Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi serbaguna. Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 milyar m 3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata, dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi sampai LS dan sampai BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004). Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004). Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H. Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine), zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.

2 Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004) Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Di bagian bawah/hilir Ketinggian dari muka laut (m) 111 Selesai dibangun 1967 Volume air 1000 m Luas permukaan (A) (ha) Kedalaman rata-rata (m) 35,8 Kedalaman maksimum (Z maks) (m) 90 Status Kesuburan Mesotrofik-Eutrofik Pola pencampuran massa air Oligomictic (jarang) Kondisi tanpa oksigen dimulai pada kedalaman (m) > (anoksik) 2.2. Keramba Jaring Apung (KJA) Keramba jaring apung (KJA) adalah tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air. Budidaya ikan dalam KJA atau Floating Net Cage merupakan salah satu cara pemanfaatan badan air semaksimal mungkin sebagai media budidaya (Susanti 2003). Menurut Ilyas et al. (1990) in Nastiti et al. (2001), paket teknologi budidaya ikan dalam KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk Indonesia. Beberapa jenis ikan yang dapat dipelihara di KJA adalah ikan mas, nila grass crap, tawes, jelawat dan patin. Paket teknologi KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk di Indonesia; yang luasnya 2,1 juta hektar (Ilyas et al in Iskandar dan Suryadi 2000) termasuk Waduk Ir. H. Juanda, Cirata, dan Saguling. Menurut Krismono (1993) in Iskandar dan Suryadi (2000), bila 1% saja dari luas perairan tersebut digunakan untuk budidaya ikan dalam KJA, maka akan dapat menghasilkan 800 ton ikan/hari. Namun, perkembangan KJA yang tidak terkendali akan banyak mengakibatkan kematian ikan yang dipelihara di KJA seperti yang terjadi pada tahun 1996 jumlah ikan yang mati mencapai ton dan kerugian mencapai 7 milyar rupiah (Krismono et al. 1996).

3 Teknologi KJA merupakan sistem budidaya perairan yang relatif baru dibandingkan dengan teknologi budidaya lainnya. Pertama kali diuji coba pada tahun 1974 di Waduk Ir. H. Juanda dibawah pengelolan Perum Jasa Tirta II dan mulai dibudidayakan pada tahun Berkembangnya budidaya ikan KJA di Waduk Ir. H. Juanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Namun sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan yang mengganggu pelestarian sumberdaya air waduk maupun usaha perikanan itu sendiri. Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit dengan produksi ikan ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada tahun 2004 adalah unit dengan produksi ton/tahun (Sudjana 2004). Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai unit (Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam jumlah yang cukup tinggi. Dalam penetapan batas maksimum jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda terdapat perbedaan dari masing-masing instansi terkait seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan jumlah dan luas areal budidaya KJA di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004) Kriteria Satuan POKJA 1996 PJT II 2004 SK Bupati 06/2000 Batasan kriteria Luas waduk ha Elevasi air minimum m dpl 90,00-87,65 87,65 Jarak antar unit m Luas desain/unit KJA m Jumlah KJA maksimum unit Luas perairan KJA ha 209, Luas perairan KJA % 2,52 1 1,58 1 Pada perkembangannya, paket teknologi budidaya ikan dalam KJA belum dipahami secara baik oleh petani khususnya dalam cara pemberian pakan. Untuk mengejar keuntungan besar, maka cara pemberian pakan dilakukan dengan sistem

4 pompa supaya panen lebih cepat. Pemberian pakan dengan sistem ini menyebabkan pakan yang terbuang pada KJA ukuran 7 x 7 x 3 m 3 adalah 20-30% dan untuk ukuran 1 x 1 x 1 m 3 sebanyak 30-50% (Wahyudi 1996 in Krismono 2004). Dampak pakan yang terbuang akan mengendap ke dasar perairan dan menunjukkan perbedaan antara daerah bebas KJA, daerah KJA baru, dan daerah KJA lama mempunyai endapan paling tebal. Pada pengembangan budidaya ikan di KJA diperlukan beberapa pertimbangan agar kegiatan budidaya ikan tersebut tidak melebihi daya dukung dari perairan itu sendiri. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan budidaya ikan sistem KJA dari ketiga waduk di Sungai Citarum dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (modifikasi Krismono 2004) Parameter Saguling Cirata Jatiluhur Pakan maks harian (kg) , , ,5 Daya dukung ikan maksimum (kg) , , ,3 Padat tebar KJA (kg/m 3 ) 7,5 7,5 7,5 Ukuran keramba (m 3 ) Bobot rataan ikan/kja (kg) Jumlah maksimum KJA (unit) 2.424, , ,7 Persyaratan KJA berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Purwakarta No /Kep.234-Diskan/2000 in Sudjana (2004) yaitu: 1. Ukuran petak KJA : 7 x 7 x 3 m 3 2. Unit KJA : maksimal 8 petak/unit KJA 3. Ukuran per unit KJA : maksimal m 2 4. Jarak antar unit KJA : minimal 50 m 5. 1 % dari luas waduk efektif : ± 60 ha 6. Dilengkapi gudang pakan dan ruang tunggu: maksimal 4 4 m 2 7. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas, nila/nila merah, patin,ikan hias, dan ikan lain yang cocok serta tidak merusak lingkungan 8. Usia, ukuran, dan padat tebar ikan

5 9. Jenis pakan ikan yang dipergunakan harus memenuhi Standar Industri Indonesia (SII) dan lolos pengujian dari Pemerintah daerah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Purwakarta Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2002), waktu pemeliharaan tiap periode di Waduk Ir. H. Juanda pada umumnya adalah 2,5 bulan/musim tanam dengan frekuensi panen 2,5 bulan/musim tanam; produksi ikan ratarata/jaring/musim tanam adalah 1.167,14 kg dengan total ,08 kg/tahun; dan jumlah pakan rata-rata 1.753,57 kg/musim dengan total adalah ,04 kg/tahun Umbalan (Pencampuran Massa Air) Pada saat terjadinya peralihan musim antara musim kemarau ke musim hujan intensitas cahaya matahari menjadi berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya proses umbalan (upwelling), yaitu pembalikan massa air pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba hingga mencapai kisaran suhu yang lebih kecil daripada suhu di dasar yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan biota perairan khususnya ikan budidaya di keramba jaring apung. Masalah arus balik ini telah beberapa kali dialami oleh Waduk Ir. H. Juanda berupa naiknya massa air dari dasar ke permukaan secara tiba-tiba. Hal ini juga dapat terjadi pada awal musim hujan saat terjadi penurunan suhu secara mendadak pada lapisan permukaan akibat hujan deras yang terjadi secara tiba-tiba. Waduk Ir. H. Juanda memiliki stratifikasi temperatur yang merupakan salah satu penyebab terjadinya proses umbalan di waduk tersebut. Waduk-waduk yang dibangun di dataran tinggi atau pegunungan sering mengalami umbalan karena morfologinya seperti corong dan cenderung disebabkan oleh suhu. Menurut Jangkaru (2003), proses umbalan umumnya terjadi pada badan air dengan permukaan yang sempit dan dalam, serta curam seperti corong atau botol. Dengan bentuk seperti corong dan botol maka proses pengadukan alamiah yang umumnya dilakukan oleh angin tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin dalam lapisan air maka akan semakin rendah mutunya. Jika umbalan terjadi pada

6 badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan maka dapat berakibat fatal bagi organisme di dalamnya karena kualitas air yang rendah umumnya terdapat di dasar dan akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan. Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada malam hari, pada waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu, atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu air permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses pembauran atau pencampuran air. Apabila suhu air permukaan terus berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu air dasar maka akan terjadi proses pembalikan atau umbalan (upwelling). Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling berdasarkan banyaknya upwelling yang terjadi dalam satu tahun, yaitu : 1). Monomictic : pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam setahun. Biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis. 2). Dimictic : pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada permulaan musim semi dan pada musim dingin atau musim salju. 3). Polymictic : pencampuran massa air yang terjadi secara terus menerus dalam setiap tahun. Berdasarkan derajat pencampuran, Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling menjadi dua yaitu: 1). Holomictic : pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini biasanya terjadi setiap tahunnya.

7 2). Meromictic : pencampuran massa air yang terjadi pada kedalaman tertentu saja dan tidak terjadi secara sempurna hingga ke dasar. Pencampuran ini biasanya terjadi pada perairan yang dalam. Menurut Mann (1978) in Nastiti dan Krismono (2003) faktor yang menyebabkan terjadinya umbalan adalah sebagai berikut : 1). Pendinginan secara konveksi Pendinginan secara konveksi bisa terjadi setiap hari terutama pada perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi pada waktu malam hari yang menyebabkan pendinginan di daerah permukaan. Partikel partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama. Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan massa air dari bawah ke permukaan perairan. Proses pendinginan secara konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan karena penguapan, ataupun cuaca yang dingin. 2). Angin Angin topan akan menimbulkan arus kuat, yang mampu memindahkan massa air dari dasar ke permukaan. Jangkaru (2003) menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal. Angin mengangkat sejumlah massa air lalu akan menumpuk di sisi lain, yang umumnya disebut dengan gelombang. Ruang kosong yang ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya sehingga terjadilah umbalan. 3). Aliran Sungai Masukan air sungai kedalam perairan waduk ataupun danau akan menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air waduk atau danau. Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air waduk atau danau maka air sungai tersebut akan mengalir di bawah air

8 waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari air waduk atau danau maka air sungai akan mengalir diatas air waduk atau danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai yang dingin mengalir kebawah hingga mencapai daerah yang mempunyai berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya diatas hipolimnion. 4). Pasang Surut Proses pemindahan massa air dari bawah ke permukaan disebabkan oleh pasang surut yang umumnya terjadi di pantai. Menurut Azwar et al. (2004), kematian massal ikan yang sering terjadi di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara mendadak karena umbalan akibat dari massa air di lapisan bawah yang memiliki kadar oksigen rendah akibat tingginya pembusukan bahan organik, tingginya NH3-N, H2S, dan gas metan. Ketiga senyawa terakhir ini bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting dalam mempertahankan kehidupan ikan Oksigen Terlarut - Dissolved Oxygen (DO) Sumber oksigen terlarut Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi, air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton, difusi udara, dan susupan dari inflow. Di perairan yang subur, fotosintesis merupakan input utama dalam produksi oksigen di perairan. Pada umumnya konsentrasi oksigen saat permulaan fajar masih rendah, lalu tinggi pada siang hari, kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas. Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen selama proses respirasi dan menghasilkan CO2 yang akan digunakan untuk

9 fotosintesis. Fotosintesis terjadi di zona fotik, namun respirasi terjadi dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland 1990 in Simarmata 2007). Selain dari hasil fotosintesis, oksigen terlarut juga bersumber dari difusi udara. Menurut Welch (1952), adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui bentuk agitasi air permukaan seperti gelombang, air terjun, turbulensi. Di perairan danau dan waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat di epilimnion. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada pagi hari (Effendi 2003). Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting dalam reaksi secara biologi dan biokimia di perairan. Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup (Umaly and Cuvin 1988 in Effendi 2003) Cadangan oksigen terlarut di hipolimnion Sumber oksigen di lapisan hipolimnion hampir tidak ada, kecuali jika terjadi pembalikkan massa air. Menurut Cornett dan Rigler (1987) in Krismono (2000), konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa dekomposisi bahan organik di sedimen dasar dan respirasi biota perairan ditambah oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis biota pelagis dan bentik serta transport oksigen secara vertikal karena turbulensi. Distribusi oksigen ke dalam kolom perairan lambat kecuali jika terjadi turbulensi kuat.

10 Penurunan oksigen terlarut di perairan Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi pada subtrat dan kolom air diatasnya. Akibatnya akan menambah kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan. Stadia kritis terjadi jika jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan organik, baik allochtonous atau autochtonous (Simarmata 2007). Oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan dikarenakan oksigen merupakan faktor utama dalam mendukung kelangsungan hidup ikan. Kondisi oksigen yang minim di perairan dapat mengancam kehidupan ikan dan biota air lainnya, namun jika oksigen mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara, maka akan membahayakan kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan yang mengakibatkan oksigen pada saat malam hari menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada 0 0 C dan 8 mg/liter pada suhu 25 0 C (McNeely et al in Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Menurut Welch (1952), ketersediaan oksigen terlarut di perairan akan mengalami penurunan akibat proses respirasi oleh biota air baik hewan maupun tumbuhan di sepanjang hari, dekomposisi bahan organik, inflow dari tanah, dan keberadaan besi di perairan.

11 Menurut Effendi (2003), ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis pada lapisan eufotik lebih besar daripada konsumsi oksigen oleh proses respirasi. Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen terlarut di suatu perairan, yaitu (Gambar 2): a. Tipe orthograde : terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Pada tipe ini konsentrasi oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. b. Tipe clinograde : terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau bahkan habis sebelum mencapai dasar. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. c. Tipe heterograde positif dan negatif : pada tipe ini terlihat bahwa fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion. d. Tipe anomali : tipe ini terjadi aliran air yang deras, dingin, kaya oksigen dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.

12 Gambar 2. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde, (d). anomali (Goldman dan Horne 1983) Bahan Organik di Perairan Bahan organik yang terdapat di perairan waduk terdiri dari allocthonous organic matter dan autochthonous organic matter. Allocthonous organic matter adalah bahan organik yang berasal dari luar perairan seperti limbah rumah tangga dan sisa aktivitas perairan di sekitar waduk, sedangkan autochthonous organic matter adalah bahan organik yang berasal dari dalam waduk itu sendiri seperti sisa pakan, buangan hasil ekskresi ikan, dan hasil dekomposisi organisme plankton. Akumulasi bahan organik di perairan juga mempengaruhi kelangsungan hidup ikan seperti kematian, akibat defisiensi oksigen karena dipakai untuk menguraikan bahan organik tersebut. Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Dengan meningkatnya jumlah unit KJA maka secara otomatis bahan organik menjadi berlipat ganda. Bahan organik dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan akan semakin bertambah dengan meningkatnya

13 jumlah unit KJA karena semakin banyak jumlah pakan yang masuk ke perairan. Selain itu peningkatan jumlah unit KJA juga mengakibatkan peningkatan bahan organik dari hasil ekskresi ikan karena dengan meningkatnya jumlah unit KJA tersebut maka akan semakin banyak ikan budidaya yang ditebar. Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami dalam KJA sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme ikan. Bahan organik tersebut akan larut dan terkandung dalam air dan sebagian mengendap di dasar yang kemudian akan dimakan dan dirombak oleh makroorganisme dan mikroorganisme. Dalam batas tertentu, kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan. Namun, jika melampaui batas, bahan organik justru akan menghambat pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003). Menurut Vitner et al. (1999) peningkatan konsentrasi bahan organik di perairan diduga karena: (a) pengadukan massa air secara merata, (b) penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh buangan yang makin hari semakin besar dari luar waduk. Jika peningkatan bahan organik terjadi secara terus menerus maka akan memberi dampak seperti: a. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik b. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologi dan biologi waduk c. Berdampak berupa menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi perubahan siklus air. Tingginya konsentrasi bahan organik akan meningkatkan pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan terjadi pembalikkan massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat pertumbuhan fitoplankton. Pembalikkan yang diiringi blooming plankton akan menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan mempercepat kematian ikan. d. Menurunnya kualitas air produksi Perusahaan Air Minum (PAM), yang akan berdampak pada menurunnya sanitasi masyarakat konsumen.

14 2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi 2003). Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal pada kolom air (Effendi 2003). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Menurut Effendi (2003), stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang berdasarkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke perairan dikelompokan menjadi tiga, yaitu : (a). Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari. Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi. (b). Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama dengan respirasi. (c). Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan intensitas cahaya yang kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya (afotik). Menurut Simarmata (1998), apabila intensitas cahaya ke permukaan menurun, maka ketebalan zona eufotik pun akan semakin menipis. Penyebab peredupan cahaya di Waduk Ir. H. Juanda juga diakibatkan oleh bahan organik terlarut dan total padatan tersuspensi. Menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan maka akan dapat diketahui batasan masih adanya kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan yang tidak keruh dan yang paling keruh.

15 Suhu Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Adanya hubungan antara oksigen terlarut dengan suhu di perairan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmhg (Cole 1983 in Effendi 2003). Suhu ( 0 C) Konsentrasi O 2 terlarut (mg/l) Suhu ( 0 C) Konsentrasi O 2 terlarut (mg/l) Suhu ( 0 C) Konsentrasi O 2 terlarut (mg/l) 0 14, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,95 Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Kondisi tersebut menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Dengan kata lain, cahaya mengalami penghilangan atau pengurangan yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya yang mencapai perairan yang diubah menjadi

16 energi panas tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya pencampuran massa air (Effendi 2003). Meskipun terdapat stratifikasi suhu di Waduk Ir. H. Juanda tetapi pada perairan ini tidak sampai terbentuk termoklin mengingat Waduk Ir. H. Juanda yang terletak di daerah tropis. Suhu udara di dataran tinggi relatif rendah, demikian juga suhu airnya. Curah hujan relatif tinggi, sebaliknya intensitas sinar matahari rendah. Suhu air di lapisan bawah badan air dalam waduk sedikit lebih dingin dibandingkan dengan lapisan permukaan. Suhu air lapisan atas dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari. Distribusi suhu air dan oksigen terlarut pada danau eutrofik di musim panas ditunjukkan seperti pada Gambar 3. Gambar 3. Diagram yang menggambarkan tipe distribusi CO 2, O 2, dan temperatur selama musim panas pada danau eutrofik (Goldman dan Horne 1983). Pada umumnya danau/waduk yang memiliki kedalaman rata-rata kurang dari 10 meter tidak mempunyai perbedaan suhu yang nyata. Sebaliknya, danau/waduk dengan kedalaman lebih dari 10 meter

17 mempunyai stratifikasi temperatur sebagai berikut (Goldman dan Horne 1983) : (a). Epilimnion, yaitu lapisan air yang berada di bawah permukaan dengan suhu relatif sama. (b). Metalimnion/termoklin, yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar (lebih dari 1 ºC/m) yang mengarah ke dasar danau/waduk. (c). Hipolimnion, yaitu lapisan dibawah metalimnion, lebih dingin, perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil Derajat keasaman (ph) Keasaman atau kebasaan waduk diukur dalam unit ph, dengan skala Derajat keasaman (ph) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hydrogen. Keasaman ditunjuk dengan nilai dari 0-7 sedangkan basa dari Jika ph perairan di bawah 4 atau 5 maka keragaman spesiesnya sangat terbatas (Goldman dan Horne 1983). Larutan yang bersifat asam (ph rendah) bersifat korosif (Effendi 2003). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7-8,5. Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika ph rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada ph rendah (Novotny dan Olem 1994 in Effendi 2003) Amonia (NH3) Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik

18 yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik (Effendi 2003). Amonia dapat terserap ke dalam bahan-bahan tersuspensi dan koloid sehingga akan mengendap di dasar perairan. Amonia di perairan dapat menghilang karena tekanan parsial dalam larutan yang meningkat dengan semakin meningkatnya ph. Hilangnya amonia ke atmosfer juga dapat meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin dan suhu. Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, ph, dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Amonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen. Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar perairan, kadar amonia relatif tinggi (Effendi 2003). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (McNeely et al in Effendi 2003). Kadar amonia yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/liter (Sawyer dan McCarty 1978 in Effendi 2003). Menurut Jangkaru (2003), amonia sangat bersifat racun terhadap ikan dan organisme hidup lainnya. Dalam suhu yang tinggi dan suasana alkali, konsentrasi NH3 akan meningkat. Air yang mengandung NH 3 sebanyak 0,5 mg/l dapat dikategorikan tercemar dan pada konsentrasi 5 mg/l dapat mematikan sebagian besar jenis ikan. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (runoff) pupuk pertanian. Kadar amonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen (Effendi 2003).

19 Hidrogen Sulfida (H 2S) Hidrogen Sulfida atau H2S pada kondisi perairan anoksik bersifat beracun karena berasal dari sulfat yang terbentuk secara reduksi pada kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Pada perairan alami yang cukup aerasinya biasanya tidak ditemukan H2S karena teroksidasi menjadi sulfat. Reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri heterotrof selama proses dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan bau busuk. Pada ph 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Oleh karena itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan nilai ph. Kadar sulfida total kurang dari 0,002 mg/l dianggap tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (Mcneely et al in Effendi 2003). Bakteri heterotrof dapat mereduksi sulfit, tiosulfat, hiposulfat, dan unsur sulfur menjadi hidrogen sulfida. Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri, misalnya Chlorobactericeae dan Thiorhodaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur. Di dalam perairan dihasilkan hidrogen sulfida yang berasal dari proses dekomposisi bahan yang mengandung protein dan baunya sangat mengganggu. Ketika kandungan oksigen terlarut di perairan habis terpakai untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan suplai oksigen terganggu, maka kondisi perairan akan menjadi anaerob. Pada kondisi seperti ini bahan-bahan organik akan mengalami proses fermentasi membentuk asamasam organik yang menyebabkan ph perairan menurun dengan keasaman yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan kematian total ikan. Apabila diperairan tidak terdapat oksigen dan nitrat maka sulfat berperan sebagai sumber oksigen pada proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Pada kondisi ini ion sulfat direduksi menjadi ion sulfit yang

20 membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen sulfida (Effendi 2003). Pada ph 9 sebagian besar sulfur (99%) berada dalam bentuk ion HS -, jumlah H 2S sangat sedikit, permasalahan bau tidak muncul pada kondisi ini. Ion sulfida berada pada ph yang sangat tinggi mendekati 14 dan tidak ditemukan pada perairan alami. Pada ph < 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang tidak terionisasi (Effendi 2003).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA AFINA PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA AGUSTINA SINUHAJI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG

PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG PENGARUH PERCAMPURAN BERBAGAI KOLOM AIR TERHADAP KADAR DO (Dissolved Oxygen) DI KARAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK SAGULING, KABUPATEN BANDUNG ADIB NUGROHO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun .. Latar belakang Waduk merupakan danau buatan dengan membendung aliran sungai, yang pada urnumnya ditujukan sebagai tempat penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Pembangkt

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang bebas di perairan. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme berklorofil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107 22-108 50 Bujur Timur dan 6 41-7 19 Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan yang dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi nutrien perairan, produktivitas fitoplankton

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

Abstract. Keywords: Koto Panjang reservoir, phosphate, lacustrine and transition

Abstract. Keywords: Koto Panjang reservoir, phosphate, lacustrine and transition 1 Vertical profiles of phosphate in the lacustrine and transition zones in the Koto Panjang Reservoir, XIII Koto Kampar Districts, Kampar Regency, Riau Province. By Sistim Wehalo 1), Asmika H. Simarmata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati ruang yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air tawar memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki ceruk, saluran masuk (inlet), saluran pengeluaran (outlet) dan berhubungan langsung dengan sungai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK

FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK FENOMENA DAMPAK UPWELLING PADA USAHA BUDIDAYA IKAN DENGAN KJA DI DANAU DAN WADUK Endi Setiadi Kartamihardja Puslit Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kimia Perairan 1 BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di perairan A. Definisi dan Komponen Penyusun Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA Analisis Kadar Nitrat dan... Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta (Kusumaningtyas, D.I.) ANALISIS KADAR NITRAT DAN KLASIFIKASI TINGKAT KESUBURAN DI PERAIRAN WADUK IR. H. DJUANDA, JATILUHUR, PURWAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Tempat Penelitian 2.1.1 Keadaan Alam Kecamatan Jatiluhur merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Jatiluhur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geografi Kabupaten Bandung BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2. Peta Kabupaten Bandung (Sumber : www.google.co.id ) Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah administrasi yang berada di Provinsi

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapannya sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat tertentu tidak dikehendaki

Lebih terperinci

YUDI MIFTAHUL ROHMANI

YUDI MIFTAHUL ROHMANI Faktor Pembatas OLEH: YUDI MIFTAHUL ROHMANI Pendahuluan Liebig menyatakan bahwa jumlah bahan utama yang dibutuhkan apabila mendekati keadaan minimum kritis cendrung menjadi pembatas. Ditambahkannya bahwa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT ARIF RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Resirkulasi Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang sudah digunakan dengan cara memutar air secara terus-menerus melalui perantara sebuah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai. Waduk juga merupakan penampungan alami dalam pengumpulan unsur hara, bahan padatan, dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

H - H + Merupakan molekul dipolar, artinya 1 molekul memiliki 2 muatan yang berbeda yakni muatan + dan

H - H + Merupakan molekul dipolar, artinya 1 molekul memiliki 2 muatan yang berbeda yakni muatan + dan LINGKUNGAN PERAIRAN Air menutupi dari 70% permukaan bumi. Sifat-sifat fisika dan kimia air sangat penting dalam ekologi. Panas jenis, panas peleburan laten, serta panas penguapan air latennya yang cukup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C)

DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) DAUR BIOGEOKIMIA 1. DAUR/SIKLUS KARBON (C) Berkaitan dengan siklus oksigen Siklus karbon berkaitan erat dengan peristiwa fotosintesis yang berlangsung pada organisme autotrof dan peristiwa respirasi yang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT 1 DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT SECARA VERTIKAL PADA LOKASI KARAMBA JARING APUNG DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT SITI NUR AMANAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Status Mutu Air Sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

The Vertical Profile of Nitrate in the Lacustrine and Transition Zone Koto Panjang Reservoir Kampar District Riau Province ABSTRACT

The Vertical Profile of Nitrate in the Lacustrine and Transition Zone Koto Panjang Reservoir Kampar District Riau Province ABSTRACT 1 The Vertical Profile of Nitrate in the Lacustrine and Transition Zone Koto Panjang Reservoir Kampar District Riau Province Simon D. Sihotang 1, Asmika H. Simarmata 2, Clemens Sihotang 2 ABSTRACT This

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci