BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik. Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada
|
|
- Suparman Muljana
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis menurut European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang dikarakteristik oleh dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), nyeri atau tekanan pada wajah, penurunan atau menghilangnya daya penghidu. Sedangkan berdasarkan tanda dari endoskopi rinosinusitis kronik merupakan polip hidung dan atau mukopurulen dari meatus medius dan atau edema pada meatus medius dan berdasarkan perubahan CT scan ditemukan mukosa yang berubah diantara ostiomeatal complex dan atau sinus (Fokkens et al., 2012). 2. Patofisiologi Faktor etiologi dari rinosinusitis kronik antara lain: a. Infeksi virus, bakteri, jamur Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan edema mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan edema mukosa
2 2 bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan edema berat. Edema mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terganggu. Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaerophilic streptococci) dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin meningkat (Wang et al., 2002). Pada pemeriksaan kultur jamur, dijumpai 96% jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronik. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif. Bentuk rinosinusitis karena jamur, antara lain; sinusitis fungal invasif baik
3 3 dalam bentuk akut fulminan maupun kronik indolent (biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan massa berbentuk bola) dan Rinosinusitis Alergi Fungal (AFS) yang terbentuk akibat reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal. AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE, eosinofilia, dan peningkatan IL-5 dan IL-13 (Bernstein, 2006; Shah et al., 2008). b. Alergi Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah. Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen (Zuliani et al., 2006). Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan sinus yang menghasilkan edema dan inflamasi di membran mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade di muara sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri, atau virus (Zuliani et al., 2006). Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang edema dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga
4 4 menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronik (Zuliani et al., 2006). c. Infeksi gigi rahang atas Infeksi gigi (infeksi dentogenik) pada gigi rahang atas merupakan salah satu faktor risiko rinosinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe. Biasanya sinusitis dentogen pada rinosinusitis kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas bau busuk. Pengobatannya harus meliputi pencabutan atau perawatan gigi yang terinfeksi dan pemberian antibiotika spektrum luas dan terkadang dibutuhkan kombinasi dengan antibiotik untuk kuman anaerob, terkadang perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Puglisi et al., 2011; Longhini, 2011). Rinosinusitis kronik dentogenik terjadi apabila membran Scheneiderian teriritasi atau robek sebagai akibat infeksi gigi, trauma maksilaris, benda asing kedalam sinus dan lain-lain. Rinosinusitis dentogenik dapat terjadi melalui 2 mekanisme: dapat menjalar ke sinus melalui ruang pulpa gigi yang menyebabkan peridontitis. Mekanisme kedua melalui infeksi kronik
5 5 dan destruksi dari soket gigi yang disebut marginal periodontitis (Costa et al., 2007). Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; usia, malnutrisi, defisiensi imun, obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung (Becker, 2011). Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis (Nacleri, 2001). Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukosilia dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik. Rheologi dan komponen viskoelastisitas palut lendir ditentukan oleh struktur polimerik dan derajat hidrasi. Perubahan pada rheologi palut lendir dapat mempengaruhi mekanisme kerja silia (Krouse and Stachler, 2006; Becker, 2011). Adanya infeksi dapat menghambat siklus metachronous silia dan sistem transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus, misalnya: virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV dapat mengubah ultrastruktur aksonema dan bahan viskoelastisitas palut lendir sehingga mengganggu fungsi transpor mukosilia (Ballenger, 2003).
6 6 Mucosal Inflamtion Type 1 Hypersensitivity T-Cell mediated eosinophilia Leukotriene dysfunction (Aspirine sensitive) Local Ig-E mediated Super - antigen / bacterial by-product Environmental damage Mucosal ulceration leads to greater infection and colonization Instrinsic mucosal inflammation causes secondary mucociliary dysfunction through direct injury and mucus changes Active infection bacterial products drive inflamantory response Failure of mechanical and innate immune protection Activation of proinflamantory acquired immune responses Failure of mucus clearance leads to greater exposure to eosinophilic mucin and mucosal injury by eosinophilic mucin Local microbal community Bacterial Planktonic Bacterial biofilm Fungal viral Infection damage cilia and their function Poor of abscent mucocilliary function fails to protect mucosa from colonization Muco-ciliary dysfunction Direct cilia damage Mucus rheologic distortion Structural/genetic abnormalities Secondary to gross oedema/ ostial obstruction Gambar 2.1. Segitiga mekanisme patofisiologi rinosinusitis kronik (Harvey dan Earls 2012). 3. Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa dan tindakan bedah. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI-KL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, penatalaksanan rinosinusitis kronik berupa pemberian antibiotik lini kedua Amoksilin klavulanat/ Ampisilin sulbaktam, Cephalosporin generasi kedua, makrolid dan terapi tambahan. Terapi tambahan Dekongestan oral, Kortikosteroid oral dan atau topikal, mukolitik, antihistamin pada pasien alergi (Soetjipto, 2007).
7 7 Penggunaan cuci hidung dengan larutan salin terbukti aman bagi anakanak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut. Pencucian hidung dengan larutan salin isotonik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pasca pembedahan sinus. Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma wajah yang belum sembuh sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal. Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin isotonik ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Papsin et al., 2003; Rabago et al., 2009). Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan dengan syringe atau neti pot, sedangkan tehnik pencucian hidung dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago et al., 2009). Cuci hidung dilakukan dengan melakukan penyemprotan cairan ke bagian superolateral kavum nasi dalam posisi duduk atau posisi berdiri, dengan kepala condong ke kanan atau kekiri dengan sudut sekitar 45 0 sehingga satu lubang hidung berada di atas lubang hidung sisi lain. Hidung dicuci dengan cara mengalirkan cairan cuci hidung pada lubang hidung yang berada di atas sehingga cairan keluar dari lubang hidung sisi lain. Pada saat proses cuci hidung berlangsung, dianjurkan bernafas melalui mulut. Alat cuci hidung difiksasi pada
8 8 bagian superior dari lubang hidung. Buang napas perlahan melalui kedua lubang hidung setelah proses pencucian selesai untuk membersihkan sisa-sisa cairan dan (Miwa et al., 2007). Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis kronik yang gagal dengan terapi konservatif. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets et al., 2006). B. Transpor Mukosilia Transpor mukosilia merupakan sistem yang bekerja secara aktif dan simultan tergantung pada gerakan silia untuk mendorong gumpalan mukus dan benda asing yang terperangkap masuk saat menghirup udara melalui sistem pengangkutan di saluran pernafasan atas dan bawah hingga ke saluran pencernaan. Keterlambatan dalam mengeliminasi partikel patogen potensial yang masuk secara inhalasi dapat menyebabkan penumpukan beberapa benda asing yang lain termasuk bakteri dan virus di saluran pernafasan (Suarez et al., 2012). Transpor mukosilia dapat berkurang oleh karena perubahan komposisi mukus, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel ekskresi ataupun obstruksi anatomi. Waktu transpor mukosilia dapat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, kelembaban, kebiasaan dan ras. Dalam hal ras, perbedaan luas permukaan mukosa yang berbeda-beda berdasarkan anatomi, dapat juga mempengaruhi waktu transpor mukosilia (King, 2005).
9 9 Airway Surface Liquid (ASL) sangat penting untuk transpor mukosilia, pertahanan bawaan terhadap patogen, dan humidifikasi pada inspirasi. Gerakan cairan transepitel adalah transpor aktif ion sekunder, terutama, Na+, Cl- dan bikarbonat. Ion epitel dan proses transpor cairan menentukan komposisi dan volume cairan pada ASL (Kaplan, 2004; Katotomichelakis, 2013). ASL terdiri dari lapisan sol (suspensi cairan dari koloid padat dalam cairan) atau lapisan perisiliar (PCL) yang terdapat dipermukaan epitel dan ketebalannya sesuai dengan tinggi silia, dilapisan atasnya terdapat lapisan gel. Cairan perisiliar mempunyai viskositas yang rendah dimana lapisan-lapisan mukosanya mengandung musin makromolekul, faktor antibakteri, air, dan ion (Kaplan, 2004; Miwa et al., 2007). Tingkat viskoelastisitas dan ketebalan cairan mukus mempengaruhi kecepatan proses transpor mukosilia. Jika lapisan mukus terlalu tebal dan pergerakan silia terganggu pada pembersihan mukosilia. Lapisan mukus terbentuk dalam bentuk kental dan elastis. Keelastisitasan lapisan mukus penting dalam proses pembersihan jalan napas oleh silia karena dapat mentrasfer energi secara efektif dengan sedikit jumlah energi yang dikeluarkan. Semakin kental cairan mukus, semakin banyak energi yang dibutuhkan dalam proses transpor mukosilia. Keseimbangan antara gerakan silia, lapisan mukus dan serous yang terbentuk dapat mempertahankan transpor mukosilia yang optimal (King, 2005).
10 10 Gambar 2.2. Lapisan epitel mukosa hidung. 1. Lapisan mukus. 2. Silia dan Lapisan perisiliar (PCL). 3. Sel bersilia. 4. Sel goblet penghasil mukus ( dikutip dari Hendrik, 2013). 1. Transpor Mukosilia pada Rinosinusitis Kronik Ada tiga hal utama yang berperan dalam menjaga fungsi fisiologis sinus, yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia yang normal, kualitas dan kuantitas sekret yang normal. Gangguan pada transpor mukosilia menyebabkan terjadinya rinosinusitis kronik. Obstruksi pada kompleks ostiomeatal saat inflamasi akut mukosa sinus menyebabkan sekret tidak dapat mengalir ke luar ostium. Edema pada mukosa menyebabkan mukosa sinus yang berhadapan saling berdempetan, sehingga pergerakan silia menjadi tidak efektif. Hal tersebut menyebabkan retensi sekret yang akan menjadi media bagi pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri direspon oleh tubuh berupa perubahan kualitas dan kuantitas sekret sehingga viskositasnya menjadi lebih kental dan purulen (Beule, 2010). Transpor mukosilia disebut sebagai lini pertama dan dasar dalam mekanisme pertahanan tubuh antara silia epitel dengan virus, bakteri maupun partikel benda asing lainnya yang bekerja secara aktif menjaga agar saluran
11 11 pernafasan atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, allergen, toksin dan benda asing lain yang tertangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring (King, 2005) Epitel mukosa hidung terdiri dari lapisan tipis Airway Surface Liquid (ASL) dan cairan perisiliar (PCL) dengan viskositas rendah. Silia terdapat pada lapisan perisiliar. Sel goblet merupakan kelenjar yang menghasilkan mukus. Mukus merupakan komponen penting pada ASL. Transpor mukosilia tergantung pada hidrasi ASL dan pergerakan silia. Pada rinosinusitis kronik terdapat gangguan pada transpor ion Na + dan Cl - yang menyebabkan dehidarsi ASL dan mengentalkan mukus (Beule, 2010). Gambar 2.3. Lapisan epitel pada keadaan normal lapisan 1- ASL; 2: PCL; 3: epitel kolumnar bersilia (dikutip dari Hendrik, 2013).
12 12 Gambar 2.4. Lapisan epitel pada keadaan rinosinusitis kronik dengan keadaan dehidrasi ASL. 1. Mukus yang mengental sehingga ASL menebal, partikel merah mewakili agregasi bakteri yang membentuk biofilm 2. PCL yang menipis dan silia yang kolapse. 3. Epitel kolumnar bersilia (dikutip dari Hendrik, 2013). 2. Pemeriksaan Transpor Mukosilia Transpor mukosilia dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Lund and Sacadding, 2004; Valia et al., 2008). Transpor mukosilia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan dua metode yaitu metode langsung dengan stroboscopy, roentgenography, photoelectron maupun metode tidak langsung dengan uji sakarin dan 99mTc- MAA (Valia et al., 2008). Uji sakarin telah dilakukan oleh Anderson et al., (1974) dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk
13 13 dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Satu mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira satu menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transpor mukosilia atau waktu sakarin (Valia et al., 2008; Kirtsreesakul et al., 2009; Atur, 2012). Individu normal memiliki waktu transpor mukosilia kurang dari 20 menit. Nilai rerata waktu transpor mukosilia hidung pada orang sehat dilaporkan bervariasi. Inanli et al., (2002) menyatakan rerata waktu transpor mukosilia sebesar 9,05 ± 3,46 menit sedangkan Ural et al., (2009) menyatakan 17,53 menit. Waktu transpor mukosilia akan memanjang pada rinosinusitis kronik, diskinesia silia primer dan kistik fibrosis (Lund and Scadding, 2004). 3. Pengaruh Pemberian Larutan Salin Isotonik Terhadap Transpor Mukosilia pada Penderita Rinosinusitis Kronik Larutan salin telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Jenis larutan salin yang paling banyak digunakan adalah larutan salin isotonik NaCl 0,9%, tetapi akhir-akhir ini semakin banyak penelitian yang meneliti penggunaan larutan salin hipertonik pada penderita rinosinusitis kronik. Larutan salin isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel (Hernandez, 2007; Robago, 2009). Cuci hidung dengan larutan salin isotonik terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Mekanisme pasti terjadinya belum
14 14 diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu: pencucian langsung koloni mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung, pengurangan mediator inflamasi, pengurangan edema pada mukosa, pengurangan sekresi musin, peningkatan transpor mukosilia dengan meningkatkan frekuensi gerakan silia. Cuci hidung dengan larutan salin isotonik digunakan sebagai terapi tambahan beberapa penyakit sinonasal (termasuk rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik, rinitis alergi, dan penyakit sinonasal lainnya) (Culig et al., 2010; Satdhabudha 2012; Wei et al., 2011). 4. Pengaruh Pemberian Larutan Salin Hipertonik Terhadap Transpor Mukosilia pada Penderita Rinosinusitis Kronik Larutan salin hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel (Halperin, 2009). Larutan salin hipertonik merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurang viskus. Pemberian larutan salin hipertonik menyebabkan keadaan hiperosmolar di saluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia dan peningkatan ciliary beat. Larutan hipertonik juga memiliki efek mukolitik
15 15 pada konsentrasi NaCl 7%. Larutan salin hipertonik memiliki efek antibakteri serta dapat mengurangi edema mukosa (Garavello et al., 2003; Lee et al., 2003). Pengangkutan aktif terjadi pada penggunaan cairan hipertonik, dimana substansi melewati membran sel dari daerah yang berkonsentrasi rendah ke daerah yang berkonsentrasi tinggi (Hernandez, 2007). Penambahan salin hipertonik pada epitel telah diuji secara eksperimental hasilnya adalah terjadi peningkatan ASL kembali normal dalam waktu singkat. Natrium dan Klorida memasuki sel sebagai respon pemberian salin hipertonik. Menginduksi sejumlah konsentrasi Na dan Cl keluar dari sel melalui daerah basolateral. Larutan salin hipertonik yang menginduksi peningkatan konsentrasi NaCl pada permukaan ASL menghasilkan perbedaan grandien sehingga air dapat bergerak transepitelial dan pada arah yang berlawanan yang dibangkitkan oleh ion transpor aktif, yaitu secara osmotik air berpindah melalui submukosa ke ASL. Aliran air terjadi terus menerus selama kurang lebih detik mengikuti aliran hiperosmotik dan selama periode equilibrasi NaCl diserap dengan arah yang berlawanan melalui transeluler dan paraseluler. Terdapat mekanisme elektrochemical yang mendorong Cl- diserap melalui apikal membran. Sehingga Cl- masuk melalui paraseluler dan transeluler melalui Cl cahnnel untuk menyeimbangkan Na+ yang masuk melalui transeluler. Mekanisme ini berusaha untuk menyeimbangkan tingkat absorbsi Cl- melalui transepitel dengan absorbsi Na+ yang relatif tinggi. Sehingga penyerapan air menjadi lebih tinggi pada ASL (Beule, 2010; Zhang et al., 2011).
16 16 Gambar 2.5. Salin Hipertonik menarik air untuk rehidrasi ASL dan mengencerkan mukus dan memperbaiki transpor mukosilia (dikutip dari Rogers, 2007) Atas dasar fisiologis inilah, para peneliti kemudian mulai menggunakan NaCl hipertonik dengan hipotesis dapat mempercepat proses mucocilliary clearance. Larutan hipertonik yang paling banyak digunakan adalah NaCl 3%. Untuk penggunaan NaCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi masih dihindari oleh karena dapat menyebabkan cell injury (Hernandez, 2007).
17 17 C. Kerangka Teori Faktor etiologi: Larutan salin isotonik - Infeksi (bakteri, virus, jamur) - Infeksi gigi rahang atas - Alergi Mukosa hidung dan sinus paranasal Dehidrasi ASL Faktor Predisposisi: - Faktor lingkungan (iritan, polutan) - Malnutrisi - Defisiensi imun - Obstruksi mekanik (variasi anatomi) Larutan salin hipertonik viskoelastisitas mukus gerakan silia Edema mukosa Disfungsi Transpor mukosilia RINOSINUSITIS KRONIK Terapi medikamentosa + cuci hidung dengan larutan salin Memperbaiki Transpor mukosilia
18 18 Keterangan : : jalur rinosinusitis kronik : jalur hipertonik dalam memperbaiki : jalur isotonik dalam memperbaki Keterangan Kerangka Teori: Pada rinosinusitis kronik terjadi disfungsi transpor mukosilia. Disfungsi transpor mukosilia diakibatkan karena terjadi dehidrasi pada ASL yang mengakibatkan terjadinya viskoelastisitas mukus meningkat, berkurangnya gerakan silia, dan edema mukosa. Larutan salin isotonik secara fisiologis, yaitu mengurangi viskoelastisitas mukus, meningkatkan gerakan silia dan mengurangi edema mukosa. Sehingga dapat memperbaiki transpor mukosilia. Larutan salin hipertonik menginduksi peningkatan natrium dan klorida ke permukaan sel sehingga mengurangi edema mukosa lebih cepat. Setelah ASL berhasil di rehidrasi maka pengurangan viskoelastisitas mukus dan gerakan silia dapat ditingkatkan.
19 19 D. Kerangka Konsep Rinosinusitis Kronik larutan salin isotonik larutan salin hipertonik Waktu transpor mukosilia sebelum dan setelah pemberian terapi Waktu transpor mukosilia sebelum dan setelah pemberian terapi Perbedaan Transpor Mukosilia E. Hipotesis Larutan salin hipertonik lebih besar menurunkan waktu transpor mukosilia dibandingkan larutan salin isotonik pada penderita rinosinusitis kronik.
20 20
BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal
Lebih terperinciBAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi
BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis
BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien
Lebih terperinciBAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD
BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis Kronik Sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan
Lebih terperinciBAB 3 KERANGKA PENELITIAN
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai
8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi
Lebih terperinciRhinosinusitis. Bey Putra Binekas
Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini
Lebih terperinciLaporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS
Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
Lebih terperinciProfil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang
77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar di sekitarnya dan secara konstan berinteraksi dengan agen infeksi. Sistem mukosilia yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.
Lebih terperinciFamili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B
RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan
Lebih terperinciRINOSINUSITIS KRONIS
RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP
Lebih terperinciAnatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif
Lebih terperinciKaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.
HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya
Lebih terperinciSISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)
SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan
Lebih terperinciAsuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas
Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik
77 BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.
Lebih terperinciMr rinto, 22 thn KU : discharge hidung kental dan kekuningan
Mx gejala camelia Mr rinto, 22 thn KU : discharge hidung kental dan kekuningan Nasal discharge Ad material spt mucus yg keluar dr hidung. Nama lainnya : Runny nose; Postnasal drip; Rhinorrhea Produksi
Lebih terperinciBronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN
21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal
Lebih terperinciLAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS
LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS DEFINISI : Sinusitis adalah : merupakan penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh kuman atau virus. ETIOLOGI a. Rinogen Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis)
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal
Lebih terperinciBAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan
Lebih terperinciMENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS
MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda
Lebih terperinciLARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT
TESIS LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
Lebih terperinciINDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)
INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara
Lebih terperinciAsuhan Keperawatan Anak Preschool dengan ISPA A. Definisi Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri,
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi konsumsi bahan bakar minyak nasional pada 2012 mencapai 75,07 juta kiloliter. Volume konsumsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (RSK) merupakaninflamasi mukosa hidung dan sinus paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat
Lebih terperinciEfektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis
Laporan Penelitian Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Ade Rahmy Sujuthi, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Lebih terperinciPerbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis
Laporan Penelitian hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Sarwastuti Hendradewi, Novi Primadewi, Nurmala Shofiyati Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan
Lebih terperinciBAB II TINJUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Telaah Pustaka 2.1.1. ISPA a. Definisi ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
Lebih terperinciKomplikasi Diabetes Mellitus Pada Kesehatan Gigi
Komplikasi Diabetes Mellitus Pada Kesehatan Gigi Komplikasi diabetes mellitus pada kesehatan gigi masalah dan solusi pencegahannya. Bagi penderita diabetes tipe 2 lebih rentan dengan komplikasi kesehatan
Lebih terperinciBENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan biologis di tempat kerja adalah organisme hidup yang dapat merupakan allergen, iritan, toksin, dan penyebab infeksi. Organisme hidup ini mulai dari bakteri,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun
Lebih terperinci2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan
2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi rinitis alergi Rinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung akibat inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). Udara dapat dikelompokkan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.
Lebih terperinciMaria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R
BATUK Butet Elita Thresia Dewi Susanti Fadly Azhar Fahma Sari Herbert Regianto Layani Fransisca Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R BATUK Batuk adalah
Lebih terperinciBatuk pada Anak. Divisi Respirologi Dept. Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS.H.Adam Malik, Medan
Batuk pada Anak Divisi Respirologi Dept. Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS.H.Adam Malik, Medan -Kedengaran -Mengganggu tidur -Mengganggu aktifitas -Membuat cemas + iklan obat batuk Perang..! 2 Lawan... 3 Batuk
Lebih terperinciLAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095
LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN
Lebih terperinciBAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau
Lebih terperinciOrgan yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru
Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung
Lebih terperinciJangan Sembarangan Minum Antibiotik
Jangan Sembarangan Minum Antibiotik Beragamnya penyakit infeksi membuat kebanyakan orang segera berobat ke dokter meski hanya penyakit ringan. Rasanya tidak puas jika dokter tidak memberi obat apapun dan
Lebih terperinciGAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014
1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan
Lebih terperinciDIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS
ARTIKEL PENELITIAN DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS Siti Masliana Siregar 1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan lainnya, baik
Lebih terperinciDefinisi fisiologi / ilmu faal Manusia sistem organ organ sel Sistem organ
Definisi fisiologi / ilmu faal Manusia sistem organ organ sel Sistem organ Membran sel Membran nukleus Retikulum endoplasma Aparatus golgi Mitokondria lisosom Kurnia Eka Wijayanti 60 % dari berat tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat mengganggu kesehatan organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2013).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan seumur hidup seseorang, mengingat fungsi gigi dan mulut yang sangat berpengaruh dalam fungsi pencernaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi mengandung ratusan komponen organik rantai pendek, senyawa rantai pendek volatile dan rantai panjang
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Lebih terperinciPERIODONTITIS Definisi Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang
PERIODONTITIS Definisi Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau sekelompok mikroorganisme tertentu, menghasilkan destruksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)
Lebih terperinciaureus, Stertococcus viridiansatau pneumococcus
Analisis Data No Data Etiologi Masalah 1. Data Subjektif : Gangguan sekresi saliva Nyeri Penghentian/Penurunan aliran Nyeri menelan pada rahang saliva bawah (kelenjar submandibula) Nyeri muncul saat mengunyah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem Mukosilia Hidung Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium
Lebih terperincimemfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.
KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala
Lebih terperinciSURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2
SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 1 Windy S. Ishak 2 Olivia Pelealu 2 R.E.C Tumbel 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Bedah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi
Lebih terperinci