PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) FP 10, FP 20, FP 30, DAN FP 40 TERHADAP KULTUR SEL HeLa SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Lestarining Wahyu Ndadari NIM: FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007 i

2 SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) FP 10, FP 20, FP 30, DAN FP 40 TERHADAP KULTUR SEL HeLa SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Lestarining Wahyu Ndadari NIM: FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007 ii

3

4

5 HALAMAN PERSEMBAHAN Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberi kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Pengkhotbah 3 : 11 Ku persembahkan karyaku ini kepada: Tuhan Yesus Kristus atas Kasih dan KaryaNya yang luar biasa dalam hidupku Bapak dan Ibu yang menyayangiku dengan seluruh dukungan, restu dan doa yang selalu menyertaiku Semua teman-teman dan Almamaterku v

6 PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) FP 10, FP 20, FP 30, dan FP 40 terhadap Kultur Sel HeLa sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Penulisan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku dosen dan dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang bersedia berbagi ilmu dan pengalaman klinis. 2. Drs. A. Yuswanto, Ph.D., S.U., Apt., yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Drs. Mulyono, Apt., yang bersedia berdiskusi dan memberikan saran sebagai dosen penguji skripsi. yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam menyelesaikan permasalahan. 4. dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes., yang memberikan saran sebagai dosen penguji skripsi. 5. Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si. yang membantu dalam pengolahan statistik dan determinasi tanaman. vi

7 6. Dosen dan karyawan Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan sumbangan ilmu dan tenaga. 7. Kedua orang tua, Bapak Wahjudi dan Ibu J. Endang Lestari serta keluarga besar atas doa, cinta, nasehat, semangat dan perhatian kepada penulis. 8. Bapak Rajiman, Mbak Yuli, Mbak Istini, Heni, Mas Dwi, segenap karyawan dan staf Laboratorium Ilmu Hayati UGM yang telah banyak membantu dan membimbing selama penelitian skripsi ini. 9. Nike, yang telah menjadi teman dan sahabat yang berharga yang Tuhan Yesus anugerahkan bagi penulis dalam suka, duka, tangis dan tawa ceria. 10. Teman-teman PMK Apostolos yang menjadi keluarga untuk berbagi suka dan keluh kesah, kekuatan yang menopang dan menarik kembali saat jauh darinya, dan semangat dalam pelayanan, dalam mereka kelembutan kasih Tuhan terpancar. 11. Teman-teman Komunitas Tari Genta Rakyat atas kebersamaan yang indah dalam perjalanan yang mengagumkan untuk menemukan jati diri. Dance with our Soul. 12. Leea, Vita, Sari, Lucy, Melon, Ana, Jenny (kelompok Mimba) dan Mila, Wati, Ratih, Agnes (kelompok Teki) untuk diskusi, kerjasama, dan sebagai teman seperjuangan suka maupun duka dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 13. Seluruh angkatan 2003 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma khususnya kelas A kelompok B atas kebersamaan kita dalam setiap belajar di kelas maupun di luar kelas dan praktikum yang penuh dengan tantangan, ketegangan dan keceriaan. vii

8 14. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dalam isi, bahasa maupun penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan koreksi dan saran dari seluruh pembaca untuk lebih menyempurnakan tulisan ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Penulis viii

9

10 INTISARI Terapi alternatif yang mulai digunakan untuk penyakit kanker adalah dengan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss). Hasil penelitian sebelumnya fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30% dan 60% memiliki efek sitotoksik terhadap kultur sel HeLa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sitotoksisitas fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni rancangan acak lengkap pola satu arah. Fraksi protein diendapkan menggunakan amonium sulfat dalam berbagai tingkat kejenuhan dan konsentrasi. Uji sitotoksisitas dilakukan terhadap sel HeLa dan sel Vero secara in vitro menggunakan metode MTT (3- (4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide). Hasil uji berupa prosentase kematian sel. Analisis statistik dengan analisis probit dilakukan untuk mengetahui nilai LC 50 dan uji t-independent sample untuk membandingkan sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa dan sel Vero. Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 sitotoksik terhadap sel HeLa dan sel Vero. Nilai LC 50 FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap sel HeLa berturut-turut sebesar 1, µg/ml; µg/ml; 3, µg/ml dan 1, µg/ml; sedangkan terhadap sel Vero berturut-turut sebesar 1, µg/ml; 1, µg/ml; 1, µg/ml dan 2, µg/ml. Uji t- independent sample menunjukkan bahwa seluruh fraksi protein daun mimba memiliki perbedaan sitotoksisitas yang tidak signifikan antara sel HeLa dan sel Vero. FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 daun mimba tidak berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker. Kata kunci : daun mimba, sitotoksisitas, fraksi protein, LC 50, sel HeLa, sel Vero x

11 ABSTRACT Neem leaves (Azadirachta indica A. Juss) is now being used as alternative therapy for cancer. Previous research showed that protein fraction of neem leaves which were precipitated using ammonium sulphate in concentration of 30% and 60% had cytotoxic activity against HeLa cells. This research aim to investigate the cytotoxicity of protein fraction of neem leaves PF 10, PF 20, PF 30, and PF 40 against HeLa and Vero cells (normal cells). This research was pure experimental research with the complete random and one way design. Protein fractions were precipitated with ammonium sulphate in various saturation grades. The cytotoxicity test was determined against HeLa cells and Vero cells in vitro using MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5- diphenyl tetrazolium bromide) method. Data collected was cell death percentage. Data were statistically analysis by probit analysis to determined the LC 50 values and independent samples t-test was used to identify whether the protein fractions have selectivity to HeLa cells. The result indicated that PF 10, PF 20, PF 30, and PF 40 of neem leaves show cytotoxic activity to HeLa and Vero cells. LC 50 of PF 20, PF 30, and PF 40 against HeLa cells are 1, µg/ml; µg/ml; 3, µg/ml and 1, µg/ml respectively; whereas LC 50 of PF 10, PF 20, PF 30 and PF 40 against Vero cells are 1, µg/ml; 1, µg/ml; 1, µg/ml and 2, µg/ml. The results of independent samples t-test showed that all protein fraction of neem leaves have no significant difference of cytotoxicity between HeLa and Vero cells. In conclusion, PF 10, PF 20, PF 30, and PF 40 of neem leaves were not recommended to be developed as anticancer. Keywords: neem leaves, cytotoxicity, protein fraction, LC 50, HeLa cells, Vero cells xi

12 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PRAKATA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ARTI SINGKATAN DAN ISTILAH ASING... ii iii iv v vi ix x xi xii xvi xviii xix xx BAB I PENGANTAR... 1 A. Latar Belakang Permasalahan Keaslian penelitian Manfaat penelitian... 4 B. Tujuan Penelitian... 4 Tujuan umum... 4 Tujuan khusus... 4 xii

13 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 5 A. Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Nama daerah Deskripsi tanaman Kandungan kimia Penelitian terhadap tanaman mimba... 6 B. Protein Pengertian protein Jenis protein berdasarkan kelarutan Pemurnian protein Pengukuran konsentrasi protein C. Kanker Definisi Proses terjadinya kanker Kanker leher rahim D. Kultur Sel Sel HeLa Sel Vero E. Uji Sitotoksisitas In vitro F. Landasan Teori G. Hipotesis BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian xiii

14 B. Variabel-variabel Penelitian C. Definisi Operasional D. Bahan atau Materi Penelitian E. Alat-alat Penelitian F. Tatacara Penelitian Determinasi tanaman Pengumpulan daun mimba Sterilisasi alat dan bahan Pembuatan fraksi protein dari daun mimba Pengukuran konsentrasi protein total Propagasi dan panen sel HeLa a. Propagasi sel HeLa b. Panen sel HeLa Propagasi dan panen sel Vero a. Propagasi sel Vero b. Panen sel Vero Uji sitotoksisitas terhadap sel HeLa dan sel Vero a. Uji sitotoksisitas dengan metode MTT terhadap sel HeLa b. Uji sitotoksisitas dengan metode MTT terhadap sel Vero G. Analisis Hasil xiv

15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Fraksi Protein Daun Mimba B. Penetapan Konsentrasi Fraksi Protein C. Uji Sitotoksisitas Fraksi Protein BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS xv

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel I. Prosentase kematian dari uji sitotoksisitas fraksi protein terhadap sel HeLa Tabel II. Prosentase kematian dari uji sitotoksisitas fraksi protein terhadap sel Vero Tabel III. Volume larutan ekstrak gubal protein daun mimba Tabel IV. Absorbansi fraksi protein pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm Tabel V. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 10 terhadap kultur sel HeLa Tabel VI. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 20 terhadap kultur sel HeLa Tabel VII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 30 terhadap kultur sel HeLa Tabel VIII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 40 terhadap kultur sel HeLa Tabel IX. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 10 terhadap kultur sel Vero Tabel X. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 20 terhadap kultur sel Vero xvi

17 Tabel XI. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 30 terhadap kultur sel Vero Tabel XII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 40 terhadap kultur sel Vero xvii

18 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Reaksi reduksi MTT menjadi formazan Gambar 2. Foto sel HeLa dan sel Vero tanpa perlakuan Gambar 3. Foto sel HeLa dan sel Vero setelah perlakuan Gambar 4. Foto kristal formazan ungu Gambar 5. Grafik prosentase kematian sel HeLa Gambar 6. Grafik prosentase kematian sel Vero Gambar 7. Foto tanaman Azadirachta indica A. Juss Gambar 8. Foto daun Azadirachta indica A. Juss Gambar 9. Foto Hi-Mac Sentrifuge HITACHI SCP Gambar 10. Foto ELISA reader SLT 340ATC Gambar 11. Foto Mikroskop (Olympus IMT-2) Gambar 12. Foto perlakuan dengan sel HeLa dalam 96 well plate 100 Gambar 13. Foto perlakuan dengan sel Vero dalam 96 well plate 100 xviii

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Jumlah penambahan amonium sulfat Lampiran 2. Perhitungan konsentrasi protein Lampiran 3. Absorbansi sel dengan metode MTT Lampiran 4. Hasil analisis probit LC 50 fraksi protein terhadap sel HeLa Lampiran 5. Hasil analisis probit LC 50 fraksi protein terhadap sel Vero Lampiran 6. Hasil distribusi data dengan Uji Kolmogorov-Smirnov 90 Lampiran 7. Hasil analisis Uji t-independent sample Lampiran 8. Foto tanaman dan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) Lampiran 9. Foto Hi-Mac Sentrifuge HITACHI SCP85H, ELISA reader SLT 340ATC dan mikroskop (Olympus IMT-2) Lampiran 10. Foto hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 40 terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero dalam 96 well plate Lampiran 11. Surat determinasi tanaman xix

20 ARTI SINGKATAN DAN ISTILAH ASING continous cell lines : sel yang berasal dari sel primer yang ditumbuhkan terus menerus ELISA FP 10 (PF 10 ) : Enzyme Link Immunosorbent Assay : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 10% jenuh FP 20 (PF 20 ) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 20% jenuh FP 30 (PF 30 ) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30% jenuh FP 40 (PF 40 ) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 40% jenuh FBS MTT : Foetal Bovine Serum : 3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide) reagen stopper : reagen yang terdiri dari larutan SDS 10% dalam HCl 0,01N RPMI SDS : Rosswell Park Memorial Institute : Sodium Dodesil Sulfat tissue culture flask : tempat untuk menumbuhkan sel, berbentuk botol dengan leher bengkok 96 well plate : sumuran mikro yang terdiri dari 96 lubang tempat menanam sel pada uji sitotoksisitas xx

21 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kanker memiliki reputasi sebagai penyakit yang mematikan (Anonim, 2005b). Dalam daftar Badan Kesehatan Dunia penyakit kanker masuk dalam urutan teratas dari kelompok penyakit. Di seluruh dunia penyakit kanker menempati urutan kedua setelah penyakit jantung, sedangkan di Indonesia masuk urutan keenam sebagai penyakit penyebab kematian. Penyakit kanker diperkirakan diidap oleh 15 orang per penduduk di dunia (Mulyadi, 1996). Sampai saat ini penyakit kanker masih menjadi ancaman, sementara obat spesifik untuk menghentikan perkembangan sel kanker belum juga ditemukan (Hartono, 1999). Upaya pencegahan terus diusahakan dengan berbagai terapi seperti pembedahan, radiasi dan sitostatika. Namun terapi-terapi tersebut membutuhkan biaya yang besar dan menimbulkan efek samping yang merugikan bagi penderita sehingga sebagian penderita lebih memilih terapi alternatif. Guna menakar besarnya manfaat dan risiko terapi alternatif, sangat diperlukan pemahaman tentang cara kerja terapi alternatif, termasuk penggunaan suplemen makanan (senyawa antioksidan serta vitamin mineral) dan preparat herbal yang dapat bekerja melawan kanker (Hartono, 1999). Pada umumnya antineoplastik menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dan menimbulkan toksisitas. Suatu antikanker diharapkan memiliki toksisitas 1

22 2 selektif artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Ganiswarna, 1995). Oleh sebab itu, penelitian-penelitian menggunakan bahanbahan yang berasal dari alam misalnya tanaman, diharapkan dapat menjadi terapi antikanker alternatif yang bersifat selektif. Daun yang berasal dari tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) telah lama diketahui memiliki banyak manfaat dalam dunia kesehatan antara lain, sebagai antiinflamasi, antirematik, antipiretik, penurun gula darah, antitukak lambung, hepatoprotektor, imunopotensiasi, antifertilitas, antivirus, dan antikanker (Sukrasno, 2003). Penelitian tentang efek sitotoksik fraksi protein daun mimba terhadap kultur sel kanker telah dilakukan antara lain, fraksi total protein daun mimba terhadap kultur sel Raji (Ariyani, 2004), terhadap kultur sel SiHa (Lusia, 2004), terhadap kultur sel HeLa (Febriani, 2004), fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30%; 60% dan 100% jenuh terhadap kultur sel Myeloma (Hariadi, 2006), terhadap kultur sel SiHa (Candra, 2006), terhadap kultur sel Raji (Robbyono, 2006), dan terhadap kultur sel HeLa (Suwanto, 2006). Suatu senyawa dapat dinyatakan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai antikanker apabila mempunyai nilai LC µg/ml (Suffness and Pezzuto, 1991) dan bersifat toksik selektif (Ganiswarna, 1995). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suwanto (2006) diketahui bahwa fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30%; 60% dan 100% jenuh memiliki efek sitotoksik terhadap kultur sel HeLa terutama pada fraksi 30% dan 60% dengan nilai LC 50 sebesar 1,0 µg/ml dan 4,1 µg/ml sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai senyawa

23 3 antikanker. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Suwanto (2006) tersebut perlu dilakukan penelitian dengan fraksinasi yang lebih kecil dan seri konsentrasi yang lebih banyak untuk mengetahui secara lebih spesifik fraksi protein yang bersifat sitotoksik terhadap sel HeLa serta keselektifan efek sitotoksiknya terhadap sel normal. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini akan dilakukan fraksinasi proteinnya dengan pengendapan menggunakan amonium sulfat dengan fraksi yang lebih kecil yaitu 10% (FP 10 ), 20%(FP 20 ), 30% (FP 30 ) dan 40% (FP 40 ) jenuh dengan harapan dapat diperoleh hasil yang lebih spesifik dan membandingkan sitotoksisitasnya terhadap sel Vero (sel normal). 1. Permasalahan a. Diantara fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40, manakah yang mempunyai sitotoksisitas terhadap sel HeLa dan sel Vero? b. Berapakah nilai LC 50 dari fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap sel HeLa dan sel Vero? c. Apakah fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 dapat dikembangkan sebagai antikanker? 2. Keaslian penelitian Sebelumnya pernah dilakukan penelitian mengenai sitotoksisitas fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss.) hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30%, 60% dan 100% jenuh terhadap kultur sel HeLa (Suwanto, 2006). Sejauh yang diketahui penulis belum pernah dilakukan penelitian sitotoksisitas fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero.

24 4 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini dapat melengkapi dan memperkaya teori yang telah ada mengenai khasiat, penggunaan, dan efek sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa dan sel Vero yang berguna dalam kemajuan bidang ilmu kefarmasian. b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan yang mendukung penemuan obat alternatif antikanker dari daun mimba. Tujuan umum: B. Tujuan Penelitian untuk mengetahui apakah fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker baru. Tujuan khusus: a. untuk mengetahui fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 yang mempunyai daya sitotoksisitas terhadap sel HeLa dan sel Vero b. untuk mengetahui nilai LC 50 dari fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap sel HeLa dan sel Vero c. untuk mengetahui apakah fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 berpotensi dikembangkan sebagai antikanker.

25 5 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss) 1. Keterangan botani tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) Tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss.) termasuk dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Meliales, suku Meliaceae, marga Azadirachta, jenis Azadirachta indica A. Juss. Tanaman mimba memiliki sinonim yaitu Melia azadirachta Linn. Dalam bahasa Inggris atau Belanda tanaman ini dikenal dengan nama Margosa tree, Neem tree, atau Margosier. (Backer and Backuizen van den Brink, 1963; 1965; Hutapea, 1993) 2. Nama daerah Tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss.) memiliki nama daerah Jawa yaitu Imba, mimba, membha, mempheuh. Di wilayah Pasundan (Sunda) dikenal dengan nama nimba, di Bali dan Nusa Tenggara dikenal dengan nama intaran, dan di Madura dikenal dengan nama mimba, membha, atau mempheuh (Sukrasno, 2003). 3. Deskripsi tanaman Tanaman mimba berupa pohon dengan tinggi meter. Batang tegak, berkayu, bulat, permukaan kasar, percabangan simpodial, coklat. Daun majemuk, berhadapan, lonjong, melengkung, tepi bergerigi, ujung lancip, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang 5-7 cm, lebar 3-4 cm, tangkai panjang 5

26 cm, hijau. Bunga majemuk, berkelamin dua, di ujung cabang, tangkai silindris, panjang 8-15 cm, kelopak hijau, benang sari silindris, putih kekuningan, putik lonjong, coklat muda, mahkota halus, putih. Buah buni, bulat telur, hijau. Biji bulat, diameter kurang lebih 1 cm, putih. Akar tunggang, coklat (Hutapea, 1993). Pohon mimba dapat tumbuh di berbagai ketinggian tempat, tetapi di atas ketinggian 500 meter diatas permukaan laut sulit menghasilkan biji, hanya daunnya yang tumbuh lebat (Kardinan dan Taryono, 2003). 4. Kandungan kimia Sampai saat ini, setidaknya ada sembilan senyawa yang telah diisolasi dan diidentifikasi dari daun mimba yaitu nimonol, nimbolida, 28-deoksi nimbolida, α- linolenat, epoksinimonol, 6-K-O-asetil-7-deasetil-mimosinol, melrasinol, dan nimbotalin. Penelitian terhadap senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun mimba tersebut mendukung pemanfaatannya dalam dunia kesehatan (Sukrasno, 2003). 5. Penelitian terhadap tanaman mimba Beberapa penelitian untuk membuktikan kebenaran khasiat daun mimba terutama protein daun mimba sebagai antikanker telah dilakukan antara lain, penelitian sitotoksisitas fraksi total protein daun mimba terhadap kultur sel Raji (Ariyani, 2004), terhadap kultur sel SiHa (Lusia, 2004), terhadap kultur sel HeLa (Febriani, 2004), dengan kesimpulan bahwa fraksi protein daun mimba mempunyai efek sitotoksik terhadap ketiga jenis sel kanker tersebut walaupun belum dapat dinyatakan sebagai senyawa yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker karena nilai LC 50 yang diperoleh lebih besar dari 20

27 7 µg/ml. Penelitian lebih lanjut yaitu sitotoksisitas fraksi protein daun mimba hasil pengendapan dengan amonium sulfat 30%; 60% dan 100% terhadap sel Raji (Robbyono, 2006) dengan kesimpulan fraksi 30% berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker karena nilai LC 50 < 20 µg/ml, sedangkan pada penelitian serupa terhadap sel HeLa (Suwanto, 2006), terhadap sel Myeloma (Hariadi, 2006) dan terhadap sel SiHa (Candra, 2006) menyimpulkan bahwa fraksi 30% dan 60% berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker sebab nilai LC 50 yang diperoleh juga < 20 µg/ml. B. Protein 1. Pengertian protein Kata protein berasal dari protos atau proteos yang berarti pertama atau utama. Protein merupakan komponen penting atau komponen utama sel hewan atau manusia. Oleh karena sel itu merupakan pembentuk tubuh hewan maupun manusia, maka protein yang terdapat dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh. Tumbuhan membentuk protein dari CO 2, H 2 O dan senyawa nitrogen. Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai molekul besar dengan bobot molekul bervariasi antara 5000 sampai jutaan (Poedjiadi, 1994). Protein terdapat dalam semua jenis zat hidup: tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Semua protein, selain mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen juga mengandung nitrogen dan sering mengandung belerang dan fosfor (Sakidja, 1989).

28 8 Protein merupakan polimer kondensasi asam amino dengan penghilangan unsur air dari gugus amino dan gugus karboksil. Asam amino pada protein mempunyai konfigurasi-l dan ikatan amida hanya terbentuk antara gugus aminoalfa dan gugus karboksil-alfa dari asam amino yang bersangkutan. Beberapa protein beracun mempunyai peran ekologi dalam melindungi tumbuhan dari serangan mikroba. Protein beracun lain memberi harapan dalam pengobatan kanker dan penyakit yang disebabkan virus. Fraksinasi ekstrak protein dapat dilakukan dengan cara pengendapan menggunakan amonium sulfat (Robinson, 1991). 2. Jenis protein berdasarkan kelarutan Beberapa jenis protein yang diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya antara lain: 1. albumin merupakan protein yang dapat larut dalam air dan larutan garam, dapat terkoagulasi oleh panas. Larutan albumin di dalam air dapat diendapkan dengan penambahan amonium sulfat hingga jenuh. 2. globulin memiliki sifat sukar larut dalam air murni, tetapi dapat larut dalam larutan garam netral, misalnya larutan NaCl encer. Larutan globulin dapat diendapkan oleh penambahan garam ammonium sulfat hingga setengah jenuh. Globulin dapat diperoleh dengan jalan mengekstraksinya dengan larutan garam (5%-10%) NaCl kemudian ekstrak yang diperoleh diencerkan dengan penambahan air. Globulin akan mengendap dan dapat dipisahkan. Globulin juga dapat terkoagulasi oleh panas.

29 9 3. histon merupakan protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut dalam air. Pada proses hidrolisis menghasilkan banyak arginin dan lisin. Histon terdapat di dalam inti sel dalam bentuk ikatan dengan asam nukleat. 4. protamin merupakan protein yang bersifat basa seperti histon, tidak mengandung tirosin dan triptofan, tetapi mengandung banyak arginin sehingga mempunyai kadar nitrogen antara 25%-30%. Protamin berikatan dengan asam nukleat. Protamin larut dalam etanol 70%-80% tetapi tidak larut dalam air serta etanol absolut. 5. skleroprotein tidak larut dalam air atau larutan garam, banyak mengandung asam amino Glysin, Alanin dan Prolin. (Poedjiadi, 1994; Murray dkk, 1995) 3. Pemurnian protein Suatu jenis protein dari bahan alam dalam keadaan murni tidak mudah diperoleh sebab molekul protein tidak stabil terhadap pemanasan serta pelarut organik. Pemurnian protein diawali dengan pemilihan bahan alam yang akan diproses berdasarkan kadar protein yang terkandung didalamnya yaitu yang berkadar protein tinggi dan mudah diperoleh. Selanjutnya mengeluarkan protein dari dalam bahan alam tersebut dengan cara memecahkan sel-sel jaringan secara mekanik misal dengan cara menghancurkan dan melumatkannya dalam suatu alat tertentu dan beberapa jenis protein dapat diperoleh dengan melarutkannya dalam air atau pelarut lain. Dalam proses ini perlu dijaga agar temperatur dan ph larutan tidak merusak protein. Pada temperatur 40 C protein mudah terdenaturasi, maka pemurnian protein sering dilakukan pada temperatur rendah, yaitu mendekati titik

30 10 beku pelarut yang digunakan. Disamping itu, protein juga sensitif terhadap asam atau basa dengan konsentrasi tinggi, dan biasanya pemurnian protein dilakukan pada ph mendekati netral dengan menggunakan larutan buffer tertentu (Poedjiadi, 1994). Setelah diperoleh larutan yang berisi beberapa macam protein maka proses selanjutnya ialah fraksinasi yaitu memisahkan masing-masing protein dalam campuran secara fraksi demi fraksi. Dua cara yang biasa digunakan untuk proses fraksinasi ini yaitu pengendapan dan kromatografi. Proses pengendapan protein dapat dilakukan menggunakan amonium sulfat berkonsentrasi tinggi atau larutan jenuh. Beberapa protein berbeda kelarutannya dalam konsentrasi garam yang berbeda. Cara ini digunakan terutama bila diinginkan satu macam protein saja sedangkan protein lain tidak diperlukan. Selain dengan garam proses pengendapan protein dapat dilakukan dengan menyesuaikan ph titik isoelektrik protein yang diinginkan. Pada titik isoelektrik kelarutan protein berkurang hingga minimum dan protein yang diinginkan akan mengendap, sedangkan protein lain yang tidak diinginkan tetap di dalam larutan. Protein dapat dipisahkan satu dari yang lain dengan cara kromatografi. Kromatografi adsorpsi untuk pemurnian protein dilakukan dengan menggunakan alumina atau kalsium fosfat sebagai adsorben. Selain itu kromatografi penukar ion dapat digunakan pula untuk pemurnian protein. Kolom kromatografi diisi dengan DEAE-selulosa, suatu penukar ion yang mempunyai gugus dietilaminoetil yang terikat pada selulosa atau dengan penukar kation yaitu CM-selulosa yang mempunyai gugus karboksimetil terikat pada selulosa (Poedjiadi, 1994).

31 11 4. Pengukuran konsentrasi protein Pada umumnya, metode pemurnian protein harus dilakukan pada temperatur rendah, pada range 0-4 C. Temperatur rendah meminimalkan degradasi protein selama pemurnian dengan menghalangi aktifitas protease (enzim yang memecah ikatan peptida) dan mengurangi kemungkinan protein akan terdenaturasi, atau membuka ikatannya (banyak protein yang sangat sensitif terhadap panas). Pada ph netral tirosin, triptofan dan fenilalanin mengabsorpsi sinar ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 280 nm (Moran dkk, 1994; Murray dkk, 1995). C. Kanker 1. Definisi Kanker adalah penyakit yang disebabkan adanya perbanyakan dan penyebaran yang tidak terkontrol menjadi bentuk tubuh abnormal dari sel tubuh itu sendiri. Kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian di Negara berkembang, setidaknya satu dari lima pada populasi di Eropa dan Amerika Utara diperkirakan meninggal karena kanker (Rang dkk, 2003). Kanker ditandai oleh pembelahan sel yang tidak terkontrol dan kemampuannya untuk menyerang jaringan lain, baik melalui pertumbuhan langsung pada jaringan (invasi) atau dengan migrasi sel ke jaringan yang lain (metastasis). Pertumbuhan yang tidak sesuai aturan ini disebabkan oleh kerusakan DNA, menghasilkan mutasi pada gen utama yang mengendalikan pembelahan sel, dan fungsi yang lain. Satu atau lebih

32 12 dari mutasi ini, baik yang diturunkan atau didapatkan, dapat menuntun ke pembelahan sel yang tak terkendali dan pembentukan tumor (Anonim, 2005b). Tumor menunjukkan suatu massa yang abnormal di jaringan, baik berupa malignan (kanker) atau benigna (nonkanker). Tumor benigna tidak menyebar ke bagian lain tubuh atau menyerang jaringan lain, dan jarang perawatannya untuk bertahan hidup jika tidak secara kebetulan menekan struktur utama (vital). Tumor malignan dapat menyerang organ lain, menyebar ke lokasi yang jauh (metastasis) dan menjadi perawatan untuk bertahan hidup (Anonim, 2005b). Istilah kanker, neoplasma malignan dan tumor malignan merupakan sinonim. Keduanya dibedakan dari tumor benigna oleh dediferensiasi, keinvasifan dan kemampuan metastasis (penyebaran ke bagian lain dari tubuh). Kedua tumor baik benigna maupun malignan menunjukkan proliferasi yang tidak terkendali. Sel kanker memiliki karakteristik yang membedakannya dari sel normal, yaitu sel kanker mengalami pertumbuhan dan pembelahan sel yang tidak terkendali oleh regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan jaringan yang normal, adanya gangguan diferensiasi dan kehilangan fungsi pada sel kanker, sel kanker mampu melakukan invasif dan metastasis (Rang dkk, 2003). Untuk menghambat metastasis kanker, perlu diketahui cara sel tersebut menyebar. Ada dua cara sel kanker ber-metastasis: melalui angiogenesis (pembentukan pembuluh darah yang baru) dan penghancuran kolagen yang merupakan kerangka sel normal. Dengan demikian metastasis akan dapat dihambat bila angiogenesis dapat dicegah; sementara kolagen yang rusak dapat

33 13 diperbaiki oleh tubuh sendiri dengan memanfaatkan makanan tertentu (Hartono, 1999). Pendekatan utama dalam pengobatan kanker yaitu pembedahan, irradiasi, dan kemoterapi. Penggunaan masing-masing pengobatan tersebut tergantung pada tipe tumor dan tingkat perkembangannya (Rang dkk, 2003). 2. Proses terjadinya kanker Sel normal berubah menjadi sel kanker karena satu atau lebih mutasi pada DNA-nya baik secara diturunkan, bukan kanker itu sendiri yang diturunkan melainkan gen yang telah termutasi dan mudah berkembang menjadi kanker maupun dengan cara didapat dari luar sel akibat pemaparan zat kimia, kokarsinogen, dan lain-lain. Perkembangan kanker merupakan proses yang rumit, melibatkan tidak hanya satu perubahan genetik tetapi juga yang lain, seperti faktor-faktor epigenetik (aksi hormonal, ko-karsinogen dan efek pemacu tumor) yang tidak hanya menghasilkan kanker itu sendiri melainkan dengan meningkatkan kemungkinan mutasi genetik yang akan menimbulkan kanker (Rang dkk, 2003). Sel kanker mempunyai antigen pada permukan sel yang dapat dikenali dan bereaksi dengan sistem imun inang sehingga mampu mencegah pertumbuhan tumor yang tak terkendali. Teori ini dikenal sebagai immunosurveillance (pemantauan imun). Teori ini bermula dari percobaan yang dilakukan oleh Paul Ehrlich yang mengamati bahwa hewan dengan pertumbuhan tumor bervirulensi rendah mengalami penurunan pertumbuhan tumor setelah dilakukan inokulasi sel tumor berikutnya. Ehrlich menduga lubang pada struktur permukaan sel tumor

34 14 yang dapat dikenali sebagai sesuatu yang abnormal oleh inang. Penelitian dilanjutkan oleh Lewis Thomas yang memberikan teori penolakan allograft menggambarkan mekanisme utama dalam pertahanan alami terhadap neoplasia. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, Macfarlane Burnet memberikan teori immunosurveillance yang berpusat adanya antigen yang tergabung pada sel tumor (Schwartz, 1991; Dasgupta, 1992). Teori tersebut menyatakan bahwa sel efektor pada sistem imun secara aktif beredar di dalam tubuh untuk mengenali dan membasmi sel-sel tumor yang mulai terbentuk. Penelitian pada tahun 1970 mampu menemukan dan mengidentifikasi adanya sel T, sel ini menjadi sel efektor yang diduga memperantarai dalam immunosurveillance. Lebih dari dua dekade terakhir, data-data memunculkan pendapat bahwa konstituen sistem imun seperti sel natural killer (NK) dan jaringan cytokine mampu memberi pertahanan terhadap kanker (Ichim, 2005). Aktivitas sel NK menjadi tanda penunjuk pada beberapa tipe tumor. Selsel NK terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemantauan kemunculan tumor dan mikrometastasis. Teori ini kemudian dibuktikan dengan data yang menunjukkan bahwa onkogen tertransfeksi fibroblas dapat lisis secara selektif oleh sel NK bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak tertransfeksi. Mekanisme secara tepat sel NK dalam immunosurveillance belum diketahui secara pasti. Berkaitan dengan efek sitotoksik secara langsungnya, kemungkinan sel NK mengaktifkan sel lain dalam sistem imun dengan cara memperlengkapinya dengan bantuan cytokine. Sel NK yang mature tidak menghasilkan cytokine T- helper 2 (Th2), tetapi lebih pada cytokine T-helper 1 (Th1), tumor necrosis factor

35 15 (TNF)-α, interferon (IFN)-γ dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Pada kenyataanya, sekresi IFN-γ oleh sel NK dapat mempengaruhi pembentukan respon imun tipe Th1 terhadap agen patogen maupun tumor terinduksi 3-methylcholanthrene (MCA) (Ichim, 2005). Langkah awal respon imun memerlukan cytokine yang dihasilkan oleh selsel T-helper. Perbedaan cytokine yang dihasilkan oleh sel menentukan tipe respon imun. Respon imun yang diperantarai sel membutuhkan cytokine Th1, sedangkan respon imun yang diperantarai antibodi membutuhkan cytokine Th2. Sel T-helper yang terdiferensiasi menjadi sel Th1 mensekresikan IFN-γ dan sedikit interleukin (IL)-2 dan IL-12, sedangkan sel Th2 mensekresikan IL-10, IL-4, dan sedikit IL-5. Namun, tumor memiliki beberapa cara baik spesifik maupun non-spesifik untuk menghindari respon Th1. Tumor mensekresikan sejumlah agen, termasuk transforming growth factor (TGF)-β, IL-10 dan prostaglandin E-2, yang menunjukkan meningkatkan respon imun Th2 ketika menekan respon imun Th1. Hal ini telah ditunjukkan bahwa jaringan cytokine dari beberapa pasien kanker cenderung mengarah ke Th2. Pasien-pasien tersebut menunjukkan peningkatan cytokine Th2 atau penurunan cytokine Th1 baik tumor sistemik maupun lokal. Penelitian mengenai tumor yang mengembangkan beberapa cara untuk menghindari respon Th1 sesuai dengan pengertian immunosurveillance. Fakta bahwa malignan memiliki banyak cara dalam menghindari respon Th1 menunjukkan bahwa kemampuan untuk menghindari respon ini memberikan keuntungan pertahanan pada sel malignan, yang selanjutnya menunjukkan bahwa respon Th1 menjadi ancaman bagi neoplasma (Ichim, 2005).

36 16 Cytokine Th1 IFN-γ berfungsi sebagai antitumor baik secara langsung maupun tidak langsung. Serangkaian penelitian menunjukkan arti penting IFN-γ dalam membasmi tumor awal dengan adanya peningkatan keberhasilan karsinogenesis saat tidak ada IFN-γ. IFN-γ menghambat pertumbuhan tumor dengan mempengaruhi proliferasi, apoptosis dan angiogenesis. IFN-γ juga mempunyai efek antitumor tidak langsung dengan memacu respon imun antitumor yang efektif. Sebagai tambahan dalam mempengaruhi keseimbangan cytokine Th1-Th2, IFN-γ mampu mengaktifkan makrofag sitotoksik, sel-sel NK dan sel-sel T NK (Ichim, 2005). Bukti dari prinsip tipe respon imun yang tidak tepat akan meningkatkan pertumbuhan tumor telah dibuktikan pada awal 1907 oleh Flexner dan Jobling, yang menunjukkan bahwa injeksi sel tumor autologous mati meningkatkan pertumbuhan tumor yang ada lebih dulu. Secara umum, Th2 membawa respon antibodi ke tumor yang tidak terlindungi dan mendukung perkembangan tumor dengan menghambat respon imun yang diperantarai sel Th1. Namun, paham bahwa respon imun yang diperantarai antibodi dapat merugikan pada kanker telah diusulkan lama sebelum Mossman dan Coffman menunjukkan paradigma Th1- Th2 pada tahun Pada tahun 1950-an Kaliss mempopulerkan istilah immunological enhancement untuk menggambarkan peningkatan pertumbuhan tumor oleh antibodi non-sitotoksik. Teori ini menyebutkan bahwa antibodi berikatan dengan sel tumor, melapisi atau menutup epitop sel tumor dan kemudian mencegah respon imun yang diperantarai sel sehingga sel tumor tidak bereaksi

37 17 dengan imun dan tetap bisa tumbuh dan berkembang, meskipun hal ini belum pernah dibuktikan dengan percobaan (Ichim, 2005). Ada dua kategori utama perubahan genetik yang dapat mengakibatkan munculnya kanker, yaitu: Aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen Proto-onkogen adalah gen yang secara normal mengendalikan pembelahan sel, apoptosis, dan diferensiasi tetapi dapat berubah menjadi onkogen oleh adanya aksi virus atau karsinogen. Inaktivasi gen penekan tumor Sel normal mengandung gen yang mempunyai kemampuan untuk menekan perubahan malignan yang disebut gen penekan tumor (anti-onkogen) dan sekarang terdapat bukti bahwa mutasi terhadap gen ini terlibat dalam pembentukan kanker yang berbeda-beda. Kehilangan fungsi dari gen penekan tumor dapat menjadi peristiwa penting dalam karsinogenesis (Rang dkk, 2003). Kanker akan muncul bila DNA sel normal mengalami kerusakan sehingga menyebabkan mutasi genetik. Kalau ini tidak segera dikoreksi, perbanyakan sel yang DNA-nya rusak tersebut potensial menghasilkan sel kanker. Padahal perbanyakan sel dimaksudkan untuk pemulihan sel-sel yang aus atau rusak (Hartono, 1999). Tingkatan perubahan sel pada pertumbuhan kanker adalah sebagai berikut: a. hiperplasi yaitu pembengkakan organ tubuh akibat pertumbuhan sel-sel baru yang abnormal karena hilangnya kontrol pertumbuhan.

38 18 b. metaplasi yaitu perubahan epitel suatu jenis jaringan dewasa menjadi jaringan lain yang juga dewasa. c. displasi yaitu perubahan sel dewasa ke arah kemunduran dalam hal bentuk, besar dan orientasinya. Masih bersifat reversibel. d. anaplasi yaitu perubahan serupa displasi yang menyimpang lebih jauh dari normal. Merupakan suatu ciri tumor ganas yang sangat ireversibel. e. karsinoma insitu yaitu gambaran sel menjadi sangat atipik namun belum terdapat pertumbuhan infiltratif. f. invasi yaitu sel kanker telah menembus lapisan basal jaringan (Kuswibawati, 2000). 3. Kanker leher rahim Kanker servik merupakan suatu bentuk malignan pada leher rahim (servik). Kanker leher rahim merupakan jenis kanker paling banyak kedua di dunia yang menyerang wanita dan peringkat ketiga kanker yang dapat menyebabkan kematian setelah kanker payudara dan kanker paru-paru. Kanker ini menyerang 16 per orang wanita dan menyebabkan kematian 9 per setiap tahunnya (Anonim, 2007a). Uji sitologi cervical (Pap smear) menunjukkan identifikasi dan penghilangan lesi prekanker (Anonim, 2005b). Gejala klinik kanker leher rahim adalah keputihan yang tidak gatal, nyeri dan perdarahan sehabis senggama, anemia serta gejala-gejala lain yang ditimbulkan pada metastasis jauh (Fenty, 2000). Istilah Cervical Intra-epithelial Neoplasia (CIN) digunakan saat pada servik mengalami perubahan stadium displasia premalignan. Human Papilloma

39 19 Virus (HPV) pada stadium ini merupakan virus yang beresiko rendah dalam arti tidak selalu berkembang menjadi kanker tetapi bisa juga menjadi virus beresiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim. Apabila kanker leher rahim dideteksi lebih dini, maka kanker ini dapat diobati tanpa mempengaruhi kesuburan (Anonim, 2007a). Kanker leher rahim atau karsinoma servik uteri paling sering ditemukan di antara tumor ganas ginekologik, dan umumnya paling banyak ditemukan pada wanita berusia tahun (Fenty, 2000). Lebih dari 90% kasus kanker leher rahim disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18. Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18 mengandung dua macam gen yaitu E6 dan E7 yang menghambat p53 dan Rb. Gen p53 dan Rb merupakan gen penekan tumor yang ada di dalam tubuh manusia. Gen p53 terlibat dalam regulasi apoptosis (bunuh diri sel) dan Rb bertanggung jawab untuk menghentikan siklus sel pada fase G1. Pada saat fungsi Rb melemah, sel melanjutkan siklus ke fase S dan mengalami mitosis sempurna, kemudian menghasilkan proliferasi sel dan dari hal ini menyebabkan adanya pembentukan neoplastik (Anonim, 2007a). D. Kultur Sel Kultur sel yang baru diisolasi dari suatu jaringan dan kemudian ditumbuhkan secara in vitro dikenal sebagai kultur sel primer. Subkultur adalah pemindahan sel ke flask baru dengan medium yang baru. Subkultur memungkinkan terjadinya perluasan kultur yang sekarang dikenal sebagai cell line. Setelah mengalami beberapa kali subkultur, cell line akan mati (disebut finite

40 20 cell line) atau berubah menjadi continuous cell line. Sel normal dapat mengalami perubahan menjadi continuous cell line tanpa menjadi malignan, sedangkan tumor malignan dapat tumbuh pada media kemudian mengalami perubahan dan menjadi lebih atau kurang tumorigenik. Keuntungan penggunaan continuous cell line adalah lebih cepat tumbuh sehingga kepadatan populasi sel lebih tinggi, membutuhkan serum yang lebih rendah dan cukup mudah perawatannya pada media sederhana, serta memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam suspensi. Kerugiannya meliputi ketidakstabilan kromosomal yang lebih besar, adanya penyimpangan dari fenotip donor, dan terjadi kehilangan penanda khusus jaringan (Freshney, 1986). 1. Sel HeLa HeLa cell line merupakan continouous cell line yang tumbuh sebagai sel yang semi melekat. HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) manusia. Sel ini diisolasi dari seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks berusia 31 tahun, yang meninggal pada tahun 1951 akibat kanker yang dideritanya. HeLa cell line ini cukup aman dan umum digunakan untuk kepentingan kultur sel. Sel HeLa merupakan cell line cervix intraepitel (Cervical Intraepithelial Carcinoma) akibat infeksi HPV 18 (Widiyani, 2005). Sel HeLa diketahui dapat hidup dan berkembang dengan sangat baik dalam kultur buatan di laboratorium. Kultur sel HeLa mengalami proliferasi yang sangat cepat, bahkan jika dibandingkan dengan jenis sel kanker yang lain. Sel-sel tersebut memiliki telomerase aktif selama pembelahan sel, yang dapat mencegah

41 21 bertambah pendeknya telomer-telomer yang mengakibatkan penuaan dan bahkan kematian sel. Sel HeLa mudah menginvasi atau mengkontaminasi kultur sel lain dalam satu laboratorium yang sama (Anonim, 2007b). HeLa cell line merupakan immortal cell line yang digunakan dalam penelitian dibidang kesehatan seperti uji antitumor, uji sitotoksisitas, biologi sel, dan kemampuan invasi bakteri. Sel ini dapat dikultur menggunakan media RPMI Media RPMI 1640 mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh sel seperti asam amino, vitamin, garam-garam anorganik dan glukosa (Freshney, 1986). 2. Sel Vero Vero epithelial cell line ditemukan pertama pada tahun 1962 oleh Y. Yasumura dan Y. Kawakita di Universitas Chiba di Chiba, Jepang. Sel Vero diambil dari ginjal kera dewasa (jenis African Green Monkey) yang sehat. Walaupun sering digunakan dalam tranfections dan produksi vaksin, sel Vero juga sering digunakan untuk mendeteksi verotoksin (sekelompok toksin yang berhubungan yang dihasilkan oleh beberapa strain Escherichia coli yang merupakan penyebab utama hemorrhagic colitic dan sindrom hemolytic uremic pada manusia) (Anonim, 2006b). E. Uji Sitotoksisitas In Vitro Uji untuk identifikasi agen kemoterapetik kanker yang baru biasanya dilakukan pada hewan percobaan yang mempunyai kesamaan sifat dengan manusia. Namun, ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan kecenderungan untuk menggunakan kultur sel dibanding hewan uji. Pertimbangan tersebut antara

42 22 lain, tes in vitro lebih murah dibanding in vivo, ada perbedaan proses fisiologis antara hewan percobaan dan manusia, dan adanya pertimbangan moral di dalam penggunaan hewan sebagai objek penelitian (Freshney, 1986). Uji MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide) didasarkan pada aktivitas mitokondria, yang diinterpretasikan sebagai tolok ukur kelangsungan hidup sel. Pada uji MTT, garam tetrazolium, 3-(4,5-dimetil-tiazol- 2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide secara aktif akan diabsorpsi ke dalam sel hidup dan direduksi dalam mitokondria sel membentuk suatu produk formazan berwarna ungu. Produk tersebut terakumulasi di dalam sel karena tidak bisa keluar menembus membran sel. Dengan penambahan DMSO, isopropanil, atau solven lain yang cocok, produk formazan ungu yang terbentuk tadi baru dapat larut atau dibebaskan dan siap diukur dengan metode kolorimetri (Barile, 1997). Br - N N + N N S NADH N S N HN NAD N N N MTT (3-(4,5-dimethyl-thiazol-2-yl)-2,5- Formazan ((2E,4Z)-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-3,5- diphenyltetrazolium bromide) diphenylformazan) Gambar 1. Reaksi reduksi MTT menjadi formazan Kematian sel merupakan respon uji sitotoksisitas maka konsentrasi yang menimbulkan kematian pada 50% populasi pada sel dalam waktu yang spesifik dan kondisi percobaan yang sesuai diistilahkan dengan median lethal

43 23 concentration atau LC 50 (Cassaret and Doull, 2001). Semakin kecil harga LC 50 suatu senyawa berarti senyawa tersebut semakin besar sitotoksisitasnya. F. Landasan Teori Penyakit kanker merupakan penyakit yang telah menjadi ancaman di seluruh dunia, sementara obat spesifik untuk menghentikan perkembangan sel kanker belum juga ditemukan. Tetapi upaya pencegahan terus diusahakan dengan terapi alternatif obat antikanker yang berasal dari tanaman. Tanaman mimba merupakan salah satu tanaman yang diyakini mempunyai khasiat untuk mengobati kanker. Fraksi protein daun mimba ternyata dapat memberikan efek sitotoksik terhadap beberapa tipe sel kanker termasuk sel HeLa. Sel HeLa dapat hidup dan berkembang sangat baik dalam kultur buatan di laboratorium, diakui aman untuk digunakan dalam kultur sel, dan mampu memberikan respon yang cukup baik terhadap aktivitas dari senyawa-senyawa yang diujikan. Beberapa penelitian tentang sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa sebagai subyek uji telah banyak dilakukan. Dari penelitian Suwanto (2006) diketahui bahwa fraksi protein hasil pengendapan amonium sulfat 30% dan 60% memiliki nilai LC 50 yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker. Diduga bahwa protein yang berperan sebagai antikanker berada terutama antara kedua fraksi protein tersebut sehingga dimungkinkan untuk memfraksinasi protein kedalam konsentrasi yang lebih kecil lagi dengan cara pengendapan menggunakan amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 10%

44 24 (FP 10 ), 20%(FP 20 ), 30% (FP 30 ) dan 40% (FP 40 ). Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui pada fraksi mana protein yang memiliki potensi sebagai antikanker tersebut paling banyak terendapkan dan kespesifikan protein yang bersifat antikanker. Namun, fraksi protein daun mimba belum pernah dicobakan pada sel normal (sel Vero). Jika ternyata tidak menimbulkan kerusakan pada sel normal (sel Vero), fraksi protein daun mimba dapat diajukan sebagai alternatif obat antikanker baru. Hal-hal tersebutlah yang mendasari dilakukan penelitian fraksinasi protein daun mimba menjadi lebih kecil lagi untuk dilihat keberadaan protein yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker. G. Hipotesis Fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 memiliki efek sitotoksik terhadap sel HeLa dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker.

45 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian eksperimental murni sederhana tunggal dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. 1. Variabel bebas B. Variabel-variabel Penelitian Konsentrasi fraksi protein daun Azadirachta indica A. Juss FP 10, FP 20, FP 30 dan FP Variabel tergantung Prosentase kematian sel HeLa dan sel Vero pada masing-masing kultur sel. 3. Variabel pengacau terkendali a. Medium tumbuh sel dikendalikan dengan menggunakan medium RPMI 1640 untuk sel HeLa dan medium M199 untuk sel Vero. b. Tempat tumbuh dan waktu pemanenan daun mimba dikendalikan dengan memanen daun pada tempat dan waktu yang sama. c. ph dan suhu pembuatan fraksi protein, dikendalikan pada ph 7,2 dan suhu 4 o C. 4. Variabel pengacau tak terkendali Kematian sel HeLa dan sel Vero secara alami. 25

46 26 C. Definisi Operasional 1. Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel. 2. Fraksi protein adalah protein yang didapat dari ekstrak gubal daun mimba dengan pengendapan menggunakan amonium sulfat. 3. Lethal Concentration (LC 50 ) adalah konsentrasi fraksi protein daun mimba yang dapat mengakibatkan kematian 50% populasi sel HeLa maupun sel Vero. D. Bahan atau Materi Penelitian 1. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun segar tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss). Daun mimba diambil dari tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) yang tumbuh di pekarangan Laboratorium Hayati LPPT Unit III, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada bulan Juni Daun mimba diambil pada saat tanaman mimba belum berbunga dan berbiji. 2. Kultur sel HeLa dari stok Laboratorium Ilmu Hayati Universitas Gadjah Mada 3. Kultur sel Vero dari stok Laboratorium Ilmu Hayati Universitas Gadjah Mada 4. Pereaksi untuk isolasi dan penetapan konsentrasi protein dari daun Azadirachta indica A. Juss dengan bahan p.a (Merck): a. larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 b. larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl c. amonium sulfat 5. Pereaksi untuk uji sitotoksisitas pada sel HeLa dan sel Vero a. Media pencuci : RPMI 1640 (Sigma), natrium bikarbonat, Hepes (Sigma)

47 27 b. Media penumbuh sel HeLa : RPMI 1640 (Sigma), Foetal Bovine Serum (FBS) 10% (Gibco), Penisilin-Streptomisin 2% (Gibco), dan Fungison 0,5% (Gibco) c. Media penumbuh sel Vero : M199 (Sigma), Foetal Bovine Serum (FBS) 10% (Gibco), Penisilin-Streptomisin 2% (Gibco), dan Fungison 0,5% (Gibco) d. Reagen Stopper : natrium dodeksil sulfat 10% dalam HCl 0,01 N (Merck) e. MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) 5 mg/ml (Sigma) f. Trypsin 0,25% (Sigma) E. Alat-alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat-alat gelas (Pyrex), mortir dan stamper, kain monel, sentrifuge (Sigma K PLC series), spektrofotometer UV (CECIL Serie 2) dan kuvet 1 ml, mikroskop (Olympus Model IMT-2), haemocytometer (Nebauer), laminar air flow (Nuraire Class II type A/B3), inkubator 37ºC, aliran 5% CO 2 (Nuraire IR Airflow), 96-well plate (Nunc), ELISA Reader SLT 340ATC, tissue culture flask, pipet Pasteur, membran / tabung dialisis (Sigma), tangki nitrogen cair, penangas air, almari es (National), mikropipet, timbangan analitik (AND ER-400 H), alumunium foil, magnetic stirrer, ph meter (TOA electronic HM-5S), mesin vortex (Thermolyne Maximi), autoklaf, Hi-Mac Sentrifuge (HITACHI SCP85H), tissue, glove, dan masker.

48 28 F. Tatacara Penelitian 1. Determinasi tanaman Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian yaitu daun mimba, telah dideterminasi terlebih dahulu di laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan dipastikan juga kebenarannya menggunakan acuan baku (Backer and Backuizen van den Brink, 1963; 1965). 2. Pengumpulan daun mimba Daun mimba yang digunakan diambil dari pohon mimba yang tumbuh di pekarangan Laboratorium Hayati, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada bulan Juni Sterilisasi alat dan bahan Untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh organisme, maka alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini harus disterilkan terlebih dahulu. Alat-alat tersebut dicuci dengan larutan sabun hingga bersih dan dikeringkan, setelah itu dibungkus dengan alumunium foil dan disterilkan dalam autoklaf selama 20 menit pada suhu 121 o C (Gennaro, 2000). 4. Pembuatan fraksi protein dari daun mimba Daun segar tanaman Azadirachta indica A. Juss dikumpulkan, diseleksi, dan dicuci bersih dengan air mengalir. Daun dipotong kecil-kecil, tulang daun dibuang dan ditimbang sebanyak 450 gram. Daun kemudian dibungkus dengan kantong plastik bersih dan disimpan dalam freezer 20ºC selama semalam, bersama dengan mortir, stamper, dan juga reagen-reagen yang akan digunakan

49 29 untuk proses selanjutnya dimana bahan-bahan tersebut sebelumnya telah disterilkan. Daun ditumbuk halus dengan penambahan sesedikit mungkin dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl dalam mortir yang ditempatkan dalam baskom berisi air es. Hasil tumbukan diperas dengan kain monel, ditampung dalam tabung conical yang bersih dan steril. Cairan yang diperoleh disentrifus pada 8000 rpm selama 30 menit. Supernatan dikumpulkan dalam labu ukur 500 ml yang bersih dan steril. Supernatan yang diperoleh kemudian diendapkan proteinnya dengan menambahkan 27,45 gram amonium sulfat perlahan-lahan sambil terus diaduk menggunakan magnetic stirrer dan dijaga suhunya, kemudian didiamkan selama semalam di dalam lemari es sambil terus diaduk. Supernatan kemudian disentrifus lagi pada 8000 rpm selama 25 menit. Supernatan (1) ditampung dalam labu ukur 500 ml sedang pelet yang yang diperoleh dilarutkan dengan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 hingga volumenya mencapai 3 ml. Supernatan (1) yang telah ditampung ditambahkan dengan 27,47 gram amonium sulfat perlahan-lahan sambil terus diaduk menggunakan magnetic stirrer selama semalam dan dijaga suhunya dalam lemari es. Selanjutnya supernatan (1) disentrifus 8000 rpm selama 25 menit. Supernatan (2) ditampung dalam labu ukur 500 ml sedang pelet yang diperoleh dilarutkan dengan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 hingga volumenya mencapai 3 ml.

50 30 Supernatan (2) yang ditampung ditambah dengan 28,35 gram amonium sulfat perlahan-lahan sambil terus diaduk menggunakan magnetic stirrer selama semalam dan dijaga suhunya dalam lemari es. Selanjutnya supernatan (2) disentrifus 8000 rpm selama 25 menit. Supernatan (3) ditampung dalam labu ukur 500 ml sedang pelet yang diperoleh dilarutkan dengan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 hingga volumenya mencapai 3 ml. Supernatan (3) ditambah dengan 29,28 gram amonium sulfat perlahanlahan sambil terus diaduk menggunakan magnetic stirrer selama semalam dan dijaga suhunya dalam lemari es. Selanjutnya supernatan (3) disentrifus 8000 rpm selama 25 menit. Supernatan (4) ditampung dalam labu ukur 500 ml sedang pelet yang diperoleh dilarutkan dengan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 hingga volumenya mencapai 3 ml. Langkah selanjutnya dilakukan dialisis dengan memasukkan keempat sampel fraksi protein yang diperoleh tadi ke dalam tabung dialisis dan direndam dalam larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2, diaduk menggunakan magnetic stirrer selama semalam dalam lemari es. Hasil dialisis ditambahkan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl hingga volumenya mencapai 10 ml, sentrifus 8000 rpm selama 20 menit. Pelet dibuang sedang supernatan diambil sebagai sampel fraksi protein dengan konsentrasi 10% jenuh, sampel fraksi protein dengan konsentrasi 20% jenuh, sampel fraksi protein dengan konsentrasi 30% jenuh dan sampel fraksi protein dengan konsentrasi 40% jenuh.

51 31 5. Pengukuran konsentrasi protein total Fraksi protein 10%, 20%, 30% dan 40% jenuh yang diperoleh, masingmasing sebanyak 10 μl kemudian ditambah larutan dapar natrium fosfat 5mM hingga volumenya mencapai 1 ml. Ambil dan masukkan ke dalam kuvet. Ukur serapan dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm dengan blanko larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2. Concentration = [1.55E(280)] [0.76E(260)] mg ml -1 (Layne cit., Richterich and Colombo, 1981) 6. Propagasi dan panen sel HeLa a. Propagasi sel HeLa Sel diambil dari tangki nitrogen cair, lalu dengan segera dicairkan diatas penangas air 37ºC. Ampul disemprot dengan etanol 70% dan dibuka. Sel kemudian dipindahkan ke dalam tabung conical steril yang berisi medium RPMI Suspensi sel disentrifus 8000 rpm selama 5 menit, supernatan yang didapat dibuang, kemudian medium RPMI diganti dengan yang baru, disuspensikan secara perlahan-lahan. Suspensi sel kemudian disentrifus lagi selama 5 menit. Supernatan dibuang sedang pelet ditambah dengan 1 ml medium penumbuh yang mengandung 20% FBS. Disuspensikan perlahan hingga homogen, kemudian sel ditumbuhkan dalam 3-4 tissue culture flask kecil, diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37ºC dengan aliran 5% CO 2. Setelah 24 jam, medium diganti dan sel ditumbuhkan hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian.

52 32 b. Panen sel HeLa Setelah jumlah sel cukup, medium RPMI 1640 kemudian diganti dengan medium RPMI 1640 yang baru sebanyak 5 ml. Sel dilepaskan dari dinding flask dengan cara diresuspensikan menggunakan pipet Pasteur. Sel kemudian dipindahkan ke dalam tabung conical steril, ditambah medium RPMI 1640 sampai volume 10 ml dan kemudian disentrifus 8000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang didapat dibuang sedang pelet diresuspensi kembali secara perlahan dengan 1 ml media. Jumlah sel dihitung menggunakan haemocytometer. Suspensi sel kemudian ditambahkan sejumlah medium sehingga diperoleh konsentrasi sel sebesar 5 x 10 4 sel / 200 μl yang akan digunakan untuk penelitian. 7. Propagasi dan panen sel Vero a. Propagasi sel Vero Sel diambil dari tangki nitrogen cair, lalu dengan segera dicairkan diatas penangas air 37ºC. Ampul disemprot dengan etanol 70% dan dibuka. Sel kemudian dipindahkan ke dalam tabung conical steril yang berisi medium M199. Suspensi sel disentrifus 8000 rpm selama 5 menit, supernatan yang didapat dibuang, kemudian medium M199 diganti dengan yang baru, disuspensikan secara perlahan-lahan. Suspensi sel kemudian disentrifus lagi selama 5 menit. Supernatan dibuang sedang pelet ditambah dengan 1 ml medium penumbuh yang mengandung 20% FBS. Disuspensikan perlahan hingga homogen, kemudian sel ditumbuhkan dalam 3-4 tissue culture flask kecil, diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37ºC dengan aliran 5% CO 2. Setelah 24 jam, medium diganti dan sel ditumbuhkan hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian.

53 33 b. Panen sel Vero Setelah jumlah sel cukup (kurang lebih setelah berumur 7 hari), sel dicuci dengan FBS 10% sebanyak 3 ml. Untuk melepaskan sel-sel dari dinding flask, diberi trypsin 0,25% sebanyak 1 ml. Sel dipindahkan dalam tabung conical steril yang sudah berisi M199 sebanyak 7 ml. Kemudian sel dibilas kembali dengan FBS 10% sebanyak 3 ml. Hasil bilasan dituang ke dalam tabung conical yang sama dan disentrifus selama 5 menit. Untuk menghilangkan sisa trypsin, sel dicuci sekali lagi dengan menggunakan medium yang sama. Kemudian pelet ditambah media kultur sebanyak 1 ml. Selanjutnya lakukan perhitungan jumlah sel dengan menggunakan haemocytometer. Suspensi sel ditambah sejumlah medium sehingga memperoleh konsentrasi sel sebesar 2,5x10 4 /100 μl dan siap dipakai untuk penelitian (Freshney, 1986; Jacoby and Pastan, 1979; Sambrook et al, 1989). 8. Uji sitotoksisitas terhadap sel HeLa dan sel Vero a. Uji sitotoksisitas dengan metode MTT terhadap sel HeLa Seratus μl suspensi sel HeLa dengan konsentrasi 5 x 10 4 sel / 200 μl dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran pada 96-well plate dan diinkubasi bersama fraksi protein satu seri kadar selama 24 jam. Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap 11 baris sumuran. Sebagai kontrol, 100 μl suspensi sel ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi medium RPMI 1640 dan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 sedangkan untuk faktor koreksi, 100 μl sampel ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi medium RPMI 1640 dan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2. Selanjutnya sel diinkubasikan dalam inkubator dengan aliran 5% CO 2 pada suhu 37ºC. Pada akhir

54 34 inkubasi, pada masing-masing sumuran ditambahkan 10 μl MTT 5 mg/ml, dan diinkubasi lagi semalam pada suhu 37ºC. Sel yang hidup akan bereaksi dengan MTT membentuk kristal formazan berwarna ungu. Reaksi MTT dihentikan dengan penambahan reagen stopper, diinkubasi lagi selama semalam pada suhu kamar. Kemudian serapan dapat dibaca dengan ELISA Reader pada panjang gelombang 550 nm. b. Uji sitotoksisitas dengan metode MTT terhadap sel Vero Seratus μl suspensi sel Vero dengan konsentrasi 5 x 10 4 sel / 200 μl dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran pada 96-well plate dan diinkubasi bersama fraksi protein satu seri kadar selama 24 jam. Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap 11 baris sumuran. Sebagai kontrol, 100 μl suspensi sel ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi medium M199 dan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 sedangkan untuk faktor koreksi, 100 μl sampel ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi medium M199 dan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2. Selanjutnya sel diinkubasikan dalam inkubator dengan aliran 5% CO 2 pada suhu 37ºC. Pada akhir inkubasi, pada masing-masing sumuran ditambahkan 10 μl MTT 5 mg/ml, dan diinkubasi lagi semalam pada suhu 37ºC. Sel yang hidup akan bereaksi dengan MTT membentuk kristal formazan berwarna ungu. Reaksi MTT dihentikan dengan penambahan reagen stopper, diinkubasi lagi selama semalam pada suhu kamar. Kemudian serapan dapat dibaca dengan ELISA Reader pada panjang gelombang 550 nm.

55 35 G. Analisis Hasil Prosentase kematian sel pada metode MTT adalah selisih absorbansi kontrol dengan absorbansi perlakuan dibagi absorbansi kontrol dikalikan 100% atau : Persen kematian = kontrol - (perlakuan - perlakuan tanpa sel) kontrol x 100% (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nochols, Mc Laughlin, 1982) Hasil uji berupa prosentase kematian sel tersebut kemudian dianalisis secara statistik menggunakan analisis probit untuk mengetahui konsentrasi protein yang dapat mengakibatkan kematian 50% populasi sel HeLa maupun sel Vero (LC 50 ). Analisis statistik menggunakan uji t-independent sample dilakukan untuk membandingkan daya sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa dengan sel Vero.

56 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Fraksi Protein Daun Mimba Daun segar tanaman Azadirachta indica A. Juss yang telah dikumpulkan dan diseleksi, dicuci bersih dengan air mengalir supaya pengotor-pengotor yang menempel pada daun dapat dihilangkan. Daun dipotong dari tangkainya, kemudian digerus dengan penambahan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl sedikit demi sedikit dalam mortir yang ditempatkan dalam wadah berisi air es. Larutan dapar digunakan untuk menjaga stabilitas, sedangkan kandungan NaCl di dalam larutan dapar tersebut berfungsi untuk mempermudah kelarutan protein yang terkandung di dalam daun tanaman mimba. Penggerusan daun dalam mortir yang ditempatkan dalam wadah berisi air es dimaksudkan untuk menjaga temperatur percobaan supaya protein daun tetap stabil dan tidak mengalami kerusakan. Ekstrak gubal yang diperoleh dari 450 gram daun mimba sebanyak 515 ml. Pembuatan fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) dilakukan dengan cara pengendapan protein menggunakan amonium sulfat. Mekanisme pengendapan protein dengan penambahan amonium sulfat ini disebut salting out. Amonium sulfat memiliki ion anorganik yang berkompetisi dengan molekul protein dalam mengikat air. Amonium sulfat dapat mengikat air lebih banyak daripada protein karena sifat amonium sulfat lebih polar dibandingkan protein sehingga kelarutan protein dalam air menurun dan dapat mengendap. 36

57 37 Fraksi protein dibuat secara bertingkat dengan menambahkan amonium sulfat dalam jumlah tertentu hingga mencapai kejenuhan 10%, 20%, 30%, dan 40%. Fraksi protein 10% jenuh (FP 10 ) diperoleh dengan menambahkan amonium sulfat sebanyak 27,45 gram ke dalam ekstrak gubal yang pertama kali diperoleh yaitu 515 ml. Fraksi protein 20% jenuh (FP 20 ) diperoleh dengan menambahkan amonium sulfat sebanyak 27,47 gram ke dalam 500 ml ekstrak gubal dari pembuatan fraksi protein 10%. Fraksi protein 30% jenuh (FP 30 ) diperoleh dengan menambahkan amonium sulfat sebanyak 28,35 gram ke dalam 500 ml ekstrak gubal dari pembuatan fraksi protein 20%. Fraksi protein 40% jenuh (FP 40 ) diperoleh dengan menambahkan amonium sulfat sebanyak 29,28 gram ke dalam 500 ml ekstrak gubal dari pembuatan fraksi protein 30%. Fraksi protein yang telah diperoleh kemudian dimurnikan dari amonium sulfat yang ikut terendapkan bersama protein dengan cara dialisis. Tabung dialisis dipanaskan dalam larutan EDTA-NaHCO 3 untuk membersihkan tabung dialisis tersebut dari bahan kimia yang tertinggal pada saat pembuatannya. Masingmasing fraksi protein dimasukkan ke dalam tabung dialisis terpisah tetapi direndam di dalam satu beaker glass yang berisi larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer selama semalam dan dijaga suhunya. Hal ini dilakukan supaya kejenuhan tidak hanya terjadi di sekitar tabung dialisis tetapi merata di seluruh isi beaker glass sehingga proses dialisis ini dapat berlangsung sempurna. Proses dialisis terjadi dengan mekanisme difusi pasif karena konsentrasi amonium sulfat di dalam tabung dialisis lebih tinggi daripada di luar tabung dialisis sehingga amonium sulfat akan keluar dari

58 38 tabung dialisis ke dalam beaker glass yang berisi larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2. Tabung dialisis bersifat semipermeabel dan mempunyai pori yang hanya mengeluarkan partikel-partikel kecil yang berukuran kurang dari Dalton, misalnya partikel amonium sulfat, sedangkan protein yang merupakan makromolekul akan tersaring dan tetap tertinggal di dalam tabung dialisis. Pada saat dialisis dilakukan penggantian larutan dapar guna menjaga perbedaan konsentrasi amonium sulfat yang berada di dalam tabung dialisis dan yang berada di luar tabung dialisis tetap besar sehingga konsentrasi amonium sulfat di dalam larutan dapar tidak terlalu jenuh serta mekanisme difusi pasif tetap terjadi. Proses dialisis dilakukan selama satu malam dan diharapkan amonium sulfat dapat dikeluarkan semua dari sampel sehingga diperoleh fraksi protein murni. Penggunaan larutan dapar berfungsi menjaga nilai ph. Nilai ph larutan dapar dipengaruhi oleh perubahan temperatur. Oleh sebab itu, selama proses dialisis temperatur tetap dijaga dengan melakukan dialisis di dalam lemari es. B. Penetapan Konsentrasi Fraksi Protein Fraksi protein yang telah diperoleh selanjutnya ditetapkan konsentrasinya secara kolorimetri dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm. Metode ini digunakan karena protein di dalam daun mimba mengandung residu asam amino tirosin, triptofan dan fenilalanin yang strukturnya mempunyai kromofor dan auksokrom sehingga mampu mengabsorpsi sinar secara maksimal pada panjang gelombang 280 nm. Penetapan konsentrasi fraksi protein juga dilakukan pada panjang gelombang 260

59 39 nm sebagai faktor koreksi. Faktor koreksi ini diperlukan untuk mengoreksi adanya senyawa-senyawa lain yang akan terabsorpsi secara maksimal pada panjang gelombang 260 nm seperti asam nukleat beserta komponennya dan senyawasenyawa yang di dalam strukturnya memiliki cincin purin dan pirimidin. Perhitungan konsentrasi protein dapat dilihat pada lampiran. Konsentrasi protein yang diperoleh untuk FP 10 adalah 16,40 mg/ml, FP 20 adalah 16,15 mg/ml, FP 30 adalah 15,94 mg/ml, dan FP 40 adalah 9,25 mg/ml. C. Uji Sitotoksisitas Fraksi Protein Uji sitotoksisitas dilakukan terhadap kultur sel HeLa. Kultur sel HeLa diperoleh dari stok kultur sel HeLa yang telah ditumbuhkan terlebih dahulu di laboratorium hayati Universitas Gadjah Mada. Uji sitotoksisitas menggunakan metode MTT dilakukan dengan cara menginkubasi kultur sel HeLa konsentrasi 5x10 4 sel/200 µl media dengan 11 seri konsentrasi untuk masing-masing fraksi protein daun mimba selama 24 jam pada suhu 37 C. Selanjutnya MTT ditambahkan ke dalam sumuran berisi sel HeLa dan fraksi protein tersebut, kemudian diinkubasikan kembali selama 24 jam pada suhu 37 C supaya reaksi antara sel HeLa dengan MTT dapat tejadi sempurna. Uji sitotoksisitas dengan metode MTT ini berdasarkan prinsip pemecahan garam tetrazolium MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide) oleh sistem enzim reduktase suksinat tetrazolium yang terdapat di dalam mitokondria sel membentuk kristal formazan berwarna ungu dan tidak larut. Sel HeLa yang tetap hidup setelah perlakuan dengan senyawa uji dapat membentuk

60 40 kristal formazan ungu karena aktivitas metabolisme berlangsung secara aktif hanya pada sel hidup. Oleh karena itu, garam tetrazolium MTT yang ditambahkan pada sel hidup akan segera bereaksi dengan cara dipecah oleh enzim reduktase suksinat tetrazolium membentuk kristal formazan ungu di dalam mitokondria sel hidup tersebut. Reaksi pembentukan kristal formazan ini dihentikan dengan menambahkan reagen stopper dan diinkubasikan kembali selama 24 jam pada suhu 37 C. Reagen stopper yang terdiri dari SDS 1% dalam HCl 0,01 N ini berfungsi untuk melarutkan kristal formazan sehingga intensitas warna ungu yang terbentuk dapat dibaca menggunakan ELISA Reader. Alat ELISA Reader ini mampu mengukur intensitas senyawa pada multiwell. Pemilihan metode MTT didasarkan pada keakuratan dan kecepatannya di dalam mengukur absorbansi senyawa yang diukur. Hal ini dikarenakan absorbansi yang terukur pada ELISA Reader berbanding lurus dengan jumlah sel yang masih hidup. Penggunaan ELISA Reader ini membutuhkan waktu singkat, dapat mengurangi subyektivitas peneliti dan mampu mengukur sampel dalam jumlah banyak. Selain itu, metode MTT ini cukup aman dan sederhana karena tidak digunakan bahan-bahan berbahaya serta preparasi dan perlakuan terhadap sampel cukup mudah. Namun demikian, metode MTT ini tidak dapat digunakan untuk sampel-sampel yang memiliki warna sebab akan mempengaruhi absorbansi yang terukur pada ELISA Reader. Senyawa uji yang diperoleh berwarna hijau kecokelatan mempengaruhi pengukuran absorbansi pada ELISA Reader. Oleh karena itu, dilakukan juga pengukuran absorbansi senyawa uji sebagai faktor koreksi untuk meminimalkan

61 41 gangguan dari warna sampel sehingga akan diperoleh absorbansi yang benarbenar berasal dari warna sel hidup setelah perlakuan dengan senyawa uji. Selain senyawa uji, digunakan juga kontrol negatif yang berisi sel, medium dan larutan dapar natrium fosfat 5mM ph 7,2 supaya dapat diketahui bahwa perlakuan yang diberikan benar-benar berefek terhadap sel HeLa maupun sel Vero. i ii ii i (a) (b) Gambar 2. (a) i. Sel HeLa hidup dan ii. Sel HeLa mati tanpa perlakuan. (b) i. Sel Vero hidup dan ii. Sel Vero mati tanpa perlakuan Sebelum melakukan uji sitotoksisitas menggunakan metode MTT, terlebih dahulu dilakukan pengamatan morfologi baik terhadap sel HeLa maupun sel Vero. Sel HeLa hidup berbentuk seperti daun memanjang dan hidup melekat di dasar flask, sedangkan sel HeLa yang mati berbentuk bulat tidak beraturan dan mengapung di dalam media. Sel Vero hidup berbentuk lonjong dan hidup melekat di dalam dasar flask, sedangkan sel Vero yang mati berbentuk bulat dan mengapung pada media. Perbedaan ciri morfologi antara sel HeLa dengan sel Vero tersebut tampak pada gambar 2.

62 42 ii i i ii (a) (b) Gambar 3. (a) i. Sel HeLa hidup dan ii. Sel HeLa mati setelah perlakuan dengan fraksi protein daun mimba. (b) i. Sel Vero hidup dan ii. Sel Vero mati setelah perlakuan dengan fraksi protein daun mimba Pada gambar 3 menunjukkan setelah perlakuan dengan fraksi protein daun mimba, jumlah sel HeLa hidup maupun jumlah sel Vero hidup semakin berkurang. Sebaliknya, jumlah sel HeLa mati maupun jumlah sel Vero yang mati semakin bartambah banyak. ii i ii i (a) (b) Gambar 4. (a) i. Kristal formazan ungu dan ii. Sel HeLa mati setelah perlakuan dengan MTT. (b) i. Kristal formazan ungu dan ii. Sel Vero mati setelah perlakuan dengan MTT

63 43 Kristal formazan berwarna ungu terbentuk setelah sel HeLa dan Sel Vero di dalam media masing-masing diberikan perlakuan dengan fraksi protein daun mimba dan MTT. Pada gambar 4, tampak baik sel HeLa hidup maupun sel Vero hidup membentuk kristal formazan berwarna ungu, sedangkan sel HeLa yang mati maupun sel Vero yang mati tidak membentuk kristal formazan ungu. Sel Hela dan sel Vero yang mati tetap dalam bentuknya semula seperti saat sebelum ditambahkan MTT yaitu bulat atau tidak beraturan dan berwarna kuning. Sel HeLa dan sel Vero yang telah diberi perlakuan, kontrol dan senyawa uji yang akan digunakan sebagai faktor koreksi diukur absorbansinya menggunakan ELISA Reader pada panjang gelombang 550 nm. Absorbansi yang diperoleh berbanding lurus dengan jumlah sel yang hidup setelah perlakuan. Hasil percobaan menunjukkan sumuran sel yang diberi perlakuan memiliki intensitas warna yang lebih rendah daripada sumuran sel kontrol. Hasil percobaan ini sekaligus menunjukkan bahwa pada sumuran sel perlakuan terdapat lebih banyak sel yang mati daripada sumuran kontrol. Data absorbansi juga menunjukkan bahwa nilai absorbansi perlakuan semakin meningkat sesuai dengan semakin kecilnya kadar protein yang diberikan. Hal-hal tersebut dapat membuktikan bahwa fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) mampu mengakibatkan kematian sel HeLa dan sel Vero. Data yang diperoleh dari uji sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero berupa respon kematian masing-masing sel dalam bentuk prosentase kematian sel. Tabel I berikut menunjukkan prosentase kematian sel HeLa seteleh diberi senyawa uji FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 daun

64 44 mimba dengan konsentrasi terkecil 0,20 µg/ml dan konsentrasi tertinggi 200 µg/ml pada masing-masing fraksi protein. Gambar 5 menunjukkan grafik antara prosentase kematian sel HeLa dengan konsentrasi fraksi protein daun mimba. Tabel I. Prosentase kematian dari uji sitotoksisitas fraksi protein terhadap sel HeLa Konsentrasi fraksi protein daun mimba (µg/ml) Rata-rata Persen Kematian Sel HeLa ( % ) FP10 FP20 FP30 FP40 0,20 52,67 63,19 85,50 57,60 0,39 59,72 70,54 86,70 58,92 0,78 56,13 59,41 85,54 68,26 1,56 58,01 66,89 94,09 78,89 3,13 71,36 69,27 97,10 94,91 6,25 63,28 65,93 90,35 87,47 12,50 62,11 69,36 84,60 79,25 25,00 56,54 74,72 97,55 88,38 50,00 45,16 78,78 105,16 73,32 100,00 114,58 89,70 110,46 90,56 200,00 131,94 74,86 89,48 121,76 Grafik % Kematian Sel HeLa % Kematian Konsentrasi (μg/ml) FP10 FP20 FP30 FP40 Gambar 5. Grafik prosentase kematian sel HeLa vs konsentrasi fraksi protein daun mimba (µg/ml).

65 45 Berdasarkan tabel I dan gambar 5 grafik prosentase kematian sel HeLa yang telah diberi perlakuan dengan masing-masing fraksi protein pada 11 seri konsentrasi menunjukkan bahwa fraksi protein daun mimba memiliki sitotoksisitas yang besar terhadap kultur sel HeLa. Pada perlakuan dengan FP 10 dan FP 40, grafik cenderung mengalami kenaikan, sedangkan perlakuan dengan FP 20 dan FP 30, grafik cenderung menurun meskipun nilai prosentase kematian fluktuatif yang berarti peningkatan konsentrasi fraksi protein tidak selalu diikuti oleh peningkatan prosentase kematian sel HeLa. Nilai yang fluktuatif ini menyebabkan tidak dapat ditarik suatu korelasi hubungan antara prosentase kematian sel HeLa dan konsentrasi fraksi protein. Hal ini terjadi karena kematian alami sel HeLa sebagai subjek uji yang merupakan variabel pengacau tak terkendali yang dapat mempengaruhi hasil uji. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suwanto (2006) memberikan hasil bahwa fraksi protein daun mimba 30% dan 60% berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker. Namun respon uji % kematian yang diperoleh juga fluktuatif sehingga perlu dilakukan ekstrapolasi untuk mengetahui nilai LC. Nilai LC 50 merupakan konsentrasi fraksi protein daun mimba yang mampu membunuh 50% dari populasi sel. Analisis regresi probit dilakukan untuk mengetahui nilai LC 50 dari tiap fraksi protein. Pada perlakuan terhadap sel HeLa nilai LC FP sebesar 1, µg/ml yang menunjukkan bahwa FP daun mimba tidak mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker sebab nilai LC 50 yang diperoleh lebih besar dari 20 µg/ml. Pada perlakuan terhadap sel HeLa nilai LC 50 untuk FP 20 sebesar µg/ml; FP 30 sebesar 3, µg/ml dan 50

66 46 FP 40 sebesar 1, µg/ml yang berarti lebih kecil dari 20 µg/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa FP 20, FP 30 dan FP 40 mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker. Penelitian sebelumnya (Suwanto, 2006) memperoleh nilai LC 50 sebesar 1,0 µg/ ml untuk fraksi protein 30% dan 4,1 µg/ml untuk fraksi protein 60%. Hasil tersebut berbeda dengan LC 50 yang diperoleh pada penelitian ini terutama pada fraksi protein 30% (FP 30 ) yaitu 3, µg/ml. Hal ini diduga disebabkan kandungan protein dalam FP 30 pada penelitian ini berbeda dengan protein yang ada di dalam fraksi protein 30% pada penelitian sebelumnya (Suwanto, 2006). Berdasarkan nilai r square, maka dapat dinyatakan bahwa FP 10 daun mimba mempengaruhi respon kematian sel HeLa sebesar 1,8%, FP 20 mimba mempengaruhi respon kematian sel HeLa sebesar 53,1%, FP 30 mimba mempengaruhi respon kematian sel HeLa sebesar 9,2% dan FP 40 mimba mempengaruhi respon kematian sel HeLa sebesar 37,8%. Tabel II. Prosentase kematian dari uji sitotoksisitas fraksi protein terhadap sel Vero Konsentrasi fraksi protein daun mimba (µg/ml) Rata-rata Persen Kematian Sel Vero ( % ) FP10 FP20 FP30 FP40 0,20 66,88 93,45 63,66 82,75 0,39 64,96 85,33 68,93 79,64 0,78 56,89 77,10 67,71 85,06 1,56 71,44 79,35 69,34 75,84 3,13 63,82 80,01 76,81 77,03 6,25 66,04 73,63 82,06 70,07 12,50 75,06 69,91 78,38 66,81 25,00 60,73 67,59 85,49 79,22 50,00 73,62 65,56 90,60 85,14 100,00 70,65 70,43 79,88 73,39 200,00 84,79 75,13 89,50 74,41

67 47 Grafik % Kematian Sel Vero ian t % Kema FP10 FP20 FP30 FP Kon sentrasi (μg/ml) Gambar 6. Grafi k prosentase kematian sel Vero vs konsentra si fraksi protein daun mimba (µg/ml). Berdasarkan tabel II dan gambar 6 grafik pros entase kematian sel Vero yang telah diberi perlakuan dengan masing-masing fraksi protein pada 11 seri konsentrasi menunjukkan bahwa fraksi protein daun mimba memiliki sitotoksisitas terhadap kultur sel Vero. Pada perlakuan dengan FP 10 dan FP 30, grafik cenderung mengalami kenaikan, sedangkan perlakuan dengan FP 20 dan FP 40, grafik cenderung menurun meskipun nilai prosentase kematian fluktuatif yang berarti peningkatan konsentrasi fraksi protein tidak selalu diikuti oleh peningkatan prosentase kematian sel Vero. Nilai yang fluktuatif ini menyebabkan tidak dapat ditarik suatu korelasi hubungan antara prosentase kematian sel Vero dan konsentrasi fraksi protein. Hal ini terjadi karena kematian alami sel Vero sebagai subjek uji yang merupakan variabel pengacau tak terkendali yang dapat mempengaruhi hasil uji.

68 48 Respon uji % kematian sel Vero yang diperoleh juga fluktuatif sehingga perlu dilakukan ekstrapolasi untuk mengetahui nilai LC 50. Analisis regresi probit dilakukan untuk mengetahui nilai LC 50 dari tiap fraksi protein. Pada perlakuan terhadap sel Vero nilai LC 50 FP 20 sebesar 1, µg/ml dan FP 40 sebesar 2, µg/ml yang menunjukkan bahwa FP 20 dan FP 40 daun mimba mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker sebab nilai LC 50 yang diperoleh > 20 µg/ml dan lebih besar dari nilai LC 50 FP 20 dan FP 40 daun mimba terhadap sel HeLa. Pada perlakuan terhadap sel Vero nilai LC 50 untuk FP 10 sebesar 1, µg/ml dan FP 30 sebesar 1, µg/ml yang berarti < 20 µg/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa FP 10 dan FP 30 tidak mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker karena LC 50 FP 10 terhadap sel Vero < 20 µg/ml dan lebih kecil dari LC 50 FP 10 terhadap sel HeLa yang berarti FP 10 daun mimba lebih toksik terhadap sel Vero (sel normal) dibandingkan sel HeLa, seddangkan LC 50 FP 30 terhadap sel Vero lebih besar dibandingkan sel HeLa tetapi nilai LC 50 FP 30 pada sel Vero < 20 µg/ml. Berdasarkan nilai r square, maka dapat dinyatakan bahwa FP 10 daun mimba mempengaruhi respon kematian sel Vero sebesar 37,3%, FP 20 mimba mempengaruhi respon kematian sel Vero sebesar 62%, FP 30 mimba mempengaruhi respon kematian sel Vero sebesar 79,6% dan FP 40 mimba mempengaruhi respon kematian sel Vero sebesar 12,5%. Bila hasil prosentase kematian sel HeLa pada tabel I dibandingkan dengan sel Vero pada tabel II maka prosentase kematian sel Vero setelah perlakuan dengan fraksi protein daun mimba cenderung lebih besar daripada sel HeLa,

69 49 seperti pada FP 10 dengan konsentrasi terkecil yaitu 0,2 μg/ml mampu membunuh sel Vero 66,88%; sedangkan terhadap sel HeLa mampu membunuh sebanyak 52,67%. Selain itu, nilai LC 50 yang telah diketahui melalui analisis probit kemudian dihitung secara statistik untuk menentukan distribusi dari masingmasing kelompok uji. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa setiap fraksi memiliki distribusi normal dalam setiap perlakuan sebab nilai p > 0,05. Oleh karena itu, dapat dilanjutkan analisis menggunakan uji t-independent sample untuk membandingkan sitotoksisitas fraksi protein terhadap sel HeLa dengan sel Vero secara statistik. Hasil uji t-independent sample menunjukkan bahwa p > 0,05 pada setiap fraksi. Hal ini berarti sitotoksisitas masing-masing fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa berbeda tidak bermakna dengan sitotoksisitasnya terhadap sel Vero. Berdasarkan analisis hasil yang telah dilakukan maka fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 mempunyai kemampuan yang sama dalam hal menginduksi kematian sel kanker (sel HeLa) dan sel normal (sel Vero) sehingga tidak memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai antikanker. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ternyata sama dengan penelitian serupa yang juga telah dilakukan yaitu, penelitian sitotoksisitas fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap sel myeloma (Purnamasari, 2007) yang menyatakan bahwa FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 daun mimba tidak berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian sitotoksisitas fraksi protein FP 30, FP 40, FP 50 dan FP 60 terhadap sel HeLa

70 50 (Puspitaningrum, 2007), begitu pula hasil penelitian serupa terhadap sel myeloma (Saptawati, 2007) Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian sitotoksisitas fraksi protein FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 terhadap kultur sel Raji (Lahrita, 2006) yang menyatakan bahwa FP 20 daun mimba berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker dengan LC 50 terhadap sel Raji 2, μg/ml dan LC 50 terhadap sel Vero 1, μg/ml, juga pada penelitian serupa terhadap sel SiHa (Harsono, 2007) yang menyatakan bahwa FP 20 daun mimba berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker dengan LC 50 terhadap sel SiHa 0,48 μg/ml dan LC 50 terhadap sel Vero 11, μg/ml. Hasil berbeda juga ditunjukkan pada pada penelitian sitotoksisitas fraksi protein FP 30, FP 40, FP 50 dan FP 60 terhadap kultur sel Raji (Jenny, 2007) yang menyatakan bahwa FP 60 daun mimba berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker dengan LC 50 terhadap sel Raji 9,71 x 10-3 μg/ml dan LC hadap sel Vero 4,85 x ter μg/ml, begitu pula hasil penelitian serupa terhadap sel SiHa (Mellina, 2007) yang menyatakan bahwa FP 40 daun mimba berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker dengan LC 50 terhadap sel SiHa 0,45 μg/ml dan LC 50 terhadap sel Vero > 1 g/ml. Apabila dibandingkan dengan penelitian Suwanto (2006) yang meneliti mengenai fraksi protein daun mimba 30%, 60% dan 100% dengan kesimpulan bahwa fraksi 30% dan 60% berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker maka pada penelitian kali ini diketahui bahwa FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 daun mimba terutama FP 30 tidak berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker. Nilai LC 50 dari FP 30 pada sel HeLa < 20 µg/ml tetapi LC 50 FP 30 pada sel Vero

71 51 juga < 20 µg/ml sehingga FP 30 memiliki kemampuan yang sama dalam menginduksi kematian sel HeLa dan sel Vero. Suatu senyawa dapat digunakan sebagai antikanker bila memiliki LC µg/ml (Suffness and Pezzuto, 1991). Selain itu, senyawa tersebut harus selektif yaitu mampu menekan atau membunuh sel kanker tanpa merusak sel normal tubuh. Suatu penelitian mengenai efek antihepatotoksik rebusan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss.) pada mencit jantan dengan metode pengukuran waktu tidur heksobarbital (Murdiana, 2000) menyimpulkan bahwa rebusan daun mimba pada kisaran dosis 18,2-72,8 mg/kg berat badan mempunyai efek antihepatotoksik terhadap induksi karbon tetraklorida. Diduga rebusan daun mimba mengandung asam amino penyusun protein, sedangkan protein adalah bahan penyusun enzim sehingga rebusan daun mimba mampu menggantikan enzim-enzim yang terlepas oleh induksi karbon tetraklorida dan asam amino yang berasal dari rebusan daun mimba dapat memperbaiki fungsi hati terutama Multi Function Oxidase (MFO) dan sitokrom P-450. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, maka fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 dalam penelitian ini sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pengobatan kanker. Namun, bila digunakan untuk pengobatan yang lain seperti hepatoprotektor berdasarkan beberapa penelitian salah satunya yang dilakukan oleh Murdiana (2000) maka daun mimba dapat digunakan sebagai hepatoprotektor. Penelitian ini menggunakan waktu 24 jam untuk inkubasi sel HeLa maupun sel Vero dengan fraksi protein dan MTT. Apabila enzim mitokondria

72 52 masih berfungsi meskipun sel sudah mati maka MTT akan tetap tereduksi oleh enzim tersebut membentuk kristal formazan ungu. Oleh sebab itu, terdapat dugaan bahwa lama waktu inkubasi turut mempengaruhi hasil penelitian. Jenis protein yang bersifat sitotoksik di dalam daun mimba ini maupun mekanisme aktivitas sitotoksiknya terhadap sel HeLa dan sel Vero belum dapat ditentukan secara pasti. Namun demikian, berdasarkan cara isolasi protein yang dilarutkan ke dalam larutan dapar mengandung garam, maka diduga protein yang memiliki aktivitas sitotoksik adalah protein yang dapat larut dalam pelarut tersebut yaitu protein albumin, globulin, atau histon.

73 53 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 memiliki sitotoksisitas terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero. 2. Nilai LC 50 fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa untuk FP 10 sebesar 1, µg/ml; FP 20 sebesar µg/ml; FP 30 sebesar 3, µg/ml dan FP 40 sebesar 1, µg/ml, sedangkan nilai LC 50 fraksi protein daun mimba terhadap sel Vero FP 10 sebesar 1, µg/ml; FP 20 sebesar 1, µg/ml; FP 30 sebesar 1, µg/ml dan FP 40 sebesar 2, µg/ml. 3. Fraksi protein daun mimba FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 tidak berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker. B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian yang sama dengan waktu inkubasi sel dan fraksi protein lebih dari 24 jam. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai jenis-jenis protein daun mimba yang memiliki mekanisme sitotoksisitas terhadap sel HeLa dan mekanisme perlindungan terhadap sel normal. 53

74 54 DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005a, Neem, dia.thefreedictionary.com/neem. Diakses pada 27 Januari 2006 Anonim, 2005b, Cancer, Diakses pada 27 Januari 2006 Anonim, 2006a, Methods for Concentrating Protein Solutions, Protein Concentration, ntration.html. Diakses 9 Oktober 2006 Anonim, 2006b, Normal African Green Monkey Kidney Epithelial Cells (Vero line), y/cells/vero/verocells.html, Diakses pada 5 Febuari 2006 Anonim, 2007a, Cervical Cancer, htt p://en.wikipedia.org/wiki/cervical_cancer, Diakses pada 6 Februari 2007 Anonim, 2007b, HeLa, Diakses pada 6 Februari 2007 Ariyani, 2004, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Terhadap Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Backer, C.A. dan Bakhuizen Van Den Brink, R.C., 1963, Flora of Java, Vol I, 3-12, N.V.P. Noordhoof, Gronin gen, The Netherlands Backer, C.A. dan Bakhuizen Van Den Brink, R.C., 1965, Flora of Java, Vol II, , 121, N.V.P. Noordhoof, Groningen, The Netherlands Barile, F.A., 1997, Invitro: Methods in Pharmaceutical Research, 2-3, 34-43, Academic Press, Valencia, Spanyol Candra, 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Hasil Pengendapan dengan Amonium Sulfat 30%, 60% dan 100% Jenuh Terhadap Kultur Sel SiHa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Cassaret, J.M. and Doull, J., 2001, Toxicology, The Basic Science of Poison, 27, MacMilan Publishing, Co.Inc., New York Dasgupta, A., 1992, Modern Immunology: Basic, Clinical, Laboratory, Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd., New Delhi

75 55 Febriani, A.C., 2004, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Terhadap Kultur Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Fenty, 2000, Kanker Leher Rahim, dalam Yuswanto, Ag. dan Sinaradi, F., Kanker, 1-13, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Freshney, R.I., 1986, Culture of Animal Cell: a Manual of Basic Technique, second (2nd) Ed, 3-10, , Liss. Inc, New York Ganiswarna, S.G. dan Nafrialdi, 1995, Antikanker dan Imunosupresan, , dalam Ganiswarna, S.G., (Ed), Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta Gennaro, A.R., 2000, Remington: The Science and Practice of Pharmacy, 20 th edition, , Philadelphia College of Pharmacy and Science, Philadelphia Hariadi A., 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Hasil Pengendapan dengan Amonium Sulfat 30%, 60% dan 100% Jenuh Terhadap Kultur Sel Myeloma, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Harsono, V.K., 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 Terhadap Kultur Sel SiHa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Hartono, A., 1999, Terapi Nutrisi dan Herbal untuk Kanker, Diakses pada 27 Februari 2006 Hutapea, J., 1993, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 67-68, Badan Litbang Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Ichim, C.V., 2005, Revisiting immunosurveillance and immunostimulation: Implications For Cancer Immunotherapy, Volume 3, 1-14, Journal Of Translational Medicine, medicine.com/content/3/1/8, Diakses pada 27 Maret 2007 Jacoby, W.B. and Pastan, I.H., 1979, Methods in Enzymology Cell Culture, Volume VIII, Academia Press Inc, New York Jenny, 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 30, FP 40, FP 50 dan FP 60 Terhadap Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

76 56 Kardinan, A. dan Taryono, 2003, Tanaman Obat Penggempur Kanker, 22-29, PT Agromedia Pustaka, Jakarta Kuswibawati, L., 2000, Apa itu Kanker?, dalam Yuswanto, Ag. dan Sinaradi, F., Kanker, 29-35, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Lahrita, L., 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 Terhadap Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Lusia, S.W.K., 2004, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Terhadap Kultur Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Mellina, B., 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 30, FP 40, FP 50 dan FP 60 Terhadap Kultur Sel SiHa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nochols, D.E., and Mc Laughlin, J.L., 1982, Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for Active Plant Concenient, Volume 45, 32-34, Planta Medica Moran, L.A., Scrimgeur, K.G., Horton, H.R., Ochs, R.S. and Rawn, J.D., 1994, nd Biochemistry, 2 ed, 4.18, , Neil Patterson Publisher/Prentice Hall Inc., London Mulyadi, 1996, Kanker: Karsinogen, Karsinogenesis dan Antikanker, 93-98, Tiara Wacana, Yogyakarta Murdiana, H.E., 2000, Efek Antihepatotoksik Rebusan Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Pada Mencit Jantan dengan Metode Pengukuran Waktu Tidur Heksobarbital, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Murray, R.F., Granner, D.K., Mayes, P.A. and Rodwell, V.W., 1995, Biokimia Harper, ed 22, 47, 52, 53, alih bahasa: Hartono, A., EGC, Jakarta Purnamasari, A., 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 10, FP 20, FP 30 dan FP 40 Terhadap Kultur Sel Myeloma, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Puspitaningrum, L.E., 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 30, FP 40, FP 50 dan FP 60 Terhadap Kultur Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

77 57 Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M. and Moore, P.K., 2003, Pharmacology, fifth (5 th ) Ed, , Elsevier Science, London, UK Richterich, R. and Colombo, J.P., 1981, Clinical Chemistry: Theory, Practice, and Interpretation, 408, John Wiley & Sons, Ltd, New York, USA Robbyono, 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Hasil Pengendapan dengan Amonium Sulfat 30%, 60% dan 100% Jenuh Terhadap Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, , Penerbit ITB, Bandung Sakidja, M.S., 1989, Kimia Pangan, 204, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta Sambrook, Fritsch, E.F. and Maniatis, T., 1989, Molecular Cloning: A Laboratory nd Manual, 2 Edition, Coldspring Harbor Laboratory Press Saptawati, A.Y.E., 2007, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) FP 30, FP 40, FP 50 dan FP 60 Terhadap Kultur Sel Myeloma, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Schwartz, B.D., 1991, Immunology, 218, The UpJohn Company, Kalamazoo, Michigan Suffness, M. and Pezzuto, J.M., 1991, Assays Related to Cancer Drug Discovery, Methods in Plant Biochemistry: Assay for Bioactivity, Vol. 6, Academic Press, London Sukrasno, 2003, Mimba: Tanaman Obat Multifungsi, 1-10, 20-30, PT Agromedia Pustaka, Jakarta Suwanto, N.B., 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) Hasil Pengendapan dengan Amonium Sulfat 30%, 60% dan 100% Jenuh Terhadap Kultur Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Widiya ni, L.R., 2005, Uji Sitotoksisitas Senyawa (2E)-3 (4 -Hidroksi-3 - metoksifenil)-1-(4 -metoksifenil)prop-2-en-1-on dan Calkon Terhadap Sel HeLa dan Sel Vero, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

78 58 LAMPIRAN Lampiran 1. Jumlah penambahan amonium sulfat pada derajat kejenuhan tertentu Tabel III. Volume larutan ekstrak gubal protein daun mimba Fraksi Protein Volume Ekstrak (ml) FP FP FP FP Pada kondisi percobaan tertentu yaitu percobaan pada suhu 4 C maka jumlah amonium sulfat yang ditambahkan dihitung menggunakan rumus: G = 533(S2 - S1) (100-0,3.S1) G S1 S2 = Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan per 1 liter larutan (g) = derajat kejenuhan awal = derajat kejenuhan akhir (Anonim, 2006a) a. Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai derajat kejenuhan 10% dari kejenuhan total 533(10-0) G = (100-0,3.0) = 53,30 g dalam 1 liter 515 ml G = x 53,30 g 1000 ml = 27,45 g dalam 515 ml Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan 10% (FP 10 ) = 27,45 g b. Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai derajat kejenuhan 20% dari kejenuhan total

79 59 533(20-10) G = (100-0,3.10) = 54,95 g dalam 1 liter 500 ml G = x 54,95 g 1000 ml = 27,47 g dalam 500 ml Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan 20% (FP 20 ) = 27,47 g c. Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai derajat kejenuhan 30% dari kejenuhan total 533(30-20) G = (100-0,3.20) = 56,70 g dalam 1 liter 500 ml G = x 56,70 g 1000 ml = 28,35 g dalam 500 ml Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan 30% (FP 30 ) = 28,35 g d. Jumlah amonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai derajat kejenuhan 40% dari kejenuhan total 533(40-30) G = (100-0,3.30) = 58,57 g dalam 1 liter 500 ml G = x 58,57 g 1000 ml = 29,28 g dalam 500 ml Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan 40% (FP 40 ) = 29,28 g

80 60 Lampiran 2. Perhitungan konsentrasi protein Perhitungan menurut Layne: Concentration = [1.55E(280)] [0.76E(260)] mg ml -1 (Layne cit., Richterich and Colombo, 1981) Tabel IV. Absorbansi fraksi protein pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm Fraksi protein daun mimba Absorbansi pada λ 280 nm Absorbansi pada λ 260 nm FP 10 0,197 0,186 FP 20 0,191 0,177 FP 30 0,223 0,245 FP 40 0,195 0,276 Faktor pengenceran = 100 kali a. Konsentrasi FP 10 = (1,55 x 0,197) - (0,76 x 0,186) = 0,16399 mg/ml x 100 = 16,399 mg/ml b.konsentrasi FP 20 = (1,55 x 0,191) - (0,76 x 0,177) = 0,16153 mg/ml x 100 = 16,153 mg/ml c. Konsentrasi FP 30 = (1,55 x 0,223) - (0,76 x 0,245) = 0,15945 mg/ml x 100 = 15,945 mg/ml d. Konsentrasi FP 40 = (1,55 x 0,195) - (0,76 x 0,276) = 0,09249 mg/ml x 100 = 9,249 mg/ml

81 61 Lampiran 3. Absorbansi sel dengan metode MTT A. Sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa Tabel V. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 10 terhadap kultur sel HeLa Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata Tabel VI. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 20 terhadap kultur sel HeLa Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata

82 62 Tabel VII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 30 terhadap kultur sel HeLa Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata Tabel VIII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 40 terhadap kultur sel HeLa Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata

83 63 B. Sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel Vero Tabel IX. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 10 terhadap kultur sel Vero Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata Tabel X. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 20 terhadap kultur sel Vero Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata

84 64 Tabel XI. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 30 terhadap kultur sel Vero Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata Tabel XII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP 40 terhadap kultur sel Vero Konsentrasi fraksi protein (µg/ml) Absorbansi Kontrol I II Perlakuan III IV V Rata-rata Perlakuan tanpa sel I II III Rata-rata

85 65 Persen kematian sel dihitung dengan rumus : A (B C) % Kematian = x 100% A Keterangan : A = Rata-rata absorbansi kontrol B = Rata-rata absorbansi perlakuan C = Rata-rata absorbansi perlakuan tanpa sel

86 66 Lampiran 4. Hasil analisis probit nilai LC 50 fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap kultur sel HeLa FP 10 Probit * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 9 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 2 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can t be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 5 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 7 P =.017 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

87 67 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E E E E+028..

88 E E E E E E E E E E E E E E E E E Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi

89 69 FP 20 Probit C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can t be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 8 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 9 P =.074 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

90 70 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E

91 E E E E E E E E+017 Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi 1 2

92 72 FP 30 Probit C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 9 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 2 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can t be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 14 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 7 P =.003 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

93 73 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E E E E-020..

94 E E E E E E E E Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi 1 2

95 75 FP 40 Probit C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 10 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 1 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can t be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 10 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 8 P =.000 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

96 76 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E E E

97 E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E+038 Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses 1.5 Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi

98 78 Lampiran 5. Hasil analisis probit nilai LC 50 fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap kultur sel Vero FP 10 Probit * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 7 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 9 P =.030 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

99 79 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E-013..

100 E E E E Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi 1 2

101 81 FP 20 Probit C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 11 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 9 P =.076 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

102 82 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E E E+015

103 E E E Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi 1 2

104 84 FP 30 Probit C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 9 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 9 P =.376 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

105 85 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E E E E E

106 E Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = R Sq Linear = Log of konsentrasi 1 2

107 87 FP 40 Probit C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 10 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr Intercept Standard Error Intercept/S.E Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = DF = 9 P =.046 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits

108 88 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper E E E E E E E E E E+029..

109 E E E E E E E E E E E E E E E Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi Probit Transformed Responses Probit R Sq Linear = Log of konsentrasi 1 2

110 90 Lampiran 6. Hasil analisis distribusi data dengan Uji Kolmogorov-Smirnov A. FP 10 daun mimba terhadap sel HeLa NPar Tests Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum 5 9E E E+016 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters Most Extreme Differences a,b Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC50 5 9E+015 ******* B. FP 20 daun mimba terhadap sel HeLa NPar Tests Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Mean Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC

111 91 C. FP 30 daun mimba terhadap sel HeLa NPar Tests Warnings The data for NPAR TESTS include oversize values. These values will be treated as missing. 1 unusable values were encountered. Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters Most Extreme Differences a,b Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative LC D. FP 40 daun mimba terhadap sel HeLa NPar Tests Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Mean Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC

112 92 E. FP 10 daun mimba terhadap sel Vero NPar Tests Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Mean Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC F. FP 20 daun mimba terhadap sel Vero NPar Tests Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Mean Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC

113 93 G. FP 30 daun mimba terhadap sel Vero NPar Tests Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Mean Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC H. FP 40 daun mimba terhadap sel Vero NPar Tests Warnings The data for NPAR TESTS include oversize values. These values will be treated as missing. 1 unusable values were encountered. Descriptive Statistics LC50 N Mean Std. Deviation Minimum Maximum 4 5E E E+019 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Mean Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. LC50 4 5E+018 *******

114 94 Lampiran 7. Hasil analisis Uji t-independent sample A. FP 10 terhadap sel HeLa dan sel Vero T-Test Group Statistics LC50 sel vero 10 hela 10 Std. Error N Mean Std. Deviation Mean E E+016 ******* LC50 Equal variances assumed Equal variances not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Independent Samples Test t df Sig. (2-tailed) t-test for Equality of Means Mean Difference 95% Confidence Interval of the Std. Error Difference Difference Lower Upper E+015 9E+015-3E+016 ******* E+015 9E+015-3E+016 *******

115 95 B. FP 20 terhadap sel HeLa dan sel Vero T-Test Group Statistics LC50 sel vero 20 hela 20 Std. Error N Mean Std. Deviation Mean LC50 Equal variances assumed Equal variances not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Independent Samples Test t df Sig. (2-tailed) t-test for Equality of Means Mean Difference 95% Confidence Interval of the Std. Error Difference Difference Lower Upper

116 96 C. FP 30 terhadap sel HeLa dan sel Vero T-Test Group Statistics LC50 sel vero 30 hela 30 Std. Error N Mean Std. Deviation Mean E E+085 2E+085 LC50 Equal variances assumed Equal variances not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Independent Samples Test t df Sig. (2-tailed) t-test for Equality of Means Mean Difference 95% Confidence Interval of the Std. Error Difference Difference Lower Upper E E+085-6E+085 2E E E+085-6E+085 3E+085

117 97 D. FP 40 terhadap sel HeLa dan sel Vero T-Test Group Statistics LC50 sel vero 40 hela 40 Std. Error N Mean Std. Deviation Mean 5 5E E+041 5E LC50 Equal variances assumed Equal variances not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Independent Samples Test t df Sig. (2-tailed) t-test for Equality of Means Mean Difference 95% Confidence Interval of the Std. Error Difference Difference Lower Upper E E+040-6E+040 1E E E+040-8E+040 2E+041

118 98 Lampiran 8. Foto tanaman dan daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) Gambar 7. Foto tanaman Azadirachta indica A. Juss Gambar 8. Foto daun Azadirachta indica A. Juss

119 99 Lampiran 9. Foto Hi-Mac Sentrifuge HITACHI SCP85H, ELISA reader SLT 340ATC dan mikroskop (Olympus IMT-2) Gambar 9. Foto Hi-Mac Sentrifuge HITACHI SCP85 Gambar 10. Foto ELISA reader SLT 340ATC Gambar 11. Foto Mikroskop (Olympus IMT-2)

SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA

SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA PKMI-2-17-1 SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss.) HASIL PENGENDAPAN DENGAN AMONIUM SULFAT 30%, 60%, DAN % JENUH TERHADAP KULTUR SEL HeLa DAN SEL RAJI Robbyono, Nadia Belinda

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. viii. PDF created with pdffactory Pro trial version

DAFTAR ISI. Halaman. viii. PDF created with pdffactory Pro trial version DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN. iii HALAMAN PERSEMBAHAN. iv HALAMAN DEKLARASI.... v KATA PENGANTAR.... vi DAFTAR ISI.. viii DAFTAR GAMBAR.. x DAFTAR TABEL.. xi DAFTAR LAMPIRAN..

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal, (yaitu tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama) yang dapat menyusup ke jaringan tubuh

Lebih terperinci

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI NONPOLAR EKSTRAK ETANOL DAUN SRIKAYA (Annona squamosa Linn.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI NONPOLAR EKSTRAK ETANOL DAUN SRIKAYA (Annona squamosa Linn.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI NONPOLAR EKSTRAK ETANOL DAUN SRIKAYA (Annona squamosa Linn.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI Oleh: ADI CHRISTANTO K 100 080 030 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma secara harafiah berarti pertumbuhan baru, adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel neoplastik adalah otonom dalam arti tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum untuk sekelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas

Lebih terperinci

SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) FP 30, FP 40, FP 50, dan FP 60 TERHADAP KULTUR SEL SIHA SKRIPSI

SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) FP 30, FP 40, FP 50, dan FP 60 TERHADAP KULTUR SEL SIHA SKRIPSI SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) FP 30, FP 40, FP 50, dan FP 60 TERHADAP KULTUR SEL SIHA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI POLAR, SEMIPOLAR, DAN NON POLAR EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN SALA (Cynometra ramiflora Linn.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI POLAR, SEMIPOLAR, DAN NON POLAR EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN SALA (Cynometra ramiflora Linn.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI POLAR, SEMIPOLAR, DAN NON POLAR EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN SALA (Cynometra ramiflora Linn.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI Oleh: ITSNA FAJARWATI K100 100 031 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa SKRIPSI OLEH : ALIA EVANINGRUM K 100030168 FAKULTAS

Lebih terperinci

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI POLAR EKSTRAK ETANOL BIJI SRIKAYA (Annona squamosa L.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI POLAR EKSTRAK ETANOL BIJI SRIKAYA (Annona squamosa L.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI POLAR EKSTRAK ETANOL BIJI SRIKAYA (Annona squamosa L.) TERHADAP SEL T47D SKRIPSI Oleh: YENNIE RIMBAWAN PUJAYANTHI K 100 080 203 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN FRAKSI NON POLAR EKSTRAK KLIKA ANAK DARA (Croton oblongus BURM F.) TERHADAP SEL KANKER HELA

UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN FRAKSI NON POLAR EKSTRAK KLIKA ANAK DARA (Croton oblongus BURM F.) TERHADAP SEL KANKER HELA UJI AKTIVITAS PENGHAMBATAN FRAKSI NON POLAR EKSTRAK KLIKA ANAK DARA (Croton oblongus BURM F.) TERHADAP SEL KANKER HELA Nurshalati Tahar 1, Haeria 2, Hamdana 3 Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan,

Lebih terperinci

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker Serviks (HeLa) Secara In Vitro

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker Serviks (HeLa) Secara In Vitro SIDANG TUGAS AKHIR Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker Serviks (HeLa) Secara In Vitro Hani Tenia Fadjri 1506 100 017 DOSEN PEMBIMBING: Awik Puji Dyah Nurhayati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung (Baratawidjaya & Rengganis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung (Baratawidjaya & Rengganis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung (Baratawidjaya & Rengganis, 2010). Data WHO menunjukkan terdapat sekitar 7,4 juta

Lebih terperinci

UJI SITOTOKSI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH NAGA MERAH

UJI SITOTOKSI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH NAGA MERAH UJI SITOTOKSI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) DAN KULIT BUAH NAGA PUTIH (Hylocereus undatus) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SKRIPSI Oleh : NISWATUN NURUL FAUZI K100130178

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal (Herien, 2010). Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel yang tidak normal. (yaitu, tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama). Penyakit kanker merupakan penyebab

Lebih terperinci

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI KLOROFORM EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI KLOROFORM EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI FRAKSI KLOROFORM EKSTRAK ETANOLIK TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata Linn.) TERHADAP SEL HeLa SKRIPSI Oleh : ZAENAB ACHMAD K 100030183 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, penyakit kanker merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam dalam dunia kesehatan (Ganiswara dan Nafrialdi, 1995). Kanker adalah pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini tampak adanya peningkatan kasus kanker disebabkan

Lebih terperinci

SATUUJI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL AKAR, KULIT BATANG, DAN BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA T47D SKRIPSI

SATUUJI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL AKAR, KULIT BATANG, DAN BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA T47D SKRIPSI SATUUJI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL AKAR, KULIT BATANG, DAN BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA T47D SKRIPSI Oleh: NUR ERVIA RAHMAWATI K100140054 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA UJI KOMBINASI EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN DEWANDARU (Eugenia uniflora L.) DAN DOXORUBICIN TERHADAP PROLIFERASI SEL KANKER PAYUDARA T47D Oleh : Ika Trisharyanti Dian Kusumowati,

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat sebagai obat. Banyak tanaman yang terdapat di alam selalu digunakan sebagai obat, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa jaringan abnormal yang berproliferasi cepat, tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap setelah hilangnya rangsang

Lebih terperinci

Kata Kunci : Fraksi-fraksi ekstrak Buah Merah, sel T47D

Kata Kunci : Fraksi-fraksi ekstrak Buah Merah, sel T47D ABSTRAK UJI SITOTOKSISITAS FRAKSI-FRAKSI EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP KARSINOMA MAMMAE DALAM KULTUR SEL T47D Endry, 2008; Pembimbing : Hana Ratnawati, dr., MKes. Buah Merah telah

Lebih terperinci

UJI SITOTOKSISITAS SENYAWA HASIL ISOLASI AKAR PASAK BUMI

UJI SITOTOKSISITAS SENYAWA HASIL ISOLASI AKAR PASAK BUMI UJI SITOTOKSISITAS SENYAWA HASIL ISOLASI AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia, Jack) TERHADAP PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN SEL MIELOMA Nina Salamah Disampaikan dalam seminar Nasional PERHIPBA Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa Tugas Akhir SB 091351 Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa Ika Puspita Ningrum 1507100059 DOSEN PEMBIMBING: Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si N. D. Kuswytasari,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

ABSTRAK. UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam) TERHADAP KULTUR SEL RAJI

ABSTRAK. UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam) TERHADAP KULTUR SEL RAJI ABSTRAK UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam) TERHADAP KULTUR SEL RAJI Skolastika Prima, 2006 Pembimbing : Hana Ratnawati, dr.,mkes. Kanker penyebab kematian kedua terbesar setelah

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : RIZA RIDHO DWI SULISTYO K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2007

SKRIPSI. Oleh : RIZA RIDHO DWI SULISTYO K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2007 AKTIVITAS ANTIPLASMODIUM FRAKSI SEMIPOLAR EKSTRAK METANOL KULIT BATANG MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Plasmodium falciparum SECARA In Vitro DAN PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA SKRIPSI Oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TIJAUA PUSTAKA A. Kanker dan Kanker Payudara Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya abnormalitas regulasi pertumbuhan sel dan meyebabkan sel dapat berinvasi ke jaringan serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa abnormal pada jaringan yang tumbuh secara cepat dan tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap walaupun rangsangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Sitotoksisitas Senyawa Golongan Poliketida terhadap Sel HeLa Uji sitotoksisitas senyawa aktif golongan poliketida daun sirsak (A. muricata L.) terhadap sel HeLa dilakukan

Lebih terperinci

Dokumen nomor : CCRC Tanggal : 23 April 2013 Mengganti nomor : CCRC Tanggal : 26 Februari 2009

Dokumen nomor : CCRC Tanggal : 23 April 2013 Mengganti nomor : CCRC Tanggal : 26 Februari 2009 Hal. 1 dari 8 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Herwandhani Putri Edy Meiyanto Tanggal 23 April 2013 PROTOKOL UJI SITOTOKSIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk

BAB I PENDAHULUAN. jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan selsel jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. Sel-sel tersebut terbentuk karena terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012, 32,6 juta orang hidup dengan kanker di

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012, 32,6 juta orang hidup dengan kanker di BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. Riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012, 32,6 juta orang hidup dengan kanker di seluruh dunia

Lebih terperinci

UJI SITOTOKSISITAS FRAKSI DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP SEL HELA SECARA IN VITRO DAN PROFIL KANDUNGAN KIMIA FRAKSI TERAKTIF.

UJI SITOTOKSISITAS FRAKSI DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP SEL HELA SECARA IN VITRO DAN PROFIL KANDUNGAN KIMIA FRAKSI TERAKTIF. UJI SITOTOKSISITAS FRAKSI DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP SEL HELA SECARA IN VITRO DAN PROFIL KANDUNGAN KIMIA FRAKSI TERAKTIF Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

Lebih terperinci

AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL UMBI UBI JALAR UNGU DAN UMBI UBI JALAR ORANYE (Ipomoea batatas L.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SKRIPSI

AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL UMBI UBI JALAR UNGU DAN UMBI UBI JALAR ORANYE (Ipomoea batatas L.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SKRIPSI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL UMBI UBI JALAR UNGU DAN UMBI UBI JALAR ORANYE (Ipomoea batatas L.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 SKRIPSI Oleh : DESI NANAWATI K100130051 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

dan tiga juta di antaranya ditemukan di negara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan

dan tiga juta di antaranya ditemukan di negara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan I. PENDAHULUAN Kanker masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan menjadi penyebab kematian kelima di Indonesia. Jumlah penderita baru per tahun 5,9 juta di seluruh dunia dan tiga juta

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM. Dokumen nomor : CCRC Tanggal : Mengganti nomor : - Tanggal : -

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM. Dokumen nomor : CCRC Tanggal : Mengganti nomor : - Tanggal : - Hal. 1 dari 8 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf CCRC Staf CCRC Supervisor CCRC Pimpinan CCRC Paraf Nama Sendy Junedi Adam Hermawan Muthi Ikawati Edy Meiyanto Tanggal

Lebih terperinci

1 DAN FAKULTAS. Oleh: Astri Ariyani M SKRIPSI Jurusan Biologii. commit to user

1 DAN FAKULTAS. Oleh: Astri Ariyani M SKRIPSI Jurusan Biologii. commit to user UJI SITOTOKSIKK ISOLAT 1 DAN 2 RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA T47D DAN SERVIKSS HeLa Oleh: Astri Ariyani M0407025 SKRIPSI Jurusan Biologii FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker ditetapkan sebagai penyebab utama kematian di dunia dengan angka yang mencapai 7,6 juta atau (sekitar 13% dari semua kematian setiap tahunnya) pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak terkendali. Di perkirakan setiap tahun 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya dan merupakan suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak. BAB 2 TUMOR 2.1 Definisi Tumor Sel mempunyai tugas utama yaitu bekerja dan berkembang biak. Bekerja bergantung kepada aktivitas sitoplasma sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas intinya. Proliferasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat IX-xi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat dari bahan utama yaitu tumbuhan umbi yang digunakan oleh semut sebagai sarang sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen yang berfungsi dalam sistem transportasi pada tubuh hewan tingkat tinggi. Jaringan cair ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian cair yang disebut

Lebih terperinci

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry 8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian dengan urutan ke-2 di dunia dengan persentase sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular (Kemenkes, 2014). Data Riset Kesehatan

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 7 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Dyaningtyas Dewi PP Rifki Febriansah Adam Hermawan Edy Meiyanto Tanggal 20

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK NAMA NIM KEL.PRAKTIKUM/KELAS JUDUL ASISTEN DOSEN PEMBIMBING : : : : : : HASTI RIZKY WAHYUNI 08121006019 VII / A (GANJIL) UJI PROTEIN DINDA FARRAH DIBA 1. Dr. rer.nat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni laboratoris in vitro. B. Sampel Penelitian Subjek penelitian ini adalah Human Dermal Fibroblast,

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING PRODUKSI HERBAL STANDAR EKSTRAK ETANOL TANAMAN CEPLUKAN (Physalis angulata L) SEBAGAI AGEN ANTIKANKER UNTUK PENGOBATAN KANKER (Kajian sitotoksik, mekanisme apoptosis dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (medicinal mushroom) adalah Ganoderma lucidum. Jamur ini telah digunakan

I. PENDAHULUAN. (medicinal mushroom) adalah Ganoderma lucidum. Jamur ini telah digunakan 1 I. PENDAHULUAN Jamur makroskopis digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan khasiatnya, yaitu jamur yang dapat dimakan, jamur berkhasiat obat, jamur beracun dan jamur yang belum diketahui khasiatnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor tujuh di Indonesia dengan persentase 5,7 persen dari keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor tujuh di Indonesia dengan persentase 5,7 persen dari keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tumor merupakan penyakit yang mengkhawatirkan karena menjadi penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan persentase 5,7 persen dari keseluruhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menunjukan perbandingan kondisi fibroblas yang didapat dari dua produsen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menunjukan perbandingan kondisi fibroblas yang didapat dari dua produsen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan sel kultur primer fibroblas. Gambar 8 menunjukan perbandingan kondisi fibroblas yang didapat dari dua produsen yang berbeda untuk

Lebih terperinci

ABSTRAK. UJI SITOTOKSISITAS DAN INDUKSI APOPTOSIS FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SIRIH (Piper betle Linn) PADA KULTUR SEL HeLa

ABSTRAK. UJI SITOTOKSISITAS DAN INDUKSI APOPTOSIS FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SIRIH (Piper betle Linn) PADA KULTUR SEL HeLa ABSTRAK UJI SITOTOKSISITAS DAN INDUKSI APOPTOSIS FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SIRIH (Piper betle Linn) PADA KULTUR SEL HeLa Helena,2011, Pembimbing I : Teresa Liliana W., S.Si., M.Kes., Pembimbing II : Laella

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 9 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1.Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoklaf (Hirayama), autoklaf konvensional,

Lebih terperinci

POTENSI EKSTRAK MISELIUM Ganoderma sp. ISOLAT BANYUMAS 1 TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7) PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA

POTENSI EKSTRAK MISELIUM Ganoderma sp. ISOLAT BANYUMAS 1 TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7) PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA POTENSI EKSTRAK MISELIUM Ganoderma sp. ISOLAT BANYUMAS 1 TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7) PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA SKRIPSI oleh KURNIASARI B1J009028 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek sitotoksik kitosan terhadap berbagai jenis sel kanker yang dilakukan secara eksperimental di dalam laboratorium. Sel kanker yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kosmetik. Jenis biota laut di daerah tropis Indonesia diperkirakan 2-3 kali lebih

BAB I PENDAHULUAN. kosmetik. Jenis biota laut di daerah tropis Indonesia diperkirakan 2-3 kali lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah bagian dari wilayah Indopasifik, yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman biota laut yang terbesar di dunia. Sumber daya biota laut tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE Nama (NIM) : Debby Mirani Lubis (137008010) dan Melviana (137008011)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penurunan sistem imun dapat menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Murphy et al.,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua rancangan penelitian, yaitu : deskriptif eksploratif dan eksperimental. Penelitian deskriptif eksploratif meliputi isolasi

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan 27 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Isolasi Enzim katalase dari kentang Enzim katalase terdapat dalam peroksisom, organel yang ditemukan pada jaringan tumbuhan di luar inti sel kentang sehingga untuk mengekstraknya

Lebih terperinci

Asam Amino dan Protein

Asam Amino dan Protein Modul 1 Asam Amino dan Protein Dra. Susi Sulistiana, M.Si. M PENDAHULUAN odul 1 ini membahas 2 unit kegiatan praktikum, yaitu pemisahan asam amino dengan elektroforesis kertas dan uji kualitatif Buret

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyakit yang melibatkan faktor genetik dalam proses patogenesisnya, proses pembelahan sel menjadi tidak terkontrol karena gen yang mengatur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia kasus kanker rongga mulut berkisar 3-4% dari seluruh kasus kanker yang terjadi. Sekitar 90-95% dari total kanker pada rongga mulut merupakan kanker sel skuamosa

Lebih terperinci

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seledri Kedudukan tanaman seledri dalam taksonomi tumbuhan, diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub-Divisi Kelas Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP SEL HELA DAN VERO SKRIPSI

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP SEL HELA DAN VERO SKRIPSI EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia amygdalina Del.) TERHADAP SEL HELA DAN VERO SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi sebagai penyebab kematian di dunia, khususnya di negara-negara berkembang (Anderson et al., 2001;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Caisin Caisin (Brassica chinensis L.) merupakan tanaman asli Asia. Caisin dibudidayakan di Cina Selatan dan Tengah, di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kongenital. Diperkirakan ada kasus baru pada setiap

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kongenital. Diperkirakan ada kasus baru pada setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang terjadi karena pembelahan sel yang tidak terkontrol dan tidak terbatas (Djajanegara, 2010). Di beberapa bagian dunia, dalam waktu singkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, jumlah penderita kanker di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi peningkatannya dari tahun ke tahun dapat dibuktikan sebagai salah satu penyebab

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 6 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman uji dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UMS dengan cara mencocokkan tanaman pada kunci-kunci determinasi

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 19 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian laboratoris. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental 4.2. Tempat Penelitian 1. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada tahun 2004 (WHO, 2009). Berdasarkan data dari Globocan

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada tahun 2004 (WHO, 2009). Berdasarkan data dari Globocan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan penyebab utama kematian di dunia dengan 7,4 juta atau 13% kematian pada tahun 2004 (WHO, 2009). Berdasarkan data dari Globocan International Agency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut World Health Organization (WHO), negara negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016

EKSTRAKSI DNA. 13 Juni 2016 EKSTRAKSI DNA 13 Juni 2016 Pendahuluan DNA: polimer untai ganda yg tersusun dari deoksiribonukleotida (dari basa purin atau pirimidin, gula pentosa,dan fosfat). Basa purin: A,G Basa pirimidin: C,T DNA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Gambut. memungkinkan terjadinya proses pelapukan bahan organik secara sempurna

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Gambut. memungkinkan terjadinya proses pelapukan bahan organik secara sempurna TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Tanah gambut terbentuk dari bahan organik sisa tanaman yang mati diatasnya, dan karena keadaan lingkungan yang selalu jenuh air atau rawa, tidak memungkinkan terjadinya proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini?

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini? Kanker Serviks Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, penyakit kanker serviks merupakan penyebab utama kematian akibat kanker. Di dunia, setiap dua menit seorang wanita meninggal dunia akibat kanker

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Enterococcus faecalis

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Enterococcus faecalis ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Enterococcus faecalis Hadisusanto Alie M., 2014, Pembimbing I : Ibnu Suryatmojo, drg., Sp.KG Pembimbing II : Widura, dr.,

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

SKRIPSI. UJI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK KULIT JERUK PURUT (Citrus hystrix) PADA SEL HeLa CERVICAL CANCER CELL LINE

SKRIPSI. UJI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK KULIT JERUK PURUT (Citrus hystrix) PADA SEL HeLa CERVICAL CANCER CELL LINE SKRIPSI UJI AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK KULIT JERUK PURUT (Citrus hystrix) PADA SEL HeLa CERVICAL CANCER CELL LINE Disusun oleh: Joshua Nathanael NPM: 100801171 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi penyakit endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis dunia. Pada tahun 2006, terjadi 247 juta kasus malaria,

Lebih terperinci