PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA"

Transkripsi

1 PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA ERLAN NURCAHYA PUTRA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, November 2011 Erlan Nurcahya Putra C ii

3 ABSTRAK In this research simulation of ecosystem model was done to study the influence of physical and chemical processes to biological processes in Jakarta Bay. The physical model used for this study is based on Princeton Ocean Model (POM) as well as the ecosystem model is the modification result of the POM. The modelled current patterns tend to move from west then out of the northern open boundary or the eastern part of the bay. The currents are relative stronger near the western boundary and along the northern open boundary of the bay, with magnitudes of 19 cm s -1. Then, the currents slow down at the middle part of the bay to along the coast area because of bottom friction effect. The modelled distribution patterns of ammonium and nitrate results agree well with the observed, showed that the concentrations of ammonium and nitrate tend to decrease significantly towards the northern open boundary and intensified near river mouths of the bay. For the concentration ammonium, the model result is different with the observed, especially along river mouths of the bay. On the other hand, the obtained values of the modelled concentrations of ammonium and nitrate are higher than the obtained values of the observed. It is likely induced by the model input and the assumptions of the ecosystem model. Keywords: ecosystem model, physical model, Jakarta Bay, Princeton Ocean Model (POM), ammonium, nitrate.

4 RINGKASAN ERLAN NURCAHYA PUTRA. Pemodelan Sebaran Nutrien dengan Pendekatan Model Perata-rataan terhadap Kedalaman (Depth Averaged) di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh ALAN FRENDY KOROPITAN dan MUSWERRY MUCHTAR. Kawasan JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dikenal memiliki berbagai macam aktifitas dan dewasa ini telah berkembang pesat seperti kegiatan pelabuhan, pemukiman skala besar, rekreasi, wisata bahari, perdagangan, perkantoran, perindustrian skala besar, dan pertanian. Hal ini tentunya dikhawatirkan akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem perairan di Teluk Jakarta secara khusus dan kehidupan masyarakat sekitar secara umum. Studi ini bertujuan melakukan simulasi model ekosistem untuk mempelajari pengaruh proses fisik dan kimia terhadap proses biologi di perairan Teluk Jakarta. Lokasi Teluk Jakarta secara astronomis terletak pada koordinat o sampai o LS dan o sampai o BT, namun daerah model yang diambil adalah o sampai o LS dan o sampai o BT. Model hidrodinamika 2-dimensi menggunakan Princeton Ocean Model (POM), demikian juga dengan model ekosistem adalah hasil modifikasi dari POM. Simulasi model dilakukan selama 90 hari (Maret sampai Mei) dalam mencapai kondisi stabil (steady state) dengan langkah waktu (time step) 3 detik dan lebar grid 250 m x 250 m. Secara umum pola arus model bergerak dari arah Barat kemudian keluar pada batas laut terbuka Utara sekitar bagian Timur Teluk Jakarta. Kecepatan arus relatif besar (lebih cepat) pada batas laut terbuka Barat dan sepanjang batas laut terbuka Utara teluk dengan kecepatan arus maksimum sebesar 19 cm s -1. Kemudian, arus mengalami perlambatan pada bagian tengah teluk hingga sepanjang pantai teluk mengikuti kondisi batimetri yang ada. Hal ini disebabkan adanya efek gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model. Secara umum pola sebaran amonium dan nitrat hasil model mendekati pola sebaran pengamatan lapangan, yaitu cenderung berkurang signifikan ke arah laut lepas dan cenderung tinggi di beberapa titik dekat muara sungai Teluk Jakarta. Namun, hasil model untuk nilai konsentrasi amonium agak berbeda terutama di sepanjang muara sungai Teluk Jakarta. Selain itu, nilai konsentrasi hasil model amonium dan nitrat yang diperoleh relatif lebih tinggi daripada pengamatan lapangan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh input model dan asumsi-asumsi yang diterapkan dalam model ekosistem. iii

5 Hak cipta milik Erlan Nurcahya Putra, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengurangi dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya. iv

6 PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA Oleh: ERLAN NURCAHYA PUTRA Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 SKRIPSI Judul Nama NRP Departemen : PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA : Erlan Nurcahya Putra : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui Dosen Pembimbing Utama Anggota Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi, M.Si Drs. Muswerry Muchtar, M.Sc, APU NIP NIP Mengetahui Ketua Departemen, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP Tanggal lulus : 19 April 2012

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pemodelan Sebaran Nutrien dengan Pendekatan Model Perata-rataan terhadap Kedalaman (Depth Averaged) di Teluk Jakarta. Kondisi perairan Teluk Jakarta terus-menerus mengalami perubahan baik dari aspek biologi, kimia, geologi, maupun ekologisnya beberapa tahun terakhir. Kondisi ini diperparah dengan sumbangan antropogenik secara signifikan tanpa adanya pengawasan yang ketat dan penindakan yang tegas oleh pemerintah terhadap oknum-oknum yang seharusnya bertanggung jawab atas limbah-limbah tersebut. Untuk itu penulis tergugah mempelajari dinamika perairan di Teluk Jakarta dengan melihat aspek biologi dan kimia yang dipengaruhi oleh proses fisik menggunakan pendekatan numerik (model). Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis hanturkan kepada : Bapak Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi., M.Si., yang telah memberikan pengajaran mengenai pemodelan dan literatur yang diberikan bagi penyelesaian studi ini, dan Bapak Drs. Muswerry Muchtar, M.Sc., APU (Ahli Peneliti Utama P2O-LIPI, Ancol, Jakarta Utara) yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang luar biasa dan perizinan keterlibatan penulis dalam pengambilan data lapangan bagi penyelesaian studi ini. Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc., yang telah bersedia menguji serta memberikan saran dan kritik yang spesifik dan tegas sekaligus viii

9 memberikan arahan yang baik dan wawasan kepada penulis bagi penyelesaian studi ini. Bapak Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. selaku Ketua Pendidikan Program Sarjana, FPIK, IPB yang telah memberikan perbaikan terhadap tata cara penulisan Skripsi yang baik bagi penyelesaian studi ini. Bapak Dr. Ir. rer. nat. Totok Hestirianoto, M.Sc., selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc., yang telah memberikan izin penggunaan Laboratorium Data Processing, Bagian Oseanografi, FPIK, IPB kepada penulis selama pengolahan data. Kedua orang tua (Papah dan Mamah) serta kakak Ega Yandi Permana, A.Md., yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang luar biasa kepada penulis dan menyediakan fasilitas berupa komputer bagi penyelesaian studi ini. Bang Tri Hartanto, S.Pi., M.Si., Eko Effendi, ST., M.Si., Yulianto Suteja, S.Kel., M.Si., Sabam Situmorang, S.Pi., M.Si., Sabhan, S.Si., M.Si., Maxi Parengkuan, S.Pi., M.Sc., dan mba Anna Ida Sunaryo P., S.Kel., M.Si. yang telah menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis bagi penyelesaian studi ini. Teman-teman seperjuangan Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) angkatan 43 dan teman-teman Laboratorium Data Processing, Bagian Oseanografi, FPIK, IPB yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis bagi penyelesaian studi ini.

10 Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam studi ini, namun penulis berharap studi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat dijadikan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya mengenai pemodelan ekosistem perairan di Teluk Jakarta. Bogor, November 2011 Erlan Nurcahya Putra

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... LAMPIRAN... xii xiii xiv 1. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Teluk Jakarta Model Hidrodinamika Laut Model Adveksi-Difusi Model Ekosistem Laut METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Pengumpulan Data Penentuan Stasiun Pengamatan Parameter yang diamati Teknik Sampling Analisis Laboratorium Desain Model Data Masukan Model Nilai Awal Syarat Batas HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan DO di Teluk Jakarta Perbandingan Hasil Model dan Data Lapangan Arus Pola Sebaran Nutrien KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data masukan model ekosistem Data masukan model ekosistem dari pengamatan lapangan Nilai awal komponen-komponen ekosistem xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Transpor material terhadap ruang dan waktu akibat adveksi dan difusi 8 2. Diagram konsep model ekosistem Lokasi kajian penelitian di Teluk Jakarta Konsep diagram alir analisis data Hasil diskretisasi daerah model Diagram konsep model ekosistem Konsep diagram alir pemodelan ekosistem di Teluk Jakarta Distribusi nitrat di perairan Teluk Jakarta Distribusi amonium di perairan Teluk Jakarta Distribusi fosfat di perairan Teluk Jakarta Distribusi DO di perairan Teluk Jakarta Pola arus 2 dimensi (perata-rataan kedalaman) hasil model Pola sebaran amonium hasil model dan hasil pengamatan lapangan Pola sebaran nitrat hasil model dan hasil pengamatan lapangan xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Dokumentasi (foto kegiatan survei dan alat-alat penelitian) Prinsip pengukuran kualitas air laut Pengkonversian satuan Data pengamatan lapangan xiv

15 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan topik yang banyak mendapat perhatian baik peneliti, pemerintah, maupun masyarakat umum. Pencemaran adalah proses perusakan lingkungan akibat adanya kontaminasi dengan komponen organik maupun anorganik serta komponen-komponen lain yang sebagian besar bersumber dari kegiatan manusia (antropogenik) secara berlebih atau melampaui daya dukung lingkungan sehingga menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya. Badan air yang mengandung bahan unsur hara (nutrien) berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan dan biomassa fitoplankton/mikroalga tidak terkendali, sehingga mengakibatkan ledakan populasi fitoplankton atau blooming algal. Selanjutnya proses penguraiannya dapat menurunkan kualitas perairan terutama oksigen terlarut di lapisan bawah (hypoxia) yang dapat mengakibatkan kematian massal ikan secara mendadak. Blooming algal juga berpotensi besar memicu toxic algal blooms (HAB) yaitu munculnya populasi fitoplankton beracun seperti beberapa kelompok dinoflagellata yang memiliki sel-sel vegetatif beracun dan sista karena memproduksi neurotoksin (Livingston, 2001). Racun tersebut berbahaya bagi biota laut khususnya ikan secara langsung dan manusia secara tidak langsung (biomagnifikasi) karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memangsa mikroalga tersebut. 1

16 Teluk Jakarta merupakan kawasan di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, 2 Tangerang, dan Bekasi (JABODETABEK) yang padat berbagai macam aktifitas dan dewasa ini telah berkembang pesat seperti kegiatan pelabuhan, pemukiman skala besar, rekreasi, wisata bahari, perdagangan, perkantoran, perindustrian skala besar, dan pertanian. Kondisi tersebut telah membawa dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan ekosistem perairan seperti pencemaran, degradasi lingkungan, dan mengancam kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian secara komprehensif dan kontinu dalam memahami dinamika ekologis yang terjadi di Teluk Jakarta. Studi ini menggunakan pendekatan numerik (model) karena memiliki beberapa keunggulan, di antaranya waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat, dapat memprediksi proses-proses yang akan terjadi di masa mendatang, dan merupakan sebuah upaya awal dalam pengambilan suatu keputusan dalam memodelkan dinamika ekosistem perairan di Teluk Jakarta Tujuan Tujuan penelitian ini adalah memprediksi pola sebaran nitrat dan amonium di Teluk Jakarta dengan menggunakan model hidrodinamika-ekosistem 2-dimensi (perata-rataan terhadap kedalaman).

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal yang memiliki kedalaman laut kurang lebih 30 meter dan terletak pada garis bujur BT BT dan garis lintang LS LS (Setyapermana dan Nontji, 1980). Teluk Jakarta memiliki kedalaman rata-rata sekitar 15 meter, panjang pantai sekitar 72 km, dan luas perairan sekitar 490 km 2 (Arifin, 2004). Teluk Jakarta mendapat masukan material dari daratan melalui 13 sungai kecil, yaitu Sungai Angke, Bekasi, Cakung, Pesanggrahan, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimancuri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang Krukut, dan Sunter kemudian disalurkan menuju 3 muara sungai besar (Citarum, Ciliwung, dan Cisadane) dengan total rata-rata riverine discharge mencapai m 3 s -1 (Damar, 2003). Hadikusumah (2008) menyimpulkan bahwa arah arus pada bulan Maret dan bulan Mei (Masa Peralihan Satu) cenderung dipengaruhi oleh musim barat dan tergantung pada pasang surut dan kekuatan angin musim. BPHLD (2006) menunjukkan arah arus pada bulan Juni (musim timur) bervariasi yaitu antara Barat Daya sampai Timur Laut, sedangkan pada bulan Desember (musim barat) bervariasi antara Timur Laut sampai dengan Barat Daya. Koropitan dan Ikeda (2008) menyatakan kondisi pasang surut di Teluk Jakarta memiliki ratio amplitudo O K / M S sebesar 3.72 dan digolongkan pada pasang surut tunggal (diurnal) dengan komponen K 1 dominan. Amplitudo tertinggi sebesar cm diantara amplitudo komponen lain dan 3

18 kelajuan arus pasang surut bervariasi antara cm s -1 dengan arus pasut 4 komponen K 1 paling kuat diantara arus pasut komponen lain. Struktur komunitas plankton di perairan Teluk Jakarta terus-menerus mengalami perubahan menurut indeks komunitas seperti, keanekaragaman jenis, keseragaman jenis, dan kekayaan jenis. Secara kuantitatif kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta relatif tinggi namun secara kualitatif mengalami penurunan (Sidabutar, 2008). Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan kondisi perairan Teluk Jakarta karena besarnya beban masuk atau input zat-zat hara seperti fosfat, nitrat, dan amonium (eutrofikasi). Zat-zat tersebut dapat dikonsumsi secara langsung oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan biomassa melalui proses fotosintesis (Effendi, 2003; Sanusi, 2006). Sidabutar (2008) menyimpulkan rata-rata kelimpahan fitoplankton pada bulan Maret lebih tinggi daripada bulan Mei. Perbedaan tersebut diduga ada keterkaitan antara ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Sidabutar (2008) juga menemukan fitoplankton yang bersifat dominan, yaitu genus Skeletonema dan Chaetoceros dari kelompok diatom. Pada musim hujan, genus Chaetoceros cenderung mendominasi, sedangkan pada musim panas genus Skeletonema cenderung mendominasi. Sutomo et al. (1993) menunjukkan Noctiluca miliaris ditemukan pada seluruh kolom air dan kepadatannya secara vertikal bervariasi serta di beberapa lapisan dalam mempunyai kepadatan yang tinggi. Populasi zooplankton yang umum ditemukan di perairan laut adalah kelompok kopepod. Kelompok krustasea holoplanktonik ini berperan sebagai mata rantai yang sangat penting antara fitoplankton dengan para karnivor besar dan kecil (Nybakken, 1982). BPLHD (2006) melaporkan, zooplankton di perairan Teluk Jakarta pada

19 bulan Juni ditemukan sebanyak 22 jenis yang sebagian besar didominasi oleh 5 kelompok kopepod. Kualitas pencemaran telah dan sedang terjadi di Teluk Jakarta yang disebabkan/berasal dari tumpahan minyak, logam berat, air ballast kapal berupa limbah padat dan cair, buangan limbah air panas dari PLTGU, limbah domestik seperti deterjen, limbah pertanian dan perkebunan seperti pestisida, serta limbah industri. Arifin (2008) menyimpulkan bahwa kadar logam berat yang tinggi dan pola sebarannya di perairan Teluk Jakarta berhubungan erat dengan aktifitas sekitar seperti industri dan pelabuhan. Muchtar (1996) menunjukkan bahwa, kandungan fosfat dan nitrat pada bulan November lebih tinggi bila dibandingkan dengan bulan September dan Oktober. Hal ini disebabkan oleh sumbangan daratan secara signifikan melalui sungai-sungai yang mengalir ke perairan tersebut Model Hidrodinamika Laut Sirkulasi massa air laut dapat dijelaskan dengan model hidrodinamika. Model hidrodinamika didasarkan pada Hukum Newton II. Hukum ini menyatakan bila resultan gaya bekerja pada suatu massa fluida maka fluida tersebut akan mengalami perubahan momentum atau mengalami perubahan kecepatan (percepatan). Secara umum terdapat empat jenis gaya yang bekerja pada massa air laut, yaitu gaya gradien tekanan, gaya coriolis, gaya gravitasi, dan gaya friksi per unit massa (Ramming dan Kowalik, 1980; Pond dan Pickard, 1983; Bishop, 1984; Stewart, 2002). Princeton Ocean Model (POM) mengekspresikan model

20 hidrodinamika 2-dimensi perata-rataan terhadap kedalaman sebagai berikut 6 (Mellor, 2004) : Komponen- x 2 UD U D UVD F x fvd gd wu (0) wu ( 1) t x y x (1) Komponen- y 2 VD UVD V D F y fud gd wv (0) wv ( 1) t x y y.. (2) Persamaan kontinuitas : UD VD 0 t x y.. (3) dimana, U dan V adalah komponen kecepatan arus rata-rata terhadap kedalaman masing-masing pada sumbu- x dan sumbu- y dengan U 0 1 Ud D dan V Vd D ; DH, H adalah kedalaman perairan dari MSL dan adalah 1 elevasi permukaan laut, f adalah parameter coriolis ( f 2 sin, adalah sudut lintang dan adalah vektor kecepatan rotasi bumi yaitu x 10-5 radians det -1 ), wu(0), wv(0) adalah fluks momentum di permukaan, wu( 1), wv( 1) adalah fluks momentum di dasar, F x dan F y adalah suku difusivitas horisontal masing-masing pada sumbu- x dan sumbu- y yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Mellor, 2004) :

21 Komponen- x 7 U U V F x H 2AM HAM x x (4) y y x Komponen- y V U V F y H 2AM HAM y y. (5) x y x dimana, A M adalah koefisien viskos turbulen horisontal Model Adveksi-Difusi Di dalam suatu perairan banyak terjadi fenomena perpindahan, pengangkutan, dan penyebaran (dispersi) suatu material. Perpindahan, pengangkutan, dan penyebaran (dispersi) material ini dapat disebabkan oleh perbedaan densitas massa air, keseimbangan coriolis dan gradien tekanan, pasang surut, gravitasi, energi angin, gradien konsentrasi, dan turbulensi. Mekanisme pengangkutan material di dalam suatu medium (air) akibat pergerakan medium itu sendiri tanpa mengalami perubahan konsentrasi disebut adveksi. Mekanisme pengangkutan material di dalam suatu medium (air) akibat adanya gradien konsentrasi material dalam medium dan pergerakannya berupa gerak acak disebut difusi molekuler (James, 1993; Chapra, 1997; Jorgensen dan Bendoricchio, 2001). Namun apabila gerak acak tersebut terjadi pada skala yang lebih besar karena adanya eddies disebut difusi turbulen atau difusi eddy (Chapra, 1997; Yanagi, 1999). Baik difusi molekuler maupun difusi turbulen keduanya memiliki kecenderungan untuk meminimalisir gradien konsentrasi melalui pergerakan material dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Chapra, 1997; Jorgensen

22 dan Bendoricchio, 2001). Proses transpor material akibat adveksi dan difusi 8 diilustrasikan secara sederhana pada Gambar 1. Princeton Ocean Model (POM) mengekspresikan model adveksi difusi 2- dimensi perata-rataan terhadap kedalaman sebagai berikut (Mellor, 2004) : TD TUD TVD FT t x y.. (6) dimana, T adalah konsentrasi material dan F T adalah suku difusivitas horisontal yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Mellor, 2004) : F Hq Hq x y T x y... (7) dimana, qx A H T x dan qy A H T y ; A H adalah koefisien difusi horisontal. Sumber : Chapra (1997). Gambar 1. Transpor material terhadap ruang dan waktu akibat (a) adveksi dan (b) difusi.

23 2.4. Model Ekosistem Laut 9 Odum (1971) menyatakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam model ekosistem adalah pendekatan sistem kompartemen (the compartemental system approach) dimana pendekatan ini menegaskan kuantitas dari energi dan material di dalam kompartemen-kompartemen ekosistem. Pendekatan lain adalah pendekatan komponen-komponen eksperimen dimana pendekatan ini menegaskan analisis yang mendetail dari proses-proses ekologi seperti pemangsaan/predasi, persaingan/kompetisi, dan sebagainya. Model ekosistem laut yang telah ada dan telah berkembang, di antaranya model ekosistem Kamamiya et al. (1995), Yanagi et al. (1997), Aita et al. (2003), Yamanaka et al. (2005), dan model ekosistem Koropitan et al. (2009). Model ekosistem Kawamiya et al. (1995) terdiri dari 6 kompartemen, yaitu fitoplankton (chl- ), zooplankton (umum), nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), Particulate Organic Nitrogen (PON), dan Dissolved Organic Nitrogen (DON) serta memperhitungkan pengaruh oksigen terlarut (DO). Model ini diaplikasikan di perairan laut lepas. Model ekosistem Yanagi et al. (1997) terdiri dari 5 kompartemen, yaitu fitoplankton (Skeletonema sp.), zooplankton (kopepod), Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN), Dissolved Inorganic Fosfor (DIP), dan detritus serta juga memperhitungkan pengaruh DO. Model ini diaplikasikan di perairan semi tertutup (Teluk Dokai, Jepang). Model ekosistem Aita et al. (2003) terdiri dari 11 kompartemen, yaitu fitoplankton kecil (kokolitofor), fitoplankton besar (diatom), zooplankton kecil (foraminifera), zooplankton besar (kopepod), zooplankton predator (krill/jellyfish), nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), silikat ( Si OH 4 ), PON, DON, dan Opal. Model ini menggunakan NEMURO yaitu

24 model ekosistem yang diterapkan di perairan Pasifik Utara. Model ekosistem 10 Yamanaka et al. (2005) terdiri dari 15 kompartemen. Model ini merupakan hasil modifikasi dari NEMURO dengan menambahkan total karbondioksida (T CO 2 ), total alkalinitas (TALK), unsur kalsium (Ca ), dan senyawa kalsium karbonat ( CaCO 3 ). Selanjutnya model ekosistem Koropitan et al. (2009), membagi ekosistem numerik struktur trofik minimum menjadi enam kompartemen, yaitu nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), fitoplankton ( F ), zooplankton ( Z ), detritus pelagik ( PD ), dan detritus bentik ( BD ). Model ini diaplikasikan di perairan semi tertutup (Teluk Jakarta). Diagram konsep model ekosistem tersebut diilustrasikan pada Gambar 2. Secara umum model tersebut (Gambar 2.) menunjukkan aliran nitrogen yang mengalami proses transformasi di dalam tiap kompartemen ekosistem. Tanda panah disertai dengan simbol (huruf dan angka) mengandung informasi mengenai proses fisika (E5), biokimia (E1, E2, E4, E8, dan E9), predasi (E3), dan alami/natural (E6 dan E7). Simbol E1 adalah proses oksidasi amonium menjadi nitrat yang melibatkan mikroorganisme kemosintetik seperti bakteri genus Nitrosomonas dan genus Nitrobacter dalam kondisi aerob (membutuhkan oksigen terlarut) atau dikenal dengan nitrifikasi. Persamaan reaksi kimia sederhana nitrifikasi diekspresikan sebagai berikut (Riley dan Chester, 1971) : NH OH 1.5O H NO 2H O dan NO 0.5O NO Laju oksidasi amonium menjadi nitrat diekspresikan dengan persamaan sebagai

25 11 Riverine input Precipitation Riverine input E1 Nitrate (NO 3 ) Ammonium (NH 4 ) E2 Phytoplankton E7 E6 E3 Zooplankton E4 Pelagic detritus E8 E9 E5 Benthic detritus Gambar 2. Diagram konsep model ekosistem (Koropitan et al., 2009). berikut (Koropitan et al., 2009) : E R NH... (8) 1 N2 4 dimana R N 2 adalah laju oksidasi amonium dan NH 4 adalah konsentrasi amonium. Simbol E2 adalah proses asimilasi senyawa sederhana/anorganik (nitrat dan amonium) menghasilkan senyawa kompleks/organik (biomassa) oleh organisme autotrof seperti fitoplankton yang menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi atau dikenal dengan fotosintesis. Proses ini berkaitan erat dengan produktifitas primer perairan. Produktifitas primer merupakan laju

26 sintesis komponen organik dari komponen anorganik yang sebagian besar 12 dihasilkan melalui fotosintesis dan sebagian kecil melalui kemosintesis (Valiela, 1995). Produktifitas primer umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon anorganik yang terikat per satuan luas area permukaan laut atau volume air laut per interval waktu (Riley dan Chester, 1971; Nybakken, 1982; Nontji, 2008). Mann dan Lazier (1996) serta Miller (2004) menyatakan produksi primer yang dihasilkan dari pemanfaatan nitrat ( NO 3 ) disebut new production, sedangkan produksi primer yang dihasilkan dari pemanfaatan amonium ( NH 4 ) hasil hidrolisis amoniak ( NH 3 ) dengan air ( HO) 2 yang bersumber dari ekskresi organisme heterotrof disebut regenerated/recycled production. Valiela (1995) menyebutkan terdapat empat sumber-sumber nitrogen baru (new nitrogen) di perairan laut, yaitu melalui fiksasi nitrogen, pengadukan vertikal (vertical mixing), transpor horisontal (horizontal transport), dan presipitasi (precipitation). Selain itu, Alongi (1998) menambahkan senyawa nitrat yang berasal dari daratan khususnya dari aktifitas pertanian juga secara signifikan memberikan sumber nitrogen baru (new nitrogen) melalui run off sungai terutama di perairan semi tertutup seperti teluk. Di dalam perairan laut, proses pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, dan salinitas sebagaimana diekspresikan dengan persamaan berikut (Yanagi et al., 1997) : 2 m 1 i 1 a E V Min. V ( N ), V ( N ) V ( I) V ( T) V ( S)... (9) dimana V m merupakan laju maksimum uptake fitoplankton, V ( ) 1 N dan V ( ) 1 N a merupakan fungsi keterbatasan nutrien (limiting nutrients) yang diekspresikan i

27 13 dengan persamaan Michaelis-Menten sebagai berikut (Lung, 1993; Valiela, 1995; Chapra, 1997; Yanagi et al., 1997) : V 1 N i K sni Ni N i dan V N 1 a K sna Na N a dimana K sn i dan Ni dan N a masing-masing adalah konsentrasi nitrat dan amonium serta K sn a masing-masing adalah konstanta paruh jenuh pengambilan nitrat dan amonium bagi fitoplankton. Suatu kondisi dimana pemanfaatan nitrat dan amonium oleh fitoplankton dilakukan secara bersama-sama maka beberapa kelompok fitoplankton akan cenderung lebih menyukai amonium daripada nitrat (Raymont, 1963; Riley dan Chester, 1971; Ricklefs, 1980; Alongi, 1998; Andersen dan Heibig, 1998; Effendi 2003) sehingga pemanfaatan nitrat akan negatif dengan keberadaan amonium. Pernyataan tersebut diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) : N V N NH i exp 1 i 4 KsN N i i dimana adalah parameter inhibition amonium. Kemudian V () I merupakan 2 fungsi cahaya yang diekspresikan dengan persamaan Steele sebagai berikut (Yanagi et al., 1997; Fennel dan Neumann, 2004) : ( ) I exp z 1 I V2 I I opt I z opt dimana I opt adalah intensitas cahaya optimal bagi pertumbuhan fitoplankton dan I z adalah intensitas cahaya pada kedalaman Z yang diekspresikan berdasarkan Hukum Lambert-Beer sebagai berikut (Lung, 1993; Valiela, 1995; Chapra, 1997) : I exp( ) z I0 kez

28 dimana I 0 adalah intensitas cahaya di permukaan dan k e adalah koefisien 14 ekstingsi cahaya yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) : k F 1 2 dimana 1 adalah koefisien disipasi cahaya pada air laut dan 2 adalah koefisien self-shading pada fitoplankton. Cahaya yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk fotosintesis dengan panjang gelombang berkisar antara 370 sampai 720 nm (Riley dan Chester, 1971) dikenal dengan Photosynthetically Available Radiation (PAR) dimana mencapai puncak fotosintesis mendekati panjang gelombang 465 nm (Miller, 2004). Selanjutnya V3 T dan V4 S masing-masing merupakan fungsi suhu dan salinitas yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Yanagi et al., 1997) : T T V3 T exp 1 T opt T opt dan S S V4 S exp 1 S opt S opt dimana T dan S masing-masing adalah suhu dan salinitas air laut serta T opt dan S opt masing-masing adalah suhu dan salinitas optimal bagi pertumbuhan fitoplankton. Simbol E3 adalah proses pemangsaan yang dilakukan oleh herbivora perairan seperti zooplankton terhadap produser perairan seperti fitoplankton untuk pemenuhan kebutuhan energi bagi pertumbuhan, respirasi, biomassa, dan reproduksi atau dikenal dengan grazing. Menurut Fennel dan Neumann (2004), zooplankton dianggap penting dalam mengontrol kepadatan fitoplankton dan ikut bertanggung jawab terhadap kematian atau hilangnya fitoplankton di perairan.

29 Laju grazing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Yanagi et al., ; Miller, 2004) : E 1 exp * 3 R F F max.. (10) dimana R max adalah laju maksimum grazing, adalah konstanta Ivlev, dan adalah batas potensi konsentrasi fitoplankton terhadap grazing zooplankton. Ketika * F lebih kecil atau kurang dari F maka E3 0. Simbol E4 adalah proses egestion atau produksi faecal pellets (feses) oleh zooplankton yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Yanagi et al., 1997; Miller, 2004) : * F E 1 exp * 4 R F F max... (11) dimana adalah ratio produksi faecal pellets terhadap predasi (grazing). Simbol E5 adalah interaksi fisik antara detritus pelagik dengan detritus bentik di kolom perairan hingga lapisan dasar berdasarkan proses sedimen kohesif. Proses fisik yang dimaksud adalah sedimentasi/deposisi ( S ) dan resuspensi/erosi ( E ). Apabila diasumsikan kecepatan partikel air di dasar/tegangan geser dasar ( b ) lebih kecil daripada tegangan kritis deposisi ( cd ) maka detritus pelagik mengalami sedimentasi/deposisi. Sedangkan apabila tegangan geser dasar ( b ) lebih besar daripada tegangan kritis resuspensi ( ce ) maka detritus bentik mengalami resuspensi/erosi. Penghitungan sedimentasi/deposisi ( S ) dan resuspensi/erosi ( E ) masing-masing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) : S Wd PD b 1 cd b dan E RBDBD 1 ce... (12)

30 16 W d adalah laju penenggelaman/sinking detritus dan R BD adalah laju remineralisasi detritus bentik serta PD dan BD masing-masing adalah konsentrasi detritus pelagik dan konsentrasi detritus bentik. Selanjutnya dalam kondisi netral diekspresikan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) : S E 0 untuk cd b ce Simbol E6 dan E7 masing-masing adalah proses kematian fitoplankton dan zooplankton yang terjadi secara alami (bukan disebabkan oleh predator) di perairan. Fitoplankton dan zooplankton yang mati akan menjadi partikel-partikel detritus (particulate organic detritus) kemudian akan mengalami penghancuran/teragregrasi oleh organisme pemakan bangkai (scavenger) secara biofisik menjadi detritus terlarut (dissolved organic detritus) dan sebagian lain mengalami pengendapan, selanjutnya mengalami penguraian oleh bakteri dekomposer secara biokimia. Laju kematian fitoplankton dan zooplankton masing-masing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) : E m F dan E7 mz Z. (13) 6 F dimana m F dan m Z masing-masing adalah laju kematian fitoplankton dan laju kematian/ekskresi zooplankton serta F dan Z masing-masing adalah konsentrasi fitoplankton dan konsentrasi zooplankton. Simbol E8 dan E9 adalah proses penguraian komponen-komponen organik mati seperti detritus menjadi komponen-komponen anorganik oleh bakteri kemosintetik melalui pemanfaatan molekul oksigen terlarut ( O 2 ) atau dikenal dengan dekomposisi aerob. Sedangkan apabila tanpa menggunakan oksigen

31 17 melainkan melalui pemanfaatan senyawa anorganik-oksida seperti NO 3, HCO 3, 3 PO 4, 2 SO 4, dll maka disebut dekomposisi anaerob. Perbedaan mendasar antara dekomposisi aerob dengan dekomposisi anaerob terletak pada senyawa yang berperan sebagai akseptor (penerima) ion hidrogen. Pada kondisi dekomposisi aerob yang berperan sebagai akseptor ion hidrogen adalah molekul oksigen sedangkan pada dekomposisi anaerob yang berperan sebagai akseptor adalah senyawa anorganik-oksida (Effendi, 2003). Produk akhir yang dihasilkan pun berbeda, dekomposisi aerob menghasilkan karbondioksida ( CO 2 ), air ( HO), 2 nitrat ( NO 3 ), fosfat ( PO 4 ), dan nutrien lain bagi fitoplankton. Sedangkan dekomposisi anaerob sebagian besar menghasilkan senyawa-senyawa berbahaya seperti metana ( CH 4 ), amoniak ( NH 3 ), dan hidrogen sulfida ( HS) 2 (Effendi, 2003; Sanusi, 2006). Laju dekomposisi detritus pelagik dan detritus bentik masing-masing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) : E8 RPDPD dan E9 RBDBD... (14) dimana R PD dan R BD masing-masing adalah laju dekomposisi detritus pelagik dan laju dekomposisi detritus bentik serta PD dan BD masing-masing adalah konsentrasi detritus pelagik dan konsentrasi detritus bentik.

32 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu tahapan pertama kegiatan survei lapangan meliputi pengambilan contoh air laut dan pengukuran kualitas air laut. Tahapan kedua kegiatan pemodelan dan simulasi model. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3, dimana dokumentasi kegiatan survei lapangan disajikan pada lampiran 1. Survei lapangan dilaksanakan pada tanggal 20 hingga 27 Maret 2010 yang merupakan salah satu bagian proyek penelitian Kajian fenomena algae blooms (HAB) dalam kaitannya dengan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) di perairan Teluk Jakarta, Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). Tahapan kedua dilaksanakan pada bulan Januari hingga November 2011 berupa pemodelan dan simulasi model dilakukan di Laboratorium Data Processing, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam studi ini meliputi : 1. Alat-alat laboratorium kimia untuk pengukuran kualitas air laut seperti buret, erlenmeyer 100 ml, pipet tetes, pipet otomatis 5 ml, botol BOD 100 ml, botol polyetilen, kolom reduksi, gelas beker, kertas saring 0.45 µm, tabung polyetilen, vacuum pump, dan spektrofotometer. 18

33 19 Gambar 3. Lokasi kajian penelitian di Teluk Jakarta. 2. Perangkat keras (hardware) seperti, Perangkat komputer (PC) berbasis Intel dengan sistem operasi Windows untuk simulasi model.

34 Hard disk eksternal sebagai media penyimpan data. Printer sebagai media pencetak data Perangkat lunak (software) seperti, Microsoft Developer Studio yang ditulis dengan bahasa pemograman Fortran 77 untuk simulasi model dengan output file berekstensi *.for/*.f90. Transform versi 3.3 untuk visualisasi hasil model. Surfer versi 9 untuk visualisasi data pengamatan lapangan dan peta batimetri Teluk Jakarta. Bahan yang digunakan dalam studi ini meliputi : 1. Data primer, yaitu contoh air laut untuk memperoleh hasil pengukuran kualitas air laut berupa data pengamatan lapangan bulan Maret Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari literatur seperti data batimetri, data pasang surut, data kecepatan angin, data parameter biokimia, data input sungai dan atmosfer untuk keperluan simulasi model (selengkapnya dijelaskan pada subbab 3.4) Pengumpulan Data Penentuan Stasiun Pengamatan Jumlah stasiun pengamatan lapangan yang diambil sebanyak 38 stasiun yang terdiri dari 11 stasiun (stasiun 34, 33, 26, 25, 13, 12, 1, 2, 4, 5, dan 6) mewakili area sekitar muara sungai di sepanjang pantai Teluk Jakarta, 21 stasiun (stasiun 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 35, 36, dan 37) mewakili bagian tengah badan Teluk Jakarta, dan 5 stasiun (stasiun 38,

35 32, 19, 18, dan 7) mewakili area di sekitar tepi laut terbuka. Hal ini dilakukan 21 untuk mempermudah teknik interpolasi antar data. Metode interpolasi yang digunakan adalah interpolasi kriging Parameter yang diamati Kualitas air laut yang diukur berupa parameter kimia, yaitu oksigen terlarut (dissolved oxygen), nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), dan fosfat ( PO 4 ) sebagai data pengamatan lapangan bulan Maret Namun parameter yang dimodelkan adalah nitrat ( NO 3 ) dan amonium ( NH 4 ) Teknik Sampling Pengambilan contoh air laut menggunakan botol Nansen yang diturunkan secara vertikal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh difusi udara terhadap contoh air laut. Contoh air laut yang diambil hanya pada lapisan permukaan laut. Hal ini dilakukan karena studi ini hanya melihat distribusi material (nutrien) yang terjadi di permukaan laut (horisontal). Penyimpanan contoh air laut menggunakan botol berbahan polyetilen (nitrat, amonium, fosfat). Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh reaksi kimia pada dinding botol terhadap senyawa anorganik (nitrat, amonium, fosfat) yang terkandung dalam contoh air laut. Khusus untuk perlakuan oksigen terlarut dan amonium, penambahan larutan ( MnCl 2 ) dan larutan ( NaOH KI ) untuk oksigen terlarut serta larutan fenol nitropusside dan larutan hipoklorit alkalin untuk amonium ke dalam contoh air laut perlu dilakukan dengan segera. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh difusi udara saat perjalanan. Penyaringan contoh air laut menggunakan kertas saring berukuran 0.45 µm berbahan serat kaca (GF/F) sebelum dilakukan pengukuran. Hal ini dilakukan

36 22 untuk meminimalisir pengaruh bahan-bahan tersuspensi (seston) yang terkandung dalam contoh air laut Analisis Laboratorium Pengukuran konsentrasi nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), dan fosfat ( PO 4 ) menggunakan metode spektrofotometrik masing-masing pada panjang gelombang 543 nm, 630 nm, dan 885 nm, sedangkan oksigen terlarut menggunakan metode titrasi modifikasi Winkler (Prinsip pengukuran masing-masing parameter dijelaskan pada lampiran 2). Hasil pengukuran parameter-parameter tersebut (data primer) akan digunakan beberapa untuk input model (input laut) dan keperluan verifikasi/validasi model. Data batimetri Teluk Jakarta merupakan hasil digitasi yang bersumber dari DISHIDROS-TNI AL tahun 1992 menggunakan software Surfer 9. Data pasut diperoleh dari ORI tide, sedangkan data kecepatan angin, parameter biokimia, input darat, input atmosfer diperoleh dari literatur (selengkapnya dijelaskan pada subbab 3.4). Selanjutnya konsep diagram alir analisis data diilustrasikan pada Gambar Desain Model Luas daerah model adalah 36 km x 23.6 km dengan ukuran grid (lebar grid) yang digunakan 250 m x 250 m sehingga model ini terbagi ke dalam 144 x 94 sel yang berbentuk matriks. Hasil diskretisasi daerah model disajikan pada Gambar 5. Sesuai dengan syarat kestabilan CFL (Courant-Friedrichs-Levy),

37 Contoh Air Laut 23 Input Model : Batimetri, pasut, angin, difusi, parameter biokim, input laut, input darat, atmosfer. Oksigen Terlarut Nitrat Amonium Fosfat Microsoft Developer Studio Simulasi Model Titrasi Absorbansi Transform 3.3 Konsentrasi Nitrat Amonium Surfer 9 Pola Sebaran Pengamatan Lapangan Validasi Pola Sebaran Hasil Model Gambar 4. Konsep diagram alir analisis data dimana (Mellor, 2004) : t E 2 gh x y 1/ Umax 1/ 2 (15)

38 24 Sumber : DISHIDROS, 1992 y Keterangan : M1 = Muara Angke y M2 = Muara Tanjung Priok M3 = Muara Marunda x x M4 = Muara Citarum x = 250 meter y = 250 meter Gambar 5. Hasil diskretisasi daerah model. t E adalah langkah waktu eksternal, U max adalah kecepatan maksimum dugaan, H adalah kedalaman maksimum, g adalah percepatan gravitasi, serta y masing-masing adalah ukuran grid pada sumbu- x dan sumbu- y x dan maka Teluk Jakarta yang memiliki kedalaman maksimum 27 m dan ukuran grid 250 m x 250 m menggunakan langkah waktu selama 3 detik.

39 Model hidrodinamika dalam studi ini menggunakan Princeton Ocean 25 Model (POM). POM dibuat dan dikembangkan oleh Alan Blumberg dan George. L. Mellor sekitar tahun Model tersebut menggunakan koordinat sigma (koordinat vertikal yang terskala oleh kedalaman perairan) dan langkah waktu split yang terdiri dari mode eksternal dan mode internal (Mellor, 2004). Mode internal digunakan untuk model hidrodinamika 3-dimensi (barotropik dan baroklinik) dengan langkah waktu panjang berdasarkan kondisi CFL. Mode eksternal digunakan untuk model hidrodinamika 2-dimensi yang diintegrasikan secara vertikal (perata-rataan terhadap kedalaman) dengan langkah waktu pendek berdasarkan kondisi CFL. Oleh karena model hidrodinamika yang digunakan adalah model hidrodinamika dua dimensi yang diintegrasikan secara vertikal atau perata-rataan terhadap kedalaman maka menggunakan mode eksternal dengan langkah waktu pendek berdasarkan kondisi CFL. Model ekosistem yang digunakan adalah penyederhanaan model ekosistem Koropitan et al. (2009) yang merupakan hasil modifikasi dari POM. Model ini tersusun atas lima kompartemen, yaitu nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), fitoplankton ( F ), zooplankton ( Z ), dan detritus ( D ). Diagram konsep model ekosistem diilustrasikan pada Gambar 6. Untuk keperluan penyamaan satuan digunakan red-field ratio 106 : 16 : 1 masing- masing adalah unsur karbon, nitrogen, dan fosfor. Kemudian penyamaan satuan klorofil- digunakan perbandingan 1 : 50 untuk klorofil- : karbon (Koropitan et al., 2009), sedangkan zooplankton menggunakan hasil penelitian Lizuka dan Uye (1989 dalam Yanagi, 1999), yaitu 1 berat kering individu zooplankton setara dengan 1 g C. Seluruh komponen ekosistem termasuk

40 26 Input sungai Presipitasi Input sungai Oksidasi Nitrat (NO 3 ) Amonium (NH 4 ) Fotosintesis Fitoplankton Grazing Zooplankton Egestion Detritus Gambar 6. Diagram konsep model ekosistem (modifikasi dari Koropitan et al., 2009) nutrien (nitrat dan amonium) dilakukan penyamaan satuan yang disesuaikan dengan keperluan model, yaitu dalam bentuk mmol N m -3 (proses konversi satuan dijelaskan pada lampiran 3.). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model hidrodinamika di antaranya : Perairan diasumsikan mengalami percampuran sempurna secara vertikal sehingga tidak terbentuk stratifikasi densitas atau perairan bersifat homogen. Tidak ada gaya-gaya luar lain yang bekerja pada daerah model seperti tekanan atmosfer ( P a konstan), seismik, dan gerakan kapal. Serta tidak memperhitungkan gaya gesek/viskos turbulen vertikal.

41 27 Pengaruh gaya coriolis pada daerah model diabaikan. Efek coriolis dapat diestimasi dengan menentukan nilai radius deformasi Rossby pada daerah model yang diteliti (Pond dan Pickard, 1983), yaitu : Rb gh 10x27 1,5042 x10 max 5 f km dengan melihat dimensi lateral (lebar mulut teluk) Teluk Jakarta sebesar 40 km (Setyapermana dan Nontji, 1980) yang jauh lebih kecil dari panjang gelombang Rossby maka efek coriolis terhadap gerak massa air pada daerah model yang diteliti dapat diabaikan. Koefisien gesek/viskos turbulen horisontal yang digunakan berdasarkan formulasi Smagonrisky sebesar 0.2 (Koropitan dan Ikeda, 2008). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model ekosistem di antaranya : Sumber nutrien (nitrat dan amonium) yang dimasukkan ke dalam model berasal dari presipitasi (air hujan), laut terbuka, dan empat muara sungai yaitu muara Angke, muara Tanjung Priok, muara Marunda, dan muara Citarum. Nilai masukan/input komponen-komponen ekosistem diasumsikan konstan sepanjang tahun di Teluk Jakarta. Tidak mempertimbangkan proses fiksasi nitrogen, respirasi fitoplankton dan zooplankton, denitrifikasi, laju penenggelaman/sinking dan ekskresi fitoplankton, laju penenggelaman/sinking detritus, migrasi vertikal zooplankton, serta pengaruh oksigen terlarut. Koefisien difusi horisontal yang digunakan berdasarkan formulasi Smagonrisky sebesar 2 (Koropitan et al., 2009).

42 Proses simulasi model diawali dengan mensimulasikan model 28 hidrodinamika hingga menghasilkan daya tampil atau daya guna (performance) yang baik. Dalam model ini menggunakan tiga gaya pembangkit arus, yaitu gradien tekanan mendatar (perbedaan tinggi muka/elevasi air laut), angin, dan debit air sungai (riverine discharge), serta memperhitungkan gaya pengusik yaitu gesekan dasar. Simulasi model hidrodinamika akan menghasilkan kecepatan arus komponen U dan V masing-masing arah sumbu- x dan sumbu- y, kemudian simulasi model ekosistem dilakukan untuk menghitung konsentrasi komponenkomponen ekosistem. Setelah hasil validasi model hidrodinamika menunjukkan performance yang baik, maka digabung dengan model transpor (adveksi-difusi) dan model ekosistem menghasilkan pola sebaran konsentrasi komponenkomponen ekosistem. Hasil sebaran model transpor ekosistem dibandingkan dengan data lapangan. Apabila model belum menunjukkan pola yang mirip maka dilakukan modifikasi parameter ekosistem (parameterisasi) yang mungkin hingga mendekati pola sebaran pengamatan lapangan. Waktu simulasi atau lama iterasi dalam mencapai kondisi stabil (steady state) untuk keperluan verifikasi model dilakukan selama 90 hari pada musim peralihan I, yaitu bulan Maret hingga Mei. Selanjutnya konsep diagram alir pemodelan ekosistem perairan di Teluk Jakarta diilustrasikan pada Gambar Data Masukan Model Dalam studi ini data pasang surut diperoleh dari ORI tide, yaitu data model pasang surut global yang dikembangkan oleh Ocean Research Institute (ORI), University of Tokyo, Jepang yang bekerja sama dengan National

43 Astronomical Observatory (NAO) berdasarkan data tinggi muka air laut dari 29 pengamatan satelit Topex/Posseidon. Elevasi ORI tide adalah gabungan 8 komponen pasut utama (Q 1, P 1, O 1, K 1, N 2, M 2, S 2, K 2 ) namun dalam model ini hanya menggunakan pasut komponen K 1 sebagai komponen pasut dominan di Teluk Jakarta sesuai dengan pengamatan yang telah dilakukan oleh Koropitan dan Ikeda (2008). Hasil prediksi elevasi pasut pada model ini adalah perata-rataan satu siklus K 1 (23.93 jam) maka untuk mendapatkan prediksi amplitudo dan fasa K 1 selama 90 hari menggunakan analisis harmonik kuadrat terkecil (least square). Kecepatan angin diperoleh dari Koropitan et al. (2009) adalah kecepatan angin global rata-rata bulanan yang diasumsikan merepresentasikan nilai pertengahan bulan dimana nilai di antara nilai pertengahan bulan awal dan pertengahan bulan berikutnya merupakan hasil interpolasi di antara keduanya dan seterusnya. Data kedalaman (batimetri) perairan Teluk Jakarta diperoleh dari peta batimetri hasil pemetaan Dinas Hidro-Oseanografi (DISHIDROS) TNI-AL tahun 1992 pada skala 1: Dengan demikian, arus yang dihasilkan dalam model ini berupa aliran residu yang dipengaruhi oleh arus residu komponen pasut K 1 dan gesekan angin. Aliran residu diperhitungkan karena dianggap memegang peranan penting dalam pertukaran massa air dan transpor material di perairan pantai dalam jangka waktu yang panjang (Ramming dan Kowalik, 1980; Yanagi, 1999). Data komponen-komponen ekosistem yang bersumber dari daratan (muara sungai) sebagian besar diperoleh dari pengamatan yang telah dilakukan oleh Damar (2003) sedangkan sumber dari perairan sekitar (syarat batas terbuka) menggunakan data pengamatan lapangan bulan Maret Nilai konsentrasi

44 Mulai Pendefinisian variabel dan harga konstanta : Langkah waktu, ukuran grid, lama iterasi, kecepatan angin, konstanta pasut, koefisien difusi, parameter biokimia (ekosistem) 30 Penghitungan model hidrodinamika dan model ekosistem Konsentrasi komponen ekosistem U dan V Baca data kedalaman Tidak Mirip Validasi Inisialisasi syarat awal (t=0) : U V 0 dan pemberian nilai minimum untuk komponen-komponen ekosistem Mirip U dan V mirip dengan pola pengamatan lapangan CFL Courant- Friedrichs-Levy Tidak Stabil Model transpor (adveksi-difusi) untuk komponen ekosistem Stabil Pemberian nilai input/sumber komponen-komponen ekosistem Tidak Validasi Mirip Perlakuan syarat batas terbuka : Syarat batas radiasi untuk komponen arus dan komponen ekosistem (Utara dan Barat) Pemberian nilai elevasi pasut (Utara) Pola sebaran konsentrasi komponenkomponen ekosistem mirip dengan pola pengamatan lapangan Gambar 7. Konsep diagram alir pemodelan ekosistem perairan di Teluk Jakarta.

45 klorofil- dan zooplankton adalah nilai minimum pengamatan yang telah 31 dilakukan oleh Damar (2003) sepanjang tahun Sementara nilai konsentrasi detritus menggunakan nilai yang sama dengan fitoplankton dan zooplankton karena data konsentrasi detritus tidak tersedia baik dari pengamatan lapangan maupun literatur. Intensitas cahaya (solar radiation) di permukaan dan debit sungai adalah nilai rata-rata bulanan tahun Selengkapnya data masukan model ekosistem disajikan pada Tabel 1 dan Tabel Nilai Awal Proses awal simulasi model adalah perlakuan kondisi awal model dengan memberikan nilai awal pada setiap variabel-variabel model. Awal simulasi ( t 0) perairan diasumsikan dalam keadaan tenang dan belum tercemar dengan memberikan nilai 0 pada kecepatan dan elevasi. Pernyataan tersebut diekspresikan sebagai berikut (Pond dan Pickard, 1983) : U V 0 saat t 0. (16) Komponen-komponen ekosistem seperti nitrat, amonium, fitoplankton, zooplankton, dan detritus diberikan nilai minimum pengamatan lapangan. Nitrat dan amonium menggunakan konsentrasi minimum pengamatan lapangan bulan Maret 2010 sedangkan fitoplankton dan zooplankton menggunakan konsentrasi minimum pengamatan yang telah dilakukan oleh Damar (2003) sepanjang tahun Sementara detritus diberikan nilai awal sama dengan fitpolankton dan zooplankton karena data konsentrasi detritus tidak tersedia baik dari pengamatan lapangan maupun literatur. Konsentrasi nilai awal komponen-komponen ekosistem disajikan pada Tabel 3. Nilai awal kecepatan, elevasi, dan komponen-

46 32 Tabel 1. Data masukan model ekosistem. Parameter Waktu Nilai Sumber Debit sungai Angke (m 3 s -1 ) Maret Koropitan et al. (2009) Debit sungai Priok (m 3 s -1 ) Maret Koropitan et al. (2009) Debit sungai Marunda (m 3 s -1 ) Maret Koropitan et al. (2009) Debit sungai Citarum (m 3 s -1 ) Maret Koropitan et al. (2009) Air hujan (mm) Maret Koropitan et al. (2009) Intensitas cahaya (W m -2 ) Maret Koropitan et al. (2009) Konsentrasi amonium di muara Maret 2001 Damar (2003) Angke (mmol N m ) Konsentrasi amonium di muara Maret 2001 Damar (2003) Priok (mmol N m ) Konsentrasi amonium di muara Maret 2001 Damar (2003) Marunda (mmol N m ) Konsentrasi amonium di muara Maret 2001 Koropitan et al. (2009) Citarum (mmol N m ) Konsentrasi nitrat di muara Maret 2001 Damar (2003) Angke (mmol N m ) Konsentrasi nitrat di muara Maret 2001 Damar (2003) Priok (mmol N m ) Konsentrasi nitrat di muara Maret 2001 Damar (2003) Marunda (mmol N m ) Konsentrasi nitrat di muara Maret 2001 Koropitan et al. (2009) Citarum (mmol N m ) Konsentrasi amonium dalam air Maret 2001 Koropitan et al. (2009) hujan (meq m ) Konsentrasi nitrat dalam air Maret 2001 Koropitan et al. (2009) hujan (meq m ) Konsentrasi fitoplankton di tepi Sepanjang Damar (2003) laut terbuka (mmol N m ) tahun 2001 Konsentrasi zooplankton di tepi Sepanjang Damar (2003) laut terbuka (mmol N m ) tahun 2001 Konsentrasi detritus di tepi laut terbuka (mmol N m -3 )

47 Tabel 2. Data masukan model ekosistem dari pengamatan lapangan bulan Maret 2010 sebagai syarat batas terbuka. Stasiun Parameter Nitrat (mmol N m -3 ) Amonium (mmol N m -3 ) Tabel 3. Nilai awal komponen-komponen ekosistem. Parameter Waktu Nilai awal Sumber Nitrat (mmol N m -3 ) Maret Nilai minimum pengamatan lapangan Amonium (mmol N m -3 ) Maret Nilai minimum pengamatan lapangan Fitoplankton (mmol N m -3 ) Sepanjang tahun Damar (2003) Zooplankton (mmol N m -3 ) Sepanjang tahun Damar (2003) Detritus (mmol N m -3 ) Damar (2003) komponen ekosistem akan memenuhi seluruh grid pada badan air saat awal simulasi ( t 0) yang dimulai dari grid pada batas terbuka. Nilai-nilai pada batas terbuka tersebut digunakan untuk menentukan nilai kecepatan, elevasi, dan komponen-komponen ekosistem pada grid berikutnya Syarat Batas Syarat batas daerah model meliputi : syarat batas tertutup dan syarat batas terbuka. Syarat batas tertutup mengasumsikan massa air tidak akan menembus dan melewati garis pantai/daratan. Baik komponen kecepatan (U, V ), elevasi

48 ( ), maupun komponen-komponen ekosistem seperti nitrat ( NO 3 ), amonium 34 ( NH 4 ), fitoplankton ( F ), zooplankton ( Z ), dan detritus ( D ) akan diberikan nilai 0 pada syarat batas tertutup yang diekspresikan sebagai berikut : ( U, V,, NO, NH, F, Z, D) 0. (17) 3 4 Batas terbuka daerah model adalah daerah laut model yang berbatasan dengan laut terbuka. Model ini menggunakan dua batas terbuka, yaitu batas terbuka Utara dan batas terbuka Barat. Batas terbuka Utara bagian Barat laut (Northwest) dan Timur laut (Northeast) diberikan nilai elevasi pasut komponen K 1 yang diinterpolasi secara linier untuk memperoleh nilai elevasi dalam interval waktu 3 detik selama simulasi. Hal ini dilakukan karena data pasut ORI tide memiliki interval waktu 1 jam dalam proses perekaman data. Selain itu diterapkan syarat batas radiasi Orlanski sepanjang batas terbuka Utara dan batas terbuka Barat. Syarat batas ini diformulasikan untuk menghantarkan suatu sinyal ke luar daerah batas terbuka tanpa adanya refleksi (Kowalik dan Murty, 1993). Sinyal yang dimaksud dalam model ini adalah kecepatan arus dan konsentrasi komponen-komponen ekosistem seperti nitrat ( NO 3 ), amonium ( NH 4 ), fitoplankton, zooplankton, dan detritus. Persamaan syarat batas radiasi Orlanski diekspresikan sebagai berikut (Kowalik dan Murty, 1993) : Syarat batas radiasi Orlanski untuk kecepatan arus, U t c p U x 0.. (18)

49 Syarat batas radiasi Orlanski untuk komponen ekosistem, 35 C c t p C x 0... (19) dimana, U adalah komponen kecepatan arus (U dan V ), c p adalah kecepatan gelombang panjang ( 1/ 2 c p gh ), C adalah konsentrasi komponen-komponen ekosistem, dan tanda menunjukkan pola aliran masuk ( ) dan pola aliran keluar ( ). Untuk pola arus yang masuk ke dalam daerah model, maka syarat batas untuk komponen ekosistem menggunakan nilai pada Tabel 2, sedangkan pola arus yang keluar daerah model menggunakan syarat batas Orlanski.

50 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar 8, 9, 10, dan Gambar 11. Kisaran konsentrasi nitrat, amonium, fosfat, dan DO di perairan Teluk Jakarta masingmasing berturut-turut berkisar antara µga N-NO 3 l -1, µga N-NH 4 l -1, µga P-PO 4 l -1, dan mg l -1. Konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat maksimum masing-masing berturut-turut terdapat di area dekat muara Cikarang Bekasi Laut (CBL) (28.71 µga N-NO 3 l -1 ), dekat muara Goba (14.63 µga N-NH 4 l -1 ), muara Citarum (0.38 µga P-PO 4 l -1 ), sedangkan konsentrasi DO minimum terdapat di sekitar muara Goba (3.16 mg l -1 ). Secara umum pola konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat cenderung menurun signifikan ke arah laut lepas dan relatif tinggi di beberapa muara sekitar pantai Teluk Jakarta. Sebaliknya terlihat relatif homogen di area sekitar bagian tengah badan teluk hingga laut lepas. Khusus untuk pola konsentrasi fosfat terlihat relatif heterogen di bagian Barat teluk. Pola konsentrasi DO cenderung bertambah secara signifikan semakin ke arah laut lepas dan relatif rendah di sepanjang pantai Teluk Jakarta, serta terlihat relatif homogen dan cenderung tinggi di area sekitar bagian tengah badan teluk hingga laut lepas bagian Utara teluk selanjutnya relatif heterogen dan cenderung rendah di bagian Barat teluk. Jumlah penduduk DKI Jakarta dan sekitarnya yang semakin bertambah dari tahun ke tahun memacu tingginya aktifitas/kegiatan manusia di daerah ini 36

51 37 Gambar 8. Distribusi nitrat di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9. Gambar 9. Distribusi amonium di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9.

52 38 Gambar 10. Distribusi fosfat di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9. Gambar 11. Distribusi DO di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9.

53 seperti kegiatan industri, perkantoran, pertanian, perkebunan, dan domestik 39 (rumah tangga) tanpa adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dugaan ini yang menyebabkan pengaruh daratan sangat dominan dalam menyumbangkan nutrien seperti nitrat, amonium, dan fosfat dari limbah industri, perkantoran, pertanian, perkebunan, dan domestik (rumah tangga) sebagian besar melalui run off sungai di Teluk Jakarta. Kegiatan budidaya kerang hijau dan udang di sekitar pantai bagian Timur, bagian Tengah dan bagian Barat Teluk Jakarta diduga ikut meningkatkan konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat di beberapa area sepanjang pantai Teluk Jakarta. Kegiatan reklamasi pantai, pengerukan pasir, dan pembalakan pepohonan secara liar yang dapat mengakibatkan abrasi dan erosi tanah juga diduga meningkatkan konsentrasi nutrien di beberapa muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Limbah industri seperti hasil kegiatan industri obat-obatan, industri pupuk urea, industri tekstil, dan limbah domestik (rumah tangga) seperti deterjen, sampo, sabun, tinja cair (urin) serta limbah pertanian seperti pemakaian pestisida, pupuk urea juga diduga ikut berkontribusi secara signifikan meningkatkan konsentrasi nutrien di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta seperti yang terlihat dalam Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10. Damar (2003) menegaskan limbah domestik yang diproduksi oleh aktifitas manusia di perkotaan sebagian besar menyumbangkan limbah anorganik dalam bentuk amonium sedangkan aktifitas pertanian sebagian besar menyumbangkan limbah anorganik dalam bentuk nitrat secara signifikan masuk melalui sungai-sungai yang mengalir menuju Teluk Jakarta. Selain itu Muchtar (1996) menambahkan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat pada musim tertentu

54 di perairan Teluk Jakarta disebabkan karena adanya sumbangan dari daratan 40 secara signifikan melalui sungai-sungai yang mengalir menuju perairan tersebut. Faktor luar (allocthoneous) selain daratan yang diduga cukup signifikan meningkatkan konsentrasi nutrien di perairan pantai Teluk Jakarta, yaitu faktor atmosfer, seperti presipitasi oleh air hujan akan meningkatkan debit sungai (riverine discharge) sehingga memperbesar beban masuk nutrien (nutrient loads) ke muara-muara sungai menuju Teluk Jakarta serta kandungan nutrien dalam air hujan itu sendiri. Menurut Effendi (2003) air hujan menyumbangkan nitrogen berupa nitrat ke perairan sekitar 0.2 mg l -1 atau setara dengan µga N-NO 3 l -1. Selain itu, Damar (2003) mengatakan bahwa terdapat hubungan/korelasi positif antara beban masuk nutrien (nutrient loads) dengan konsentrasi nutrien di muara-muara sungai Teluk Jakarta. Pengaruh presipitasi dipertimbangkan karena pada saat pengamatan lapangan masih turun hujan sehingga cenderung masih dipengaruhi oleh musim penghujan (musim Barat). Kemudian faktor berikutnya adalah adanya pengaruh aliran dari perairan sekitar, hal ini terlihat adanya gradien konsentrasi nutrien (Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.) terutama fosfat di bagian Barat Teluk Jakarta. Selain faktor luar (allocthoneous), faktor dari dalam perairan (autothoneous) diduga cukup signifikan meningkatkan kembali konsentrasi nutrien di permukaan laut. Kegiatan heterotrofik seperti aktifitas bakteri dekomposer yang menguraikan komponen-komponen organik mati menjadi komponen-komponen anorganik dalam kondisi aerob di zona eufotik diduga ikut meningkatkan konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat namun menurunkan

55 41 konsentrasi oksigen di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Konsentrasi nutrien; nitrat, amonium, dan fosfat yang relatif homogen di bagian Tengah badan teluk sampai laut lepas bagian Utara teluk serta nilai konsentrasi yang cenderung berkurang signifikan ke arah laut lepas diduga adanya transpor massa air dari perairan sekitar. Massa air tersebut mengalir sepanjang tahun ke Samudera Hindia akibat pengaruh gradien muka air laut antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia (Wyrtki, 1961) masuk ke Teluk Jakarta cenderung melalui laut Jawa membawa massa air yang memiliki konsentrasi nutrien relatif lebih rendah lalu bertemu dengan massa air di dalam teluk yang memiliki konsentrasi nutrien relatif lebih tinggi kemudian mengalami pengenceran (dilution) dan cenderung terdispersi. Koropitan et al. (2009) menyatakan influks dari laut terbuka memegang peranan penting dalam mengontrol dissolved inorganic nitrogen (DIN) di Teluk Jakarta. Selain itu, dugaan lain adalah adanya pemanfaatan nutrien oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Konsentrasi nitrat yang cenderung rendah di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta diduga adanya kegiatan autotrofik seperti aktifitas fotosintesis oleh fitoplankton. Kemudian konsentrasi amonium yang cenderung rendah di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta selain dari aktifitas fotosintesis juga diduga ada kegiatan autotrofik lain seperti aktifitas bakteri nitrifikasi yang mengubah amonium menjadi nitrat untuk kebutuhan energi dalam kondisi aerob. Konsentrasi fosfat yang cenderung rendah di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta selain dari

56 aktifitas fotosintesis juga diduga adanya sumbangan limbah domestik dan 42 pertanian berupa organik deterjen dan pupuk dalam bentuk polifosfat (Sanusi, 2006) yang cukup signifikan dimana senyawa ini dipengaruhi oleh suhu dan ph dalam proses hidrolisis menjadi ortofosfat (Effendi, 2003). Selain itu, konsentrasi nutrien (nitrat, amonium, fosfat) yang cenderung rendah juga dapat disebabkan oleh adanya proses adsorbsi oleh bahan-bahan tersuspensi kemudian terendapkan di dasar perairan. Faktor fisik seperti adveksi (arus), pasut, pengadukan vertikal (vertical mixing), dan angin memegang peranan penting dalam proses tranpor nutrien dan pertukaran nutrien permukaan dengan nutrien dasar laut. Karakteristik perairan Teluk Jakarta yang relatif sempit dan relatif dangkal akan cenderung menimbulkan pengadukan vertikal secara intensif yang dipengaruhi kuat oleh arus pasut (Mann dan Lazier, 1996). Peningkatan konsentrasi nutrien di area dekat muara sungai (perairan relatif lebih landai) Teluk Jakarta juga dapat diduga karena adanya pengadukan vertikal yang intensif mengangkut nutrien dasar laut menuju permukaan laut akibat pengaruh angin dan arus pasut. Dugaan ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Koropitan dan Ikeda (2008) menyatakan pengadukan vertikal (vertical mixing) di Teluk Jakarta dipengaruhi kuat oleh pengadukan pasut (tidal mixing) dengan arus pasut komponen K 1 bersifat dominan dibawah pengaruh angin muson. Secara umum konsentrasi oksigen terlarut (DO) pengamatan lapangan terlihat cenderung rendah terutama di sepanjang pantai Teluk Jakarta, hal ini diduga adanya kegiatan respirasi yang intensif oleh hewan-hewan laut dan fitoplankton yang mendiami Teluk Jakarta terutama saat malam hari. Kondisi ini

57 kemungkinan ada kaitannya dengan fluktuasi harian (diurnal) oksigen terlarut 43 dimana pada saat pengamatan lapangan dilakukan pagi hari sekitar pukul sampai pukul Konsentrasi oksigen terlarut cenderung tinggi pada sore hari dan cenderung rendah pada pagi hari (Effendi, 2003). Selain itu juga konsentrasi oksigen terlarut (DO) yang cenderung rendah di sepanjang pantai Teluk Jakarta diduga adanya intensifikasi bahan organik sehingga memacu kegiatan autotrofik dan heterotrofik seperti aktifitas bakteri nitrifikasi dan bakteri dekomposer yang memanfaatkan oksigen terlarut (DO) di permukaan laut dalam kondisi aerob. Kondisi ini kemungkinan didukung oleh sirkulasi massa air horisontal di sekitar muara sungai yang relatif lambat, diduga arus permukaan di sekitar area tersebut cenderung kecil pada saat itu sehingga menghambat pertukaran oksigen terlarut melalui proses adveksi dan difusi dengan faktor fisik lain seperti suhu dan salinitas dianggap relatif konstan. Mengenai konsentrasi oksigen terlarut yang relatif homogen dan cenderung tinggi di bagian Tengah badan teluk sampai laut lepas bagian Utara teluk diduga ada hubungannya dengan kelimpahan fitoplankton dan arus permukaan yang cenderung relatif lebih cepat sehingga menyebabkan peningkatan laju pertukaran oksigen terlarut secara adveksi dan difusi dengan faktor fisik lain seperti suhu dan salinitas dianggap relatif konstan. Konsentrasi oksigen terlarut yang relatif heterogen dan cenderung rendah di bagian Barat teluk diduga adanya sumbangan komponen organik mati dari perairan sekitar sehingga memacu kegiatan autotrofik dan heterotrofik seperti aktifitas bakteri nitrifikasi dan bakteri dekomposer di zona eufotik dalam kondisi aerob.

58 4.2. Perbandingan Hasil Model dan Data Pengamatan Lapangan Arus Hasil model arus 2 dimensi (perata-rataan terhadap kedalaman) bulan Maret sampai Mei disajikan pada Gambar 12. Secara umum pola arus terlihat bergerak masuk dari arah Barat kemudian keluar pada batas laut terbuka Utara atau di bagian Timur Teluk Jakarta. Kecepatan arus relatif besar (lebih cepat) pada batas laut terbuka Barat dan sepanjang batas laut terbuka Utara teluk dengan kecepatan arus maksimum sebesar 19 cm s -1. Kemudian cenderung mengecil (lebih lambat) pada bagian tengah teluk hingga sepanjang pantai teluk mengikuti kondisi batimetri yang ada. Pola arus yang bergerak menuju Timur, hal ini karena pengaruh kuat angin muson yang bertiup dari arah Barat Laut dominan membawa massa air masuk ke batas laut terbuka Barat dan mengalir sepanjang batas laut terbuka Utara teluk kemudian sebagian cenderung menyebar ke tengah sampai sepanjang pantai teluk selanjutnya keluar menuju batas laut terbuka Utara sekitar bagian Timur teluk. Selain itu, hasil model ini menunjukkan bahwa musim peralihan I ( bulan Maret sampai bulan Mei) masih dipengaruhi kuat oleh angin Barat Laut (musim Barat). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hadikusumah (2008) yang menyimpulkan bahwa arah arus pada bulan Maret dan bulan Mei (Masa Peralihan Satu) cenderung masih dipengaruhi oleh musim Barat. Kecepatan arus yang relatif besar (lebih cepat) pada batas laut terbuka Barat dan sepanjang batas laut terbuka Utara, hal ini karena adanya pengaruh perbedaan elevasi/tinggi muka air yang signifikan pada area batas terbuka Barat dan Utara dengan laut lepas. Perbedaan elevasi/tinggi muka air laut ini

59 45 19 cm s -1 Gambar 12. Pola arus 2 dimensi (perata-rataan kedalaman) hasil model bulan Maret sampai Mei dengan Transform 3.3. disebabkan oleh pengaruh gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model. Gelombang panjang permukaan yang menjalar dari perairan laut sekitar (kedalaman perairan relatif lebih dalam/curam) sebagian energinya tereduksi oleh efek gesekan dasar ketika masuk ke Teluk Jakarta (kedalaman perairan relatif lebih dangkal/landai) melalui batas laut terbuka Barat dan batas laut terbuka Utara sehingga elevasi/tinggi muka air laut pada area batas laut terbuka teluk akan cenderung membesar (lebih tinggi) dan menimbulkan perbedaan tekanan hidrostatik yang signifikan. Hal inilah yang menyebabkan arus pada batas terbuka Barat dan Utara teluk relatif lebih cepat.

60 Kecepatan arus yang cenderung mengecil (lebih lambat) pada bagian 46 tengah teluk dan sepanjang pantai teluk, hal ini disebabkan oleh pengaruh gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model. Efek gesekan dasar terlihat mempengaruhi besarnya kecepatan arus pada perairan laut dangkal/landai khususnya di perairan Teluk Jakarta. Pada penelitian ini, pola arus hasil model tidak divalidasi dengan data lapangan karena model yang digunakan merupakan simplifikasi yaitu menggunakan pendekatan perata-rataan terhadap kedalaman. Namun, pada penelitian Koropitan et al. (2009), model yang sama diaplikasikan berdasarkan pendekatan 3-dimensi sehingga hasil validasi arus pasut yang diukur di lapangan memberikan hasil yang baik Pola Sebaran Nutrien Hasil model dan pengamatan lapangan amonium dan nitrat dalam bentuk satuan mmol N m -3 /µm bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar 12. dan Gambar 13. Secara umum pola sebaran amonium dan nitrat hasil model mendekati pola sebaran pengamatan lapangan, yaitu cenderung berkurang ke arah laut lepas dan cenderung tinggi di beberapa titik dekat muara sungai Teluk Jakarta. Namun hasil model amonium agak berbeda terutama pada nilai konsentrasi amonium sepanjang muara sungai Teluk Jakarta. Nilai konsentrasi amonium dan nitrat hasil model yang diperoleh relatif lebih tinggi daripada pengamatan lapangan. Konsentrasi amonium prediksi (model) cenderung tinggi pada enam titik di muara sungai bagian Timur, bagian Tengah, dan bagian Barat Teluk Jakarta sebesar 7.27 mmol N m -3 masing-masing, yaitu muara Citarum, muara Mati,

61 47 (a) (b) Gambar 13. Pola sebaran amonium. (a) hasil model dengan Transform 3.3 dan (b) hasil pengamatan lapangan bulan Maret 2010 dengan Surfer 9.

62 48 (a) (b) Gambar 14. Pola sebaran nitrat. (a) hasil model dengan Transform 3.3 dan (b) hasil pengamatan lapangan bulan Maret 2010 dengan Surfer 9.

63 muara CBL (Cikarang Bekasi Laut), muara Marunda (Timur), muara Sunter, 49 muara Tanjung Priok (Tengah), dan muara Angke (Barat). Nilai konsentrasi amonium prediksi (model) berkurang signifikan sebesar 2.80, 1.68, 1.66, 1.65, dan 1.63 mmol N m -3 ke arah batas laut Utara teluk. Pola konsentrasi amonium prediksi (model) terlihat cenderung dominan mengarah ke bagian Timur Teluk Jakarta. Konsentrasi nitrat prediksi (model) cenderung tinggi pada lima titik di muara sungai bagian Timur dan bagian Tengah Teluk Jakarta sebesar 8.26 mmol N m -3 masing-masing, yaitu muara Citarum, muara Mati, muara CBL (Cikarang Bekasi Laut), muara Marunda (Timur), muara Sunter, dan muara Tanjung Priok (Tengah). Nilai konsentrasi nitrat prediksi (model) berkurang signifikan sebesar 3.65, 0.93, 0.51, 0.46, dan 0.43 mmol N m -3 ke arah batas laut Utara teluk. Pola konsentrasi nitrat prediksi (model) terlihat cenderung dominan mengarah ke bagian Timur Teluk Jakarta. Konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) yang cenderung tinggi di sepanjang pantai dan muara sungai Teluk Jakarta menunjukkan bahwa debit sungai (riverine discharge) adalah sumber utama penyuplai nutrien. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damar (2003) menyatakan beban nutrien (nutrient loads) memiliki hubungan/korelasi positif dengan konsentrasi nutrien di muara sungai Teluk Jakarta. Konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) berkurang signifikan ke arah batas laut Utara teluk. Hal ini menunjukkan pengaruh batas laut Utara lebih dominan dalam mengontrol transpor nutrien (amonium dan nitrat) daripada batas laut Barat di Teluk Jakarta. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh input

64 nutrien pengamatan lapangan yang diberikan pada batas terbuka Utara lebih 50 representatif daripada batas terbuka Barat, yaitu sebanyak lima data pengamatan masing-masing dari stasiun 38, 32, 19, 18, 7 (lihat Gambar 3) yang diasumsikan mewakili masukan nutrien dari laut sepanjang batas terbuka Utara sedangkan pada batas terbuka Barat hanya diberikan satu data pengamatan lapangan, yaitu pada stasiun 38 (lihat Gambar 3). Hal ini dilakukan karena kurang representatifnya data pengamatan lapangan pada batas terbuka Barat. Sehingga pengaruh transpor nutrien (amonium dan nitrat) dari batas terbuka Barat dalam model ini belum terlihat signifikan terhadap pola sebaran nutrien (amonium dan nitrat) di Teluk Jakarta. Koropitan et al. (2009) menyatakan influks dari laut terbuka memegang peranan penting dalam mengontrol DIN (dissolved inorganic nitrogen) di Teluk Jakarta dan Damar (2003) menyimpulkan influks dari laut terbuka memegang peranan penting dalam mengontrol ekosistem di Teluk Jakarta. Pola konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) yang cenderung dominan mengarah ke bagian Timur Teluk Jakarta karena pengaruh kuat angin Barat Laut membawa nutrien dari laut terbuka ke bagian Timur Teluk Jakarta sehingga memicu intensifikasi konsentrasi nutrien di sekitar muara sungai bagian Timur Teluk Jakarta. Kecuali pada muara Citarum, konsentrasi nutrien secara langsung keluar ke laut terbuka. Pola sebaran konsentrasi amonium prediksi (model) agak berbeda dengan pola sebaran pengamatan lapangan terutama pada konsentrasi muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurang representatifnya data pengamatan lapangan di sekitar muara sungai. Nilai konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) relatif lebih tinggi daripada nilai

65 konsentrasi pengamatan lapangan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh input 51 amonium dan nitrat pada model menggunakan data pengamatan tahun 2001 sedangkan data pengamatan lapangan tahun 2010, serta asumsi yang diterapkan dalam model ekosistem. Salah satu kemungkinan yang paling berpengaruh adalah debit sungai (riverine discharge) yang diasumsikan mengalir konstan sepanjang tahun di Teluk Jakarta.

66 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Pola arus hasil model menunjukkan bahwa pengaruh angin sangat dominan mempengaruhi arah arus dan arah arus pada musim peralihan I, yaitu bulan Maret sampai bulan Mei masih dipengaruhi kuat oleh angin Barat Laut (musim Barat). Pada tinjauan lain, efek gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model mempengaruhi kecepatan arus di perairan dangkal khususnya di Teluk Jakarta. Secara umum pola sebaran amonium dan nitrat hasil model mendekati pola sebaran pengamatan lapangan, yaitu cenderung berkurang ke arah laut lepas dan cenderung tinggi di beberapa muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Namun hasil model amonium agak berbeda terutama di muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta karena kemungkinan kurang representatifnya data pengamatan lapangan. Selain itu, nilai konsentrasi amonium dan nitrat hasil model yang diperoleh relatif lebih tinggi daripada pengamatan lapangan karena kemungkinan input yang dimasukkan dalam model dan asumsi yang diterapkan dalam model ekosistem. Pengaruh daratan terlihat mempengaruhi pola konsentrasi nutrien di sepanjang pantai Teluk Jakarta baik hasil model maupun pengamatan lapangan. Namun pengaruh dari perairan sekitar juga ikut mempengaruhi pola konsentrasi nutrien di Teluk Jakarta. 52

67 5.2. Saran 53 Untuk penelitian selanjutnya, dalam membangun model ekosistem beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu penerapan asumsi terhadap model yang dibangun, input data yang dimasukkan dalam model, serta pemilihan nilainilai koefisien proses biokimiawi yang cocok untuk perairan Indonesia khususnya Teluk Jakarta agar menghasilkan model yang lebih relevan, reasonable, dan reliable. Selain itu perlu menyiapkan data pengamatan lapangan yang memadai agar dapat dilakukan penghitungan neraca/budget kompartemen ekosistem sehingga dapat mengestimasi kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta serta model dapat dilakukan validasi sehingga model tersebut dapat diuji keakuratannya.

68 DAFTAR PUSTAKA Aita, M. N., Y. Yamanaka, and M. J. Kishi Effects of Ontogenetic Vertical Migration of Zooplankton on Annual Primary Production-Using NEMURO Embedded in a General Circulation Model. Fish. Ocenogr. 12: Alongi, D. M Coastal Ecosystem Processes. CRC Press LLC. New York. 419 pp. Andersen, V., dan A. Heibig Modelling Nitrate and Ammonium Uptake by Phytoplankton. Influence of the Formulation in an Ecosystem Model. Bull. de la Soci. Roy. des Sci. de Liè., 67: Arifin, Z Local Mellineum Ecosystem Assessment: Condition and Trends of the Greater Jakarta Bay Ecosystem. Report Submitted to the Ministry of Environment, Republic of Indonesia. Jakarta. 33 pp. Arifin, Z Kajian Kecenderungan Perubahan Kontaminan Logam Berat di Perairan Teluk Jakarta. Dalam: Aziz, A., Ruyitno, A. Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana (eds.). Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. P2O-LIPI: Bishop, J. M Applied Oceanography. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York. 252 pp. BPLHD Kegiatan Pemantauan Kualitas Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya. Chapra, C. S Surface Water-Quality Modeling. McGraw-Hill Companies, Inc. Singapore. 850 pp. Damar, A Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Waters: a Comparison between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. PhD Thesis, Christian-Albrechts Universität, Kiel. Germany. 249 pp. Effendi, H Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Fennel, W., dan T. Neumann Introduction to the Modelling of Marine Ecosystems. Elsevier B. V. Amsterdam. 297 pp. 54

69 55 Hadikusumah, Perubahan Massa Air Kaitannya dengan Perubahan Iklim Global di Teluk Jakarta. Dalam: Aziz, A., Ruyitno, A. Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana (eds.). Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. P2O-LIPI: Hutagalung, H. P., dan A. Rozak, Metode Analisis Air Laut, Sedimen, dan Biota. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. 182 pp. Jorgensen, S. E., dan G. Bendoricchio Fundamentals of Ecological Modelling (third ed.). Elsevier Science Ltd. Amsterdam. 530 pp. Kawamiya, M., M. J. Kishi, Y. Yamanaka, and N. Suginohara An Ecological-Physical Coupled Model Applied to Station Papa. J. Oceanogr. 51: Koropitan, F. A., dan M. Ikeda Three-Dimensional Modelling of Tidal Circulation and Mixing over the Java Sea. J. Oceanogr., 64: Koropitan, F. A., M. Ikeda, A. Damar, and Y. Yamanaka Influences of Physical Processes on the Ecosystem of Jakarta Bay: a Coupled Physical- Ecosystem Model Experiment. ICES J. Mar. Sci., 66: Kowalik, Z., dan T. S. Murty Numerical Modelling of Ocean Dynamics. Advance Series on Ocean Engineering. Vol. 5. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Singapore. 481 pp. Livingston, R. J Eutrophication Processes in Coastal Systems. Origin and Succession of Plankton Blooms and Effects on Secondary Production in Gulf Coast Estuaries. CRC Press LLC. Washington, D.C. 327 pp. Lung, W. S Water Quality Modeling. Vol. III: Application to Estuaries. CRC Press. Boca Raton. 194 pp. Mann, K. H., dan J. R. N. Lazier Dynamics of Marine Ecosystems: Biological-Physical Interactions in the Oceans (second ed.). Blackwell Science, Inc. Oxford. 394 pp. Mellor, G. L Users Guide for a Three Dimensional, Primitive Equation, Numerical Ocean Model. Princeton University. Miller, C. B Biological Oceanography. Blackwell Science Ltd. Oxford. 392 pp.

70 56 Muchtar, M Kandungan Zat Fosfat dan Nitrat di Perairan Teluk Jakarta. Dalam: D.P. Praseno dan W.S. Atmadja (eds.). Inventarisasi dan Evaluasi Lingkungan Pesisir Oseanografi, Geologi, Biologi, dan Ekologi. P2O-LIPI: Nontji, A Plankton Laut. LIPI Press. Jakarta. 331 hal. Nybakken, J. W Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta. 459 hal. Odum, P. E Dasar-dasar Ekologi, edisi ketiga. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Hal Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. 697 hal. Pond, S., dan G. L. Pickard Introductory Dynamical Oceanography (second ed.). Pergamon Press, Oxford. England. 329 pp. Ramming, H. G., dan Z. Kowalik Numerical Modelling of Marine Hydrodynamics : Application to Dynamic Physical Processes. Elsevier Scientific Company. Amsterdam. 368 pp. Raymont, J. E. G Plankton and Productivity in the Oceans. Pergamon Press Ltd. Oxford. 660 pp. Ricklefs, R. E Ecology (second ed.). Thomas Nelson and Sons Ltd. New York. 950 pp. Riley, J. P., dan R. Chester Introduction to Marine Chemistry. Academic Press. London. 465 pp. Sanusi, S. H Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta. 188 hal. Setyapermana, D., dan A. Nontji Pengamatan Musiman Seston dan Klorofil Fitoplankton di Teluk Jakarta selama Periode November Dalam: D.P. Praseno dan W. Kastoro (eds). Hasil Pemonitoran Kondisi Perairan Teluk Jakarta Tahun LON-LIPI: Sidabutar, T Kondisi Plankton di Teluk Jakarta: Kajian Perubahan Ekosistem Perairan Teluk Jakarta. Dalam: Ruyitno, Suyarso dan A. Budiyanto (eds.). Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. P2O-LIPI: Stewart, R. H Introduction to Physical Oceanography (spring ed.). Department of Oceanography. Texas A&M University. 341 pp.

71 57 Strickland, J. D. H., dan T. R. Parsons A Practical Handbook of Sea Water Analysis. Bull. Fish. Res. Bd. Can. 311 pp. Sutomo, A. B., Q. Adnan, dan Ermaitis Pelacakan Noctiluca miliaris Suriray di Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. PUSLITBANG OSEANOLOGI-LIPI: Valiela, I Marine Ecological Processes (second ed.). Springer-Verlag. New York. 686 pp. Wyrkti, K Physical Oceanography of South East Asian Water. Naga Report. Vol 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 pp. Yamanaka, Y., N. Yoshie, M. Fujii, M. N. Aita, and M. J. Kishi An Ecosystem Model Coupled with Nitrogen-Silicon-Carbon Cycles Applied to Station A7 in the Northwestern Pacific. J. Oceanogr. 60: Yanagi, T., K. Inoue, S. Montani, dan M. Yamada Ecological Modeling as a Tool for Coastal Zone Management in Dokai Bay, Japan. J. Mar. Sys., 13: Yanagi, T Coastal Oceanography. Terra Scientific Publishing Company. Tokyo. 162 pp.

72 LAMPIRAN

73 Lampiran 1. Dokumentasi 59 Foto kegiatan survei Kapal survei. Persiapan sebelum survei. Pemindahan contoh air laut dari sampler ke dalam botol. Penyaringan contoh air laut. Pemberian larutan kimia ke dalam contoh air laut.

74 lanjutan lampiran 1 60 Makan siang bersama dengan staf peneliti P2O-LIPI. Foto alat-alat penelitian Spektrofotometer. Kolom reduksi. Pipet otomatis 5 ml. Buret + vibrator.

75 lanjutan lampiran 1 61 Vacuum pump. Nansen. Botol polyetilen. Botol BOD 100 ml. Personal Computer (PC) untuk simulasi model.

76 Lampiran 2. Prinsip Pengukuran Kualitas Air Laut. 62 Prinsip-prinsip pengukuran kualitas air laut untuk parameter kimia seperti oksigen terlarut (dissolved oxygen), fosfat, nitrat, dan amonium dideskripsikan sebagai berikut (Strickland dan Parsons, 1968; Hutagalung dan Rozak, 1997) : Oksigen terlarut ( O 2 ) Prinsip penentuan kadar oksigen dalam air laut dilakukan dengan metode titrasi (iodometri) yaitu didasarkan pada pembentukan molekul iodin ( I 2 ). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Winkler yang didasarkan pada terbentuknya endapan putih mangan hidroksida ( MnOH 2 ) yang merupakan hasil reaksi suatu hidroksida ( NaOH ) dengan mangan klorida MnCl ) dalam larutan basa kuat. Endapan pereduksi ( MnOH 2 ( 2 ) dalam larutan yang bersifat basa kuat merupakan senyawa yang tidak stabil sehingga segera dioksidasi oleh oksigen yang terdapat dalam contoh air laut membentuk endapan kuning kecoklatan ( MnOH 3 ). Banyaknya MnOH 3 yang terbentuk ekivalen dengan banyaknya O 2 yang terdapat dalam contoh air laut. Persamaan reaksi kimia yang terjadi adalah : MnCl 2 2 NaOH Mn( OH ) 2 2NaCl (endapan putih) 1 2 Mn( OH ) 2 O2 H2O 2MnOH 3 2 (endapan coklat) Setelah proses pengendapan sempurna, larutan contoh diasamkan dengan asam kuat ( H2SO 4). Dalam larutan yang bersifat asam kuat, endapan

77 lanjutan lampiran 2 63 ( 3 3 Mn OH ) larut kembali dan melepaskan ( Mn ) yang bersifat oksidator kuat, sehingga akan mengoksidasi ion iodida ( I ) dari garam ( KI ) menjadi iodin ( I 2 ) bebas membentuk larutan berwarna kuning kecoklatan. 2 Mn( OH ) 3 3H2SO4 2KI 2MnSO 4 6H2O K2SO4 I2 (larutan kuning kecoklatan) Iodin ( I 2 ) kemudian dititrasi dengan natrium tio-sulfat ( Na2S2O 3 ), sehingga natrium tiosulfat teroksidasi menjadi natrium tetrationat sedangkan iodin tereduksi menjadi ion iodida ( I ). Untuk menentukan titik akhir titrasi menggunakan indikator kanji (amilum). Iodin ( I 2 ) bereaksi dengan kanji membentuk senyawa kompleks berwarna biru. Titrasi dihentikan pada saat warna biru hilang dan larutan contoh menjadi tidak berwarna. Banyaknya iodin ( I 2 ) yang terbentuk ekivalen dengan banyaknya larutan natrium tiosulfat yang terpakai dalam titrasi. Dengan demikian banyaknya molekul oksigen terlarut ( O 2 ) dalam contoh air laut ekivalen dengan banyaknya larutan natrium tiosulfat yang dipakai untuk titrasi. I2 2Na2S2O3 Na2S4O8 2NaI (larutan tidak berwarna) Fosfat (P-PO 4 ) Fosfat yang diukur adalah dalam bentuk ortofosfat menggunakan metode spektrofotometrik dengan panjang gelombang 885 nm. Prinsipnya didasarkan pada pembentukan senyawa kompleks fosfomolibdat berwarna biru. Dalam suasana asam kuat, senyawa ortofosfat dalam contoh air laut bereaksi dengan amonium molibdat membentuk senyawa kompleks

78 lanjutan lampiran 2 64 amonium fosfomolibdat berwarna kuning. Dengan adanya reduktor asam askorbat, senyawa amonium fosfomolibdat direduksi menjadi senyawa kompleks fosfomolibdat berwarna biru. Absorbansi senyawa fosfomolibdat tersebut berbanding lurus dengan kadar ortofosfat dalam contoh air laut. Nitrat (N-NO 3 ) Penentuan kadar nitrat dalam contoh air laut menggunakan metode spektrofotometrik dengan panjang gelombang 543 nm. Prinsipnya didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit. Kadar nitrat ini tidak dapat secara langsung diketahui namun terlebih dahulu direduksi menjadi nitrit menggunakan kolom berisi kadmium (Cd). Senyawa nitrit yang terbentuk bereaksi dengan larutan sulfanilamid membentuk senyawa diazonium. Banyaknya senyawa diazonium ekivalen dengan senyawa nitrit yang terbentuk dalam contoh air laut. Dalam suasana asam lemah senyawa diazonium bereaksi dengan larutan N-(1-naptil)-etilendiamindihidroklorid atau NED membentuk senyawa kompleks azo berwarna merah muda. Banyaknya senyawa kompleks azo ekivalen dengan banyaknya senyawa diazonium sehingga ekivalen dengan senyawa nitrit dalam contoh air laut. Absorbansi senyawa kompleks azo berbanding lurus dengan kadar nitrit dalam contoh air laut. Kadar nitrat dalam contoh air laut adalah selisih kadar nitrit hasil kolom reduksi dengan kadar nitrit dalam contoh air laut. Amonium (N-NH 4 ) Penentuan kadar amonium dalam contoh air laut tidak dapat diukur secara langsung namun terlebih dahulu melalui metode penentuan amoniak

79 lanjutan lampiran 2 65 berdasarkan metode spektrofotometrik dengan panjang gelombang 630 nm. Prinsipnya didasarkan pada pembentukan senyawa indofenol berwarna biru. Dalam suasana basa, amoniak dalam contoh air laut bereaksi dengan fenol dan hipoklorit membentuk senyawa indofenol berwarna biru. Untuk mempercepat reaksi pembentukan senyawa indofenol biru dan meningkatkan sensitifitasnya ditambahkan katalisator ion nitropusside. Absorbansi senyawa indofenol berbanding lurus dengan kadar amoniak dalam contoh air. Metode ini menghasilkan kandungan total amoniak, dimana mengandung NH dan NH 4 3. Penghitungan kadar amonium dalam contoh air laut dapat diekspresikan sebagai berikut : 4 NH = (absorbansi contoh absorbansi blanko) x 5 (absorbansi contoh + absorbansi standar) absorbansi contoh

80 Lampiran 3. Pengkonversian satuan 66 Komponen-komponen ekosistem baik diperoleh dari pengamatan lapangan maupun literatur terlebih dahulu dilakukan konversi satuan kedalam bentuk mmol N m -3 sebelum dimasukkan ke dalam model sebagai data masukan/input. Proses konversi satuan tiap komponen-komponen ekosistem dijelaskan sebagai berikut : 1. Nutrien (nitrat, amonium, fosfat) Data nutrien yang diperoleh dari pengamatan lapangan dalam bentuk satuan gat.n-no 3 l -1 maka perlu dikonversi menjadi mmol N m -3. Nitrat gat.n-no 3 l -1 =... mmol N m -3 Pertama dikonversi kedalam bentuk g N-NO 3 l -1 dengan mengalikan berat atom/atom relatif nitrogen, yaitu gat.n-no 3 l -1 x 14 = g N-NO 3 l -1 kemudian dikonversi kedalam bentuk mol N l -1 dengan membagi berat molekul/massa relatif NO 3, yaitu gn-no 3 l -1 : 62 = 2.73 mol N l -1 setara dengan 2.73 mmol N m -3 Cara yang sama dilakukan untuk amonium dan fosfat. 2. Fitoplankton Data fitoplankton yang diperoleh dari literatur dalam bentuk satuan g Chl- l -1 maka perlu dikonversi menjadi mmol N m g Chl- l -1 =... mmol N m -3 Pertama dikonversi kedalam bentuk g C l -1 dengan mengalikan 50 (lihat subbab 3.4)

81 lanjutan lampiran g Chl- l -1 x 50 = 13.5 g C l -1 kemudian dikonversi kedalam bentuk mol C l -1 dengan membagi berat atom/atom relatif karbon, yaitu g C l -1 : 12 = mol C l -1 selanjutnya dikonversi kedalam bentuk mol N l -1 dengan mengalikan (lihat subbab 3.4) mol C l -1 x = 0.17 mol N l-1 setara dengan 0.17 mmol N m Zooplankton Zooplankton yang diperoleh dari literatur dalam bentuk ind. m -3 maka perlu dikonversi menjadi mmol N m ind. m -3 setara dengan g C m -3 (lihat subbab 3.4) g C m -3 =... mmol N m -3 Pertama dikonversi kedalam bentuk mol C m -3 dengan membagi berat atom/atom relatif karbon, yaitu g C m -3 : 12 = 1100 mol C m -3 kemudian dikonversi kedalam bentuk mol N m -3 dengan mengalikan (lihat subbab 3.4) 1100 mol C m -3 x = mol N m-3 selanjutnya dikonversi kedalam bentuk mmol N m -3 dengan mengalikan mol N m -3 x 10-3 = 0.17 mmol N m -3

82 Lampiran 4. Data pengamatan lapangan 68 Tabel 1. Data hasil pengukuran nitrat, amonium, fosfat, dan oksigen terlarut (DO) pada bulan Maret (musim peralihan I) 2010 di Teluk Jakarta. Tanggal Jam Bujur Lintang Stasiun Fosfat Nitrat Amonium DO (µg at./l) (µg at./l) (µg at./l) ml/l 20 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Mei

83 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sukabumi tanggal 10 Oktober 1988 dari pasangan Bapak Kusnadi dan Ibu Yani Rohayani. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 97 (SMAN 97) Ciganjur, Jakarta Selatan. Pada tahun yang sama, penulis meneruskan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengajar selama tiga tahun sebagai asisten beberapa mata kuliah, yaitu asisten mata kuliah Dasar-Dasar Instrumentasi Kelautan tahun , asisten luar biasa mata kuliah Oseanografi Kimia tahun , dan asisten mata kuliah Oseanografi Terapan tahun Selain itu, penulis pernah menjadi anggota klub Marine Instrument and Telemetry (MIT) tahun , ketua panitia lapangan (fieldtrip) mata kuliah Pemetaan Sumber Daya Hayati Laut tahun 2009, dan koordinator asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Kimia tahun Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pemodelan Sebaran Nutrien dengan Pendekatan Model Perata-rataan terhadap Kedalaman (Depth Averaged) di Teluk Jakarta sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011.

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu tahapan pertama kegiatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

Pemberian larutan kimia ke dalam contoh air laut.

Pemberian larutan kimia ke dalam contoh air laut. LAMPIRAN Lampiran 1. Dokumentasi 59 Foto kegiatan survei Kapal survei. Persiapan sebelum survei. Pemindahan contoh air laut dari sampler ke dalam botol. Penyaringan contoh air laut. Pemberian larutan kimia

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung

Lampiran 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung 121 Lampiran 1 Parameterisasi untuk siklus nutrien umum yang disimulasikan dalam simulasi CAEDYM di Teluk Lampung Parameter Deskripsi Satuan Nilai yang digunakan Koefisien ekstingsi cahaya pada air alami

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG F1 08 Nurul Latifah 1)*), Sigit Febrianto 1), Churun Ain 1) dan Bogi Budi Jayanto 2) 1) Program Studi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Morotai bagian selatan, Maluku Utara (Gambar 1) pada Bulan September 2012 dengan Kapal Riset Baruna Jaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp.

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. GESHA YULIANI NATTASYA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 20-27 Maret 2010 dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali B. Priyono, A. Yunanto, dan T. Arief Balai Riset dan Observasi Kelautan, Jln Baru Perancak Negara Jembrana Bali Abstrak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air Air merupakan materi yang paling berlimpah, sekitar 71 % komposisi bumi terdiri dari air, selain itu 50 % hingga 97 % dari seluruh berat tanaman dan hewan terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 EKOSISTEM Topik Bahasan: Aliran energi dan siklus materi Struktur trofik (trophic level) Rantai makanan dan

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI Transpor sedimen pada bagian ini dipelajari dengan menggunakan model transpor sedimen tersuspensi dua dimensi horizontal. Dimana sedimen yang dimodelkan pada penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmiah Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran

Lebih terperinci

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM 1. Interaksi antar Organisme Komponen Biotik Untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan, setiap organisme melakukan interaksi tertentu dengan organisme lain. Pola-pola

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara kita sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi. Di dalam pembangunan ekonomi, di negara yang sudah maju sekalipun selalu tergantung pada sumberdaya

Lebih terperinci

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C)

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) Berkaitan dengan siklus oksigen Siklus karbon berkaitan erat dengan peristiwa fotosintesis yang berlangsung pada organisme autotrof dan peristiwa respirasi yang

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fitoplankton Chaetoceros sp. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum Heterokontophyta, kelas Bacillariophyta) berbentuk uniseluler, walaupun demikian terdapat

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pantai Kawasan pantai (coastal zone) merupakan zona transisi yang berhubungan langsung antara ekosistem laut dan darat (terrestrial). Kawasan pantai dan laut paparan menyediakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR LIMBAH KANTIN SECARA BIOLOGI : SUATU KAJIAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN Bacillus sp. DAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica)

PENGOLAHAN AIR LIMBAH KANTIN SECARA BIOLOGI : SUATU KAJIAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN Bacillus sp. DAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica) PENGOLAHAN AIR LIMBAH KANTIN SECARA BIOLOGI : SUATU KAJIAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN Bacillus sp. DAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica) WIDIA NUR ULFAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

Biogeokimia adalah pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup.

Biogeokimia adalah pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup. SIKLUS BIOGEOKIMIA Biogeokimia adalah pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup. Dalam suatu ekosistem, materi pada setiap tingkat trofik tidak hilang.

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai

Lebih terperinci

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR

DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR DAUR AIR, CARBON, DAN SULFUR Daur Air/H 2 O (daur/siklus hidrologi) 1. Air di atmosfer berada dalam bentuk uap air 2. Uap air berasal dari air di daratan dan laut yang menguap (evaporasi) karena panas

Lebih terperinci