LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT"

Transkripsi

1 TESIS LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

2 TESIS LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

3 LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

4

5 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 27 Maret 2015 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 797/UN14.4/HK/2015 Tanggal 12 Maret 2015 Ketua : dr. Luh Made Ratnawati, Sp.THT-KL Anggota : 1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg 2. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes 3. Prof.dr. I. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 4. Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si

6

7 UCAPAN TERIMA KASIH Om swastiastu, Atas karunia Tuhan Yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis untuk memperoleh gelar keahlian di bidang THT-KL. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di bidang THT-KL. Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher. 2. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. 3. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree).

8 4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. 5. dr. Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan, bimbingan dan motivasinya. 6. dr. I Gede Ardika Nuaba, Sp.THT-KL(K) sebagai Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan, bimbingan, dan motivasinya. 7. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And,FAACS yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree). 8. dr. Luh Made Ratnawati, Sp.THT-KL sebagai pembimbing I atas segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir pendidikan. 9. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg sebagai pembimbing II atas segala waktu dan bimbingannya selama ini. 10. dr. Made Sudipta, Sp.THT-KL atas motivasi, bimbingan dan pengertiannya selama penulis menempuh pendidikan spesialis. 11. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH atas bimbingan dan arahan statistika mulai dari penyusunan proposal penelitian kepada penulis.

9 12. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid atas bimbingan dan arahan statistika yang diberikan kepada penulis. 13. Kepala-kepala sub bagian dan para konsultan di Bagian/SMF THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan. 14. Para senior, rekan residen, dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian berlangsung. 15. Paramedis di poliklinik THT atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan spesialis dan penelitian. 16. Ayahanda, Ir. I Wayan Kariadi dan Ir. Nym Ginastra serta ibunda tercinta, Ni Putu Lasni dan Ni Wayan Sriadi, kakak dan adik terkasih maupun keluarga besar saya atas segala pengorbanan, dukungan material, doa dan motivasinya selama penulis menempuh pendidikan spesialis. 17. Suami tercinta, dr. Kadek Bayu Dwi Putra dan anak-anakku tersayang, Gde Arjuna Prabasutha dan Kadek Anindya Pramesti atas pengertian dan pengorbanan dalam mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan. 18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat- Nya atas kebaikan yang telah dilakukan. Denpasar, Februari 2015 Ni Putu Oktaviani Rinika P.

10 ABSTRAK LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT Transpor mukosilia merupakan salah satu mekanisme pertahanan saluran pernapasan. Adanya gangguan pada sistem tersebut menjadi predisposisi terjadinya infeksi sinonasal. Larutan pencuci hidung dengan salin isotonis dipercaya dapat mengurangi gejala akibat rinosinusitis dengan cara membersihkan sekret, mengurangi odema dan mengeluarkan bahan-bahan berbahaya yang masuk bersama udara pernapasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas waktu transpor mukosilia larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien rinosinusitis akut. Desain penelitian: eksperimental, pre-post test with control group design. Waktu transpor mukosilia diukur menggunakan uji sakarin terhadap 20 pasien rinosinusitis akut sebelum dan 7 hari sesudah pemberian larutan pencuci hidung salin isotonis dan terapi standar (ciprofloxacine, pseudoephedrine/triprolidine, ambroxol) pada Kelompok Perlakuan dan terapi standar pada Kelompok Kontrol. Hasil: Rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan 29,2 ± 7,7 menit pada Kelompok Kontrol. Rerata waktu transpor mukosilia sesudah terapi adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0 ± 5,6 menit berturut-turut pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol. Median selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah terapi adalah 11,0 ± 7,5 menit pada Kelompok Perlakuan dan 9,4 ± 5,3 menit pada Kelompok Kontrol (p=0,499). Kesimpulan: Penambahan larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut memiliki efek waktu transpor mukosilia yang sama dengan pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik tanpa larutan cuci hidung salin isotonis. Kata kunci: Salin isotonis, rinosinusitis akut, transpor mukosilia.

11 ABSTRACT ISOTONIC SALINE NASAL SOLUTIONS WAS NOT PROVEN IN INCREASING MUCOCILIARY TRANSPORT TIME IN ACUTE RHINOSINUSITIS Mucociliary clearance is a major element of the defense system of the entire respiratory tract. Impairment of the mucociliary clearance serves as a medium for sinonasal infections. Saline nasal irrigation is believed to alleviated rhinosinusitis symptoms by clearing excess mucus, reducing congestion and remove infectious materials from the inspired air. The aim of this study was to determine the efficacy of mucociliary transport time of isotonic saline nasal solutions in patients with acute rhinosinusitis. This was an experimental study, pre-post test with control group design. Mucociliary transport time was measured by the saccharine test on 20 acute rhinosinusitis patients before and after 7 days treatment with intranasal isotonic saline solutions and standard therapy (ciprofloxacine, pseudoephedrine/ triprolidine, ambroxol) for the case group and standard therapy for the control group. Result: The average mucociliary transport time before therapy were 35,5 ± 10,7 minutes and 29,2 ± 7,7 minutes for case group and control group, respectively. The average mucociliary transport time after therapy were 22,9 ± 8,7 minutes and 18,0 ± 5,6 minutes for case group and control group, respectively. The mean difference mucociliary transport time before and after therapy were 11,0 ± 7,5 minutes and 9,4 ± 5,3 minutes for the case and control group, respectively (p=0,499). Conclusions: The addition of intranasal isotonic saline solutions in acute rhinosinusitis patients has the same effect of mucociliary transport time with oral medication with antibiotic, decongestan and mucolitic without intranasal isotonis saline solutions. Keyword: Isotonic saline, acute rhinosinusitis, mucociliary clearance.

12 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... ix ABSTRACT... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA Hidung dan Sinus Paranasal Anatomi dan fisiologi hidung Anatomi dan fisiologi sinus paranasal... 7

13 2.2 Sistem mukosilia hidung Palut lendir Silia Sel goblet Transpor mukosilia Pemeriksaan fungsi mukosilia Rinosinusitis akut Definisi Insiden Patofisiologi Gejala klinis dan diagnosis Komplikasi Penatalaksanaan BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka berpikir Kerangka konsep Hipotesis penelitian BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan penelitian Lokasi dan waktu penelitian Subjek dan sampel penelitian Populasi penelitian... 29

14 4.3.2 Teknik pemilihan sampel Kriteria sampel Besar sampel Variabel penelitian Identifikasi dan klasifikasi variabel Definisi operasional variabel Bahan dan alat penelitian Prosedur kerja Alur penelitian Analisis data BAB V HASIL PENELITIAN Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan Perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan BAB VI PEMBAHASAN Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan Perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah

15 perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan BAB VII SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 62

16 DAFTAR TABEL Halaman 5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan Hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan... 47

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Dinding lateral hidung Kompleks ostiomeatal Lapisan mukus dan cairan perisilia Struktur ultrasilia tubulus a Forsep aligator dan tablet sakarin b Tablet sakarin diletakkan di ujung anterior konka inferior Pencucian hidung dengan teknik irigasi menggunakan neti pot Bagan kerangka konsep penelitian Bagan rancangan penelitian Bagan alur penelitian a Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan b Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan Grafik garis selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Forsep alligator dan pinset bayonet Stopwatch dan tablet sakarin merk Equal Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi (tampak depan)... 72

18 6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi (tampak samping)... 72

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Ethical clearance Lampiran 2 Informasi tertulis kepada responden Lampiran 3 Surat pernyataan persetujuan Lampiran 4 Lembar penelitian Lampiran 5 Randomisasi blok Lampiran 6 Foto dokumentasi Lampiran 7 Data statistik Lampiran 8 Data responden... 83

20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pernapasan merupakan bagian tubuh pertama yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar. Secara fisiologis hidung merupakan salah satu organ pernapasan yang berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama terhadap partikel inspirasi. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir membentuk mekanisme pertahanan dalam sistem pernapasan yang dikenal sebagai sistem mukosilia. Fungsi mukosilia yang efektif tergantung pada tiga komponen yaitu palut lendir, gerakan silia dan sel goblet. Gangguan pada jumlah dan pergerakan silia serta produksi palut lendir akan menyebabkan gangguan transpor mukosilia hidung (Ramon dkk., 1999). Penilaian fungsi transpor mukosilia dapat dilakukan dengan uji sakarin yang sederhana, non invasif, mudah, murah dan merupakan pemeriksaan baku emas untuk uji perbandingan (Ramon dkk., 1999; Naxakis dkk., 2009). Transpor mukosilia akan memanjang pada infeksi saluran napas atas, rinitis alergi dan rinosinusitis (Inanli dkk., 2002). Pada rinosinusitis fungsi mukosilia terganggu karena perubahan kualitas dan kuantitas rheologi mukus (Georgitis, 1994) atau kerusakan pada epitel bersilia hidung dan sinus paranasal (Naclerio dan Gungor, 2001). Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa kavum nasi dan sinus paranasal dalam waktu 4 minggu atau kurang dengan gejala hidung buntu, nyeri

21 pada wajah, ingus kental dan post nasal drip purulen. Rinosinusitis akut membawa dampak ekonomi berupa tingginya biaya pengobatan dan menurunnya produktivitas kerja akibat banyaknya pekerja yang absen (Busquets dan Hwang, 2006). Sinus paranasal merupakan kelanjutan saluran pernapasan bagian atas (Metson, 2005) dan sebanyak 0,5%-2% infeksi saluran napas atas berkembang menjadi rinosinusitis (Levine, 2005). Di Indonesia, infeksi saluran napas atas merupakan penyakit yang sering ditemukan, demikian pula dengan rinosinusitis akut yang banyak dijumpai meskipun belum terdiagnosis, sehingga angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan (Mulyarjo, 2004). Diagnosis rinosinusitis akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi (Thaler, 2001). Penatalaksanaan rinosinusitis akut berupa pemberian obat-obatan meliputi: antibiotika, dekongestan oral/topikal, mukolitik maupun tindakan pembedahan (Thaler, 2001; Conrad, 2006). Pencucian hidung dengan menggunakan larutan salin telah lama dikenal sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi maupun pascapembedahan sinus (Garavello dkk., 2003). Pencucian hidung dengan larutan salin dapat memperbaiki drainase sinus dan fungsi mukosilia hidung, mengurangi mediator inflamasi, mempercepat penyembuhan mukosa dan mencegah perlengketan mukosa pascapembedahan (Papsin dan McTavish, 2003; Rabago dan Zgierska, 2009). Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu penggunaan antibiotika sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan mengurangi biaya pengobatan (Papsin dan McTavish, 2003).

22 Manfaat cuci hidung dengan larutan salin pada rinosinusitis kronis telah banyak dipublikasikan sedangkan penggunaan larutan cuci hidung salin pada kasus rinosinusitis akut masih kontroversial (Achiles dan Mosges, 2013). Inanli dkk. (2002) menyatakan tidak ada perbedaan waktu transpor mukosilia yang signifikan pada rinosinusitis akut yang mendapat terapi amoxicillin/clavulanic acid dibandingkan dengan amoxicillin/clavulanic acid dan larutan cuci hidung salin isotonis. Sementara itu penelitian Ural dkk. (2009) menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah pemberian larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut. Penelitian mengenai manfaat penggunaan larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut masih sangat sedikit (Kassel, 2010), karena itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai efektivitas larutan salin isotonis sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis akut. 1.2 Rumusan Masalah Apakah larutan pencuci hidung menggunakan salin isotonis dapat mempercepat waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efektivitas waktu transpor mukosilia larutan pencuci hidung salin isotonis sebagai terapi tambahan pada pasien rinosinusitis akut.

23 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai penggunaan larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien rinosinusitis akut.

24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hidung dan Sinus Paranasal Anatomi dan fisiologi hidung Struktur luar hidung dibentuk oleh sepasang tulang hidung pada bagian atas lateral dan kartilago pada bagian inferior di sisi lateral. Struktur tersebut membentuk piramid hidung sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi (Krouse dan Stachler, 2006). Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006). Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan hambatan aliran sinus (Welch dan Goldberg, 2008). Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior dan meatus (Gambar 2.1). Meatus superior merupakan celah sempit di atas konka media dan terletak di antara septum nasi dan os etmoid (Ballenger, 2003). Meatus media terletak di antara konka media dan inferior. Meatus media merupakan struktur penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus anterior (sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior) berhubungan dengan hidung (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006). Meatus inferior berada di antara konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada

25 permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis (Ballenger, 2003). Gambar 2.1 Dinding lateral hidung (Levine, 2005) Perdarahan hidung bagian dalam berasal dari a.etmoid anterior, a.etmoid posterior cabang dari a.oftalmika dan a.sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a.etmoid anterior, sedangkan cabang a.etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis antara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Sedangkan persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksila nervus trigeminus (Ballenger, 2003). Fungsi fisiologi hidung adalah filtrasi, proteksi, humidifikasi, penghangat udara, penghidu dan renonansi suara. Sistem vaskuler dan sekresi hidung berperan penting dalam mempersiapkan udara inspirasi sebelum masuk ke saluran napas atas dan sistem trakeobronkial (Metson, 2005; Krouse dan Stachler, 2006; Walsh dan Kern, 2006). Saat inspirasi aliran udara masuk ke vestibulum dengan arah

26 vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai nasal valve terjadi aliran turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak dengan permukaan mukosa hidung yang luas (Dhillon dan East, 1999; Probst dkk., 2006). Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi (Krouse dan Stachler, 2006; Walsh dan Kern, 2006). Vibrise yang terletak di orifisium bertugas menyaring partikel besar yang masuk melalui hidung. Partikel yang kecil akan mengenai mukosa dan menempel pada sekret hidung, sedangkan partikel yang berukuran kurang dari 0,5 µm akan melewati sistem penyaringan di hidung dan masuk ke saluran napas bawah (Dhillon dan East, 1999). Udara inspirasi yang normal memiliki suhu sekitar 30 C dan kelembaban relatif sekitar 80%. Udara yang terlalu kering dan suhu yang terlalu ekstrim dapat menghambat kerja silia (Dhillon dan East, 1999). Humidifikasi dipertahankan oleh adanya sekresi dan transudasi dari kelenjar hidung, epitel sel goblet dan pembuluh darah di lamina propria, sedangkan pengaturan suhu dikerjakan oleh sistem vaskuler intranasal, terutama jaringan venous erektil yang banyak terdapat pada konka inferior (Probst dkk., 2006) Anatomi dan fisiologi sinus paranasal Sinus paranasal terdiri atas sinus maksila, etmoid, sfenoid dan frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atas sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel

27 basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung dengan sekret dari hidung. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke jalan napas (Sargi, 2007). Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium (Ballenger, 2003). Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung maka sinus dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior terdiri dari sinus sfenoid dan etmoid posterior yang bermuara di atas konka media (Ballenger, 2003). Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua, gigi molar pertama dan kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya dipisahkan oleh membran mukosa sehingga proses supuratif di sekitar gigi tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg, 2008). Silia sinus maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg, 2008). Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang nasal lateral, a.palatina descendens, a.alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n.infraorbital (Ballenger, 2003).

28 Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal (Welch dan Goldberg, 2008). Suplai darah sinus frontal dilayani oleh cabang supratrokhlear dan suborbita a.oftalmika, sedangkan drainase vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosanya dilayani oleh cabang supratrokhlear dan supraorbital n. V 1 (Ballenger, 2003). Sinus etmoid terdiri atas dua kelompok sel, yaitu sel etmoid anterior yang bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus superior (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006). Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V 2 dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V 1 (Ballenger, 2003). Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis superior, a. karotis dan beberapa serabut nervus kranialis (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg, 2008). Perdarahan sinus dilayani oleh cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V 1 dan cabang sfenopalatina nervus V 2 (Ballenger, 2003). Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu: terbukanya

29 kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus yang normal (Jackman dan Kennedy, 2006). Kompleks ostiomeatal adalah pertemuan jalur drainase kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal (Gambar 2.2). Jika terjadi obstruksi pada kompleks ostiomeatal oleh mukosa yang inflamasi atau massa, akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus, stasis silia dan infeksi sinus (Ballenger, 2003; Probst dkk., 2006; Welch dan Goldberg, 2008). Gambar 2.2 Kompleks ostiomeatal (Levine, 2005) 2.2 Sistem Mukosilia Hidung Sistem mukosilia terdiri dari palut lendir, silia epitel respiratorius dan sel goblet (Passali dkk., 2005; Probst dkk., 2006). Komponen mukosilia memiliki peran penting dalam memelihara integritas hidung dan sinus paranasal (Quraishi dkk., 1998). Gangguan pada sistem mukosilia oleh karena infeksi dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi rinosinusitis (Krouse dan Stachler, 2006). Rheologi dan komponen viskoelastisitas palut lendir ditentukan oleh

30 struktur polimerik dan derajat hidrasi. Perubahan pada rheologi palut lendir dapat mempengaruhi mekanisme kerja silia Palut lendir Palut lendir adalah lapisan mukus yang melapisi permukaan epitel hidung berkonsistensi lengket dan liat, berukuran µm, dihasilkan oleh kelenjar seromusinosa lamina propria dan sel-sel goblet pada mukosa hidung dengan sebanyak 0,5-1 ml/cm 3 dalam 24 jam (Quraishi dkk., 1998). Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu: a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, memiliki kedalaman 0,5-2,0 µm, terletak di lapisan dalam menyelimuti batang silia, bersifat kurang viskus, merupakan komponen Newtonian yang memungkinkan terjadi pergerakan silia, b) lapisan gel disebut juga lapisan mukus, memiliki kedalaman 7-10 µm, terletak di superfisial ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya, bersifat lebih viskus merupakan komponen non Newtonian dan bekerja membawa partikel asing (Gambar 2.3) (Quraishi dkk., 1998; Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006; Probst dkk., 2006). Gambar 2.3 Lapisan mukus dan cairan perisilia (Quraishi dkk., 1998)

31 Palut lendir mempunyai ph = 7 atau sedikit asam, mengandung 95% air, 2,5-3% protein dan glikoprotein, 1% lemak, 1% mineral serta 0,02% DNA (Quraishi dkk., 1998). Komposisi ini tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar seromukus, kelenjar lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk., 2005). Fungsi palut lendir ini adalah sebagai pelicin, menangkap dan mentransporasikan partikel maupun gas yang larut (Ballenger, 2003). Cairan perisilia kaya akan albumin, Ig G, Ig M dan faktor komplemen (Stierna, 2001). Sifat biorheologik palut lendir terdiri dari: kohesi dan kemampuan mengangkut partikel, kemampuan meregang, elastotiksotrofi, kemampuan merayap dan adhesif (Quraishi dkk., 1998). Palut lendir dibersihkan ke arah nasofaring setiap menit oleh gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar yang disekresikan kavum nasi dan mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006) Silia Silia memiliki ukuran panjang ± 6 µm dan lebar ± 0,3 µm. Tiap sel bersilia memiliki sekitar silia yang tersusun atas mikrotubulus dan dihubungkan oleh lengan dynein (Probst dkk., 2006). Di dalam silia terdapat sebuah mikrotubulus yang tersusun longitudinal yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini tersusun berpasangan yaitu sembilan pasang di bagian luar dan dua mikrotubulus tunggal berada di tengah aksonema membentuk karakteristik pola 9 plus 2 (Gambar 2.4) (Ballenger, 2003). Palut lendir selalu bergerak dan gerakan ini karena adanya silia. Silia bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang terperangkap melalui ostium

32 dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah searah gravitasi. Ostium sinus maksila berada di superior dinding medial sinus sehingga tanpa gerakan silia yang menyapu mukus ke atas maka sinus maksila tidak akan pernah mengalami drainase (Metson, 2005).. Gambar 2.4 Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003) Pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat. Makin ke depan pergerakannya, maka pukulannya makin kuat di mana silia dalam keadaan ekstensi penuh. Ciliary beat memiliki dua komponen yaitu effective stroke dan recovery stroke. Effective stroke terjadi ketika silia berada dalam keadaan tegak lurus terhadap permukaan sel dan ujung puncaknya menyentuh palut lendir (Quraishi dkk., 1998). Recovery stroke merupakan pukulan yang bersifat kurang kuat dan lebih lambat, gerakannya melengkung ke belakang ke arah dirinya sendiri sehingga tidak mencapai gumpalan mukus di atasnya (Stierna, 2001). Pergerakan silia terjadi secara metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna, 2001) atau 1000 kali atau lebih per menit (Ballenger, 2003) Sel goblet Sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung menghasilkan palut lendir (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006; Probst dkk., 2006). Sel

33 goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus lainnya, sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada sinus paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus paranasal, sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali dkk., 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna, 2001) Transpor mukosilia Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi yang dibutuhkan bahan partikel untuk berjalan di sepanjang permukaan kavum nasi menuju nasofaring disebut dengan waktu transpor mukosilia (Probst dkk., 2006). Adanya infeksi dapat menghambat siklus metachronous silia dan sistem transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus, misalnya: virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV dapat mengubah ultrastruktur aksonema dan bahan viskoelastik palut lendir sehingga mengganggu fungsi transpor mukosilia (Ballenger, 2003). Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur kimia partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak dengan larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi, dan c)

34 faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Ballenger, 2003; Passali dkk., 2005) Pemeriksaan fungsi mukosilia Aktivitas silia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan metode langsung maupun metode tidak langsung. Metode langsung menggunakan stroboscopy, roentgenography serta teknik photoelectron membutuhkan tehnologi yang canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masing-masing pelayanan kesehatan. Metode tidak langsung misalnya uji sakarin dan penggunaan 99m Tc-MAA. Uji sakarin merupakan pemeriksaan yang aman, mudah, cepat dan dapat dipercaya untuk menilai transpor mukosilia hidung (Ramon dkk., 1999; Naxakis dkk., 2009). Sedangkan aktivitas transpor mukosilia pada sinus paranasal dilakukan dengan menyuntikkan bahan pada kavum paranasal dan menunggu waktu bersihannya, namun metode tersebut bersifat invasif (Passali dkk., 2005). Gambar 2.5 (A). Forsep aligator dan tablet sakarin; (B). Tablet sakarin diletakkan di ujung anterior konka inferior (Scadding dan Lund, 2004) Pada uji sakarin, tablet sakarin berdiameter 1 mm diletakkan sekitar 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia

35 skuamosa dengan menggunakan forsep kecil (Gambar 2.5). Pasien diminta tetap bernapas biasa melalui hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. Kemudian pasien diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan melaporkan jika merasakan rasa manis di tenggoroknya. Variasi lain adalah dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan menggunakan Evans blue, sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring (Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004). Individu normal memiliki waktu transpor mukosilia kurang dari 20 menit. Nilai rerata waktu transpor mukosilia hidung pada orang sehat dilaporkan bervariasi. Inanli dkk. (2002) menyatakan rerata waktu transpor mukosilia sebesar 9,05 ± 3,46 menit sedangkan Ural dkk. (2009) menyatakan 17,53 menit. Waktu transpor mukosilia akan memanjang pada rinosinusitis, diskinesia silia primer dan kistik fibrosis (Scadding dan Lund, 2004). Penelitian Inanli dkk. (2002) melaporkan rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sebesar 24,72 ± 6,16 menit dan penelitian Ural dkk. (2009) sebesar 30,08 menit. 2.3 Rinosinusitis Akut Definisi Pada tahun 1997 The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Paranasal Sinus Committee mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis. Membran mukosa hidung dan sinus secara embriologis saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan serta menunjukkan proses penyakit yang sama yaitu obstruksi hidung dan adanya sekret. Sinusitis

36 tidak akan terjadi tanpa adanya rinitis dan rinitis tidak terjadi tanpa sinusitis, sehingga istilah rinosinusitis lebih tepat digunakan (Devaiah, 2004). Rinosinusitis adalah kelainan yang ditandai oleh inflamasi mukosa kavum nasi dan sinus paranasal atau keterlibatan tulang di bawahnya. Osteitis dapat terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau operasi sinus disertai kurangnya preservasi mukosa. Osteitis merupakan salah satu penyebab utama kekambuhan penyakit meskipun sudah dilakukan operasi atau pemberian antibiotik (Thaler, 2001; Devaiah, 2004; Benninger dan Gottschall, 2006). Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996 membuat klasifikasi rinosinusitis sebagai berikut: a) Rinosinusitis akut, jika gejala berakhir dalam 4 minggu atau kurang; b) Rinosinusitis subakut, jika gejala menetap 4-12 minggu; c) Rinosinusitis kronis, jika gejala menetap selama lebih dari 12 minggu; d) Rinosinusitis akut rekuren, jika pasien dengan 4 episode serangan atau lebih per tahun dengan interval bebas gejala di antaranya dan e) Rinosinusitis kronis eksaserbasi akut, didefinisikan sebagai perburukan gejala tiba-tiba pada pasien yang telah terdiagnosis rinosinusitis kronis setelah mendapat pengobatan, berupa berulangnya gejala seperti awal (Thaler, 2001) Insiden Infeksi saluran napas adalah jenis infeksi paling sering yang ditemui dalam praktek sehari-hari (File, 2006). Sinus paranasal merupakan kelanjutan saluran pernapasan bagian atas sehingga sering terlibat infeksi (Metson, 2005). Sebanyak 0,5%-2% infeksi saluran napas atas berkembang menjadi rinosinusitis (Levine,

37 2005). Centers for Disease Control and Prevention melaporkan lebih dari 35 juta (17,4%) orang Amerika dewasa terkena sinusitis pada tahun 2001 (Metson, 2005). Sementara itu di Indonesia di mana penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan penyakit utama di masyarakat, kiranya rinosinusitis juga banyak dijumpai meskipun belum terdiagnosis, sehingga angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan (Mulyarjo, 2004) Patofisiologi Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tertutup dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal. Inflamasi akut pada mukosa sinus berupa hipersekresi mukosa dan odema yang dapat menyebabkan obstruksi aliran ke luar sinus (Busquets dan Hwang, 2006). Ketika terjadi obstruksi kompleks ostiomeatal, mukus tidak dapat mengalir ke luar ostium, silia berhenti bergerak secara efektif sehingga drainase sinus terhenti (Metson, 2005). Perlambatan gerakan silia dan peningkatan sintesis mukus menyebabkan terjadinya retensi sekret di sinus (Stierna, 2001). Lingkungan yang hangat dan lembap akan menjadi media yang sangat baik bagi bakteri dan adanya stasis sekret akan mempercepat multiplikasi bakteri (Metson, 2005; Benninger dan Gottschall, 2006). Adanya interleukin dan leukotrien serta infeksi bakteri menyebabkan mukus menjadi lebih kental, berwarna kuning atau hijau disebut pus atau mukopurulen. Beberapa pus di sinus dikeluarkan dari ostium melalui kompleks ostiomeatal dan ke nasofaring menjadi post nasal drip (Metson, 2005).

38 Terjadinya rinosinusitis dipengaruhi oleh faktor host yaitu genetik dan struktur anatomi, faktor agen dan lingkungan (Metson, 2005; Busquets dan Hwang, 2006; Jackman dan Kennedy, 2006). Kistik fibrosis dan sindrom Kartagener merupakan penyakit genetik berupa gangguan gerakan silia. Bahan polusi seperti asap rokok, debu, bahan kimia, faktor alergi maupun infeksi dapat menginduksi peradangan mukosa sinus (Naclerio dan Gungor, 2001). Rinitis alergi telah diketahui sejak lama sebagai salah satu faktor predisposisi rinosinusitis (File, 2006). Pada rinosinusitis akut mikroba yang berperan adalah virus, bakteri dan jamur. Selain menimbulkan obstruksi pada kompleks ostiomeatal akibat inflamasi dan odema virus respiratorius juga memiliki efek sitotoksik langsung pada epitel dan silia nasal yang menyebabkan terganggunya bersihan mukosilia pada fase resolusi pasca infeksi virus akut (Benninger dan Gottschall, 2006). Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi bakterial sekunder (Busquets dan Hwang, 2006). Rhinovirus juga dapat meningkatkan kemampuan adheren bakteri patogen seperti Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae di nasofaring (Benninger dan Gottschall, 2006). Pasien dengan penurunan sistem kekebalan tubuh akan mudah terinfeksi oleh jamur (Thaler, 2001). Pada kasus rinosinusitis berulang maupun menetap setelah diberi pengobatan antibiotika yang adekuat perlu dicurigai adanya imunodefisiensi sebagai faktor yang memperberat (Busquets dan Hwang, 2006). Obstruksi ostium sinus dapat disebabkan oleh polip hidung, deviasi septum, konka bulosa dan konka media paradoksal. Jaringan parut akibat pembedahan sebelumnya atau akibat trauma juga dapat mengganggu drainase sinus. Infeksi

39 gigi dapat menyebar ke kavum sinus dan menjadi sinusitis maksila persisten. Kelainan anatomi kraniofasial di mana terjadi perubahan anatomi sinus juga dapat menjadi predisposisi terjadinya sinusitis (Busquets dan Hwang, 2006) Gejala klinis dan diagnosis Diagnosis rinosinusitis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall, 2006). Anamnesis meliputi gejala, onset dan durasi gejala serta penyakit penyerta yang berhubungan misalnya riwayat asma, kistik fibrosis, penyakit imunodefisiensi, alergi, perokok, polip hidung, massa pada hidung, riwayat trauma maksilofasial atau infeksi gigi (Benninger dan Gottschall, 2006; Probst dkk., 2006). Pasien dicurigai kuat menderita rinosinusitis jika memenuhi dua kriteria gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua minor atau jika ada sekret purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal. Pasien yang hanya memenuhi satu kriteria gejala mayor atau dua kriteria minor dicurigai menderita rinosinusitis (Levine, 2005; Benninger dan Gottschall, 2006; Busquets dan Hwang, 2006). Kriteria gejala mayor rinosinusitis meliputi nyeri/rasa tebal pada wajah, hidung tersumbat, ingus kental, post nasal drip purulen, gangguan penghidu, demam, adanya sekret purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal. Kriteria gejala minor meliputi sakit kepala, napas berbau, batuk, nyeri telinga, rasa penuh di telinga (Busquets dan Hwang, 2006). Pemeriksaan intranasal untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis dilakukan dengan rinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung atau endoskopi hidung.

40 Pemeriksaan dengan endoskopi terutama bermanfaat dalam mengevaluasi kompleks ostiomeatal (Probst dkk., 2006). Pada pemeriksaan intranasal didapatkan mukosa hidung hiperemi, konka kongesti atau hipertrofi, adanya sekret hidung mukoid/purulen, dapat ditemukan polip hidung, deviasi septum, konka bulosa atau konka media paradoksal (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall, 2006; Fokkens dkk., 2007). Pemeriksaan rongga mulut dilakukan untuk melihat abses gigi. Dasar sinus maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas sehingga infeksi pada gigi tersebut dapat menyebar ke sinus dan menimbulkan sinusitis. Drainase sinus berupa sekret purulen ke nasofaring dapat terlihat di posterior orofaring berupa post nasal drip (Benninger dan Gottschall, 2006). Pemeriksaan sinus juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode palpasi. Nyeri pada rinosinusitis akut adalah khas berupa nyeri menusuk atau rasa sakit yang terlokalisir pada sinus yang terkena. Palpasi pada sinusitis maksila akan menimbulkan nyeri di infraorbital yang meluas ke gigi maksila dan kadangkadang ke telinga. Nyeri pada sinusitis etmoid berupa nyeri di kantus medial dan dorsum hidung. Nyeri pada sinusitis frontal berupa nyeri di supraorbital yang meluas ke bitemporal atau oksipital, sedangkan nyeri pada sinusitis sfenoid terutama di verteks tulang tengkorak (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall, 2006). Radiografi posisi Waters merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik rinosinusitis. Hasil dikatakan positif jika ditemukan perselubungan, penebalan mukosa atau air fluid level di kavum sinus, namun hasil yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan rinosinusitis (Thaler, 2001). CT scan menjadi

41 penunjang diagnostik pilihan dalam menilai kemungkinan terjadinya komplikasi atau sebagai penunjang sebelum tindakan pembedahan dilakukan (Levine, 2005). Aspirasi sinus dan pemeriksaan kultur sekret sinus merupakan pemeriksaan baku emas dalam mendiagnosis rinosinusitis. Pemeriksaan ini diindikasikan pada rinosinusitis yang gagal dengan pengobatan antibiotika multipel, rinosinusitis disertai imunodefisiensi atau diabetes melitus yang tidak terkontrol (Benninger dan Gottschall, 2006) Komplikasi Komplikasi rinosinusitis akut dibagi menjadi komplikasi ekstrakranial dan intrakranial. Komplikasi ekstrakranial terutama mengenai orbita, yaitu berupa: selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita. Komplikasi intrakranial meliputi: meningitis, trombophlebitis sinus kavernosus, abses epidural, abses subdural dan abses otak (Thaler, 2001) Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinosinusitis akut dapat berupa pemberian medikamentosa atau tindakan pembedahan. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI- KL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, pengobatan rinosinusitis akut adalah pemberian antibiotika lini pertama atau antibiotika lini kedua jika tidak ada perbaikan klinis dalam 2 x 24 jam (Soetjipto, 2007). Terapi tambahan dapat berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan salin isotonis (Papsin dan McTavish, 2003; Soetjipto, 2007; Yeung, 2011).

42 Pemakaian antibiotika untuk pengobatan rinosinusitis berdasarkan antibiotika yang telah terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas. The Bacteriology of Rhinosinusitis di Amerika Serikat seperti dikutip dari Levine (2005) menyatakan bakteri patogen terbanyak pada rinosinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan Moraxella catarrhalis. Antibiotik lini pertama yang direkomendasikan untuk pengobatan rinosinusitis akut adalah: amoxicillin, doxycicllin dan trimethoprim/ sulfamethoxazole. Namun tingginya angka resistensi menyebabkan amoxicillin tidak lagi dipilih sebagai terapi lini pertama untuk rinosinusitis akut. The Food and Drug Administration Amerika Serikat seperti dikutip dari Thaler (2001) menyatakan beberapa antibiotika berikut dapat digunakan sebagai pengobatan rinosinusitis akut yaitu: amoxycillin clavulanate, cefpodoxime, cefuroxime axetil dan untuk pasien dewasa dapat digunakan ciprofloxacin, cefditoren, levofloxacin, moxifloxacin. Jika pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik β-lactam atau merupakan kontraindikasi penggunaan fluoroquinolone, maka azithromycin atau clarithromycin dapat menjadi pilihan alternatif. Pengobatan dengan antibiotika harus dilanjutkan minimal selama hari. Pengobatan yang lebih singkat dapat menimbulkan kekambuhan infeksi dan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotika (Thaler, 2001). Pemberian dekongestan memberikan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah hidung, menurunkan aliran darah dan mengurangi odema pada mukosa hidung. Dekongestan oral golongan adrenergik- agonis misalnya: phenylpropanolamine dan pseudoephedrine. Penggunaan dekongestan topikal (oxy-

43 metazoline) dapat digunakan selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala serta untuk meningkatkan kecepatan drainase sinus. Penggunaan dekongestan topikal yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa oleh karena efek rebound vasodilatation (Thaler, 2001). Pemberian mukolitik (guanifesin, ambroxol) berfungsi untuk mengencerkan sekret sehingga membantu fungsi drainase (Thaler, 2001; Levine, 2005). Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin terbukti aman bagi anak-anak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut (Papsin dan McTavish, 2003). Pencucian hidung dengan larutan salin isotonis dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pascapembedahan sinus. Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma wajah yang belum sembuh sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal. Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin isotonis ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Rabago dan Zgierska, 2009). Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan dengan syringe atau neti pot (Gambar 2.6), sedangkan teknik pencucian hidung dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago dan Zgierska, 2009).

44 Gambar 2.6 Pencucian hidung dengan teknik irigasi menggunakan neti pot (Rabago dkk., 2006) Mekanisme kerja larutan salin sebagai larutan pencuci hidung belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan dapat memperbaiki fungsi mukosilia hidung melalui efek fisiologisnya yaitu: membersihkan mukosa hidung dari sekret atau krusta, mengurangi odema mukosa, melembabkan kavum nasi, mengurangi mediator inflamasi dan risiko perlengketan mukosa serta mempercepat penyembuhan mukosa pascapembedahan sinus (Papsin dan McTavish, 2003; Hauptman dan Ryan, 2007; Rabago dan Zgierska, 2009; Yeung, 2011). Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu penggunaan antibiotika sehingga dapat mening-katkan kepatuhan pasien dan berkurangnya biaya pengobatan (Papsin dan McTavish, 2003). Sediaan larutan salin berupa larutan salin hipotonis (NaCl 0,45%), isotonis (NaCl 0,9%) dan hipertonis (NaCl 3%, 5%, 7%). Larutan cuci hidung salin isotonis dan hipertonis sama-sama dapat memperbaiki waktu transpor mukosilia hidung (Boek dkk., 1999; Ural dkk, 2009). Kedua larutan tersebut berbeda dalam hal kekuatan osmotik dan gradien konsentrasinya (Hauptman dan Ryan, 2007). Larutan salin isotonis adalah larutan yang tidak memiliki gradien osmotik

45 (Garavello dkk., 2003) dan diyakini sebagai larutan yang paling fisiologis terhadap morfologi seluler epitel hidung (Kim dkk., 2005), sehingga aman dan nyaman digunakan pada bayi, ibu hamil maupun usia lanjut (Healtley dkk., 2001). Pada larutan salin hipertonis, kondisi hiperosmolar di saluran pernapasan menyebabkan pelepasan kalsium dan prostaglandin E 2 dari intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia sehingga terjadi peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas dkk., 1996; Shoseyov dkk., 1998). Larutan salin hipertonis juga dapat menginduksi respon neural yang akan menyebabkan perubahan vaskuler pada mukosa hidung dan menimbulkan rasa tidak nyaman berupa sensasi terbakar dan iritasi pada mukosa hidung sehingga akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam penggunaannya (Hauptman dan Ryan, 2007). Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis akut yang gagal dengan terapi konservatif dan rinosinusitis akut dengan komplikasi intrakranial atau ekstrakranial. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets dan Hwang, 2006).

46 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.2 Kerangka Berpikir Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama 4 minggu atau kurang dengan gejala hidung buntu, nyeri pada wajah, ingus kental kental dan post nasal drip purulen. Rinosinusitis dapat berkembang dari infeksi saluran napas atas. Rinosinusitis dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien berupa berkurangnya waktu kerja yang efektif dan dampak ekonomi berupa besarnya pengeluaran untuk mengobati penyakit tersebut. Ada tiga hal utama yang berperan dalam menjaga fungsi fisiologis sinus, yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia yang normal, kualitas dan kuantitas sekret yang normal. Gangguan pada sistem mukosilia menyebabkan terjadinya rinosinusitis. Obstruksi pada kompleks ostiomeatal saat inflamasi akut mukosa sinus menyebabkan sekret tidak dapat mengalir ke luar ostium. Odema pada mukosa menyebabkan mukosa sinus yang berhadapan saling berdempetan, sehingga pergerakan silia menjadi tidak efektif. Hal tersebut menyebabkan retensi sekret yang akan menjadi media bagi pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri direspon oleh tubuh berupa perubahan kualitas dan kuantitas sekret sehingga viskositasnya menjadi lebih kental dan purulen. Aktivitas silia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan dua metode yaitu metode langsung dengan stroboscopy, roentgenography, photoelectron maupun metode tidak langsung dengan uji sakarin dan 99m Tc-MAA. Uji sakarin adalah uji

47 yang sederhana, non invasif, mudah dan murah serta merupakan pemeriksaan baku emas untuk uji perbandingan. 3.2 Kerangka Konsep Rinosinusitis akut Umur Jenis kelamin Indeks massa tubuh Riwayat operasi hidung dan sinus paranasal Gangguan pengecap Dekongestan Merokok Tumor sinonasal Polip hidung Deviasi septum nasi Hipertensi Perubahan viskoelastisitas sekret Gangguan fungsi silia Terapi standar rinosinusitis: Antibiotika Dekongestan oral Mukolitik Larutan pencuci hidung salin isotonis Waktu transpor mukosilia hidung melalui uji sakarin Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep penelitian 3.2 Hipotesis Penelitian Larutan pencuci hidung menggunakan salin isotonis dapat mempercepat waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut.

48 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental pre-postest design with control group. Uji sakarin sebelum K. Perlakuan Uji sakarin sesudah Populasi Sampel R Uji sakarin sebelum K. Kontrol Uji sakarin sesudah Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik THT, RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Agustus - Desember Subjek dan Sampel Penelitian Populasi penelitian Populasi target adalah semua pasien rinosinusitis akut. Populasi terjangkau adalah semua pasien rinosinusitis akut yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah, Denpasar.

49 4.3.2 Teknik pemilihan sampel Pengambilan sampel pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dilakukan secara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan telah dipenuhi. Sampel yang bersedia mengikuti prosedur penelitian kemudian menandatangani informed concent dan selanjutnya ditetapkan sebagai sampel penelitian. Pemilihan Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol pada sampel dilakukan secara random dengan teknik randomisasi blok. Subjek akan mendapat pengobatan A yaitu terapi standar berupa antibiotika ciprofloxacin 2 x 500 mg, dekongestan pseudoephedrin 60 mg/triprolidin HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik ambroxol 3 x 30 mg selama 7 hari atau pengobatan B yaitu terapi standar ditambah larutan pencuci hidung salin isotonis, sesuai dengan nomor amplop yang telah ditentukan secara randomisasi blok (Lampiran 5) Kriteria sampel Kriteria sampel pada penelitian ini terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi Kriteria inklusi Sampel pada penelitian harus memenuhi kriteria inklusi meliputi: a. Usia tahun dan kooperatif. b. Pasien terdiagnosis rinosinusitis akut c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent.

50 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi: a. Menderita polip hidung. b. Menderita tumor sinonasal. c. Menderita gangguan pengecap. d. Menderita hipertensi. e. Riwayat pengobatan dengan dekongestan dalam 2 hari terakhir. f. Riwayat operasi hidung dan sinus paranasal dalam 3 bulan terakhir Besar sampel Besar sampel dihitung menggunakan rumus Pocock (2002) sebagai berikut: n= 2 σ2 (μ 2 -μ 1 ) 2.f(α,β) Keterangan: n1=n2= 2 (3,46)2 (4) 2.10,5 = 15,71 ~ 16 n : Besar sampel. : Standar deviasi = 3,46 (Inanli, 2002) : Tingkat kesalahan tipe I sebesar 0,05 β : Tingkat kesalahan tipe II sebesar 0,1 f (,β) : Nilai pada tabel = 10,5 µ 2- µ 1 : Selisih waktu transpor mukosilia minimal antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yang dianggap bermakna = 4 menit. Besar sampel (n1=n2) = 16

51 Perkiraan drop out sebesar 10% dari jumlah sampel, sehingga didapatkan: n = n x 16 n = 17,6 ~ 18 Jadi penelitian ini membutuhkan sampel minimal sebesar 36, yaitu 18 orang untuk kelompok perlakuan dan 18 orang untuk kelompok kontrol. 4.4 Variabel Penelitian Identifikasi dan klasifikasi variabel a. Variabel bebas: larutan pencuci hidung salin isotonis b. Variabel tergantung: waktu transpor mukosilia c. Variabel kendali: umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tumor sinonasal, polip hidung, operasi hidung dan sinus paranasal, gangguan pengecap, dekongestan, merokok, hipertensi. 4.5 Definisi Operasional Variabel a. Umur adalah: lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tercantum pada tanda pengenal dalam satuan tahun (kartu pelajar, kartu tanda penduduk). b. Jenis kelamin adalah: laki-laki atau perempuan yang tercantum dalam tanda pengenal (kartu pelajar, kartu tanda penduduk). c. Indeks massa tubuh atau IMT adalah: ukuran antropometri massa tubuh yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Kriteria dibagi menjadi underweight bila IMT

52 <18,5, normal bila IMT 18,5 22,9, overweight bila IMT 23 24,9, obese bila IMT 25 29,9 dan obese tipe 2 bila IMT 30. d. Rinosinusitis akut adalah: peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung kurang dari 4 minggu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan foto Waters. Diagnosis ditegakkan dengan adanya 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. Gejala mayor berupa hidung tersumbat, pilek kental, nyeri/rasa tebal pada wajah, gangguan penghidu, sakit kepala. Gejala minor berupa demam, napas berbau, batuk, nyeri telinga, rasa penuh pada telinga. Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa hidung hiperemi, sekret mukoid atau mukopurulen dari meatus nasi media. Foto Waters menunjukkan adanya perselubungan, penebalan atau air fluid level pada sinus paranasal. e. Penderita tumor sinonasal adalah: pasien yang terdiagnosis tumor sinonasal dengan ditemukannya massa tumor pada kavum nasi berdasarkan pemeriksaan rinoskopi anterior atau berdasarkan pemeriksaan radiologi. f. Penderita polip hidung adalah: pasien yang terdiagnosis polip hidung dengan ditemukannya massa putih bertangkai dan kenyal pada kavum nasi berdasarkan rinoskopi anterior atau berdasarkan pemeriksaan radiologi. g. Deviasi septum nasi adalah: deformitas septum nasi berbentuk huruf C atau S, deviasi ke salah satu sisi kavum nasi, penonjolan berupa krista atau spina yang didapatkan berdasarkan rinoskopi anterior.

53 h. Operasi hidung dan sinus paranasal adalah: setiap tindakan pembedahan pada hidung dan sinus paranasal baik dengan bius lokal maupun umum yang dilakukan dalam 3 bulan terakhir. i. Gangguan pengecap adalah: gangguan dalam merasakan sensasi rasa di lidah berdasarkan anamnesis. j. Pemakaian dekongestan adalah: penggunaan obat yang mempunyai efek dekongesti secara oral, semprot atau tetes hidung dalam 2 hari terakhir. k. Merokok adalah kebiasaan menghisap rokok sebanyak paling sedikit satu batang per hari selama setahun yang diperoleh melalui anamnesis. Kriteria dibagi menjadi perokok (IB 1) dan bukan perokok (IB=0) berdasarkan Indeks Brinkman atau IB, yaitu hasil perkalian lama merokok dalam tahun dengan jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari. l. Hipertensi adalah: penyakit sistemik berupa tekanan darah sistole lebih dari 140 mmhg atau tekanan diastole lebih dari 90 mmhg berdasarkan kriteria Joint National Comittee (JNC) 7 yang diukur menggunakan tensimeter atau adanya riwayat konsumsi obat antihipertensi berdasarkan anamnesis. m. Terapi standar rinosinusitis adalah pemberian terapi pada rinosinusitis terdiri dari antibiotika: ciprofloxacin dengan dosis 2 x 500 mg per oral, dekongestan: pseudoephedrine 60 mg/triprolidin 2,5 mg dengan dosis 3 x 1 tablet per oral dan mukolitik: ambroxol 3 x 30 mg per oral selama 7 hari. n. Larutan pencuci hidung salin isotonis adalah: larutan pencuci hidung yang mengandung NaCl 0,9% dikemas dalam botol infus 500 ml yang diberikan

54 dengan cara disemprotkan ke dalam kavum nasi menggunakan syringe 10 ml dengan dosis pemberian 3 x 10 ml selama 7 hari. o. Kelompok perlakuan adalah: kelompok yang mendapat terapi standar rinosinusitis dan larutan pencuci hidung salin isotonis. p. Kelompok kontrol adalah: kelompok yang mendapat terapi standar rinosinusitis. q. Uji Sakarin adalah: uji yang dilakukan untuk mengukur waktu transpor mukosilia menggunakan tablet sakarin merk Equal berukuran diameter 1 mm yang diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior menggunakan forsep aligator. r. Waktu transpor mukosilia adalah: waktu yang dibutuhkan oleh tablet sakarin mulai saat diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior sampai ke nasofaring yang ditandai rasa manis di tenggorok dalam satuan menit yang diukur menggunakan stopwatch. Waktu transpor mukosilia dibagi menjadi waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan yang diukur sebelum pemberian terapi dan waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan yang diukur 7 hari setelah pemberian terapi. s. Selisih waktu transpor mukosilia adalah selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan. 4.6 Bahan dan alat penelitian Pada penelitian ini digunakan bahan berupa tablet sakarin merk Equal berukuran diameter 1 mm, sedangkan alat yang digunakan berupa:

55 a. Formulir kuesioner penelitian. b. Larutan NaCl 0,9%. c. Syringe 10 ml. d. Alat-alat pemeriksaan THT rutin. e. Forsep aligator. f. Stopwatch. 4.7 Prosedur kerja a. Pasien rinosinusitis akut yang berobat ke RSUP Sanglah, Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta bersedia mengikuti prosedur penelitian dengan menandatangani formulir informed concent dimasukkan sebagai sampel penelitian. b. Kemudian dilakukan pendataan sampel berdasarkan nama, jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, keluhan dan riwayat pengobatan. c. Selanjutnya sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu Kelompok Perlakuan yang mendapatkan terapi standar berupa antibiotika, dekongestan, mukolitik dan larutan pencuci hidung salin isotonis serta Kelompok Kontrol yang hanya mendapat terapi standar. Penentuan kelompok dilakukan secara random dengan menggunakan teknik randomisasi blok. d. Pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dilakukan uji sakarin sebelum perlakuan. Pasien diminta untuk berkumur dengan air putih kemudian duduk di kursi periksa dalam posisi badan tegak dan kepala agak

56 menunduk kurang lebih 10, bernapas melalui hidung dengan mulut tertutup, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. e. Uji sakarin dilakukan dengan meletakkan tablet sakarin berukuran diameter 1 mm pada 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi menggunakan forsep aligator. Selanjutnya pasien diminta untuk menelan ludah setiap 1 menit sampai terasa manis di tenggorokan. Dengan menggunakan stopwatch ditentukan lamanya waktu mulai saat sakarin diletakkan di mukosa hidung sampai dirasakan manis pertama kali di tenggorok yang disebut waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan dan kemudian waktu dicatat dalam satuan menit. f. Setelah pengukuran selesai dilakukan pencucian hidung menggunakan larutan fisiologis dan pasien berkumur dengan air putih untuk menghilangkan efek tablet sakarin yang tersisa. g. Selanjutnya pada Kelompok Perlakuan diberikan terapi standar dan larutan pencuci hidung salin isotonis yang dialirkan ke kavum nasi menggunakan syringe dengan dosis 10 ml sebanyak 3 kali sehari selama 7 hari sedangkan pada Kelompok Kontrol diberikan terapi standar yang terdiri dari antibiotika ciprofloxacin 2 x 500 mg, dekongestan pseudoephedrin 60 mg/triprolidin HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik ambroxol 3 x 30 mg selama 7 hari. h. Setelah pengobatan selama 7 hari, dilakukan uji sakarin sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dan didapatkan waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan dalam satuan menit.

57 i. Kemudian waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada ke dua kelompok dibandingkan dengan waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan dan selanjutnya dilakukan analisis secara statistik.

58 4.8 Alur Penelitian Rinosinusitis akut Rinosinusitis akut di poliklinik THT RSUP Sanglah, Denpasar Kriteria inklusi: Usia tahun Kooperatif Kriteria eksklusi: Tumor sinonasal Polip hidung Gangguan pengecap Dekongestan Operasi sinonasal Hipertensi Sampel penelitian (consecutive sampling) Informed concent Pengambilan data: Demografi, Keluhan, Riwayat pengobatan Random (randomisasi blok) Uji sakarin sebelum perlakuan (waktu transpor mukosilia sebelum) Uji sakarin sebelum perlakuan (waktu transpor mukosilia sebelum) Kelompok Perlakuan: Terapi standar (antibiotika, dekongestan oral, mukolitik) Larutan pencuci hidung salin isotonis 7 hari terapi Uji sakarin sesudah perlakuan (waktu transpor mukosilia sesudah) Kelompok Kontrol: Terapi standar (antibiotika, dekongestan oral, mukolitik) 7 hari terapi Uji sakarin sesudah perlakuan (waktu transpor mukosilia sesudah) Gambar 4.2 Bagan alur penelitian

59 4.9 Analisis Data Hasil penelitian disajikan secara deskriptif, yaitu dalam bentuk persentase untuk data umur, jenis kelamin dan indeks massa tubuh. Uji normalitas data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol dilakukan dengan uji Shaphiro-Wilk. Data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada ke dua kelompok berdistribusi tidak normal, sehingga dilakukan analisis terhadap nilai selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok. Normalitas data selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok menunjukkan data berdistribusi tidak normal, sehingga selanjutnya uji perbandingan dilakukan menggunakan uji Mann-Whitney.

60 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Pada penelitian ini terdapat 40 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi dengan karakteristik seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan Karakteristik Umur, rerata ± SD tahun tahun tahun tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Indeks massa tubuh, rerata ± SD Underweight Normal Overweight Obese Obese 2 Status merokok Merokok Tidak merokok a : Hasil independent T-test b : Hasil Pearson Chi Square test * : Bermakna secara statistik Perlakuan (n=20) 33,5 ± 11,8 6(30,0) 4(20,0) 6(30,0) 4(20,0) 15(75,0) 5(25,0) 23,8 ± 3,8 2(10,0) 6(30,0) 5(25,0) 6(30,0) 1(5,0) 5(25,0) 15(75,0) Kelompok Kontrol (n=20) 30,3 ± 8,8 5(25,0) 10(50,0) 4(20,0) 1(5,0) 8(40,0) 12(60,0) 23,4 ± 4,3 1(5,0) 9(45,0) 2(10,0) 7(35,0) 1(5,0) 2(10,0) 18(90,0) nilai p 0,338 a 0,182 b 0,025 b* 0,748 a 0,682 b 0,212 b Umur subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori dengan frekuensi terbanyak pada Kelompok Perlakuan adalah umur tahun dan 36-

61 45 tahun yaitu masing-masing sebesar 30%, sedangkan pada Kelompok Kontrol frekuensi terbanyak adalah umur tahun, yaitu sebesar 50%. Terdapat perbedaan rerata umur antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol, dimana rerata umur pada Kelompok Perlakuan adalah 33,5 ± 11,8 menit dan rerata umur pada Kelompok Kontrol adalah 30,3 ± 8,8 menit. Perbedaan rerata umur tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,338. Sebanyak 75% subjek pada Kelompok Perlakuan berjenis kelamin laki-laki sedangkan pada Kelompok Kontrol sebanyak 60% subjek berjenis kelamin perempuan. Terdapat perbedaan distribusi proporsi jenis kelamin yang bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,025. Indeks massa tubuh subjek penelitian sebagian besar adalah normal yaitu sebesar 30% pada Kelompok Perlakuan dan 45% pada Kelompok Kontrol. Rerata indeks massa tubuh pada Kelompok Perlakuan adalah 23,8 ± 3,8 kg/m 2 sedangkan pada Kelompok Kontrol adalah 23,4 ± 4,3 kg/m 2. Perbedaan rerata indeks massa tubuh tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,748. Subjek yang merokok pada Kelompok Perlakuan sebesar 5% dan pada Kelompok Kontrol sebanyak 2% dan perbedaan distribusi proporsi status merokok tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0, Gejala Klinis Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan diuraikan pada Tabel 5.2 di bawah ini.

62 Gejala klinis Hidung tersumbat Hidung kanan Hidung kiri Keduanya Tidak tersumbat Pilek Ya Tidak Nyeri pipi Ya Tidak Sakit kepala Ya Tidak Gangguan penghidu Ya Tidak Demam Ya Tidak Napas berbau Ya Tidak Dahak di tenggorok Ya Tidak Keluhan lain Batuk Nyeri telinga Penuh di telinga Tabel 5.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan Kelompok Perlakuan (n=20) 2(10,0) 3(15,0) 15(75,0) 0(0) 20(100,0) 0(0) 6(30,0) 14(70,0) 15(75,0) 5(25,0) 7(35,0) 13(65,0) 5(25,0) 15(75,0) 4(20,0) 16(80,0) 17(85,0) 3(15,0) 5(25,0) 1(5,0) 1(5,0) 13(65,0) Kontrol (n=20) 3(15,0) 3(15,0) 14(70,0) 0(0) 20(100,0) 0(0,0) 4(20,0) 16(80,0) 15(75,0) 5(25,0) 9(45,0) 11(55,0) 2(10,0) 18(90,0) 3(15,0) 17(85,0) 16(80,0) 4(20,0) 3(15,0) 0(0) 2(10,0) 15(75,0) Tidak ada a : Hasil Pearson Chi Square test * : No statistics are computed because pilek is a constant nilai p 0,889 a * 0,465 a 1,000 a 0,519 a 0,212 a 0,677 a 0,677 a 0,577 a Sebagian besar subjek mengeluh ke dua hidung tersumbat yaitu sebanyak 75% pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok Kontrol. Gejala lain

63 yang dikeluhkan oleh pasien meliputi: pilek pada semua subjek ke dua kelompok (100%), nyeri pipi sebanyak 30% pada Kelompok Perlakuan dan 20% pada Kelompok Kontrol, sakit kepala sebanyak 75% pada ke dua kelompok, gangguan penghidu sebanyak 35% pada Kelompok Perlakuan dan 45% pada Kelompok Kontrol, demam sebanyak 25% pada Kelompok Perlakuan dan 10% pada Kelompok Kontrol, napas berbau sebanyak 20% pada Kelompok Perlakuan dan 15% pada Kelompok Kontrol, dahak di tenggorok sebanyak 85% pada Kelompok Perlakuan dan 80% pada Kelompok Kontrol. Keluhan lain yang dirasakan subjek adalah batuk sebanyak 25% pada Kelompok Perlakuan dan 15% pada Kelompok Kontrol, nyeri telinga sebanyak 5% pada Kelompok Perlakuan, rasa penuh pada telinga sebanyak 5% pada Kelompok Perlakuan dan 10% pada Kelompok Kontrol. 5.3 Keadaan Septum Nasi Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Sebanyak 60% subjek pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok Kontrol tidak mengalami deviasi septum nasi seperti ditampilkan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan Septum nasi Deviasi septum Deviasi ke kiri Deviasi ke kanan Bentuk S Tidak deviasi a : Hasil Pearson Chi Square test Perlakuan (n=20) 3(15,0) 2(10,0) 3(15,0) 12(60,0) Kelompok Kontrol (n=20) 4(20,0) 2(10,0) 0(0) 14(70,0) nilai p 0,348 a

64 5.4 Perbedaan Rerata Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan Uji normalitas data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol menunjukkan data berdistribusi normal sehingga uji perbandingan dilakukan dengan uji t-tidak berpasangan. Pada Tabel 5.4 di bawah akan diuraikan hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing Kelompok Perlakuan. Tabel 5.4 Hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing Kelompok Perlakuan Variabel Waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan Perlakuan (n=20) Kelompok Kontrol (n=20) Beda Rerata 95% CI nilai p 35,5 ± 10,7 29,2 ± 7,7 6,3 0,366-12,290 0,038 a Waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan a : Hasil independent T-test 22,9 ± 8,7 18,0 ± 5,6 5,0 0,249-9,703 0,040 a Rerata waktu transpor mukosila sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan pada Kelompok Kontrol adalah 29,2 ± 7,7 menit, seperti ditampilkan pada Gambar 5.1A. Beda rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

65 adalah 6,3 menit dengan asumsi 95% confidence interval sebesar 0,366-12,290 adalah berbeda bermakna (nilai p=0,038). Rerata waktu transpor mukosilar sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0 ± 5,6 menit pada Kelompok Kontrol, seperti ditampilkan pada Gambar 5.1B. Beda rerata waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol adalah 5,0 menit dengan asumsi 95% confidence interval sebesar 0,249-9,703 adalah berbeda bermakna (nilai p=0,040). A B Gambar 5.1 Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan (A) dan sesudah perlakuan (B) pada masing-masing kelompok perlakuan Nilai rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol berbeda secara statistik dengan nilai p=0,038 sehingga uji perbandingan dilakukan terhadap selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan.

66 5.5 Perbandingan Selisih Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah Perlakuan Berdasarkan Kelompok Perlakuan Uji normalitas data selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol tidak berdistribusi normal, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney dengan hasil seperti yang dipaparkan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan Variabel Selisih waktu transpor mukosilia sebelum-sesudah perlakuan, median (IQR) a : Hasil Mann-Whitney test Kelompok nilai p Perlakuan (n=20) Kontrol (n=20) 11,0(7,5) 9,4(5,3) 0,499 a Nilai median selisih waktu transpor mukosilia hidung sebelum dan sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 11,0 ± 7,5 menit dan 9,4 ± 5,3 menit pada Kelompok Kontrol. Perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna dengan nilai p = 0,499. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.2 di bawah ini.

67 Gambar 5.2 Grafik garis selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

68 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Sebanyak empat puluh subjek yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini memiliki kisaran usia antara 16 sampai 52 tahun dengan rerata 33,5 ± 11,8 tahun pada Kelompok Perlakuan dan 30,3 ± 8,8 tahun pada Kelompok Kontrol. Pada penelitian ini rentang usia yang dipilih adalah usia 15 tahun sampai 55 tahun yaitu usia remaja sampai dewasa muda yang tingkat kooperatifnya baik serta untuk meminimalisir bias oleh karena umur. Sakakura dkk. (1983) menyatakan tidak adanya perbedaan waktu transpor mukosilia hidung pada subjek yang berusia < 60 tahun, demikian pula penelitian oleh Homer dkk. (2000) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna antara usia dengan waktu transpor mukosilia hidung. Sebagian besar subjek pada Kelompok Perlakuan berjenis kelamin laki-laki (75%) sedangkan pada Kelompok Kontrol berjenis kelamin perempuan (60%). Beberapa peneliti (Homer dkk., 2000; Ho dkk., 2001) menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai jenis kelamin terhadap waktu transpor mukosilia hidung. Rerata indeks massa tubuh pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol hampir sama yaitu sebesar 23,8 ± 3,8 kg/m 2 dan 23,4 ± 4,3 kg/m 2. Valdez dan Cruz (2009) menyatakan adanya perlambatan waktu transpor mukosilia pada individu dengan indeks massa tubuh abnormal. Pada individu obese cenderung

69 bernapas lewat mulut sehingga membuat rongga hidung terkadang tidak aktif sedangkan pada individu underweight, buruknya nutrisi akan mengganggu imunitas sehingga rentan terkena infeksi saluran napas atas. Sebanyak 25% subjek adalah perokok pada Kelompok Perlakuan dan 10% pada Kelompok Kontrol. Penelitian oleh Proenca dkk. (2011) menunjukkan adanya perlambatan waktu transpor mukosilia yang bermakna pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Asap rokok memiliki efek siliostatis sehingga dapat mengubah sifat viskoelastisitas mukus yang berpengaruh terhadap sistem mukosilia hidung (Corbo, 1989). 6.2 Gejala Klinis Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Gejala klinis yang ditunjukkan oleh subjek sebagian besar adalah pilek, hidung tersumbat, sakit kepala dan adanya dahak yang mengalir di tenggorok. Hal ini sesuai dengan kriteria European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) tahun 2007 yang menyatakan diagnosis rinosinusitis meliputi dua atau lebih gejala seperti: hidung tersumbat, sekret hidung (anterior/posterior nasal drip), nyeri wajah dan gangguan penghidu (Fokkens dkk., 2007). 6.3 Keadaan Septum Nasi Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan Sebagian besar subjek tidak mengalami deviasi septum, yaitu sebanyak 60% pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok Kontrol. Penelitian oleh Mariappan dkk. (2014) menyatakan bahwa deviasi septum nasi memperlambat waktu transpor mukosilia hidung pada sisi konkaf kavum nasi. Hal ini diperkuat

70 oleh temuan histologi yang menyatakan mukosa septum sisi konkaf mengandung banyak infiltrat inflamasi dan sedikit kelenjar mukosa dibandingkan mukosa septum sisi konveks. 6.4 Perbedaan Rerata Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan Rerata waktu transpor mukosila sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan 29,2 ± 7,7 menit pada Kelompok Kontrol, sedangkan rerata waktu transpor mukosila sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0 ± 5,6 menit pada Kelompok Kontrol. Nilai rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut dilaporkan bervariasi. Inanli dkk. (2002) mendapatkan nilai rerata waktu transpor mukosilia pada kelompok rinosinusitis akut sebelum diberikan terapi oxymetazoline topikal sebesar 24,72 ± 6,16 menit sedangkan pada kelompok rinosinusitis akut sebelum diberikan terapi larutan cuci hidung salin isotonis didapatkan rerata waktu transpor mukosilia sebesar 16,84 ± 9,56 menit. Ural dkk. (2009) melaporkan nilai rerata waktu transpor mukosilia pada kelompok rinosinusitis akut sebelum diberikan terapi larutan cuci hidung salin isotonis adalah 25 menit sedangkan pada kelompok rinosinusitis akut sebelum diberikan terapi larutan cuci hidung salin hipertonis adalah 30,08 menit. Nilai rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sesudah pemberian larutan cuci hidung salin isotonis berdasarkan penelitian Ural dkk. (2009) adalah 17,75 menit dan 15,07 ± 9,20 menit pada penelitian Inanli dkk. (2002).

71 6.5 Perbandingan Selisih Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah Perlakuan Berdasarkan Kelompok Perlakuan Nilai median selisih waktu transpor mukosilia hidung sebelum dan sesudah pemberian terapi pada Kelompok Perlakuan adalah 11,0 ± 7,5 menit dan 9,4 ± 5,3 menit pada Kelompok Kontrol dengan nilai p =0,499. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan waktu transpor mukosilia hidung yang bermakna antara rinosinusitis akut yang mendapat terapi antibiotika, dekongestan, mukolitik dan larutan cuci hidung salin isotonis dengan rinosinusitis akut yang mendapat terapi antibiotika, dekongestan dan mukolitik saja. Penelitian mengenai efektivitas larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut sangat terbatas dan dengan hasil yang bervariasi. Inanli dkk. (2002) melakukan penelitian pada 60 pasien rinosinusitis akut dengan rerata umur 27 tahun (kisaran usia: tahun) dan 10 orang sehat dengan rerata umur 20 tahun (kisaran umur: tahun). Pasien rinosinusitis akut dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: Kelompok I (n=12) yang mendapat terapi antibiotika oral amoxicillin 500 mg/clavulanic acid 125 mg 3 x sehari, Kelompok II (n=14) yang mendapat antibiotika oral dan fluticasone propionate 1x2 semprot pada masingmasing kavum nasi, Kelompok III (n=9) yang mendapat antibiotika oral dan oxymetazoline 0,05% 3x1 semprot pada masing-masing kavum nasi, Kelompok IV (n=12) yang mendapat antibiotika oral dan larutan cuci hidung NaCl 3% 3x10 ml sehari dan Kelompok V (n=13) yang mendapat antibiotika oral dan larutan cuci hidung salin isotonis 3x10 ml sehari. Uji sakarin dilakukan sebelum

72 pemberian terapi, 20 menit sesudah pemberian terapi serta minggu pertama, ke dua dan ke tiga sesudah pemberian terapi. Rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sebelum terapi pada Kelompok I adalah 17,16 ± 8,48 menit, Kelompok II adalah 11 ± 4,70 menit, Kelompok III adalah 24,72 ± 6,16 menit, Kelompok IV adalah 19,45 ± 9,35 menit, Kelompok V adalah 16,84 ± 9,56 menit. Pada kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis tidak menunjukkan perbaikan waktu tranpsor mukosilia yang bermakna secara statistik antara sebelum terapi yaitu sebesar 16,84 ± 9,56 menit dan 20 menit sesudah pemberian terapi yaitu sebesar 15,07 ± 9,20 menit. Waktu transpor mukosilia menunjukkan perbaikan yang bermakna secara statistik antara sebelum terapi dan tiga minggu sesudah terapi ditunjukkan pada kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin hipertonis 3%, namun perbaikan waktu transpor mukosilia tersebut tidak bermakna secara signifikan jika dibandingkan dengan perbaikan waktu transpor mukosilia pada kelompok yang mendapat terapi antibiotika oral. Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin hipertonis telah banyak dilaporkan dan terbukti efektif dapat mempercepat waktu transpor mukosilia dibandingkan dengan larutan salin isotonis. Hal ini dikemukakan oleh Talbot dkk. (1997) yang menyatakan perbaikan waktu transpor mukosilia yang bermakna secara statistik setelah pemberian larutan cuci hidung salin hipertonis 3% dibandingkan kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis pada orang sehat. Hasil tersebut dikuatkan oleh penelitian Homer dkk. (2000) yang menyatakan perbaikan waktu transpor mukosilia yang berbeda bermakna pada

73 orang sehat yang diberikan larutan cuci hidung salin hipertonis 5% dibandingkan pemberian larutan cuci hidung salin isotonis. Larutan salin hipertonis merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurang viskus. Pemberian larutan salin hipertonis menyebabkan keadaan hiperosmolar di saluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E 2 dari intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia dan peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas dkk., 1996; Shoseyov dkk., 1998; Garavello dkk., 2003). Larutan hipertonis juga memiliki efek mukolitik pada konsentrasi NaCl 7% (Boek dkk., 1999), efek antibakteri (Shoseyov dkk., 1998) serta dapat mengurangi odema mukosa (Lee dkk., 2003). Ural dkk. (2009) melakukan penelitian pada 12 pasien rinosinusitis akut yang mendapat terapi larutan cuci hidung salin isotonis 4 ml yang disemprotkan pada masing-masing kavum nasi menggunakan syringe, sebanyak 2 kali sehari selama 10 hari. Uji sakarin dilakukan sebelum terapi dan setelah 10 hari pemberian terapi. Rerata waktu transpor mukosilia sebelum pemberian larutan cuci hidung salin isotonis adalah 25 menit dan sesudah terapi adalah 17,75 menit dengan nilai p=0,041. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perbaikan waktu transpor mukosilia yang bermakna secara statistik pada rinosinusitis akut yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis. Hasil penelitian Ural dkk. (2009) berbeda dengan hasil penelitian ini dimungkinkan karena pada penelitian Ural dkk. (2009) terapi yang diberikan hanya larutan cuci hidung salin isotonis tanpa pemberian antibiotika, dekongestan

74 dan mukolitik. Selain itu, uji sakarin evaluasi dilakukan setelah 10 hari pemberian terapi. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan uji sakarin evaluasi setelah 7 hari pemberian terapi berdasarkan pedoman penatalaksanaan rinosinusitis akut oleh Kelompok Studi Rinologi PERHATI-KL tahun 2007, yaitu: pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik selama 7-14 hari (Soetjipto dkk., 2007). Chodankar dkk. (2014) melakukan penelitian pada 20 pasien rinosinusitis akut yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok I (n=5) mendapat terapi antibiotika amoxicillin/clavulanic acid 3x sehari dan analgetika ibuprofen 2x400mg, Kelompok II (n=8) mendapat terapi antibiotika, analgetika dan larutan cuci hidung salin hipertonis, Kelompok III (n=7) mendapat terapi antibiotika, analgetika dan larutan cuci hidung salin isotonis. Uji sakarin dilakukan sebelum dan 10 hari sesudah pemberian terapi. Rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sebelum terapi adalah 16,34 ± 1,78 menit. Perbaikan waktu transpor mukosilia yang bermakna secara statistik ditunjukkan pada kelompok yang mendapat terapi larutan cuci hidung salin hipertonis dan salin isotonis. Chodankar dkk. (2014) tidak melakukan analisis lebih lanjut terhadap perbaikan waktu transpor mukosilia antara kelompok yang mendapat terapi oral tanpa larutan cuci hidung, kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin hipertonis maupun salin isotonis. Hauptman dan Ryan (2007) melakukan penelitian terhadap 80 pasien rinosinusitis akut maupun kronis yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis dan hipertonis 3%. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah skor minimal SNOT-20 sebesar 20. Skor SNOT-20 bekisar antara 0 sampai 100, dengan skor

75 yang lebih tinggi menunjukkan beratnya gejala. Sebelum uji sakarin dilakukan, pada masing-masing subjek dilakukan penilaian derajat obstruksi hidung menggunakan skala Likert dengan skor berkisar 1 sampai 10, dimana skor 1 menunjukkan tidak ada gangguan sedangkan skor 10 menunjukkan gejala yang sangat mengganggu. Hasil penelitian ini menunjukkan perbaikan waktu transpor mukosilia dan keluhan obstruksi hidung yang bermakna secara statistik pada kelompok yang mendapat larutan cuci hidung salin isotonis maupun hipertonis. Karakteristik umur dilaporkan memiliki pengaruh yang bervariasi terhadap waktu transpor mukosilia. Meskipun beberapa peneliti menyatakan tidak ada pengaruh faktor umur terhadap waktu transpor mukosilia, namun Kao dkk. (1994) dan Agius dkk. (1998) menyatakan bahwa peningkatan umur berpengaruh terhadap pemanjangan waktu transpor mukosilia. Sebagian besar peneliti melaporkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi waktu transpor mukosilia, namun penelitian oleh Valia dkk. (2008) menyatakan bahwa pada laki-laki terjadi pemanjangan rerata waktu transpor mukosilia dibandingkan dengan perempuan. Larutan cuci hidung salin isotonis dilaporkan memiliki efek terhadap perbaikan waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis kronis yang lebih nyata dibandingkan pada rinosinusitis akut. Pada rinosinusitis akut terjadi perubahan viskoelastisitas sekret, sedangkan pada rinosinusitis kronis telah terjadi kerusakan epitel dan hilangnya struktur silia sehingga terjadi gangguan ciliary beat frequency (Georgitis, 1994). Pemberian larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut diharapkan dapat memperbaiki aktivitas mukosilia hidung

76 secara langsung dengan cara membersihkan sekret dan bahan iritan yang masuk melalui udara pernapasan, menjaga kelembaban, mengurangi odema mukosa dan mediator inflamasi (Papsin dan McTavish, 2003; Ural dkk., 2009), sedangkan pada rinosinusitis kronis, larutan cuci hidung salin isotonis dapat memperbaiki aktivitas mukosilia dengan cara meningkatkan ciliary beat frequency. Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin isotonis pada rinosinusitis akut masih banyak diperdebatkan. Pada penelitian ini tidak terjadi perbaikan waktu transpor mukosilia yang bermakna dengan penggunaan larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut. Pemberian larutan cuci hidung nampaknya lebih menunjukkan hasil yang bermakna terhadap perbaikan waktu transpor mukosilia melalui peningkatan ciliary beat frequency (Ural dkk., 2009). Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak dilakukannya pembagian subjek berdasarkan derajat beratnya penyakit yang dapat dihitung menggunakan skor SNOT-20 maupun derajat beratnya obstruksi hidung yang dapat diukur menggunakan skala Likert maupun peak nasal inspiration flow, 2. Tidak dilakukannya metode matching terhadap variabel umur, jenis kelamin dan waktu transpor mukosilia sehingga distribusi variabel tersebut pada ke dua kelompok perlakuan tidak merata.

77 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut memiliki efek waktu transpor mukosilia yang sama dengan pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik tanpa larutan cuci hidung salin isotonis. 7.2 Saran 1. Sebaiknya dilakukan pembagian subjek berdasarkan derajat beratnya penyakit yang diukur bersadarkan skor SNOT-20 dan derajat obstruksi hidung yang dapat diukur dengan skala Likert maupun peak nasal inspiration flow. 2. Sebaiknya dilakukan metode matching terhadap variabel umur, jenis kelamin dan waktu transpor mukosilia sehingga variabel tersebut terdistribusi secara merata pada kedua kelompok perlakuan. 3. Sebaiknya dilakukan penghisapan sekret hidung sebelum pemeriksaan uji sakarin untuk mengurangi kemungkinan subjek memiliki sekret hidung yang sangat kental.

78 DAFTAR PUSTAKA Achiles, N. and Mosges, R Nasal Saline irrigations for The Symptoms of Acute and Chronic Rhinosinusitis [abstract]. Curr Allergy Asthma Rep 13(2) Agius, A.M., Smallman, L.A., Pahor, A.L Age, Smoking and Nasal Ciliary Beat Frequency. Clin Otolaryngol 23: Ballenger, J.J Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. In : Snow, J.B. and Ballenger, J.J., editors. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th. Ed. Spanyol: BC Decker Inc. p Benninger, M.S. and Gottschall, J Rhinosinusitis: Clinical Presentation and Diagnosis. In: Brook, I., editor. Sinusitis From Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis Group. p Boek, W.M., Keles, N., Graamans, K., Natzijl, H., Rijk, P Physiologic and Hyper-tonic Saline Solutions Impair Ciliary Activity in Vitro. Laryngoscope 109: Busquets, J.M. and Hwang, P.H Nonpolypoid Rhinosinusitis: Classification, Diagnosis, and Treatment. In: Bailey B.J., and Johnson, J.T., editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4 th. Ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. p Chodankar, S., D sa, C., Tiwari, M., Goel, H.C., Andhale-Goa, D Imapct of Isotonic and Hypertonic Saline on Mucociliary Activity in Various Nasal Pathologies. National Journal of Otorhinolaringology and Head & Neck Surgery 2(11): Conrad, D.A Medical Management of Acute Sinusitis. In: Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis Group. p Corbo, G.M Measurement of Nasal Mucociliary Clearance. Archieves of Disease in Childhood 64: Daviskas, E., Anderson, S.D., Gonda, I., Eberl, S. Meikle, S., Seale, J.P., Bautovich, G Inhalation of Hypertonic Saline Aerosol Enhance in Asthmatic and Healthy Subjects. Eur Resp J 9: Devaiah, A.K Adult Chronic Rhinosinusitis: Diagnosis and Dilemmas. Otolaryngol Clin N Am 37: Dhillon, R.S. and East, C.A Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. Philadelphia: Churchill Livingstone. p

79 File, T.M Sinusitis : Epidemiology. In : Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis Group. p Fokkens, W., Lund, V., Mullol, J., Bachert, C., Cohen, N., Cobo, R., Desrosiers, M., Hellings, P., Holmstorm, M., Hytonen, M., Jones, N., Kalogjera, L European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS), [cited 2014 Oct 1]. Available from: URL: guide.php. Garavello, W., Romagnoli, M. Sordo, L., Gaini, R.M., Di Berardino, C., Angrisano, A Hypersaline Nasal Irrigation in Children With Symptomatic Seasonal Allergic Rhinitis: A Randomized Study. Pediatr Allergy Immunol 14(2): Georgitis, J.W Nasal Hyperthermia and Simple Irrigation for Perrenial Rhinitis. Changes in Inflamatory Mediators. Chest 106: Hauptman, G. and Ryan, MW The Effect of Saline Solutions on Nasal Patency and Mucociliary Clearance in Rhinosinusitis Patients. Otolaryngology- Head and Neck Surgery 137(5): Healtley, D.G., McConnell, K.E., Kille, T.L., Leverson, G.I Nasal Irrigation for The Alleviation of Sinonasal Symptoms. Otolaryngol Head and Neck Surgery 125(1): Ho, H.C., Chan, K.N., Hu, W.H., Kan, W.K., Zheng, L, Tipoe, G.L., Sun, J., Leung, R., Tsang, K.W The Effect of Aging on Nasal Mucociliary Clearance, Beat Frequency and Ultrastructure of Respiratory Cilia. Am J Respir Crit Care Med 163: Homer, J., England, R., Harwood, G., Stafford, N The Effect of ph of Douching Solution on Mucociliary Clearance. Clin Otolaryngol 24: Inanli, S., Ozturk, O., Korkmaz, M., Tutkun, A., Batman, C The Effects of Topical Agents of Fluticasone Propionate, Oxymetazoline, and 3% and 0,9% Sodium Chloride Solutions on Mucociliary Clearance in The Therapy of Acute Bacterial Rhinosinusitis In Vivo. Laryngoscope 112: Jackman, A.H. and Kennedy, D.W Pathophysiology of Sinusitis. In: Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis Group. p Kao, C.H., Jiang, R.S., wang, S.J., Yeh, S.H Influence of Age, Gender and ethnicity on Nasal Mucociliary Clearance Function. Clin Nucl Med 19: Kassel, J.C., King, D., Spurling, G.K Saline Nasal Irrigation for Acute Upper Respiratory Tract Infections [abstract]. Cochrane Database Syst Rev 17(3)

80 Kim, C.H., Song, M.H., Young, E.A. Lee, J.G., Yoon, J.H Effect of Hypo-, Iso- and Hypertonic Saline Irrigation on Secretory Mucins and Morphology of Cultured Human Nasal Epithelial Cells. Acta Otolaryngol 125: Krouse, J.H. and Stachler, R.J Anatomy and Physiology of the Paranasal Sinuses. In: Brook, I., editor. Sinusitis from Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis Group. p Lee, S.H., Song, J.S., Lee, S.H., Hwang, S.J., Lee, H.M Effect of Hypertonic Seawater (Sinomarin) on Mucociliary clearance in normal subjects. J Rhinol 10(1,2): Levine. H.L Diagnosis and Management of Rhinosinusitis. In: Levine, H.L. and Clemente, M.P., editors. Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. New York: Thieme. p Mariappan, R.G., Dhanalakshmi, M., Mathaikutty, D.M., Shanmugam, R., Shanmugam, U., Swaminathan, B. et al Clinico-Pathological Correlation and the Effects of Septal Surgery on Nasal Mucociliary Clearance. Sch. J. App. Med. Sci 2(5C): Metson, R.B The Harvard Medical School Guide to Healing Your Sinuses. New York: McGraw-Hill. p Mulyarjo Diagnosis Klinik Rinosinusitis. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IV Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher FK Unair. Surabaya 28 Agustus. h Naclerio, R.M. and Gungor, A Etiologic Factors in Inflammatory Sinus Disease. In : Kennedy, D.W.,.Bolger, W.E., Zinreich, S.J., editors. Disease of The Sinus, Diagnosis and Management. London: B.C. Decker Inc. p Naxakis, S., Athanasopoulos, I., Vlastos, I.M., Giannakenas, G., Vasiilakos, P., Goumas, P Evaluation of Nasal Mucociliary Clearance After Medical or Surgical Treatment of Chronic Rhinosinusitis. European Archieves of Oto-Rhino- Laryngology and Head & Neck 266(9): Papsin, B. and McTavish, A Saline Nasal Irrigation: Its Role As An Adjunct Treatment. Can Fam Physician 49: Passali, P., Passali, G.C., Passali, F.M., Bellussi, L Physiology of The Paranasal Sinuses. In : Levine, H.L. and Clemente, M.P., editors. Sinus Surgery Endoscopic and microscopic Approaches. New York: Thieme. p Pocock, SJ Clinical Trials: A Practical Approach. Chichester: John Wiley and Sons.

81 Probst, R., Grever, G., Iro, H Basic Otorhinolaryngology, A Step-by- Step Learning Guide. New York: Thieme. p Proenca, M., Xavier, R.F., Ramos, D., Cavalheri, V., Pitta, F., Ramos, E.M.C Immediate and Short Term Effects of Smoking on Nasal Mucociliary Clearance in Smokers. Rev Port Pneumol 17: Quraishi, M.S., Jones, N.S., Mason, J The Rheology of Nasal Mucus: a Review. Clin. Otolaryngol 23: Rabago, D., Barret, B., Marchand, L., Mundt, M Qualitative Aspects of Nasal Irrigation Use by Patients With Chronic Sinus Disease in a Multimethod Study. Ann Fam Med 4: Rabago, D. and Zgierska, A Saline Nasal Irrigation for Upper Respiratory Conditions. Am Fam Physician 80(10): Ramon, P., Victor-John, C., Benjamin, S A Comparison of The Mucus Transport Time Between Filipinos Living in Urban and Rural Areas. The Phillipppine Journal of Oto-Rhino-Laryngology Head & Neck Surgery 14(3): 2-6. Sakakura, Y., Ukai, K., Majima, Y., Murai, S., Harada, T., Miyoshi, Y Nasal Mucociliary Clearance Under Various Conditions. Acta Otolaryngol 96: Sargi, Z.B. and Casiano, R.R Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. In: Kountakis, S.E. and Onerci, M., editors. Surgical Anatomy of Paranasal Sinuses. Berlin: Springer-Verlag. p Scadding, G.K. and Lund, V.J Investigative Rhinology. London: Taylor & Francis Group. p Shoseyov, D., Bibi H., Shai, P., Shosayov, N., Shazberg, G., Hurvitz, H Treatment With Hypertonic Saline Versus Normal Saline Nasal Wash of Pediatric Chronic Sinusitis. J Allerg Clin Immunol 101: Soetjipto, D dkk Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). In: Kelompok Studi Rinologi, editors. Guideline Penyakit THT- KL di Indonesia. Jakarta: PT. Bristol Myers Squibb Indonesia.Tbk. h. 63. Stierna, P Physiology, Mucociliary Clearance, and Neural Control. In : Kennedy, D.W., Bolger, W.E., Zinreich, S.J., editors. Disease of The Sinus, Diagnosis and Management. London: B.C. Decker Inc. p Thaler, E.R Management of Acute Rhinosinusitis. In : Kennedy, D.W., Bolger, W.E., Zinreich, S.J., editors. Disease of The Sinus, Diagnosis and Management. London: B.C. Decker Inc. p

82 Talbot, A.R., Herr, T.M., Parsons, D.S Mucociliary Clearance And Buffered Hypertonic Saline Solution. Laryngoscope 107: Ural, A., Oktemer, T.K., Kizil, Y., Ileri, F., Uslu, S Imapact of Isotonic and Hypertonic Saline Solutions on Mucociliary Activity in Various Nasal Pathologies: Clinical Study. The Journal of Laryngology & Otology 123: Valia, P.P., Valero, F.C., Pardo, J.M., Rentero, D.B., Monte, C.G Saccharin Test For The Study of Mucociliary Clearance: Reference Values for a Spanish Population. Arch Bronconeumol 44: Valdez, R.J.L. dan Cruz, E.S Nasal Mucociliary Clearance (Mucus Transit Time) and Abnormal Body Mass Index (Underweight and Obese) in Filipino Adult Volunteers. Philippine Scientific Journal 42(1): Walsh, W.E. and Kern, R.C Sinonasal Anatomy, Function and Evaluation. In : Bailey B.J, and Johnson, J.T., editors. Head & Neck Surgery- Otolaryngology. 4 th Ed. Vol.1 Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. p Welch, K.C. and Goldberg, A.N Sinusitis. In : Mahmoudi, M., editor. Allergy & Asthma, Practical Diagnosis and Management. New York: McGrawHill. p Yeung, DF Efficacy of Nasal Saline Spray to Relieve Symptoms of Chronic Sinusitis. UTMJ 88(2): 84-7.

83

84

85 Lampiran 2 Penelitian Peneliti Utama Alamat tugas INFORMASI TERTULIS KEPADA RESPONDEN : Larutan pencuci hidung salin isotonis mempercepat waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut. : dr. Ni Putu Oktaviani Rinika Pranitasari Handphone : Sub Bagian/SMF THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Kepada YTH. Bapak/Ibu/Saudara/i Di tempat Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang terjadi selama 4 minggu atau kurang, ditandai gejala hidung buntu, nyeri wajah, ingus kental dan dahak kental (post nasal drip) di tenggorok. Rinosinusitis akut sering terjadi menyertai infeksi saluran napas atas, pilek alergi maupun paparan polusi. Pada infeksi tersebut terjadi gangguan pengaliran lendir di dalam rongga sinus sehingga lama-kelamaan lendir akan menumpuk dan memperparah infeksi yang telah terjadi. Pengobatan standar yang diberikan adalah pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik. Penggunaan larutan pencuci hidung salin isotonis masih terbatas pada rinosinusitis kronis yang telah menjalani pembedahan sinus. Beberapa penelitian telah mengungkapkan manfaat pemberian larutan pencuci hidung terhadap kesembuhan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian larutan pencuci hidung salin isotonis pada penderita rinosinusitis akut dibandingkan dengan pengobatan standar. Larutan salin isotonis adalah larutan yang relatif aman, murah, mudah ditemui di apotek dan mudah digunakan. Bapak/Ibu/Saudara/i diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan sama seperti pemeriksaan rutin THT yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit, yaitu wawancara, pemeriksaan fisik rutin

86 pada telinga, hidung, tenggorok serta pemeriksaan radiologi (foto polos sinus paranasal). Kemudian saya akan memeriksa uji sakarin menggunakan tablet sakarin yang akan diletakkan pada permukaan bagian dalam rongga hidung bawah. Saya akan meminta Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menelan ludah setiap setengah atau satu menit, sampai terasa manis pertama kali di tenggorok, yang merupakan waktu transpor mukosilia. Waktu diukur dengan menggunakan pengukur waktu (stopwatch). Setelah itu, tablet sakarin yang masih tersisa di dalam hidung akan dicuci menggunakan larutan isotonis yang disemprotkan ke dalam hidung dan kemudian berkumur dengan larutan air mineral. Bahan kristal sakarin bersifat aman dan tidak menimbulkan risiko yang berbahaya bagi subjek penelitian. Bapak/Ibu/Saudara/i akan dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang akan mendapatkan pengobatan standar dan kelompok yang akan mendapatkan pengobatan standar ditambah larutan pencuci hidung salin isotonis. Pembagian kelompok akan dilakukan secara acak berdasarkan randomisasi blok. Setelah 7 hari mendapatkan pengobatan, Bapak/Ibu/Saudara/i akan diperiksa uji sakarin evaluasi dengan cara yang sama seperti pemeriksaan sebelumnya. Partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini bersifat sukarela. Apabila tidak bersedia ikut serta dalam penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/i tetap akan mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Identitas Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang dapat melihat data Bapak/Ibu/Saudara/i. Kerahasiaan data akan dijamin sepenuhnya.

87 Lampiran 3 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Umur / Jenis kelamin : Alamat : menyatakan bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan yang diberikan oleh dr. Ni Putu Oktaviani Rinika P. dari bagian THT / FK Udayana, RSUP Sanglah, Denpasar mengenai: prosedur pemeriksaan, prosedur tindakan, resiko serta manfaat tindakan uji sakarin yang akan dilakukan kepada diri saya. Dengan demikian saya bersedia mengikuti / menjalani seluruh prosedur pemeriksaan yang dilakukan untuk penelitian mengenai: LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT Surat pernyataan persetujuan (informed consent) ini saya buat dengan sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, agar dapat dipergunakan bilamana diperlukan. Penanggungjawab peneliti, Denpasar, Peserta penelitian, dr. Ni Putu Oktaviani Rinika P..

88 Lampiran 4 Nomor Penelitian : Tanggal berobat : Nomor rekam medis : LEMBAR PENELITIAN A. Identitas Penderita Nama : Tinggi badan : cm Jenis kelamin : Berat badan : kg Umur : tahun IMT : kg/m 2 Alamat : Tekanan darah : mmhg Telepon : B. Anamnesis 1. Apakah ada keluhan hidung tersumbat? Jika Ya, pada hidung yang mana? a. Ya, hidung kiri / kanan / keduanya b. Tidak 2. Apakah ada keluhan pilek/ingus kental? a. Ya b. tidak 3. Apakah ada keluhan nyeri pipi? a. Ya b. Tidak 4. Apakah ada keluhan sakit kepala? a. Ya b. Tidak 5. Apakah ada gangguan penciuman/penghidu? a. Ya b. Tidak 6. Apakah ada keluhan demam? Jika Ya, sejak kapan? a. Ya, sejak. b. Tidak

89 7. Apakah ada keluhan dahak yang mengalir di tenggorok? a. Ya b. Tidak 8. Apakah ada keluhan bau mulut atau nafas berbau? a. Ya b. Tidak 9. Apakah ada keluhan lainnya? Batuk, nyeri telinga, penuh di telinga? 10. Apakah Saudara pernah dinyatakan menderita tumor hidung dan sinus paranasal atau sedang menjalani pengobatan kemoterapi/radioterapi berkaitan tumor tersebut? Jika Ya, sebutkan sejak kapan? a. Ya, sejak.. bulan b. Tidak 11. Apakah Saudara menderita gangguan pengecapan? a. Ya b. Tidak 12. Apakah Saudara menggunakan obat tetes/semprot hidung? Jika Ya, sebutkan nama obatnya dan sudah berapa lama! a. Ya,. b. Tidak 13. Apakah Saudara pernah menjalani operasi hidung dan sinus paranasal? Jika Ya, sebutkan alasannya dan kapan. a. Ya,.., pada.. b. Tidak 14. Apakah Saudara pernah dinyatakan menderita hipertensi atau sedang mengkonsumsi obat antihipertensi? a. Ya b. Tidak 15. Apakah Saudara merokok? Jika Ya, sebutkan sudah berapa lama merokok dan berapa batang per hari? a. Ya,.. tahun, batang per hari b. Tidak

90 C. Pemeriksaan Fisik THT 1. Telinga Kanan Kiri Daun telinga Normal/abnormal Normal/abnormal Liang telinga Lapang/odema Lapang/odema Membran Intak/perforasi/retraksi/hiperemi Intak/perforasi/retraksi/hiperemi timpani 2. Hidung Kanan Kiri Kavum nasi Lapang/sempit/massa Lapang/sempit/massa Konka Dekongesti/kongesti Dekongesti/kongesti Mukosa Merah muda/hiperemi/livide Merah muda/hiperemi/livide Sekret Tidak ada/serus/mukoid/ purulen Tidak ada/serus/mukoid/ purulen Deviasi septum Deviasi ke kanan/kiri/bentuk S//tidak ada deviasi Post nasal drip Ada/tidak ada 3.Tenggorok Kanan Kiri Mukosa faring Merah muda/hiperemi Merah muda/hiperemi Tonsil T1/T2/T3/T4 Merah muda / hiperemi Rata/tidak rata Kripte melebar -/+ Detritus -/+ T1/T2/T3/T4 Merah muda/hiperemi Rata/tidak rata Kripte melebar -/+ Detritus -/+ Dinding belakang faring Granula hipertrofi -/+ Granula hipertrofi -/+ D. Hasil foto Waters :

91 E. Diagnosis : F. Terapi : G. Hasil pemeriksaan uji sakarin : 1. Uji sakarin sebelum terapi :... menit. 2. Uji sakarin sesudah terapi :.... menit.

92 Lampiran 5 RANDOMISASI BLOK a. Kelompok kontrol mendapat terapi standar, diberi kode A. b. Kelompok perlakuan mendapat terapi standar ditambah larutan pencuci hidung salin isotonis, diberi kode B. c. Besar blok = 6 d. Sekuens pengobatan : No. Sekuens No. Sekuens No. Sekuens No. Sekuens AAABBB ABABAB BAAABB BABBAA AABABB ABABBA BAABAB BBAAAB AABBAB ABBAAB BAAABB BBAABA AABBBA ABBABA BABAAB BBABAA ABAABB ABBBAA BABABA BBBAAA e. Jumlah sampel = 36, dipilih 6 angka yaitu: f. Maka sekuens pengobatan sbb: No.Amplop 1 A 9 B 17 A 25 B 33 B 2 A 10 B 18 B 26 B 34 A 3 B 11 A 19 A 27 A 35 B 4 B 12 A 20 B 28 B 36 A 5 B 13 B 21 A 29 A 37 A 6 A 14 A 22 A 30 A 38 A 7 A 15 B 23 B 31 A 39 B 8 B 16 A 24 B 32 B 40 B AABBBA-ABBBAA-BABAAB-ABAABB-BBABAA-ABBABA-AABBBA.

93 Lampiran 6 FOTO DOKUMENTASI Gambar 6.1 Forsep alligator (kiri) dan pinset bayonet (kanan) Gambar 7.2 Stopwatch (kiri) dan tablet sakarin merk Equal (kanan)

94 Gambar 6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi (tampak depan). Gambar 6.4 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi (tampak samping).

95 Lampiran 7 Data statistik Explore Kelompok Case Processing Summary Cases Valid Missing Kelompok N Percent N Percent waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin % 0.0% Terapi standar % 0.0% Case Processing Summary Cases Total Kelompok N Percent waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin % Terapi standar % Descriptives Kelompok Statistic Std. Error waktu sakarin Terapi standar dan Mean

96 pretest larutan nasal salin 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound % Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Terapi standar Mean % Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound % Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation

97 Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Kelompok Statistic df Sig. waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin * Terapi standar * a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Tests of Normality Shapiro-Wilk Kelompok Statistic df Sig. waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar

98 Case Processing Summary Cases Valid Missing Kelompok N Percent N Percent waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin % 0.0% T-Test Group Statistics Kelompok N Mean waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar Group Statistics Kelompok Std. Deviation Std. Error Mean waktu sakarin pretest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar

99 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means F Sig. t waktu sakarin pretest Equal variances assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means df Sig. (2-tailed) Mean Difference waktu sakarin pretest Equal variances assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper waktu sakarin pretest Equal variances assumed Equal variances not assumed

100 GGraph GGraph Explore Kelompok Case Processing Summary Kelompok Cases

101 Valid Missing N Percent N Percent waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal salin % 0.0% Terapi standar % 0.0% Case Processing Summary Cases Total Kelompok N Percent waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal salin % Terapi standar % Descriptives Kelompok Statistic Std. Error waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan Mean

102 nasal salin 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound % Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Terapi standar Mean % Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound % Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum 9.43

103 Maximum Range Interquartile Range 8.67 Skewness Kurtosis Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Kelompok Statistic df Sig. waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal salin * Terapi standar * a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Tests of Normality Shapiro-Wilk Kelompok Statistic df Sig. waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar T-Test Group Statistics

104 Kelompok N Mean waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar Group Statistics Kelompok Std. Deviation Std. Error Mean waktu sakarin postest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means F Sig. t waktu sakarin postest Equal variances assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means df Sig. (2-tailed) Mean Difference

105 waktu sakarin postest Equal variances assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper waktu sakarin postest Equal variances assumed Equal variances not assumed GGraph Explore Kelompok

106 Case Processing Summary Cases Valid Missing Kelompok N Percent N Percent selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan nasal salin % 0.0% Terapi standar % 0.0% Case Processing Summary Cases Total Kelompok N Percent selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan nasal salin % Terapi standar % Descriptives Kelompok Statistic Std. Error selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan Mean nasal salin 95% Confidence Interval Lower Bound for Mean Upper Bound % Trimmed Mean Median

107 Variance Std. Deviation Minimum 5.47 Maximum Range Interquartile Range 7.48 Skewness Kurtosis Terapi standar Mean % Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound % Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum 5.52 Maximum Range Interquartile Range 5.25 Skewness

108 Case Processing Summary Cases Valid Missing Kelompok N Percent N Percent selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan nasal salin % 0.0% Kurtosis Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Kelompok Statistic df Sig. selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan nasal salin * Terapi standar a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Tests of Normality Shapiro-Wilk Kelompok Statistic df Sig. selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar NPar Tests

109 Mann-Whitney Test Ranks Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks selisih waktu sakarin pretest dan postest Terapi standar dan larutan nasal salin Terapi standar Total 40 Test Statistics b selisih waktu sakarin pretest dan postest Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed).499 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)].512 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelompok GGraph

110 GGraph

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

PERBANDINGAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 22 (SNOT-22) PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN DI RSUP SANGLAH TAHUN 2017

PERBANDINGAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 22 (SNOT-22) PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN DI RSUP SANGLAH TAHUN 2017 TESIS PERBANDINGAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 22 (SNOT-22) PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN DI RSUP SANGLAH TAHUN 2017 PUTU DIAN ARIYANTI PUTRI NIM 1314078103 PROGRAM PASCA SARJANA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

TESIS PERBEDAAN WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA HIDUNG PEKERJA BAGIAN PRODUKSI DAN BUKAN BAGIAN PRODUKSI DI PERUSAHAAN KONVEKSI PASIFIK EKSPRES DENPASAR

TESIS PERBEDAAN WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA HIDUNG PEKERJA BAGIAN PRODUKSI DAN BUKAN BAGIAN PRODUKSI DI PERUSAHAAN KONVEKSI PASIFIK EKSPRES DENPASAR TESIS PERBEDAAN WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA HIDUNG PEKERJA BAGIAN PRODUKSI DAN BUKAN BAGIAN PRODUKSI DI PERUSAHAAN KONVEKSI PASIFIK EKSPRES DENPASAR MARSELINUS SYLVESTER NIM 0914078102 PROGRAM MAGISTER PROGRAM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rinosinusitis a. Definisi Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan rinitis merupakan inflamasi pada membrana mukosa hidung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL REFERAT ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL PEMBIMBING: Dr. H. Yuswandi Affandi Sp. THT-KL Dr. M. Ivan Djajalaga M.Kes, Sp. THT-KL DISUSUN OLEH: Noer Kamila Dedeh Asliah Bernadeta Rosa Diyana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

PADA FRAKTUR TERBUKA PASCA DEBRIDEMENT DAN FIKSASI INTERNAL

PADA FRAKTUR TERBUKA PASCA DEBRIDEMENT DAN FIKSASI INTERNAL TESIS PENCUCIAN TAMBAHAN LARUTAN ANTIBIOTIK (NEOMISIN BASITRASIN) ATAU LARUTAN ANTISEPTIK (POVIDON IODIN) MENURUNKAN JUMLAH KOLONI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA FRAKTUR TERBUKA PASCA DEBRIDEMENT DAN FIKSASI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung

Lebih terperinci

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik. Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik. Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis menurut European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NACL 0,9% DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus Laporan Penelitian GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20 (SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA TIHINGAN KLUNGKUNG Oleh: Putu Dian Ariyanti Putri,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem

BAB II KAJIAN PUSTAKA. palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem Mukosilia Hidung Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar di sekitarnya dan secara konstan berinteraksi dengan agen infeksi. Sistem mukosilia yang

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata- 1 kedokteran

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis Kronik Sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana HUBUNGAN EKSPRESI RECEPTOR ACTIVATOR OF NUCLEAR FACTOR-kB LIGAND TINGGI DAN SUBTIPE LUMINAL DENGAN TERJADINYA METASTASIS TULANG PADA PASIEN KANKER PAYUDARA Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 TESIS VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 JIMMY NIM 0914028203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I KOMANG AGUS SETIAWAN

I KOMANG AGUS SETIAWAN TESIS USIA LEBIH DARI 45 TAHUN, JUMLAH LEKOSIT, RIWAYAT KONSUMSI ALKOHOL DAN KONSUMSI OBAT NSAID SEBAGAI FAKTOR RISIKO PADA ULKUS PEPTIKUM PERFORASI DI BAGIAN BEDAH RSUP SANGLAH I KOMANG AGUS SETIAWAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO

TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO TESIS TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO FRANSISKUS CHRISTIANTO RAHARJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS TERDAPAT HUBUNGAN

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID 2.1. Pengertian Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di Copenhagen sebagai suatu kelainan dentofasial yang disebabkan oleh obstruksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS ARTIKEL PENELITIAN DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS Siti Masliana Siregar 1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI

SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI Oleh: Nama : I Komang Agus Subagiarta NRP : 1523013016 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting karena fungsinya sebagai salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung 2.1.1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum

Lebih terperinci

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid SINUSITIS AKUT DAN KRONIS Dr. dr. Delfitri Munir Sp.THT-KL(K) Sub-devisi Rinologi Dept. Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sinus para-nasal Nasal asessory sinuses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed. Author : Edi Susanto, S.Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Files of DrsMed FK UNRI (http://www.files-of-drsmed.tk PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen 2.1.1. Definisi Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN

NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN TESIS NILAI ATOPI KELUARGA MENENTUKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI USIA 0-4 BULAN MELISA ANGGRAENI NIM 0914018101 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL. Tesis

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL. Tesis PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS DENGAN KAVUM NASI NORMAL Tesis Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu Syarat untuk Mencapai Spesialis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

HUBUNGAN FAKTOR LAMA PAPARAN, KEKERAPAN PEMAPARAN DAN MASA PAPARAN BUNYI GENTA TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEMANGKU PURA BSK

HUBUNGAN FAKTOR LAMA PAPARAN, KEKERAPAN PEMAPARAN DAN MASA PAPARAN BUNYI GENTA TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEMANGKU PURA BSK TESIS HUBUNGAN FAKTOR LAMA PAPARAN, KEKERAPAN PEMAPARAN DAN MASA PAPARAN BUNYI GENTA TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEMANGKU PURA BSK I MADE MUSTIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan Kepala Leher. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Laporan Penelitian hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Sarwastuti Hendradewi, Novi Primadewi, Nurmala Shofiyati Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan

Lebih terperinci

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll LAMPIRAN 1 Lembaran Pemeriksaan Penelitian Nama : Umur :...tahun Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telf : No RM : Jenis kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan :...cm Berat badan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci