DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS"

Transkripsi

1 DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN Akmal Firdaus. E Dampak Penambahan Beban Terhadap Pergerakan Katak Pohon Jawa. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.Sc. Metode untuk mengumpulkan data pergerakan amfibi dilakukan dengan cara menambahkan beban pada tubuh amfibi, mungkin menyebabkan gangguan terhadap individu yang diteliti dan mungkin juga mengakibatkan bias terhadap hasil penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak pemberian beban sebesar 5% dari bobot tubuh terhadap frekuensi bergerak dan pergerakan vertikal R. margaritifer yang dilakukan di dalam rumah katak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penentuan waktu aktif bergerak diperoleh dengan cara mengamati aktivitas bergerak katak setiap 1 jam selama 1 x 24 jam. Pengambilan data frekuensi pergerakan diperoleh dengan cara mengamati pergerakan 16 individu katak (6 jantan tanpa beban, 6 jantan dengan beban, 2 betina tanpa beban dan 2 betina dengan beban) menggunakan metode Partial-interval sampling dengan panjang interval pengamatan selama 1 menit tanpa ada jeda waktu antar interval. Pengamatan dilakukan pada pukul , , dan WIB menggunakan kategori gerak melompat, berjalan, bergerak tidak berpindah dan diam. Data pergerakan vertikal diperoleh dengan cara mengukur posisi ketinggian katak terhadap tanah setiap 30 menit. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Pearson chi-square. Penambahan beban pada R. margaritifer menyebabkan pergerakan vertikal yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang menggunakan beban. Penambahan beban pada katak menyebabkan penurunan frekuensi berjalan dan peningkatan frekuensi bergerak tidak berpindah dibandingkan dengan katak yang tidak menggunakan beban Pada katak jantan diketahui bahwa penambahan beban menyebabkan katak menurunkan waktu diam, frekuensi aktivitas berjalan dan frekuensi bergerak tidak berpindah. Sedangkan pada katak betina diketahui bahwa penambahan beban menyebabkan peningkatan frekuensi berjalan. Pergerakan katak erat kaitannya dengan usaha katak untuk mendapatkan makanan dan menghindari predator. Penurunan frekuensi bergerak akibat penambahan beban diduga disebabkan oleh adanya alokasi energi tambahan untuk mengangkat beban sehingga mengurangi alokasi energi untuk bergerak. Sedangkan peningkatan frekuensi bergerak pada beberapa katak diduga disebabkan oleh adanya rasa yang tidak nyaman yang disebabkan oleh penambahan beban. Kata kunci: penambahan beban, pergerakan, Rhacophorus margaritifer

3 SUMMARY Akmal Firdaus. E Impact of Tag Attachment on Javanese Tree Frog to Its Movement. Supervised by Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si and Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.Sc. The commonly used method to assess amphibian movement is by using tag attachment. However tag attachment could disrupt animal movements and results in study bias. The objective of this study was to asess the impact of tag attachment (5% of body weight) on frequency and vertical movement at frog house of Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP). Active time of frog was determined through observation of frog s movement activity hourly for 24 hours. Data on movement frequency was collected through observation of 16 frogs (6 males without tag, 6 males with tag, 2 females without tag and 2 females with tag) in the frog house. Frogs were observed using Partial-interval sampling method with interval length of observation at 1 minute and no lag time between intervals. Observations were performed at to 18.30, to 20.00, to and to by cataloguing movement (jumping, running, locomotion and resting). Vertical movement data were obtained through vertical position measurement of frogs from the ground every 30 minutes. Data from observations were analyzed using Kruskal-Wallis and Pearson chi-square test. Tag attachment on R. margaritifer caused lower vertical movement when compared with non-tagged frog. In males, tag attachment caused the reduction of rest time, decreased of walking activity and decrease of non-moved movement activity. In females, tag attachment caused the increase of running frequency. Frog movement was closely related to the frog s effort to obtain foods and to avoid predator. The decrease of moving frequency caused by tag attachment, is presumedly caused by allocation of additional energy to lift the tag, thus reduced the energy allocation to other movements. However, increased moving frequency of several frogs might be due to the discomfort caused by tag attachment. Key word: tag attachment, movement, Rhacophorus margaritifer

4 DAMPAK PENAMBAHAN BEBAN TERHADAP PERGERAKAN KATAK POHON JAWA AKMAL FIRDAUS E Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Dampak Penambahan Beban Terhadap Pergerakan Katak Pohon Jawa adalah benarbenar karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Akmal Firdaus NRP E

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Dampak Penambahan Beban Terhadap Pergerakan Katak Pohon Jawa Nama : Akmal Firdaus NIM : E Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si NIP Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc NIP Mengetahui, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Ketua Tanggal lulus : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nagari Padang Laweh, Sumatera Barat pada tanggal 16 Agustus Pendidikan formal dimulai di SD N 09 Padang Lawas ( ), kemudian penulis melanjutkan ke SLTP N 1 Sungai Rumbai ( ). Pada tahun 2003 penulis pindah domisili ke Bogor dan menuntut ilmu di SMA Kornita IPB Bogor ( ). Selanjutnya penulis di terima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI ( ). Penulis aktif dalam beberapa diskusi dan kegiatan serta menjadi anggota dari beberapa organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH Python), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Komisariat Fakultas Kehutanan), Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM). Selama perkuliahan di IPB, penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturraden, Jawa Tengah (2008); Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat (2009), Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Kerinci Seblat, Jambi (2010). Melalui kegiatan HIMAKOVA, penulis juga bergabung dalam tim SURILI 2008 di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat (2008), SURILI 2009 di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru, Nusa Tenggara Timur (2009). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi berjudul Dampak Penambahan Beban Terhadap Pergerakan Katak Pohon Jawa di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yeni A. Mulayani, M.Sc.

8 UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dan penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta walaupun kita tidak selamanya bisa bersama namun kita selalu dekat serta segenap keluarga besar di Padang Laweh dan di Bogor atas dukungan moril dan materilnya. 2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi, guru sekaligus teman atas segala perhatian, kesabaran dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini. 3. Dr. Lina Karlina Sari S.Hut, M.Sc.F sebagai dosen penguji siding komprehensif yang telah memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan skripsi ini. 4. Segenap staff Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah mengurus administrasi penulis selama kuliah. 5. Kepada Kepala Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dan staf (Pak Ace`) yang telah memberikan kemudahan dalam perizinan pelaksanaan penelitian. 6. Afroh Mansyur, Arief Tajalli dan Febriyanto Kolanus yang telah membantu dalam pengambilan data. 7. Teman-teman dari C1 Lorong 5, IPMM, Asrama Sylvasari, Fakultas Kehutanan 43, DKSHE 43, HIMAKOVA IPB, KPH Python dan HMI Komisariat Fahutan 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

9 i KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat-nya sehingga penulis menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang berjudul Dampak Penambahan Beban Terhadap Pergerakan Katak Pohon Jawa dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan metode penelitian pergerakan pada amfibi. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna dan tidak tertutup kemungkinan masih terdapat ketidaksesuaian baik dalam penyajian isi, maupun aturan penulisan dan tata bahasa yang digunakan. Bogor, Juli 2011 Akmal Firdaus NIM. E

10 ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN Halaman 1.1 Latar Belakang Tujuan Manfaat... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Morfologi Habitat dan Penyebaran Relung ekologi Pergerakan dan Penggunaan Mikrohabitat Alat Penelitian Pergerakan Amfibi Perilaku Amfibi Perilaku bersuara Perilaku kawin Perilaku makan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Deskripsi Rumah Katak Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Pengamatan penentuan waktu aktif bergerak Penelitian pergerakan R. margaritifer di habitat semi alami ukuran 400 x 500 x 400 cm Penelitian pergerakan R. margaritifer di habitat semi alami ukuran 140 x 160 x 270 cm i ii iv v vi

11 iii Bentuk beban, waktu pengamatan dan teknis pengambilan data Analisis Data BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Waktu aktif pergerakan R. margaritifer Pergerakan pertikal R. margaritifer Frekuensi pergerakan R. margaritifer Pergerakan R. margaritifer jantan Pergerakan R. margaritifer betina Pergerakan R. margaritifer jantan dan betina Pemanfaatan ruang pada rumah katak Pembahasan Waktu aktif bergerak R. margaritifer Pengaruh penambahan beban terhadap pergerakan R.... margaritifer Permasalahan yang dihadapi selama pengamatan Evaluasi desain kandang rumah katak di TNGGP BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 53

12 iv DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Perbandingan ukuran panjang tubuh R. margaritifer Kelebihan dan kelemahan radiotransmitter (Phillot 2007) Ukuran R. margaritifer yang digunakan dalam pengamatan waktu aktif Data individu Rhacophorus margaritifer pada pengamatan rumah katak ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm Data individu R. margaritifer yang diamati pada rumah katak ukuran 140 cm x 160 cm x 270 cm Hasil uji statistik pergerakan katak jantan dan betina Hasil pengamatan waktu aktif bergerak R. margaritifer Hasil perhitungan pergerakan vertikal antara katak jantan tanpa beban dan betina tanpa beban berdasarkan uji Kruskal-Wallis Hasil perhitungan pergerakan vertikal antara katak jantan tanpa beban dan katak jantan dengan beban berdasarkan hasil tabulasi silang (kategori ketinggian per 50 cm) Hasil perhitungan pergerakan vertikal antara katak jantan tanpa beban dan katak jantan dengan beban berdasarkan hasil tabulasi silang (kategori ketinggian per 100 cm) Hasil perhitungan pergerakan vertikal tanpa memperhatikan jenis kelamin berdasarkan uji tabulasi silang (kategori ketinggian per 50 cm) Hasil perhitungan pergerakan vertikal tanpa memperhatikan jenis kelamin berdasarkan uji tabulasi silang (kategori ketinggian per 100 cm) Hasil perhitungan perbandingan frekuensi pergerakan katak tanpa memperhatikan jenis kelamin berdasarkan uji Pearson chi-square Hasil perhitungan perbandingan frekuensi pergerakan katak memperhatikan jenis kelamin berdasarkan uji Pearson chi-square... 61

13 v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 R. margaritifer jantan R. margaritifer betina Peta penyebaran Rhacophorus margaritifer Peta lokasi TNGGP dan letak rumah katak Rumah katak bagian pertama Rumah katak bagiankedua Bentu beban yang digunakan Kumpulan flaging tape yang digunakan sebagai penanda posisi katak Flaging tape yang dipasang di daun Persentase katak aktif berpindah pada setiap jam pengamatan Perbandingan pergerakan vertikal katak tanpa dan dengan beban jika jenis kelamin diperhatikan Perbandingan pergerakan vertikal katak tanpa dan dengan beban jika jenis kelamin diabaikan Pemanfaatan habitat katak jantan tanpa beban Pemanfaatan habitat katak jantan dengan beban Pemanfaatan habitat katak betina tanpa beban Pemanfaatan habitat katak betina dengan beban Suhu tubuh dan suhu substrat katak jantan tanpa beban selama penelitian Suhu tubuh dan suhu substrat katak jantan dengan beban selama penelitian Suhu tubuh katak betina selama penelitian Salah satu katak yang berada di lantai Katak yang telah diserang oleh semut Katak jantan tanpa dengan beban yang telah mati Katak jantan dengan beban yang telah mati... 42

14 vi DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Hasil pengamatan waktu aktif bergerak R. margaritifer Hasil perhitungan pergerakan vertikal antara katak jantan tanpa beban dan betina tanpa beban berdasarkan Uji Kruskal Wallis Hasil perhitungan pergerakan vertikal antara katak jantan tanpa beban dan katak jantan dengan beban berdasarkan uji tabulasi silang Hasil perhitungan pergerakan vertikal tanpa memperhatikan jenis kelamin berdasarkan uji tabulasi silang Hasil perhitungan perbandingan frekuensi pergerakan katak tanpa memperhatikan jenis kelamin berdasarkan uji Pearson chi-square Hasil perhitungan perbandingan frekuensi pergerakan katak memperhatikan jenis kelamin... 61

15 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Data tentang pergerakan amfibi bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan amfibi di alam. Sebagai contoh, informasi dan data mengenai pergerakan amfibi dari daerah berair ke daerah terestrial di sekitarnya akan bermanfaat untuk menentukan luasan daerah inti dan penyangga yang dibutuhkan untuk melindungi jenis tersebut (Semlitsch & Bodie 2003). Rowley dan Alford (2007a) juga menyatakan bahwa informasi mengenai pergerakan dan spatial behavior dibutuhkan untuk memahami ekologi dari suatu spesies. Secara umum pengetahuan tentang pergerakan amfibi bermanfaat serta berimplikasi terhadap manajemen dan konservasi jenis tersebut (Roznik et al. 2009, Wells 2007). Penelitian tentang pergerakan amfibi telah banyak dilakukan (lihat Bull 2009, Hartel 2008, Roznik 2009, Vasconcelos & Calhoun 2004, Wahbe et al. 2004, Patrick et al. 2007, dan Timm et al. 2007), penelitian-penelitian tersebut umumnya dilakukan di kawasan Neartik, Neotropikal dan Australia sedangkan untuk kawasan Oriental, khususnya Asia tropis seperti Indonesia, masih jarang dilakukan. Sampai saat ini hanya ada tiga penelitian tentang pergerakan amfibi yang tercatat dilakukan di Indonesia yaitu pergerakan dan mikrohabitat Polypedates leucomystax (Sholihat 2007), pergerakan dan mikrohabitat Rhacophorus margaritifer (Muliya 2010) serta pergerakan Megophrys montana (Susanto 2011). Katak pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) merupakan katak pohon endemik Pulau Jawa (Iskandar 1998, Kurniati 2003, Frost 2011) dengan status Least Concern (Iskandar et al. 2011). Telah ada beberapa studi yang dilakukan pada jenis ini, yaitu kesesuaian habitat (Lubis 2008), preferensi pakan (Rahman 2010), peluang hidup telur dan berudu (Aritonang 2011). Katak R. margaritifer merupakan satu dari dua jenis katak prioritas perlindungan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) selain L. cruentata. Penelitian pergerakan harian serta mikrohabitat jenis ini telah dilakukan oleh Muliya (2010) menggunakan metode spooltrack, namun asumsi yang dibangun pada penelitian

16 2 tersebut adalah penambahan beban tidak memiliki dampak terhadap pergerakan katak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan beban pada satwa memiliki dampak yang beragam mulai dari ringan hingga kronis (Mougey 2009). Beberapa penelitian merekomendasikan bobot beban yang boleh ditambahkan pada amfibi adalah sebesar 10% dari bobot badan (Alford et al. 1994), bahkan ada penelitian yang lebih konservatif merekomendasikan sebesar 5% dari bobot badan (Kenward 2001). Penelitian tentang dampak penambahan beban terhadap pergerakan amfibi perlu dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan pergerakan antara katak yang ditambahkan beban dengan yang tidak. Langkilde dan Alford (2002) menemukan bahwa penggunaan harmonic radar finding pada jenis Litoria leisuri memberikan dampak yang signifikan terhadap jarak dan frekuensi pergerakan. Penelitian dampak pergerakan pada jenis yang sama juga dilakukan oleh Rowley dan Alford (2007a). Kedua penelitian tersebut dilakukan di dalam terarium kaca berukuran 270 x 130 x 130 cm yang berisi cekungan air dan batu namun tidak terdapat vegetasi di dalamnya. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Katak TNGGP yang terletak di Cibodas, Jawa Barat. Rumah katak merupakan sebuah kandang yang dibangun sedemikian rupa hingga menyerupai habitat alami R. margaritifer di alam dengan ukuran 400 x 500 x 400 cm. Dengan keadaan tersebut diharapkan pergerakan katak yang terjadi tidak berbeda dari pergerakan yang terjadi di alam. Walaupun demikian masih terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam desain rumah katak tersebut. Hal ini terjadi karena tidak adanya contoh dan pengalaman dalam membangun rumah katak sebelumnya. Sehingga penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat berupa saran dan evaluasi terhadap konstruksi rumah katak yang didasarkan pada prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare). 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan informasi mengenai waktu aktif bergerak Katak pohon jawa 2. Menjelaskan dampak penambahan beban terhadap pergerakan vertikal Katak pohon jawa

17 3 3. Menjelaskan dampak penambahan beban terhadap frekuensi pergerakan Katak pohon jawa. 1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan pertimbangan untuk melakukan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif tentang dampak pemberian beban terhadap pergerakan amfibi. Selain itu juga diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi desain kandang bangunan rumah katak yang didasarkan kepada prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare).

18 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Rhacophorus margaritifer memiliki tiga nama sinonim, yaitu Hyla margaritifera, R. javanus dan R. barbouri (Iskandar 1998, Iskandar et al. 2011). Klasifikasi ilmiah R. margaritifer (Frost 2011) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Amphibia Bangsa : Anura Sub bangsa : Acosmanura Suku : Rhachoporidae Sub suku : Rhacophorinae Marga : Rhacophorus Jenis : Rhacophorus margaritifer Schlegel Di Indonesia suku Rhacophoridae terbagi ke dalam lima marga yaitu: Nyctixalus (2 jenis), Philautus (17 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis), dan Theloderma (2 jenis). R. margaritifer merupakan satu dari delapan jenis suku Rhacophoridae yang dapat ditemukan di pulau Jawa (Iskandar 1998). 2.2 Morfologi Amfibi mudah dikenal dari tubuhnya, yaitu dari bentuknya yang seperti seperti posisi jongkok dengan empat kaki untuk melompat, leher yang tidak tampak jelas, dan tanpa ekor (Gambar 1 dan Gambar 2). Gambar 1 R. margaritifer jantan Gambar 2 R. margaritifer betina

19 5 R. margaritifer termasuk katak pohon dan memiliki bentuk tubuh yang ramping. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis amfibi betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan amfibi jantan. Fenomena perbedaan ukuran karena perbedaan jenis kelamin tersebut disebut dengan sexual dimorphism. Hal ini juga terjadi pada R. margaritifer, ukuran SVL (snout vent length) atau panjang tubuh dari mulut sampai ke anus menunjukkan bahwa katak jantan memiliki panjang tubuh yang lebih kecil daripada katak betina (Tabel 1). Tabel 1 Perbandingan ukuran panjang tubuh R. margaritifer Ukuran Panjang Tubuh Jantan Betina Sumber <50 mm mm Iskandar (1998) mm mm Kurniati (2003) <46 mm mm Kusrini dan Fitri 2006) Kulit pada permukaan atas tubuh dan perut memeliki tekstur yang halus. Kulit berwarna coklat tua, coklat kemerahan, coklat muda sampai kuning dengan bercak-bercak tidak beraturan pada bagian atas tubuh sedangkan kulit bagian perut berwarna putih (Kurniati 2003). Tubuh relatif gembung dan pada bagian antara jari tangan berselaput kira-kira setengah atau dua pertiga dari panjang jari. Tumit mempunyai sebuah lapisan kulit (flap) dan pada bagian bawah kaki terdapat beberapa bintil kecil yang kasar. R. margaritifer juga memiliki tonjolan kulit yang terdapat di sepanjang pinggir lengan dan dasar kaki sampai jari luar (Iskandar 1998). 2.3 Habitat dan Penyebaran Rhacophorus margaritifer menempati tipe habitat yang khas dan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang mempengaruhi kehidupannya. Berdasarkan penelitian Kusrini et al. (2005, 2007), hampir semua individu R. margaritifer di TNGP ditemukan berada pada daerah dengan jarak dari sumber air 0-10 meter, dan hanya sedikit sekali yang berada lebih dari 10 meter dari sungai. Muliya (2010) menyatakan bahwa rata-rata pergerakan R. margaritifer secara horizontal dan vertikal dari badan air pada malam hari lebih jauh dari pada siang hari. Jarak terdekat katak jantan dan betina dari badan air pada siang dan malam

20 6 hari adalah sama, sedangkan jarak terjauh yang ditempuh katak jantan pada malam hari melebihi katak betina. Rata-rata suhu harian habitat yang ditempati oleh jenis R. margaritifer berkisar antara 16 0 C-17 0 C (Lubis 2008). R. margaritifer dapat ditemukan di hutan hujan tropis dan di area yang terbuka (Kurniati 2003) serta hutan primer pada ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut (Frost 2011). Rhacophorus margaritifer hanya ditemukan di Pulau Jawa (Iskandar 1998), antara lain di dua daerah di Jawa Barat yaitu Taman Nasional Gunung Halimun- Salak (TNGH) dan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) dan daerah lainnya yaitu di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Gambar 3). Gambar 3 Peta penyebaran R. margaritifer (Sumber: Iskandar et al. 2011). 2.4 Relung Ekologi Relung atau niche merupakan peran atau status dari suatu spesies yang membedakannya dengan spesies lain dalam habitat. Odum (1965) menyatakan bahwa masing- masing individu akan menempati posisi atau status tertentu dilingkungannya yang juga merupakan perwujudan dari adaptasi struktural individu tersebut, respons fisiologi dan perilaku spesifik yaitu perilaku asli dan atau hasil belajar.

21 7 Luas relung suatu spesies bisa digambarkan dengan menghitung besarnya sumberdaya yang dimanfaatkan oleh spesies tersebut. Rahman (2009) menyatakan bahwa luas relung R. margaritifer berdasarkan indeks Levin`s yang telah distandardisasi menunjukkan bahwa luas relung yang digunakan oleh R. margaritifer adalah 0,642 yang artinya spesies ini menempati relung yang cukup luas. Rahman (2009) menyatakan adanya perbedaan luas relung jantan dan betina pada R. margaritifer. Adapun luas relung individu jantan dan betina adalah 0,167 dan 0,608, artinya relung betina lebih sempit dari pada relung jantan. Hal ini terjadi karena individu jantan dan betina R. margaritifer memiliki sebaran yang berbeda dalam habitatnya. Sehingga mengakibatkan adanya perbedaan lebar relung yang digunakan oleh masing-masing jenis kelamin. 2.5 Pergerakan dan Penggunaan Mikrohabitat Dole (1965) menyatakan bahwa pergerakan harian amfibi disebabkan oleh kebutuhan amfibi akan pakan, kawin, tempat berlindung, menghindari predator dan memelihara kestabilan kondisi fisiologis seperti mempertahankan kelembaban tubuh katak. Duellman dan Trueb (1986) menyatakan bahwa aspek terpenting dari teritori amfibi adalah percumbuan (courtship) dan vokalisasi (vocalization) pada katak jantan dimusim kawin. Muliya (2010) menyatakan bahwa R. margaritifer banyak menghabiskan waktunya di tumbuh-tumbuhan yang berada tidak jauh dari sumber air. Katak jantan dan betina memiliki perilaku yang sama yaitu aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari. Pada siang hari R. margaritifer biasanya berada di daerah yang terlindung seperti di sela daun, batang yang terlindung dan bahkan ada yang berlindung di dalam serasah. Duellman dan Trueb (1986) menyatakan bahwa katak adalah satwa ekoterm, yaitu memiliki suhu tubuh dekat dengan lingkungannya, terutama substrat. Muliya (2010) menambahkan bahwa suhu tubuh R. margaritifer berubah-ubah tergantung pada suhu lingkungan. Wells (2007) menyatakan bahwa amfibi melakukan pergerakan hanya jika diperlukan, karena pergerakan memerlukan energi, berpotensi untuk terlihat oleh predator dan adanya peluang menghadapi iklim yang tidak bersahabat dengan katak.

22 8 2.6 Alat Penelitian Pergerakan Amfibi Metode yang paling umum dilakukan dalam penelitian pergerakan amfibi saat ini adalah menggunakan radiotracking atau radiotelemetry, karena kualitas data yang dihasilkan bagus. Penelitian yang menggunakan radio tracking dilakukan oleh banyak peneliti (Tatarian 2008, Huste et al. 2006, Roznik et al. 2009, Seebacher & Alford 1999, dan Homan et al. 2010), namun penggunaan radiotracking tersebut masih jarang dilakukan di Indonesia, hal ini disebabkan oleh mahalnya peralatan yang digunakan (Sholihat 2007). Phillot et al. (2007) yang melakukan penelitian tentang metode penandaan pada penelitian amfibi menyebutkan kelebihan dan kelemahan dari penggunaan radiotransmitter secara eksternal maupun internal. Adapun kelebihan dan kelemahan tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 2): Tabel 2 Kelebihan dan kelemahan radiotransmitter (Phillot 2007). Alat Kelebihan Kekurangan Tidak melukai Mengahalangi aktivitas perilaku Memudahkan peneliti Menyebabkan lesi pada kulit untuk menemukan lokasi Bisa digunakan pada katak berukuran Internal radiotransmitter sedang hingga besar Menghabiskan waktu Mahal Alat bisa hilang Memudahkan peneliti Melukai untuk menemukan lokasi Eksternal radiotransmitter Menghabiskan waktu Membutuhkan penanganan intensif, anaestesi dan waktu pemulihan Alat bisa berpindah Alat bisa hilang Rowley dan Alford (2007a) menyatakan radiotelemetry merupakan alat yang banyak digunakan pada saat ini, namun terdapat dua kelemahan utama dari radiotelemetry yaitu ukuran dan bobot dari radiotransmitter yang besar dan daya tahan baterai yang tidak tahan lama. Ukuran dan bobot transmitter yang besar mengakibatkan alat ini tidak bisa digunakan pada jenis-jenis yang ukuran tubuhnya kecil. Sedangkan daya tahan baterai yang tidak tahan lama menyebabkan data yang dapat diambil tidak banyak. Selain menggunakan radiotracking atau radiotelemetry, penelitian pergerakan amfibi dapat pula dilakukan menggunakan cat (Eggert et al. 1999, Roe

23 9 & Grayson 2008), atau spooltrack (Dole 1965, Tozetti & Toledo 2005, Sholihat 2007, Muliya 2010). Sholihat (2007) menyatakan bahwa metode penggunaan cat sulit untuk dipraktekkan karena kondisi hutan yang basah menyebabkan jejak cat cepat hilang. Sedangkan kelemahan penggunaan metode spooltrack adalah pendeknya waktu pengamatan, selain itu sulit untuk dipraktekkan pada katak yang ukurannya kecil karena bobot spooltrack yang besar (Wells 2007). 2.7 Perilaku Amfibi Perilaku bersuara Menurut Duellman dan Trueb (1986), suara yang dikeluarkan oleh Anura terbagi atas: a. Advertisement call: umumnya diketahui sebagai panggilan untuk kawin. Suara ini dikeluarkan oleh individu jantan dan memiliki dua fungsi, yaitu (1) untuk menarik perhatian betina dan (2) untuk menyatakan keberadaannya terhadap individu jantan lain baik yang sejenis ataupun berbeda jenis. Ada tiga macam tipe advertisement call yaitu: i. Courtship call: suara yang dihasilkan oleh jantan untuk menarik perhatian betina. ii. Teritorial call: suara yang dihasilkan oleh jantan penetap sebagai suatu respon terhadap advertisement call jantan lainnya pada intensitas yang diambang batas. iii. Encounter call: suara yang ditimbulkan akibat interaksi yang dekat antar individu jantan untuk menarik perhatian betina. b. Reciprocation call: suara yang dihasilkan oleh betina sebagai tanggapan terhadap suara (advertisement call) yang dikeluarkan oleh jantan. c. Release call: suara yang dikeluarkan sebagai tanggapan untuk menolak atau melakukan amplexus yang dikeluarkan lawan jenis. d. Distress call: suara yang ditimbulkan sebagai respons terhadap gangguan.

24 Perilaku Kawin Umumnya katak melakukan perkawinan eksternal, yaitu fertilisasi berlangsung secara eksternal. Perkawinan itu disebut sebagai amplexus yaitu ketika katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman & Trueb, 1986). Menurut Duellman dan Trueb (1986), ada beberapa tipe amplexus yang umum terjadi pada anura adalah: a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak betina. Pada posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan. b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina. Posisi kloaka pasangan berdekatan. c. Cephalic: kaki depak jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina. d. Straddle: katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina. e. Glued: katak jantan berdiri di belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka masing-masing. f. Independent: terjadi pada beberapa jenis Dendrobatidae dimana kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan Perilaku Makan Setiap jenis katak memiliki cara yang berbeda dalam berburu mangsa tergantung pada jenisnya. Katak dengan perawakan yang gemuk dan bermulut lebar biasanya mencari mangsa dengan hanya diam dan menunggu mangsa dan biasanya memanfaatkan mangsa berukuran besar dalam jumlah yang sedikit, sedangkan katak yang berperawakan ramping dan bermulut runcing biasanya aktif dalam berburu mangsa dan biasanya berburu mangsa berukuran kecil namun jumlah banyak (Duellman & Trueb 1986). Hofrichter (1999) menyatakan bahwa sebagian besar katak bersifat oportunistik dan pada umumnya sebagian besar katak dewasa merupakan karnivora dan cenderung memakan mangsa yang lebih besar. Sifat oportunistik merupakan tidak adanya pemilihan jenis pakan, karena katak akan memangsa serangga apapun yang bergerak di hadapannya. Rahman (2009) menyebutkan bahwa satwa yang oportunis selalu memanfaatkan sumberdaya yang ada dilingkungan habitatnya sebagai pakan sehingga memungkinkan adanya spesies

25 11 yang sama tapi habitatnya berberda akan menghasilkan pakan yang berbeda pula. Umumnya katak hanya memakan jenis serangga yang bergerak dan beberapa katak memangsa jenis serangga yang pergerakannya lambat (Duellman & Trueb 1994). R. margaritifer merupakan satwa yang nokturnal. Dalam melakukan aktivitasnya R. margaritifer tidak pernah berada dilantai hutan, sehingga jenis ini memanfaatkan jenis serangga yang aktif dimalam hari dan beraktivitas secara arboreal (Rahman, 2009). Lebih lanjut Duellman dan Trueb (1986) menyatakan bahwa katak pohon mencari mangsa dengan cara duduk dan menunggu hingga mangsa yang cocok datang dan mendekat hingga jarak yang dapat dicapai oleh lidahnya.

26 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Rumah Katak Pusat Pendidikan dan Konservasi Amfibi (PPKA), yang berada di kawasan TNGGP (Gambar 4). Rumah katak merupakan sebuah kandang yang dirancang menyerupai habitat alami amfibi. Letak rumah katak sekitar 300 m dari habitat alami R. margaritifer terdekat. Pengambilan data lapangan dilakukan antara tanggal 28 September dan 27 Desember Pengambilan data lapangan terdiri atas: a. Pengamatan untuk mengetahui waktu aktif katak yang dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2010, b. pengamatan perilaku bergerak katak jantan tanpa beban yang dilakukan pada 11 Desember 2010 dan 25 Desember 2010, c. pengamatan perilaku bergerak katak jantan dengan menggunakan beban yang dilakukan pada 27 Desember 2010, d. pengamatan perilaku bergerak jenis kelamin betina tanpa menggunakan beban yang dilakukan pada 27 Desember 2010, dan e. pengamatan perilaku bergerak betina dengan menggunakan beban yang dilakukan pada 28 September Lokasi Rumah Katak TNGGP Gambar 4 Peta lokasi TNGGP dan letak rumah katak.

27 Deskripsi Rumah Katak Bangunan rumah katak didirikan oleh Balai TN Gunung Gede Pangrangro pada bulan Maret Bangunan ini secara fisik terkesan terbuka karena sebagian besar bagian dinding dan seluruh atapnya hanya terdiri dari rangka besi yang ditutupi oleh kawat kecil dengan lubang berbentuk persegi yang panjang sisinya kurang dari 1 cm. Bagian bawah rumah katak setinggi 50 cm berupa bata. Rumah katak terdiri dari dua bagian yang ukuran dan kondisinya berbeda. Bagian pertama memiliki ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm yang merupakan ruangan utama dalam rumah katak yang difungsikan sebagai tempat pemeliharaan R. margaritifer (Gambar 5). Bagian ini didesain sedemikian rupa hingga menyerupai habitat alami di alam, di dalamnya terdapat air mengalir dan lampu penarik serangga serta ditanami vegetasi. Beberapa vegetasi tersebut merupakan vegetasi yang berasal dari alam seperti kecubung (Datura metel) dan pacar tere (Impatiens platypetala) dan vegetasi lainnya merupakan tanaman hias. Secara deskriptif bagian pertama sangat mirip dengan habitat alami R. margaritifer di alam. Bagian kedua memiliki ukuran 140 cm x 160 cm x 170 cm, bagian ini merupakan ruangan perantara pintu dengan ruangan pertama, sehingga di dalamnya tidak terdapat aliran air dan vegetasi (Gambar 6). Secara deskriptif bagian kedua tidak sesuai dengan habitat alami R. margaritifer, sehingga pada saat penelitian dilakukan perlakuan tambahan dengan memasukkan ranting kayu yang telah mati dan beberapa vegetasi hidup yang bisa dimanfaatkan oleh katak untuk beraktivitas. Penelitian tentang waktu aktif dan pengamatan pergerakan katak betina dilakukan di rumah katak bagian pertama. Pengamatan pergerakan katak jantan dilakukan di rumah katak bagian kedua. Gambar 5 Rumah katak bagian pertama Gambar 6 Rumah katak bagian kedua

28 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi alat dan bahan pengamatan pergerakan, komponen beban dan alat ukur. Alat dan bahan yang digunakan dalam pengamatan pergerakan adalah senter, batere, alat ukur waktu (jam tangan), kamera digital, neraca pegas, jangka sorong dan alat tulis. Alat dan bahan yang digunakan sebagai komponen beban adalah kancing baju berukuran kecil, kancing baju berukuran besar, pita perekat paralon, gunting, cutter. Sedangkan alat ukur yang digunakan selama penelitian adalah Non-contact Infrared Thermometer merek Raytek, Termometer Dry Wet, pita meter ukuran 1,5 m dan meteran ukuran 3 m. 3.4 Metode Pengumpulan Data Pengamatan penentuan waktu katak aktif bergerak Pengamatan untuk mengetahui waktu aktif katak bergerak dilakukan terhadap 6 individu R. margaritifer yang terdiri dari 4 individu jantan dengan SVL (Snout vent length) 4,45±0,13 cm dan bobot badan 3,81±0,42 gram; serta 2 individu betina dengan SVL 6,53±0,28 cm dan bobot badan (18,12±2,65 gram). Pengamatan dilakukan setiap satu jam selama 1 x 24 jam. Pengamat berjalan di dalam rumah katak pada jalan yang telah ada dengan mencari katak kesegala arah, pengamatan dilakukan sebanyak dua kali dengan pada jalur yang sama. Waktu yang digunakan dalam pengamatan waktu aktif adalah selama 5 menit pada setiap jam. Adapun data tentang katak yang diamati untuk penelitian waktu aktif dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Ukuran R. margaritifer yang digunakan dalam pengamatan waktu aktif No Jenis Snout Vent Length (cm) Bobot badan (gram) Jenis kelamin Tanggal dan Lama Pengamatan 1 R. margaritifer 6,33 16,25 Betina 11/10/2010, 24 jam 2 R. margaritifer 6,73 20,00 Betina 11/10/2010, 24 jam 3 R. margaritifer 4,57 4,00 Jantan 11/10/2010, 24 jam 4 R. margaritifer 4,48 4,25 Jantan 11/10/2010, 24 jam 5 R. margaritifer 4,51 3,75 Jantan 11/10/2010, 24 jam 6 R. margaritifer 4,26 3,25 Jantan 11/10/2010, 24 jam Setiap perjumpaan dengan katak dicatat keadaan aktif dan perpindahannya (jika ada). Katak aktif didefinisikan sebagai katak dengan posisi mata terbuka, sedangkan berpindah didefinisikan sebagai perubahan posisi

29 15 penemuan katak dari posisi tertentu yang tercatat pada jam pengamatan sebelumnya Penelitian pergerakan R. margaritifer di habitat semi alami ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm. Pada penelitian ini dilakukan dua kali pengamatan yaitu pengamatan terhadap katak yang dijadikan kontrol dan pengamatan terhadap katak yang diberi perlakuan dengan menambahkan beban dipunggung dengan bobot beban ±5% dari bobot badan katak. Pengamatan pada katak betina dilakukan rumah katak dengan ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm. Pengamatan perilaku bergerak katak yang tidak menggunakan beban (kontrol) dilakukan secara serentak pada tanggal 28 September 2010, sedangkan pengamatan perilaku bergerak katak dengan beban ±5% dari bobot badan dilakukan secara serentak pada tanggal 27 Desember Penelitian dimulai dengan menangkap katak betina dewasa di alam sehari sebelum pengamatan di dalam rumah katak. Penangkapan dilakukan di sekitar Curug Cibeurum TNGGP. Katak yang ditangkap dibawa ke camp, lalu di ukur SVL dan bobot badannya kemudian dilepaskan langsung pada malam yang sama ke dalam rumah katak. Pada malam hari berikutnya katak ditangkap kembali untuk dipasangkan tanda (tagging) dan beban. Jumlah katak yang diamati tanpa beban dan dengan beban masing-masing adalah 2 individu. Katak kontrol memiliki bobot badan (18,25 gram dan 19,25 gram) serta SVL (66,24 mm dan 64,28 mm), sedangkan katak dengan beban ±5% memiliki bobot badan (15,25 garam dan 13 gram) SVL (66,50 mm dan 62,94 mm). Beban yang digunakan dalam penelitian berupa kancing baju yang dibedakan warnanya untuk menandakan individu. Katak tanpa beban diberi tanda berupa pita PVC yang diikatkan pada kaki belakang katak. Karena hanya ada dua individu maka pita tersebut diikatkan pada kaki belakang bagian kanan (individu 1) dan kaki belakang bagian kiri (individu 2). Peneliti tidak bisa menggunakan pola pewarnaan kulit sebagai penanda individu pada katak kontrol karena warna pada katak tidak tetap (Duellman & Trueb, 1986) sehingga tidak bisa dijadikan sebagai penanda inividu. Bobot pita PVC yang digunakan lebih kecil dari 0,008 gram atau < 0,05% dari bobot badan katak betina yang diamati. Karena persentase

30 16 bobot pita PVC tersebut sangat kecil maka diasumsikan tidak memberikan dampak terhadap pergerakan katak. Adapun data katak yang digunakan pada pengamatan yang dilakukan di ruangan kedua dengan ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm adalah sebagai berikut: Tabel 4 Data individu Rhacophorus margaritifer betina pada pengamatan rumah katak ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm No Kode individu Bobot badan (gram) Snout Vent Length (cm) Tanda Tanggal dan lama pengamatan 1 RMB01 18,25 65,26 Biru + Biru* 28/09/2010, 4 jam 2 RMB02 19,25 64,84 Tempurung + Hijau* 28/09/2010, 4 jam 3 RMB03 15,25 66,5 Kaki belakang kanan** 27/12/2010, 4 jam 4 RMB ,94 Kaki belakang kiri** 27/12/2010, 4 jam Keterangan: *) Tanda berupa pita PVC **) Tanda berupa kancing baju Penelitian pergerakan R. margaritifer di habitat semi alami ukuran 140 cmx 160 cm x 270 cm. Di rumah katak berukuran 140 x 160 x 270 cm hanya dilakukan pengamatan pergerakan katak jantan. Sama seperti pada katak betina, katak jantan terlebih dahulu ditangkap di alam, yaitu di belakang Kantor Resort Cibodas TNGGP. Sebanyak 12 individu katak jantan dewasa yang digunakan dalam penelitian dengan rincian 6 individu diamati pergerakan sebagai kontrol dengan bobot badan (3,62±0,58 gram) SVL (44,38±1,51 mm) dan 6 individu diamati pergerakan menggunakan beban ±5% dari bobot badan dengan bobot badan (4,5±0,63 gram) SVL (45,92±1,21 mm). Jumlah katak jantan yang diamati lebih banyak dari pada jumlah katak betina disebabkan karena kemudahan untuk menemukan katak jantan di alam. Pada katak umumnya berlaku sexual dimorphisme (Duellman & Treub 1986), jadi bobot badan dan SVL katak jantan lebih kecil daripada katak betina. Pada katak jantan yang diberi beban, beban yang digunakan adalah kancing baju dengan ukuran bobot dan dimensi kancing lebih kecil. Sama halnya dengan pada katak betina, warna kancing juga dijadikan sebagai penanda individu pada katak jantan. Sedangkan pada katak kontrol, tanda yang digunakan adalah pita PVC yang diikatkan pada kaki katak. Karena jumlah katak yang diamati ada 6 individu,

31 17 maka ada 1 individu katak yang tidak diberi tanda dan 1 individu yang taggingnya diikatkan pada bagian punggung. Bobot pita PVC yang digunakan < 0,006 gram, jika dibandingkan dengan bobot badan rata-rata katak yang diamati maka bobot pita PVC tersebut < 0,16% dari bobot. Adapun data katak yang digunakan pada pengamatan yang dilakukan di ruangan kedua dengan ukuran 140 cm x 160 cm x 270 cm adalah sebagai berikut: Tabel 5 Data individu R. margaritifer jantan yang diamati pada rumah katak ukuran 140 cm x 160 cm x 270 cm No Kode individu Bobot badan (gram) Snout Vent Length (cm) Tanda Tanggal dan lama pengamatan 1 RMJ01 3,5 44,22 Kaki belakang kanan* 25/12/2010, 4 jam 2 RMJ02 3,5 44,58 Kaki belakang kiri* 25/12/2010, 4 jam 3 RMJ03 4,5 47,22 Kaki depan kanan* 25/12/2010, 4 jam 4 RMJ04 2,75 42,94 Kaki depan kiri* 25/12/2010, 4 jam 5 RMJ05 3,5 43,34 Punggung* 25/12/2010, 4 jam 6 RMJ ,02 Tidak ada 25/12/2010, 4 jam 7 RMJ07 3,75 45,88 Orange** 27/12/2010, 4 jam 8 RMJ08 4,25 44,64 Biru** 27/12/2010, 4 jam 9 RMJ09 4,75 47,56 Hitam** 27/12/2010, 4 jam 10 RMJ ,56 Biru hitam** 27/12/2010, 4 jam 11 RMJ11 4,75 44,72 Orange hitam** 27/12/2010, 4 jam 12 RMJ12 5,5 47,16 Kuning** 27/12/2010, 4 jam Keterangan: *) Tanda berupa pita PVC **) Tanda berupa kancing baju Bentuk beban, waktu pengamatan dan teknis pengambilan data. Pada penelitian ini digunakan kancing sebagai beban, karena bentuknya yang pipih membulat diharapkan tidak menyebabkan gangguan terhadap pergerakan katak. Bentuk pipih dan bulat diharapkan membuat peluang beban tersebut tersangkut lebih kecil. Kancing yang digunakan terdiri dari dua ukuran yaitu kancing ukuran kecil (bobot berkisar dari 0,170 gram sampai dengan 0,200 gram) untuk katak jantan dan kancing ukuran besar (bobot berkisar dari 0,350 sampai dengan 0,400 gram) untuk katak betina.

32 18 Adapun bentuk beban yang digunakan adalah sebagai berikut: Keterangan: Gambar 7 Bentuk beban yang digunakan Tali berupa pita PVC digunakan untuk mengikatkan beban ketubuh katak. Pemeilihan pita PVC dikarenakan karena bentuknya yang elastik dan lembut. Diharapkan pita PVC tersebut tidak menyebabkan luka pada katak. 2. Kancing yang pipih dan membulat diharapkan tidak memberikan pengaruh tambahan terhadap pergerakan katak. Bentuk pipih dan bulat tersebut meminimalkan peluang beban tersangkut pada saat katak bergerak. Pengamatan hanya dilakukan pada waktu-waktu katak aktif bergerak yaitu pada pukul hingga setiap harinya berdasarkan pengamatan pendahuluan dan hasil penelitian Muliya (2010). Waktu pengamatan dibagi kedalam 4 waktu pengamatan, dengan aturan 1 jam pengamatan dan setengah jam istirahat. Sehingga pengamatan hanya dilakukan padapada hingga 18.30, hingga 20.00, hingga dan hingga sehingga total waktu katak diamati adalah selama 4 jam. Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode Partial-interval sampling (Altman 1973, Ari & Suen 1982, Powell 1977) yang merupakan bagian dari metode One-zero sampling (Ary & Suen 1982). Partial-interval sampling merupakan metode pencatatan data yang hanya terdiri dari angka 0 dan 1. Angka 0 diberikan jika tidak ada aktivitas pergerakan katak dalam interval pengamatan, angka 1 diberikan jika ada aktivitas pergerakan selama atau hanya sebagian saja dari interval pengamatan (Ari & Suen 1982, 1984). Interval merupakan pembagian waktu pengamatan yang telah ditetapkan sebelumnya, pada penelitian ini interval pengamatan yang digunakan adalah selama 1 menit. Secara teknis, satu orang pengamat mengamati dua individu katak dalam waktu yang bersamaan. Jadi pada pengamatan pergerakan katak jantan dilakukan oleh 2 orang pengamat dan pada katak betina dilakukan oleh 3 orang pengamat. Pada rumah katak ukuran 140 x 160 x 270 cm, cara ini tidak susah untuk

33 19 dipraktekkan karena ruang gerak katak terbatas sehingga pergerakan katak yang teramati sangat mendekati 100%. Selain itu dalam ruangan tersebut juga tidak terdapat vegetasi yang lebat. Untuk pengamatan pada pukul s.d , pengamat telah ada dilokasi 15 menit sebelum pengamatan untuk mencari dan menemukan katak yang akan diamati. Sedangkan pengamatan pada waktu berikutnya waktu untuk mencari hanya 5 menit, lebih pendeknya waktu ini karena posisi katak sebelumnya telah diketahui. Agar tidak mengganggu pergerakan katak, maka posisi pengamat selalu diposisikan di belakang katak yang diamati. Pengamat tidak mengarahkan cahaya senter secara langsung kebagian mata katak, cahaya yang digunakan pun cahaya merah (red mode) pada headlamp karena menghasilkan cahaya yang tidak terlalu terang dan silau. Selain itu, pengamat juga tidak mengganggu katak dan substrat disekitarnya dengan cara tidak menyentuk vegetasi yang ada. Data pergerakan katak yang diperoleh dikelompokkan ke dalam beberapa perilaku yaitu berjalan, melompat, bergerak tidak berpindah, pergerakan anggota tubuh dan diam atau tidak bergerak. Adapun definisi perilaku bergerak tersebut adalah sebagai berikut: 1) Berjalan didefinisikan sebagai katak melakukan perpindahan posisi ke segala arah dengan jarak minimal sama dengan SVL atau lebih dari dua kali melangkahkan kaki dengan berjalan tanpa adanya lompatan dalam satu waktu. 2) Melompat didefinisikan sebagai katak melakukan perpindahan posisi kesegala arah dengan melompat dalam satu waktu. 3) Bergerak tidak berpindah didefinisikan sebagai katak melakukan pergerakan kesegala arah yang menyebabkan perubahan orientasi dan/atau menyebabkan katak tersebut berpindah posisi namun tidak memlebihi SVL atau dua langkah dalam satu waktu. 4) Diam didefinisikan sebagai katak tidak melakukan pergerakan apapun atau diam. Pengambilan data pergerakan vertikal dilakukan dengan cara memasang flaging tape terlebih dahulu, pengukuran ketinggian dilakukan pada saat

34 20 pengamatan selesai (Gambar 8 dan Gambar 9). Katak merupakan hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya sangat tergantung pada suhu lingkungan (Duellman & Treub 1986) oleh karena itu data suhu dan kelembaban perlu untuk diambil. Data suhu yang diambil adalah suhu tubuh katak, suhu substrat, suhu pada thermometer Dry Wet untuk menentukan kelembaban. Data-data tersebut diambil setiap 30 menit yaitu diawal, ditengah dan diakhir waktu pengamatan. Total untuk satu individu diukur jarak vertikal atau ketinggian dan suhunya sebanyak 12 kali dalam satu malam pengamatan. Gambar 8 Kumpulan flaging tape yang Gambar 9 Flaging tape yang digunakan sebagai penanda dipasang pada daun posisi katak 3.5 Analisis Data 1 Penentuan waktu aktif bergerak R. margaritifer Dalam pengamatan waktu aktif, data dianalisis menggunakan formula sebagai berikut: Persentase katak yang diamati (%) Persentase katak aktif keseluruhan (%) Persentase katak aktif diamati (%) Persentase katak berpindah

35 21 2. Pergerakan R. margaritifer Analisis data dilakukan dengan statistik non parametrik karena data tidak menyebar secara normal. Untuk melihat perbedaan jarak vertikal antara katak jantan dan betina yang menggunakan beban maupun tidak, dilakukan uji Kruskalwallis. Karena data jarak vertikal pada katak betina dengan beban tidak ada, maka perbandingan antara katak betina dengan dan tanpa beban tidak bisa dilakukan, sehingga uji Pearson chi-square yang dilakukan selanjutnya tanpa memperhatikan jenis kelamin. UJi Pearson chi-square dilakukan untuk melihat dampak penambahan beban terhadap katak yang diamati. Untuk melihat perbedaan yang lebih detail dilakukan formula tabulasi silang (crosstab) dengan kategori per 50 cm dan 100 cm. Adapun hipotesis yang digunakan dalam pengujian data pergerakan vertikal adalah sebagai berikut: H 0 = Pemberian beban mengakibatkan perbedaan nyata terhadap pergerakan vertikal R. margaritifer H 1, Tolak H 0 = Pemberian beban tidak memberikan perbedaan nyata terhadap pergerakan vertikal R. margaritifer Dilakukan Pearson uji chi-square untuk melihat apakah ada perbedaan frekuensi pergerakan antara katak tanpa beban dan dengan beban dengan memperhatikan jenis kelamin atau pun tidak memperhatikan jenis kelamin. Pada bagian crosstab kategori yang digunakan adalah kategori gerak yaitu melompat, berjalan, bergerak tidak berpindah, diam dan melepaskan alat. kategori waktu yang digunakan adalah waktu pengamatan yaitu hingga 18.30, hingga 20.00, hingga dan hingga Adapun hipotesis yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut: H 0 = Pemberian beban mengakibatkan perbedaan nyata terhadap frekuensi pergerakan R. margaritifer H 1, Tolak H 0 = Pemberian beban tidak memberikan perbedaan nyata terhadap frekuensi pergerakan R. margaritifer Apabila nilai p value yang didapatkan lebih besar dari nilai alfa (0,05) maka terima H 0, artinya tidak ada korelasi atau dampak pemberian beban terhadap pergerakan katak. Tapi apabila nilai p value lebih kecil dari nilai alfa (0,05) maka tolak H 0 dan terima H 1 artinya pemberian beban berkorelasi atau berdampak terhadap pergerakan katak.

36 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Waktu aktif pergerakan R. margaritifer Rhacophorus margaritifer termasuk satwa yang aktif pada malam hari (nokturnal) seperti amfibi lain pada umumnya. Pada setiap pengamatan siang (pukul hingga 17.00), jumlah katak yang dapat diamati adalah 4 individu (66,67 % dari jumlah katak yang ada di dalam rumah katak). Pada siang hari umumnya semua katak yang teramati sedang tidak aktif atau tidur, kecuali pada pukul 10.00, dan Pada pukul dan ditemukan masingmasing 1 individu katak yang sedang aktif, sedangkan pada pukul ditemukan 2 individu katak yang sedang aktif. Katak yang ditemukan aktif pada siang hari mengalami perpindahan posisi dari posisi awal (Gambar 10). (%) Gambar 10 Persentase katak aktif berpindah pada setiap jam pengamatan Pada pengamatan malam hari dari pukul hingga 05.00, jumlah katak yang diamati bervariasi dari 3 hingga 6 individu (50 % hingga 100 % katak yang ada). Semua katak yang diamati tersebut dalam keadaan sedang aktif pada setiap kali pengamatan. Pada pengamatan pukul hingga 23.00, semua katak yang diamati telah melakukan pergerakan karena posisinya telah berubah dari posisi 1 jam sebelumnya. Pada pukul hingga tidak semua katak melakukan

37 23 perpindahan. Jumlah individu katak yang berpindah sebanyak 3 hingga 4 individu (50 % hingga 100 % dari jumlah katak total). Pada pukul hanya 1 katak yang masih aktif dan berpindah. Dari hasil pengamatan ini diketahui bahwa R. margaritifer aktif bergerak dari pukul hingga pukul Pergerakan vertikal R. margaritifer Katak jantan yang tidak menggunakan beban relatif beraktivitas di bagian atas dari rumah katak. Umumnya katak jantan tanpa beban berada pada ketinggian di atas 100 cm dari tanah, hanya 2 individu yang diketahui pernah mencapai ketinggian 30 cm dan 79 cm yang tercatat masing-masing 1 dan 3 kali waktu pencatatan. Ketinggian maksimal yang dicapai oleh katak jantan tanpa beban bervariasi antar individu yang termasuk dalam rentang 160 cm sampai dengan bagian atap yaitu 300 cm. Katak bergerak secara vertikal keatas dan kebawah secara tidak teratur. Ada 1 individu katak jantan tanpa beban yang hanya beraktivitas diketinggian diatas 250 cm dari lantai. Perbedaan yang signifikan (p 0.00) ditunjukkan oleh pergerakan vertikal katak jantan yang menggunakan beban, lebih dari 50% dari waktu pengamatan katak aktif di bagian lantai (ketinggian 0 cm). Katak jantan dengan beban mulai teramati berada di lantai hutan pada pencatatan pukul 18.30, pada pencatatan berikutnya jumlah katak jantan dengan beban yang berada di lantai terus bertambah, katak terakhir yang turun ke lantai diketahui pada pukul 21:00. Umumnya ketinggian maksimum yang dicapai katak adalah ketinggian posisi awal pengamatan, hanya 1 individu yang ketinggian maksimumnya melebihi posisi awalnya. Adapun ketinggian maksimum tersebut bervariasi dari 143 cm sampai dengan 282 cm dari lantai. Pergerakan vertikal katak betina tanpa beban lebih luas dibandingkan dengan pergerakan katak jantan tanpa beban dan dengan beban. Diketahui bahwa pergerakan vertikal katak betina tanpa beban terendah dan tertinggi masingmasing 0 cm dan 377 cm. Katak betina tanpa beban juga lebih aktif bergerak secara vertikal dibandingkan dengan katak jantan. Pengukuran pergerakan vertikal pada katak betina dengan beban tidak dilakukan. Sehingga hasilnya tidak bisa diketahui dan dianalisis.

38 24 Berdasarkan uji Kruskal-Wallis diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pergerakan vertikal katak jantan tanpa beban dengan katak betina tanpa beban (T = 10,381 dan p < 0,05). Katak betina tanpa beban cenderung berada lebih rendah daripada katak jantan tanpa beban. Perbedaan signifikan juga diketahui pada katak jantan tanpa beban dengan katak jantan dengan beban (p < 0,05) dimana katak jantan tanpa beban cenderung lebih banyak di atas daripada katak jantan dengan beban. Sedangkan pada katak betina tidak bisa dilakukan analisis karena tidak adanya data pengukuran. Apabila jenis kelamin diabaikan, maka hasil analisis pergerakan vertikal antara katak tanpa beban dan katak dengan beban juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil uji yang sama juga didapatkan jika dilakukan pengkategorian ketinggian yang lebih detai per 50 cm dan per 100 cm. Adapun hasil pengamatan pergerakan vertikal R. margaritifer disajikan dalam boxplot dibawah ini: Jenis kelamin: Ketinggian pergerakan vertikal (cm) Gambar 11 Perbandingan pergerakan vertikal katak tanpa dan dengan beban jika jenis kelamin diperhatikan

39 25 Jika jenis kelamin diabaikan maka hasil pergerakan vertikal katak disajikan dalam boxplot dibawah ini: Ketinggian pergerakan vertikal (cm) Gambar 12 Perbandingan pergerakan vertikal katak tanpa dan dengan beban jika jenis kelamin diabaikan Frekuensi pergerakan R. margaritifer Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas awal keaktifan katak pada malam hari dimulai dengan pergerakan meregangkan organ tubuh. Katak menggerakkan semua kaki dan kepala beberapa kali secara bergantian maupun bersamaan. Pergerakan itu terjadi pada semua katak yang diteliti. Adapun penjelasan yang lebih detail tentang pergerakan katak dijelaskan pada bagian dibawah ini:

40 Pergerakan R. margaritifer jantan Katak jantan tanpa beban telah mulai bergerak dari waktu pengamatan pukul hingga Awalnya katak lebih banyak bergerak kecil dan berputar posisi namun pergerakan tersebut belum menyebabkan perpindahan. Pada pengamatan berikutnya frekuensi pada semua kategori pergerakan katak terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada pengamatan pukul hingga Meningkatnya frekuensi gerak katak otomatis akan menurunkan waktu katak untuk diam. Sama halnya dengan katak jantan tanpa beban, katak jantan dengan beban telah mulai aktif bergerak dari pukul hingga dengan beberapa pergerakan kecil yang tidak menyebabkan katak berpindah posisi. Pada pengamatan pukul hingga frekuensi pergerakan katak mencapai puncaknya. Frekuensi pergerakan katak menurun secara drastis pada pengamatan pukul hingga 21.30, namun kembali meningkat pada pengamatan waktu berikutnya. Berbeda dengan yang ditemukan pada katak betina tanpa beban, pada katak jantan tidak ditemui adanya upaya untuk melepaskan beban. Pada pengamatan pukul hingga 18.30, diketahui bahwa semua katak jantan tanpa beban tidak mengalami perpindahan posisi (diam). Sebanyak tiga individu katak tidak melakukan aktivitas (diam) dan tiga individu lainnya hanya melakukan gerakan tidak berpindah. Sedangkan pada katak jantan dengan beban diketahui bahwa sebanyak tiga individu juga tidak melakukan gerakan apapun namun tiga individu lainnya telah mengalami perpindahan posisi walaupun jaraknya belum jauh dari posisi semula. Secara umum katak jantan tanpa beban lebih banyak mengalokasikan waktu untuk diam dari pada katak jantan dengan beban. Artinya katak jantan yang telah dipasangi beban lebih aktif bergerak dari pada katak jantan tanpa beban. Berdasarkan uji statitik diketahui bahwa ada perbedaan signifikan antara waktu diam katak jantan tanpa beban dengan katak jantan tanpa beban dengan nilai p sebesar 0,012 (p < 0,05). Pergerakan melompat belum dilakukan oleh katak jantan tanpa beban pada awal aktivitas hariannya, sedangkan pada katak jantan dengan beban diketahui ada 1 individu yang telah melakukan aktivitas melompat namun frekuensinya hanya sekali. Aktivitas melompat mulai sering dilakukan pada pengamatan pukul

41 hingga baik pada katak jantan tanpa beban maupun katak jantan dengan beban. Pergerakan melompat termasuk pergerakan yang jarang dilakukan oleh katak jantan tanpa beban, frekuensi melompat maksimal yang dilakukan hanya sebanyak 4 kali sedangkan frekuensi minimal yang dilakukan sebanyak 2 kali. Pada katak jantan dengan beban pergerakan melompat merupakan pergerakan yang dominan, dari hasil pengamatan diketahui bahwa frekuensi melompat maksimal yang dilakukan dalah sebanyak 63 kali dan frekuensi melompat minimal sebanyak 19 kali. Namun berdasarkan analisis statistik yang dilakukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi melompat katak jantan tanpa beban dan dengan beban, nilai p yang dihasilkan sebesar 0,280 (p > 0,05). Pergerakan melompat belum dilakukan oleh semua katak jantan tanpa beban pada waktu awal pengamatan (17.30 hingga 18.30), pada waktu yang sama 2 individu katak jantan dengan beban telah melakukan aktivitas berjalan. Pada katak jantan tanpa beban pergerakan berjalan merupakan pergerakan yang dominan, pergerakan mulai sering dilakukan pada waktu pengamatan hingga Pada katak jantan dengan beban, pergerakan berjalan jarang dilakukan bahkan diketahui ada 1 individu yang tidak pernah melakukan gerakan berjalan selama waktu pengamatan. Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa pemberian beban berpengaruh terhadap frekuensi pergerakan berjalan pada katak jantan dengan nilai p yang mendekati 0 (p < 0,05). Pergerakan bergerak tidak berpindah telah dilakukan oleh katak jantan tanpa beban dengan intensitas yang lebih tinggi dari pada katak jantan dengan beban pada pengamatan pukul hingga Diketahui bahwa pada katak jantan tanpa beban, kategori gerak yang dominan pada waktu awal aktifnya adalah bergerak tidak berpindah, pergerakan melompat dan berjalan baru dilakukan setelah aktif beberapa lama. Sedangkan pada katak jantan dengan beban pergerakan melompat dan berjalan telah mulai dilakukan dari awal waktu aktif. Berdasarkan analisis statistik, pemberian beban berpengaruh terhadap kategori gerak bergerak tidak berpindah dengan nilai p yang lebih kecil dari 0,05.

42 Pergerakan R. margaritifer betina Katak betina tanpa beban mulai beraktivitas dengan gerakan kecil dan memutar posisi sebelum melakukan gerakan melompat dan berjalan. Pada pengamatan selanjutnya frekuensi pergerakan terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada waktu pengamatan pukul hingga Kemudian semua kategori gerak mengalami penurunan frekuensi. Pola peningkatan frekuensi pada katak betina dengan beban memiliki kemiripan dengan pola peningkatan frekuensi pada katak jantan dengan beban. Frekuensi mengalami peningkatan pada waktu pengamatan pukul hingga 20.00, lalu kembali turun pada pengamatan pukul hingga Pada pengamatan terakhir frekuensi pergerakan mengalami peningkatan yang drastis hingga mencapai puncaknya yaitu pada waktu pengamatan pukul hingga Pada katak betina ditemukan adanya upaya untuk melepaskan beban dengan cara katak mendorong beban ke belakang menggunakan kedua kaki belakang secara bergantian maupun bersamaan. Pada katak jantan tanpa beban tidak ditemukan adanya upaya untuk melepaskan beban. Pergerakan yang dominan pada katak betina tanpa beban adalah pergerakan berjalan, hasil ini sama dengan pada katak jantan tanpa beban. Ada 1 individu katak betina tanpa beban yang mulai melakakukan aktivitas pergerakan pada pengamatan pukul hingga Sedangkan pergerakan dominan pada katak betina dengan beban adalah pergerakan berjalan juga, hal ini berbeda dengan katak jantan dengan beban. Katak betina tanpa beban lebih banyak mengalokasikan waktu untuk diam dibandingkan dengan katak betina dengan beban namun perbedaannya tidak nyata, berdasarkan uji statistik didapatkan nilai p yang lebih besar dari 0,05 artinya pemberian beban tidak mempengaruhi waktu diam. Uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata antara katak betina tanpa dan dengan beban yaitu pada kategori gerak berjalan dengan nilai p yang kecil dari 0,05. Sedangkan pada kategori gerak melompat dan bergerak tidak berpindah tidak didapatkan hasil yang signifikan dengan nilai p masing-masing sebesar 0,975 dan 0,210.

43 Pergerakan R. margaritifer jantan dan betina Selain melakukan uji Pearson chi-square dengan membedakan jenis kelamin katak, juga dilakukan uji untuk melihat perbedaan katak menggunakan beban dengan tanpa beban tanpa memperhatikan jenis kelamin. Selain itu, juga dilakukan uji pengaruh pemberian beban terhadap frekuensi pergerakan katak dengan mengabaikan kategori gerak yang dilakukan. Dari hasil ini terlihat bahwa terdapat perbedaan nyata antara katak dengan beban dengan tanpa beban dalam kategori berjalan dan melompat. Katak yang menggunakan beban lebih sedikit berjalan dan lebih banyak melakukan aktivitas melompat dibandingkan dengan katak yang tidak menggunakan beban. Adapun hasil dari uji statistik tersebut disajikan dalam tabel dibawah ini: Tabel 6.Hasil uji statistik pergerakan katak jantan dan betina No. Kategori gerak Nilai p Keterangan 1 Diam 0,061 Tidak berbeda nyata 2 Berjalan 0,00 Berbeda nyata 3 Melompat 0,00 Berbeda nyata 4 Bergerak tidak berpindah 0,066 Tidak berbeda nyata 5 Tidak memperhatikan kategori gerak 0,00 Berbeda nyata Pemanfaatan ruang pada rumah katak Rumah katak ukuran 140 cm x 160 cm x 270 cm awalnya tidak didesain sebagai tempat katak, sehingga pada saat penelitian dilakukan pengayaan didalamnya. Pengayaan yang dilakukan berupa memasukkan ranting dan vegetasi hidup ke dalam rumah katak sebagai substrat bagi katak. Secara umum penulis hanya membedakan substrat kedalam tiga kategori yaitu kawat atau dinding bangunan, vegetasi berupa ranting dan lantai bangunan berupa tanah. Sedangkan rumah katak ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm merupakan ruangan utama yang berfungsi sebagai tempat bagi katak sehingga didalamnya terdapat vegetasi, sumber air dan lampu yang berfungsi sebagai penarik serangga yang merupakan pakan bagi katak. Secara umum penulis membedakan subsrat didalam rumah katak kedalam empat kategori yaitu vegetasi berupa daun dan ranting, kawat atau dinding bangunan rumah katak dan lantai rumah katak berupa air dan tanah. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa katak jantan dengan dan tanpa beban memiliki perbedaaan jumlah kategori substrat yang digunakan (Gambar 13,

44 30 Gambar 14). Katak jantan tanpa beban hanya menggunakan ranting dan kawat sedangkan katak jantan yang menggunakan beban juga menggunakan tanah atau lantai bangunan. Katak jantan tanpa beban lebih banyak menghabiskan waktunya di atas ranting atau menempel pada kawat sedangkan katak jantan menggunakan beban banyak menghabiskan waktu di lantai atau tanah. Gambar 13 Pemanfaatan habitat katak jantan tanpa beban. Gambar 14 Pemanfaatan habitat katak jantan dengan beban. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa katak betina dengan dan tanpa beban memiliki perbedaan jumlah substrat yang digunakan. Katak betina tanpa beban menggunakan kategori subsrat lebih banyak yaitu daun, ranting, kawat dan lantai bangunan berupa air. Sedangkan pada katak betina yang menggunakan beban tidak menggunakan lantai bangunan (Gambar 15 dan Gambar 16). Gambar 15 Penggunaan habitat katak betina tanpa beban. Gambar 16 Penggunaan habitat katak betina dengan beban.

45 31 Suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi habitat dan pergerakan R. margaritifer. Sehingga data suhu tubuh dan lingkungan pada saat penelitian perlu untuk dicatat, adapun data suhu tubuh dan lingkungan pada katak jantan tanpa menggunakan beban adalah sebagai berikut (suhu dalam C): Keterangan: Gambar 17 Suhu tubuh dan suhu substrat katak jantan tanpa beban selama penelitian.

46 32 Data suhu tubuh dan lingkungan dari katak jantan yang menggunakan beban adalah sebagai berikut (suhu dalam C): Keterangan: Gambar 18 Suhu tubuh dan suhu substrat katak jantan dengan beban selama penelitian.

47 33 Data suhu lingkungan katak betina dengan dan tanpa beban adalah sebagai berikut (suhu dalam C): Keterangan: Gambar 19 Suhu tubuh katak betina selama penelitian. 4.2 Pembahasan Waktu aktif bergerak R. margaritifer Seperti amfibi pada umumnya R. margaritifer merupakan satwa yang aktif dimalam hari (nocturnal), hal ini umum pada amfibi (Duelmann & Treub 1986, Wells 2007). Pada siang hari hanya 4 dari 6 individu katak yang ditemukan, 2 individu lain di duga bersembunyi di balik daun atau ranting sehingga tidak terlihat oleh pengamat. Hal ini serupa dengan pengamatan Muliya (2010) yang menemukan katak pada siang hari pada tempat yang terlindung seperti di balik batang. Perilaku ini juga ditunjukkan oleh jenis-jenis lainnya, misalnya

48 34 Pseudacris cadaverina yang duduk di balik batu di pinggir sungai pada siang hari (Harris 1975). Dalam penelitian ini diketahui bahwa pada siang hari katak R. margaritifer juga melakukan pergerakan bahkan berpindah. Pergerakan tersebut disebabkan karena usaha untuk menghindari sinar matahari dan hujan secara langsung. Upaya tersebut merupakan perilaku katak dalam mengatur suhu tubuhnya. Menurut Wells (2007) terdapat hubungan positif yang linier antara suhu tubuh katak dengan suhu lingkungan disekitarnya. Selanjutnya Duellman dan Trueb (1986) juga menyatakan bahwa amfibi sangat berasosiasi dengan suhu lingkungan. Keaktifan katak dimulai sebelum pukul 18.00, pada saat itu katak tidak langsung bergerak berpindah melainkan melakukan pergerakan meregangkan organ gerak. Setelah itu katak bergerak ke bagian yang lebih tinggi. Perilaku ini diduga sebagai upaya bagi katak untuk mendapatkan akses yang lebih untuk mendapatkan makanan. Rahman (2010) menyatakan bahwa R. margaritifer tidak aktif di lantai hutan sehingga pakannya pun tergolong dalam serangga arboreal. Stewart (1985) menyebutkan bahwa juvenil dan jantan Eleutherodactylys coqui biasanya akan memanjat pohon hingga daun atau kanopi untuk mencari makan sesaat setelah terbenam matahari dan katak tersebut akan kebawah lagi pada saat fajar tiba. Pada pukul semua katak telah berpindah dari posisi tidurnya. Pengamatan waktu mulai aktif katak nokturnal oleh peneliti lain menunjukkan hal serupa. Menurut Kluge (1981) Hyla rosenbergi mulai bergerak pada saat senja. Menurut Muliya (2010) R. margaritifer mulai aktif pada pukul tapi pada saat itu katak tidak langsung bergerak. Katak mulai melakukan pergerakan pada pukul dan berhenti pada pukul Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari pukul hingga , semua katak aktif dan berpindah posisi dari posisi sebelumnya. Setelah itu sampai pukul semua katak masih ditemukan aktif namun tidak semuanya yang berpindah posisi. Bahkan ada katak yang tidak berpindah posisi dari jam sampai dengan Adanya katak yang sudah tidak lagi melakukan pergerakan pada malam hari diduga disebabkan oleh telah tercukupinya kebutuhan akan makanan. Wells (2007) menyatakan bahwa salah satu alasan bagi amfibi untuk melakukan pergerakan adalah usaha untuk mendapatkan makanan.

49 Pengaruh penambahan beban terhadap pergerakan R. margaritifer Wells (2007) menyatakan bahwa pergerakan satwa sangat dekat hubungannya dengan ekologi dan perilaku. Pergerakan harian dan musiman erat hubungannya dengan usaha untuk memperoleh makan, teritori, perilaku kawin, respons terhadap pemangsa serta interaksi dengan satwa yang lain. Pergerakan juga mengeluarkan biaya (cost) yang harus dikorbankan amfibi seperti energi yang terbuang dalam pergerakan, peningkatan peluang terlihatnya oleh predator dan kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Dampaknya amfibi hanya melakukan pergerakan jika dibutuhkan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemberian beban berpengaruh terhadap jarak vertikal katak. Hasil ini ditemukan pada katak jantan dan analisis yang mengabaikan jenis kelamin. Secara fisiologis hal ini bisa terjadi karena adanya pemindahan alokasi energi untuk menanggung bobot beban, sehingga energi yang diperlukan untuk melakukan pergerakan secara vertikal menjadi terganggu. Godfrey dan Bryant (2003) yang melakukan penelitian tentang Daily Energy Expenditure (DEE) atau energi harian yang dikeluarkan oleh satwa untuk beraktivitas pada burung Takahe (Porphyrio mantelli) dengan rasio bobot beban hanya sebesar 1,39% - 2,38%. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa DEE burung yang dipasangkan beban mengalami peningkatan DEE sebesar 7,9 %. Apabila kejadian ini terjadi di alam maka secara sistematis ketidakmampuan katak untuk bergerak secara vertikal kearah yang lebih tinggi akan berdampak pada persaingan pakan. Menurut Rahman (2010) R. margaritifer merupakan katak arboreal yang memanfaatkan serangga arboreal sebagai pakan. Apabila katak lebih banyak aktif di atas tanah (terrestrial), maka akan ada persaingan dalam memperoleh pakan dengan katak yang dominan beraktivitas di lantai hutan karena kesamaan sifat katak perilaku katak dalam memperoleh makan yang bersifat oportunistik. Perbedaan pergerakan vertikal yang terjadi antara katak jantan dan betina juga ditemui pada beberapa jenis katak yang telah diteliti sebelumnya. Pada jenis Litoria leisuri diketahui bahwa katak jantan memiliki rentang pergerakan vertikal yang lebih tinggi dibandingkan dengan katak betina, pada jenis ini juga diketahui adanya perbedaan pergerakan vertikal katak betina pada musim panas dan dingin.

50 36 Pada jenis Litoria genimaculata diketahui bahwa pergerakan vertikal katak jantan lebih tinggi dibandingkan katak betina, namun median pergerakan vertikal katak betina lebih tinggi dari katak jantan (Rowley & Alford 2007b). Berdasarkan penelitian Rowley dan Alford (2007a) yang membandingkan pergerakan vertikal katak yang menggunakan radiotransmitter dan harmonic radar finder, diketahui bahwa terdapat perbedaan rentang pergerakan vertikal pada katak jantan dan tidak ditemui pada katak betina. Wells (2007) menyatakan bahwa pada dasarnya wilayah jelajah dari kebanyakan amfibi bersifat dua dimensi yaitu secara vertikal dan horizontal. Kebanyakan amfibi merupakan satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air, sehingga bebarapa penelitian juga mencatat parameter pergerakan vetikal katak terhadap badan air/sungai (Rowley & Alford 2007a, 2007b). Baik katak jantan maupun betina lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk diam dari pada untuk melakukan pergerakan. Karena pergerakan amfibi sangat erat hubungan dengan memperoleh makan (Wells 2007), maka pergerakan akan dipengaruhi oleh sifat katak untuk memperoleh makan. Selain itu juga diketahui bahwa katak akan berdiam dalam waktu yang lama pada tempat yang relatif datar seperti dibagian atas daun. Perilaku ini diduga karena katak telah menemukan kenyamanan untuk mencari makan. Umumnya katak memiliki perilaku sit and wait dalam mencari makan (Rahman 2010, Wells 2007, Strussmann 1984). Katak lebih memilih untuk menunggu makanan menghampiri dari pada aktif bergerak untuk mencari makan. Dole (1965) juga menemukan bahwa Rana pipiens tidak selalu bergerak sepanjang waktu pengamatan bahkan ada katak yang tidak berpindah selama 24 jam. Meningkatnya frekuensi melompat pada katak jantan tidak bisa dikatakan sepenuhnya disebabkan oleh penambahan beban, karena pada saat pengambilan data semua katak jantan mendapat gangguan dari semut. Gangguan itu awalnya muncul karena pada saat pengamatan kondisi angin sangat kencang dan indikasi akan terjadi hujan, pada saat itu semua katak jantan yang dipasangkan beban turun ke bagian bawah rumah katak hingga ke tanah. Tidak bisa dipastikan apakah perilaku pergerakan katak ke bagian bawah oleh katak jantan tersebut merupakan respons terhadap penambahan beban atau perubahan cuaca yang terjadi. Rahman

51 37 (2009) menyatakan bahwa R. margaritifer tidak pernah beraktivitas di lantai hutan dan bersifat arboreal. Jadi perilaku katak pohon yang turun ke lantai merupakan perilaku yang tidak lazim. Pada saat katak tersebut berada pada bagian bawah, banyak semut yang datang dan menggigit katak. Meningkatnya frekuensi melompat diduga disebabkan karena usaha katak untuk melepaskan semut yang banyak menempel di tubuhnya. Gangguan dari semut tersebut menyebabkan katak mati, kematian katak pada saat penelitian juga alami oleh Sholihat (2007) dan Muliya (2010), namun kematian tersebut disebabkan oleh ganggguan oleh spooltrack yang tersangkut. Long (2010) juga menemukan adanya katak yang mati pada saat pemasangan beban pada jenis Lithobates sylvaticus dan anaxyrus boreas boreas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan dampak yang terjadi pada katak jantan dan betina. Pada beberapa hasil penelitian juga diketahui bahwa ada perbedaan perbedaan pergerakan antara katak jantan dan betina dimana jarak tempuh harian katak betina lebih jauh daripada katak jantan, hasil ini diemukan pada jenis P. luecomystax (Sholihat 2007), dan Rana chesonica (Yong Ra et al. 2008). Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi perilaku satwa yang sedangkan dipasangkan beban bisa digolongkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal merupakan faktor yang berasal dari satwa seperti umur, jenis kelamin, life history, musim aktif (kemarau atau hujan), keadaan reproduksi. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari beban dan metode yang digunakan dalam memasangkan beban, adapun faktor beban yang berpengaruh meliputi ukuran, bentuk (dimensi), bobot alat, tekstur alat. Faktor eksternal lainnya meliputi metode yang digunakan dalam memasangkan beban, pemilihan organ yang dipasangkan beban, stress yang ditimbulkan oleh penanganan (handling) satwa yang tidak baik juga bisa menimbulkan dampak terhadap satwa (Braun 2005). Beban yang ditambahkan pada R. margaritifer memiliki rasio 5% terhadap bobot badan. Pada penelitian bobot badan rata-rata R. margaritifer betina yang digunakan adalah 16,4 gram, sedangkan bobot katak jantan yang digunakan adalah 4,06 gram. Karena beban yang digunakan merupakan beban yang dibuat

52 38 sendiri, maka beban dengan rasio 5% bobot badan bisa dipasangkan pada katak. Tapi pada katak jantan didapatkan kesulitan karena bobot badan katak yang terlalu kecil. Muliya (2010) menggunakan rasio bobot spooltrack yang berbeda dalam melakukan penelitian pergerkan R. margaritifer. Penelitian Muliya (2010) menunjukkan bahwa penggunaan alat dengan rasio lebih dari 15% (pemasangan selama 24 jam hingga 72 jam) menyebabkan perubahan bobot badan yang lebih dari 20%. Pada rasio 5% - 10% (pemasangan selama 72 jam), penurunan bobot badan bervariasi 3,9% - 20%, sedangkan beban dengan rasio < 5% (pemasangan selama 72 jam) menyebabkan penurunan bobot badan 6,5% - 14,3%. Indermaur (2008) secara khusus melakukan penelitian dampak bobot beban terhadap penurunan bobot badan menemukan bahwa penambahan beban dengan rasio < 10% pada Bufo b. spinosus dan Bufo viridis tidak menimbulkan dampak. Alford et al. (1994) merekomendasikan bahwa rasio beban yang boleh ditambahkan kepada amfibi tidak lebih dari 10%, bahkan penelitian yang lebih konservatif merekomendasikan beban yang boleh ditambahkan kepada amfibi tidak lebih dari 5% (Kenward 2001). Mougey (2009) menyebutkan bahwa rasio bobot beban berbeda pada setiap taksa satwa, secara ringkas rasio bobot yang telah digunakan selama ini berkisar dari 0,2% - 33%. Amfibi merupakan satwa yang umumnya memiliki bobot badan yang rendah, hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan untuk melakukan penelitian pergerakan amfibi. Rowley dan Alford (2007) menyatakan bahwa bobot transmitter umum dijumpai secara komersial memiliki bobot 0,7 gram. Jika kita mengacu pada rekomendasi rasio 10% bobot badan, maka amfibi yang bisa dipasangkan beban adalah amfibi yang memiliki bobot badan lebih dari 7 gram. Sedangkan jika mengacu rekomendasi rasio 5% maka bobot badan minimal katak yang bisa dipasangkan beban adalah 14 gram. Namun saat ini telah ada transmitter dengan bobot < 5 gram namun dengan kemampuan rekaman (life time) alat yang lebih pendek. Mougey (2009) menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan karena penambahan beban bisa menyebabkan gangguan perilaku, fisiologi, reproduksi dan lokomosi yang akut. Golfrey dan Bryant (2003) permasalahan yang muncul dalam melakukan studi tentang dampak penambahan beban terhadap satwa yang

53 39 diteliti adalah studi membutuhkan waktu yang lama, sulitnya untuk mendapatkan data tentang perilaku satwa saat tidak ditambahkan dan ditambahkan beban, sulitnya menentukan ukuran sampel yang bisa untuk menghasilkan analisis statistik yang akurat dan risiko kematian bisa membahayakan satwa yang populasi telah langka (rare). Wanless et al. (1988) menyebutkan bahwa dampak pemberian beban melalui pemasangan komponen tracking berbeda antar spesies tergantung pada bobot alat dan metode pemasangannya. Pada amfibi beban bisa dipasangkan secara internal dengan memasukkan kedalam kulit katak (implant method) dan secara eksternal dengan mengikatkan di badan katak (Phillot et al. 2007). Perbedaan yang mendasar pada kedua metode tersebut adalah pada metode secara internal, peneliti membutuhkan penanganan dan keterampilan yang lebih dalam melakukan anaestesi dan pembedahan. Heyer et al. (1994) menyatakan bahwa peneliti perlu memerhatikan dampak dari anaestesi, pembedahan, infeksi. Umumnya pada amfibi beban dipasangkan pada bagian punggung katak. Penelitian pada taksa burung diketahui bahwa terdapat beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh pemasangan beban pada punggung diantaranya bisa menurunkan aktivitas dan konsumsi pakan (Boag 1972), menurunkan aktivitas berenang (Greenwood & Sargeant 1973). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa katak jantan lebih aktif bergerak dari pada katak betina. Katak jantan lebih banyak melakukan pergerakan namun dengan jarak yang relatif dekat sedangkan katak betina jarang melakukan pergerakan namun dengan jarak yang relatif panjang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Muliya (2010) yang menyatakan bahwa jarak yang ditempuh oleh R. margaritifer jantan dan betina pada malam hari tidak berbeda nyata. Namun demikian, penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sholihat (2007) pada Polypedates leucomystax dimana diketahui jarak yang ditempuh oleh katak jantan lebih pendek dari katak betina. Wells (2007) menyatakan bahwa semua pergerakan satwa bergubungan dengan usaha untuk memperoleh makan, kawin dan tempat istirahat. Selanjutnya Dingle (1999) dalam Wells (2007) Amfibi kadang-kadang hanya melakukan pergerakan kecil yang berulang-berulang

54 40 disekitar lokasi beristirahat disiang hari dan ada juga yang yang melakukan pergerakan yang jauh. Perhitungan frekuensi dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode one-zero sampling (lebih khusus; partial-interval sampling). Rhine dan Linville (1980) menyatakan bahwa penggunaan metode ini memiliki korelasi yang tinggi dengan frekuensi. Lalu Powell (1977) menyatakan bahwa penggunaan metode ini cenderung under estimated dalam perhitungan durasi. Dawkins (2007) menyatakan bahwa dalam penelitian perilaku ada beberapa aspek yang diukur yaitu frekuensi, durasi dan intensitas perilaku. Frekuensi merupakan nilai yang menyatakan banyaknya satwa melakukan suatu perilaku, durasi merupakan lama waktu yang dialokasikan oleh satwa untuk melakukan suatu perilaku sedangkan intensitas diartikan sebagai seberapa sering satwa untuk melakukan perilaku yang sama (Dawkins 2007). Selanjutnya Rowley dan Alford (2007a) dan Langkilde dan Alford (2002) menggunakan pendekatan frekuensi dan jarak untuk melihat dampak penggunaan alat terhadap pergerakan katak. Menurut Dawkins (2007) salah satu masalah yang sering yang dihadapi dalam kegiatan pengamatan satwa adalah munculnya respons dari satwa terhadap keberadaan pengamat. Pada saat pengamatan di lapangan sulit untuk mengetahui bahwa pergerakan katak merupakan respons katak terhadap pengamat atau tidak. Tapi pengamat selalu berusaha untuk tidak mengganggu vegetasi atau pun katak tersebut. Apabila katak pada posisi yang tinggi maka pengamat menggunakan bantuan tangga atau kursi untuk mengamati satwa. Selain itu cahaya yang digunakan adalah cahaya merah (red mode) pada headlamp, pengarahan cahaya langsung pada mata katak juga dihindari. Dawkins (2007) menyatakan bahwa untuk menghindari respons satwa terhadap pengamat maka pengamat harus bisa berkreasi memposisikan diri seperti menggunakan tangga, memanjat pohon, mengintip dari bawah atau penggunaan CCTV jika memungkinkan. Dalam penelitian Rowley dan Alford (2007a) dan Langkilde dan Alford (2002) masalah itu diatasi dengan penggunaan videotape dalam mengamati katak. Dalam penelitian juga diketahui bahwa tidak ditemukan adanya upaya untuk melepaskan beban bagi katak jantan, sedangkan pada betina ditemukan adanya usaha untuk melepaskan beban. Hal ini diduga karena adanya rasa

55 41 ketidaknyamanan yang muncul akibat pemasangan beban. Penelitian pada taksa burung diketahui bahwa pada hari-hari awal pemasangan beban, ditemukan peningkatan perilaku merapikan bulu (preening behaviour) (Mougey 2009). Pietz et al. (1993) juga menemukan bahwa pada bebek liar (wild mallard), pada awal pemasangan beban ada usaha untuk melepaskan beban. Selanjutnya Boitani dan Fuller (2000) menyatakan bahwa terjadi peningkatan intensitas perilaku membersihkan bulu pada burung dan burung tersebut berusaha untuk melepaskan beban. Selama penelitian juga diketahui bahwa suhu tubuh katak bersifat fluktuatif. Naik turunnya suhu tubuh katak relatif dipengaruhi oleh suhu lingkungan disekitarnya. Hal ini juga ditemui dalam penelitian yang dilakukan oleh Muliya (2010). Duellman dan Treub (1986) menyetakan bahwa amfibi merupakan satwa yang tergolong satwa ekoterm dan suhu tubuhnya relatif mengikuti suhu lingkungan terutama subsrat Permasalahan yang dihadapi selama pengamatan Pada awalnya pengamatan direncanakan akan dilakukan terhadap 16 individu R. margaritifer. Dari 16 individu tersebut dibagi menjadi 8 individu jantan dan 8 individu betina dengan rincian 4 individu menggunakan beban dan 4 individu tidak menggunakan beban. Namun pada saat penelitian terjadi perubahan jumlah katak yang diamati dimana katak jantan yang diamati lebih banyak. Hilangnya katak betina yang sudah ditangkap serta gagalnya peneliti menemukan katak betina dalam jumlah yang cukup sebelum eksperimen dilakukan menyebabkan jumlah betina yang bisa diteliti hanya 4 individu dengan rincian 2 individu menggunakan beban dan 2 individu lainnya tidak menggunakan beban. Karena kemudahan untuk menemukan katak jantan, maka jumlah katak jantan yang diamati ditambah menjadi 12 individu dengan rincian 6 individu menggunakan beban dan 6 individu lainnya tidak menggunakan beban. Jumlah katak yang tidak berimbang ini, diduga data mempengaruhi data sehingga cenderung bias. Salah satu asumsi yang dibangun dalam penelitian ini adalah adalah pengamat harus bisa memastikan bahwa satwa yang diamati adalah satwa yang sama pada semua waktu pengamatan. Dalam penelitian beban yang dipasangkan

56 42 pada katak menggunakan warna yang berbeda-beda sehingga satwa yang diamati tidak tertukar. Pada pengamatan katak betina dalam rumah katak ukuran 400 cm x 500 cm x 400 cm, masalah yang muncul adalah hilangnya katak yang diamati pada hari berikutnya. Sedangkan masalah yang muncul pada katak jantan adalah banyaknya katak yang mati pada saat penelitian yang diakibatkan oleh serangan semut, masalah ini juga menyebabkan singkatnya waktu pengambilan data bagi katak jantan. Selain adanya pengurangan jumlah pada penelitian juga terjadi pengurangan waktu pengamatan. Pengamatan direncanakan dilakukan pada 3 malam berturut, namun pada saat penelitian hanya dilakukan pada 1 malam saja. Hal ini disebabkan karena hilangnya katak betina dan banyaknya katak jantan yang mati. Pendeknya waktu pengamatan bisa menimbulkan bias dalam perhitungan data penelitian. Karena Langkilde dan Alford (2002) menyatakan bahwa dalam jangka pendek pemasangan komponen alat radiotracking akan meningkatkan aktivitas dan pergerakan katak sehingga data yang diambil memiliki potensi over estimated dari pergerakan normalnya. Penelitian Langkilde dan Alford (2002) tentang dampak penggunaan harmonic radar finding menemukan bahwa ada dampak penambahan beban terhadap frekuensi dan jarak bergerak jenis L. leisuri namun penelitian Rowley dan Alford (2007) yang melakukan penelitian pada jenis dan tempat yang sama namun waktu pengamatan yang lebih panjang menemukan bahwa pemberian beban tidak berdampak terhadap frekuensi dan jarak bergerak. Semalam sebelum pengamatan katak betina dengan beban dilakukan, sebanyak 3 individu katak betina dimasukkan kedalam rumah katak untuk waktu penyesuaian. Pada malam pengamatan pertama, jumlah katak yang ditemukan hanya 2 individu, 1 individu tidak ditemukan lagi. Pada pengamatan betina tanpa beban sebanyak 2 individu betina dilepaskan semalam sebelum pengamatan untuk penyesuaian. Pada saat pengamatan malam pertama jumlah yang ditemukan masih 2 individu, namum pada malam berikutnya jumlah individu yang ditemukan berkurang menjadi 1 individu sehingga pengamatan dihentikan. Sebanyak 6 individu katak jantan dewasa tanpa beban dimasukkan kedalam rumah katak semalam sebelum pengamatan dilakukan untuk

57 43 penyesuaian. Pada malam pertama pengamatan ke-6 individu tersebut berhasil diamati, namun pada malam berikutnya semua individu katak ditemukan telah dalam keadaan mati sehingga pengamatan tidak bisa dilanjutkan. Sedangkan pada katak jantan dengan beban 5 dari 6 individu yang diamati pada malam pertama ditemukan telah dalam keadaan mati sehingga pengamatan tidak bisa dilanjutkan. Di bawah ini adalah beberapa dokumentasi tentang permasalahan diatas: (a) (b) (c) (d) Gambar Salah satu katak yang berada dilantai 2. Katak yang telah diserang oleh semut 3. Katak jantan tanpa dengan beban yang telah mati 4. Katak jantan dengan beban yang telah mati Evaluasi desain kandang rumah katak di TNGGP Rumah katak di TNGGP berfungsi sebagai sarana pendidikan dan konservasi khususnya untuk jenis R. margaritifer. Konsep dan desain rumah katak TNGGP merupakan yang pertama dibangun di Indonesia. Sehingga referensi dan pengalaman dalam desain konstruksinya pun sangat sedikit. Sehingga ada potensi munculnya dampak konstruksi dan desain terhadap kesejahteraan katak yang ada di dalamnya. Dampak yang muncul jika kesejahteraan katak tersebut tidak dipenuhi beragam mulai dari stres rendah sampai dengan kematian. Stres atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Pemilihan Bahan Spool Track Hasil pemilihan bahan untuk memperoleh bobot alat yang sesuai dengan bobot tubuh R. margaritifer menunjukkan bahwa selongsong plastik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Telur Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN HABITAT MIKRO KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN HABITAT MIKRO KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN HABITAT MIKRO KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT NENENG MULIYA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT

MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT POLA PERGERAKAN HARIAN KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer) DENGAN MENGGUNAKAN METODE RADIO TRACKING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT BENNY ALADIN SIREGAR DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 9 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dalam sebelas bulan, dimulai pada bulan April 2009 sampai bulan Maret 2010. Pengambilan data clutch telur dan berudu dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) Desy Natalia Sitorus (E34120011), Rizki Kurnia Tohir (E34120028), Dita Trifani (E34120100) Departemen Konservasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak berbiak Aktivitas berbiak katak pohon Jawa ditandai dengan ciri berkumpulnya pejantan siap berbiak dan katak betina

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

Keywords : Diversity in Cikaweni PPKAB Bodogol, Dominance, Inventory, Herpetofauna, VES with Time Search methods

Keywords : Diversity in Cikaweni PPKAB Bodogol, Dominance, Inventory, Herpetofauna, VES with Time Search methods KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI JALUR CIKAWENI PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL (PPKAB), RESORT BODOGOL, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Oleh: Isniatul Wahyuni 1) (E34120017), Rizki Kurnia

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Miftah Hadi Sopyan 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) DI PENANGKARAN TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT

ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) DI PENANGKARAN TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT 1 ADAPTASI DAN PERILAKU KATAK POHON JAWA (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) DI PENANGKARAN TAMAN SAFARI INDONESIA I CISARUA, JAWA BARAT AFNELASARI EKA LESTARI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

V. HASIL & PEMBAHASAN

V. HASIL & PEMBAHASAN 19 V. HASIL & PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer 5.1.1.1. Telur Hasil pengamatan terhadap sembilan selubung busa telur (clutch) menunjukkan bahwa semua telur

Lebih terperinci

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE SPOOL TRACK

PENGGUNAAN METODE SPOOL TRACK 1 PENGGUNAAN METODE SPOOL TRACK DALAM MENELAAH POLA PERGERAKAN HARIAN KATAK BERTANDUK (Megophrys montana) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT IRWAN DWI SUSANTO DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014,

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, 19 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, di areal pertambakan intensif PT. CPB Provinsi Lampung dan PT. WM Provinsi

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa 22 III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa Jatimulyo, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Karya Ilmiah Di susun oleh : Nama : Didi Sapbandi NIM :10.11.3835 Kelas : S1-TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011 Abstrak Belut merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi alon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI Lutfi Aditia Pratama 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu merupakan salah satu gunung yang berada di propinsi Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak disekitar 111 o 15 BT dan 7

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian studi perilaku dan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai 19 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitiana Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai April 2012, pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada malam hari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN Tri Muryanto dan Sukamto Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

PERILAKU BERBIAK KATAK POHON HIJAU (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) DI KAMPUS IPB DARMAGA MUHAMMAD YAZID

PERILAKU BERBIAK KATAK POHON HIJAU (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) DI KAMPUS IPB DARMAGA MUHAMMAD YAZID PERILAKU BERBIAK KATAK POHON HIJAU (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) DI KAMPUS IPB DARMAGA MUHAMMAD YAZID DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT

POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA NENENG SHOLIHAT DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencernaan dan dapat mencegah kanker. Salah satu jenis sayuran daun yang

BAB I PENDAHULUAN. pencernaan dan dapat mencegah kanker. Salah satu jenis sayuran daun yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sayuran daun merupakan salah satu sumber vitamin dan mineral essensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, selain itu sayuran daun banyak mengandung serat. Serat

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. antara bulan Januari Maret 2014 dengan pengambilan data antara pukul

III. BAHAN DAN METODE. antara bulan Januari Maret 2014 dengan pengambilan data antara pukul III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih, Tanggamus, Lampung. Waktu penelitian berlangsung selama 3 bulan antara bulan Januari

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011. Lokasi penelitian di Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas, berlokasi di lereng Gunung Tampomas,

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii Jung et de Vriese) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT NURKHAIRANI DEPARTEMEN HASIL

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR

PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR SKRIPSI Oleh: LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR 061201036 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci