BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik"

Transkripsi

1 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis Kronik Sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior), dengan atau tanpa nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema/ obstruksi mukosa di meatus medius) dan atau gambaran tomografi komputer (perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus) (Fokkens et al., 2012). 2. Etiologi dan Patofisiologi Rinosinusitis Kronik Mekanisme patologi utama dan terpenting pada rinosinusitis kronik adalah obstruksi ostium sinus. Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya obstruksi mekanik seperti hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Berbagai variasi atau

2 26 kelainan anatomi seperti haller & agger nasi cell yang menonjol ke arah insersi antero-superior konka media, konka media paradoks, pneumatisasi konka, dan septum deviasi dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik adalah malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes mellitus,, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor predisposisi lingkungan (antara lain polusi udara, debu, udara dingin dan kering, asap rokok) yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia sehingga mengakibatkan gangguan pada sistem transport mukosilier sinus paranasal (Bruce et al., 2010). Rinosinusitis kronik idiopatik biasanya dibagi ke dalam rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan rinosinusitis kronik tanpa polip hidung berdasarkan temuan endoskopik, CT scan sinus paranasal. Dalam bidang etiologi dan patogenesis, rinosinusitis kronik dengan polip hidung lebih berhubungan dengan obstruksi mekanis pada Kompleks Osteo Meatal (KOM) (Probst, 2006; Payne et al., 2011). Di antara yang penting peran fisiologis dari sinus adalah humidifikasi, pemanasan udara inspirasi, dan eliminasi partikel-partikel asing. Humidifikasi dan pemanasan udara terinspirasi melalui sekresi dari kelenjar serosa, yang dapat menghasilkan cairan sampai 1-2 liter per hari. Sekresi sel goblet dan kelenjar mukus memfasilitasi eliminasi dari partikel-partikel asing.

3 Mukus sangat efektif dalam mengangkut partikel yang lebih besar dari 3-5 mikro hingga 80%, tidak hanya patogen anorganik tetapi juga 75% dari bakteri yang memasuki hidung. Mucus blanket juga berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh mempunyai struktur yang sangat dinamis, terus menerus diperbarui setiap menit. Adanya antigen akan merangsang sistem kekebalan tubuh, pergerakan dari epitel bersilia, mendorong mukus kearah ostium sinus, kemudian mengalirkan ke rongga hidung. Mukus tersebut kemudian didorong ke nasofaring untuk ditelan, dan patogen tersebut akan dihancurkan oleh sekresi asam lambung (Becker,2011). Mekanisme primer pertahanan sistem imun natural sinonasal adalah melalui transpor mukosilier. Sekret mukus, yang banyak mengandung antimikroba dan opsonin, secara terus menerus akan dialirkan ke nasofaring, hal ini memberikan proteksi non spesifik pada permukaan mukosa sinonasal. Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis (Becker,2011). Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem. Apabila terjadi udem, mukosa yang berhadapan akan sering bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinusperpustakaan.uns.ac.id 27

4 28 sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus mengakibatkan hipoksia, retensi sekret serta perubahan ph sekret, hal ini merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Bakteri juga memproduksi toksin, toksin akan merusak silia. Hipertrofi mukosa akan memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka sumbatan yang terjadi pada kompleks ostiomeatal sehingga drainase dan aerasi sinus akan menjadi baik. (Jackman dan Kennedy, 2006; Becker,2011). Gambar 2.1. Siklus Rinosinusitis Kronik (Fernandez, 2000)

5 29 3. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa pemberian medikamentosa atau tindakan pembedahan. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATIKL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, pengobatan rinosinusitis kronik adalah pemberian antibiotika lini kedua dari rinosinusitis akut (Soetjipto, 2007). Terapi tambahan dapat berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan salin isotonik (Papsin dan McTavish, 2003; Soetjipto, 2007; Yeung, 2011). Pemakaian antibiotika untuk pengobatan rinosinusitis berdasarkan antibiotika yang telah terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas. The Food and Drug Administration Amerika Serikat seperti dikutip dari Thaler (2001) menyatakan beberapa antibiotika berikut dapat digunakan sebagai pengobatan rinosinusitis kronik yaitu: amoxycillin clavulanate, cefpodoxime, cefuroxime axetil dan untuk pasien dewasa dapat digunakan ciprofloxacin, cefditoren, levofloxacin, moxifloxacin. Jika pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik β-lactam atau merupakan kontraindikasi penggunaan fluoroquinolone, maka azithromycin atau clarithromycin dapat menjadi pilihan alternatif. Pengobatan dengan antibiotika harus dilanjutkan minimal selama hari. Pengobatan yang lebih singkat dapat menimbulkan kekambuhan infeksi dan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotika (Thaler, 2001; Patorn, 2013).

6 30 Pemberian dekongestan memberikan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah hidung, menurunkan aliran darah dan mengurangi odema pada mukosa hidung. Dekongestan oral golongan adrenergik-α agonis misalnya: phenylpropanolamine dan pseudoephedrine. Penggunaan dekongestan topikal (oxymetazoline) dapat digunakan selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala serta untuk meningkatkan kecepatan drainase sinus. Penggunaan dekongestan topikal yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa oleh karena efek rebound vasodilatation (Thaler, 2001). Pemberian mukolitik (guanifesin, ambroxol) berfungsi untuk mengencerkan sekret sehingga membantu fungsi drainase (Thaler, 2001; Levine, 2005; Patorn, 2013). Cuci hidung dengan larutan salin terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronis serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Untuk rinosinusitis kronik baik rinosinusitis kronik dengan polip hidung maupun tanpa polip, cuci hidung digunakan pada algoritma penatalaksanaan rinosinusitis kronik menurut EPOS 2012 (Fokkens et al, 2012)

7 31 Gambar 2.2. Algoritma penatalaksanaan rinosinusitis kronik berdasarkan EPOS 2012 (Fokkens et al, 2012) Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin terbukti aman bagi anakanak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut (Papsin, 2003). Pencucian hidung dengan larutan salin isotonik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pasca pembedahan sinus. Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin isotonis ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Rabago, 2009).

8 32 Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis kronik yang gagal dengan terapi konservatif dan rinosinusitis akut dengan komplikasi intrakranial atau ekstrakranial. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets, 2006). 4. Cuci hidung Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan dengan syringe atau neti pot, sedangkan teknik pencucian hidung dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago, 2009) Irigasi salin banyak digunakan oleh banyak ahli THT untuk menangani rinosinusitis kronik. Variasi dari larutan salin banyak tersedia. Beberapa dalam bentuk tetes atau spray. Berbagai variasi bentuk cara penggunaan tersedia. Banyak penelitian membandingkan variasi dari cara penggunaan cuci hidung, beberapa berpendapat lebih baik mengguakan spray dan beberapa lain nya berpendapat lebih baik dalam bentuk irigasi. (Gupta, 2010) Penggunaan cairan normal salin secara irigasi lebih efektif dibandingkan secara spray dalam mengurangi gejala rinosinusitis dan tidak satupun yang menyebabkan lebih banyak efek samping dibandingkan lain

9 33 nya. Pynnonen et al. Membandingkan efektifitas nasal irigasi dan nasal spray pada 127 pasien dengan rata rata umur 47 tahun yang mengalami gejala sinonasal empat hari dalam seminggu, lebih dari dua minggu dalam 30 hari. Walaupun kedua intervensi ini menghasilkan pengurangan signifikan dalam neratnya gejala, frekuensi gejala dan jumlah pasien yang harus menggunakan teapi tambahan, group yang menggunakan irigasi nasal secara nyata mempunyai hasil yang lebih baik. (Darwin, 2012). Penggunaan irigasi adalah cara sederhana, yang telah teruji dengan baik sebagai tatalaksana karena dapat mengenai epitel mukosa sionasal secara langsung. Telah dibuktikan bahwa spray hidung,tidak memasuki sinus frontal dan sphenoid. Penggunaan cairan dengan volume lebih dari 100 cc memastikan akses ke sinus sinus yang tidak terjangkau dengan spray hidung (Alan, 2014). Mekanisme kerja larutan salin sebagai larutan pencuci hidung belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan dapat memperbaiki fungsi mukosilia hidung melalui efek fisiologisnya yaitu: membersihkan mukosa hidung dari sekret atau krusta, mengurangi udem mukosa, melembabkan kavum nasi, mengurangi mediator inflamasi dan risiko perlengketan mukosa serta mempercepat penyembuhan mukosa pasca pembedahan sinus (Papsin, 2003; Hauptman, 2007; Rabago, 2009; Yeung, 2011).

10 34 Cuci hidung dilakukan dengan melakukan penyemprotan cairan ke bagian superolateral kavum nasi dalam posisi duduk atau posisi berdiri, dengan kepala condong ke kanan atau kekiri dengan sudut sekitar 45 0 sehingga satu lubang hidung berada di atas lubang hidung sisi lain. Hidung dicuci dengan cara mengalirkan cairan cuci hidung pada lubang hidung yang berada di atas sehingga cairan keluar dari lubang hidung sisi lain. Pada saat proses cuci hidung berlangsung, dianjurkan bernafas melalui mulut. Alat cuci hidung difiksasi pada bagian superior dari lubang hidung. Buang napas perlahan melalui kedua lubang hidung setelah proses pencucian selesai untuk membersihkan sisa-sisa cairan dan (Cervin, 2009; Miwa M., 2007). Gambar 2.3.Tehnik pencucian hidung

11 35 Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu penggunaan antibiotika sehingga dapat mening-katkan kepatuhan pasien dan berkurangnya biaya pengobatan (Papsin, 2003). Sediaan larutan salin berupa larutan salin hipotonik (NaCl 0,45%), isotonik (NaCl 0,9%) dan hipertonis (NaCl 3%, 5%, 7%). Larutan cuci hidung salin isotonik dan hipertonik sama-sama dapat memperbaiki waktu transpor mukosilia hidung (Boek et al., 1999; Ural et al, 2009). Kedua larutan tersebut berbeda dalam hal kekuatan osmotik dan gradien konsentrasinya (Hauptman, 2007). Larutan salin isotonik adalah larutan yang tidak memiliki gradien osmotik (Garavello et al., 2003) dan diyakini sebagai larutan yang paling fisiologis terhadap morfologi seluler epitel hidung (Kim et al., 2005), sehingga aman dan nyaman digunakan pada bayi, ibu hamil maupun usia lanjut (Healtley et al., 2001). Pada larutan salin hipertonik, kondisi hiperosmolar di saluran pernapasan menyebabkan pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia sehingga terjadi peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas et al., 1996; Shoseyov et al., 1998). Larutan salin hipertonis juga dapat menginduksi respon neural yang akan menyebabkan perubahan vaskuler pada mukosa hidung dan menimbulkan rasa tidak nyaman berupa sensasi terbakar dan iritasi pada mukosa hidung sehingga akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam penggunaannya (Hauptman, 2007).

12 36 B. Fisiologi transport cairan dan elektrolit di mukosa saluran nafas Proses transportasi ion dan cairan epitel saluran napas menentukan komposisi dan volume cairan permukaan saluran napas (airway surfaceliquid/ ASL) yang merupakan suatu lapisan tipis cairan yang melapisi sel-sel epitel saluran pernapasan. ASL sangat penting dalam proses transportasi mukosilier, pertahanan bawaan terhadap patogen, dan memberikan fungsi humidifikasi pada udara inspirasi. Gerakan cairan transepitel terjadi mengikuti transport aktif ion, terutama ion Na +, Cl - dan bikarbonat (Suarez, 2012). Transport elektrolit oleh sel epitel : mekanisme dan regulasi Secara umum, ion-ion dan molekul kecil dapat masuk dan ke luar sel melalui dua cara, yaitu transpor pasif dan transpor aktif. Transpor pasif tergantung pada gradien kadar elektrolit antara intraselular dan ekstraselular. Jika suatu molekul lebih tinggi kadarnya di dalam sel, maka arah transpor ion akan terjadi dari dalam menuju ke luar sel. Transpor pasif ion-ion selain dipengaruhi kadar elektrolit, juga dipengaruhi perbedaan muatan antara kedua sisi membran (gradien elektrokimia) sehingga transpor pasif tidak memerlukan energi. Pada transpor aktif, ion-ion berpindah melawan gradien kadar elektrolit. Tak sama dengan transpor pasif, transpor aktif memerlukan energi. Transpor aktif tidak akan terjadi tanpa tersedianya energi dalam sel(suarez, 2012).

13 37 Transpor lintas membran tanpa bantuan protein membran, hanya tergantung pada gradien kadar disebut dengan difusi biasa/ simple diffusion (merupakan transpor pasif), sedangkan jika dengan bantuan protein membran dan tergantung gradien kadar (pasif) disebut dengan difusi terfasilitasi (facilitated diffusion). Transpor aktif memerlukan bantuan protein membran (protein carrier) dan energi, karena melawan gradien.. Perubahan konformasi protein carrier akan memindahkan ion/molekul dari satu sisi ke sisi lain membran (King, 2005;Halperin, 2009). Kadar ion-ion dan molekul intraselular tidak selalu sama dengan ekstraselular. Kadar ion potasium (K + ) cairan intraselular dipertahankan lebih besar dibanding kadarnya dalam cairan ekstraselular. Sedangkan kadar ion sodium (Na + ), klorida (Cl - ), dan kalsium (Ca 2+ ) lebih tinggi di cairan ekstraselular. Dengan keadaan tersebut ion potasium cenderung ke luar sel dan ion sodium (juga ion klorida dan kalsium) cenderung masuk ke sel melalui protein channel (pasif) (King, 2005). Untuk mempertahankan kadar ion potasium tetap tinggi dan pada kisaran kadar tertentu di intraselular dan sodium tetap tinggi di ekstraselular, protein membran Na + K + -ATPase (sodium potassium ATPase/ sodium potassium pump) mengkatalisis ATP (adenosin triphosphate) menjadi ADP (adenosin diphosphate), yang dijadikan sebagai sumber energi untuk mengeluarkan kelebihan ion sodium ke ekstraselular dan mengambil kekurangan potasium dari ekstraselular ke intraselular secara aktif karena melawan gradien elektrokimia. Tiap mentranspor 3 ion Na + ke luar sel, pompa sodium memasukkan 2 ion K + ke dalam sel (Lobo, 2013)

14 38 Didalam saluran nafas, transport elektrolit dan cairan dapat terjadi dengan cara sekresi, absorpsi dan resirkulasi ion Na + (King, 2005;Lobo, 2013) a. Sekresi Proses ini terjadi karena adanya proses transport anion secara aktif. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan gradien elektrik di intra dan ekstra sel sehingga mengaktifkan sistem Na + _K + pumps dan mengaktifkan transporter yang tersebar di bagian basal dan lateral membran sel (King, 2005; Lobo, 2013). Dibagian basolateral sel epitel terdapat co-transporter NKCC-1 yang secara aktif berikatan dengan Na + _ K + dan Cl -. Transporter ini bersifat isoelektrik dan dapat bergerak aktif membawa ion-ion kedalam dan keluar sel karena adanya perbedaan gradien konsentrasi (King, 2005; Lobo, 2013). Transporter lain yang berperan penting dibagian basolateral adalah NBC-1 yang berikatan dengan Na +, bikarbonat dan ion karbonat kedalam sel sehingga memiliki peran yang penting dalam regulasi keseimbangan asam dan basa didalam sel saluran pernapasan (King, 2005; Lobo, 2013) b. Absorpsi Ion Na + masuk ke dalam sel melalui channel spesifik, diantaranya adalah Epithelial Na + channel (EnaC) dengan aktifasi Na + _ K + ATP ase, dimana untuk setiap 3 ion Na + yang masuk ke intrasel akan diikuti oleh keluarnya 2 ion K + keluar sel. Masuknya ion Na + juga menarik ion Cl - ke

15 39 dalam intrasel dengan tujuan untuk tetap mempertahankan keadaan isoelektrik. Proses perpindahan elektrolit ini bersifat menarik cairan untuk tetap mempertahankan muatan listrik normal dan juga agar keadaan isotonis tetap terjaga selama proses transpor ion, maka proses absorpsi ini kemudian diikuti oleh proses re-sirkulasi Na +.Proses ini merupakan kelanjutan dari proses absorpsi dimana ion Na + _ K + dan Cl - akan dibawa oleh transporter spesifik di basal membran dan di re-absorpsi dibagian basolateral dimana Na + yang diambil dari basal membran akan keluar melalui saluran di basolateral menuju ruangan intraselular bagian lateral yang diikuti dengan penarikan cairan sehingga keadaan isotonis tetap terjaga(king, 2005; Lobo, 2013). Gambar 2.2. Transpor elektrolit dan cairan di sel epitel saluran nafas (King, 2005) c. Na + K + -ATPase ( Na+/K+ pumps ) Na+ pumps berada di bagian basolateral membran sel epitel. Apabila terdapat perbedaan gradien elektrik di dalam dan luar sel, maka pompa ini

16 40 akan menyediakan energi yang akan digunakan untuk mengaktifkan transporter yang ada di membran sel untuk mengangkut Na+ dari luar sel kedalam sel melalui saluran EnaC (King, 2005; Lobo, 2013) Kecepatan kerja Na+_ K+ pumps dipengaruhi oleh konsentrasi Na+ didalam sel dan meningkat secara drastis dengan peningkatan konsentrasi Na+ (King, 2005; Lobo, 2013). C. Transport cairan dan elektrolit pada rinosinusitis kronik Dari banyak penelitian telah diketahui bahwa infeksi menyebabkan perubahan transport elektrolit dan cairan di dalam sel epitel saluran nafas. Perubahan ini terjadi karena adanya peningkatan kadar ATPase di ekstraselul,er sehingga kadar ATP ekstrasel menurun. Keadaan ini menyebabkan meningkatkan absorpsi Na + dari ASL ke mukosa diikuti dengan perpindahan air dari ASL ke mukosa. Perubahan ini menyebabkan keadaan dehidrasi di ASL dan sebaliknya menimbulkan udem mukosa karena cairan mengisi mukosa di daerah sub mukosa dan tunika adventitia.pada kondisi ini, pergerakan silia terhambat sehingga menyebabkan gagalnya proses mucocilliary clearance (Suarez, 2012) Pada inflamasi epitel saluran nafas terjadi Upregulation ENaC, sehingga terjadi peningkatan absorbsi Na + dan diikuti absorbsi Cl - transepitel jika dibandingkan mukosa sinus normal. Pasali et al (2000) melakukan penelitian dengan menggunakan preparat mukosa sinus paransal dari pasien dengan rinosinusitis kronik,

17 41 didapatkan peningkatan absorbsi Na + meningkat 20%. (Pasali, 2005; Kenji et al, 2006) Pada rinosinusitis kronik terjadi peningkatan absorbsi Na + mengakibatkan terjadinya peningkatan regulasi pada epitel sinus paranasal. Terjadi mekanisme kompensasi untuk membersihkan cairan residu. Hiperabsorbsi dari Na +, menginduksi terjadinya inflamasi dan berkurangnya air permukaan sinus yaitu air surface Liquid, sehingga transport mukosiliar menjadi terganggu, terjadi blokade ostium sinus dan penebalan mukus (Pasali, 2005; Kenji et al, 2006). Gambar 2.4. Transpor ion dan cairan pada mukosa normal dan pada rinosinusitis kronik (Kenji et al, 2006) D. Sumbatan Hidung Pada Rinosinusitis Kronik Keluhan sumbatan hidung menggambarkan adanya kelainan pada rongga hidung baik anatomis, fisiologis maupun patologis. Gejala sumbatan hidung kronis

18 42 terjadi akibat edema mukosa, peningkatan permeabilitas vaskuler dan pelebaran sinusoid di submukosa baik parsial maupun total (Laynaert et al, 2002). Pada rinosinusitis kronik yang di awali dengan gangguan kompleks osteomeatal menyebabkan hidung tersumbat karena di pengaruhi proses inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal (Robert, 2010 ; Fokkens et al., 2012). Hidung tersumbat pada rinosinusitis kronik akibat respon akut inflamasi pada pembuluh darah hidung dan inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh bentuk iritasi hidung, dan oleh infeksi dan alergi. Mekanisme patologi utama dan terpenting rinosinusitis kronik adalah obstruksi ostium. Obstruksi ostium sinus menyebabkan sumbatan hidung yang di sebabkan oleh inflamasi mukosa hidung dan terganggunya ventilasi dan drainase sinus anterior, dan menyebabkan gangguan transpor mukosiliar pada sinus paranasal (Robert, 2010) E. Pemeriksaan Sumbatan Hidung Diagnosis dari gejala sumbatan hidung berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk pengukuran sumbatan hidung. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu parameter untuk menilai suatu sumbatan hidung. Diperlukan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan hidung. Antara lain adalah spatula lidah,peak nasal inspiratory flow meter ( PNIF ), rinomanometri (John 2010 ; Chmielik, 2011; Walsh, 2012).

19 43 1. Spatula lidah Spatula lidah merupakan alat yang paling sederhana yang bisa mengukur sumbatan hidung. Ketika alat lain tidak tersedia alat ini bisa di gunakan. Dengan meletakkan spatula di depan hidung kemudian pasien disuruh bernafas seperti biasa dan mulut tertutup, maka dapat dilihat hembusan nafas dari salah satu lubang hidung di bandingkan yang lain (Wals, 2012). 2. Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) Pada tahun 1980, Youlten memperkenalkan alat PNIF ini yang kemudian di modifikasi oleh wright dengan menambahkan sungkup hidung (Ottaviano, 2006; Rodrigo, 2011). Penggunaan PNIF relatif mudah, bisa diulang bila diperlukan, mudah dibawa karena berukuran kecil dan mempunyai harga yang murah. Pasien perlu diberikan penjelasan tentang pemakaian alat Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF). Alat ini digunakan dengan meletakan face mask menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi di hembuskan melalui hidung dengan memastikan mulut tertutup(rodrigo, 2011). Pengukuran skor sumbatan hidung secara objektif dapat dinilai menggunakan alat ini, termasuk menilai gangguan sumbatan hidung pada penderita rinosinusitis kronik (Ottaviano, 2006). Alat ini bisa juga di gunakan untuk mengetahui adanya sumbatan hidung dengan memperkirakan

20 44 volume aliran udara pada penderita rinosinusitis kronik (Rodrigo, 2011; Fokkens, 2012). Nilai PNIF akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronis (Tabel 1) Nilai Intepretasi <50 l/min Obstruksi hidung berat l/min Obstruksi hidung moderat/sedang l/min Obstruksi hidung ringan >120 l/min Tidak ada obstuksi Tabel Nilai sumbatan hidung pada PNIF ( Ottaviano, 2006) Gambar 2.5. Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) (Ottaviano, 2006 )

21 45 3. Rinomanometri Rinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara hidung dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara hidung. Tes ini berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya bila terdapat perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk dari usaha respirasi yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif terhadap atmosfir eksternal dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar hidung ( Zhang, 2008). Pada tahun 1984, the European Committee for Standardization of Rhinomanometry menetapkan rumus aliran udara nasal : R = ΔP:V pada tekanan 150 P. R = Tahanan terhadap aliran udara (Pa/cm/det) P = Tekanan transnasal (Pa atau CmH2O) V = Aliran udara (Lt/det atau CmH2) Dengan adanya standarisasi ini diharapkan memberikan perbandingan hasil dan perbandingan rentang normal (Zhang, 2008). Rinomanometri dapat dilakukan secara aktif atau pasif dan dengan pendekatan anterior (melalui lubang hidung) atau posterior (melalui mulut ). Rinomanometri anterior aktif lebih sering digunakan dan lebih fisiologis. Tekanan dinilai pada satu lubang hidung dengan satu kateter yang

22 46 dihubungkan dengan pita perekat, sementara aliran udara diukur melalui lubang hidung lain yang terbuka ( Zhang,2008). Rinomanometri relatif membutuhkan waktu mencapai 15 menit. Rinomanometri tidak bisa digunakan jika terjadi sumbatan hidung yang berat atau ketika terdapat perforasi septum (Zhang,2008). Pada rinomanometri posterior aktif, kateter dimasukkan melalui mulut dengan bibir ditutup agar dapat mengukur tekanan faring. Aliran melalui kedua rongga hidung diukur secara bersamaan. Digunakan sungkup hidung transparan yang sama dengan rinomanometri anterior. Teknik ini kurang invasif dan cenderung mendistorsi rongga hidung (Zhang,2008). Rhinometri akustik memberikan nada suara yang dapat didengar ( hz) yang dihasilkan oleh klik elektronik dan dibangkitkan oleh tabung suara. Alat ini dimasukan ke hidung dan aliran udara hidung direfleksikan oleh perubahan local pada akuistik impedansi. Bunyi yang direfleksikan ditangkap oleh mikrofon, diteruskan ke komputer dan dianalisa (Grymer, 1996; Kim, 2007). Terdapat berbagai ukuran nosepiece untuk menghubungkan tabung suara ke hidung. Sangat perlu untuk menyesuaikan nosepiece dengan lubang hidung tanpa menyebabkan deformitas. Pemeriksaan diulang lima kali dan dihitung nilai rata-ratanya (Grymer, 1996; Kim, 2007).

23 47 F. Larutan Salin Larutan garam telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Larutan garam ini dapat digunakan sebagai pelarut obat, atau digunakan sendiri sebagai mukolitik. Jenis larutan garam yang paling banyak digunakan adalah larutan garam fisiologis 0,9%, tetapi akhir-akhir ini semakin banyak penelitian yang meneliti penggunaan larutan garam hipertonis pada penderita rinosinusitis kronik (Robago, 2006). Larutan isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel. Dikarenakan tidak ada perbedaan gradien antara ekstrasel dan intrasel maka tidak terjadi pergerakan jaringan molekul yang melewati membran sel. Pergerakan molekul terjadi secara difusi pada dua arah dengan kecepatan yang sama sehingga sel tidak mengalami kehilangan ataupun kelebihan cairan (Halperin, 2009). Larutan hipotonik adalah suatu larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih rendah (tekanan osmotik lebih rendah) dari pada yang lain sehingga air bergerak ke dalam sel. Dengan menempatkan sel dalam lingkungan hipotonik, tekanan osmotik menyebabkan jaringan mengalirkan air ke dalam sel, sehingga menyebabkan sel mengalami pembengkakan (Halperin, 2009). Larutan hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk

24 48 menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel. Sebagai akibatnya, sel secara morfologis dapat mengkerut dikarenakan kehilangan sejumlah cairan (Halperin, 2009). Atas dasar fisiologis inilah, para peneliti kemudian mulai menggunakan NaCl hipertonik dengan hipotesis dapat mempercepat proses mucocilliary clearance. Larutan hipertonik yang paling banyak digunakan untuk terapi irigasi adalah NaCl 3%. Untuk penggunaan NaCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi masih dihindari oleh karena dapat menyebabkan cell injury (Jongejan, 1991). Elektrolit (meq/l) Na + Cl - mosm/l NaCl 0,9% NaCl 3% Tabel 2.2. Perbedaan cairan NaCl isotonik dan hipertonik ( NaCl 3%). Pada rinosinusitis kronik terjadi dehidrasi di ASL dan sebaliknya menimbulkan udem mukosa karena cairan mengisi mukosa di daerah sub mukosa dan tunika adventitia.pada kondisi ini, pergerakan silia terhambat sehingga menyebabkan gagalnya proses mucocilliary clearance. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka diperlukan terapi yang dapat mengembalikan status hidrasi ASL, mengurangi udem sub mukosa dan memperbaiki reologi mukus agar proses pembersihan mukosilier dapat berjalan dengan optimal (Suarez, 2012, Ater, 2012).

25 49 Cuci hidung NaCl terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronis serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Mekanisme pasti terjadinya belum diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu; pencucian langsung koloni mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung, pengurangan mediator inflamasi, pengurangan udem pada mukosa, pengurangan sekresi musin, peningkatan fungsi mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi gerakan silia, dan perbaikan gejala klinis (Culiq, 2010; Arnold, 2011). Pada saat partikel salin yaitu Na+ dan Cl - bertemu dengan partikel molekul mukus, maka ion Na+ dan Cl - akan memutus ikatan ion yang menyusun mukus menyebabkan peregangan struktur makromolekul mukus sehingga lapisan mukus berkurang ketebalannya(king, 2005; Halperin, 2009). Selanjutnya ion Na+ _ Cl - akan sampai ke permukaan membran mukosa epitel. Karena ada perbedaan gradien elektrik di dalam dan luar sel, maka terjadi penarikan cairan sub mukosa ke ASL, sehingga akan mengurangi udem mukosa sekaligus mengembalikan hidrasi ASL (King, 2005; Halperin, 2009). G. Patofisiologi Larutan Salin Isotonik pada Rinosinusitis Kronik Larutan salin telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Jenis larutan salin yang paling banyak digunakan adalah larutan salin isotonik 0,9%. Larutan salin isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut

26 50 yang sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel (Hernandez, 2007; Robago, 2009). Cuci hidung dengan larutan salin isotonik terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Mekanisme pasti terjadinya belum diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu; pencucian langsung koloni mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung, pengurangan mediator inflamasi, pengurangan udem pada mukosa, pengurangan sekresi musin, peningkatan transpormukosilia dengan meningkatkan frekuensi gerakan silia. Cuci hidung dengan larutan salin isotonik digunakan sebagai terapi tambahan beberapa penyakit sinonasal (termasuk rinosinusitis akut, rinosinusitis kronis, rinitis alergi, dan penyakit sinonasal lainnya) (Culig, 2010, Wei et.al. 2011, Satdhabudha., 2012). H. Patofisiologi Larutan salin Hipertonik pada Rinosinusitis Kronik Larutan hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel. Sebagai akibatnya, sel secara morfologis dapat mengkerut dikarenakan kehilangan sejumlah cairan (Halperin, 2009).

27 51 Larutan salin hipertonik merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurangviskus. Pemberian larutan salin hipertonis menyebabkan keadaan hiperosmolar disaluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dariintraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema siliadan peningkatan ciliary beat. Larutan hipertonis juga memiliki efek mukolitikpada konsentrasi NaCl 7%. Larutan salin hipertonik memiliki efek antibakteri serta dapat mengurangi udema mukosa (Garavello, et al.,2003; Lee, et al., 2003). Pengangkutan aktif terjadi pada penggunaan cairan hipertonik, dimana substansi melewati membran sel dari daerah yang berkonsentrasi rendah ke daerah yang berkonsentrasi tinggi (Hernandez, 2007). Penambahan salin hipertonik pada epitel telah diuji secara eksperimentalhasilnya adalah terjadi peningkatan ASL kembali normal dalam waktu singkat.natrium dan Klorida memasuki sel sebagai respon pemberian salin hipertonik. Menginduksi sejumlah konsentrasi Na dan Cl keluar dari sel melalui daerah basolateral. Salin hipertonik yang menginduksi peningkatan konsentarasi NaCl pada permukaan ASL menghasilkan perbedaan grandien sehingga air dapat bergerak transepitelial dan pada arah yang berlawanan yang dibangkitkan oleh ion transpor aktif, yaitu secara osmotik air berpindah melalui submukosa ke ASL. Aliran air terjadi terue menerus selama kurang lebih detik mengikuti aliran

28 52 hiperosmotik dan selama periode equilibrasi NaCl diserap dengan arah yang berlawanan melalui transeluler dan paraseluler. Terdapat mekanisme elektrochemical yang mendorong Cl- diserap melalui apikal membran. Sehingga Cl- masuk melalui paraseluler dan transeluler melalui Cl cahnnel untuk menyeimbangkan Na+ yang masuk melalui transeluler. Mekanisme ini berusaha untuk menyeimbangkan tingkat absorbsi Cl- melalui transepitel dengan absorbsi Na+ yang relatif tinggi. Sehingga penyerapan air menjadi lebih tinggi pada ASL (Beule AG., 2010; Zhang S., et al, 2011).

29 perpustakaan.uns.ac.id 53 I. Kerangka Teori Faktor Predisposisi: Faktor etiologi: Mukosa hidung dan sinus paranasal - Faktor lingkungan (iritan, polutan) - Usia - Malnutrisi - Defisiensi imun - Obstruksi mekanik (variasi anatomi) - Infeksi (bakteri, virus) - Infeksi odontogen - Alergi Peningkatan aktivitas ENaC Absorbsi Na+ berlebihan Larutan Salin Peningkatan transport ion dan air melewati epitelium Larutan Salin Isotonik Hipertonik Membilas Rehidrasi ASL (+) Gradien Elektrokimia partikel iritan (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+) (+) (+) Berkurang nya ASL Penebalan mukus Udem Submukosa (+)(+) Vasodilatasi Mediator inflamasi pembuluh darah berkurang Gangguan gerak silia berkurang Blokade ostium sinus Rinosinusitis Kronik Terapi konservatitf (medikamentosa, cuci hidung dengan larutan salin) Sumbatan Hidung

30 54 Keterangan gambar : proses akibat : efek larutan salin isotonik : efek larutan salin hipertonik Keterangan Kerangka Teori : Akibat infeksi bakteri dan virus, infeksi odontogen, atau non infeksi (tersering adalah alergi) serta adanya faktor predisposisi yaitu adanya kelainan anatomi, iritan dan polutan, usia, malnutrisi, dan defisiensi imun, terjadi perubahan transport ion pada mukosa sinus paranasal. Pada inflamasi epitel mukosa sinus paranasal terjadi Upregulation ENaC, sehingga terjadi peningkatan absorbsi Na + dan diikuti absorbsi Cl - transepitel jika dibandingkan mukosa sinus normal. Keadaan ini diikuti dengan perpindahan air dari ASL ke mukosa. Perubahan ini menyebabkan keadaan dehidrasi di ASL, penebalan mukus dan sebaliknya menimbulkan udem mukosa karena cairan mengisi mukosa di daerah sub mukosa dan tunika adventitia.pada kondisi ini, pergerakan silia terhambat sehingga menyebabkan gagalnya proses mucocilliary clearance Akibat udem mukosa yang di pengaruhi proses inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal timbul Gejala sumbatan hidung. Gangguan sumbatan

31 55 hidung merupakan gejala untuk rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip hidung. Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa pemberian medikamentosa antibiotik dan terapi tambahan dapat berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan salin. Diperlukan terapi yang dapat mengembalikan status hidrasi ASL, mengurangi udem submukosa dan memperbaiki reologi mukus agar proses pembersihan mukosilier dapat berjalan dengan optimal Larutan salin isotonik maupun hipertonik yang mengandung ion Na+ dan Cl- dapat memperbaiki proses mucocilary clearance dengan merehidrasi airway surface liquid (ASL), sehingga mengurangi udem mukosa, dan memperbaiki reologi mukus. Pada pemberian cairan hipertonik, terjadi rehidrasi ASL dan juga pembersihan dari partikel iritan. Sedangkan pada pemberian larutan salin hipertonis, terjadi pengurangan udem karena adanya gradien elektrokimia. Patofisiologis ini berperan penting dalam perbaikan tingkat sumbatan hidung pada pasien dengan rinosinusitis kronik.

32 56 J. Kerangka Konsep Rinosinusitis Kronik Pemeriksaan tingkat sumbatan hidung sebelum terapi Pemeriksaan tingkat sumbatan hidung sebelum terapi Terapi cuci Hidung dengan larutan Isotonik Terapi cuci Hidung dengan larutan Hipertonik Pemeriksaan tingkat sumbatan hidung sesudah terapi Pemeriksaan tingkat sumbatan hidung sesudah terapi Dibandingkan K. Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan efektivitas antara penggunaan cuci hidung dengan larutan salin isotonik dan hipertonik terhadap tingkat sumbatan hidung pada rinosinusitis kronik

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidung dan Sinus Paranasal 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari lingkungan luar yang tidak menguntungkan.

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik 77 BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik. Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik. Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis menurut European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. paranasal. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. paranasal. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis Kronik Rinosinusitis kronik merupakan peradangan kronis mukosa hidung dan sinus paranasal. Dasar diagnosis rinosinusitis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia : 60 % ( sebagian besar ) terdiri

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BIOLOGI SEL. Chapter IV Sifat Membran Plasma (Transportasi pada Membran)

BIOLOGI SEL. Chapter IV Sifat Membran Plasma (Transportasi pada Membran) BIOLOGI SEL Chapter IV Sifat Membran Plasma (Transportasi pada Membran) Membran Molekul Besar Molekul Kecil Gas ION Ingat Fungsi Protein Transmembran?? Manakah Fungsi Transmembran pada Kasus Ini?? Sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

A. Pengertian Oksigen B. Sifat Oksigen C. Tujuan Oksigenasi D. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen

A. Pengertian Oksigen B. Sifat Oksigen C. Tujuan Oksigenasi D. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen A. Pengertian Oksigen Oksigen adalah suatu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel-sel secara normal yang diperoleh dengan cara menghirup

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan 42 BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini mempunyai tujuan untuk melihat pengaruh perbedaan suhu dan tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan coba post mortem. Penelitian

Lebih terperinci

TERAPI OKSIGEN. Oleh : Tim ICU-RSWS. 04/14/16 juliana/icu course/2009 1

TERAPI OKSIGEN. Oleh : Tim ICU-RSWS. 04/14/16 juliana/icu course/2009 1 TERAPI OKSIGEN Oleh : Tim ICU-RSWS juliana/icu course/2009 1 Definisi Memberikan oksigen (aliran gas) lebih dari 20 % pada tekanan 1 atmosfir sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam darah meningkat

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi

BAB I PENDAHULUAN. dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara anatomis sistem pencernaan manusia dimulai dari rongga mulut. Di dalam rongga mulut terdapat fungsi perlindungan yang mempengaruhi kondisi lingkungan saliva

Lebih terperinci

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Laporan Penelitian Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis Ade Rahmy Sujuthi, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rinosinusitis a. Definisi Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan rinitis merupakan inflamasi pada membrana mukosa hidung.

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

Potensial membran adalah tegangan yang melintasi suatu membran sel yang berkisar dari sekitar -50 hingga -200 milivolt (tanda minus menunjukkan bahwa

Potensial membran adalah tegangan yang melintasi suatu membran sel yang berkisar dari sekitar -50 hingga -200 milivolt (tanda minus menunjukkan bahwa Potensial membran adalah tegangan yang melintasi suatu membran sel yang berkisar dari sekitar -50 hingga -200 milivolt (tanda minus menunjukkan bahwa di dalam sel bersifat negatif dibandingkan dengan di

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar

BAB I PENDAHULUAN. Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel mukosa sinonasal terus menerus terpapar dengan udara lingkungan luar di sekitarnya dan secara konstan berinteraksi dengan agen infeksi. Sistem mukosilia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit bernafas terjadi saat saluran pernafasan memberikan respon yang berlebihan dengan cara menyempit

Lebih terperinci

TRANSPORTASI. Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA Kupang, 2015

TRANSPORTASI. Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA Kupang, 2015 TRANSPORTASI LINTAS SEL Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA Kupang, 2015 Materi Kuliah Biologi Dasar. Jurusan Biologi FST Universitas Nusa Cendana. 2015 Tujuan Transportasi Lintas Membran Ukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidung 2.1.1 Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan

Lebih terperinci

MEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL

MEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL MEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL Berbagai organel yang terdapat di dalam sitoplasma memiliki membran yang strukturnya sama dengan membran plasma. Walaupun tebal membran plasma hanya ± 0,1 μm, membran

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT

LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT TESIS LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA RINOSINUSITIS AKUT NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care

Lebih terperinci

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit: Keseimbangan cairan dan elektrolit: Pengertian cairan tubuh total (total body water / TBW) Pembagian ruangan cairan tubuh dan volume dalam masing-masing ruangan Perbedaan komposisi elektrolit di intraseluler

Lebih terperinci

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( ) DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI (12330713) PENDAHULUAN Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, perkembangan di dunia farmasi pun tidak ketinggalan. Semakin hari semakin

Lebih terperinci

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Laporan Penelitian hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis Sarwastuti Hendradewi, Novi Primadewi, Nurmala Shofiyati Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph Dr. MUTIARA INDAH SARI NIP: 132 296 973 2007 DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN.......... 1 II. ASAM BASA DEFINISI dan ARTINYA............ 2 III. PENGATURAN KESEIMBANGAN

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (RSK) merupakaninflamasi mukosa hidung dan sinus paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saliva adalah cairan kompleks yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem di dalam rongga

Lebih terperinci

PRAKTIKUM 10 AUSKULTASI PARU, SUCTION OROFARINGEAL, PEMBERIAN NEBULIZER DAN PERAWATAN WSD

PRAKTIKUM 10 AUSKULTASI PARU, SUCTION OROFARINGEAL, PEMBERIAN NEBULIZER DAN PERAWATAN WSD PRAKTIKUM 10 AUSKULTASI PARU, SUCTION OROFARINGEAL, PEMBERIAN NEBULIZER DAN PERAWATAN WSD Sebelum melakukan percobaan, praktikan menonton video tentang suction orofaringeal dan perawatan WSD. Station 1:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat besar, realisasi konsumsi bahan bakar minyak nasional pada 2012 mencapai 75,07 juta kiloliter. Volume konsumsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Xerostomia Umumnya perhatian terhadap saliva sangat kurang. Perhatian terhadap saliva baru timbul apabila terjadinya pengurangan sekresi saliva yang akan menimbulkan gejala mulut

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur os nasal merupakan fraktur paling sering ditemui pada trauma muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior wajah merupakan faktor

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diare 2.1.1. Definisi Diare Menurut Latief, dkk. (2005), diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dan frekuensinya lebih banyak

Lebih terperinci

The effectiveness of sterile seawater for nose rinsing solution on chronic Rhinosinusitis patient based on nasal patency and quality of life

The effectiveness of sterile seawater for nose rinsing solution on chronic Rhinosinusitis patient based on nasal patency and quality of life JURNAL KEDOKTERAN YARSI 17 (3) : 204-211 (2009) Efektifitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita Rinosinusitis Kronis berdasarkan patensi hidung dan kualitas hidup The effectiveness of sterile

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare merupakan penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia, selain itu diare juga membunuh 1.5 juta anak tiap tahunnya. Angka kejadian diare akut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DASAR CAIRAN & ELEKTROLIT

KEBUTUHAN DASAR CAIRAN & ELEKTROLIT KEBUTUHAN DASAR CAIRAN & ELEKTROLIT Disampaikan pada kuliah KDDK_1_2011 Komposisi cairan tubuh Fungsi cairan tubuh Faktor berpengaruh pada kebutuhan cairan Kebutuhan cairan tubuh Intake dan output cairan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini zaman semakin berkembang seiring waktu dan semakin memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. Saat ini tingkat ozon naik hingga

Lebih terperinci