pada proses pengembangan suatu obat (drug development) (NIH 2001, Davila et al. 2004, Bhat et al. 2005, Trounson 2006). Isolasi Inner Cell Mass Embryonic stem cells diperoleh dengan mengisolasi inner cell mass (ICM) dari embrio pada fase blastosis. Blastosis adalah suatu tahapan pada perkembangan embrionik pada saat embrio mencapai pertumbuhan pada hari ke 4 setelah terjadinya pembuahan. Pada saat tersebut embrio mengalami kompaksi dan sel-sel pada bagian paling luar akan mensekresikan suatu cairan. Dominasi cairan tersebut akan mendesak sel-sel yang berada pada bagian dalam sehingga terkumpul pada satu sisi dan menghasilkan suatu rongga yang berisi cairan yang disebut dengan blastosol. Sel-sel yang mengeliling pada bagian paling luar dinamakan trophectoderm. Sedangkan sel-sel yang terkumpul pada bagian tengah disebut dengan inner cell mass (ICM) (Nagy et al. 2003, O Shea et al. 2004, Zwaka & Thomson 2005) (Gambar 3). Inner cell mass tersebut yang kemudian akan diisolasi dan menjadi sumber dari ESC. Inner cell mass digambarkan sebagai suatu koloni dengan ukuran sel yang kecil, mempunyai nukleus berukuran besar dan sitoplasma yang sedikit. Selain itu jumlah dan kualitas ICM juga sangat dipengaruhi oleh kualitas pertumbuhan blastosis (Stojkovic et al. 2004, Kim et al. 2005).

28 12 Namun sebelum dilakukan isolasi ICM, zona pelucida yang membungkus blastosis harus dihilangkan terlebih dahulu. Zona pellucida adalah lapisan glikoprotein yang membungkus embrio, yang berfungsi untuk menjaga kesatuan embrio saat embrio belum mengalami kompaksi (pre-compacted). Pada in vivo, zona pellucia akan lisis akibat enzim tripsin yang dihasilkan oleh sel-sel tropechtoderm, yang disebut dengan stripsin (Budhiarko et al. 2008). Pada in vitro, proses penghilangan zona pellucida dilakukan dengan menggunakan enzim pronase berkonsentrasi 0,25-0,50% (Oh et al. 2005) ataupun menggunakan asam tyrode (Cowan et al. 2004, Skottman & Hovatta 2006). a b c d Gambar 3. Embrio fase blastosis: (a) zona pellucida; (b) trofoblas; (c) blastosol; (d) inner cell mas, ICM. Bar = 40 μm Pengisolasian ICM dari blastosis dapat dilakukan dengan metode immunosurgery, microsurgery atapun enzimatik (Nagy et al. 2003, Bryja et al. 2006). Umumnya metode yang banyak digunakan adalah metode immunosurgery. Prinsip dasar dalam metode immunosurgery adalah pengisolasian ICM dengan cara melisiskan sel-sel trophectoderm yang ada di sekeliling ICM. Pelisisan sel-sel trophectoderm dilakukan dengan bantuan antibodi dan komplemen. Antibodi akan berikatan dengan sel-sel trophectoderm (antigen) sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Kemudian dengan penambahan komplemen akan terjadi lisis pada sel-sel trophectoderm akibat

29 13 adanya aktivasi cascade complement yang menyebabkan terjadinya membrane attack complex (Nagy et al. 2003) sehingga diperoleh ICM sebagai hasil akhir (Gambar 4). Pada microsurgery, ICM diperoleh dengan melakukan pembedahan mikro terhadap blastosis. Sedangkan pada metode enzimatik digunakan enzim trypsin dengan konsentrasi 2.5% (Bryja et al. 2006). Namun selain kedua metode tersebut, isolasi juga dapat dilakukan dengan cara alami yaitu dengan membiarkan blastosis untuk melekat (attach) dan kemudian mengisolasi ICM yang berupa agregat (Cowan et al. 2004, Bryja et al. 2006, Hoffman & Carpenter 2005). Ataupun menggunakan teknik single cell embryo biopsy yaitu teknik yang umum digunakan pada saat melaluikan pre-implantation genetic diagnosis (PGD) (Chung et al. 2005, Skottman & Hovatta 2006). a b c Gambar 4. Isolasi ICM dengan metode immunosurgery: (a) blastosis diinkubasi dengan rabbit anti-mouse serum; (b) dilanjutkan dengan menginkubasi blastosis dengan guinea pig complement; (c) sel-sel trofoblas mengalami lisis sehingga diperoleh ICM (Nagy et al. 2003) Dibandingkan dengan teknik immunosurgery, penggunaan microsurgery dianggap lebih menguntungkan dalam proses isolasi ESC pada manusia. Hal ini disebabkan karena tidak terjadinya kontak antara blastosis dengan antibodi yang berasal dari hewan yang umumnya digunakan pada proses immunosurgery. Kelemahan pada metode immunosurgery adalah risiko terbawanya sisa sel trophectoderm pada proses isolasi yang dapat mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan ESC (Stojkovic et al. 2005, Skottman & Hovatta 2006).

30 14 Kultur Embryonic Stem Cell Inner cell mass yang diperoleh kemudian dikultur dengan tetap mempertahankan sifat undifferentiated yang dimilikinya (Pour et al. 2004). Pada umumnya ESC dikultur dalam dulbecco s modified eagle s medium (DMEM) (Sigma, USA) yang mengandung fetal bovine serum (FBS) 10-20% (Sigma, USA), β-mercaptoethanol 0,1 mm (Sigma, USA), nonessential amino acids 1% (Sigma, USA), penicillin-streptomycin 5 μl/ml (Sigma, USA), dan Leukimia inhibitory factor (LIF) 20 ng/ml. Penambahan LIF dalam medium kultur berfungsi untuk mempertahankan sifat undifferentiated ESC. Leukimia inhibitory factor akan berikatan dengan komplek reseptor heterodimer (heterodimeric receptor complex) yang terdiri dari LIF receptor (LIFR) dan reseptor gp 130. Ikatan tersebut akan mengaktifkan faktor transkripsi Janus-associated tyrosine kinases (JAK) yang melekat pada reseptor LIF dan gp 130 sehingga mengalami fosforilasi. JAK yang terfosforilasi akan mengikat signal transducer and activator of transcription 3 (STAT3). Ikatan yang terbentuk antara STAT3 dan JAK menyebabkan STAT3 terfosforilasi dan memiliki kecenderungan untuk membentuk dimer. STAT3 dalam bentuk dimer tersebut kemudian akan bertranslokasi ke dalam nukleus dan mengaktifkan gen-gen yang terkait dalam kemampuan self-renewal ESC (Burdon et al. 2002, Yu & Thomson 2008). Selain penggunaan LIF, pada kultur ESC juga digunakan feeder layer berupa mouse embryonic fibroblast (MEF). Penggunaan MEF dalam kultur ESC dapat mengurangi konsentrasi LIF yang digunakan yaitu dari 20 ng/ml menjadi 10 ng/ml. Hal tersebut disebabkan karena MEF juga mensekresikan basic fibroblast growth factor (bfgf) dan LIF yang berperan dalam mempertahankan sifat undifferentiated ESC (Hoffman & Carpenter 2005, Xu et al. 2005). Mouse embryonic fibroblast sebagai feeder cells selain menghasilkan mediator pertumbuhan (growth promoting) juga berfungsi sebagai tempat melekat (cell attachment factors) bagi ESC (Wobus & Boheler 2005).

31 15 Karakteristik Embryonic Stem Cells Embryonic stem cells memiliki karakteristik sebagai berikut berasal dari embrio yang belum melekat pada dinding rahim (preimplantation); dapat berproliferasi tanpa berdiferensiasi dalam waktu yang panjang; dapat berkembang menjadi berbagai sel yang berasal dari 3 lapis kecambah (endoderm, mesoderm, dan ektoderm) (Kitiyanant et al. 2000). Molekul penanda yang dapat digunakan dalam mendeteksi keadaan undifferentiated pada ESC antara lain adanya Stage Specific Embryonic Antigen (SSEA), Octamer-4 (Oct4), dan Nanog. Stage specific embryonic antigen adalah glikoprotein spesifik yang diekspresikan pada awal perkembangan embrionik dan stem cells yang belum berdiferensiasi (undifferentiated stem cells). Terdapat 3 tipe SSEA yang berperan dalam ESC, yaitu SSEA-1, -3 dan -4. SSEA-1 diekspresikan pada permukaan preimplantaion embryo dan teratocarcinoma stem cells. SSEA-3 dan -4 disintesis selama oogenesis dan ditemukan pada permukaan oosit, zigot, dan awal pembelahan embrio. Embryonic stem cells pada primata, embryonic carcinoma (EC) dan ESC manusia mengekspresikan SSEA-3 dan SSEA-4, sedangkan SSEA-1 diekspresikan oleh ESC mencit. Sedangkan Oct4 dan Nanog adalah faktor transkripsi yang berperan dalam menjaga ESC pada fase undifferentiated (NIH 2001, Hoffman & Carpenter 2005, Wobus & Boheler 2005). Selain itu keadaan belum berdiferensiasi (undifferentiated) dapat pula diketahui dengan melihat aktivitas dari enzim alkaline phosphatase (AP). Menurut O Connor et al pewarnaan AP merupakan indikator yang sensitif, spesifik dan kuantitatif untuk mengetahui tingkat pluripotensi pada ESC. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas Stem cells yang bersifat pluripoten telah menjadi alternatif sumber sel dalam cell replacement therapy. Pada penggunaannya, stem cells terlebih dahulu diarahkan/diferensiasikan sehingga membentuk sel beta pankreas. Beberapa metode yang telah dilakukan dalam diferensiasi stem cells menjadi sel beta pankreas antara lain, melalui modifikasi genetik sehingga stem cells akan mengekspresikan pancreas specific promotor atau melalui diferensiasi spontan

32 16 yang diikuti seleksi, penggunaan growth factors (seperti activin, fibroblast growth factor, retinoic acid, dan transforming growth factor) (Shi et al. 2005; Ku et al. 2004; Skoudy et al. 2004), penggunaan extracellular matrix (seperti laminin, firbronectin dan collagen) (Blyszczuk et al. 2004; Schroeder et al. 2006) serta penggunaan conditioned medium (CM) (Vaca et al. 2006). Sel beta pankreas yang terbentuk dari hasil pengarahan ESC dapat diidentifikasi dari adanya warna merah yang dihasilkan pada pewarnaan dithizone, ataupun dari pewarnaan imunohistokimia serta analisa menggunakan ELISA untuk melihat adanya insulin yang dihasilkan (Shiroi et al. 2002, Lin et al. 2006, Vaca et al. 2006). Selain itu dapat juga dilakukan analisa terhadap Connecting-peptide (C-peptide), yaitu suatu peptida yang dihasilkan dari proses sintesis insulin (Rajagopal et al. 2003, Marques et al. 2004, Vaca et al. 2006). Sel beta pankreas juga dapat diidentifikasi melalui ekspresi dari mrna yang dihasilkan pada proses sintesa insulin (proinsulin 1 dan 2) (Shiroi et al. 2005, Ku et al. 2004, Lin et al. 2006). Conditioned Medium Conditioned medium adalah suatu medium yang diperoleh dari supernatan suatu kultur sel. Penggunaan CM dalam pengarahan stem cells dilakukan karena CM dianggap mengandung protein-protein yang disekresikan dalam kultur sel sebelumnya. Conditioned medium dapat digunakan dalam mempertahankan undifferentiated pada stem cells ataupun mendukung diferensiasi stem cells menjadi suatu tipe sel tertentu. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada stem cells menggunakan CM antara lain, penggunaan CM yang dihasilkan dari kultur sel fibroblas dalam mempertahankan sifat undifferentiated ESC (Xu et al. 2004, Ouyang et al. 2007), CM dari kultur sel glial untuk mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel neuron (Tian et al. 2005), CM dari kultur sel testis yang mengarahkan diferensiasi ESC sehingga membentuk struktur ovari yang mengandung oosit (Lacham-Kaplan et al. 2005), dan CM dari kultur pankreas untuk mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas (Vaca et al. 2006).

33 17 Penggunan CM yang dihasilkan dari kultur primer pankreas fetus usia 16.5 hari yang disertai dengan modifikasi genetik (penyisipan gen tertentu untuk kemudian dilakukan screening) telah mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas melalui ekspresi insulin dan C-peptide yang dihasilkan (Vaca et al. 2006). Penelitian mengenai regenerasi pankreas pada hewan model memperlihatkan bahwa ductal cells mengandung kumpulan progenitor yang akan membentuk sel-sel endokrin melalui ekspresi pdx1. Sel-sel endokrin yang dihasilkan muncul sebagai tunas/buds yang letaknya dekat dengan saluran pankreas/ducts (Colman et al. 2004). Selain itu kultur primer pankreas ataupun sel-sel pancreatic ducts yang dikultur selama 3-4 minggu menunjukkan adanya sel beta pankreas melalui pewarnaan dithizone pada akhir masa kultur (Katdare et al. 2004, Leng 2005, Lin 2006). Kedua hal tersebut membuktikan bahwa pankreas memiliki sel-sel progenitor yang terletak pada saluran pankreas/ducts yang berperan sebagai sumber sel bagi pembentukan sel beta pankreas. Oleh sebab itu, CM yang dihasilkan selama masa kultur tersebut dapat digunakan dalam pengarahan ESC menjadi sel beta pankreas karena mengandung faktorfaktor yang mendukung diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas.

34 18 MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Stem Cell and Cancer Institute, Pulomas, Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2009 hingga Desember 2009, dengan penelitian pendahuluan dilaksanakan dari bulan Juni 2008 sampai dengan Februari Rancangan Percobaan Diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga kali pengulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah pengkulturan ESC dengan medium yang mengandung CM dengan konsentrasi 0%, 10%, 30%, dan 50%. Parameter yang diamati adalah diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas dengan cara pengamatan langsung setelah hari ke-21 pada sel yang berwarna merah setelah pewarnaan dithizone serta kemampuan ekspresi dari gen yang bertanggung jawab menghasilkan insulin yaitu gen proinsulin 1 dan proinsulin 2 yang mengekspresikan adanya produksi insulin pada sel beta pankreas. Hasil positif analisa mrna dilihat secara kualitatif dari intensitas pita hasil RT-PCR pada gel agarose. Tahapan dan Prosedur Kerja Pembuatan Conditioned Medium Conditioned medium (CM) diperoleh dari supernatan medium kultur primer pankreas mencit dewasa. Kultur primer pankreas dilakukan sesuai dengan Katdare et al. (2004) dan Leng & Lu (2005) dengan modifikasi. Pankreas diisolasi dari mencit usia 8 minggu yang dikorbankan secara cervicalis dislocation. Setelah diisolasi pankreas dicuci dengan larutan Dulbecco s Phosphate Buffer Saline (DPBS) (Gibco, USA) yang mengandung 5μl/ml penicillin-streptomycin (Sigma, USA) dan dicacah hingga berukuran 1-2 mm menggunakan pisau bedah. Hasil cacahan dicuci dengan DPBS dan diinkubasi

35 19 dalam larutan DPBS yang mengandung 112,25 units/ml colagenase (Sigma, USA) selama 10 menit pada suhu 37 C. Suspensi sel kemudian disaring menggunakan penyaring nilon (nylon strainer) berukuran 100 μm. Supernatan yang diperoleh kemudian disentrifuse dengan kecepatan 200g selama 10 menit. Pelet yang diperoleh lalu dicuci dengan DPBS sebanyak 3 kali dan 1 kali dengan Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM)/Ham s F12 (Sigma, USA). Pelet kemudian dikultur selama 7 hari dalam medium DMEM/Ham s F12 yang mengandung fetal bovine serum (FBS) 20% (Sigma, USA), non-essential amino acids (NEAA) 1% (Sigma, USA), β-mercaptoethanol 0.1 mm (Sigma, USA), penicillin-streptomycin (Sigma, USA) 5μl/ml. Setelah 7 hari sel kemudian dikultur dalam medium tanpa serum hingga hari ke 21. Pengkoleksian CM dilakukan mulai hari ke 9 hingga 21 dengan interval setiap 48 jam. Conditioned medium yang diperoleh lalu difilter dengan millipore berukuran 0.22 μm dan disimpan berupa aliquot pada suhu -18 C sebelum digunakan sebagai perlakuan. Penyediaan Embryonic Stem Cell a. Superovulasi dan Koleksi Embrio Tahap Blastosis Mencit yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih (Mus musculus) betina galur ddy berumur 8-12 minggu dengan jumlah 10 ekor pada tiap ulangan. Metode superovulasi dan koleksi embrio dilakukan sesuai dengan Nagy et al. (2003). Mencit betina disuperovulasi dengan cara menyuntikkan 7.5 IU hormon Pregnant Mare s Serum Gonadotropin (PMSG, Folligon, Intervet, Holland) diikuti dengan penyuntikan 7.5 IU hormon human Chorionic Gonadotrophin (hcg, Chorulon, Intervet, Holland) dengan interval jam kemudian. Kedua penyuntikan tersebut dilakukan secara intraperitonial. Setelah penyuntikan hcg mencit betina kemudian disatukan dengan mencit jantan selama 1 malam agar terjadi perkawinan, perbandingan mencit betina : jantan yaitu 1 : 1. Keesokan harinya dilakukan pemeriksaan vagina plug, penanda telah terjadinya kopulasi. Mencit-mencit yang memiliki vagina plug kemudian disatukan dan dilakukan isolasi embrio pada hari ke-4 setelah penyuntikan hcg. Embrio diisolasi dengan membilas/flushing kedua uterus menggunakan DPBS yang

36 20 mengandung FBS 1%. Embrio kemudian diisolasi menggunakan pipet pasteur dan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Pencucian dan pengkulturan embrio dilakukan dalam medium kultur berupa drop-drop mikro bervolume 40 μl yang diatasnya telah dilapisi dengan mineral oil (Sigma, USA). Embrio kemudian dikultur selama 24 jam dalam medium DMEM yang mengandung FBS (Sigma, USA) 10%, penicillin-streptomycin (Sigma, USA) 5μl/ml, non-essential amino acids (Sigma, USA) 1%, dan β-mercaptoethanol 0.1 mm sebelum dilakukan pengisolasian inner cell mass/ ICM. b. Isolasi Inner Cell Mass Isolasi ICM dilakukan sesuai dengan metode Nagy et al. (2003) dan Kim et al. (2005). Pada embrio tahap blastosis yang masih memiliki zona pelucida dilakukan pelisisan zona dengan menginkubasi blastosis dalam DPBS yang mengandung enzim pronase 0.25% (Sigma, USA) selama 7-10 menit atau hingga zona pelucida menghilang. Blastosis kemudian dicuci dalam medium kultur yang mengandung serum untuk menghentikan kerja enzim pronase. Sebelum dilakukan isolasi ICM, blastosis terlebih dahulu dicuci dalam medium tanpa serum. Isolasi ICM dilakukan dengan menggunakan metode immunosurgery. Blastosis diinkubasi dalam DMEM yang mengandung rabbit anti-mouse serum (Sigma, USA) 25% selama 90 menit, kemudian dicuci dalam DMEM tanpa serum dan diinkubasi kembali dalam DMEM yang mengandung guinea pig complement (Sigma, USA) 25% selama 90 menit. Proses isolasi ICM kemudian dilanjutkan dengan melakukan pemipetan berulang dan pencucian untuk menghilangkan selsel trofoblas yang masih melekat. ICM yang diperoleh kemudian dikultur dalam medium kultur ESC. c. Kultur dan Pasase Embryonic Stem Cell Inner cell mass dikultur dalam medium DMEM-high glucose (Sigma, USA) yang mengandung non-essential amino acid 1%, FBS 10%, penicillinstreptomycin (Sigma, USA) 5μl/ml, mercaptoethanol (Sigma, USA) 0,1 mm, Leukimia Inhibitory Factor/LIF (Sigma, USA) 20 ng/ml. Kultur ICM dilakukan pada petri 4-well (Nunc, Denmark) yang sebelumnya telah dilapisi dengan gelatin 0,1% (SIGMA, USA). Penggantian medium kultur dilakukan setiap 48 jam (Roach & McNeish 2002).

37 21 d. Pewarnaan Alkaline Phosphatase Koloni-koloni ESC terlebih dahulu dicuci dengan DPBS sebanyak 2 kali sebelum dilakukan fiksasi. Proses fiksasi dilakukan dengan menginkubasi ESC dalam DPBS yang mengandung paraformaldehide 4%selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah difiksasi, ESC kemudian dicuci sebanyak 2 kali menggunakan DPBS. Embryonic stem cells yang telah difiksasi lalu diinkubasi dalam larutan substrat alkaline phosphatase (AP) yang mengandung naphtol AS-MX phosphate (Sigma, USA) 200 μg/ml dan Fast Red TR Salt (Sigma, USA) 1 mg/ml dalam Tris Buffer 100 mm dengan ph 8.2 selama 30 menit pada suhu ruang. Embryonic stem cells kemudian dicuci dengan DPBS. Embryonic stem cells yang positif mengandung enzim AP akan berwarna merah yang menandakan bahwa sel-sel tersebut masih bersifat pluripoten (Kitiyanant et al. 2000). Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas Diferensiasi ESC menjadi sel penghasil insulin dilakukan sesuai dengan protocol Schroeder et al. (2006) yang telah dimodifikasi. Embryonic stem cells terlebih dahulu dicuci dengan DPBS sebanyak 2 kali dan diinkubasi dengan DPBS yang mengandung trypsin/edta 0.25% selama 3 menit pada suhu 37 C, lalu ditambahkan medium kultur yang mengandung FBS 15%. Populasi sel kemudian dihomogenkan menggunakan pipet hingga menjadi sel-sel tunggal atau cluster-cluster kecil. Sel lalu dikultur pada cawan petri yang telah dilapisi dengan gelatin (Sigma, USA) 0.1% dan dikultur selama 48 jam dalam medium kultur yang mengandung serum. Setelah 48 jam sel kemudian dicuci dengan medium kultur tanpa serum dan dikultur selama 14 hari dalam medium pengarahan, yaitu medium yang mengandung CM dengan konsentrasi volume per volume (v/v) 0%, 10%, 30% dan 50%. Analisa Sel Beta Pankreas Untuk mendeteksi adanya sel beta yang terbentuk dilakukan pewarnaan dithizone (Sigma, USA) sesuai dengan Shiroi et al. (2002). Larutan stok dithizone dibuat dengan melarutkan 50 mg dithizone dengan 5 ml dimethyl sulfoxide (DMSO) (SIGMA, USA) dan disimpan dalam suhu -18 C. Untuk

38 22 membuat larutan pewarnaan, 10 μl larutan stok diencerkan dengan 1ml DPBS kemudian difilter menggunakan mikrofilter berukuran 0.22 μm. Sebelum dilakukan pewarnaan sel dicuci terlebih dahulu dengan DPBS. Pewarnaan kemudian dilakukan dengan menginkubasi sel selama 15 menit dalam larutan pewarnaan pada suhu 37 C. Sel kemudian dicuci dengan DPBS dan diamati dengan mikroskop. Sel-sel yang positif (sel beta pankreas yang mengandung insulin) akan terlihat berwarna merah dengan pewarnaan tersebut. Kemampuan Ekspresi Gen Insulin Untuk membuktikan adanya ekspresi gen insulin pada sel beta pankreas yang dihasilkan dari pengarahan ESC dilakukan deteksi mrna dari insulin 1 dan insulin 2 dengan metode Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT- PCR). Kedua gen tersebut merupakan gen yang menghasilkan hormon insulin pada sel beta pankreas. Setelah dilakukan kultur selama 14 hari, sel kemudian dicuci dengan DPBS dan diinkubasi dengan 1 ml Trizol (Invitrogen) selama 5 menit. Seluruh supernatan kemudian dipindahkan ke dalam tabung berukuran 2 ml dan ke dalamnya ditambahkan kloroform sebanyak 200 μl. Kemudian dihomogenkan dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Larutan kemudian disentrifus dengan kecepatan g selama 15 menit pada suhu 4 C. Supernatan berupa cairan bening dipindahkan ke dalam tube baru berukuran 1.5 ml dan ditambahkan dengan isoprophil alkohol (isopropanol) sebanyak 500 μl, dicampur hingga homogen dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Larutan kemudian disentrifus dengan kecepatan 12000g selama 10 menit pada suhu 4 C. Supernatan kemudian dibuang dan pada pelet yang diperoleh ditambahkan etanol DEPCdH 2 O sebanyak 1 ml, divortex hingga homogen dan disentrifus dengan kecepatan 7500g selama 5 menit pada suhu 4 C. Supernatan kemudian dibuang dan RNA dikeringkan selama menit pada suhu ruang. Pada RNA yang telah kering ditambahkan RNAse free water 30 μl dan siap digunakan atau disimpan pada suhu -80 C hingga dilakukan RT-PCR.

39 23 Reaksi reverse transcription dilakukan menggunakan Transcriptor (Roche) dan reaksi PCR dilakukan menggunakan Go Tag Green Mastermix (Promega, USA). Primer yang digunakan adalah b-actin (kontrol), proinsulin 1 dan proinsulin 2 (Tabel 1). Tabel 1. Primer yang digunakan dalam RT-PCR Primer Sekuen basa Produk 1 Beta Actin (F) 5 TTC TTT GCA GCT CCT TCG TTG CCG 3 457bp Beta Actin (R) 5 TGG ATG GCT ACG TAC ATG GCT GGG 3 2 Proinsulin 1 (F) 5 GTT GGT GCA CTT CCT ACC CCT G 3 300bp Proinsulin 1 (R) 5 GTA GAG GGA GCA GAT GCT GGT G 3 3 Proinsulin 2 (F) 5 GTG GAT GCG CTT CCT GCC CCT G 3 300bp Proinsulin 2 (F) 5 GTA GAG GGA GCA GAT GCT GGT G 3 Sumber: Shiroi et al. 2005, Schienda J et al Total campuran pada reaksi awal transkripsi adalah 13 μl yang terdiri dari Anchored-oligo (dt) primer 1 μl, total RNA 7 μl, dan water-pcr grade 7 μl. Campuran kemudian dihomogenkan lalu diinkubasi pada suhu 65 C selama 10 min. Setelah itu campuran langsung didinginkan dalam es dan ditambahkan dengan Transcriptor buffer 4 μl, RNase inhibitor 0.5 μl, Deoxynucleotide 2 μl, dan Transcriptase 0.5 μl hingga volume total campuran menjadi 20 μl. Campuran kemudian dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam mesin PCR (GeneAmp PCR System 9600) serta diinkubasi pada suhu 50 C selama 60 menit diikuti dengan pemanasan pada suhu 85 C selama 5 menit. cdna yang dihasilkan kemudian langsung digunakan sebagai cetakan atau template pada reaksi PCR atau disimpan pada suhu -80 C. Pada reaksi PCR, total campuran terdiri dari Go tag green mastermix 12.5 μl, primer sense 1.25 μl, primer antisense 1.25 μl, DNA template 5 μl, dan Nuclease-free water 5 μl sehingga total volume yang diperoleh menjadi 25 μl. Campuran tersebut kemudian dihomogenkan lalu dimasukkan dalam mesin PCR. Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35 siklus dengan suhu denaturasi awal 95 C selama 2 menit, suhu denaturation 95 C selama 45 detik, suhu annealing (b-actin

40 24 dan insulin 1: 62 C dan insulin 2: 64 C) selama 45 detik, suhu extension 72 C selama 1 min dan final extension 72 C selama 5 menit (Lampiran 1). Produk PCR kemudian dianalisa menggunakan gel agarose dengan konsentrasi agarose 2.5% yang mengandung Ethidium Bromide (EtBr) 1.25 μl/ml. Produk PCR yang dianalisa dalam setiap proses elektroforesis adalah 10 μl pada sampel dan 4μl pada kontrol. Elektroforesis dilakukan pada voltase 95 volt selama 60 menit menggunakan gel electrophoresis system (Bio Rad). Hasil elektroforesis kemudian dibaca menggunakan Gbox XT (Eppendorf). Analisa Data Semua data kualitatif disajikan secara deskriptif, sedang data-data kuantitatif akan diuji secara statistik menggunakan ANOVA (Analysis of Variance), dan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference) untuk menentukan beda nyata antar perlakuan. Analisa menggunakan software SPSS 17.0 for Windows dan MS Office Excell 2007.

41 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Conditioned Medium Conditioned medium pada penelitian ini diperoleh dari kultur primer pankreas mencit dewasa. Penggunaan pankreas dari mencit dewasa pada kultur primer dilakukan karena sel-sel progenitor yang ada di dalam pankreas dari mencit dewasa akan membentuk sel beta pankreas kembali pada saat dikultur selama 21 hari. Dengan demikian, CM yang dihasilkan akan mengandung protein-protein yang berperan dalam pembentukan sel beta pankreas (Katdare et al. 2004, Leng & Lu 2005). Selain itu, keuntungan lain dari penggunaan pankreas mencit dewasa adalah kemudahan dalam proses isolasi pankreas. Hal tersebut disebabkan jaringan lemak yang ada di sekitar pankreas tidak akan terbawa pada proses isolasi sehingga tidak akan mengganggu pertumbuhan kultur primer pankreas. Sedikitnya jumlah mencit yang dikorbankan bila dibandingkan dengan penggunaan pankreas dari mencit berumur 1-3 hari (neonatal) juga merupakan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pankreas yang berasal dari mencit dewasa. Isolasi sel dilakukan sesuai dengan Katdare et al. (2004) dan Leng & Lu (2005). Sel-sel yang telah diisolasi kemudian dikultur dalam medium yang mengandung serum 20% selama 7 hari. Pengkulturan tersebut dilakukan agar kultur mencapai konfluen sebelum dilakukan pengkoleksian CM. Setelah konfluen, sel-sel kemudian dikultur dalam medium tanpa serum selama 14 hari (hari ke 7-21) dan pengkoleksian CM dilakukan setiap 48 jam. Conditioned medium dikoleksi dari 3 buah cawan petri berdiameter 6 cm. Conditioned medium yang diperoleh kemudian disaring dengan filter 0.22 μm dan disimpan dalam tabung bervolume 1.5 ml (aliquot) pada suhu -18 C hingga akan digunakan. Pada kultur primer pankreas ditemukan 2 tipe morfologi sel yang berbeda, yaitu fibroblast-like cells dan epithelial-like cells (Gambar 5). Morfologi fibroblast-like cells pada kultur primer tersebut terlihat sangat mendominasi. Sedangkan morfologi epithelial-like cells hanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit serta tidak ditemukan merata pada seluruh cawan petri dari kultur primer pankreas.

42 26 a b Gambar 5. Morfologi sel yang ditemukan pada kultur primer pankreas; (a) Fibroblast-like cells; (b) Epithelial-like cells. Bar = 50 μm. Menurut Gao et al. (2003) terdapat 4 tipe sel yang umum dijumpai pada kultur primer pankreas, yaitu endokrin (sel-sel islet), eksokrin (acinar dan duct cells) dan fibroblas. Namun, sel-sel endokrin (sel-sel islet) dan sebagian sel-sel eksokrin (sel-sel acinar) akan tereliminasi pada saat pengkulturan. Hal tersebut disebabkan kemampuan melekat dan daya tahan hidup yang rendah dari sel-sel tersebut sehingga diperlukan adanya matriks dan penambahan media tertentu dalam pengkulturannya (Gao et al. 2003). Pada penelitian ini, pada kutur primer pankreas tidak digunakan matriks khusus, melainkan cawan petri hanya dilapisi dengan gelatin 0.1%. Selain itu juga, tidak dilakukan penambahan bahan-bahan yang menunjang pertumbuhan dari sel-sel islet ataupun acinar. Berdasarkan Gao et al. (2003) pada kultur primer pankreas pada penelitian ini tidak akan ditemukan adanya sel-sel beta pankreas yang merupakan bawaan atau hasil dari isolasi organ. Namun untuk memastikan hal tersebut, dilakukan pewarnaan dithizone pada hari ke 7, 14 dan 21 atau sebelum dan selama pengkoleksian CM serta setelah masa pengkulturan kultur primer berakhir atau setelah 21 hari masa kultur. Hasil pewarnaan dithizone pada hari ke 7 dan 14 tidak memperlihatkan hasil yang positif, yaitu ditemukannya sel-sel yang berwarna merah. Warna merah yang dihasilkan dari pewarnaan dithizone menandakan adanya/terbentuknya sel beta pankreas pada kultur primer (Katdare et al. 2004, Leng & Lu 2005). Hasil positif baru ditemukan pada saat pewarnaan dilakukan pada kultur primer yang telah

43 27 mencapai 21 hari masa kultur (Gambar 6). Hasil tersebut selain membuktikan bahwa tidak ada sel beta yang merupakan hasil dari isolasi organ pankreas, juga membuktikan bahwa terjadi pembentukan sel beta pankreas pada kultur primer. Dengan demikian CM yang diperoleh diyakini akan mengandung protein-protein yang berperan dalam pembentukan sel beta pankreas. a b Gambar 6. Pewarnaan dithizone pada kultur primer pankreas; (a) Negatif, (b) Positif, adanya warna merah. Bar = 50 μm. Sel-sel yang positif terhadap pewarnaan dithizone tersebut berupa sel-sel tunggal berbentuk bulat atau kelompok/koloni yang dihasilkan dari sel-sel tunggal tersebut. Sel-sel dengan morfologi demikian mulai terlihat pada saat kultur primer mencapai konfluen. Sel-sel yang awalnya hanya berupa tunas-tunas baru tersebut muncul dari sel-sel fibroblas-like cell, tampak seperti melayang, namun sebenarnya terhubung dengan sel-sel fibroblast-like cells sehingga sel-sel tersebut tidak akan hilang pada saat penggantian medium. Menurut Ilieva et al. (1999) CM yang diperoleh dari kultur duct cells hamster mengandung insuline-like growth factor II (IGF II), sedangkan sel-sel endokrin menghasilkan insulin serta sel-sel fibroblas menghasilkan fibroblast growth factor (FGF). Berdasarkan hal tersebut, maka CM yang diperoleh dari kultur primer pankreas pada penelitian ini diduga mengandung IGF II dan FGF. Selaras dengan dominansi fibroblast-like cells pada kultur primer, maka konsentrasi FGF akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan IGF II. Sedangkan insulin sebagai hasil sekresi dari sel beta pankreas tidak akan ditemukan karena

44 28 hasil pewarnaan dithizone sebelum dan selama pengkoleksian CM tidak menunjukkan adanya sel beta pankreas. Namun, untuk membuktikan hal tersebut masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan protein yang terkandung dalam CM. Penyediaan Embryonic Stem Cell Koleksi Blastosis dan Isolasi Inner Cell Mass Embryonic stem cells diperoleh dengan mengisolasi ICM dari embrio tahap blastosis pada 3,5 days postcoitum atau hari ke-4 setelah penyuntikan hormon hcg (Nagy et al. 2003). Jumlah blastosis yang diperoleh dari hasil koleksi adalah 44,51% dari jumlah total embrio. Embrio yang diperoleh tidak seluruhnya berada pada tahap blastosis, masih ditemukan pula embrio pada tahap morula. Ketidakseragaman pada perkembangan embrio tersebut disebabkan adanya perbedaan pada perkembangan masing-masing embrio. Untuk meningkatkan jumlah blastosis, embrio yang diperoleh kemudian dikultur selama 24 jam agar embrio tahap morula dapat berkembang menjadi blastosis. Pengkulturan tersebut terbukti dapat meningkatkan persentase jumlah blastosis dari 44,51% meningkat menjadi 75,91% (Tabel 2). Peningkatan jumlah blastosis yang diperoleh meningkatkan jumlah ICM yang dapat diisolasi sebagai sumber ESC. Tabel 2. Persentase perolehan blastosis Jumlah blastosis (%) Jumlah embrio Saat koleksi Setelah 24 jam kultur ,51 44,51 + 3,51 75, ,14 Sebelum dilakukan proses isolasi ICM, zona pellucida yang membungkus blastosis harus dihilangkan terlebih dahulu. Proses penghilangan zona pellucida dilakukan dengan menginkubasi blastosis dalam DPBS yang mengandung enzim pronase 0.25% selama 7-10 menit atau hingga zona pellucida menghilang.

45 29 Pada umumnya ketebalan zona pellucida pada blastosis adalah 7 μm (Nagy et al. 2003). Secara alami setelah embrio mencapai tahap blastosis, embrio akan mensekresikan enzim yang akan melisiskan glikoprotein, yaitu komponen yang menyusun zona pellucida (Budhiarko et al. 2008). Karena pertumbuhan embrio yang tidak seragam menyebabkan ketebalan zona pellucida pada tiap blastosis juga akan bervariasi. Hal tersebut juga mempengaruhi lamanya waktu yang diperlukan dalam penginkubasian blastosis dengan enzim pronase. Blastosis yang sudah tidak memiliki zona pellucida kemudian dicuci dan dipindahkan ke dalam drop-drop bervolume 40 μl berisi DMEM yang mengandung serum. Hal tersebut dilakukan untuk menghentikan dan menghilangkan sisa-sisa enzim pronase pada proses sebelumnya. Selanjutnya pada blastosis dilakukan isolasi ICM dengan metode immunosurgery. Proses isolasi diawali dengan menginkubasi blastosis dalam medium tanpa serum yang mengandung rabbit anti-mouse antibody. Setelah itu blastosis dicuci dengan medium tanpa serum dan diinkubasi dalam medium tanpa serum yang mengandung complement sera from guinea pig. Perbandingan antara medium dengan antibodi dan medium dengan komplemen adalah 1 : 3 dengan proses inkubasi selama 90 menit. Konsentrasi antibodi dan komplemen serta lamanya waktu inkubasi merupakan hasil optimasi yang telah dilakukan sebelumnya. Pada saat blastosis diinkubasi dalam rabbit anti-mouse antibody, antibodi akan berikatan dengan sel-sel trofoblas pada permukaan blastosis. Saat proses isolasi ICM dilanjutkan dengan penginkubasian blastosis dalam complement sera from guinea pig, complement akan mengenali antibodi dan melisiskan sel-sel trofoblas yang berikatan dengan antibodi. Setelah sel-sel trofoblas lisis maka akan diperoleh ICM sebagai hasil akhir (Nagy et al. 2003). Kultur Embryonic Stem Cell dan Uji Pluripotensi Inner cell mass yang diperoleh kemudian dikultur dalam medium yang mengandung LIF. Penggunaan LIF dalam kultur ESC berfungsi untuk menjaga ESC agar tetap bersifat pluripoten. Leukimia inhibitory factor akan berikatan dengan reseptor LIF dan reseptor gp 130 yang pada akhirnya akan mengaktifkan

46 30 faktor transkripsi STAT3. STAT3 kemudian akan mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam proses self renewal (Burdon et al. 2002, Yu & Thomson 2008). Konsentrasi LIF yang digunakan dalam kultur ESC adalah 20 ng/ml. Penggunaan konsentrasi tersebut disebabkan karena dalam kultur ESC tidak digunakan fibroblas sebagai feeder layer sehingga diperlukan dosis LIF yang lebih tinggi untuk mempertahankan sifat undifferentiated ESC. Sebagai feeder layer fibroblas selain berfungsi mensekresikan basic fibroblast growth factor (bfgf) dan LIF yang berperan dalam mempertahankan sifat undifferentiated juga merupakan substrat sebagai tempat melekat ESC. Sedangkan pada penelitian ini kultur ESC yang dilakukan menggunakan gelatin sebagai substrat untuk melekatnya ESC. Salah satu karakter dari ESC adalah bersifat pluripoten, yaitu mampu berdiferensiasi menjadi semua tipe sel tubuh. Sifat tersebut akan berkurang dan menghilang seiring dengan terjadinya diferensiasi (Burdon et al. 2002). Untuk memastikan bahwa ESC yang akan diarahkan menjadi sel beta pankreas masih bersifat pluripoten dan belum berdiferensiasi maka dilakukan uji pluripotensi menggunakan pewarnaan alkaline phosphatase (AP). Gambar 7. Hasil positif pada pewarnaan alkaline phosphatase terhadap koloni ICM; yang ditujukan dengan adanya warna merah. Bar = 50 μm.

47 31 Menurut O Connor et al. (2008) pewarnaan AP merupakan indikator yang sensitif, spesifik, dan kuantitatif terhadap ESC yang belum berdiferensiasi, dimana tingkat pluripotensinya masih tinggi. Hasil positif pada pewarnaan AP ditunjukkan dengan timbulnya warna merah yang menandakan adanya enzim AP pada koloni ESC. Warna merah pada pewarnaan AP tersebut dihasilkan dari reaksi yang terjadi antara larutan AP (naphtol AS-MX phosphate dan Fast Red TR Salt) dengan enzim AP sehingga warna merah pada Fast Red TR Salt akan berikatan dengan enzim AP pada koloni ESC (Kitiyanant et al. 2000). Hasil pewarnaan AP menunjukkan bahwa pada 30 koloni ESC yang dilakukan pewarnaan, 96.97% koloni ESC memperlihatkan hasil yang positif atau masih bersifat pluripoten dan belum berdiferensiasi (Gambar 7). Pengarahan Embryonis Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas Pengarahan ESC menjadi sel penghasil insulin diawali dengan mengkultur ESC yang telah ditripsinasi dalam medium tanpa LIF selama 48 jam. Kemudian dilanjutkan dengan mengkultur ESC dalam medium pengarahan, yaitu medium yang mengandung CM dengan konsentrasi 0% (kontrol negatif), 10%, 30% dan 50% (berturut-turut adalah perlakuan 1, 2, 3, dan 4) selama 14 hari. Pengamatan hasil pengarahan ESC menjadi sel penghasil insulin (insulin-like cells) dilakukan setelah hari ke 14 pengkulturan dalam medium pengarahan. Gambar 8. Sel-sel beta pankreas berbentuk bulat yang dihasilkan pada pengarahan ESC. Bar = 10μm

48 32 Pada pewarnaan dithizone morfologi sel beta pankreas yang dihasilkan dari pengarahan ESC tampak berupa sel-sel bulat (Gambar 8). Sedangkan morfologi sel berupa koloni seperti yang ditemukan pada kultur primer pankreas (Gambar 6) tidak terlihat dengan jelas. Hal tersebut disebabkan ukuran sel beta pankreas dari hasil pengarahan ESC yang sangat kecil bila dibandingkan dengan sel beta pankreas yang terbentuk pada kultur primer pankreas. Selain itu hampir seluruh sel beta pankreas hasil pengarahan ESC tumbuh membentuk kelompok atau agregat sehingga sulit untuk melihat morfologi sel secara jelas. Hasil pewarnaan dithizone memperlihatkan adanya intensitas warna yang berbeda pada tiap koloni ESC, yaitu merah muda, merah, dan merah tua. (Gambar 9). a b c Gambar 9. Hasil pewarnaan dithizone pada pengarahan ESC; (a) Merah muda; (b) Merah; (c) Merah tua. Bar = 10 μm. Pewarnaan dithizone adalah pewarnaan yang mengikat zinc (zinc-binding substance) sehingga menghasilkan warna merah muda hingga merah tua pada selsel yang mengandung zinc (Zn) (Shiroi et al. 2005). Selain pada sel beta pankreas, konsentrasi Zn yang tinggi juga dapat ditemukan pada organ-organ lain seperti testis dan usus halus. Namun pewarnaan dithizone merupakan pewarnaan yang spesifik terhadap sel beta pankreas sehingga tidak akan mewarnai sel-sel lain selain sel beta pankreas (McNary 1954). Variasi warna yang dihasilkan (merah muda, merah dan merah tua) menandakan adanya perbedaan konsentrasi atau jumlah Zn yang terkandung di dalam suatu sel. Zinc dalam sel beta pankreas berfungsi sebagai pengikat insulin

49 33 sehingga membentuk dimer ataupun hexamer yang akan mempermudah dalam penyimpanan insulin dalam secretory vesicles pada sel beta pankreas (Chausmer 1998). Peningkatan warna pada pewarnaan dithizone dapat disimpulkan sebagai adanya peningkatan akumulasi Zn yang berasosiasi dengan peningkatan jumlah insulin di dalam sel beta pankreas. Tabel 3. Hasil pewarnaan dithizone pada pengarahan ESC menjadi sel beta pankreas Perlakuan Jumlah koloni dengan Jumlah Rataan intensitas warna (skor) koloni intensitas ESC Merah Merah Merah warna muda (1) (2) tua (3) 1 (CM 0%) (0,77) 4 (0,47) 0 (0,00) 1,24 + 0,44 a 2 (CM 10%) 18 8 (0,44) 10 (1,11) 0 (0,00) 1,55 + 0,51 a 3 (CM 30%) 14 1 (0,07) 10 (1,43) 3 (0,64) 2,14 + 0,54 b 4 (CM 50%) 19 0 (0,00) 8 (0,84) 11 (1,74) 2,58 + 0,51 c Supercript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaaan yang nyata (P < 0.05) antara warna yang dihasilkan pada pewarnaan dithizone. Perbedaan konsentrasi CM dalam medium pengarahan menghasilkan perbedaan warna pada saat pewarnaan dithizone (Tabel 3). Untuk mempermudah dalam menganalisa data maka koloni ESC dibedakan berdasarkan warna yang dihasilkan warna merah muda diberi skor 1, merah diberi skor 2 dan merah tua diberi skor 3. Secara statistik warna yang dihasilkan pada pewarnaan dithizone menunjukkan hasil yang secara nyata berbeda. Perlakuan 4 (CM dengan konsentrasi 50%) merupakan hasil yang terbaik diikuti dengan perlakuan 3 (CM konsentrasi 30%) (P < 0.05). Sedangkan pada perlakuan 2 (CM dengan konsentrasi 10%) tidak memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan 1 (medium tanpa CM/kontrol) (P > 0.05). Hal tersebut sejalan dengan Vaca et al. (2006) yakni konsentrasi CM yang umum digunakan dalam pengarahan stem cell menjadi sel beta pankreas adalah 50%. Menurut Gao et al. (2003) terdapat 4 tipe sel yang umum dijumpai pada kultur primer pankreas, yaitu sel-sel endokrin, eksokrin (acinar dan duct cells) dan fibroblas. Sel-sel endokrin pada pankreas terdiri dari dua komponen utama yaitu

50 34 sel alfa dan sel beta yang akan mensekresikan glukagon dan insulin. Sedangkan duct cells mensekresikan insuline-like growth factors II dan sel-sel fibroblas akan menghasilkan fibroblast growth factor (FGF) (Ilieva et al. 1999). Insulin yang dihasilkan oleh sel-sel endokrin pankreas menurut Ku et al. (2004) bukanlah merupakan faktor utama yang mendukung diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas. Hal tersebut dibuktikan melalui penggunaan insulin pada kultur ESC yang tidak meningkatkan pembentukan sel beta pankreas pada kultur pengarahan ESC menjadi sel beta pankreas (Ku et al. 2004). Namun, menurut Vaca et al. (2006) meski insulin tidak dapat memberikan pengaruh secara langsung pada diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas, insulin diduga dapat berinteraksi dengan protein-protein lain yang pada akhirnya dapat memberi pengaruh pada diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas. Sedangkan glukagon yang disekresikan oleh sel alfa diketahui memiliki peranan dalam proses inisiasi pada awal pembentukan sel beta pankreas dan peningkatan jumlah sel beta pankreas pada diferensiasi ESC serta peningkatan sekresi insulin oleh sel beta pankreas (Bai et al. 2005, List & Habener 2004, Gittes 2009, Prasadan et al. 2002). Serupa dengan insulin dan glukagon, peranan IGF II pada pengarahan ESC menjadi sel beta pankreas belum diketahui secara pasti. Penggunaan growth factor tersebut pada kultur sel beta pankreas berkaitan dengan kemampuannya dalam meningkatkan viabilitas sel melalui penghambatan atau pencegahan terjadinya proses apoptosis pada sel beta pankreas (Ilieva et al. 1999, Hill et al. 2000, Petrik et al. 2003, Nagatomo et al. 2005). Berbeda dengan insulin, glukagon, dan IGF II, FGF banyak digunakan dalam pengarahan stem cells menjadi sel beta pankreas. Fibroblast growth factor memiliki peranan dalam mengarahkan diferensiasi sel-sel progenitor menjadi selsel endokrin (Ta et al. 2006). Selain itu, FGF juga memiliki peranan sebagai chemoattractanct yang menstimulasi pembentukan agregat dari sel-sel islet (Hardikar et al. 2003). Fibroblast growth factor juga diketahui dapat menstimulasi diferensiasi stem cells menjadi sel beta pankreas melalui rangkaian mitogen-activated protein kinase (MAPK). Proses diferensiasi tersebut diawali dengan terbentuknya ikatan antara FGF dan reseptor FGF (FGFR). Ikatan

51 35 tersebut akan memfosforilasi FGFR sehingga mampu mengikat protein adaptor Grb2 atau Src-homology/collagen (SHC). Selanjutnya protein adaptor tersebut akan mengikat Son-of sevenless (SOS) yang kemudian akan mengaktifkan jalur diferensiasi melalui Ras/Raf/MAPK. MAPK kemudian akan mengaktifkan faktor transkripsi yang mengatur diferensiasi menuju sel-sel pankreas seperti Pdx-1 dan Pax 6 (Kayali et al. 2005) (Gambar 10). Gambar 10. Jalur diferensiasi yang diaktifkan oleh fibroblast growth factors (Kayali et al. 2005) Kemampuan Ekspresi Gen Insulin Untuk membuktikan lebih lanjut dilakukan analisa terhadap mrna dari gen yang berperan dalam proses sintesa insulin (hormon yang disekresikan oleh sel beta pankreas), yaitu proinsulin 1 dan proinsulin 2. Sedangkan analisa terhadap ekspresi b-actin berfungsi sebagai kontrol terhadap proses analisa yang dilakukan. Hal tersebut terkait dengan ekspresi b-actin yang dapat ditemukan pada semua tipe sel termasuk sel beta pankreas. Pita pada gel hasil elektroforesis produk PCR menunjukkan bahwa b- actin terekspresi pada seluruh perlakuan. Hal tersebut menandakan bahwa tidak terjadi kesalahan pada proses analisa, baik pada pengisolasian RNA maupun pada proses RT-PCR yang dilakukan. Hasil elektroforesis juga memperlihatkan bahwa proinsulin 2 terekspresi pada seluruh perlakuan sedangkan proinsulin 1 hanya pada perlakuan 1 yang tidak mengekspresikan adanya proinsulin 1 (Gambar 11).

TINJAUAN PUSTAKA. b c

TINJAUAN PUSTAKA. b c 4 TINJAUAN PUSTAKA Pankreas Pankreas adalah organ yang memiliki 2 fungsi yang berbeda, yaitu menghasilkan hormon dan mensekresikan enzim. Organ tersebut terdiri dari 3 komponen utama, yaitu jaringan eksokrin

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 18 MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Primer Cardiomyocyte Cardiomyocyte yang digunakan dalam kultur primer dikoleksi dari jantung mencit neonatal umur 1-3 hari. Pemakaian sumber jantung mencit neonatal dikarenakan

Lebih terperinci

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 17 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE

POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE DWI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KULTUR STEM CELL SEBAGAI TERAPI SEL PENYAKIT DIABETES MELITUS (DM) Romdah Romansyah, S.Pd, M.Pd., FKIP, Universitas Galuh Ciamis, Jawa Barat.

KULTUR STEM CELL SEBAGAI TERAPI SEL PENYAKIT DIABETES MELITUS (DM) Romdah Romansyah, S.Pd, M.Pd., FKIP, Universitas Galuh Ciamis, Jawa Barat. KULTUR STEM CELL SEBAGAI TERAPI SEL PENYAKIT DIABETES MELITUS (DM) Romdah Romansyah, S.Pd, M.Pd., FKIP, Universitas Galuh Ciamis, Jawa Barat Abstrak Kultur stem cell dalam terapi sel penyakit diabetes

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

b. Badan pankreas Merupakan bagian utama dan letaknya di belakang lambung dan vertebra lumbalis pertama. c. Ekor pankreas Merupakan bagian yang

b. Badan pankreas Merupakan bagian utama dan letaknya di belakang lambung dan vertebra lumbalis pertama. c. Ekor pankreas Merupakan bagian yang PANKREAS Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang 12,5 cm dan tebal + 2,5 cm Pankreas terdiri dari: a. Kepala pankreas Merupakan bagian yang paling lebar, terletak disebelah kanan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Myocardial Infarction

TINJAUAN PUSTAKA Myocardial Infarction 4 TINJAUAN PUSTAKA Myocardial Infarction Pada saat ini, kerusakan pada jantung (myocardial infarction) banyak diderita oleh penduduk di hampir seluruh dunia. Pada tahun 2005, diperkirakan lebih dari 17

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

BASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot,

BASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, BASIC STEM CELL Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, Introducing stem cells A life story Stem cell merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

Metode Isolasi Jumlah ICM Total sel ICM Profil sel ICM

Metode Isolasi Jumlah ICM Total sel ICM Profil sel ICM ISSN : 1411-8327 Produksi Embryonic Stem Cells dari Inner Cell Mass Blastosis yang Diisolasi dengan Metode Enzimatik dan Immunosurgery (PRODUCTION OF EMBBRYONIC STEM CELLS FROM INNER CELL MASS OF BLASTOCYST

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penelitian mengenai Stem cell masih memasuki tahap proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi terobosan baru dalam upaya pengobatan

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan

URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan kloning pada organisme multiseluler melalui kultur sel tunggal.

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Katolik

Pendidikan Agama Katolik Pendidikan Agama Katolik Modul ke: 06Fakultas Psikologi MENSYUKURI ANUGERAH KEHIDUPAN Program Studi Psikologi Drs. Sugeng Baskoro, M.M KILAS BERITA : Di sebuah rumah sakit di London utara, para ilmuwan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell

TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell Stem cell atau stem cell, diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional. Berkat kemajuan

Lebih terperinci

STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM

STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM History 1908 kata stem cell diperkenalkan oleh Alexander Maksimov 1981 isolasi stem cell pada embrio 1998 aplikasi sel punca untuk kloning 2007 nobel tentang sel punca dan

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI

ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI Bramantyo Pamugar Tutor I : Sylvia Soeng, dr., MKes Tutor II: Teresa Liliana W., S.Si Penggunaan sel induk dalam terapi berbasis sel adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel punca sendiri merupakan sel yang mampu mereplikasi dirinya dengan cara beregenerasi, mempertahankan, dan replacing akhir diferensiasi sel. (Perin, 2006). Penelitian

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sel otot, sel darah, sel otak atau sel jantung. Stem cell berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sel otot, sel darah, sel otak atau sel jantung. Stem cell berfungsi sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stem cell merupakan sel yang belum terdiferensiasi dan mempunyai potensi yang tinggi untuk berkembang menjadi jenis sel berbeda di dalam tubuh misalnya sel otot, sel

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT STEM SEL JENIS STEM CELL Berdasarkan Potensi atau Kemampuan Berdiferensiasi Berdasarkan Sumbernya adult stem cell

SIFAT-SIFAT STEM SEL JENIS STEM CELL Berdasarkan Potensi atau Kemampuan Berdiferensiasi Berdasarkan Sumbernya adult stem cell SIFAT-SIFAT STEM SEL Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai 2 sifat: 1. Kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel lain (differentiate). Dalam hal ini stem cell mampu berkembang

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Disosiasi Sel Testikular Ikan Gurame Berdasarkan kriteria ukuran sel spermatogonia ikan gurame (5-15 µm) menurut Mauluddin (2009), jumlah dan persentase sel spermatogonia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, salah satu dampak negatifnya ialah munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penelitian dalam bidang sel punca mengalami perkembangan yang sangat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penelitian dalam bidang sel punca mengalami perkembangan yang sangat PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian dalam bidang sel punca mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam dekade terakhir. Minat penelitian tersebut dipicu oleh kemampuan sel punca untuk berdiferensiasi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian peran vitamin E (alpha tokoferol) terhadap proliferasi kultur primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 MEMPELAJARI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MANUSIA MELALUI BIOTEKNOLOGI Bioteknologi berkebang sangat pesat. Produk-produk bioteknologi telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM

B A B I PENDAHULUAN. meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian obesitas meningkat dan telah mencapai tingkatan epidemi di seluruh dunia. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga meningkat.

Lebih terperinci

Kata kunci : sel punca, darah tali pusat, FcγRIIb, Reseptor Fc, Imunoglobulin

Kata kunci : sel punca, darah tali pusat, FcγRIIb, Reseptor Fc, Imunoglobulin ABSTRAK EKSPRESI FC γ RIIB YANG DIISOLASI DARI SEL PUNCA DARAH TALI PUSAT Elvine, 2009 Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono,dr., PhD Pembimbing II: DR. Susi Tjahjani,dr., M.Kes Penggunaan sel punca sebagai

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes.

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. ABSTRAK DETEKSI Fc RI PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI Cynthia Winarto, 2009. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. Penelitian terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kanker merupakan masalah utama bagi masyarakat karena menjadi salah

I. PENDAHULUAN. Kanker merupakan masalah utama bagi masyarakat karena menjadi salah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan masalah utama bagi masyarakat karena menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Salah satu jenis kanker yang memiliki potensi kematian terbesar

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

http://aff.fkh.ipb.ac.id Lanjutan EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN II) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Konsep Organiser, yang menjelaskan tentang proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, keduanya saling berkaitan. Pada fase awal dari DMT2, sekresi

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN II) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.2Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui fungsi stem cell Mahasiswa dapat mengetahui kegunaan stem cell pada tubuh manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.2Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui fungsi stem cell Mahasiswa dapat mengetahui kegunaan stem cell pada tubuh manusia STEM CELL BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latarbelakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang kesehatan, penelitian dalam bidang stem cell mengalami kemajuan. Hal ini tidak terlepas dari upaya manusia

Lebih terperinci

DR.ETI YERIZEL,MS FK-UNIBA

DR.ETI YERIZEL,MS FK-UNIBA DR.ETI YERIZEL,MS FK-UNIBA Dikenal di Dunia Kedokteran sejak th 1950 Ditemukan sel penyusun sum-sum tulang yg mampu membentuk seluruh jenis sel darah di dalam tubuh manusia, selanjutnya disebut Stem cell

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

leukemia Kanker darah

leukemia Kanker darah leukemia Kanker darah Pendahuluan leukemia,asal kata dari bahasa yunani leukos-putih,haima-darah. leukemia terjadi ketika sel darah bersifat kanker yakni membelah tak terkontrol dan menggangu pembelahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Prevalensi DIABETES. Terapi. Prevalensi

PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Prevalensi DIABETES. Terapi. Prevalensi PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Prevalensi DIABETES Terapi Prevalensi Jumlah penderita saat ini 180 juta jiwa Kematian 1,1 juta, 50%

Lebih terperinci

SISTEM ENDOMEMBRAN. Sistem endomembran

SISTEM ENDOMEMBRAN. Sistem endomembran SISTEM ENDOMEMBRAN Sistem endomembran Organel pada sistem endomembran dinamik membentuk suatu jejaring yang terintegrasi Berbagai organel dalam sistem endomembran saling terkait baik secara struktural

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK INFUSA BIJI BUAH RAMBUTAN (Nephelium lappaceum Linn.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT YANG DIINDUKSI ALOKSAN

ABSTRAK. EFEK INFUSA BIJI BUAH RAMBUTAN (Nephelium lappaceum Linn.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT YANG DIINDUKSI ALOKSAN ABSTRAK EFEK INFUSA BIJI BUAH RAMBUTAN (Nephelium lappaceum Linn.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH MENCIT YANG DIINDUKSI ALOKSAN Dwi Argo Wijanarko, 2007. Pembimbing I: Kartika Dewi, dr., Mkes.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR SINGKATAN... xi INTISARI... xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di Membran Inti Inti sel atau nukleus sel adalah organel yang ditemukan pada sel eukariotik. Organel ini mengandung sebagian besar materi genetik sel dengan bentuk molekul DNA linear panjang yang membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja

Lebih terperinci

E N D O K R I N. Hormon Pankreas. Ikbal Gentar Alam

E N D O K R I N. Hormon Pankreas. Ikbal Gentar Alam E N D O K R I N Hormon Pankreas Ikbal Gentar Alam Pankreas Pancreas Pankreas Fungsi utama : Sistem pencernaan Menghasilkan 2 hormon utama yaitu : Insulin Glukagon Hormon lain tapi belum jelas fungsinya

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 2. PERKEMBANGAN PADA MANUSiAlatihan soal 2.1

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 2. PERKEMBANGAN PADA MANUSiAlatihan soal 2.1 SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 2. PERKEMBANGAN PADA MANUSiAlatihan soal 2.1 1. Berikut ini yang termasuk fase-fase perkembangan manusia 1. Morula 2. Brastula 3. Grastula Dari pernyataan diatas yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh : 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri kehidupan sel ditandai dengan terjadinya proliferasi. Proliferasi merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel yang aktif dan bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dekade terakhir perhatian dan penelitian dalam bidang sel mengalami kemajuan yang amat pesat. Hal ini terkait dengan upaya manusia untuk mengetahui dan mengobati

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit akibat gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Ebadi, 2007). Diabetes mellitus juga dikenal sebagai penyakit

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan

BAB I PENDAHULUAN. Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan peningkatan pendapatan dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, bertambah pula prevalensi penyakit-penyakit degeneratif. Di antaranya

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN

FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar Endokrin Kelenjar endokrin merupakan sekelompok susunan sel yang mempunyai susunan mikroskopis sangat

Lebih terperinci

BAB XII. Kelenjar Pankreas

BAB XII. Kelenjar Pankreas BAB XII Kelenjar Pankreas A. Struktur Kelenjar Pankreas Kelenjar pankreas adalah kelenjar lonjong berwarna keputihan terletak dalam simpul yang terbentuk dari duodenom dan permukaan bawah lambung. Panjangnya

Lebih terperinci

BAB 2 SEL PUNCA. Biologi sel punca merupakan bidang baru yang maju dan sangat pesat

BAB 2 SEL PUNCA. Biologi sel punca merupakan bidang baru yang maju dan sangat pesat BAB 2 SEL PUNCA Biologi sel punca merupakan bidang baru yang maju dan sangat pesat dengan penemuan-penemuan baru yang dilaporkan dari seluruh dunia. Selama bertahun-tahun para peneliti telah mencari cara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol

Lebih terperinci

ABSTRAK. DETEKSI FcγRIIb PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI

ABSTRAK. DETEKSI FcγRIIb PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI ABSTRAK DETEKSI FcγRIIb PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI Esther Hintono, 2008 Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D Pembimbing II : Ernawati Arifin Giri Rachman, Ph.D Stem cell saat

Lebih terperinci

(G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat

(G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat Reseptor terhubung protein G (G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat merupakan keluarga terbesar reseptor permukaan sel menjadi mediator dari respon seluler berbagai molekul, seperti: hormon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM), merupakan penyakit yang dikenal di masyarakat awam dengan sebutan kencing manis. Sebutan tersebut bermula dari penderita DM yang kadar glukosa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis Hasil perhitungan konsumsi karbohidrat, protein, lemak dan sumbangan kalori dari karbohidrat, protein dan lemak dari ransum,

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Dr. Syazili Mustofa, M. Biomed Lektor Mata Kuliah Ilmu Biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila Kerja insulin terhadap

Lebih terperinci

AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN. dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc

AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN. dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc Protein Working molecules of the cells Action and properties of cells Encoded by genes Gene: Unit of DNA that contain information

Lebih terperinci

Stem Cell Therapy. Apa itu Stem Cell?

Stem Cell Therapy. Apa itu Stem Cell? Stem Cell Therapy Stem Cell Therapy adalah suatu terapi yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di dunia kedokteran Barat maupun Timur. Selain hasilnya yang sangat menakjubkan, persentase keberhasilannya

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BIOSINTESIS PROTEIN RE Pada retikulum endoplasma kasar, partikel-partikel ribosom melangsungkan sintesis protein. Sebagain dari protein tersebut akan

BIOSINTESIS PROTEIN RE Pada retikulum endoplasma kasar, partikel-partikel ribosom melangsungkan sintesis protein. Sebagain dari protein tersebut akan Tia Paramitha 1513024014 Biologi Sel BIOSINTESIS PROTEIN RE Pada retikulum endoplasma kasar, partikel-partikel ribosom melangsungkan sintesis protein. Sebagain dari protein tersebut akan menjadi protein

Lebih terperinci