2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai Secara geografis Mentawai adalah suatu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumatera Barat dari Air Bangis hingga mendekati Bengkulu. Secara administratif kepulauan Mentawai yang terletak di wilayah pantai barat Sumatera ini termasuk ke dalam tingkat II Kabupaten Padang Pariaman. Kepulauan Mentawai terdiri atas empat pulau besar yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan serta didampingi oleh hampir 319 pulau-pulau kecil dengan luas daratan 7.089,19 km 2 yang dikelilingi oleh lautan Samudera Hindia, terletak antara mil dari daratan Sumatera Barat (Dinas Perikanan Sumatera Barat, 2001). Secara alami kepulauan Mentawai seakan-akan ditempatkan sebagai gugusan pulau penyangga dari hempasan gelombang laut Samudera Hindia terhadap pantai barat pulau Sumatera. Secara geografis letaknya menguntungkan sekali karena hempasan ombak deras tidak langsung menerjang ke pantai pulau Sumatera. Dengan demikian, pantai barat Sumatera Barat sedikitnya terselamatkan dari kikisan gelombang Samudera Hindia yang ganas. Dengan kata lain kepulauan Mentawai menjadi pagar laut di sebelah barat pantai Sumatera Barat mulai dari Pasaman hingga ke ujung selatan Pesisir Selatan. Kondisi umum perairan Mentawai, Sumatera Barat dicirikan oleh tingginya curah hujan. Rata-rata curah hujan cukup tinggi terjadi pada bulan April sampai bulan Oktober, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November. Sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan Juni. Arah pergerakan angin di perairan Sumatera Barat dipengaruhi oleh angin muson (Herunandi, 1998). Selanjutnya Herunandi mengatakan bahwa Perairan Sumatera Barat merupakan daerah yang dipengaruhi oleh sistem arus khatulistiwa dan arus musim. Arus balik khatulistiwa membawa massa air tropis dari pantai timur Afrika sedangkan pada bulan-bulan tertentu arus musiman India membawa massa air dari Teluk Benggala. Kedua arus ini bertemu di dekat Mentawai sehingga diduga akan membentuk front. Kedua arus selanjutnya mengalir ke selatan,

2 sebagian menyusuri pantai Sumatera dan meneruskan perjalanannya hingga ke selatan Banyuwangi membentuk arus Selatan Jawa. Sebagian lagi membelok ke selatan di dekat Bengkulu lalu bergabung dengan arus khatulistiwa Selatan. 2.2 Biologi dan Tingkah Laku Ikan Cakalang berikut : Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et.al (1984) adalah sebagai Phylum : Vertebrata Sub-phylum : Craniata Super-kelas : Gnathostomata Kelas : Teleostomi Sub-kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub-ordo : Scombridei Famili : Scombridae Sub-famili : Scombrinae Genus : Katsuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis Tubuh cakalang berbentuk torpedo (fusiform), memanjang dan bulat, memiliki tapis insang (gill raker) buah. Terdapat dua sirip punggung yang terpisah, pada sirip punggung pertama terdapat duri keras, pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-8 finlet. Sirip dada pendek dan pada sirip perut diikutu oleh 7-8 finlet. Terdapat sebuah rigi-rigi yang lebih kecil pada masingmasing sisi dan sirip ekor. Ciri lain cakalang pada bagian punggung berwarna biru agak violet hingga dada, sedangkan perut berwarna keputihan hingga kuning muda. Terdapat 4-9 garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Mempunyai duri lemah pada sirip punggung kedua, serta mempunyai 7-9 finlet pada bagian perut (Gambar 1). Panjang ikan cakalang dapat mencapai 100 cm dengan berat 25 kg dan panjang umumnya berkisar antara cm. Ikan cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan sekitar satu juta sampai dua juta telur. Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan khatulistiwa antara musim semi sampai awal musim gugur di daerah subtropik dan waktu pemijahan akan semakin pendek dengan semakin jauh dari khatulistiwa. Pemijahan cakalang sangat dipengaruhi oleh perairan panas, sebagian besar larva cakalang ditemukan di perairan dengan

3 suhu di atas 24 o C (Matsumoto, et.al., 1984). Musim pemijahan cakalang ditentukan berdasarkan tingkat kematangan gonad dan ditemukannya larva di perairan tersebut. Perbedaan ukuran cakalang pertama kali matang gonad dibedakan oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang dan bujur serta kecepatan pertumbuhan (Nikolsky, 1963). Ikan cakalang menyukai suhu permukaan laut berkisar antara o C dan untuk perairan Indonesia mempunyai suhu optimum o C (Gunarso, 1985). Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa penyebaran ikan cakalang di suatu perairan adalah o C dan suhu optimum untuk penangkapan adalah o C. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan tertentu. Ikan cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian timur pada suhu o C (Blackburn, 1965). Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini hidup secara bergerombol (schooling) dan secara bersamaan melakukan ruaya di sekitar pulau maupun jarak jauh. Cakalang mempunyai kebiasaan makan secara aktif pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari. Mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak makan sama sekali pada malam hari (Matsumoto, et.al., 1984). Gambar 2 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Penglihatan ikan cakalang sangat berkurang pada waktu air keruh dan pada waktu ini jarang muncul ke permukaan, sehingga operasi penangkapan pada waktu air keruh sering mengalami kegagalan. Di daerah tropis ikan cakalang dapat menyelam sampai lebih kedalaman 40 meter, karena tingkat transparansi air laut yang tinggi dan perubahan temperatur yang tidak terlalu besar. Hal ini akan terjadi di daerah lintang tinggi karena perbedaan temperatur yang terlalu mencolok (Matsumoto, 1974).

4 2.3 Parameter Oseanografi Kelimpahan dan distribusi ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi parameter oseanografi baik fisik, kimia dan biologi suatu perairan (Nikolsky, 1963 ; Laevastu dan Hela, 1970). Cakalang sebagai ikan pelagis memiliki karakteristik oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji, 1993 ; Mann and Lazier, 1996) Suhu perairan Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya aliran panas yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerahdaerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada daerah khatulistiwa. Dengan demikian suhu permukaan air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah khatulistiwa (Hutagalung, 1988). Suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Hewan laut misalnya, hidup dalam batas-batas suhu yang tertentu, ada yang mempunyai tolerasi yang besar terhadap perubahan suhu yang disebut euriterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil yang disebut stenoterm. Suhu laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah sinar yang didapat dari matahari (Nontji, 1987). Selanjutnya Nontji (1987) menyatakan bahwa suhu air permukaan di perairan Nusantara umumnya berkisar antara C. Suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada yang di lepas pantai. Secara alami suhu air permukaan memang merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (sekitar 0,02 o C) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan (daerah sub tropis). Lebih lanjut dikatakan bahwa ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau

5 mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Suhu lingkungan juga mempunyai pengaruh terhadap sifat meristik ikan misalnya jumlah tulang punggung bertambah, sirip ikan juga bertambah sebagai akibat turunnya suhu. Suhu juga menyebabkan perbedaan penyebaran ikan dewasa dan anak ikan karena mereka cenderung memilih suhu yang cocok bagi mereka masing-masing. Perbedaan suhu perairan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi migrasi dan besarnya gerombolan ikan. Beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu perairan di permukaan lebih hangat. Kedalaman gerombolan ikan sangat tergantung luasnya lapisan tercampur di permukaan pada malam hari (Hela dan Laevastu, 1970). Selanjutnya Hela dan Laevastu (1970) mengatakan bahwa untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan pengamatan terhadap hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isothermal permukaan. Kisaran suhu optimum untuk penangkapan ikan cakalang adalah o C. Khusus untuk perairan Indonesia yang merupakan perairan tropis pengaruh suhu permukaan laut terhadap penyebaran ikan pelagis sangatlah kecil karena suhu relatif sama (konstan) sepanjang tahun. Walaupun demikian, suhu dapat menandakan adanya batasan arus dan penyebaran ikan pelagis sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Garis konvergensi diantara suhu dingin dan suhu panas merupakan daerah yang kaya organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground untuk perikanan cakalang Klorofil-a Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan-ikan kecil yang kemudian akan menjadi makanan bagi ikan-ikan besar termasuk ikan pelagis seperti ikan cakalang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa klorofil-a mempunyai pengaruh terhadap keberadaan ikan cakalang. Produktifitas primer parairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktifitas primer perairan laut terbuka. Menurut Valiela (1984) produktifitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut.

6 Laju produktifitas primer di laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produktifitas primer yaitu pencampuran vertikal, arus dan turbulensi, efek biologi dari masukan air tawar di daerah pesisir dan pergerakan dari perairan pesisir. Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Muson Tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling dibeberapa perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Muson Barat Laut (Mann & Lazier, 1991). Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1987) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m 3 dan 0,16 mg/m 3 selama musim barat dan 0,21 mg/m 3 selama musim timur. Konsentrasi klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal, dimana hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti suhu permukaan laut, angin, arus dan lain-lain. Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan pengukuran secara langsung (in-situ) atau dengan penggunaan teknologi inderaja. Konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan rona laut yang khas, sehingga melalui metode inderaja yang menggunakan wahana satelit, konsentrasi pigmen tersebut bisa diduga Upwelling (umbalan) Upwelling adalah istilah yang digunakan oleh ahli oseanografi untuk menggambarkan situasi dimana air yang dingin tapi kaya unsur hara dari lapisan yang lebih dalam, naik menuju permukaan (Robinson, 1991). Sedangkan Nontji (1987) mengatakan bahwa gerakan naik ini membawa serta air yang bersuhu dingin, salinitas yang tinggi dan unsur-unsur hara yang kaya phosfat dan nitrat ke permukaan. Oleh karena itu daerah air naik (umbalan) ini selalu disertai dengan produktivitas plankton yang tinggi, ini menyebabkan ikan-ikan kecil akan mencari makan pada daerah upwelling tersebut dan ikan-ikan kecil itu menjadi makanan bagi ikan-ikan besar termasuk ikan pelagis seperti ikan cakalang. Dengan

7 demikian terjadinya upwelling dapat dikatakan berpengaruh terhadap keberadaan ikan cakalang. Proses upwelling adalah suatu proses dimana massa air didorong ke arah atas dari kedalaman sekitar 100 sampai 200 meter yang terjadi di sepanjang pantai barat di banyak benua. Aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai mengakibatkan massa air yang berasal dari lapisan dalam akan naik menggantikan kekosongan tempat ini. Massa air yang berasal dari lapisan yang dalam ini belum berhubungan dengan atmosfir dan karena itu mengandung kadar oksigen yang rendah. Akan tetapi kaya akan larutan nutrien seperti nitrat dan fosfat, karena itu cenderung mengandung banyak fitoplankton. Sejak fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan di lautan, maka area-area upwelling merupakan suatu tempat yang subur bagi populsi ikan (Hutabarat dan Evans, 1984). Konsentrasi unsur hara yang tinggi di lokasi upwelling meningkatkan kesuburan perairan sehingga mendukung kelimpahan dan pertumbuhan plankton. Oleh sebab itu, lokasi upwelling merupakan daerah yang ideal bagi ikan-ikan kecil untuk memperoleh pakan, yang kemudian memberikan daya tarik bagi ikan-ikan yang berukuran besar untuk mencari makanan. Proses upwelling ini dapat dideteksi melalui teknologi penginderaan jauh dari perubahan suhu yang muncul di permukaan perairan Thermal front Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin. Front merupakan salah satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan massa air sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1-2 o C, maka daerah dengan massa air yang berbeda ini disebut daerah front (Mann dan Lazier, 1991). Adanya thermal front dapat ditandai dengan adanya pertemuan dua massa air yang bersuhu tinggi dengan massa air yang bersuhu rendah, dimana gradien suhu permukaan laut terlihat jelas (suhu berubah cepat pada jarak yang pendek). Thermal front yang terbentuk mempunyai produktifitas yang tinggi karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga

8 merupakan feeding ground bagi ikan pelagis dan merupakan fising ground bagi para nelayan (Hela dan Laevastu, 1970). Robinson (1991) menyatakan bahwa front penting dalam hal produktifitas perikanan laut jika cenderung membawa bersama-sama air dingin yang kaya akan nutrien. Kombinasi dari temperatur dan peningkatan kandungan zat hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan produktifitas plankton, menyebabkan ikan-ikan kecil akan mencari makan di daerah terjadinya thermal front dan ikan-ikan kecil tersebut akan menjadi makanan dari ikan-ikan besar termasuk ikan pelagis seperti ikan cakalang. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan disekitar perairan tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air yang berbeda karakteristiknya merupakan penghalang bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar. 2.4 Citra Satelit Citra satelit dapat digunakan untuk pengamatan kondisi oseanografi suatu perairan secara multi temporal dan multi spasial di suatu wilayah perairan yang cukup luas dan waktu yang bersamaan. Kondisi oseanografi yang dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain suhu permukaan laut, kandungan klorofil-a dan arus laut. Citra suhu permukaan laut diperoleh dari sensor thermal, kandungan klorofil-a dari sensor optik sedangkan arus dari sensor radar Citra suhu permukaan laut Citra suhu permukaan laut (SPL) dapat dihasilkan dari berbagai sensor thermal yang dibawa oleh berbagai satelit penginderaan jauh seperti NOAA- AVHRR, Landsat dan MODIS. Untuk mendapatkan nilai estimasi SPL dari data NOAA-AVHRR dikembangkan metode multi kanal, dengan menggunakan kombinasi data dari tiga kanal yaitu kanal 3, 4 dan 5 (Triple window) dan metode kombinasi dua kanal yaitu kanal 4 dan 5 (Split window). Metode split window dapat diterapkan untuk estimasi SPL siang dan malam hari sedangkan metode triple window hanya dapat digunakan pada pengamatan malam hari (Robinson, 1991). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Selanjutnya Robinson (1991) mengatakan bahwa pengukuran spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi hanya dapat memberikan

9 informasi suhu pada lapisan permukaan sampai kedalaman 0.1 m. Walaupun demikian, pada sebagian besar permukaan laut kecuali perairan kutub, kedalaman 0-20 m merupakan lapisan tercampur (Mixed layer) dimana suhu cukup homogen. Tabel 1 Karakteristik Spektral NOAA-AVHRR Nomor Band Panjang Gelombang [µm] Deskripsi 1 0,58-0,68 Sinar tampak [merah] 2 0,725-1,10 Inframerah dekat 3 3,55-3,93 Inframerah menengah [hybrida inframerah pantulan dan termal] 4 10,30-11,30 Inframerah termal 5 11,30-12,50 Inframerah termal Sumber : Richards (1993), Kidwell (1995), Howard (1996) dalam Halim (2005). Suhu permukaan laut yang dapat dipantau oleh satelit merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh dominan bagi keberadaan sumberdaya hayati laut. Menurut Widodo (1999), pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Citra suhu permukaan laut dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan Citra kesuburan perairan Sensor ocean color yang dibawa satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang adanya variasi warna perairan (Ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a dalam perairan. Apabila sebaran produktifitas primer dapat diketahui akan menjadi indokator yang lebih tepat untuk penentuan fishing ground (Susilo, 1997). Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran radiansi warna perairan pada spektrum nm dari kanal 2, 3 dan 4 dari sensor SeaWIFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit SeaStar ini maka tingkat kandungan klorofil dari suatu perairan dapat diketahui.

10 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data lapangan berupa hasil tangkapan, posisi penangkapan, upaya penangkapan cakalang dan kondisi daerah penangkapan dilakukan di perairan Mentawai dengan koordinat mulai 98 o o BT dan 00 o o LS (Gambar 2). Pengambilan data in-situ ini dilakukan pada bulan Maret-Mei Selanjutnya data eks-situ berupa citra SPL dan klorofil-a diperoleh dari LAPAN mulai bulan Juni-September PETA KABUPATEN MENTAWAI PROPINSI SUMATERA BARAT N W S E Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Perangkat komputer. 2. Termometer untuk pengukuran suhu air laut di lapangan. 3. Perangkat pengolah data satelit (software) yaitu Er Mapper 6.4 untuk pengolahan citra SPL dan citra SeaWIFT, adobe photoshop untuk mengedit data citra klorofil-a.

11 4. Peta perairan Mentawai, Sumatera Barat skala 1: untuk menentukan lokasi penelitian. 5. Kamera photo untuk dokumentasi penelitian. 6. GPS dan atau peta DPI. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Data hasil tangkapan diperoleh dari kegiatan penangkapan di lapangan bulan Maret sampai Mei Data SPL dari hasil pengukuran citra AVHRR yang bebas awan dari satelit NOAA/AVHRR selama satu tahun yaitu dari bulan Juni 2006 sampai Mei Data tersebut diperoleh dari LAPAN. 3. Data citra klorofil-a hasil pengukuran citra Fengyun yang bebas awan dari satelit Fengyun selama satu tahun yaitu dari bulan Juni 2006 sampai Mei Data tersebut diperoleh dari LAPAN. 3.4 Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai yang meliputi survai data lapangan (in-situ) dan analisis visual citra satelit (eks-situ). Data in-situ berupa data waktu dan lokasi penangkapan serta komposisi hasil tangkapan diperoleh melalui observasi langsung dalam penangkapan ikan dan melalui wawancara dengan nelayan. Data kegiatan penangkapan yang meliputi waktu operasi, posisi DPI, jumlah dan ukuran panjang (size) hasil tangkapan cakalang diperoleh dari pengukuran secara langsung pada saat operasi penangkapan berlangsung. Posisi DPI cakalang ditentukan melalui GPS dan atau peta DPI. Nelayan yang dijadikan responden dipilih secara sengaja dari anak buah kapal sampel dengan pertimbangan bahwa nelayan mampu berkomunikasi untuk memberikan informasi yang dibutuhkan (purposive sampling). Data eks-situ berupa data citra SPL hasil deteksi satelit NOAA/AVHRR diperoleh dari Instalasi Lingkungan dan Cuaca, Lembaga Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur. Data eks-situ berupa data kandungan klorofil-a juga diperoleh dari LAPAN. Data pendukung lain berupa kondisi umum lokasi

12 penangkapan dan data lain yang terkait erat dengan tempat penelitian diperoleh dari PPS Bungus dan instansi terkait serta melalui studi pustaka. 3.5 Analisis Data Citra suhu permukaan laut Citra yang dipilih untuk diolah haruslah citra yang bebas awan dan merupakan data bulanan selama satu tahun yaitu mulai bulan Juni 2006 sampai Mei 2007 dan dikelompokkan berdasarkan musim yaitu musim barat, musim peralihan barat-timur, musim timur dan musim peralihan timur-barat. Data sebaran SPL secara horizontal dihitung menggunakan data citra SPL yang telah dikoreksi baik secara atmosferik maupun geometrik, kemudian dipelajari (diinterpretasikan) berdasarkan karakteristik variasi menurut kenampakannya. Langkah-langkah pengolahan citra SPL menjadi berbentuk kontur suhu adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan citra yang bebas awan 2. Pemotongan citra (cropping) dan penajaman citra Cropping citra adalah suatu pemotongan data dari satu sel data untuk mendapatkan data yang sesuai daerah yang dikehendaki. Cropping data ini dilakukan pada semua data kanal yang akan digunakan dalam proses data citra satelit. Penajaman citra bertujuan untuk menghilangkan gangguan noise (inherent noise) agar tidak terdapat suatu titik gelap (spotting effect) dan untuk mendapatkan gambar yang jelas dan tegas dari fenomena oseanografi yang terlihat pada citra. Penajaman yang digunakan adalah melalui warna dimana setiap kelas nilai digital yang berbeda diberi warna yang berlainan. 3. Penghitungan nilai SPL Penghitungan suhu permukaan laut berdasarkan metode McMillin dan Crosby (1984) yaitu : SPL ( o C) = T 4 + 2,702 (T 4 - T 5 ) 0, ,0 Dimana T 4 (suhu kecerahan kanal 4) dan T 5 (suhu kecerahan kanal 5) yang dinyatakan dalam bentuk energi elektromagnetik yang diterima oleh antena penerima NOAA-AVHRR dalam bentuk paket energi. Formula dasar ini

13 kemudian dimodifikasi dalam bentuk algoritma Er Mapper untuk pemisahan darat, laut dan awan, dimana nilai SPL adalah nilai suhu dominan yakni nilai suhu yang mendominasi cakupan daerah yang dipotong (cropping), dalam hal ini nilai suhu yang frekuensi kemunculannya paling banyak dibanding nilai suhu yang lain pada daerah cropping tersebut. 4. Klasifikasi nilai SPL ; dilakukan dengan membagi antara nilai SPL terendah sampai tertinggi ke dalam interval suhu tertentu. 5. Koreksi geometrik ; koreksi ini bertujuan untuk menyamakan koordinat citra ke dalam sistem koordinat bumi dengan menggunakan peta perairan Sumatera Barat. 6. Pembuatan kontur SPL ; nilai suhu pada kontur SPL dibuat dalam kisaran 0,5 o C untuk masing-masing kelas suhu dan setiap kelas suhu diwakili oleh warna tertentu yang sama dengan warna citra SPL. 7. Penggabungan kontur SPL dengan digitasi daratan ; proses overlay menghasilkan peta distribusi SPL perairan Sumatera Barat, proses ini dilakukan dengan bantuan program Er Mapper Perhitungan SPL rata-rata; rata-rata SPL perairan Mentawai dihitung dari penghitungan rataan nilai SPL dominan setiap citra pada setiap wilayah Citra klorofil-a Citra klorofil-a digunakan untuk mengetahui kesuburan perairan Mentawai. Penghitungan kesuburan perairan didasarkan pada analisis kandungan klorofil-a yang diukur sensor SeaWiFS. Penghitungan konsentrasi klorofil-a didasarkan pada analisis visual dari citra yang ada dengan menggunakan skala batang (scale bar) standar. Citra klorofil-a yang dihasilkan belum tervalidasi untuk perairan Indonesia, sehingga nilai kandungan klorofil-a yang tampak pada citra lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Besarnya konsentrasi klorofil-a dinyatakan dengan mg/m 3 dan direpresentasikan dengan warna, sebagaimana diperlihatkan Gambar 5 berikut : Gambar 3 Scale Bar Konsentrasi Klorofil-a.

14 Penentuan distribusi klorofil-a dengan menggunakan sensor ocean color dilakukan pada daerah visible sinar biru dan sinar hijau. Sinar hijau yang dipantulkan dari permukaan laut (membawa informasi mengenai konsentrasi klorofil) yang dapat dideteksi oleh sensor. Semakin banyak sinar hijau yang diterima sensor, maka semakin banyak pula kandungan klorofil-a tersebut. Untuk mengetahui nilai spektral dari pixel, maka dilakukan perbandingan (rasio) dengan kombinasi kanal 9 dan 12. Kemudian untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dilakukan perhitungan dengan menurunkan algoritma-algoritma yang selanjutnya diterapkan pada persamaan regresi (Susilo, 1997) Pendugaan thermal front Daerah thermal front ditentukan dengan menggunakan kriteria bahwa gradien suhu horizontal antara dua massa air 1-2 o C dengan pola konvergen (Mann&Lazier, 1991). Pengamatan terhadap perubahan suhu pada daerah front ini dilakukan secara visual terhadap pola spasial kontur SPL pada daerah yang berdekatan Pendugaan upwelling Upwelling diidentifikasi melalui analisis visual terhadap sebaran SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR, sebaran klorofil-a dari satelit Fengyun. Fenomena upwelling ini dilengkapi dengan pengkajian terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya Hasil tangkapan Hasil tangkapan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui komposisi jumlah dan ukuran (size) cakalang yang tertangkap pada setiap posisi daerah penangkapan ikan. Hasil olahannya disajikan dalam bentuk grafik. Selanjutnya komposisi jumlah hasil tangkapan dikelompokkan menjadi tiga yaitu sedikit, sedang dan banyak. Frekuensi ukuran panjang cakalang yang tertangkap dikelompokkan menjadi dua yaitu ukuran kecil dan ukuran besar. Ukuran ikan dikelompokkan berdasarkan ikan yang sudah dewasa yaitu mulai ukuran 40 cm (Matsumoto, 1984).

15 3.5.6 Hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan Untuk melihat hubungan antara parameter oseanografi (SPL dan klorofila) dengan hasil tangkapan cakalang, maka dilakukan analisis deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik dan peta tematik melalui overlay data hasil tangkapan terhadap data oseanografi. Dengan demikian, kecenderungan hasil tangkapan dapat ditentukan sesuai dengan profil parameter oseanografi yang dianalisis. Keeratan hubungan antara masing-masing parameter oseanografi dengan hasil tangkapan juga dapat diketahui berdasarkan nilai koefisien korelasi (r). Sedangkan kontribusi masing-masing parameter oseanografi terhadap hasil tangkapan diketahui dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) Prediksi daerah penangkapan ikan potensial Untuk menentukan daerah penangkapan potensial digunakan beberapa indikator yaitu hasil tangkapan (berat), ukuran ikan (cm) dan SPL optimum, keberadaan upwelling dan thermal front. Masing-masing indikator tersebut dievaluasi secara parsial dan diberi nilai (scor). Selanjutnya hasil evaluasi indikator menurut kategori tersebut akan digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial, sedang dan kurang potensial. Jumlah hasil tangkapan cakalang, ukuran panjang cakalang serta profil suhu permukaan laut dan klorofil-a selanjutnya digunakan untuk memprediksi daerah penangkapan potensial. Pada ketiga indikator tersebut diberi nilai bobot dengan teknik scoring dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Jika pada suatu DPI diperoleh hasil tangkapan yang masuk dalam kategori tinggi (> kg/trip) diberi bobot 5, hasil tangkapan sedang ( kg/trip) diberi bobot 3 dan hasil tangkapan rendah ( kg/trip) diberi bobot 1. Pengelompokan nilai ini didasarkan pada penyebaran cakalang selama tiga bulan penangkapan. 2. Jika cakalang yang tertangkap pada suatu DPI masuk dalam kategori ukuran besar ( 40 cm/ekor) diberi bobot 3, sedangkan ukuran kecil (<40 cm/ekor) diberi bobot 1. Pengelompokan ikan ukuran besar/kecil ini mengacu pada pendapat Matsumoto et al (1984).

16 3. Jika SPL didominasi oleh SPL optimum untuk penangkapan, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang baik diberi bobot 3 dan jika tidak didominasi oleh SPL optimum diberi bobot 1. Setelah diperoleh nilai bobot untuk masing-masing indikator pada suatu DPI tertentu, selanjutnya bobot tersebut dijumlahkan. Dalam hal ini, ketiga indikator diasumsikan mempunyai pengaruh yang sama terhadap penilaian DPI. Langkah terakhir dalam penentuan DPI adalah dengan cara mengelompokkan nilai bobot gabungan yang merupakan penjumlahan ketiga indikator menjadi tiga, yaitu : 1. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI potensial. 2. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI sedang. 3. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran terendah, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI kurang potensial. Ketiga nilai bobot gabungan di atas untuk memudahkan dalam memilih atau menentukan daerah yang potensial, sedang dan kurang potensial, seperti disajikan pada Lampiran 3. Untuk lebih jelasnya mengenai penelitian yang dilakukan, maka dapat dilihat pada diagram alir penelitian (Gambar 5).

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT PENDUGAAN FRONT DAN UPWELLING MELALUI INTERPRETASI CITRA SUHU PERMUKAAN LAUT DAN CLOROFIL-A DI PERAIRAN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA Forcasting of front and upwelling by the sea surface temperature and chlorophyl-a

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 7 Peta lokasi penelitian.

3. METODOLOGI. Gambar 7 Peta lokasi penelitian. 23 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pangandaran, Jawa Barat (Gambar 7). Pengumpulan data jumlah hasil tangkapan dan posisi penangkapannya dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam, secara keseluruhan merupakan bagian dari Selat Malaka yang terletak diantara Sabang,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Ocean Color Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia. HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) SADENG YOGYAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MODIS Dewantoro Pamungkas *1, Djumanto 1

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA Astrolabe Sian Prasetya 1, Bangun Muljo Sukojo 2, dan Hepi Hapsari

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama pengumpulan data lapang pada titik-titik lokasi dan hasil tangkapan ikan layang dan tahap kedua pengolahan

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna 24 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna Pendataan produksi tuna di PPN Palabuhanratu pada tahun 1993-2001 mengalami perbedaan dengan data produksi tuna pada tahun 2002-2011. Perbedaan ini

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Lokasi penelitian adalah Perairan Timur Laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Flores, meliputi batas-batas area dengan koordinat 2-9 LS dan 110-126

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Karang Makassar, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang secara geografis terletak di koordinat 8

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 33 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Rangkaian kegiatan dalam penelitian ini terbagi dalam 3 tahapan, yaitu : (1) survei lapangan lokasi penelitian pada bulan September 2011, (2) pengumpulan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi kajian untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dan SPL dari citra satelit terletak di perairan Laut Jawa (Gambar 4). Perairan ini

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di :

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-a DATA SATELIT

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR DETERMINATION OF FISHING AREA OF Euthynnus affinis BASED

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN UTARA INDRAMAYU JAWA BARAT Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan 22 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"

Lebih terperinci

OLEH : SEPTIAN ANDI PRASETYO

OLEH : SEPTIAN ANDI PRASETYO PREDIKSI DAERAH TANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN CITRA NOAA AVHRR DAN PENDISTRIBUSIAN HASIL DENGAN MENGGUNAKAN WEB (STUDI KASUS : PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR DAN BALI) OLEH : SEPTIAN ANDI PRASETYO 3506100015

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA Briliana Hendra P, Bangun Muljo Sukojo, Lalu Muhamad Jaelani Teknik Geomatika-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia Email : gm0704@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama bulan Februari-Mei 2013 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

4 METODOLOGI. Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI

4 METODOLOGI. Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI 48 4 METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2007, dengan fokus daerah penelitian di kawasan laut Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp) 2.1.1 Morfologi Ikan layang atau bahasa latinnya Decapterus spp atau bahasa Inggrisnya scads tergolong ke dalam kelompok ikan-ikan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA NURUL AENI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor 42 Eksplorasi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Jurnal Mangrove dan Pesisir X (1), Februari 2010: 42-49 ISSN: 1411-0679 Eksplorasi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Melalui Analisis Suhu Permukaan Laut dan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Musim Panas Tahun 1999 Pola grafik R rs dari masing-masing lokasi pengambilan data radiansi dan irradiansi pada musim panas 1999 selengkapnya disajikan pada Gambar 7.Grafik

Lebih terperinci