BAB II KAJIAN PUSTAKA. palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem
|
|
- Farida Budiono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem Mukosilia Hidung Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem mukosilia dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi penyakit (Krouse dan Stachler, 2006) Mukosa Sinonasal Sebagian besar permukaan kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius. Mukosa sinonasal secara histologis terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnal berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propia yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar profunda. Kulit pada vestibulum hidung sama seperti hidung bagian luar merupakan sel epitel skuamosa berkeratinisasi terdiri dari vibrise, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Pada bagian anterior konka inferior epitel berkeratinisasi tadi bercampur dengan epitel skuamosa tidak berkeratinisasi, epitel kolumnar tidak bersilia dan epitel respiratorius bersilia (Probst dkk, 2006). Saat mencapai nasofaring sel kolumner bercampur menjadi epitel skuamosa tidak berkeratinisasi yang mirip dengan epitel rongga mulut (Ballenger, 2003). Mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius dan mukosa olfaktorius. Sebagian besar mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa 6
2 7 respiratorius. Mukosa respiratorius dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratified bersilia yang merupakan kelanjutan dari sinus paranasal. Epitel bersilia berperan dalam transportasi mukus dari kavum nasi ke nasofaring. Sedangkan atap septum nasi dilapisi oleh mukosa olfaktorius (Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler, 2006) Epitel Epitel mukosa respiratorius tersusun atas sel bersilia, sel intermediate, sel basal dan sel goblet yang berada pada membran basal. Epitel merupakan barier mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel kolumner bersilia merupakan sel yang terbanyak dan membentang dari membran basal ke permukaan sel (Ballenger, 2003). Setiap sel bersilia memiliki silia yang tersusun atas mikrotubulus (Probst dkk, 2006). Tugas dari silia adalah untuk membersihkan palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung ke nasofaring. Mikrovili berukuran lebih pendek daripada silia dan beberapa memiliki cabang. Fungsi mikrovili ini masih belum jelas namun diduga dapat memperluas permukaan sel. Sel basal terletak pada membran basal dan berfungsi sebagai progenitor sel kolumner tidak bersilia menjadi sel kolumner bersilia (Probst dkk, 2006) Silia Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel, bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Silia dapat ditemukan di seluruh traktur respiratorius, kecuali vestibulum hidung, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia terdapat juga pada
3 8 tuba Eustachius, sebagian besar telinga tengah dan di dalam sinus paranasal (Ballenger, 2003). Silia manusia memiliki ukuran panjang 2-6 µm dengan diameter 0,3 µm. Setiap silia terdiri dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang tersusun longitudinal atau fibril yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini dikelilingi sembilan pasang di bagian luar (gambar 2.1) (Ballenger, 2003). Gambar 2.1 Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003) Pola pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat (Gambar 2.2). Gerakannya cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Pukulan terjadi secara metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna, 2001) atau 1000 getaran per menit (Ballenger, 2003). Gerakan silia terdiri dari dua fase dengan sumber energinya adenosine triphosphate (ATP), mengakibatkan pergerakan filamen pada silia dikenal dengan teori meluncurnya filamen. Silia pada epitel respiratorius bergerak secara terkoordinasi dengan pola metachronous pada cairan perisilia yaitu lapisan yang lebih dalam dari lapisan sol, yang mengalirkan lapisan gel superfisial ke arah
4 9 nasofaring (Probst dkk, 2006). Gerakan silia dipengaruhi oleh faktor eksternal (Probst dkk, 2006). Gambar 2.2 Siklus silia normal (Ballenger, 2003) Palut Lendir Palut lendir adalah lembaran yang tipis, lengket, dan liat yang dihasilkan oleh kelenjar serus dan sel-sel goblet pada mukosa hidung. Palut lendir melapisi permukaan epitel hidung berukuran µm. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, terletak di lapisan dalam, menyelimuti batang silia dan bersifat kurang viskus dan b) lapisan gel yang terletak di superfisial, ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya dan bersifat lebih viskus (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler, 2006). Lapisan superfisial merupakan lapisan yang terdiri dari gumpalan mukus yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisilia dibawahnya. Cairan perisiliar kaya akan protein plasma seperti albumin, Ig G, Ig M dan faktor komplemen (Stierna, 2001). Partikel yang larut maupun tidak larut akan ditangkap dalam gumpalan mukus ini dan kemudian dibuang oleh gerak silia di bawahnya menuju esofagus. Palut lendir mempunyai ph = 7 atau sedikit asam dan
5 10 mengandung air 95%, 2,5-3% glikoprotein, garam 1-2%. Komposisi ini tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar seromukus korion, kelenjar lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk, 2005). Fungsi palut lendir ini adalah sebagai pelicin, melindungi dari keadaan kering dan menangkap partikel dan gas yang larut (Ballenger, 2003). Palut lendir dibersihkan ke arah nasofaring setiap 10 sampai 15 menit oleh gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar yang disekresikan kavum nasi dan mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006). Palut lendir selalu bergerak dan gerakan ini karena adanya silia. Silia bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang terperangkap melalui ostium dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah searah gravitasi. Ostium sinus maksila berada di superior dinding medial sinus sehingga tanpa gerakan silia yang menyapu mukus ke atas maka sinus maksila tidak akan pernah mengalami drainase (Metson, 2005) Sel Goblet Sel-sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung menghasilkan palut lendir (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler, 2006). Laktoferin, lisosim, secretory leukoprotease inhibitor dan secretory Ig A dihasilkan oleh sel serus, sedangkan glikoprotein dihasilkan oleh sel mukus. Fungsi utama Ig A adalah untuk mengeksklusi mikroorganisme di jaringan dengan berikatan dengan antigen di lumen jalan napas sedangkan Ig G bekerja pada mukosa dengan menginisiasi perubahan reaksi berupa inflamasi ketika terpapar antigen bakteri (Stierna, 2001).
6 11 Sel goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus lainnya, sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada sinus paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus paranasal sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali dkk, 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna, 2001). 2.2 Transpor Mukosilia Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi di mana bahan partikel berjalan sepanjang permukaan kavum nasi melalui transpor mukosilia disebut dengan waktu transpor mukosilia (Probst dkk, 2006). Bentuk sitoskeleton sel silia dan aktivitas dynein memungkinkan terjadinya gerakan silia pada epitel respiratorius secara metachronous. Silia bekerja menggerakkan sekresi mukus dari sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung menuju nasofaring secara mekanik untuk membersihkan udara inspirasi. Ujung silia dalam keadaan tegak akan masuk sepenuhnya menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah esofagus. Lapisan cairan perisilia di bawahnya yaitu cairan yang kurang viskus beserta partikel yang
7 12 terlarut didalamnya juga dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Ballenger, 2003). Kecepatan transpor mukosilia sangat bervariasi. Pada orang sehat partikel yang ada pada palut lendir dipindahkan oleh silia yang aktif dengan kecepatan 3-25 mm/menit dan rata-rata 6 mm/menit. Adanya infeksi dapat menghambat sistem transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus misalnya virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV juga menghambat transpor mukosilia dengan mengubah ultrastruktur aksonemal atau bahan viskoelastik pada palut lendir (Ballenger, 2003) Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Waktu Transpor Mukosilia Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur kimia partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak dengan larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi dan c) faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Passali dkk, 2005; Ballenger, 2003). Karakteristik silia meliputi struktur, jumlah dan koordinasi pergerakan silia sedangkan karakteristik mukus yaitu jumlah yang disekresikan dan sifat viskoelastiknya merupakan komponen penting agar silia dapat berfungsi secara efektif (Ramon, 1999; Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006) Kelainan kongenital Kelainan kongenital seperti diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan lengan dynein, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal. Uji sakarin pada penderita ini adalah lebih dari 60 menit Al-rawi dkk (1998). Sindrom kartagener merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
8 13 dimana terjadi gangguan koordinasi gerakan siia sehingga terjadi gangguan transpor mukosilia. Jang dkk (2002) menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi yang diduga akibat hilangnya silia, proses inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar Suhu dan kelembaban udara Aktivitas silia dapat terganggu pada penurunan kelembaban, penurunan suhu atau kohesi pada permukaan mukosa yang saling berhadapan (Walsh dan Kern, 2006). Adrenergik β 2 agonis dapat meningkatkan frekuensi gerakan silia, sedangkan adrenergik 2 menghambat frekuensi gerakan silia (Ballenger, 2003). Penelitian Salah dkk (1988) menyatakan bahwa subjek penelitian yang bernapas dalam udara kering mengalami pemanjangan transpor mukosilia Hal ini disebabkan oleh perubahan sifat reologis mukus pada udara kering Paparan debu Soemadi dkk (2009) menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja yang terpapar debu kayu lebih panjang. Paparan kronis dari debu kayu dapat menyebabkan gangguan pada transpor mukosilia hidung. Black dkk. pada tahun 1974 melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung pada pekerja pabrik kayu di Inggris yang terpapar debu kayu selama lebih dari 10 tahun.
9 Umur Penelitian Ho dkk, 2001 tentang transpor mukosilia hidung, Ciliary Beat Frequency (CBF) serta ultrastruktur silia pada relawan sehat umur tahun, menemukan ada hubungan antara waktu transpor mukosilia dengan pertambahan umur. Melalui hasil pemeriksaan mikroskop elektron terlihat peningkatan kekacauan miokrotubulus silia sejalan dengan bertambahnya umur. Subjek yang berumur diatas 40 tahun mengalami penurunan CBF yang bermakna dengan waktu transpor mukosilia memanjang dibanding dengan mereka yang berumur lebih muda Indeks massa tubuh Penelitian oleh Valdez dan Cruz, 2009 untuk mengetahui apakah transpor mukosilia dipengaruhi oleh indeks massa tubuh yang abnormal pada orang dewasa umur tahun, menyimpulkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung Paparan asap rokok Özler dkk. (2014) dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian mengenai transpor mukosilia memakai metode sakarin dan pemeriksaan CBF in vitro pada perokok dan bukan perokok memperlihatkan adanya perbedaan CBF rata - rata atau waktu transpor mukosilia
10 15 rata - rata yang bermakna. Pada perokok kronis kelainan transpor mukosilia bukan disebabkan oleh CBF yang melambat tapi mungkin karena berkurangnya jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus Diabetes mellitus Penelitian Selimoglu dkk, 1999 tentang adakah perubahan waktu transpor mukosila terkait dengan diabetes mellitus, menyatakan bahwa pemanjangan waktu transpor pada penderita diabetes mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangya air dan elektrolit, serta akibat perubahan metabolisme karbohidrat Infeksi dan rinitis alergi Yadav dkk, 2003 menyatakan bahwa kecepatan transpor mukosilia hidung pada penderita rinitis alergi menurun akibat sekresi hidung yang bersifat alkali, yang mana merupakan kondisi ideal bagi fungsi silia. Walaupun demikian hal sebaliknya terjadi pada kasus rinitis alergi yang sangat lama, berkaitan dengan perubahan sifat reologi mukus hidung. Pengaruh infeksi hidung sinus paranasal kronik terhadap waktu transpor mukosilia telah diselidiki oleh Majima dkk. Penelitian tersebut meneliti viskoelastisitas mukus penderita sinusitis kronis dan menyimpulkan bahwa viskoelastisitas mukus yang mukopurulen lebih tinggi dibanding dengan yang mukoid, selanjutnya menyebabkan gangguan transpor mukosilia (Majima dkk, 1993).
11 Pemeriksaan Fungsi Mukosilia Efektivitas fungsi mukosilia didasarkan pada hubungan fungsional antara tiga komponen yaitu mukus, gerakan silia dan cairan perisilia (Probst dkk, 2006). Ada dua metode yang telah digunakan untuk mengevaluasi aktivitas silia pada mukosa nasal yaitu: metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung menggunakan stroboscopy, roentgenography, maupun teknik photoelectron yang membutuhkan tehnologi canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masingmasing pelayanan kesehatan. Sedangkan metode tidak langsung misalnya uji sakarin atau penggunaan 99m Tc-MAA, merupakan pemeriksaan yang aman, mudah, cepat dan dapat dipercaya untuk menilai transpor mukosilia. Uji sakarin lebih mudah dikerjakan dan tidak membutuhkan bahan dan alat yang mahal (Naxakis dkk, 2009). Oleh karena ketersediaannya dan mudah dikerjakan uji sakarin telah dikenal sebagai alat skrining yang paling bermanfaat terhadap dismotilitas silia dan untuk mengevaluasi transpor mukosilia (Ramon dkk, 1999) Uji Sakarin Prinsip uji sakarin dan pemeriksan dengan zat pewarna adalah menghitung waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan di belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring (Ballenger, 2003). Pada uji sakarin, 1 mm tablet sakarin diletakkan sekitar 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia skuamosa dengan menggunakan forsep kecil. Pasien diminta tetap bernapas biasa melalui hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. Kemudian pasien
12 17 diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan melaporkan jika merasakan suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada pasien sehingga pasien dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut. Variasi lain adalah dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan menggunakan Evans blue, sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004). Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan uji sakarin (Scadding dan Lund, 2004) a. Forsep aligator dan tablet sakarin b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior Valia dkk. (2008) menyatakan bahwa uji sakarin merupakan suatu pengukuran yang reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada Wilcoxon T test dengan p = 0,28. Penelitian Corbo dkk. (1989) menunjukkan bahwa reprodusibilitas uji sakarin adalah baik yang ditunjukkan dengan konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan antara dua pengukuran tersebut.
13 18 Penelitian Leung dkk. (2014) menyatakan bahwa lama waktu bersihan mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Munir (2010) yang menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit. 2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh Daya pertahanan sinonasal melawan polusi udara Sekitar 9000 liter udara melintasi rongga hidung setiap harinya. Hidung melindungi sistem respirasi dengan cara menyaring udara, membersihkan berjuta - juta partikel, bahan kimia dan mikroorganisme dari udara pernapasan. Polusi udara bisa berbentuk gas ataupun partikel. Pengendapan polutan yang berbentuk gas dalam rongga hidung tergantung pada daya larut gas, lamanya terpapar dan faktor anatomi traktus sinonasal yang bisa diketahui melalui pola aliran udara pernapasan. Untuk gas yang mudah larut seperti sulfur dioksida maka rongga hidung merupakan filter yang sangat efektif. Rongga hidung efektif menyingkirkan partikel yang berdiameter lebih dari 10 mikron. Apakah sistem mukosilia bisa melindungi mukosa hidung terhadap gas inhalasi atau uap bahan kimia seperti perlindungannya terhadap partikel belum banyak diketahui (Clerico, 2001). Mekanisme pertahanan sinonasal terdiri dari transpor mukosilia, daya reflek, daya imun dan daya pertahanan antimikroba. Reflek nasopulmoner, reflek nasokardiak, reflek bersin melibatkan rongga hidung melalui mediasi saraf trigeminal dengan koneksi sentralnya. Respon imun melibatkan sel imun dalam
14 19 sirkulasi maupun jaringan serta melibatkan daya pertahanan antimikroba dari respon inflamasi nonseluler (Clerico, 2001). Sitokrom P-450 banyak ditemukan pada mukosa hidung dan bertanggung jawab terhadap biotransformasi bahan kimia endogen dan eksogen termasuk polutan udara. Beberapa polutan mungkin memicu atau menekan ekspresi gen yang mengkode ensim sitokrom P-450. Bahan kimia yang membahayakan akan dinonaktifkan atau didetoksifikasi oleh sitokrom P-450 sementara bahan kimia lain seperti trialkilfosforotiolat malah memerlukan aktifasi oleh sistem sitokrom P-450 sebelum manjadi racun bagi jaringan. Oleh karena itu sistem sitokrom P- 450 berpotensi menyebabkan senyawa kimia yang tidak merusak kemudian berefek merusak (Clerico, 2001) Respon sinonasal akibat polutan dan mekanisme toksik polutan Respon sinonasal terhadap bahan kimia inhalasi meliputi respon iritasi, respon inflamasi, perubahan epitel, gangguan daya pertahanan hidung dan resistensi aliran udara hidung. Respon sistemik terhadap polutan inhalasi seperti respon imun telah terbukti mempunyai hubungan dengan terjadinya gangguan sinus (Clerico, 2001) Respon iritasi Respon iritasi juga disebut dengan common chemical sense merupakan bagian dari respon fisiologis awal terhadap inhalasi bahan kimia. Efek iritatif antara lain berupa rasa terbakar di hidung dan mata, mata berair, sakit kepala, batuk dan reflek apnea. Iritasi hidung dimediasi oleh saraf trigeminus yang ujung sarafnya mengandung substan P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP),
15 20 vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan neuropeptida lainnya. Penelitian imunokimia mikroskop cahaya memperlihatkan serat imunoreaktif (unmyelinatedneuro peptide-containing sensory nerves) meluas hampir ke seluruh permukaan epitel rongga hidung. Pengamatan dengan mikroskop elektron memperlihatkan lokasi ujung saraf tersebut berada dalam epitel hidung tepat di bawah pertemuan antar sel yang tidak terpapar secara langsung kearah lumen hidung (Clerico, 2001). Lemak terlarut merupakan stimulus yang paling efektif bagi saraf trigeminus intranasal untuk menyebabkan common chemical sense. Selain itu beberapa polutan seperti ozon akan melemahkan hubungan antar epitel serta meningkatkan permeabilitas mukosa. Zat yang sangat larut dalam air menembus lapisan mukus dengan tekanan yang lebih besar. Percobaan pada binatang pengerat menunjukkan bahwa serabut saraf yang mengandung CGRP-SP sering ditemukan pada rongga hidung yang paling sempit seperti pada konka nasi yang menyentuh septum atau pada pemukaan yang melengkung tajam. Tidak ada penelitian pada manumur yang sebanding namun jika temuan ini konsisten maka kemungkinan inflamasi neurogenik yang dipicu oleh polusi udara akan mengakibatkan obstruksi pada saluran yang sempit seperti pada komplek ostiomeatal sehingga sinusitis yang diakibatkannya nampak masuk akal. Substan P bisa menyebabkan perubahan komposisi mukus hidung sehingga menggangu daya pertahanan. Substan P juga mengubah aktifitas sekresi kelenjar rongga hidung sehingga memperburuk kondisi patologi yang ada. Efek menyerupai growth factor juga dikeluarkan oleh SP yang sebagian besar terjadi pada sel basal
16 21 dan kelenjar mukosa hidung. Pelepasan SP melalui stimulasi antidromik saraf trigeminal menyebabkan pemanjangan periode vasodilatasi. Vasodilatasi tersebut mengakibatkan kongesti mukosa dan berpotensi menyebabkan obstruksi ostium. Pelepasan SP juga menyebabkan ekstravasasi plasma dan edema jaringan sehingga memperbesar sumbatan ostium (Clerico, 2001) Respon inflamasi Inflamasi hidung akibat polusi udara mungkin berhubungan atau tergantung pada mekanisme iritasi melalui inflamasi neurogenik. Inflamasi neurogenik tersebut antara lain vasodilatasi, edema dan infiltrasi lekosit yang dipicu oleh aktifasi ujung saraf sensoris. Neuropeptida seperti substan P, neurokinin A dan CGRP berada di ujung saraf sensoris dan memiliki kemampuan vasodilatasi yang kuat. Neutral endopeptidase (NEP) bertugas melakukan down regulation inflamasi neurogenik melalui degradasi SP (Clerico, 2001). Bukti eksperimental mendukung dugaan bahwa saraf sensoris bertindak sebagai jaras aferen juga eferen bagi inflamasi neurogenik oleh karena iritasi polutan. Berbagai bahan kimia seperti asap rokok, nikotin, kapsaisin, eter dan formaldehid menyebabkan pelepasan SP dari mukosa hidung. Mekanisme lain dari proses inflamasi yang diakibatkan oleh polusi udara terjadi melalui kerusakan jaringan secara langsung oleh polutan itu sendiri. Beberapa polutan udara diketahui bersifat sitotoksik dan merusak sel sehingga mengakibatkan pengerahan sel - sel inflamasi (Clerico, 2001).
17 Respon imunitas hidung Ada dua kemungkinan yang menerangkan bagaimana polusi bahan kimia menyebabkan terjadinya infeksi sinus paranasal. Sistem transpor mukosilia yang terganggu oleh berbagai bahan kimia akan menyebabkan retensi sekret sehingga mengakibatkan infeksi. Mekanisme kedua melalui efek imunotoksik dari bahan kimia tersebut. Gangguan kemampuan fagositosis menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan terjadinya infeksi. Nampaknya polusi bahan kimia akan merusak epitel sinonasal melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung secara bersamaan. Oleh karena itu paparan polutan tidak hanya mengurangi aliran mukosilia sehingga kontak mukosa dengan mikroorganisme menjadi lebih lama namun penyakit virus sendiri juga bisa menurunkan transpor mukosilia sehingga memperpanjang kontak antara polutan dengan mukosa hidung (Clerico, 2001) Perubahan epitel Kerusakan epitel jalan napas disebabkan oleh karena adanya respon yang berlebih terhadap stimulasi inhalasi bahan kimia. Polusi udara tersebut melemahkan kekuatan intraepitel sehingga permeabilitas epitel meningkat (Clerico, 2001) Gangguan daya pertahanan tubuh Polusi udara dapat menimbulkan efek buruk terhadap daya pertahanan tubuh melalui berbagai cara. Aliran mukosilia adalah daya pertahanan tubuh yang paling banyak dibicarakan. Iritasi oleh gas inhalasi dapat merangsang dan menghambat fungsi mukosilia hidung. Polutan yang berkadar rendah dalam jangka waktu pendek dalam beberapa penelitian terbukti merangsang aliran
18 23 mukosilia menandakan adanya mekanisme pertahanan. Tetapi polutan berkadar tinggi dalam jangka panjang terbukti mengurangi aliran mukosilia. Penurunan aliran mukus hidung yang berkepanjangan atau berulang - ulang oleh karena paparan polutan dianggap sebagai faktor penyebab penyakit sinus kronis. Mekanisme iritan inhalasi mengganggu fungsi mukosilia antara lain melalui perubahan viskoelastisitas mukus, menyebabkan mukus sel goblet menjadi lengket, mengganggu fungsi silia atau melalui perubahan ketebalan hypophase. Gangguan mekanisme pertahanan hidung tersebut selanjutnya menyebabkan waktu paparan mukosa sinonasal dengan zat inhalasi termasuk virus, bakteri, partikel atau zat kimia semakin lama. Pada gilirannya terjadi lingkaran setan antara kerusakan jaringan dan disfungsi daya pertahanan tubuh (Clerico, 2001) Resistensi aliran udara hidung Pemeriksaan rinometri yang dilakukan pada mereka yang terpapar sulfur oksida berkadar 5 ppm menunjukkan adanya peningkatan resistensi aliran udara hidung. Penderita sindroma sensitif bahan kimia multipel lebih peka terhadap bahan kimia inhalasi sehingga resistensi aliran udara hidung pada penderita tersebut akan lebih besar saat terpapar bahan kimia atau bau tertentu (Clerico, 2001). 2.4 Industri Konveksi Industri konveksi adalah suatu perusahaan yang menghasilkan pakaian jadi, baik pakaian wanita, pria, anak, olah raga dan lain-lain. Umumnya perusahaan konveksi memiliki bahan baku berupa tekstil dari bermacam-macam jenis, seperti
19 24 katun, linen, polyester, rayon dan bahan-bahan sintesis lain ataupun bahan campuran dari jenis bahan-bahan tersebut. Proses dalam perusahaan konveksi ini merupakan kegiatan memproses kain atau barang setengah jadi diubah menjadi pakaian siap jadi. Proses mengubah material tersebut dibagi menjadi 4 bagian besar, yaitu proses memotong sesuai dengan pola pakaian, proses menjahit, proses merapikan, dan proses pengepakan. Bahan-bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam mengelola industri konveksi ini dapat terjadinya faktor penyebab gangguan kesehatan dan keselamatan kerja yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses pengolahan dari proses industri konveksi. 2.5 Debu Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai 500 mikron. Debu adalah partikel-partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain, baik dari bahan organik maupun non-organik. (Cayanto dkk, 2007;UU K3, 1970). Debu merupakan salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko pekerjaan. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernapasan bagi pekerja pada industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Sifat debu yang disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar
20 25 penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal tersebut bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses bernapas itu sendiri. Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006): a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya grafitasi bumi. Namun karena kecilnya kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara. b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam tempat kerja. c) Sifat penggumpalan, oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat menempel satu sama lain dan menggumpal. Kelembapan di bawah saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila tingkat kelembapan di atas titik saturasi maka akan mempermudah penggumpalan. d) Sifat listrik statis, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan. e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap. Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat
21 26 pajanan debu. Dahulu beberapa debu dianggap tidak berbahaya atau debu inert karena debu yang berukuran 5-10 μm yang masuk ke dalam saluran napas akan dikeluarkan seluruhnya. Hal ini terjadi jika jumlah debu yang masuk kurang dari 10 partikel. Jika jumlah debu yang masuk lebih dari 1000 partikel maka sekitar 10% akan tertimbun dalam saluran napas. Jika jumlahnya mencapai lebih dari partikel maka persentase penimbunannya akan bertambah besar lagi (Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001). Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu:1). Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi, 2) Suspended particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001). Berdasarkan fibrogenitasnya terhadap jaringan dibedakan debu fibrogenik dan nonfibrogenik. Debu fibrogenik yaitu debu yang menimbulkan fibrosis jaringan, misalnya debu batubara, debu silica dan debu asbes. Sedangkan debu nonfibrogenik yaitu debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan. Pada awalnya debu golongan ini dianggap tidak berbahaya bagi kesehatan, tetapi kemudian diketahui kadar debu yang tinggi akan menyebabkan reaksi saluran napas seperti hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja (Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001).
22 Debu dalam industri konveksi Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses pengolahan dari proses pemotongan, menjahit dan merapikan bahan tekstil. Bahan dasar tekstil terbanyak adalah kapas karena mempunyai keunggulan ongkos tanam dan biaya pengolahan rendah (Mulyani, 2007). Kapas termasuk noksa yang dapat merusak struktur anatomis organ dan perubahan fungsi. Noksa adalah bahan yang dapat merusak struktur anatomis organ atau tubuh dan sekaligus menimbulkan perubahan fungsi. Dalam lingkungan kerja, para pekerja terpapar dan menghirup noksa yang berasal dari bahan baku hasil produksi, produk sampingan, atau dari limbah. Secara umum noksa lingkungan dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Debu organik : nabati, hewani 2. Debu inorganik : pertambangan, industri logam, keramik 3. Gas iritan :industri petrokimia, farmasi Debu pada industri konveksi dibedakan atas debu yang alami dan debu dari bahan sintetis. Debu yang alami berasal dari bahan wool, sutera, linen, dan katun sementara sebagian besar debu dari bahan sintetis adalah paparan debu tersering yaitu berasal dari serat sintetis seperti polyamide dan acrylic. Sebagian besar pakaian mengandung bahan sintetis seperti polyester, elastan dan lycra, hal ini disebabkan karena harganya yang murah dan mudah perawatannya menjadi pilihan utama industri konveksi. Namun proses pengolahan bahan ini pada industri konveksi menimbulkan polusi dan sulit untuk didaur ulang (Mulyani, 2007).
23 Debu kapas Debu kapas adalah debu organik yang terlepas ke udara selama tindakan pengolahan serat kapas yang mengandung banyak bahan seperti komponen tumbuhan, serat, bakteri, jamur, pestisida, dan kontaminan lainnya yang dapat berakumulasi dengan kapas selama proses menanam, panen, pengangkutan dan pemintalan. Debu kapas juga dapat didefinisikan sebagai semua debu yang timbul akibat proses pengolahan kapas hingga proses penjahitan kain, pemotongan kain, proses setrika dan pengepakan (Mulyani, 2007). Pembagian debu kapas berdasarkan tipenya dibagi menjadi 3, yaitu: 1.) Inhalable dust yaitu partikel debu yang dapat terhirup dan terdeposit di saluran napas seperti mulut dan hidung, 2.) Thoracic dust yaitu material berbahaya yang dapat masuk ke dalam paru-paru dan ikut dalam pertukaran udara, 3.) Respirable dust yaitu fraksi dari debu yang dapat masuk mencapai alveoli paru (Mulyani, 2007). Ukuran debu sangat bervariasi, berikut klasifikasi debu kapas berdasarkan ukuran partikel debu seperti tertera dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi debu berdasarkan ukuran partikel Tipe Ukuran partikel (µm) Sampah debu Di atas 500 Debu Debu mikro Debu yang dapat terhirup Kurang dari 15
24 29 Pada perusahaan tekstil dampak negatif terhadap polusi udara sangat bervariasi. Proses spinning dan weaving akan mempengaruhi kualitas udara sementara proses dyening dan printing yang menggunakan zat kimia akan melepaskan zat-zat yang mudah menguap dan berbahaya bagi kesehatan. Debu kapas menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis. Debu kapas termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi (Wahab, 2001) Kadar debu total Dalam Enviromental Protection Departement (WHO, 2005) disebutkan kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP) mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan pertikel di udara yang memiliki diameter kurang dari 100 µm (mikrometer). Di antara kadar debu total, termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama dengan atau bahkan kurang dari 10 µm (WHO, 2005) Nilai Ambang Batas (NAB) Debu Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan
25 30 berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. (Depkes RI, 2008). Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 atau PP RI No. 41 tahun 1999 menyebutkan NAB dalam 1 jam adalah 90 µg/nm 3 sedangkan dalam 24 jam adalah 230 µg/nm 3. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/MENKES/SK/XI/2002 NAB maksimal di industri sebesar 10mg/m 3. Penelitian pendahuluan dan pengukuran kadar debu di perusahaan tekstil X pada tahun 2001 diperoleh NAB debu kapas yaitu 0,114-0,148mg/m 3 pada unit spinning dan 0,223-0,614 mg/m 3 pada unit carding (Wahab, 2001) Pengukuran debu Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan
26 31 kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar kadar debu terhirup dan lama pajanan (Wahab, 2001) Konsentrasi partikel debu Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak (Yunus, 2003) Lama Pekerjaan Jenis pekerjaan dalam industri mempengaruhi risiko terjadinya pajanan debu. Pekerja yang memiliki resiko tinggi terpapar debu adalah pekerja yang berhubungan dengan proses produksi (Suherman, 2013). 2.6 Paparan Debu pada Perusahaan Konveksi dan Waktu Transpor Mukosilia Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu menyebabkan terhirupnya debu ke saluran napas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran napas. Pada saat bernapas partikel mengendap di saluran napas. Rute utama pernapasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu tergantung dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Wahab, 2001). Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia, mulai dari gangguan yang ringan (terganggunya fungsi silia) hingga yang lebih berat berupa kerusakan atau perubahan struktur (hiperplasia kelenjar mukus dan
27 32 peningkatan sel piala) maupun gangguan yang benar-benar patologi (metaplasia sel skuamosa sampai karsinoma) (Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004). Debu pada perusahaan konveksi berasal dari bahan yang terbanyak digunakan pada pabrik konveksi yaitu bahan tekstil kain yang berasal dari kapas. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh debu kapas terhadap penurunan fungsi paru dan bisinosis (Syahputra dkk., 2015; Fadli dkk., 2012) namun penelitian mengenai pengaruh debu kapas terhadap waktu transpor mukosilia masih jarang. Paparan debu organik dari perusahaan tekstil dapat menimbulkan penyakit paru-paru obstruktif seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Paparan debu organik ini dapat menyebabkan terjadinya inflamasi persisten yang tampak dari inversi makrofag paru, perubahan rasio dendrit. Sejumlah mikroba telah tebukti terdapat pada kapas seperti kuman gram negatif, kuman gram positif, actinomyces dan berbagai jamur. Endotoksin yang dihasilkan oleh kuman gram negatif inilah yang dapat mempengaruhi pergerakan silia dan fungsi paru (Akunsari dkk., 2010). Ahmed, 2012 menemukan bahwa pada perusahaan tekstil selain faktor lokasi bekerja (spinning dan carding) memiliki paparan debu kapas yang lebih tinggi, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa deposit jamur Aspergilus niger dan Penicillium juga dijumpai dapa paru lobus kanan dan kiri pekerja bagian tersebut. Sebuah literatur mengemukakan bahwa proses flocking pada perusahaan konveksi di Ontario pada tahun 1990, yaitu proses memotong bahan yang mengandung serat sintetis (nylon, rayon dan polyester) menjadi potongan kecil
28 33 untuk membuat pakaian menimbulkan pneumositis dengan gejala batuk progresif dan sesak. Akunsari dkk., 2010 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan terhadap paparan debu kapas dan penurunan fungsi paru fungsi paru tenaga kerja wanita di Sukoharjo. Penelitian Sangeetha dkk., 2013 menunjukkan bahwa lokasi (bagian knitting) tempat bekerja pada perusahaan tekstil dan konveksi memiliki paparan debu kapas yang paling tinggi dan dapat mempengaruhi fungsi paru. 2.7 Lama Bekerja dan Waktu Transpor Mukosilia Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia bukan hanya dipengaruhi oleh ukuran partikel debu namun juga lamanya pajanan terhadap partikel tersebut. Apabila endapan debu atau partikel ini berlebihan atau berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa hidung (Suherman, 2013). Penelitian Soemadi dkk., 2009 menyimpulkan bahwa waktu transpor mukosilia dipengaruhi oleh lama masa bekerja, semakin lama kerja karyawan tersebut maka semakin tinggi waktu transpor mukosilia ( Spearman rho s=0,774 dan p = 0,000). Waktu transpor mukosilia pada karyawan perusahaan mebel mengalami perubahan yang bermakna setelah mereka bekerja selama minimal 3 tahun, dan perubahan tersebut semakin bermakna seiring dengan bertambahnya lama kerja. Peningkatan waktu transpor mukosilia ini berawal dari mekanisme pengendapan partikel debu kayu yang kemudian menyebabkan gangguan transpor mukosilia. Terganggunya transpor mukosilia menyebabkan terganggunya bersihan partikel, sehingga kontak partikel dengan mukosa hidung menjadi lebih
29 34 lama. Kondisi ini dapat menimbulkan peradangan maupun ulserasi pada mukosa hidung secara langsung. Epitel cenderung kehilangan silia dan jumlah sel goblet meningkat. Syahputra dkk., 2015 menyatakan bahwa masa kerja > 5 tahun, kebiasaan merokok, dan laki-laki usia yang lebih tua dan pendidikan menengah ke bawah memiliki kecenderungan menderita bisinosis akibat paparan debu kapas (p = 0,005). Suherman (2013) di Yogyakarta menyatakan bahwa lama bekerja pada pekerja kerajinan perak memiliki korelasi yang sangat kuat (r = 0,856 p <0,05) dan mempengaruhi transpor musilia hidung sebesar 79,3%. Black dkk (1974) juga melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung akibat paparan debu kayu selama lebih dari 10 tahun. Penelitian Legrans (2015) mendapatkan kejadian rinitis akibat kerja pada pekerja konveksi lebih tinggi pada masa kerja 60 bulan yaitu sebesar 81,8% dibandingkan masa kerja <60 bulan (45,8%) dengan odd ratio 5,3 dan p<0,01. Walusiak (2006) mendapatkan insiden rinitis akibat kerja cukup tinggi yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja. Sedangkan Gautrin dkk (2006) insiden gejala rinitis meningkat pada pekerja dengan masa kerja bulan dan terus meningkat pada masa kerja lebih dari 24 bulan.
BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter
Lebih terperinciBAB 3 METODE PENELITIAN
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi mengandung ratusan komponen organik rantai pendek, senyawa rantai pendek volatile dan rantai panjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi konsumsi bahan bakar minyak nasional pada 2012 mencapai 75,07 juta kiloliter. Volume konsumsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar di sekitarnya dan secara konstan berinteraksi dengan agen infeksi. Sistem mukosilia yang
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTIKUM PENGUKURAN DEBU MENGGUNAKAN PERSONAL DUST SAMPLER (PDS)
LAPORAN PRAKTIKUM PENGUKURAN DEBU MENGGUNAKAN PERSONAL DUST SAMPLER (PDS) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Laboratorium Kesehatan Kerja Dosen Pengampu : Drs. Herry Koesyanto, MS Nama Kelompok :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan seperti
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,
Lebih terperinciB A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru
B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai
Lebih terperinciPertukaran gas antara sel dengan lingkungannya
Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di dunia. Bahan bakar bensin adalah substansi kompleks dengan komposisi yang bervariasi tergantung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai,
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan atas atau yang selanjutnya disingkat dengan ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh masuknya mikroorganisme
Lebih terperinciOrgan yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru
Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri saat ini makin berkembang, dari satu sisi memberi dampak positif berupa bertambah luasnya lapangan kerja yang tersedia dan meningkatnya pendapatan masyarakat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapatkan perhatian
Lebih terperinciTUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia
TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan
Lebih terperinciBronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paru merupakan salah satu organ vital yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas oksigen (O 2 ) yang digunakan sebagai bahan dasar metabolisme dalam tubuh.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit bernafas terjadi saat saluran pernafasan memberikan respon yang berlebihan dengan cara menyempit
Lebih terperinciINDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)
INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting, baik untuk lingkup internasional dan teristimewa bagi Indonesia. Di Indonesia karet merupakan salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan industri dapat memberikan dampak positif bagi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan industri dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Namun pembangunan industri dengan berbagai macam jenisnya tentunya memiliki dampak positif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai
Lebih terperinciSISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)
SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem mukosiliar 2.1.1 Histologi mukosa Cavum nasi memiliki luas sekitar 150 cm 2 dan total volumenya kurang lebih 15 ml yang sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan
42 BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini mempunyai tujuan untuk melihat pengaruh perbedaan suhu dan tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan coba post mortem. Penelitian
Lebih terperinciSMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan
JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA A. Organ-Organ Pernapasan Bernapas merupakan proses yang sangat penting bagi manusia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya penyakit paru kronik (Kurniawidjaja,2010).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paru-paru merupakan alat ventilasi dalam sistem respirasi bagi tubuh, fungsi kerja paru dapat menurun akibat adanya gangguan pada proses mekanisme faal yang salah satunya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari. Secara klinis ISPA ditandai dengan gejala akut akibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu unsur atau zat yang sangat penting setelah air. Seluruh makhluk hidup membutuhkan udara sebagai oksigen demi kelangsungan hidupnya di muka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) Tahun 2005
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan terutama mengenai struktur saluran pernafasan di atas laring tetapi kebanyakan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pesatnya Perkembangan teknologi dan industri sejalan dengan meningkatnya
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya Perkembangan teknologi dan industri sejalan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia. Pencemaran merupakan dampak yang tidak diharapkan dari pesatnya perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah kebutuhan dasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, polusi udara masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan di seluruh dunia.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil
Lebih terperinciTEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN
TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan
Lebih terperinciKaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.
HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis
BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 10 juta jiwa, dan 70% berasal dari negara berkembang, salah satunya Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku merokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia. Menurut laporan status global WHO (2016), perilaku merokok telah membunuh sekitar
Lebih terperinciMateri Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru
1.1 Pengertian Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai
8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul akibat pajanan terhadap bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009). Kelainan saluran
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat, terutama pada kondisi lingkungan yang di bawah standar. (1)
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit akibat lingkungan semakin hari semakin menimbulkan problema kesehatan masyarakat, terutama pada kondisi lingkungan yang di bawah standar. (1) Umumnya di
Lebih terperinciJARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN
JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi
Lebih terperinciMENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS
MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda
Lebih terperinciFamili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B
RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh kemudian dibungkus dengan kertas rokok berukuran panjang 70 120 mm dengan diameter
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya
1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari - hari pekerjaan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi sekarang ini menuntut pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari - hari pekerjaan akan terpajan dengan berbagai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi sekarang ini menuntut pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan akan terpajan dengan berbagai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan penyakit paru (Suma mur, 2011). Penurunan fungsi paru
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan kerja yang penuh oleh debu, uap dan gas dapat mengganggu produktivitas dan sering menyebabkan gangguan pernapasan serta dapat menyebabkan penyakit paru (Suma
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit akibat kerja. Potensi bahaya dapat ditimbulkan dari aktivitas kegiatan di tempat kerja setiap
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan industri saat ini menjadi sektor yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Resiko bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya kecelakaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah 1. Definisi Darah Darah berasal dari kata "haima", yang berasal dari akar kata hemo atau hemato. Merupakan suatu cairan yang berada di dalam tubuh yang berfungsi
Lebih terperinciBAB II TINJUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Telaah Pustaka 2.1.1. ISPA a. Definisi ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang dari tahun ke tahun. Peningkatan dan perkembangan ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan sektor industri di Indonesia semakin meningkat dan berkembang dari tahun ke tahun. Peningkatan dan perkembangan ini sejalan dengan peningkatan antara
Lebih terperinciBAB 3 KERANGKA PENELITIAN
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka
Lebih terperinciYani Mulyani, M.Si, Apt STFB
Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,
Lebih terperinciPengertian Rokok dan Bahaya Merokok bagi Kesehatan Manusia
Pengertian Rokok dan Bahaya Merokok bagi Kesehatan Manusia Posted by Kukuh Ibnu Prakoso. Category: Informasi, Kesehatan Setelah sebelumnya kita mengetahui betapa banyaknyamanfaat merokok yang tidak kita
Lebih terperinciABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013
ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi memberikan dampak yang besar bagi kelangsung hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling banyak terjadi di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Infeksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan permasalahan terkait kebiasaan merokok yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah batang rokok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gerak adalah aktivitas fisik dan merupakan ciri kehidupan. Sesuai dengan pepatah yang mengatakan Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka aktivitas fisik
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. a. Perokok aktif adalah orang yang memang sudah merokok.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok dan Merokok Rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. Merokok adalah menghisap gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas. (Kamus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.
51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan. 4.1. ANALISA UNIVARIAT Penelitian dilakukan di Rumah
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. udara, dan paling banyak terjadi pada negara berkembang. (1) Udara merupakan salah
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan lingkungan di dunia yang utama adalah pencemaran udara, dan paling banyak terjadi pada negara berkembang. (1) Udara merupakan salah satu komponen
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan
Lebih terperinci