PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI"

Transkripsi

1 PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, November 2011 Mira Rivai F

3 ABSTRACT MIRA RIVAI. Production and Formulation of Methyl Ester Sulfonate-Based Surfactant from Palm Olein for Enhanced Oil Recovery Application. Under supervision of TUN TEDJA IRAWADI, ANI SURYANI, and DWI SETYANINGSIH. The remaining oil in a reservoir that cannot be produced using the natural driving force (primary recovery) is about 50 to 80% of the initial oil volumes (IOIP). A secondary recovery technique such as waterflooding can only increase the recovery as much as 5 to 20% of the IOIP. Therefore, a method known as Enhanced Oil Recovery (EOR) has to be implemented in the reservoir in the effort to recover much more oil. One of the EOR methods is surfactant injection. The injection of surfactant solution is aimed to significantly reduce the capillary forces in the reservoir by lowering the oil-water interfacial tension within the pore spaces. Once the capillary force is diminished, the reservoir oil is much easier to be displaced and moved toward the production wells. This is an excellent opportunity to develop a type of vegetable oil-based surfactants. One of potential surfactant types to develop is methyl ester sulphonate surfactant (MES). This study was aimed at producing MES surfactant and formula-based methyl ester sulfonate surfactant from palm olein to be applied for in the process of improving oil recovery using carbonate formation fluids. Results of the study showed that the best condition was achieved in a sulphonation process done in 3-4 hours with the flowrate of dry air of 1.8 kg/hour and a purification performed without the addition of methanol in a ph of 8. The best MES surfactant-based formula for EOR applications on the formation of carbonate was the one with the composition of 0.3% MES surfactant, 0.3% Na 2 CO 3, and 15,000 ppm salinity. MES surfactant produced from this formula had more heat resistance, higher salinity, and higher hardness than the commercial surfactants did. Results of the performance test of surfactant-based formula showed that the MES surfactant formula was compatible with formation water and injection water. The formed phase was a lower phase which was relatively stable on a heating up to day 77 (reservoir temperature of 70 and 112 C) with a range of interfacial tension of 10-2 dynes/cm. The adsorption reached µg active matter/g core and the incremental oil recovery using synthetic core of 8-19% and using native core of 9.1%. Surfactant solution coreflooding test with bottom-up flow direction resulted in a greater oil recovery (16%) than that with top-down flow direction. This was caused by the influence of gravity. Keywords: MES production, formulation, MES surfactant-based formula, performance test, carbonate formation.

4 RINGKASAN MIRA RIVAI. Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, ANI SURYANI dan DWI SETYANINGSIH. Sisa minyak di dalam reservoir pada proses produksi minyak bumi menggunakan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) yang tidak dapat diproduksikan berkisar antara % dari volume minyak mula-mula. Setelah reservoir dengan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) dan secondary recovery sudah tidak dapat mendorong minyak untuk naik ke permukaan, maka untuk memproduksikan sisa minyak yang tertinggal perlu diterapkan metode peningkatan perolehan minyak tahap lanjut yang dikenal dengan istilah Enhanced Oil Recovery (EOR). Salah satu metode EOR yang digunakan yaitu injeksi kimia menggunakan surfaktan. Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori dapat dapat dilarutkan dalam bentuk mikroemulsi dan diproduksikan. Agar dapat menguras minyak yang masih tersisa secara optimal maka diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air formasi dan reservoir tersebut. Hal ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan jenis surfaktan berbasis minyak nabati. Berdasarkan ketersediaannya, bahan baku minyak nabati yang dapat dimanfaatkan adalah minyak sawit. Hal ini mengingat potensi sawit Indonesia saat ini sangat besar, pada tahun 2010 total produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 20 juta ton. Salah satu jenis surfaktan yang potensial untuk dikembangkan yaitu surfaktan metil ester sulfonat (MES). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan surfaktan MES dan formula surfaktan berbasis MES dari olein sawit untuk aplikasi pada proses peningkatan perolehan minyak bumi menggunakan fluida karbonat. Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah (1) Kajian proses produksi surfaktan metil ester sulfonat berbasis olein sawit menggunakan reaktor Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR), (2) Formulasi surfaktan MES meliputi penentuan konsentrasi surfaktan MES, penentuan salinitas optimum, pemilihan aditif dan co-surfaktan, dan (3) Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES meliputi uji kompatibilitas, kelakuan fasa, uji ketahanan panas, uji filtrasi, uji adsorpsi dan uji core flooding skala laboratorium. Hasil kajian kondisi proses produksi surfaktan MES untuk fluida formasi karbonat menunjukkan bahwa kondisi terbaik dicapai pada lama proses sulfonasi 3-4 jam, adanya penambahan laju udara kering 1,8 kg/jam dan pemurnian dilakukan tanpa penambahan metanol dengan ph 8. Kondisi terbaik ini menghasilkan surfaktan MES yang memiliki karakteristik tegangan antarmuka pada air formasi 7,46x10-3 dyne/cm, tegangan antarmuka pada air injeksi 1,49x10-2 dyne/cm, bilangan iod 16,10 mg iod/g sampel, kandungan bahan aktif 4,63 persen, kestabilan emulsi berkisar 0,8 persen, viskositas 99,90 cp, warna

5 280,5 klett. Semakin tinggi laju udara kering yang ditambahkan maka nilai bilangan iod dan bahan aktif semakin meningkat, sementara nilai viskositas dan warna semakin menurun. Jika ph surfaktan mendekati nilai ph fluida formasi, maka nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan semakin rendah. Formula surfaktan berbasis MES terbaik untuk aplikasi EOR pada formasi karbonat adalah formula dengan komposisi surfaktan MES 0,3%, Na 2 CO 3 0,3% dan salinitas ppm. Surfaktan MES yang dihasilkan memiliki sifat lebih tahan panas, salinitas dan kesadahan tinggi dibanding surfaktan komersial. Surfaktan MES yang dilarutkan pada fluida formasi memberikan nilai tegangan antarmuka fluida yang lebih baik ketika digunakan secara tunggal dibanding jika dikombinasikan dengan surfaktan komersial. Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES menunjukkan bahwa formula surfaktan kompatibel dengan air formasi dan air injeksi, fasa yang terbentuk adalah fasa bawah, relatif stabil pada pemanasan hingga hari ke-77 (suhu reservoir 70 dan 112 o C) dengan kisaran tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm, adsorpsi mencapai 152,86 µg bahan aktif/g core serta incremental oil recovery setelah injeksi air (water flooding) menggunakan core sintetik sebesar 8-19% dan menggunakan native core sebesar 9,1%. Uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar (16%) dibanding flow dari atas ke bawah, dipengaruhi karena adanya gaya gravitasi. Kata kunci: produksi MES, formulasi, formula berbasis surfaktan MES, uji kinerja, formasi karbonat.

6 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya: a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

7 PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY MIRA RIVAI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Sidang Tertutup Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Pudji Permadi (Dept. Teknik Perminyakan ITB) 2. Dr. Ir. Zaenal Alim Mas ud, DEA (Dept. Kimia, FMIPA-IPB) Penguji Sidang Terbuka Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Putu Suarsana (Manager Reservoir EOR PT Pertamina EP) 2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto (Dept. Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB)

9 Judul Disertasi Nama : Mira Rivai Nomor Induk Mahasiswa : F : Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi Ketua Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 18 November 2011 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-nya maka Disertasi yang berjudul Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Pudji Permadi dan Dr. Zaenal Alim Mas ud selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Putu Suarsana dan Dr. Ir. Liesbetini Hartoto selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, atas pengarahan, masukan dan koreksi yang diberikan demi kesempurnaan disertasi ini. 3. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fateta IPB, Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian IPB, Dr. Ir. Titi C. Sunarti yang mewakili Program Studi pada sidang tertutup atas kritik dan saran yang diberikan demi perbaikan disertasi ini, dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan curahan ilmu dan pengalamannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB serta staf administrasi Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuan yang diberikan selama pendidikan. 4. Yayasan Eka Tjipta Foundation (ETF) Sinar Mas atas beasiswa pendidikan yang diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan program doktor. 5. Prof. Dr. Erliza Hambali, selaku Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi beserta seluruh dosen peneliti Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM IPB atas kesempatan dan semangat yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.

11 6. Pimpinan PT Findeco Jaya, Pimpinan PT Mahkota Indonesia, Ir. Edi Zulchaidir, selaku Plant Manager PT Findeco Jaya, Ir. Hermansyah Handoko selaku Manajer Produksi PT Mahkota Indonesia beserta staf dan operator atas bantuan teknis, fasilitas, bimbingan dan informasi yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 7. Ayah Rivai Rajo Batuah (alm) dan Ibu Yulinar (alm), Bapak Mertua Suman dan Ibu Djulianis, beserta seluruh kakak dan kakak ipar, adik dan adik ipar serta keponakan yang menjadi anggota keluarga besar Rivai Rajo Batuah dan keluarga besar Suman yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu, yang telah memberikan doa restu, dorongan dan motivasi. Terkhusus suami tercinta Capt. Nofrizal, S.Sit, M.Mar atas dukungan, doa dan kasih sayangnya yang selalu mendorong dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan pendidikan dengan baik. 8. Seluruh staf peneliti dan teknisi SBRC LPPM IPB dan terkhusus kepada seluruh staf peneliti dan teknisi Tim Surfaktan SBRC LPPM IPB atas kerjasama, bantuan dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini. 9. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian, terkhusus angkatan tahun 2006 dan 2007, serta para sahabat atas kebersamaan selama menempuh pendidikan. 10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan hingga selesainya disertasinya ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu disampaikan terima kasih. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan industri hilir kelapa sawit, industri perminyakan dan bagi kemajuan riset di Indonesia. Bogor, November 2011 Mira Rivai

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 27 Mei 1977 dari pasangan Ayah Rivai Rajo Batuah (alm) dan Ibu Yulinar. Penulis merupakan anak ke dua belas dari empat belas bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Mardisiwi II Padang pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 8 Padang pada tahun 1993, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN I Bogor pada tahun Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI dan lulus pada bulan Februari Pendidikan pascasarjana program Magister (S2) ditempuh pada bulan Agustus 2001 pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB dan lulus pada tahun Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana program Doktoral (S3) dengan biaya dari Yayasan ETF Sinar Mas. Pada tahun 2004 penulis bergabung dengan PT Adev Prima Mandiri hingga tahun Tahun 2006 penulis bergabung dengan Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) LPPM IPB sebagai staf peneliti hingga sekarang. Penulis menikah dengan Capt. Nofrizal, S.Sit, M.Mar yang telah memiliki dua orang anak, Nabilah Maisie Aviora (8 tahun) dan Rafi Rizal Ramdani (6 tahun) pada tanggal 30 April 2010.

13 DAFTAR ISTILAH Air Formasi : Fluida yang secara alami terkandung pada reservoir. Air Injeksi : Fluida yang digunakan untuk menginjeksikan surfaktan ke dalam reservoir, biasanya berupa air formasi ataupun campuran air formasi dengan fluida yang tersedia di lingkungan (air sumur, air sungai). Batuan Reservoir : Suatu batuan berpori-pori dan permeable tempat minyak dan atau gas bergerak serta berakumulasi. Cadangan Terbukti (Proven) : Jumlah fluida hidrokarbon yang dapat diproduksikan yang jumlahnya dapat dibuktikan dengan derajat kepastian yang tinggi. CBS : Cocoa Butter Substitute. CPO : Crude Palm Oil; minyak sawit kasar. Emulsifier : Bahan pengemulsi. EOR : Enhanced Oil Recovery; produksi tahap lanjut, dengan injeksi panas (huff puff, steam (uap), in situ combustion), injeksi bahan (kimia, surfactant, polimer), injeksi terlarut (miscible) menggunakan gas CO 2 dan lainnya. Fasa : Bagian dari sistem yang sifat-sifatnya homogen dalam komposisi, memiliki batas permukaan secara fisik serta terpisah secara mekanis dengan fasa lainnya yang mungkin ada. Gaya Adhesi : Gaya tarik menarik antara molekul-molekul yang tidak sejenis. Gaya Kohesi : Gaya tarik menarik antara molekul-molekul yang sejenis. IFT : Interfacial tension; tegangan antarmuka dengan satuan N/mN atau dyne/cm. Initial oil in place/initial gas in place : Awal isi minyak atau gas; yaitu jumlah minyak atau gas dalam suatu reservoir yang dihitung secara volumetris berdasarkan data geologi serta pemboran, atau material balance berdasarkan data sifat-fisik fluida dan batuan reservoir produksi serta ulah/kelakuan reservoir, atau dapat juga dengan cara perhitungan simulasi reservoir. kbpd : kilo barrel per day OOIP : Original Oil in Place; besarnya kandungan minyak yang ada pada satu lapangan. PFAD : Palm Fatty Acid Distillate. PKO : Palm Kernel Oil; minyak inti sawit. Saturasi : Perbandingan volume fluida terhadap volume pori-pori batuan.

14 Secondary Recovery Slug surfaktan Surfactant Permeabilitas Porositas Primary Recovery RBDPO RBDPS Remaining reserves Wettability : Produksi tahap kedua (sekunder), berlangsung dengan menjaga kestabilan dan/atau menambah tenaga reservoir secara langsung yaitu dengan menginjeksikan air atau gas pada suatu sumur, untuk kemudian memproduksikannya dari sumur lainnya. : Larutan surfaktan dengan fluida formasi : Surface active agent atau surfaktan, yaitu bahan aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida-fluida, fluida-solid, fluida-gas. : Suatu ukuran kemampuan batuan berpori untuk melalukan fluida (memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain). Permeabilitas dinyatakan dalam Darcy atau mdarcy. 1 Darcy ialah ukuran kemampuan batuan untuk melalukan fluida pada kecepatan 1 cm 3 /detik dengan viskositas 1 centipoise melalui penampang pipa/pori 1 cm 2 sepanjang 1 cm pada perbedaan tekanan sebesar 1 atmosfir. : Suatu besaran yang menyataan perbandingan antara volume ruang kosong (pori-pori) di dalam batuan terhadap volume total batuan (bulk volume). Porositas dinyatakan dalam fraksi ataupun dalam persen (%). : Produksi tahap awal; berlangsung secara alamiah yaitu produksi yang terjadi karena tenaga reservoir tersebut mampu untuk mengangkat fluida ke permukaan. : Refined Bleached Deodorized Palm Olein. : Refined Bleached Deodorized Palm Stearin. : Jumlah sisa cadangan setelah diproduksikan pada suatu saat. : Kecenderungan suatu fluida untuk menyebar atau menempel pada permukaan padatan dengan adanya fluida lain yang immiscible. Batuan bersifat water-wet berarti batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh air daripada minyak, sementara batuan oil-wet maksudnya batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada oleh air.

15 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Minyak Sawit Proses Transesterifikasi Surfaktan Surfaktan MES Proses Sulfonasi Enhanced Oil Recovery (EOR) Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR III. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hipotesis Bahan dan Alat Tahapan Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bahan Baku Olein dan ME Olein Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan Reaktor STFR Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Re-esterifikasi Surfaktan MES Perbaikan Proses Produksi Surfaktan MES Tegangan Antarmuka Bilangan Iod Kandungan Bahan Aktif ix

16 Kestabilan Emulsi Viskositas Analisa Warna Uji FTIR (Fourier Transform Infrared) Formulasi Surfaktan MES pada Proses Enhanced Oil Recovery Penentuan Konsentrasi Surfaktan MES Penentuan Salinitas Optimal Pemilihan Aditif Pemilihan Co-Surfaktan Beberapa Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan untuk EOR Uji Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES untuk Aplikasi pada EOR Uji Kompatibilitas Uji Kelakuan Fasa Uji Ketahanan terhadap Panas (Thermal Stability Test) Uji Filtrasi Uji Adsorpsi Uji Core Flooding Skala Laboratorium V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

17 DAFTAR TABEL 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Data ekspor surfaktan Indonesia tahun Data impor surfaktan Indonesia tahun Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES Klasifikasi porositas reservoir Klasifikasi permeabilitas reservoir Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi Hasil analisis olein dan ME olein sawit Karakteristik MESA yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 6 jam Karakteristik MES yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 6 jam Hasil analisis fluida formasi karbonat yang digunakan Pendeteksian gugus fungsi sulfonat, sulfon dan disalt Tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka dengan penambahan aditif Perbandingan nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi (AF), air injeksi (AI) dan air demineralisasi (AD) Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air formasi Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air injeksi Hasil uji coreflooding larutan surfaktan setelah injeksi air Hasil uji coreflooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi xi

18 xii

19 DAFTAR GAMBAR 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001) Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979) Stoikiometri sulfonasi ME (Roberts et al., 2008) Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977) Perubahan kelakuan fasa akibat perubahan salinitas (Sheng, 2011) Tahapan kegiatan penelitian yang dilaksanakan Diagram alir proses transesterifikasi olein sawit Diagram alir penentuan lama proses sulfonasi Skema STFR yang digunakan Diagram alir kajian penambahan metanol pada proses pemurnian MES Diagram alir perbaikan kondisi proses produksi MES Contoh produk surfaktan MES yang dihasilkan Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi (Ghazali, 2002) Mekanisme reaksi pembentukan hasil samping (Stein dan Baumann, 1974) Tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Reaksi pembentukan gugus sulfonat pada ikatan rangkap Bilangan iod surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Kandungan bahan aktif surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Viskositas surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Warna surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph xiii

20 24. Perbandingan hasil uji FTIR metil ester olein dan MES terbaik pada rentang bilangan gelombang cm Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES pada berbagai konsentrasi Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas Densitas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Nilai ph larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Viskositas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah NaOH Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah Na 2 CO Tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES dan salinitas ppm pada berbagai konsentrasi aditif Nilai ph larutan MES dengan salinitas ppm pada berbagai konsentrasi aditif Densitas larutan MES dengan salinitas ppm pada berbagai konsentrasi aditif Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan formula berbasis MES, salinitas ppm dan Na 2 CO 3 0,3% dengan variasi surfaktan komersial Tampilan larutan surfaktan MES-air formasi pada uji kompatibilitas Tampilan larutan surfaktan MES-air injeksi pada uji kompatibilitas Hasil uji kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi pada suhu reservoir Terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability Reaksi pengendapan sadah Perubahan nilai tegangan antarmuka akibat pemanasan Nilai filtrasi rasio (FR) air demineralisasi (AD), air formasi (AF), dan larutan formula surfaktan pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi Kurva standar absorbansi surfaktan MES tanpa methylene blue Kurva standar absorbansi surfaktan MES menggunakan methylene blue Adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa xiv

21 DAFTAR LAMPIRAN 1. Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit Prosedur Analisis Metil Ester Perhitungan Laju Alir ME Olein dan SO Prosedur Analisis Surfaktan MES Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES Peralatan dan Instrumen Analisis yang Digunakan Rekapitulasi Data Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA dan MES Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA Olein Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Hasil Analisis Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Reesterifikasi Perbandingan Karakteristik Air Formasi dan Air Injeksi yang Digunakan Rekapitulasi Data Analisis Hasil Perbaikan Proses Produksi MES Terhadap Mutu MES Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Hasil Perbaikan Proses Data Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Injeksi Setelah Penambahan Surfaktan MES pada Beberapa Konsentrasi Rekapitulasi Data Analisis Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Penentuan Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya Rekapitulasi Data Analisis Pemilihan Aditif Berdasarkan Berbagai Parameter Ukurnya Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Pemilihan Jenis dan Konsentrasi Aditif pada Berbagai Parameter Ukurnya Rekapitulasi Hasil Analisis Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Surfaktan Komersial Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan Hasil Pengamatan Pengujian Ketahanan Larutan Surfaktan terhadap Panas xv

22 22. Hasil Uji Filtrasi Air Demineralisasi, Air Formasi dan Larutan Formula Surfaktan Proses Pembuatan Core Sintetik Rekapitulasi Data Hasil Uji Adsorpsi (Metode Absorbansi) Hasil Uji Adsorpsi Titrasi Dua Fasa Data Dimensi Core yang Digunakan pada Uji Coreflooding Proses Persiapan dan Tahapan Uji Coreflooding Hasil Uji Coreflooding Larutan Surfaktan Setelah Injeksi Air Hasil Uji Coreflooding Larutan Surfaktan dengan Perbedaan Arah Flow Injeksi Menggunakan Core Sintetik xvi

23 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi. Pada tahun 2010 produksi minyak Indonesia hanya 986 kbpd sementara tingkat konsumsi melonjak hingga menembus angka kbpd atau defisit 318 kbpd. Tingkat konsumsi akan semakin meningkat dengan adanya pertumbuhan populasi dan meningkatnya ekonomi. Data KESDM (2011) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 23 tahun diprediksi cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena lapangan minyak Indonesia yang berjumlah sekitar buah (dimana satu lapangan minyak memiliki sekitar sumur minyak) pada umumnya sudah merupakan sumur-sumur tua (mature fields), sehingga produksi minyaknya rendah dengan water cut tinggi mencapai 98-99%. Sumur-sumur tua tersebut pada umumnya telah melewati masa puncak produksi. Berdasarkan data Dirjen Migas (2007), hingga tahun 2007 total original oil in place (OOIP) Indonesia mencapai BSTB (Billion Stock-Tank Barrels), dimana 31,80% berhasil diproduksikan secara kumulatif, dan diperkirakan remaining reserves hanya sebesar 5,72%, sedangkan sisanya sebesar 62,49% merupakan minyak sisa (residual oil) yang merupakan target enhanced oil recovery (EOR). Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primary recovery), fase sekunder (secondary recovery) dan fase tersier (tertiary recovery). Sisa minyak di dalam reservoir pada proses produksi minyak bumi menggunakan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) yang tidak dapat diproduksikan berkisar antara % dari volume minyak mulamula. Setelah reservoir dengan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) dan secondary recovery sudah tidak dapat mendorong minyak untuk naik ke permukaan, maka untuk memproduksikan sisa minyak yang tertinggal perlu diterapkan metode peningkatan perolehan minyak tahap lanjut (tertiary recovery) yang dikenal dengan istilah enhanced oil recovery (EOR). Salah satu metode

24 2 EOR yang digunakan yaitu injeksi kimia menggunakan surfaktan. Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori dapat didesak dan dialirkan ke sumur produksi. Agar dapat menguras minyak yang masih tersisa secara optimal maka diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air formasi dan reservoir tersebut. Selama ini surfaktan yang umum digunakan pada industri perminyakan merupakan surfaktan berbasis petroleum yang diimpor dengan harga USD per ton. Salah satu surfaktan berbasis petroleum yang banyak digunakan adalah petroleum sulfonat. Sifat beberapa surfaktan berbasis petroleum adalah tidak tahan pada air formasi dengan tingkat kesadahan, salinitas dan suhu tinggi, sehingga surfaktan jenis ini mengalami kendala (menggumpal) saat diaplikasikan pada sumur-sumur minyak Indonesia yang sebagian besar memiliki karakteristik salinitas ppm dan kesadahan (> 500 ppm) yang tinggi sehingga dikhawatirkan akan merusak batuan formasi. Selain itu surfaktan petroleum sulfonat sifat deterjensinya akan menurun secara drastis pada air sadah. Menurut Carrero et al. (2006), chemical flooding dengan memanfaatkan surfaktan dapat meningkatkan sekitar 30-55% dari 60-70% OOIP. Hingga saat ini aplikasi surfaktan untuk EOR yang telah dilakukan pada industri perminyakan di Indonesia masih pada tahap ujicoba skala pilot seperti yang dilakukan Chevron di Minas dan Medco di Kaji Semoga, belum sampai pada tahap full scale di lapangan. Hal ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan jenis surfaktan berbasis minyak nabati. Berdasarkan ketersediaannya, bahan baku minyak nabati yang dapat dimanfaatkan adalah minyak sawit. Hal ini mengingat potensi sawit Indonesia saat ini sangat besar, pada tahun 2010 total produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 20 juta ton (Ditjenbun, 2011). Mengingat hingga saat ini industri hilir sawit yang sudah berkembang di Indonesia yaitu industri minyak inti sawit, stearin, RBD PO, margarin, shortening, RBD Palm Stearine,

25 3 CBS/CBE, creaming fats, vegetable ghee, fatty alcohol, fatty acid dan biodiesel, maka potensi minyak sawit Indonesia perlu ditingkatkan dengan mengembangkan produk hilirnya yang bernilai tambah lebih tinggi, yaitu surfaktan. Salah satu jenis surfaktan yang potensial untuk dikembangkan yaitu surfaktan metil ester sulfonat (MES). Pemanfaatan minyak sawit menjadi surfaktan MES dapat dilakukan mengingat kandungan asam lemak C 16 dan C 18 (asam palmitat, asam stearat, dan asam oleat) mempunyai sifat deterjensi yang sangat baik. Surfaktan MES ini telah dimanfaatkan pada industri pembersih, sabun, dan deterjen untuk menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan karena sifat surfaktan MES yang biodegradable. Aplikasi surfaktan MES memungkinkan untuk dilakukan pada industri perminyakan mengingat surfaktan MES memiliki kelebihan dibandingkan surfaktan berbasis petrokimia, diantaranya : bersifat terbarukan, mudah didegradasi (good biodegradability), biaya produksi lebih rendah (sekitar 57%) dari biaya produksi surfaktan dari petrokimia (linier alkilbenzen sulfonat, LAS), karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik pada formula deterjen, dan memiliki toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium (Watkins, 2001). Selama ini surfaktan MES yang sudah diteliti ataupun diproduksi secara komersial diperuntukkan untuk formulasi formula deterjen dan bahan pembersih (Huish dan Jensen, 2003; Huish et al., 2004; Wesley et al., 2008; Wesley et al., 2010; Huish et al., 2010). Untuk keperluan EOR pada industri perminyakan diperlukan persyaratan yang lebih khusus meliputi : memiliki ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm), adsorpsi <400 µg/g core, stabil pada suhu reservoir selama 3 bulan, ph berkisar 6 8, memiliki fasa III (fasa tengah)/fasa bawah, filtrasi rasio <1,2, dan incremental oil recovery berkisar 15-20% OOIP (BPMIGAS, 2009). Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT yang sangat rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibilitas

26 4 dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, kesadahan dan salinitas, (c) memiliki mobility control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986). Bila surfaktan mempunyai ultralow interfacial tension (di bawah 10-2 dyne/cm) dapat diduga mampu meningkatkan recovery sekitar 10-20% (Aczo Surfactant, 2006). Selama ini surfaktan golongan sulfonat yang telah dimanfaatkan untuk proses enhanced oil recovery diantaranya adalah petroleum sulfonat (Smith et al., 2005), olefin sulfonat (Hutchison et al., 2010), lignosulfonat (Kalfoglou, 1982). Penelitian pemanfaatan surfaktan MES untuk EOR telah dilakukan oleh Hambali et al. (2009) pada aplikasi batuan pasir. Pemanfaatan surfaktan MES untuk oil well stimulation agent telah dilakukan oleh Hambali et al. (2008) dengan menggunakan surfaktan MES yang terbuat dari metil ester C 12 dari PKO dan reaktan yang digunakan NaHSO 3. Pemakaian C 12 sebagai bahan baku surfaktan MES akan mendorong terbentuknya busa dalam jumlah besar pada saat aplikasi, kondisi ini tidak diinginkan oleh industri perminyakan sehingga sebagai alternatif lain dapat digunakan asam lemak C 16 dan C 18 yang banyak terdapat pada olein sawit. Selain itu pada proses produksi menggunakan reaktan NaHSO 3 dihasilkan sludge dalam jumlah besar. Karenanya pada penelitian ini akan dikembangkan surfaktan MES dengan menggunakan reaktan gas SO 3 sehingga selain dihasilkan surfaktan MES dengan karakteristik sifat antarmuka yang diinginkan, juga pada proses produksinya tidak dihasilkan limbah sludge. Proses produksi dilakukan menggunakan reaktor sulfonasi bertabung tunggal yang disebut Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR) yang dikembangkan oleh Hambali et al. (2009). Teknologi sulfonasi yang dibuat oleh provider teknologi luar negeri pada prinsipnya menggunakan falling film, misalnya Chemithon menggunakan reaktor tabung tunggal yang disebut annular falling film (MacArthur et al., 2002), sementara Ballestra menggunakan banyak tabung yang disebut Multitube Film Sulfonation Reactor (MTFR) (Roberts et al., 2008). Untuk menghasilkan surfaktan yang sesuai dengan karakteristik yang disyaratkan oleh industri perminyakan, maka dilakukan formulasi dengan mengkombinasikan surfaktan MES yang dihasilkan dengan bahan aditif lain berupa co-surfaktan dan alkali yang sesuai agar dihasilkan formula yang mampu

27 5 memberikan kinerja terbaik untuk diaplikasikan pada industri perminyakan. Formula yang dihasilkan akan diujicobakan pada fluida formasi dan core standar skala laboratorium untuk melihat kinerja formula surfaktan ini pada skala laboratorium sebelum dikembangkan lebih lanjut untuk aplikasi pada skala pilot dan lapangan. Dalam praktek di lapangan, jenis minyak yang ada di reservoir tidak mudah diubah karakteristiknya, demikian juga kondisi reservoirnya berbeda-beda antara satu lapangan dengan lapangan yang lain, sehingga yang dapat dilakukan adalah mendapatkan jenis surfaktan yang sesuai untuk jenis minyak dan kondisi reservoir tertentu. Seringkali terjadi kegagalan dalam injeksi surfaktan karena tidak mengetahui jenis surfaktan yang sesuai dalam mengurangi tegangan antarmuka sehingga tidak mampu menarik minyak dari pori-pori, bahkan dapat menyebabkan rusaknya reservoir. Untuk itu perlu dicari kombinasi formula yang sesuai dengan mempertimbangkan faktor besaran tegangan antarmuka, densitas, viskositas, ketahanan pada salinitas, dan kompatibiliti terhadap fluida formasi dan core standar agar diperoleh formula surfaktan MES terbaik yang dapat memberikan laju peningkatan recovery minyak terbesar pada proses injeksi skala laboratorium Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan surfaktan MES dan formula surfaktan berbasis MES dari olein sawit untuk aplikasi pada proses peningkatan perolehan minyak bumi menggunakan fluida dari formasi karbonat Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kajian proses produksi surfaktan metil ester sulfonat berbasis olein sawit menggunakan reaktor Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR). 2. Formulasi surfaktan MES meliputi penentuan konsentrasi surfaktan MES, penentuan salinitas optimum, pemilihan aditif dan co-surfaktan. 3. Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES meliputi uji kompatibilitas, kelakuan fasa, ketahanan panas, filtrasi, adsorpsi dan uji core flooding skala laboratorium.

28 6

29 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti/biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari biji disebut minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Neraca massa pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Tandan Kosong + Air 33,95 % Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Nut 12,38 % Mesocarp 53,67 % Kernel 5,7 % Cangkang 6,68 % CPO 24,32 % Air 20,37 % Fiber 8,98 % PKO 2,45 % Cake 2,55 % Olein 18,97 % Stearin 4,37 % PFAD 0,98 % Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit CPO diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah segar. Komponen asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat dan oleat. Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak dominan penyusun PKO adalah asam laurat, miristat dan oleat. Minyak inti sawit

30 8 (PKO) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO). Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi dengan titik leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dengan kisaran antara titik leleh dengan titik lunak (softening point) yang sangat jauh (O Brien, 2000). Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Asam Lemak CPO a) PKO b) Jenis Bahan Olein c) Stearin c) PFAD d) Laurat (C 12:0 ) < 1, ,1 0,5 0,1 0,6 0,1 0,3 Miristat (C 14:0 ) 0,5 5, ,9 1,4 1,1 1,9 0,9 1,5 Palmitat (C 16:0 ) ,9 41,7 47,2 73,8 42,9-51,0 Palmitoleat (C 16:1 ) < 0,6 0,1 1 0,1 0,4 0,05 0,2 - Stearat (C 18:0 ) 1, ,0 4,8 4,4 5,6 4,1 4,9 Oleat (C 18:1 ) ,7 43,9 15,6 37,0 32,8-39,8 Linoleat (C 18:2 ) 5,0 14 0,5 2 10,4 13,4 3,2 9,8 8,6-11,3 Linolenat (C 18:3 ) < 1,5 0,1 0,6 0,1 0,6 Arakhidat (C 20:0 ) 0,2 0,5 0,1 0,6 Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996) Proses Transesterifikasi Metil ester dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi trigliserida. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol. Umumnya katalis yang digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau KOH. Molekul TG pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi biodiesel melibatkan transesterifikasi spesies gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara alkohol yang mungkin digunakan, metanol lebih disukai karena berharga lebih murah (Lotero et al.,

31 9 2004; Meher et al., 2004). Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Pada Gambar 2 disajikan reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester (biodiesel). O R 1 R 2 C O C OCH 2 OCH + 3 CH 3 OH katalis HOCH 2 HOCH + O 3 R C OCH 3 O R 3 C OCH 2 HOCH 2 trigliserida metanol gliserin metil ester Gambar 2. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung kondisi reaksinya (Meher el al., 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah rasio molar minyak dengan alkohol, waktu reaksi, suhu, jenis katalis dan konsentrasinya, karakteristik trigliserida dan intensitas pencampuran, kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, dan penggunaan cosolvent organik. Kualitas biodiesel dipengaruhi oleh kualitas bahan baku minyak (feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan (Gerpen, 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen, 1996). Reaksi transesterifikasi secara curah (batch) lebih sederhana, dan dapat mengkonversi minyak menjadi metil ester hingga 80-94% dalam waktu menit. Reaktor esterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk mengurangi

32 10 ukuran reaktor dan waktu reaksi. Noureddini et al. (1996) melaporkan memperoleh hasil 98% dalam waktu 1 menit sampai 1 jam Surfaktan Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatic atau amphiphilic yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Berdasarkan kegunaannya, surfaktan diklasifikasikan menjadi deterjen, bahan pembasah (wetting agent), emulsifier, agen pendispersi, agen pembusa (frothing agent) (Swern, 1979). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Klasifikasi surfaktan terbagi atas empat kelompok yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Menurut Hui (1996) dan Matheson (1996) surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik. Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku yang berbeda. Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian hidrofiliknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Sebagaimana halnya surfaktan anionik, surfaktan kationik juga memecah dalam media cair, dengan bagian kepala (hidrofilik) pada surfaktan kationik adalah gugus kation yang bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Surfaktan nonionik tidak memecah dalam cairan encer, daya larutnya disebabkan oleh gugus polar seperti poliglikol eter atau poliol. Surfaktan amfoterik dalam media cair mengandung gugus positif dan negatif pada molekul yang sama, sehingga rantai hidrofobik diikat oleh bagian hidrofilik yang mengandung gugus positif dan negatif. Sehubungan dengan

33 11 aplikasi surfaktan pada industri, jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta produk akhir yang diinginkan. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur molekulnya yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997). Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi pada industri pangan (Hui, 1996). Pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar dalam jumlah pemakaian adalah surfaktan anionik, dengan aplikasi terbesar untuk washing and cleaning products. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu alkilbenzen sulfonat linear (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Hal yang sama tergambarkan dari aktivitas ekspor dan impor surfaktan Indonesia, dimana baik volume ekspor maupun impor surfaktan terbesar di Indonesia adalah surfaktan anionik. Pada Tabel 2 dan 3 disajikan data eskpor dan impor surfaktan Indonesia.

34 12 Tabel 2. Data ekspor surfaktan Indonesia tahun Jenis Surfaktan Tahun Anionik Kationik Nonionik Lainnya Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai (Kg) (USD) (Kg) (USD) (Kg) (USD) (Kg) (USD) Sumber : BPS (2010). Tabel 3. Data impor surfaktan Indonesia tahun Jenis Surfaktan Tahun Anionik Kationik Nonionik Lainnya Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai (Kg) (USD) (Kg) (USD) (Kg) (USD) (Kg) (USD) Sumber : BPS (2010) Surfaktan MES MES merupakan surfaktan anionik dengan struktur umum RCH(CO 2 Me)SO 3 Na, sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Surfaktan ini dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester asam lemak (RCH 2 CO 2 Me) yang diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewani seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan lemak sapi (tallow) (Robert, 2001; Watkins, 2001). Gambar 3. Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001) Hingga saat ini adanya pengembangan teknologi sulfonasi memungkinkan MES menjadi bagian penting dalam formulasi deterjen. Pengembangan surfaktan MES makin meningkat dengan terjadinya peningkatan ketersediaan bahan baku

35 13 MES berupa ME C 16 sebagai komponen terbesar, yang dihasilkan sebagai by product produksi biodiesel (Ahmad et al., 2007). Menurut Mazzanti (2008), beberapa pemain besar dalam industri deterjen telah mengadopsi MES, dengan pertimbangan bahwa : a. Peningkatan jumlah pabrik biodiesel di Asia Tenggara akan membuat ketersediaan fraksi ME C 16 dalam jumlah besar di masa depan sebagai bahan baku untuk memproduksi MES dengan harga kompetitif makin meningkat, meskipun terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam dari minyak sawit. Hal ini mengingat bahan baku MES yang digunakan merupakan hasil samping dari pabrik biodiesel tersebut. b. Peningkatan harga minyak bumi yang terus terjadi merefleksikan peningkatan harga bahan baku berbasis minyak bumi (misalnya harga LAB), yang membuat penggunaan MES menjadi semakin menarik secara ekonomi. c. Perkembangan teknologi yang dicapai pada proses MES menjadi bentuk bubuk yang sesuai untuk produk deterjen telah mendorong peningkatan kualitas MES, keamanan proses produksi, dan pengurangan biaya proses produksinya. Untuk alasan ini, instalasi pabrik produksi MES telah dilakukan oleh Desmet Ballestra di Asia Tenggara dan Amerika Utara dengan kapasitas keseluruhan mencapai ton/tahun MES kering. Pabrik ini mulai berproduksi skala industri pada akhir tahun Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C 16 dan C 18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan dimana terlalu besarnya afinitas untuk

36 14 gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air, yang mengakibatkan keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan atom karbon. MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C 10, C 12 dan C 14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C dan tallow biasa digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent). Pada suhu di bawah suhu pencucian, MES C 16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C 18 dan C 14 (Watkins, 2001). Produksi MES skala pilot yang dilakukan oleh beberapa perusahaan menggunakan kualitas bahan baku yang beragam. Procter and Gamble (P&G) menggunakan ME C 12-14, Henkel dan Chengdu Nymph menggunakan ME C dan Emery menggunakan methyl tallowate (MacArthur et al., 2002). Pada Tabel 4 disajikan perbandingan kualitas bahan baku metil ester yang digunakan untuk memproduksi MES. Surfaktan MES tersebut diproduksi oleh P&G, Henkel dan Chengdu dengan tujuan untuk diaplikasikan pada proses produksi deterjen Proses Sulfonasi Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol). Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan gugus sulfat pada senyawa organik. Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun gugus hidroksil pada molekulnya. Di industri, bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983). Menurut Jungermann (1979), proses sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil, (2) bagian α-atom karbon, dan (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 4). Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor yaitu karakteristik dan kualitas produk akhir yang

37 15 diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), reaktan yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), oleum (larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, ph dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Tabel 4. Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES a) b) ME Bahan Baku Metil Ester ME C 12 ME C 16 b) C c) ME C 22 BM Bilangan iod (mg I/g ME) 1,0 3,9 1,9 1,3 Asam karboksilat (%) 0,074 0,25 1,89 n/a Bilangan tak tersabunkan (%) 0,05 0,27 0,06 n/a Bilangan asam (mg KOH/g 0,15 0,5 3,8 0,4 ME) Bilangan penyabunan n/a (mg KOH/g ME) Kadar air (%) 0,13 0,18 0,19 0,04 Komposisi asam lemak (%) : < C12 0,85 0,00 0,00 0,11 C12 72,59 0,28 0,28 0,16 C13 0,00 0,00 0,00 0,03 C14 26,90 2,56 1,55 4,15 C15 0,00 0,43 0,00 0,83 C16 0,51 48,36 60,18 25,55 C17 0,00 1,40 1,31 2,70 C18 0,00 46,24 35,68 64,45 >C18 0,00 0,74 1,01 1,06 Ket. a) Procter and Gamble, b) Henkel dan Chengdu Nymph, c) Emery. Sumber : MacArthur et al. (2002). Gambar 4. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979)

38 16 Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO 3 dilakukan dengan cara melarutkan SO 3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO 3 yang digunakan dapat berbentuk SO 3 cair ataupun SO 3 yang diproduksi dari hasil pembakaran sulfur. Reaksi gas SO 3 dengan bahan organik berlangsung cukup cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO 3 paling rendah dibandingkan proses sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar. Menurut Foster (1996), kelebihan pemakaian SO 3 adalah SO 3 mampu mensulfonasi beragam bahan baku dan menghasilkan produk dengan kualitas baik dibandingkan bila menggunakan jenis reaktan yang lain. Namun kendala yang dihadapi bila menggunakan SO 3 adalah sebagai berikut : (1) gas SO 3 hasil pembakaran SO 2 umumnya memiliki konsentrasi persen, sehingga harus dilarutkan dengan udara kering ke kisaran normal untuk proses sulfonasi yaitu antara 4-7 persen, (2) gas SO 3 memiliki dew point yang lebih tinggi (umumnya - 35 o C) dibanding yang diperlukan pada instalasi sulfonasi (umumnya -60 hingga - 80 o C), sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas produk pada proses sulfonasi, dan (3) biaya inisial peralatan yang mahal dan kompleks. Proses sulfonasi metil ester untuk menghasilkan MES lebih kompleks dibandingkan proses sulfonasi menggunakan bahan baku lainnya. Teknologi sulfonasi yang telah berkembang saat ini memungkinkan untuk dihasilkannya produk-produk hasil sulfonasi seperti linear alkylbenzene sulfonates (LAS), primary alcohol sulfates (PAS), alcohol ethoxysulfates (AES), dan alpha olefin sulfonates (AOS) tanpa perlu dilakukan proses pemucatan (bleaching) (Robert et al,, 1988). Namun hal tersebut tidak berlaku pada proses sulfonasi ME, karena (1) pada proses sulfonasi ME diperlukan secara signifikan rasio mol SO 3 yang lebih besar dibanding bahan baku ME, (2) diperlukan tahapan aging pada suhu tinggi, dan (3) dihasilkan produk dengan warna yang sangat gelap (nilai Klett lebih dari 1000) (Schwuger dan Lewandowski, 1995), sehingga untuk proses produksi MES yang diaplikasikan untuk deterjen harus dilengkapi dengan tahapan proses pemucatan warna (bleaching).

39 17 Menurut Robert et al. (2008), untuk memproduksi MES setidaknya terdapat tiga tahapan penting, yaitu (a) tahap kontak ME/SO 3, (b) tahap aging, dan (c) tahap netralisasi. Pada tahap kontak ME/SO 3, SO 3 diabsorbsi oleh ME membentuk produk antara. Rasio mol SO 3 -ME tidak boleh lebih rendah dari 1,2 karena akan menyebabkan tidak tercapainya konversi penuh ME. Tahapan ini biasanya berlangsung cepat secara kontinyu pada reaktor falling film. Proses sulfonasi ME belum menghasilkan MES, namun produk antara Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) (MacArthur et al., 2002) atau fatty acid methyl ester (α-sf) (Yamada dan Matsutani, 1996) yang bersifat asam. MESA merupakan surfaktan anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat biodegradable (Yamada dan Matsutani, 1996). Pada tahap awal sulfonasi, sulfur trioksida diserap oleh metil ester dan secara cepat membentuk produk anhidrid intermediet di dalam keseimbangan yang mengaktifkan karbon alfa menuju reaksi sulfonasi untuk membentuk produk intermediet. Produk intermediet akan mengalami penyusunan kembali untuk melepaskan sulfur trioksida untuk membentuk asam sulfonat ester metil yang diinginkan (MESA). Sulfur trioksida yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk anhidrid intermediet membentuk produk intermediet. Produk intermediet kemudian akan dikonversi menjadi MESA (MacArthur et al., 2002). Stoikiometri sulfonasi ME disajikan pada Gambar 5. Jika produk intermediet tersebut dinetralisasi sebelum terkonversi sempurna menjadi MESA, maka banyak ME yang belum terkonversi, sehingga konversi ME menjadi produk sulfonat hanya berkisar 60-75%. Produk sulfonat yang telah dinetralisasi pada tahapan ini mengandung MES dalam jumlah kecil, sementara sebagian besar akan terdiri atas disalt (RCH(CO 2 Na)SO 3 Na) bersama dengan sodium methyl sulfate (SMS, MeOSO 3 Na), karenanya diperlukan proses aging. Tahap aging merupakan tahap dimana produk antara bereaksi, sehingga proses konversi ME menjadi produk sulfonat makin sempurna. Tahap aging pada sulfonasi ME lebih sulit dibanding aging pada sulfonasi LAB, karena mensyaratkan suhu minimal 80 o C. Waktu diam yang dibutuhkan selama proses aging bergantung pada suhu, rasio mol SO 3 /ME, target tingkat konversi yang ingin dicapai, dan karakteristik reaktor yang digunakan. Sebagai gambaran, proses sulfonasi menggunakan reaktor batch ataupun plug flow reactor (PFR), pada rasio

40 18 mol 1,2 untuk kondisi proses sulfonasi 45 menit pada suhu 90 o C ataupun pada kondisi proses sulfonasi 3,5 menit pada suhu 120 o C akan memberikan tingkat konversi 98%. Sementara jika menggunakan continuously stirred tank reactor (CSTR) maka waktu aging harus digandakan. Tahap nentralisasi diperlukan, karena jika produk antara hasil reaksi bersifat asam tidak dinetralisasi akan menyebabkan kerusakan pada warna. Khususnya untuk C16 dan bahan baku ME dengan asam lemak lebih tinggi lainnya, dimana produk menjadi lebih kental dan bahkan memadat kecuali jika dipanaskan. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H 2 O 2 atau larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula (Watkins, 2001). Gambar 5. Stoikiometri sulfonasi ME (Robert et al., 2008) Proses netralisasi pada skala komersial ataupun pilot biasanya dilakukan secara kontinyu pada reaktor berbentuk loop. Hal ini penting untuk mencegah ph ekstrem pada proses netralisasi, sehingga hidrolisis MES menjadi disalt dapat dihindari. Produk sulfonasi mengandung campuran MES dan disalt (RCH(CO 2 Na)SO 3 Na) dengan komposisi sekitar 80:20. Sodium metil sulfat

41 19 (MeOSO 3 Na) juga terdapat pada jumlah yang ekivalen dengan molar disalt. Menurut Gupta dan Wiese (1992) dalam reaktor sulfonasi, nisbah mol SO 3 dan alkil dikontrol antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang optimum tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun degradasi warna. Suhu reaktor dikontrol antara o F (43-65 o C). Sebelum proses sulfonasi dilakukan, terlebih dahulu gas SO 3 dicampur dengan udara kering hingga konsentrasinya menjadi 4-8 persen. Proses netralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH, NH 4 OH, NaOH, atau alkanolamin. Menurut Moreno et al. (2003) selama proses sulfonasi berlangsung produk lain seperti anhidrid dan sulfon juga terbentuk. Sekitar 25% sulfon dan 75% LAB yang tidak bereaksi dengan gas SO 3 dapat dihilangkan selama proses aging dan dikonversi menjadi bahan aktif. Anhidrid dapat dihilangkan melalui proses hidrolisis, akan tetapi sulfon yang terbentuk selama proses sulit untuk dipisahkan. Karena tingginya kadar warna produk yang dihasilkan (warna gelap), maka tahapan bleaching perlu dilakukan jika produk akan digunakan untuk deterjen laundry ataupun untuk consumer products lainnya. Tahap bleaching umumnya menggunakan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat, yang dapat memberikan hasil yang baik meski digunakan sebelum ataupun setelah netralisasi. Bleaching dilakukan setelah tahap re-esterifikasi ataupun secara simultan dengan re-esterifikasi dengan menambahkan metanol pada waktu yang sama. Hidrogen peroksida umumnya digunakan sebagai larutan 35 atau 50% ditambahkan pada konsentrasi 2-3%, Keberadaan air pada tahapan ini menyebabkan kecenderungan terhidrolisisnya MESA, sehingga memicu peningkatan terbentuknya disalt setelah netralisasi. Residu metanol dari re-esterifikasi, ataupun metanol yang ditambahkan pada tahap bleaching dapat menekan laju hidrolisis dan juga mengurangi viskositas dari campuran reaksi. Tanpa penambahan metanol, disalt yang terbentuk akan semakin banyak sehingga dapat mengganggu jika nantinya akan diaplikasikan. Tergantung pada spesifikasi yang disyaratkan, tahapan reesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi prekursor disalt menjadi prekursor MES. Tahapan ini meliputi penanganan campuran reaksi yang bersifat asam dengan metanol sebelum dinetralisasi, dan tahapan ini dapat mereduksi kandungan disalt dari produk hasil netralisasi (Robert et al., 2008).

42 20 Baker (1995) telah memperoleh paten proses pembuatan sulfonated fatty acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Bahan baku yang digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO 3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO 3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1 pada suhu proses antara o C dan lama reaksi antara menit, dan dilanjutkan dengan netralisasi berulang untuk mereduksi bahan pengotor dalam jumlah sedikit (termasuk disalt dan dimethyl sulfate (DMS)). Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO 3 ke reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging (pencampuran di digester), tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku yang digunakan yaitu metil ester dari minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai dan tallow. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada suhu o C, rasio mol reaktan SO 3 dan metil ester sekitar 1,2-1,3 dan konsentrasi gas SO 3 7 persen dan suhu gas SO 3 sekitar 42 o C. MES segera ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85 o C, dengan lama proses 0,7 jam (42 menit). Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar persen (b/b, MES basis) dan H 2 O 2 50 persen sekitar 1-4 persen (b/b, MES basis) pada suhu o C selama 1-1,5 jam. Metanol berfungsi untuk mengurangi pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer panas pada proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 o C. Selanjutnya produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 o C dan tekanan Torr agar diperoleh produk berupa pasta, powder atau flakes. Produk MES yang dihasilkan melalui tahapan ini sesuai untuk kebutuhan industri deterjen yang memerlukan surfaktan MES dengan warna pucat. Proses pemurnian palm C16-18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti oleh Sherry et al. (1995) dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan

43 21 mencampurkan ester sulfonat dengan persen metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH Enhanced Oil Recovery (EOR) Minyak mentah (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said (1998), senyawa hidrokarbon dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu (a) golongan paraffin (hidrokarbon jenuh), (b) golongan hidrokarbon tak jenuh, (c) golongan naphtena, dan (d) golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal, sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas, cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah. Golongan naphtena termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada dalam bentuk cair atau padat. Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas. Sekitar 60 % dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 % terdiri atas batu gamping dan sisanya batuan lain. Secara umum sifat yang dimiliki batuan reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik (porositas dan saturasi) dan dinamik (permeabilitas). Menurut Lake (1989), porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume ruang yang kosong (pori-pori) terhadap volume total

44 22 (bulk volume) dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan poripori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan ronggarongga yang saling terpisah atau tersekat. Porositas memiliki satuan dalam persen. Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5. Permeabilitas adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi (laju alir) pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau milidarcy (md), namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya. Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6. Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir Porositas (%) Keterangan 0 5 Porositas jelek sekali 5 10 Porositas jelek Porositas sedang Porositas baik Porositas baik sekali Sumber : Koesoemadinata (1978). Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir Permeabilitas (md) Keterangan < 5 Ketat (tight) 5 10 Cukup (fair) Baik (good) Baik sekali > 1000 Very good Sumber : Koesoemadinata (1978). Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary recovery, perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri. Secondary dan tertiary recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan produksi. Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery (IOR). Salah satu

45 23 teknik IOR yang melibatkan penginjeksian material untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai enhanced oil recovery (EOR), yang biasanya menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal energy untuk mengubah karakteristik dari suatu reservoir agar minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya (Lake, 1989). Peningkatan perolehan minyak merupakan suatu teknologi yang memerlukan biaya dan memiliki resiko yang tinggi. Untuk itu sebelum metode EOR diterapkan di lapangan maka harus dikaji baik secara teknik maupun ekonomi. Menurut Lake (1989), untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam penerapan metode EOR biasanya melalui tiga tahapan penyaringan berikut : (a) Memilih metode EOR yang tepat, yaitu dengan cara membandingkan karakteristik reservoir dengan kriteria penyaringan atau screening criteria yang telah dibuat berdasarkan pengalaman di lapangan dan di laboratorium, (b) Evaluasi reservoir dengan model sederhana yang menjelaskan proses utama dilengkapi dengan perkiraan perolehan minyak dan biaya yang dibutuhkan, dan (c) Evaluasi secara terperinci melalui simulasi reservoir dan percobaan di laboratorium pada contoh batuan reservoir. Pada Tabel 7 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan. Pada Tabel 8 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan jenis fluida yang diinjeksikan. Tabel 7. Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan Current Enhanced Recovery Methods Solvent Extraction and/or Miscible Type Processes Nitrogen and flue gas Hydrocarbon-miscible methods CO 2 flooding Solvent extraction of mined, oil bearing core IFT Reduction Processes Miscellar/polymer flooding (included in miscible type flooding above) ASP flooding Viscosity Reduction or Viscosity Increase and (or driving fluid) Processes Plus Pressure Steam flooding Fire flooding Polymer flooding Enhanced gravity drainage by gas or steam injection Sumber : Taber et al. (1997).

46 24 Tabel 8. Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi Current and past EOR Methods Gas and Hydrocarbon Solvent Methods Inert gas injection Nitrogen injection Flue-gas injection Hydrocarbon-gas (and liquid) injection High-pressure gas drive Enriched-gas drive Miscible solvent (LPG or propane) flooding Improved Water Flooding Methods Alcohol-miscible solvent flooding Micellar/polymer (surfactant) flooding Alkaline flooding ASP flooding Polymer flooding Gels or water shut off Microbial injection Thermal Methods In-situ combustion Standard forward combustion Wet combustion O 2 -enriched combustion Reverse combustion Steam and hot water injection Hot-water flooding Steam stimulation Steam flooding Surface mining and extraction Sumber : Taber et al. (1997). Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak yang diproduksikan terdapat pula gas, baik yang terperangkap secara terpisah dari minyak maupun gas yang larut di dalam minyak. Selain itu diproduksikan juga air yang dikenal sebagai air formasi atau brine. Air formasi adalah air yang terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada kedalaman lebih dari 1000 meter dan terletak di bawah zona minyak. Pada awal produksi dari reservoir minyak, volume air formasi yang ikut terproduksi hanya sedikit dibanding dengan volume minyak yang diperoleh. Akan tetapi bertambahnya waktu produksi menyebabkan volume minyak di dalam reservoir tersebut semakin rendah dan volume air formasi menjadi dominan dibanding jumlah minyak itu sendiri. Kondisi ini diikuti pula oleh penurunan

47 25 tekanan reservoir sehingga produksi minyak pada sumur tersebut perlu dibantu dengan teknologi secondary recovery ataupun tertiary recovery. Senyawa penyusun utama air formasi terdiri dari kation dan anion seperti kalsium, magnesium, besi, barium, natrium, klorida, karbonat dan bikarbonat, serta sulfat. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merekoveri minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk dikembangkan jenis surfaktan berbasis sawit yang sesuai untuk sumur minyak bumi di Indonesia Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah kebasahan (wettability), bersifat sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan menstabilkan dispersi sehingga akan memudahkan proses pengaliran minyak bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang terjebak di dalam pori-pori batuan disebut blobs atau ganglia. Untuk mendorong ganglia maka gaya kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai IFT antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir. Surfaktan mampu menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak. Surfaktan yang berada di dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle yaitu surfaktan yang aktif dan mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih kecil, maka campuran surfaktan tersebut masih berupa monomer (belum aktif). Untuk itu setiap slug perlu diketahui critical micelles concentration (CMC) yaitu konsentrasi tertentu, sehingga surfaktan yang semula monomer berubah

48 26 menjadi micelles. Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT yang sangat rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibiliti dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c) memiliki mobility control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986). Proses injeksi surfaktan perlu memperhatikan besar bilangan kapiler terhadap penurunan saturasi minyak tersisa (Sor). Biasanya reservoir yang diinjeksi surfaktan memiliki harga saturasi minyak tersisa di bawah 45% dengan harga bilangan kapiler berkisar , sehingga pendesakan surfaktan dapat optimal. Semakin rendah saturasi minyak tersisa pada suatu reservoir, maka semakin besar bilangan kapiler yang dibutuhkan agar pendesakan surfaktan optimal (Lake, 1989). Untuk memperbesar bilangan kapiler diperlukan tegangan antarmuka yang rendah, dengan pendekatan rumus Nc = µv/σ, dimana Nca adalah bilangan kapiler, µ adalah viskositas fluida pendesak (cp), v adalah laju injeksi fluida pendesak, dan σ adalah tegangan antarmuka (dyne/cm). Penurunan nilai tegangan antarmuka dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan yang baik adalah mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga ultra low IFT yaitu lebih rendah dari 10-2 dyne/cm, karena pada kondisi tersebut maka capillary number (Nc) akan semakin tinggi sehingga recovery factor (RF) juga akan makin meningkat. Grafik hubungan bilangan kapiler terhadap saturasi minyak tersisa (Sor) disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977)

49 27 Menurut Syahrial (2008), proses screening surfaktan di laboratorium perlu dilakukan sebelum aplikasi surfaktan dilakukan di lapangan, dengan tujuan untuk mencari surfaktan yang memiliki kinerja sesuai untuk aplikasi di reservoir yang diujikan. Beberapa parameter yang diuji pada tahapan proses screening surfaktan meliputi uji tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT), kompatibilitas (compatibility), kelakuan fasa (phase behavior), ketahanan panas (thermal stability), laju alir filtrasi (filtration flow test), dan adsorpsi. IFT merupakan parameter terpenting untuk chemical EOR ((Nedjhioui et al., 2005). Uji kompatibilitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan antara larutan surfaktan dengan air formasi dari reservoir yang diujikan. Uji dilakukan dengan mencampurkan larutan surfaktan pada air formasi pada perbandingan tertentu kemudian dipanaskan pada suhu reservoar selama waktu tertentu. Makin kompatibel larutan surfaktan yang diujikan maka surfaktan makin efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka. Kelakuan fasa menunjukkan pola kesetimbangan fasa dalam menentukan konsentrasi dan formula sistem surfaktan/air/minyak, yang diidentifikasi menggunakan ternary diagram. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah terbentuk fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Purnomo dan Makmur (2009), sebelum dilakukan peningkatan perolehan minyak (EOR) secara metode injeksi, sangat penting terlebih dahulu dilakukan uji kelakuan fasa dari campuran minyak-surfaktan-cosurfaktan-air. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasa dari fasa bawah ke fasa tengah dan kemudian ke fasa atas dalam sistem minyak/surfaktan/co-surfaktan/air injeksi adalah sebagai berikut : meningkatnya salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon (minyak), meningkatnya konsentrasi alkohol (C 4, C 5, C 6 ), turunnya suhu, bertambahnya konsentrasi surfaktan, meningkatnya perbandingan brine/minyak, dan meningkatnya perbandingan larutan surfaktan/minyak. Surfaktan yang diinginkan untuk injeksi adalah memiliki fasa bawah atau fasa tengah. Menurut Healy dan Reed (1974), konsentrasi NaCl sangat berpengaruh terhadap tegangan antarmuka, sebagai berikut : (a) pada konsentrasi NaCl yang rendah akan membentuk fasa bawah dimana mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa, dengan kelarutan air

50 28 formasi dan minyak adalah Vw/Vs > Vo/Vs, dan disebut type II-, (b) Fasa tengah merupakan fasa yang ideal dimana dalam fasa ini akan memberikan nilai tegangan antarmuka yang paling rendah, dengan surfaktan/brine/oil membentuk tiga fasa yaitu mikroemulsi, air formasi dan minyak. Pada kondisi ini kelarutan air formasi dan minyak adalah Vw/Vs = Vo/Vs, dan disebut type III, dan (c) pada konsentrasi NaCl yang tinggi membentuk fasa atas dimana mikroemulsi cenderung berbaur dengan minyak. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa dengan kelarutan air formasi dan minyak adalah Vw/Vs < Vo/Vs, dan disebut type II+. Peningkatan konsentrasi NaCl dapat menurunkan tegangan antarmuka mikroemulsi-minyak, sementara tegangan antarmuka mikroemulsi-air akan naik. Pada kondisi salinitas optimum akan diperoleh nilai tegangan antarmuka yang paling rendah. Perubahan kelakuan fasa dengan terjadinya perubahan salinitas disajikan pada Gambar 7. Salinitas rendah Salinitas sedang Salinitas tinggi Gambar 7. Perubahan kelakuan fasa akibat perubahan salinitas (Sheng, 2011) Uji ketahanan panas dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas (suhu reservoir) terhadap kinerja surfaktan. Pengujian ketahanan panas simultan dengan uji tegangan antarmuka, dimana diharapkan hingga pemanasan selama periode waktu tertentu nilai IFT larutan surfaktan tetap stabil atau menurun dan tidak mengalami peningkatan. Uji filtrasi bertujuan untuk menentukan kemungkinan presipitasi oleh larutan surfaktan yang dikhawatirkan dapat

51 29 menyumbat pori-pori reservoir. Uji adsorpsi dilakukan untuk menentukan jumlah surfaktan yang hilang selama larutan surfaktan dialirkan ke batuan core. Surfaktan yang umum dipakai dalam proses EOR adalah sodium sulfonat yang ionik bermuatan negatif. Larutan surfaktan yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfaktan, air, minyak dan alkohol sebagai co-surfaktan. Perawatan sumur dengan surfaktan biasanya kombinasi dari surfaktan anionik dan nonionik. Surfaktan anionik dan kationik seharusnya tidak digunakan bersama sebab kombinasi keduanya dapat menghasilkan endapan. Surfaktan dapat terserap oleh padatan untuk menggantikan surfaktan yang terserap sebelumnya, dan memberikan padatan sifat kebasahan. Surfaktan nonionik lebih serba guna dari semua surfaktan yang digunakan pada stimulasi sumur sebab molekulnya yang tidak terionisasi atau tidak terurai. Umumnya surfaktan nonionik adalah ethylene oxide atau campuran propylene oxide. Karena larut dalam air, nonionik berhubungan dengan ikatan hidrogen atau air pengikat oksigen. Pengikat ini menurunkan temperatur dan konsentrasi garam. Molekul surfaktan amfoter mengandung asam dan basa. Dalam ph asam, bagian molekul basa terionisasi dan memberikan aktivitas permukaan untuk molekul. Pada ph basa, bagian molekul asam dinetralkan dan biasanya kurang mempunyai aktivitas permukaan daripada ph basa. Surfaktan amfoter memiliki kegunaan yang terbatas tetapi dapat digunakan sebagai corrosion inhibitor (Lake, 1989). Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas surfaktan adalah sebagai berikut (Lake, 1989) : 1. Adsorpsi Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoir merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat injeksi surfaktan berlangsung. Penyerapan surfaktan pada batuan reservoir sangat tinggi bila berat ekivalen surfaktan tinggi. Sebaliknya, bila berat ekivalen surfaktan rendah, penyerapan surfaktan pada batuan reservoir akan rendah juga. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan

52 30 karena semakin jauh dari titik injeksi maka berat ekivalen surfaktan akan semakin kecil dan fungsi zat aktif permukaan akan semakin berkurang. Berat ekivalen surfaktan yang tinggi sangat mempengaruhi penurunan dari tegangan antarmuka sehingga penurunan berat ekivalen surfaktan secara bertahap akan menurunkan kemampuan slug surfaktan untuk mendorong minyak yang tersisa di batuan reservoir. 2. Konsentrasi Slug Surfaktan Konsentrasi slug surfaktan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya adsorpsi oleh batuan reservoir pada operasi pendesakan surfaktan. Agar batuan reservoir tidak dapat lagi mengadsorpsi surfaktan maka adsorpsi surfaktan harus diperbesar dengan cara meningkatkan konsentrasi surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, adsorpsi yang terjadi akan semakin besar dan penurunan tegangan antarmuka minyak-air terus berlangsung sampai batuan reservoir mencapai titik jenuh. Surfaktan dengan konsentrasi tinggi dapat lebih cepat meningkatkan perolehan minyak dibandingkan dengan surfaktan dengan konsentrasi rendah. 3. Kandungan Lempung Mineral lempung adalah mineral yang sangat suka dengan air (hidrofilik), namun mineral ini tidak mempunyai kemampuan untuk mengalirkan air yang diserapnya, atau dapat dikatakan bahwa mineral lempung mempunyai permeabilitas yang sangat kecil. Pada injeksi surfaktan, kandungan mineral lempung dalam reservoir harus diperhatikan. Karena sifatnya yang suka dengan air maka mineral lempung dapat menyerap atau mengadsorpsi surfaktan besar sekali, sehingga dapat menyebabkan penurunan perolehan minyak. Untuk reservoir yang mempunyai salinitas rendah, maka pengaruh lempung ini sangat dominan. 4. Salinitas Air Formasi Salinitas air formasi juga berpengaruh terhadap penurunan tegangan antarmuka minyak-air oleh surfaktan. Untuk konsentrasi garam tertentu,

53 31 seperti NaCl akan menyebabkan penurunan tegangan antarmuka minyak-air sehingga tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan oleh ikatan kimia yang membentuk NaCl adalah ikatan ion yang mudah terurai menjadi ion Na + dan Cl - begitu juga dengan molekul-molekul surfaktan di dalam air akan mudah - terurai menjadi ion RSO 3 dan H +. Alkali merupakan salah satu chemical penting dalam proses EOR, khususnya untuk aplikasi alkaline flooding, yang ditambahkan ke air pada proses water flooding untuk memisahkan minyak dari pori-pori batuan reservoir dan memobilisasi globula yang terperangkap dalam pori-pori. Jenis dan konsentrasi yang digunakan bermacam-macam, seperti KOH, NaOH 0-1,6 % (w/w) (Nedjhioui et al., 2005), dan Na 2 CO 3 0-0,6 % (Carrero et al., 2006). Kandungan minyak awal merupakan indikator kuantitas yang baik dari reservoir untuk menentukan kandungan sisa minyak. Untuk implementasi di lapangan, kandungan minyak awal tidak boleh kurang dari 20% PV sampai 30% PV. Adapun kondisi yang kurang baik untuk dilakukannya injeksi surfaktan yaitu pada kondisi reservoir yang sangat heterogen, reservoir yang berlapis-lapis, adanya mineral lempung montmorillonite, terdapat patahan atau rekahan, permeabilitas dan porositas yang kecil, adanya ion bervalensi dua dengan konsentrasi yang tinggi dan reservoir yang terlalu dalam. Bansal dan Shah (1978) telah meneliti pengaruh pemanfaatan surfaktan ethoxylated sulfonate sebagai co-surfaktan dan alkohol sebagai pelarut terhadap toleransi garam dan salinitas optimal dari formulasi surfaktan petroleum sulfonat untuk EOR. Pada salinitas optimal dengan penambahan NaCl sebesar 32%, formulasi surfaktan yang dihasilkan memberikan kisaran nilai IFT sangat rendah (ultra-low interfacial tension) berkisar dyne/cm. Untuk stimulasi sumur minyak bumi telah dimanfaatkan surfaktan fosfat ester dengan nomor US Patent Fosfat ester atau Alkyland aralkyl polyoxyalkylene phosphate dapat diinjeksikan ke sumur minyak bumi baik sebagai pelarut yang bersifat dapat larut pada air (water soluble) maupun minyak (oil soluble), dan dikenal sebagai surfaktan untuk aplikasi water-flood secondary recovery processes. Meskipun hingga saat ini surfaktan MES yang ada peruntukannya masih terbatas pada formulasi produk deterjen dan bahan

54 32 pembersih, namun peluang untuk memanfaatkan surfaktan MES pada aplikasi EOR cukup besar melihat dari hasil penelitian Hambali et al. (2008) dan Hambali et al. (2009). Hambali et al. (2008) telah mengembangkan formula oil well stimulation agent dengan menggunakan surfaktan MES yang terbuat dari metil ester C 12 dari PKO dengan menggunakan reaktan NaHSO 3. Formula tersebut terdiri atas 70% MES (bahan dasar minyak sawit), 20% pelarut, 7% surfaktan nonionik dan 3% co-solvent. Hasil pengujian pada konsentrasi stimulation agent 0,5% dan 1% dengan tingkat salinitas , dan ppm, menunjukkan bahwa IFT minyak-air mencapai 10-3 dyne/cm. Total recovery minyak bumi menggunakan core standar (core sintetik) pada skala laboratorium memperlihatkan bahwa pada konsentrasi stimulation agent 0,5% berkisar 88-94%. Hambali et al. (2009) memanfaatkan surfaktan MES untuk aplikasi huff and puff pada batuan pasir skala laboratorium, dimana diperoleh formula dengan tegangan antarmuka berkisar dyne/cm pada salinitas optimal ppm.

55 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik yang dihasilkan melalui proses sulfonasi antara metil ester dari minyak nabati atau lemak hewani (Robert, 2001; Watkins, 2001) dengan reaktan yang dapat digunakan pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), oleum (larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H (Pore, 1976; Bernardini, 1983). Beberapa faktor penting yang menentukan kualitas surfaktan MES yang dihasilkan diantaranya yaitu rasio mol reaktan, suhu reaksi, lama reaksi, konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, ph dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Menurut MacArthur et al. (2002), suhu dapat meningkatkan laju reaksi, namun peningkatan suhu yang terlalu tinggi menyebabkan MES yang terbentuk terhidrolisis dan meningkatkan pembentukan komponen disalt yang tidak diinginkan. Peningkatan fraksi molekul yang memiliki energi kinetik melebihi energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan suhu (Petruci, 1992). Setiap reaksi kimia memerlukan waktu reaksi yang berbeda-beda dalam menyelesaikan reaksi hingga dihasilkannya suatu hasil reaksi, tergantung pada karakteristik pereaksi, produk hasil reaksi, dan kondisi reaksi yang dilakukan (Ebbing dan Wrighton, 1990). Menurut MacArthur et al. (2002), MESA hasil proses sulfonasi yang belum dimurnikan masih mengandung komponen disalt (disodium karboksi sulfonat), yang dapat menurunkan kelarutan MES dalam air dingin, lebih sensitif terhadap air sadah, memiliki deterjensi 50% lebih rendah, dan daya simpan lebih rendah. Proses pemurnian dilakukan dengan menambahkan metanol sebanyak 31-40% dan H 2 O 2 1-4% untuk memucatkan jika surfaktan MES yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sabun dan deterjen. Sementara Sherry et al. (1995) memurnikan dengan hanya menggunakan metanol 10-15% pada suhu 54 o C, yang menghasilkan penurunan disalt sekitar 50 persennya. Untuk mendapatkan surfaktan MES yang memiliki nilai tegangan antarmuka sesuai untuk aplikasi EOR, maka penelitian ini melakukan perbaikan dan modifikasi terhadap kondisi proses yang telah dilakukan Hambali et al.

56 34 (2009), mengingat nilai tegangan antarmuka minyak-fluida yang dihasilkan masih berkisar dyne/cm sebelum diformulasi, sehingga perlu dilakukan modifikasi proses agar diperoleh nilai tegangan antarmuka yang memenuhi persyaratan untuk aplikasi EOR. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka faktor-faktor lama sulfonasi, penambahan udara kering untuk mengencerkan gas SO 3, ph hasil netralisasi, dan metanol dikaji pengaruhnya terhadap karakteristik utama kinerja surfaktan MES dalam rangka menghasilkan surfaktan MES yang sesuai untuk aplikasi EOR yaitu memiliki nilai tegangan antarmuka terendah, minimal 10-3 dyne/cm. Surfaktan yang diinjeksikan berkemungkinan untuk mengalami penurunan kinerja, sebagai akibat dari faktor suhu maupun keberadaan beragam kation dan anion pada fluida dan batuan reservoir yang dapat mempengaruhi kinerja surfaktan yang diujikan. Sebagai representasi kondisi riil di lapangan, maka formulasi dan pengujian formula surfaktan berbasis MES dilakukan dengan menggunakan fluida dari lapangan karbonat, meliputi air formasi, air injeksi dan minyak bumi, sedangkan untuk batuan corenya digunakan core sintetik yang dapat merepresentasikan batuan karbonat. Khusus pada pengujian coreflooding selain core sintetik digunakan juga native core formasi karbonat Pengujian dilakukan menggunakan fluida dari formasi karbonat, dengan pertimbangan untuk melihat kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka fluida karbonat yang memiliki tingkat kesadahan, salinitas dan suhu tinggi Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bahan baku olein sawit yang digunakan diduga akan meningkatkan kinerja metil ester sulfonat yang dihasilkan karena panjang rantai asam lemak C 16 dan C 18 yang dimiliki oleh olein dan gugus aktif sulfonat yang terbentuk selama proses sulfonasi menggunakan reaktan gas SO 3 akan meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka fluida reservoir. Gugus aktif sulfonat akan meningkatkan kelarutan surfaktan dalam fluida reservoir sementara panjang rantai karbon pada olein akan meningkatkan kelaruan surfaktan dalam minyak.

57 35 2. Penambahan udara kering pada proses sulfonasi akan berpengaruh terhadap kinerja tegangan antarmuka surfaktan MES yang dihasilkan, dimana penambahan udara kering dengan rasio tertentu terhadap reaktan gas SO 3 menyebabkan reaksi pembentukan gugus sulfonat sebagai gugus aktif berlangsung secara maksimal yang ditunjukkan dengan tercapainya nilai tegangan antarmuka yang rendah. 3. Faktor ph surfaktan berpengaruh terhadap kinerja tegangan antarmuka surfaktan MES yang dihasilkan, dimana nilai ph surfaktan yang semakin mendekati nilai fluida reservoir yang diujikan akan menghasilkan nilai tegangan antarmuka lebih rendah. 4. Proses reduksi komponen disalt dan hasil samping yang terkandung pada surfaktan MES melalui tahapan pemurnian berpengaruh terhadap kinerja tegangan antarmuka yang dihasilkan, dimana penambahan metanol mampu mereduksi dan mencegah pembentukan disalt sehingga kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka semakin membaik. 5. Formula surfaktan MES yang dihasilkan diduga dapat diaplikasikan pada formasi karbonat, meskipun terdapat perbedaan kecenderungan muatan antara surfaktan MES dan fluida formasi yang diujikan. Perbedaan muatan dapat menyebabkan penurunan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka fluida yang terkandung dalam formasi karbonat Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah olein minyak sawit, gas SO 3, NaOH, metanol, NaCl, akuades, xylene, methylene blue, etanol 95%, HCl, iodium, amilum, fenolftalein, BaCl 2, isobutanol, KOH, BF 3, Na 2 SO 4, bromida, pati, tetraklorida, n-heksan, KOH, isopropanol, kalium hidrogen phtalate, air suling (aquades), air demineralisasi, sikloheksan, asam asetat glasial 96%, kalium iodida, Na 2 S 2 O 3, K 2 Cr 2 O 7, larutan Wijs, toluene, dietil eter, aluminium foil, asam periodat, khloroform, HCl, metanol, H 2 SO 4 95%, kain monel 500 mesh, kertas saring Whatman 41 (20-25 µm), membran filter 0,45 dan 0,22 µm, gas nitrogen, petroleum eter, indikator metilene blue, indikator phenol red, N cetylpgridinium chloride, amidos sulfonic acid, brom thymol blue, dedocyl sulfate sodium salt,

58 36 cetyltrimethylammonium bromide (CTAB), H 2 O 2, air formasi, air injeksi dan minyak dari lapangan minyak di Sumatera, pasir kwarsa, semen dan bahan kimia untuk analisa lainnya. Peralatan yang digunakan yaitu reaktor transesterifikasi, reaktor Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR) sistem kontinyu kapasitas 250 kg/hari milik SBRC LPPM IPB, reaktor pemurnian, spinning drop tensiometer model TX500C, core standard, pompa injector, Karl Fischer, alat sentrifuge dan tabung, ph-meter, mixer vortexer, pipet, tabung ulir, density meter Anton Paar DMA 4500 M, viskosimeter Brookfield DV-III Ultra, neraca analitik Precisa XT220A, stopwatch, alat filtrasi, thermospectronic Genesys 20, gelas ukur tutup asah, dan hotplate stirrer, buret, serta alat-alat gelas dan alat-alat untuk analisis lainnya Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut : penyiapan bahan baku metil ester olein minyak sawit, penentuan lama proses sulfonasi metil ester olein menggunakan reaktor STFR sistem kontinyu dan reaktan gas SO 3 dengan melakukan sampling setiap 60 menit, pengaruh penambahan metanol pada proses pemurnian surfaktan MES, perbaikan kondisi proses produksi surfaktan MES, formulasi surfaktan MES untuk aplikasi pada EOR, meliputi penentuan konsentrasi MES, penentuan salinitas optimal, pemilihan jenis dan konsentrasi aditif, pemilihan surfaktan komersial. Formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan selanjutnya diuji kinerjanya untuk aplikasi EOR meliputi compatibility test, kelakuan fasa, thermal stability, filtrasi, adsorpsi, uji core skala laboratorium. Tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian ini disajikan pada Gambar Analisis Sifat Fisiko-Kimia Bahan Baku Olein Pada tahapan ini dilakukan persiapan bahan baku olein minyak sawit. Olein dianalisis sifat fisiko kimianya, meliputi : bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, kadar asam lemak bebas, kadar air, komposisi asam lemak, viskositas, densitas, fraksi tak tersabunkan. Prosedur analisis sifat fisiko-kimia olein sawit dapat dilihat pada Lampiran 1.

59 37 Gambar 8. Tahapan kegiatan penelitian yang dilaksanakan 2. Proses Transesterifikasi Olein Minyak Sawit Pada proses transesterifikasi, metanol ditambahkan sebanyak 15% (v/v) dari total bahan baku olein sawit yang hendak diproses dan dicampurkan dengan KOH 1% hingga membentuk larutan metoksida. Kemudian minyak sawit dan larutan metoksida dicampurkan pada reaktor transesterifikasi. Proses transesterifikasi berlangsung selama 1 jam, pada suhu 60 o C dengan

60 38 pengadukan. Selanjutnya dilakukan proses settling untuk memisahkan antara crude metil ester dan gliserol yang dihasilkan dan kemudian dilakukan proses pencucian menggunakan air hangat 30% (v/v) dari total crude metil ester yang hendak dimurnikan, sebanyak tiga kali. Terakhir dilakukan pengeringan untuk mereduksi kandungan air dan metanol yang masih terkandung pada metil ester hasil pencucian sehingga dihasilkan metil ester murni. Diagram alir proses transesterifikasi minyak sawit menjadi metil ester disajikan pada Gambar 9. Metil ester yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisiko kimianya, meliputi : bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, densitas, kadar ester, fraksi tak tersabunkan, kadar gliserol total, kadar asam lemak bebas, dan kadar air. Prosedur analisis sifat fisiko-kimia biodiesel/metil ester dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 9. Diagram alir proses transesterifikasi olein sawit 3. Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan Reaktor STFR Pada tahapan ini akan dikaji pengaruh lama sulfonasi menggunakan Singletube film sulfonation reactor (STFR) dengan sistem kontinyu, yang didisain berupa tube tunggal dengan tinggi 6 meter dan diameter 25 mm. Gas

61 39 SO 3 yang digunakan merupakan produk antara yang dihasilkan pada tahapan proses produksi PT Mahkota Indonesia. Produk antara ini memiliki konsentrasi 26 %, sehingga dilakukan pencampuran gas SO 3 dengan udara kering (dry air) untuk menghasilkan campuran gas SO 3 / udara kering sekitar 5-7% (v/v). Laju gas SO 3 dengan konsentrasi 5-7 % diinputkan ke dalam reaktor sebesar 7,22 kg/jam. Proses sulfonasi dilakukan dengan rasio mol metil ester dan gas SO 3 yaitu 1:1,3 pada laju alir metil ester yang masuk ke dalam reaktor adalah 5,23 kg/jam, dan suhu sulfonasi 100 o C (Hambali et al., 2009). Faktor yang diujikan yaitu waktu proses sulfonasi 1-6 jam dengan interval 1 jam. Dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 90 o C selama 60 menit dan pengadukan 150 rpm hingga diperoleh MESA. Perhitungan laju alir ME olein dan SO 3 disajikan pada Lampiran 3. MESA kemudian dire-esterifikasi menggunakan metanol 15% dan dinetralisasi dengan NaOH 50% hingga dihasilkan MES dengan ph netral. Diagram alir penentuan lama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 10. Skema STFR yang digunakan disajikan pada Gambar 11. Pengujian dilakukan terhadap produk MESA dan MES. Parameter yang diuji meliputi warna 5% klett, densitas, ph, viskositas, bilangan iod, kestabilan emulsi, kandungan bahan aktif, bilangan asam, dan tegangan antarmuka. Prosedur analisis surfaktan MES dapat dilihat pada Lampiran 4. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Y ij = µ + A i + ε j(i) Dimana : Y ij : hasil pengamatan pada ulangan ke-j karena faktor A (lama sulfonasi) ke-i µ : rata-rata yang sebenarnya A i : pengaruh A (lama sulfonasi) ke-i ε j(i) : galat eksperimen pada ulangan ke-j karena faktor A (lama sulfonasi) ke-i

62 40 Reaktor sulfonasi STFR (1-6 jam) Gambar 10. Diagram alir penentuan lama proses sulfonasi Gambar 11. Skema STFR yang digunakan

63 41 4. Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Pemurnian Surfaktan MES Tahapan ini dilakukan untuk menentukan kondisi proses pemurnian yang akan diterapkan pada tahap kajian selanjutnya, dengan menerapkan kondisi terbaik yang diperoleh pada tahapan sebelumnya. Proses pemurnian dimodifikasi dari Sherry et al. (1995), dengan faktor konsentrasi metanol 0-15%, interval 5% pada suhu sekitar 55 o C, pengadukan selama 45 menit, dan dilanjutkan dengan netralisasi menggunakan NaOH 50% hingga dicapai ph netral (berkisar 7). Diagram alir kajian proses pemurnian MES disajikan pada Gambar 12. Parameter yang diuji adalah tegangan antarmuka. Prosedur analisis tegangan antarmuka disajikan pada Lampiran 4. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Y ij = µ + A i + ε j(i) Dimana : Y ij : hasil pengamatan pada ulangan ke-j karena faktor A (konsentrasi metanol) ke-i µ : rata-rata yang sebenarnya A i : pengaruh A (konsentrasi metanol) ke-i ε j(i) : galat eksperimen pada ulangan ke-j karena faktor A (konsentrasi metanol) ke-1 Reaktor sulfonasi STFR Gambar 12. Diagram alir kajian penambahan metanol pada proses pemurnian MES

64 42 5. Perbaikan Kondisi Proses Produksi Surfaktan MES Untuk mendapatkan sampel surfaktan MES yang lebih baik dilakukan perbaikan pada kondisi proses produksi surfaktan MES. Kondisi proses yang diterapkan meliputi gas SO 3 -udara kering diinputkan ke dalam reaktor sebesar 7,22 kg/jam, rasio mol metil ester dan gas SO 3 yaitu 1:1,3 pada kecepatan alir metil ester yang masuk ke dalam reaktor adalah 5,23 kg/jam, suhu sulfonasi 100 o C (Hambali et al., 2009), lama sulfonasi 3-4 jam, suhu aging 90 o C selama 60 menit dengan pengadukan 150 rpm, dan tanpa penambahan metanol sebagai hasil terbaik yang diperoleh pada tahapan sebelumnya. Perbaikan dilakukan dengan penambahan udara kering bersamaan dengan gas SO 3 yang diinputkan ke dalam reaktor STFR (0; 1,8, 3,6 kg/jam) dikombinasikan dengan ph MES setelah netralisasi (6, 7, 8). Parameter yang diuji meliputi bilangan iod, kandungan bahan aktif, tegangan antarmuka, kestabilan emulsi, viskositas, dan warna 5% klett. Diagram alir perbaikan kondisi proses produksi MES disajikan pada Gambar 13. Prosedur analisis surfaktan MES dapat dilihat pada Lampiran 4. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi, dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Y jkm = µ + R i + A j + δ ij + B k + AB jk + ε m(ijk) Dimana : Y jkm : Nilai pengamatan pada ulangan ke-m karena faktor udara kering (A) taraf ke-j dan faktor ph (B) taraf ke-k µ : Rata-rata yang sebenarnya R i : Pengaruh ulangan/blok ke-i A j : Pengaruh udara kering (A) ke-j (petak utama) δ ij : Galat untuk petak utama pada blok ke-i karena faktor A ke-j B k : Pengaruh ph ke-k (anak petak) AB jk : Pengaruh interaksi faktor udara kering (A) ke-j dan ph (B) ke-k ε m(ijk) : Galat sisa pada ulangan ke-m akibat pengaruh blok ke-i, A ke-j dan B ke-k

65 43 Reaktor sulfonasi STFR (3-4 jam) Gambar 13. Diagram alir perbaikan kondisi proses produksi MES 6. Formulasi Surfaktan MES untuk Aplikasi pada EOR Formulasi surfaktan dilakukan dengan mengkombinasikan surfaktan MES dengan salinitas optimal, surfaktan komersial, dan aditif terbaik yang diperoleh. Untuk itu dilakukan penentuan konsentrasi surfaktan MES, salinitas optimal, aditif dan surfaktan komersial terbaik untuk formulasi. a. Penentuan konsentrasi surfaktan MES Sampel surfaktan MES terbaik yang telah diperoleh ditentukan konsentrasi yang dapat memberikan nilai tegangan antarmuka terendah. Konsentrasi surfaktan yang diujikan berkisar 0-0,4%, dengan interval 0,1%. Pengujian dilakukan dua kali. b. Penentuan salinitas optimal Sampel surfaktan MES terbaik yang diperoleh pada tahapan sebelumnya selanjutnya digunakan untuk mencari salinitas optimal antara surfaktan MES dan air injeksi. Penentuan salinitas optimal dilakukan pada konsentrasi surfaktan MES 0,3% dengan variasi salinitas air injeksi 0 hingga ppm dengan interval 5000 ppm. Parameter yang diuji meliputi tegangan antarmuka, densitas, ph, dan viskositas pada suhu 30

66 44 dan 70 o C. Data tegangan antarmuka kemudian diplotkan terhadap salinitas untuk mendapatkan salinitas optimalnya. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Y ij = µ + A i + ε k(ij) Dimana : Y ij : hasil pengamatan pada ulangan ke-j karena faktor A (salinitas) ke-i µ : rata-rata yang sebenarnya A i : pengaruh salinitas (A) ke-i ε j(i) : galat eksperimen pada ulangan ke-j karena faktor A ke-i c. Pemilihan Aditif Pemilihan aditif dilakukan untuk menentukan jenis dan konsentrasi aditif terbaik yang mampu menghasilkan penurunan nilai tegangan antarmuka. Pada tahapan ini digunakan dua jenis aditif yaitu NaOH dan Na 2 CO 3, dengan variasi konsentrasi 0,1 0,6 persen dengan interval 0,1%. Parameter yang diuji meliputi tegangan antarmuka, ph dan densitas (Lampiran 4). Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Y ijk = µ + A i + Bj + AB ij + ε k(ijk) Dimana : Y ijk : hasil pengamatan pada ulangan ke-k karena faktor A ke-i dan B ke-j µ : rata-rata yang sebenarnya A i : pengaruh jenis aditif (A) ke-i B j : pengaruh konsentrasi aditif (B) ke-j AB ij : pengaruh interaksi jenis aditif (A) ke-i dan konsentrasi aditif (B) ke-j ε k(ij) : galat eksperimen pada ulangan ke-k karena faktor A ke-i dan B ke-j

67 45 d. Pemilihan Co-Surfaktan Pemilihan co-surfaktan dilakukan terhadap 14 jenis surfaktan komersial yang tersedia di pasaran, yaitu alkyl polyglicoside C 12, alkyl polyglicoside C 8, C 10 alkoxylated 7, dietanolamida, alcohol ethoxylate 7 EO, sodium dodecyl benzene sulfonate (25%), sodium dodecyl benzene sulfonate (65%), dodecyl benzene sulfonic acid, nonyl phenol ethoxylate 9 EO, nonyl phenol ethoxylate 10 EO, alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride, secondary C 12-14, 7 ethoxylated, secondary C 12-14, 7 ethoxylated, dan alkyl polyglicoside C Surfaktan komersial yang dipilih adalah yang menghasilkan nilai tegangan antarmuka terendah pada pengukuran menggunakan air formasi dari lapangan minyak. Pengujian nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan komersial 0,3% pada air formasi dilakukan dua kali. 7. Uji kinerja surfaktan MES untuk Aplikasi pada EOR Pengujian dilakukan meliputi kompatibilitas, kelakuan fasa, thermal stability, filtrasi, adsorpsi dan uji core. Prosedur analisis kinerja formula surfaktan berbasis MES disajikan pada Lampiran 5. Uji kompatibilitas dilakukan untuk melihat kesesuaian surfaktan dengan air formasi dan air injeksi. Pengujian dilakukan dengan membuat larutan surfaktan dengan air formasi dan air injeksi. Kesesuaian diindikasikan dengan tidak terbentuknya endapan dalam larutan surfaktan. Uji kelakuan fasa dilakukan pada suhu reservoir tempat dimana air formasi yang digunakan berasal yaitu 112 o C. Pengamatan dilakukan secara periodik selama waktu tertentu. Uji thermal stability dilakukan selama waktu tertentu pada suhu reservoir tempat dimana air formasi yang digunakan berasal yaitu 112 o C, dan suhu 70 o C sebagai pembanding. Pengamatan nilai tegangan antarmuka dilakukan secara periodik untuk melihat kecenderungan perubahan nilai tegangan antarmuka yang terjadi selama pemanasan pada suhu reservoir berlangsung.

68 46 Uji filtrasi dilakukan menggunakan beberapa ukuran media pori (500 mesh, µm, 0,45 µm dan 0,22 µm) dengan volume larutan surfaktan dan air formasi masing-masing 300 ml, dan dilakukan plot volume vs waktu. Uji adsorpsi dilakukan dengan melarutkan 15 g batuan core yang sudah dihancurkan dalam 8 ml larutan surfaktan, atau hingga seluruh batuan core terbenam dalam larutan surfaktan, lalu diukur nilai absorbansi sebelum dan sesudahnya. Uji core dilakukan dengan melewatkan 250 ml larutan surfaktan melewati core yang sudah dijenuhkan air dan minyak bumi pada suhu reservoir (112 o C), dan dihitung volume minyak yang berhasil didesak dari core oleh larutan surfaktan. Core yang digunakan berupa core sintetik dan native core. Pengujian juga dilakukan dengan menginjeksikan larutan surfaktan pada aliran berbeda. Beberapa peralatan dan intrumen analisis yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 6.

69 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Bahan Baku Olein dan ME Olein Bahan baku minyak sawit yang digunakan pada penelitian ini adalah fraksi olein sawit. Olein sawit merupakan fraksi cair dari hasil fraksinasi minyak sawit yang telah dimurnikan. Pemilihan olein sawit sebagai bahan baku didasarkan pada pertimbangan komposisi asam lemak penyusun olein sawit yang dominan asam palmitat (C 16:0 ) dan asam oleat (C 18:1 ). Asam lemak C 16:0 dan C 18:1 memiliki rantai karbon yang lebih panjang dibanding asam lemak lainnya pada minyak sawit. Semakin panjang rantai karbon yang bersifat lipofilik pada struktur molekul surfaktan maka kemungkinan surfaktan tersebut untuk makin larut ke minyak akan semakin besar dan dengan gugus aktif yang diharapkan akan berikatan dengan fraksi air menyebabkan kelarutan surfaktan baik pada minyak maupun air menjadi semakin baik yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmuka yang rendah. Sebelum proses konversi olein menjadi metil ester olein dilakukan, terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mengetahui sifat fisikokimia bahan baku olein yang digunakan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, densitas, viskositas, kadar air, fraksi tak tersabunkan, dan komposisi asam lemak. Hasil analisis kadar asam lemak bebas olein sawit menjadi acuan untuk menentukan tahap reaksi esterifikasi/transesterifikasi yang dilakukan untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester olein. Parameter lainnya menjadi parameter kunci untuk mengetahui keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Hasil analisis sifat fisikokimia olein dan metil ester (ME) olein sawit disajikan pada Tabel 9. Kadar asam lemak bebas merupakan parameter penting dalam menentukan proses yang dibutuhkan untuk mengkonversi minyak dan asam lemak menjadi metil ester. Pada kadar asam lemak bebas di atas 2% minyak terlebih dahulu diesterifikasi dan dilanjutkan dengan tahapan proses transesterifikasi. Proses transesterifikasi secara langsung terhadap minyak dengan kadar asam lemak bebas di atas 2% menyebabkan reaksi konversi menjadi tidak efektif karena terbentuknya sabun dalam jumlah besar akibat reaksi yang terjadi antara katalis

70 48 basa dan asam lemak bebas yang tinggi. Sabun yang terbentuk dapat mengganggu proses pemisahan antara produk utama yaitu metil ester dengan produk samping yaitu gliserol, sehingga menyebabkan rendahnya rendemen metil ester yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis, kadar asam lemak bebas pada bahan baku olein cukup rendah, yaitu 0,19%. Berdasarkan kandungan asam lemak bebas olein sawit yang kurang dari 2%, maka untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester hanya diterapkan satu tahapan reaksi, yaitu proses transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa. Tabel 9. Hasil analisis olein dan ME olein sawit Analisis Satuan Olein ME Olein Asam Lemak Bebas % 0,19 0,13 Bilangan Asam mg KOH/g 0,41 0,94 Bilangan Iod mg Iod/g 61,93 61,77 Bilangan Penyabunan mg KOH/g 208,40 207,63 Densitas g/cm 3 0,906 0,8718 Viskositas (29 o C) cp 61,5 - Kadar Air % 0,103 0,13 Fraksi tak tersabunkan % 0,38 0,14 Kadar Gliserol Total %-massa - 0,06 Kadar Ester %-massa - 95,55 Asam lemak : a. Asam lemak jenuh - Laurat - Miristat - Palmitat - Stearat b. Asam lemak tidak jenuh - Oleat - Linoleat - Linolenat % 0,147 0,909 40,207 1,294 43,901 11,897 0,852 Semakin sedikit asam lemak bebas yang terkandung pada bahan baku olein berkorelasi dengan semakin rendahnya bilangan asam. Hal ini karena bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Mengingat asam lemak bebas olein cukup rendah, maka jumlah mg KOH untuk menetralkan asam lemak tersebut semakin sedikit, sehingga pada

71 49 perhitungan dihasilkan nilai bilangan asam yang rendah sebesar 0,41 mg KOH/g sampel dan kadar asam lemak bebasnya sebesar 0,19%. Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak, yang dinyatakan sebagai jumlah iod yang dapat diikat oleh minyak. Ketidakjenuhan minyak menandakan keberadaan ikatan rangkap yang menyusun rantai karbon asam lemak. Semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan minyak, maka semakin besar kemungkinan ikatan rangkap tersebut dapat mengikat iod sehingga semakin tinggi pula nilai bilangan iod yang dihasilkan. Bilangan iod tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi namun dapat menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan dan keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Metil ester dari minyak tidak jenuh kurang stabil terhadap oksidasi, karena menurut Sanford et al. (2009) stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh dua aspek yaitu keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul trigliserida. Proses transesterifikasi hanya berfungsi untuk mengubah - OH menjadi -OCH 3 pada gugus karboksil, dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon, sehingga tidak akan terjadi perubahan ikatan rangkap. Bilangan iod bahan baku olein yang dihasilkan 61,93 mg iod/g sampel. Nilai ini mendekati kisaran bilangan iod minyak sawit menurut Hui (1996) yaitu mg iod/g sampel. Bilangan penyabunan menunjukkan miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak (Ketaren, 1986). Panjang rantai karbon dalam asam lemak penyusun trigliserida dan bobot molekul trigliserida akan berpengaruh terhadap jumlah KOH yang diperlukan untuk menyabunkan molekul penyusun trigliserida. Menurut Sanford et al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan suatu trigliserida menunjukkan rantai karbon asam lemak penyusun trigliserida semakin pendek. Bilangan penyabunan untuk tiap minyak memiliki nilai tertentu yang menunjukkan panjang pendeknya rantai karbon asam lemak penyusunnya, sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengidentifikasi minyak dan menunjukkan keberhasilan proses konversi yang dilakukan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon. Menurut Hui (1996), bilangan penyabunan olein sawit berkisar mg KOH/g

72 50 sampel, sementara hasil analisis bahan baku yang digunakan menunjukkan 208,40 mg KOH/g sampel. Kandungan air pada bahan baku olein sawit yang digunakan cukup rendah yaitu 0,103%. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding batas toleransi kandungan air dalam bahan baku menurut Gerpen et al. (2004) yaitu maksimal 1%. Perlunya batas toleransi kandungan air dalam bahan baku disebabkan karena air mampu menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida, monogliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air juga dapat bereaksi dengan katalis selama proses esterifikasi/transesterifikasi membentuk sabun dan emulsi. Kehadiran asam lemak bebas, sabun dan emulsi ini dapat mengganggu kesempurnaan proses konversi karena akan terbentuk sabun yang berlebih. Sabun berlebih cenderung berbentuk gel pada suhu ruang yang menyebabkan proses pemisahan metil ester menjadi sulit dilakukan, sebagai akibatnya dihasilkan rendemen yang rendah. Biasanya proses pemanasan dilakukan pada bahan baku sebelum proses konversi dilakukan untuk mengurangi kandungan air pada bahan baku. Mengingat kandungan air pada olein yang lebih rendah dibanding batas toleransi, maka tidak perlu dilakukan proses pemanasan yang bertujuan untuk menghilangkan komponen air dari olein. Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus diminimalkan keberadaannya. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik seperti sterol, alkohol dengan berat molekul tinggi, pigmen, lilin dan hidrokarbon, yang tidak bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun, bersifat sangat non polar. Karenanya fraksi tak tersabunkan ini masih mungkin terdapat pada metil ester setelah reaksi transesterifikasi dan pencucian dilakukan yang dapat mengurangi kemurnian metil ester. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai fraksi tak tersabunkan bahan baku olein sebesar 0,38%. Hasil analisis komposisi asam lemak menunjukkan bahwa olein sawit dominan mengandung asam palmitat (C 16:0 ) sebesar 40,207% dan asam oleat (C 18:1 ) sebesar 43,901%. Bila dibandingkan persentase antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun trigliserida olein, diketahui bahwa asam lemak tidak jenuh pada olein (57,10%) lebih tinggi dibanding asam lemak

73 51 jenuhnya (42,90%). Komposisi asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi menunjukkan bahwa jumlah ikatan rangkap yang dimiliki lebih besar sehingga pada kondisi suhu ruang bahan baku olein tetap berbentuk cair. Metil ester olein sawit yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik jika dilihat dari faktor rendemen, kandungan pengotor dan struktur rantai karbonnya. Berdasarkan rendemen, metil ester olein yang dihasilkan memiliki kadar ester yang cukup tinggi yaitu 95,55 %, sementara kandungan pengotornya cukup rendah yaitu kadar air 0,13%, kadar gliserol total 0,06 % dan fraksi tak tersabunkan 0,14%. Terjadinya peningkatan kadar air dalam jumlah kecil pada ME olein terjadi selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis KOH dengan metanol dan juga dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol. Tahapan pengeringan air yang terbentuk dan tersisa pada metil ester dapat berlangsung dengan baik sehingga kadar air ME olein yang dihasilkan sebesar 0,13%. Jika dilihat dari struktur rantai karbonnya terlihat tidak terjadi perubahan ataupun kerusakan, yang tergambarkan dari nilai bilangan iod dan bilangan penyabunan metil ester olein yang relatif sama dengan olein. Bilangan iod metil ester olein yang relatif sama dengan bilangan iod bahan baku olein yaitu sebesar 61,77 mg iod/g sampel yang menunjukkan bahwa ikatan rangkap pada rantai karbon olein tidak mengalami perubahan, yang mengindikasikan tidak terjadi kerusakan berupa putusnya ikatan rangkap akibat kondisi proses transesterifikasi yang diterapkan. Bilangan penyabunan metil ester olein juga relatif sama dengan bilangan penyabunan olein yaitu 207,63 mg KOH/g sampel, yang menunjukkan bahwa panjang rantai karbon penyusun asam lemak adalah tetap dan tidak mengalami proses pemutusan menjadi rantai lebih pendek. Hal ini menunjukkan bahwa reaktor transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein menjadi metil ester olein mampu memberikan hasil konversi berupa ester yang tinggi dengan kadar gliserol total dan kadar air yang cukup rendah. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan bahan baku minyak yang digunakan oleh Henkel dan Chengdu Nymph sebagaimana disajikan pada Tabel 4, yaitu metil ester dengan kandungan asam lemak dominan C 16:0 dan C 18:1, dengan kedekatan nilai pada bilangan penyabunan,

74 52 bilangan asam, kadar air, dan fraksi tak tersabunkan. Yang berbeda adalah pada nilai bilangan iod, dimana bilangan iod Henkel dan Chengdu Nymph lebih rendah yaitu 1,9 mg I/g ME karena telah melewati tahap hidrogenasi. Sementara bilangan iod yang digunakan pada penelitian ini berkisar 61,77 mg Iod/g sampel menunjukkan bahwa ME olein bersifat tidak jenuh dan mengandung banyak ikatan rangkap Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan Reaktor STFR Pilot plant Singletube Falling Film Sulfonation Reactor (STFR) berlokasi di pabrik PT Mahkota Indonesia, Pulogadung. Gas SO 3 yang digunakan diperoleh dari proses produksi H 2 SO 4 dari PT Mahkota Indonesia, melalui proses pencairan sulfur pada suhu o C, dilanjutkan dengan pembakaran sulfur cair dengan udara kering pada suhu o C untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO 2 ). SO 2 kemudian dioksidasi dalam empat bed converter menggunakan katalis V 2 O 5 pada suhu o C sehingga dihasilkan SO 3 berupa gas. Produksi gas SO 3 sangat tergantung pada tingkat produksi asam sulfat pada PT Mahkota Indonesia. Proses sulfonasi metil ester olein dengan gas SO 3 berlangsung secara cepat pada STFR, yang berukuran tinggi enam meter dengan diameter tabung reaktor 25 mm. Umpan metil ester olein dipanaskan pada suhu 100 o C kemudian dipompakan naik ke head reactor dengan laju 100 ml/menit atau setara dengan 5,23 kg/jam, masuk ke liquid chamber membentuk lapisan film dengan ketebalan tertentu. Kontak metil ester olein dengan gas SO 3 terjadi pada puncak reaktor secara kontinyu sepanjang tabung dengan aliran laminar dan ketebalan film metil ester yang mengalir di sepanjang tabung dijaga konstan agar reaksi terjadi merata sepanjang permukaan dalam tabung. Secara umum, produk MESA dan MES yang dihasilkan berwarna gelap kehitaman. Warna hitam merupakan sifat yang dihasilkan oleh proses sulfonasi ME, terutama jika umpan ME yang digunakan mengandung asam lemak tidak jenuh akibat terbentuknya senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Pada Gambar 14 disajikan contoh surfaktan MES yang dihasilkan.

75 53 Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh dan tidak jenuh melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap reaksi. Menurut Stein dan Bauman (1974) dan Ghazali (2002), MES disintesis dengan mereaksikan metil ester asam lemak dengan SO 3 hingga membentuk senyawa sulfonat. Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap reaksi. Pada tahap pertama atom O pada gugus karboksil bersifat sangat elektromagnetik, menarik semua elektron ke arahnya sehingga atom C pada gugus karbonil menjadi kekurangan elektron. Atom S yang kekurangan elektron dengan mudah berikatan dengan gugus - OCH3 pada ester sehingga membentuk senyawa alfa keto enol berupa asam sulfat anhidrid (a). Senyawa alfa keto enol ini bersifat sementara karena dapat mengalami toutomerisasi sehingga senyawa anhidrid ini berada dalam keadaan setimbang dengan bentuk enolnya (b), dimana ketika SO 3 ditambahkan maka ikatan rangkapnya diserang oleh molekul SO 3 kedua. Molekul SO 3 terikat pada ikatan π pada ikatan rangkap dan terbentuk ikatan hidrogen antara atom H dan atom O pada gugus SO 3 sebelumnya. Senyawa yang terbentuk merupakan senyawa anhidrid dengan dua gugus sulfonat yang terikat pada Cα dan pada gugus karboksil (c). Pada tahap kedua yang berlangsung lebih lambat, senyawa sulfonat anhidrid ini mengalami penyusunan kembali membentuk ester sulfonat dan melepaskan satu molekul SO 3 yang pada awalnya terikat pada gugus karboksil hingga menghasilkan MESA. SO 3 yang dilepaskan akan mensulfonasi molekul ME yang lain. Produk MESA selanjutnya dire-esterifikasi dan dinetralisasi menggunakan NaOH sehingga dihasilkan MES. Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 15. Gambar 14. Contoh produk surfaktan MES yang dihasilkan

76 54 O R n-1 CH 2 C OCH 3 + SO 3 R n-1 CH 2 C OSO 3 CH 3 (a) O O R n-1 CH C OSO 3 CH 3 SO 3 H (c) SO 3 O H R n-1 CH C OSO 3 CH 3 (b) O R n-1 CH C SO 3 H MESA OCH 3 O + NaOH R n-1 CH C OCH 3 + H 2 O SO 3 Na MES Gambar 15. Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi (Ghazali, 2002) Jika SO 3 terlalu banyak selama proses sulfonasi berlangsung, maka kelebihan SO 3 akan menyebabkan terbentuknya produk samping, dan ketika dinetralisasi akan terkonversi menjadi sulfon dan sabun sulfonat (sulfonated soap) atau dikenal sebagai disalt. Menurut Biermann et al. (1987) semakin tinggi kelebihan SO 3 maka akan semakin banyak disalt terbentuk. Mekanisme reaksi pembentukan hasil samping selama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 16. Gambar 16. Mekanisme reaksi pembentukan hasil samping (Stein dan Baumann, 1974)

77 55 Hasil analisis MESA sebagai berikut : warna berkisar 279,8-638,8 klett, ph berkisar 0,82-1,11, viskositas berkisar 37,75 100,75 cp, bilangan iod berkisar 13,91 32,46 mg iod/g sampel, kestabilan emulsi berkisar 84,51-94,10 persen, kandungan bahan aktif berkisar 7,51-11,44 persen, bilangan asam berkisar 10,37-18,66 mg KOH/g sampel, dan tegangan antarmuka berkisar 2,00x10-1 9,00x10-2 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis parameter uji sampel MESA disajikan pada Tabel 10. Sementara analisis MES memberikan hasil sebagai berikut : warna berkisar 194,5-379,3 klett, ph 6,85-8,68, viskositas berkisar 84,75 175,25 cp, bilangan iod berkisar 22,61 28,62 mg iod/g sampel, kestabilan emulsi berkisar 98,68-99,22 persen, kandungan bahan aktif berkisar 6,19-9,73 persen, bilangan asam berkisar 0,33-0,57 mg KOH/g sampel, dan tegangan antarmuka berkisar 2x x10-2 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis parameter uji sampel MESA dan MES disajikan pada Tabel 11. Fluktuasi parameter yang dihasilkan disebabkan karena fluktuasi pasokan gas SO 3 yang terjadi selama proses sulfonasi berlangsung. Jika produksi asam sulfat tinggi maka produksi dan tekanan gas SO 3 menjadi tinggi sehingga gas SO 3 yang masuk ke instalasi reaktor tinggi pula, demikian sebaliknya.

78 56 Tabel 10. Karakteristik MESA yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 6 jam Lama Sulfonasi (Jam) Warna (Klett) ph Viskositas (cp) Bilangan Iod (mg Iod/g sampel) Kestabilan Emulsi (%) Bahan Aktif (%) Bilangan Asam (mg KOH/g sampel) Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 1 279,8 ± 73,89 c 1,11 ± 0,16 37,75 ± 18,74 30,37 ± 5,99 a 87,05 ± 2,50 7,51 ± 1,39 10,37 ± 2,72 0,20 ± 0, ,0 ± 44,55 bc 1,07 ± 0,01 39,50 ± 0,71 29,22 ± 0,02 a 90,26 ± 11,22 8,17 ± 0,76 11,32 ± 1,81 0,13 ± 0, ,0 ± 80,61 abc 0,82 ± 0,27 100,75 ± 73,19 32,46 ± 9,60 a 85,88 ± 0,20 7,73 ± 0,43 18,66 ± 3,50 0,16 ± 0, ,8 ± 228,75 a 0,85 ± 0,14 68,50 ± 32,53 13,91 ± 5,74 b 84,51 ± 0,23 8,92 ± 0,12 15,28 ± 5,56 0,12 ± 0, ,5 ± 3,54 abc 0,85 ± 0,19 68,50 ± 36,06 22,14 ± 4,53 ab 85,46 ± 0,98 10,18 ± 1,55 14,42 ± 4,30 0,09 ± 0, ,5 ± 82,73 ab 0,88 ± 0,02 45,50 ± 6,36 28,48 ± 2,68 a 94,10 ± 5,71 11,44 ± 3,51 12,98 ± 1,58 0,10 ± 0,01 Keterangan : huruf berbeda menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5% (uji ANOVA). Tabel 11. Karakteristik MES yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 6 jam Lama Sulfonasi (Jam) Warna (Klett) ph Viskositas (cp) Bilangan Iod (mg Iod/g sampel) Kestabilan Emulsi (%) Bahan Aktif (%) Bilangan Asam (mg KOH/g sampel) Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 1 194,5 ± 21,21 6,85 ± 2,60 84,75 ± 6,72 b 28,62 ± 6,64 98,93 ± 0,57 6,19 ± 1,48 0,57 ± 0,11 0,05 ± 0, ,5 ± 15,56 7,17 ± 2,58 90,00 ± 5,66 ab 28,33 ± 4,27 99,22 ± 0,15 9,25 ± 3,13 0,51 ± 0,02 0,08 ± 0, ,3 ± 258,45 8,68 ± 0,18 101,25 ± 5,30 ab 22,61 ± 9,56 99,00 ± 0,21 7,67 ± 0,61 0,35 ± 0,32 0,02 ± 0, ,8 ± 9,55 7,72 ± 0,27 175,25 ± 86,62 a 23,74 ± 3,08 98,68 ± 0,29 7,17 ± 0,18 0,37 ± 0,21 0,03 ± 0, ,3 ± 15,20 8,21 ± 0,30 145,25 ± 71,06 a 24,70 ± 0,30 99,08 ± 0,01 8,57 ± 1,03 0,33 ± 0,23 0,06 ± 0, ,8 ± 10,96 8,17 ± 1,35 143,00 ± 63,64 a 25,51 ± 2,78 99,04 ± 0,69 9,73 ± 1,62 0,53 ± 0,02 0,06 ± 0,06 Keterangan : huruf berbeda menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5% (uji ANOVA).

79 57 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama sulfonasi berpengaruh nyata terhadap warna dan bilangan iod MESA, namun tidak berpengaruh terhadap ph, viskositas, kestabilan emulsi, bahan aktif, bilangan asam dan tegangan antarmuka. Sementara pada sampel MES, hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama sulfonasi berpengaruh nyata terhadap viskositas, namun tidak berpengaruh terhadap warna, ph, kestabilan emulsi, bahan aktif, bilangan asam dan tegangan antarmuka. Rekapitulasi data hasil analisis berbagai parameter MESA dan MES disajikan pada Lampiran 7. Sidik ragam hasil analisis berbagai parameter uji MESA dan MES disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Nilai viskositas pada produk MESA berkisar 37,75 100,75 cp sedangkan pada produk MES berkisar 84,75 175,25 cp. Nilai viskositas pada produk MESA dan MES mengalami peningkatan secara berfluktuasi dengan semakin lamanya waktu sulfonasi berlangsung. Diduga konsentrasi gas SO 3 yang dialirkan ke reaktor selama proses sulfonasi cukup pekat sehingga terjadi sulfonasi berlebih terhadap metil ester olein yang mampu memutus ikatan rangkap lebih banyak pada rantai karbon. Akibat berkurangnya ikatan rnagkap menyebabkan titik cair meningkat sehingga terjadi perubahan fisik sampel menjadi lebih kental dan nilai viskositas pada pengukuran menjadi lebih tinggi. Warna pada produk MESA berkisar 279,8 638,8 Klett sedangkan pada produk MES berkisar 194,5 379,3 Klett. Warna pada produk MESA dan MES mengalami peningkatan secara berfluktuasi dengan semakin lamanya waktu sulfonasi berlangsung. Diduga disebabkan karena konsentrasi gas SO 3 yang dialirkan ke reaktor selama proses sulfonasi cukup pekat sehingga terjadi sulfonasi berlebih sehingga warna gelap pada produk hasil sulfonasi mengalami peningkatan. Hasil pengujian bilangan iod sampel setelah proses sulfonasi menunjukkan terjadinya penurunan, yaitu yang awalnya sebesar 61,77 mg iod/g sampel menjadi berkisar antara 13,91-30,37 mg iod/g pada produk MESA dan berkisar 22,61 28,62 mg iod/g sampel pada produk MES. Penurunan bilangan iod mengindikasikan terjadinya penjenuhan ikatan rangkap pada sampel MESA yang dihasilkan, sehingga diduga SO 3 tidak hanya teradisi pada carbon α saja, namun juga teradisi pada ikatan rangkap rantai karbon, sebagaimana dinyatakan oleh

80 58 Foster (1997) bahwa reaksi sulfonasi terjadi pada atom karbon α dan kemudian pada ikatan rangkap. Karenanya ketika I 2 direaksikan dengan sampel MESA pada pengukuran bilangan iod, I 2 tersebut tidak mampu menggantikan molekul H pada rantai karbon yang telah jenuh karena asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak jenuh. Akibatnya I 2 yang terabsorb menjadi lebih rendah yang terlihat pada hasil pengukuran bilangan iod sampel yang rendah. Putusnya ikatan rangkap pada rantai karbon sampel MESA hasil sulfonasi berakibat terbentuknya ion H + pada rantai karbon yang kemudian mengikat SO 3. Penambahan SO 3 terikat pada rantai karbon menyebabkan peningkatan keasamaan pada sampel MESA. Peningkatan derajat keasaman ditunjukkan dengan nilai ph yang semakin rendah, dengan kisaran nilai ph sampel MESA yang dihasilkan berkisar antara 0,82 1,11. Bilangan asam menggambarkan jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang ada dalam satu gram senyawa. Pada sampel MES yang memiliki nilai ph cenderung netral, jumlah basa yang dibutuhkan untuk menetralkan sampel MES menjadi sedikit dan karenanya dihasilkan nilai perhitungan bilangan asam yang rendah. Robert et al. (2008) menyatakan bahwa hasil reaksi sulfonasi yang terlalu asam akan memicu terbentuknya warna gelap. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi sebagian. Semakin panjang rantai karbon penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut dalam air. Namun dengan terjadinya adisi gugus sulfonat pada rantai karbon menyebabkan sifat sukar larut dalam air berubah menjadi mudah larut dalam air, sehingga terbentuk emulsi ketika sampel MES dicampurkan bersamaan dengan air dan senyawa yang tidak larut air. Hal ini tergambarkan pada kestabilan emulsi minyak-air dengan surfaktan MES yang berkisar persen. Tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT) mengukur energi kohesif antarmuka yang disebabkan oleh energi yang tidak seimbang pada antarmuka molekul-molekul fluida sehingga terjadi akumulasi energi bebas pada antarmuka. Kelebihan energi ini disebut sebagai energi bebas permukaan yaitu energi yang diperlukan untuk meningkatkan area antarmuka atau bidang kontak permukaan.

81 59 Peningkatan area antarmuka akan menyebabkan dispersi fase cair yang satu ke dalam fase cair yang lain dalam bentuk droplet kecil. Nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah mampu mengemulsi satu fase cairan pada fase cairan yang lain, sehingga akan meningkatkan efisiensi pemindahan atau recovery pada aplikasi EOR (Borchardt, 2010). Berdasarkan perbandingan nilai tegangan antarmuka antara minyak-air dengan penambahan sampel MES, terlihat pada lama sulfonasi tiga dan empat jam memiliki nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah dibanding lama sulfonasi yang lainnya yaitu 2x10-2 3x10-2 dyne/cm. Mengingat aplikasi surfaktan untuk EOR membutuhkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah, maka lama proses sulfonasi 3 4 jam merupakan waktu proses yang dipilih untuk memproduksi surfaktan MES pada tahapan selanjutnya. Nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan pada tahapan ini masih berkisar 10-2 dyne/cm, oleh karena itu pada tahapan selanjutnya dikaji pengaruh penambahan metanol terhadap nilai tegangan antarmuka. Perbandingan dengan MESA dari stearin, kinerja terbaik diperoleh dari lama sulfonasi 6 jam, dengan karakteristik bilangan asam 23,43 mg KOH/g, viskositas 88,44 cp, densitas 0,9957 g/cm 3, bilangan iod 14,89 mg I/g MESA, kadar bahan aktif 21,08% (Somantri, 2011). Penambahan MES stearin mampu memberikan tegangan antarmuka 3,00x10-2 dyne/cm (Nopianto, 2011) Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Re-esterifikasi Surfaktan MES Surfaktan MES yang dihasilkan pada penelitian ini bertujuan untuk diaplikasikan pada enhanced oil recovery, sehingga diharapkan memiliki nilai tegangan antarmuka yang rendah, minimal 10-2 dyne/cm (Pithapurwala et al., 1986). Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahapan ini dilakukan kajian pengaruh penambahan metanol (proses re-esterifikasi) terhadap nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan surfaktan MES. Proses sulfonasi memicu terbentuknya sulfon (Moreno et al., 1988) dan disalt (Stein dan Bauman, 1974). Dugaan awal keberadaan disalt dan sulfon ini akan mempengaruhi kinerja surfaktan MES untuk aplikasi EOR sebagaimana yang terjadi pada kinerja surfaktan MES untuk deterjen, dimana dengan adanya disalt ini kinerja

82 60 pembusaan deterjen menjadi rendah. Kemungkinan terbentuknya disalt setelah MESA dinetralisasi dapat diminimalkan dengan melakukan proses re-esterifikasi MESA menggunakan metanol. Proses re-esterifikasi dilakukan dengan menambahkan metanol secara bertingkat dari 0 hingga 15% dengan interval 5%, dan selanjutnya dinetralisasi hingga dicapai ph netral. Hasil analisis tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan MES hasil re-esterifikasi dan netralisasi memberikan kisaran nilai 1,98x10-1 hingga 4,25x10-2 dyne/cm. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi metanol tidak berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan MES. Hasil analisis tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan MES hasil pemurnian dengan penambahan metanol dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 10. Peningkatan konsentrasi metanol yang ditambahkan pada proses reesterifikasi cenderung menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air yang merupakan penentu utama aplikasi surfaktan untuk EOR. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan konsentrasi metanol dan panas selama proses re-esterifikasi menyebabkan kemungkinan terbentuknya disalt saat proses netralisasi berlangsung menjadi semakin rendah. Disalt meskipun merupakan produk samping, namun juga mempunyai sifat menurunkan tegangan antarmuka dan bersifat anionik (Roberts et al., 2008), sehingga dengan berkurangnya disalt menyebabkan sifat kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan menjadi berkurang. Sebagai akibatnya kelarutan surfaktan menjadi rendah dan terjadi penurunan kinerja surfaktan sebagai surface active agent yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan MES berkisar 10-1 dyne/cm. Sementara dengan tanpa melakukan proses re-esterifikasi diperoleh nilai tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm. Berdasarkan hal tersebut, maka proses produksi surfaktan MES pada tahapan penelitian selanjutnya dilakukan tanpa proses re-esterifikasi (penambahan metanol), dimana MESA hasil aging yang diperoleh selanjutnya langsung dinetralisasi.

83 61 Pada tahapan sebelumnya dihasilkan fluktuasi parameter yang diduga disebabkan karena konsentrasi gas SO 3 yang berlebih. Pada Tabel 10 dan 11 terlihat bahwa nilai ph berkaitan dengan nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan, dimana semakin rendah nilai ph maka dihasilkan nilai tegangan antarmuka yang lebih tinggi. Oleh karena itu maka pada tahapan selanjutnya dilakukan penambahan udara kering untuk mengencerkan gas SO 3, pengaturan nilai ph dan pemurnian tanpa penambahan metanol Perbaikan Proses Produksi Surfaktan MES Pada tahapan ini dilakukan perbaikan kondisi proses produksi surfaktan MES untuk mendapatkan surfaktan MES dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan proses sebelumnya. Karakteristik utama yang menjadi patokan adalah nilai tegangan antarmuka. Menurut Foster (1996), konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan dan proses netralisasi sampai pada ph tertentu merupakan dua diantara beberapa faktor yang menentukan kualitas surfaktan MES. Berdasarkan hal tersebut, maka perbaikan yang dilakukan yaitu melakukan penambahan udara kering untuk mengencerkan gas SO 3 selama proses sulfonasi berlangsung. Penambahan udara kering dilakukan mengingat fluktuasi tekanan gas SO 3 yang sering terjadi di PT Mahkota Indonesia, khususnya pada saat kapasitas produksi H 2 SO 4 berlangsung maksimal. Penambahan udara kering dilakukan dengan laju 0 3,6 kg/jam, dengan gas SO 3 yang diinputkan sebesar 7,26 kg/jam. Dilanjutkan dengan proses netralisasi pada ph 6 8. Lama proses yang diterapkan adalah yang diperoleh pada tahapan sebelumnya yaitu 3 hingga 4 jam, tanpa proses reesterifikasi (penambahan metanol). Kondisi proses lainnya bersifat tetap, yaitu suhu sulfonasi 100 o C, suhu aging 90 o C, kecepatan pengadukan 150 rpm dan lama aging 1 jam. Fluida formasi karbonat yang digunakan berupa air formasi, air injeksi dan minyak bumi. Hasil analisis fluida formasi karbonat yang digunakan disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan tabel terlihat bahwa air formasi dan air injeksi yang digunakan memiliki kesamaan nilai pada ph yaitu berkisar 8, viskositas berkisar 0,5 cp dan densitas berkisar 0,99 g/cm 3. Perbedaan terlihat pada jumlah total padatan terlarut dan kandungan kation dan anionnya. Komposisi kation dan anion

84 62 pada air formasi dan air injeksi berupa ion Ca 2+, Mg 2+, Cl - 2- dan SO 4 menunjukkan - kandungan sadah pada air formasi lebih tinggi dibanding air injeksi. Ion HCO 3 pada air formasi sekitar 317,3 ppm menunjukkan bahwa fluida yang digunakan berupa formasi karbonat. Perbandingan karakteristik air formasi dan air injeksi secara lengkap disajikan pada Lampiran 11. Sampel minyak bumi yang memiliki karakteristik 29,47 o API menunjukkan bahwa minyak tersebut termasuk dalam kelompok minyak ringan, yang ditandai pula dengan nilai densitas dan viskositas yang rendah. Tabel 12. Hasil analisis fluida formasi karbonat yang digunakan Parameter Air Formasi Air Injeksi Minyak ph 8,0 8,4 - Viskositas (cp) 0,50 0,53 4,45 (60 rpm, 80 o C) Densitas (g/cm 3 ) 0, , ,83857 Oil gravity o API ,47 Total padatan terlarut ,2 - (terhitung) (ppm) * Na 2+ (ppm) * ,7 - - Ca 2+ (ppm) * 350, Mg 2+ (ppm) * 8, Total Fe (ppm) * 1.650,0 0,5 - Cl - (ppm) * , SO 4 (ppm) * 535, HCO 3 (ppm) * 317,3 5 - Ket. *) sumber PT X Tegangan Antarmuka 1. Pengukuran Tegangan Antarmuka Minyak-Air Formasi Pengukuran kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan menggunakan air formasi dan minyak dari sumur minyak. Hal ini dilakukan untuk melihat respon tegangan antarmuka air formasi dan minyak yang digunakan setelah penambahan sampel surfaktan. Hasil analisis nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan sampel surfaktan MES menggunakan air formasi memberikan kisaran 3,22x10-2 hingga 7,46x10-3 dyne/cm. Rekapitulasi data hasil analisis tegangan antarmuka dengan penambahan MES hasil perbaikan proses produksi menggunakan air formasi dan

85 63 minyak bumi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air formasi dan minyak bumi, sedangkan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air formasi dan minyak bumi. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa taraf udara kering 0 dan 3,6 kg/jam tidak berbeda nyata namun masing-masing berbeda nyata dengan taraf udara kering 1,8 kg/jam terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air formasi dan minyak bumi pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa tegangan antarmuka minyak-air formasi disajikan pada Lampiran 13. Histogram nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph disajikan pada Gambar 17. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 3.50E E E E E E E E kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam ph Gambar 17. Tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Diduga nilai ph sampel surfaktan MES berkaitan dengan nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan. Surfaktan MES dengan ph 8 memiliki kesamaan nilai ph dengan air formasi yang digunakan, dimana air formasi sampel yang diujikan memiliki nilai ph 8 (Tabel 12, Lampiran 11). Kesamaan nilai ph ini menyebabkan struktur ampifilik surfaktan yang terdiri atas gugus hidrofilik

86 64 dan gugus hidrofobik menurunkan gaya kohesi antara molekul minyak dan air formasi, sementara gaya adhesi antara molekul minyak dan air formasi menjadi meningkat. Peningkatan gaya adhesi akan mengurangi resultan gaya kohesi minyak yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dan air formasi menurun, sehingga mampu menghasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan MES yang lebih rendah dibandingkan ph 6 dan 7. Pada penelitian ini bahan baku olein yang digunakan memiliki asam lemak oleat 43,990%, asam lemak linoleat sekitar 11,89% dan asam lemak linolenat 0,85%. Menurut Ketaren (1986), asam lemak linoleat dan linolenat memiliki struktur ikatan rangkap terkonjugasi. Ketika gas SO 3 ditambahkan, selain menyerang atom Cα ternyata SO 3 juga memiliki kemampuan untuk menyerang ikatan rangkap sebagaimana disebutkan oleh Foster (1997). Semakin pekat konsentrasi gas SO 3 yang ditambahkan, menyebabkan kemungkinan terbentuknya senyawa polisulfonat pada ikatan rangkap terkonjugasi juga semakin besar, akan tetapi kepekatan gas SO 3 ini juga memicu terbentuknya disalt dalam jumlah lebih banyak setelah netralisasi sebagaimana disebutkan oleh Roberts et al. (2008). Menurut Yamada dan Matsutani (1996), senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi bersifat sangat anionik. Diduga sifat anionik disalt tidak sebesar gugus sulfonat yang terbentuk pada atom Cα ataupun pada ikatan rangkap. Surfaktan MES dengan kondisi penambahan udara kering 1,8 kg/jam memiliki nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah dibanding tanpa penambahan udara kering ataupun dengan penambahan udara kering yang lebih banyak. Diduga pada penambahan udara kering 1,8 kg/jam inilah terjadi kondisi ideal reaksi sulfonasi yang membentuk gugus sulfonat pada Cα dan ikatan rangkap. Sementara tanpa penambahan udara kering kecenderungan terbentuknya disalt setelah netralisasi menjadi lebih tinggi dibanding terbentuknya gugus sulfonat pada Cα, demikian juga pada penambahan udara kering yang lebih banyak yaitu 3,6 kg/jam kemungkinan SO 3 untuk berikatan dengan Cα dan ikatan rangkap makin rendah sehingga nilai tegangan antarmukanya menjadi lebih tinggi.

87 65 2. Pengukuran Tegangan Antarmuka Minyak-Air Injeksi Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi menghasilkan nilai tegangan antarmuka dengan kisaran 5,41x10-2 hingga 1,49x10-2 dyne/cm. 2.97E-02 Rekapitulasi hasil analisis tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air injeksi dan minyak bumi. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada ph menunjukkan bahwa taraf ph 6 dan 7 tidak berbeda nyata, namun masing-masing berbeda nyata dengan taraf ph 8 terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air injeksi dan minyak bumi. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa taraf 0, 1,8 dan 3,6 kg/jam saling berbeda nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air injeksi dan minyak bumi pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa tegangan antarmuka MES menggunakan air injeksi dan minyak disajikan pada Lampiran 13. Nilai tegangan antarmuka tertinggi dimiliki oleh sampel surfaktan dengan kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan ph 7, sementara nilai tegangan antarmuka terendah dimiliki oleh sampel surfaktan dengan kombinasi udara kering 1,8 kg/jam dan ph 8. Histogram nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph disajikan pada Gambar 18. Sebagaimana halnya dengan air formasi, air injeksi yang digunakan pada pengujian juga memiliki nilai ph 8, sehingga surfaktan MES dengan ph 8 memberikan hasil penurunan nilai tegangan antarmuka lebih rendah dibandingkan surfaktan dengan nilai ph 6 dan 7. Semakin mendekati nilai ph air injeksi, struktur ampifilik surfaktan mempengaruhi gaya kohesi antar molekul minyak dan molekul air menjadi semakin menurun setelah penambahan surfaktan. Pada saat bersamaan terjadi peningkatan gaya adhesi antara molekul minyak dan air injeksi,

88 66 sehingga dihasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan MES yang lebih rendah dibandingkan ph 6 dan 7. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 6.00E E E E E E E ph 0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam Gambar 18. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Pengaruh penambahan udara kering terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES juga menunjukkan fenomena yang sama sebagaimana terjadi pada air formasi. Semakin pekat konsentrasi gas SO 3 yang ditambahkan, menyebabkan kemungkinan terbentuknya senyawa polisulfonat pada ikatan rangkap terkonjugasi juga semakin besar, akan tetapi kepekatan gas SO 3 ini juga memicu terbentuknya disalt dalam jumlah lebih banyak saat dilakukan netralisasi sebagaimana disebutkan oleh Roberts et al. (2008). Yamada dan Matsutani (1996) menyatakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi bersifat sangat anionik. Disalt juga disebutkan bersifat anionik, namun diduga sifat anionik disalt tidak sebesar gugus sulfonat yang terbentuk pada atom Cα ataupun pada ikatan rangkap terkonjugasi. Pada kondisi penambahan udara kering 1,8 kg/jam diduga menjadi kondisi ideal reaksi sulfonasi yang dominan membentuk gugus sulfonat pada Cα dan ikatan rangkap, sehingga surfaktan MES yang dihasilkan semakin bersifat anionik yang ditunjukkan dengan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka fluida semakin besar. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah dibanding tanpa penambahan udara kering

89 67 dan dengan penambahan udara kering lebih banyak. Tanpa penambahan udara kering kecenderungan terbentuknya disalt lebih tinggi saat netralisasi dibanding terbentuknya gugus sulfonat pada Cα, demikian juga pada penambahan udara kering yang lebih banyak dimana kemungkinan SO 3 untuk berikatan dengan Cα dan ikatan rangkap makin rendah, sebagai akibatnya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka fluida oleh surfaktan menjadi lebih rendah, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka minyak-air oleh sampel surfaktan MES tanpa penambahan udara kering lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan udara kering 3,6 kg/jam Bilangan Iod Bilangan iod adalah ukuran rata-rata jumlah komponen tak jenuh dari minyak atau lemak yang dinyatakan dalam bobot iod, yaitu jumlah sentigram iodin yang diserap per gram sampel (AOCS, 1998). Prinsip pengukuran berupa penambahan larutan iodium monoklorida dalam campuran asam asetat glasial dan karbon tetraklorida atau kloroform ke dalam contoh. Setelah melewati waktu tertentu dilakukan penetapan iod yang dibebaskan dengan penambahan kalium iodida (KI). Banyaknya iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan standar natrium thiosulfat dengan indikator kanji (SNI ). Parameter bilangan iod dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfonat ke dalam rantai karbon metil ester. Menurut Ketaren (1986), bahan baku minyak yang memiliki ikatan rangkap yang lebih banyak akan memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibanding bahan baku yang memiliki ikatan rangkap sedikit. Pada pengukuran bilangan iod, iodium yang direaksikan akan mengadisi ikatan tak jenuh pada rantai molekul asam lemak sampel. Namun, reaksi adisi iodium tersebut tidak dapat berlangsung jika pada ikatan tak jenuh tersebut telah terikat gugus sulfonat. Reaksi pembentukan gugus sulfonat pada ikatan rangkap disajikan pada Gambar 19. Ketika beberapa ikatan tak jenuh telah diadisi oleh gugus sulfonat sehingga tidak dapat diadisi oleh molekul iodium, maka bilangan iod metil ester sulfonat menjadi lebih rendah dari

90 68 bilangan iod bahan baku metil ester yang masih memiliki ikatan tak jenuh lebih banyak. Gambar 19. Reaksi pembentukan gugus sulfonat pada ikatan rangkap Hasil analisis bilangan iod surfaktan MES dengan kombinasi perlakuan udara kering dan ph memberikan kisaran 10,25 hingga 27,89 mg iod/g sampel. Rekapitulasi hasil analisis bilangan iod MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Bahan baku metil ester olein memiliki bilangan iod 61,77 mg iod/g sampel, hal ini menunjukkan terjadinya penurunan bilangan iod pada semua sampel MES. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap bilangan iod. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada ph menunjukkan bahwa taraf ph 6 berbeda nyata dengan ph 7 dan 8, sedangkan taraf ph 7 dan 8 tidak berbeda nyata. Sementara uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa setiap taraf berpengaruh nyata terhadap bilangan iod pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa bilangan iod MES disajikan pada Lampiran 13. Nilai bilangan iod sampel surfaktan MES terendah dimiliki pada kombinasi udara kering 0 kg/jam dan ph 8, sementara bilangan iod tertinggi pada kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan ph 6. Histogram bilangan iod surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa semakin banyak udara kering yang dialirkan ke reaktor maka bilangan iod semakin meningkat. Sementara peningkatan nilai ph pada sampel surfaktan MES memperlihatkan bilangan iod cenderung tetap.

91 69 Bilangan Iod (mg Iod/g sampel) kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam ph Gambar 20. Bilangan iod surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Bilangan iod menjadi salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfonat ke dalam rantai karbon metil ester. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan bilangan iod pada bahan baku metil ester dan bilangan iod pada sampel MES hasil sulfonasi. Bahan baku metil ester olein yang digunakan memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dari bilangan iod sampel hasil sulfonasi. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi sulfonasi yang dilakukan memecah ikatan rangkap pada rantai karbon metil ester olein dan terjadi adisi SO 3 ke molekul karbon tersebut membentuk gugus sulfonat. Sebagai dampak dari putusnya ikatan rangkap, pada saat pengukuran bilangan iod molekul I 2 yang ditambahkan tidak mampu mengadisi pada rantai karbon yang sudah diadisi oleh gugus sulfonat. Dengan semakin sedikitnya I 2 yang teradisi pada rantai karbon maka dihasilkan bilangan iod makin rendah, yang menunjukkan ikatan rangkap semakin berkurang pada sampel MES hasil sulfonasi. Penurunan bilangan iod yang sangat banyak terjadi pada sampel MES yang disulfonasi tanpa penambahan udara kering. Tanpa penambahan udara kering, konsentrasi reaktan gas SO 3 yang masuk ke reaktor sulfonasi menjadi lebih pekat dibanding adanya penambahan udara kering. Akibat konsentrasi gas SO 3 yang lebih pekat, diduga terjadi sulfonasi berlebih terhadap metil ester olein yang mampu memecah ikatan rangkap lebih banyak pada rantai karbon asam lemak dari metil ester dibanding dengan penambahan udara kering. Semakin

92 70 banyak udara kering yang ditambahkan maka kemungkinan pecahnya ikatan rangkap semakin sedikit, yang ditunjukkan dengan bilangan iod yang lebih tinggi Kandungan Bahan Aktif Bahan aktif merupakan salah satu parameter yang menunjukkan kualitas surfaktan. Parameter ini sudah diterapkan pada industri surfaktan, yang digunakan untuk menilai apakah suatu jenis surfaktan memiliki kinerja yang baik ataukah tidak, dimana makin tinggi nilai bahan aktif suatu jenis surfaktan maka kinerjanya akan semakin baik pula. Umumnya surfaktan komersial ditandai dengan kandungan bahan aktifnya. Prosedur yang digunakan untuk menguji kadar bahan aktif adalah metode titrasi dua fasa, dikenal dengan metode Epton. Prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan surfaktan kationik dengan menggunakan indikator methylen blue. Pengukuran kandungan bahan aktif pada penelitian ini menunjukkan jumlah SO 3 yang terikat pada struktur metil ester hingga membentuk senyawa yang memiliki sifat aktif permukaan. Pengukuran didasarkan pada reaksi antagonis dimana surfaktan MES yang anionik dititrasi dengan surfaktan kationik yang memiliki muatan berlawanan sehingga terbentuk garam yang tidak larut air (Matesic-Puac et al. 2005). Garam yang terbentuk akan menuju lapisan kloroform sehingga membentuk warna biru pada lapisan kloroform. Setelah dilakukan titrasi dengan N-cetyl pyridinium chloride (surfaktan kationik), maka warna biru yang semula berada pada lapisan kloroform secara perlahan akan bergerak menuju lapisan larutan surfaktan MES, hingga dicapai titik akhir titrasi dimana intensitas warna pada kedua lapisan menjadi sama (Stache, 1995). Hasil analisis kandungan bahan aktif pada sampel surfaktan MES dengan kombinasi perlakuan udara kering dan ph terukur cukup rendah yaitu pada kisaran nilai 3,35 hingga 5,41 persen. Rendahnya kandungan bahan aktif ini menurut Hovda (1993) disebabkan karena proses netralisasi sulfonic acid (MESA) untuk menghasilkan MES dengan bahan aktif tinggi cukup sulit karena ketidakstabilan MES pada suhu dan ph tinggi. Rekapitulasi hasil analisis kandungan bahan aktif MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)

93 71 menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan aktif surfaktan MES yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada ph menunjukkan bahwa taraf ph 6 tidak berbeda nyata dengan ph 7 namun berbeda nyata dengan ph 8, sedangkan ph 7 dan 8 tidak berbeda nyata. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa masing-masing taraf 0, 1,8 dan 3,6 kg/jam saling berbeda nyata terhadap kandungan bahan aktif surfaktan MES pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa kandungan bahan aktif MES disajikan pada Lampiran 13. Bahan aktif tertinggi dimiliki oleh sampel surfaktan MES dengan kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan ph 8, sementara bahan aktif terendah dimiliki oleh sampel surfaktan MES dengan kombinasi udara kering 0 kg/jam dan ph 6. Histogram kandungan bahan aktif surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa pada berbagai nilai ph penambahan konsentrasi udara kering menyebabkan kecenderungan terjadinya peningkatan kandungan bahan aktif pada sampel surfaktan MES Kandungan Bahan Aktif (%) kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam ph Gambar 21. Kandungan bahan aktif surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Pengaruh penambahan udara kering terhadap kandungan bahan aktif memiliki kesamaan dengan pengaruh penambahan udara kering terhadap bilangan iod. Dimana semakin meningkat udara kering yang ditambahkan menyebabkan

94 72 kandungan bahan aktif pada sampel surfaktan juga mengalami peningkatan. Tanpa penambahan udara kering, konsentrasi reaktan gas SO 3 yang masuk ke reaktor sulfonasi menjadi lebih pekat dibanding adanya penambahan udara kering. Akibat konsentrasi gas SO 3 yang lebih pekat, terjadi kelebihan SO 3 dari kondisi rasio mol ideal antara gas SO 3 dan metil ester yang memicu terbentuknya produk - turunan kompleks yang tidak bermuatan yaitu tidak mengikat SO 3 pada molekulnya. Produk turunan kompleks yang terbentuk menyebabkan kemungkinan terbentuknya gugus sulfonat menjadi lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan surfaktan kationik yang diperlukan untuk menetralkan muatan negatif pada sampel MES saat pengukuran bahan aktif menjadi lebih rendah sehingga kandungan bahan aktif sampel MES yang terukur menjadi lebih rendah. Sebaliknya dengan penambahan udara kering, konsentrasi gas SO 3 yang berlebih diencerkan hingga diduga mendekati perbandingan ideal rasio mol sehingga kemungkinan terikatnya SO 3 pada Cα semakin besar. Dengan semakin besarnya SO 3 yang terikat menyebabkan muatan sampel menjadi lebih negatif, karenanya diperlukan surfaktan kationik yang lebih banyak pula untuk menetralkan muatannya, akibatnya kandungan bahan aktif yang terukur juga lebih tinggi Kestabilan Emulsi Emulsi terbentuk ketika suatu cairan yang tidak saling melarut (immiscible) terpecah menjadi tetesan (droplet) dan terdispersi ke cairan immiscible lainnya dengan bantuan surfaktan (Hasenhuettl, 2000; Riman, 1992). Menurut Williams dan Simons (1992) penambahan emulsifier ke suatu sistem koloid bertujuan untuk mempertinggi kestabilan dispersi fasa-fasa (dengan cara mengurangi tegangan antar permukaan) dan meningkatkan stabilitas produk terdispersi (emulsi) lebih lama. Emulsifier membentuk lapisan tipis yang akan menyelimuti partikel-partikel teremulsi dan mencegah partikel tersebut bergabung dengan partikel sejenisnya. Walaupun demikian, suatu sistem emulsi memiliki kecenderungan untuk saling memisah. Hal ini disebabkan karena fasa terdispersi dan pendispersinya merupakan bahan-bahan yang saling tidak melarut akibat adanya perbedaan polaritas.

95 73 Pengukuran kestabilan emulsi memberikan kisaran 0,8 hingga 18,2 persen. Rekapitulasi hasil analisis kestabilan emulsi MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menstabilkan emulsi pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa kestabilan emulsi MES disajikan pada Lampiran 13. Berdasarkan hasil pengujian kestabilan emulsi, dapat disimpulkan bawah surfaktan MES yang dihasilkan bersifat sebagai pengemulsi dengan kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fluida formasi reservoir yang cukup baik hingga pada kisaran dyne/cm. Penurunan nilai tegangan antarmuka yang sangat berarti ini menunjukkan kemampuan surfaktan MES untuk mengemulsi fluida cukup baik Viskositas Hasil analisis viskositas sampel surfaktan MES dengan kombinasi perlakuan udara kering dan ph memberikan kisaran nilai 22,95 hingga 139,2 cp. Rekapitulasi hasil analisis viskositas MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas surfaktan MES, sedangkan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap viskositas surfaktan MES. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada ph menunjukkan bahwa taraf ph 6 berbeda nyata dengan taraf ph 8, namun masing-masingnya tidak berbeda nyata dengan taraf ph 7. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa setiap taraf udara kering berbeda nyata terhadap viskositas surfaktan MES pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa viskositas MES disajikan pada Lampiran 13. Viskositas sampel surfaktan MES terendah dimiliki pada kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan ph 6, sementara viskositas tertinggi pada kombinasi udara kering 0 kg/jam dan ph 8. Histogram viskositas surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph disajikan pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22

96 74 terlihat bahwa semakin banyak udara kering yang ditambahkan ke reaktor maka viskositas semakin menurun. Sementara peningkatan nilai ph sampel surfaktan MES memperlihatkan kecenderungan viskositas semakin meningkat. Diduga tanpa penambahan udara kering terjadi oversulfonated terhadap metil ester sehingga kekentalan surfaktan yang dihasilkan semakin tinggi, sementara saat dilakukan penambahan udara kering maka akan mengencerkan kepekatan gas SO 3 dan menurunkan kemungkinan terjadinya sulfonasi berlebih sehingga kekentalan menjadi berkurang. Viskositas (cp) ph 0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam Gambar 22. Viskositas surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph Semakin banyak udara kering yang ditambahkan menyebabkan viskositas sampel surfaktan MES menjadi semakin rendah. Diduga hal ini terjadi karena tanpa penambahan udara kering, konsentrasi reaktan gas SO 3 yang masuk ke reaktor sulfonasi menjadi lebih pekat dibanding adanya penambahan udara kering, sebagai akibatnya terjadi sulfonasi berlebih terhadap metil ester olein yang mampu memutus ikatan rangkap lebih banyak pada rantai karbon. Dengan semakin berkurangnya ikatan rangkap pada rantai karbon, menyebabkan titik cair sampel meningkat sehingga terlihat perubahan fisik sampel dari cair menjadi lebih kental yang ditunjukkan dengan semakin tingginya nilai viskositas. Sementara semakin banyak udara kering yang ditambahkan menyebabkan kepekatan konsentrasi gas SO 3 semakin berkurang sehingga kemampuan SO 3 untuk mengadisi ikatan rangkap makin rendah, makin sedikit ikatan rangkap yang terputus. Ikatan rangkap yang lebih banyak menyebabkan titik cair sampel

97 75 menjadi lebih rendah yang berdampak pada kekentalan sampel semakin rendah pada suhu ruang Analisa Warna Hasil analisis warna sampel surfaktan MES menggunakan metoda Klett dengan kombinasi perlakuan udara kering dan ph memberikan kisaran nilai 162,3 hingga 607,5. Rekapitulasi hasil analisis warna MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Beberapa sampel MES yang dihasilkan memiliki warna gelap sesuai dengan yang disebutkan MacArthur et al. (2002), yaitu lebih dari 400 klett. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan ph sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap warna surfaktan MES. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada ph menunjukkan bahwa taraf ph 6 dan 7 berbeda nyata dengan ph 8. Sementara uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa taraf udara kering 0 kg/jam berbeda nyata dengan udara kering 1,8 dan 3,6 kg/jam terhadap warna surfaktan MES pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa warna MES disajikan pada Lampiran 13. Warna sampel surfaktan MES terendah dimiliki sampel dengan kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan ph 8, sementara warna tertinggi pada kombinasi udara kering 0 kg/jam dan ph 6. Histogram warna surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph disajikan pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa semakin banyak udara kering yang dialirkan ke reaktor maka warna surfaktan MES cenderung semakin menurun. Diduga tanpa penambahan udara kering terjadi oversulfonated terhadap metil ester sehingga warna surfaktan yang dihasilkan semakin tinggi (lebih gelap), sedangkan saat dilakukan penambahan udara kering maka udara yang ditambahkan akan mengencerkan kepekatan gas SO 3 dan menurunkan kemungkinan terjadinya sulfonasi berlebih akibat reaktifitas gas SO 3 yang mengalami penurunan saat bereaksi dengan metil ester sehingga menghasilkan produk MES yang tidak terlalu gelap. Sementara peningkatan nilai ph sampel surfaktan MES memperlihatkan kecenderungan semakin menurunnya warna sampel surfaktan MES.

98 76 Warna (klett) kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam Gambar 23. Warna surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan ph ph Menurut Yamada dan Matsutani (1996), ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa pemberi warna yang menyebabkan perubahan warna ME dari kuning menjadi merah. Pada penelitian ini bahan baku olein yang digunakan memiliki asam lemak oleat 43,99%, asam lemak linoleat sekitar 11,89% dan asam lemak linolenat 0,85%. Menurut Ketaren (1986), asam lemak linoleat dan linolenat memiliki struktur ikatan rangkap terkonjugasi. Ketika gas SO 3 ditambahkan, selain menyerang atom Cα ternyata SO 3 juga memiliki kemampuan untuk menyerang ikatan rangkap sebagaimana disebutkan oleh Foster (1997). Semakin pekat konsentrasi gas SO 3 yang ditambahkan, menyebabkan kemungkinan terbentuknya senyawa polisulfonat juga semakin besar dan ditambah dengan kondisi oversulfonated yang terjadi sehingga warna gelap pada produk hasil sulfonasi juga semakin meningkat. Penambahan udara kering berdampak pada semakin rendahnya konsentrasi gas SO 3. Rendahnya konsentrasi gas SO 3 yang diinputkan ke reaktor menyebabkan kemampuan SO 3 untuk mengadisi ikatan rangkap terkonjugasi juga semakin rendah, sehingga semakin sedikit senyawa polisulfonat yang terbentuk dan kemungkinan terjadinya oversulfonated semakin kecil. Hal ini tergambarkan dari nilai warna surfaktan MES yang semakin rendah dengan semakin meningkatnya udara kering yang ditambahkan.

99 Uji FTIR (Fourier Transform Infrared) Pengujian (deteksi) kandungan senyawa berdasarkan gugus fungsinya menggunakan spektroskopi Infra Red (IR) telah banyak dilakukan, diantaranya seperti kandungan sabun dalam minyak hasil pemurnian (Mirghani et al., 2002), kadar air pada CPO (Che Man dan Mirghani, 2000), validasi hasil analisis bilangan iod minyak lemak (Sedman et al., 1998), dan kandungan residu cleaning agent pada permukaan (Biwald dan Gavlick, 1997). Oleh karena itu pada pengujian MES secara kualitatif dilakukan pula pengujian spektroskopi Infra Red dengan tujuan untuk mendeteksi dan membuktikan keberadaan gugus sulfonat pada MES yang dihasilkan. Pengujian IR sampel surfaktan dilakukan terhadap sampel MES yang memberikan hasil tegangan antarmuka terendah yaitu sampel dengan penambahan udara kering 1,8 kg/jam dengan ph 8, yang dibandingkan dengan metil ester olein. Ester (C=O) dikarakterisasi pada bilangan gelombang (s) cm -1 dan asam karboksilat pada bilangan gelombang cm -1 ( Asam karboksilat dan turunannya dideteksi pada bilangan gelombang cm -1 untuk O-H, cm -1 untuk C=O (Hbonded), cm -1 untuk ester, cm -1 untuk C-H deformasi, dan cm -1 untuk CH 2 rocking ( Pendeteksian gugus fungsi sulfonat, sulfon dan disalt disajikan pada Tabel 13. Hasil uji FTIR metil ester olein dan MES hasil terbaik (kombinasi udara kering 1,8 kg/jam dan ph 8) pada rentang bilangan gelombang cm -1 disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan hasil FTIR untuk metil ester olein terlihat bahwa tidak terindentifikasi keberadaan gugus OH pada rentang bilangan gelombang cm -1, hal ini mengkonfirmasi kualitas metil ester yang dihasilkan cukup baik dengan kandungan air yang sangat rendah. Sementara bila dibandingkan dengan hasil FTIR MES, terlihat bahwa teridentifikasi keberadaan gugus OH pada rentang bilangan gelombang 3464,15 cm -1. Hingga rentang bilangan gelombang 1750 cm -1 hasil FTIR ME olein terlihat sama dengan MES, sementara perbedaan antara hasil FTIR ME olein dan MES terlihat pada rentang bilangan gelombang cm -1.

100 78 Tabel 13. Pendeteksian gugus fungsi sulfonat, sulfon dan disalt Bilangan Gelombang Dugaan Gugus (cm -1 ) Fungsi/Senyawa O-H a) S=O yang simetris dan tak simetris a) , Sulfonat ionik b) , , Sulfonat c) , , Sulfon c) , 1055 Garam asam sulfonat (disalt) c) Sumber : a) Mukherji et al. (1985), b) Pecsok et al. (1976), c) Bruno dan Svonoros (2003). Berdasarkan Gambar 24, terlihat bahwa hasil FTIR MES menunjukkan adanya perbedaan puncak-puncak yang terbentuk dibanding hasil FTIR ME olein pada bilangan gelombang 1566,20 cm -1, 1172,72 cm -1, 1049,28 cm -1, 968,27 cm -1, 775,38 cm -1, 632,65 cm -1, dan 532,35 cm -1. Hasil identifikasi puncak-puncak pada hasil FTIR MES diketahui bahwa senyawa sulfonat teridentifikasi pada bilangan gelombang 1566,20; 1357,89 dan 1172,72 cm -1, senyawa sulfon teridentifikasi pada 1014,56 cm -1, senyawa disalt teridentifikasi pada 1049,28 cm - 1 sementara senyawa sulfat teridentifikasi pada bilangan gelombang 968,27 cm -1. Pada rentang bilangan gelombang 775,38 cm -1 dan 632,65 cm -1 teridentifikasi terjadinya deformasi C-H, yang diduga sebagai akibat dari putusnya ikatan rangkap. Hasil FTIR ini menguatkan dugaan bahwa selama proses sulfonasi berlangsung selain terbentuk gugus sulfonat pada Cα juga terbentuk senyawa polisulfonat akibat ikatan rangkap mengalami pemutusan menjadi ikatan jenuh dan disalt hingga akhirnya secara bersama-sama mempengaruhi karakteristik surfaktan MES yang dihasilkan.

101 79 MES Sulfonat Sulfon Sulfat C-H deformasi Disalt ME Olein OH C-C Ester Gambar 24. Perbandingan hasil uji FTIR metil ester olein dan MES terbaik pada rentang bilangan gelombang cm -1

102 Formulasi Surfaktan MES pada Proses Enhanced Oil Recovery Pada tahapan formulasi surfaktan berbasis MES untuk EOR dilakukan penentuan konsentrasi surfaktan MES, penentuan salinitas optimal, penentuan jenis dan konsentrasi aditif, dan penentuan co-surfaktan. Hasil terbaik pada masing-masing tahapan yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka minyakair terendah digunakan pada tahapan formulasi Penentuan Konsentrasi Surfaktan MES Penentuan nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan beberapa konsentrasi surfaktan MES dilakukan dengan melarutkan surfaktan menggunakan air injeksi. Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi pada penambahan surfaktan MES memberikan kisaran nilai 4,19x10-1 1,03x10-2 dyne/cm. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi pada penambahan berbagai konsentrasi surfaktan MES disajikan pada Gambar 25. Dengan penambahan konsentrasi surfaktan MES pada air injeksi dihasilkan kisaran nilai tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm, dimana tegangan antarmuka terendah dicapai sebesar 1,03x10-2 dyne/cm pada konsentrasi 0,3%. Data nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan surfaktan MES pada beberapa konsentrasi disajikan pada Lampiran 14. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 4.50E E E E E E E E E E Konsentrasi MES (%) Gambar 25. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES pada berbagai konsentrasi

103 81 Pembentukan misel merupakan fenomena penting karena fenomena antarmuka seperti deterjensi, solubilisasi, penurunan tegangan permukaan ataupun antarmuka dipengaruhi oleh keberadaan misel dalam larutan. Konsentrasi dimana fenomena ini terjadi disebut critical micelle concentration (CMC). Pembentukan misel merupakan mekanisme adsorpsi pada antarmuka untuk menjauhkan kontak gugus hidrofobik dari air sehingga dapat menurunkan energi bebas pada sistem. Berdasarkan pada tampilan grafik pada Gambar 25 diperkirakan bahwa titik kritis terbentuknya misel adalah pada konsentrasi MES 0,1%, dimana terjadi penurunan tegangan antarmuka minyak-air dari 4,19x10-1 dyne/cm sebelum ditambahkan surfaktan hingga menjadi 1,73x10-2 dyne/cm setelah penambahan surfaktan MES konsentrasi 0,1%. Penambahan konsentrasi surfaktan MES makin menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga 1,03x10-2 dyne/cm pada konsentrasi 0,3%. Untuk aplikasi EOR disyaratkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah, karenanya konsentrasi surfaktan MES yang dipilih untuk diformulasikan dengan aditif lainnya adalah 0,3%. Pertimbangan lainnya adalah untuk menjaga agar konsentrasi surfaktan tetap lebih tinggi dari 0,1% dalam larutan surfaktan karena adanya efek adsorpsi permukaan oleh batuan core pada proses aplikasi EOR Penentuan Salinitas Optimal Untuk mendapatkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah diperlukan salinitas yang optimal (Healy dan Red, 1974). Optimal dalam arti kata mampu memberikan penurunan nilai tegangan antarmuka terendah. Berdasarkan hal tersebut maka penentuan salinitas optimal dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh salinitas terhadap kinerja surfaktan MES yang dihasilkan. Salinitas air injeksi yang digunakan adalah sekitar 7300 ppm, yang kemudian pada pengujian salinitas optimal dilakukan penambahan garam. Berdasarkan pengujian yang dilakukan terlihat bahwa surfaktan MES yang dihasilkan relatif tahan terhadap salinitas tinggi dengan kisaran nilai tegangan antarmuka minyak-air 1,63x10-2 hingga 8,30x10-3 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis penentuan salinitas optimal disajikan pada Lampiran 15. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap nilai

104 82 tegangan antarmuka. Sidik ragam hasil analisa tegangan antarmuka pada beberapa taraf salinitas disajikan pada Lampiran 16. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas disajikan pada Gambar 26. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 1.8E E E E E E E E E E Salinitas (ppm) Gambar 26. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka yang cukup besar diperoleh setelah dilakukan penambahan konsentrasi NaCl pada larutan surfaktan MES. Nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan sebelum penambahan NaCl adalah 1,63x10-2 dyne/cm, dan berubah menjadi 8,92x10-3 dyne/cm pada konsentrasi NaCl 5000 ppm. Abu-Sharkh (2003) menyatakan bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka yang sangat tajam dapat diperoleh melalui peningkatan konsentrasi NaCl. Penurunan nilai tegangan antarmuka yang terjadi setelah penambahan NaCl dapat dijelaskan sebagai berikut : larutan NaCl selain merupakan eletrolit kuat yang bila terlarut dalam air akan terurai sempurna menjadi ion Na + dan Cl -, juga mempunyai gerak brown di permukaan yang lebih besar dari gerak brown pada air (Bowles, 1984). Gerak brown ialah gerakan partikel-partikel koloid yang senantiasa bergerak lurus tapi tidak menentu (gerak acak/tidak beraturan). Partikel-partikel suatu zat senantiasa bergerak, dan gerakan tersebut dapat bersifat acak seperti pada zat cair dan gas.

105 83 Kondisi ini ditambah dengan keberadaan ion-ion elektrolit kuat menambah gaya tarik antar partikel sehingga ikatan antar partikel menjadi lebih rapat dan semakin kuat. Larutan surfaktan menjadi semakin misscible dengan fluida reservoir yang diujikan yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya tegangan antarmuka antar fluida (minyak-air). Pada Gambar 26 terlihat bahwa pada salinitas ppm merupakan salinitas optimal untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak-air akibat penggunaan surfaktan MES. Pada konsentrasi ppm, elektrolit dari NaCl yang ditambahkan mampu menstabilkan mikroemulsi sehingga tegangan antarmuka terendah dapat dicapai. Penambahan salinitas lebih tinggi dari ppm tidak menyebabkan nilai tegangan antarmuka surfaktan MES menjadi lebih rendah daripada nilai yang dicapai pada ppm. Sebagaimana dinyatakan oleh Healy dan Reed (1974) bahwa peningkatan salinitas yang lebih tinggi dari kondisi salinitas optimal akan menyebabkan peningkatan nilai IFT. Meskipun nilai tegangan antarmuka minyak-air akibat penggunaan surfaktan MES berfluktuasi namun kecenderungan yang terlihat adalah terjadi penurunan meskipun tidak akan lebih rendah daripada nilai pada salinitas optimal. Hal ini disebabkan karena penambahan konsentrasi NaCl memiliki batasan, dimana dengan semakin meningkatnya NaCl yang ditambahkan maka akan membentuk HCl dan RSO 3 Na sehingga menjadi zat bukan aktif permukaan dan akibatnya tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Peningkatan salinitas berdampak pada peningkatan densitas larutan surfaktan MES sebagaimana terlihat pada Gambar 27. Penambahan air injeksi menghasilkan larutan MES 0,3% dengan nilai densitas 0,9907 g/cm 3, terjadi kenaikan densitas dibandingkan densitas surfaktan MES sebesar 0,9769 g/cm 3, dan pada penambahan salinitas kelipatan 5000 ppm dihasilkan densitas dengan kisaran nilai 0,9959 hingga 1,0328 g/cm 3. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh sangat nyata terhadap nilai densitas (Lampiran 16). Semakin banyak penambahan konsentrasi NaCl yang dilakukan semakin tinggi nilai densitas yang dihasilkan. Peningkatan densitas larutan surfaktan ini berimplikasi pada makin meningkatnya perbedaan densitas antara minyak dan larutan surfaktan pada saat pengukuran nilai tegangan antarmuka

106 84 menggunakan Spinning Drop Tensiometer. Perbedaan densitas (density difference) antara dua fasa ini menyebabkan nilai tegangan antarmuka yang terukur menjadi makin meningkat dengan mengikuti persamaan Y = ¼ x ω 2 x D 3 x p, dengan syarat : (L/D >= 4), dimana y = tegangan antarmuka (dyne/cm), ω = kecepatan angular (s -1 ), D = radius droplet pada axis (cm) dan p = perbedaan densitas antara dua fasa (g/cm 3 ) Densitas (g/cm3) Salinitas (ppm) Gambar 27. Densitas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Peningkatan salinitas ternyata berdampak pada nilai ph yang cenderung mengalami penurunan sebagaimana terlihat pada Gambar 28. Sebelum penambahan garam nilai ph larutan MES 0,3% dalam air injeksi adalah 9,27. Nilai ini kemudia mengalami penurunan hingga diperoleh ph 8,95 pada salinitas ppm. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap nilai ph (Lampiran 16). Secara umum, penambahan salinitas berdampak pada kecenderungan peningkatan nilai viskositas larutan surfaktan MES baik pada suhu pengukuran 30 maupun 70 o C. Pada suhu 30 o C viskositas larutan surfaktan MES pada berbagai salinitas berkisar 1,02 hingga 1,25 cp, dan pada suhu 70 o C berkisar 0,63 hingga 0,71 cp. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap nilai viskositas larutan surfaktan pada suhu pengukuran 30 dan 70 o C (Lampiran 16). Peningkatan viskositas larutan surfaktan MES pada penambahan

107 85 garam untuk suhu 30 dan suhu 70 o C disajikan pada Gambar 29. Bila dibandingkan nilai viskositas antara pengukuran suhu 30 dan 70 o C pada kondisi salinitas yang sama, terlihat bahwa semakin tinggi suhu pengukuran maka nilai viskositas mengalami penurunan, sebagaimana disebutkan oleh Abu-Sharkh et al. (2003). Viskositas berkorelasi linier terhadap suhu dan karakteristik lainnya seperti fluiditas, tegangan permukaan, sebagaimana disebutkan oleh Fisher (1998) ph Salinitas (ppm) Gambar 28. Nilai ph larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Viskositas (cp) oc 70 oc Salinitas (ppm) Gambar 29. Viskositas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas

108 Pemilihan Aditif Penambahan aditif berupa alkali bermanfaat untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak dan air (Nedjhioui et al., 2005). Untuk itu pada penelitian ini dilakukan penambahan dua jenis aditif (alkali) yaitu NaOH dan Na 2 CO 3 dengan konsentrasi 0,1-0,6 persen. NaOH merupakan basa kuat sementara Na 2 CO 3 merupakan garam yang terbentuk dari asam lemah (H 2 CO 3 ) dan basa kuat (NaOH). Pada Gambar 30 dan 31 disajikan beberapa contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambahi NaOH dan Na 2 CO 3 pada berbagai konsentrasi. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa kedua jenis aditif larut sempurna dan tidak terbentuk endapan dalam larutan surfaktan untuk semua penambahan konsentrasi aditif yang dilakukan. Gambar 30. Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah NaOH Gambar 31. Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah Na 2 CO 3 Dari hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air, pada penambahan NaOH dihasilkan nilai tegangan antarmuka dengan kisaran nilai 2,85x10-1 hingga 2,21x10-2 dyne/cm, sementara dengan penambahan Na 2 CO 3

109 87 dihasilkan kisaran nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah yaitu 1,06x10-2 hingga 6,97x10-3 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis pemilihan aditif disajikan pada Lampiran 17. Hasil sidik ragam menunjukkan jenis dan konsentrasi aditif berpengaruh sangat nyata terhadap nilai tegangan antarmuka (Lampiran 18). Berdasarkan nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan, disimpulkan bahwa aditif yang sesuai untuk surfaktan MES adalah Na 2 CO 3. Konsentrasi Na 2 CO 3 optimal yang ditambahkan adalah 0,3% dengan nilai tegangan antarmuka 6,97x10-3 dyne/cm, lebih rendah dibanding nilai tegangan antarmuka terbaik sebelum penambahan aditif sebesar 8,3x10-3 dyne/cm. Penambahan konsentrasi aditif lebih tinggi dari 0,3% tidak berdampak pada penurunan nilai tegangan antarmuka, bahkan mengalami kenaikan dibanding konsentrasi optimal. Grafik pengaruh konsentrasi NaOH dan Na 2 CO 3 terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES pada salinitas ppm disajikan pada Gambar 32. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 1.00E E E E NaOH Na2CO3 Konsentrasi Aditif (%) Gambar 32. Tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES dan salinitas ppm pada berbagai konsentrasi aditif Pada Tabel 14 disajikan tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan aditif pada berbagai konsentrasi. Berdasarkan tampilan droplet tersebut terlihat bahwa nilai tegangan antarmuka merupakan fungsi dari lebar droplet minyak sebagai akibat dari kinerja larutan surfaktan. Semakin pendek lebar drop minyak maka dapat dipastikan nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan semakin rendah.

110 88 Tabel 14. Tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka dengan penambahan aditif Jenis Konsentrasi (%) Aditif 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 NaOH Na 2 CO 3 Menurut Lakatos-Szabo dan Lakatos (1999), minyak bumi merupakan campuran hidrokarbon dan asam karboksilat organik yang direpresentasikan sebagai asam HA. Asam HA ini mendistribusi diri diantara fasa minyak dan fasa larutan surfaktan dan alkali. Korelasi antara nilai tegangan antarmuka terhadap konsentrasi surfaktan dengan keberadaan alkali dapat dijelaskan sebagai berikut : ketika terjadi kontak antara fasa larutan dan minyak, alkali dalam fasa larutan dan asam organik (HA) dalam fasa minyak akan berpindah menuju antarmuka, bereaksi dan menghasilkan senyawa aktif permukaan (petroleum soap) sehingga nilai tegangan antarmuka menjadi turun. Penambahan aditif menyebabkan terjadinya peningkatan nilai ph larutan surfaktan MES sebagaimana terlihat pada Gambar 33. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi aditif berpengaruh sangat nyata terhadap nilai ph (Lampiran 18). NaOH merupakan basa kuat yang memiliki nilai ph 14. Ketika basa kuat ini dilarutkan dalam larutan surfaktan dan fluida reservoir yang memiliki nilai ph berkisar 8, maka terjadi kenaikan nilai ph hingga berkisar 10,89 12,66. Sementara Na 2 CO 3 merupakan garam yang terbentuk dari asam lemah (H 2 CO 3 ) dan basa kuat (NaOH) sehingga memiliki nilai ph berkisar 10, sehingga ketika Na 2 CO 3 direaksikan dengan larutan surfaktan dan fluida formasi dihasilkan kisaran ph 9,52 10,16. Tinggi rendahnya nilai ph larutan surfaktan diduga berkaitan dengan tinggi rendahnya nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan. Nilai ph larutan surfaktan yang lebih tinggi akibat penambahan NaOH dibanding pada penambahan Na 2 CO 3

111 89 menyebabkan nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Nilai ph NaOH Na2CO3 Konsentrasi aditif (%) Gambar 33. Nilai ph larutan MES dengan salinitas ppm pada berbagai konsentrasi aditif Penambahan aditif juga menyebabkan densitas larutan surfaktan mengalami peningkatan sebagaimana disajikan pada Gambar 34. Pada penambahan NaOH dihasilkan kisaran densitas 1,0026 hingga 1,0075 g/cm 3, sementara pada penambahan Na 2 CO 3 dihasilkan kisaran densitas 1,0013 hingga 1,0054 g/cm 3 (Lampiran 17). Sidik ragam pengaruh jenis dan konsentrasi aditif terhadap densitas formula disajikan pada Lampiran 18. Penambahan NaOH menyebabkan kenaikan densitas yang lebih besar dibanding penambahan Na 2 CO 3. Faktor densitas merupakan parameter penting dalam penghitungan nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan yang dihasilkan, karena berkaitan dengan selisih densitas (density difference) antara densitas larutan surfaktan dengan densitas minyak bumi (0,85174 g/cm 3 ). Nilai selisih densitas yang lebih kecil cenderung menghasilkan nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah.

112 Densitas (g/cm3) NaOH Na2CO Konsentrasi aditif (%) Gambar 34. Densitas larutan MES dengan salinitas ppm pada berbagai konsentrasi aditif Pemilihan Co-Surfaktan Pemilihan co-surfaktan dilakukan terhadap 14 surfaktan komersial yang terdiri atas satu surfaktan kationik, tiga surfaktan anionik dan 10 surfaktan nonionik. Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan melarutkan surfaktan komersial 0,3% di air formasi dari lapangan minyak dan air injeksi. Sebagai perbandingan, surfaktan yang sama dilarutkan pula dalam air demineralisasi dan diukur nilai tegangan antarmukanya dengan menggunakan jenis minyak yang sama. Hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka surfaktan komersial pada air formasi menunjukkan kisaran nilai 6,54x10-1 hingga 1,43x10-2 dyne/cm, pada air injeksi berkisar 1,22x10-1 hingga 1,61x10-2 dyne/cm, sementara pada air demineralisasi berkisar 8,52x10-1 hingga 3,61x10-2 dyne/cm sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Rekapitulasi hasil analisis nilai tegangan antarmuka minyak-fluida setelah penambahan beberapa surfaktan komersial disajikan pada Lampiran 19. Secara berturut-turut, nilai tegangan antarmuka minyak-air demineralisasi lebih besar dibandingkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi dan minyak-air injeksi. Secara umum, surfaktan komersial yang dilarutkan dalam air formasi memiliki nilai tegangan antarmuka minyak-air yang lebih rendah. Sebagaimana disajikan pada Lampiran 13, air formasi mengandung ion Cl - sebanyak

113 91 ppm sedangkan air injeksi mengandung ion Cl - sebanyak ppm. Ion Cl - pada air formasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan air injeksi diduga menyebabkan lebih rendahnya nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi. Tabel 15. Perbandingan nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi (AF), air injeksi (AI) dan air demineralisasi (AD) Kode Nama Kimia Jenis Nilai IFT (dyne/cm) AF AI AD SK05 Alkyl Polyglicoside C 12 Nonionik 1,91x10-2 9,25x10-2 4,98x10-2 SK06 Alkyl Polyglicoside C 8 Nonionik 4,13x10-2 8,32x10-2 1,26x10-1 SK10 C10 Alkoxylated 7 Nonionik 6,54 x10-1 8,57x10-3 6,26x10-1 SK13 Dietanolamida Nonionik 1,43x10-2 1,61x10-2 3,61x10-2 SK15 Alcohol ethoxylate 7 EO Nonionik 1,17x10-1 1,16x10-1 2,02x10-1 SK24 Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Anionik 6,04x10-2 6,25x10-2 6,03x10-1 SK25 Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Anionik 6,79x10-2 7,86x10-2 8,52x10-1 SK26 Dodecyl benzene sulfonic acid Anionik 5,90x10-2 5,11x10-2 4,91x10-1 SK27 Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonionik 8,59x10-2 1,22x10-1 1,14x10-1 SK28 Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Nonionik 8,94x10-2 1,02x10-1 1,41x10-1 SK33 Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Kationik 2,60x10-2 3,60x10-2 2,68x10-1 SK38 Secondary C 12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 3,74 x10-2 2,16x10-2 8,02x10-1 SK39 Secondary C 12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 6,55x10-1 3,40x10-2 6,66x10-1 SK50 Alkyl Polyglicoside C Nonionik 8,00x10-2 9,25x10-2 1,41x10-1 Berdasarkan data nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan surfaktan komersial yang dilarutkan dalam air formasi, diketahui bahwa 12 surfaktan komersial memiliki kisaran nilai tegangan antarmuka minyakair 10-2 dyne/cm, sementara 3 surfaktan komersial lainnya memiliki kisaran 10-1 dyne/cm. Tiga surfaktan komersial yang memiliki nilai tegangan antarmuka minyak-air terendah yaitu SK05 (1,91x10-2 dyne/cm), SK13 (1,43x10-2 dyne/cm) dan SK33 (2,60x10-2 dyne/cm).

114 Beberapa Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan untuk EOR Formula-formula surfaktan berbasis MES didapatkan dengan melakukan kombinasi antara surfaktan MES, surfaktan komersial, salinitas optimal, dan konsentrasi aditif terbaik yang diperoleh pada tahapan penelitian sebelumnya. Surfaktan MES yang digunakan adalah 0,3%, surfaktan komersial yang dipilih yaitu SK05, SK13 dan SK33 dengan konsentrasi masing-masing 0,3%, salinitas optimal terpilih adalah ppm, dan aditif terbaik yang digunakan adalah Na 2 CO 3 dengan konsentrasi 0,3%. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa formula berbasis MES yang dihasilkan disajikan pada Gambar 35. Nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan disajikan pada Lampiran 20. Berdasarkan Gambar 35, terlihat bahwa pada kombinasi formula surfaktan MES, salinitas ppm dan Na 2 CO 3 0,3% menghasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air paling rendah yaitu 6,97x10-3 dyne/cm (Formula 7) dibandingkan dengan semua formula berbasis MES lainnya. Nilai tegangan antarmuka minyak-air terendah kedua diperoleh ketika surfakan MES hanya dikombinasikan dengan salinitas ppm saja (Formula 5). Ketika surfaktan MES hanya dikombinasikan dengan aditif Na 2 CO 3 saja nilai tegangan antarmukanya menjadi lebih tinggi dibanding jika ditambahkan salinitas. Saat surfaktan MES dikombinasikan dengan surfaktan komersial SK05 dan SK13, nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan formula yang diperoleh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan komersial saja. Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan kombinasi surfaktan MES dengan SK05 dan SK13 juga mengalami penurunan ketika dilakukan penambahan garam dan aditif Na 2 CO 3. Hal ini diduga karena surfaktan MES yang bersifat anionik (memiliki muatan negatif) ketika direaksikan dengan surfaktan SK05 dan SK13 yang bersifat nonionik (tidak bermuatan) maka tidak terjadi reaksi antagonis antar molekulnya. Surfaktan MES malah berfungsi meningkatkan kinerja surfaktan nonionik dalam fluida formasi sehingga nilai tegangan antarmuka surfaktan nonionik menjadi lebih rendah ketika dikombinasikan dengan surfaktan MES.

115 93 Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 1.00E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E Formula Ket. 1 = MES 11 = MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl ppm+na 2CO 3 0,3% 2 = SK05 12 = MES 0,3%+SK13 0,3% 3 = SK13 13 = MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl ppm 4 = SK33 14 = MES 0,3%+SK13 0,3%+ Na 2CO 3 0,3% 5 = MES 0,3%+NaCl ppm 15 = MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl ppm+na 2CO 3 0,3% 6 = MES 0,3%+Na 2CO 3 0,3% 16 = MES 0,3%+SK33 0,3% 7 = MES 0,3%+NaCl ppm+na 2CO 3 0,3% 17 = MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl ppm 8 = MES 0,3%+SK05 0,3% 18 = MES 0,3%+SK33 0,3%+ Na 2CO 3 0,3% 9 = MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl ppm 19 = MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl ppm+na 2CO 3 0,3% 10 = MES 0,3%+SK05 0,3%+ Na 2CO 3 0,3% Gambar 35. Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan formula berbasis MES, salinitas ppm dan Na 2 CO 3 0,3% dengan variasi surfaktan komersial Pada saat surfaktan MES dikombinasikan dengan SK33 terjadi peningkatan nilai tegangan antarmuka baik ketika tanpa penambahan ataupun dengan penambahan garam ppm dan Na 2 CO 3. Hal ini karena ketika surfaktan MES yang bersifat anionik (bermuatan negatif) dikombinasikan dengan surfaktan SK33 yang bersifat kationik (bermuatan positif) terjadi reaksi antagonis yang saling berlawanan antara molekul sehingga kinerja surfaktan dalam

116 94 menurunkan tegangan antarmuka fluida menjadi rendah, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa surfaktan komersial yang diujikan tidak tahan terhadap salinitas tinggi, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi dibanding surfaktan MES yang memiliki nilai tegangan antarmuka lebih rendah ketika diujikan pada fluida reservoir. Karenanya, ketika surfaktan MES dikombinasikan dengan surfaktan komersial, nilai tegangan antarmuka fluida (minyak-air) yang diperoleh lebih tinggi dibanding penggunaan surfaktan MES tunggal dalam formula setelah ditambahi aditif. Untuk tahapan pengujian kinerja formula yang terpilih adalah formula surfaktan MES konsentrasi 0,3% dengan penambahan NaCl ppm dan Na 2 CO 3 0,3% Uji Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES untuk Aplikasi pada EOR Untuk menentukan formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan dapat digunakan pada aplikasi enhanced oil recovery, maka perlu dilakukan uji kinerja formula surfaktan. Tahapan uji yang dilakukan meliputi uji kompatibilitas, uji kelakuan fasa, uji filtrasi, uji ketahanan terhadap panas, uji adsorpsi dan uji core Uji Kompatibilitas Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara surfaktan dengan air formasi dari suatu reservoir. Terdapat tiga kemungkinan yang akan terjadi pada pencampuran surfaktan dengan air formasi, yaitu (a) larut sempurna, terbentuk campuran yang jernih, 1 fasa, (b) koloid, terbentuk campuran yang terlihat seperti air susu (milky), 1 fasa, dan (c) suspensi, terbentuk campuran 2 fasa, cairan dan padatan dimana butiran/gumpalan terlihat sangat jelas (Eni et al., 2010). Diharapkan campuran yang terbentuk adalah larutan sempurna atau koloid, sedangkan larutan berbentuk suspensi tidak diharapkan karena dikhawatirkan akan menyebabkan penyumbatan Karenanya ketika larutan surfaktan dan air formasi membentuk suspensi, berarti surfaktan tidak lolos (tidak kompatibel) dan dianggap tidak layak untuk reservoir yang bersangkutan.

117 95 Uji kompatibilitas dilakukan dengan melarutkan surfaktan MES 0,3% pada air formasi dan air injeksi, dan kemudian diamati perubahan yang terjadi pada larutan pada suhu reservoir. Hasil pengamatan uji kompatibiliti antara air formasi dan surfaktan MES disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 36. Hasil pengamatan uji kompatibilitas antara air injeksi dan surfaktan MES disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 37. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa surfaktan MES yang dilarutkan pada air formasi maupun air injeksi berbentuk larutan homogen (satu fasa) berwarna coklat muda terang (jernih), kelarutan tinggi, surfaktan larut sempurna, tidak terbentuk endapan atau gumpalan. Dapat disimpulkan bahwa formula surfaktan MES kompatibel dengan air formasi dan air injeksi. Adapun bahan mengapung yang teramati diduga merupakan komponen minyak yang terlarut dalam air formasi dan air injeksi akibat pengaruh sisa pengemulsi yang digunakan pada sumur minyak sebelumnya yang berhasil dikoagulasikan oleh surfaktan MES hingga akhirnya terpisah dan mengapung di bagian permukaan. Tabel 16. Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air formasi Hasil Pengamatan Pemanasan 12 jam Pemanasan 24 jam Awal Jenis (112 o C) (112 o C) No Pengamatan Saring Saring Saring Tanpa Tanpa Tanpa Saring Saring Saring mesh mesh mesh 1 Kelarutan Bahan Mengapung 3 Endapan Keterangan : = banyak sekali, ++++ = banyak, +++ = agak banyak, ++ = sedikit + = sangat sedikit, - = tidak ada. Tabel 17. Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air injeksi Hasil Pengamatan Pemanasan 12 jam Pemanasan 24 jam Awal Jenis (112 o C) (112 o C) No Pengamatan Saring Saring Saring Tanpa Tanpa Tanpa Saring Saring Saring mesh mesh mesh 1 Kelarutan Bahan Mengapung 3 Endapan Keterangan : = banyak sekali, ++++ = banyak, +++ = agak banyak, ++ = sedikit + = sangat sedikit, - = tidak ada.

118 96 Ket. (a) larutan surfaktan tanpa disaring (b) larutan surfaktan dengan disaring 500 mesh a b a b a b Awal Pemanasan 12 jam (112 o C) Pemanasan 24 jam (112 o C) Gambar 36. Tampilan larutan surfaktan MES-air formasi pada uji kompatibilitas a b a b a b Ket. (c) larutan surfaktan tanpa disaring (d) larutan surfaktan dengan disaring 500 mesh Awal Pemanasan 12 jam (112 o C) Pemanasan 24 jam (112 o C) Gambar 37. Tampilan larutan surfaktan MES-air injeksi pada uji kompatibilitas

119 Uji Kelakuan Fasa Pengamatan kelakuan fasa dilakukan dengan mencampurkan larutan surfaktan dan minyak dalam volume yang sama dalam tabung terukur, dan disimpan pada suhu reservoir hingga kesetimbangan dicapai (Syahrial, 2008). Perbedaan volume larutan surfaktan dan minyak secara visual digunakan untuk mengestimasi kelakuan fasa yang terbentuk. Pada Gambar 38 disajikan tampilan kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa volume air mengalami peningkatan walaupun sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Ulangan 1 Ulangan 2 Gambar 38. Hasil uji kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi pada suhu reservoir Uji Ketahanan terhadap Panas (Thermal Stability Test) Uji ketahanan terhadap panas dilakukan dengan memanaskan larutan surfaktan pada suhu reservoir 112 o C selama waktu tertentu di dalam oven. Secara berkala dilakukan pengamatan terhadap larutan dan pengukuran nilai tegangan antarmuka. Hasil pengamatan secara visual hingga pemanasan hari ke-

120 98 77 larutan surfaktan masih dalam bentuk satu fasa, namun terbentuk endapan putih pada bagian bawah tabung uji. Endapan putih di bagian bawah tabung tersebut mulai terlihat pada pemanasan hari ke-11. Namun, endapan yang terbentuk tidak bertambah dengan semakin lamanya pemanasan. Pada Gambar 39 disajikan terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability. Tanpa endapan Pemanasan hari ke-1, suhu 112 o C Endapan Pemanasan hari ke-11, suhu 112 o C Gambar 39. Terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability Endapan putih yang terbentuk di bagian bawah tabung diduga merupakan ion Ca 2+ dan Mg 2+ yang terendapkan dalam bentuk CaCO 3(s). Hal ini terjadi akibat fluida formasi yang diujikan kesadahannya tinggi, sehingga ketika formula surfaktan berbasis MES yang mengandung Na 2 CO 3 dibuat, maka Na 2 CO 3 menjadi terlarutkan dalam fluida formasi. Diketahui bahwa pelarut Na 2 CO 3 ternyata berfungsi untuk membebaskan air dari kesadahan dengan adanya panas. Sebagai gambaran reaksi yang terjadi disajikan pada Gambar 40.

121 99 CaCl 2(aq) + Na 2 CO 3(aq) panas CaCO 3(s) + 2 NaCl (aq) Gambar 40. Reaksi pengendapan sadah Hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan pada suhu reservoir memperlihatkan terjadinya peningkatan nilai tegangan antarmuka minyak-air dari 6,97x10-3 dyne/cm sebelum pemanasan menjadi 2,87x10-2 dyne/cm pada pemanasan hari ke-2. Pada pengamatan hari selanjutnya nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan hingga pengamatan hari ke-48 dengan kisaran nilai 10-2 dyne/cm dan mulai mengalami peningkatan hingga hari ke-77 meskipun nilai tegangan antarmuka fluida masih berkisar pada 10-2 dyne/cm. Sebagai perbandingan, dilakukan pula pengukuran nilai tegangan antarmuka fluida pada pemanasan suhu 70 o C yang memperlihatkan terjadi peningkatan nilai tegangan antarmuka dari 6,97x10-3 dyne/cm sebelum pemanasan menjadi 6,99x10-3 dyne/cm pada pemanasan hari ke-2. Pada pengamatan hari selanjutnya nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan hingga pengamatan hari ke-14 (4,43x10-3 dyne/cm) dan mulai mengalami peningkatan hingga hari ke- 77 (3,46x10-2 dyne/cm). Hingga pemanasan hari ke-48 nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan yang dipanaskan pada suhu 70 o C bertahan pada kisaran 10-3 dyne/cm, dan menjadi 10-2 dyne/cm pada pengamatan hari berikutnya. Grafik perubahan nilai tegangan antarmuka fluida akibat pemanasan surfaktan disajikan pada Gambar 41. Rekapitulasi hasil pengamatan pengujian ketahanan larutan surfaktan terhadap panas disajikan pada Lampiran 21. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan terhadap pemanasan, maka dapat disimpulkan bahwa surfaktan lebih tidak stabil pada suhu tinggi, yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan surfaktan menjadi semakin meningkat. Meskipun demikian, formula sufaktan yang dikembangkan relatif tahan terhadap suhu reservoir yang tinggi. Hal ini diindikasikan dengan nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan formula surfaktan yang masih berkisar pada 10-3 dyne/cm pada pemanasan suhu 70 o C hingga hari ke-48, dan masih berkisar pada 10-2 dyne/cm hingga hari ke-77 pada pemanasan suhu 70 dan 112 o C.

122 100 Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 5.00E E E E E E E E E E E Lama Pemanasan (hari) 112 oc 70 oc Gambar 41. Perubahan nilai tegangan antarmuka akibat pemanasan Uji Filtrasi Uji filtrasi bertujuan untuk menentukan ada atau tidak kemungkinan terbentuknya presipitan oleh larutan surfaktan. Kehadiran presipitan ini perlu diketahui dari awal karena kehadirannya dikhawatirkan dapat menyumbat poripori batuan reservoir. Kehadiran presipitan ini ditandai dengan kurva lengkung pada plot volume terhadap waktu filtrasi (Syahrial, 2008). Proses filtrasi dilakukan terhadap air demineralisasi, air formasi dan larutan formula surfaktan MES yang masing-masing dilarutkan pada air demineralisasi dan air formasi dengan menggunakan empat jenis ukuran pori yaitu 500 mesh, µm, 0,45 µm dan 0,22 µm, dilakukan secara bertahap. Rekapitulasi hasil uji filtrasi air demineralisasi, air formasi dan larutan formula surfaktan dalam air demineralisasi dan air formasi disajikan pada Lampiran 22. Kemungkinan terjadinya presipitasi dilihat dari nilai filtration ratio (FR) yang dihasilkan, dimana semakin besar nilai FR maka kemungkinan terjadinya filtrasi akan semakin besar. Grafik perbandingan hasil uji filtrasi air demineralisasi, air formasi, dan larutan surfaktan dalam air demineralisasi dan air formasi pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi disajikan pada Gambar 42.

123 101 Filtration Ratio (FR) mesh µm 0,45 µm 0,22 µm Ukuran Pori Media Filtrasi AD AF Formula+AD Formula+AF Gambar 42. Nilai filtrasi rasio (FR) air demineralisasi (AD), air formasi (AF), dan larutan formula surfaktan pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi Berdasarkan Gambar 42 terlihat bahwa nilai FR air demineralisasi berkisar 1-2,19. Air demineralisasi merupakan pelarut murni yang telah dihilangkan kandungan mineral ataupun padatan terlarutnya, sehingga ketika dilewatkan pada berbagai media berpori dengan ukuran apapun cenderung tidak mengalami perlambatan. Nilai FR air formasi pada media 500 mesh dan µm cenderung tetap pada kisaran 1,2 namun mengalami peningkatan yang sangat drastis pada saat disaring menggunakan media filtrasi dengan ukuran pori 0,45 µm mencapai 9,53. Padatan terlarut di dalam air formulasi dapat dengan mudah melewati ukuran pori 500 mesh dan µm, namun mengalami hambatan pada 0,45 µm. Diduga ukuran partikel padatan terlarut dalam air formasi lebih besar dari 0,45 µm sehingga ketika disaring menggunakan ukuran pori 0,45 µm terjadi perlambatan akibat banyak padatan terlarut yang tertahan di permukaan pori-pori. Pada formula surfaktan yang dilarutkan dalam air demineralisasi dan air formasi, keduanya memiliki kecenderungan yang sama yaitu terjadi penurunan nilai FR dengan semakin kecil ukuran pori yang diujikan. Hal ini diduga disebabkan karena pada formula larutan surfaktan dan air demineralisasi serta larutan surfaktan dan air formasi terbentuk lapisan minyak di bagian atas permukaan larutan pada pengujian di suhu ruang, sehingga ketika pertama kali dilewatkan pada media 500 mesh sebagian besar minyak tersebut tertahan di pori-

124 102 pori yang menyebabkan terjadi perlambatan. Perlambatan yang terjadi semakin turun dengan semakin kecilnya ukuran pori-pori Uji Adsorpsi Adsorpsi ialah peristiwa penyerapan partikel atau ion atau senyawa lain pada permukaan partikel yang disebabkan oleh luasnya permukaan partikel. Uji ini bertujuan untuk melihat seberapa besar formula surfaktan mengalami penurunan kinerja akibat terjadinya penyerapan partikel surfaktan oleh core sintetik yang diujikan. Core sintetik yang digunakan dibuat dengan mencampurkan pasir kuarsa ukuran 35 mesh dengan semen dan air. Semen adalah suatu zat yang dapat menetapkan dan mengeraskan dengan bebas serta dapat mengikat material lain. Komponen utama semen adalah batu kapur/gamping yang sebagian besar tersusun oleh mineral kalsium karbonat (CaCO 3 ). Berdasarkan hal tersebut maka core sintetik yang dihasilkan diasumsikan dapat merepresentasikan native core batuan karbonat. Proses pembuatan core sintetik yaitu dengan mencampurkan pasir kuarsa ukuran 35 mesh dengan semen (25% dari jumlah pasir kuarsa) dan air (10% dari bobot total). Campuran bahan kemudian dicetak menggunakan cetakan tabung dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama sehari. Kemudian core sintetik yang sudah kering dikeluarkan dari cetakan, dipotong sesuai ukuran dan digerinda, dan dicuci menggunakan toluene. Sebelum pengujian dilakukan terlebih dahulu pengecilan ukuran core sintetik dengan cara digerus hingga halus untuk memperbesar luas permukaannya. Proses pembuatan core sintetik disajikan pada Lampiran 23. Uji adsorbsi dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu menggunakan nilai absorbansi tanpa methylene blue dan absorbansi dengan methylene blue dengan alat spektrofotometer yang masing-masing ditampilkan dalam bentuk kurva standar dan menggunakan metode titrasi dua fasa. Pada pengujian adsorpsi larutan surfaktan dicampur dengan core sintetik pada perbandingan 1:2 kemudian dipanaskan dalam oven selama dua hari. Setelah dua hari, kemudian dilakukan pemisahan larutan dan dilakukan pengukuran. Rekapitulasi data uji nilai absorbansi beberapa konsentrasi MES disajikan pada Lampiran 24.

125 103 Kurva standar nilai absorbansi terhadap beberapa konsentrasi MES tanpa menggunakan methylene blue disajikan pada Gambar 43. Hasil pengujian adsorpsi larutan surfaktan 0,3% dengan core sintetik menghasilkan absorbansi sebesar 0,192. Nilai absorbansi ini bila dirujuk ke kurva adsorpsi dengan cara ekstrapolasi maka diperoleh konsentrasi surfaktan MES 0,0597%, yang menunjukkan bahwa penyerapan konsentrasi MES akibat adsorpsi mencapai 80%. Absorbansi (nm) y = x R 2 = Konsentrasi MES (%) Gambar 43. Kurva standar absorbansi surfaktan MES tanpa methylene blue Kurva standar nilai absorbansi terhadap beberapa konsentrasi MES menggunakan metode methylene blue disajikan pada Gambar 44. Hasil pengukuran memberikan nilai absorbansi sebesar 0,117. Nilai absorbansi hasil adsorbsi ini jauh lebih rendah dibanding absorbansi larutan surfaktan MES 0,025%. Pada titik ini konsentrasi surfaktan MES yang tersisa dalam larutan setelah adsorpsi oleh core adalah 0,013%, yang berarti sekitar 95,43% terserap oleh core. Pengukuran nilai absorbansi menggunakan methylene blue ataupun tanpa methylene blue terlihat memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilai absorbansi yang besar berkisar 80-95%. Namun nilai absorbansi tidak dapat menggambarkan kondisi adsorpsi yang sebenarnya, mengingat prinsip pengujian menggunakan spektro adalah warna, sementara warna surfaktan MES adalah gelap. Karenanya dilakukan pengujian menggunakan metode titrasi dua fasa, untuk mengetahui jumlah bahan aktif yang terserap core selama uji adsorpsi. Pengujian dilakukan menggunakan core sintetik untuk tiga macam larutan berbeda. Hasil pengujian

126 104 menunjukkan kisaran adsorpsi 155,29 152,86 µg bahan aktif/g core. Formula surfaktan berbasis MES yang dikembangkan memiliki nilai adsorpsi terendah yaitu 152,86 µg bahan aktif/g core, nilai ini lebih rendah dibandingkan formula lain yang tanpa Na 2 CO 3 Dapat disimpulkan bahwa pemakaian Na 2 CO 3 dapat mengurangi kemungkinan terjadinya adsorpsi. Grafik nilai adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa disajikan pada Gambar 45. Rekapitulasi perhitungan nilai adsorpsi disajikan pada Lampiran Absorbansi (nm) y = x R 2 = Konsentrasi MES (%) Gambar 44. Kurva standar absorbansi surfaktan MES menggunakan methylene blue µg bahan aktif/g core MES 0,3% MES 0,3% + NaCl ppm MES 0,3% + NaCl ppm + Na2CO3 0,3% Formula Larutan Surfaktan Gambar 45. Adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa

127 105 Mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut : surfaktan yang dilarutkan dalam air injeksi akan mempengaruhi tegangan antarmuka minyak-air, sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadinya persinggungan ini, molekul-molekul surfaktan akan ditarik oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara terus menerus sampai titik jenuh. Akibat dari adsorpsi ini kualitas surfaktan akan menurun dan menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan. Adsorpsi batuan reservoir terhadap surfaktan terjadi akibat gaya tarik menarik antara molekulmolekul surfaktan dengan batuan reservoir. Besarnya gaya tersebut tergantung dari besarnya afinitas batuan reservoir terhadap surfaktan Uji Core Flooding Skala Laboratorium Pengujian core flooding skala laboratorium dilakukan menggunakan core sintetik sebagaimana yang digunakan pada uji adsorpsi, sehingga dapat merepresentasikan native core batuan karbonat. Core sintetik dibuat semirip mungkin dengan core asli. Core sintetik sebelum digunakan dicuci terlebih dengan toluen menggunakan refluks dan dikeringkan dalam oven bersuhu o C, dan kemudian dijenuhkan dengan air formasi dan diikuti dengan penjenuhan minyak sebelum dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan secara bertahap yaitu core diinjeksi dengan air formasi hingga jenuh dengan laju alir satu meter per hari atau setara dengan satu ml/8 menit pada suhu 70 o C dan tekanan 1,5 bar, dengan tekanan pada core holder 5,5 bar. Setelah core tersaturasi oleh air formasi, kemudian dilakukan penginjeksian minyak yang akan mendorong air formasi yang telah tersaturasi pada core. Minyak menggantikan tempat air formasi yang keluar sehingga minyak yang masuk setara dengan air formasi yang keluar. Air formasi yang keluar diukur untuk mengetahui volume minyak yang tersimpan dalam core. Kemudian dilakukan penginjeksian air injeksi, dimana proses injeksi ini akan mendorong minyak yang terkandung pada core. Penginjeksian fluida berupa air injeksi ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak berupa water flooding. Penginjeksian ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Selanjutnya dilakukan penginjeksian fluida ketiga berupa formula surfaktan dimana surfaktan telah dilarutkan dalam air injeksi. Data dimensi core

128 106 yang digunakan pada uji core flooding disajikan pada Lampiran 26. Proses persiapan dan tahapan uji core flooding disajikan pada Lampiran 27. Adanya gaya tarik menarik batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak serta penyempitan pori-pori menyebabkan minyak terperangkap di dalam pori-pori. Ketika larutan surfaktan diinjeksikan terjadi penurunan tegangan antarmuka minyak-air dan menyebar melalui film air yang merupakan pembatas antara batuan reservoir dengan gelembung-gelembung minyak. Dengan turunnya tegangan antarmuka ini, gaya adhesi antara gelembung-gelembung minyak dan batuan reservoir akan berkurang dan tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori juga akan berkurang. Dengan demikian, sisa minyak yang terperangkap tersebut dapat dilarutkan dalam bentuk mikroemulsi. Kedudukan gelembung-gelembung minyak setelah didesak oleh larutan surfaktan melalui daerah penyempitan pori-pori bergerak dan kemudian bertemu dengan gelembung-gelembung minyak lainnya membentuk suatu fasa minyak continue (oil bank). Dengan demikian, larutan formula surfaktan yang diujikan memiliki kemampuan untuk menurunkan gaya adhesi antara minyak dan core sintetik yang diujikan, sehingga pada uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air menghasilkan incremental oil recovery sekitar 8-19%, dengan total recovery mencapai 52-76%. Pengujian menggunakan native core dihasilkan incremental oil recovery 9,1% dengan total recovery mencapai 45,5%. Data hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air Kode Core Core Sintetik-1 Core Sintetik-3 Native Core-1 Saturasi Air (%) Porositas (%) Water Flooding (%) Surfactant Flooding (%) Total Recovery (%) ,2 36,4 9,1 45,5 Pengujian juga dilakukan dengan menginjeksikan larutan surfaktan dengan arah aliran injeksi (flow) berbeda, yaitu antara searah gaya gravitasi (dari atas ke

129 107 bawah) menjadi berlawanan gaya gravitasi (dari bawah ke atas). Sebagai hasilnya, uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar (77%) dibanding flow dari atas ke bawah (61%). Hasil uji core flooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi disajikan pada Tabel 19. Hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air disajikan pada Lampiran 28 dan dengan perbedaan arah flow injeksi disajikan pada Lampiran 29. Tabel 19. Hasil uji core flooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi Kode Core Core Sintetik-2 Core Sintetik-4 Perlakuan Surfaktan Flooding (atas ke bawah) Surfaktan Flooding (bawah ke atas) Saturasi Air (%) Porositas (%) Recovery (%) Pada Tabel 19 terlihat bahwa recovery antara arah injeksi larutan surfaktan dari atas ke bawah dengan arah dari bawah ke atas menghasilkan nilai yang berbeda meskipun porositas core yang diujikan memiliki nilai yang sama yaitu 41%. Diduga perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh gaya gravitasi, perbedaan viskositas dan perbedaan permeabilitas. Aliran ke arah bawah memungkinkan larutan surfaktan yang memiliki densitas dan viskositas lebih besar dibanding densitas dan viskositas minyak, mengalir lebih cepat dibanding aliran minyak. Sementara aliran ke arah atas dapat menyebabkan pendesakan minyak lebih merata di seluruh pori-pori. Nilai permeabilitas masing-masing core tidak dihitung sehingga angka pastinya tidak diketahui. Namun, sebagai gambaran adanya permeabilitas yang berbeda, dapat dibandingkan antara data volume core (Lampiran 26) dan volume air formasi yang tersisa dalam core setelah diinjeksi minyak (Lampiran 29). Core-2 memiliki volume core 13,16 ml sementara core-4 memiliki volume core 18,24 ml. Namun volume air formasi yang tersisa dalam core-2 (1,7963 ml) lebih besar dibanding yang tersisa dalam core-4 (0,5362 ml) setelah diinjeksi minyak. Artinya, core-4 memiliki kemampuan lebih besar untuk melalukan (memindahkan) fluida dibanding core-2 sehingga dihasilkan nilai recovery yang lebih besar pula.

130 108

131 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil kajian kondisi proses produksi surfaktan MES untuk fluida formasi karbonat menunjukkan bahwa kondisi terbaik dicapai pada lama proses sulfonasi 3-4 jam, adanya penambahan laju udara kering 1,8 kg/jam dan pemurnian dilakukan tanpa penambahan metanol dengan ph 8. Kondisi terbaik ini menghasilkan surfaktan MES yang memiliki karakteristik tegangan antarmuka pada air formasi 7,46x10-3 dyne/cm, tegangan antarmuka pada air injeksi 1,49x10-2 dyne/cm, bilangan iod 16,10 mg iod/g sampel, kandungan bahan aktif 4,63 persen, kestabilan emulsi berkisar 0,8 persen, viskositas 99,90 cp, warna 280,5 klett. Semakin tinggi laju udara kering yang ditambahkan maka nilai bilangan iod dan bahan aktif semakin meningkat, sementara nilai viskositas dan warna semakin menurun. Jika ph surfaktan mendekati nilai ph fluida formasi, maka nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan semakin rendah. Formula surfaktan berbasis MES terbaik untuk aplikasi EOR pada formasi karbonat adalah formula dengan komposisi surfaktan MES 0,3%, Na 2 CO 3 0,3% dan salinitas ppm. Surfaktan MES yang dihasilkan memiliki sifat lebih tahan panas, salinitas dan kesadahan tinggi dibanding surfaktan komersial. Surfaktan MES yang dilarutkan pada fluida formasi memberikan nilai tegangan antarmuka fluida yang lebih baik ketika digunakan secara tunggal dibanding jika dikombinasikan dengan surfaktan komersial. Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES menunjukkan bahwa formula surfaktan kompatibel dengan air formasi dan air injeksi, fasa yang terbentuk adalah fasa bawah, relatif stabil pada pemanasan hingga hari ke-77 (suhu reservoir 70 dan 112 o C) dengan kisaran tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm, adsorpsi mencapai 152,86 µg bahan aktif/g core serta incremental oil recovery setelah injeksi air (water flooding) menggunakan core sintetik sebesar 8-19% dan menggunakan native core sebesar 9,1%. Uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar (16%) dibanding flow dari atas ke bawah, dipengaruhi karena adanya gaya gravitasi.

132 Saran Adapun yang dapat disarankan demi perbaikan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan pengaturan gas SO 3 agar kondisi proses sulfonasi lebih stabil, misalnya berupa penyediaan chamber khusus penampung gas SO 3 sebelum dialirkan ke reaktor. 2. Mengingat penambahan Na 2 CO 3 ternyata menyebabkan timbulnya endapan pada tahap uji thermal stability, maka pemakaian Na 2 CO 3 sebagai aditif tambahan pada formasi karbonat perlu dievaluasi. 3. Uji core flooding dengan menggunakan contoh batuan (core) yang lebih panjang, minimal 30 cm untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik.

133 DAFTAR PUSTAKA Abu-Sharkh BF, Yahaya GO, Ali SA, Hamad EZ dan Abu-Reesh IM Viscosity behavior and surface and interfacial activities of hydrophobically modified water-soluble acrylamide/n-phenyl acrylamide block copolymers. J. of Applied Polymer Science, Vol. 89 : Akzo Nobel Surfactants Enhanced Oil Recovery (EOR) Chemicals and Formulations. Akzo Nobel Surface Chemistry LLC. [14 Februari 2011]. [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist Washington: AOAC. [AOCS] Official Method Cd 1d Iodine Value of Fats and Oils, Cyclohexane-Acetic Acid Method. In : D. Firestone (Ed.). Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists Society. 5th Edition, AOCS, Champaign. [ASTM] American Society for Testing and Material D Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM. Ahmad S, Siwayanan P, Abd Murad Z, Abd Aziz H dan Seng Soi H Beyond Biodiesel : Methyl Esters as the Route for the Production of Surfactants Feedstock. Inform (18) : Bansal VK dan Shah DO The effect of ethoxylated sulfonates on salt tolerance and optimal salinity of surfactant formulations for tertiary oil recovery. Society of Petroleum Engineers Journal, 6 : Baker J Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US Patent No [terhubung berkala]. [14 Februari 2011]. Basiron Y Bailey s Industrial oil and Fat Products. Fifth Edition, Volume 2. Hui, Y.H. (Ed.). John Wiley & Sons, Inc., New York. Biermann M, Lance F, Piorr R, Ploog U, Rutzen H, Schindler J dan Schnid R Synthesis of surfactants. Surfactants in Consumer Products : Theory, Technology and Application (Falbe, J. Ed.). Springer-Verlag, Heidelberg. p. 78. Bernardini E Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome: Interstampa. Biwald CE dan Gavlick WK Use of total organic carbon analysis and fourier-transform infrared spectroscopy to determine residues of cleaning agents on surfaces. J. AOAC Int. 80 : Borchardt JK Using Dynamic Interfacial Tension to Screen Surfactant Candidates. Tomah Products.

134 112 Bowles JE Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Jakarta : Penerbit Erlangga. BP MIGAS Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. BP MIGAS, Jakarta. Bruno TJ dan Svoronos PDN Handbook of Basic Tables for Chemical Analysis. 2 nd Edition. New York : CRC Press. Carrero E, Queipo NV, Pintos S dan Zerpa LE Global sensitivity analysis of alkali-surfactant-polymer enhanced oil recovery processes. J. of Petroleum Science and Engineering, 58 : Che Man YB dan Mirghani MES Rapid method for determining moisture content in crude palm oil by fourier transform infrared spectroscopy. J. Am. Oil Chem. Soc. 77 : Ebbing DD dan Wrighton MS General Chemistry. 3 rd Edition. USA : Houghton Mifflin Company. Eni H, Syahrial E dan Sugihardjo Screening test dan karakterisasi surfaktan yang efektif untuk injeksi kimia. Lembaran Publikasi Lemigas, 44 (2) : Fisher CH Correlating viscosity with temperature and other properties. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (10) : Foster NC Sulfonation and Sulfation Processes. Di dalam : Spitz L. (ed). Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Illinois : AOCS Press. Gerpen JHV, Hammond EG, Johnson LA, Marley SJ, Yu L, Li I dan Monyem A Determining the influence of contaminants on Biodiesel Properties. Final report prepared for The Iowa Soybean promotion Board. Iowa state University. 28 p. Gerpen JV, Shanks B, Pruszko R, Clements D dan Knothe G Biodiesel Production Technology. National Renewable Energy Laboratory. Colorado. 106 p. Ghazali R The effect of disalt on the biodegradability of methyl ester sulphonates (MES). Journal of Oil Palm Research, 14 (1) : Gupta S dan Wiese D Soap, Fatty Acids, and Synthetic Detergents. Di dalam : Kent JA (ed). Riegel's Handbook of Industrial Chemistry. 9th Edition. New York : Van Nostrand Reinhold. Hambali E, Permadi P, Pratomo A, Suryani A, dan Maria R Palm oilbased methyl ester sulphonate as an oil well stimulation agent. J. Oil Palm Research, (special issue- October 2008) : Hambali E, Suarsana P, Sugihardjo, Rivai M, Zulchaidir E Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Pengembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff and Puff. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Unggulan Strategis Nasional Batch I, Dikti, Jakarta.

135 113 Hasenhuettl GL Overview of Food Emulsifier. Di dalam: Hasenhuettl GL dan Hartel RW (Eds.).Food Emulsifier and Their Applications. New York : Chapman & Hall. Hasenhuettl GL Design and Application of Fat-Based Surfactants. Di dalam : O Brien RD, Farr WE, dan Wan PJ (Eds.). Introduction to Fat and Oils Technology. 2nd Edition. Illinois : AOCS Press. Healy RN dan Reed RL Physicochemical aspect of microemulsion flooding. SPE Journal 257 : Hovda K Methyl Ester Sulfonation: Process Optimization. [terhubung berkala]. [16 Februari 2008]. Hui YH Bailey s Industrial Oil and Fat Products. 5th Edition. Volume 5. New York : John Wiley & Sons, Inc. Huish PD dan Jensen L Alpha-Sulfofatty Acid Ester Laundry Detergent Composition with Reduced Builder Deposits. US Patent No. 2003/ A1. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Huish PD, Jensen LA, Libe PB dan Fredrickson MJ Detergent Containing Alpha-Sulfofatty Acid Esters and Methods of Making and Using the Same. US Patent No. 2004/ A1. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Huish PD, Jensen LA, Libe PB Detergent Compositions Containing α- Sulfofatty Acid Ester and Methods of Making and Using the Same. US Patent No B2. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Hutchison JC, Wolfe PS, Waldman TE dan Ravikiran R Sulfonated Internal Olefin Surfactant for Enhanced Oil Recovery. US Patent No. 2010/ A1. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Jungermann, E Bailey s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4, Volume ke-1. New York: John Willey and Son. Kalfoglou, G Modified Lignosulfonates as Additives in Oil Recovery Processes Involving Chemical Recovery Agents. US Patent No [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Ketaren S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Koesoemadinata RP Geologi Minyak Bumi. Bandung : Penerbit ITB. Lakatos-Szabo J dan Lakatos I Effect of alkaline materials on interfacial rheological properties of oil-water system. Colloid Polym Sci 277: Lake LW Enhanced Oil Recovery. New Jersey: Prentice Hall. Lemigas Prosedur Analisis Surfaktan dan Polimer untuk EOR. Lemigas, Jakarta.

136 114 Lotero E, Liu Y, Lopez DE, Suwannakarn K, Bruce DA dan Goodwin Jr JG Synthesis of Biodiesel via Acid Catalysis. [terhubung berkala]. [12 February 2007]. MacArthur BW, Brooks B, Sheats WB dan Foster NC Meeting The Challenge of Methylester Sulfonation. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Matesic-Puac R, Sak-Bosnarb M, Bilica M dan Grabaricc BS Potensiometric Determination of Anionic Surfactants using a New Ion- Pair-Based All-Solid-State Surfactant Sensitive Electrode. Elsevier B.V. Matheson KL Formulation of Household and Industrial Detergents. Di dalam Spitz, L. (ed.), Soap and Detergents: A Theoretical and Practical Review. Illinois: AOCS Press. Mazzanti C Introduction: Surfactants from Biorenewable Sources. Biorenewable Sources 5. Meher LC, Dharmagadda VSS, Naik SN Optimization of alkali-catalyzed transesterification of Pongamia pinnata oil for production of biodiesel. Article in press. Mirghani MES, Che Man YB, Jinap S, Baharin BS dan Bakar J FTIR spectroscopic determination of soap in refined vegetable oils. J. Am. Oil Chem. Soc., 79 (2) : Moreno JB, Bravo J dan Berna JL Influence of sulfonated material and its sulfone content on the physical properties of linier alkyl benzene sulfonates. J. Am. Oil Chem. Soc. 65 (6) : Moreno JB, Bengoechea C, Bravo J dan Berna JL A contribution to understanding secondary reactions in linear alkylbenzene sulfonation. Journal of Surfactants and Detergents, 6 (2) : Mukherji SM, Singh SP, Kapoor RP Organic Chemistry. Volume 2. New Delhi: New Age International (P) Limited Publ. Nedjhioui M, Moulai-Mostefa N, Morsli A dan Bensmaili A Combined effects of polymer/surfactant/oil/alkali on physical chemical properties. Desalination, 185 : Nopianto ES Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noureddini H, Harkey D, Medikonduru V A continuous process for the conversion of vegetable oil into methyl ester of fatty acid. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (12) : Pecsok RL, Shields LD, Cairns T, McWilliam IG Modern Methods of Chemical Analysis. 2 nd ed. New York : John Wiley & Sons, Inc. Petrucci RH Kimia Dasar : Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta : Penerbit Erlangga.

137 115 Pithapurwala YK, Sharma AK, Shah DO Effect of salinity and alcohol partitioning on phase behavior and oil displacement efficiency in surfactant-polymer flooding. J. Am. Oil Chem. Soc. 63 (6) : Pore J Sulfated and Sulfonated Oils. Di dalam Karlenskind, A. (ed.), Oil and Fats. New York : Manual Intercept Ltd. Purnomo H dan Makmur T Pengaruh surfaktan (DBS dan Fael) dan kosurfaktan iso-alkil alkohol terhadap pembentukan kelakuan fase dari campuran minyak-syrfaktan-kosurfaktan-air injeksi. Lembaran Publikasi Lemigas, 43 (1) : Rieger MM Surfactant in Cosmetics. Surfactant Science Series. New York : Marcel Dekker Inc. Riman RE Chemical Precipitation of Ceramic Prowders. Di dalam: Williams RA (Ed.). Colloid and Surface Engineering : Applications in the Process Industries. Oxford : Butterworth-Heinemann Ltd. Roberts DW Manufacture of Anionic Surfactants. Di dalam : Gunstone FD dan Hamilton RJ (eds.). Oleochemical Manufacture and Applications. Sheffi eld Academic Press, Sheffi eld, U.K., pp Roberts DW, Jackson PS, Saul CD, Clemett CJ dan Jones K. A Kinetic and Mechanistic Investigation of Ester Sulphonation, Proc. 2nd World Surfactants Congress, Paris, Vol. II, 38 41, Roberts DW, Giusti L, Forcella A Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable Resources 5 : Said L Kimia Fisika Hidrokarbon. Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti. Sanford SD, White JM, Shah PS, Wee C, Valverde MA dan Meier GR Feedstock and Biodiesel Characteristics Report. Renewable Energy Group. Schwuger MJ dan Lewandowski H α-sulfomonocarboxylic Esters. Di dalam : H.W. Stache. (ed). Anionic Surfactants, Organic Chemistry, Vol. 56 in Surfactant Science Series. New York : Marcel Dekker. Sedman J, van de Voort FR, Ismail AA dan Maes P Industrial validation of fourier transform infrared trans and iodine value analyses of fats and oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (1) : Sheats WB dan. MacArthur BW Methyl Ester Sulfonate Products. [5 September 2009]. Sheng JJ Modern Chemical Enhanced Oil Recovery : Theory and Practice. New York : Gulf Professional Publishing. Sherry AE, Chapman BE, Creedo MT, Jordan JM, Moese RL Nonbleach process for the purification of palm C16-18 methyl ester sulfonates. J. Am. Oil Chem. Soc. 72 (7) : Somantri RU Pengaruh Suhu Input pada Proses Pembuatan Surfaktan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Stearin.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

138 116 Smith GA, Ashrawi SS, Smadi RM dan Anantaneni PR Solid Alkylbenzene Sulfonates and Cleaning Compositions Having Enhanced Water Hardness Tolerance. US Patent No B2. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Stegemeier GL Mechanisms of Entrapment and Mobilization of Oil in Porous Media. Di dalam : Shah DO dan Schechter RS (ed). Improved oil Recovery by Surfactant and Polymer Flooding. New York : Academic Press. Stein W dan Baumann H α-sulfonated Fatty Acids and Esters : Manufacturing, Process, Properties and Applications. Presented at the AOCS Meeting, April 1974, Mexico. Swern D Bailey s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I. 4th editions. New York : John Willey and Son. Syahrial E Laboratory Surfactants Analysis for EOR Before Implemented in Oilfield. Makalah Seminar Teknologi Surfaktan dan Aplikasinya pada Industri Migas untuk Peningkatan Produksi Minyak, Bogor, Agustus Taber JJ, Martin FD, Seright RS EOR Screening Criteria Revisited Part I: Introduction to Screening Criteria and Enhanced Oil Recovery Field Project. SPE Reservoir Engineering Paper, Mexico, August Watkins C All eyes are on Texas. Inform 12 : Wesley JE, Schneiderman E, Soper SJ Process for Manufacturing Liquid Detergent Containing Methyl Ester Sulfonate. US Patent No. 2008/ A1. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Wesley JE, Schneiderman E, Soper SJ, Schuefer JJ Laundry Detergent Containing Methyl Ester Sulfonate. US Patent No B2. [terhubung berkala]. [11 Maret 2011]. Williams RA dan Simons SJR Handling Colloidal Materials. Di dalam: Williams RA (Ed.). Colloid and Surface Engineering : Applications in the Process Industries. Oxford : Butterworth-Heinemann Ltd. Infrared Spectroscopy. [4 April 2011]. Table of IR Absorptions. [4 April 2011]. Yamada K dan Matsutani S Analysis of the dark-colored impurities in sulfonated fatty acid methyl ester. J. Am. Oil Chem. Soc. 73 (1) :

139 LAMPIRAN

140 118

141 119 Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit 1. Komposisi Asam Lemak (AOAC, 1995) Dua g minyak ditambahkan ke dalam labu didih, kemudian ditambahkan 6-8 ml NaOH dalam metanol,dipanaskan sampai tersabunkan lebih kurang 15 menit dengan pendingin balik. Selanjutnya ditambahkan 10 ml BF 3 dan dipanaskan kira-kira dua menit. Dalam keadaan panas ditambahkan 5 ml n- heptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan ditambahkan larutan NaCl jenuh. Larutan akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas akan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi 1 g Na 2 SO 4. Larutan tersebut siap diinjeksikan pada suhu detektor 230 o C, suhu injektor 225 o C, suhu awal 70 o C, pada suhu awal = 2 menit, menggunakan glass coloumn dengan panjang 2 meter dan diameter 2 mm, gas pembawa adalah helium dan fasa diam dietilen glikol suksinat. Jenis detektor yang digunakan adalah jenis FID (Flame Ionization Detector). 2. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 g di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak (B-S) x N x 12,69 Bilangan Iod = G Keterangan : B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na 2 S 2 O 3 G = bobot contoh 12,69 = bobot atom iod/10 3. Bilangan Penyabunan (SNI ) Sebanyak dua g contoh ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH Alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCL 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Dilakukan juga untuk blanko.

142 120 Perhitungan : Bilangan Penyabunan = 56,1 x T x (V 0 V 1 ) m Keterangan : V 0 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V 1 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) m = bobot contoh (g) 4. Bilangan Asam dan Asam Lemak Bebas (SNI ) Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol 95% netral, lalu dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan dua tetes indikator PP 1%, larutan dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 detik). Dilakukan pekerjaan untuk blanko. Perhitungan : a. Bilangan Asam = V x T x 56,1 m b. Asam Lemak Bebas (FFA) = BM x V x T 10 m Keterangan : V = volume KOH yang diperlukan dalam peniteran (ml) T = normalitas KOH m = bobot contoh (g) BM = bobot molekul asam lemak 5. Kadar Air dengan Metode Karl Fischer (AOAC, 1995) Alat Karl Fischer dinyalakan, lalu botol titrasi diisi dengan larutan solvent. Larutan kemudian dinetralkan dengan larutan titran. Blanko dicari dengan cara menginjeksikan H 2 O ke dalam pipet microsyringe 50 µl. Sampel ditimbang dengan botol timbang dan dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet tetes. Sampel yang ditimbang tadi dimasukkan ke dalam gelas titrasi yang telah terdapat pada alat. Sampel dititrasi dengan larutan titran. Titrasi selesai apabila alarm alat berbunyi. Hasil titrasi dibaca di layar sehingga diperoleh kadar air sampel. Kadar air dalam sampel dapat dinyatakan dalam % atau ppm.

143 121 Lampiran 2. Prosedur Analisis Metil Ester 1. Bilangan Asam Biodiesel/Ester Akil (ASTM D-664) Sebanyak ± 0,05 g sampel ditimbang dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, dititrasi larutan isi labu erlenmeyer dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Dicatat volume titran yang dibutuhkan (V ml). Perhitungan : 56,1 x V x N Angka asam (A a ) = mg KOH/g biodiesel m dengan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi, ml. N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol. m = bobot contoh biodiesel ester alkil, g. Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma). 2. Bilangan Penyabunan dan Kadar Ester Biodiesel Ester Alkil (FBI A03-03) Sebanyak 4 5 ± 0,005 g sampel ditimbang dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml. Lalu ditambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan pipet yang dibiarkan kosong secara alami. Kemudian dilakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis sampel. Labu erlenmeyer disambungkan dengan kondensor berpendingin udara dan dididihkan perlahan hingga sampel tersabunkan sempurna (biasanya membutuhkan waktu 1 jam). Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak, maka diperpanjang waktu penyabunannya. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu dingin hingga membentuk jeli), dinding dalam kondensor dibilas dengan sejumlah kecil akuades. Kondensor dilepaskan dari labu dan ditambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein ke dalam labu, dan dititrasi isi labu dengan HCl 0,5 N hingga warna merah jambu persis sirna. Volume asam khlorida 0,5 N yang dihabiskan dalam titrasi dicatat. Perhitungan Angka penyabunan (A s ) = 56,1 (B-C)xN mg KOH/g biodiesel m dengan : B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko (ml). C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh (ml). N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N.

144 122 m = bobot contoh biodiesel (ester alkil) (g). Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma). Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut : 100( A s Aa 18,29Gttl ) Kadar ester (%-b) = As dengan : A s = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel. A a = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel. G ttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b. 3. Kadar Air dengan Metode Karl Fischer (AOAC 1995) Alat Karl Fischer dinyalakan, lalu botol titrasi diisi dengan larutan solven. Larutan kemudian dinetralkan dengan larutan titran. Blanko dicari dengan cara menginjeksikan H 2 O ke dalam pipet microsyringe 50 µl. Sampel ditimbang dengan botol timbang dan dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet tetes. Sampel yang ditimbang tadi dimasukkan ke dalam gelas titrasi yang terdapat pada alat. Sampel dititrasi dengan larutan titran. Titrasi selesai apabila alarm alat berbunyi. Hasil titrasi dibaca di layar sehingga diperoleh kadar air sampel. Kadar air dalam sampel dapat dinyatakan dalam % atau ppm.. 4. Kadar Gliserol Total, Bebas, dan Terikat (ASTM D-6584) Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan kadar gliserol total, bebas, dan terikat dengan menggunakan metode iodometri-asam periodat. Gliserol bebas ditentukan langsung pada contoh yang dianalisis, gliserol total setelah contoh disaponifikasi, dan gliserol terikat dari selisih antara gliserol total dan gliserol bebas. a. Prosedur Analisis Kadar Gliserol Total Sampel sebanyak 9,9 10,1 ± 0,01 g ditimbang dalam sebuah erlenmeyer lalu ditambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik. Erlenmeyer disambungkan dengan kondensor berpendingin udara dan dididihkan perlahan selama 30 menit untuk mensaponifikasi ester-ester. Sebanyak 91 ± 0,2 ml khloroform ditambahkan ke dalam labu takar 1 L dari sebuah buret. Labu saponifikasi disingkirkan dari pelat panas, dan isinya dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar yang berisi khloroform dengan menggunakan 500 ml aquades sebagai pembilas. Labu takar ditutup rapat dan dikocok dengan kuat selama detik, kemudian ditambahkan aquades sampai batas takar. Labu takar ditutup kembali dan dicampur isinya dengan cara dibolak-balik. Setelah itu, larutan dibiarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna.

145 123 Larutan asam periodat dipipet masing-masing ke dalam 2 atau 3 gelas piala ml. Dua blanko disiapkan dengan mengisi masing-masing 50 ml aquades. Sebanyak 100 ml lapisan akuatik dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi asam periodat kemudian dikocok perlahan agar tercampur sempurna. Gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Bila lapisan akuatik mengandung bahan tersuspensi, maka sebelum penggunaan harus disaring terlebih dahulu. Setelah 30 menit, ditambahkan 3 ml larutan KI, dikocok perlahan, dan dibiarkan selama 1 menit (tidak boleh lebih dari 5 menit) sebelum dititrasi. Gelas piala yang akan dititrasi tidak boleh diletakkan di bawah cahaya terang atau terkena sinar matahari langsung. Isi gelas piala dititrasi dengan natrium tiosulfat sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan dititrasi lagi sampai warna biru kompleks iodium-pati benar-benar hilang. Blanko dilakukan tanpa penambahan lapisan akuatik, melainkan langsung ditambahkan larutan KI dan seterusnya. b. Prosedur Analisis Kadar Gliserol Bebas Sebanyak 9,9 10,1 ± 0,01 g sampel ditimbang di dalam sebuah botol timbang. Contoh ini dibilas ke dalam sebuah labu takar 1 L dengan menggunakan 91 ± 0,2 ml khloroform yang diukur dengan buret, kemudian ditambahkan 500 ml aquades dan dikocok kuat selama detik. Setelah itu, ditambahkan lagi aquades sampai tanda tera, dicampur dengan membolak-balik labu takar, dan dibiarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik terpisah sempurna. Larutan asam periodat sebanyak 2 ml dipipet ke dalam masing-masing 2 3 gelas piala ml. Dua blanko disiapkan dengan mengisi masing-masing 100 ml aquades. Lapisan akuatik 300 ml dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi asam periodat, kemudian dikocok perlahan. Setelah itu, gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Bila lapisan akuatik mengandung bahan tersuspensi, maka harus disaring terlebih dahulu sebelum penggunaan. Setelah 30 menit, ditambahkan 2 ml larutan KI, dikocok perlahan, dan dibiarkan selama 1 menit (tidak boleh lebih dari 5 menit) sebelum dititrasi. Gelas piala yang isinya akan dititrasi tidak boleh diletakkan di bawah cahaya terang atau terkena sinar matahari langsung. Isi gelas piala dititrasi dengan natrium tiosulfat sampai warna iodium hampir hilang. Setelah itu, ditambahkan larutan indikator pati 2 ml dan dititrasi lagi sampai warna biru kompleks iodium-pati benar-benar hilang. Analisis blanko dilakukan dari penambahan 2 ml larutan KI dan seterusnya.

146 124 Keterangan : Gttl = Gliserol total Gbbs = Gliserol bebas Gikt = Gliserol terikat C = volume larutan natrium tiosulfat untuk contoh B = volume natrium tiosulfat untuk blanko N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat a Dari prosedur = 9,9 10,1 ± 0,01 g b Dari prosedur = 100 ml (untuk gliserol total) dan 300 ml (untuk gliserol bebas) 5. Bilangan Iod (AOCS Cd 1-25) Sebanyak 0,13 0,15 ± 0,001 g sampel ditimbang dalam labu iodium. Ditambahkan 15 ml larutan karbon tetrakhlorida (atau 20 ml campuran 50 %-v sikloheksan 50 %-v asam asetat) dan kocok-putar labu untuk menjamin contoh larut sempurna ke dalam pelarut. Ditambahkan 25 ml reagen Wijs dengan pipet seukuran dan kemudian labu ditutup. Kembali labu dikocokputar agar isinya tercampur sempurna dan kemudian segera disimpan di tempat gelap bertemperatur 25 ± 5 o C selama 1 jam. Sesudah perioda penyimpanan usai, diambil kembali labu dan ditambahkan 20 ml larutan KI dan 150 ml akuades. Sambil selalu diaduk dengan baik, dititrasi isi labu dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N yang sudah distandarkan (diketahui normalitas eksaknya) sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan titrasi diteruskan sampai warna biru kompleks iodium pati persis sirna. Volume titran yang dihabiskan untuk titrasi dicatat. Bersamaan dengan analisis di atas, dilakukan analisis blanko. Perhitungan Angka iodium contoh biodiesel dapat dihitung dengan rumus : Angka iodium, A I (%-b) = 12,69(B C) x N W dengan : C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh (ml). B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko (ml). N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat. W = bobot eksak contoh biodiesel yang ditimbang untuk analisis (g). 6. Densitas (SNI ) Pada tahap awal ditentukan bobot dari air destilata. Piknometer bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah dididihkan dan didinginkan pada suhu 20 o C dan disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu konstan 25 o C selama 30 menit. Piknometer diangkat dan dikeringkan kemudian ditimbang. Bobot air ditentukan berdasarkan selisih bobot piknometer berisi air dan bobot piknometer kosong. Pada tahap kedua ditentukan bobot sampel. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan dipastikan tidak

147 125 terbentuk gelembung udara. Bagian luar piknometer dikeringkan dan kemudian ditempatkan piknometer dalam water bath pada suhu konstan 25 o C selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan dan ditimbang. Bobot sampel dihitung dengan menghitung selisih bobot piknometer berisi contoh minyak atau lemak dan bobot piknometer kosong. Perhitungan : Densitas = (Bobot piknometer dan contoh) (bobot piknometer kosong) Volume air pada 25 o C (ml) 7. Fraksi Tak Tersabunkan (SNI ) Sampel yang telah diaduk ditimbang sebanyak 5 g di dalam erlenmeyer atau botol soxhlet. Ke dalam contoh dimasukkan 30 ml alkohol 95% dan 5 ml KOH 50% kemudian dididihkan di bawah pendingin tegak selama satu jam atau sampai semua minyak/lemak tersabunkan secara sempurna. Sabun yang terbentuk dipindahkan ke dalam labu ekstraksi kemudian dibilas dengan alkohol sampai batas 40 ml, lalu dibilas dengan air panas dan air dingin sampai volume seluruhnya 80 ml. Botol bekas penyabunan dicuci dengan sedikit petroleum eter dan dikembalikan ke dalam labu ekstraksi. Labu dan isinya didinginkan sampai suhu kamar (20-25 o C), lalu ditambahkan 50 ml petroleum eter. Labu ditutup kemudian dikocok selama 1 menit, sambil mengeluarkan gas yang terbentuk selama pengocokan. Selanjutnya labu didiamkan sampai terbentuk dua lapisan cairan. Lapisan petroleum eter dialirkan dan ditampung dalam corong pemisah 500 ml. Ekstraksi diulangi dengan petroleum eter sampai sedikitnya 6 kali sambil dikocok pada setiap kali ekstraksi. Gabungan ekstraksi ini dicuci 3 kali di dalam corong pemisah masing-masing dengan 25 ml alkohol 10% sambil dikocok. Setelah pencucian, lapisan alkohol ini dibuang dengan hati-hati sehingga lapisan petroleum eter tidak ada yang terbuang. Ekstrak eter dipindahkan ke dalam gelas piala dan diuapkan sampai kering di atas penangas air. Pengeringan disempurnakan sampai mencapai bobot tetap, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Setelah penimbangan, residu ini dilarutkan dalam 50 ml alkohol 95% yang hangat (50 o C) dengan ditambah indikator pp. Campuran tersebut dititrasi degan larutan NaOH 0,02 N sampai tepat terbentuk warna merah jambu. Bobot asam lemak di dalam ekstrak sama dengan jumlah ml NaOH 0,02 x 0,056. Fraksi tidak tersabunkan dalam contoh dihitung dengan rumus berikut : (BR BA) Fraksi tidak tersabunkan = x 100% B BR = bobot residu (g) BA = bobot asam lemak (g) B = bobot contoh (g) 0,056 = BM NaOH/1000

148 126 Lampiran 3. Perhitungan Laju Alir ME Olein dan SO 3 a. Komponen ME Olein Ester Asam lemak BM (g/mol) Dalam persentase (%) Massa dalam 100 g Mol C ,147 0,147 0,00069 C ,909 0,909 0,00376 C16 270,9 40,207 40,207 0,14842 C18/ ,294 1,294 0,00434 C18/ ,901 43,901 0,14831 C18/ ,897 11,897 0,04047 C18/ ,852 0,852 0, ,34890 BM ratarata ME Olein 286,61 Laju Umpan ME Olein = 100 ml/menit = 100 ml/menit x 60 menit/jam x 0,8718 g/ml x 10-3 kg/g = 5,23 kg/jam b. Reaksi pembakaran sulfur menjadi SO 2 dan SO 3 : S + O 2 SO 2 SO 2 + O 2 2SO 3 (katalis V 2 O 5 ) Stoikiometri flow sulfur = laju umpan ME Olein x BA S/BM MES = 5,23 kg/jam x 32/388,61 = 0,43 kg/jam Na 2 SO 4 = [laju umpan ME Olein x (% Na 2 SO 4 x BM Na 2 SO 4 /H 2 SO 4 )] x BA S/BM Na 2 SO 4 = (5,23 x 1,3 x 142/98)/100 x 32/142 = 0,02 kg/jam Carry over (sulfur yang terbawa dalam produk) : = laju umpan ME Olein x 0,702/1000 = 5,23 kg/jam x 0,702/1000 = 0,004 kg/jam Total flow sulfur = (flow sulfur + flow Na 2 SO 4 + carry over) x 100/konversi SO 2 menjadi SO 3 x 100/99,5 = (0,43 + 0,02 + 0,004) x100/97,50 x 100/99,5 = 0,47 kg/jam Flow SO 3 udara = [(70/faktor pembakaran SO 2 ) x densitas udara x total flow sulfur] + total flow sulfur = [(70/6,30) x 1,29 x 0,47] + 0,47 = 7,22 kg/jam Penambahan udara kering ¼ flow SO 3 -udara = 1,81 kg/jam Penambahan udara kering ½ flow SO 3 -udara = 3,61 kg/jam

149 127 Lampiran 4. Prosedur Analisis Surfaktan MES 1. Penentuan Bilangan Asam dan Bahan Aktif Surfaktan Anionik Melalui Titrasi Kationik (Epthon, 1948) Surfaktan ditimbang 1 ± 0,0010 g dengan neraca analitik dalam gelas piala 100 ml. Ditambahkan 30 ml aquades ke dalam gelas piala, lalu larutan dipanaskan selama 7 10 menit dalam penangas sampai larut semua. Setelah larutan dingin lalu ditambahkan indikator phenoplthalein 1% (3 tetes), kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dengan faktor 1,0603 hingga berwarna merah muda atau ph 7. Volume penitaran dicatat sebagai perhitungan untuk menghitung bilangan asam. Larutan sampel kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 1000 ml. Sementara itu, methylen blue dipipet sebanyak 3 ml dengan pipet ukur dan dimasukkan ke dalam gelas ukur asah bertutup gelas 100 ml dan kemudian ditambahkan 5 ml sampel MES hasil pengenceran. Berikutnya, ditambahkan 10 ml kloroform hingga terlihat dua fasa. Campuran dititrasi menggunakan n-cetylpyridium chloride hingga terbentuk warna yang sama biru diantara dua fasa. Titrasi diakhiri dan volume n-cetylpyridium chloride dicatat sebagai volume (V) kationik. Bilangan Asam dan Bahan Aktif dihitung dengan rumus berikut : Bilangan Asam = A ml NaOH x faktor NaOH Bobot sampel Bahan Aktif (%) = V kationik x faktor kationik x BM Surfaktan x 0,1 Bobot sampel x 4,95 2. Pengukuran ph (BSI, 1996) Metode ini digunakan untuk menganalisa derajat keasaman (ph) surfaktan anionik, kationik, nonionik dan amfoterik. Nilai ph dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan ph-meter komersial. Alat ph-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer ph 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO 2 yang memiliki ph antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan yang akan diukur. Nilai ph dibaca pada ph-meter, pembacaan dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO 2. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibasi. 3. Analisa Warna (Metode Klett) Sampel sekitar 5 g ditimbang dalam erlenmeyer 100 ml, ditambahkan 50% etanol sebanyak 9 kali bobot contoh (sekitar 45 ml) dan diaduk hingga larut. Dimasukkan larutan contoh dalam kuvet dan diukur absorbansinya pada λ 420 nm. Sebagai blanko digunakan larutan standar 50% etanol. Perhitungan : Warna klett = 1000 x nilai absorbansi.

150 Pengukuran Tegangan Antar Muka dengan Spinning Drop Interfacial Tensiometer Pengukuran tegangan antarmuka dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air. Cara pengujian dilakukan dengan membuat larutan surfaktan pada konsentrasi tertentu dengan air formasi. Densitas larutan surfaktan dan minyak bumi diukur. Pengukuran tegangan antarmuka minyak-air dengan menggunakan Spinning Drop Interfacial Tensiometer dilakukan dengan memasukkan minyak bumi sebanyak 0,3 mikron dimasukkan dalam tube yang berisi larutan surfaktan. Kemudian tube dimasukkan dalam alat yang kecepatan putarnya disetting 9000 rpm pada suhu 70 o C, lalu diukur lebar droplet minyak yang terbentuk. Nilai tegangan antar muka dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini. Y = ¼ ω 2 D 3 p, dengan syarat : (L/D >= 4) Keterangan : y = nilai tegangan antar muka (dyne/cm) ω = kecepatan angular (s -1 ) D = radius droplet pada axis (cm) p = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g.cm 3 ) 5. Penentuan Viskositas (SNI ) Spindel dipasang ke viskometer, kemudian diturunkan perlahan sehingga spindel masuk ke dalam sampel. Jangan mengisi contoh secara berlebihan. Volume contoh sangat menentukan sistem kalibrasi. Untuk memperoleh contoh yang mewakili, ketinggian cairan harus segaris dengan batang spindel pada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindel yang meruncing. Viskometer Brookfield model RV, HA, HB dialankan pada 20 rpm, atau untuk model LV pada 12 rpm, dan diamati hasil pembacaan. Bila hasil pembacaan terletak diantara angka 2 dan angka 98 dilanjutkan pengujian. Dicatat tiga pembacaan setiap 60 detik dari setiap temperatur pengujian. Dilakukan prosedur yang sama untuk setiap temperatur pengujian yang diinginkan. Bila pada temperatur pengujian terendah, pembacaan masih diatas angka 98, dikurangi kecepatan spindel dan dilanjutkan pengujian. Bila pembacaan masih di atas angka 98, gunakan spindel lain yang lebih kecil dan diulangi pengujian. Faktor viskositas dikalikan dengan pembacaan viskometer Brookfield untuk mendapatkan viskositas dalam centipoise (cp). Selama pengukuran viskositas jangan mengubah kecepatan putaran spindel karena akan mengubah laju geser. 6. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 0,5 g ditimbang di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan

151 129 Na 2 S 2 O 3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak. (B-S) x N x 12,69 Bilangan Iod = G Keterangan : B = ml Na 2 S 2 O 3 blanko S = ml Na 2 S 2 O 3 contoh N = normalitas Na 2 S 2 O 3 G = bobot contoh 12,69 = bobot atom iod/10 7. Pengukuran Densitas Menggunakan Density Meter DMA 4500M Alat dinyalakan dan dipastikan sel pengukuran dalam kondisi bersih dan kering. Suhu pengukuran diatur pada 70 o C, dan dilakukan kalibrasi. Larutan yang hendak diuji diinjeksikan ke dalam sel pengukuran dan dibiarkan selama beberapa saat hingga suhu 70 o C tercapai, lalu ditekan tombol pengukuran. Ditunggu beberapa saat hingga keluar nilai dan keterangan valid. Nilai yang muncul di layar dicatat. 8. Kestabilan Emulsi (modifikasi ASTM D 1436, 2000) Stabilitas emulsi diukur antara air dan xylene. Xylene dan air dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa. Konsentrasi surfaktan yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Lamanya pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan surfaktan dibandingkan dengan sesudah ditambahkan surfaktan. Penetapan stabilitas emulsi dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan persen pemisahan, dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100. (volume keseluruhan volume pemisahan) % stabilitas = x 100 Volume keseluruhan 9. FTIR (ASTM D ) Sebanyak 3 g sampel diteteskan di dalam pelet KBr pada kondisi ruang kemudian diukur pada bilangan gelombang antara cm -1. Pengujian dilakukan menggunakan alat Spektrofotometer Infrared.

152 130 Lampiran 5. Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES 1. Uji Compatibility (Lemigas, 2008) Uji compatibility dimaksudkan untuk mengetahui kecocokan antara larutan surfaktan dengan air formasi. Uji dilakukan dengan mencampurkan formula larutan surfaktan pada air formasi kemudian dimasukkan dalam oven (dipanaskan pada suhu reservoir) selama 16 jam. Kemudian amati perubahan yang terjadi pada larutan. Diharapkan tidak terbentuk endapan. 2. Uji Adsorpsi (Lemigas, 2008) Uji adsorpsi bertujuan untuk mendapatkan gambaran seberapa besar surfaktan terserap oleh batuan. Semakin banyak surfaktan yang diserap oleh batuan, berarti loss-nya juga semakin besar. Diharapkan surfaktan yang teradsorp tidak lebih dari 0,25%. Uji adsorpsi yang dilakukan adalah uji adsoprsi statik. Pada uji adsorpsi statik, batuan dihaluskan sampai mesh. Kemudian dicuci dengan air formasi, lalu dikeringkan. Masukkan sejumlah batuan yang sudah dihaluskan dan ditambahkan air formasi dengan perbandingan tertentu. Kemudian ditutup rapat dan disimpan dalam suhu reservoir selama 2 hari sambil diaduk secara berkala. Lalu disaring dengan kertas Whatman. Ukur konsentrasi filtratnya menggunakan UV Spektrophotometer. Pengurangan konsentrasi berarti loss surfaktan yang terserap oleh batuan. 3. Penentuan Konsentrasi Surfaktan dengan Titrasi Dua Fasa Dengan Indikator Methylene Blue (José López-Salinas and Maura Puerto, 2011) Ditimbang setidaknya 3 sampel dengan bobot yang berbeda membentuk sebuah deret dalam gelas ukur 25 ml yang dilengkapi stopper (tutup). Ditambahkan pada masing-masing sampel: 3 ml kloroform dan 5 ml indicator methylene blue, dipasang stopper lalu kocok secara perlahan, didiamkan larutan hingga bagian atas berwarna biru sementara bagian bawah tidak berwarna. Kemudian dititrasi dengan Hyamine M yang telah distandarisasi hingga warna bagian bawah berwarna biru sementara bagian atas tidak berwarna, dicatat volume penitar. Perhitungan Konsentrasi Surfaktan, dibuat grafik hubungan antara volume penitar (sumbu y) dengan bobot sampel (sumbu x). Dihitung % surfaktan dengan formula dengan rumus berikut : %surfaktan = slope x konsentrasi titran (M) x Bobot Molekul Surfaktan x 0,1 4. Uji Kelakuan Fasa (Lemigas, 2008) Uji dilakukan dengan menyiapkan minyak, dan disaring pada kertas saring 10 µ. Kemudian disiapkan larutan surfaktan. Disiapkan juga pipet ukur 5 ml sejumlah konsentrasi surfaktan. Dimasukkan 2 ml larutan surfaktan ke dalam pipet untuk tiap konsentrasi, dan ditambahkan 2 ml minyak. Ditutup rapat (seal flame). Dimasukkan pada suhu reservoir sekitar 30 menit. Ukur ketinggian minyak/larutan surfaktan, kemudian dikocok. Diamati perubahan ketinggian (mikro emulsi yang terbentuk) selama waktu tertentu.

153 Thermal Stability (Lemigas, 2008) Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui stabilitas surfaktan terhadap pengaruh pemanasan. Uji dilakukan dengan melarutkan surfaktan dalam larutan garam sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Disiapkan botol borosilikat (sebanyak konsentrasi x jumlah tes yang dilakukan). Dimasukkan larutan surfaktan ke dalam botol (sekitar 25 ml) dan ditutup dengan kuat, kemudian disimpan seluruh botol yang telah berisi larutan surfaktan di dalam oven pada suhu reservoir. Pada waktu tertentu, diambil sebuah botol, dilakukan pengamatan perubahan larutan yang terjadi, kemudian dihitung densitas dan tegangan antarmukanya. Dilakukan berulang untuk pengamatan hari ke-7, 14, dan seterusnya hingga waktu yang ditentukan. Dibuat dalam grafik nilai IFT terhadap waktu untuk mendapatkan perubahan nilai IFT akibat pengaruh pemanasan. 6. Uji Filtrasi (Lemigas, 2008) Uji filtrasi bertujuan untuk mengetahui keberadaan presipitan di dalam larutan surfaktan. Pengujian dilakukan menggunakan alat uji filtrasi. Sebelum memulai, seluruh bagian peralatan uji harus bersih dari sisa surfaktan ataupun karat. Kemudian alat uji dihubungkan dengan nitrogen tank, pressure vessel dan membran filter holder. Diposisikan membran dengan ukuran pori yang sesuai ke dalam filter holder, dibasahi kemudian dikeluarkan udara dari sistem dengan menggunakan gas nitrogen. Dimasukkan 300 ml larutan surfaktan dalam pressure vessel, ditutup katup keluaran dan diatur tekanan 20 psig menggunakan nitrogen regulator. Dibuka katup filter pressure vessel dan secara simultan dihitung waktu menggunakan stopwatch. Tekanan (20 psig) dijaga konstan. Dicatat waktu kumulatif dalam detik untuk setiap 50 ml penyaringan, dilanjutkan penyaringan hingga 300 ml telah disaring. Diamati filter membran apakah terjadi kerusakan sobek, cabikan atau kerusakan lain, termasuk terdapat area yang tidak terbasahi oleh filter. Jika kerusakan ditemukan, diulangi pengukuran. Dicatat kehadiran material yang terjebak di permukaan filter. 7. Uji Core flooding (Lemigas, 2008) Tahap pertama, dilakukan filtrasi bertahap untuk mendapatkan air formasi dan air injeksi 0,22 µm. Kemudian dilakukan pembuatan larutan surfaktan dalam air injeksi yang telah disaring menggunakan membran filter ukuran 0,22 µm. Dipisahkan minyak dari air yang terdapat dalam sampel minyak pada suhu 70 o C dan disiapkan alat uji coreflooding. Core sintetik yang sudah dibersihkan ditimbang bobot keringnya, lalu dijenuhkan dengan air formasi (AF) dengan cara disimpan dalam tabung berisi AF selama 1-3 hari pada kondisi vakum. Ditimbang bobot basah core, dan dilakukan injeksi core oleh minyak pada suhu 70 o C. Diukur volume AF yang keluar, lalu diinjeksikan core dengan air injeksi atau dengan larutan surfaktan pada suhu 70 o C, dan kembali dilakukan pengukuran volume minyak yang keluar. Dihitung persentase volume minyak yang berhasil dikeluarkan dengan injeksi surfaktan.

154 132 Lampiran 6. Peralatan dan Instrumen Analisis yang Digunakan a. Reaktor Transesterifikasi Kapasitas 100 L/Batch b. Reaktor STFR Kapasitas 250 Kg/Hari

155 133 c. Neraca Analitik Precisa XT220A d. Hot Plate Stirrer e. ph Meter

156 134 f. Spinning Drop Tensiometer Model TX500C g. Viscosimeter Brookfield DV-III Ultra h. Density Meter Anton Paar DMA 4500M

157 135 i. Spectrofotometer Thermospectronic Genesys 20 j. Oven k. Pencetak Core

158 136 l. Pemotong Core m. Filtrasi Air Formasi dan Air Injeksi n. Uji Filtrasi

159 o. Uji Coreflood 137

160 138 Lampiran 7. Rekapitulasi Data Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA dan MES 1. Analisis Warna MESA dan MES (klett) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 332,0 227,5 279,8 ± 73, ,5 314,5 346,0 ± 44, ,0 486,0 543,0 ± 80, ,0 800,5 638,8 ± 228, ,0 423,0 425,5 ± 3, ,0 655,0 596,5 ± 82,73 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 209,5 179,5 194,5 ± 21, ,5 245,5 256,5 ± 15, ,5 562,0 379,3 ± 258, ,5 281,0 337,8 ± 9, ,5 321,0 340,3 ± 15, ,0 256,5 198,8 ± 10,96 2. Analisis ph MESA dan MES Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 1,00 1,22 1,11 ± 0,16 2 1,07 1,06 1,07 ± 0,01 3 0,63 1,01 0,82 ± 0,27 4 0,95 0,75 0,85 ± 0,14 5 0,98 0,71 0,85 ± 0,19 6 0,89 0,86 0,88 ± 0,02 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 5,01 8,69 6,85 ± 2,60 2 5,34 8,99 7,17 ± 2,58 3 8,55 8,81 8,68 ± 0,18 4 7,91 7,53 7,72 ± 0,27 5 8,00 8,42 8,21 ± 0,30 6 7,21 9,12 8,17 ± 1,35

161 Analisis Viskositas MESA dan MES (cp) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 51,0 24,5 37,75 ± 18, ,0 40,0 39,50 ± 0, ,5 49,0 100,75 ± 73, ,5 91,5 68,50 ± 32, ,0 94,0 68,50 ± 36, ,0 50,0 45,50 ± 6,36 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 89,5 80,0 84,75 ± 6, ,0 86,0 90,00 ± 5, ,5 105,0 101,25 ± 5, ,5 114,0 175,25 ± 86, ,5 95,0 145,25 ± 71, ,0 98,0 143,00 ± 63,64 4. Analisis Bilangan Iod MESA dan MES (mg Iod/g sampel) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 26,14 34,61 30,37 ± 5, ,23 29,21 29,22 ± 0, ,25 25,68 32,46 ± 9,60 4 9,85 17,97 13,91 ± 5, ,34 18,94 22,14 ± 4, ,38 26,59 28,48 ± 2,68 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 23,93 33,32 28,62 ± 6, ,31 31,35 28,33 ± 4, ,85 29,37 22,61 ± 9, ,92 21,56 23,74 ± 3, ,48 24,91 24,70 ± 0, ,47 23,54 25,51 ± 2,78

162 Analisis Kestabilan Emulsi MESA dan MES (%) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 85,28 88,82 87,05 ± 2, ,32 98,19 90,26 ± 11, ,88 85,60 85,74 ± 0, ,34 84,67 84,51 ± 0, ,15 84,76 85,46 ± 0, ,06 98,14 94,10 ± 5,71 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 99,33 98,52 98,93 ± 0, ,32 99,11 99,22 ± 0, ,14 98,85 99,00 ± 0, ,88 98,47 98,68 ± 0, ,07 99,09 99,08 ± 0, ,52 98,55 99,04 ± 0,69 6. Analisis Kandungan Bahan Aktif MESA dan MES (%) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 6,53 8,49 7,51 ± 1,39 2 7,63 8,70 8,17 ± 0,76 3 7,73 8,34 7,73 ± 0,43 4 8,83 9,00 8,92 ± 0, ,28 9,09 10,18 ± 1, ,93 8,96 11,44 ± 3,51 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 5,14 7,24 6,19 ± 1, ,46 7,04 9,25 ± 3,13 3 7,24 8,10 7,67 ± 0,61 4 7,04 7,23 7,17 ± 0,18 5 9,29 7,85 8,57 ± 1, ,88 8,58 9,73 ± 1,62

163 Analisis Bilangan Asam MESA dan MES (mg KOH/g sampel) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 12,29 8,45 10,37 ± 2, ,05 12,60 11,32 ± 1, ,66 13,71 18,66 ± 3, ,35 19,21 15,28 ± 5, ,38 17,46 14,42 ± 4, ,86 14,10 12,98 ± 1,58 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 0,65 0,50 0,57 ± 0,11 2 0,53 0,49 0,51 ± 0,02 3 0,13 0,57 0,35 ± 0,32 4 0,23 0,52 0,37 ± 0,21 5 0,17 0,50 0,33 ± 0,23 6 0,55 0,52 0,53 ± 0,02 8. Analisis Nilai Tegangan Antarmuka MESA dan MES (dyne/cm) Lama Sulfonasi MESA (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 1,07x10-1 2,89x10-1 1,98x10-1 ± 0, ,16x10-2 1,99x10-1 1,25x10-1 ± 0, ,65x10-1 1,48x10-1 1,57x10-1 ± 0, ,23x10-2 1,88x10-1 1,20x10-1 ± 0, ,91x10-2 1,02x10-1 8,56x10-2 ± 0, ,07x10-1 8,91x10-2 9,81x10-2 ± 0,013 Lama Sulfonasi MES (Jam) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 6,85x10-2 4,01x10-2 5,43x10-2 ± 0, ,35x10-1 2,24x10-2 7,87x10-2 ± 0, ,20x10-2 2,76x10-2 2,48x10-2 ± 0, ,80x10-2 2,55x10-2 2,68x10-2 ± 0, ,55x10-2 2,67x10-2 5,61x10-2 ± 0, ,01x10-1 1,11x10-2 5,61x10-2 ± 0,064

164 142 Lampiran 8. Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA Olein Parameter Sumber Keragaman db JK KT F Hit Pr>F Warna Densitas ph Viskositas Bilangan Iod Kestabilan Emulsi Kandungan Bahan Aktif Bilangan Asam IFT Perlakuan , , ,39 0,0846 Galat , ,625 Total Terkoreksi ,9167 Perlakuan 5 0, , ,02 0,4808 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 11 0, Perlakuan 5 0, , ,24 0,3941 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 11 0, Perlakuan , , ,87 0,5524 Galat , , Total Terkoreksi ,91671 Perlakuan 5 476, , ,04 0,1045 Galat 6 188, , Total Terkoreksi , Perlakuan 5 133, , ,97 0,5042 Galat 6 165, , Total Terkoreksi , Perlakuan 5 22, , ,54 0,3047 Galat 6 17, , Total Terkoreksi 11 39, Perlakuan 5 51, , ,83 0,5699 Galat 6 74, , Total Terkoreksi , Perlakuan 5 0, , ,54 0,7419 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 11 0, Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

165 143 Lampiran 9. Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Parameter Sumber Keragaman db JK KT F Hit Pr>F Warna Densitas ph Viskositas Bilangan Iod Kestabilan Emulsi Kandungan Bahan Aktif Bilangan Asam IFT Perlakuan , ,3 0,92 0,5268 Galat , ,58333 Total Terkoreksi Perlakuan 5 0, , ,02 0,4808 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 11 0, Perlakuan 5 4, , ,37 0,8520 Galat 6 15, , Total Terkoreksi 11 20, Perlakuan 5 347, , ,16 0,0971 Galat 6 132, , Total Terkoreksi , Perlakuan 5 59, , ,42 0,8212 Galat 6 171, , Total Terkoreksi , Perlakuan 5 59, , ,42 0,8212 Galat 6 171, , Total Terkoreksi , Perlakuan 5 17, , ,33 0,3649 Galat 6 16, , Total Terkoreksi 11 33, Perlakuan 5 0, , ,65 0,6757 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 11 0, Perlakuan 5 0, , ,40 0,8331 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 11 0, Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

166 144 Lampiran 10. Hasil Analisis Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Re-esterifikasi a. Rekapitulasi data Konsentrasi IFT (dyne/cm) metanol (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0 4,19x10-2 4,35x10-2 4,27x10-2 ± 0, ,38x10-1 9,78x10-2 1,18x10-1 ± 0, ,99x10-1 1,90x10-1 1,95x10-1 ± 0, ,16x10-1 2,79x10-1 1,98x10-1 ± 0,1153 b. Sidik ragam Parameter Sumber Keragaman db JK KT F Hit Pr>F Tegangan Antarmuka (IFT) Perlakuan 3 0, , ,06 0,1541 Galat 4 0, , Total Terkoreksi 7 0, Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

167 145 Lampiran 11. Perbandingan Karakteristik Air Formasi dan Air Injeksi yang Digunakan Parameter Satuan Air Formasi Air Injeksi Tampilan sebelum filtrasi - Keruh, coklat dan beminyak Keruh, coklat dan beminyak Tampilan setelah filtrasi - Jernih, kekuningan Jernih, kekuningan Total padatan terlarut ppm ,2 (terhitung) SG (75 o F) 1,027 NA H2S ppm Tidak ada 2,7 CO2 ppm NA 18 ph 8 8 Kation : a. Na 2+ ppm ,7 - b. Ca 2+ ppm 350,0 100 c. Mg 2+ ppm 8,0 182 d. Ba 2+ ppm <1,0 2,2 e. Total Fe ppm 1.650,0 0,5 Anion : ppm a. Cl - ppm , b. SO 4 ppm 535,0 11 c. HCO 3- ppm 317, d. CO 3 ppm 0 0 e. OH - ppm 0 NA Oil content ppm NA 100 Sumber : PT. X

168 146 Lampiran 12. Rekapitulasi Data Analisis Hasil Perbaikan Proses Produksi MES Terhadap Mutu MES a. Analisis Tegangan Antarmuka pada Air Formasi (dyne/cm) Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 6 2,78x10-2 2,53x10-2 2,66x10-2 ± 1,77x ,94x10-2 3,50x10-2 3,22x10-2 ± 3,96x ,95x10-2 2,87x10-2 2,41x10-2 ± 6,51x ,22x10-3 1,15x10-2 8,36x10-3 ± 4,44x ,20x10-3 1,09x10-2 1,01x10-2 ± 1,20x ,33x10-3 8,59x10-3 7,46x10-3 ± 1,60x ,85x10-2 2,62x10-2 2,74x10-2 ± 1,63x ,55x10-2 3,07x10-2 2,81x10-2 ± 3,68x ,08x10-2 2,64x10-2 2,36x10-2 ± 3,96x10-3 b. Analisis Tegangan Antarmuka pada Air Injeksi (dyne/cm) Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 6 4,31x10-2 4,86x10-2 4,59x10-2 ± 3,89x ,64x10-2 3,45x10-2 3,55x10-2 ± 1,34x ,08x10-2 2,79x10-2 2,94x10-2 ± 2,05x ,45x10-2 1,88x10-2 1,67x10-2 ± 3,04x ,44x10-2 1,71x10-2 1,58x10-2 ± 1,91x ,03x10-2 1,95x10-2 1,49x10-2 ± 6,51x ,18x10-2 5,18x10-2 5,18x10-2 ± 0,00 7 4,86x10-2 5,96x10-2 5,41x10-2 ± 7,78x ,52x10-2 4,57x10-2 4,05x10-2 ± 7,42x10-3

169 147 c. Stabilitas Emulsi (%) Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 6 22,7 3,0 12,9 ± 13,93 7 2,8 3,0 2,9 ± 0,15 8 1,7 1,5 1,6 ± 0,09 6 0,0 26,9 13,4 ± 19,00 7 7,5 7,7 7,6 ± 0,16 8 0,8 0,8 0,8 ± 0, ,3 6,1 18,2 ± 17,14 7 7,6 7,0 7,3 ± 0,38 8 1,4 1,5 1,5 ± 0,09 d. Viskositas (cp) Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 6 87,60 112,50 100,05 ± 17, ,30 176,10 125,70 ± 71, ,80 174,60 139,20 ± 50, ,20 47,70 49,95 ± 3, ,00 74,10 65,55 ± 12, ,60 79,20 99,90 ± 29, ,80 23,10 22,95 ± 0, ,10 24,30 25,20 ± 1, ,60 31,20 36,90 ± 8,06

170 148 e. Bilangan Iod (mg Iod/g sampel) Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Pengukuran 1 Pengukuran 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Rata-rata Total ± SD 6 12,04 12,21 12,13 12,76 12,45 12,61 12,37 ± 0,34 7 9,87 9,34 9,61 10,84 11,41 11,13 10,37 ± 1, ,14 9,94 10,04 10,51 10,39 10,45 10,25 ± 0, ,21 17,06 17,14 17,39 17,37 17,38 17,26 ± 0, ,71 16,27 16,49 15,65 15,70 15,68 16,08 ± 0, ,44 15,88 15,66 16,23 16,85 16,54 16,10 ± 0, ,89 28,20 28,05 27,74 27,71 27,73 27,89 ± 0, ,00 27,00 27,00 25,97 26,11 26,04 26,52 ± 0, ,75 26,10 26,43 25,29 25,22 25,26 25,84 ± 0,83

171 149 f. Kandungan Bahan Aktif Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Pengukuran 1 Pengukuran 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Rata-rata Total ± SD 6 3,09 3,61 3,35 3,34 3,35 3,35 3,35 ± 0,00 7 3,86 4,36 4,11 3,83 3,84 3,84 3,97 ± 0,19 8 3,48 3,61 3,55 3,32 3,31 3,32 3,43 ± 0,16 6 4,13 4,13 4,13 3,87 4,13 4,00 4,07 ± 0,09 7 4,39 4,13 4,26 4,37 4,10 4,23 4,25 ± 0,02 8 4,87 4,63 4,75 4,64 4,37 4,51 4,63 ± 0,17 6 5,15 5,12 5,13 4,87 4,86 4,87 5,00 ± 0,19 7 4,61 4,65 4,63 4,89 4,77 4,83 4,73 ± 0,15 8 4,89 5,40 5,15 5,67 5,67 5,67 5,41 ± 0,37

172 150 g. Warna (Metoda Klett) Udara Kering (kg/jam) 0 1,81 3,61 ph Pengukuran 1 Pengukuran 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Rata-rata Total ± SD ,5 ± 99, ,5 450,8 ± 54, ,0 ± 72, ,5 388,8 ± 44, ,5 371,8 ± 20, ,5 280,5 ± 77, ,5 310,5 ± 56, ,5 ± 21, ,5 162,3 ± 23,69

173 151 Lampiran 13. Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Hasil Perbaikan Proses 1. Tegangan Antarmuka pada pengukuran menggunakan air formasi 1.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering 2 0, , ,08 0,0077 Ulangan udara 3 0, , ,77 0,2531 kering ph 2 0, , ,73 0,0886 Interaksi 4 0, , ,54 0,7153 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 17 0, Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 1.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 0, A 1,81 6 0, B 3,61 6 0, A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 1.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 6 6 0, AB 7 6 0, A 8 6 0, B Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

174 Tegangan Antarmuka pada pengukuran menggunakan air injeksi 2.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering 2 0, , ,64 0,0065* Ulangan udara 3 0, , ,40 0,0944 kering ph 2 0, , ,95 0,0067* Interaksi 4 0, , ,97 0,0656 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 17 0, Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 2.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 0, B 1,81 6 0, C 3,61 6 0, A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 2.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 6 6 0, A 7 6 0, A 8 6 0, B Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

175 Bilangan Iod 3.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering Ulangan udara kering ph Interaksi Galat Total Terkoreksi Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 3.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,9933 C 1, ,4808 B 3, ,7500 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 3.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,1717 A ,6567 B ,3958 B Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

176 Kandungan Bahan Aktif 4.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering 2 6, , ,16 0,0021 Ulangan udara 3 0, , ,10 0,4178 kering ph 2 0, , ,85 0,0390 Interaksi 4 0, , ,94 0,0194 Galat 6 0, , Total Terkoreksi 17 7, Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 4.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 3,5841 C 1,81 6 4,3142 B 3,61 6 5,0461 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 4.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 6 6 4,1374 B 7 6 4,3172 AB 8 6 4,4899 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

177 Kestabilan Emulsi 5.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering 2 30, , ,16 0,8603 Ulangan udara 3 287, , ,03 0,4452 kering ph 2 569, , ,04 0,1223 Interaksi 4 31, , ,08 0,9841 Galat 6 561, , Total Terkoreksi , Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 5.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 5,803 A 1,81 6 7,257 A 3,61 6 8,982 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 5.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,832 A 7 6 5,937 A 8 6 1,273 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

178 Viskositas 6.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering , , ,04 0,0006 Ulangan udara , , ,56 0,0363 kering ph , , ,51 0,0638 Interaksi 4 850, , ,54 0,7152 Galat , ,87500 Total Terkoreksi ,72000 Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 6.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,65 A 1, ,80 B 3, ,35 C Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 6.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,65 B ,15 AB ,00 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

179 Warna (klett) 7.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Udara kering , , ,59 0,0155 Ulangan udara , ,5278 1,00 0,4564 kering ph , , ,02 0,0080 Interaksi , ,4583 1,02 0,4677 Galat , ,3194 Total Terkoreksi ,5000 Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 7.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,42 A 1, ,00 B 3, ,08 B Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. 7.c. Hasil uji Duncan untuk faktor ph Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan ,58 A ,67 A ,25 B Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

180 158 Lampiran 14. Data Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Injeksi Setelah Penambahan Surfaktan MES pada Beberapa Konsentrasi Konsentrasi Nilai IFT (dyne/cm) MES (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0 3,74x10-1 4,64x10-1 4,19x10-1 ± 0,0634 0,1 1,64x10-2 1,83x10-2 1,73x10-2 ± 0,0014 0,2 1,39x10-2 1,34x10-2 1,37x10-2 ± 0,0004 0,3 1,05x10-2 1,02x10-2 1,03x10-2 ± 0,0002 0,4 1,26x10-2 3,58x10-2 2,42x10-2 ± 0,0164

181 159 Lampiran 15. Rekapitulasi Data Analisis Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya a. Tegangan Antarmuka (IFT) (dyne/cm) Salinitas IFT No (ppm) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 0 2,12x10-2 1,15x10-2 1,63x10-2 ± 0, ,99x10-3 8,84x10-3 8,92x10-3 ± 0, ,06x10-3 7,94x10-3 8,50x10-3 ± 0, ,97x10-3 1,06x10-2 8,30x10-3 ± 0, ,52x10-3 1,18x10-2 1,01x10-2 ± 0, ,79x10-3 1,24x10-2 1,06x10-2 ± 0, ,98x10-3 1,41x10-2 1,10x10-2 ± 0, ,22x10-3 1,12x10-2 9,21x10-3 ± 0, ,22x10-3 1,06x10-2 8,93x10-3 ± 0, ,80x10-3 1,29x10-2 1,04x10-2 ± 0, ,95x10-3 1,09x10-2 9,44x10-3 ± 0, ,64x10-3 1,10x10-2 1,03x10-2 ± 0, ,30x10-3 1,00x10-2 9,15x10-3 ± 0,0012 b. Densitas (g/cm 3 ) Salinitas Densitas No (ppm) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 0 0,9914 0,9899 0,9907 ± 0, ,9988 0,9931 0,9959 ± 0, ,9964 0,9977 0,9970 ± 0, ,9998 0,9998 0,9998 ± 0, ,0041 1,0030 1,0036 ± 0, ,0070 1,0067 1,0068 ± 0, ,0114 1,0096 1,0105 ± 0, ,0155 1,0138 1,0147 ± 0, ,0190 1,0164 1,0177 ± 0, ,0216 1,0190 1,0203 ± 0, ,0252 1,0224 1,0238 ± 0, ,0287 1,0267 1,0277 ± 0, ,0334 1,0322 1,0328 ± 0,0008

182 160 c. ph Salinitas ph No (ppm) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 0 9,09 9,44 9,27 ± 0, ,17 9,28 9,23 ± 0, ,03 9,30 9,17 ± 0, ,96 9,15 9,06 ± 0, ,03 9,15 9,09 ± 0, ,02 9,16 9,09 ± 0, ,05 9,14 9,10 ± 0, ,99 9,12 9,06 ± 0, ,92 9,07 9,00 ± 0, ,86 9,00 8,93 ± 0, ,86 8,97 8,92 ± 0, ,85 9,05 8,95 ± 0, ,89 9,01 8,95 ± 0,08 d. Viskositas (30 o C) salinitas Viskositas No (ppm) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 0 1,02 1,02 1,02 ± 0, ,29 1,14 1,22 ± 0, ,08 1,02 1,05 ± 0, ,08 1,02 1,05 ± 0, ,05 1,14 1,10 ± 0, ,08 1,14 1,11 ± 0, ,05 1,20 1,13 ± 0, ,11 1,20 1,16 ± 0, ,14 1,11 1,13 ± 0, ,14 1,08 1,11 ± 0, ,29 1,20 1,25 ± 0, ,14 1,20 1,17 ± 0, ,14 1,14 1,14 ± 0,00

183 161 e. Viskositas (70 o C, cp) salinitas Viskositas No (ppm) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 0 0,69 0,57 0,63 ± 0, ,69 0,63 0,66 ± 0, ,60 0,66 0,63 ± 0, ,72 0,69 0,71 ± 0, ,66 0,60 0,63 ± 0, ,72 0,60 0,66 ± 0, ,72 0,63 0,68 ± 0, ,69 0,66 0,68 ± 0, ,69 0,66 0,68 ± 0, ,75 0,66 0,71 ± 0, ,75 0,63 0,69 ± 0, ,69 0,66 0,68 ± 0, ,78 0,63 0,71 ± 0,106

184 162 Lampiran 16. Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Penentuan Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya 1. Tegangan Antarmuka 1.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Salinitas 12 0, , ,90 0,5709 Galat 13 0, , Total Terkoreksi 25 0, b. Hasil uji Duncan Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 2 0, A , AB , B , B , AB , AB , AB , AB , AB , AB , AB , AB , AB 2. Densitas 2.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Salinitas 12 0, , ,44 <0,0001 Galat 13 0, , Total Terkoreksi 25 0,

185 163 2.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 2 0, J , I , HI , H , G , G , F , E , DE , CD , C , B , A 3. ph 3.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Salinitas 12 0, , ,58 0,2130 Galat 13 0, , Total Terkoreksi 25 0, b. Hasil uji Duncan Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 2 9,2650 A ,2250 AB ,1650 ABC ,0550 ABC ,0900 ABC ,0900 ABC ,0950 ABC ,0550 ABC ,9950 ABC ,9300 BC ,9150 C ,9500 BC ,9500 BC

186 Viskositas (30 o C) 4.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Salinitas 12 0, , ,42 0,0639 Galat 13 0, , Total Terkoreksi 25 0, b. Hasil uji Duncan Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 2 1,02000 D ,21500 AB ,05000 CD ,05000 CD ,09500 BCD ,11000 ABCD ,12500 ABCD ,15500 ABCD ,12500 ABCD ,11000 ABCD ,24500 A ,17000 ABC ,14000 ABCD 5. Viskositas (70 o C) 5.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Salinitas 12 0, , ,41 0,9322 Galat 13 0, , Total Terkoreksi 25 0,

187 5.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 2 0,63000 A ,66000 A ,63000 A ,70500 A ,63000 A ,66000 A ,67500 A ,67500 A ,67500 A ,70500 A ,69000 A ,67500 A ,70500 A 165

188 166 Lampiran 17. Rekapitulasi Data Analisis Pemilihan Aditif Berdasarkan Berbagai Parameter Ukurnya a. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) Konsentrasi NaOH (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0,1 2,70x10-2 1,72x10-2 2,21x10-2 ± 0,0069 0,2 3,74x10-1 3,98x10-1 3,86x10-1 ± 0,0173 0,3 4,08x10-1 3,59x10-1 3,84x10-1 ± 0,0346 0,4 3,82x10-1 3,93x10-1 3,87x10-1 ± 0,0077 0,5 3,12x10-1 3,18x10-1 3,15x10-1 ± 0,0047 0,6 2,76x10-1 2,85x10-1 2,81x10-1 ± 0,0063 Konsentrasi Na 2 CO 3 (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0,1 7,42x10-3 7,82x10-3 7,62x10-3 ± 0,0003 0,2 7,34x10-3 7,64x10-3 7,49x10-3 ± 0,0002 0,3 6,52x10-3 7,42x10-3 6,97x10-3 ± 0,0006 0,4 1,15x10-2 9,66x10-3 1,06x10-2 ± 0,0013 0,5 1,17x10-2 9,98x10-3 1,08x10-2 ± 0,0012 0,6 1,09x10-2 8,85x10-3 9,89x10-3 ± 0,0015 b. Nilai ph Konsentrasi NaOH (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0,1 10,90 10,87 10,89 ± 0,02 0,2 12,09 11,99 12,04 ± 0,07 0,3 12,32 12,28 12,30 ± 0,03 0,4 12,47 12,48 12,48 ± 0,01 0,5 12,60 12,59 12,60 ± 0,01 0,6 12,65 12,66 12,66 ± 0,01 Konsentrasi Na 2 CO 3 (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0,1 9,51 9,52 9,52 ± 0,01 0,2 9,66 9,69 9,68 ± 0,02 0,3 9,88 9,88 9,88 ± 0,00 0,4 9,98 10,00 9,99 ± 0,01 0,5 10,08 10,12 10,10 ± 0,03 0,6 10,20 10,12 10,16 ± 0,06

189 167 c. Densitas (g/cm 3 ) Konsentrasi NaOH (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0,1 1,0023 1,0029 1,0026 ± 0,0005 0,2 1,0033 1,0050 1,0042 ± 0,0012 0,3 1,0042 1,0042 1,0042 ± 0,0001 0,4 1,0046 1,0058 1,0052 ± 0,0008 0,5 1,0046 1,0064 1,0055 ± 0,0013 0,6 1,0062 1,0088 1,0075 ± 0,0018 Konsentrasi Na 2 CO 3 (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 0,1 1,0013 1,0013 1,0013 ± 2,12x10-5 0,2 1,0021 1,0023 1,0022 ± 1,13x10-4 0,3 1,0032 1,0034 1,0033 ± 9,90x10-5 0,4 1,0048 1,0046 1,0047 ± 1,13x10-4 0,5 1,0047 1,0042 1,0044 ± 3,68x10-4 0,6 1,0056 1,0052 1,0054 ± 2,90x10-4

190 168 Lampiran 18. Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Pemilihan Jenis dan Konsentrasi Aditif pada Berbagai Parameter Ukurnya 1. Tegangan Antarmuka 1.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Jenis Aditif 1 0, , ,91 <0,0001 Konsentrasi 5 0, , ,95 <0,0001 Aditif*Konsentrasi 5 0, , ,66 <0,0001 Galat 12 0, , Total Terkoreksi 23 0, b. Hasil uji Duncan untuk Jenis Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan NaOH 12 0, A Na2CO3 12 0, B 1.c. Hasil uji Duncan untuk Konsentrasi Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0,1 4 0, C 0,2 4 0, A 0,3 4 0, A 0,4 4 0, A 0,5 4 0, B 0,6 4 0, B 1.d. Hasil uji Duncan untuk Interaksi Jenis dan Konsentrasi Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan NaOH*0,1% 2 0,02208 D NaOH*0,2% 2 0,38607 A NaOH*0,3% 2 0,38389 A NaOH*0,4% 2 0,38717 A NaOH*0,5% 2 0,31492 B NaOH*0,6% 2 0,28061 C Na 2 CO 3 *0,1% 2 0,00762 D Na 2 CO 3 *0,2% 2 0,00749 D Na 2 CO 3 *0,3% 2 0,00697 D Na 2 CO 3 *0,4% 2 0,01057 D Na 2 CO 3 *0,5% 2 0,01085 D Na 2 CO 3 *0,6% 2 0,00989 D

191 ph 2.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Jenis Aditif 1 30, , ,3 <0,0001 Konsentrasi 5 4, , ,26 <0,0001 Aditif*Konsentrasi 5 0, , ,83 <0,0001 Galat 12 0, , Total Terkoreksi 23 35, b. Hasil uji Duncan untuk Jenis Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan NaOH 12 12,15833 A Na2CO3 12 9,88667 B 2.c. Hasil uji Duncan untuk Konsentrasi Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0,1 4 10,20000 F 0,2 4 10,85750 E 0,3 4 11,09000 D 0,4 4 11,23250 C 0,5 4 11,34750 B 0,6 4 11,40750 A 2.d. Hasil uji Duncan untuk Interaksi Jenis dan Konsentrasi Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan NaOH*0,1% 2 10,88500 E NaOH*0,2% 2 12,04000 D NaOH*0,3% 2 12,30000 C NaOH*0,4% 2 12,47500 B NaOH*0,5% 2 12,59500 A NaOH*0,6% 2 12,65500 A Na 2 CO 3 *0,1% 2 9,51500 J Na 2 CO 3 *0,2% 2 9,67500 I Na 2 CO 3 *0,3% 2 9,88000 H Na 2 CO 3 *0,4% 2 9,99000 G Na 2 CO 3 *0,5% 2 10,10000 F Na 2 CO 3 *0,6% 2 10,16000 F

192 Densitas 3.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db JK KT F Hitung Pr > F Jenis Aditif 1 0, , ,47 0,0016 Konsentrasi 5 0, , ,30 <0,0001 Aditif*Konsentrasi 5 0, , ,63 0,6833 Galat 12 0, , Total Terkoreksi 23 0, b. Hasil uji Duncan untuk Jenis Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan NaOH 12 1, A Na2CO3 12 1, B 3.c. Hasil uji Duncan untuk Konsentrasi Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0,1 4 1, D 0,2 4 1, C 0,3 4 1, BC 0,4 4 1, B 0,5 4 1, B 0,6 4 1, A 3.d. Hasil uji Duncan untuk Interaksi Jenis dan Konsentrasi Aditif Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan NaOH*0,1% 2 1, DEF NaOH*0,2% 2 1, BCD NaOH*0,3% 2 1, BCD NaOH*0,4% 2 1, B NaOH*0,5% 2 1, B NaOH*0,6% 2 1, A Na 2 CO 3 *0,1% 2 1, F Na 2 CO 3 *0,2% 2 1, EF Na 2 CO 3 *0,3% 2 1, CDE Na 2 CO 3 *0,4% 2 1, BC Na 2 CO 3 *0,5% 2 1, BCD Na 2 CO 3 *0,6% 2 1, B

193 171 Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Analisis Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Surfaktan Komersial a. Pengukuran pada Air Formasi No Kode Surfaktan Nama Kimia Jenis Surfaktan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 SK05 Alkyl Polyglicoside C12 Nonionik 1,94x10-2 1,87x10-2 1,91x10-2 ± 0, SK06 Alkyl Polyglicoside C8 Nonionik 4,40x10-2 3,85x10-2 4,13x10-2 ± 0, SK10 C10 Alkoxylated 7 Nonionik 6,46x10-1 6,61x10-1 6,54x10-1 ± 0, SK13 Dietanolamida Nonionik 1,59x10-2 1,27x10-2 1,43x10-2 ± 0, SK15 Alcohol ethoxylate 7 EO Nonionik 9,49x10-2 1,40x10-1 1,17x10-1 ± 0, SK24 Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Anionik 5,74x10-2 6,33x10-2 6,04x10-2 ± 0, SK25 Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Anionik 6,66x10-2 6,92x10-2 6,79x10-2 ± 0, SK26 Dodecyl benzene sulfonic acid Anionik 6,11x10-2 5,68x10-2 5,90x10-2 ± 0, SK27 Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonionik 7,77x10-2 9,41x10-2 8,59x10-2 ± 0, SK28 Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Nonionik 9,00x10-2 8,87x10-2 8,94x10-2 ± 0, SK33 Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Kationik 3,10x10-2 2,10x10-2 2,60x10-2 ± 0, SK38 Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 5,87x10-2 1,61x10-2 3,74x10-2 ± 0, SK39 Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 6,82x10-1 6,27x10-1 6,55x10-1 ± 0, SK50 Alkyl Polyglicoside C12-16 Nonionik 5,19x10-2 1,08x10-1 8,00x10-2 ± 0,0397

194 172 b. Pengukuran pada Air Injeksi No Kode Surfaktan Nama Kimia Jenis Surfaktan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 SK05 Alkyl Polyglicoside C12 Nonionik 9,82x10-2 8,68x10-2 9,25x10-2 ± 0, SK06 Alkyl Polyglicoside C8 Nonionik 8,41x10-2 8,22x10-2 8,32x10-2 ± 0, SK10 C10 Alkoxylated 7 Nonionik 1,19x10-2 5,24x10-3 8,57x10-3 ± 0, SK13 Dietanolamida Nonionik 1,94x10-2 1,27x10-2 1,61x10-2 ± 0, SK15 Alcohol ethoxylate 7 EO Nonionik 1,22x10-1 1,09x10-1 1,16x10-1 ± 0, SK24 Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Anionik 5,44x10-2 7,06x10-2 6,25x10-2 ± 0, SK25 Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Anionik 7,55x10-2 8,17x10-2 7,86x10-2 ± 0, SK26 Dodecyl benzene sulfonic acid Anionik 5,14x10-2 5,07x10-2 5,11x10-2 ± 0, SK27 Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonionik 9,38x10-2 1,51x10-1 1,22x10-1 ± 0, SK28 Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Nonionik 1,07x10-1 9,74x10-2 1,02x10-1 ± 0, SK33 Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Kationik 3,10x10-2 4,10x10-2 3,60x10-2 ± 0, SK38 Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 2,27x10-2 2,05x10-2 2,16x10-2 ± 0, SK39 Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 4,40x10-2 2,39x10-2 3,40x10-2 ± 0, SK50 Alkyl Polyglicoside C12-16 Nonionik 9,82x10-2 8,68x10-2 9,25x10-2 ± 0,0081

195 173 c. Pengukuran pada Air Demineralisasi No Kode Surfaktan Nama Kimia Jenis Surfaktan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 SK05 Alkyl Polyglicoside C12 Nonionik 6,50x10-2 3,46x10-2 4,98x10-2 ± 0, SK06 Alkyl Polyglicoside C8 Nonionik 9,59x10-2 1,57x10-1 1,26x10-1 ± 0, SK10 C10 Alkoxylated 7 Nonionik 5,19x10-1 7,33x10-1 6,26x10-1 ± 0, SK13 Dietanolamida Nonionik 5,48x10-2 1,73x10-2 3,61x10-2 ± 0, SK15 Alcohol ethoxylate 7 EO Nonionik 1,06x10-1 2,97x10-1 2,02x10-1 ± 0, SK24 Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Anionik 6,36x10-1 5,70x10-1 6,03x10-1 ± 0, SK25 Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Anionik 9,35x10-1 7,68x10-1 8,52x10-1 ± 0, SK26 Dodecyl benzene sulfonic acid Anionik 4,43x10-1 5,38x10-1 4,91x10-1 ± 0, SK27 Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonionik 1,05x10-1 1,23x10-1 1,14x10-1 ± 0, SK28 Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Nonionik 1,31x10-1 1,51x10-1 1,41x10-1 ± 0, SK33 Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Kationik 2,43x10-1 2,93x10-1 2,68x10-1 ± 0, SK38 Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 7,96x10-1 8,08x10-1 8,02x10-1 ± 0, SK39 Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Nonionik 5,90x10-1 7,41x10-1 6,66x10-1 ± 0, SK50 Alkyl Polyglicoside C12-16 Nonionik 1,31x10-1 1,51x10-1 1,41x10-1 ± 0,0141

196 174 Lampiran 20. Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan Kode IFT (dyne/cm) Formula Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1 MES 1,03x10-2 1,95x10-2 1,49x10-2 ± 3,3x SK05 1,94x10-2 8,68x10-2 5,31x10-2 ± 2,4x SK13 1,94x10-2 1,27x10-2 1,61x10-2 ± 2,4x SK33 3,10x10-2 4,10x10-2 3,60x10-2 ± 3,5x MES 0,3%+NaCl ppm 5,97x10-3 1,06x10-2 8,30x10-3 ± 1,6x MES 0,3%+Na 2 CO 3 0,3% 1,81x10-2 1,80x10-2 1,81x10-2 ± 3,8x MES 0,3%+NaCl ppm+na 2 CO 3 0,3% 6,96x10-3 6,98x10-3 6,97x10-3 ± 7,1x MES 0,3%+SK05 0,3% 2,86x10-2 2,87x10-2 2,86x10-2 ± 1,1x MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl ppm 3,49x10-2 2,84x10-2 3,16x10-2 ± 2,3x MES 0,3%+SK05 0,3%+ Na 2 CO 3 0,3% 1,54x10-2 1,55x10-2 1,55x10-2 ± 3,5x MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl ppm+na 2 CO 3 0,3% 1,72x10-2 1,08x10-2 1,40x10-2 ± 2,3x MES 0,3%+SK13 0,3% 4,25x10-2 9,27x10-3 2,59x10-2 ± 1,2x MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl ppm 9,73x10-3 1,23x10-2 1,10x10-2 ± 9,1x MES 0,3%+SK13 0,3%+ Na 2 CO 3 0,3% 2,95x10-2 9,55x10-3 1,95x10-2 ± 7,1x MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl ppm+na 2 CO 3 0,3% 8,28x10-3 1,49x10-2 1,16x10-2 ± 2,3x MES 0,3%+SK33 0,3% 7,76x10-2 8,50x10-2 8,13x10-2 ± 2,6x MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl ppm 9,19x10-2 8,76x10-2 8,98x10-2 ± 1,5x MES 0,3%+SK33 0,3%+ Na 2 CO 3 0,3% 7,00x10-2 6,50x10-2 6,75x10-2 ± 1,8x MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl ppm+na 2 CO 3 0,3% 9,86x10-2 9,26x10-2 9,56x10-2 ± 2,1x10-3

197 175 Lampiran 21. Hasil Pengamatan Pengujian Ketahanan Larutan Surfaktan terhadap Panas a. Pemanasan pada suhu 70 o C No Pengamatan Tampilan Larutan 1 Hari ke-0 Jernih, 1 fasa 2 Hari ke-2 Jernih, 1 fasa 3 Hari ke-7 Jernih, 1 fasa 4 Hari ke-14 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 5 Hari ke-28 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 6 Hari ke-41 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 7 Hari ke-48 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 8 Hari ke-55 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 9 Hari ke-70 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 10 Hari ke-77 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan Nilai IFT (dyne/cm) 6,97x10-3 6,99x10-3 5,46x10-3 4,43x10-3 6,46x10-3 8,69x10-3 8,46x10-3 1,84x10-2 1,96x10-2 3,46x10-2 b. Pemanasan pada suhu reservoir (112 o C) No Pengamatan Tampilan Larutan Nilai IFT (dyne/cm) 1 Hari ke-0 Jernih, 1 fasa 6,97x Hari ke-2 Jernih, 1 fasa 2,87x Hari ke-7 Jernih, 1 fasa 2,76x Hari ke-14 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 2,45x Hari ke-28 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 2,17x Hari ke-41 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 2,09x Hari ke-48 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 1,99x Hari ke-55 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 2,40x Hari ke-70 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 2,40x Hari ke-77 Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan 4,50x10-2

198 176 Lampiran 22. Hasil Uji Filtrasi Air Demineralisasi, Air Formasi dan Larutan Formula Surfaktan a. Lama Proses Penyaringan dengan Kain Saring Kasar 500 mesh No Volume (ml) Air Demineralisasi (AD) Air Formasi (AF) MESCO 0,3% ppm+ AD MESCO 0,3% ppm+af Menit Detik Menit Detik Menit Detik Menit Detik 1 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00: :00:04 4 0:00:05 5 0:00:07 7 0:00: :00:08 8 0:00:09 9 0:00: :00: :00: :00: :00: :00: :00: :00: :01: :00: :00: :00: :02: :01: :00: :00: :03: :02: Filtration Ratio (FR) 1,00 1,25 5,00 7,88 b. Lama Proses Penyaringan dengan Kertas Saring 20-25µm No Volume (ml) Air Demineralisasi (AD) Air Formasi (AF) MESCO 0,3% ppm+ AD MESCO 0,3% ppm+af Menit Detik Menit Detik Menit Detik Menit Detik 1 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00: :00: :00: :00: :01: :00: :00: :01: :05: :00: :00: :01: :10: :01: :01: :02: :19: :01: :01: :03: :28: :01: :01: :04: :41: Filtration Ratio (FR) 1,20 1,24 1,68 3,67

199 177 c. Lama Proses Penyaringan dengan Kertas Membran 0,45 µm No Volume (ml) Air Demineralisasi (AD) AF MESCO 0,3% ppm+ad MESCO 0,3% ppm+af Menit Detik Menit Detik Menit Detik Menit Detik 1 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00: :00:13 4 0:00: :00: :00: :00:25 8 0:08: :00: :00: :00: :28: :00: :00: :00: :04: :00: :01: :00: :06: :00: :01: :01: :23: :01: :01: Filtration Ratio (FR) 1,00 9,53 2,22 1,63 d. Lama Proses Penyaringan dengan Kertas Membran 0,22 µm No Volume (ml) Air Demineralisasi (AD) Air Formasi (AF) MESCO 0,3% ppm+ad MESCO 0,3% ppm+af Menit Detik Menit Detik Menit Detik Menit Detik 1 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00:00 0 0:00: :00: :00: :00: :00: :01: :00: :01: :01: :01: :01: :01: :01: :02: :01: :01: :02: :03: :02: :02: :03: :05: :03: :02: :05: Filtration Ratio (FR) 2,19 1,30 0,97 1,67

200 178 Lampiran 23. Proses Pembuatan Core Sintetik Pasir Kuarsa (35 mesh) Semen (25% dari pasir kuarsa) Pencampuran Air (10% dari bobot total) Pencetakan Pengeringan (di bawah sinar matahari/oven) Pengeluaran dari Cetakan Perapian Core Sesuai Ukuran Core Sintetik)

201 179 Lampiran 24. Rekapitulasi Data Hasil Uji Adsorpsi (Metode Absorbansi) Konsentrasi MES (%) 0,025 0,05 0,075 0,10 0,125 0,15 0,175 0,20 0,225 0,25 0,275 0,30 NaCl 0,752 0,751 0,752 0,750 0,751 0,751 0,752 0,751 0,750 0,751 0,752 1,502 Na 2 CO 3 0,150 0,152 0,151 0,150 0,152 0,150 0,152 0,154 0,150 0,151 0,152 0,300 MES 0,013 0,025 0,037 0,051 0,063 0,076 0,087 0,103 0,112 0,124 0,137 0,301 Air Injeksi 49,085 49,070 49,078 49,052 49,049 49,033 49,078 49,000 48,985 48,982 48,963 97,930 Jumlah 50,000 49,998 50,019 50,003 50,014 50,010 50,069 50,008 49,997 50,008 50, ,033 Konsentrasi MES (sebenarnya) 0,026 0,051 0,074 0,102 0,125 0,151 0,174 0,206 0,224 0,249 0,274 0,301 Hasil Pengukuran : Absorbansi (nm) 0,06 0,173 0,222 0,271 0,455 0,565 0,753 0,82 0,853 0,866 0,978 1,197 Absorbansi (nm) (Metode Metilen Blue) 0,215 0,432 0,407 0,53 0,596 0,663 0,585 0,713 0,763 0,886 0,858 0,967 Absorbansi setelah adsorpsi (tanpa metode metilen blue) = 0,192 nm Absorbansi setelah adsorpsi (metode metilen blue) = 0,117 nm

202 180 Lampiran 25. Hasil Uji Adsorpsi Titrasi Dua Fasa a. Larutan MES 0,3% Bobot surfaktan (g) Data Surfaktan Awal (Sebelum Adsorpsi) Volume Titran (ml) Slope Regresi % Surfaktan Awal Data Surfaktan Akhir (Setelah Adsorpsi) Bahan aktif (mg) % Bobot Volume Surfaktan surfaktan Titran Slope Regresi Akhir (g) (ml) Awal Akhir Terserap µg bahan aktif/g core ,36 9,20 31,16 155,29 b. Larutan MES 0,3% + NaCl ppm Bobot surfaktan (g) Data Surfaktan Awal (Sebelum Adsorpsi) Volume Titran (ml) Slope Regresi % Surfaktan Awal Data Surfaktan Akhir (Setelah Adsorpsi) Bahan aktif (mg) % Bobot Volume Surfaktan surfaktan Titran Slope Regresi Akhir (g) (ml) Awal Akhir Terserap µg bahan aktif/g core

203 181 c. Larutan MES 0,3% + NaCl ppm + Na 2 CO 3 0,3% Bobot surfaktan (g) Data Surfaktan Awal (Sebelum Adsorpsi) Volume Titran (ml) Slope Regresi % Surfaktan Awal Data Surfaktan Akhir (Setelah Adsorpsi) Bahan aktif (mg) % Bobot Volume Surfaktan surfaktan Titran Slope Regresi Akhir Awal Akhir Terserap (g) (ml) µg bahan aktif/g core

204 182 Lampiran 26. Data Dimensi Core yang Digunakan pada Uji Core Flooding Kode Core Ulangan Diameter (cm) Tinggi (cm) 1 2,43 3,02 Core Sintetik-1 2 2,40 3,10 3 2,40 2,95 Rata-rata 2,41 3,02 Volume Core (ml) 13,76 Core Sintetik-2 1 2,40 2,90 2 2,41 2,91 3 2,39 2,92 13,16 Rata-rata 2,40 2,91 Core Sintetik-3 1 2,34 3,28 2 2,36 3,29 3 2,35 3,26 14,20 Rata-rata 2,35 3,28 Core Sintetik-4 1 2,59 3,43 2 2,62 3,43 3 2,61 3,40 18,24 Rata-rata 2,61 3,42 Native Core-1 1 2,43 3,17 2 2,42 3,14 3 2,40 3,06 14,27 Rata-rata 2,41 3,12

205 183 Lampiran 27. Proses Persiapan dan Tahapan Uji Core Flooding Core yang sudah dibersihkan Penimbangan Bobot Kering Core Penjenuhan dengan Air Formasi (AF) Penyimpanan dalam tabung berisi AF selama 1-3 hari Penimbangan Bobot Basah Core Injeksi Core oleh minyak pada suhu 70 o C Pengukuran Volume AF yang keluar A

206 184 A Injeksi Core oleh Air Injeksi pada suhu 70 o C Pengukuran Volume Minyak yang keluar Injeksi Core oleh Larutan Formula Surfaktan pada suhu 70 o C Pengukuran Volume Minyak yang keluar

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. METIL ESTER CPO 1. Minyak Sawit Kasar (CPO) Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan (dengan steam)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul organik yang jika dilarutkan ke dalam pelarut pada konsentrasi rendah maka akan memiliki kemampuan untuk mengadsorb (atau menempatkan diri) pada

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya. LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN KOMPOSISI KATALIS TERHADAP PEMBUATAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS CPO (CRUDE PALM OIL) MENGGUNAKAN AGEN SULFONAT NaHSO 3 Diajukan Sebagai Persyaratan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Crude Palm il (CP) Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ).Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Olein 18,97 % Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Olein 18,97 % Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti/biji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum, gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip,

Lebih terperinci

Kelompok B Pembimbing

Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester I - 2006/2007 PEMBUATAN ESTER METIL SULFONAT DARI CPO UNTUK SURFACTANT FLOODING Kelompok Dwike Indriany (13003008) Jelita Alamanda (13003092) Pembimbing Dr. Ir. Retno Gumilang

Lebih terperinci

PROSES PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SURFAKTAN MES DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT UNTUK APLIKASI EOR/IOR : DARI SKALA LAB KE SKALA PILOT

PROSES PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SURFAKTAN MES DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT UNTUK APLIKASI EOR/IOR : DARI SKALA LAB KE SKALA PILOT PROSES PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SURFAKTAN MES DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT UNTUK APLIKASI EOR/IOR : DARI SKALA LAB KE SKALA PILOT Erliza Hambali* 1, Ani Suryani* dan Mira Rivai* *Surfactant and Bioenergy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS Ricky 1), Sugiatmo Kasmungin 2), M.Taufiq Fathaddin 3) 1) Mahasiswa Magister Perminyakan, Fakultas

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Surfaktan MES dari Stearin Sawit Pembuatan surfaktan MES melalui proses sulfonasi pada penelitian ini dilakukan dengan bahan baku metil ester dari fraksi stearin.

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Disusun Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Diploma III pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

PERBAIKAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DAN FORMULASINYA UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)

PERBAIKAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DAN FORMULASINYA UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) PERBAIKAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DAN FORMULASINYA UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) PROCESS IMPROVEMENT OF METHYL ESTER SULFONATE SURFACTANT PRODUCTION AND ITS FORMULATION

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

Gambar 2 Molekul Surfaktan

Gambar 2 Molekul Surfaktan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Surfaktan Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul yang sama (Sheat

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Pagar. Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn) yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING Sintesis Metil Ester Sulfonat Melalui Sulfonasi Metil Ester Minyak Kedelai Untuk Aplikasi Chemical Flooding (Richie Adi Putra) SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS Disusun Oleh : 1. FETRISIA DINA PUSPITASARI 1131310045 2. GRADDIA THEO CHRISTYA PUTRA 1131210062

Lebih terperinci

Gambar 1. Kelapa Sawit dan Hasil Pengolahan Kelapa Sawit

Gambar 1. Kelapa Sawit dan Hasil Pengolahan Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Sawit (Palm Oil) Dari gambar 1, kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang sekitar tahun 1942.

Lebih terperinci

PABRIK BIODIESEL dari RBD (REFINED BLEACHED DEODORIZED) STEARIN DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI

PABRIK BIODIESEL dari RBD (REFINED BLEACHED DEODORIZED) STEARIN DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI SIDANG TUGAS AKHIR 2012 PABRIK BIODIESEL dari RBD (REFINED BLEACHED DEODORIZED) STEARIN DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI Disusun oleh : Herdiani Fitri Ningtias (2309 030 059) Dwi Purnama Wulandari (2309

Lebih terperinci

Sodium Bisulfite as SO 3 Source for Synthesis of Methyl Ester Sulfonate Using RBD Stearin as Raw Material

Sodium Bisulfite as SO 3 Source for Synthesis of Methyl Ester Sulfonate Using RBD Stearin as Raw Material 116 IPTEK, The Journal for Technology and Science, Vol. 18, No. 4, November 27 Sodium Bisulfite as S 3 Source for Synthesis of Methyl Ester Sulfonate Using RBD Stearin as Raw Material Dieni Mansur 1, Nuri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan

Lebih terperinci

Gambar 1. Molekul Surfaktan

Gambar 1. Molekul Surfaktan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Surfaktan Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul yang sama (Sheat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA TOPIK 1 BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI Biomasa merupakan bahan organik yang tersedia secara terbarukan, umumnya berasal dari tumbuhan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT Methyl Ester Sulfonic Sri Hidayati 1, Pudji Permadi 2, Hestuti Eni 3 1 2 3

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Merujuk pada hal yang telah dibahas dalam bab I, penelitian ini berbasis pada pembuatan metil ester, yakni reaksi transesterifikasi metanol. Dalam skala laboratorium,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel).

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI

PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI PENGARUH SUHU INPUT PADA PROSES PEMBUATAN SURFAKTAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER STEARIN RENNY UTAMI SOMANTRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 LAPORAN AKHIR PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4 Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu, minyak bumi telah digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Usaha pencarian sumber minyak di dalam bumi mulai dilakukan pada tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT ABSTRACT

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT ABSTRACT S. Hidayati, A. Suryani, P. Permadi, E.Hambali, Kh. Syamsu dan Sukardi OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT Sri Hidayati 1, Ani Suryani 2, Puji Permadi 3, Erliza Hambali

Lebih terperinci

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Disusun oleh : Dyah Ayu Resti N. Ali Zibbeni 2305 100 023

Lebih terperinci

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F )

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F ) SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER Hendrix Yulis Setyawan (F351050091) Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak goreng adalah salah satu unsur penting dalam industri pengolahan makanan. Dari tahun ke tahun industri pengolahan makanan semakin meningkat sehingga mengakibatkan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) : Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, JENIS SURFAKTAN DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP RECOVERY

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES SULFONASI DALAM PROSES PRODUKSI METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR (STFR) Effects of Temperature and Sulfonation Time on Methyl

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak kelapa sawit kasar yang berwarna kemerah-merahan yang diperoleh dari hasil ekstraksi atau pengempaan daging buah kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu dari beberapa tanaman golongan Palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ). kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ), merupakan komoditas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK Widya Pratama Kesuma, Sugiatmo Kasmungin Program Studi Teknik Perminyakan, Universitas Trisakti Abstrak Salah satu

Lebih terperinci

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding LAMPIRAN 52 Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding 1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes, 1983) Cara kerja Spinning Drop Interfacial

Lebih terperinci

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Emulsi Metil Ester Sulfonat dari CPO

Emulsi Metil Ester Sulfonat dari CPO PENGARUH RASIO MOL, SUHU DAN LAMA REAKSI TERHADAP TEGANGAN PERMUKAAN DAN STABILITAS EMULSI METIL ESTER SULFONAT DARI CPO (The effect of Mol ratio, temperature and reaction time on surface tension and stability

Lebih terperinci

KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4. Oleh : SAIFUDDIN ABDU F

KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4. Oleh : SAIFUDDIN ABDU F KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4 Oleh : SAIFUDDIN ABDU F03499037 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KAJIAN PROSES

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR (Enhanced Oil Recovery) menjadi pokok bahasan yang ramai diperbincangkan. Metode EOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melihat cadangan sumber minyak bumi nasional semakin menipis, sementara konsumsi energi untuk bahan bakar semakin meningkat. Maka kami melakukan penelitian-penelitian

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) MENGGUNAKAN SINGLE TUBE FALLING FILM REACTOR

Lebih terperinci

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat Sejarah Deterjen Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II Fritz Gunther (Jerman) : penemu surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916 Tahun 1933 deterjen untuk

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT (OWSA) Anisa Intanika Sari Klatatiana, Wario Gusti Widodo,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN

LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN LAMPIRAN I DATA PENGAMATAN 1.1 Data Analisis Bahan Baku Pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Analisis karakter minyak kelapa sawit kasar (CPO) sebelum dan setelah di pre-treatment (tabel 14).

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci