PENYUSUNAN KAJIAN PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYUSUNAN KAJIAN PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI"

Transkripsi

1 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 PENYUSUNAN KAJIAN PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banyuwangi dengan PUSAT KAJIAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH (PK2ND) Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2015 i

2 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Maksud dan Tujuan Kegiatan Sasaran Kegiatan... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan mengenai Daya Saing Daya Saing Daerah Indikator utama daya saing daerah Faktor Penentu Daya Saing... 4 BAB 3 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lingkup Penelitian Sumber Data Metode Pengumpulan Data Instrumen Pengumpulan Data... 7 BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BANYUWANGI Kondisi Geografis Wilayah Pemerintahan Kependudukan dan Ketenagakerjaan Sosial Ekonomi BAB 5 IDENTIFIKASI POTENSI DAN DAYA SAING DAERAH Kondisi Ekonomi Kabupaten Banyuwangi Potensi Daerah Kabupaten Banyuwangi Potensi Sektor Pertanian Potensi Sektor Industri Potensi Sektor Pariwisata Identifikasi Potensi Sektoral Hasil Analisis Tipologi Klassen Hasil Analisis LQ Hasil Analisis Shift-Share Identifikasi Daya Saing Daerah BAB 6 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH Pendahuluan Identifikasi Responden Daya Saing Daerah Menurut Indikator Input-Output Indikator Input Daya Saing i

3 KABUPATEN BANYUWANGI Indikator Output Daya Saing Perumusan Strategi Kebijakan Peningkatan Daya Saing BAB 7 PENUTUP Daftar Pustaka ii

4 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki daerah harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Arsyad, 1999). Sementara, studi Huda dan Santoso (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan indikator input (berbasis endowment sumber daya alam), Kabupaten Banyuwangi menempati kelompok sepuluh daerah tertinggi dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur sedangkan berdasarkan indikator output (indikator dampak dari input) menempatkan Kabupaten Banyuwangi di urutan ke-16 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Ditinjau dari pertumbuhan ekonomi, Kabupaten Banyuwangi dengan julukannya The Sunrise of Java dan motto Satya Bakti Praja Mukti merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur dengan pertumbuhan dinamis. Sepanjang periode , Kabupaten Banyuwangi pernah menorehkan prestasi pertumbuhan ekonomi yang tertinggi sebesar 7,22 persen yaitu pada tahun 2012, angka tersebut hampir menyamai pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur yang sebesar 7,27 persen. Sayangnya, pertumbuhan yang tinggi tersebut tidak mampu dipertahankan pada Pertumbuhan Kabupaten Banyuwangi hanya mencapai angka sebesar 6,76 persen, meskipun masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sebesar 6,55 persen maupun rata-rata pertumbuhan ekonomi Nasional. Selanjutnya, pada tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Banyuwangi sebesar 6.94 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sebesar 5,86 persen. Ket: ***) Angka Sangat Sementara Sumber : BPS Kab. Banyuwangi, 2015 Gambar 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Nasional 1

5 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 Ditinjau dari kontribusi sektoral, komponen kontribusi sektoral PDRB Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor yang memiliki kontribusi tertingggi dalam pembentukan PDRB Kabupaten Banyuwangi yakni sebesar lebih dari 43 persen. Selain sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) juga merupakan kontributor terbesar kedua dalam pembentukan PDRB di Kabupaten Banyuwangi yakni sebesar lebih dari 27 persen. Hingga tahun 2013, sektor pertanian dan PHP terus menunjukkan pertumbuhan dinamis sehingga dapat dikatakan bahwa sektor pertanian dan PHR merupakan kontributor utama penopang pertumbuhan ekonomi daerah di Kabupaten Banyuwangi. Tabel 1.1. Kontribusi Sektoral PDRB Kabupaten Banyuwangi atas Dasar Harga Konstan (ADHK), Tahun (%) No. Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Js Perusahaan Jasa-Jasa Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Guna mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan daya saing, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menerapkan konsep pengembangan Banyuwangi dengan bertumpu pada karakteristik lokal dan berbasis pada kebijakan pemberdayaan masyarakat lokal, dimana sektor pertanian dan pariwisata menjadi fokus pengembangan Maksud dan Tujuan Kegiatan Maksud dari kegiatan ini adalah menganalisis pola perubahan dan pertumbuhan sektoral dalam perekonomian, serta menentukan sektor-sektor unggulan sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Sementara, tujuan dari kegiatan adalah: 1. Mengetahui tingkat daya saing daerah Kabupaten Banyuwangi. 2. Menganalisis potensi daya saing daerah Kabupaten Banyuwangi. 3. Menyusun strategi meningkatkan daya saing daerah Kabupaten Banyuwangi Sasaran Kegiatan Mengacu pada tujuan kegiatan, maka sasaran yang diharapkan dapat tercapai dalam kegiatan penyusunan kajian peningkatan daya saing daerah Kabupaten Banyuwangi adalah sebagai berikut:: 1. Teridentifikasi daya saing ekonomi Kabupaten Banyuwangi. 2. Tersusunnya rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing daerah Kabupaten Banyuwangi. 2

6 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Konsep Daya Saing Daya saing menurut Porter (1990) merupakan suatu konsep yang dapat diterapkan pada level nasional tak lain adalah produktivitas yang didefinisikannya sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank Dunia menyatakan hal yang relatif sama dimana daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi baik Bank Dunia, Porter, serta literatur-literatur terkini mengenai daya saing nasional memandang bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas, tidak berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga mencakup aspek di luar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang jelas-jelas di luar kendali suatu perusahaan. Aspek-aspek tersebut dapat bersifat firm-specifik, region-specifik, dan bahkan country-specific. World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang secara rutin menerbitkan Global Competitiveness Report mendefinisikan daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Fokusnya kemudian adalah pada kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristikkarakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan tersebut (Abdullah, 2002). 2.2 Daya Saing Daerah Daya saing daerah berdasarkan Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (UK-DTI) adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Sementara itu Centre for Urban and Regional Studies (CURDS) mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya (Abdullah, 2002). Dalam mendefinisikan daya saing perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: - Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu perekonomian daripada kemampuan sektor swasta atau perusahaan. - Pelaku ekonomi (economic agent) bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya terpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan dalam perkonomian, fokus perhatian tidak hanya pada itu saja. Hal ini diupayakan dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing. - Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan (level of living) adalah konsep yang maha luas pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi. Perumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari 3

7 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat. - Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup. 2.3 Indikator Utama Daya Saing Daerah Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Abdullah (2002), indikator penentu daya saing daerah adalah Perekonomian Daerah, Keterbukaan, Sistem Keuangan, Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Sumber daya manusia, Kelembagaan, Governance dan Kebijakan Pemerintah, dan Manajemen dan Ekonomi Makro. Indikator makro daya saing merupakan jaringan antar indikator dan sub-sub indikator yang saling intercorect, saling hubungan secara terikat dan terkait (inheren dan cohern) antar dan lintas indikator dan sub indikator, yang pada implementasinya memerlukan pengelolaan yang terintegratif, terencana dan konsisten serta berkesinambungan diantara sembilan indikator penentu daya saing. Implementasi terintegrasi, mengandung makna bahwa langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan perekonomian daerah secara makro sudah barang tertentu melibatkan semua pihak, baik institusi pemerintah daerah, swasta dan lembaga sosial, seta pihak pihak secara langsung dan tidak langsung secara nyata andil dalam penggerakan dan pertumbuhan perekonomian daerah. Terencana, asumsi langkah perencanaan adalah untuk memperkecil kegagalan, artinya aktivitas pengembangan daya saing akan gagal total tanpa perencanaan, dan peluang untuk berhasil lebih besar apabila diawali dengan perencanan yang baik. Konsisten, menunjukan kepada langkah sentripetal yakni gerak yang mengarah sesuai perencanaan atau gerak taat asas, tidak mengerjakan yang tidak terencanakan, taat asas merupakan perwujudan dari konsistensi sebuah kesepakatan, tidak merubah kesepakatan tanpa kesepakatan berikutnya, perencanaan adalah kesepakatan. Adapun berkesinambungan merupakan pekerjaan tiada henti, akan tetapi terus menerus dilakukan pada tahun pertama diikuti tahun kedua dan seterusnya. 2.4 Faktor Penentu Daya Saing Membangun daya saing daerah, bukanlah pekerjaan mudah dan dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek. Hal ini dikarenakan, daya saing daerah bersifat multidimensi. Menurut Departemen perindustrian (2007), menciptakan daya saing daerah, tidaklah mudah karena menghadapi berbagai kendala, antara lain : (1) kelembagaan (2) keamanan,politik, dan sosial budaya (3) ekonomi daerah (4) tenaga kerja (5) infrastruktur fisik. Berikut ini beberapa faktor yang menentukan daya saing dari beberapa sumber : 1. Elemen daya saing menurut Porter secara detail adalah : a. Factor condition (kondisi faktor). Faktor-faktor produksi : SDM (tenaga kerja terampil), bahan baku, pengetahuan, modal, infrastruktur. b. Firm strategy, structure and rivalry (strategi, struktur dan tingkat persaingan perusahaan). Kondisi di dalam suatu bangsa yang menentukan 4

8 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 bagaimana unit-unit usaha terbentuk, diorganisasikan, dikelola dan tingkat persaingan di dalam negeri. c. Demand condition (kondisi permintaan). Sifat permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri bersangkutan. d. Related and supporting industries (industri terkait dan pendukung). Keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. 2. Menurut lembaga pemeringkat daya saing internasional yang berbasis di SWISS yaitu IMD, mengemukakan ada 4 (empat) faktor penentu daya saing ekonomi suatu negara yaitu Kinerja ekonomi, Efisiensi sektor pemerintah, Efisiensi sektor dunia usaha, dan Infrastruktur 3. Menurut IMD dalam world competitivenes report (1993), daya saing suatu negara sangat dipengaruhi oleh delapan faktor penentu yaitu : a. Kekuatan ekonomi domestik b. Sumber daya manusia (ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi) c. Ilmu pengetahuan dan teknologi (kapasitas iptek yang unggul dan handal) d. Manajemen (pengelolaan secara inovatif, profitable dan responsible) e. Internasionalisasi (derajat partisipasi suatu negara dalam perdagangan dan investasi internasional) f. Keuangan (kinerja pasar modal dan kualitas pelayanan lembaga keuangan) g. Infrastruktur ( industri dan perdagangan yang memadai) 4. Menurut Rachbini, strategi export led industry dan daya saing berkelanjutan, dalam Departemen perindustrian (2007), faktor penentu daya saing adalah a. Keterbukaan (institusi keuangan dan perdagangan), good governance b. Ketersediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan laut, bandara) c. Peranan pemerintah (sebagai fasilitator, regulator dan pro ekonomi) d. Teknologi, kelembagaan publik (terjaminnya hak kepemilikan), lingkungan ekonomi makro (indeks daya saing pertumbuhan ekonomi) e. Menurut Porter: strategi, struktur dan persaingan perusahaan, sumber daya disebuah negara, permintaan domestik dan keberadaan industri terkait dan pendukung. 5

9 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Kegiatan Desain penelitian merupakan sebuah kerangka kerja yang digunakan untuk melakukan sebuah penelitian (Malhotra, 2004). Kerangka kerja tersebut memberi spesifikasi prosedur yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk menstrukturkan dan menjawab permasalahan penelitian. Pada kegiatan penelitian ini digunakan rancangan penelitian deskriptif eksploratif. Penelitian eksploratif dalam kegiatan penyusunan daya saing daerah ini mencoba mengeksplorasi mengenai perkembangan sektoral daerah dengan mengidentifikasi dan menganalisis potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah yang dapat dikembangkan bagi peningkatan daya saing daerah. Selanjutnya hasil dari penelitian eksploratif akan digunakan sebagai input dalam penyusunan kuisioner. 3.2 Lingkup Penelitian Penelitian mengenai penyusunan daya saing daerah ini dilakukan di Kabupaten Banyuwangi. Indikator daya saing yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Santoso (2009) dan Bank Indonesia LP3E FE Unpad (2008) yakni indikator utama (input) pembentuk daya saing (i) lingkungan usaha produktif, (ii) perekonomian daerah, (iii) ketenagakerjaan dan sumber daya manusia, (iv) infrastruktur, sumberdaya alam, dan lingkungan, serta (v) perbankan dan lembaga keuangan. Kinerja perekonomian (output) mencakup produktivitas tenaga kerja, tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per kapita. Sedangkan target outcome dari daya saing daerah adalah pertumbuhan yang berkelanjutan. Penggunaan konsep indikator input, output dan outcome mengacu pada Gardiner, Martin, Tyler (2004) mengenai model piramida daya saing regional (Santoso, 2009). TARGET OUTCOME Pertumbuhan yang berkelanjutan OUTPUT Kinerja Ekonomi Daerah PDRB per Kapita Produktifitas Tenaga Kerja Tingkat Kesempatan Kerja INPUT Infrastruktur, SDA dan Lingkungan Lingkungan usaha produktif Perekonomian Daerah Perbankan dan Lembaga Keuangan Ketenagakerjaan dan SDM Sumber: PPSK Bank Indonesia LP3E FE-Unpad (2008) dalam Santoso (2009) Gambar 3.1 Piramida Daya Saing Daerah 6

10 KABUPATEN BANYUWANGI Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari sumber data sekunder dan sumber data primer. Data sekunder adalah data data yang berasal dari berbagai literatur kepustakaan, artikel dalam majalah, jurnal penelitian yang berkaitan, dan sumber media massa lainnya serta hasil penelitian terdahulu. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian berasal dari data laporan tahunan dari pihak-pihak terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pariwisata, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Lingkungan Hidup, Bagian Ekonomi, Bagian Data dan Statistik, Badan Penanaman Modal Daerah, serta instansi terkait. Data primer didapatkan langsung dilapangan melalui berbagai narasumber yang berkaitan seperti dari dinas maupun pelaku usaha. Data primer dikumpulkan melalui focus group discussion (FGD), kuesioner, dan wawancara semi terstruktur dengan responden kunci di setiap pelaku ekonomi, yaitu pemerintah daerah, unit usaha, asosiasi usaha, serta lembaga-lembaga pendukung (lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis). Observasi langsung ke unit usaha juga perlu dilakukan untuk mengetahui proses produksi dan kondisi usaha tersebut, terutama dalam menjaring informasi mengenai kendala yang dihadapi. 3.4 Metode Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan kegiatan ini akan dilakukan beberapa kegiatan, meliputi: 1. Kajian Pustaka dan Survei Tahap inventarisasi data/informasi sekunder, yakni mengumpulkan data/informasi dari berbagai laporan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan daya saing daerah dan berbagai studi-studi yang relevan. Tahap inventarisasi data/informasi primer, yakni pengumpulan data/informasi yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dan observasi (pengamatan lapangan). 2. Penyelenggaraan Diskusi Kegiatan untuk mewadahi berbagai masukan dari para pengambil keputusan dalam bidang pembangunan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi. 3. Analisis dan Pelaporan Tahap Analisis, yakni tahap mengolah data/informasi sekunder dan primer yang sudah diinventarisir. Tahap Pelaporan, yakni tahap penyajian hasil-hasil analisis data/informasi. Tahap penyusunan rencana dan rekomendasi. 3.5 Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa metode analisis yaitu: 1. Analisis Tipologi Klassen Potensi perekonomian daerah dapat dilihat dari sisi pertumbuhan ekonominya dan konstribusi sektoral terhadap PDRBnya. Pemetaan potensi perekonomian khususnya di sembilan sektor lapangan usaha akan sangat bermanfaat bagi daerah untuk membuat prioritas kebijakan. Untuk menentukan prioritas kebijakan ini, khususnya kebijakan pembangunan ekonomi, diperlukan 7

11 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 analisis ekonomi (struktur ekonomi) daerah secara menyeluruh. Salah satu analisis ekonomi tersebut adalah menggunakan tipologi klassen. Analisis Tipologi Klassen bermanfaat untuk mengidentifikasi peta potensi ekonomi secara makro. Melalui Analisis Tipologi Klassen, potensi daerah secara sektoral yang didasarkan pada data PDRB bisa dipetakan. Analisis Tipologi Klassen mengelompokan suatu sektor dengan melihat pertumbuhan (g) dan kontribusi sektor (s) tertentu terhadap total PDRB suatu daerah. Dengan menggunakan Analisis Tipologi Klassen, masing-masing sektor dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: Tabel 3.1. Matriks Kategori Sektor berdasarkan Tipologi Klassen Kontribusi Sektor Y SEKTORAL Y PDRB Y SEKTORAL < Y PDRB r SEKTORAL r PDRB Kuadran I Kuadran II SEKTOR UNGGULAN SEKTOR BERKEMBANG r SEKTORAL < r PDRB Kuadran III Kuadran IV SEKTOR POTENSIAL SEKTOR TERBELAKANG a. Sektor Unggulan / Prima (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran sektor dengan laju pertumbuhan sektor yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah (PDRB) dan memiliki kontribusi besar terhadap PDRB. Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi lebih besar dari g dan si lebih besar dari s. b. Sektor berkembang (Kuadran II). Sektor yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan sektor yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB, tetapi memiliki kontribusi terhadap PDRB daerah yang lebih besar. Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi lebih kecil dari g dan si lebih besar dari s. Sektor dalam kategori ini juga dapat dikatakan sebagai sektor yang telah jenuh. c. Sektor potensial atau masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini merupakan kuadran untuk sektor yang memiliki nilai pertumbuhan sektor (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB (g), tetapi kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB (si) lebih. Klasifikasi ini biasa dilambangkan dengan gi lebih besar dari g dan si lebih kecil dari s. Sektor dalam Kuadran III dapat diartikan sebagai sektor yang sedang booming. d. Sektor Terbelakang (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh sektor yang memiliki nilai pertumbuhan sektor (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah (g) dan sekaligus memiliki kontribusi lebih kecil terhadap PDRB (si). 2. Analisis Location Quotient (LQ) Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim digunakan adalah location quotient (LQ). Teknik LQ digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah. 8

12 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 Untuk mendapatkan nilai LQ menggunakan metode yang mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Bendavid-Val dalam Kuncoro (2004) sebagai berikut: dimana: R V 1 = Nilai PDRB suatu sektor kabupaten/kota V R = Nilai PDRB seluruh sektor kabupaten/kota V 1 = Nilai PDRB suatu sektor tingkat Provinsi V = Nilai PDRB seluruh sektor tingkat Provinsi. Kriteria penilaian LQ: Jika LQ lebih besar dari 1, sektor tersebut merupakan sektor basis, artinya tingkat spesialisasi kabupaten lebih tinggi dari tingkat Provinsi. Jika LQ lebih kecil dari 1, merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang tingkat spesialisasinya lebih rendah dari tingkat Provinsi. Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan tingkat Provinsi. 3. Analisis Shift Share (SS) Analisis Shift Share (SS) memerinci penyebab perubahan suatu variabel. Analisis ini menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan sektoral lapangan usaha di suatu daerah dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Ada juga yang menamakan analisis SS sebagai industrial mix analysis, karena komposisi sektoral yang ada sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan arah perubahan suatu variabel, tetapi analisis LQ tidak memberikan penjelasan tentang faktor penyebab perubahan variabel daerah. Sebagaimana LQ, analisis SS dapat menggunakan variabel lapangan kerja (employment) atau nilai tambah. a. Komponen Provinsi Growth Share (PGS) Komponen national growth share (PGS) sering disebut sebagai komponen national trend. Komponen ini adalah banyaknya perubahan (pertambahan atau pengurangan) lapangan kerja sektoral di Kota ABC seandainya persentase perubahannya sama dengan persentase totalpertumbuhan lapangan kerja level provinsi. b. Komponen Industrial Mix Share (IMS) Tidak semua sektor secara nasional bergerak seragam, ada sektor yang tumbuh lebih tinggi dan ada pula sektor yang tumbuh lebih rendah dibanding trend provinsi. Di sini, dilihat bagaimana jika pertumbuhan sektoral lapangan kerja level provinsi dibersihkan dari trend provinsi sehingga kita mendapatkan industrial mix share (IMS). c. Komponen Local Share (LS) Merupakan seberapa besar sumbangan daerah sendiri atau local share (LS) terhadap partumbuhan sektoral di daerah tersebut. Pertanyaan ini dijawab dengan menghapus pengaruh pertumbuhan sektoral level provinsi dari partumbuhan sektoral level daerah. Untuk mendapatkan 9

13 KABUPATEN BANYUWANGI 2015 local share (LS), pengaruh pertumbuhan sektoral level provinsi perlu diisolasi. d. Shift Share Perhitungan Pergeseran Bersih Pergeseran bersih (PB) diperoleh dari hasil penjumlahan antara industrial mix share (IMS) dan local share (LS) di setiap sektor perekonomian. Apabila PB>0, maka pertumbuhan sektor di Kabupaten Banyuwangi termasuk dalam kelompok yang progresif (maju). Sedangkan PB<0 artinya sektor perekonomian di Kabupaten Banyuwangi termasuk kelompok yang lamban. e. Analisis Kuadran Dengan melihat besaran IMS dan LS, maka suatu daerah/sektor dapat dikategorikan menjadi empat kelompok/kuadran 4. Analisis SWOT Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) biasa digunakan untuk mengevaluasi kesempatan dan tantangan di lingkungan bisnis maupun pada lingkungan internal perusahaan (Kuncoro, 2005). Tabel 3.2. Matriks Analisis SWOT Faktor Eksternal Opportunities (O) (Daftar semua peluang yang diidentifikasi) Threats (T) (Daftar semua tantangan Strengths (S) (Daftar semua kekuatan yang dimiliki) Strategi SO: Growth Stretegi ST: Diversification Faktor Internal Weaknesses (W) (Daftar semua kelemahan yang dimiliki) Strategi WO: Stability Strategi WT: Defend yang diidentifikasi) Sumber: Kuncoro (2005) 10

14 EMBANGAN SOSIAL EKONOMI KABUPATEN BANYUWANGI BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BANYUWANGI 4.1. Kondisi Geografis Wilayah Secara administrasi, Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan beberapa wilayah diantaranya: Sebelah timur : Berbatasan dengan Provinsi Bali Sebelah utara : Berbatasan dengan Kabupaten Situbondo Sebelah selatan Sebelah barat : Berbatasan dengan Samudra Hindia : Berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso Tabel 4.1: Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, 2013 Luas Penduduk (orang) Kepadatan Penduduk Kecamatan km2 % Jumlah % (orang/km2) Pesanggaran 802,50 13, ,11 61 Siliragung 95,15 1, , Bangorejo 137,43 2, , Purwoharjo 200,30 3, , Tegaldlimo 1341,12 23, ,94 46 Muncar 146,07 2, , Cluring 97,44 1, , Gambiran 66,77 1, , Tegalsari 65,23 1, , Glenmore 421,98 7, , Kalibaru 406,76 7, , Genteng 82,34 1, , Srono 100,77 1, , Rogojampi 102,33 1, , Kabat 107,48 1, , Singojuruh 59,89 1, , Sempu 174,83 3, , Songgon 301,84 5, , Glagah 76,75 1, , Licin 169,25 2, , Banyuwangi 30,13 0, , Giri 21,31 0, , Kalipuro 310,03 5, , Wongsorejo 464,80 8, , Banyuwangi 5782, Sumber : Statistik Daerah Kabupaten Banyuwangi

15 4.2. Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi terbagi menjadi 24 kecamatan dan 189 desa dan 28 kelurahan. Dari 24 kecamatan yang ada, terdapat dua Kecamatan yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak yaitu Kecamatan Banyuwangi dan Kecamatan Rogojampi, masing-masing sebanyak 18 desa/kelurahan, diikuti oleh Kecamatan Kabat yang terdiri dari 16 desa. Sumber: Bagian Pemerintahan Setwilda Banyuwangi dalam Statistik Daerah Kabupaten Banyuwangi Gambar 4.1: Banyaknya Desa/Kelurahan di Kabupaten Banyuwangi menurut Kecamatan Tahun Kependudukan dan Ketenagakerjaan Berdasarkan data BPS Kabupaten Banyuwangi, perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Banyuwangi terus mengalami peningkatan sepanjang periode 2010 hingga Ket. *) Angka Sementara Sumber :BPS Kabupaten Banyuwangi, Gambar 4.2: Jumlah Penduduk Kabupaten Banyuwangi Menurut Jenis Kelamin, Tahun

16 Wilayah Kecamatan Muncar merupakan daerah yang memiliki tingkat penduduk yang terbanyak di Kabupaten Banyuwangi disebabkan karena di kecamatan tersebut merupakan sentra dari perindustrian terutama dalam bidang perikanan. Sementara, Kecamatan Banyuwangi sebagai ibukota Kabupaten Banyuwangi menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak kedua karena kecamatan ini merupakan wilayah pusat pemerintahan, dan jasa, mulai dari jasa perdagangan, jasa keuangan, pendidikan serta jasa lainnya. Sumber :LKPJ Kabupaten Banyuwangi, Gambar 4.3: Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013 Salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah dapat ditunjukkan oleh kondisi ketenagakerjaan yang baik yang dicerminkan oleh angka penggangguran yang rendah dan tingkat upah yang layak. Berdasarkan Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, serta jumlah pengangguran di Kabupaten Banyuwangi tahun mengalami peningkatan. Tabel 4.2: Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Banyuwangi, Tahun Tahun Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran TPAK (%) Tingkat Pengangguran Terbuka (%) ,27 4, ,24 3, ,24 3, ,37 3, ,92 4,69 Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014 Kondisi ketenagakerjaan menurut kelompok umur menunjukkan bahwa kelompok umur produktif (usia tahun) menempati proporsi terbesar dalam struktur ketenagakerjaan di Kabupaten Banyuwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi penduduk bekerja akan mampu berkontribusi pada pembangunan daerah. 13

17 Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014 Gambar 4.4. Jumlah Penduduk Bekerja menurut Kelompok Umur Kabupaten Banyuwangi tahun 2009 dan Sosial Ekonomi Keberhasilan pembangunan salah satunya ditunjukkan oleh kualitas sumber daya manusia yang mampu dihasilkan oleh suatu daerah. Manusia yang berkualitas akan mampu berkontribusi pada percepatan pencapaian pembangunan yang mensejahterkan. Dimana orientasi pembangunan telah berubah dari pembangunan berorientasi kepada pembangunan berbasis produksi (production basic development) menuju pembangunan berbasis kepada kebutuhan masyarakat (human basic development). Ukuran keberhasilan pembangunan manusia ditunjukkan oleh indeks pembangunan manusia (IPM). Pada tahun 2013 pencapaian IPM Kabupaten Banyuwangi adalah sebesar meningkat dibanding tahun 2012 sebesar Kenaikan tersebut mengindikasikan telah terjadi peningkatan kualitas manusia di Banyuwangi. Namun demikian, pencapaian peningkatan IPM di Kabupaten Banyuwangi masih lebih rendah dibandingkan perkembangan IPM Provinsi Jawa Timur. Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014 Gambar 4.5. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Banyuwangi dan Jawa Timur, Tahun

18 B IV PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI KABUPATEN BANYUWANGI BAB 5 IDENTIFIKASI POTENSI DAERAH DAN DAYA SAING DAERAH 5.1 Kondisi Ekonomi Daerah Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir menunjukan tren yang semakin meningkat. Berdasarkan data BPS Kabupaten Banyuwangi, pertumbuhan ekonomi Banyuwangi pada tahun 2013 sebesar 6,76 persen lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Timur (6,55 persen) dan Nasional (5,78 persen). Ket: ***) Angka Sangat Sementara Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, Data diolah Gambar 5.1. Produk Domestik Bruto ADHK (juta Rupiah) dan ADHB (triliun Rupiah) Kabupaten Banyuwangi, Ditinjau dari sisi kontribusi sektoral menurut harga berlaku menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki kontribusi tertingggi sebesar 44 persen dalam pembentukan PDRB di Kabupaten Banyuwangi. Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, Data diolah Gambar 5.2. Kontribusi Sektoral Perekonomian Kabupaten Banyuwangi ADHB, tahun

19 Meskipun kontribusi sektor pertanian dan PHR menjadi kontributor terbesar pada pembentukan PDRB Kabupaten Banyuwangi, namun dilihat dari pertumbuhannya, gambar 5.3 menunjukkan bahwa pertumbuhan terbesar ditunjukkan oleh sektor PHR dan Sektor Bangunan dan Konstruksi. Sementara, sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan terendah dalam pembentukan PDRB Banyuwangi. Pertumbuhan yang rendah mengindikasikan bahwa sumbangsih sektor pertanian semakin menunjukkan gejala penurunan. Sedangkan sektor PHR menunjukkan peningkatan dalam struktur perekonomian di Kabupaten Banyuwangi. Tabel 5.1. Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan (miliar rupiah), Jenis Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pajak Daerah 21,48 26,13 32,45 40,77 65,94 b. Retribusi Daerah 30,77 20,81 21,62 24,81 28,65 c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 7,99 8,79 9,98 14,50 14,54 d. Lain-lain PAD yang sah 26,73 34,93 49,31 60,23 74,10 Dana Perimbangan a. Bagi Hasil Pajak 60,62 69,52 66,09 71,27 50,24 b. Bagi Hasil Bukan Pajak 9,77 14,29 18,86 29,43 32,13 c. Dana Alokasi Umum (DAU) 766,83 761,90 815, , ,50 d. Dana Alokasi Khusus (DAK) 79,91 81,60 81,91 67,66 77,00 Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah a. Pendapatan Hibah ,41 b. Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan pemerintah daerah lainnya 57,72 75,86 87,62 82,17 95,56 c. Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 61,59 103,29 231,98 210,00 293,37 d. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau pemerintah daerah lainnya 18,94 10,52 35,33 59,37 30,62 e. Sumbangan Pihak Ketiga 1, f. Pendapatan Lainnya - 0, Total 1143, , , , ,06 Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, BPS Kabupaten Banyuwangi, Potensi Daerah Kabupaten Banyuwangi Secara geografis, Kabupaten Banyuwangi yang terletak di ujung timur pulau Jawa, memiliki luas wilayah mencapai 5.782,50 km2 menjadikan Kabupaten Banyuwangi sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur Potensi Sektor Pertanian Kabupaten Banyuwangi sebagai daerah dengan luas 5.782,50 km 2 merupakan daerah terluas di Provinsi Jawa Timur. Sehingga tidak mengherankan jika potensi utama Kabupaten Banyuwangi masih didominasi oleh sektor yang mengandalkan lahan yang relatif luas. Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Banyuwangi. Potensi yang dimiliki sektor pertanian adalah sebagai berikut: 16

20 A. Pertanian Tanaman Pangan Berdasarkan data BPS Kabupaten Banyuwangi, bidang pertanian tanaman pangan Kabupaten Banyuwangi memiliki tiga produk unggulan yang menjadi andalan untuk dikembangkan yakni komoditas padi, jagung, dan kedelai. Tabel 5.2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Pertanian Tanaman Pangan Di Kabupaten Banyuwangi Tahun LUAS PANEN (ha) PRODUKTIVITAS (kw) PRODUKSI (Ton) KOMODITAS Padi sawah ,3 65, Padi lading ,82 55, Total Padi Jagung ,05 62, Kedelai ,68 19, Kacang tanah ,85 15, Kacang hijau ,91 12, Ubi kayu ,46 191, Ubi jalar ,14 237, Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan, 2013 Selanjutnya, perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi berdasarkan kecamatan di Kabupaten Banyuwangi tahun 2013 sebagai berikut: Tabel 5.3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013 Padi Sawah Padi Ladang Kecamatan Luas Luas Produksi Produktivitas Panen Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (Ku/ha) (ha) (ton) (Ku/ha) Pesanggaran , ,57 Siliragung , ,12 Bangorejo , ,73 Purwoharjo , Tegaldlimo , ,39 Muncar , ,00 Cluring , ,86 Gambiran , Tegalsari , ,23 Glenmore , ,65 Kalibaru , Genteng , ,40 Srono , Rogojampi ,

21 Padi Sawah Padi Ladang Luas Luas Kecamatan Produksi Produktivitas Produksi Produktivitas Panen Panen (ha) (ton) (Ku/ha) (ha) (ton) (Ku/ha) Kabat , ,75 Singojuruh , Sempu , ,60 Songgon , ,13 Glagah , Licin , Banyuwangi , Giri , Kalipuro , Wongsorejo , ,06 Total , ,25 Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan, 2013 Kecamatan Produktivitas padi yang tinggi di Kabupaten Banyuwangi disebabkan oleh besarnya potensi lahan padi yang merata di semua kecamatan. Produksi padi sawah terbesar terdapat di Kecamatan Srono dengan total produksi sebesar ton, sedangkan produksi padi sawah terendah terdapat di Kecamatan Kalipuro yaitu ton. Produksi padi ladang terbesar terdapat di Kecamatan Wongsorejo dengan total produksi sebesar ton, sedangkan produksi padi ladang terendah terdapat di Kecamatan Muncar yaitu 22 ton. Tabel 5.4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung dan Kedelai Menurut Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013 Jagung Kedelai Luas Panen Produksi Produktivitas Luas Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (Ku/ha) (ha) (ton) (Ku/ha) Pesanggaran , ,20 Siliragung , ,23 Bangorejo , ,17 Purwoharjo , ,82 Tegaldlimo , ,18 Muncar , ,99 Cluring , ,78 Gambiran , ,97 Tegalsari , ,82 Glenmore , Kalibaru , Genteng , ,07 Srono , ,64 Rogojampi , ,82 18

22 Kecamatan Jagung Kedelai Luas Panen Produksi Produktivitas Luas Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (Ku/ha) (ha) (ton) (Ku/ha) Kabat , ,44 Singojuruh , ,50 Sempu , ,12 Songgon , Glagah , Licin , Banyuwangi , Giri , Kalipuro , Wongsorejo , ,76 Total , ,82 Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan, 2013 B. Perikanan Sub sektor pertanian yang juga memiliki potensi cukup besar bagi Kabupaten Banyuwangi adalah perikanan. Produksi ikan tangkap di perairan Kabuoaten Banyuwangi terbagi menjadi jenis tangkapan di parairan laut dan perairan umum. Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa produksi perikanan tangkap di perairan laut dan perairan umum pada tahun mengalami peningkatan produksi. Pada tahun 2013, produksi ikan tangkap di perairan laut mencapai ,44 ton lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kondisi serupa juga ditunjukkan oleh hasil produksi ikan tangkap di perairan umum yang mengalami peningkatan mencapai 131,57 ton pada 2013, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Tabel 5.5. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Jenis Penangkapan (Ton), Tahun Tahun Jenis Penangkapan Perairan Laut Perairan Umum ,33 111, ,84 101, ,36 106, ,44 131,57 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2013 Potensi ikan laut di Kabupaten Banyuwangi sangat melimpah. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa banyaknya jenis ikan yang menjadi komoditas. Jenis ikan tersebut antara lain Lemuru, Tongkol, Tuna, Layang, Lele, Nila, dan Udang. Berikut merupakan tabel produksi dan nilai produksi komoditas perikanan tangkap Kabupaten Banyuwangi: 19

23 Tabel 5.6. Jumlah Produksi & Nilai Produksi Per Jenis Komoditas Hasil Tangkapan Ikan Perairan No Produksi (Kg) Nilai Produksi (Rp) Komoditas Mas Sidat Nila Tawes Mujair Patin Jambal Gabus Lais Lele Toman Sepat Siam Tambakan Belida Nilem Sili Gurami Jambal Ikan lain Udang Galah Udang Tawar Udang Grago Udang Lainnya Siput Kodok Belut Binatang air lainnya Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2013 C. Peternakan Sektor peternakan Kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu produk unggulan yang dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat. Luasnya lahan dan melimpahnya ketersediaan pakan ternak menjadikan masyarakat tidak kesulitan untuk mengembangkan usaha peternakan. Usaha peternakan di Kabupaten Banyuwangi terrbagi menjadi peternakan besar, peternakan kecil dan unggas. Menurut Dinas Peternakan disebutkan terdapat tujuh jenis ternak yang menjadi unggulan utama di Kabupaten Banyuwangi, yaitu Sapi potong, Sapi perah, Kerbau, Kambing, Domba, Ayam, Itik. 20

24 Tabel 5.7. Populasi Ternak di Kabupaten Banyuwangi Tahun Jenis Ternak Kategori: Ternak Besar Sapi Perah Sapi Potong Kuda Kerbau Kategori: Ternak Kecil Kambing Domba Babi Kategori Unggas Buras R a s Ras Pedaging Itik Entok n.a Kelinci Burung Puyuh Burung wallet *) Burung dara Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Banyuwangi, 2014 Berdasarkan tabel 5.7, dilihat dari kategori peternakan besar, populasi ternak besar yang terdiri dari sapi perah, sapi potong, kuda dan kerbau menunjukkan kecenderungan meningkat sepanjang Tabel 5.8. Produksi Peternakan di Kabupaten Banyuwangi Tahun Jenis Produksi Daging (Kg) Telur (Kg) Susu (Liter) Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Banyuwangi, 2014 Produksi peternakan di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan tabel 5.9, dapat dilihat bahwa total produksi daging terbesar terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar kg, sedangkan produksi daging terendah terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar Kg. Selanjutnya produksi telor terbesar terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar Kg dan produksi terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar Kg. Produksi susu terbesar terjadi pada tahun

25 yaitu liter dan produksi susu terendah terjadi pada tahun 2011 dengan total produksi sebesar liter Potensi Sektor Industri Kabupaten Banyuwangi memiliki komitmen yang kuat dalam pengembangan sektor industri. Mengacu pada data BPS, sektor industri di Kabupaten Banyuwangi terbagi menjadi dua yakni UMKM dan Industri Besar dan Sedang.. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM, sebesar 99,81 persen kategori industri berupa UMKM, sedangkan industri besar dan sedang hanya 0,19 persen dengan pertumbuhan jumlah UMKM di Kabupaten Banyuwangi terus mengalami peningkatan yang signifikan. Persebaran UMKM berdasarkan sektor diketahui bahwa berdasarkan jumlah UMKM sebanyak unit pada tahun 2013 pada umumnya struktur UMKM masih didominasi oleh usaha di sektor pertanian. Jumlah UMKM yang bergerak dalam sektor pertanian adalah sebanyak 51% dari keseluruhan total UMKM yang ada atau sebanyak unit sedangkan sisanya unit adalah UMKM yang bergerak diluar sektor pertanian, baik itu disektor jasa maupun industri pengolahan. Usaha diluar sektor pertanian yang terbesar adalah di bidang jasa perdagangan hotel dan restoran, lainnya adalah di bidang industri pengolahan. Tabel 5.9. Persebaran Unit UMKM di Kabupaten Banyuwangi, Tahun 2013 Sektor Total Unit Persentase Pertanian % Pertambangan dan Penggalian % Industri Pengolahan % Listrik, Gas, dan Air Bersih - 0% Konstruksi - 0% Perdagangan, Hotel, dan Restoran % Pengangkutan dan Komunikasi % Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan - 0% Jasa-jasa % Jumlah % Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM, Kabupaten Banyuwangi, 2013 Selanjutnya, berdasarkan karakteristik usaha, UMKM di Kabupaten Banyuwangi didominasi oleh UMKM dalam skala mikro (50,48 persen sektor pertanian dan 43,96 persen sektor non-pertanian). Karakteristik UMKM dengan skala tersebut pada umumnya memiliki karakteristik lemah di permodalan, lemah di perputaran usaha, lemah di pemasaran dan beberapa kelemahan lainnya. Disamping itu, karaktersitik UMKM yang juga melekat lainnya dengan skala tersebut adalah lemah dalam bidang inovasi. UMKM dengan skala tersebut pada umumnya dalam hal teknologi menggunakan terknologi yang sederhana dengan kualitas produk yang masih rendah, sehingga UMKM memerlukan upaya terobosan ide-ide kreatif agar mampu bertahan dan berkembang di tengah keterbatasannya. 22

26 Tabel Karakteristik UMKM di Kabupaten Banyuwangi, Tahun 2013 Sektor Total Unit Persentase Pertanian: - Mikro ,48 - Kecil ,66 - Menengah 176 0,06 Non-Pertanian: - Mikro ,96 - Kecil ,49 - Menengah ,36 Jumlah Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM, Kabupaten Banyuwangi, Potensi Sektor Pariwisata Kekayaan wisata Kabupaten Banyuwangi cukup banyak dan bervariasi mulai wisata pegunungan, wisata pantai, wisata perkebunan, wisata agro, hingga wisata budaya. Konsep pariwisata Kabupaten Banyuwangi dikenal dengan triangle diamonds atau segitiga berlian. Konsep tersebut mengombinasikan kesinambungan antar obyek wisata mulai obyek wisata pesisir, perkebunan, kehutanan sampai obyek wisata pegunungan. Pada tahun 2015, guna meningkatkan iklim pariwisata di Kabupaten Banyuwangi, pemerintah daerah telah menyusun beragam kegiatan yang bernama Banyuwangi Festival Pada even tersebut, terdapat sebanyak 36 kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun Gambar 5.4. Kegiatan Banyuwangi Festival

27 5.3 Identifikasi Daya Saing Daerah Hasil Analisis Tipologi Klassen Dalam upaya untuk membangun suatu daerah, menurut teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike), bahwa setiap wilayah perlu melihat sektor/komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, untuk mengetahui sektor potensial tersebut dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan Analisis Tipologi Klassen. Hasil analisa tipologi klassen, dapat ditarik ringkasan bahwa di Kabupaten Banyuwangi terdapat 5 sektor yang diunggulkan yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa. Tabel Hasil Analisis Klassen Tipologi Pendekatan Sektoral Banyuwangi rsektoral rpdrb rsektoral < rpdrb Y Sektoral Y PDRB Unggulan Sektor Pertanian Sektor Pertambangan & penggalian Perdag, Hotel dan Restoran Pengangkutan & Komunikasi Jasa-Jasa Potensial Industri Pengolahan Keu.Persewaan & Jasa Keuangan Sumber: PDRB Banyuwangi, Banyuwangi Dalam Angka 2014 (diolah) Y Sektoral < YPDRB Berkembang Listrik, Gas & Air bersih Bangunan - Terbelakang Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Location quotient (LQ) adalah suatu perbandingan antara besarnya peran suatu sektor di Kabupaten Banyuwangi terhadap besarnya peran sektor tersebut di tingkat yang lebih tinggi, yaitu Provinsi Jawa Timur.. Tabel Analisis LQ Kabupaten Banyuwangi ADHK 2000, Tahun Lapangan Usaha * 2012** 2013*** Basis/Non Basis Pertanian 3,03 3,14 3,22 3,29 3,36 Basis Pertambangan dan Penggalian 1,97 1,94 1,97 2,05 2,08 Basis Industri Pengolahan 0,25 0,25 0,25 0,25 0,26 Non Basis Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,35 0,34 0,33 0,33 0,33 Non Basis Konstruksi 0,26 0,26 0,27 0,28 0,28 Non Basis Perdagangan, Hotel, dan Restoran 0,82 0,81 0,82 0,83 0,85 Non Basis Pengangkutan dan Komunikasi 0,63 0,60 0,58 0,56 0,54 Non Basis Keuangan, Persewaan & Js Perushn 1,11 1,08 1,07 1,05 1,06 Basis Jasa-jasa 0,59 0,60 0,61 0,62 0,62 Non Basis Ket: *) Angka Perbaikan; **) Angka Sementara; ***) Angka Sangat Sementara Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, Data diolah. 24

28 5.3.3 Hasil Analisis Shift Share (SS) Analisis shift-share merupakan tehnik yang menggambarkan performance (kinerja) sektor-sektor di suatu wilayah dibandingkan kinerja sektor-sektor perekonomian nasional. Tabel Perubahan Output Sektoral Kabupaten Banyuwangi ADHK Tahun 2010 dan 2013 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha *** Perubahan PDRB % Pertanian ,58 Pertambangan dan Penggalian ,88 Industri Pengolahan ,38 Listrik, Gas, dan Air Bersih ,92 Bangunan dan Konstruksi ,07 Perdagangan, Hotel, dan Restoran ,72 Pengangkutan dan Komunikasi ,23 Keuangan, Persewaan & Js Perushn ,15 Jasa-jasa ,08 PDRB ,66 Ket: ***) Angka Sangat Sementara Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, Data diolah. Total perubahan output Kabupaten Banyuwangi sejak 2010 hingga 2013 adalah (juta rupiah) atau mengalami pertumbuhan PDRB sebesar 22,66 persen. Sementara, perubahan output sektoral Provinsi Jawa Timur periode dan menunjukkan bahwa PDRB Provinsi Jawa Timur mengalami pertumbuhan sebesar 22,54 persen. Tabel Perubahan Output Sektoral Provinsi Jawa Timur ADHK tahun 2010 dan 2013 (Juta Rupiah) Perubahan Lapangan Usaha *** % PDRB Pertanian ,79 Pertambangan dan Penggalian ,12 Industri Pengolahan ,10 Listrik, Gas, dan Air Bersih ,19 Bangunan dan Konstruksi ,41 Perdagangan, Hotel, dan Restoran ,26 Pengangkutan dan Komunikasi ,94 Keuangan, Persewaan & Js Perushn ,70 Jasa-jasa ,27 PDRB ,54 Ket: ***) Angka Sangat Sementara Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, Data diolah. Dikarenakan kita meletakkan Kabupaten Banyuwangi dalam konteks kawasan Provinsi Jawa Timur, maka angka (juta rupiah) dapat dinamakan sebagai regional growth share (RGS). Selisih positif antara

29 (juta rupiah) dengan (juta rupiah) merupakan gain bagi Kabupaten Banyuwangi (jika sebaliknya merupakan loss). Tabel Regional Growth Share (RGS) Lapangan Usaha Regional Growth Share (RGS) Juta Rupiah Persen Pertanian ,54 Pertambangan dan Penggalian ,54 Industri Pengolahan ,54 Listrik, Gas, dan Air Bersih ,54 Bangunan dan Konstruksi ,54 Perdagangan, Hotel, dan Restoran ,54 Pengangkutan dan Komunikasi ,54 Keuangan, Persewaan & Js Perushn ,54 Jasa-jasa ,54 TOTAL ,54 Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi dan BPS Provinsi Jawa Timur, Data diolah. Tabel Industrial Mix Share (IMS) Lapangan Usaha Industrial Mix Share (IMS) Juta Rupiah Persen Pertanian ( ) (14,75) Pertambangan dan Penggalian ( ) (10,42) Industri Pengolahan ( ) (3,44) Listrik, Gas, dan Air Bersih ( ) (4,35) Bangunan dan Konstruksi ,87 Perdagangan, Hotel, dan Restoran ,72 Pengangkutan dan Komunikasi ,40 Keuangan, Persewaan & Js Perusahaan ,17 Jasa-jasa ( ) (6,27) TOTAL ( ) (10,07) Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi dan BPS Provinsi Jawa Timur, Data diolah. Pada kenyataanya, pertumbuhan sektoral di setiap daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi. Kondisi tersebut dapat terjadi dalam suatu daerah maupun antar daerah. Untuk mengetahui pertumbuhan sektoral antar daerah maupun dengan wilayah yang lebih tinggi (Provinsi) digunakan Local share (LS). Local share (LS) adalah untuk mengukur apakah pertumbuhan per sektor di Kabupaten Banyuwangi sama, lebih cepat, atau lebih lambat dibanding pertumbuhan per sektor yang sama di wilayah Provinsi Jawa Timur. Tabel Local Share (LS) Lapangan Usaha Local Share (LS) Juta Rupiah Persen Pertanian ,78 Pertambangan dan Penggalian ,76 Industri Pengolahan ,29 Listrik, Gas, dan Air Bersih (63.978) (1,27) 26

30 Lapangan Usaha Local Share (LS) Juta Rupiah Persen Bangunan dan Konstruksi ,65 Perdagangan, Hotel, dan Restoran ,47 Pengangkutan dan Komunikasi ( ) (12,71) Keuangan, Persewaan & Js Perushn ( ) (2,56) Jasa-jasa ,81 TOTAL ,21 Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi dan BPS Provinsi Jawa Timur, Data diolah Dari hasil perhitungan tiga komponen di atas, dapat dilakukan checking sebagai berikut: Komponen Regional Growth Share (RGS) : Komponen Industrial Mix Share (IMS) : Komponen Local Share (LS) : Perubahan Output Kabupaten Banyuwangi Dari hasil analisis Shift Share (SS) untuk masing-masing sektor di Kabupaten Banyuwangi terhadap Provinsi Jawa Timur sebagai berikut: a. Sektor Pertanian Sektor pertanian, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau - 14,75 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai pertumbuhan yang lambat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 7,78 persen. Ini berarti pada sektor pertanian di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. b. Sektor pertambangan dan penggalian Sektor pertambangan dan penggalian, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau -10,42 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian mempunyai pertumbuhan yang lambat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 7,76 persen. Ini berarti pada sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. c. Sektor Industri Pengolahan Sektor Industri Pengolahan, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau - 27

31 3,44 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor Industri Pengolahan mempunyai pertumbuhan yang lambat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 3,29 persen. Ini berarti pada sektor Industri Pengolahan di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. d. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau -4,35 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih mempunyai pertumbuhan yang lambat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau -1,27 persen. Ini berarti pada sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih di Kabupaten Banyuwangi memiliki daya saing yang lemah di banding Provinsi Jawa Timur. e. Sektor Bangunan dan Konstruksi Sektor Bangunan dan Konstruksi, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 4,87 persen. Ini menunjukkan bahwa Sektor Bangunan dan Konstruksi mempunyai pertumbuhan yang kuat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 5,65 persen. Ini berarti pada Sektor Bangunan dan Konstruksi di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. f. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 8,72 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran mempunyai pertumbuhan yang kuat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 5,47 persen. Ini berarti pada sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran di Kabupaten Banyuwangi memiliki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. g. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 12,40 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor Pengangkutan dan Komunikasi mempunyai pertumbuhan yang kuat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan 28

32 penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau -12,71 persen. Ini berarti pada sektor Pengangkutan dan Komunikasi di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang lemah di banding Provinsi Jawa Timur. h. Sektor Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Sektor Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 3,17 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan mempunyai pertumbuhan yang kuat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau -2,56 persen. Ini berarti pada sektor Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. i. Sektor Jasa-jasa Sektor Jasa-jasa, mengalami perubahan perekonomian sebesar (juta rupiah) yang dipengaruhi oleh perekonomian Provinsi Jawa Timur (RGS) sebesar 22,54 persen. Bauran industri (IMS) mempengaruhi perubahan penurunan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau -6,27 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor Jasa-jasa mempunyai pertumbuhan yang lambat di banding kawasan Provinsi Jawa Timur. Daya saing daerah (LS) mempengaruhi perubahan peningkatan output ekonomi sebesar (juta rupiah) atau 3,81 persen. Ini berarti pada sektor Jasa-jasa di Kabupaten Banyuwangi memilki daya saing yang kuat di banding Provinsi Jawa Timur. Shift Share Perhitungan Pergeseran Bersih Pergeseran bersih (PB) diperoleh dari hasil penjumlahan antara industrial mix share (IMS) dan local share (LS) di setiap sektor perekonomian. Apabila PB>0, maka pertumbuhan sektor di Kabupaten Banyuwangi termasuk dalam kelompok yang progresif (maju). Sedangkan PB<0 artinya sektor perekonomian di Kabupaten Banyuwangi termasuk kelompok yang degresif (mundur). Tabel Hasil Perhitungan Pergeseran Bersih (PB) Lapangan Usaha Pergeseran Bersih Juta Rupiah Persen Pertanian ( ) (6,96) Pertambangan dan Penggalian ( ) (2,66) Industri Pengolahan ( ) (0,16) Listrik, Gas, dan Air Bersih ( ) (5,62) Bangunan dan Konstruksi ,53 Perdagangan, Hotel, dan Restoran ,18 Pengangkutan dan Komunikasi ( ) (0,31) Keuangan, Persewaan & Js Perushn ,61 Jasa-jasa ( ) (2,46) TOTAL ,14 29

33 Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi dan BPS Provinsi Jawa Timur, Data diolah Berdasarkan Tabel 5.18, secara agregat pergeseran bersih di Kabupaten Banyuwangi menghasilkan nilai positif, yang turut memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan PDRB pada periode di Kabupaten Banyuwangi sebesar (juta rupiah). Hal ini juga menunjukkan bahwa secara umum, Kabupaten Banyuwangi termasuk kedalam kelompok daerah yang progresif (maju). Ditingkat sektoral, tiga (3) sektor memiliki nilai PB>0 yaitu sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PB<0 adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor penganggkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Analisis Kuadran Analisis kuadran digunakan untuk menentukan posisi masing-masing sektor dalam empat kelompok/kuadran. Metodenya adalah melakukan ploting grafik data Industrial Mix Share (IMS) dan Local Share (LS) dari analisis Shift- Share sektoral Kabupaten Banyuwangi. Hasilnya ditunjukkan pada gambar 5.5. Berdasarkan gambar 5.5, masing-masing sektor ekonomi telah mengelompok ke dalam empat kuadran. Pada kuadran I (IMS dan LS positif) ditempati oleh sektor 4, 5, dan 6, yaitu sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan dan konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kuadran I menginterpretasikan bahwa sektor-sektor yang terdapat pada kuadran I memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Sektor-sektor tersebut juga mampu bersaing dengan sektor-sektor perekonomian dari wilayah lain. KUADRAN II KUADRAN I KUADRAN III Sumber: Data diolah, 2015 KUADRAN IV Gambar 5.5. Industrial Mix Share (IMS) dan Local Share (LS) Sektor Ekonomi di Kabupaten Banyuwangi Pada kuadran II (IMS negatif dan LS positif) ditempati oleh sektor 1, 2, 3 dan 9, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, serta sektor jasa-jasa. Kuadran II menginterpretasikan bahwa sektor- 30

34 sektor yang terdapat pada kuadran II mempunyai kecenderungan sebagai sektor yang tertekan tetapi berpotensi (highly potential). Kelompok sektor ini memiliki tingkat daya saing yang tinggi tetapi laju pertumbuhannya lambat. Pada kuadran III (IMS negatif dan LS negatif) tidak ada satu sektor pun yang berada di kuadran tersebut. Sektor yang berada pada kuadran III dikategorikan sebagai sektor yang terbelakang dan berdaya saing lemah atau dikategorikan terbelakang (depressed). Terakhir, pada kuadran IV (IMS positif dan LS negatif) ditempati oleh sektor 7 dan 8, yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Pada kuadran IV memberikan pengertian bahwa sektor-sektor tersebut berada pada posisi tertekan tapi sedang berkembang (developing). 5.4 Identifikasi Sektoral Daya Saing Daerah Paparan mengenai identifikasi daya saing daerah bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daya saing daerah menurut indikator daya saing yakni input dan output. Tabel Ringkasan Hasil Analisa LQ, SS, PB dan Kuadran Sektor LQ Shift-Share RGS IMS LS PB Kuadran Pertanian Basis ( ) ( ) II Pertambangan dan Penggalian Basis ( ) ( ) II Industri Non Pengolahan Basis ( ) ( ) II Listrik, Gas dan Non Air Minum Basis ( ) (63.978) ( ) I Bangunan dan Non Konstruksi Basis I Perdagangan, Non Restoran dan Hotel Basis I Pengangkutan dan Non Komunikasi Basis ( ) ( ) IV Keuangan, Persewaan dan Basis ( ) IV Jasa Perusahaan Jasa-jasa Non Basis ( ) ( ) II Sumber: Data diolah, 2015 Berdasarkan tabel 5.19, gambaran mengenai posisi masing-masing sektor ekonomi Kabupaten Banyuwangi terhadap Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut: a. Sektor pertanian Karakteristik sektor pertanian merupakan sektor basis, memiliki daya saing yang kuat namun pertumbuhannya lambat, sehingga posisi sektor pertanian merupakan kelompok sektor yang menunjukkan kecenderungan sebagai sektor yang tertekan tetapi berpotensi berkembang. b. Pertambangan dan Penggalian Karakteristik sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor basis, memiliki daya saing yang kuat namun pertumbuhannya lambat, dan merupakan sektor yang degresif tapi mempunyai potensi berkembang. c. Industri Pengolahan 31

35 Karakteristik sektor industri pengolahan merupakan sektor non basis, pertumbuhannya lambat namun daya saingnya kuat dan merupakan sektor yang progresif serta mempunyai potensi berkembang. d. Listrik, Gas dan Air Bersih Karakteristik sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor non basis, menunjukkan pertumbuhan yang kuat, daya saingnya lemah dan merupakan sektor yang progresif. e. Bangunan dan Konstruksi Karakteristik sektor bangunan dan konstruksi merupakan sektor non basis, pertumbuhannya cepat, daya saingnya kuat, serta menunjukkan perkembangan yang cepat. f. Perdagangan, Hotel dan Restoran Karakteristik sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor non basis, pertumbuhan dan daya saingnya kuat, serta menunjukkan perkembangan yang cepat. Sektor ini dikategorikan sebagai sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, serta memiliki daya saing tinggi. g. Pengangkutan dan Komunikasi Karakteristik sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor non basis, pertumbuhannya cepat, namun daya saingnya lemah serta menunjukkan posisi tertekan tapi sedang berkembang. Sektor ini dikategorikan sebagai sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi sektor tersebut tidak mampu bersaing (daya saingnya rendah). h. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Karakteristik sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor basis, pertumbuhannya cepat, namun daya saingnya lemah serta menunjukkan posisi tertekan tapi sedang berkembang. Sektor ini dikategorikan sebagai sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi sektor tersebut tidak mampu bersaing (daya saingnya rendah). i. Jasa-jasa Karakteristik sektor jasa-jasa merupakan sektor non basis, memiliki daya saing yang kuat namun pertumbuhannya lambat, dan merupakan sektor yang degresif tapi mempunyai potensi berkembang. Sektor ini dikategorikan sebagai sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan lambat, tetapi sektor tersebut mampu bersaing. 32

36 BAB 6 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH 6.1. Hasil Analisis SWOT Analisis SWOT dalam rangka pemilihan alternatif kebijakan peningkatan daya saing daerah Kabupaten Banyuwangi. Tabel 6.1. Perumusan Faktor Internal dan Faktor Eksternal Faktor No. 1 Faktor Internal 1) Posisi geografis Kabupaten Banyuwangi 2) Kondisi topografi Kabupaten Banyuwangi yang bervariasi (dataran tinggi, dataran rendah, dan daerah dengan susunan bebatuan yang berbeda-beda); 3) Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Banyuwangi; 4) Ketersediaan infrastruktur dasar; 5) Kabupaten Banyuwangi sebagai daerah pertanian; 6) Sarana dan prasarana perekonomian seperti pasar dan kawasan ekonomi lainnya di Kabupaten Banyuwangi; 7) Etos kerja, keuletan, dan jiwa kewirausahaan masyarakat di sektor perekonomian mikro; 8) Kapasitas dan kinerja kelembagaan di Kabupaten Banyuwangi; 9) Potensi Sumber Daya Alam; 10) Tingkat partisipasi masyarakat; 11) Adanya kewenangan dalam menyusun peraturan perundangan untuk mengoptimalkan potensi daerah; 12) Potensi pariwisata; 13) Pemerataan hasil-hasil pembangunan daerah; 14) Upaya mensosialisasikan potensi daerah kepada pihak luar (swasta/investor); 15) Penentuan skala prioritas pembangunan; 16) Sistem birokrasi di Kabupaten Banyuwangi; 17) Pendapatan Asli Daerah dan Struktur APBD Kabupaten Banyuwangi 2 Faktor Eksternal 1) Berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah; 2) Undang-undang tentang Pajak dan Retribusi 3) Undang-undang tentang UMKM; 4) Globalisasi, pasar bebas dan keterbukaan ekonomi dunia; 5) Implementasi ASEAN Economic Community 6) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi internasional; 7) Kondisi sosial politik di tingkat nasional; 8) Kondisi sosial politik di Kabupaten Banyuwangi; 9) Berbagai program pemerintah pusat; 10) Dukungan pemerintah pusat dalam bentuk transfer; 11) Penegakan hukum dan reformasi birokrasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah pusat; 12) Kemajuan tehnologi; 13) Berbagai kemajuan pembangunan yang dimiliki oleh daerah-daerah; 14) Investasi swasta di lingkungan Kabupaten Banyuwangi; 15) Kerjasama dengan daerah-daerah sekitar Kabupaten Banyuwangi. Sumber: Kuisioner SWOT,

37 Berdasarkan penilaian responden, maka faktor-faktor internal dan faktorfaktor eksternal tersebut dapat dikategorikan menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, dapat dijelaskan pada tabel 6.2 berikut. Tabel 6.2. Hasil Analisis SWOT Kabupaten Banyuwangi Faktor Internal Kekuatan (Strength): Posisi geografis Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia Ketersediaan infrastruktur dasar Kabupaten Banyuwangi sebagai daerah pertanian Sarana dan prasarana perekonomian Etos kerja, keuletan, dan jiwa kewirausahaan masyarakat di sektor perekonomian mikro Potensi Sumber Daya Alam Potensi pariwisata Kelemahan (Weaknesess): Kondisi topografi Kapasitas dan kinerja kelembagaan Tingkat partisipasi masyarakat Adanya kewenangan dalam menyusun peraturan Perundangan Pemerataan hasil-hasil pembangunan daerah Upaya mensosialisasikan potensi daerah Penentuan skala prioritas pembangunan Sistem birokrasi Pendapatan Asli Daerah dan Struktur APBD Sumber: Kuisioner SWOT, diolah Faktor Eksternal Peluang (Opportunity): Berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah Undang-undang tentang Pajak dan Retribusi Undang-undang tentang UMKM Kondisi sosial, politik, dan ekonomi internasional Kondisi sosial politik di Kabupaten Banyuwangi Berbagai program pemerintah pusat Dukungan pemerintah pusat dalam bentuk transfer Kemajuan teknologi Kerjasama dengan daerah-daerah sekitar Tantangan (Threat): Globalisasi, pasar bebas dan keterbukaan ekonomi dunia Implementasi ASEAN Economic Community Kondisi sosial politik di tingkat nasional Penegakan hukum dan reformasi birokrasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah pusat Berbagai kemajuan pembangunan yang dimiliki oleh daerah-daerah Investasi swasta 6.2. Daya Saing Daerah Menurut Indikator Input-Output Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran dalam studi tentang daya saing daerah tahun 2001 mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Dari konsep dan definisi mengenai daya saing tersebut, diketahui bahwa pada dasarnya daya saing daerah dihasilkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor input, output dan outcome yang ada di suatu daerah, dengan faktor input sebagai faktor utama pembentuk daya saing daerah yaitu kemampuan daerah, yang selanjutnya akan menentukan kinerja output yang merupakan inti dari kinerja perekonomian. Berdasarkan hasil identifikasi sektoral daya saing Kabupaten Banyuwangi, menggunakan analisis tipologi klassen, analisis LQ, dan 34

38 analisis shift-share, disimpulkan bahwa secara umum kondisi sektoral Kabupaten Banyuwangi memiliki posisi daya saing cukup baik serta menunjukkan pertumbuhan yang dinamis Daya Saing Daerah Menurut Indikator Input-Output Indikator Input Daya Saing Lingkungan Usaha Produktif Lingkungan usaha produktif merupakan indikator dasar sebagai prasarat dalam menumbuhkan daya saing daerah. Indikator yang umumnya dipakai untuk menunjukkan lingkungan usaha produktif adalah prosentase penduduk berdasarkan pendidikan, tingkat kemiskinan, kepadatan penduduk, serta jumlah masyarakat yang melanggan listrik. Tabel 6.1. Persentase penduduk usia 10 th keatas menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Kabupaten Banyuwangi, Tahun Jenjang Pendidikan Tidak/Belum Pernah Sekolah 8,92 6,47 6,40 Tidak/Belum Tamat SD/MI 25,05 24,54 26,38 SD/MI 28,71 29,11 28,60 SLTP sederajat 19,78 18,87 17,82 SMA sederajat 14,45 16,20 17,50 Perguruan Tinggi 3,10 4,81 3,30 Sumber: Dinas Ketenagakerjaan, Kabupaten Banyuwangi, 2015 Masih tingginya komposisi penduduk dengan tingkat pendidikan yang rendah di Kabupaten Banyuwangi mengakibatkan tingkat kemiskinan penduduk juga relatif cukup tinggi. Angka garis kemiskinan per kapita yang masih relatif rendah menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata penduduk di Kabupaten Banyuwangi juga masih relatif rendah. Dilihat dari jumlah penduduk miskin, data menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah penduduk miskin mulai tahun 2011 sampai dengan Hal ini menunjukkan bahwa program pemerintah dalam hal menurunkan jumlah penduudk miskin dapat dikatakan cukup berhasil, namun masih perlu ditingkatkan. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi perlu menyusun kebijakan yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang nantinya akan berkontribusi pada meningkatnya perkapita garis kemiskinan dan menurunkan jumlah masyarakat miskin. Tabel 6.2. Kondisi Kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi, Kemiskinan Garis Kemiskinan (GK), (Rupiah/Kapita) Jumlah Penduduk dibawah GK ( 000 jiwa ) 164,00 156,60 151,60 Prosentase Penduduk Miskin ( P0 ) 10,47 9,94 9,57 Sumber: Dinas Ketenagakerjaan, Kabupaten Banyuwangi,

39 Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, data BPS menunjukkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di tiap kecamatan di Kabupaten Banyuwangi cukup merata. Tingkat kepadatan penduduk tinggi merupakan pasar bagi produk barang dan jasa karena akan mudah dalam proses pemasaran. Sebaliknya daerah dengan tingkat kepadatan yang rendah merupakan tempat bagi pendirian lokasi-lokasi industri baru dikarenakan masih relatif rendahnya biaya. Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.1. Tingkat kepadatan penduduk per Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi (penduduk/km2), 2013 Salah satu faktor pendukung dalam meningkatkan daya saing adalah keberadaan energi listrik di daerah. Energi listrik menjadi kebutuhan vital dalam kegiatan ekonomi. Salah satu ukuran ketersediaan energi listrik adalah jumlah masyarakat yang melanggan. Namun, distribusi listrik yang cukup merata di setiap kecamatan bukanlah jaminan bahwa aliran listrik telah memadai di masingmasing kecamatan. Maksudnya bahwa untuk meningkatkan daya saing ekonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi harus mampu memastikan bahwa pasokan energi listrik di tiap kecamatan tersedia dalam jumlah yang mencukupi dan mampu mengalirkan listrik 24 jam. Mengingat aktivitas ekonomi saat ini sebagian besar sangat bergantung dengan energi listrik. Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.2. Jumlah Pelanggan Listrik di Kabupaten Banyuwangi,

40 Perekonomian Daerah Perekonomian daerah menunjukkan potensi ekonomi dan struktur ekonomi suatu daerah dan merupakan pertimbangan penting dalam mendukung daya saing daerah. Dimensi yang digunakan untuk melihat kinerja perekonomian daerah meliputi pertumbuhan ekonomi daerah, laju inflasi, realisasi investasi daerah, serta Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yakni ukuran yang menyatakan besarnya tambahan modal yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit pengeluaran. Gambar 6.3 menunjukkan perkembangan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi dibandingkan rata-rata Jawa Timur dan Nasional periode 2009 sampai dengan Secara umum pertumbuhan rata-rata Kabupaten Banyuwangi masih lebih tinggi dibandingkan Jawa Timur dan Nasional. Ketika pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dan Nasional mengalami kecenderungan penurunan, justru pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi relatif meningkat ,01 5,06 4,55 6,68 6,12 6,1 7,16 7,22 6,86 7,27 6,5 6,23 6,76 6,94 6,55 5,86 5,78 5, Banyuwangi Jawa Timur Nasional Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.3. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Nasional, Tahun Laju inflasi di Kabupaten Banyuwangi masih relatif lebih rendah dibanding rata-rata inflasi Jawa Timur. Menurut Samuelson (1998), inflasi dibawah 10% tergolong inflasi rendah (Creeping Inflation), artinya kenaikan harga mengalami pertumbuhan yang lambat dengan persentase yang kecil serta dalam waktu yang relatif lama. Inflasi yang tergolong rendah berdampak baik terhadap perekonomian karena mampu merangsang pelaku usaha untuk berproduksi lebih banyak. Sementara, relatif rendahnya inflasi mengakibatkan konsumen tidak tergerus pendapatannya akibat adanya kenaikan harga-harga, bahkan menguntungkan karena memiliki banyak pilihan terhadap barang-barang yang dibutuhkan. Dikaitkan dengan upaya peningkatan daya saing, inflasi dapat dijadikan salah satu referensi bagi pelaku usaha untuk melihat prospek usaha di Kabupaten Banyuwangi. Hal ini dikarenakan inflasi merupakan rangsangan bagi pelaku usaha untuk lebih baik dalam proses produksi. 37

41 Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.4. Perbandingan Tingkat Inflasi Kabupaten Banyuawangi dan Jawa Timur, Tahun Salah satu pilar ukuran meningkatnya perekonomian daerah adalah realisasi investasi daerah. Investasi dapat berupa investasi dari masyarakat lokal atau investor dari luar daerah Banyuwangi bahkan dari penanaman modal asing. Perkembangan jumlah ijin investasi tahun 2012 dan 2013 menunjukkan peningkatan. Hingga maret 2015, ijin investasi sebanyak 558. Meskipun ijin investasi mengalami penurunan, khususnya periode , namun disisi lain, realisasi investasi jauh lebih tinggi dibanding ijin investasi. Hal ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Banyuwangi masih memberikan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Banyuwangi. 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 0, ,190 3,387 3, , Maret 2015* Jumlah Ijin Realisasi Investasi Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.5. Jumlah Ijin dan Realisasi Investasi, Tahun 2015 Data realisasi investasi Kabupaten Banyuwangi menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun peningkatan investasi tidak selalu berjalan paralel dengan dampak yang dihasilkan pada perekonomian. Efisiensi investasi merupakan salah satu penentunya. Untuk mengetahui efisiensi sebagai akibat dari meningkatnya

42 jumlah realisasi investasi dapat dilihat dari perkembangan nilai Incremental Capital to Output Ratio (ICOR). Semakin rendah nilai koefisien ICOR suatu sektor, semakin efisien perekonomian sektor tersebut. Demikian pula halnya dengan ICOR suatu wilayah, semakin rendah nilai koefisien ICOR, semakin efisien perekonomian di wilayah tersebut. Perkembangan ICOR Kabupaten Banyuwangi dibedakan menurut Lag-0, Lag-1 dan Lag-2. Rasio ICOR per tahun yang paling minimum berada pada Lag-2 tahun 2011 dengan nilai Sehingga, dapat dikatakan bahwa nilai investasi yang efisien diperoleh dengan menggunakan pendekatan Lag-2. Artinya penambahan output akan diperoleh setelah investasi ditanam selama dua tahun yang lalu. Misalnya, jika terdapat penambahan PDRB senilai 4,33 triliun pada 2012, itu merupakan hasil dari penanaman investasi yang dilakukan pada tahun 2008 dengan nilai 2.40 triliun, demikian juga untuk setiap penambahan PDRB per tahun yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Tabel 6.3. Rata-rata ICOR Kabupaten Banyuwangi, Tahun ICOR per tahun ICOR per tahun ICOR per tahun (Lag 0) (Lag 1) (Lag 2) , , Rata-rata Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Konsekuensi dari tingkat efisensi investasi yang berada pada lag 2, maka dapat dihitung tambahan yang dihasilkan terhadap masing-masing sektor. Artinya, setiap penambahan investasi akan selalu diikuti dengan meningkatnya nilai produksi barang dan jasa, kemudian dari seluruh nilai tambah bruto yang dihasilkan berdasarkan nilai produksi barang dan jasa tersebut akan menghasilkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ketenagakerjaan dan Sumberdaya Manusia Ketenagakerjaan memiliki peran yang penting dalam mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan daya saing daerah. Dalam aktivitas produksi barang/jasa, keberadaan tenaga kerja memegang peranan penting terhadap keberhasilan proses produksi tersebut. Oleh sebab itu telaah mengenai ketenagakerjaan menjadi penting guna mengetahui kondisi ketenagakerjaan daerah, sebagai bahan kajian dalam pengambilan kebijakan peningkatan daya saing di Kabupaten Banyuwangi. Sebagai faktor input suatu produksi maka dapat dikatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja yang memadai menjadi kunci kelancaran suatu usaha. Secara ekonomis ketersediaan tenaga kerja yang memadai dapat meminimalisir biaya transaksi perusahaan. Dilihat dari tingkat pendidikannya, tingkat pengangguran tertinggi dijumpai adalah pada angkatan kerja dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi yaitu tingkat pendidikan SMA dan kemudian diikuti dengan pengangguran pada penduduk dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi. Hal ini mengindikasikan kurang tersedianya lapangan pekerjaan untuk tingkat pendidikan yang relatif 39

43 tinggi, sehingga banyak penduduk dengan pendidikan yang tinggi untuk memilih sebagai penganggur. Sedangkan penduduk dengan pendidikan rendah (tak terdidik) cenderung untuk memutuskan masuk ke pasar kerja dengan lapangan kerja apa saja, karena tidak banyaknya pilihan bagi mereka dan biasanya mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Apabila hal ini tidak dicarikan solusinya maka lingkaran setan kemiskinan akan mudah untuk terjadi dimana penduduk yang berpendidikan rendah dan biasanya berasal dari keluarga miskin akan tetap terus menjadi miskin. Tabel 6.4. Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2014 Pendidikan Yang Ditamatkan Laki Laki Perempuan Jumlah Belum Tamat SD SD SMP SMA Diploma I/II/III/Akademika Universitas Total Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM), posisi IPM Kabupaten Banyuwangi masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata IPM Jawa Timur. Namun demikian, tren IPM di kabupaten Banyuwangi menunjukkan peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi perbaikan dalam pembangunan serta kualitas manusia di Kabupaten Banyuwangi ,83 73,54 71,06 71,62 72,18 70,53 71,02 69,58 68,36 68, Banyuwangi Jawa Timur Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Banyuwangi dan Jawa Timur, Tahun

44 Infrastruktur Ketersediaan infrastruktur yang memadai dapat menciptakan iklim ekonomi yang dinamis. Oleh sebab itu peningkatan sarana-prasarana daerah baik sebagai penunjang atau pendukung aktivitas usaha menjadi sangat perlu untuk dikembangkan dan tingkatkan nilai kegunaannya. Infrastruktur merupakan faktor penting dalam mendukung kelancaran kegiatan usaha. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur sangat mempengaruhi kelancaran kegiatan usaha di daerah. Semakin besar skala usaha, maka kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur juga semakin besar sehingga dibutuhkan kesinambungan untuk menjaga ketersediaan dan kualitas infrastruktur tersebut. Terkait dengan kualitas dan ketersediaan infrastruktur yang dapat mendukung peningkatan daya saing di Kabupaten Banyuwangi, salah satunya yakni jalan. Ketersediaan jalan sebagai sarana mobilitas dan trasnportasi yang menghubungkan antara daerah sangat penting peranannya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dilihat dari sisi kualitas jalan di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan tingkat kualitas yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 kondisi jalan baik telah mencapai hampir 70% dari panjang jalan dan pada tahun 2013 meningkat hingga mencapai 90% kondisi jalan di Kabupaten Banyuwangi dalam kondisi baik. Dilihat dari sisi kuantitas atau panjang jalan juga menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Hal ini dimaksudkan untuk menambah akses transportasi antar daerah sehingga komunikasi antar daerah sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Dalam beberapa tahun terakhir upaya peningkatan kualitas dan ketersediaan infrastruktur di Kabupaten Banyuwangi cenderung mengalami peningkatan. Hal tersebut ditunjukkan dengan kondisi infrastruktur fisik yakni salah satunya jalan menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas dari tahun ke tahun, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 6.9. Kondisi jalan yang baik terus meningkat sementara kondisi jalan yang rusak dan rusak berat terus dilakukan perbaikan. Tabel 6.5. Panjang Jalan Dirinci Menurut Jenis, Kondisi Jalan, dan Kelas Jalan Kabupaten Banyuwangi (Km) NO KEADAAN JALAN KOTA/KABUPATEN Jenis Permukaan a. Hotmix 774,91 956, , , ,15 b. Lapen 1.133, ,20 979,05 758,53 483,53 c. Tanah 810, ,50 485,12 460,12 d. Lainnya JUMLAH 2.718, , , , ,80 2 Kondisi Jalan a. Baik 1.333, , , , ,46 b. Sedang 194,41 200,30 200,30 110,30 115,18 c. Rusak 185,15 100,80 98,50 88,38 80,25 d. Rusak Berat 138, ,52 70,52 65,79 JUMLAH 1.851, , , , ,68 Sumber : Dinas PU Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Banyuwangi,

45 Di bidang pendidikan, ketersediaan dan kondisi infrastruktur fisik ditunjukkan oleh rasio ketersediaan infrastruktur sekolah terhadap jumlah murid di Kabupaten Banyuwangi. Tabel 6.6. Rasio Ketersedian Sekolah terhadap Murid tingkat SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Banyuwangi, 2014 Kecamatan Jumlah sekolah SD SMP SMA Murid Rasio Jumlah sekolah Murid Rasio Jumlah sekolah Murid Rasio Pesanggaran , , ,140 Siliragung , , ,667 Bangorejo , , ,246 Purwoharjo , , ,198 Tegaldlimo , , ,305 Muncar , , ,223 Cluring , , ,137 Gambiran , , ,228 Tegalsari , , ,221 Glenmore , , ,380 Kalibaru , , ,862 Genteng , , ,292 Srono , , ,470 Rogojampi , , ,285 Kabat , , ,800 Singojuruh , , ,169 Sempu , , ,778 Songgon , , ,333 Glagah , , ,126 Licin , , ,000 Banyuwangi , , ,367 Giri , , ,189 Kalipuro , , ,521 Wongsorejo , , ,315 Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Perbankan dan Lembaga Keuangan Keberadaan lembaga keuangan di suatu daerah baik berupa lembaga perbankan maupun non perbankan diyakini mampu mempercepat proses pembangunan dan kemajuan ekonomi. Dimensi yang menjadi penentu daya saing ekonomi untuk faktor input perbankan dan lembaga keuangan adalah jumlah bank dan kinerja kredit yang disalurkan ke nasabah dan masyarakat. Dalam upaya meningkatkan daya saing daerah, peran sektor perbankan dan lembaga kuangan sangat penting. Peran penting tersebut ditunjukkan oleh 42

46 upaya lembaga keuangan mendukung kebutuhan pendanaan di bidang usaha melalui pengucuran kredit. Ketersediaan lembaga keuangan yang memadai akan memudahkan pelaku usaha untuk mengakses modal usaha terutama bagi usaha yang cenderung capital intensive. Ketersediaan lembaga keuangan Bank di Kabupaten Banyuwangi adalah sebegai berikut: Tabel 6.7. Jumlah Bank di Kabupaten Banyuwangi, 2013 No. Jenis dan Kelompok Bank Bank Kantor ATM 1 Bank Umum Devisa a. Bank Pemerintah b. BPD c. Bank Swasta Nasional Bank Umum Non-Devisa a. Bank Pemerintah b. BPD c. Bank Swasta Nasional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Dari total 39 bank yang ada di Kabupaten Banyuwangi, total nilai kredit untuk usaha kecil yang berhasil disalurkan pada tahun 2012 sebesar Rp. 20,68 triliun pada tahun 2012, namun jumlah tersebut cenderung turun apabila dibandingkan dengan tahun 2010 dengan posisi kredit usaha kecil yang terselurkan sebesar Rp. 21,12 Triliun. Kategori kredit yang disalurkan menunjukkan bahwa sebesar 50,97 persen telah disalurkan untuk kredit modal kerja, konsumsi sebesar 39,90 persen dan investasi sebesar 9,13 persen. Cukup tingginya proporsi realisasi kredit modal kerja menunjukkan bahwa masyarakat di Kabupaten Banyuwangi telah bankable dalam pengajuan kredit. Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.7. Komposisi Kredit berdasarkan Jenisnya di Kabupaten Banyuwangi 43

47 Ditinjau dari besaran realisasi kredit, gambar 6.9 menampilkan realisasi kredit mikro, ritel dan KUR di Kabupaten Banyuwangi. Jumlah realisasi kredit menunjukkan tren kenaikan. Alokasi kredit KUR menempati posisi tertinggi diikuti kredit mikro dan kredit ritel. Realisasi KUR pada Desember 2014 mencapai 2.252,4 meningkat pesat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 1.174,1. Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar 6.8. Realisasi Kredit Ritel, Mikro dan KUR di Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan dimensi-dimensi dalam indikator input daya saing, maka dapat dirangkum kondisi daya saing Kabupaten Banyuwangi adalah sebagai berikut: Tabel 6.8. Kondisi Indikator Input Daya Saing No. Indikator Dimensi Kondisi 1 Lingkungan usaha produktif Prosentase penduduk berdasarkan pendidikan Masih banyak penduduk berpendidikan rendah (SD, 2 Perekonomian daerah Tingkat kemiskinan, kepadatan penduduk Jumlah masyarakat yang melanggan listrik Pertumbuhan ekonomi daerah Laju inflasi Realisasi investasi daerah SMP) Kemiskinan relatif menurun namun populasi penduduk terus bertambah Sebagian besar telah teraliri listrik, namun kapasistas daya terpasang perlu diperhatikan Relatif lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi dan nasional Cukup stabil namun masih relatih tinggi dan berfluktuasi Mengalami peningkatan 44

48 No. Indikator Dimensi Kondisi namun perlu diwaspadai dampak dari inflasi yang merangkak naik Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Alokasi investasi tergolong relatif efisien dengan Lag-2 3 Ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia Pencari kerja berdasarkan pendidikan IPM Masih cukup banyak pencari kerja yang masuk sektor informal dikarenakan kualitas pendidikan yang relatif rendah (SD, SMP) Relatif lebih baik dengan kecenderungan meningkat namun masih lebih rendah dibanding rata-rata Jawa Timur 4 Infrastruktur Infrastruktur Jalan Kondisi jalan baik dibanding jalan rusak relatif lebih baik. Terdapat upaya perbaikan yang signifikan 5 Perbankan dan lembaga keuangan Rasio jumlah sekolah terhadap murid Ketersediaan jumlah Bank Realisasi kredit bagi masyarakat Indikator Output Daya Saing Produktivitas Tenaga Kerja Relatif cukup baik dengan rasio yang merata antar kecamatan Relatif cukup banyak namun perlu diperhatikan akses masyarakat terhadap bank (kepemilikan rekening) Mengalami peningkatan, kredit Modal kerja mendominasi (KUR) Produktivitas tenaga kerja merupakan tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan produk. Produktivitas tenaga kerja menunjukkan adanya kaitan antara output (hasil kerja) dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seorang tenaga kerja. Produktivitas dapat diukur berdasar pendekatan nilai tambah, ataupun perbandingan antar nilai tambah dengan sumber yang terpakai (resource used) dapat menunjukkan tingkat produktivitas. Produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu faktor ketenagakerjaan yang paling penting mengingat peranan produktivitas tenaga kerja yang tinggi dapat mendorong performa perusahan semakin baik. Produktivitas tenaga kerja dapat dilihat dari sisi kemampuannya untuk menghasilkan suatu output secara efektif dan efisien. Tinggi rendahnya produktivitas sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan ketrampilan pekerja. 45

49 Berdasarkan data ketenagakerjaan mengenai distribusi tenaga kerja di Kabupaten Banyuwangi, distribusi tenaga kerja di Kabupaten Banyuwangi masih didominasi oleh pekerja yang relatif kurang terdidik, dengan tingkat pendidikan SMP dan dibawahnya. Pada tahun 2013, tingkat pendidikan tenaga kerja yang memiliki pendidikan SD atau dibawahnya masih sebesar 48,6 persen. Adapun besarnya distribusi pekerja Indonesia dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah merupakan indikasi dari kualitas pekerja yang juga relatif rendah. Tingkat Kesempatan Kerja Tingkat kesempatan kerja adalah peluang seseorang penduduk usia kerja yang termasuk angkatan kerja untuk bekerja. Tingkat kesempatan kerja menggambarkan kesempatan seseorang untuk terserap pada pasar kerja. Data ketenagakerjaan Banyuwangi menunjukkan bahwa selama periode , total penyerapan tenaga kerja menunjukkan kecenderungan konstan dengan total penduduk yang bekerja adalah sekitar jiwa. Hal ini merefleksikan terdapat periode jobless growth dimana pertumbuhan ekonomi tidak banyak memberikan peningkatan bagi penyerapan tenaga kerjanya. Dilihat dari lapangan usahanya, sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling dominan dalam menyerap tenaga kerja di Kabupaten Banyuwangi, dengan sebesar 33.1% dari total penyerapan tenaga kerja pada tahun Meskipun demikian penyerapannya cenderung menurun dari tahun ke tahun, menandakan banyak tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor yang lain. Sektor perdagangan menyerap tenaga kerja kedua terbesar dengan proporsi sebesar 24,3%, dan kemudian dilanjutkan dengan sektor jasa kemasyarakatan dan sektor industri pengolahan. Tabel 6.9. Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Sektor Aktivitas dan Jenis Kelamin Sektor Aktivitas Laki Laki Perempuan Jumlah Pertanian Pertambangan Industri Penggolahan Listrik, air dan gas Bangunan Perdagangan Angkutan, Komunikasi Keuangan Jasa Kermasyarakatan Total Sumber: Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka (2014) Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, mayoritas pekerja di Kabupaten Banyuwangi masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah (SD dan SMP), dengan proporsi lebih dari 50%. Sebaliknya, hanya terdapat proporsi yang kecil untuk pekerja dengan tingkat pendidikan yang tinggi yaitu SMA (17,2%) dan perguruan tinggi (3,21%). Pekerja terdidik cenderung memiliki kesempatan bekerja di sektor formal, sedangkan 46

50 pekerja yang kurang terdidik banyak yang bekerja di sektor informal. Kondisi ini selain menyiratkan belum terkordinasinya dengan baik hubungan antara dunia pendidikan dan lapangan usaha, juga menunjukkan relatif sedikitnya kesempatan kerja yang tersedia bagi seseorang yang memiliki pendidikan tinggi, sehingga banyak dari mereka yang memilih untuk sebagai penganggur atau bekerja di sektor informal. Kondisi sektor informal di Banyuwangi menunjukkan bahwa sektor informal telah menjadi sektor yang paling dominan dalam hal aktivitas ekonominya maupun dalam penyerapan tenaga kerjanya. Besarnya peranan sektor informal dalam penyerapan tenaga kerja ini sejalan dengan meningkatnya peranan sektor perdagangan dan sektor jasa di dalam perekonomian, selain juga masih dominannya peranan dari sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja. Sumber: Sakernas Gambar 6.9. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Formal dan Informal, PDRB per Kapita PDRB per kapita merupakan gambaran dan rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah/daerah. Juga merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah/daerah. Data perkembangan PDRB per kapita di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan kecenderungan peningkatan. Artinya telah terjadi peningkatan kesejahteraan di masyarakat. Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2015 Gambar Perkembangan PDRB per kapita di Banyuwangi 47

LAPORAN PENELITIAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI

LAPORAN PENELITIAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI Bidang Ilmu Tipe Penelitian Ekonomi Inovatif LAPORAN PENELITIAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI KAJIAN KEBIJAKAN MAPPING SENTRA KOMODITAS UNGGULAN

Lebih terperinci

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN SRONO TAHUN 2013

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN SRONO TAHUN 2013 MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN SRONO TAHUN 2013 Menguatkan Responsivitas Rencana Pembangunan Daerah Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Drs. H. Agus Siswanto, MM Kepala Disampaikan pada Rakor Persiapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi

Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083 96 Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Nur Anim Jauhariyah, S.Pd.,M.Si Institut Agama Islam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN GENTENG TAHUN 2013

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN GENTENG TAHUN 2013 MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN GENTENG TAHUN 2013 Menguatkan Responsivitas Rencana Pembangunan Daerah Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Drs. H. Agus Siswanto, MM Kepala Disampaikan pada Rakor Persiapan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi

Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten (Analysis of Regional Development SubDistricts as The Economic Growth and of Service Center in ) Vika

Lebih terperinci

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN (MUSRENBANGCAM) TAHUN 2016 Gotong Royong Mewujudkan Pembangunan Daerah Berkelanjutan

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN (MUSRENBANGCAM) TAHUN 2016 Gotong Royong Mewujudkan Pembangunan Daerah Berkelanjutan RAPAT KOORDINASI PERSIAPAN MUSRENBANGCAM 2016 JUM AT, 12 PEBRUARI 2016 MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN (MUSRENBANGCAM) TAHUN 2016 Gotong Royong Mewujudkan Pembangunan Daerah Berkelanjutan Drs. H. Agus Siswanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka. nasional, serta koefisien gini mengecil.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka. nasional, serta koefisien gini mengecil. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi suatu daerah pada hakekatnya merupakan rangkaian kegiatan integral dari pembangunan ekonomi nasional yang dilaksanakan terarah dan terus

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Geografis Secara astronomis Kabupaten Bolaang Mongondow terletak antara Lintang Utara dan antara Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang mengarah kearah yang lebih baik dalam berbagai hal baik struktur ekonomi, sikap, mental, politik dan lain-lain. Dari

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah bersama dengan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan tugas

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. DIY. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07 44' 04" ' 27"

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. DIY. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07 44' 04 ' 27 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kondisi Geografis Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Bantul terletak di sebelah selatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar Bupati Murung Raya Kata Pengantar Perkembangan daerah yang begitu cepat yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan pambangunan daerah dan perkembangan wilayah serta dinamisasi masyarakat, senantiasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Geografi Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Selatan terletak di ujung selatan Pulau Sumatera

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BLORA

KINERJA DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BLORA SEPA : Vol. 9 No. 2 Februari 2013 : 201-208 ISSN : 1829-9946 KINERJA DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BLORA WIWIT RAHAYU Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definisi Daya Saing Global Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA OLEH MUHAMMAD MARDIANTO 07114042 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

KABUPATEN BANYUWANGI RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2016

KABUPATEN BANYUWANGI RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2016 LAMPIRAN II : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR : 9 Tahun 206 TANGGAL : 9 SEPTEMBER 206 KABUPATEN BANYUWANGI RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI RINGKASAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2014

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI RINGKASAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2014 LAMPIRAN I. : PERATURAN DAERAH BANYUWANGI NOMOR : 04 Tahun 205 TANGGAL : 22 JULI 205 PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI RINGKASAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah adalah membangun perekonomian wilayah tersebut agar memiliki daya saing yang tinggi agar terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Magelang yang merupakan salah satu kota yang ditetapkan menjadi kawasan andalan wilayah jawa tengah pada Perda Jawa Tengah

Lebih terperinci

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN I II PENDAHULUAN PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan oleh orang tersebut. Perbedaan cara pandang mengenai proses pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia

Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia Eko Budi Santoso 1 * Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, * Email : eko_budi@urplan.its.ac.id Abstrak Kota-kota besar di

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN Chrisnoxal Paulus Rahanra 1

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN Chrisnoxal Paulus Rahanra 1 ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN 2003 2013 Chrisnoxal Paulus Rahanra 1 c_rahanra@yahoo.com P. N. Patinggi 2 Charley M. Bisai 3 chabisay@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR. Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK

ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR. Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menghitung berbagai indikator pokok yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan. yang dimiliki oleh daerahnya. Pembangunan nasional dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan. yang dimiliki oleh daerahnya. Pembangunan nasional dilakukan untuk A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari pembangunan nasional, karena pembangunan nasional di Indonesia dilakukan agar mampu menciptakan pemerataan pendapatan

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR EKONOMI UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MALANG TAHUN

ANALISIS SEKTOR EKONOMI UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANALISIS SEKTOR EKONOMI UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MALANG TAHUN 2007-2011 JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Bakhtiar Yusuf Ghozali 0810210036 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Magrobis Journal 41 EVALUASI PEMBANGUNAN BIDANG PERTANIAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2013 ABSTRAK BAB I. PENDAHULUAN

Magrobis Journal 41 EVALUASI PEMBANGUNAN BIDANG PERTANIAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2013 ABSTRAK BAB I. PENDAHULUAN Magrobis Journal 41 EVALUASI PEMBANGUNAN BIDANG PERTANIAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2013 Oleh : Thamrin 1), Sabran 2) dan Ince Raden 3) ABSTRAK Kegiatan pembangunan bidang pertanian di Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN 2010-2014 2.1 STRUKTUR EKONOMI Penetapan SDG s Sustainable Development Goals) sebagai kelanjutan dari MDG s Millenium Development Goals) dalam rangka menata arah

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mencakup segala pengusahaan yang di dapat dari alam dan merupakan barang biologis atau hidup, dimana hasilnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

Perekonomian Daerah. 1. KEGIATAN PRODUKSI 1.1. Pertanian

Perekonomian Daerah. 1. KEGIATAN PRODUKSI 1.1. Pertanian 1. KEGIATAN PRODUKSI 1.1. Pertanian Perekonomian Daerah Kegiatan pertanian sampai saat ini masih memberikan peran yang besar terhadap perekonomian Kabupaten Murung Raya. Kegiatan pertanian masih didominasi

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN (MUSRENBANGCAM) TAHUN 2013

MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN (MUSRENBANGCAM) TAHUN 2013 MUSRENBANG RKPD DI KECAMATAN (MUSRENBANGCAM) TAHUN 2013 Menguatkan Responsivitas Rencana Pembangunan Daerah Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Oleh : Drs. H. Agus Siswanto, MM Kepala Disampaikan pada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 BPS KABUPATEN SIMALUNGUN No. 01/08/1209/Th. XII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun tahun 2012 sebesar 6,06 persen mengalami percepatan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku surut terhitung mulai tanggal 1 Januari 2012.

MEMUTUSKAN: : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku surut terhitung mulai tanggal 1 Januari 2012. KEPUTUSAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR: 188/ 8 /KEP/429.011/2012 TENTANG UANG PERSEDIAAN ANGGARAN BELANJA PADA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN ANGGARAN 2012

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA KELOLA PRODUK-PRODUK UNGGULAN PERTANIAN DAN PERIKANAN DI JAWA TIMUR I. UMUM Wilayah Provinsi Jawa Timur yang luasnya

Lebih terperinci

Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) input yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta

Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) input yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta 2.1 Konsep dan Definisi Daya Saing Global Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar..

DAFTAR ISI. Kata Pengantar.. DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar.. Daftar Isi. Daftat Tabel. Daftar Gambar i-ii iii iv-vi vii-vii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang. 1 I.2. Dasar Hukum...... 4 I.3. Tujuan..... 5 I.4. Manfaat......

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan bagian dari suatu perwujudan pembangunan ekonomi nasional yang bertujuan menciptakan kemandirian suatu daerah dalam mengurus rumah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Sebagai wujud peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci