PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)"

Transkripsi

1 i PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) RISTA FITRIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penambahan Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali Terhadap Formula Surfaktan MES Air Formasi Minyak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Rista Fitria NIM F

4 iv ABSTRAK RISTA FITRIA. Pengaruh Penambahan Garam Anorganik, Pelarut Alkohol, dan Alkali Terhadap Formula Surfaktan MES Air Formasi Minyak (studi kasus Lapangan Sandstone). Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI. Penggunaan surfaktan metil ester sulfonat (MES) untuk keperluan enhance oil recovery (EOR) dikarenakan kemampuannya dalam menurunkan nilai IFT minyak bumi air mencapai 10-3 dyne/cm. Kinerja surfaktan dapat diketahui melalui metode penurunan nilai IFT dan metode kelakuan fasa. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kinerja surfaktan (MES) dengan penambahan garam anorganik, co-surfactant dan alkali pada kondisi berbeda. Media pendispersi yang digunakan pada penelitian ini adalah air formasi dan air demineral. Metode penurunan nilai IFT menggunakan alat spinning drop tensiometer TX500D yang diuji pada suhu 40, 50, dan 60 o C. Pengujian menunjukkan bahwa penurunan nilai IFT dipengaruhi oleh konsentrasi surfaktan, garam anorganik, pelarut alkohol dan alkali pada media pendispersi air formasi dan air demineral. Metode kelakuan fasa dilakukan dengan metode uji tabung yang dilakukan pada suhu 50 o C. Hasil terbaik metode kelakuan fasa terjadi pada media pendispersi air formasi dengan penambahan 0,3% surfaktan MES. Kata kunci : Alkali, garam anorganik, interfacial tention (IFT), kelakuan fasa, metil ester sulfonat (MES), pelarut alkohol ABSTRACT RISTA FITRIA. The Effect of Addition of Inorganic Salts, Solvents Alcohol, and Alkali to Formula "MES surfactant - Water Formation - Oil" (Sandstone Field case study). Supervised by ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI. The application of methyl ester sulfonate (MES) surfactant for enhance oil recovery (EOR) was due to its ability to reduce interfacial tension in crude oil-water system that reaches 10-3 dyne/cm. Performance of methyl ester sulfonate (MES) surfactant can be identified with the spinning drop IFT method and phase behavior method. The objectives of this research were to determine of MES surfactant performance with addition of inorganic salt, alcohol, and alkaly in different conditions. The dispersing media used in this research is the formation water and demineralized water. The spinning drop IFT method was conducted using spinning drop tensiometer TX500C tested in 40, 50 and 60 o C. The researched showed that reduction of IFT value was affected by surfactant, inorganic salt, solvent alcohol, and alkali in the formation water and demineralized water dispersion medium. The phase behavior method was conducted using test tube method performance at 50 o C. The best result of phase behavior methode was found in formation water dispersion medium with the 0,3% of methyl esteer sulfonat (MES) addition. Keywords : Alkali, alcohol, inorganic salt, interfacial tension (IFT), methyl ester sulfonate (MES), phase behavior

5 v PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE) RISTA FITRIA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6 vi

7

8 viii

9 ix PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah kinerja surfaktan, dengan judul Pengaruh Penambahan Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali Terhadap Formula Surfaktan MES Air Formasi Minyak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ani Suryani DEA dan Prof Dr Erliza Hambali selaku pembimbing, serta para teknisi SBRC LPPM IPB dan teman-teman yang telah membantu jalannya penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do a dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Desember 2014 Rista Fitria

10 x DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xiii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Tegangan Antarmuka 3 Kelakuan Fasa 6 Pengaruh Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali terhadap Kinerja Surfaktan 7 Metil Ester Sulfonat 11 Fluida Reservoir 13 METODE 15 Bahan 15 Alat 15 Prosedur Analisis Data 15 HASIL DAN PEMBAHASAN 17 Formulasi Larutan Surfaktan 17 Uji Densitas 19 Uji Nilai IFT 26 Uji Kelakuan Fasa 36 SIMPULAN DAN SARAN 39 Simpulan 39 Saran 40 DAFTAR PUSTAKA 40 RIWAYAT HIDUP 100

11 xi DAFTAR TABEL 1 Sifat fisiko kimia alkohol 9 2 Komposisi minyak bumi secara umum 13 3 Sifat fisika kimia fluida minyak lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian 14 4 Sifat fisika kimia fluida air lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian 14 5 Data viskositas pada media pendispersi air formasi 31 6 Data viskositas pada media pendispersi air demineral 31 7 Hasil uji kelakuan fasa 37 DAFTAR GAMBAR 1 Hubungan capillary number dengan oil recovery 4 2 Kadar garam dan tegangan antarmuka 5 3 Diagram pseudoterner air formasi-surfaktan-minyak 6 4 Proses transesterifikasi trigliserida dengan metanol 12 5 Reaksi sulfonasi metil ester 13 6 Hubungan antara konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi 20 7 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral 20 8 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi 21 9 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 40 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 50 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 60 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 40 o C 23

12 xii 14 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 50 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 60 o C Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH (%) dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 40 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 50 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 60 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 40 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 50 o C Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 60 o C Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air demineral Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air formasi Reaksi pembentukan petroleum soap Formula 0,3% MES dan 1% NaOH dalam media pendispersi air formasi 39

13 xiii DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan total endapan kalsium karbonat 44 2 Prosedur pengujian formula surfaktan 44 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT 46 4 Data hasil perhitungan standar deviasi 56 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi 64 6 Data hasil uji kelakuan fasa 89 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa 95

14

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan surfaktan untuk keperluan enhance oil recovery (EOR) memerlukan persyaratan yang lebih khusus meliputi: ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm), kompatibel dengan air formasi dan stabil terhadap suhu reservoir, ph berkisar 6 8, memiliki fasa III (fasa tengah) atau fasa II (-), dan oil recovery incremental berkisar 15 20% original oil in place (OOIP) (BPMIGAS 2009). Bila surfaktan mempunyai ultralow interfacial tension (<10-2 dyne/cm) dapat diduga mampu meningkatkan oil recovery sekitar 10-20% (Aczo 2006). Salah satu surfaktan yang penting untuk dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan enhance oil recovery (EOR) adalah surfaktan metil ester sulfonat (MES) dari minyak sawit. Berdasarkan analisis IFT pada MES, diketahui bahwa nilai IFT yang diperoleh 7, dan stabil pada suhu reservoir, yaitu sampai suhu 80 C. Hal ini menjelaskan bahwa surfaktan MES sudah terbukti mampu menghasilkan IFT yang rendah 10-3 dyne/cm untuk lapangan sandstone di Indonesia dan tahan pada suhu reservoir. Tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT) antara minyak dan mikroemulsi merupakan salah satu parameter utama dalam EOR. Tegangan antarmuka tersebut harus dikontrol dan ditentukan sebelum slug mikroemulsi digunakan untuk proses EOR. Suatu keadaan IFT yang rendah antara minyak mentah dan air formasi dibutuhkan untuk mempermudah proses pengaliran tetesantetesan minyak yang terperangkap didalam pori-pori batuan. Hal ini karena kondisi tersebut akan mengurangi kerja deformasi yang dibutuhkan untuk menggerakkan minyak mentah yang terperangkap didalam pori-pori batuan. Uji kelakuan fasa ditujukan untuk megetahui tipe fasa yang terbentuk dari campuran minyak, surfaktan dan air yaitu tipe II(-), tipe III, atau tipe II(+). Perubahan tipe fasa dari tipe II(-) ke tipe II(+) dapat terjadi dengan adanya peningkatan kadar garam. Dalam proses perubahan tipe fasa dari tipe II(-) ke tipe II(+) selalu melewati tipe III. Namun fasa mikroemulsi ini sulit sekali terlihat karena jumlah yang terbentuk biasanya sangat sedikit. Lebih dari satu tipe mikroemulsi dapat terbentuk diantaranya mikroemulsi fasa bawah terbentuk dari daerah tipe II(-) atau tipe III, mikroemulsi fasa atas terbentuk dari daerah tipe II(+) atau tipe III dan mikroemulsi fasa tengah yang selalu berasal dari tipe III (Sheng 2011). Nilai IFT terkecil dari suatu fluida tercapai sesaat sebelum terbentuknya mikroemulsi. Dengan semakin kecilnya nilai IFT, efektivitas surfaktan dalam meningkatkan oil recovery dapat tercapai. Dalam penelitian ini digunakan media pendispersi air formasi dan air demineral yang dicampurkan dengan surfaktan metil ester sulfonat pada konsentrasi tertentu dengan penambahan garam anorganik, pelarut alkohol dan alkali dengan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi surfaktan yang ditambahkan berpengaruh terhadap nilai IFT, tipe fasa, dan volume mikroemulsi yang dihasilkan. Peningkatan kadar garam dapat merubah tipe fasa dari tipe II(-) ke tipe II(+) dan tipe III dapat terbentuk pada kadar garam optimum. Menurut Sheng (2011), pelarut merupakan bahan kimia yang molekulnya bisa membentuk lapisan interfacial. Pelarut selalu ditambahkan pada saat

16 2 memformulasikan surfaktan karena dapat meminimalisasi kemunculan gels, kristal, emulsi yang terpisah dari larutan surfaktan, mengurangi waktu kesetimbangan, dan mengurangi viskositas mikroemulsi. Alkohol memiliki fungsi lain, yaitu menstabilkan mikroemulsi. Ketika sebuah mikroemulsi dihasilkan oleh suatu surfaktan tanpa ada alkohol di dalamnya, maka micelle tersebut memiliki kemampuan terlarut yang tidak terbatas. Menurut Eni (2007), penambahan alkali diharapkan mampu menurunkan nilai IFT, terbentuknya gejala emulsi dan terjadi perubahan wettability. Oleh karena itu, penting dilakukannya penelitian ini. Perumusan Masalah Suatu keadaan IFT yang rendah antara minyak mentah dan air formasi dibutuhkan dalam proses EOR. Selain itu, emulsi yang dihasilkan antara surfaktan yang memiliki ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm) dengan air formasi dan minyak hanya mencapai fasa II (-). Penambahan garam anorganik, pelarut alkohol dan alkali diharapkan mampu menghasilkan nilai IFT yang rendah ( 10-3 dyne/cm) dan emulsi dengan fasa III. Penelitian ini diterapkan pada air formasi lapangan sandstone dan air demineral. Pengujian kinerja surfaktan ini dilakukan melalui beberapa tahap, sebagai berikut: formulasi air dengan penambahan surfaktan MES, garam anorganik, berbagai jenis pelarut alkohol dan alkali pada konsentrasi yang berbeda. Selanjutnya dilakukan uji nilai densitas dan IFT serta uji kelakuan fasa. Tujuan Penelitian Tujuan kegiatan pelitian ini adalah untuk mendapatkan database uji nilai IFT dengan sampel air demineral dan air formasi lapangan sandstone. Selain itu, didapatkan formulasi yang terbaik yang memiliki nilai ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm) dan mengetahui kelakuan fasa terhadap konsentrasi surfaktan metil ester sulfonat (MES) dengan penambahan garam anorganik, pelarut alkohol, dan alkali. Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah formulasi air dengan penambahan surfaktan MES, garam anorganik, berbagai jenis alkohol dan alkali pada konsentrasi yang berbeda. Pengujian kinerja surfaktan dengan metode nilai IFT dan metode uji kelakuan fasa. Pemilihan formulasi terbaik yang memiliki nilai ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm) dan dihasilkannya emulsi dengan fasa III. Penelitian ini dibatasi hanya untuk air demineral dan studi kasus air formasi lapangan sandstone.

17 3 TINJAUAN PUSTAKA Tegangan Antarmuka Tegangan antarmuka (Interfacial Tension) adalah ukuran gaya molekuler yang berada di batas antara dua fasa zat. Satuan gaya yang digunakan adalah dyne/cm. Teknik pengukuran tegangan antarmuka menggunakan spinning drop tensiometer dilakukan atas dasar percepatan gravitasi bumi memberikan pengaruh kecil pada bentuk drop fluida yang tersuspensi di dalam cairan, pada saat drop dan cairan berada di dalam tabung putar pada arah longitudinal. Pada saat kecepatan putaran rendah, drop fluida akan berbentuk elips dan jika kecepatan putar tinggi, maka drop fluida akan berbentuk silinder. Pada saat drop fluida berbentuk silinder tersebut dilakukan pengukuran jari-jari silinder (r), perbedaan densitas drop dan cairan di sekeliling drop (Δρ) dan kecepatan putar drop (ω). Alat spinning drop tensiometer mampu mengukur tegangan antarmuka (IFT) hingga 10-6 mn/m. Pada akhirnya, tegangan permukaan dihitung (γ) dengan menggunakan persamaan berikut (Drelich et al. 2002). γ = 1 4 r3 ρrω 2 Keterangan : r : jari-jari γ : tegangan antarmuka Δρ : selisih densitas drop dan densitas cairan ω : kecepatan putar Molekul surfaktan tersusun atas dua bagian yaitu hydrophilic (bagian kepala) dan hydrophobic (bagian ekor). Bagian hydrophilic mempunyai kelarutan yang baik dalam pelarut dan cenderung untuk membawa molekul surfaktan ke dalam larutan, sedangkan bagian hydrophobic cenderung tidak disukai oleh pelarut karena memiliki afinitas yang lebih kecil pada molekul-molekul pelarut. Struktur molekul tersebut menyebabkan konsentrasi surfaktan terkumpul pada permukaan dan menurunkan tegangan antarmuka larutan. Dalam sistem minyak-air, bagian hydrophobic akan mengikat fasa minyak sementara bagian hydrophilic akan mengikat fasa air. Penginjeksian surfaktan dalam sistem minyak-air akan membuat surfaktan terdispersi dalam minyak dan air yang kemudian diikuti dengan terbentuknya emulsi minyak dalam air. Di dalam pori-pori batuan (pore throat) droplet-droplet minyak yang terjebak didalamnya akibat adanya efek kapilaritas dan tingginya interfacial tension antara minyak-air, membuat droplet-droplet tersebut tidak bisa diproduksi dengan injeksi air saja. Dengan penambahan surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak-air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan recovery factor yang rendah. Tekanan kapiler yang rendah diperlukan untuk me-recovery sebagian besar sisa minyak yang masih terjebak setelah waterflooding. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi. Pengaruh dari IFT dalam recovery minyak

18 4 dimodelkan oleh kurva capillary desaturation, dimana saturasi residual oil berkorelasi dengan fungsi capillary number. Capillary number (Nc) didefinisikan sebagai rasio viskositas dan gaya kapiler. Capillary number secara umum dapat dihitung dari persamaan di bawah ini: Nc = Keterangan: v = laju alir efektif (cm/s) μ = viskositas larutan pendesak (cp) σ = tegangan antarmuka (dyne/cm) θ = sudut kontak kebasahan/wetting angle vμ σ cos θ Menurut Emegwalu (2009) peningkatan nilai capillary number mengindikasikan peningkatan recovery minyak sisa/residual oil. Peningkatan viskositas dari fluida menyebabkan peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Namun, nilai Nc yang besar dapat dicapai dengan cara mengurangi tegangan antarmuka (IFT) antara air dan minyak dengan menggunakan surfaktan. Dan sebaliknya semakin besar nilai IFT menyebabkan capillary number semakin kecil. Dengan semakin kecilnya capillary number berdasarkan kurva capillary desaturation maka perolehan minyak yang dihasilkan semakin sedikit. Korelasi antara minyak yang dapat diperoleh dan nilai capillary number dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.1 Hubungan capillary number dengan oil recovery (Chatzis dan Morrow 1994) Waterflood pada kondisi water-wet biasanya memiliki nilai Nc berkisar antara Critical capillary number berada pada kisaran Namun pada kondisi desaturasi oil-wet nilai Nc berada pada kisaran (Emegwalu 2009). Peneliti sebelumnya, Al-Sahhaf (2002), menjelaskan terbentuknya ultra low IFT dipengaruhi beberapa parameter diantaranya, berat molekul rata-rata surfaktan, distribusi berat molekul surfaktan, struktur molekul surfaktan, konsentrasi surfaktan, berat rata-rata molekul minyak mentah beserta bentuk molekulnya, elapsed time, suhu sistem, yang bisa divariasikan nilainya menyesuaikan kondisi proses produksi dari suatu reservoir ke reservoir yang lain.

19 5 Salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar untuk mencapai nilai IFT minimum adalah konsentrasi surfaktan. Cayias et al. (1977), menjelaskan bahwa IFT menurun seiring bertambahnya konsentrasi surfaktan. Penurunan sampai pada sebuah nilai konsentrasi tertentu, nilai tegangan antarmuka akan mencapai nilai minimum. Ketika konsentrasi terus ditingkatkan hingga melebihi nilai konsentrasi kritis ini, nilai tegangan antarmuka justru meningkat. Chan dan Shah (1981) menjelaskan bahwa nilai konsentrasi surfaktan tertentu yang menunjukkan nilai tegangan antarmuka dan tegangan permukaan minimal merupakan nilai Critical Micelle Concentration (CMC) yang sebenarnya. Jumlah molekul suatu surfaktan dalam campuran minyak mentah dan air formasi meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan. Ketika konsentrasi surfaktan pada fasa cair mendekati nilai CMC, nilai tegangan antarmuka dan tegangan permukaan akan mencapai nilai minimum. Healy dan Reed (1974) mempelajari pengaruh konsentrasi garam NaCl terhadap tegangan antarmuka γmo (mikroemulsi minyak) dan γmw (mikroemulsi air), serta pengaruh terhadap parameter kelarutan (solubilization paremeter) Vo/Vs dan Vw/Vs. Vs adalah volume surfaktan dalam mikroemulsi, sedangkan Vo dan Vw masing-masing adalah volume minyak dan volume air dalam fasa mikroemulsi. Gambar 2.2 Kadar garam dan tegangan antarmuka (Sugiharjo et al. 2001) Gambar 2.2 menunjukkan pengaruh konsentrasi garam dalam air terhadap tegangan antarmuka dan proses kelarutan dalam sistem minyak-airsurfaktan/cosurfaktan. Pada gambar tersebut terdapat hubungan antara konsentrasi larutan NaCl terhadap IFT. Pada sumbu mendatar terdapat tiga bagian yang terdiri dari l, m dan u. Bagian l menunjukkan kondisi emulsi fasa bawah, bagian m kondisi emulsi fasa tengah dan bagian u kondisi emulsi fasa atas.

20 6 Kelakuan Fasa Kelakuan fasa dari mikroemulsi bersifat kompleks dan terikat pada beberapa parameter diantaranya tipe dan konsentrasi dari surfaktan, co-solvent, hidrokarbon, kadar garam air formasi, suhu dan tekanan. Dua sifat penting dari mikroemulsi tersebut adalah keseimbangan fasa dan proses kelarutan serta tegangan antarmuka. Keseimbangan fasa dan proses kelarutan dapat digambarkan dalam diagram ternery yang terdiri dari tiga komponen yaitu: minyak, larutan surfaktan dan kadar garam. Sebagai contoh, diagram ternery yang sederhana terdiri dari sistem tiga komponen (pseudoternary diagram): surfaktan-minyak-air formasi disajikan pada Gambar 2.3. Dalam proses EOR, bagian penting diagram ternery adalah daerah tiga fasa. Bentuk umum diagram ternery tersebut dapat diklasifikasikan sebagai: tipe II(-), yaitu emulsi fasa bawah dan kelebihan fasa air; tipe II (+), yaitu emulsi fasa atas dengan kelebihan fasa minyak; dan tipe III, yaitu mikroemulsi fasa tengah yang memiliki komposisi fasa kaya minyak dan fasa kaya air yang sama. Pada gambar terlihat terjadi peningkatan kadar garam yaitu dari tipe II (-) dengan slope negatif ke tipe II (+) dengan slope positif. Nilai slope berharga nol ketika kelarutan dari surfaktan didalam fasa kaya air dan minyak adalah sama. Peningkatan kadar garam dalam air formasi menurunkan kelarutan surfaktan anionik dalam air formasi. Pada fasa tiga memiliki kadar garam optimum. Gambar 2.3 Diagram pseudoterner air formasi-surfaktan-minyak (Sugiharjo et al. 2001) Pada kondisi mikroemulsi, salah satu fasa menjadi fasa kontinyu (fasa external) dan yang lain membentuk butiran (fasa diskontinyu). Namun nilai IFT terendah suatu larutan terjadi sesaat sebelum terbentuk mikroemulsi. Hal ini karena setelah terbentuk mikroemulsi fasa larutan akan berubah ke fasa II (+) yang menyebabkan nilai IFT akan membesar kembali. Selain itu, di industri perminyakan fase mikroemulsi ini dihindari karena dibutuhkan biaya lebih untuk proses demulsifikasi yaitu memisahkan antara fasa minyak dan fasa airnya. Pada pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sugiharjo et al. (2001) dengan jenis surfaktan yang berbeda menjelaskan secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori. Emulsi fasa bawah adalah emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa,

21 7 berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah adalah emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs. Emulsi fasa atas adalah emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas tinggi cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs<Vo/Vs. Makroemulsi adalah emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran makroemulsi sangat besar ( A). Endapan yang terbentuk tidak berbentuk emulsi, tetapi terjadi padatan yang sangat lunak. Pengamatan di laboratorium terhadap kelakuan fasa fluida campuran antara surfaktan, air formasi dan minyak dilakukan dengan cara uji tabung, yaitu mencampurkan masing-masing fluida tersebut kedalam tabung reaksi dengan perbandingan volume dan kombinasi konsentrasi tertentu. Campuran yang terbentuk tersebut dikocok dan kemudian dipanaskan dalam oven hingga mencapai suhu reservoir, sehingga terbentuk fasa yang stabil, yang kemudian diamati kondisi fasanya (Sugihardjo et al. 2002). Pada beberapa industri perminyakan uji kelakuan fasa dilakukan terlebih dahulu sebelum uji tegangan antarmuka, hal ini karena keterbatasan alat spinning drop tensiometer yang dimiliki. Uji kelakuan fasa pada penelitian ini dilakukan pada suhu 50 o C karena suhu ini merupakan suhu yang paling mendekati dengan suhu reservoir. Pengaruh Garam Anorganik, Pelarut Alkohol dan Alkali terhadap Kinerja Surfaktan Surfaktan primer berperan dalam melarutkan sejumlah besar air dan minyak untuk membuat mikroemulsi yang menunjukkan tegangan antarmuka ultralow dengan fase air dan minyak. Dengan begitu dapat memberikan rasio solubilisasi tinggi yang diinginkan, terutama pada salinitas optimum. Molekul surfaktan memiliki dua sifat sekaligus diantaranya mengandung kepala hidrofilik yang lebih menyukai air dan ekor hidrofobik yang lebih menyukai minyak. Jadi, ketika surfaktan ditambahkan ke sistem minyak dan air, campuran cenderung membentuk misel di mana molekul surfaktan terdapat pada antarmuka. Surfaktan anionik mengandung cabang hydrophobic yang didesain sangat baik untuk tujuan EOR (Hirasaki et al. 2006; Hirasaki et al. 2008; Levitt et al. 2009). Surfaktan anionik lebih mirip dengan surfaktan non-ionik karena mereka menunjukkan adsorpsi signifikan lebih rendah pada batu pasir, dan karbonat bila digunakan dengan alkali. Kedua, dengan surfaktan anionik sangat mungkin untuk mengubah jenis fase mikroemulsi dengan konsentrasi elektrolit yang bervariasi seperti biasanya dilakukan dalam chemical flooding. Contoh surfaktan anionik diantaranya linear alkilbenzen sulfonat (ALS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), dan parafin (secondary alkane sulfonate, SAS) dan metil ester sulfonat (MES). Sebuah molekul surfaktan anionik biasanya mengandung sulfat atau sulfonat sebagai kepala hidrofilik, yang bisa lurus atau bercabang, dan kelompok linker seperti etilen oksida (EO) dan propilena oksida (PO). Sulfat lebih disukai untuk aplikasi suhu rendah karena mereka lebih murah tetapi tidak stabil pada suhu di atas

22 8 60 C, sedangkan sulfonat dapat digunakan pada suhu tinggi (Barnes et al. 2008). Gugus hydrophobes bercabang lebih diinginkan karena dua alasan, pertama untuk memberikan rasio solubilisasi tinggi dan kedua untuk memberikan viskositas mikroemulsi yang rendah dibandingkan kental, gel atau fase kristal cair. Gugus EO dan PO dapat menambah fleksibilitas untuk surfaktan. Gugus EO dapat ditambahkan untuk meningkatkan hidrofilisitas surfaktan dan menggeser salinitas optimum yang lebih tinggi, dan mereka juga bertindak sebagai linker hidrofilik. Gugus PO menambah panjang dan cabang pada ekor surfaktan dan juga bertindak sebagai linker hidrofobik, hal ini membantu mencapai mikroemulsi viskositas rendah dan kelarutan yang lebih tinggi (Salager et al. 2005). Kedua gugus EO dan PO juga memungkinkan surfaktan untuk menjadi toleran terhadap kation divalen seperti Ca 2 + dan Mg 2 + ( Hirasaki et al. 2008). Garam adalah senyawa ionik yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa bermuatan). Garam terbentuk dari hasil reaksi penetralan asam dan basa. Garam anorganik terbentuk dari mineral. Unsur penting pada garam-garam anorganik adalah oksida, karbonat, sulfat dan halida. Banyak senyawa anorganik ditandai dengan titik leleh yang tinggi. Garam-garam anorganik biasanya adalah konduktor yang buruk dalam keadaan padat. Sifat lainnya adalah kelarutannya dalam air dan kemudahan kristalisasi. Sebagai contoh NaCl memiliki kelarutan yang sangat baik dalam air tetapi untuk SiO2 tidak memiliki kelarutan yang baik dalam air. Contoh garam anorganik lainnya adalah MgCl2, CaCl2, SrCl2, Ca(NO3)2, CaBr2, CaCl2, Na2SO4, K2SO4, KNO3, dan lainnya. Kelakuan fasa larutan surfaktan sangat dipengaruhi oleh kadar garam dari air formasi. Secara umum, peningkatan kadar garam didalam air formasi akan menurunkan kelarutan surfaktan anionik didalam air formasi. Di daerah salinitas rendah hanya ada dua fase yaitu, mikroemulsi dengan fasa ekternal air di bagian bawah dan fase minyak berlebih di bagian atas. Ini disebut jenis Winsor perilaku I fase. Dengan meningkatnya salinitas, fasa bicontinous mikroemulsi terbentuk. Pada salinitas sedang, tiga fase hidup berdampingan secara bersamaan. Jenis fase ini dianggap sebagai Winsor tipe III. Ketika salinitas lebih meningkat, volume relatif dari fase menengah dikonversi ke Winsor tipe II dengan mikroemulsi minyak eksternal di atas dan kelebihan air di bagian bawah. Ketergantungan perilaku fase dari sistem surfaktan minyak-air pada garam dapat dijelaskan dengan energi antarmuka. Fenomena salt-out juga memainkan peran penting pada fase mikroemulsi. Ketika konsentrasi garam meningkat, beberapa molekul air tertarik oleh ion garam, yang menurunkan jumlah molekul air yang tersedia untuk berinteraksi dengan bagian surfaktan. Sebagai akibat dari meningkatnya permintaan molekul pelarut, interaksi antara gugus kepala hidrofilik menjadi lebih kuat daripada interaksi pelarut-zat terlarut, molekul surfaktan diendapkan dengan membentuk interaksi hidrofobik antar satu sama lain. Kurva lapisan antarmuka berubah dari nilai positif ke nol sampai yang negatif, sesuai dengan transisi dari fase o/w ke fase bicontinous lalu ke fase w/o. Pelarut atau co-surfactant merupakan bahan kimia yang molekulnya bisa membentuk lapisan interfacial. Pelarut selalu ditambahkan pada saat memformulasikan surfaktan karena dapat meminimalisasi kemunculan gels, kristal, emulsi fasa kaya polimer yang terpisah dari larutan surfaktan, mengurangi waktu

23 9 kesetimbangan, dan menggurangi viskositas mikroemulsi. Rasio penambahan surfaktan dengan pelarut adalah 2:3 (Sheng 2011). Alkohol berfungsi dalam menstabilkan mikroemulsi. Ketika sebuah emulsi dihasilkan oleh suatu surfaktan tanpa ada alkohol di dalamnya, maka micelle tersebut memiliki kemampuan terlarut yang tidak terbatas. Selanjutnya, kondisi ini memungkinkan mikroemulsi untuk dibalik berdasarkan perkembangan fasa didalamnya (inner). Dengan adanya alkohol, mikroemulsi dapat dijaga pada jenis kondisi yang diinginkan, dan fasa inner tidak bisa berkembang bebas. Sebuah fasa tengah mikroemulsi dapat muncul pada kondisi konsentrasi yang sesuai. Alkohol kadang-kadang dapat membantu surfaktan untuk mengurangi nilai IFT dengan mengubah nilai HLB surfaktan tersebut. Oleh karena itu, ketika alkohol ditambahkan (walaupun kompatibilitas sistem dapat ditingkatkan), nilai IFT tetap menjadi lebih tinggi dari pada saat sistem belum ditambahkan alkohol (Sheng 2011). Pada penelitian ini digunakan beberapa alkohol diantaranya etanol, metanol, propanol, isopropil alkohol, dan pentanol. Sifat dari setiap alkohol yang digunakan disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Sifat fisiko kimia alkohol Karakteristik Metanol Etanol Propanol IPA Butanol Pentanol Rumus kimia CH 3OH C 2H 5OH C 3H 7OH C 3H 7OH C 4H 9OH C 5H 11OH Massa molar (g/mol) 32,04 46,07 60,09 60,1 74,12 88,15 Temperatur penyalaan ( o C) ,3 300 Kelarutan dalam air (20 o C) Larut larut sempurna larut dalam air mudah larut dalam air larut sebagian dalam air dingin dan panas sedikit larut dalam air Titik leleh ( o C) , ,5-89,5-78 Densitas (g/cm 3 ) (20 o C) 0,792 0,790-0,793 0,804 0, ,8098 0,811 ph Titik didih ( o C) 64,5 78, ,5 117, Tekanan uap (20 o C) (mmhg) 96,008 44,254 14,3 33,003 4,5 1,95 Batasan ledakan (%)(V) 5,5-36,5 3,5-15 2,2-13,7 2-12,0 1,4-11,25 1,3-10,5 Titik nyala ( o C) Indeks refraktif 1,33 1,36 Sumber :a) Merck KgaA 2012; b) Fisher Scientific 2010; c) Science Lab.com 2005; d) Fisher Scientific Kehadiran pelarut mempengaruhi efektifitas salinitas dan menyebabkan perubahan pada bidang batas fasa. Alkohol merupakan senyawa organik dengan sebuah gugus fungsi OH. Pada suatu larutan, hidrogen dapat terlepas dan

24 10 menghasilkan larutan asam. Alkohol yang berantai pendek seperti propanol meningkatkan nilai salinitas optimal untuk surfaktan sulfonat, sedangkan alkohol berantai panjang seperti pentanol dan hexanol akan mengurangi nilai salinitas optimal. Suatu bagian alkohol juga termasuk pada struktur batas fasa micellar seperti sulfonat. Contohnya pada penambahan iso-propanol meningkatkan kelarutan sulfonat pada fasa cair lebih baik dari pada kelarutan pada fasa minyak. Alkohol berantai pendek yang hanya memiliki 3 atom karbon, tidak bisa membentuk micelle. Panjang rantai karbon setidaknya harus mencapai 8-10 buah. Selain itu, gugus OH pada alkohol tidak cukup polar untuk berlaku seperti sebuah gugus hidrofobik. (Sheng 2011). Penambahan alkali pada larutan surfaktan dapat menurunkan nilai IFT. Penurunan nilai IFT ini disebabkan oleh ekstraksi asam dari minyak oleh alkali yang membuat gaya antarmuka minyak lebih reaktif. Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Menurut Jackson (2006) penggunaan alkali juga harus mempertimbangkan sifat kimia dari reservoir. Bahkan ketika natrium karbonat memiliki kinerja yang baik pada phase behaviour, tetap harus diuji dengan contoh batuan reservoir karena reaksi kimia yang rumit dapat terjadi dengan mineralmineral batuan. Menurut Sheng (2011) terdapat 6 alkali yang dapat digunakan untuk menurunkan IFT adalah NaOH, Na2SiO3, Na4SiO4, Na3PO4, NaHCO3, dan Na2CO3. Penambahan alkali seperti natrium karbonat meningkatkan kekuatan ion (salinitas). Konsentrasi alkali meningkat, menyebabkan salinitas optimum menurun. Hal tesebut dilakukan untuk mengurangi salinitas optimal. Pada penelitian ini hanya digunakan satu jenis alkali yaitu NaOH. Jenis alkali lain yang biasa digunakan pada pengujian kinerja formula surfaktan adalah natrium karbonat (Na2CO3), namun pada penelitian ini tidak digunakan. Penambahan natrium karbonat diduga memicu terbentuknya endapan pada formula surfaktan karena sampel fluida yang digunakan berasal dari batuan pasir yang mengandung karbonat relatif tinggi. Penggunaan alkali pada suatu formula surfaktan didasarkan pada kandungan anion ( Cl -, HCO3 -, SO4 -, CO3 2- ) dan kation (Na +, Ca 2+, Mg 2+, Ba 2+, Sr 2+, dan Fe 3+ ) air formasi atau air injeksi lapangan. Adanya ion-ion yang terlarut dalam air dapat bergabung dan membentuk suatu senyawa, salah satunya adalah pembentukan scale yang dapat mengurangi produktifitas minyak yangdihasilkan. Endapan scale yang sering terjadi pada sumur minyak adalah kalsium karbonat (CaCO3). Air formasi yang digunakan memiliki kandungan ion bikarbonat yang besar yaitu 1989 mg/l (Tabel 2.4). Dalam sumur minyak, endapan kalsium karbonat biasanya disebabkan oleh penurunan tekanan yang menghasilkan CO2 dari ion bikarbonat (HCO3 - ). Ketika CO2 dilepaskan, ph larutan meningkat, kelarutan karbonat terlarut menurun dan bikarbonat yang lebih larut dikonversi menjadi karbonat yang kurang larut. Sebagai ilustrasi 100 mg bikarbonat perliter air bisa menghasilkan 12972,74 gr endapan kalsium karbonat per 1000 barel air. Dengan perbandingan tersebut kalsium karbonat yang dihasilkan adalah 1622,946 mg/l. Selain itu, kandungan ion Ca 2+ juga memicu terbentuknya endapan kalsium karbonat (CaCO3). Berdasarkan hasil uji anion dan kation air formasi lapangan pada

25 11 Tabel 2.4 ion kalsium air adalah 12,2 mg/l. Reaksi pembentukan kalsium karbonat adalah Ca 2+ + CO3 2- CaCO3 Dengan perbandingan stokiometri 1:1, maka dengan penambahan Na2CO3 sebanyak 1000 ppm akan menghasilkan CaCO3 sebesar 12,2 ppm. Berdasarkan hasil penelitian Mohammed (2007), kelarutan CaCO3 pada salinitas 7000 ppm dan suhu reservoir 40, 50 dan 60 o C adalah sebesar 6255 ppm, 5849 ppm, dan 4268 ppm. Berdasarkan perhitungan total endapan kalsium karbonat yang dihasilkan 1635 mg/l (Lampiran 1). Artinya kalsium karbonat yang dihasilkan mendekati ambang batas kelarutannya. Dengan alasan ini alkali natrium karbonat tidak digunakan. Metil Ester Sulfonat Menurut Warren S. Perkins (1998), istilah surfactant berasal dari kata surface active agent. Adanya gugus hidrofobik dan hidrofilik didalam satu molekul surfaktan menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fasa yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogennya seperti minyak/air atau udara/air. Adanya film pada antarmuka antara fasa yang berbeda mampu menurunkan energi antarmuka dan menyebabkan sifat-sifat khas pada molekul surfaktan. Surfaktan dapat mengurangi tegangan permukaan air dengan cara adsorbsi antarmuka cair-gas. Surfaktan juga dapat mengurangi tegangan antarmuka antara minyak dan air dengan cara adsorbsi pada antarmuka cair-cair. Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan dapat berupa ionik atau nonionik, hal ini dapat menyebabkan kelarutan molekul air (Myers 1987). Adanya perbedaan muatan pada gugus hidrofilik juga digunakan sebagai dasar klasifikasi surfaktan. Surfaktan anionik adalah surfaktan yang gugus hidrofiliknya merupakan grup senyawa bermuatan negatif, contohnya karboksil (RCOO - M + ), sulfonat (RSO3 - M + ), sulfat (ROSO3 - M + ) atau phospat (ROPO3 - M + ). Surfaktan anionik secara luas digunakan dalam proses enhance oil recovery dengan metode injeksi kimia karena daya adsorpsi yang relatif rendah pada batuan sandstone yang memiliki muatan permukaan yang negatif. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik yaitu metil ester sulfonat untuk menghasilkan nilai IFT yang rendah. Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yang sudah banyak dikembangkan sebagai pengganti surfaktan petroleum sulfonat. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Dari sifat-sifat diatas surfaktan metil ester sulfonat memiliki karakteristik yang harus dipenuhi sebagai surfaktan yang digunakan dalam aplikasi

26 12 EOR yaitu sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan memberikan tingkat deterjensi yang baik. Pembuatan surfaktan metil ester sulfonat dari minyak nabati membutuhkan beberapa tahapan diantaranya proses transesterifikasi untuk menghasilkan metil ester. Metil ester yang dihasilkan dilanjutkan dengan proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat. Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Transesterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester, perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2.4 disajikan reaksi trigliserida dengan metanol yang menghasilkan metil ester. Reaksi transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat (Mittlebatch 2006). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Gambar 2.4 Proses transesterifikasi trigliserida dengan metanol Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor bergantung pada kondisi reaksinya (Meher et al. 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah kadar asam lemak bebas (FFA) dan kadar air minyak, jenis katalis dan konsentrasinya, nisbah molar antara alkohol dan minyak dan jenis alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, serta intensitas pencampuran dan penggunaan pelarut organik. Kualitas ME dipengaruhi oleh kualitas minyak (bahan baku), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang digunakan dalam proses, serta parameter pasca-produksi seperti kontaminan. Kontaminan tersebut di antaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, dan residu katalis (Gerpen et al. 1996). Reaksi transesterifikasi secara batch lebih sederhana dibandingkan dengan secara kontinyu, dan dapat mengubah minyak menjadi ME hingga 80 94% dalam waktu menit. Reaktor transesterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk memperkecil ukuran reaktor dan waktu reaksi. Proses selanjutnya adalah mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan

27 13 kualitas produk MES terbaik, reaktan yang digunakan disarankan gas SO3. Beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah laju alir gas SO3 dan metil ester, suhu proses sulfonasi, lama proses aging, konsentrasi gas SO3, laju proses netralisasi, konsentrasi NaOH, dan suhu netralisasi. Reaksi sulfonasi merupakan suatu reaksi substitusi elektrofilik dengan menggunakan agen pensulfonasi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya (Clayden, Greeves and Wothers 2001). Gambar 2.5 Reaksi sulfonasi metil ester (Foster dan Rollock 1997) Fluida Reservoir Menurut Rachmat (2009) fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran rumit dari berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Sheng (2011) menambahkan bahwa komposisi minyak sangat penting untuk alkali-surfaktan flooding karena surfaktan yang berbeda harus dipilih untuk minyak yang berbeda. Menurut Koesoemadinata (1980) dan Speight (2002) secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 2.2. Sifat fisika kimia minyak yang digunakan pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.3. Tabel 2.2 Komposisi minyak bumi secara umum Komponen % Bobot Karbon 83,9 86,8 Hidrogen 11,4 14,0 Belerang 0,06 0,08 Nitrogen 0,11 1,70 Oksigen ± 0,5 Logam ± 0,03 Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi kepermukaan, bersifat asin dengan salinitas rata-rata diatas air laut, kandungan utama air formasi adalah unsur Ca 2+ (kalsium), Na + (natrium), dan Cl - (Chlor) yang dapat ditemukan dalam jumlah besar. Air formasi hampir selalu ditemukan didalam reservoir hidrokarbon karena memang dengan adanya air ini ikut menentukan terakumulasinya hidrokarbon didalam suatu akumulasi

28 14 minyak. Air formasi selalu menempati sebagian dari suatu reservoir, minimal 10 % dan maksimal 100 % dari keseluruhan pori. Sifat-sifat yang terkandung dalam air formasi meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik itu sendiri meliputi kompresibilitas, kelarutan gas didalam air, viscositas air, berat jenis dan konduktifitas. Sedangkan untuk sifat kimia meliputi ion-ion negatif (anion) dan ionion positif (kation). Sifat fisika kimia air formasi yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.3 Sifat fisika kimia fluida minyak lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian Parameter Suhu Pengukuran ( o C) Density (g/cm 3 ) 0, , ,90142 Temperature 40,02 49,99 59,97 API Density (g/cm 3 ) (15 o C) 0,9314 0,9313 0,9313 API Gravity (15 o C) 20,27 20,3 20,28 API Specific Grafity (15 o C) 0,9323 0,9322 0,932 Viscosity (cp) 25,60 25,24 16,53 16,45 11,69 11,76 Speed (rpm) 60,00 90,00 60,00 90,00 60,00 90,00 Torque (%) 51,22 75,73 33,09 49,36 23,39 35,28 Shear Stress 20,27 29,98 13,10 19,54 9,26 13,97 Shear Rate (1/s) 79,20 118,80 79,20 118,80 79,20 118,80 Tabel 2.4 Sifat fisika kimia fluida air lapangan sandstone yang digunakan dalam penelitian Parameter Unit Air Injeksi Air Formasi Methods *) Part Number Anion 2- SO 4 mg/l <1.44 < SO 4 -E - HCO 3 mg/l B Cl - mg/l Cl-D Kation Na + mg/l B, 3030 E K + mg/l 24,3 13, B, 3030 E Ca 2+ mg/l 25,7 12, B, 3030 E Mg 2+ mg/l 12,9 9, B, 3030 E Ba 2+ mg/l 0,73 0, B, 3030 E Sr 2+ mg/l 3,71 1, B, 3030 E Fe 3+ mg/l 0,26 0, B, 3030 E ph mg/l 8,3 8, H + -B Salinity as NaCl mg/l B Total Hardness as CaCO 3 mg/l , B Total Suspended Solid mg/l D Oil & Grace mg/l < 2 < B Dissolved Oxygen mg/l 5,59 5, O-G

29 15 METODE Bahan Bahan yang digunakan untuk formulasi surfaktan adalah metil ester sulfonat (MES), beberapa alkohol yaitu metanol, etanol, butanol, IPA, propanol, dan pentanol, garam NaCl, alkali (NaOH), air formasi dan air demineral. Untuk uji kelakuan fasa bahan yang digunakan adalah air formasi, air demineral, minyak bumi, dan formulasi surfaktan yang telah dibuat. Adapun bahan yang digunakan untuk pengujian kinerja surfaktan adalah aquades dan formulasi surfaktan pada proses sebelumnya. Alat Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tabung sampel sebanyak 20 tabung untuk formulasi, 20 tabung kelakuan fasa, neraca analitik, 2 buah sudip, 5 buah pipet, 2 buah gelas ukur 100 ml, 5 buah magnetik stirrer dengan panjang 3 cm, viscosimeter, 4 buah syringe, spinning drop tensiometer, density meter dan oven dengan suhu 50 o C. Prosedur Analisis Data Pada penelitian ini dilakukan beberapa tahapan prosedur pengerjaan, prosedur pertama adalah melakukan formulasi larutan surfaktan untuk mendapatkan optimal konsentrasi surfaktan, optimal salinitas, optimal konsentrasi alkohol dan optimal konsentrasi alkali (NaOH). Setelah itu, hasil formulasi dilakukan pengujian nilai densitas dan nilai IFT. Hasil uji nilai IFT terbaik selanjutnya dilakukan uji kelakuan fasa. Formulasi larutan surfaktan ditujukan untuk memperoleh formula larutan surfaktan yang terbaik, yaitu formula yang memiliki nilai terbaik atau mencapai ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm). Formulasi Air Formasi dengan Konsentrasi Surfaktan yang Berbeda Pada tahap ini diformulasikan dahulu antara MES dan air formasi. Total berat hasil formulasi adalah 25 gram untuk satu kali formulasi namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu formulasi. Prosedur percobaannya adalah berat total hasil formulasi ditetapkan sebesar 25 gram. Surfaktan MES ditambahkan dengan konsentrasi yang berbeda terdiri dari 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7%, 1%, 1,5% dan 2%. Contoh perhitungan bobot ( w /w) surfaktan yang digunakan : 0,3% x 25 gram = 0,075 gram Setelah itu, air formasi ditambahkan sampai 25 gram. Semua hasil formulasi diaduk dengan magnetik stirrer dengan suhu ruang (27 o C) selama satu jam. Nilai densitas dan nilai IFT dari formula diukur dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel dibuat duplo lalu hasil terbaik dari uji nilai IFT dilakukan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada sampel air demineral.

30 16 Formulasi Surfaktan MES dan Air Formasi dengan Konsentrasi Garam Anorganik yang Berbeda. Pada tahap ini hasil formulasi surfaktan MES dan air formasi dengan hasil uji penurunan nilai IFT terbaik ditambahkan garam anorganik dengan variasi 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, dan 10%. Berdasarkan hasil uji penurunan nilai IFT, konsentrasi surfaktan MES optimum adalah 0,3%. Prosedur percobaannya adalah berat total hasil formulasi ditetapkan sebesar 25 gram untuk satu konsentrasi namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu konsentrasi garam. Langkah pertama adalah formula garam anorganik dengan air formasi (formula 1) dibuat dengan cara garam anorganik (NaCl) ditimbang sebanyak 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, dan 10%. Contoh perhitungan bobot ( w /w) garam yang digunakan : 1% x 25 gram = 0,25 gram Setelah itu, air formasi ditambahkan pada setiap tabung sampai 25 gram. Semua hasil formulasi diaduk dengan magnetik stirrer pada suhu ruang (27 o C) hingga campuran merata selama 15 menit. Pada tabung yang berbeda surfaktan MES ditimbang sebanyak 0,3% dari 25 gram yaitu 0,075 gram. Lalu formula 1 dimasukkan dalam tabung berisi surfaktan MES sampai dicapai bobot 25 gram. Nilai densitas dan nilai IFT larutan diukur dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel dibuat duplo dan hasil terbaik dari uji nilai IFT dilakukan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada sampel air demineral. Formulasi Surfaktan MES dan Air Formasi dengan Jenis dan Konsentrasi Alkohol yang Berbeda. Pada tahap ini dilakukan dua tahap formulasi. Formulasi pertama merupakan formulasi surfaktan MES dengan air formasi dan formulasi kedua adalah formulasi alkohol dengan hasil fomula pertama. Konsentrasi alkohol yang ditambahkan adalah 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%. Prosedur percobaan dilakukan dengan cara berat total formulasi ditetapkan sebesar 25 gram untuk satu konsentrasi alkohol namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu konsentrasi. Surfaktan MES ditimbang dengan konsentrasi 0,3% dari 25 gram yaitu 0,075 gram. Setelah itu ditambahkan air formasi sampai bobot total mencapai 25 gram. Hasil formulasi pertama diaduk dengan magnetik stirrer pada suhu ruang (27 o C) hingga campuran homogen selama 1 jam. Hasil formulasi pertama yang telah homogen ditambahkan alkohol dengan jenis yang berbeda-beda yaitu metanol, etanol, IPA, propanol, butanol dan pentanol. Pada masing-masing jenis dibuat dengan variasi konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%. Bobot total formulasi ini adalah 25 gram sehingga jika 0,5% alkohol yang ditambahkan maka bobot alkohol yang ditambahkan adalah 0,5% dari 25 gram yaitu 0,125 gram. Setelah itu, hasil formulasi pertama ditambahkan hingga mencapai 25 gram. Hasil formulasi kedua ini diaduk dengan magnetik stirrer hingga campuran merata pada suhu ruang (27 o C) selama 1 jam. Setelah homogen, larutan diukur densitas dan nilai IFT dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel larutan dibuat duplo. Hasil uji penurunan nilai IFT yang terbaik dilanjutkan dengan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada air demineral.

31 17 Formulasi Surfaktan MES dan Air Formasi dengan Alkali (NaOH) Pada tahap ini dilakukan dua tahap formulasi. Formulasi pertama merupakan formulasi surfaktan MES dengan air formasi dan formulasi kedua adalah formulasi alkali dengan hasil fomula pertama. Konsentrasi alkali yang ditambahkan adalah 0,1 1% dengan selang 0,1%. Prosedur percobaan dilakukan dengan cara berat total formula ditetapkan sebesar 25 gram untuk satu konsentrasi alkali namun dalam penelitian ini dibuat 2 sampel untuk satu konsentrasi. Surfaktan MES ditimbang dengan konsentrasi 0,3% dari 25 gram yaitu 0,075 gram. Setelah itu ditambahkan air formasi sampai bobot total mencapai 25 gram. Hasil formulasi pertama diaduk dengan magnetik stirrer pada suhu ruang (27 o C) hingga campuran homogen selama 1 jam. Hasil formulasi pertama ditambahkan alkali dengan konsentrasi 0,1 1% dengan selang 0,1%. Bobot total formulasi ini adalah 25 gram sehingga jika 0,1% alkali yang ditambahkan maka bobot alkali yang ditambahkan adalah 0,1% dari 25 gram yaitu 0,025 gram. Setelah itu, hasil formulasi pertama ditambahkan hingga mencapai 25 gram. Hasil formulasi kedua ini diaduk dengan magnetik stirrer hingga campuran merata pada suhu ruang (27 o C) selama 1 jam. Setelah homogen, larutan dilakukan pengukuran densitas dan nilai IFT dengan prosedur yang terdapat pada Lampiran 2. Sampel larutan dibuat duplo. Hasil uji penurunan nilai IFT yang terbaik akan dilakukan uji kelakuan fasa. Perlakuan yang sama dilakukan pada air demineral. Uji Kelakuan Fasa/Phase Behaviour Uji kelakuan fasa dilakukan pada larutan surfaktan yang memberikan nilai IFT mencapai 10-3 dyne/cm. Metode yang digunakan pada metode ini adalah metode tabung tertutup. Prosedur analisis yang dilakukan adalah 2 ml surfaktan dimasukkan ke dalam graduated pipette berukuran 5 ml lalu ditambahkan minyak mentah (crude oil) sebanyak 2 ml. Bagian bawah dan atas pipet diseal dengan bor api. Pipet ditempatkan pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama 30 menit. Sebagai data awal volume surfaktan dan minyak diamati dan dicatat. Setiap pipet dibolak-balikkan sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok. Selanjutnya, diamati perubahan pada antarmuka fluida setelah hari ke 7 dan 14 apakah terbentuk emulsi tipe II(-), III, atau II(+). Larutan dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antarmuka fluida tidak berubah secara signifikan. Setelah itu, dilakukan perhitungan rasio kelarutan minyak dan ratio kelarutan air. Ratio kelarutan air ditentukan oleh volume air dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Ratio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan tipe III. Ratio kelarutan air digunakan untuk kelakuan fasa tipe II dan tipe III. HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Larutan Surfaktan Formulasi merupakan sebuah tahapan yang menentukan performa terbaik dari larutan surfaktan yang dihasilkan untuk aplikasi enhanced oil recovery (EOR). Performa terbaik yang dimaksud adalah formula surfaktan yang mampu

32 18 menurunkan tegangan antarmuka (IFT) antara minyak-larutan surfaktan dan merubah sifat batuan yang suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet). Dengan performa terbaik tersebut diharapkan mampu memproduksi minyak secara optimal. Formulasi dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu optimal surfaktan, optimal salinitas, optimal co-surfaktan dan optimal alkali. Tahapan terstruktur dilakukan untuk memperoleh data yang valid. Karakteristik utama yang harus dipenuhi untuk aplikasi EOR menggunakan surfaktan adalah nilai IFT dari fomula larutan surfaktan. Hal ini dikarenakan penggunaan surfaktan bertujuan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fasa minyak dan fasa air. Pada tahap formulasi ini dilakukan uji kinerja dari formula surfaktan yang dihasilkan berupa pengukuran densitas, uji IFT, dan uji kelakuan fasa. Pada uji kinerja tersebut, digunakan contoh fluida dan minyak dari Lapangan Sandstone di Sumatera untuk memperoleh nilai IFT dari larutan surfaktan. Tahapan awal formulasi yaitu optimal konsentrasi surfaktan. Optimal konsentrasi surfaktan bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum surfaktan. Pada tahapan ini, digunakan konsentrasi surfaktan MES yang berbeda yaitu 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7%, 1%, 1,5% dan 2%. Setelah dilakukan pengadukan dan pemanasan pada suhu ruang (27 o C) selama 1 jam surfaktan MES dapat bercampur dengan baik pada air formasi dan air demineral. Pada konsentrasi surfaktan MES yang rendah, ketika dilarutkan dalam air formasi, larutan yang dihasilkan berwarna putih agak kekuningan sedangkan larutan yang dihasilkan pada air demineral berwarna putih. Pada kedua sampel semakin tinggi konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan semakin berwarna coklat. Perbedaan warna terjadi karena warna larutan awal yang digunakan juga berbeda dimana warna air formasi adalah jernih kekuningan sedangkan air demineral berwarna bening. Perubahan warna larutan dengan peningkatan konsentrasi surfaktan terdapat pada Lampiran 5. Formulasi kedua adalah formulasi tahap optimal salinitas yang bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air demineral dan air formasi. Pada tahapan ini, digunakan NaCl dengan variasi konsentrasi yaitu sampai ppm dengan selang ppm. Tahapan awal formulasi ini adalah mencampurkan garam NaCl dengan air sampel sesuai dengan konsentrasi yang ditetapkan. Setelah itu, hasil formulasi awal dilakukan penambahan surfaktan MES sebanyak 0,3%. Larutan yang dihasilkan pada air formasi adalah larutan berwarna putih kekuningan namun surfaktan MES terlihat tidak tercampur sempurna. Hal ini terlihat pada bagian atas larutan terdapat gumpalan busa berwarna coklat. Semakin tinggi konsentrasi garam yang ditambahkan, gumpalan busa yang dihasilkan semakin banyak. Hasil pengamatan warna pada formulasi air demineral, surfaktan MES dan NaCl adalah warna yang dihasilkan berwarna putih sedikit coklat. Pada penambahan 1% NaCl terjadi pencampuran yang baik antara air demineral, garam NaCl dan surfaktan MES. Ketika konsentrasi garam ditingkatkan menjadi 2% dan seterusnya mulai terbentuk gumpalan busa coklat diatas larutan yang menandakan sisa surfaktan MES yang tidak tercampur sempurna. Hal ini menjelaskan peningkatan kadar garam meningkatkan kelarutan surfaktan MES di air jadi berkurang. Perubahan warna larutan dan fenomena pembentukan lapisan busa dengan peningkatan konsentrasi garam terdapat pada Lampiran 5.

33 19 Formulasi ketiga adalah formulasi tahap optimal konsentrasi co-surfaktan yang bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi alkohol yang optimum pada air demineral dan air formasi. Pada tahapan ini, digunakan 6 jenis alkohol yaitu metanol, etanol, isopropil alkohol, propanol, butanol, dan pentanol dengan variasi konsentrasi yaitu 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%. Pada tahap awal formulasi dilakukan pencampuran antara air sampel dan surfaktan MES, kemudian dilakukan pengadukan dengan suhu ruang (27 o C). Setelah itu hasil formulasi awal ditambahkan alkohol dengan jenis dan konsentrasi yang telah ditetapkan yang kemudian dilakukan pengadukan tanpa pemanasan. Pada tahapan kedua ini dilakukan pencampuran tanpa pemanasan untuk menghindari menguapnya alkohol pada larutan sehingga alkohol dapat tercampur dengan baik pada larutan. Hasil pengamatan warna menunjukkan larutan dengan sampel air formasi adalah putih kecoklatan. Pada sampel air formasi terlihat adanya lapisan kuning kecoklatan dibagian atas larutan yang menunjukkan surfaktan MES tidak tercampur merata. Sedangkan warna sampel air demineral adalah putih susu. Peningkatan konsentrasi alkohol yang diberikan menyebabkan warna semakin pekat. Pencampuran antara air demineral, surfaktan MES dan alkohol menghasilkan larutan yang homogen. Perubahan warna larutan dan fenomena pembentukan lapisan busa dengan peningkatan konsentrasi alkohol terdapat pada Lampiran 5. Formulasi keempat adalah formulasi tahap optimal alkali yang bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi alkali yang optimum pada air demineral dan air formasi. Pada tahapan ini, digunakan jenis alkali NaOH dengan konsentrasi 0,1 1% dengan selang 0,1%. Pada tahap awal formulasi dilakukan pencampuran antara air sampel dan surfaktan MES, kemudian dilakukan pengadukan dengan suhu ruang (27 o C). Setelah itu hasil formulasi awal ditambahkan alkali yaitu NaOH yang kemudian dilakukan pengadukan dengan suhu ruang (27 o C). Hasil pengamatan warna menunjukkan pada larutan dengan sampel air formasi adalah putih kecoklatan. Peningkatan konsentrasi NaOH yang ditambahkan menyebabkan warna semakin pekat. Pada sampel air formasi terlihat adanya lapisan kuning kecoklatan dibagian atas larutan yang menunjukkan surfaktan MES tidak tercampur merata. Sedangkan warna sampel air demineral adalah putih susu. Peningkatan konsentrasi NaOH yang diberikan menyebabkan warna putih semakin pekat. Pencampuran antara air demineral, surfaktan MES dan alkohol menghasilkan larutan yang homogen. Perubahan warna larutan dan fenomena pembentukan lapisan busa dengan peningkatan konsentrasi alkali terdapat pada Lampiran 5. Uji Densitas Densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm 3 ). Nilai densitas dibutuhkan untuk mendapatkan nilai different density yang akan digunakan ketika uji nilai IFT. Nilai different density merupakan selisih antara densitas minyak dengan densitas larutan pada suhu pengukuran yang sama. Pengujian nilai densitas dilakukan pada tiga suhu yaitu 40, 50 dan 60 o C. Berikut

34 20 disajikan grafik nilai densitas tahap optimal konsentrasi surfaktan dengan media pendispersi air formasi pada Gambar 4.1 dan air demineral pada Gambar 4.2. Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0780 1,0680 1,0580 1,0480 1,0380 1,0280 1,0180 1,0080 0,9980 0,9880 0,01 0 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.1 Hubungan antara konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0720 1,0620 1,0520 1,0420 1,0320 1,0220 1,0120 1,0020 0,9920 0,9820 0,01 0 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.2 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral Pada Gambar 4.1 dan 4.2 terlihat semakin besar konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan semakin kecil nilai densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki slop negatif. Hasil yang berbeda akan didapatkan pada pengujian sampel optimal salinitas. Berikut akan disajikan grafik nilai densitas tahap optimal salinitas dengan media pendispersi air formasi pada Gambar 4.3 dan air demineral pada Gambar 4.4.

35 21 Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0760 1,0660 1,0560 1,0460 1,0360 1,0260 1,0160 1,0060 0,9960 0,9860 0, Konsentrasi NaCl (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.3 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi Hasil pengujian densitas tahap optimal salinitas terlihat pada Gambar 4.3 dan 4.4 bahwa semakin besar konsentrasi garam yang ditambahkan pada larutan surfaktan MES 0,3 % akan semakin besar pula densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki trend positif. Hal ini terjadi karena penambahan NaCl meningkatkan jumlah zat terlarut didalam larutan sehingga massa total didalam larutan meningkat. Selain itu, penambahan massa juga didapatkan dari garam-garam yang terbentuk antara ion-ion didalam air formasi misalnya antara ion Mg + dan Cl - menjadi MgCl. Hal yang sama juga terjadi pada air demineral karena didalam air demineral masih terdapat ion H + dan OH -. Menurut Taylor (1997), air deionisasi atau air ultra- murni tidak memiliki ion asing, itu tidak berarti bahwa ia memiliki konduktivitas 0 us/cm. Nilai konduktivitas akan sangat kecil, dan dalam kebanyakan situasi diabaikan, tetapi bahkan air deionisasi memiliki ion H + dan ion OH -. Pada suhu kamar konsentrasi dari kedua ion H + dan ion OH - adalah 10 ⁷ M (berpikir ph air deionisasi akan memiliki ph netral 7 tanpa kontak atmosfer) menciptakan nilai konduktivitas yang sangat kecil. Meskipun demikian nilai konduktivitas yang rendah, air deionisasi masih akan memiliki salinitas nol hanya H + dan OH - yang secara alami ada dalam air murni. Selama tidak memiliki kontak dengan udara ( terutama CO2 ), air deionisasi harus memiliki konduktivitas us/cm, atau resistivitas 18 megohms pada 25 C (Elert 2006). Jika air deionisasi telah diseimbangkan dengan udara, konduktivitas akan lebih dekat dengan 1 us/cm (1 megohm) pada 25 C (dan akan memiliki ph 5,56). Kebanyakan standar memiliki berbagai konduktivitas 0,5-3 us/cm pada 25 C untuk air suling, tergantung pada lamanya waktu yang telah terkena udara. Pembuktian hal ini maka dilakukan pengukuran salinitas dengan menggunakan refraktometer beberapa sampel dengan media pendispersi air formasi dan air demineral. Refraktometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur semua garam yang terdapat pada larutan baik NaCl maupun garam lain. Berdasarkan pengujian pada sampel 1% NaCl dengan media pendispersi air formasi, total garam yang terdapat pada larutan adalah mg/l. Sedangkan bila

36 22 berdasarkan perhitungan manual bila garam NaCl saja hanya terdapat 5975 mg/l ditambah dengan mg/l sehingga mg/l. Pada media pendispersi air demineral nilai salinitas berdasarkan pengukuran adalah 3500 mg/l sedangkan menurut perhitungan adalah 2500 mg/l. Menurut Martinez (2014) setiap penambahan 100 g garam pada 1 kg air meningkatkan volume larutan sebanyak 34 ± 1 cm 3. Berdasarkan data ini, peningkatan volume larutan yang dihasilkan dengan penambahan garam sangat sedikit bila dibandingkan dengan garam NaCl yang ditambahkan. Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0800 1,0700 1,0600 1,0500 1,0400 1,0300 1,0200 1,0100 1,0000 0,9900 0,9800 0, Konsentrasi NaCl (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.4 Hubungan konsentrasi NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Pengujian densitas selanjutnya pada formula tahapan optimal konsentrasi cosurfactant. Berikut disajikan grafik nilai densitas tahap optimal konsentrasi cosurfactant pada larutan surfaktan MES 0,3 % dengan media pendispersi air formasi dan air demineral. 1,005 0,9995 0,9990 0,9985 0,9980 0,9975 0,9970 0,9965 0,9960 0,005 0 Nilai densitasn (g/cm3)1, ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.5 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 40 o C

37 23 Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,081 1,08 0,9965 0,9955 0,9945 0,9935 0,9925 0,9915 0, ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.6 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 50 o C Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,081 1,08 Jenis 0,9920 alkohol : 0,9910 Metanol 0,9900 Etanol 0,9890 IPA 0,9880 Propanol 0,9870 Butanol 0,9860 Pentanol 0, ,5 Konsentrasi 1alkohol (%) 1,5 2 Gambar 4.7 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu pengukuran 60 o C Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,082 1,08 Jenis alkohol : 0,9950 Metanol Etanol 0,9930 IPA 0,9910 Propanol 0,9890 Butanol 0,002 Pentanol 0 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Gambar 4.8 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 40 o C

38 24 Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,082 1,08 0,9900 0,9880 0,9860 0,9840 0,9820 0, ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.9 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 50 o C Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,082 1,08 0,9860 0,9840 0,9820 0,9800 0, ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.10 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu pengukuran 60 o C Hasil pengujian densitas tahap optimal konsentrasi co-surfactant terlihat pada gambar bahwa semakin besar konsentrasi alkohol yang ditambahkan pada larutan surfaktan MES 0,3% akan semakin kecil densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki trend negatif. Menurut Martinez (2014), kepadatan larutan dapat didekati dengan cara berikut : 1. larutan air-methanol pada 15 ºC : ρ = γmetanol 56γ 2 metanol kg/m 3 dengan γmethanol menjadi fraksi massa, atau ρ = γmetanol 130γ 2 metanol kg/m 3 dengan γmethanol menjadi sekarang fraksi volume 2. larutan air-etanol pada 15 ºC : untuk < 30 % vol, ρ = γetanol kg/m 3, dan untuk > 30 % vol, ρ = γetanol kg/m 3 γethanol di sini adalah fraksi volume (misalnya 40 º wiski memiliki 40 % alkohol dalam volume, γethanol = 0,40, sesuai untuk γethanol = 0,35 berat). Pencampuran etanol dan air pada suhu dan tekanan konstan, mengurangi volume keseluruhan,

39 25 dengan penurunan maksimum 3,5 % untuk 60 % etanol dengan 40 % air. Berdasarkan persamaan diatas sudah jelas bahwa penambahan alkohol pada air pendispersi dapat menurunkan nilai densitas. Pengujian densitas selanjutnya pada formula tahapan optimal konsentrasi alkali. Berikut disajikan grafik nilai densitas tahap optimal konsentrasi alkali dengan media pendispersi air formasi pada Gambar 4.11 dan air demineral pada gambar Pada gambar terlihat semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka semakin besar nilai densitas yang dihasilkan. Sehingga trend grafik yang dihasilkan memiliki slop positif. Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0800 1,0600 1,0400 1,0200 Suhu 1,0000 pengukuran ( o C): 0, , ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Gambar 4.11 Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi Nilai densitas (g/cm 3 ) 1,0800 1,0600 1,0400 1,0200 1,0000 0,9800 0, ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.12 Hubungan antara pengaruh konsentrasi NaOH (%) dan suhu pengukuran terhadap nilai densitas larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Dari grafik yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat terdapat persamaan dimana suhu berpengaruh terhadap densitas larutan yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu yang digunakan semakin rendah nilai densitas sehingga nilai IFT yang

40 26 dihasilkan juga akan semakin kecil. Efek suhu terhadap densitas larutan tidak dapat diabaikan, hal ini karena cairan jika dipanaskan akan merenggang sehingga meningkatkan volume larutan namun massa larutan tetap. Berdasarkan grafik formulasi optimal konsentrasi surfaktan dan optimal konsentrasi alkohol, densitas larutan memiliki kecenderungan menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi surfaktan maupun alkohol. Hal ini terjadi karena fluida memiliki peningkatan volume yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan massa. Sedangkan untuk grafik formulasi optimal salinitas dan konsentrasi alkali, densitas larutan memiliki kecenderungan meningkat dengan peningkatan konsentrasi NaCl dan NaOH. Hal ini terjadi karena zat padat memiliki peningkatan massa yang lebih besar dibanding peningkatan volumenya. Uji Nilai IFT Pengujian nilai IFT menggunakan alat spinning drop tensiometer tipe TX 500 D. Pengujian nilai IFT dilakukan pada 3 suhu yaitu 40, 50 dan 60 o C dengan keceparan putaran 6000 rpm. Hasil pengujian IFT pada tahap optimal konsentrasi surfaktan digambarkan pada Gambar 4.13 untuk media pendispersi air demineral dan Gambar 4.14 untuk media pendispersi air formasi. 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran nilai IFT ( o C) : Gambar 4.13 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral Konsentrasi surfaktan yang optimum untuk formula air demineral sebagai media pendispersi adalah 0,7% surfaktan MES namun tidak memenuhi ultralow interfacial tension. Sedangkan konsentrasi surfaktan yang optimum untuk formula air formasi sebagai media pendispersi adalah 0,3% surfaktan MES. Hasil uji nilai IFT untuk media pendispersi air demineral pada suhu 40 o C adalah 6,75 x 10 0 dyne/cm, pada suhu 50 o C adalah 1,12 x 10 1 dyne/cm dan pada suhu 60 o C adalah 8,31 x 10 0 dyne/cm. Hasil uji untuk media pendispersi air formasi pada suhu 40 o C didapatkan nilai IFT 4,40 x 10-3 dyne/cm, pada suhu 50 o C didapatkan nilai IFT 1,68 x 10-3 dyne/cm dan pada suhu 60 o C didapatkan nilai IFT 1,10 x 10-3 dyne/cm.

41 27 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 0,1 0,3 0,5 0,7 1 1,5 2 Konsentrasi surfaktan MES (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.14 Hubungan konsentrasi surfaktan MES dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan dengan media pendispersi air formasi Perbedaan hasil uji nilai IFT pada sampel larutan surfaktan dengan media pendispersi air demineral dan air formasi disebabkan karena perbedaan salinitas air dimana salinitas air formasi mencapai 5795 ppm sedangkan salinitas air demineral 0 ppm. Nilai minimum IFT terjadi pada kondisi salinitas optimum dan pada kondisi ini emulsi yang terbentuk bisa mencapai fasa III. Cayias et al. (1977), menjelaskan bahwa IFT menurun seiring bertambahnya konsentrasi surfaktan. Penurunan sampai pada sebuah nilai konsentrasi tertentu, nilai tegangan antarmuka akan mencapai nilai minimum. Ketika konsentrasi terus ditingkatkan hingga melebihi nilai konsentrasi kritis ini, nilai tegangan antarmuka justru meningkat. Hal ini seperti yang terlihat pada Gambar 4.13 dan Menurut Ajith et al. (1994) dan Sampath (1998), larutan garam (air formasi) berfungsi sebagai larutan elektrolit. Keberadaan elektrolit dalam sistem yang mengandung surfaktan akan mengurangi interaksi surfaktan-air. Gugus lipofilik surfaktan ionik akan berikatan sebagian atau seluruhnya dengan elektrolit, sehingga masing-masing molekul akan berikatan dengan molekul yang sesuai. Bila surfaktan anionik yang digunakan, maka muatan negatif pada gugus aktif (lipofilik) akan berinteraksi positif dengan muatan positif pada molekul garam, misalnya molekul Na + pada larutan NaCl. Lain halnya dengan air demineral dimana didalamnya tidak terdapat larutan garam/elektrolit sehingga interaksi antara surfaktan air lebih besar dibandingkan dengan minyak. Hasil pengujian nilai IFT menghasilkan gambaran respon minyak yang berbeda antara media pendispersi air formasi dan air demineral. Pada sampel dengan media pendispersi air formasi, contoh minyak dari lapangan sandstone yang digunakan akan berpilin memanjang selama pengujian nilai IFT sedangkan pada sampel dengan media pendispersi air demineral, minyak yang digunakan tetap berbentuk bulat selama pengujian nilai IFT. Hal ini menunjukkan minyak tidak dapat bercampur meskipun sudah ditambahkan surfaktan didalamnya karena tidak ada kandungan garam didalamnya. Gaya tolak antar head group molekul surfaktan yang terjadi dalam larutan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap self assembly molekul-molekul surfaktan untuk membentuk misel. Pada larutan surfaktan

42 28 anionik, gaya tolak ini terjadi karena muatan sejenis yang dimiliki oleh head group surfaktan. Gaya tolak ini akan menghambat molekul-molekul surfaktan untuk beragregasi sehingga harus dikurangi (Kumar et al. 1997). Gaya tolak yang terjadi dalam larutan surfaktan disebabkan karena lemahnya kekuatan ionik larutan. Salah satu cara untuk menaikkan kekuatan ionik larutan adalah dengan menambahkan garam seperti pada media pendispersi air formasi. Ion-ion garam akan memberikan efek screen out, sehingga gaya tolak antar head group berkurang. Hal ini mendorong pada penurunan energi bebas pembentukan misel sehingga molekulmolekul surfaktan menjadi lebih mudah untuk bergabung dan misel yang terbentuk cenderung berukuran lebih besar (Hunter 2001). Kecenderungan pertumbuhan misel ini dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi garam yang ditambahkan (Putra dan Ikram 2009). Semakin pekat konsentrasi garam yang ditambahkan, pengaruh screen out yang terjadi juga semakin besar dan pada akhirnya memperbesar kecenderungan pertumbuhan misel. Oleh karena itu, penambahan garam dalam konsentrasi tinggi pada larutan surfaktan pekat akan mendorong misel untuk tumbuh hingga mencapai bentuk silinder yang fleksibel (worm like) seperti yang tampak pada respon minyak dengan media pendispersi air formasi (Patriati dan Putra 2008). Dalam larutan MES pertumbuhan misel dengan hadirnya NaCl, diakibatkan oleh adanya efek screen out dari ion Na + yang berasal dari NaCl terlarut. Ion Na + dari NaCl akan menetralkan muatan dari gugus sulfonat pada head group molekul MES sehingga gaya tolak antar head group yang disebabkan oleh muatan sejenis dapat dikurangi. Penampakan semakin besarnya pembentukan misel dengan penambahan konsentrasi garam terlihat pada formula berikutnya pada Gambar 4.15 dan 4.16 yang akan memperbesar nilai IFT dengan semakin besar garam yang ditambahkan. Adapun mekanisme dari penurunan tegangan antarmuka minyak dengan air akibat penginjeksian larutan surfaktan adalah sebagai berikut: surfaktan organik memiliki gugus dasar hidrokarbon (R) dan berikatan dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus kimianya adalah R-SO3H. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi SO3 - dan H +. Bila ion molekul RSO3 - kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan minyak), sedangkan pada molekul surfaktan ini sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3 -, pengaruh gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dan air akan menurun (Affiati 1992). Saat ini diyakini jika IFT dapat diturunkan menjadi 10-3 dyne/cm, maka fraksi minyak dalam pori-pori batuan dapat dimobilisasi lebih baik (Baviere et al. 1992). Formulasi tahap selanjutnya adalah optimal salinitas dengan menambahkan NaCl pada air formasi dan air demineral. Hasil yang didapat pada tahapan ini adalah dimana nilai IFT semakin meningkat dengan semakin bertambahnya konsentrasi NaCl yang ditambahkan. Fenomena ini terjadi pada sampel dengan media pendispersi air formasi. Sedangkan untuk sampel dengan media pendispersi air demineral dengan penambahan garam menyebabkan nilai IFT menurun dan kemudian naik kembali seiring dengan peningkatan kadar garam. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.15 dan 4.16.

43 29 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,25 0,5 0,75 1 1,25 1, Konsentrasi NaCl (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.15 Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral Pada gambar diatas menjelaskan konsentrasi garam optimum untuk surfaktan MES yaitu pada konsentrasi 5000 ppm sampai ppm atau pada konsentrasi 0,5% sampai 2,5%. Sehingga surfaktan ini sangat cocok untuk lapangan sandstone yang memiliki salinitas pada 5975 ppm yang berada pada range optimum. Sedangkan untuk reservoar yang memiliki konsentrasi lebih rendah atau lebih tinggi dari range ppm maka surfaktan ini tidak cocok sehingga harus mencari surfaktan lain. Berdasarkan data ini juga ketika sampel air formasi ditambahkan garam dengan konsentrasi lebih dari 2% nilai IFTnya sudah tidak mencapai 10-3 dyne/cm seperti yang terlihat pada Gambar ,00E+02 1,00E+01 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 Suhu pengukuran nilai IFT ( o C) : 1,00E-03 1,00E Kosentrasi NaCl (%) Gambar 4.16 Hubungan pengaruh konsentrasi garam NaCl dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi

44 30 Pada formula campuran air demineral, 0,3% MES dan NaCl, nilai IFT terendah didapat pada penambahan NaCl 5000 ppm. Penambahan kadar NaCl pada air demineral menyebabkan semakin meningkatnya nilai IFT yang dihasilkan. Pada sampel media pendispersi air formasi, nilai IFT terendah didapat pada formulasi tanpa penambahan NaCl. Hal ini menjelaskan air formasi sudah mencapai salinitas optimum pada kadar salinitas 5795 ppm dengan konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan sebanyak 0,3%. Semakin besar penambahan NaCl menyebabkan semakin besar nilai IFT yang dihasilkan. Menurut Hovda (2002) dan Mac Arthur et al. (2002) melaporkan bahwa keberadaan garam dalam larutan yang mengandung MES akan mengakibatkan MES kehilangan sifat aktif permukaannya karena MES bereaksi membentuk senyawa dinatrium karboksi sulfonat (di-salt). Surfaktan anionik (MES) yang semula mengikat satu molekul Na akan mengikat lagi Na yang berasal dari larutan garam NaCl sehingga dalam satu molekulnya akan terdapat dua Na. Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat dapat dijelaskan pada Gambar Hal ini menyebabkan menurunnya kinerja surfaktan sehingga dihasilkan nilai IFT yang semakin besar. Gambar 4.17 Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat Berdasarkan hasil penelitian penambahan garam pada larutan sampai konsentrasi optimum akan menurunkan nilai IFT. Reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat akan mulai terbentuk ketika garam yang terdapat pada larutan melebihi batas garam optimum dari surfaktan itu sendiri. Surfaktan MES yang digunakan memiliki konsentrasi garam optimum pada ppm. Jika garam yang terdapat pada larutan melebihi 5000ppm maka nilai IFT larutan mulai meningkat seperti yang terlihat pada Gambar Pada hasil pengujian sampel dengan media pendispersi air demineral dihasilkan nilai IFT yang lebih rendah dibanding menggunakan air formasi dengan kadar garam yang sama dan konsentrasi surfaktan MES yang sama pula yaitu 0,3%. Hasil terendah didapat pada konsentrasi 0,5% atau 5000 ppm, kadar garam ini mendekati kadar garam pada air formasi. Pada hasil pengujian diketiga suhu dengan penambahan ppm garam dengan media pendispersi air demineral dihasilkan nilai IFT 2,64 x ,3 x 10-3 dyne/cm. Hasil ini memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai IFT pada air formasi yaitu 1,10 x 10-3 sampai 4,40 x Hal ini dapat dipengaruhi karena pada air demineral hanya sedikit sekali elektrolit selain NaCl yang terkandung bila dibandingkan dengan elektrolit pada air formasi. Adanya elektrolit lain selain yang berasal dari NaCl diduga dapat menghambat reaksi penurunan nilai IFT oleh surfaktan.

45 31 Air yang memiliki sifat sadah seperti air formasi yang digunakan mengandung kation Ca 2+ (12,2 mg/l) atau Mg 2+ (9,08 mg/l), semakin tinggi tingkat kesadahan maka konsentrasi kation dalam air semakin tinggi. Surfaktan MES yang termasuk ke dalam kelompok surfaktan anionik dengan gugus aktif yang bermuatan negatif, jika surfaktan ini bertemu dengan air sadah maka gugus aktif tersebut akan membentuk ikatan dengan ion Ca 2+ atau Mg 2+. Dengan terbentuknya ikatan antara ion negatif pada surfaktan dengan kation ini akan menurunkan kinerja surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka yang ditandai dengan besarnya nilai tegangan antarmuka. Komponen tidak larut yang terbentuk adalah (RCH(SO3Na)CO2Ca (Fessenden et al. 1982). Dengan adanya komponen tidak larut dalam larutan surfaktan akan mengurangi sifat kelarutan surfaktan dalam air sehingga kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka semakin kecil. Peningkatan penambahan konsentrasi garam juga dapat meningkatkan viscositas larutan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2. Tabel 4.1 Data viskositas pada media pendispersi air formasi Nama Sampel Nilai viskositas (cp) 40 o C 50 o C 60 o C AF 0,3% S-MES 1% NaCl 1,08 0,98 0,91 AF 0,3% S-MES 2% NaCl 1,09 0,99 0,91 AF 0,3% S-MES 3% NaCl 1,09 1,00 0,90 AF 0,3% S-MES 4% NaCl 1,09 1,00 0,90 AF 0,3% S-MES 5% NaCl 1,10 1,01 0,94 AF 0,3% S-MES 6% NaCl 1,11 1,07 1,03 AF 0,3% S-MES 7% NaCl 1,11 1,08 1,02 AF 0,3% S-MES 8% NaCl 1,14 1,09 1,00 AF 0,3% S-MES 9% NaCl 1,16 1,10 1,04 AF 0,3% S-MES 10% NaCl 1,16 1,09 1,04 Tabel 4.2 Data viskositas pada media pendispersi air demineral Nama Sampel Nilai viskositas (cp) 40 o C 50 o C 60 o C AD 0,3% S-MES 1% NaCl 1,04 0,93 0,88 AD 0,3% S-MES 2% NaCl 1,03 0,94 0,92 AD 0,3% S-MES 3% NaCl 1,08 0,96 0,94 AD 0,3% S-MES 4% NaCl 1,09 0,98 0,95 AD 0,3% S-MES 5% NaCl 1,09 0,99 0,97 AD 0,3% S-MES 6% NaCl 1,08 1,05 0,98 AD 0,3% S-MES 7% NaCl 1,09 1,06 1,02 AD 0,3% S-MES 8% NaCl 1,10 1,06 1,00 AD 0,3% S-MES 9% NaCl 1,13 1,06 1,03 AD 0,3% S-MES 10% NaCl 1,13 1,09 1,01

46 32 Menurut Murray (2004), peningkatan viskositas pada larutan dengan penambahan garam berhubungan dengan daya elektrositas dan proses hidrasi pada struktur air. Garam yang dapat meningkatkan viskositas disebut sebagai structure makers sedangkan garam yang menurunkan viskositas disebut dengan structure breakers. Diduga terjadinya peningkatan viskositas pada suatu larutan karena dalam larutan tersebut didominasi oleh garam dengan jenis structure makers. Berdasarkan rumus capillary number semakin besar viskositas larutan maka semakin akan menyebabkan peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Pada saat nilai IFT larutan yang dihasilkan kecil maka nilai capillary number akan membesar sehingga meningkatkan jumlah minyak yang dihasilkan. Namun, peningkatan garam yang melebihi titik optimum akan meningkatkan nilai IFT larutan, hal ini menyebabkan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai capillary number sehingga jumlah minyak yang dihasilkan tidak akan berbeda jauh. Formulasi selanjutnya adalah optimal konsentrasi co-surfactant dalam penelitian ini digunakan 6 jenis alkohol yaitu metanol, etanol, isopropil alkohol, propanol, butanol, dan pentanol. Hasil pengujian IFT dari ketiga suhu ditampilkan pada grafik dibawah ini. Pada grafik terlihat adanya penambahan alkohol menghasilkan nilai IFT yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan alkohol. Berdasarkan grafik dibawah untuk semua jenis alkohol kecuali pentanol, dengan semakin banyak konsentrasi alkohol yang ditambahkan maka akan menurunkan nilai IFT yang didapat. Hal ini berhubungan dengan efektifitas surfaktan. Penambahan alkohol pada formula diharapkan mampu meningkatkan kelarutan surfaktan pada minyak. Hal ini sesuai dengan dengan karakteristik alkohol, semakin panjang rantai karbon maka alkohol tersebut semakin larut terhadap minyak. Pada jenis alkohol dengan rantai C kurang dari 5 memiliki sifat tidak larut dalam minyak sehingga meningkatkan sifat hidrofilik surfaktan tetapi untuk jenis alkohol mulai dari rantai 5 lebih larut pada minyak sehingga dapat meningkatkan sifat hidrofobik surfaktan. Hal ini menyebabkan tingkat kemudahan alkohol untuk melarutkan minyak semakin besar. Sedangkan semakin panjang rantai alkil, kelarutan alkohol dalam air akan semakin kecil. Namun menurut Sheng (2011), gugus OH pada alkohol tidak cukup polar untuk berlaku seperti sebuah gugus hidrofobik. Selain itu, kehadiran pelarut mempengaruhi efektifitas salinitas dan menyebabkan perubahan pada bidang batas fasa. Alkohol merupakan senyawa organik dengan sebuah gugus fungsi OH. Pada suatu larutan, hidrogen dapat terlepas dan menghasilkan larutan asam. Alkohol yang berantai pendek seperti propanol meningkatkan nilai salinitas optimal untuk surfaktan sulfonat, sedangkan alkohol berantai panjang seperti pentanol dan hexanol akan mengurangi nilai salinitas optimal. Suatu bagian alkohol juga termasuk pada struktur batas fasa micellar seperti sulfonat. Contohnya pada penambahan iso-propanol meningkatkan kelarutan sulfonat pada fasa cair lebih baik dari pada kelarutan pada fasa minyak. Alkohol berantai pendek yang hanya memiliki 3 atom karbon, tidak bisa membentuk micelle (Sheng 2011). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dan tertera pada Gambar 4.18; 4.19; 4.20; 4.21; 4.22; 4.23.

47 33 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+02 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.18 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 40 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.19 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 50 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E-04 Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol 0 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Gambar 4.20 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air demineral pada suhu 60 o C

48 34 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+02 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.21 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 40 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol : Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.22 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 50 o C 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,5 1 1,5 2 Konsentrasi alkohol (%) Jenis alkohol Metanol Etanol IPA Propanol Butanol Pentanol Gambar 4.23 Hubungan konsentrasi dan jenis alkohol terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi air formasi pada suhu 60 o C

49 35 Tahap selanjutnya adalah pengujian nilai IFT pada formula optimal konsentrasi alkali. Hasil pengujian formula antara air formasi, 0,3% MES dan NaOH digambarkan pada Gambar Pada gambar terlihat bahwa trend yang dihasilkan akan menurun seiring dengan penambahan NaOH. Namun hasil yang stabil hanya didapat pada suhu pengukuran 40 o C. Pengukuran pada suhu 50 dan 60 o C dihasilkan nilai IFT yang tidak stabil. Hal ini menunjukkan emulsi yang terbentuk antara formula dan minyak tidak stabil terhadap panas. Selain itu, penambahan NaOH akan menghasilkan reaksi eksoterm pada formula yang akan mempengaruhi karakteristik formula. Hasil pengujian nilai IFT pada formula air demineral, 0,3% MES dan NaOH digambarkan pada Gambar Hasil pengujian nilai IFT pada ketiga suhu menunjukkan trend menurun seiring dengan penambahan konsentrasi NaOH. Hasil pengujian terbaik dari ketiga suhu adalah pada penambahan NaOH dengan konsentrasi 1%. Adanya perbedaan hasil antara air formasi dan air demineral dapat disebabkan karena kandungan air yang berbeda. 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.24 Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air demineral 1,00E+02 Nilai IFT (dyne/cm) 1,00E+01 1,00E+00 1,00E-01 1,00E-02 1,00E-03 1,00E ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Konsentrasi NaOH (%) Suhu pengukuran ( o C) : Gambar 4.25 Hubungan konsentrasi NaOH dan suhu pengukuran terhadap nilai IFT larutan surfaktan MES 0,3% dengan media pendispersi pada air formasi

50 36 Menurut Lakatos-Szabo dan Lakatos (1999), minyak bumi merupakan campuran hidrokarbon dan asam karboksilat organik yang direpresentasikan sebagai asam HA. Asam HA ini mendistribusikan diri diantara fasa minyak dan fasa larutan surfaktan dan alkali. Diduga ketika terjadi kontak antara fasa larutan dan minyak, alkali dalam fasa larutan dan asam organik (HA) dalam fasa minyak akan berpindah menuju antarmuka, bereaksi dan menghasilkan senyawa aktif permukaan (petroleum soap) sehingga nilai tegangan antarmuka menjadi turun. Reaksi yang terjadi dapat terlihat pada Gambar HAo + NaOH - NaAo + H2O Gambar 4.26 Reaksi pembentukan petroleum soap Semakin besar bilangan asam minyak semakin besar bilangan penyabunan yang menyebabkan semakin kecil nilai IFT yang dihasilkan. Menurut ASTM Committee D-2 on Petroleum Products and Lubricants (2003), total bilangan asam minyak bumi mengindikasikan dari kandungan asam naftan pada minyak bumi. Bilangan asam ini juga mengindikasikan keberadaan asam anorganik lain. Pengukuran bilangan asam berdasarkan ASTM D 664 dengan cara titrasi potensiometrik. Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bilangan asam lapangan sandstone sebesar 0,724 mg KOH/ g. Rumus yang digunakan dalam penentuan bilangan asam : Bilangan asam, mg KOH/g = (A B) x M x 56,1/W Keterangan : A = volume larutan alkohol KOH yang digunakan untuk titrasi sampel (ml) B = volume larutan alkohol KOH yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) M = konsentrasi dari larutan alkohol KOH (mol/l) W = massa sampel (g) Uji Kelakuan Fasa Uji kelakuan fasa merupakan uji untuk mengetahui kinerja surfaktan dari terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Uji kelakuan fasa ini dilakukan dengan metode tabung tertutup dan diuji pada suhu 50 o C. Suhu 50 o C dipilih menjadi suhu pengujian karena suhu ini merupakan suhu yang paling mendekati suhu reservoir dari air formasi contoh. Uji dilakukan selama 14 hari karena larutan surfaktan yang baik akan terlihat perubahan pada hari ke-7. Formula yang digunakan pada uji kelakuan fasa ini merupakan hasil terbaik dari uji interfacial tention pada setiap formula. Terdapat lima formula yang terpilih pada uji kelakuan fasa ini yaitu formula 0,3% MES dan air formasi, formula 0,7% MES dan air demineral, formula 0,3% MES dan air formasi dengan penambahan berbagai jenis alkohol pada konsentrasi tertentu, formula 0,3% MES dan air formasi dengan penambahan 1% NaOH, serta formula 0,3% MES dan air demineral dengan penambahan 1% NaOH. Hasil uji kelakuan fasa ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Pada uji ini juga dilihat ratio kelarutan minyak dan air terhadap lama pemanasan dari perhitungan yang tampak dari pipet-pipet pengujian kelakuan fasa. Ratio kelarutan minyak ditentukan oleh

51 37 volume minyak dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Sedangkan ratio kelarutan air ditentukan oleh volume air dari volume surfaktan dalam mikroemulsi. Ratio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan tipe III. Ratio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe II dan tipe III. Tabel 4.3 Hasil uji kelakuan fasa Nama sampel AF + 0,3% MES AD + 0,7% MES AF + 0,3% MES + 2% Metanol AF + 0,3% MES + 2% Etanol AF + 0,3% MES + 2% IPA AF + 0,3% MES + 2% Propanol AF + 0,3% MES + 2% Butanol AF + 0,3% MES + 0,5% Pentanol AF + 0,3% MES + 1% NaOH AD + 0,3% MES + 1% NaOH volume (ml) Ratio Rasio Hari ke Larutan Tipe kelarutan kelarutan Minyak surfaktan minyak air 0 1,013 1, ,013 1, ,023 0,998 II(-) 3,29-0 1,003 1, ,983 1,023 Makroemulsi 2,85 2, ,978 1,028 Makroemulsi 3,56 3,56 0 1,018 1, ,018 1, ,018 1, ,015 1, ,015 1, ,015 1, ,005 1, ,005 1, ,005 1, ,985 1, ,983 1, ,983 1, ,013 1, ,013 1, ,013 1, ,008 1, ,008 1, ,008 1, ,020 1, ,020 1, ,020 1, ,025 1, ,025 1, ,025 1, Hasil uji kelakuan fasa formula 0,3% MES dan air formasi termasuk dalam tipe emulsi fasa II(-) atau tipe emulsi fasa bawah. Hal ini ditandai dengan terjadinya penambahan volume larutan surfaktan sebanyak 0,01 ml. Jenis emulsi fasa bawah mengindikasikan bahwa larutan surfaktan berada pada tingkat salinitas rendah yang sesuai dengan hasil uji salinitas air formasi yaitu 5795 ppm. Penambahan volume larutan surfaktan baru terlihat pada hari ke-14 dari awal dilakukannya uji kelakuan fasa ini. Dengan terbentuknya tipe emulsi fasa bawah menandakan kinerja surfaktan yang baik. Maksud kinerja yang baik disini adalah dihasilkannya nilai IFT yang

52 38 sangat rendah sehingga pendesakan minyak bumi dapat berjalan optimal. Pengamatan warna juga dilakukan dimana terjadi perubahan warna larutan surfaktan yaitu semakin lama uji kelakuan fasa dilakukan warna larutan surfaktan menjadi lebih jernih. Hasil perhitungan nilai ratio kelarutan minyak adalah 3,29. Hasil uji kelakuan fasa formula 0,7% MES dan air demineral termasuk dalam tipe emulsi makroemulsi. Hal ini ditandai dengan warna emulsi yang terbentuk berwarna milky. Selain itu, terjadinya penambahan dan pengurangan volume minyak dan surfaktan yang sama yaitu 0,02 ml pada hari ke-7 dan 0,005 ml pada hari ke-14. Perubahan volume minyak dan larutan surfaktan terjadi pada hari ke-7 dari awal dilakukannya uji kelakuan fasa ini. Dengan terbentuknya tipe emulsi makroemulsi menandakan kinerja surfaktan yang tidak baik. Maksud kinerja yang tidak baik disini adalah dihasilkannya nilai IFT yang besar dan emulsi yang terbentuk berukuran makro sehingga akan menghambat proses pendesakan minyak bumi. Pengamatan warna juga dilakukan dimana terjadi perubahan warna larutan surfaktan yaitu dari putih susu menjadi kekuningan. Pada perhitungan nilai ratio kelarutan air dan minyak memiliki nilai yang sama yaitu 2,85 pada hari ke-7 dan 3,56 pada hari ke-14. Uji kelakuan fasa selanjutnya adalah formula air formasi dengan penambahan 0,3% MES dan berbagai jenis alkohol. Dimana konsentrasi dan jenis alkohol yang ditambahkan adalah 2% metanol, 2% etanol, 2% IPA, 2% propanol, 2% butanol dan 0,5% pentanol. Selama 14 hari pengujian dilakukan tidak terjadi perubahan volume yang dihasilkan. Campuran antara minyak dan larutan surfaktan tetap terpisah tidak membentuk emulsi. Perubahan yang terjadi hanya pada kejernihan larutan surfaktan dimana semakin lama pengujian warna larutan surfaktan menjadi semakin jernih. Tidak adanya perubahan volume selama pengamatan karena gugus OH pada alkohol tidak cukup polar untuk berlaku seperti sebuah gugus hidrofobik. Sehingga interaksi hidrofobik yang dihasilkan tidak cukup kuat dan menghasilkan pemisahan fasa. Uji kelakuan fasa selanjutnya adalah formula air formasi dengan penambahan 0,3% MES dan 1% NaOH. Hasil uji kelakuan fasa formula ini adalah tidak adanya perubahan volume selama dilakukannya pengamatan. Namun pengamatan hari ke- 7, pada tabung uji didapat lapisan tipis berwarna coklat muda. Diduga lapisan ini merupakan lapisan sabun (petroleum soap) yang terbentuk dari reaksi antara asam organik pada lapisan minyak dengan alkali pada lapisan larutan surfaktan. Hal yang sama juga terjadi pada formula 0,3% MES dan 1% NaOH dalam media pendispersi air demineral. Reaksi yang terjadi di gambarkan pada Gambar Pengamatan warna juga dilakukan dimana terjadi perubahan warna larutan surfaktan yaitu dari putih menjadi kekuningan. Pada pengamatan hari ke-14 formula ini membentuk endapan dibagian bawah tabung yaitu pada bagian dasar larutan surfaktan seperti terlihat pada Gambar Pada gambar di bagian bawah tabung terdapat bagian berwarna lebih kuning dibanding larutan surfaktan yang diduga sebagai endapan. Adanya endapan scale dikarenakan air formasi yang mengandung ion-ion pembentuk scale, serta pengaruh tekanan, suhu dan ph. Didalam air formasi yang digunakan terdapat sejumlah ion diantaranya kation (Na +, Ca 2+, Mg 2+, Ba 2+, Sr 2+, dan Fe 3+ ) dan anion (Cl -, HCO3 -, dan SO4 - ). Kation dan anion yang terlarut didalam air bila bergabung akan membentuk suatu senyawa atau komponen. Pada suatu kondisi tertentu, yaitu bila konsentrasi dari komponen atau senyawa tersebut telah melampaui kelarutan komponen tersebut. Maka komponen tersebut terpisah dari

53 39 pelarutnya dan membentuk endapan. Biasanya scale secara kimiawi diklasifikasikan sebagai tipe karbonat dan sulfat. Endapan yang bisa terjadi adalah CaSO4 (gypsum), BaSO4 (Barium sulfat), dan CaCO3 (Calsium carbonat) (Lestari dan Ratnayu 2007). Pembentukan scale akan bertambah dan semakin keras apabila contact time semakin lama. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan scale adalah turbulensi, tekanan, suhu dan salinitas. Jumlah CO2 yang terlarut dalam air sebanding dengan tekanan partial CO2. Bila tekanan partial CO2 semakin besar maka ph semakin kecil sehingga kelarutan CaCO3 semakin besar dan scale semakin kecil terjadi. Pada suhu yang semakin besar kelarutan CaCO3 juga akan semakin kecil. Endapan CaSO4 terjadi di boiler dan heater treater. Endapan CaSO4 dipengaruhi oleh temperatur dan adanya NaCl atau garam terlarut lainnya. Kelarutan CaSO4 meningkat dengan kenaikan temperatur mencapai 40 o C, kemudian menurun dengan kenaikan temperatur lebih lanjut. Di sumur minyak biasanya endapan stronsium sulfate jarang terjadi. Sifat kelarutan SrSO4 hampir mirip dengan BaSO4, tetapi SrSO4 lebih mudah larut dibandingkan dengan BaSO4. Kelarutan SrSO4 dipengaruhi oleh ionic strength. Barium sulfat adalah scale yang paling sukar larut. Kelarutan barium sulfate dapat bertambah karena adanya garam lain yang terlarut, suhu dan tekanan (Lestari dan Ratnayu 2007). (a) (b) Gambar 4.27 Formula 0,3% MES dan 1% NaOH dalam media pendispersi air formasi. a (pengukuran pertama) dan b (pengukuran kedua ) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kinerja surfaktan dapat dipengaruhi dengan penambahan konsentrasi surfaktan, garam anorganik, pelarut alkohol, dan alkali. Surfaktan metil ester sulfonat dapat bekerja dengan baik pada range salinitas 5000 ppm sampai ppm. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalan metode penurunan nilai IFT dan metode kelakuan fasa. Hasil terbaik dari kedua metode tersebut menunjukkan bahwa pemberian surfaktan sebanyak 0,3% utuk media pembawa air formasi bisa menghasilkan nilai IFT sesuai dengan yang diinginkan oleh industri perminyakan. Hasil uji kelakuan fasa menunjukkan bahwa formula media

54 40 pendispersi air formasi dengan penambahan 0,3% MES hanya mencapai tipe II(-) atau tipe emulsi fasa bawah Saran Perlu dilakukan pengujian ukuran droplet hasil emulsi uji kelakuan fasa untuk meyakinkan emulsi yang dihasilkan termasuk kedalam tipe emulsi yang sesuai. Perlu dikaji lebih lanjut penambahan aditif dan pengujian lain sehingga surfaktan ini siap digunakan dalam industri perminyakan. DAFTAR PUSTAKA Aczo Nobel Surfactants Enhanced Oil Recovery (EOR) Chemicals and Formulations. Di dalam: Rivai M, Tun Tedja I, Ani S, Dwi S, editor Mei. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan Metil Ester Sulfonat dan Formulasinya untuk Aplikasi Enhance Oil Recovery (EOR). Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 21(1): Affiati E Pengaruh Kualitatif co-surfactant Terhadap Peningkatan Recovery Minyak. [tugas akhir]. Jakarta: Jurusan teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Trisakti. Ajith S, AC John dan AR Rakshit Physicochemical Studies of Microemulsions. Pure & Appl. Chem [internet]. Vol. 66, No. 3. Great Britain. [diunduh 2014 Otober 05]. Tersedia pada: Al-Sahhaf T, A Suttar Ahmed, A Elkamel Producing ultralow interfacial tension at the oil/water interface. Journal of Petroleum Science and Technology. 20(7-8): ASTM Committee D-2 on Petroleum Products and Lubricants The Significance of Tests of Petroleum Products: A Report. Salvatore J. Rand, editor. USA: ASTM International. Ed ke-7 Barnes JR, J Smit, et al Development of Surfactants for Chemical Flooding at Difficult Reservoir Conditions. SPE/DOE Symposium on Improved Oil Recovery. Tulsa, Oklahoma, USA. Baviere M, P Glenat, N Plazanet, dan J Labrod SPE Reservoir Engineering. USA: Macmillan Publishing Company. Bernardini E Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome: Interstampa. BPMIGAS Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. Jakarta: BPMIGAS. Cayias JL, Schechter RS, Wade WH The Utilization of Petroleum Sulfonates for Producing Low Interfacial Tension Between Hydrocarbons and Water. Di dalam : Sheng JJ, editor. Modern Chemical Enhance Oil Recovery : Theory and Practice. Burlinfton : Gulf Professional Publishing-Elsevier. Chan KS, Shah DO The Physico-Chemical Condition Necessary to Produce Ultra Low Interfacial Tension at The Oil/Brine Interface. Di dalam : Sheng

55 JJ, editor. Modern Chemical Enhance Oil Recovery : Theory and Practice. Burlinfton : Gulf Professional Publishing-Elsevier. Chatzis Morrow Vicolastic Surfactant for EOR.Society of Petroleum Engineers-56 [internet]. [diunduh 2014 OKtober 03]. Tersedia pada : Clayden J, Greeves N, Warren S, Wothers P Organic Chemistry. Oxford : University Press. Drelich J, Fang Ch, Whit CL Measurement of Interfacial Tension in Fluid- Fluid System. Encyclopedia of Surface and Colloid Science. Michigan Technological University. Michigan: Marcel Dekker, Inc. Elert G, Tetruashvili S Resistivity of Water. In The Physics Factbook [internet]. [diunduh pada 2014 Novenber 23]. Tersedia pada: hypertextbook.com/facts/2006/samtetruashvili.shtml Emegwalu CC Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A Possibility For The Norne E-Segment [tesis]. Norwegia : Department Of Petroleum Engineering And Applied Geophysics. Norwegian University of Science and Technology. [diunduh 2014 September 23]. Tersedia pada : Eni H, Suwartiningsih, Sugihardjo Studi Penentuan Fluida Injeksi Kimia. Prosiding Simposium Nasional IATMI 2001; Juli 2007; Yogyakarta : UPN Veteran. Fessenden RJ, Fessenden JS Kimia Organik 2. Jakarta: Penerbit Erlangga Fisher Scientific Material Safety Data Sheet Pentanol. USA : Regulatory Affairs Thermo Fisher Scientifi Material Safety Data Sheet Propanol. USA : Regulatory Affairs Thermo Fisher Scientific Foster NC, Rollock MW Medium to very high active single step neutralization [Internet]. [10 Maret 2014]. Tersedia pada : Gerpen JHV, Hammond LA, Johnson SJ, Marley L, Yu, Li I, Monyem A Determining the Influence of Contaminants on Biodiesel Properties. Di dalam : Healy RH, Reed R L, editor Immicible Microemulsion Flooding. Final report prepared for The Iowa Soybean Promotion Board. Iowa: State University. SPE 5817: Healy RH, Reed R L Immicible Microemulsion Flooding. Final report prepared for The Iowa Soybean Promotion Board. Iowa: State University. SPE 5817: Hirasaki GJ, GA Pope et al Surfactant Based Enhanced Oil Recovery and Foam Mobility Control. Final Report to DOE; June.DE-FC26-03NT Hirasaki GJ, CA Miller, et al Recent Advances in Surfactant EOR. SPE Annual Technical Conference and Exhibition; Denver, Colorado, USA: Society of Petroleum Engineers. Hovda K The Challenge of Methyl Ester Sulfonation [internet]. The Chemithon Corporation. [diunduh 2014 September 29]. Tersedia pada : Hunter RJ Foundation of Colloids Science. New York : Oxford University Press Inc. 41

56 42 Jackson AC Experimental Study of the Benefits of Sodium Carbonate on Surfactant for Enhanced Oil Recovery. [tesis]. Austin : The University of Texas. Koesoemadinata RP Geologi minyak dan Gas Bumi. Ed ke-3, Jilid 1. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Kumar S, SL David, VK Aswal, PS Goyal, Kabir-ud-Din Growth of sodium dodecyl sulfate micelles in aqueous ammonium salts. American Chemical Society. Journal of Langmuir 13 (24): Lestari MG Sri Wahyuni, Ratnayu Sitaresmi Problema Scale di Beberapa Lapangan Migas. Proceeding Simposium National IATMI; Juli 2007; Yogyakarta: UPN Veteran. Lakatos-Szabo J dan Lakatos I Effect of alkaline materials on interfacial rheological properties of oil-water system. Colloid Polymer and Science 277: Levitt D, A Jackson et al Identification and Evaluation of High-Performance EOR Surfactants. SPE Reservoir Evaluation & Engineering 12(2): Mac Arthur, W Brian, WB Sheats Methyl Ester Sulfonate Products [internet]. [diunduh 2014 September 30]. Tersedia pada : Martinez, Isidoro Properties of Some Particular Solutions [internet]. [diunduh 2014 November 24]. Tersedia pada: upm.es/~isidoro/bk3/c07sol/solution%20properties.pdf Matheson KL Formulation of Household and Industrial Detergents. Di dalam Spitz L, editor. Soap and Detergents: A Theoretical and Practical Review. Illinois: AOCS Press. Meher LC, Dharmagadda VSS, Naik SN Optimization of alkali-catalyzed transesterification of Pongamia pinnata oil for production of biodiesel. Article in press. Merck KgaA Etanol. [internet].[diunduh 2014 Maret 13]. Tersedia pada : chemicals(at)merck.co.id Metanol. [internet].[diunduh 2014 Maret 13]. Tersedia pada : chemicals(at)merck.co.id Mittelbach M dan Remschmidt C Biodiesel The Comprehensive Handbook. Austria: Martin Mittelbach Publisher. Mohammed AB The Study Of Scale Formation In Oil Reservoir During Water Injection At High-Barium And High-Salinity Formation Water [tesis]. Malaysia : Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Teknologi Malaysia. Murray James W Properties of Water and Seawater.Washington DC : Univ. Washington Myer Drew Surfactant Scime and Technology (3rd ed). United State of America : Wiley Interscince A. John Wiley & Sons, Inc., Publication. pdf Patriati A, EGR Putra Ellipsoid to Worm-likeMicelle Structures Transition Revealed by a Small-Angle Neutron Scattering Technique. ICMNS 2008; 28-30Oktober 2008; Bandung: ITB Bandung. Pore J Sulfated and Sulfonated Oils. Di dalam Karlenskind, A. (ed.), Oil and Fats. New York : Manual Intercept Ltd.

57 Putra EGR, Ikram A A 36m SANS BATAN spectrometer (SMARTer): Probing< i> n</i>-dodecyl-β-d-maltoside micelles structures by a contrast variation. Journal of Nuclear Instruments and Methods in Physics Research Section A: Accelerators, Spectrometers, Detectors and Associated Equipment Rachmat S Reservoir Minyak dan Gas Bumi [internet]. [diunduh 2014 September 30]. Tersedia pada : Salager JL, R Antón et al Enhancing solubilization in microemulsions State of the art and current trends. Journal of Surfactants and Detergents. 8(1):3-21. Sampath R, LT Moeti, MJ Pitts dan DH Smith Characterization of Surfactants for Enhanced Oil Recovery [internet]. Proceedings. [diunduh 2014 Oktober 01]. Tersedia pada : ww.netl.doe.gov/publications/ proceedings/98/98hbcu/sampath2.pdf Science Lab.com Material Safety Data Sheet Isopropyl Alcohol MSDS. Texas : Sciencelab.com, Inc Material Safety Data Sheet 1-Butanol MSDS. Texas : Sciencelab.com, Inc Material Safety Data Sheet hexanol MSDS. Texas : Sciencelab.com, Inc. Sheng JJ Modern Chemical Enhance Oil Recovery : Theory and Practice. Burlinfton : Gulf Professional Publishing-Elsevier. Speight JG Chemical And Process Design Handbook. New York : McGraw- Hill. Sugihardjo Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air, dan Minyak. Jakarta : Lemigas 36(3). Sugiharjo, Edward Tobing, Sucahyo Wahyu Pratomo Kelakuan Fasa Campuran antara Reservoir-Injeksi-Surfaktan untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Procceeding Simposium Nasional IATMI, PPPTMG LEMIGAS. Warren S. Perkins Surfactans A. Primer [Internet]. [diunduh 2014 Maret 04]. Tersedia pada: 43

58 44 Lampiran 1 Perhitungan total endapan kalsium karbonat Diketahui : Ion bikarbonat Air Formasi yaitu 1989 mg/l (Tabel 2.4) 100 mg bikarbonat perliter air bisa menghasilkan 12972,74 gr endapan kalsium karbonat per 1000 barel air. 1 barel = 158,987 L air 1000 barel = L Endapan kalsium karbonat yang dihasilkan per 100 mg ion bikarbonat = 12972,74 gr / L = 0,0816 gr/l Endapan kalsium karbonat yang dihasilkan dalam 1989 mg/l ion bikarbonat air formasi = (0,0816 gr/l / 100 mg) x 1989 mg/l = 1, gr/l = 1622,946 mg/l Selain itu, kandungan ion Ca 2+ juga memicu terbentuknya endapan kalsium karbonat (CaCO3). Berdasarkan hasil uji anion dan kation air formasi lapangan pada Tabel 2.4 ion kalsium air adalah 12,2 mg/l. Reaksi pembentukan kalsium karbonat adalah Ca 2+ + CO3 2- CaCO3 Dengan perbandingan stokiometri 1:1, maka dengan penambahan Na2CO3 sebanyak 1000 ppm akan menghasilkan CaCO3 sebesar 12,2 ppm. Total endapan kalsium karbonat yang dihasilkan adalah = 1622,946 mg/l + 12,2 mg/l = 1635,149 mg/l Lampiran 2 Prosedur pengujian formula surfaktan 1. Pengukuran tegangan antarmuka metode spinning drop Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu pada alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 40 o C (sesua i kondisi uji). Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube tidak boleh ada gelembung udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar, kecepatan putaran instrumen diatur stabil pada 6000 rpm. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 40 o C. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Ulangi pengujian dengan suhu 50 dan 60 o C.

59 45 2. Pengukuran densitas Power alat densitymeter dihidupkan. Pastikan sel pengukuran bersih dengan membilasnya dengan aquades. Atur suhu alat sesuai dengan suhu uji. Masukkan larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat dengan alat suntik fluida yang tersedia. Tekan tombol start dan tunggu beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada alat monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas yang diperoleh. 3. Pengukuran viskositas Power alat viscosimeter dihidupkan. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat % tenaga putaran dan viscositas yang diperoleh.

60 46 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density Formulasi air formulasi dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 1 AF - 0,1% S-MES (S) 0,9999 0,0760 6,76E-01 0,9957 0,0877 5,59E-03 0,9908 0,0894 5,86E-04 5,60E-01 5,51E-03 2 AF - 0,1% S-MES (D) 1,0004 0,0758 4,43E-01 0,9959 0,0879 5,42E-03 0,9907 0,0893 5,85E-04 3 AF - 0,3% S-MES (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 4 AF - 0,3% S-MES (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 5 AF - 0,5% S-MES (S) 0,9995 0,0847 1,24E-02 0,9954 0,0874 3,39E-03 0,9903 0,0888 1,06E-03 8,58E-03 7,91E-03 6 AF - 0,5% S-MES (D) 0,9995 0,0847 4,74E-03 0,9954 0,0874 1,24E-02 0,9900 0,0886 1,06E-03 7 AF - 0,7% S-MES (S) 0,9996 0,0848 1,95E-02 0,9952 0,0872 2,12E-02 0,9899 0,0885 5,46E-03 2,17E-02 1,99E-02 8 AF - 0,7% S-MES (D) 0,9998 0,0849 2,40E-02 0,9953 0,0872 1,85E-02 0,9899 0,0885 4,50E-03 9 AF - 1,0% S-MES (S) 0,9994 0,0846 4,09E-02 0,9948 0,0868 3,35E-02 0,9899 0,0885 4,07E-02 4,50E-02 3,26E AF - 1,0% S-MES (D) 0,9994 0,0846 4,91E-02 0,9950 0,0869 3,17E-02 0,9897 0,0883 4,55E AF - 1,5% S-MES (S) 0,9990 0,0842 2,59E-01 0,9945 0,0764 4,18E-01 0,9893 0,0879 2,90E-01 2,69E-01 3,14E AF - 1,5% S-MES (D) 0,9990 0,0842 2,79E-01 0,9946 0,0866 2,09E-01 0,9897 0,0883 2,05E AF - 2,0% S-MES (S) 0,9984 0,0836 6,54E-01 0,9942 0,0862 3,99E-01 0,9892 0,0878 3,11E-01 8,38E-01 4,41E AF - 2,0% S-MES (D) 0,9984 0,0836 1,02E+00 0,9942 0,0862 4,82E-01 0,9893 0,0879 1,98E-01 Formulasi air demineral dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 15 AD - 0,1% S-MES (S) 0,9941 0,0792 2,47E+01 0,9899 0,0818 3,15E+01 0,9847 0,0833 3,62E+01 2,46E+01 3,15E AD - 0,1% S-MES (D) 0,9941 0,0793 2,46E+01 0,9899 0,0819 3,16E+01 0,9849 0,0835 3,63E AD - 0,3% S-MES (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E AD - 0,3% S-MES (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E AD - 0,5% S-MES (S) 0,9938 0,0790 1,12E+01 0,9895 0,0815 1,04E+01 0,9847 0,0833 3,02E+01 1,12E+01 1,05E AD - 0,5% S-MES (D) 0,9938 0,0790 1,12E+01 0,9896 0,0815 1,05E+01 0,9847 0,0833 3,02E AD - 0,7% S-MES (S) 0,9932 0,0783 6,72E+00 0,9889 0,0809 1,12E+01 0,9840 0,0826 8,38E+00 6,75E+00 1,12E AD - 0,7% S-MES (D) 0,9934 0,0786 6,77E+00 0,9892 0,0811 1,13E+01 0,9840 0,0826 8,24E AD - 1,0% S-MES (S) 0,9934 0,0785 9,11E+00 0,9892 0,0812 1,07E+01 0,9834 0,0819 1,00E+01 9,18E+00 1,07E AD - 1,0% S-MES (D) 0,9932 0,0784 9,24E+00 0,9890 0,0809 1,08E+01 0,9834 0,0820 1,00E AD - 1,5% S-MES (S) 0,9930 0,0781 1,12E+01 0,9885 0,0805 9,64E+00 0,9836 0,0821 8,13E+00 1,12E+01 9,60E AD - 1,5% S-MES (D) 0,9928 0,0780 1,12E+01 0,9887 0,0806 9,56E+00 0,9837 0,0823 8,10E AD - 2,0% S-MES (S) 0,9924 0,0775 9,12E+00 0,9881 0,0800 8,35E+00 0,9833 0,0818 9,69E+00 9,20E+00 8,31E AD - 2,0% S-MES (D) 0,9924 0,0776 9,27E+00 0,9881 0,0801 8,27E+00 0,9832 0,0818 9,55E+00 Rerata 5,85E-04 1,10E-03 1,06E-03 4,98E-03 4,31E-02 2,47E-01 2,55E-01 3,62E+01 3,40E+01 3,02E+01 8,31E+00 1,00E+01 8,12E+00 9,62E+00 Keterangan : S = Pengukuran Simplo D = Pengukuran Duplo

61 47 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density Formulasi air formulasi dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 29 AF-0,3% MES-NaCl 0,0% (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E AF-0,3% MES-NaCl 0,0% (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E AF-0,3% MES-NaCl 1,0% (S) 1,0068 0,0920 2,66E-03 1,0024 0,0944 2,87E-03 0,9968 0,0954 4,64E-03 3,89E-03 2,93E AF-0,3% MES-NaCl 1,0% (D) 1,0067 0,0918 5,12E-03 1,0024 0,0944 2,99E-03 0,9968 0,0954 4,55E AF-0,3% MES-NaCl 2,0% (S) 1,0136 0,0988 7,96E-03 1,0091 0,1011 1,39E-02 1,0036 0,1022 1,35E-02 7,86E-03 9,50E AF-0,3% MES-NaCl 2,0% (D) 1,0136 0,0987 7,76E-03 1,0089 0,1009 5,11E-03 1,0038 0,1024 1,25E AF-0,3% MES-NaCl 3,0% (S) 1,0205 0,1057 2,55E-02 1,0165 0,1084 2,45E-02 1,0113 0,1099 3,09E-02 2,45E-02 2,19E AF-0,3% MES-NaCl 3,0% (D) 1,0203 0,1054 2,35E-02 1,0162 0,1082 1,93E-02 1,0111 0,1096 3,31E AF-0,3% MES-NaCl 4,0% (S) 1,0272 0,1124 3,59E-02 1,0229 0,1148 3,79E-02 1,0179 0,1165 4,55E-02 3,81E-02 4,48E AF-0,3% MES-NaCl 4,0% (D) 1,0274 0,1126 4,03E-02 1,0232 0,1151 5,17E-02 1,0179 0,1165 4,43E AF-0,3% MES-NaCl 5,0% (S) 1,0343 0,1194 5,94E-02 1,0301 0,1220 6,61E-02 1,0249 0,1234 5,03E-02 5,94E-02 6,62E AF-0,3% MES-NaCl 5,0% (D) 1,0344 0,1195 5,95E-02 1,0302 0,1221 6,63E-02 1,0249 0,1235 5,56E AF-0,3% MES-NaCl 6,0% (S) 1,0412 0,1264 8,20E-02 1,0371 0,1291 9,29E-02 1,0316 0,1302 8,08E-02 8,28E-02 9,22E AF-0,3% MES-NaCl 6,0% (D) 1,0415 0,1267 8,36E-02 1,0370 0,1290 9,15E-02 1,0315 0,1301 9,49E AF-0,3% MES-NaCl 7,0% (S) 1,0484 0,1336 1,14E-01 1,0437 0,1356 1,26E-01 1,0388 0,1374 1,42E-01 1,00E-01 1,11E AF-0,3% MES-NaCl 7,0% (D) 1,0483 0,1334 8,66E-02 1,0437 0,1357 9,53E-02 1,0388 0,1374 9,72E AF-0,3% MES-NaCl 8,0% (S) 1,0556 0,1408 1,34E-01 1,0503 0,1423 1,36E-01 1,0453 0,1438 1,64E-01 1,35E-01 1,48E AF-0,3% MES-NaCl 8,0% (D) 1,0557 0,1409 1,35E-01 1,0509 0,1428 1,60E-01 1,0460 0,1446 1,68E AF-0,3% MES-NaCl 9,0% (S) 1,0632 0,1484 1,85E-01 1,0582 0,1502 1,57E-01 1,0533 0,1518 1,94E-01 1,84E-01 1,51E AF-0,3% MES-NaCl 9,0% (D) 1,0630 0,1481 1,84E-01 1,0576 0,1495 1,46E-01 1,0526 0,1512 1,94E AF-0,3% MES-NaCl 10% (S) 1,0693 0,1544 1,97E-01 1,0646 0,1566 1,67E-01 1,0595 0,1581 2,00E-01 2,01E-01 1,67E AF-0,3% MES-NaCl 10% (D) 1,0700 0,1552 2,06E-01 1,0646 0,1566 1,67E-01 1,0597 0,1583 2,01E-01 Formulasi air demineral dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 51 AD-0,3% MES-NaCl 0,0% (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E AD-0,3% MES-NaCl 0,0% (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E AD-0,3% MES-NaCl 0,25% (S) 0,9956 0,0807 7,55E+00 0,9914 0,0834 9,26E+00 0,9868 0,0854 6,55E+00 7,36E+00 9,25E AD-0,3% MES-NaCl 0,25% (D) 0,9956 0,0807 7,17E+00 0,9915 0,0834 9,25+E00 0,9870 0,0856 7,39E AD-0,3% MES-NaCl 0,5% (S) 0,9975 0,0827 3,42E-04 0,9930 0,0850 6,68E-04 0,9876 0,0861 1,02E-03 2,64E-04 5,90E AD-0,3% MES-NaCl 0,5% (D) 0,9976 0,0828 1,86E-04 0,9930 0,0850 5,12E-04 0,9873 0,0858 9,56E AD-0,3% MES-NaCl 0,75% (S) 0,9995 0,0847 8,25E-04 0,9948 0,0867 1,60E-03 0,9897 0,0883 1,24E-03 8,29E-04 1,30E AD-0,3% MES-NaCl 0,75% (D) 0,9994 0,0846 8,33E-04 0,9948 0,0868 1,00E-03 0,9898 0,0884 1,21E-03 Rerata 1,10E-03 4,59E-03 1,30E-02 3,20E-02 4,49E-02 5,29E-02 8,79E-02 1,19E-01 1,66E-01 1,94E-01 2,01E-01 3,40E+01 6,97E+00 9,90E-04 1,23E-03

62 48 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 59 AD-0,3% MES-NaCl 1,0% (S) 1,0006 0,0857 1,07E-03 0,9964 0,0883 3,45E-03 0,9918 0,0904 4,55E-03 1,26E-03 4,16E AD-0,3% MES-NaCl 1,0% (D) 1,0011 0,0862 1,46E-03 0,9963 0,0883 4,88E-03 0,9917 0,0903 4,16E AD-0,3% MES-NaCl 1,25% (S) 1,0032 0,0883 2,89E-03 0,9983 0,0902 3,42E-03 0,9934 0,0920 4,59E-03 2,55E-03 4,29E AD-0,3% MES-NaCl 1,25% (D) 1,0031 0,0883 2,21E-03 0,9982 0,0902 5,16E-03 0,9936 0,0922 4,19E AD-0,3% MES-NaCl 1,5% (S) 1,0048 0,0900 2,82E-03 0,9998 0,0918 3,62E-03 0,9944 0,0930 5,08E-03 2,74E-03 4,44E AD-0,3% MES-NaCl 1,5% (D) 1,0049 0,0900 2,65E-03 1,0000 0,0919 5,26E-03 0,9947 0,0933 4,33E AD-0,3% MES-NaCl 2,0% (S) 1,0075 0,0926 5,86E-03 1,0032 0,0951 7,38E-03 0,9985 0,0971 1,32E-02 6,90E-03 5,99E AD-0,3% MES-NaCl 2,0% (D) 1,0076 0,0927 7,93E-03 1,0033 0,0953 4,60E-03 0,9986 0,0972 4,31E AD-0,3% MES-NaCl 3,0% (S) 1,0146 0,0997 1,44E-02 1,0103 0,1022 1,66E-02 1,0055 0,1041 7,04E-03 1,68E-02 1,50E AD-0,3% MES-NaCl 3,0% (D) 1,0144 0,0996 1,92E-02 1,0099 0,1019 1,33E-02 1,0052 0,1038 2,27E AD-0,3% MES-NaCl 4,0% (S) 1,0217 0,1068 2,58E-02 1,0176 0,1096 2,55E-02 1,0125 0,1111 4,00E-02 2,46E-02 2,57E AD-0,3% MES-NaCl 4,0% (D) 1,0216 0,1067 2,34E-02 1,0170 0,1090 2,59E-02 1,0121 0,1107 7,49E AD-0,3% MES-NaCl 5,0% (S) 1,0282 0,1134 3,84E-02 1,0240 0,1160 5,63E-02 1,0192 0,1177 5,66E-02 3,85E-02 5,43E AD-0,3% MES-NaCl 5,0% (D) 1,0285 0,1136 3,87E-02 1,0240 0,1159 5,23E-02 1,0191 0,1177 5,57E AD-0,3% MES-NaCl 6,0% (S) 1,0354 0,1206 6,73E-02 1,0309 0,1229 7,83E-02 1,0262 0,1248 9,39E-02 6,58E-02 7,70E AD-0,3% MES-NaCl 6,0% (D) 1,0357 0,1208 6,42E-02 1,0315 0,1235 7,57E-02 1,0263 0,1249 7,62E AD-0,3% MES-NaCl 7,0% (S) 1,0430 0,1282 8,32E-02 1,0388 0,1307 9,29E-02 1,0335 0,1320 1,06E-01 9,04E-02 9,64E AD-0,3% MES-NaCl 7,0% (D) 1,0426 0,1278 9,75E-02 1,0380 0,1300 9,99E-02 1,0332 0,1318 1,04E AD-0,3% MES-NaCl 8,0% (S) 1,0496 0,1348 1,62E-01 1,0447 0,1367 1,68E-01 1,0399 0,1385 1,60E-01 1,52E-01 1,62E AD-0,3% MES-NaCl 8,0% (D) 1,0497 0,1348 1,43E-01 1,0449 0,1368 1,56E-01 1,0399 0,1385 1,69E AD-0,3% MES-NaCl 9,0% (S) 1,0569 0,1421 1,81E-01 1,0522 0,1441 1,67E-01 1,0560 0,1546 1,83E-01 1,72E-01 1,68E AD-0,3% MES-NaCl 9,0% (D) 1,0568 0,1419 1,64E-01 1,0524 0,1444 1,69E-01 1,0469 0,1455 1,87E AD-0,3% MES-NaCl 10% (S) 1,0637 0,1489 2,36E-01 1,0590 0,1510 2,00E-01 1,0538 0,1524 2,37E-01 2,17E-01 2,00E AD-0,3% MES-NaCl 10% (D) 1,0637 0,1488 1,98E-01 1,0593 0,1513 2,00E-01 1,0539 0,1525 2,03E-01 Formulasi air formulasi dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 83 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (S) 0,9990 0,0841 3,90E-03 0,9943 0,0863 1,74E-03 0,9875 0,0861 8,31E-04 3,80E-03 1,77E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (D) 0,9988 0,0840 3,70E-03 0,9946 0,0866 1,79E-03 0,9880 0,0866 7,88E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (S) 0,9980 0,0832 2,91E-03 0,9935 0,0855 1,10E-03 0,9879 0,0864 6,65E-04 2,91E-03 1,10E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (D) 0,9980 0,0832 2,90E-03 0,9936 0,0855 1,10E-03 0,9874 0,0860 7,27E-04 Rerata 4,35E-03 4,39E-03 4,70E-03 8,73E-03 1,49E-02 5,75E-02 5,61E-02 8,50E-02 1,05E-01 1,64E-01 1,85E-01 2,20E-01 1,10E-03 8,10E-04 6,96E-04

63 49 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (S) S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (D) S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (S) S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (D) Density Diff density Diff Diff IFT Rerata Density IFT Rerata Density density density 0,9977 0,0828 2,56E-03 0,9932 0,0852 6,33E-04 0,9874 0,0860 5,83E-04 2,61E-03 6,57E-04 0,9975 0,0827 2,67E-03 0,9930 0,0850 6,81E-04 0,9873 0,0859 5,97E-04 0,9965 0,0817 1,44E-03 0,9921 0,0841 5,98E-04 0,9864 0,0850 5,22E-04 1,46E-03 5,91E-04 0,9965 0,0816 1,47E-03 0,9920 0,0840 5,84E-04 0,9863 0,0849 5,30E-04 IFT Rerata 5,90E-04 5,26E S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (D) S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (S) S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 0,9997 0,0849 1,21E-03 0,9951 0,0870 1,78E-03 0,9901 0,0887 2,86E-03 1,13E-03 1,57E-03 0,9997 0,0849 1,05E-03 0,9951 0,0870 1,36E-03 0,9904 0,0890 1,14E-03 0,9992 0,0844 6,39E-04 0,9945 0,0865 1,59E-03 0,9896 0,0881 1,08E-03 6,71E-04 1,23E-03 0,9991 0,0843 7,03E-04 0,9944 0,0864 8,57E-04 0,9894 0,0880 1,48E-03 0,9986 0,0837 5,67E-04 0,9938 0,0857 1,09E-03 0,9891 0,0877 1,35E-03 6,65E-04 1,20E-03 0,9987 0,0838 7,62E-04 0,9939 0,0859 1,31E-03 0,9889 0,0875 1,20E-03 0,9984 0,0835 5,98E-04 0,9932 0,0851 9,94E-04 0,9882 0,0867 1,22E-03 6,33E-04 9,70E-04 0,9979 0,0831 6,69E-04 0,9931 0,0851 9,45E-04 0,9882 0,0868 1,21E-03 1,10E-03 2,00E-03 1,28E-03 1,27E-03 1,22E-03

64 50 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (D) Density Diff density Diff Diff IFT Rerata Density IFT Rerata Density density density 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 0,9991 0,0843 2,17E-03 0,9948 0,0867 1,40E-03 0,9897 0,0883 1,39E-03 2,30E-03 1,38E-03 0,9992 0,0843 2,43E-03 0,9949 0,0868 1,36E-03 0,9892 0,0878 1,39E-03 0,9983 0,0835 1,58E-03 0,9942 0,0862 1,24E-03 0,9894 0,0880 1,34E-03 1,57E-03 1,22E-03 0,9984 0,0835 1,56E-03 0,9941 0,0861 1,20E-03 0,9892 0,0878 1,38E-03 0,9975 0,0826 1,42E-03 0,9933 0,0853 1,12E-03 0,9878 0,0863 1,29E-03 1,21E-03 1,09E-03 0,9975 0,0826 9,97E-04 0,9933 0,0853 1,05E-03 0,9875 0,0861 1,30E-03 0,9959 0,0811 9,01E-04 0,9918 0,0838 9,75E-04 0,9868 0,0854 1,05E-03 8,53E-04 9,74E-04 0,9967 0,0819 8,06E-04 0,9927 0,0847 9,74E-04 0,9877 0,0862 1,15E-03 IFT Rerata 1,10E-03 1,39E-03 1,36E-03 1,29E-03 1,10E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (S) S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (D) S-MES 0,3% Propanol 0,5% AF (S) S-MES 0,3% propanol 0,5% AF (D) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E-03 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 0,9995 0,0847 1,06E-03 0,9946 0,0866 1,13E-03 0,9898 0,0883 1,39E-03 1,10E-03 1,16E-03 0,9995 0,0846 1,15E-03 0,9946 0,0866 1,19E-03 0,9893 0,0879 1,30E-03 1,10E-03 1,34E-03

65 51 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 117 S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (S) 0,9986 0,0837 7,52E-04 0,9939 0,0859 1,03E-03 0,9889 0,0875 7,06E-04 8,04E-04 1,02E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (D) 0,9986 0,0837 8,56E-04 0,9938 0,0858 1,02E-03 0,9881 0,0867 8,53E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (S) 0,9977 0,0828 4,66E-04 0,9924 0,0844 8,25E-04 0,9881 0,0867 6,81E-04 4,58E-04 8,19E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (D) 0,9976 0,0828 4,50E-04 0,9926 0,0845 8,12E-04 0,9877 0,0862 6,70E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (S) 0,9966 0,0817 2,52E-04 0,9916 0,0836 4,74E-04 0,9865 0,0851 6,02E-04 2,45E-04 4,79E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (D) 0,9967 0,0819 2,38E-04 0,9919 0,0839 4,83E-04 0,9872 0,0858 5,98E S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (S) 0,9992 0,0843 5,81E-04 0,9951 0,0870 8,41E-04 0,9903 0,0889 1,02E-03 6,15E-04 8,22E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (D) 0,9992 0,0843 6,48E-04 0,9952 0,0872 8,04E-04 0,9899 0,0885 1,12E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (S) 0,9983 0,0835 5,74E-04 0,9941 0,0861 6,30E-04 0,9889 0,0875 4,89E-04 5,47E-04 6,33E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (D) 0,9982 0,0834 5,20E-04 0,9941 0,0861 6,35E-04 0,9883 0,0868 4,45E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (S) 0,9974 0,0826 3,80E-04 0,9933 0,0852 4,13E-04 0,9883 0,0869 4,29E-04 3,72E-04 4,11E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (D) 0,9975 0,0826 3,63E-04 0,9933 0,0853 4,09E-04 0,9881 0,0867 3,13E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (S) 0,9965 0,0817 3,26E-04 0,9923 0,0843 3,12E-04 0,9861 0,0847 2,84E-04 3,20E-04 3,86E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (D) 0,9971 0,0823 3,14E-04 0,9929 0,0849 4,60E-04 0,9872 0,0858 3,62E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (S) 0,9994 0,0852 1,24E-03 0,9952 0,0871 1,08E-03 0,9904 0,089 7,88E-04 1,25E-03 1,11E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (D) 0,9993 0,0848 1,27E-03 0,995 0,087 1,14E-03 0,9905 0,0891 1,23E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (S) 0,9996 0,0847 1,24E-03 0,9952 0,0871 1,17E-03 0,9923 0,0908 9,04E-04 1,25E-03 1,25E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (D) 0,9992 0,0844 1,27E-03 0,9949 0,0869 1,33E-03 0,99 0,0886 1,31E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (S) 0,997 0,0839 4,74E-03 0,9933 0,0852 5,57E-03 0,9885 0,0871 2,95E-03 4,02E-03 4,00E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (D) 0,998 0,0833 3,30E-03 0,9936 0,0855 2,42E-03 0,9886 0,0872 1,66E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (S) 0,9979 0,0836 4,41E-03 0,9936 0,0856 5,24E-03 0,9886 0,0871 2,50E-03 6,48E-03 4,91E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (D) 0,9976 0,0833 8,56E-03 0,9933 0,0852 4,58E-03 0,9875 0,0861 2,86E-03 Rerata 7,80E-04 6,76E-04 6,00E-04 1,10E-03 1,07E-03 4,67E-04 3,71E-04 3,23E-04 1,10E-03 1,01E-03 1,11E-03 2,30E-03 2,68E-03

66 52 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density Formulasi air demineral dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 143 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (S) 0,9922 0,0774 9,47E+00 0,9886 0,0805 6,87E+00 0,9834 0,0788 8,57E+00 9,41E+00 6,74E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (D) 0,9930 0,0782 9,35E+00 0,9884 0,0724 6,60E+00 0,9835 0,0820 8,60E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (S) 0,9919 0,0771 6,71E+00 0,9877 0,0797 9,00E+00 0,9830 0,0815 8,80E+00 7,18E+00 8,92E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (D) 0,9922 0,0773 7,64E+00 0,9867 0,0787 8,84E+00 0,9825 0,0811 8,97E S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (S) 0,9915 0,0766 8,99E+00 0,9867 0,0787 9,32E+00 0,9821 0,0807 8,80E+00 9,02E+00 8,97E S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (D) 0,9913 0,0765 9,05E+00 0,9867 0,0787 8,62E+00 0,9821 0,0807 8,68E S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (S) 0,9902 0,0753 8,84E+00 0,9856 0,0776 7,22E+00 0,9810 0,0796 7,69E+00 8,89E+00 7,65E S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (D) 0,9903 0,0755 8,94E+00 0,9857 0,0776 8,08E+00 0,9807 0,0792 7,43E S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (S) 0,9935 0,0787 7,61E+00 0,9891 0,0810 8,18E+00 0,9842 0,0828 6,80E+00 7,65E+00 8,19E S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (D) 0,9935 0,0787 7,70E+00 0,9892 0,0812 8,20E+00 0,9842 0,0828 6,84E S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (S) 0,9929 0,0781 8,81E+00 0,9884 0,0804 8,34E+00 0,9836 0,0822 6,97E+00 8,90E+00 8,33E S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (D) 0,9930 0,0782 8,99E+00 0,9884 0,0804 8,32E+00 0,9836 0,0822 6,88E S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (S) 0,9924 0,0776 8,46E+00 0,9879 0,0799 8,28E+00 0,9830 0,0816 7,65E+00 8,55E+00 8,25E S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (D) 0,9924 0,0776 8,53E+00 0,9881 0,0801 8,22E+00 0,9831 0,0817 7,60E S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (S) 0,9921 0,0772 6,60E+00 0,9874 0,0794 7,29E+00 0,9824 0,0810 6,97E+00 6,52E+00 7,23E S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (D) 0,9919 0,0770 6,59E+00 0,9873 0,0793 7,18E+00 0,9825 0,0811 7,05E+00 Rerata 3,40E+01 8,59E+00 8,89E+00 8,74E+00 7,56E+00 3,40E+01 7,54E+00 7,59E+00 7,18E+00 6,87E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (D) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E+01 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 0,9933 0,0784 8,96E+00 0,9883 0,0803 9,25E+00 0,9838 0,0823 9,59E+00 8,95E+00 1,01E+01 0,9932 0,0784 8,93E+00 0,9886 0,0806 9,30E+00 0,9832 0,0818 9,54E+00 3,40E+01 9,56E+00

67 53 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (D) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (S) S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (D) Density Diff density Diff Diff IFT Rerata Density IFT Rerata Density density density 0,9924 0,0776 7,19E+00 0,9846 0,0766 8,88E+00 0,9830 0,0815 8,41E+00 7,14E+00 9,06E+00 0,9924 0,0775 7,10E+00 0,9841 0,0760 8,79E+00 0,9830 0,0816 8,59E+00 0,9913 0,0765 7,31E+00 0,9836 0,0755 7,37E+00 0,9844 0,0830 7,38E+00 7,37E+00 7,42E+00 0,9917 0,0769 7,43E+00 0,9860 0,0780 7,46E+00 0,9814 0,0800 7,43E+00 0,9909 0,0760 7,49E+00 0,9857 0,0776 6,72E+00 0,9797 0,0783 7,14E+00 7,48E+00 7,36E+00 0,9905 0,0757 7,47E+00 0,9834 0,0754 8,01E+00 0,9812 0,0798 7,20E+00 IFT Rerata 8,50E+00 7,41E+00 7,17E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (S) 0,9929 0,0780 8,81E+00 0,9890 0,0810 8,49E+00 0,9838 0,0824 9,24E+00 8,82E+00 8,50E S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (D) 0,9932 0,0784 8,83E+00 0,9891 0,0811 8,52E+00 0,9838 0,0824 9,12E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (S) 0,9920 0,0771 8,45E+00 0,9881 0,0801 7,32E+00 0,9828 0,0814 7,38E+00 8,47E+00 7,37E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (D) 0,9924 0,0775 8,49E+00 0,9881 0,0801 7,41E+00 0,9829 0,0815 7,34E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (S) 0,9912 0,0763 7,67E+00 0,9872 0,0792 7,37E+00 0,9820 0,0806 7,11E+00 7,72E+00 7,32E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (D) 0,9915 0,0767 7,78E+00 0,9874 0,0794 7,27E+00 0,9820 0,0805 7,19E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (S) 0,9907 0,0758 7,74E+00 0,9863 0,0783 6,23E+00 0,9810 0,0796 5,69E+00 7,70E+00 6,27E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (D) 0,9903 0,0754 7,66E+00 0,9861 0,0781 6,30E+00 0,9809 0,0795 5,77E S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (S) 0,9929 0,0781 8,76E+00 0,9888 0,0807 8,53E+00 0,9837 0,0823 8,39E+00 8,73E+00 8,56E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (D) 0,9929 0,0781 8,71E+00 0,9889 0,0809 8,58E+00 0,9837 0,0822 8,50E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (S) 0,9921 0,0773 7,69E+00 0,9880 0,0800 8,57E+00 0,9834 0,0820 8,02E+00 7,64E+00 8,57E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (D) 0,9921 0,0772 7,59E+00 0,9881 0,0801 8,57E+00 0,9829 0,0815 7,97E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (S) 0,9914 0,0766 6,28E+00 0,9871 0,0791 7,11E+00 0,9824 0,0810 6,27E+00 6,10E+00 7,13E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (D) 0,9913 0,0764 5,92E+00 0,9872 0,0792 7,15E+00 0,9821 0,0806 6,34E+00 3,40E+01 9,18E+00 7,36E+00 7,15E+00 5,73E+00 3,40E+01 8,44E+00 7,99E+00 6,30E+00

68 54 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 191 S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (S) 0,9905 0,0757 7,24E+00 0,9865 0,0784 7,33E+00 0,9816 0,0801 5,99E+00 7,26E+00 7,38E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (D) 0,9905 0,0757 7,28E+00 0,9865 0,0785 7,42E+00 0,9812 0,0798 5,90E+00 Rerata 5,94E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E+01 3,40E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (S) 0,9934 0,0785 6,66E+00 0,9886 0,0806 7,21E+00 0,9840 0,0826 7,11E+00 6,61E+00 7,24E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (D) 0,9933 0,0785 6,56E+00 0,9886 0,0806 7,28E+00 0,9838 0,0824 6,10E+00 6,60E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (S) 0,9923 0,0775 6,23E+00 0,9880 0,0800 7,47E+00 0,9833 0,0819 7,27E+00 6,23E+00 7,44E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (D) 0,9925 0,0777 6,23E+00 0,9879 0,0798 7,40E+00 0,9827 0,0813 7,21E+00 7,24E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (S) 0,9915 0,0767 5,30E+00 0,9871 0,0791 7,14E+00 0,9823 0,0809 6,21E+00 5,31E+00 7,10E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (D) 0,9915 0,0766 5,32E+00 0,9869 0,0789 7,06E+00 0,9824 0,0810 6,15E+00 6,18E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (S) 0,9906 0,0758 5,03E+00 0,9861 0,0781 7,18E+00 0,9816 0,0802 5,47E+00 4,58E+00 7,07E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (D) 0,9904 0,0756 4,13E+00 0,9863 0,0782 6,96E+00 0,9814 0,0800 4,08E+00 4,77E+00 Formulasi air formulasi dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 203 AF-0,3% MES-NaOH 0,0% (S) 1,0000 0,0852 4,67E-03 0,9956 0,0876 1,64E-03 0,9916 0,0901 1,02E-03 4,47E-03 1,68E AF-0,3% MES-NaOH 0,0% (D) 1,0000 0,0852 4,21E-03 0,9952 0,0871 1,72E-03 0,9911 0,0897 1,19E-03 1,10E AF-0,3% MES-NaOH 0,1% (S) 1,0013 0,0864 2,74E-03 0,9981 0,0901 1,56E-03 0,9919 0,0904 1,42E-03 2,64E-03 1,66E AF-0,3% MES-NaOH 0,1% (D) 1,0013 0,0865 2,55E-03 0,9967 0,0886 1,75E-03 0,9918 0,0903 1,41E-03 1,41E AF-0,3% MES-NaOH 0,2% (S) 1,0022 0,0874 1,79E-03 0,9976 0,0895 1,41E-03 0,9925 0,0911 2,00E-03 1,78E-03 1,69E AF-0,3% MES-NaOH 0,2% (D) 1,0022 0,0873 1,77E-03 0,9975 0,0895 1,96E-03 0,9923 0,0909 2,89E-03 2,45E AF-0,3% MES-NaOH 0,3% (S) 1,0031 0,0882 1,70E-03 0,9984 0,0904 2,51E-03 0,9933 0,0919 1,43E-03 1,70E-03 4,13E AF-0,3% MES-NaOH 0,3% (D) 1,0034 0,0885 1,69E-03 1,0002 0,0922 5,76E-03 0,9935 0,0921 4,07E-03 2,75E AF-0,3% MES-NaOH 0,4% (S) 1,0035 0,0887 1,78E-03 0,9996 0,0915 5,91E-03 0,9940 0,0926 5,35E-03 1,74E-03 5,63E AF-0,3% MES-NaOH 0,4% (D) 1,0036 0,0887 1,70E-03 0,9997 0,0916 5,36E-03 0,9938 0,0923 4,39E-03 4,87E AF-0,3% MES-NaOH 0,5% (S) 1,0046 0,0898 1,56E-03 1,0003 0,0922 5,27E-03 0,9951 0,0937 5,29E-03 1,66E-03 4,76E AF-0,3% MES-NaOH 0,5% (D) 1,0045 0,0897 1,76E-03 1,0005 0,0924 4,25E-03 0,9952 0,0938 5,48E-03 5,39E AF-0,3% MES-NaOH 0,6% (S) 1,0054 0,0906 1,61E-03 1,0016 0,0936 3,45E-03 0,9959 0,0945 4,34E-03 1,54E-03 3,43E AF-0,3% MES-NaOH 0,6% (D) 1,0054 0,0906 1,46E-03 1,0014 0,0934 3,41E-03 0,9958 0,0943 4,67E-03 4,51E AF-0,3% MES-NaOH 0,7% (S) 1,0069 0,0921 1,47E-03 1,0030 0,0950 2,06E-03 0,9968 0,0954 4,12E-03 1,47E-03 2,13E AF-0,3% MES-NaOH 0,7% (D) 1,0068 0,0919 1,47E-03 1,0029 0,0948 2,20E-03 0,9975 0,0961 3,89E-03 4,00E AF-0,3% MES-NaOH 0,8% (S) 1,0073 0,0925 1,39E-03 1,33E-03 1,0034 0,0954 2,00E-03 2,10E-03 0,9979 0,0965 3,19E-03 3,19E-03

69 55 Lampiran 3 Data hasil uji penurunan nilai IFT (lanjutan) No Nama Sampel Diff Diff Diff Density IFT Rerata Density IFT Rerata Density IFT density density density 220 AF-0,3% MES-NaOH 0,8% (D) 1,0073 0,0925 1,27E-03 1,0034 0,0954 2,20E-03 0,9974 0,0960 3,19E AF-0,3% MES-NaOH 0,9% (S) 1,0089 0,0941 1,56E-03 1,0050 0,0969 1,99E-03 0,9991 0,0976 3,68E-03 1,31E-03 2,08E AF-0,3% MES-NaOH 0,9% (D) 1,0082 0,0934 1,06E-03 1,0045 0,0965 2,18E-03 0,9991 0,0977 3,17E AF-0,3% MES-NaOH 1,0% (S) 1,0090 0,0941 1,24E-03 1,0052 0,0971 1,51E-03 0,9999 0,0984 2,64E-03 1,18E-03 1,40E AF-0,3% MES-NaOH 1,0% (D) 1,0092 0,0943 1,12E-03 1,0052 0,0972 1,29E-03 1,0001 0,0986 3,36E-03 Formulasi air demineral dengan 0,3% MES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 225 AD-0,3% MES-NaOH 0,0% (S) 0,9940 0,0792 1,51E+01 0,9897 0,0817 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,39E+01 1,51E+01 1,59E AD-0,3% MES-NaOH 0,0% (D) 0,9940 0,0791 1,50E+01 0,9896 0,0816 1,59E+01 0,9848 0,0833 3,40E AD-0,3% MES-NaOH 0,1% (S) 0,9945 0,0797 8,58E-03 0,9907 0,0827 1,71E+00 0,9852 0,0838 1,54E+00 8,94E-03 1,75E AD-0,3% MES-NaOH 0,1% (D) 0,9945 0,0797 9,30E-03 0,9905 0,0825 1,79E+00 0,9855 0,0841 1,45E AD-0,3% MES-NaOH 0,2% (S) 0,9955 0,0806 3,27E-03 0,9917 0,0837 1,53E-02 0,9864 0,0850 9,28E-01 3,38E-03 1,31E AD-0,3% MES-NaOH 0,2% (D) 0,9951 0,0803 3,49E-03 0,9916 0,0835 1,09E-02 0,9863 0,0848 1,11E AD-0,3% MES-NaOH 0,3% (S) 0,9959 0,0811 3,20E-03 0,9925 0,0844 3,37E-03 0,9871 0,0857 5,38E-03 2,85E-03 3,26E AD-0,3% MES-NaOH 0,3% (D) 0,9963 0,0815 2,50E-03 0,9928 0,0847 3,14E-03 0,9881 0,0867 8,81E AD-0,3% MES-NaOH 0,4% (S) 0,9972 0,0824 2,48E-03 0,9934 0,0853 2,86E-03 0,9861 0,0847 8,61E-03 2,61E-03 3,17E AD-0,3% MES-NaOH 0,4% (D) 0,9973 0,0825 2,74E-03 0,9936 0,0855 3,48E-03 0,9874 0,0860 4,35E AD-0,3% MES-NaOH 0,5% (S) 0,9986 0,0838 2,44E-03 0,9945 0,0865 2,21E-03 0,9876 0,0862 3,48E-03 2,60E-03 2,47E AD-0,3% MES-NaOH 0,5% (D) 0,9976 0,0828 2,75E-03 0,9940 0,0860 2,74E-03 0,9884 0,0870 5,09E AD-0,3% MES-NaOH 0,6% (S) 0,9984 0,0836 2,39E-03 0,9956 0,0875 2,07E-03 0,9895 0,0881 2,48E-03 2,00E-03 2,15E AD-0,3% MES-NaOH 0,6% (D) 0,9989 0,0841 1,61E-03 0,9954 0,0874 2,22E-03 0,9889 0,0875 2,31E AD-0,3% MES-NaOH 0,7% (S) 0,9996 0,0848 1,78E-03 0,9959 0,0878 1,68E-03 0,9907 0,0893 6,00E-03 1,66E-03 1,61E AD-0,3% MES-NaOH 0,7% (D) 0,9995 0,0847 1,54E-03 0,9958 0,0878 1,53E-03 0,9906 0,0892 1,76E AD-0,3% MES-NaOH 0,8% (S) 1,0012 0,0864 1,29E-03 0,9968 0,0887 1,37E-03 0,9915 0,0901 1,21E-03 1,17E-03 1,52E AD-0,3% MES-NaOH 0,8% (D) 1,0013 0,0864 1,05E-03 0,9970 0,0890 1,67E-03 0,9917 0,0903 1,21E AD-0,3% MES-NaOH 0,9% (S) 1,0020 0,0871 6,52E-04 0,9966 0,0885 1,19E-03 0,9904 0,0889 8,73E-04 5,73E-04 1,10E AD-0,3% MES-NaOH 0,9% (D) 1,0011 0,0863 4,94E-04 0,9974 0,0893 1,01E-03 0,9919 0,0905 8,86E AD-0,3% MES-NaOH 1,0% (S) 1,0028 0,0880 3,96E-04 0,9984 0,0904 9,70E-04 0,9927 0,0913 6,34E-04 3,79E-04 9,22E AD-0,3% MES-NaOH 1,0% (D) 1,0031 0,0882 3,61E-04 0,9985 0,0905 8,75E-04 0,9926 0,0912 6,84E-04 Rerata 3,42E-03 3,00E-03 3,40E+01 1,50E+00 1,02E+00 7,09E-03 6,48E-03 4,28E-03 2,39E-03 1,76E-03 1,21E-03 8,79E-04 6,59E-04

70 56 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD Formulasi air formulasi dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 1 AF - 0,1% S-MES (S) 6,76E-01 5,59E-03 5,86E-04 5,60E-01 1,65E-01 5,51E-03 1,22E-04 2 AF - 0,1% S-MES (D) 4,43E-01 5,42E-03 5,85E-04 5,85E-04 7,87E-07 3 AF - 0,3% S-MES (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E-05 4 AF - 0,3% S-MES (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E-04 5 AF - 0,5% S-MES (S) 1,24E-02 3,39E-03 1,06E-03 8,58E-03 5,43E-03 7,91E-03 6,39E-03 6 AF - 0,5% S-MES (D) 4,74E-03 1,24E-02 1,06E-03 1,06E-03 1,70E-06 7 AF - 0,7% S-MES (S) 1,95E-02 2,12E-02 5,46E-03 2,17E-02 3,16E-03 1,99E-02 1,92E-03 8 AF - 0,7% S-MES (D) 2,40E-02 1,85E-02 4,50E-03 4,98E-03 6,74E-04 9 AF - 1,0% S-MES (S) 4,09E-02 3,35E-02 4,07E-02 4,50E-02 5,81E-03 3,26E-02 1,26E AF - 1,0% S-MES (D) 4,91E-02 3,17E-02 4,55E-02 4,31E-02 3,38E AF - 1,5% S-MES (S) 2,59E-01 4,18E-01 2,90E-01 2,69E-01 1,38E-02 3,14E-01 1,48E AF - 1,5% S-MES (D) 2,79E-01 2,09E-01 2,05E-01 2,47E-01 6,02E AF - 2,0% S-MES (S) 6,54E-01 3,99E-01 3,11E-01 8,38E-01 2,60E-01 4,41E-01 5,94E AF - 2,0% S-MES (D) 1,02E+00 4,82E-01 1,98E-01 2,55E-01 8,01E-02 Formulasi air demineral dengan konsentrasi S-MES yang berbeda 15 AD - 0,1% S-MES (S) 2,47E+01 3,15E+01 3,62E+01 2,46E+01 6,47E-02 3,15E+01 4,40E AD - 0,1% S-MES (D) 2,46E+01 3,16E+01 3,63E+01 3,62E+01 7,52E AD - 0,3% S-MES (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E AD - 0,3% S-MES (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E AD - 0,5% S-MES (S) 1,12E+01 1,04E+01 3,02E+01 1,12E+01 4,26E-03 1,05E+01 6,15E AD - 0,5% S-MES (D) 1,12E+01 1,05E+01 3,02E+01 3,02E+01 4,32E AD - 0,7% S-MES (S) 6,72E+00 1,12E+01 8,38E+00 6,75E+00 3,34E-02 1,12E+01 5,98E AD - 0,7% S-MES (D) 6,77E+00 1,13E+01 8,24E+00 8,31E+00 9,81E AD - 1,0% S-MES (S) 9,11E+00 1,07E+01 1,00E+01 9,18E+00 9,33E-02 1,07E+01 9,20E AD - 1,0% S-MES (D) 9,24E+00 1,08E+01 1,00E+01 1,00E+01 2,37E AD - 1,5% S-MES (S) 1,12E+01 9,64E+00 8,13E+00 1,12E+01 2,85E-02 9,60E+00 5,72E AD - 1,5% S-MES (D) 1,12E+01 9,56E+00 8,10E+00 8,12E+00 2,14E AD - 2,0% S-MES (S) 9,12E+00 8,35E+00 9,69E+00 9,20E+00 1,04E-01 8,31E+00 6,11E AD - 2,0% S-MES (D) 9,27E+00 8,27E+00 9,55E+00 9,62E+00 9,45E-02

71 57 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD Formulasi air formulasi dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 29 AF-0,3% SMES-NaCl 0,0% (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E AF-0,3% SMES-NaCl 0,0% (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E AF-0,3% SMES-NaCl 1,0% (S) 2,66E-03 2,87E-03 4,64E-03 3,89E-03 1,74E-03 2,93E-03 8,47E AF-0,3% SMES-NaCl 1,0% (D) 5,12E-03 2,99E-03 4,55E-03 4,59E-03 6,14E AF-0,3% SMES-NaCl 2,0% (S) 7,96E-03 1,39E-02 1,35E-02 7,86E-03 1,41E-04 9,50E-03 6,21E AF-0,3% SMES-NaCl 2,0% (D) 7,76E-03 5,11E-03 1,25E-02 1,30E-02 7,08E AF-0,3% SMES-NaCl 3,0% (S) 2,55E-02 2,45E-02 3,09E-02 2,45E-02 1,38E-03 2,19E-02 3,70E AF-0,3% SMES-NaCl 3,0% (D) 2,35E-02 1,93E-02 3,31E-02 3,20E-02 1,58E AF-0,3% SMES-NaCl 4,0% (S) 3,59E-02 3,79E-02 4,55E-02 3,81E-02 3,10E-03 4,48E-02 9,78E AF-0,3% SMES-NaCl 4,0% (D) 4,03E-02 5,17E-02 4,43E-02 4,49E-02 8,02E AF-0,3% SMES-NaCl 5,0% (S) 5,94E-02 6,61E-02 5,03E-02 5,94E-02 7,40E-05 6,62E-02 1,87E AF-0,3% SMES-NaCl 5,0% (D) 5,95E-02 6,63E-02 5,56E-02 5,29E-02 3,70E AF-0,3% SMES-NaCl 6,0% (S) 8,20E-02 9,29E-02 8,08E-02 8,28E-02 1,14E-03 9,22E-02 9,65E AF-0,3% SMES-NaCl 6,0% (D) 8,36E-02 9,15E-02 9,49E-02 8,79E-02 9,97E AF-0,3% SMES-NaCl 7,0% (S) 1,14E-01 1,26E-01 1,42E-01 1,00E-01 1,95E-02 1,11E-01 2,18E AF-0,3% SMES-NaCl 7,0% (D) 8,66E-02 9,53E-02 9,72E-02 1,19E-01 3,13E AF-0,3% SMES-NaCl 8,0% (S) 1,34E-01 1,36E-01 1,64E-01 1,35E-01 6,51E-04 1,48E-01 1,73E AF-0,3% SMES-NaCl 8,0% (D) 1,35E-01 1,60E-01 1,68E-01 1,66E-01 3,18E AF-0,3% SMES-NaCl 9,0% (S) 1,85E-01 1,57E-01 1,94E-01 1,84E-01 9,18E-04 1,51E-01 7,66E AF-0,3% SMES-NaCl 9,0% (D) 1,84E-01 1,46E-01 1,94E-01 1,94E-01 3,81E AF-0,3% SMES-NaCl 10% (S) 1,97E-01 1,67E-01 2,00E-01 2,01E-01 5,79E-03 1,67E-01 0,00E AF-0,3% SMES-NaCl 10% (D) 2,06E-01 1,67E-01 2,01E-01 2,01E-01 7,97E-04 Formulasi air demineral dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaCl yang berbeda 51 AD-0,3% SMES-NaCl 0,0% (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E AD-0,3% SMES-NaCl 0,0% (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E AD-0,3% SMES-NaCl 0,5% (S) 3,42E-04 6,68E-04 1,02E-03 2,64E-04 1,10E-04 5,90E-04 1,11E AD-0,3% SMES-NaCl 0,5% (D) 1,86E-04 5,12E-04 9,56E-04 9,90E-04 4,84E AD-0,3% SMES-NaCl 0,75% (S) 8,25E-04 1,60E-03 1,24E-03 8,29E-04 5,30E-06 1,30E-03 4,24E AD-0,3% SMES-NaCl 0,75% (D) 8,33E-04 1,00E-03 1,21E-03 1,23E-03 1,83E AD-0,3% SMES-NaCl 1,0% (S) 1,07E-03 3,45E-03 4,55E-03 1,26E-03 2,80E-04 4,16E-03 1,01E AD-0,3% SMES-NaCl 1,0% (D) 1,46E-03 4,88E-03 4,16E-03 4,35E-03 2,75E-04

72 58 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No. Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 59 AD-0,3% SMES-NaCl 1,25% (S) 2,89E-03 3,42E-03 4,59E-03 2,55E-03 4,77E-04 4,29E-03 1,23E AD-0,3% SMES-NaCl 1,25% (D) 2,21E-03 5,16E-03 4,19E-03 4,39E-03 2,83E AD-0,3% SMES-NaCl 1,5% (S) 2,82E-03 3,62E-03 5,08E-03 2,74E-03 1,17E-04 4,44E-03 1,16E AD-0,3% SMES-NaCl 1,5% (D) 2,65E-03 5,26E-03 4,33E-03 4,70E-03 5,30E AD-0,3% SMES-NaCl 2,0% (S) 5,86E-03 7,38E-03 1,32E-02 6,90E-03 1,46E-03 5,99E-03 1,97E AD-0,3% SMES-NaCl 2,0% (D) 7,93E-03 4,60E-03 4,31E-03 8,73E-03 6,25E AD-0,3% SMES-NaCl 3,0% (S) 1,44E-02 1,66E-02 7,04E-03 1,68E-02 3,39E-03 1,50E-02 2,32E AD-0,3% SMES-NaCl 3,0% (D) 1,92E-02 1,33E-02 2,27E-02 1,49E-02 1,11E AD-0,3% SMES-NaCl 4,0% (S) 2,58E-02 2,55E-02 4,00E-02 2,46E-02 1,67E-03 2,57E-02 2,83E AD-0,3% SMES-NaCl 4,0% (D) 2,34E-02 2,59E-02 7,49E-02 5,75E-02 2,47E AD-0,3% SMES-NaCl 5,0% (S) 3,84E-02 5,63E-02 5,66E-02 3,85E-02 2,38E-04 5,43E-02 2,81E AD-0,3% SMES-NaCl 5,0% (D) 3,87E-02 5,23E-02 5,57E-02 5,61E-02 6,43E AD-0,3% SMES-NaCl 6,0% (S) 6,73E-02 7,83E-02 9,39E-02 6,58E-02 2,19E-03 7,70E-02 1,84E AD-0,3% SMES-NaCl 6,0% (D) 6,42E-02 7,57E-02 7,62E-02 8,50E-02 1,25E AD-0,3% SMES-NaCl 7,0% (S) 8,32E-02 9,29E-02 1,06E-01 9,04E-02 1,01E-02 9,64E-02 4,96E AD-0,3% SMES-NaCl 7,0% (D) 9,75E-02 9,99E-02 1,04E-01 1,05E-01 1,73E AD-0,3% SMES-NaCl 8,0% (S) 1,62E-01 1,68E-01 1,60E-01 1,52E-01 1,33E-02 1,62E-01 7,97E AD-0,3% SMES-NaCl 8,0% (D) 1,43E-01 1,56E-01 1,69E-01 1,64E-01 6,15E AD-0,3% SMES-NaCl 9,0% (S) 1,81E-01 1,67E-01 1,83E-01 1,72E-01 1,22E-02 1,68E-01 1,35E AD-0,3% SMES-NaCl 9,0% (D) 1,64E-01 1,69E-01 1,87E-01 1,85E-01 2,70E AD-0,3% SMES-NaCl 10% (S) 2,36E-01 2,00E-01 2,37E-01 2,17E-01 2,69E-02 2,00E-01 3,50E AD-0,3% SMES-NaCl 10% (D) 1,98E-01 2,00E-01 2,03E-01 2,20E-01 2,41E-02 Formulasi air formulasi dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 81 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E S-MES 0,3% Metanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (S) 3,90E-03 1,74E-03 8,31E-04 3,80E-03 1,38E-04 1,77E-03 3,62E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AF (D) 3,70E-03 1,79E-03 7,88E-04 8,10E-04 3,08E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (S) 2,91E-03 1,10E-03 6,65E-04 2,91E-03 7,13E-06 1,10E-03 4,71E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AF (D) 2,90E-03 1,10E-03 7,27E-04 6,96E-04 4,35E S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (S) 2,56E-03 6,33E-04 5,83E-04 2,61E-03 7,45E-05 6,57E-04 3,37E S-MES 0,3% Metanol 1,5% AF (D) 2,67E-03 6,81E-04 5,97E-04 5,90E-04 9,77E-06

73 59 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 89 S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (S) 1,44E-03 5,98E-04 5,22E-04 1,46E-03 2,32E-05 5,91E-04 1,00E-05 5,26E-04 6,14E S-MES 0,3% Metanol 2,0% AF (D) 1,47E-03 5,84E-04 5,30E S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E S-MES 0,3% Etanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (S) 1,21E-03 1,78E-03 2,86E-03 1,13E-03 1,14E-04 1,57E-03 3,01E S-MES 0,3% Etanol 0,5% AF (D) 1,05E-03 1,36E-03 1,14E S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (S) 6,39E-04 1,59E-03 1,08E-03 6,71E-04 4,55E-05 1,23E-03 5,22E S-MES 0,3% Etanol 1,0% AF (D) 7,03E-04 8,57E-04 1,48E S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (S) 5,67E-04 1,09E-03 1,35E-03 6,65E-04 1,38E-04 1,20E-03 1,51E S-MES 0,3% Etanol 1,5% AF (D) 7,62E-04 1,31E-03 1,20E S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (S) 5,98E-04 9,94E-04 1,22E-03 6,33E-04 5,03E-05 9,70E-04 3,44E S-MES 0,3% Etanol 2,0% AF (D) 6,69E-04 9,45E-04 1,21E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (S) 2,17E-03 1,40E-03 1,39E-03 2,30E-03 1,88E-04 1,38E-03 2,73E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AF (D) 2,43E-03 1,36E-03 1,39E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (S) 1,58E-03 1,24E-03 1,34E-03 1,57E-03 1,59E-05 1,22E-03 2,40E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AF (D) 1,56E-03 1,20E-03 1,38E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (S) 1,42E-03 1,12E-03 1,29E-03 1,21E-03 2,99E-04 1,09E-03 4,73E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AF (D) 9,97E-04 1,05E-03 1,30E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (S) 9,01E-04 9,75E-04 1,05E-03 8,53E-04 6,70E-05 9,74E-04 4,25E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AF (D) 8,06E-04 9,74E-04 1,15E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E S-MES 0,3% Propanol 0,5% AF (S) 1,06E-03 1,13E-03 1,39E-03 1,10E-03 6,21E-05 1,16E-03 4,02E S-MES 0,3% propanol 0,5% AF (D) 1,15E-03 1,19E-03 1,30E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (S) 7,52E-04 1,03E-03 7,06E-04 8,04E-04 7,32E-05 1,02E-03 4,78E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AF (D) 8,56E-04 1,02E-03 8,53E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (S) 4,66E-04 8,25E-04 6,81E-04 4,58E-04 1,10E-05 8,19E-04 9,21E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AF (D) 4,50E-04 8,12E-04 6,70E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (S) 2,52E-04 4,74E-04 6,02E-04 2,45E-04 1,02E-05 4,79E-04 6,75E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AF (D) 2,38E-04 4,83E-04 5,98E-04 1,10E-03 2,00E-03 1,28E-03 1,27E-03 1,22E-03 1,10E-03 1,39E-03 1,36E-03 1,29E-03 1,10E-03 1,10E-03 1,34E-03 7,80E-04 6,76E-04 6,00E-04 1,26E-04 1,22E-03 2,81E-04 1,08E-04 4,65E-06 1,26E-04 6,43E-06 2,37E-05 7,02E-06 6,72E-05 1,26E-04 6,57E-05 1,04E-04 8,15E-06 2,67E-06

74 60 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 121 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E S-MES 0,3% Butanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E-03 1,10E-03 1,26E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (S) 5,81E-04 8,41E-04 1,02E-03 6,15E-04 4,75E-05 8,22E-04 2,64E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AF (D) 6,48E-04 8,04E-04 1,12E-03 1,07E-03 6,50E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (S) 5,74E-04 6,30E-04 4,89E-04 5,47E-04 3,84E-05 6,33E-04 3,36E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AF (D) 5,20E-04 6,35E-04 4,45E-04 4,67E-04 3,12E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (S) 3,80E-04 4,13E-04 4,29E-04 3,72E-04 1,18E-05 4,11E-04 2,57E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AF (D) 3,63E-04 4,09E-04 3,13E-04 3,71E-04 8,26E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (S) 3,26E-04 3,12E-04 2,84E-04 3,20E-04 8,35E-06 3,86E-04 1,05E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AF (D) 3,14E-04 4,60E-04 3,62E-04 3,23E-04 5,48E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AF (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (S) 1,24E-03 1,08E-03 7,88E-04 1,25E-03 2,35E-05 1,11E-03 4,01E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AF (D) 1,27E-03 1,14E-03 1,23E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (S) 1,24E-03 1,17E-03 9,04E-04 1,25E-03 2,35E-05 1,25E-03 1,13E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AF (D) 1,27E-03 1,33E-03 1,31E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (S) 4,74E-03 5,57E-03 2,95E-03 4,02E-03 1,02E-03 4,00E-03 2,23E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AF (D) 3,30E-03 2,42E-03 1,66E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (S) 4,41E-03 5,24E-03 2,50E-03 6,48E-03 2,93E-03 4,91E-03 4,68E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AF (D) 8,56E-03 4,58E-03 2,86E-03 Formulasi air demineral dengan 0,3% S-MES pada jenis dan konsentrasi alkohol yang berbeda 141 S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E S-MES 0,3% Metanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (S) 9,47E+00 6,87E+00 8,57E+00 9,41E+00 8,27E-02 6,74E+00 1,88E S-MES 0,3% Metanol 0,5% AD (D) 9,35E+00 6,60E+00 8,60E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (S) 6,71E+00 9,00E+00 8,80E+00 7,18E+00 6,62E-01 8,92E+00 1,14E S-MES 0,3% Metanol 1,0% AD (D) 7,64E+00 8,84E+00 8,97E S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (S) 8,99E+00 9,32E+00 8,80E+00 9,02E+00 4,37E-02 8,97E+00 4,93E S-MES 0,3% Metanol 1,5% AD (D) 9,05E+00 8,62E+00 8,68E S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (S) 8,84E+00 7,22E+00 7,69E+00 8,89E+00 7,33E-02 7,65E+00 6,10E S-MES 0,3% Metanol 2,0% AD (D) 8,94E+00 8,08E+00 7,43E+00 1,10E-03 1,01E-03 1,11E-03 2,30E-03 2,68E-03 3,40E+01 8,59E+00 8,89E+00 8,74E+00 7,56E+00 1,26E-04 3,13E-04 2,86E-04 9,12E-04 2,57E-04 5,24E-02 2,11E-02 1,16E-01 8,66E-02 1,85E-01

75 61 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 151 S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E S-MES 0,3% Etanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (S) 7,61E+00 8,18E+00 6,80E+00 7,65E+00 6,49E-02 8,19E+00 1,69E S-MES 0,3% Etanol 0,5% AD (D) 7,70E+00 8,20E+00 6,84E+00 7,54E+00 3,06E S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (S) 8,81E+00 8,34E+00 6,97E+00 8,90E+00 1,27E-01 8,33E+00 1,44E S-MES 0,3% Etanol 1,0% AD (D) 8,99E+00 8,32E+00 6,88E+00 7,59E+00 5,98E S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (S) 8,46E+00 8,28E+00 7,65E+00 8,55E+00 5,49E-02 8,25E+00 4,38E S-MES 0,3% Etanol 1,5% AD (D) 8,53E+00 8,22E+00 7,60E+00 7,18E+00 3,84E S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (S) 6,60E+00 7,29E+00 6,97E+00 6,52E+00 1,06E-02 7,23E+00 7,48E S-MES 0,3% Etanol 2,0% AD (D) 6,59E+00 7,18E+00 7,05E+00 6,87E+00 5,51E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (S) 8,96E+00 9,25E+00 9,59E+00 8,95E+00 2,11E-02 1,01E+01 3,62E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% AD (D) 8,93E+00 9,30E+00 9,54E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (S) 7,19E+00 8,88E+00 8,41E+00 7,14E+00 6,30E-02 9,06E+00 6,77E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% AD (D) 7,10E+00 8,79E+00 8,59E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (S) 7,31E+00 7,37E+00 7,38E+00 7,37E+00 8,64E-02 7,42E+00 6,56E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% AD (D) 7,43E+00 7,46E+00 7,43E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (S) 7,49E+00 6,72E+00 7,14E+00 7,48E+00 1,03E-02 7,36E+00 9,08E S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% AD (D) 7,47E+00 8,01E+00 7,20E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E S-MES 0,3% Propanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (S) 8,81E+00 8,49E+00 9,24E+00 8,82E+00 1,47E-02 8,50E+00 2,56E S-MES 0,3% Propanol 0,5% AD (D) 8,83E+00 8,52E+00 9,12E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (S) 8,45E+00 7,32E+00 7,38E+00 8,47E+00 3,06E-02 7,37E+00 6,08E S-MES 0,3% Propanol 1,0% AD (D) 8,49E+00 7,41E+00 7,34E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (S) 7,67E+00 7,37E+00 7,11E+00 7,72E+00 8,15E-02 7,32E+00 7,16E S-MES 0,3% Propanol 1,5% AD (D) 7,78E+00 7,27E+00 7,19E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (S) 7,74E+00 6,23E+00 5,69E+00 7,70E+00 5,76E-02 6,27E+00 5,55E S-MES 0,3% Propanol 2,0% AD (D) 7,66E+00 6,30E+00 5,77E+00 3,40E+01 9,56E+00 8,50E+00 7,41E+00 7,17E+00 3,40E+01 9,18E+00 7,36E+00 7,15E+00 5,73E+00 5,24E-02 3,67E-02 1,27E-01 3,79E-02 4,17E-02 5,24E-02 8,80E-02 2,25E-02 5,41E-02 5,77E-02

76 62 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 181 S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E S-MES 0,3% Butanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (S) 8,76E+00 8,53E+00 8,39E+00 8,73E+00 3,67E-02 8,56E+00 3,70E S-MES 0,3% Butanol 0,5% AD (D) 8,71E+00 8,58E+00 8,50E+00 8,44E+00 7,63E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (S) 7,69E+00 8,57E+00 8,02E+00 7,64E+00 6,61E-02 8,57E+00 4,66E S-MES 0,3% Butanol 1,0% AD (D) 7,59E+00 8,57E+00 7,97E+00 7,99E+00 3,52E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (S) 6,28E+00 7,11E+00 6,27E+00 6,10E+00 2,55E-01 7,13E+00 2,37E S-MES 0,3% Butanol 1,5% AD (D) 5,92E+00 7,15E+00 6,34E+00 6,30E+00 4,83E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (S) 7,24E+00 7,33E+00 5,99E+00 7,26E+00 2,17E-02 7,38E+00 6,61E S-MES 0,3% Butanol 2,0% AD (D) 7,28E+00 7,42E+00 5,90E+00 5,94E+00 6,85E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E S-MES 0,3% Pentanol 0,0% AD (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (S) 6,66E+00 7,21E+00 7,11E+00 6,61E+00 7,53E-02 7,24E+00 5,27E S-MES 0,3% Pentanol 0,5% AD (D) 6,56E+00 7,28E+00 6,10E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (S) 6,23E+00 7,47E+00 7,27E+00 6,23E+00 1,56E-03 7,44E+00 4,80E S-MES 0,3% Pentanol 1,0% AD (D) 6,23E+00 7,40E+00 7,21E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (S) 5,30E+00 7,14E+00 6,21E+00 5,31E+00 1,39E-02 7,10E+00 5,98E S-MES 0,3% Pentanol 1,5% AD (D) 5,32E+00 7,06E+00 6,15E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (S) 5,03E+00 7,18E+00 5,47E+00 4,58E+00 6,34E-01 7,07E+00 1,59E S-MES 0,3% Pentanol 2,0% AD (D) 4,13E+00 6,96E+00 4,08E+00 Formulasi air formulasi dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 201 AF-0,3% SMES-NaOH 0,0% (S) 4,67E-03 1,64E-03 1,02E-03 4,44E-03 3,25E-04 1,68E-03 5,36E AF-0,3% SMES-NaOH 0,0% (D) 4,21E-03 1,72E-03 1,19E AF-0,3% SMES-NaOH 0,1% (S) 2,74E-03 4,86E-03 2,11E-03 2,64E-03 1,36E-04 3,31E-03 2,20E AF-0,3% SMES-NaOH 0,1% (D) 2,55E-03 1,75E-03 4,02E AF-0,3% SMES-NaOH 0,2% (S) 1,79E-03 1,41E-03 2,00E-03 1,78E-03 1,52E-05 1,69E-03 3,91E AF-0,3% SMES-NaOH 0,2% (D) 1,77E-03 1,96E-03 2,89E AF-0,3% SMES-NaOH 0,3% (S) 1,70E-03 2,51E-03 1,43E-03 1,70E-03 4,33E-06 1,22E-02 1,37E AF-0,3% SMES-NaOH 0,3% (D) 1,69E-03 2,19E-02 4,07E AF-0,3% SMES-NaOH 0,4% (S) 1,78E-03 5,91E-03 5,35E-03 1,74E-03 5,45E-05 5,63E-03 3,92E AF-0,3% SMES-NaOH 0,4% (D) 1,70E-03 5,36E-03 4,39E-03 3,40E+01 6,60E+00 7,24E+00 6,18E+00 4,77E+00 1,10E-03 3,06E-03 2,45E-03 2,75E-03 4,87E-03 5,24E-02 7,13E-01 4,65E-02 4,08E-02 9,79E-01 1,26E-04 1,35E-03 6,32E-04 1,87E-03 6,81E-04

77 63 Lampiran 4 Data hasil perhitungan standar deviasi (lanjutan) No Nama Sampel IFT Rerata SD IFT Rerata SD IFT Rerata SD 211 AF-0,3% SMES-NaOH 0,5% (S) 1,56E-03 5,27E-03 5,29E-03 1,66E-03 1,40E-04 4,76E-03 7,25E AF-0,3% SMES-NaOH 0,5% (D) 1,76E-03 4,25E-03 5,48E-03 5,39E-03 1,39E AF-0,3% SMES-NaOH 0,6% (S) 1,61E-03 3,45E-03 4,34E-03 1,54E-03 1,02E-04 3,43E-03 2,23E AF-0,3% SMES-NaOH 0,6% (D) 1,46E-03 3,41E-03 4,67E-03 4,51E-03 2,37E AF-0,3% SMES-NaOH 0,7% (S) 1,47E-03 2,06E-03 4,12E-03 1,47E-03 5,47E-07 2,13E-03 1,03E AF-0,3% SMES-NaOH 0,7% (D) 1,47E-03 2,20E-03 3,89E-03 4,00E-03 1,69E AF-0,3% SMES-NaOH 0,8% (S) 1,39E-03 2,00E-03 7,06E-03 1,33E-03 7,85E-05 2,10E-03 1,42E AF-0,3% SMES-NaOH 0,8% (D) 1,27E-03 2,20E-03 4,08E-03 5,57E-03 2,11E AF-0,3% SMES-NaOH 0,9% (S) 1,56E-03 1,99E-03 3,68E-03 1,31E-03 3,56E-04 2,08E-03 1,38E AF-0,3% SMES-NaOH 0,9% (D) 1,06E-03 2,18E-03 3,17E-03 3,42E-03 3,60E AF-0,3% SMES-NaOH 1,0% (S) 1,24E-03 1,51E-03 2,64E-03 1,18E-03 8,57E-05 1,40E-03 1,51E AF-0,3% SMES-NaOH 1,0% (D) 1,12E-03 1,29E-03 3,36E-03 3,00E-03 5,08E-04 Formulasi air demineral dengan 0,3% SMES pada konsentrasi NaOH yang berbeda 223 AD-0,3% SMES-NaOH 0,0% (S) 1,51E+01 1,59E+01 3,39E+01 1,51E+01 9,46E-02 1,59E+01 4,54E AD-0,3% SMES-NaOH 0,0% (D) 1,50E+01 1,59E+01 3,40E+01 3,40E+01 5,24E AD-0,3% SMES-NaOH 0,1% (S) 8,58E-03 5,11E-04 1,71E+00 1,54E+00 8,94E-03 1,75E+00 5,36E AD-0,3% SMES-NaOH 0,1% (D) 9,30E-03 1,79E+00 1,45E+00 1,50E+00 6,27E AD-0,3% SMES-NaOH 0,2% (S) 3,27E-03 1,57E-04 1,53E-02 9,28E-01 3,38E-03 1,31E-02 3,10E AD-0,3% SMES-NaOH 0,2% (D) 3,49E-03 1,09E-02 1,11E+00 1,02E+00 1,29E AD-0,3% SMES-NaOH 0,3% (S) 3,20E-03 4,92E-04 3,37E-03 5,38E-03 2,85E-03 3,26E-03 1,61E AD-0,3% SMES-NaOH 0,3% (D) 2,50E-03 3,14E-03 8,81E-03 7,09E-03 2,43E AD-0,3% SMES-NaOH 0,4% (S) 2,48E-03 1,84E-04 2,86E-03 8,61E-03 2,61E-03 3,17E-03 4,41E AD-0,3% SMES-NaOH 0,4% (D) 2,74E-03 3,48E-03 4,35E-03 6,48E-03 3,01E AD-0,3% SMES-NaOH 0,5% (S) 2,44E-03 2,22E-04 2,21E-03 3,48E-03 2,60E-03 2,47E-03 3,73E AD-0,3% SMES-NaOH 0,5% (D) 2,75E-03 2,74E-03 5,09E-03 4,28E-03 1,13E AD-0,3% SMES-NaOH 0,6% (S) 2,39E-03 5,54E-04 2,07E-03 2,48E-03 2,00E-03 2,15E-03 1,10E AD-0,3% SMES-NaOH 0,6% (D) 1,61E-03 2,22E-03 2,31E-03 2,39E-03 1,21E AD-0,3% SMES-NaOH 0,7% (S) 1,78E-03 1,70E-04 1,68E-03 6,00E-03 1,66E-03 1,61E-03 1,05E AD-0,3% SMES-NaOH 0,7% (D) 1,54E-03 1,53E-03 1,76E-03 1,76E-03 3,00E AD-0,3% SMES-NaOH 0,8% (S) 1,29E-03 1,74E-04 1,37E-03 1,21E-03 1,17E-03 1,52E-03 2,12E AD-0,3% SMES-NaOH 0,8% (D) 1,05E-03 1,67E-03 1,21E-03 1,21E-03 3,36E AD-0,3% SMES-NaOH 0,9% (S) 6,52E-04 1,12E-04 1,19E-03 8,73E-04 5,73E-04 1,10E-03 1,29E AD-0,3% SMES-NaOH 0,9% (D) 4,94E-04 1,01E-03 8,86E-04 8,79E-04 9,73E AD-0,3% SMES-NaOH 1,0% (S) 3,96E-04 2,47E-05 9,70E-04 6,34E-04 3,79E-04 9,22E-04 6,73E AD-0,3% SMES-NaOH 1,0% (D) 3,61E-04 8,75E-04 6,84E-04 6,59E-04 3,51E-05

78 64 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi No. Nama Sampel Gambar 1 S-MES 0,1% dan Air Formasi 2 S-MES 0,3% dan Air Formasi 3 S-MES 0,5% dan Air Formasi 4 S-MES 0,7% dan Air Formasi

79 65 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 5 S-MES 1,0% dan Air Formasi 6 S-MES 1,5% dan Air Formasi 7 S-MES 2,0% dan Air Formasi 8 S-MES 0,1% dan Air Demineral

80 66 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 9 S-MES 0,3% dan Air Demineral 10 S-MES 0,5% dan Air Demineral 11 S-MES 0,7% dan Air Demineral 12 S-MES 1,0% dan Air Demineral

81 67 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 13 S-MES 1,5% dan Air Demineral 14 S-MES 2,0% dan Air Demineral 15 S-MES 0,3% NaCl 1,0% dan Air Formasi 16 S-MES 0,3% NaCl 2,0% dan Air Formasi

82 68 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 17 S-MES 0,3% NaCl 3,0% dan Air Formasi 18 S-MES 0,3% NaCl 4,0% dan Air Formasi 19 S-MES 0,3% NaCl 5,0% dan Air Formasi 20 S-MES 0,3% NaCl 6,0% dan Air Formasi

83 69 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 21 S-MES 0,3% NaCl 7,0% dan Air Formasi 22 S-MES 0,3% NaCl 8,0% dan Air Formasi 23 S-MES 0,3% NaCl 9,0% dan Air Formasi 24 S-MES 0,3% NaCl 10,0% dan Air Formasi

84 70 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 25 S-MES 0,3% NaCl 1,0% dan Air Demineral 26 S-MES 0,3% NaCl 2,0% dan Air Demineral 27 S-MES 0,3% NaCl 3,0% dan Air Demineral 28 S-MES 0,3% NaCl 4,0% dan Air Demineral

85 71 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 29 S-MES 0,3% NaCl 5,0% dan Air Demineral 30 S-MES 0,3% NaCl 6,0% dan Air Demineral 31 S-MES 0,3% NaCl 7,0% dan Air Demineral 32 S-MES 0,3% NaCl 8,0% dan Air Demineral

86 72 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 33 S-MES 0,3% NaCl 9,0% dan Air Demineral 34 S-MES 0,3% NaCl 10,0% dan Air Demineral 35 S-MES 0,3% Metanol 0,5% dan Air Formasi 36 S-MES 0,3% Metanol 1,0% dan Air Formasi

87 73 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 37 S-MES 0,3% Metanol 1,5% dan Air Formasi 38 S-MES 0,3% Metanol 2,0% dan Air Formasi 39 S-MES 0,3% Etanol 0,5% dan Air Formasi 40 S-MES 0,3% Etanol 1,0% dan Air Formasi

88 74 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 41 S-MES 0,3% Etanol 1,5% dan Air Formasi 42 S-MES 0,3% Etanol 2,0% dan Air Formasi 43 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% dan Air Formasi 44 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% dan Air Formasi

89 75 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 45 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% dan Air Formasi 46 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% dan Air Formasi 47 S-MES 0,3% Propanol 0,5% dan Air Formasi 48 S-MES 0,3% Propanol 1,0% dan Air Formasi

90 76 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 49 S-MES 0,3% Propanol 1,5% dan Air Formasi 50 S-MES 0,3% Propanol 2,0% dan Air Formasi 51 S-MES 0,3% Butanol 0,5% dan Air Formasi 52 S-MES 0,3% Butanol 1,0% dan Air Formasi

91 77 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 53 S-MES 0,3% Butanol 1,5% dan Air Formasi 54 S-MES 0,3% Butanol 2,0% dan Air Formasi 55 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% dan Air Formasi 56 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% dan Air Formasi

92 78 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 57 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% dan Air Formasi 58 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% dan Air Formasi 59 S-MES 0,3% Metanol 0,5% dan Air Demineral 60 S-MES 0,3% Metanol 1,0% dan Air Demineral

93 79 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 61 S-MES 0,3% Metanol 1,5% dan Air Demineral 62 S-MES 0,3% Metanol 2,0% dan Air Demineral 63 S-MES 0,3% Etanol 0,5% dan Air Demineral 64 S-MES 0,3% Etanol 1,0% dan Air Demineral

94 80 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 65 S-MES 0,3% Etanol 1,5% dan Air Demineral 66 S-MES 0,3% Etanol 2,0% dan Air Demineral 67 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 0,5% dan Air Demineral 68 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,0% dan Air Demineral

95 81 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 69 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 1,5% dan Air Demineral 70 S-MES 0,3% Iso Propil Alkohol 2,0% dan Air Demineral 71 S-MES 0,3% Propanol 0,5% dan Air Demineral 72 S-MES 0,3% Propanol 1,0% dan Air Demineral

96 82 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 73 S-MES 0,3% Propanol 1,5% dan Air Demineral 74 S-MES 0,3% Propanol 2,0% dan Air Demineral 75 S-MES 0,3% Butanol 0,5% dan Air Demineral 76 S-MES 0,3% Butanol 1,0% dan Air Demineral

97 83 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 77 S-MES 0,3% Butanol 1,5% dan Air Demineral 78 S-MES 0,3% Butanol 2,0% dan Air Demineral 79 S-MES 0,3% Pentanol 0,5% dan Air Demineral 80 S-MES 0,3% Pentanol 1,0% dan Air Demineral

98 84 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 81 S-MES 0,3% Pentanol 1,5% dan Air Demineral 82 S-MES 0,3% Pentanol 2,0% dan Air Demineral 83 S-MES 0,3% NaOH 0,1% dan Air Formasi 84 S-MES 0,3% NaOH 0,2% dan Air Formasi

99 85 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 85 S-MES 0,3% NaOH 0,3% dan Air Formasi 86 S-MES 0,3% NaOH 0,4% dan Air Formasi 87 S-MES 0,3% NaOH 0,5% dan Air Formasi 88 S-MES 0,3% NaOH 0,6% dan Air Formasi

100 86 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 89 S-MES 0,3% NaOH 0,7% dan Air Formasi 90 S-MES 0,3% NaOH 0,8% dan Air Formasi 91 S-MES 0,3% NaOH 0,9% dan Air Formasi 92 S-MES 0,3% NaOH 1,0% dan Air Formasi

101 87 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 93 S-MES 0,3% NaOH 0,1% dan Air Demineral 94 S-MES 0,3% NaOH 0,2% dan Air Demineral 95 S-MES 0,3% NaOH 0,3% dan Air Demineral 96 S-MES 0,3% NaOH 0,4% dan Air Demineral 97 S-MES 0,3% NaOH 0,5% dan Air Demineral

102 88 Lampiran 5 Dokumentasi sampel hasil formulasi (lanjutan) No. Nama Sampel Gambar 98 S-MES 0,3% NaOH 0,6% dan Air Demineral 99 S-MES 0,3% NaOH 0,7% dan Air Demineral 100 S-MES 0,3% NaOH 0,8% dan Air Demineral 101 S-MES 0,3% NaOH 0,9% dan Air Demineral 102 S-MES 0,3% NaOH 1,0% dan Air Demineral

103 89 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1, ,01 1, D 1 1,01 0, ,01 1, Rerata 1,0125 1, S 1 1,02 1, AF + 0,3% MES 2 1,01 1, D 1 1,01 0, ,01 1, Rerata 1,0125 1, S 1 1,03 1,01 II(-) 3,27-2 1,02 1 II(-) 3,30 - D 1 1,02 0,98 II(-) 3,30-2 1,02 1 II(-) 3,30 - Rerata 1,0225 0,9975 3,29-0 S ,01 1, D Rerata 1,0025 1, S 1 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 AD + 0,7% MES 2 0,99 1,03 Makroemulsi 2,83 2,83 D 1 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 2 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 Rerata 0,9825 1,0225 2,85 2,85 14 S 1 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 2 0,99 1,03 Makroemulsi 2,83 2,83 D 1 0,96 1,04 Makroemulsi 5,71 5,71 2 0,98 1,02 Makroemulsi 2,86 2,86 Rerata 0,9775 1,0275 3,56 3,56 Keterangan : S = Pengukuran simplo D = Pengukuran duplo

104 90 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1, , D 1 1, , Rerata 1, S 1 1, AF + 0,3% MES + 2% Metanol 2 1, D 1 1, , Rerata 1, S 1 1, , D 1 1, , Rerata 1, S 1 1 1, ,02 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,015 1, S 1 1 1, AF + 0,3% MES + 2% Etanol 2 1,02 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,015 1, S 1 1 1, ,02 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,015 1,

105 91 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S ,02 1, D Rerata 1,005 1, S AF + 0,3% MES + 2% IPA 2 1,02 1, D Rerata 1,005 1, S ,02 1, D Rerata 1,005 1, S ,92 1, D ,02 1, Rerata 0,99 1, S AF + 0,3% MES + 2% Propanol 2 0,91 1, D ,02 1, Rerata 0,98 1, S ,91 1, D 1 1 0, ,02 1, Rerata 0,98 1,23 - -

106 92 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1, ,02 1, D ,01 1, Rerata 1,0125 1, S 1 1,02 1, AF + 0,3% MES + 2% Butanol 2 1,02 1, D ,01 1, Rerata 1,0125 1, S 1 1,02 1, ,02 1, D ,01 1, Rerata 1,0125 1, S 1 1 1, ,01 1, D 1 1,02 1, Rerata 1,0075 1, S 1 1 1, AF + 0,3% MES + 0,5% Pentanol 2 1,01 1, D 1 1,02 1, Rerata 1,0075 1, S 1 1 1, ,01 1, D 1 1,02 1, Rerata 1,0075 1,

107 93 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama sampel Hari ke Kode sampel Ulangan Volume (ml) Larutan surfaktan Minyak Tipe Ratio kelarutan minyak Rasio kelarutan air 0 S 1 1,02 1, ,02 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,02 1, S 1 1,02 1, AF + 0,3% MES + 1% NaOH 2 1,02 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,02 1, S 1 1,02 1, ,02 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,02 1, S 1 1,03 1, ,03 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,025 1, S 1 1,03 1, AD + 0,3% MES + 1% NaOH 2 1,03 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,025 1, S 1 1,03 1, ,03 1, D 1 1,02 1, ,02 1, Rerata 1,025 1,

108 94 Lampiran 6 Data hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Contoh perhitungan rasio kelarutan minyak dan rasio kelarutan air Rasio kelarutan minyak = Pertambahan larutan surfaktan (volume awal larutan surfaktan)x 0,3% ml/ml Pengukuran Hari ke-14 Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran simplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,02)*0,3%] = 3,27 ml/ml Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran simplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,01)*0,3%] = 3,30 ml/ml Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran duplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,01)*0,3%] = 3,30 ml/ml Formula air formasi + 0,3% MES pengukuran duplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,01 /[ (1,01)*0,3%] = 3,30 ml/ml Rasio kelarutan air = Pertambahan minyak (volume awal larutan surfaktan)x 0,3% ml/ml Pengukuran Hari ke-7 Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran simplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran simplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1,01)*0,7%] = 2,83 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1,01)*0,7%] = 2,83 ml/ml Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran duplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran duplo (2) Rasio kelarutan minyak = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,02 /[ (1)*0,7%] = 2,86 ml/ml Pengukuran Hari ke-14 Formula air demineral + 0,7% MES pengukuran duplo (1) Rasio kelarutan minyak = 0,04 /[ (1)*0,7%] = 5,71 ml/ml Rasio kelarutan air = 0,04 /[ (1)*0,7%] = 5,71 ml/ml

109 95 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES AD + 0,7% MES

110 96 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 1% NaOH AD + 0,3% MES + 1% NAOH

111 97 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 2% Metanol AF + 0,3% MES + 2% Etanol

112 98 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 2% Iso Propil Alkohol AF + 0,3% MES + 2% Propanol

113 99 Lampiran 7 Dokumentasi hasil uji kelakuan fasa (lanjutan) Nama Sampel H-0 H-7 H-14 Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo AF + 0,3% MES + 2% Butanol AF + 0,3% MES + 2% Pentanol

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001 KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING Sugihardjo 1, Edward Tobing 1,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS Ricky 1), Sugiatmo Kasmungin 2), M.Taufiq Fathaddin 3) 1) Mahasiswa Magister Perminyakan, Fakultas

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan AIR Sumber Air 1. Air laut 2. Air tawar a. Air hujan b. Air permukaan Impurities (Pengotor) air permukaan akan sangat tergantung kepada lingkungannya, seperti - Peptisida - Herbisida - Limbah industry

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK PADA INJEKSI SURFAKTAN DENGAN KADAR SALINITAS AIR FORMASI YANG BERVARIASI Tommy Viriya dan Lestari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS 15.000 PPM DAN SUHU 85 C Radityo Danisworo 1, Sugiatmo Kasmungin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berputar, sehingga merupakan suatu siklus (daur ulang) yang lebih dikenal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berputar, sehingga merupakan suatu siklus (daur ulang) yang lebih dikenal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumber Air Keberadaan air di bumi merupakan suatu proses alam yang berlanjut dan berputar, sehingga merupakan suatu siklus (daur ulang) yang lebih dikenal dengan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya. LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN KOMPOSISI KATALIS TERHADAP PEMBUATAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS CPO (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN AGEN SULFONAT NaHSO 3 Diajukan Sebagai Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

Kelompok B Pembimbing

Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester I - 2006/2007 PEMBUATAN ESTER METIL SULFONAT DARI CPO UNTUK SURFACTANT FLOODING Kelompok Dwike Indriany (13003008) Jelita Alamanda (13003092) Pembimbing Dr. Ir. Retno Gumilang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Hasil penentuan asam lemak bebas dan kandungan air Analisa awal yang dilakukan pada sampel CPO {Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan

Lebih terperinci

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Simposium Nasional dan Kongres X Jakarta, 12 14 November 2008 Makalah Profesional IATMI 08-027 STUDI LABORATORIUM UNTUK REAKTIVASI LAPANGAN-X DENGAN INJEKSI KIMIA

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding LAMPIRAN 52 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT Methyl Ester Sulfonic Sri Hidayati 1, Pudji Permadi 2, Hestuti Eni 3 1 2 3

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu, minyak bumi telah digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Usaha pencarian sumber minyak di dalam bumi mulai dilakukan pada tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena strukturnya yang

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING Sintesis Metil Ester Sulfonat Melalui Sulfonasi Metil Ester Minyak Kedelai Untuk Aplikasi Chemical Flooding (Richie Adi Putra) SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. Mengetahui dan memahami cara menentukan konsentrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah viscosimeter

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Awal dan Karakteristik Abu Batubara Abu batubara yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu abu batubara hasil pembakaran di boiler tungku

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2012, hlm. 8-15 ISSN 0853 4217 Vol. 17 No.1 PEMANFAATAN METIL ESTER JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT (UTILIZATION

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Industri Kimia Banyak proses kimia yang melibatkan larutan homogen untuk meningkatkan laju reaksi. Namun, sebagian besar pelarut yang digunakan untuk reaksi adalah

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) : Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, JENIS SURFAKTAN DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP RECOVERY

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN RANCANGAN FLUIDA INJEKSI KIMIA

STUDI PENENTUAN RANCANGAN FLUIDA INJEKSI KIMIA STUDI PENENTUAN RANCANGAN FLUIDA INJEKSI KIMIA Oleh : Hestuti Eni, Suwartiningsih, Sugihardjo PPPTMGB LEMIGAS Jl. Ciledug Raya, Kav. 109, Cipulir - Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telp. (021)7394422-Ext.1431,

Lebih terperinci

MODUL KIMIA SMA IPA Kelas 10

MODUL KIMIA SMA IPA Kelas 10 SMA IPA Kelas 10 Perbedaan Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit Larutan adalah campuran homogen dari dua zat atau lebih, larutan tersusun dari pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute). Berdasarkan keelektrolitannya,

Lebih terperinci

APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP)

APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP) i APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP) RIZKY RAMADINI FEBRINDA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Adsorben Perlakuan awal kaolin dan limbah padat tapioka yang dicuci dengan akuades, bertujuan untuk membersihkan pengotorpengotor yang bersifat larut dalam air. Selanjutnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Anionik Terhadap Salinitas Optimum dalam Mikroemulsi Spontan dengan Sample Minyak Lapangan M. Ratna Widyaningsih

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Anionik Terhadap Salinitas Optimum dalam Mikroemulsi Spontan dengan Sample Minyak Lapangan M. Ratna Widyaningsih Vol. 1, No.1, Januari Juni 2017, p. 60-65 Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Anionik Terhadap Salinitas Optimum dalam Mikroemulsi Spontan dengan Sample Minyak Lapangan M Ratna Widyaningsih Jurusan Teknik Perminyakan,

Lebih terperinci

Wardaya College IKATAN KIMIA STOIKIOMETRI TERMOKIMIA CHEMISTRY. Part III. Summer Olympiad Camp Kimia SMA

Wardaya College IKATAN KIMIA STOIKIOMETRI TERMOKIMIA CHEMISTRY. Part III. Summer Olympiad Camp Kimia SMA Part I IKATAN KIMIA CHEMISTRY Summer Olympiad Camp 2017 - Kimia SMA 1. Untuk menggambarkan ikatan yang terjadi dalam suatu molekul kita menggunakan struktur Lewis atau 'dot and cross' (a) Tuliskan formula

Lebih terperinci

SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan )

SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan ) SURFACE TENSION ( Tegangan Permukaan ) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan tetapi fenomena-fenomena tersbut mempunyai hubungan dengan adanya

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK PERCOBAAN II SIFAT-SIFAT KELARUTAN SENYAWA OGANIK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK PERCOBAAN II SIFAT-SIFAT KELARUTAN SENYAWA OGANIK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK PERCOBAAN II SIFAT-SIFAT KELARUTAN SENYAWA OGANIK OLEH NAMA : ISMAYANI NIM : F1F1 10 074 KELOMPOK : III ASISTEN : SYAWAL ABDURRAHMAN, S.Si. LABORATORIUM FARMASI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Untuk mencapai suatu struktur ekonomi yang kuat diperlukan pembangunan industri untuk menunjang kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis produk. Selain berperan dalam

Lebih terperinci

TRY OUT SELEKSI OLIMPIADE TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2010 TIM OLIMPIADE KIMIA INDONESIA 2011 Waktu: 150 Menit PUSAT KLINIK PENDIDIKAN INDONESIA (PKPI) bekerjasama dengan LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR SSCIntersolusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR (Enhanced Oil Recovery) menjadi pokok bahasan yang ramai diperbincangkan. Metode EOR

Lebih terperinci