MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT"

Transkripsi

1 POLA PERGERAKAN HARIAN KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DENGAN MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT BENNY ALADIN SIREGAR DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 POLA PERGERAKAN HARIAN KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DENGAN MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT BENNY ALADIN SIREGAR Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

3 RINGKASAN BENNY ALADIN SIREGAR. Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA D. KUSRINI dan YENI A. MULYANI Salah satu metode untuk memperoleh informasi tentang pergerakan satwa yaitu penggunaan radio tracking. Penggunaan radio tracking dalam penelitian pergerakan katak sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia padahal. penelitian tentang pola pergerakan harian amfibi pernah dilakukan namun menggunakan metoda non- radio tracking. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menggambarkan pola pergerakan Katak pohon jawa Rhacophorus margaritifer dengan menggunakan metode radio tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2) mengetahui pengaruh pemasangan radio transmitter terhadap bobot dan perilaku pergerakan individu katak, dan 3) mendeskripsikan penggunaan ruang oleh Katak pohon jawa Rhacophorus margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian dilakukan pada bulan Mei - September 2011 di sepanjang jalur pos Panyangcangan hingga Curug Tiga Cibereum ( ± 0,6 Km), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada ketinggian mdpl. Pengambilan data tentang pergerakan masing masing individu katak dilakukan kurang lebih selama 8 hari (192 jam) dengan frekuensi pengambilan data setiap 12 jam. Sebanyak 11 individu R. margaritifer telah diamati, yang terdiri atas 8 jantan dan 3 betina. Setiap individu dipasangi transmitter yang berbobot rata-rata 10% dari berat tubuh untuk katak jantan dan 5% dari berat tubuh untuk katak betina. Setiap aktivitas katak yang teramati pada setiap lokasi dijelaskan secara deskriptif. Analisis kuantitatif pergerakan individu R. margaritifer berupa pengukuran jarak pergerakan dan penghitungan nilai alur kelurusan. Semua R. margaritifer yang diamati melakukan pergerakan secara horizontal dan vertikal. Nilai jarak perpindahan vertikal dari tanah terjauh yaitu 7,93 m dan jarak perpindahan horizontal terjauh yaitu 15,71 m. Nilai tertinggi dari kedua pergerakan (vertikal dan horizontal) diperoleh oleh individu betina. Hasil analisis chi kuadrat untuk alur kelurusan menunjukkan bahwa individu jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan. Tidak ada perbedaan nyata yang terlihat dalam perolehan nilai jarak pergerakan horizontal dari badan air antara jantan dan betina, meskipun katak jantan cenderung meninggalkan badan air lebih jauh daripada katak betina. Nilai tertinggi perpindahan secara vertikal dari badan air adalah 9,3 m dan nilai perpindahan secara horizontal tertinggi adalah 13,92 m. Posisi horizontal terjauh sebesar 13,92 m dan posisi vertikal terjauh sebesar 9,30 m dari badan air. Tidak terdapat perbedaan nyata antara jantan dan betina dalam posisi dari badan air. Rata rata jarak tempuh pergerakan horizontal katak jantan lebih jauh daripada katak betina. Perpindahan secara horizontal katak jantan dan betina cenderung acak. Pergerakan dilakukan di sepanjang badan sungai dengan tutupan tajuk yang didominasi oleh tumbuhan tepus (Etlingera solaris). Rata rata jarak tempuh pergerakan yang dilakukan oleh betina adalah 25,34 m dan jarak

4 tempuh rata rata jantan adalah 34,35 m, Jarak tempuh terjauh dilakukan oleh katak betina 1 (49,83 m) dan jarak tempuh terpendek dilakukan oleh katak jantan 6 (8,35 m). Penggunaan radio transmitter pada katak cenderung mengurangi bobot katak dengan rata rata individu R. margaritifer kehilangan 9,75 % berat tubuhnya. Penurunan bobot terlihat jelas pada individu betina 1 dan 2, serta jantan 3,4,5,6,7, dan 8. Hal sebaliknya terjadi pada katak jantan 1 dan 2 yang mengalami penambahan bobot tubuh sebesar 11 % dan 4,8 %. Nilai tertinggi dalam pengurangan jumlah bobot katak terjadi pada contoh katak jantan 3 yaitu sebesar 1,5 gram ( 28,57% dari bobot tubuh). Substrat yang paling banyak digunakan oleh katak jantan adalah daun pisang, pada siang hari sebesar 31% dan malam hari sebesar 54%, sedangkan substrat yang paling sedikit digunakan yaitu air (3 % pada siang hari) dan daun kering (3% pada malam hari). Katak betina berada pada substrat yang berbeda dengan katak jantan pada siang hari yaitu pada daun tepus (35%), namun pada malam hari mendiami substrat daun pisang (29 %). Penggunaan habitat mikro Katak Pohon Jawa tidak terlepas dari faktor suhu lingkungannya. Berdasarkan hasil pengamatan selama 25 hari pengamatan di sekitar air terjun Cibeureum diketahui bahwa pada bulan Mei-Juni suhu dan kelembaban relatif (RH) sangat berfluktuatif dengan RH berkisar antara 103,5 105,5 Kata kunci : Radio tracking, pergerakan, Rhacophorus margaritifer

5 SUMMARY BENNY ALADIN SIREGAR. The Pattern of Daily Movement of Javan tree frog (Rhacophorus margaritifer) using Radio Tracking Method in Gunung Gede Pangrango National Park, West Java. Under supervision of MIRZA D. KUSRINI and YENI A. MULYANI One of the method to obtain information about animal movement is by using radio tracking. Radio tracking method for research on frog movement never been done in Indonesia although there wereprevious research about pattern of daily movement of amphibian in Indonesia using non-radio tracking method.the objectives of the research are 1) to describe the pattern of daily movement of Javan tree frog Rhacophorus margaritifer using radio tracking method in Gunung Gede Pangrango National Park, 2) to assess the impact of radio transmitter installation on mass and behaviour of frog, and 3) to describe spatial use of Javan tree frog Rhacophorus margaritifer in Gunung Gede Pangrango National Park. The research was carried out in Mei September 2011 along the track of Panyangcangan post to Curug Tiga Cibereum (± 0,6 Km), Gunung Gede Pangrango National Park that lies in m above sea level. Data on movement of each frog were collected for every 12 hours for 8 days (192 hours). Number of R.margaritifer observed was 11 frogs, consisted of 8 males and 3 females. Each frogs was installed with a transmitter weighed approximately 10% from total mass of male frog and 5% from mass of female frog. Frogs were observed for each activities in each location and analysis descriptively. Quantitative analysis of individual movement of R. margaritifer are measured by calculated of the length of movement and straightness index value. All R. margaritifer observed, moved horizontally and vertically. The farthest vertical movement from the ground is 7,93 m and the farthest horizontal movement is 15,71 m. The highest score of both vertical and horizontal movements is obtained by females. The result of chi quadrat analysis for straightness index showed that male and female individuals tend to move away from observation starting point. There is no significant difference of horizontal movement from water body between male and female frog, even though male frogs tend to move away from water body much farther than female frogs. The highest vertical movement from water body is 9,3 m and horizontal movement is 13,92 m. The farthest horizontal position is 13,92 m and vertical position is 9,30 m from water body. There is no significant difference between male and female frogs in position from water body. Most male frog has a higer lenght of horizontal movement compared to female. Male and female frogs tend move jhorizontally in random. Frogs move along river body dominated by tepus (Etlingera solaris) plant. The average movement of female frog is 25,34 m and 34,35 m for male frog. The longest distance was done by female frog number 1 (49,83 m) and the shortest male frog number 6 (8,35 m). The use of radio transmitter in frog tends to reduce frog weight with average of 9,75% weight loss for each individual of R margaritifer. Weight loss occured in female individual of R. Margartifer 1 and 2, and also male 3,4,5,6,7 and 8. And the other side, weight gain occured in male frog 1 and 2 which gained

6 weight 11% and 4,8%. The highest score in weight loss is 1.5 gram (28,57% of weight body) in male frog 3. Substrat most widely used by male frogs is banana leaf in the afternoon (31%) and in the night 54%. Substrat least used are water (3% in the afternoon) and dried leaf (3% in the night). Female frogs used different substrates from male frogs, in the afternoon mostly in tepus leaf (35%) and in the night in the banana leaf (29%). Micro habitat of the javanase treefrogs can not be separeted with its environment temperature factor. Based on observation for 25 days around Cibereum waterfall, during May June the temperature and relative humidity (RH) fluctuated with supersaturated RH range 103,5 105,5 of RH. Keywords : Radio tracking, movement, Rhacophorus margaritifer

7 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo, Jawa Barat adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasa latau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini Bogor, Maret 2013 Benny Aladin Siregar E

8 Judul Skripsi Nama NIM : Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Benny Aladin Siregar : E Pembimbing I Menyetujui: Pembimbing II Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni. MS NIP Tanggal Lulus :

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 22 Juni 1987.Pendidikan formal dimulai di SD N Rancaloa 2 Bandung ( ), sekolah menengah dilanjutkan di SMP St. Mikhael Manado, Sulawesi Utara ( ), kemudian melanjutkan pendidikan atas di SMA N 5 Manado Sulawesi Utara ( ). Keseharian penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keorganisasian seperti Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institiut Pertanian Bogor (Lawalata-IPB) bahkan pernah menjabat sebagai ketua umum periode , kemudian angggota organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada divisi Kelompok Pemerhati Herpetofaunan (KPH Pyton). Selama perkuliahan penulis telah mengikuti berbagai kegiatan penelitian dan ekspedisi diantaranya Ekspedisi Pulau Nusa Penida, Bali (2007), Ekspedisi Rinjani Mountain Bike Tour di Taman Nasional Gunung Rinjani, NTB (2009), Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon (2010), Ekspedisi Indonesian Caving Adventure di Taman Nasional Phong Nha Ke Bang Vietnam (2010). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB penulis menyelesaikan skripsi berjudul Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo, Jawa Barat di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc.

10 UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih-nya yang tak terbatas, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. 1. Kedua orang tuaku yang tercinta yang senantiasa membimbing tanpa pamrih dan terus tiada hentinya memberikan dukungan moral dan materil, kakakku yang seantiasa mau untuk direpotkan selama penulis berkuliah, dan adik-adikku Melisa Ansela dan Christian Junior yang senantiasa sabar menemaniku di lapangan kala pengambilan data skripsi. 2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang terus menerus membimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran. 3. Dosen penguji sidang skripsi Dr. Ir. Erianto Indra M.Sc 4. Arief Tajali, Febriyanto Kolanus, Stefen Daniel, Dinen Bintang, Bang Rako, Bang ucok, Mbak Inggar yang menemani di lapangan dan atas koleksi fotonya. 5. Rekan rekan sepermainan Lawalata IPB, Herdafi, Emak (Romawati), Suki (Dafid), Gilang Embang, Nonet te (Sudiyah), Bucil (Nurmadiah) atas pendampinganya di lapangan. 6. Rekan-rekan Lawalata IPB, HIMAKOVA, SUPERNOVA-IPB, dan Fakultas Kehutanan. 7. Mohammed bin Zayed Conservation Fund sebagai sponsor penuh penelitian ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

11 i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini merupakan penelitian yang berjudul Pola Pergerakan Harian Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) Dengan Menggunakan Metode Radio Tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo, Jawa Barat dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu refrensi dalam penelitian pergerakan satwa khususnya amfibi. Penulis masih menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan dan masih memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian baik dalam penyajian isi maupun aturan penulisan serta tata bahasa yang digunakan. Bogor, Maret 2013 Benny Aladin Siregar NIM E

12 ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Manfaat... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Morfologi Habitat dan Penyebaran Perilaku dan Pergerakan Amfibi Radio Tracking... 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Alat dan bahan Pemasangan Transmiter Pola Pergerakan Harian R margaritifer, Pengaruh Pemasangan Radio transmitter dan Penggunaan Habitat Mikro Analisis data BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan umum Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo Lokasi dan luas Kondisi fisik Kondisi biotik Kondisi Habitat air terjun Cibeureum BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pola pergerakan Rhacophorus margaritifer... 15

13 iii Perbedaan waktu dan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air Pengaruh pemasangan radio transmiter terhadap individu katak Deskripsi penggunaaan mikrohabitat Rhacophorus margaritifer Pembahasan Pergerakan Rhacophorus margaritifer Pengaruh penggunaan radio transmitter terhadap perubahan bobot katak Rhacophorus margaritifer penggunaan mikrohabitat Rhacophorus margaritifer Kendala selama pengamatan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 33

14 iv No. DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil Penghitungan alur kelurusan R. margaritifer Pergerakan katak antara 12 jam pengamatan Perubahan bobot R. margaritifer sebelum dan sesudah pemasangan transmitter Perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R. margaritifer Perbandingan perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R. margaritifer dalam waktu pengamatan 72 jam... 24

15 v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Peta P. Jawa dan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo Transmiter type BD-2N, radio Yaesu type FT 817 ND, i-button Simulasi pengukuran SVL pada katak Pemasangan transmitter pada harness dengan menggunakan perekat Pemasangan transmitter pada katak dengan metode harness Katak yang sudah dipasangi transmitter di habitat asli Simulasi pengukuran katak di alam Rata-rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal Rata-rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal dari badan air Rata-rata pergerakan horizontal katak jantan dan betina Rata-rata pergerakan vertikal katak jantan dan betina Pola pergerakan katak jantan dan betina secara horizontal Kondisi habitat katak R. margaritifer sepanjang jalur pengamatan Posisi katak jantan dan betina pada substrat di siang dan malam hari Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Mei-Juni Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Agustus Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan September Luka pada tubuh katak R. margaritifer akibat pemasangan alat yang longar Salah satu sampel katak berada di atas tanah pada siang dan malam hari. 27

16 vi DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Hasil penghitungan chi kuadrat berdasarkan nilai alur kelurusan Uji perbedaan waktu terhadap rata-rata posisi katak dari badan air Uji perbedaan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air Hasil penghitungan nilai alur kelurusan R. margaritifer... 37

17 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pergerakan satwa terjadi karena munculnya dorongan untuk memperoleh makan, mencari pasangan dan menghindari predator (Sellers 2000). Selain hal diatas, perubahan keadaan lingkungan serta cuaca juga terkadang mendorong satwa untuk bergerak (Tood & Winne 2006). Pergerakan satwa dilakukan dengan melakukan perpindahan posisi satwa dari tempat semula ia berada. Penelitian tentang pola pergerakan satwa akan menghasilkan pemahaman tentang penggunaan habitat suatu spesies, termasuk tipe dan jumlah habitat yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan bereproduksi (White & Garrott 1990). Pola pergerakan dan penggunaan habitat oleh satwa penting dilakukan untuk mengidentifikasi potensi kepunahan karena perubahan fungsi lahan (Hanski dan Zhang 1993). Dalam aplikasinya, pemahaman tentang pergerakan satwa akan memberikan dampak penting dalam manajemen kawasan dan konservasi (Dodd 1996). Seperti halnya hewan bertulang belakang pada umumnya, amfibi merupakan salah satu hewan yang melakukan pergerakan sepanjang hidupnya. Penelitian tentang pola pergerakan harian amfibi sejauh ini sudah pernah dilakukan di Indonesia diantaranya penelitian oleh Muliya (2010), Sholihat (2007), dan Firdaus (2011). Penelitian tentang pergerakan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) di TNGP dilakukan oleh Muliya (2010) dengan menggunakan metode spool track. Metode ini merupakan yang paling banyak dilakukan, karena kemudahan dalam memperoleh bahan pembuatnya dan penggunaan yang cukup mudah. Selain penelitian diatas Sholihat (2007) juga melakukan penelitian terkait pola pergerakan dengan menggunakan metode penggunaan cat dan spool track terhadap Polypedates leucomystax. Penelitian mengenai dampak penambahan beban terhadap pergerakan R. margaritifer juga dilakukan oleh Firdaus (2011). Salah satu metode lain untuk memperoleh informasi tentang kegunaan mikrohabitat, area jelajah, dan pergerakan suatu spesies yaitu penggunaan radio

18 2 tracking (Rowley & Alford 2007a). Penggunaan radio tracking dalam penelitian pergerakan katak sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia, berbeda dengan negara lain dimana penelitian tentang pergerakan katak sudah cukup banyak dilakukan. Penelitian ini menjadi penting karena pada dasarnya kondisi habitat di Indonesia berbeda dengan kondisi habitat di negara lain khususnya habitat jenis katak pohon (Rhacophorus). Keberadaan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) saat ini tersebar di berbagai tipe habitat termasuk di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian tentang amfibi menjadi salah satu topik yang sering dikaji khususnya bagi penggiat ilmu kehutanan dan biologi dikarenakan status keberadaan dan nilai ekologis yang tak ternilai harganya Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan: 1. Menggambarkan pola pergerakan Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) dengan menggunakan metode radio tracking di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 2. Menganalisa pengaruh pemasangan radio transmiter terhadap individu katak 3. Mendeskripsikan penggunaan ruang oleh Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1. 3 Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menambah wawasan dalam lingkup ilmu pengetahuan tentang katak. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu panduan atau acuan dalam riset atau penelitian khususnya dalam studi tentang pergerakan satwa dan penggunaan radio tracking dalam penelitian tentang satwa.

19 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Taksonomi Katak Pohon Jawa dengan nama spesies Rhacophorus margaritifer (syn. Rhacophorus javanus) merupakan genus Rhacophorus, dari famili Rhacophoridae dengan sub ordo Acosmanura dan ordo Anura dari kelas Amfibia, filum Chordata, serta kingdom Animalia. Di Indonesia terdapat sebanyak 20 jenis dari marga Rhacophorus, sedangkan di Pulau Jawa terdapat delapan jenis (Iskandar 1998) Morfologi R. margaritifer memiliki tubuh relatif gembung dengan ukuran kaki yang panjang dan jari tangan yang berselaput kira-kira setengah atau dua pertiga dari panjang jari (Iskandar 1998). Kulit pada permukaan atas tubuh dan perut memiliki tekstur yang halus dengan warna kulit dominan coklat, baik pada jantan maupun betina. Terkadang warna yang muncul pada bagian punggung bervariasi seperti coklat tua, coklat kemerahan, coklat muda sampai kuning dengan bercak-bercak tidak beraturan pada bagian atas tubuh, sedangkan kulit bagian perut berwarna putih (Kurniati 2003) Habitat dan Penyebaran Jenis Katak Pohon Jawa R. margaritifer hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa (Iskandar 1998). R. margaritifer banyak menghabiskan kegiatannya di tumbuh-tumbuhan dan berada tidak jauh dari sumber air (Muliya 2010). Jenis ini dapat ditemukan di ketinggian rata rata 1000 mdpl (Schlegel 1837), R. margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) menempati daerah dengan rata rata suhu harian berkisar antara 16 0 C 17 0 C (Lubis 2008). Hampir seluruh individu R. margaritifer di TNGP ditemukan berada di lokasilokasi dengan jarak dari sumber air 0-10 meter, dan hanya sedikit yang berada pada jarak lebih dari 10 meter dari sungai (Kusrini et al. 2005, 2006).

20 Perilaku dan Pergerakan Amfibi Banyak hewan melakukan perubahan pola pergerakan dalam hidupnya seiring dengan bertambahnya usia, hal ini mungkin disebabkan karena bertambahnya kebutuhan akan sumberdaya, kompetisi antar spesies dan menghindari pemangsa (Demers et al. 2007). Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan untuk memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai (Dole 1965), Pergerakan amfibi dilakukan pula untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan kerabat yang dekat (inbreeding), serta penggunaan ruang secara bervariasi dalam bermacam macam habitat (Gros et al. 2006). Waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara (Goin & Goin 1971). Amfibi memiliki beragam perilaku sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima serta memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan. (Stebbins & Cohen 1995). Distribusi satwa seperti amfibi sering dibatasi oleh kualitas dan distribusi habitat perkembangbiakan (Wilbur 1980). Banyak amfibi yang bersifat nokturnal dan memiliki shelter (tempat berlindung) yang basah sepanjang hari yang berfungsi untuk menjaga kelembaban kulit pada saat siang hari (Duellman & Trueb 1986). Banyak jenis amfibi melakukan adaptasi dalam melakukan pencarian tempat berkembangbiak yang sesuai, mereka akan melakukan perpindahan ke tempat yang baru jika kondisi air mengalami perubahan seiring berjalanya waktu (Dall`Antonia & Sinsch 2001). Pergerakan amfibi dilakukan secara horizontal dan vertikal dari badan air. Penelitian menggunakan spool track pada katak pohon Jawa menemukan, pada malam hari jenis ini melakukan pergerakan lebih jauh dari pada siang hari (Muliya 2010). Sementara katak Litoria nannotis di Australia aktif pada malam hari dan bergerak ke daerah yang terbuka di daerah perairan dan hutan (Hodgkison & Hero 2001).

21 Radio Tracking Salah satu teknik dalam memperoleh informasi tentang penggunaan mikrohabitat, wilayah jelajah, dan pergerakan dari satwa adalah dengan menggunakan radio tracking di lapangan (Rowley & Alford 2007a). Radio tracking adalah teknik dalam menentukan informasi tentang satwa menggunakan sinyal radio yang dibawa oleh satwa tersebut. Komponen dasar dari sistem radio tracking terdiri dari 1. Subsistem transmiter yang berupa radio transmiter, sumber daya, dan antena, dan 2. Penerima antena subsistem sebagai penangkap sinyal dengan indikatornya (berupa spiker dan layar tampil), dan sumber daya (Mech & Barber 2002). Penggunaan metode tracking yang biasa digunakan untuk jenis amfibi adalah menggunakan sistem radio telemetri, namun penggunaan sistem ini harus memperhatikan 2 hal penting yaitu ukuran dan berat dari radio transmiter yang akan dipasang (Rowley & Alford 2007a). Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah satwa tidak boleh membawa beban lebih dari 10% berat tubuhnya (Richards et al. 1994), bahkan penulis lain menyatakan bahwa rasio beban yang diberikan tidak boleh melebihi 5% berat tubuh satwa (Kenward 1987). Pemasangan radio transmiter pada amfibi menggunakan sistem ransel. Perangkat transmiter dipasang seperti ransel menggunakan harness (sabuk pengikat) yang terpasang pada selang tubular yang nantinya diikatkan pada satwa (Ward & Flint 1995). Harness biasanya terbuat dari pita teflon lembut atau tali polister elastis, harness yang dipasangkan haruslah elastis dan akan terdegradasi dalam jangka waktu tertentu sehingga akan terlepas dengan sendirinya. Pemasangan radio transmiter dapat membuat satwa bergerak lebih lambat, mudah terlihat, atau menjadi tidak mampu mengatur postur tertentu (Kenward 1987). Radio transmiter yang terpasang di tubuh amfibi nantinya akan memancarkan sinyal dalam frekuensi tertentu yang akan ditangkap oleh alat penerima, proses penangkapan sinyal terkadang menjadi tidak akurat. Ketidaktepatan dalam menangkap sinyal radio bervariasi di tiap tipe habitat, Sumber kesalahan yang biasa terjadi adalah adanya pantulan sinyal yang diakibatkan oleh perbukitan, seringkali sinya dibelokan bahkan jauhnya sampai berkilo-kilometer. Cara paling efektif dalam menghindari kesalahan karena pantulan sinyal adalah menangkap sumber sinyal dari bermacam macam titik dari

22 6 sudut yang berbeda. Ketika sinyal yang diambil mengarah ke titik yang relatif sama berarti peluang menemukan lokasi satwa semakin besar, tetapi jika sinyal yang ditangkap berasal dari arah yang berbeda beda berarti pemantulan sinyal masih terjadi (White & Garrott 1990)

23 7 BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dalam jangka waktu Mei - September Pengambilan data lapangan dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada ketinggian mdpl (Gambar 1). Wilayah studi ditentukan di wilayah yang dipastikan merupakan habitat dari Katak Pohon Jawa (Rhacoporus margaritifer). Pengamatan dilakukan sepanjang jalur pos Panyangcangan hingga Curug Tiga Cibereum dengan panjang ± 0,6 Km. Keseluruhan pengambilan data pengamatan dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 6 Juni, Agustus, dan September Gambar 1 Peta P. Jawa dan kawasan Taman nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber: ).

24 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian berupa perlengkapan radio telemetri (radio merk Yaesu type FT-817 ND, transmiter type BD-2N (buatan Holohil ltd.), antena YAGI 3 elemen (Gambar 2), alat tulis menulis, benang jahit, selang plastik pita perekat, gunting, pinset, dan MS222 (tricaine methanesulfonate). Alat yang digunakan untuk pengukur pergerakan Rhacophorus margaritifer berupa senter / headlamp, baterai, kantong spesimen, jam tangan, tally sheet, alat tulis, caliper, neraca pegas (ukuran 5, 10, 30, 60, 100g), laser pengukur jarak, kompas, dan GPS. Alat untuk mengukur faktor lingkungan (ibutton yang berfungsi sebagai pengukur suhu dan kelembaban udara secara otomatis), Alat dokumentasi berupa kamera digital dan baterai. Objek penelitian terdiri dari katak R. margaritifer dan habitatnya. 10 cm 2 cm Skala 1:2 Gambar 2 Transmiter type BD-2N (Holohil ltd.) ( RadioYAESU type FT 817 ND ( I button ( ) Pemasangan Transmiter Setiap katak yang diamati ditangkap langsung pada lokasi penelitian. Katak yang ditangkap terlebih dahulu ditimbang dan diukur panjang tubuhnya (Snout Vent Length/SVL) dengan menggunakan kaliper dan mengukur berat tubuh dengan menggunakan neraca pegas (Gambar 3).

25 9 Gambar 3 Pengukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis merah : a - b). Pemasangan transmiter dilakukan dengan beberapa beberapa tahap yaitu : a. Katak yang sebelumya sudah ditangkap dan diukur dibuat agar pingsan dengan menggunakan bubuk MS 222, katak yang akan dijadikan objek dipilih yang memiliki bobot 5 gram karena bobot dari transmiter sendiri sebesar 0,43 gram. b.persiapan pemasangan transmiter (metode pemasangan harness) dilakukan selama menunggu katak pingsan dengan cara merekatkan selang dengan lem perekat kepada transmiter (Gambar 4), kemudian dilakukan pengukuran bobot transmiter yang sudah dipasang harness agar bobot tetap sebesar batas yang ditentukan yaitu kurang dari 5% dari bobot tubuh katak. Gambar 4 Pemasangan transmiter pada harness dengan menggunakan perekat.

26 10 c. Pemasangan transmiter dilakukan pada pinggang katak dengan cara mengikatkan benang pada harness yang sudah disiapkan sebelumnya (Gambar 5). Transmiter yang dipasang diupayakan agar tidak terlalu longgar atau terlalu ketat agar transmiter tidak mudah lepas atau pun melukai tubuh katak (Gambar 5). Gambar 5 Pemasangan transmiter pada katak dengan metode harness. d. Setelah transmiter terpasang dilakukan pemeriksaan apakah pemasangan cukup pas pada lingkar pinggang katak dengan cara menarik perlahan ke belakang, jika tidak lepas maka pemasangan sudah sesuai. e. Setelah itu dilakukan tes pada transmiter yang akan dipasang apakah masih berfungsi dengan baik dan mampu memancarkan frekuensi yang sudah ditentukan. f. Katak yang sudah dipasangi transmiter dilepas ke tempat semula katak tersebut ditangkap (Gambar 6). Gambar 6 Katak yang sudah dipasangi transmiter di habitat asli.

27 Pola Pergerakan Harian R. Margaritifer, Pengaruh Pemasangan Radio Transmiter Terhadap Bobot Katak, dan Penggunaan Habitat Mikro Pengambilan data tentang pergerakan masing-masing individu katak dilakukan kurang lebih selama 8 hari (192 jam) dengan frekuensi pengambilan data setiap 12 jam. Individu R. margaritifer yang diamati sebanyak 11 ekor terdiri atas 8 ekor jantan dan 3 ekor betina. Seluruh individu dipasangi transmiter dengan bobot rata rata 10% dari berat tubuh untuk katak jantan dan rata rata 5% dari berat tubuh untuk katak betina. Pengukuran pola pergerakan dan penggunaan habitat mikro diukur pada pukul dan malam pada pukul Pengambilan data dan analisa tentang pengaruh pemasangan radio transmiter pada individu katak R. margaritifer dibatasi untuk mengetahui perubahan bobot tubuh katak dan kerusakan yang timbul akibat pemasangan radio transmiter pada tubuh katak. Pembatasan pengambilan data dan analisa dilakukan karena pengamat tidak mengamati katak selama 24 jam. Pengukuran perubahan bobot katak dengan menggunakan neraca pegas serta kondisi tubuh katak dengan cara ditangkap dan diamati langsung dilakukan setiap dua hari sekali untuk menghindari terjadinya stress yang berlebihan. Pencatatan dilakukan terhadap posisi keberadaan katak, sudut atau arah pergerakan, jarak horizontal dan vertikal perpindahan dari posisi semula, jarak horizontal dan vertikal dari sungai, aktifitas ketika ditemukan (Gambar 7). Untuk memperoleh data habitat dilakukan pengukuran suhu, kelembaban harian, dan Substrat Gambar 7 Pengukuran katak di alam.

28 Analisis Data Setiap aktivitas yang dilakukan pada setiap lokasi ditemukannya jenis R. margaritifer dijelaskan secara deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap pergerakan individu R. margaritifer berupa pengukuran jarak. Data yang diperoleh digunakan untuk memetakan posisi dan pergerakan katak setiap harinya. Jika jarak pergerakan katak < 0,05 m maka pergerakan dianggap nol karena dengan jarak pergerakan tersebut katak hanya dianggap bergeser (Sholihat 2007). Pergerakan katak dianalisis secara kuantitatif untuk menentukan nilai alur kelurusan dan jarak tempuh katak selama dipasangi alat atau disebut dengan net displacement, pengukuran biasanya dilakukan selama 24 jam (Schwarzkopf & Alford 2002). Nilai 0 dan 1 digunakan untuk mengindikasikan pergerakan katak dimana nilai 1 berarti katak bergerak keluar dalam pola alur lurus sedangkan 0 mengindikasikan katak tidak bergeser. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai alur kelurusan adalah: Nilai alur kelurusan = Selain rumus diatas pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus chi kuadrat yaitu: dengan : X 2 hitung = X 2 : Chi kuadrat E : Frekuensi yang diharapkan O : Frekuensi yang diobservasi Apabila X 2 hitung lebih besar daripada X 2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dimana Ho berarti pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal, sedangkan Ha berarti pergerakan katak jantan dan betina menjauhi titik awal. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.0.

29 13 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Lokasi dan luas Taman Nasional Gunug Gede Pangrango (TNGP) adalah salah satu dari lima taman nasional yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980 yang diumumkan pada Strategi Konservasi Dunia (Widada 2008).Status penetapan kawasan menjadi taman nasional ditetapkan melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 juni Kawasan TNGP yang terletak diantara Kabupaten Bogor, kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi merupakan kawasan perwakilan ekosistem hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa, dengan luas kawasan sebesar hektar pada koordinat 106 o o 02 BT dan 06 o o 51 LS. Tahun 1977 Kawasan TNGP ditetapkan sebagai Cagar Biosfir oleh UNESCO, dan pada tahu 1995 ditetapkan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia (PHKA 2007) Kondisi fisik Gunung Gede merupakan satu dari 35 gunung berapi aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati. Gunung Gede memiliki ketinggian mdpl dan Gunung Pangrango memiliki ketinggian mdpl, keduanya merupakan dua dari tiga gunung tertinggi di Jawa Barat. Topografi kawasan ini bervariasi mulai dari ketinggian mdpl, sedangkan kawasan TNGP memiliki ketinggian antara mdpl. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidtferguson, kawasan TNGP termasuk dalam tipe A. Curah hujan yang tinggi dengan rata rata curah hujan tahunan mm. Suhu rata rata siang hari di kawasan TNGP berkisar antara 10 o C-18 o C, sedangkan pada malam hari berkisar antara 0 o C-5 o C, memiliki kelembaban udara tinggi sekitar 80-90% (PHKA 2007).

30 Kondisi biotik Berdasarkan data PHKA 2007 tipe ekosistem kawasan TNGP berdasarkan ketinggianya dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu 1). Ekosistem hutan pegunungan bawah, yang terletak pada ketinggian mdpl; 2). Ekosistem hutan pegunungan atas, yang terletak pada ketinggian mdpl, dan 3). Ekosistem sub-alpin, yang terletak pada ketinggian mdpl, memiliki strata tajuk sederhana dan pendek dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Dalam catatan pada awal abad ke 19 kawasan ini sangat kaya dengan keanekaragaman faunanya. Kawasan ini merupakan habitat bagi sekitar 53% dari jenis burung di Pulau Jawa (sekitar 260 jenis), 4 jenis primata, serta habitat berbagai jenis satwa liar lainya (PHKA 2007). Data tentang keanekaragaman amfibi khususnya ordo Anura belum banyak diketahui sejak pertama kali dilakukan pengambilan datanya oleh Liem (1974), pada perolehan data terakhir yang dilakukan oeh Kusrini (2005 & 2007) diketahui jumlah ordo Anura sebanyak 24 jenis, dua jenis diantaranya adalah jenis endemik yaitu Rhacophorus margaritifer dan Leptophryne cruentata 4.2 Kondisi Habitat Air Terjun Cibeureum Sejarah penamaan kawasan air terjun Cibeureum berdasarkan kajian ilmiah mengacu pada warna sejenis lumut merah (Spagnum gedeanum) yang tumbuh dan mudah dilihat di tebing sekitar air terjun. Lumut ini merupakan tumbuhan endemik kawasan TNGP.Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 53 meter memiki luas area ± 2,5 Ha, berada pada ketinggian 1350 mdpl terletak sekitar 2,8 km dari pintu masuk Cibodas. Kawasan ini didominasi oleh vegetasi dari jenis pakis, paku-pakuan, pandan, rotan, dan tumbuhan perdu. Daerah ini relatif dingin dan lembab (BTNGP 2006). Sungai yang mengalir di sekitar kawasan ini ada sepanjang tahun, dengan rata rata lebar sungai 2-3 m.

31 15 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pola pergerakan Rhacophorus margaritifer R. margaritifer yang diamati melakukan pergerakan secara horizontal dan vertikal. Nilai jarak perpindahan vertikal dari tanah terjauh diperoleh angka sebesar 7,93 m dan jarak perpindahan horizontal terjauh diperoleh sebesar 15,71 m. Nilai tertinggi dari kedua pergerakan (vertikal dan horizontal) diperoleh oleh individu betina (Gambar 8). Hasil penghitungan nilai alur kelurusan diperoleh dalam Tabel 1 dalam hasil penghitungan chi kuadrat diketahui bahwa individu jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan karena dalam penghitungan X 2 hitung > X 2 tabel yaitu 5,646 > 3,841, yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Tabel 1. Hasil penghitungan alur kelurusan R. margaritifer Jenis kelamin N Jarak lurus (m) Jarak Tempuh (m) Nilai alur kelurusan selama 8 hari min max min max Betina ,25 99,9 23,03 0,65 0,80 Jantan ,6 8,35 49,72 0,22 0,88 Hasil pergerakan katak yang dicatat selama 12 jam diperoleh data pergerakan siang dan malam hari pada Tabel 2. Pergerakan dari malam menuju siang hari diperoleh data wilayah jelajah vertikal katak jantan berkisar antara nilai 0 7,93 m, tetapi dalam kasus lain penulis pernah menemukan katak R. margaritifer berada pada ketinggian lebih dari 10 m, jarak dari badan air diperoleh nilai dengan kisaran antara 0 13,92 m untuk katak betina diperoleh data wilayah jelajah vertikal berkisar antara 1,11 3,25 m serta jarak dari badan air berkisar antara 0,55 2,97 m. Pergerakan pada siang menuju malam hari diperoleh data yaitu wilayah jelajah vertikal katak jantan berkisar antara 0 7,32 m, dan jarak dari badan airnya berkisar antara 0 13,50 m. Pada katak betina diperoleh data wilayah

32 16 jelajah vertikal sebesar 1,5 6,1 m, dan jarak terjauh dari badan air sebesar 0,45 6,7 m. Tabel 2 Pergerakan katak antara 12 jam pengamatan (pengamatan 192 jam) Waktu Pergerakan Betina (m) Jantan (m) Malam - Siang Pergerakan minimum antara 12 jam 0 0 Pergerakan maksimum 12 jam 10,6 16,23 Pergerakan rata-rata selama 12 jam 2,36 3,31 Jarak terdekat dari badan air 0,55 0 Jarak terjauh dari badan air 2,97 13,92 Posisi vertikal terdekat 1,11 0 Posisi vertikal terjauh 3,25 7,93 Siang - Malam Pergerakan minimum antara 12 jam 0 0 Pergerakan maksimum 12 jam 15,71 12,91 Pergerakan rata-rata selama 12 jam 3,41 3,34 Jarak terdekat dari badan air 0,45 0 Jarak terjauh dari badan air 6,7 13,50 Posisi vertikal terdekat 1,5 0 Posisi vertikal terjauh 6,1 7,32 Perolehan angka rata-rata jarak pergerakan vertikal dan horizontal dari tanah menunjukan bahwa katak betina memperoleh nilai yang lebih tinggi dari katak jantan (gambar 8). Gambar 8 Rata-rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal.

33 17 Tidak ada perbedaan nyata yang terlihat dalam perolehan nilai jarak pergerakan dari badan air antara jantan dan betina pada gerak horizontalnya, walaupun pada grafik menujukan katak jantan cenderung meninggalkan badan air pada jarak yang lebih jauh daripada katak betina (Gambar 9). Gambar 9 Rata rata pergerakan katak secara vertikal dan horizontal dari badan air. Rata-rata jarak tempuh pergerakan horizontal antara katak jantan dan betina yang diamati selama delapan hari diketahui bahwa katak jantan bergerak lebih jauh dibandingkan dengan katak betina (Gambar 10). Bila dilihat dari data pergerakan horizontal katak betina memperoleh nilai yang berbeda pada hari ke-1 dan 2 pengamatan namun pada hari ke-3 hingga hari ke-8 nilai rata rata pergerakan tidak begitu berbeda jauh, berkisar di jarak 0-1 m, sedangkan pada katak jantan rata rata pergerakan horizontal harianya terlihat sangat fluktuatif dengan nilai berkisar antara m. Sementara itu, hal yang serupa juga terjadi pada pergerakan vertikal harian, dimana katak jantan cenderung bergerak lebih tinggi daripada katak betina (Gambar 11). Gambar 10. Rata-rata pergerakan horizontal katak jantan dan betina.

34 18 Gambar 11. Rata-rata pergerakan vertikal katak jantan dan betina. Perpindahan secara horizontal katak jantan dan betina (Gambar 12) cenderung acak. Pergerakan dilakukan sepanjang badan sungai dengan tutupan tajuk yang didominasi oleh tumbuhan tepus (Etlingera solaris). Rata rata jarak tempuh pergerakan yang dilakukan oleh betina sebesar 25,34 m dan jarak tempuh rata-rata jantan sebesar 34,35 m, Jarak tempuh terjauh dilakukan oleh katak betina 1 dengan jarak sebesar 49,83 m dan jarak tempuh terpendek dilakukan oleh katak jantan 6 dengan jarak sebesar 8,35 m Gambar 12 Pola pergerakan katak jantan dan betina secara horizontal.

35 19 Gambar 13 Kondisi habitat katak R. margaritifer sepanjang jalur pengamatan Perbedaan waktu dan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air Data uji perbedaan waktu terhadap posisi vertikal dan horizontal katak dari badan air dengan menghitung chi square menggunakan uji Kruskal-Wallis dianalisis untuk menentukan apakah Ho diterima atau ditolak, dengan Ho berupa perbedaan waktu tidak mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer dari badan air dan Ha berarti perbedaan waktu mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer dari badan air. Perolehan nilai asymp. sig (dengan db = 1 & α = 5%) sebesar 0,619 (horizontal) dan 0,353 (vertikal) Data uji perbedaan jenis kelamin terhadap posisi katak dari badan air dengan menggunakan pengujian yang sama seperti diatas menggunakan dugaan Ho berupa perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer dari badan air dan Ha perbedaan jenis kelamin

36 20 mempengaruhi pergerakan vertikal katak R. margaritifer dari badan air. Perolehan nilai asymp. Sig (dengan db = 1 & α = 5%) sebesar 0,480 (horizontal) dan 0,091 (vertikal). Kedua pengujian menggambarkan bahwa pergerakan vertikal dan horizontal katak R. margaritifer terhadap posisinya dari badan air tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis kelamin dan perbedaan waktu baik siang hari maupun malam hari Pengaruh pemasangan radio transmiter terhadap individu katak Penggunaan radio transmiter pada katak cenderung mengurangi bobot katak dengan rata rata individu R. margaritifer kehilangan 9,75 % berat tubuhnya, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa untuk individu betina 1,2, dan serta jantan 3,4,5,6,7, dan 8 terjadi penurunan bobot katak, namun hal ini terjadi sebaliknya pada katak jantan 1 dan 2 terjadi penambahan bobot tubuh sebesar 11 % dan 4,8 %. (Tabel 3). Nilai tertinggi dalam pengurangan jumlah bobot katak terjadi pada sample jantan 3 yaitu sebesar 1,5 gram nilai ini sebesar 28,57% dari bobot tubuhnya, Tabel 3 Perubahan bobot R. margaritifer sebelum dan sesudah pemasangan transmitter Individu Berat tubuh tanpa alat (g) berat alat (g) persentase berat alat dengan tubuh (Persen) berat tubuh setelah pengamatan (g) jumlah penambahan atau pengurangan berat badan persentase penurunan berat tubuh (%) betina 1 17,52 0,55 3,13 17,45 0,07 0,39 betina 2 16,25 0,56 3, Hilang betina 3 8,75 0, , jantan 1 5 0,45 9 5,55-0,55-11 jantan 2 5,25 0,5 9,52 5,5-0,25-4,76 jantan 3 5,25 0,5 9,52 3,75 1,5 28,57 jantan 4 5 0,5 10 4,5 0,5 10 jantan 5 5 0,5 10 3,75 1,25 25 jantan 6 5,25 0,5 9,52 5, jantan 7 5,5 0,5 9,09 5 0,5 9,09 jantan 8 5 0,5 10 4,75 0,25 5 Ket nilai (-) berarti penambah an berat badan pengamat an hanya 3 hari

37 Deskripsi penggunaan mikrohabitat R. margaritifer Seperti halnya semua amfibi, R. margaritifer aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari. Aktifitas pada siang hari adalah berlindung di bawah naungan daun, serasah, atau di batang tanaman yang terlindung dari sinar matahari langsung. Posisi katak jantan yang paling banyak terdapat pada substrat daun pisang pada siang hari sebesar 31% dan malam hari sebesar 54%, sedangkan pada substrat dengan nilai terkecil yaitu jenis substrat air sebesar 3 % pada siang hari dan daun kering sebesar 3% pada malam hari. Katak betina berada pada substrat yang berbeda dengan katak jantan pada siang hari yaitu berada pada daun tepus dengan nilai sebesar 35%, namun pada malam hari mendiami substrat daun pisang dengan perolehan nilai 29 % (Gambar 14) Gambar 14 Posisi katak pada substrat (A) jantan pada siang hari; (B) jantan pada malam hari; (C) betina pada siang hari; (D) betina pada malam hari. Penggunaan habitat mikro Katak Pohon Jawa tidak terlepas dari faktor suhu lingkunganya. Berdasarkan hasil pengamatan selama 25 hari pengamatan di sekitar air terjun Cibeureum diketahui bahwa pada bulan Mei-Juni tidak terlalu

38 22 terjadi fluktuasi suhu dan RH. Suhu berkisar antara 13,06 20,57 o C dan RH berkisar antara 102,60-107,11 % (Gambar 15) sedangkan pada bulan Agustus dan September terjadi fluktuasi suhu dan kelembaban harian yang cukup tinggi, yaitu pada bulan Agustus suhu berkisar antara 11,56 20,07 o C dan RH berkisar antara 91,52% - 111,57 % (Gambar 16), sedangkan pada bulan September suhu harian berkisar antara 11,56 o C - 19,07 o C dan RH berkisar antara 101,58% - 109,62 % (Gambar 17). Gambar 15 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Mei-Juni (katak Jantan 1 dan Betina 1). Gambar 16 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan Agustus(Pengamatan katak Jantan 2,3,4,5 dan Betina 2).

39 23 Gambar 17 Fluktuasi suhu dan RH harian pada bulan September (Pengamatan katak Jantan 6,7,8 dan Betina 3) 5.2 Pembahasan Pergerakan Rhacophorus margaritifer Hasil perolehan data yang menjelaskan bahwa baik individu jantan maupun betina R. margaritifer melakukan pergerakan yang menjauhi titik awal pengamatan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu (Muliya 2012) yang menunjukan katak jantan maupun betina tidak menjauhi titik awal pengamatan (Tabel 4). Perbandingan data juga dilakukan pada 72 jam pengamatan pertama setiap individu katak, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan pengamatan total selama 192 jam (Tabel 5) Tabel 4 Perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R. margaritifer Siregar (2013) Muliya (2010) Individu Jantan Betina Jantan Betina N Pengamatan 192 Jam 192 Jam 72 Jam 72 Jam Jarak Lurus (m) 3 41,4 8 16,5 1,70 3,42 4,20 10,20 Jarak Tempuh (m) 8,35 49,72 9,99 23,03 5,20 13,37 6,28 22,87 m Rata rata nilai Alur Kelurusan 0,53 0,73 0,24 0,53

40 24 Tabel 5 Perbandingan Perbedaan perolehan hasil penelitian pergerakan katak R. margaritifer dalam waktu pengamatan 72 jam Siregar (2013) Muliya (2010) Individu Jantan Betina Jantan Betina N Waktu Pengamatan 72 Jam 72 Jam 72 Jam 72 Jam Jarak Lurus (m) 2,5 16,5 9,8 14,5 1,70 3,42 4,20 10,20 Jarak Tempuh (m) 6,79 27,16 6,8 23,03 5,20 13,37 6,28 22,87 Rata rata nilai Alur Kelurusan 0,63 0,99 0,24 0,53 Perbedaan hasil yang diperoleh dalam dua penelitian tersebut diduga karena perbedaan metode yang dilakukan. Penggunaan metode spooltrack diduga akan menghambat pergerakan katak, berbeda dengan penggunaan alat berupa radio transmiter dimana individu katak dapat bergerak bebas tanpa dibatasi dengan jarak benang (spooltrack). Hasil yang berbeda juga dialami dengan perbandingan waktu pengamatan yang serupa dengan penelitian sebelumnya. Menurut analisis pergerakan vertikal dan horizontal keseluruhan terhadap individu jantan dan betina diperoleh nilai minimum yang sama yaitu nilai 0 (katak tidak melakukan pergerakan) sedangkan perolehan nilai maksimum pergerakan vertikal sebesar 7,93 meter diperoleh dari jantan 5 dan nilai horizontalnya sebesar 15,71 diperoleh dari betina 1. Nilai rata rata pergerakan yang dicantumkan dalam gambar 8 diketahui bahwa nilai rata rata total pergerakan individu betina lebih tinggi daripada individu jantan baik dari pergerakan vertikal maupun horizontalnya. Data tersebut diperoleh karena penghitungan mengunakan rata rata pergerakan dimana jumlah katak jantan lebih banyak daripada jumlah katak betina. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian menggunakan metode radio tracking adalah berat dan ukuran dari transmiter serta usia penggunaan baterai (Rowley & Alford 2007a). Dalam data pergerakan harianya baik dalam pergerakan horizontal atau vertikal katak jantan memperoleh nilai yang lebih tinggi (Gambar 10 dan 11). Hasil yang diperoleh ternyata serupa serupa dengan hasil penelitian terhadap jenis Litoria genimaculata, Litoria lesueuri dan Litoria nannotis bahwa pergerakan

41 25 vertikal pada katak jantan akan lebih tinggi dibandingkan dengan katak betina (Rowley & Alford 2007b). Penelitian selanjutnya terhadap jenis Nyctimystes dayi (Rowley & Alford 2009c) juga mengemukakan hal serupa Pengaruh penggunaan radio transmiter terhadap perubahan bobot katak Rhacophorus margaritifer Bobot alat yang dipasang pada spesies jantan mencapai mencapai 9.09 % - 10% dari bobot tubuh katak jantan, sedangkan pada betina antara 3,13% 6% bobot tubuhnya. Pengukuran bobot alat selalu dilakukan sebelum dan sesudah merangkaikan harness dengan radio transmiter, penambahan bobot alat yang disebabkan karena basahnya benang pengikat dapat diabaikan karena setelah dilakukan pengukuran berat transmiter basah dan kering tidak terjadi penambahan berat yang signifikan rata rata penambahan berat hanya sebesar 0,04 0,05 gram, hal ini dikarenakan alat berupa radio transmiter dan selang pengikat merupakan bahan yang tahan air (tidak menyerap air). Pada beberapa pengamatan seringkali transmiter yang tepasang pada tubuh katak R. margaritifer berada pada posisi terbalik (menghadap ke bawah) akibat radio transmiter yang tepasang sedikit longgar, hal ini terjadi pada beberapa sampel katak. Pemasangan yang longgar dapat menyebabkan luka pada tubuh katak akibat gesekan yang terus menerus terjadi (Gambar 18). Luka yang terjadi pada tubuh katak berakibat terkelupasnya kulit luar dan berubahnya warna di sekitar pingiran luka. Gambar 18 Luka pada tubuh katak R. margaritifer akibat pemasangan alat yang longgar. Pada saat pengamatan tidak ditemukan satupun kasus kematian sampel katak yang diakibatkan karena pemasangan alat berupa radio transmiter, hal ini jauh lebih megguntungkan ketimbang dengan penggunaan alat lain berupa

42 26 spooltrack (lihat Muliya 2010) dimana pada penelitian Muliya ditemukan beberapa katak mati akibat terlilit benang dan karena terbukanya selongsong benang yang terpasang pada katak R. margaritifer. Penggunaan metode lain berupa pemberian cat pada katak juga pernah dilakukan (lihat Sholihat 2007) metode ini adalah yang paling tidak efisien ketimbang kedua metode di atas, kelemahan dalam penggunaan metode ini yaitu cat yang digunakan sangat mudah luntur sehingga akan sulit diaplikasikan pada habitat yang basah serta jejak cat yang ditinggalkan katak tidak begitu jelas terlihat. Kasus lain yang terjadi adalah, salah satu sampel katak jantan ditemukan tepat di tanah sesekali pindah ke substrat berupa akar pohon dengan ketinggian sekitar 10 cm dari tanah, kondisi ini diduga karena terhambatnya gerak katak akibat pemasangan radio transmiter yang kurang baik, pemasangan alat ini menyebabkan luka yang cukup besar pada pinggang katak, katak tersebut tidak melakukan perpindahan selama 2 hari (48 jam pengamatan). Posisi katak yang ditemukan berada di permukaan tanah merupakan perilaku yang tidak lazim bagi jenis R. margaritifer, karena dalam penelitian terdahulu diketahui bahwa R. margaritifer adalah jenis katak arboreal yang memanfaatkan serangga arboreal sebagai pakan (Rahman 2010). Keberadaan katak yang terletak di permukaan tanah diperkirakan karena terhambatnya gerak vertikal akibat dari pemasangan radio transmiter. Gambar 19 Salah satu sampel katak berada di tanah pada siang dan malam hari. Beberapa penyebab berkurangnya bobot tubuh dengan nilai yang cukup besar diduga karena terhambatnya gerak katak sehingga ini mempengaruhi pergerakannya dalam mencari makanan, hal diatas didukung dengan sebuah pernyataan yaitu penambahan beban pada katak jantan mengakibatkan penurunan frekuensi gerakan secara vertikal dan horizontal (Firdaus 2011).

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Pemilihan Bahan Spool Track Hasil pemilihan bahan untuk memperoleh bobot alat yang sesuai dengan bobot tubuh R. margaritifer menunjukkan bahwa selongsong plastik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN HABITAT MIKRO KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN HABITAT MIKRO KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN HABITAT MIKRO KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT NENENG MULIYA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai 19 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitiana Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai April 2012, pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada malam hari

Lebih terperinci

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Miftah Hadi Sopyan 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE SPOOL TRACK

PENGGUNAAN METODE SPOOL TRACK 1 PENGGUNAAN METODE SPOOL TRACK DALAM MENELAAH POLA PERGERAKAN HARIAN KATAK BERTANDUK (Megophrys montana) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT IRWAN DWI SUSANTO DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS

DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN Akmal Firdaus.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 9 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dalam sebelas bulan, dimulai pada bulan April 2009 sampai bulan Maret 2010. Pengambilan data clutch telur dan berudu dilakukan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Telur Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

V. HASIL & PEMBAHASAN

V. HASIL & PEMBAHASAN 19 V. HASIL & PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer 5.1.1.1. Telur Hasil pengamatan terhadap sembilan selubung busa telur (clutch) menunjukkan bahwa semua telur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai

Lebih terperinci

MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS

MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS PEMODELAN SPASIAL HABITAT KATAK POHON JAWA (Rhacophorus javanus Boettger 1893) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JARAK JAUH DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Analysis of Dominant Ecological Factors of Wallow Selection By Javan

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali ABSTRAK Penelitian tentang aktivitas burung kuntul kecil (Egretta garzetta) dilakukan di Pulau Serangan antara bulan Mei dan Juni 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas harian burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) Desy Natalia Sitorus (E34120011), Rizki Kurnia Tohir (E34120028), Dita Trifani (E34120100) Departemen Konservasi

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH Indrawati Yudha Asmara Fakultas Peternakan-Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO Oleh DIDIK YULIANTO A34202008 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTIT UT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STEK AKAR SUKUN (Artocarpus communis Forst.) BERDASARKAN PERBEDAAN JARAK AKAR DARI BATANG POHON

PERTUMBUHAN STEK AKAR SUKUN (Artocarpus communis Forst.) BERDASARKAN PERBEDAAN JARAK AKAR DARI BATANG POHON PERTUMBUHAN STEK AKAR SUKUN (Artocarpus communis Forst.) BERDASARKAN PERBEDAAN JARAK AKAR DARI BATANG POHON SURYA DANI DAULAY 061202039 PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis Bleeker) DI PERAIRAN SUNGAI AEK ALIAN KECAMATAN BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR SUMATERA UTARA

PERTUMBUHAN IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis Bleeker) DI PERAIRAN SUNGAI AEK ALIAN KECAMATAN BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR SUMATERA UTARA 1 PERTUMBUHAN IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis Bleeker) DI PERAIRAN SUNGAI AEK ALIAN KECAMATAN BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR SUMATERA UTARA SKRIPSI ANTRI POSTER SIANTURI 100302081 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Hayati, September 2003, hlm. 85-90 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 3 Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Diversity and Parasitism of

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014,

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, 19 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, di areal pertambakan intensif PT. CPB Provinsi Lampung dan PT. WM Provinsi

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU 110302072 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017 ANALISIS TUTUPAN VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN JUMLAH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI AREAL RESTORASI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI Oleh : MARLINANG MAGDALENA SIHITE 131201122/MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara tropika yang memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Negara Brasil dan

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu merupakan salah satu gunung yang berada di propinsi Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak disekitar 111 o 15 BT dan 7

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP KADAR AIR SERASAH DI HUTAN TRI DHARMA KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP KADAR AIR SERASAH DI HUTAN TRI DHARMA KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP KADAR AIR SERASAH DI HUTAN TRI DHARMA KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : RICHIE MIKYANO SIREGAR 031202022 / BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci