Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis"

Transkripsi

1 Laporan Penelitian Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Ade Rahmy Sujuthi, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar - Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Penatalaksanaan standar rinosinusitis kronis pada orang dewasa saat ini yang direkomendasikan oleh kelompok studi Rinologi PERHATI-KL meliputi pemberian antibiotik, dekongestan oral, kortikosteroid dan mukolitik disertai terapi tambahan irigasi hidung. Penilaian patensi hidung dan kualitas hidup penderita dapat menilai efektivitas terapi rinosinusitis. Sampai saat ini belum ada laporan hasil penelitian yang konsisten tentang prioritas pilihan cairan cuci hidung yang digunakan, maka penelitian yang berkaitan dengan efektivitas hasil terapi cuci hidung larutan air laut steril sebagai terapi tambahan pada terapi standar rinosinusitis kronis perlu dilakukan. Tujuan: Menilai efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penatalaksanaan rinosinusitis kronis berdasarkan patensi hidung dan kualitas hidup (SNOT-20). Metode: Penelitian uji klinis terbuka (open trial) pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat di poliklinik THT RS Wahidin Sudirohusodo Makassar. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna nilai NIPF sebelum dan setelah intervensi antara kelompok air laut steril (p<0,05) dengan kelompok terapi standar (p>0,05) juga terdapat perbaikan nilai SNOT-20 secara bermakna (p<0,05) pada kelompok air laut steril setelah intervensi. Kesimpulan: Pemberian larutan cuci hidung air laut steril sebagai terapi tambahan akan memperbaiki patensi hidung dan kualitas hidup penderita rinitis kronis dibandingkan dengan hanya terapi standar saja. Kata kunci: larutan cuci hidung air laut steril, rinosinusitis kronis, NIPF, SNOT-20 ABSTRACT Background: The current standard management for chronic rhinosinusitis in adult which recommended by study group for rhinology, Indonesian ENT Association, was included antibiotics, oral decongestan, corticosteroids and mucolitics associated with nasal irrigation. The patients nasal patency and quality of life evaluation may be used as a tool to evaluate the effectiveness of rhinosinusitis therapy. Up till now, there was no consensus of study reports regarding priority choice of nasal rinse solution to be used, so the

2 study for the effectiveness of sterile sea water nasal rinse as an adjuvant therapy for chronic rhinosinusitis is needed. Purpose: To evaluate the effectiveness of sterile sea water nasal rinse in rhinosinusitis therapy based on nasal patency and quality of life (SNOT-20). Method: A clinical open trial was performed in chronic rhinosinusitis patients who came to ENT outpatients clinic, Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar. Result: There is a significant difference of nasal inspiratory peak flow meter value before and after intervention, between sterile sea water groups (p<0.05) and standard therapy groups (p>0.05). Also there is an improvement of SNOT-20 value in sterile sea water groups significantly after intervention (p<0.05). Conclusion: Sterile sea water nasal rinse as an adjuvant therapy will improve nasal patency and quality of life in chronic rhinosinusitis patients than standard therapy alone. Key words: sterile sea water nasal rinse, chronic rhinosinusitis, NIPF, SNOT-20 Alamat korespondensi: Ade Rahmy Sujuthi, Bagian Ilmu Kesehatan THT FK UNHAS, Makassar. aderahmy@yahoo.com PENDAHULUAN Rinosinusitis kronis (termasuk dengan polip nasi) menurut konsensus internasional european position paper on rhinosinusitis and nasal polyps (EP3OS) adalah: inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala dengan salah satu gejala harus mencakup hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau adanya sekret hidung (anterior/posterior nasal drip), dengan atau tanpa nyeri wajah/tekanan daerah sinus, dengan atau tanpa penurunan atau hilangnya daya penghidu. Disertai salah satu temuan endoskopi: 1) polip; dan atau 2) sekret mukopurulen terutama berasal dari meatus medius dan atau edema/obstruksi mukosa terutama pada meatus medius, dan atau pada gambaran tomografi komputer terdapat perubahan mukosa di daerah kompleks osteomeatal dan atau sinus, dan sudah berlangsung minimal 12 minggu. 1 Penatalaksanaan standar rinosinusitis kronis pada orang dewasa saat ini yang direkomendasikan oleh kelompok studi Rinologi PERHATI-KL meliputi pemberian antibiotik seperti amoksisillin klavulanat, golongan sefalosporin atau antibiotik golongan makrolid. Dapat dikombinasikan dengan pemberian terapi tambahan berupa dekongestan oral, kortikosteroid oral atau

3 topikal, selain itu dapat juga diberikan mukolitik, dan irigasi hidung. 2 Penggunaan air laut steril sebagai semprot hidung diteliti oleh Taccariello. 3 Ia membandingkan efek iritasi hidung dengan cairan basa tradisional dan air laut steril pada pasien rinosinusitis kronis sebagai tambahan terapi standar. Pemberian cuci hidung memperbaiki gambaran endoskopi dan skoring kualitas hidup. Pada kelompok kontrol yang hanya mendapat terapi standar cuci hidung, tidak didapatkan perbaikan tersebut. Perbedaan bermakna antara kedua cairan adalah di mana cuci hidung basa hanya memperbaiki gambaran endoskopik, sedangkan air laut steril semprot hidung memperbaiki gambaran endoskopik dan skoring kualitas hidup. Penilaian efektivitas terapi rinosinusitis dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain nasal peak flow measurement, rhinomanometry, acustic rhinometry, mucocilliary clearance, nasal sitogram dan kualitas hidup penderita. Kuesioner QoL memberikan penilaian kesehatan secara umum maupun secara spesifik. Salah satu instrument yang dapat digunakan untuk menilai QoL adalah sinonasal outcome test 20 (SNOT-20). 4 Sebelumnya juga telah dilakukan penelitian multisenter oleh KODI Rinologi (2008) mengenai efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada rinosinusitis bakterial akut yang menilai perubahan waktu transpor mukosilia, perubahan patensi hidung dengan menggunakan alat ukur nasal inspiratory peak flow meter dan juga menilai perbaikan kualitas hidup berdasarkan SNOT-20 setelah dua minggu penggunaan larutan cuci hidung air laut steril. Sampai saat ini belum ada laporan hasil penelitian yang konsisten tentang prioritas pilihan cairan cuci hidung yang digunakan, maka penelitian yang berkaitan dengan efektivitas hasil terapi cuci hidung sebagai terapi tambahan pada terapi standar rinosinusitis kronis perlu dilakukan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: Bagaimanakah efek larutan cuci hidung air laut steril terhadap patensi hidung dan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronis? Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penatalaksanaan rinosinusitis kronis berdasarkan patensi hidung dan kualitas hidup dengan mengukur nilai patensi hidung pada rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah

4 terapi dengan terapi standar dengan dan tanpa cuci hidung air laut steril kemudian menilai kualitas hidup pasien dengan rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah terapi dengan terapi standar dengan dan tanpa cuci hidung air laut steril, selanjutnya membandingkan nilai patensi hidung penderita rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah terapi standar dengan dan tanpa cuci hidung air laut steril, selanjutnya membandingkan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah terapi standar dengan dan tanpa cuci hidung air laut steril. METODE Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak terkontrol pada dua kelompok dengan menggunakan desain paralel. Berdasarkan ketersamarannya, uji klinis ini merupakan uji klinis terbuka (open trial) di mana baik peneliti maupun subjek mengetahui pengobatan yang diberikan. Penelitian ini dilakukan pada 30 penderita rinosinusitis kronik yang berobat di poliklinik THT RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Semua penderita rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2007, usia tahun, bersedia ikut dalam penelitian (informed consent), tidak bekerja di pabrik dengan pajanan alergen yang tinggi seperti pabrik kayu, kapas, industri kimia, bukan perokok berat, tidak sedang dalam pemakaian obat tetes hidung jangka panjang, tidak ada massa atau tumor hidung/sinus paranasal, tidak memiliki riwayat operasi hidung/sinus sebelumnya, tidak ada septum deviasi berat bukan penderita rinosinusitis atrofi dan tidak terdapat sinekia. Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini dengan cara berurutan sampai tercapai jumlah sampel yang telah ditentukan. Pasien dimasukkan ke kelompok air laut steril atau kelompok terapi standar. Pada penelitian ini seluruh sampel dianamnesis dan mengisi kuesioner, yang berisi skor gejala nasal berupa pertanyaan mengenai gejala sekret hidung, hidung tersumbat, nyeri wajah/tekan daerah sinus berkurang atau hilangnya daya penghidu. Dilakukan pemeriksaan fisis THT berupa pemeriksaan rinoskopi anterior untuk menyingkirkan adanya sinekia, rinitis atrofi, septum deviasi berat, sinekia, polip atau tumor yang mengisi kavum nasi, sehingga mempersulit evaluasi nasal inspiratory peak flow (NIPF) sebagai bahan uji. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi untuk mengevaluasi adanya polip, sekret terutama berasal dari meatus medius, edema mukosa terutama pada meatus

5 medius dan perubahan mukosa pada daerah kompleks ostiomeatal dan sinus. Pengukuran NIPF dilakukan pada seluruh sampel untuk mengukur patensi hidung dengan cara pasien diminta untuk ekspirasi maksimal, sungkup hidung dari NIPF diletakkan menutupi hidung dan mulut dengan rapat kemudian sampel diminta untuk menutup mulut dengan rapat dan melakukan inspirasi maksimal melalui hidung selama satu detik. Hasil dicatat dengan melihat posisi kursor yang berwarna merah di skala. Pemeriksaan diulang sebanyak tiga kali, kemudian hasilnya dipilih yang paling tinggi. Selanjutnya sampel diminta untuk mengisi kuesioner (SNOT-20) yang berhubungan dengan terapi. Skor masing-masing pertanyaan berkisar antara 0 5 dengan nilai tertinggi menunjukkan gejala terberat. Data yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data kemudian dipilih metode statistik yang sesuai, yaitu data yang diperoleh diolah dengan program statistik SPSS for Windows. Uji Mann-Whitney U digunakan untuk menguji adanya perbedaan antara kedua kelompok yang tidak berhubungan. Batas kemaknaan yang digunakan adalah pada nilai α=0,05. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL Karakteristik subjek penelitian meliputi umur, jenis kelamin dan pendidikan. Umur dibagi menjadi lima kategori, dari total jumlah sampel frekuensi terbesar pada kelompok umur tahun, yaitu 18,8% pada kelompok air laut steril dan kelompok umur tahun, yaitu 12,5% pada kelompok terapi standar. Pada tabel 1 terlihat frekuensi dan persentase sampel berdasarkan jenis kelamin pada keseluruhan sampel. Hasilnya menunjukkan 12 sampel berjenis kelamin lakilaki atau sebanyak 37,5% dari jumlah total sampel dan 20 sampel berjenis kelamin perempuan atau sebanyak 62,5% dari jumlah total sampel. Tabel 1. Data karakteristik umum subjek penelitian Karakteristik Kelompok air laut steril n (%) Kelompok standar n (%) Total n (%) Subjek penelitian 22(68,75) 10(31,25) 32(100) Umur

6 18 23 tahun tahun tahun tahun tahun 5(15,6) 6(18,8) 4(12,5) 4(12,5) 3(9,4) 1(3,1) 1(3,1) 2(6,3) 2(6,3) 4(12,5) 6(18,7) 7(21,9) 6(18,7) 6(18,7) 7(21,9) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 8(25) 14(43,8) 4(12,5) 6(18,7) 12(37,5) 20(62,5) Pendidikan SMA Diploma S1 S2 5(15,6) 5(15,6) 8(25) 4(12,5) 3(9,4) 1(3,1) 4(12,5) 2(6,3) 8(25) 6(18,7) 12(37,5) 6(18,7) Pendidikan subjek penelitian dibagi menjadi empat kategori, yaitu: SMA, Diploma, sarjana S1 dan sarjana S2. Frekuensi terbanyak subjek penelitian memiliki pendidikan sarjana S1, yaitu 12 kasus atau 37,5% dari jumlah total sampel menyusul masing-masing subjek penelitian yang memiliki pendidikan SMA, yaitu sebanyak 8 sampel (25%), kemudian Diploma dan sarjana S2, yaitu 6 sampel (18,7%). Pada penelitian ini, hasil yang didapatkan setelah perlakuan yaitu rerata nilai hasil pengukuran NIPF antara sebelum dilakukan semprot hidung, minggu ke-1 dan minggu ke- 2 sesudah dilakukan semprot hidung pada kelompok air laut steril dan kelompok terapi standar dapat dilihat pada tabel 2 dan grafik 1. Tabel 2. Rata-rata nilai NIPF Nilai NIPF Kelompok Air Laut Steril (liter/menit ) Kelompok Terapi Standar (liter/menit) Sebelum perlakuan 73,40 74,50 Mgg 1 sesudah perlakuan 80,45 76,50 Mgg 2 sesudah perlakuan 96,59 76,50 Rata-rata nilai NIPF pada kelompok terapi standar sebelum perlakuan, yaitu 74,5 liter/menit dengan nilai terendah 70 liter/menit dan nilai tertinggi 80 liter/menit. Setelah minggu ke-1 perlakuan didapatkan perbaikan rata-rata sebesar 2 liter/menit (dari rata-rata

7 nilai NIPF 74,50 liter/menit menjadi 76,50 liter/menit), namun setelah minggu ke-2 perlakuan tidak didapatkan perbaikan rata-rata nilai NIPF dari minggu ke-1 setelah perlakuan. Dengan demikian, pada kelompok standar ini perbaikan rata-rata nilai NIPF dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-2 setelah perlakuan hanya sebesar 2 liter/menit. Pada kelompok air laut steril, perbaikan rata-rata nilai NIPF dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-1 sesudah perlakuan adalah sebesar 7,05 liter/menit (dari rata-rata nilai PNIF 73,40 liter/menit menjadi 80,45 liter/menit), kemudian dari minggu ke-1 sesudah perlakuan sampai minggu ke-2 perlakuan, didapatkan perbaikan nilai rata-rata NIPF sebesar 16,14 liter/menit (dari 80,45 liter/menit menjadi 96,59 liter/menit). Dengan demikian, pada kelompok air laut steril ini didapatkan perbaikan rata-rata nilai PNIF dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-2 sesudah perlakuan sebesar 23,19 liter/menit (dari 73,40 liter/menit menjadi 96,59 liter/menit) Gambar 1. Grafik perbandingan rata-rata nilai NIPF kelompok air laut steril dengan kelompok terapi standar Pada tabel 3, dapat dilihat rata-rata persentase perbaikan nilai NIPF dari sebelum sampai sesudah minggu ke-1 perlakuan dan dari sebelum sampai sesudah minggu ke-2 perlakuan, di mana didapatkan rata-rata persentase perbaikan nilai NIPF pada kelompok terapi standar dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-1 sesudah perlakuan adalah sebesar 3,17% dan nilai ini tidak mengalami perbaikan dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-2 sesudah pelakuan. Pada kelompok air laut steril,

8 perbaikan nilai rata-rata persentase NIPF dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-1 sesudah perlakuan adalah sebesar 8,62%, kemudian mengalami perbaikan lagi dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-2 sesudah pelakuan sebesar 23,07%. Tabel 3. Rata-rata persentase perbaikan nilai NIPF Nilai NIPF Sebelum perlakuan Mgg I sesudah perlakuan Sebelum perlakuan Mgg II sesudah perlakuan Kelompok air laut steril (%) Kelompok terapi standar (%) 8,62 3,17 23,07 3,17 Nilai SNOT-20 yang didapatkan setelah perlakuan dapat dilihat pada tabel 4 dan grafik 2, yaitu nilai tengah skor SNOT-20 sebelum perlakuan dan minggu ke-2 sesudah perlakuan pada kelompok terapi standar dan kelompok air laut steril. Tabel 4. Nilai SNOT-20 Median SNOT-20 Kelompok air laut steril Kelompok terapi standar Sebelum Minggu 2 43,50 41,40 33,50 41,50 Terdapat perbaikan selisih nilai tengah skor SNOT-20 dari sebelum perlakuan sampai minggu ke-2 sesudah perlakuan pada kelompok air laut steril, yaitu sebesar 10 (dari 43,5 menjadi 33,5) sedangkan pada kelompok terapi standar tidak ditemukan adanya perbaikan skor SNOT-20. Dengan kata lain, skor SNOT-20 kelompok air laut steril jauh lebih baik dibandingkan dengan kelompok terapi standar. Hal tersebut juga dapat dilihat pada perbandingan nilai SNOT-20 sebelum dan sesudah minggu ke-2 perlakuan pada kedua kelompok berdasarkan uji statistik Wilcoxon sign range test, didapatkan perbaikan yang bermakna nilai skor SNOT-20 (p<0,05) pada

9 kelompok air laut steril sesudah minggu ke-2 perlakuan. Perbedaan kedua kelompok perlakuan dalam memperbaiki kualitas hidup penderita rinosinusitis kronis dapat dibuktikan dengan uji statistik Mann-Whitney U yang menunjukkan bahwa sebelum perlakuan, nilai skor SNOT-20 antara kedua kelompok penelitian tidak terdapat perbedaan yang bermakna, namun sesudah minggu ke-2 terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok perlakuan (p<0,05). Gambar 2. Grafik perbandingan rata-rata nilai SNOT pada kelompok terapi standar dan kelompok air laut steril DISKUSI Pada penelitian ini, perbandingan antara peserta perempuan dan laki-laki adalah 1:1,67. Ottaviano 11 telah melakukan pengukuran patensi hidung dengan menggunakan nasal inspiratory peak flow meter pada populasi orang dewasa sehat berdasarkan umur, jenis kelamin dan tinggi badan. Tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dengan umur atau tinggi badan. Ditemukan berbagai variasi nilai NIPF pada setiap individu yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan setiap variabel pada penelitian tersebut. Frekuensi terbanyak subjek penelitian memiliki pendidikan sarjana S1, yaitu 12 kasus atau 37,5% dari jumlah total sampel menyusul masing-masing subjek penelitian yang memiliki pendidikan SMA, yaitu sebanyak 8 sampel (25%), kemudian diploma dan sarjana S2, yaitu 6 sampel (18,7%). Seorang yang mempunyai pendidikan tinggi biasanya lebih banyak memperhatikan tentang kesehatan, sehingga begitu mengalami gangguan/keluhan segera memeriksakan diri, apalagi jika sampai mengganggu kehidupan sehari-harinya. Dari perbandingan rata-rata nilai NIPF antara kedua kelompok perlakuan didapatkan bahwa pada minggu ke-1 setelah perlakuan, terdapat perbaikan nilai NIPF pada kedua kelompok perlakuan, namun pada minggu ke- 2 sesudah perlakuan didapatkan perbaikan nilai yang lebih baik pada kelompok air laut steril dibandingkan dengan kelompok terapi standar.

10 Berdasarkan uji statistik Wilcoxon sign range test, perbandingan nilai NIPF sebelum dan sesudah pemberian larutan cuci hidung air laut steril didapatkan perubahan nilai yang bermakna antara sebelum perlakuan dengan minggu ke-1 dan minggu ke-2 sesudah pemberian larutan air laut steril (p<0,05), sedangkan pada kelompok terapi standar tidak menunjukkan perubahan yang bermakna (p>0,05). Perbaikan nilai persentase peningkatan aliran udara dalam rongga hidung yang didapatkan pada minggu ke-2 sesudah pemberian larutan cuci hidung air laut steril adalah lebih dari 20%, hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggraeni, 6 yang menggunakan kriteria RAK dengan penurunan NIPF sebesar 20% dari nilai baseline. Dari hasil seperti yang disebutkan di atas dapat dilihat bahwa irigasi dengan semprot hidung air laut steril dapat memperbaiki keadaan klinis hidung. Perbaikan yang tampak sesudah penyemprotan selama dua minggu, yaitu keadaan rongga hidung bersih, keluhan obstruksi hidung berkurang sampai hilang, lendir berkurang, tidak ada krusta, serta edema berkurang. Adanya perbaikan nilai NIPF sesudah minggu ke-1 dan minggu ke-2 terapi menunjukkan bahwa larutan cuci hidung larutan air laut steril efektif digunakan sebagai terapi tambahan pada terapi standar rinosinusitis kronis. Penelitian mengenai irigasi hidung dengan air laut steril masih belum terlalu banyak, sehingga kami tidak bisa lebih banyak membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini terlihat bahwa pemberian semprot hidung larutan cuci hidung air laut steril, dapat mengurangi keluhan penderita rinosinusitis kronis, seperti hidung tersumbat, hidung berlendir, berkurangnya keluhan bersin, serta pasien merasa lebih enak dibandingkan sebelumnya, sehingga kualitas hidup penderita menjadi lebih baik. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian larutan cuci hidung air laut steril sebagai terapi tambahan lebih efektif dibandingkan dengan terapi standar saja dalam memperbaiki patensi hidung dan kualitas hidup pada penderita rinosinusitis kronis. DAFTAR PUSTAKA 1. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology 2007; l20: Soetjipto D. Penatalaksanaan baku sinusitis. Dalam: Kumpulan naskah lengkap kursus pelatihan dan demo BSEF. Makassar, 2000.

11 3. Taccarielo M. Nasal douching as a valuable adjunct in the management of chronic rhinosinusitis. Rhinology 1999; 37(1): Enhage A. Nasal bronchial testing as well as treatment of patients with airway hiperresponsiveness and inflamation focusing on the united airway concept [homepage on the internet]. Sweden, Stockholm: Dept. Clinical Science, Intervention and Technology Div. of Otorhynolaryngology, Karolinka Institute. c2008 [updated 2008 Jan 15; cited 2008 Sept 18]. Available from: 5. Adam P, Stiffman M, Blake R. A clinical trial of hypertonic saline nasal spray in subject with common cold rhinosinusitis. Arch Fam Med 1998; 7: Anggraeni D. Prevalensi rinitis akibat kerja dan faktor risiko yang berhubungan. Studi pada pekerja yang terpajan bahan kimia surfaktan di PT X. Jakarta: FKUI; Anthoni JF. The chemical composition of seawater [homepage on the internet]. c2006 [updated 2006 Mar 23; cited 2007 Oct 11]. Available from: r.htm. 8. Jay F, Piccirillo MD. Sinonasal outcome test 20 (SNOT-20). St. Louis, Missouri: Washington University School of Medicine; Clement Clark International. Introduction to in-check nasal [homepage on the internet]. c2006 [updated 2006 May 21; cited 2007 Nov 15]. Available from: flow/index.html. 10. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; h Ottaviano GK, Scadding S, Coles VJ. Peak nasal inspiratory flow, normal range in adult population. Rhinology 2006; 44: Pidwirny M. Physical and chemical characteristics of seawater. Fundamentals of physical geography. 2 nd ed. Okanagan: University of British Columbia; c [updated 2006 Sept 15; cited 2009 Jul 5]. Available from: als/8p.html. 13. Punagi Q. Pola penyakit Sub-bagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar periode Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL. Makassar: FK UNHAS; Soetjipto D, Wardhani RS. Penatalaksanaan sinusitis. Dalam: Guideline penyakit THT- KL. Jakarta: PERHATI-KL Indonesia; Talbot AR, Herr TM, Parsons D. Muccociliary clearance and buffered hypertonic saline. Laryngoscope 1997; 107: Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy, function and evaluation. Dalam: Bailey BJ,

12 Johnson JT, editors. Head and neck surgeryotolaryngology. 4 th ed. Philadephia: Lippincott Williams&Wilkins; p

The effectiveness of sterile seawater for nose rinsing solution on chronic Rhinosinusitis patient based on nasal patency and quality of life

The effectiveness of sterile seawater for nose rinsing solution on chronic Rhinosinusitis patient based on nasal patency and quality of life JURNAL KEDOKTERAN YARSI 17 (3) : 204-211 (2009) Efektifitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita Rinosinusitis Kronis berdasarkan patensi hidung dan kualitas hidup The effectiveness of sterile

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi

Lebih terperinci

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NACL 0,9% DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Laporan Penelitian hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Sarwastuti Hendradewi, Novi Primadewi, Nurmala Shofiyati Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik 77 BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI 67 68 69 70 Lampiran 4 KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI Nama Jenis kelamin : L/P Pendidikan ANAMNESIS Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban dari pertanyaan berikut : 1. Keluhan yang menyebabkan

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH UNIVERSITAS ANDALAS HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH 1050310202 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung

Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung Laporan Penelitian Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung Rachmawati Djalal, Abdul Qadar Punagi, Andi Baso Sulaiman, Fadjar Perkasa Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2 1 Windy S. Ishak 2 Olivia Pelealu 2 R.E.C Tumbel 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Bedah

Lebih terperinci

Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung

Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung Laporan Penelitian Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung Rachmawati Djalal, Abdul Qadar Punagi, Andi Baso Sulaiman, Fadjar Perkasa Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (RSK) merupakaninflamasi mukosa hidung dan sinus paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia ORLI Vol. 7 No. Tahun 7 Laporan Penelitian Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia Windy Woro Paramyta*, Dini Widiarni*, Retno Sulistyo Wardani*,

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius Laporan Penelitian dengan disfungsi tuba Eustachius Sony Yudianto, Luh Made Ratnawati, Eka Putra Setiawan, Sari Wulan Dwi Sutanegara Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

Hasma Idris Nohong, Abdul Kadir, Muh. Fadjar Perkasa

Hasma Idris Nohong, Abdul Kadir, Muh. Fadjar Perkasa 1 PERBANDINGAN FUNGSI PENGHIDU PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS PRE DAN POST BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL (BSEF) MENURUT HASIL CT SCAN MENGGUNAKAN SNIFFIN STICKS TEST COMPARISON OLFACTORY FUNCTION IN

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata- 1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH Teuku Husni dan Amallia Pradista Abstrak. Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa

Lebih terperinci

Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 Buku Saku European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 PESERT Wytske Fokkens Chair epartment of Otorhinolaryngology msterdam Medical Centre PO Box 22660 1100 msterdam The Netherlands

Lebih terperinci

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum PENGARUH PEMBERIAN PERMEN KARET XYLITOL TERHADAP LAJU ALIRAN SALIVA (Studi Kasus Pada Pasien Radioterapi Kepala dan Leher di RSUP Dr. Kariadi Semarang) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur

Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur l. 44 No.. Tahun 204 ORLI Vol. 44 No.. Tahun 204 Efektivitas Pelargonium sidoides Efektivitas Pelargonium sidoides Laporan Penelitian Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP ANTARA PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS TIPE DENTOGEN DAN TIPE RINOGEN DI RUMAH SAKIT SE-EKS KARESIDENAN SURAKARTA SKRIPSI

PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP ANTARA PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS TIPE DENTOGEN DAN TIPE RINOGEN DI RUMAH SAKIT SE-EKS KARESIDENAN SURAKARTA SKRIPSI PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP ANTARA PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS TIPE DENTOGEN DAN TIPE RINOGEN DI RUMAH SAKIT SE-EKS KARESIDENAN SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang)

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang) PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang) HEMOGLOBIN LEVELS OF NASOPHARYNGEAL CANCER PATIENTS BEFORE

Lebih terperinci

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book Laporan Kasus Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book Bestari Jaka Budiman, Muhammad Rusli Pulungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala & Leher

Lebih terperinci

Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22

Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22 pissn: 0126-074X; eissn: 2338-6223; http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v49n4.1145 Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22 Ichsan Juliansyah Juanda, Teti Madiadipoera,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS RELATION DEGREE ANGLE DEVIASI SEPTUM NASI WITH CONCHA

Lebih terperinci

Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi

Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi Laporan Penelitian Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi Yuwan Pradana, Teti Madiadipoera, Melati Sudiro, Arif Dermawan. Departemen

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU 1 Andreas R. Tumbol 2 R. E. C. Tumbel 2 Ora I. Palandeng 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian/SMF

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinosinusitis Kronis 2.1.1. Definisi Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung

Lebih terperinci

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum 1 PENGARUH PEMBERIAN PERMEN KARET XYLITOL TERHADAP LAJU ALIRAN SALIVA (Studi Kasus Pada Pasien Radioterapi Kepala dan Leher di RSUP Dr. Kariadi Semarang) JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius Laporan Penelitian Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius Tanty Tanagi Toluhula, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH JUS BUAH SIRSAK

ABSTRAK PENGARUH JUS BUAH SIRSAK ABSTRAK PENGARUH JUS BUAH SIRSAK (Annona Muricata Linn.) TERHADAP TEKANAN DARAH NORMAL PADA LAKI-LAKI DEWASA Chandra Wijaya, 2010. Pembimbing I : Jo Suherman, dr., MS, AIF Pembimbing II : Endang Evacuasiany,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 1 Elia Reinhard 2 O. I. Palandeng 3 O. C. P. Pelealu Kandidat skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS - Modul Presbikusis - Modul Serumen Obturans - Modul Rhinitis Alergi Diberikan Pada Mahasiswa Semester V Fakultas Kedokteran Unhas Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE 2008-2012 Oleh : ARCHANAA SAMANTHAN NIM: 100100201 FAKULTAS

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung POLIP NASI REKUREN BILATERAL STADIUM 2 PADA WANITA DENGAN RIWAYAT POLIPEKTOMI DAN RHINITIS ALERGI PERSISTEN Amaliyah-Taufiq FP 1) 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Latar Belakang.

Lebih terperinci

Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah

Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah M. Roikhan Harowi, Soepomo Soekardono, Bambang Udji Djoko R, Anton Christanto Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, Fakultas

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: alat ortodontik cekat, menyikat gigi, chlorhexidine 0,2%, plak dental, indeks plak modifikasi dari PHP Index.

ABSTRAK. Kata kunci: alat ortodontik cekat, menyikat gigi, chlorhexidine 0,2%, plak dental, indeks plak modifikasi dari PHP Index. iv ABSTRAK Pasien pengguna alat ortodontik cekat membutuhkan perawatan ekstra untuk membersihkan giginya dikarenakan komponen alat ortodontik cekat membatasi aksi mekanis sikat gigi untuk menghilangkan

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung BILATERAL RECURRENT NASAL POLYPS STADIUM 1 IN MEN WITH ALLERGIC RHINITIS Pratama M 1) 1) Medical Faculty of Lampung University Abstract Background. Nasal polyps are soft period that contains a lot of fluid

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH 1 HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ASSOCIATION BETWEEN ALLERGIC RHINITIS WITH PEAK EXPIRATORY FLOW MEASUREMENT ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

Korelasi otitis media dengan temuan nasoendoskopi pada penderita rinosinusitis akut

Korelasi otitis media dengan temuan nasoendoskopi pada penderita rinosinusitis akut Laporan Penelitian Korelasi otitis media dengan temuan nasoendoskopi pada penderita rinosinusitis akut Ariel Anugrahani, Teti Madiadipoera, Arif Dermawan Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rinosinusitis a. Definisi Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan rinitis merupakan inflamasi pada membrana mukosa hidung.

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Hubungan Gejala Klinis Dengan Hasil Tes Cukit Kulit Pada Pasien Dengan Rinitis Alergi di RS. H. Adam Malik Medan Bapak/Ibu/Sdr./i yang sangat saya hormati,

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi 29 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Jumlah Sampel Penelitian Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan 44 penderita rinitis alergi

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori Genetik Alergen inhalan Polutan (NO, CO, Ozon) Respon imun hipersensitifitas tipe 1 Rinitis alergi Gejala Pengobatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS RELATIONSHIP TYPE OF NASAL SEPTAL DEVIATION BY MLADINA WITH RHINOSINUSITIS AND FUNCTION

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG Effi Sihaloho,2014. Pembimbing I: Riani Setiadhi, drg., Sp. PM Pembimbing II:

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. - Tempat : RW X Kelurahan Padangsari, Banyumanik, Semarang, Jawa

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. - Tempat : RW X Kelurahan Padangsari, Banyumanik, Semarang, Jawa 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang ilmu Fisiologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian - Tempat : RW X Kelurahan Padangsari, Banyumanik,

Lebih terperinci

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA, PROSEDUR DAN TEMUAN OPERASI PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Tesis Oleh: IZRY NAOMI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA Paula A. Tahtinen, et all PENDAHULUAN Otitis media akut (OMA) adalah penyakit infeksi bakteri yang paling banyak terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA Al-Mujaini A, et all, 2009. Functional Endoscopic Sinus Surgery : Indications and Complications in the Ophthalmic Field. OMJ. 24, 70-80; doi :10.5001/omj.2009.18 Amaruddin dkk, 2005. Hubungan

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK Syaffa Sadida Zahra 1, Anna Mailasari 2, Dwi Marliyawati 2 1 Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran,

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP KUALITAS HIDUP PEROKOK

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP KUALITAS HIDUP PEROKOK PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP KUALITAS HIDUP PEROKOK Delvi Wahyu Oktaviani Usman 1, Anna Mailasari 2, Dwi Marliyawati 2 1 Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PASIEN POLIP HIDUNG DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN Oleh: FETRA OLIVIA SIMBOLON

KARAKTERISTIK PASIEN POLIP HIDUNG DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN Oleh: FETRA OLIVIA SIMBOLON KARAKTERISTIK PASIEN POLIP HIDUNG DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2012-2014 Oleh: FETRA OLIVIA SIMBOLON 120100244 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN Teuku Husni Abstrak. Sinusitis adalah proses peradangan pada ruang sinus. Penelitian

Lebih terperinci

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 1 Andre Ch. T. Palandeng 2 R. E. C. Tumbel 2 Julied Dehoop 1 Kandidat Skrispi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

PERBEDAAN INDEKS HIGIENE ORAL DAN ph PLAK KELOMPOK PEMAKAI DAN BUKAN PEMAKAI PESAWAT ORTODONTI CEKAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN INDEKS HIGIENE ORAL DAN ph PLAK KELOMPOK PEMAKAI DAN BUKAN PEMAKAI PESAWAT ORTODONTI CEKAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN INDEKS HIGIENE ORAL DAN ph PLAK KELOMPOK PEMAKAI DAN BUKAN PEMAKAI PESAWAT ORTODONTI CEKAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Strata-1

Lebih terperinci