BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Partisipasi berasal dari bahasa latinpartisipare yang mempunyai arti dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Partisipasi berasal dari bahasa latinpartisipare yang mempunyai arti dalam"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Partisipasi Masyarakat Pengertian partisipasi Partisipasi berasal dari bahasa latinpartisipare yang mempunyai arti dalam bahasa Indonesia mengambil bagian atauturut serta (Safi i, 2007). Menurut Soelaiman (1985) bahwapartisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program dan pembangunan masyarakat, yang di laksanakan di dalam maupun di luar lingkungan masyarakat atas dasar rasa kesadaran dan tanggungjawab. Hal senada diutarakan oleh Soetrisno (2004) bahwa partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Partisipasi menurut Sutarto (1980) adalah turut sertanya seseorang baik secara langsung maupun emosional untuk memberikan sumbangan-sumbangan kepada proses pembuatan keputusan terutama mengenai persoalan-persoalan dimana keterlibatan pribadi seseorang yang bersangkutan melaksanakan akan tanggung jawab untuk melaksanakan hal tersebut.

2 Menurut Suherlan dalam Khadiyanto (2007) partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah. Partisipasi masyarakat merupakan pendekatan pembangunan yang memandang masyarakat dalam konteks dinamis yang mampu memobilisasi sumber daya sesuai dengan kepentingan, kemampuan dan aspirasi yang dimiliki,baik secara individu maupun komunal (Hall,1986). Begitu pula menurut Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979) bahwa partisipasi sebagai keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara kerjanya, keterlibatan masyarakat dalamketerlibatan program dan pengambilan keputusan yang telah ditetapkan melaluisumbangan sumber daya atau bekerja sama dalam suatu organisasi, keterlibatanmasyarakat menikmati hasil dari pembangunan, serta dalam evaluasi padapelaksanaan program. Hal senada diungkapkan Nasdian (2006) bahwa pemberdayaan merupakan jalan atau saranamenuju partisipasi. Menurut Canter (1977) partisipasi adalah proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan. Secara sederhana Canter mendefinisikan sebagai feedforward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).

3 Menurut Goulet (1989) partisipasi adalah suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1994) sebagai berikut: 1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; 2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; 3. Partisipasi masyarakat merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Kesediaan bertanggung jawab merupakan elemen yang tidak bisa terpisahkan dari pengertian partisipasi (Sutarto,1980). Menurut Jones (1996) bahwa salah satu tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan terletak pada proses implementasinya. Menurut Alastraire White dalam Sastropoetro (1988), ada 10 alasan pentingnya partisipasi masyarakat, yaitu:

4 1. Dengan berpartisipasi lebih banyak hasil kerja yang dapat dicapai. 2. Dengan partisipasi pelayanan atau service dapat diberikan dengan biaya murah. 3. Partisipasi memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta, karena menyangkut kepada harga diri. 4. Partisipasi merupakan katalisator untuk pembangunan selanjutnya. 5. Partisipasi mendorong timbulnya rasa tanggung jawab. 6. Partisipasi menjamin, bahwa suatu kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat telah dilibatkan. 7. Partisipasi menjamin bahwa pekerjaan dilaksanakan dengan arah yang benar. 8. Partisipasi menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan yang terdapat dalam masyarakat, sehingga terjadi perpaduan beberapa keahlian. 9. Partisipasi membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang lain. 10. Partisipasi lebih menyadarkan manusia terhadap penyebab kemiskinan, sehingga menimbulkan kesadaran terhadap usaha untuk mengatasinya Bentuk partisipasi masyarakat Menurut Ericson dalam Slamet (1993) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 tahap, yaitu:

5 1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan aktif dalam mengikuti rapat warga dan juga ikut memberikan usulan, saran dan kritik pada rapat tersebut; 2. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi padatahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaansuatu proyek. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut; 3. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Partisipasi pada tahap inimaksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyeksetelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyekyang telah dibangun. Masih menurut C. Ericson dalam Slamet (1993) partisipasi dalam tahap pelaksanaan, yangpengukurannya bertitik pangkal pada sejauhmanamasyarakat secara nyata terlibat di dalam aktivitas-aktivitasriil yang merupakan perwujudan programprogramyang telah digariskan dalam kegiatan fisik.

6 Adapun modus partisipasi masyarakat menurut UNCRD dalam Komarudin (1997) yaitu keterlibatan masyarakat dalam kegiatan proyek,pemilihan tenaga kerja yang tepat,keikutsertaan dalam berbagai kegiatan,kontribusi sesuai dengan keahlian masing-masing. Menurut rumusan Direktur Jendral Pengembangan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negri yang dikutip oleh Sudriamunawar (2006) yang menjadi bentuk partisipasi yang diperinci dalam jenis-jenis partisipasi adalah sebagai berikut: 1. Partisipasi Buah Pikiran. 2. Partisipasi Tenaga dan Fisik. 3. Partisipasi Ketrampilan dan Kemahiran. 4. Partisipasi Harta Benda. Menurut pendapat Keith Davis dalam Sastropoetro (1988)bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah berupa: 1. Konsultasi,biasanya dalam bentuk jasa, 2. Sumbangan spontan berupa uang dan barang, 3. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu/instansi yang berada di luar lingkungan tertentu (pihak ketiga), 4. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya olehmasyarakat, 5. Sumbangan dalam bentuk kerja, 6. Aksi massa,

7 7. Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa mandiri dan, 8. Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom. Konkon dan Suryatna (1978) memberikan tawaran bahwa partisipasi dapat diwadahi dalam: 1. Buah pikiran,dalam hal ini seperti rapat, diskusi, seminar, pelatihan dan penyuluhan, 2. Tenaga,seperti gotong royong, 3. Harta benda dan, 4. Keterampilan. Adapun bentuk partisipasi yang mungkin dari wadah tersebut menurutkonkon (1978) adalah sebagai berikut: 1. Sumbangan tenaga fisik, 2. Sumbangan finansial, 3. Sumbangan material, 4. Sumbangan moral (nasihat, petuah, amanat) dan 5. Sumbangan keputusan. Keith Davis dalam Sastropoetro (1988) mengemukakan beberapa jenis partisipasi masyarakat meliputi: 1. Pikiran; 2. Tenaga; 3. Pikiran dan tenaga; 4. Keahlian;

8 5. Barang; dan 6. Uang. Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakatikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan. Sementara itu,partisipasi tidak langsung berwujud bantuan keuangan, pemikiran dan material yangdiperlukan (Wibisana, 1989). Menurut Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979), tahap pelaksanaan merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek. Menurut Taufiqullah (2007), partisipasi masyarakat dalam hal sumbangan tenaga dapat juga diartikanbahwa bentuk partisipasi masyarakat berkaitan dengan kemampuannya untuk berkontribusi. Davis dan Newstrom (1989) menyebutkan bahwa salah satu esensi dari partisipasi adalahketerlibatan yang berarti adanya keterlibatan mental dan emosional dibanding hanya aktivitas fisik,sehingga dengan itu maka partisipasi secara sukarela lebih jelas dibanding mobilisasi. Pandangan lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Mubyarto (1984:35), partisipasi masyarakat dalam pembangunan harus diartikansebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuaikemampuan setiap orang tanpa berarti mengorban kepentingan dirisendiri.

9 2.1.3 Tingkat partisipasi masyarakat Menurut Sherry Arnstein pada makalahnya yang termuat di Journal of the AmericanInstitute of Plannersdengan judul A Ladder of Citizen Participation (1969) bahwa terdapat delapan tangga tingkat partisipasi masyarakat (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Delapan Tangga Tingkat Partisipasi Masyarakat Sumber: Arnstein, 1969

10 1. Manipulasi (Manipulation) Manipulation merupakan tingkat partisipasi yang paling rendah dan sebagai tangga pertama dari delapan anak tangga partisipasi. Pada tingkatan ini pemerintah membuat program pembangunan kemudian membentuk komite (Badan Penasehat) untuk mendukung pemerintah. Dengan dibentuknya komite tersebut, pemerintah memanipulasi masyarakat sehingga munculnya anggapan bahwa program tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat hanya dijadikan kendaraan oleh pemerintah, sehingga mengakibatkan tidak adanya peran serta masyarakat. 2. Terapi (Therapy) Therapy merupakan tangga kedua. Pada tingkatan ini, terapi digunakan untuk merawat atau menyembuhkan penyakit masyarakat akibat adanya kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin ataupun kesenjangan kekuasaan dan kesenjangan ras yang telah menjadi penyakit di masyarakat. Pada tingkat ini, pemerintah membuat berbagai program pemerintah yang hanya bertujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi sebagai upaya untuk "mengobati" masalahmasalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.

11 3. Pemberian Informasi (Informing) Informingmerupakan tangga ketiga. Tingkatan ini merupakan transisi antara non participation dengan tokenism. Pada tingkat ini terdapat 2 karakteristik yang bercampur, yaitu: a. Pertama, pemerintah memberi informasi mengenai hak, tanggung jawab, dan berbagai pilihan masyarakat, hal ini adalah langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. b. Kedua, pemberian informasi hanya bersifat komunikasi satu arah (dari pemerintah kepada masyarakat) berupa negosiasi terhadap rencana program yang akan dilakukan, tanpa adanya umpan balik (feedback) dari masyarakat sehingga kecil kemungkinan untuk mempengaruhi rencana program pembangunan tersebut. Media massa, poster, pamflet, pamflet dan tanggapan atas pertanyaan, merupakan alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah. 4. Konsultasi (Consultation) Consultation merupakan tangga keempat. Pada tingkatan ini pemerintah memberi informasi dan mengundang opini masyarakat. Arnstein menyatakan bahwa tingkat ini merupakan tingkat yang sah menuju tingkat partisipasi penuh. Komunikasi dua arah ini sifatnya tetap buatan (artificial)karena tidak dijadikannya ide-ide dari masyarakat sebagai bahan pertimbangan. Bentuk konsultasi masyarakat adalah survai tentang pola pikir masyarakat, pertemuan

12 antar tetangga, dan dengar pendapat publik. Di sini partisipasi tetap menjadi sebuah ritual yang semu. 5. Perujukan (Placation) Placation merupakan tangga kelima. Pada tingkatan ini masyarakat sudah mulai mempunyai pengaruh terhadap program pemerintah, ini terbukti sudah adanya keterlibatan masyarakat yang ikut menjadi anggota komite (badan kerjasama) yang terdiri dari wakil-wakil dari instansi pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah membiarkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memberikan saran atau usul, tetapi keputusan masih dipegang oleh elit kekuasaan. Hal ini disebabkan jumlah masyarakat pada anggota komite masih terlalu sedikit dibandingkan dengan anggota instansi pemerintah. 6. Kemitraan (Partnership) Partnership merupakan tangga keenam. Pada tingkatan ini masyarakat memiliki kekuatan bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Pemerintah membagi tanggung jawab dengan masyarakat terhadap perencanaan, pengambilan keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai permasalahan melalui badan kerjasama. Setelah ada kesepakatan tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak. 7. Pelimpahan Kekuasaan (Delegated Power) Delegated Power merupakan tangga ketujuh. Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kekuasaan untuk membuat keputusan pada rencana atau program-progam pembangunan yang bermanfaat bagi mereka. Untuk

13 memecahkan permasalahan yang ada, pemerintah harus mengadakan tawar menawar dibandingkan dengan memberi tekanan kepada masyarakat. 8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control) Citizen Control merupakan tangga kedelapan dan merupakan tingkat partisipasi tertinggi. Pada tingkat ini, masyarakat mempunyai kekuatan penuh untuk mengukur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Masyarakat mempunyai kewenangan penuh dibidang kebijaksanaan dan masyarakat dapat langsung berhubungan dengan pihakpihak luar untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melalui perantara pihak ketiga. Arnstein (1969) secara umum membagi delapan tangga tersebut dalam tiga kelompok besar, yaitu sebagai berikut: a. Tidak ada peran serta atau non participation yang meliputi manipulation dan therapy. b. Peran serta masyarakat dalam bentuk tinggal menerima beberapa ketentuan atau degrees of tokenism yang meliputi informing, consultation dan placation. c. Peran serta masyarakat dalam bentuk mempunyai kekuasaan atau degrees of citizen power yang meliputi partnertship, delegated power dan citizen control.

14 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat Adabeberapafaktor-faktoryangmempengaruhi pemberdayaan masyarakat, yang oleh Sumaryadi (2005) dijabarkan menjadi 8 faktor yang berpengaruh sebagai berikut: 1. Kesediaan suatu komunitas untuk menerima pemberdayaan bergantung pada situasi yang dihadapinya. 2. Pemikiran bahwa pemberdayaan tidak untuk semua orang, dan adanya persepsi dari pemegang kekuasaan dalam komunitas tersebut bahwa pemberdayaan dapat mengorbankan diri mereka sendiri. 3. Ketergantungan adalah budaya, dimana masyarakat sudah terbiasa berada dalam hirarki, birokrasi dan kontrol manajemen yang tegas sehingga membuat mereka terpola dalam berpikir dan berbuat dalam rutinitas. 4. Dorongan dari para pemimpin setiap komunitas untuk tidak mau melepaskan kekuasaannya, karena inti dari pemberdayaan adalah berupa pelepasan sebagian kewenangan untuk diserahkan kepada masyarakat sendiri. 5. Adanya batas pemberdayaan, terutama terkait dengan siklus pemberdayaan yang membutuhkan waktu relatif lama dimana pada sisi yang lainkemampuan dan motivasi setiap orang berbeda-beda. 6. Adanya kepercayaan dari para pemimpin komunitas untuk mengembangkan pemberdayaan komunitasnya. 7. Pemberdayaan tidak kondusif bagi perubahan yang cepat.

15 8. Pemberdayaan membutuhkan dukungan sumber daya (resource) yang besar, baik dari segi pembiayaan maupun waktu. Menurut Plumer dalam Suryawan (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah: 1. Pengetahuan dan keahlian. Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh lingkungan dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat memahami ataupun tidak terhadap tahapan dan bentuk dari partisipasi yang ada; 2. Pekerjaan masyarakat. Biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akan dapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi; 3. Tingkat pendidikan dan buta huruf. Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada; 4. Jenis kelamin. Sudah sangat diketahui bahwa sebagian masyarakat masih menganggap faktor inilah yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan mempunyai persepsi dan pandangan berbeda terhadap suatu pokok permasalahan.

16 Menurut Sastropoetro (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri, penginterpretasian yang dangkal terhadap agama, kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi, tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah kepada timbulnya persepsi yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya terjadi di beberapa negara dan tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan. Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam suatu program adalah segala sesuatu yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, dan jumlah serta pengalaman berkelompok. Menurut Slamet (1994) faktor-faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian Jenis Kelamin Partisipasi dari kaum laki-laki dan perempuan terhadap sesuatu hak akan berbeda. Hal ini terjadi karena adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat yang membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan pada derajat yang berbeda.

17 Perbedaan ini pada akhirnya melahirkan kedudukan dan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Disamping itu, hal ini juga akan membedakan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat (Soekanto, 1983). Menurut Soedarno et.al (1992) dalam Yulianti (2000) bahwa didalam sistem pelapisan atas dasar seksualitas ini, golongan pria memiliki hak istimewa dibandingkan golongan wanita. Dengan demikian maka kecenderungannya, kelompok pria akan lebih banyak berpartisipasi. Kaum laki-laki juga memiliki tingkat mobilitas yang lebih besar dan tingkat kreativitas yang tinggi dibandingkan dengan kaumperempuan sehingga dalam pelaksanaan kegiatan kemasyarakatan tingkatkerjasama dan gotong royong pada kaum laki-laki lebih kentara dibanding kaumperempuan yang lebih banyak bekerja secara individu dalam lingkup lingkunganyang lebih kecil (Zaki, 2010). Masih menurut Zaki (2010) terlihat bahwa kaum laki-laki memberikan respon yang baikterhadap program pemberdayaan masyarakat, sedangkan kaum perempuancenderung memberikan respon yang baik dan cukup.kaum laki-laki cenderung untuk memberikan tanggapan dan memberikandukungan yang lebih besar dalam upaya untuk membangun masyarakat di komunitasnya dibandingkan kaum perempuan Usia

18 Menurut Soedarno et.al (1992) dalam Yulianti (2000) bahwa perbedaan usia juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Dalam masyarakat terdapat pembedaan kedudukan dan derajat atas dasar senoritas, sehingga akan memunculkan golongan tua dan golongan muda, yang berbeda-beda dalam hal-hal tertentu, misalnya menyalurkan pendapat dan mengambil keputusan. Usia berpengaruh pada keaktifan seseorang untuk berpartisipasi (Slamet, 1994). Dalam hal ini golongan tua yang dianggap lebih berpengalaman atau senior, akan lebih banyak memberikan pendapat dalam hal menetapkan keputusan. Hal berbeda dinyatakan Silaen (1998) dalam Wicaksono (2010) bahwa semakin tua umur seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru semakin rendah. Hal ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang baru. Semakin tua seseorang, relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan tersebut mempengaruhi partisipasi sosialnya. Oleh karena itu, semakin muda umur seseorang, semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam suatu kegiatan atau program tertentu. Menurut Yulianti (2012) bahwaumur mempengaruhi bentuk sumbangan yang diberikan responden, usia produktif lebih banyak menyumbangkan tenaga Tingkat pendidikan Faktor pendidikan dianggap penting karena melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dengan orang luar, dan cepat

19 tanggap terhadap inovasi. Dengan demikian dapat dipahami bila ada hubungan antara tingkat pendidikan dan peran serta (Slamet, 1994). Demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan bahwa Litwin (1986) dalam Yulianti (2000) menyatakan bila salah satu karakteristik partisipan dalam pembangunan partisipatif adalah tingkat pengetahuan masyarakat tentang usahausaha partisipasi yang diberikan masyarakat dalam pembangunan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Semakin tinggi latar belakang pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan bentuk serta tata cara partisipasi yang dapat diberikan. Ajiswarman (1996) dalamwicaksono (2010) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap sesuatu hal yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk menerima hal-hal baru yang ada disekitarnya. Menurut Verianto (1979) pengetahuan adalah proses pendidikan seumur hidup yang sesungguhnya dimana tiap tiap individu memperoleh sikap, nilai-nilai ketrampilan, baik dari pendidikan formal maupun pendidikan informal, pengaruh pendidikan, pekerjaan dan pengalaman mass media. Menurut Yulianti (2012) bahwa pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang PNPM memberikan pengaruh terhadap kehadiran dan keaktifan dalam kegiatan pembangunan. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia mengakibatkan kurangnya partisipasi yang diberikan (Patabang, 2010).

20 2.2.4 Tingkat penghasilan Tingkat penghasilan juga mempengaruhi partisipasi masyarakat. Menurut Barros (1993) dalam Yulianti (2000), bahwa penduduk yang lebih kaya kebanyakan membayar pengeluaran tunai dan jarang melakukan kerja fisik sendiri. Sementara penduduk yang berpenghasilan pas-pasan akan cenderung berpartisipasi dalam hal tenaga. Besarnya tingkat penghasilan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Tingkat penghasilan ini mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat hanya akan bersedia untuk mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka (Turner dalam Panudju,1999). Menurut Fatah (2006) yang menyatakan bahwa pada keluarga sejahtera kemampuan untuk turut berkontribusidalam hal menyumbang dalam bentuk dana lebih besar dibandingkan dengan keluarga miskin, sedangkan Nurlela (2004) dalam Wicaksono (2010) mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan seseorang tidak mempengaruhi partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan Mata pencaharian Menurut Slamet (1994) partisipasi berkaitan dengan tingkat penghasilan seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mata pencaharian dapat

21 mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal ini disebabkan pekerjaan akan berpengaruh terhadap waktu luang seseorang untuk terlibat dalam pembangunan, misalnya dalam hal menghadiri pertemuan, kerja bakti dan sebagainya. Menurut Fatah dalam Faisal Nur (2009) bahwa masyarakat dengan tingkatkesejahteraan yang baik mempunyai waktu dan kesempatan untuk berpartisipasi dengan baik pula,sementara yang tingkat kesejahteraannya kurang baik, waktu yang ada dipergunakan untuk mencarinafkah sehingga waktu untuk berpartisipasi kurang. Faktor pekerjaan mempengaruhi bentuk sumbangan yang diberikan (Yulianti, 2012). 2.3 Hambatandalam Partisipasi Masyarakat Hambatan atau kendala dalam partisipasi tergantung pada situasi setempat, menurut Laporan Bappenas (2001) adalah: 1. Waktu, masyarakat akan meluangkan waktunya untuk proyek apabila mereka merasa bahwa proyek berguna. 2. Menyusun dan membuat pandangan mereka sendiri, partisipasi akan menjadi kendala apabila dalam forum forum masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk menyalurkan pandangan mereka.

22 3. Sikap profesional, sikap dari para pelaksana (pendamping dan aparat pemerintah) harus berpihak kepada masyarakat. Mereka harus percaya kepada kemampuan masyarakat dan dapat membagi pengetahuannya. Menurut Sunarti (2003) kemiskinan merupakan hambatan-hambatan yang dapat ditemui dalam pelaksanaanpartisipasi oleh masyarakat. Menurut Slamet (1994) bahwa ada dua faktor yang menyebabkanorang kurang berpartisipasi adalah: 1. Mereka mengetahui bahwa final decisionbukan pada mereka tetapi ada pada orang-orang yang mempunyai kekuasaan. 2. Tidak adanya kepentingan khusus yang mempengaruhinya secara langsung. Tingginya animo masyarakat dalam berpartisipasi, agar warga mampumengontrol keputusan-keputusan yang mempengaruhi nasib mereka (Slamet, 1994). Menurut Huraerah (2007) tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu. Ketidakpuasan terhadap program pemerintah juga merupakan salah satu hambatan dalam berpartisipasi, seperti yang dinyatakan oleh Jewel dan Siegal (1992) bahwa kepuasan adalah ungkapan tentang bagaimana sesuatu dapat memberikan

23 manfaat bagi individu yang berarti bahwa apa yang diperolehnya sudah menuhi keinginan apa yang dianggap penting atau dengan kata lain dapat mengakomodir kebutuhannya. 2.4 Resume Kajian Pustaka Partisipasi aktif masyarakat menjadi landasan utama pada program pembangunan yang bersifat bottom-up. Partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan, pelaksanaan program dan evaluasi pada pelaksanaan program. Adapun yang menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan suatu program terletak pada proses implementasinya karena tahap pelaksanaan merupakan tahap terpenting dalam pembangunan. Tingkat partisipasi masyarakat dapat diukur berdasarkan delapan anak tanggapartisipasisherryarsnteinyangmeliputi: manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power, dan citizen control. Adapun bentuk partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan berupa sumbangan tenaga fisik, sumbangan finansial, sumbangan material, sumbangan moral (nasihat, petuah, amanat), sumbangan keahlian dan sumbangan keputusan. Adapun yang menjadi hambatan atau kendala dalam partisipasi salah satunya adalah ketidakpuasan terhadap program pemerintah. Kemiskinan juga merupakan hambatan yang dapat ditemui dalam pelaksanaanpartisipasi oleh masyarakat

24 Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan variabel yang dapat membantu penelitian ini sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1.

25 Tabel 2.1 Resume Kajian Pustaka PENELITI TEORI VARIABEL TERPILIH Tingkat Partisipasi Masyarakat Sherry Arnstein (1969) 1. Manipulasi (Manipulation) Konkon dan Suryatna (1978) Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979) 2. Terapi (Therapy) 3. Pemberian Informasi (Informing) 4. Konsultasi (Consultation) 5. Penentraman (Placation) 6. Kemitraan (Partnership) 7. Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power) 8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control) 1. Tahapan Partisipasi yang di pilih adalah Tahap Pelaksanaan (implementation stage) Bentuk partisipasi adalah sebagai berikut: sumbangan tenaga fisik, sumbangan finansial, sumbangan material, sumbangan moral (nasihat, petuah, amanat) dan 2. Partisipasi dibagi dua yaitu: sumbangan keputusan. a. Partisipasi Langsung Tahap pelaksanaan merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasipada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuksumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk keterlibatansebagai anggota proyek. b. Partisipasi Tidak Langsung Soelaiman (1985) Sastropoetro (1988) Partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat dalam 3. Tingkat Partisipasi Masyarakat proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program dan pembangunan masyarakat, yang di laksanakan di dalam maupun di luar lingkungan 1. Manipulasi (Manipulation) masyarakat atas dasar rasa kesadaran dan tanggungjawab Jenis-jenis partisipasi masyarakat meliputi: pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, keahlian, barang dan uang. 2. Terapi (Therapy) 3. Pemberian Informasi (Informing) 4. Konsultasi (Consultation) 5. Penentraman (Placation) 6. Kemitraan (Partnership) Wibisana (1989) Davis dan Newstrom (1989) Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat ikut memberikan bantuan 7. Pendelegasian Kekuasaan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan. Sementara itu, partisipasi tidak langsung (Delegated Power) berwujud bantuan keuangan, pemikiran dan material yang diperlukan 8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control) Salah satu esensi dari partisipasi adalah keterlibatan yang berarti adanya keterlibatan mental dan emosional dibanding hanya aktivitas fisik, sehingga dengan itu maka partisipasi secara sukarela lebih jelas dibanding mobilisasi.

26 Tabel 2.1 (Lanjutan) PENELITI RUJUKAN VARIABEL TERPILIH Ericson dalam Slamet (1994) Bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 tahap: 1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage ). 2. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). 3. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage ) 4. Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan, meliputi: 1. Tingkat keterlibatan dalam pekerjaan fisik, yaitu: Suherlan dalam Partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat sebagai a. Partisipasi Tenaga dan Fisik. Khadiyanto (2007) sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah b. Partisipasi Ketrampilan dan Kemahiran. C. Ericson dalam Slamet (1994) Partisipasi dalam tahap pelaksanaan, yang pengukurannya bertitik pangkal pada 2. Tingkat keterlibatan dalam sejauh mana masyarakat secara nyata terlibat di dalam aktivitas aktivitas riil yang pekerjaan Non Fisik, yaitu : merupakan perwujudan program program yang telah digariskan dalam kegiatan fisik. a. Partisipasi Buah Pikiran. b. Partisipasi Harta Benda. c. Sumbangan material. Adapun modus partisipasi masyarakat, yaitu keterlibatan masyarakat dalam UNCRD dalam kegiatan proyek, pemilihan tenaga kerja yang tepat, keikutsertaan dalam berbagai d. Sumbangan moral (nasihat, petuah, Komarudin (1997) kegiatan, kontribusi sesuai dengan keahlian masing-masing. amanat). Adapun yang menjadi bentuk partisipasi yang diperinci dalam jenis-jenis partisipasi adalah sebagai berikut : Direktur Jendral Pengembangan 1. Partisipasi Buah Pikiran. Masyarakat Desa Departemen Dalam 2. Partisipasi Tenaga dan Fisik. Negri yang dikutip oleh 3. Partisipasi Ketrampilan dan Kemahiran. Sudriamunawar (2006) 4. Partisipasi Harta Benda. e. Sumbangan keputusan.

27 Tabel 2.1 (Lanjutan) PENELITI RUJUKAN VARIABEL TERPILIH Taufiqullah (2007) Partisipasi masyarakat dalam hal sumbangan tenaga dapat juga diartikan bahwa bentuk partisipasi masyarakat berkaitan dengan kemampuannya untuk berkontribusi. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan: Slamet (1994) Faktor Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan : 1. Jenis Kelamin 1. Jenis Kelamin 2. Usia 2. Usia 3. Tingkat Pendidikan 3. Tingkat Pendidikan 4. Tingkat Penghasilan 4. Tingkat Penghasilan 5. Mata Pencaharian 5. Mata Pencaharian Bappenas (2001) Hambatan atau kendala dalam partisipasi tergantung kepada situasi setempat,yaitu : 1. Waktu, masyarakat akan meluangkan waktunya untuk proyek apabila mereka merasa bahwa proyek berguna. 2. Menyusun dan membuat pandangan mereka sendiri, partisipasi akan menjadi kendala apabila dalam forum forum masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk menyalurkan pandangan mereka. 3. Sikap profesional, sikap dari para pelaksana (pendamping dan aparat pemerintah) harus berpihak kepada masyarakat. Mereka harus percaya kepada kemampuan masyarakat dan dapat membagi pengetahuannya. Khairuddin (1992) Huraerah (2007) Ditinjau dari motivasinya, partisipasi masyarakat terjadi karena: a. Takut/terpaksa. b. Ikut-ikutan. c. Kesadaran. Tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu Sumber: Hasil Analisis, 2013

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan 2.1 Definisi Partisipasi Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Mubyarto dalam Ndraha (1990), partisipasi adalah kesediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan

BAB II LANDASAN TEORI. ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Partisipasi Masyarakat Pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. dengan teori-teori yang telah dikemukakan oleh ahli. Untuk menghubungkan hasil penelitian dengan teori yang dikemukakan oleh

II.TINJAUAN PUSTAKA. dengan teori-teori yang telah dikemukakan oleh ahli. Untuk menghubungkan hasil penelitian dengan teori yang dikemukakan oleh 11 II.TINJAUAN PUSTAKA Setelah merumuskan latar belakang masalah yang menjadi alasan dalam mengambil masalah penelitian, pada bab ini penulis akan merumuskan konsepkonsep yang akan berkaitan dengan objek

Lebih terperinci

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN 50 BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN Dalam penelitian ini, keberlanjutan kelembagaan dikaji berdasarkan tingkat keseimbangan antara pelayanan-peran serta (manajemen), tingkat penerapan prinsip-prinsip good

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Burung Hantu ( Tyto alba ) dan Pemanfaatannya Partisipasi Masyarakat

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Burung Hantu ( Tyto alba ) dan Pemanfaatannya Partisipasi Masyarakat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Burung Hantu (Tyto alba) dan Pemanfaatannya Burung hantu (Tyto alba) pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Scopoli tahun 1769. Nama alba berkaitan dengan warnanya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk mendorong terjadinya perubahan yang

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Kemiskinan

II. PENDEKATAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Kemiskinan 6 II. PENDEKATAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan dapat dikelompokkan ke dalam kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH 45 TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH Bentuk Partisipasi Stakeholder Pada tahap awal kegiatan, bentuk partisipasi yang paling banyak dipilih oleh para stakeholder yaitu

Lebih terperinci

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN LINGKUNGAN FISIK PERMUKIMAN (STUDI KASUS : KECAMATAN RUNGKUT) Disusun Oleh: Jeffrey Arrahman Prilaksono 3608 100 077 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 827 Tahun : 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar)

PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar) PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar) Oleh: Aip Rusdiana 1, Dedi Herdiansah S 2, Tito Hardiyanto 3

Lebih terperinci

V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN

V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN 44 V. TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN 5.1 Profil Perempuan Peserta Program PNPM Mandiri Perkotaan Program PNPM Mandiri Perkotaan memiliki syarat keikutsertaan yang harus

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (Studi Kasus pada Campaka Kecamatan Cigugur Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Kemitraan Dalam UU tentang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995, konsep kemitraan dirumuskan dalam pasal 26 sebagai berikut: 1. Usaha menengah dan besar melaksanakan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembangunan Masyarakat Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Pemberdayaan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembangunan Masyarakat Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Pemberdayaan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembangunan Masyarakat Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang disengaja dan direncanakan. Lebih lengkap lagi, pembangunan diartikan sebagai perubahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA SUKAMERTA KECAMATAN RAWAMERTA KABUPATEN KARAWANG

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA SUKAMERTA KECAMATAN RAWAMERTA KABUPATEN KARAWANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA SUKAMERTA KECAMATAN RAWAMERTA KABUPATEN KARAWANG Oleh : Lukmanul Hakim, S.Ag, M.Si Abstrak Peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan desa sangat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa keberadaan Lembaga Kemasyarakatan Desa dalam

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN

BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN 5.1 Faktor Internal Menurut Pangestu (1995) dalam Aprianto (2008), faktor internal yaitu mencakup karakteristik individu

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 1

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pengembangan Dan Pengelolaan Jaringan Irigasi Di Daerah Irigasi Way Umpu Kabupaten Way Kanan

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pengembangan Dan Pengelolaan Jaringan Irigasi Di Daerah Irigasi Way Umpu Kabupaten Way Kanan 2016 Biro Penerbit Planologi Undip Volume 12 (1): 86 97Maret 2016 Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pengembangan Dan Pengelolaan Jaringan Irigasi Di Daerah Irigasi Way Umpu Kabupaten Way Kanan Ronaldi

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. : Rikky Fermana, S.IP. Mediator Tempat tanggal lahir : Belinyu, 26 September 1972 Alamat : Jl. RE. Martadinata no. 122 RT.

PUSANEV_BPHN. : Rikky Fermana, S.IP. Mediator Tempat tanggal lahir : Belinyu, 26 September 1972 Alamat : Jl. RE. Martadinata no. 122 RT. Nama : Rikky Fermana, S.IP. Mediator Tempat tanggal lahir : Belinyu, 26 September 1972 Alamat : Jl. RE. Martadinata no. 122 RT. 03 Status : Kawin Jabatan : Ketua Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Bangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur social, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

Lebih terperinci

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN ORGANISASI LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT KELURAHAN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kebutuhan menurut Dwiyanto dkk (2003) adalah sesuatu rasa baik itu dalam bentuk produk, jasa, pelayanan, kesenangan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka PUAP adalah sebuah program peningkatan kesejahteraan masyarakat, merupakan bagian dari pelaksanaan program

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan. Secara konseptual, komunikasi dan pembangunan memandang

Lebih terperinci

SIDANG TESIS MAHASISWA: ARIF WAHYU KRISTIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Ir. SRI AMIRANTI SASTRO HUTOMO, MS

SIDANG TESIS MAHASISWA: ARIF WAHYU KRISTIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Ir. SRI AMIRANTI SASTRO HUTOMO, MS SIDANG TESIS PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN (Studi Kasus Pelaksanaan Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) di Desa Campurejo Kecamatan Panceng Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konseppartisipasiataupun partnership dan participationini pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. Konseppartisipasiataupun partnership dan participationini pertama kali BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Partisipasi masyarakat dan pembangunan Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berbasiskan partisipasi. Konseppartisipasiataupun partnership dan participationini

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public policy. Thomas R. Dye dalam Subarsono (2006:2) menyatakan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 6 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

PERENCANAAN PARTISIPATIF

PERENCANAAN PARTISIPATIF PERENCANAAN PARTISIPATIF Pengertian Perencanaan Pengertian perencanaan memiliki banyak makna sesuai dengan pandangan masing-masing ahli dan belum terdapat batasan yang dapat diterima secara umum. Pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penerima program pembangunan karena hanya dengan adanya partisipasi dari

I. PENDAHULUAN. penerima program pembangunan karena hanya dengan adanya partisipasi dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Strategi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat penerima program

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 97

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUNGO NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BUNGO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah kritisnya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang semakin

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI RENCANA PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 7 TAHUN 2001 TENTANG LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 9 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada umumnya bertujuan untuk merubah kualitas kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada umumnya bertujuan untuk merubah kualitas kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada umumnya bertujuan untuk merubah kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Pembangunan juga merupakan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN BERBASIS PEMBERDAYAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Partisipasi Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pedesaan adalah bagian integral dari pembangunan daerah dan pembangunan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Idealnya, program-program

Lebih terperinci

T E N T A N G LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA

T E N T A N G LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 T E N T A N G LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep partisipasi masyarakat Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu participation yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Keith davis (1995) menjelaskan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2009 NOMOR 27 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI Tanggal : 29 Desember 2009 Nomor : 27 Tahun 2009 Tentang : PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN DAN BUKU ADMINISTRASI RUKUN WARGA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. usaha mencapai tujuan organisasi. Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. usaha mencapai tujuan organisasi. Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Partisipasi 2.1.1 Pengertian partisipasi Menurut Rodliyah (2013) partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi dalam situasi kelompok sehingga dapat dimanfaatkan sebagai motivasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang WALIKOTA BANJAR, : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kualitas

Lebih terperinci

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA DAN RENCANA KERJA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam. Nama :... Peran di PNPM-MPd :...

LAMPIRAN. Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam. Nama :... Peran di PNPM-MPd :... LAMPIRAN Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam Nama :............................. Jenis Kelamin Umur : Laki-laki/Perempuan* :.... Tahun Peran di PNPM-MPd :............................. 1. Meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR : 6 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR : 6 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR : 6 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANA TORAJA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Studi Literatur. Survei Lokasi. Pengumpulan Data

BAB III METODE PENELITIAN. Studi Literatur. Survei Lokasi. Pengumpulan Data BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Penelitian Tahapan dalam penelitian ini dimulai dari studi literatur hingga penyusunan Laporan Tugas Akhir, dapat dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini: Studi Literatur

Lebih terperinci

PARTISIPASI PEMILIK RUMAH KOS DALAM IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO. 3 TAHUN 2011 DI KELURAHAN TEMBALANG. Oleh : Mey Prastiwi, Tri Yuniningsih

PARTISIPASI PEMILIK RUMAH KOS DALAM IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO. 3 TAHUN 2011 DI KELURAHAN TEMBALANG. Oleh : Mey Prastiwi, Tri Yuniningsih PARTISIPASI PEMILIK RUMAH KOS DALAM IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO. 3 TAHUN 2011 DI KELURAHAN TEMBALANG Oleh : Mey Prastiwi, Tri Yuniningsih DEPARTEMEN ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Sejarah Berdirinya Koperasi Tani Sari Ngaglik Desa Bonomerto

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Sejarah Berdirinya Koperasi Tani Sari Ngaglik Desa Bonomerto BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Sejarah Berdirinya Koperasi Tani Sari Ngaglik Desa Bonomerto Koperasi Ttani Sari Ngaglik sebagai pusat pelayanan perekonomian untuk menyalurkan

Lebih terperinci

BAB IITINJAUAN PUSTAKA. Partisipasi Berasal dari Bahasa Inggris yaitu Participation yang artinya

BAB IITINJAUAN PUSTAKA. Partisipasi Berasal dari Bahasa Inggris yaitu Participation yang artinya BAB IITINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Defenisi Partisipasi Partisipasi Berasal dari Bahasa Inggris yaitu Participation yang artinya pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Juliantara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 94

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT

BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT 41 BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT Responden dalam penelitian ini adalah petani anggota Gapoktan Jaya Tani yang berasal dari tiga kelompok tani

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI KUDUS, Menimbang a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GRESIK

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Sekolah Dasar Kristen 03 Eben Haezer Salatiga dan Sekolah Dasar Negeri 01 Salatiga disimpulkan memiliki berbagai upaya untuk meningkatkan lima karakteristik sekolah bermutu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO Menimbang : bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 02 Tahun : 2008 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI UTARA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis

Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis Reka Lingkungan Teknik Lingkungan Itenas No.1 Vol. 6 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional April 2018 Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 1. Gerakan Serentak Membangun Kampung GSMK

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 1. Gerakan Serentak Membangun Kampung GSMK 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Gerakan Serentak Membangun Kampung GSMK Program Gerakan Serentak Membangun Kampung/Kelurahan yang selanjutnya disebut GSMK (Juklak-Juknis

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JENEPONTO Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja

TINJAUAN PUSTAKA. A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penetapan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membicarakan suatu standar tingkat hidup yang rendah. Suparlan (dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. membicarakan suatu standar tingkat hidup yang rendah. Suparlan (dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Kemiskinan 1. Definisi Kemiskinan Kemiskinan didefinisikan banyak arti, tetapi secara umum kemiskinan membicarakan suatu standar tingkat hidup yang rendah. Suparlan (dalam

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada bagian ini yang merupakan bagian penutup dari laporan penelitian memuat kesimpulan berupa hasil penelitian dan saran-saran yang perlu dikemukakan demi keberhasilan proses

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 25 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA ATAU

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BEKASI NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DI KABUPATEN BEKASI

PERATURAN BUPATI BEKASI NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DI KABUPATEN BEKASI PERATURAN BUPATI BEKASI NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DI KABUPATEN BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci