STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN"

Transkripsi

1 STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2011 Trioso Purnawarman NRP. P

3 ABSTRACT TRIOSO PURNAWARMAN. Study of Q Fever in Chicken Eggs in Bogor Area : Veterinary Public Health s Point of View. Under the direction of I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU and AGUS SETIYONO Every year, Indonesia imports cattle and meat from Australia. Australia is the first country in the world where Query fever (Q fever) disease in abattoir workers was discovered and it is still endemic. Q fever is a disease that can be transmitted through food (foodborne disease) and it is categorized as zoonoses emerging infectious disease. This disease is caused by Coxiella burnetii (C. burnetii), which is an obligate intracellular pathogen, pleomorphic, resistant to physic-chemistry conditions and potentially used as biological weapons. Transmission to humans occurs through inhalation of dust particles from feces, urine and wool; direct infection from infected animals or tissues such as the rest of abortion, the placenta and the blood; and through the digestive tract from consuming unpasteurized milk and eggs. C. burnetii was detected serologically and molecularly in Bali cattle, Brahman cross cattle, sheep and goats in the area of Bali and Bogor. Therefore, it is necessary to do a deeper study about its existence on chicken and eggs in Indonesia. This is important because the research results in Japan, Korea and the Philippines in showed that 4.2% eggs were positive DNA C. burnetii. This research was aimed (1) to know the existence of the DNA of C. burnetii in eggs, (2) to know the relationship between the presence of C. burnetii with the characteristics of the farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity), and (3) to determine the sensitivity and specificity of the nested polymerase chain reaction (nested PCR) method compared with PCR to detect the DNA of C. burnetii. Qiao modified method for extracting DNA of C. burnetii in egg yolk is capable to produce a high concentration and high level of DNA purity. Assessment of C. burneti DNA detection in 222 in commercial chicken eggs taken from sector 2 chicken farm and 130 local chicken eggs from sector 4 farm in Bogor area was done. The results shows that there wasn t any C. burnetii DNA in 352 eggs sample which were tested with nested PCR method. It hadn t been known the relation between farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity) and the existence of the DNA of C. burnetii. The sensitivity of nested PCR method to detect the DNA of C. burnetii reached the limit of detection up to 300 pg or it is 50 times more sensitive than PCR. In addition, PCR and nested PCR has high specificity (conserved) to detect C. burnetii. Two pairs of primers OMP1-OMP2 and OMP3-OMP4 are highly sensitive and specific of 21 strains C. burnetii and have been used as diagnostic method for Q fever disease in humans. The results of this study can be used as initial information about the presence of C. burnetii in eggs in Bogor area. In order to determine the infection of C. burnetii in chicken farms, it is necessary to conduct further research, both serological and molecular, in egg-producing regions throughout Indonesia. Further research should be conducted in other poultry eggs such as quail and duck eggs. Besides that, it is necessary to do C. burnetii surveillance in imported cows from Australia so that a guidance control system to face the entry of exotic zoonoses into Indonesia can be compiled.. Key words: Coxiella burnetii, Chicken eggs, sensitivity and specificity, nested polymerase chain reaction.

4 RINGKASAN TRIOSO PURNAWARMAN. Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan AGUS SETIYONO Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi dan daging dari Australia. Australia merupakan negara pertama ditemukannya penyakit Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan dan sampai sekarang masih bersifat endemik. Q fever merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) dan dikategorikan sebagai emerging infectious disesase yang bersifat zoonosis. Penyakit ini disebabkan oleh Coxiella burnetii (C. burnetii) yang bersifat obligat patogen intraseluler, pleomorfik, tahan terhadap kondisi psikokimia dan berpotensi digunakan sebagai senjata biologis. Penularan ke manusia terjadi melalui inhalasi partikel debu yang berasal dari feses, urin dan wol yang terinfeksi; kontak langsung dari hewan atau jaringan terinfeksi seperti sisa abortus, plasenta dan darah serta melalui saluran pencernaan karena mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi. Orang yang terinfeksi penyakit Q fever akan memperlihatkan gejala klinis seperti flu (flu like syndrome), pneumonia dan hepatitis. Apabila tidak segera diobati dengan baik sekitar 2-10% akan menjadi endokarditis. Kematian pada kasus kronis dapat mencapai 25-65%, sehingga dari kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapatkan perhatian yang serius. C. burnetii sudah terdeteksi secara serologis dan molekuler pada sapi bali, sapi brahman cross, domba dan kambing di wilayah Bali dan Bogor, maka perlu dilakukan studi lebih mendalam tentang keberadaannya pada ayam dan telur di Indonesia. Hal ini penting karena dari hasil penelitian di Jepang, Korea dan Pilipina pada tahun menunjukkan 4.2% positif DNA C. burnetii pada telur. Di Indonesia, telur merupakan sumber protein hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, harganya terjangkau dan gemar dikonsumsi dalam keadaan mentah atau setengah matang. Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Modifikasi metode Qiao untuk mengekstraksi DNA C. burnetii pada kuning telur mampu menghasilkan konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. Kajian dilakukan untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada 222 butir telur ayam ras yang diambil dari peternakan ayam sektor 2 dan 130 butir telur ayam lokal dari peternakan sektor 4 di wilayah Bogor. Hasil deteksi menunjukkan tidak ditemukan DNA C. burnetii pada 352 sampel telur yang diuji dengan metode nested PCR dan belum dapat diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii. Sensitivitas metode nested PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii mencapai limit deteksi hingga 300 pg atau 50 kali lebih sensitif dibandingkan PCR. Selain itu PCR dan nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi C. burnetii. Dua pasang primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode diagnosa untuk penyakit Q fever pada manusia. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal tentang keberadaan C. burnetii pada telur di wilayah Bogor. Untuk mengetahui adanya infeksi C. burnetii di peternakan ayam, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut baik secara serologis

5 maupun molekuler di wilayah-wilayah penghasil telur di seluruh Indonesia dan juga mendeteksi pada telur unggas lainnya seperti telur burung puyuh dan bebek. Disamping itu perlu dilakukan surveilans C. burnetii terhadap sapi-sapi impor asal Australia sehingga dapat disusun pedoman sistim pengendalian menghadapi masuknya penyakit zoonosa baru ke Indonesia. Kata kunci: Coxiella burnetii, telur ayam, sensitivitas dan spesifisitas, nested polymerase chain reaction.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Penguji luar komisi pada ujian terbuka : Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si drh. Pudjiatmoko, Ph.D Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto

9 Judul Disertasi Nama NRP : Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner : Trioso Purnawarman : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Ketua Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu Anggota drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. drh. Bambang Pontjo P., MS, Ph.D Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Tanggal Ujian : 16 Maret 2011 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia dan hidayahnya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mikroorganisma patogen pada pangan asal hewan, khususnya telur yang dapat mempengaruhi keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dengan topik Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor yang belum pernah diteliti di Indonesia. Coxiella burnetii (C. burnetii) sebagai penyebab Q fever merupakan salah satu potensi ancaman besar bagi kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberi perhatian, semangat serta dorongan kepada penulis. Kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto yang telah membantu memberikan DNA C. burnetii Nine Mile 2 ATCC (NM2) dan masukan perbaikan metode ekstraksi dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Muharam Saepulloh yang telah membantu penelitian dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si yang memberikan jurnal-jurnal untuk melengkapi disertasi ini. Kepada Prof. drh. Bambang Pontjo P. MS, Ph.D selaku ketua program studi Sains Veteriner FKH IPB, Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup serta drh. Pudjiatmoko, Ph.D dan Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada para kolega staf pengajar dan laboran di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB; staf dan laboran di Laboratorium Terpadu FKH IPB; staf dan laboran di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB; staf dan laboran di Balai Besar Penelitian Veteriner serta para peternak ayam di wilayah Bogor yang telah membantu penelitian ini. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan pula kepada kedua orang tua, mertua, drh. Rosy Roselina, Roby Raditia Aryoputranto dan Renardi Purnama Putra, atas perhatian, nasehat serta doanya selama ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Bogor, April 2011 Trioso Purnawarman

11 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara putra Bapak Bambang Soeletter dan Ibu Sri Hartini serta dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 5 Oktober Pendidikan dasar sampai menengah atas dijalani di Sekolah Dasar di Palembang Sumatera Selatan tahun , Sekolah Menengah Pertama Perguruan Cikini Jakarta tahun dan Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Jakarta tahun Penulis menyelesaikan studi dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun Pada tahun penulis bekerja pada perusahan perunggasan nasional di sektor pembibitan ayam sebagai manajer produksi. Sejak tahun 1988 diangkat sebagai staf pengajar di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB. Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Sains (Strata 2) di program pascasarjana IPB bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) pada tahun Sejak tahun 2000 melanjutkan pendidikan program Doktor (Strata 3) di Sekolah Pascasarjana IPB bidang Sains Veteriner (SVT). Penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi selama menjadi siswa di sekolah menengah sampai mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dokter hewan bergabung pada Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia dan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Pada tahun menjadi Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Forkom Kesmavet) dan tahun menjadi koordinator komisi sanitasi lingkungan, Asosiasi Kesehatan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti). Pada tahun 2006 sampai sekarang sebagai anggota panitia teknis bidang peternakan dan produk peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia serta pada tahun 2010 sampai sekarang sebagai koordinator bidang organisasi Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI). Beberapa tulisan yang telah dan akan diterbitkan pada beberapa jurnal nasional antara lain tingkat kejadian residu formalin pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor pada Jurnal Medis Veteriner Indonesia serta sensitivitas dan spesifisitas nested polymerase chain reaction untuk mendeteksi DNA Coxiella burnetii pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.. Halaman PENDAHULUAN. 1 TINJAUAN PUSTAKA Q Fever.... Morfologi dan Karakteristik Coxiella burnetii.... Diagnosa Penyakit Q Fever... Q Fever pada Hewan.... Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit... Patogenesis Q Fever... Gejala Klinis.. Q Fever pada Manusia. Epidemiologi dan Distribusi Penyakit Q Fever Sebagai Food-borne Disease. Gejala Klinis.. Pengendalian.... Q Fever di Indonesia... BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Tahapan Penelitian... xiv xv xvi DETEKSI Coxiella burnetii PADA TELUR AYAM RAS DAN LOKAL DI WILAYAH BOGOR DENGAN METODE NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION Abstrak Abstract... Pendahuluan.. Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran. SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK MENDETEKSI DNA Coxiella burnetii Abstrak Abstract... Pendahuluan.. Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan. PEMBAHASAN UMUM

13 Halaman KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.. Saran.... DAFTAR PUSTAKA.... LAMPIRAN

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan Pengobatan Q fever pada manusia Kriteria peternakan ayam Gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan ayam sektor 2 dan sektor Perbandingan sensitivitas PCR dan nested PCR dalam mendeteksi DNA C. burnetii dengan konsentrasi 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl.. 40

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rrna. 5 2 C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran kali Antigen fase I dan fase II C. burnetii Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis Sensitivitas PCR dan nested PCR menggunakan konsentrasi DNA C. burnetii 75 ng/ µl sampai dengan 0.03 pg/µl Uji spesifisitas C. burnetii dengan metode PCR dan nested PCR

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Asal sampel telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor Asal sampel telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan kota Bogor Hasil uji nested PCR telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor 60 4 Hasil uji nested PCR telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan kota Bogor Kuesioner untuk peternak 62 6 Pengelompokan dan pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan Skoring (penilaian) faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan Perbandingan metode Qiao dengan modifikasi metode Qiao 67

17 PENDAHULUAN Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini semakin baik, sehingga permintaan terhadap bahan pangan asal hewan yang aman (safe) dan layak (suitable) juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan permintaan daging sapi empat tahun terakhir meningkat sebesar 10.7%, yaitu dari ribu ton pada tahun 2006 menjadi pada tahun Untuk memenuhi permintaan tersebut, maka impor sapi bakalan meningkat 24.1% dari ekor pada tahun 2006 menjadi ekor pada tahun Data menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sapi rata-rata ekor per tahun yang sebagian besar berasal dari Australia (Apfindo 2010). Perkembangan permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan selama empat tahun terakhir disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan (Apfindo 2010) Uraian Tahun Permintaan daging (ton) Penyediaan daging dalam negeri (ton) Selisih permintaan - penyediaan - Dalam (ton) - Dalam (ekor) Impor bakalan (ekor) Australia merupakan negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha dan Szyfres 2003). Sapi bakalan yang di impor dalam jumlah yang banyak, akan menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia ke Indonesia. Q fever merupakan penyakit yang sangat kontagius, berhubungan dengan pekerjaan (occupational disease) dan merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) serta dapat dikategorikan sebagai emerging infectious disease/eid yang bersifat zoonosis (CFSPH 2007; Muramatsu et al. 2006; Vaidya 2008). Di Australia sejak tahun

18 Q fever termasuk kategori penyakit yang harus dilaporkan (notifiable disease), sedangkan di Amerika Serikat baru di mulai tahun 1999 (CFSPH 2007). Penyakit ini dapat pada manusia ditularkan melalui inhalasi partikel debu (feses, urin, wol), kontak langsung (plasenta, sisa obortus), makanan (susu, telur) dan air yang terkontaminasi 1-10 organisme (ID 50, yaitu apabila orang terinfeksi 1-10 mikroorganisme Coxiella burnetii, maka 50% dari orang tersebut akan menunjukkan gejala penyakit) (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003). Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi C. burnetii menggunakan metode cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian berikutnya dilakukan Rumawas (1976) menunjukkan bahwa dari 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang ditemukan 4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT. Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian penyakit Q fever pada pekerja di Indonesia secara seroepidemilogi. Hasil penelitian yang dilakukan Ibrahim et al. (1999) memperoleh % positif antibodi terhadap spotted fever, 38% positif murine typhus, tetapi tidak menemukan Q fever pada serum tikus liar menggunakan metode indirect immunoflourescent antibody (IFA) di Jakarta dan Boyolali. Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan masing-masing sebesar 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor sapi bali dan brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii serta pada 165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA C. burnetii di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006). Penyakit Q fever pada sapi, kambing dan domba sudah ditemukan di Indonesia, maka kemungkinan penyebaran penyakit ini pada hewan lainnya termasuk unggas, dapat terjadi. Penularan dari hewan ke hewan, baik antara hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya dapat melalui gigitan caplak (Ixodidae spp., Argasidae spp.) dan lalat

19 3 (Stomoxis sp., Musca sp.) yang bertindak sebagai vektor (Acha dan Szyfres 2003; Maurin dan Raoult 1999; Norlander 2000; Sonenshine et al. 2002). Penyebaran penyakit Q fever dipermudah akibat penataan wilayah subsektor peternakan di Indonesia yang masih belum tertata dengan baik. Di beberapa wilayah di Indonesia, lokasi peternakan sapi, domba dan kambing berdekatan dengan peternakan unggas, sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit Q fever melalui kontak langsung, aerosol, maupun melalui vektor. Penataan peternakan dalam satu wilayah harus tetap memperhatikan sistem pemisahan (zoning) dan jarak antara satu peternakan dengan peternakan lainnya untuk setiap jenis ternak. Studi seroepidemiologi Q fever menggunakan metode CAT terhadap 25 peternakan ayam di distrik Nainital dan Ajmer, di negara bagian Uttar Pradesh dan Rajasthan, India, ditemukan 78 sampel (13.24%) positif antibodi Q fever dengan titer 8 sampai 64. Ayam petelur atau layer (umur lebih dari 6 bulan) lebih tinggi persentase positifnya dibandingkan dengan ayam grower, yaitu 19.74% : 5.55%. Selain itu dilaporkan bahwa pada pekerja peternakan ayam tersebut ditemukan positif antibodi Q fever sebesar 27.52% dengan metode CAT (Rarotra et al. 1978). Hasil penelitian To et al. (1998) menemukan 2% positif titer antibodi C. burnetii menggunakan metode CAT dan 1.1% positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR pada ayam di wilayah Fukuoka Jepang. Penelitian yang sama juga dilakukan pada peternakan ayam di Jepang bagian tengah (Aichi, Shizuoka, Mie dan Gifu), didapatkan 7% positif antibodi IgG terhadap C. burnetii, dengan titer berkisar antara 16 sampai dengan 64 dengan metode IFA, tetapi dengan metode nested PCR tidak ditemukan DNA C. burnetii (Muramatsu et al. 2006). Hasil penelitian pada telur ayam yang dilakukan di Jepang, Korea dan Filipina menunjukkan bahwa dari bulan Juli 2003 sampai dengan Juni 2004 didapatkan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta pada mayones yang dilakukan di Jepang dan Kanada dari bulan Maret 2003 sampai dengan Juni 2004 diperoleh 35 sampel (17.5%) positif DNA C. burnetii dari 200 sampel menggunakan metode nested PCR (Tatsumi et al. 2006). Hasil studi di Swiss menunjukkan 17 sampel (4.7%) positif DNA C. burnetii dari 359 sampel susu sapi, tetapi tidak ditemukan DNA C. burnetii pada 81 sampel susu domba, 39 sampel susu kambing dan 504 sampel telur ayam yang diperiksa menggunakan metode nested PCR (Fretz et al. 2007).

20 4 Data tersebut diatas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang keberadaan penyakit Q fever di Indonesia, terutama pada ayam dan bahan pangan asal unggas, khususnya telur. Hal ini penting dilakukan karena sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang gemar mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang, karena disebabkan masih adanya kepercayaan bahwa khasiatnya lebih baik bila dimakan dalam keadaan mentah sebagai pelengkap jamu. Pelacakan keberadaan DNA C. burnetii pada telur sudah sangat mendesak untuk dilakukan, karena sampai saat ini belum ada studi atau kajian tentang ada tidaknya mikroorganisme C. burnetii dalam telur, sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Hipotesis penelitian ini adalah (1) DNA C. burnetii dapat ditemukan pada telur, (2) terdapat hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) metode nested PCR merupakan metode deteksi yang sensitif dan spesifik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan informasi tentang keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) dapat ditetapkan metode uji yang sensitif dan spesifik terhadap C. burnetii sebagai agen penyebab Q fever, serta (3) dapat digunakan pemerintah sebagai signal awal sistem kewaspadaan dini (SKD), sehingga dapat disusun pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di Indonesia.

21 TINJAUAN PUSTAKA Q Fever Morfologi dan KarakterIstik Coxiella burnetii Nama Query fever (Q fever) pertama kali diusulkan tahun 1937 oleh Edward Holbrook Derrick, setelah adanya gejala demam yang diderita pekerja rumah potong hewan (RPH) di Brisbane Queensland Australia pada tahun Pada tahun 1938 Herald Rea Cox dan MacFarlane Burnett menemukan penyebabnya, yaitu Rickettsia burnetii (R. burnetii). Berdasarkan analisa sekuen 16S rrna R. burnetii yang dilakukan Maurin dan Raoult (1999), secara filogenik dekat dengan Francisella tularensis, Legionella pneumophila, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma, sedangkan yang lain subdivisi alpha (Rickettsia rickettsii, Erlichia cheffeensis, Bortonella henseloe, Brucella abortus, Afipia felis), subdivisi beta (Alcaligenes faecalis), subdivisi delta (Campylobacter jejuni) dan subdivisi epsilon (Helicobacter pylori). Tetapi karena mempunyai perbedaan diantara kelompok sub divisi gamma, maka Cornelius B. Philip mengusulkan genus tersendiri menjadi Coxiella burnetii (C. burnetii) yang merupakan penghargaan terhadap Herald Rea Cox dan MacFarlane Burnett seperti pada Gambar 1 (Singleton dan Sainsbury 2006). Francisella tularensis Coxiella burnetii Legionella pneumophila gamma Escherichia coli Pseudomonas aeruginosa Rickettsia rickettsii Erlichia cheffeensis Proteobacteria Bortonella henseloe alpha Brucella abortus Afipia felis Alcaligenes faecalis beta Campylobacter jejuni delta Helicobacter pylori epsilon Gambar 1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rrna (Maurin dan Raoult 1999; Singleton dan Sainsbury 2006).

22 6 C. burnetii bersifat obligat patogen intraseluler, termasuk bacterial like organism, memiliki membran seperti bakteri Gram negatif, namun sulit diamati dengan pewarnaan Gram. Pewarnaan yang bisa digunakan adalah Gimenez dan Stamp (Maurin dan Raoult 1999; Willems et al. 1998; Zhang et al. 2004). C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), berukuran lebar µm dan panjang µm, struktur menyerupai spora (spora like), mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998; Heinzen et al. 1999; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii dapat bereplikasi menjadi dua kali setiap jam di dalam vakuola parasitoforus sel eukariot inang (Angelakis dan Raoult 2010). k b b k Gambar 2 C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran kali, bentuk kecil (k); bentuk besar (b) ( Fournier et al. 1998). Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat di ekstraseluler dan diduga sebagai bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yakni antigen fase I dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua bentuk fase antigen ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan pada fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al. 1998).

23 7 a b Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998). Coleman et al. (2004) menyatakan bahwa susunan LPS pada mikroorganisme C. burnetii fase I dan fase II berbeda. Berdasarkan analisa electrospray ionization mass spectrometry menunjukkan bahwa pada fase I dan fase II terdapat lipid A yang sama. Lipid A tersebut tidak dapat mengaktifkan toll like receptor 2 (TLR-2) dan TLR-4. Hal ini berbeda dengan lipid A yang berasal dari E. coli yang mampu mengikat TLR-4, sehingga bila ada C. burnetii maka TLR-2 dapat sebagai penentu adanya infeksi dan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut di dalam sel inang. Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronik, antibodi terhadap antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000). Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa sekuen gen AdaA pada protein membran luar merupakan penanda untuk C. burnetii pada kasus akut serta berhubungan dengan faktor patogenitasnya. Menurut CDC (2005) bahwa pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan meningkatnya antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I. Berdasarkan hasil analisa restriction fragment length polymorphism (RFLP) C. burnetii dapat dibagi menjadi 6 grup. Grup I, II, III dihubungkan dengan keganasan pada hewan, caplak atau isolat yang berasal dari manusia yang terinfeksi ke dalam kelompok tipe akut, sedangkan grup IV dan V selalu dikaitkan dengan endokarditis pada manusia yang dikelompokkan dalam tipe kronis. Grup VI merupakan isolat yang diperoleh dari rodensia yang belum diketahui patogenisitasnya (Colemen et al. 2004). Pada hewan percobaan marmot, infeksi grup I (Nine Mile, African dan Ohio) akan menunjukkan gejala akut yang jelas, grup V (G dan S) menunjukkan gejala ringan sampai

24 8 sedang, serta grup IV (Priscilla dan P) dan V (Dugway) tidak memperlihatkan gejala sama sekali. Pada tikus infeksi grup I, IV, V dan VI semua menunjukkan gejala klinis yang jelas (Russell-Lodrigue et al. 2009). Mikroorganisme C. burnetii mempunyai beberapa plasmid, yaitu QpH1, QpRS, QpDG dan QpDV (Maurin dan Raoult 1999). Plasmid QpH1 ditemukan pada grup I, II dan III; plasmid QpRS pada grup IV dan V, plasmid QpDG pada grup VI; serta plasmid QpDV pada strain French (Fournier et al. 1998). Hasil analisa genom C. burnetii Nine Mile fase 1 yang sebesar pb, terdapat beberapa gen yang berpotensi dalam proses adesi dan invasi ke dalam sel inang dan juga mempunyai kemampuan detoksikasi. Ukuran genom dari beberapa strain C. burnetii bervariasi antara Mb (Maurin dan Raoult 1999). Agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi disinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid (CFSPH 2007). Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage pada suhu -20 ºC, 42 bulan pada susu segar yang disimpan pada suhu 4-6 ºC dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). Oleh karena itu C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi digunakan sebagai ancaman teroris (bioterrorisme) (CDC 2005; Kagawa et al. 2003; Madariaga et al. 2003). Diagnosa Penyakit Q fever Diagnosa yang akurat terhadap penyakit Q fever pada hewan dan manusia masih sulit dilakukan karena infeksi agen penyebab penyakit ini umumnya bersifat subklinis serta memilki dua fase antigen yang sangat penting dalam peneguhan diagnosa. C. burnetii merupakan bakteri intraseluler yang pada fase akut dapat ditemukan di dalam darah dan pada fase kronis terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat dalam organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Lorenz et al. 1998). Dalam fase akut antibodi terhadap antigen fase II lebih tinggi dibandingkan dengan fase I dan umumnya dapat terdeteksi selama minggu kedua sejak terinfeksi, sedangkan pada fase kronis antibodi terhadap antigen fase I bertahan lebih lama (Setiyono et al. 2005). Metode diagnosa yang tepat harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain sensitivitas, spesifisitas, jumlah sampel yang akan diuji, biaya yang diperlukan dan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan uji. Sensitivitas berkaitan dengan kemampuan

25 9 untuk mendeteksi antigen dalam jumlah sedikit atau respon imun yang kecil, sedangkan spesifisitas pengujian berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antigen atau respon imun antigen yang sangat erat hubungannya (Fournier et al. 1998). Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever disuatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005). Penggunaan teknik CAT pernah dilakukan di Indonesia terhadap 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan ditemukan 4 sampel (1.2%) positif Q fever (Rumawas 1976). Adesiyun dan Cazabon (1996) mendapatkan 36 sampel (4.8%) positif C. burnetii dari serum darah ayam, sapi, babi, kerbau, domba dan kambing di beberapa rumah potong di Trinidad. Sementara itu hasil penelitian Richards et al. (2003) mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia dengan metode ELISA terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya. Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah banyak, waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitasnya rendah. Adapun kekurangan dari teknik ELISA diantaranya sering menimbulkan reaksi positif palsu. Hal ini disebabkan karena antigen standar yang digunakan umumnya dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan antibodi dalam serum berikatan dengan epitop-epitop lain yang ada dipermukaan sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005). Field et al. (2000) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa Q fever yaitu teknik ELISA dengan IFA. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa teknik ELISA memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 88%, sedangkan menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Penelitian yang sama juga dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 93.8% dan 83.3%. Teknik ELISA baik digunakan untuk tes skrining dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifisitasnya dapat ditingkatkan dengan mengkombinasi dengan IFA. Hasil penelitian yang dilakukan Kennerman et al. (2010) menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok) yang berumur antara bulan di Turki sejak tahun dengan menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx

26 10 Laboratories, Broomfield, CO, USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta 7.9% seropositif pada sapi (dari 571 ekor) di Albania. Metode IFA merupakan metode yang direkomendasikan oleh banyak peneliti untuk mendapatkan gambaran seroprevalensi Q fever secara cepat dan luas. Hal ini didasarkan keunggulan metode IFA antara lain cepat, sensitif, relatif murah serta tidak ditemukan adanya reaksi silang dengan infeksi penyakit lain dan dapat dilakukan untuk jumlah sampel yang banyak. Metode IFA digunakan untuk mendiagnosa Q fever fase akut maupun kronis pada manusia berdasarkan titer immunoglobulin M (IgM), A (IgA) dan G (IgG) yang spesifik terhadap C. burnetii fase I dan II (Fournier et al. 1998; Setiyono et al. 2005). IgM akan berespon awal setelah C. burnetii masuk kedalam tubuh, kemudian setelah dua minggu baru terbentuk IgG dan secara bertahap akan meningkat titernya di dalam darah sampai beberapa bulan dan setelah itu akan menurun (To et al. 1996). Polymerase chain reaction (PCR) merupakan teknik diagnosa yang paling sensitif dan spesifik saat ini. Nested PCR adalah salah satu aplikasi teknik PCR yang banyak digunakan untuk mendeteksi C. burnetii, walaupun masih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya perlu ketelitian yang tinggi dalam pengerjaannya, memerlukan primer yang spesifik dan biayanya relatif mahal (Kato et al. 1998; Zhang et al. 1998). Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji serologis (ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif dengan ELISA, 32% positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Dari 7 ekor domba yang seronegatif, dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa PCR mempunyai sensitivitas lebih tinggi dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001). Perbandingan uji serologis dan molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut menunjukkan bahwa apabila serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah infeksi dapat didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ke tiga sampai ke empat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya untuk mengkonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003). Penegakan diagnosa menggunakan satu uji serologis tidak cukup, diperlukan konfirmasi dengan uji yang memiliki tingkat spesifisitas tinggi. Untuk itu maka hasil positif ELISA dan IFA sebaiknya dikonfirmasi dengan metode PCR (Setiyono et al. 2008).

27 11 Q Fever pada Hewan Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati, kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Maurin dan Raoult 1999; Muskens et al. 2007; Parker et al. 2006). Burung dan rodensia merupakan pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing dan domba merupakan reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan Vellema 2009). Di beberapa negara, anjing dan kucing juga merupakan sumber utama penularan, hal ini sesuai dengan uji serologis yang mendapatkan seropositif pada anjing dan kucing berkisar antara 15-20% (Buhariwalla et al. 1996; Marrie 2000). Kontaminasi C. burnetii di lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan, terutama melalui cairan kelahiran, plasenta, feses dan urin secara terus menerus. Kontaminasi tersebut bisa berlangsung beberapa bulan dan dilaporkan pada kambing lebih lama dibandingkan domba, yaitu selama dua kali masa kebuntingan, oleh karena itu kambing sering menjadi sumber infeksi ke manusia (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Hatchette et al. 2003). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi Q fever bersifat laten (Kloppert et al. 2004). C. burnetii dilaporkan telah ditemukan pada 40 spesies caplak di dunia, sehingga caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar ke hewan pelihara dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang terinhalasi. Disamping itu penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak seksual karena agen penyebab ditemukan pada semen sapi pejantan (Marrie 2000; Maurin dan Raoult 1999). Sethi et al. (1978) melakukan penelitian pada ayam petelur leghorn putih umur 6 bulan, dengan menginfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung C. burnetii strain Nine Mile melalui oral dan intra peritoneal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan titer antibodi dengan metode CAT mulai meningkat (1:512) pada 13 hari setelah infeksi dan tertinggi (1:1024) pada 30 hari setelah infeksi, kemudian menurun (<1:8) setelah 90 hari infeksi. Ayam-ayam petelur leghorn putih yang terinfeksi C. burnetii tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sampai dengan 90 hari. Pada 90 hari setelah infeksi, C. burnetii tidak ditemukan pada limpa dan hati, tetapi masih dapat diidentifikasi pada ginjal dan ovari.

28 12 Patogenesis Q fever C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang yaitu lisosom yang bersifat asam. Pada manusia dan hewan target sel utama dari C. burnetii pada monosit atau sel makrofrag. Jika infeksi terjadi melalui pernafasan maka makrofag alveolar berperan aktif terhadap terjadinya infeksi akut, sedangkan bila melalui pencernaan, maka sel kupffer dalam hati yang berperan terhadap infeksi C. burnetii. Bakteri intraseluler umumnya menggunakan reseptor spesifik pada sel eukariotik seperti integrin untuk dapat menginvasi sel inang, khusus C. burnetii menggunakan reseptor CR-3. Secara alami C. burnetii fase I mempunyai kemampuan yang lemah untuk menempel pada sel inang melalui monosit ataupun sel makrofag, tetapi mempunyai kemampuan untuk hidup dan bertahan yang kuat bila sudah menembus dan masuk ke dalam sel-sel tersebut. Hal ini disebabkan C. burnetii fase I menghambat reseptor CR-3 dan kemudian mengikat monosit melalui kompleks leucocyte response integrin (LRI) dan integrin associated protein (IAP). Sebaliknya fase II lebih mudah masuk ke dalam monosit atau sel makrofag tetapi secara cepat akan dibunuh melalui phagolisosomal pathway (Baca dan Paretsky 1983). C. burnetii yang masuk ke dalam sel inang secara difusi pasif, akan terperangkap dalam fagosom yang secara cepat akan berdifusi membentuk fagolisosom. Fagolisosom akan membentuk vakuola besar yang dinamakan vakuola lisosomal sebagai tempat persembunyian C. burnetii. C burnetii dapat beradaptasi dalam fagolisosom dan berkembang baik dalam vakuola parasitoporus yang mempunyai ph (Baca dan Paretsky 1983). Asam yang terdapat didalam fagolisosom akan mengaktifkan enzim, sehingga sel C. burnetii akan berkembangbiak menjadi bentuk besar (large form/large cell variant) yang resisten setiap 8-12 jam (Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii merupakan bakteri asidofilik yang metabolismenya menjadi aktif bila suasana lingkungannya asam atau dengan adanya perubahan ph menjadi asam. Perkembangan C. burnetii dapat dihambat dengan cara meningkatkan ph menjadi basa dengan menambahkan chloroquin. Suasana asam diperlukan oleh C. burnetii dalam mendapatkan nutrisi untuk proses metabolisme seperti pembentukan asam nukleat dan asam amino (Maurin dan Raoult 1999). Gejala Klinis Manifestasi penyakit Q fever pada hewan umumnya tidak menunjukkan gejala klinis atau bersifat asymptomatis. Pada infeksi akut mikroorganisme C. burnetii dapat

29 13 ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah, sedangkan infeksi kronis tidak menunjukkan gejala sama sekali (Maurin dan Raoult 1999). Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rinitis, frekuensi pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, plasentitis, endometritis, tidak fertil dan beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005). Pada sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan Vellema 2009). Di daerah endemik seperti California USA, kejadian abortus pada domba mencapai 18-55% dan sapi 82%, sedangkan di Kanada 0-35% pada domba dan 33-82% pada sapi (CFSPH 2007). Beberapa peneliti mengatakan bahwa abortus pada domba dan kambing terjadi pada akhir kebuntingan (Van den Brom dan Vellema 2009). Q Fever pada Manusia Epidemiologi dan Distribusi Penyakit Infeksi Q fever pada manusia seringkali berhubungan dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak, pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan; pekerja di peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di kebun binatang (Norlander 2000; Van den Brom dan Vellema 2009). Penularan antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual. Selain itu dilaporkan bisa tertular selama menangani keguguran dan outopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Norlander (2000) melaporkan bahwa insidensi penyakit Q fever di Asia sudah banyak diketahui, yaitu Thailand, Jepang dan Cina. Di Thailand tahun 2003 dilaporkan mencapai 1.3% kasus pada manusia (umur tahun, atau rata-rata 42 tahun). Di Amerika Serikat rata-rata 58.4 kasus per tahun dan 67% kasus di California (CFSPH 2007). Menurut NNDSS (2003) antara tahun di Australia terjadi 6597 kasus atau rata-rata 650 kasus per tahun pada manusia. Di Australia selatan pada tahun 1990 hingga Agustus 2001 dilaporkan terdapat 177 kasus Q fever, yaitu 155 (87.6%) kasus terjadi pada laki-laki dan 147 (83.1%) kasus terjadi pada usia produktif (20-49 tahun). Dari kasus ini, 90 kasus (50.8%) terjadi pada pekerja di pabrik pengolahan daging, diikuti oleh 57 kasus (32.2%) pada pekerja yang kontak dengan hewan. Tercatat 17 kasus (9.6%) terjadi pada pedagang daging dan 13 kasus (7.3%) terjadi pada orang yang

30 14 berinteraksi dengan pabrik pengolahan daging (pengunjung, penghubung). Sampai saat ini kasus pada anak-anak belum pernah dilaporkan (CDC 2001). Laporan lain menyatakan rasio tertular laki-laki:perempuan adalah 75%:25% dan umumnya penderita berusia lebih dari 40 tahun (Maurin dan Raoult 1999). Hasil penelitian Ergas et al. (2006) menyatakan bahwa penyakit Q fever bentuk akut umumnya terjadi pada musim panas pada penderita yang rata-rata berusia 42.7±17.3 tahun dengan perbandingan rasio lakilaki:perempuan adalah 1.6:1. Pada bulan Mei 2007 terjadi 182 kasus kejadian pneumonia yang disebabkan infeksi C. burnetii di Belanda dan kemudian pada tahun 2008 terdapat 1000 kasus pada manusia dengan gejala seperti demam, lelah, lemah dan berkeringat pada malam hari. Hasil pemeriksaan lebih lanjut ditemukan 65% menderita pneumonia. Infeksi C. burnetii pada manusia tahun 2007 dan 2008 di Belanda dilaporkan disebabkan karena adanya kasus abortus pada peternakan kambing perah. Adanya kejadian infeksi C. burnetii tersebut, maka sejak tahun 2008 penyakit Q fever pada ruminansia kecil di Belanda wajib dilaporkan (notifiable disease) (Delsing dan Kullberg 2008; Schimmer et al. 2008). Menurut Rarotra et al. (1978) kasus Q fever juga ditemukan 27.52% positif antibodi C. burnetii pada pekerja peternakan ayam di India, dan sebanyak 6.38% memperlihatkan gejala demam. Pada peternakan ayam tersebut secara serologi juga ditemukan antibodi terhadap C. burnetii. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja peternakan ayam beresiko tinggi terhadap infeksi Q fever. Penelitian yang dilakukan di Australia menyebutkan bahwa 30% mereka yang bekerja di peternakan dan RPH berisiko terserang Q fever. Hal yang sama ditemukan pada 58 orang pekerja pada tiga peternakan domba di Italia yang mempunyai seroprevalensi 45-53% positif antibodi C. burnetii (Marrie 2003). Tiga orang wisatawan Jepang yang berasal dari wilayah Hyogo, Tottori dan Aichi merasakan demam, badan pegal dan ngilu pada persendian setelah melakukan perjalanan inspeksi ke peternakan sapi dan RPH di Australia dan New Zealand selama 11 hari pada bulan September Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya gangguan fungsi hati dan trombositonemia, sedangkan dari pemeriksaan serologi dengan menggunakan IFA maupun ELISA ditemukan peningkatan titer antibodi IgM dan IgG empat kali lipat. Ketiga pasien tersebut didiagnosa Q fever dan sembuh setelah dilakukan pengobatan yang sesuai (Setiyono 2003). Menurut Norlander (2000) beberapa faktor yang mempermudah seseorang terserang Q fever antara lain tidak divaksinasi Q fever dan yang mengalami

31 15 imunosupresan karena menderita penyakit tertentu, misalnya AIDS, kanker, limpoma, tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung, gangguan ginjal kronis atau penerima transplan organ. Q Fever sebagai Food-borne Disease Transmisi C. burnetii ke manusia terjadi secara aerosal atau inhalasi melalui fomite atau partikel debu yang terkontaminasi sekret kelahiran yang mengering, jaringan plasenta, darah, feses dan urin. Selain itu kontak langsung dengan hewan atau jaringan terinfeksi atau tertular, bulu (wol), kulit, sisa abortus, plasenta, darah, feses, urin serta melalui saluran pencernaan akibat mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003; Muramatsu et al. 2006). Hasil penelitian menyatakan bahwa apabila sapi perah terinfeksi C. burnetii maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu (Maurin dan Raoult 1999; Kim et al. 2005). Hal ini merupakan salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolakis et al. 2009). Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif DNA C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo menggunakan metode nested PCR. Di Swiss ditemukan 17 sampel (4.7%) positif DNA C. burnetii dari 359 sampel susu sapi, tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan kambing menggunakan metode nested PCR (Fretz et al. 2007). Sejak burung ditetapkan sebagai salah satu host spectrum dari C. burnetii, maka apabila ayam terinfeksi dapat membawa agen penyebab ke manusia melalui telur mentah yang terkontaminasi (Hirai dan To 1998). Sethi et al. (1978) menemukan bahwa C. burnetii dapat diisolasi pada selaput kuning telur dari embrio ayam (chicken embryo yolk sac). Hasil percobaan pada ayam petelur leghorn putih umur 6 bulan yang diinfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung C. burnetii strain Nine Mile secara oral dan intra peritoneal, C. burnetii dapat ditemukan di dalam telur (ditularkan secara transovarial). Hal yang sama juga dilaporkan Sobeslavsky dan Syrucek (1959) bahwa C. burnetii dapat ditularkan secara transovarial setelah unggas (Gallus galus domesticus) diinfeksi mikroorganisme tersebut melalui oral. Penelitian pada telur ayam di Jepang, Korea dan Filipina pada tahun menemukan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta pada produk mayones di Jepang dan Kanada diperoleh 35 sampel (17.5%) positif dari 200 sampel menggunakan metode nested PCR (Tatsumi et al. 2006). Fretz et al. (2007) juga

32 16 melakukan penelitian pada 504 sampel telur ayam yang di masuk ke Swiss, dan dilaporkan tidak menemukan DNA C. burnetii pada semua sampel menggunakan metode nested PCR. Gejala Klinis Orang yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinik yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala dari penyakit lain. Gejala akut umumnya seperti flu (flue like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue), pegal-pegal, sakit tenggorok, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan bobot badan. Penyakit Q fever yang tidak diobati dalam kurun waktu dua minggu, maka dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), radang hati (hepatitis), infeksi kulit (kudis), hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis, tromboplebitis, artritis, pleuritis dan pankreatitis. Pada wanita hamil yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan (Arricau- Bouvery dan Rodolakis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Apabila 6-12 bulan tanpa pengobatan yang efektif, maka 2-10% (1-5%) dari kasus akut akan menjadi kronis, yaitu endokarditis, infeksi osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique syndrome) dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al. 2008). Manifestasi gejala penyakit Q fever pada manusia sangat bervariasi (lihat pada Gambar 4). Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular). Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan sering mengalami kelelahan yang panjang disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; CDC 2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita penyakit Q fever akut ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel darah putih cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis yang abnormal, seperti hematuria, leukosituria, proteinuria (Ergar et al. 2006).

33 17 1. Jalan masuk : Melalui aerosol dari sapi, kambing atau domba yang terinfeksi 3. Penyakit : Pneumonia Endokarditis Pankreatitis Hepatitis Osteoartritis 2. Penyebaran : Hematogenus (melalui darah) 4. Jalan keluar : Tidak ada pada manusia Gambar 4 Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia (CDC 2005). Masa inkubasi penyakit Q fever bervariasi mulai 2-5 minggu (1-4 minggu) dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis infeksi C. burnetii (Maurin dan Roault 1999). Dilaporkan bahwa orang yang terinfeksi 1-10 sel mikroorganisme C. burnetii dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis (CFSPH 2007). Pengendalian NNDSS (2003) melaporkan bahwa sejak tahun dilakukan upaya pencegahan penyakit ini, yaitu melakukan program vaksinasi Q fever pada pekerja di Industri pengolahan daging dan RPH, sedangkan pada tahun dilaksanakan pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikkan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Ackland et al. 1994; Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever. Hal ini penting karena vaksinasi Q Vax akan dapat menimbulkan kekebalan awal yang optimum (Anonim 2003). Studi yang dilakukan di Australia bagian selatan menunjukkan bahwa durasi vaksin

34 18 Q Vax dapat memberikan kekebalan pada hewan dan manusia selama lima tahun (Ackland et al. 1994; Waag et al. 2002). Penelitian yang dilakukan Rodolakis et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian vaksin Q fever fase 1 (Coxevax CEVA Santé Animale Libourne France) pada sapi perah dara, efektif dimulai umur 3-4 bulan (vaksinasi pertama) dan kemudian di booster (vaksinasi kedua) sebelum dilakukan inseminasi buatan untuk memperoleh titer antibodi yang tinggi dan dapat mencegah terjadinya shedding C. burnetii. Pada kejadian penyakit Q fever di Belanda, maka pada akhir tahun 2008 dilakukan pencegahan dengan memberikan vaksin Coxevax kepada domba dan kambing yang tidak bunting (Delsing dan Kullberg 2008; Schimmer et al. 2008). Penyakit Q fever dapat diobati dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kejadian penyakit, kelompok umur, dosis dan lama pemberian (lihat Tabel 2).. Tabel 2 Kejadian Penyakit Akut Kronis Pengobatan Q fever pada manusia (Carcopino et al. 2007; Madariaga et al. 2003; Maurin dan Raoult 1999; Nourse et al. 2004; Rolain et al. 2003) Kelompok Pengobatan Waktu Doksisiklin 200 mg per hari 14 hari Dewasa Fluoroquinolon 200 mg atau hari pefloksasin 400 mg (3 kali per hari) Rifamisin 1200 mg per hari 21 hari Wanita hamil Trimetoprim 320 mg atau > 5 minggu sulfametoksazol 1600 mg per hari Anak-anak Doksisiklin 100 mg per hari hari Dewasa Doksisiklin 100 mg per hari > 18 bulan Hidroksikloroquin 600 mg per hari Anak-anak Trimetoprim 160 mg atau sulfametoksazol 800 mg per hari > 18 bulan Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999). Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi adalah (1) memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko; (2) disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa obortus dan fetus; (3) karantina ternak yang akan diimpor; (4) outoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium; (5) pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 C selama 30 menit atau 71.6 C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 C selama 6.2 menit atau 61.1 C

35 19 selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008). Q Fever di Indonesia Beberapa studi, kajian dan penelitian tentang keberadaan Q fever di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1955 terhadap 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis dan ditemukan positif antibodi C. burnetii menggunakan CAT (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) pada 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode CAT. Penelitian Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari penderita pneumonia yang pernah tinggal di Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan Richards et al. (2003) dan mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya menggunakan metode ELISA. Hasil seroprevalensi di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan penelitian pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii serta pada kambing dan domba 3.64% positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006). C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukannya pada hewan ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan penularan kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di beberapa wilayah di Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada data serologis dan molekuler bahwa C. burnetii sudah ditemukan pada hewan ruminansia di pulau Jawa dan Bali. Dari segi kesehatan masyarakat veteriner, penyakit Q fever dapat dikelompokkan sebagai emerging atau re-emerging zoonosis yang disebabkan C. burnetii (Vaidya 2008). Mikrorganisme ini dilaporkan mampu menularkan sejauh km dari sumber infeksi yang dibawa oleh angin (oerosal transmission), mempunyai dosis infeksi yang rendah (low infectious dose), stabil di lingkungan dan beberapa kondisi psikokimia (stable in the environment) serta berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) apabila 5 kg C. burnetii disebarkan di suatu wilayah dengan populasi penduduk sebesar 5 juta, maka orang akan sakit dan 150 orang meninggal (CFSPH 2007; Marrie 2003).

36 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2005 sampai dengan Maret Sampel telur diambil dari peternakan ayam petelur komersial ras (sektor 2) sebanyak 222 butir dan dari peternakan ayam lokal (sektor 4) sebanyak 130 butir di wilayah Bogor. Pengujian sampel telur dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT) Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB. Untuk pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode uji dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Tahapan Penelitian Penelitian ini pada intinya dibagi atas tiga tahap yaitu tahap verifikasi metode ekstraksi DNA Coxiella burnetii (C. burnetii) dari sampel telur dan alat diagnostik nested polymerase chain reaction (nested PCR); tahap pengujian sampel serta pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode. Tahap verifikasi metode ekstraksi DNA C. burnetii dari kuning telur dengan menggunakan modifikasi metode Qiao (2005). Tahap selanjutnya melakukan deteksi DNA C. burnetii pada sampel telur yang diambil dari peternakan ayam petelur ras dan lokal dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998). Tahap akhir adalah pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode untuk mengetahui batas limit deteksi metode nested PCR yang digunakan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Verifikasi metode ekstraksi DNA dari telur Akurasi nested polymerase chain reaction (nested PCR) Pengujian sampel telur Sensitivitas dan spesifisitas metode - Informasi keberadaan DNA C. burnetii pada telur - Pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di Indonesia. Gambar 5 Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor.

37 21 Modifikasi Metode Qiao (2005) untuk Mengekstraksi DNA C. burnetii dari Kuning Telur Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan kemurnian DNA C. burnetii yang diperoleh dari hasil ekstraksi kuning telur menggunakan modifikasi metode Qiao. Penelitian ini dilakukan dengan mengganti beberapa bahan-bahan untuk ekstraksi seperti PBS (phosphat buffer saline), Tris bufer, Np-40, Tween-20 dan Triton X-100 diganti dengan Genomicprep TM Larutan hasil ekstrasi diukur konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperoleh. Pengukuran dilakukan dengan cara sebelum digunakan cuvet spektrofotometer dicuci dengan larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q. cell-tissue DNA isolation kit (Amersham Biosciences) yang terdiri dari larutan lisis (cell lysis solution), larutan pengendap protein (protein precipitation solution) dan DNA hydration solution. Modifikasi metode Qiao sudah diverifikasi oleh Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto di Justus Liebig University Gissen Jerman. Ekstrasi kuning telur dilakukan dengan cara sebelum telur dibuka, kerabang telur didisinfeksi dengan alkohol 70%. Putih telur dipisahkan dari kuning telur menggunakan kertas saring steril. 100 µl kuning telur dimasukkan ke dalam mikrotub eppendorf 1.5 ml yang berisi 300 µl larutan lisis (cell lysis solution) dan dihomogenkan dengan vortex. Tambahkan 5 µl proteinase K (50 mg/ml), dihomogenkan selama 30 detik dan setelah itu diinkubasi 55 ºC dalam waterbath selama 3 jam. Tambahkan 2 µl RNase A solution dan diinkubasi 37 ºC selama 30 menit. Tambahkan 100 µl larutan pengendap protein (protein precipitation solution), dihomogenkan selama 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar selama 15 menit. Tambahkan 500 µl kloroform dingin, dihomogenkan 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar selama 5 menit. Sentrifus pada rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Sebanyak 300 µl supernatan (lapisan bening) diambil dan dipindahkan ke mikrotub baru. Tambahkan 500 µl isopropanol dingin, dibolak-balik sampai terlihat benang-benang putih dan disentrifus rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet. Endapan putih yang diperoleh ditambahkan 500 µl etanol 70% dingin melalui dinding mikrotub dan disentrifus rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet dan endapan dibiarkan mengering selama 10 menit pada temperatur kamar. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan 50 µl DNA hydration solution, disimpan dalam refrigerator dan kemudian digunakan sebagai sampel untuk analisa spektrofotometer. Larutan DNA dalam mikrotub

38 22 dikondisikan pada suhu 60 ºC selama 3 menit dan kemudian dihomogenkan agar DNA terlarut secara merata. Setelah disentrifus beberapa detik diletakkan diatas es. Sebanyak 190 µl hydration solution yang telah ditambahkan dengan 10 µl larutan DNA dimasukkan ke dalam spektrofotometer. Untuk menghitung konsentrasi DNA maka digunakan rumus : konsentrasi DNA (µg/ml) = A260 x 50 x 200 (faktor pengenceran), sedangkan tingkat kemurnian DNA dihitung dengan membagi nilai OD 260 dengan OD 280. Deteksi C. burnetii pada Telur dengan Metode Nested Polymerase Chain Reaction (Nested PCR) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya DNA C. burnetii pada telur ayam dengan metode nested PCR. Larutan DNA yang akan digunakan sebagai sampel merupakan hasil pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA menggunakan elektroforesis. Primer oligonukeotida yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5 -AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3 ), OMP2 (5 -TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3 ), OMP3 (5 -GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3 ) dan OMP4 (5 -TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG- 3 ), yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kd. Amplifikasi DNA pertama dilakukan dalam volume 30 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mm (Sigma), 5 µl dntp 2 mm (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1 100 µm, 0.5 µl primer OMP2 100 µm, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 5 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturut-turut, yaitu temperatur 94 C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 C, 1 menit, pelekatan (annealing) pada temperatur 54 C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Hasil PCR disimpan pada Amplifikasi kedua yaitu campuran reaksi dan kondisinya sama dengan amplifikasi pertama kecuali primer dan DNA template. Primers digunakan OMP3 dan OMP4 serta 5 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template. Kontrol positif adalah 5 µl dari DNA C. burnetii strain NM2 sebagai template dan kontrol negatif tanpa DNA template (ditambah 5 µl air milli Q) disertakan dalam proses PCR. Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE). Setelah cetakan

39 23 agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan DNA molecular weight standards (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, dilihat hasilnya menggunakan UV illumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid. Hasil nested PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer internal (OMP3-OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb. Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction (Nested PCR) untuk Mendeteksi DNA C. burnetii Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii. Untuk menentukan tingkat optimasi (optimalisasi) nested PCR dan PCR dalam mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii, maka pengujian dilakukan dengan mengukur konsentrasi awal DNA menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi DNA dibuat menjadi 150 nano gram/µl (ng/µl), sehingga diperoleh konsentrasi akhir dalam reaksi PCR sebesar 75 ng/µl. DNA C. burnetii tersebut diencerkan menjadi 30 ng/µl, 15 ng/µl, 3 ng/µl, 300 piko gram/µl (pg/µl), 30 pg/µl, 3 pg/µl, 0.3 pg/µl dan 0.03 pg/µl. Masing-masing konsentrasi tersebut diamplifikasi dengan menggunakan dua pasang primer (OMP1- OMP2 dan OMP3-OMP4) untuk nested PCR dan satu pasang primer eksternal (OMP1- OMP2) untuk PCR. Untuk mengetahui tingkat spesifitas metode nested PCR, maka dilakukan pendeteksian terhadap bakteri seperti Brucella abortus ATCC 23452, Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 dan Campylobacter jejuni ATCC Bakteri-bakteri tersebut merupakan satu kelompok dengan C. burnetii dari famili Proteobacteria. Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 50 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mm (Sigma), 5 µl dntp 2 mm (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1100 µm, 0.5 µl primer OMP2 100 µm, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 25 µl sampel DNA (5 pg/µl). Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 C, 1 menit,

40 24 pelekatan (annealing) pada temperatur 54 C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran menggunakan DNA thermal cycler. Untuk amplifikasi kedua yaitu campuran reaksinya volume 50 µl yang berisi 37 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mm (Sigma), 5 µl dntp 2 mm (Vivantis), 0.5 µl primer OMP3 100 µm, 0.5 µl primer OMP4 100 µm, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 1 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template, sedangkan analisis PCRnya sama dengan amplifikasi pertama. Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (Vivantis), yaitu sebanyak 4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE. Setelah cetakan agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan standar berat molekul DNA (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0,5 µg/ml) selama 30 menit. Hasilnya dilihat menggunakan UV illumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid. Hasil PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer eksternal (OMP1-OMP2) yang menghasilkan fragmen 501 pb, sedangkan nested PCR dari primer internal (OMP3- OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb.

41 DETEKSI Coxiella burnetii PADA TELUR AYAM RAS DAN LOKAL DI WILAYAH BOGOR DENGAN METODE NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION (Detection of Coxiella burnetii in Commercial and Native Chicken Eggs by Nested Polymerase Chain Reaction method in Bogor Area) Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk mendeteksi DNA Coxielle burnetii (C. burnetii) pada telur ayam ras dan lokal di wilayah Bogor. Deteksi DNA C. burnetii dilakukan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR), menggunakan primer eksternal (OMP1, OMP2) dan internal (OMP3, OMP4), didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kd serta digunakan untuk mengamplifikasi fragmen sepanjang 501 pb dan 438 pb. Nested PCR merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi 21 strain C. burnetii. Sebanyak 352 butir telur ayam yang terdiri dari 222 butir telur ayam ras yang diambil dari peternakan ayam ras (sektor 2) dan 130 butir telur ayam lokal yang diambil dari peternakan ayam lokal (sektor 4) di wilayah Bogor. Dari 352 sampel telur ayam yang diperiksa tidak ditemukan adanya DNA C. burnetii. Kata Kunci: nested PCR, Coxiella burnetii, Telur ayam Abstract A study of detection of DNA Coxiella burnetii (C. burnetii) in commercial and native chicken eggs in Bogor area were conducted. Nested polymerase chain reaction (nested PCR) was used for detection of C. burnetii which consists of external primers (OMP1 and OMP2) and internal primers (OMP3 and OMP4) and was designed from the nucleotide sequence of the com I gene encoding a 27 kda outer membrane protein and used to specifically amplify a 501 bp and 438 bp fragment. Nested PCR was sensitive and specific for the detection 21 strain of C. burnetii. 352 egg samples, consist of commercial chicken eggs (222 samples) and native chicken eggs (130 samples) were collected from sector 2 and sector 4 poultry farms in Bogor area. No DNA of C. burnetii was detected in all samples by nested PCR method. Key words: nested PCR, Coxiella burnetii, Chicken eggs PENDAHULUAN Query fever (Q fever) disebabkan oleh C. burnetii yang merupakan mikroorganisme golongan riketsia yang bersifat patogen obligat intraseluler dan zoonosis yang menyebar luas di lima puluh satu negara di dunia (Acha dan Szyfres 2003, Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai daya tahan lebih dari 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -20 ºC) dan lebih dari 40 bulan dalam susu skim pada suhu kamar (Marrie 2003).

42 26 Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, reptil, kodok, burung, rodensia, ikan dan caplak (Parker et al. 2006). Sedangkan sapi perah, kambing dan domba merupakan reservoir utama C. burnetii (Kim et al. 2005). Pada hewan yang terinfeksi C. burnetii, konsentrasi mikroorganisme sangat tinggi pada sekret kelahiran, urin, feses, susu, telur dan wol. Agen penyebab juga ditemukan pada kelenjar ambing, limfoglandula supramamari, uterus dan plasenta (CFSPH 2007). Uterus dan kelenjar ambing merupakan target organ yang diserang pada infeksi kronis C. burnetii. Kontaminasi C. burnetii di lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan, terutama dari plasenta yang menjadi penyebab utama penularan penyakit dari hewan ke manusia (Rodolakis et al. 2009). Keberadaan dalam susu telah dilaporkan apabila sapi perah terinfeksi C. burnetii (Maurin dan Raoult 1999; Kim et al. 2005) tetapi transmisi C. burnetii yang terdapat di dalam susu jarang terjadi melalui oral (Arricau-Bauvery dan Rodolakis 2005). Sejak burung ditetapkan sebagai salah satu host spectrum dari C. burnetii, maka apabila ayam terinfeksi dapat membawa agen penyebab ke manusia melalui telur mentah yang terkontaminasi (Hirai dan To 1998). Cara penularan lain dapat terjadi secara langsung dari debu terkontaminasi, makanan maupun lewat vektor seperti caplak (Maurin dan Raoult 1999). Pada hewan infeksi C. burnetii umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas, seperti abortus pada domba dan kambing, serta gangguan reproduksi pada sapi (Kim et al. 2005). Pada manusia gejala yang terlihat sangat bervariasi, dimana sekitar 60% tidak menunjukkan gejala yang spesifik/asymptomatis, umumnya hanya terlihat gejala akut seperti flu (flue like syndrome), pneumonia atau hepatitis. Apabila tidak diobati secara efektif maka 2-10% dari kasus akut akan menjadi kronis seperti endokarditis, infeksi osteoartikular dan pneumoni fibrosis (CDC 2005; CFSPH 2007). Studi tentang prevalensi C. burnetii pada susu sapi umumnya masih berdasarkan uji serologi, baru beberapa penelitian menggunakan metode PCR, antara lain yang dilakukan Kim et al. (2005) mendapatkan angka prevalensi C. burnetii sebesar 94% pada contoh susu sapi yang di ambil dari tangki susu di Amerika Serikat. Penelitian terhadap 400 contoh susu domba di Turki menunjukkan 3.5% positif DNA C. burnetii (Ongor et al. 2004) serta 4.2% pada contoh telur dan 17.6% pada mayones ditemukan

43 27 positif DNA C. burnetii di daerah Toyama Jepang (Tatsumi et al. 2006). Penelitian yang dilakukan Sadamasu et al. (2006) tidak menemukan DNA C. burnetii pada 50 sampel mayones komersial yang di jual di Tokyo Jepang dengan metode nested PCR maupun real-time PCR. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur ayam ras dan lokal serta ada tidaknya hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2005 sampai dengan Januari Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian ini adalah telur ayam ras dan lokal. Genomicprep TM cell-tissue DNA isolation kit (Amersham Biosciences) yang terdiri dari larutan lisis (cell lysis solution), larutan pengendap protein (protein precipitation solution) dan DNA hydration solution. Alkohol 70%, proteinase K (50 mg/ml), RNase A solution, kloroform, isopropanol, etanol 70%, larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q. Primer PCR yang digunakan produk (Sigma), yaitu primer OMP1, OMP2, OMP3 dan OMP4, air milli Q, 10 x PCR bufer, MgCl 2 15 mm (Sigma), dntp 2 mm (Vivantis) dan Taq DNA polymerase (Vivantis). DNA C. burnetii strain Nine Mile 2 ATCC (NM2) sebagai kontrol positif. Alat yang digunakan adalah mikropipet, vortex, waterbath, inkubator, sentrifus, DNA thermal cycler (Perkin Elmer GeneAmp PCR system 9600 Takara Biomedicals), elektroforesis (BioRad), spektrofotometer, freezer, refrigerator, UV illumination (TM-20 UVP, Inc) dan kamera polaroid. Metode Penelitian Metode Sampling Metode sampling yang digunakan adalah penarikan contoh acak bertingkat (multistage random sampling) dengan populasi target adalah ayam petelur ras dan lokal

44 28 yang berumur 6-8 bulan dan berasal dari peternakan yang menejemennya (sanitasi, higiene personal, biosekuriti) buruk dari kecamatan dengan populasi ayam lebih dari 50 ribu ekor. Ukuran sampel adalah 350 sampel telur yang berasal dari wilayah Bogor. Dari 40 kecamatan di Kabupaten dan 6 kecamatan di Kota Bogor, ditetapkan kecamatan dengan kepadatan populasi ayam lebih dari 50 ribu ekor dari masing-masing wilayah dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana. Penetapan peternakan dengan menejemen yang buruk dari masing-masing kecamatan terpilih dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana. Penetapan populasi target pada suatu peternakan dilakukan dengan metode penarikan contoh acak sistematik. Telur diambil dari peternakan ayam petelur ras dan lokal secara aseptis dan dikirim ke laboratorium mengikuti standar prosedur baku pengiriman sampel. Kuning telur selanjutnya digunakan dalam pemeriksaan molekuler. Pada masing-masing peternakan terpilih dilakukan wawancara dan pengamatan dengan menggunakan kuesioner untuk menjaring data sanitasi, higiene personal dan biosekuriti. Deteksi C. burnetii Pemeriksaan keberadaan DNA C. burnetii dalam kuning telur dengan ekstraksi DNA metode Qiao (2005) dengan beberapa modifikasi. Kemudian dilakukan analisa dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998). Preparasi Sampel Telur Permukaan kerabang telur didisinfeksi dengan alkohol 70% dan putih telur dipisahkan dari kuning telur menggunakan kertas saring steril. 100 µl kuning telur dimasukkan ke dalam mikrotub eppendorf yang berisi 300 µl larutan lisis (cell lysis solution). Mikrotub dihomogenkan dengan vortex dan ditambah 5 µl proteinase K (50 mg/ml), dihomogenkan selama 30 detik dan setelah itu diinkubasi 55 ºC dalam waterbath selama 3 jam. Tambahkan 2 µl RNase A solution dan diinkubasi 37 ºC selama 30 menit. Tambahkan 100 µl larutan pengendap protein (protein precipitation solution), dihomogenkan selama 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar selama 15 menit. Tambahkan 500 µl kloroform dingin, dihomogenkan 30 detik dan diinkubasi pada

45 29 temperatur kamar selama 5 menit. Sentrifus rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Sebanyak 300 µl supernatan (lapisan bening) diambil dan dipindahkan ke mikrotub baru. Tambahkan 500 µl isopropanol dingin, dibolak-balik sampai terlihat benang-benang putih dan disentrifus rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet. Endapan putih yang diperoleh ditambahkan 500 µl etanol 70% dingin melalui dinding mikrotub dan disentrifus rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet dan endapan dibiarkan mengering selama 10 menit pada temperatur kamar. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan 50 µl DNA hydration solution, disimpan dalam refrigerator dan digunakan sebagai sampel untuk analisa spektrofotometer dan PCR. Spektrofotometer Cuvet spektrofotometer dicuci dengan larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q. Larutan DNA dalam mikrotub dikondisikan pada suhu 60 ºC selama 3 menit dan kemudian dihomogenkan agar DNA terlarut secara merata. Setelah disentrifus beberapa detik diletakkan diatas es. Sebanyak 190 µl hydration solution yang telah ditambahkan dengan 10 µl larutan DNA dimasukkan ke dalam spektrofotometer. Nilai OD 260, OD 280 dan rasio OD 260 dengan OD 280 dicatat dan kemudian dihitung konsentrasi dan kemurnian DNA. Primer Nukleotida Primer oligonukeotida yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5 -AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3 ), OMP2 (5 -TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3 ), OMP3 (5 -GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3 ) dan OMP4 (5 -TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3 ), yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kd (Hendrix et al. 1993; Seshasdri et al. 2003; Zhang et al. 1998). Amplifikasi DNA Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 30 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl2 15 mm (Sigma), 5 µl dntp 2 mm (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1 100 µm, 0.5 µl

46 30 primer OMP2 100 µm, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 5 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 C, 1 menit, pelekatan (annealing) pada temperatur 54 C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Hasil PCR disimpan pada Amplifikasi kedua yaitu campuran reaksi dan kondisinya sama dengan amplifikasi pertama kecuali primer dan DNA template. Primers digunakan OMP3 dan OMP4 serta 5 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template. Kontrol positif adalah 5 µl dari DNA C. burnetii strain NM2 sebagai template dan kontrol negatif tanpa DNA template (ditambah 5 µl air milli Q) disertakan dalam proses PCR. Deteksi PCR Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE). Setelah cetakan agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan DNA molecular weight standards (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, dilihat hasilnya menggunakan UV illumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid. Hasil nested PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer internal (OMP3-OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mengetahui hubungan antara sanitasi, higiene personal dan biosekuriti dengan keberadaan DNA C. burnetii diuji dengan menggunakan Chi-Square (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

47 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi DNA C. burnetii Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengujian terhadap 21 sampel darah ayam ras pada peternakan ayam di kecamatan Parung kabupaten Bogor. Hasil pengujian tersebut menunjukkan tidak ditemukan DNA C. burnetii pada semua sampel darah menggunakan metode nested PCR (Firdaus 2007). Untuk memastikan ada tidaknya keberadaan DNA C. burnetii pada peternakan ayam, maka dilakukan penelitian lanjutan dengan mengambil 352 sampel telur dari 38 peternakan di wilayah Bogor. Sebanyak 222 telur ayam ras yang berasal dari 29 peternakan ayam sektor 2 dan 130 telur ayam lokal dari 9 peternakan ayam sektor 4 di wilayah Bogor tidak ditemukan DNA C. burnetii. Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis. (kolom M: DNA Ladder 100 pb, kolom 1: kontrol negatif/dh 2 O, kolom 2: kontrol positif, kolom 3-18: sampel telur) Konsentrasi dan Tingkat Kemurnian DNA Menurut Sulandari dan Zein (2003) penyerapan sinar ultra violet oleh nukleotida secara maksimal dicapai pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan oleh protein dicapai pada panjang gelombang 280 nm. Apabila optical density pada 260 nm (OD sama dengan 1, maka konsentrasinya setara dengan 50 µg/ml DNA untai ganda. Untuk menghitung konsentrasi DNA maka digunakan rumus : konsentrasi DNA (µg/ml) = 260)

48 32 A260 x 50 x 200 (faktor pengenceran). Tingkat kemurnian DNA ditentukan oleh tingkat kontaminasi dalam larutan DNA dan dapat dihitung dengan membagi nilai OD 260 dengan OD 280. Menurut Colclough et al. (2004) tingkat kemurnian DNA berkisar antara Bila nilai rasio kurang dari 1.5 maka masih ditemukan adanya kontaminasi fenol atau protein dalam larutan DNA. Sedangkan bila rasio lebih dari 2.1 maka terdapat RNA dalam larutan DNA. Hasil ekstraksi 222 telur ayam ras didapatkan rata-rata konsentrasi DNA 711.5±237.4 µg/ml dengan kemurnian DNA 1.6±0.1, serta dari 130 telur ayam lokal diperoleh rata-rata konsentrasi DNA 594.0±293.3 µg/ml dengan kemurnian DNA 1.8±0.2. Hasil ekstraksi DNA pada kuning telur dengan modifikasi metode Qiao (2005) diperoleh konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. DNA C. burnetii tidak ditemukan pada peternakan ayam sektor 2 disebabkan antara lain karena semua peternakan sudah mempunyai program pengobatan dan disinfeksi yang teratur. Hasil ini sesuai dengan data kuesioner yang diperoleh bahwa penggunaan antibiotik (doksisiklin, tetrasiklin dan quinolon) diberikan mulai sejak day old chick (DOC) sampai dengan masa produksi secara berkala. Ketiga antibiotik tersebut digunakan dalam program pencegahan dan pengobatan penyakit. Doksisiklin dan tetrasiklin merupakan sediaan antibiotika yang digunakan untuk mengobati Q fever fase akut pada manusia, sedangkan kombinasi doksisiklin dan quinolon untuk mengobati penyakit pada fase kronis (Madariaga et al. 2003; Maurin dan Raoult 1999). Selain itu disinfeksi air, peralatan dan lingkungan secara berkala menggunakan klorin dan ammonium quarternary coumpound (quart) dapat mengurangi atau bahkan membunuh mikroorganisme C. burnetii. Pada peternakan ayam sektor 4 juga tidak ditemukan DNA C. burnetii. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa di sekitar peternakan tersebut tidak terdapat hewan sapi, domba dan kambing, yang merupakan reservoir utama C. burnetii. Menurut Angelakis dan Raoult (2010) transmisi antar hewan pelihara dapat terjadi karena kontak erat (close contact) atau melalui vektor caplak. Apabila peternak ayam yang tergolong sektor 4 memiliki atau berlokasi dekat dengan hewan sapi, domba dan kambing, maka penularan penyakit dapat terjadi antar hewan pelihara melalui kontak langsung dengan hewan sakit

49 33 atau material (cairan amnion, plasenta, urin maupun feses) yang berasal dari hewan yang terinfeksi (Acha dan Szyfres 2003). Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan di lapangan, bahwa vektor caplak tidak ditemukan di dalam kandang dan sangkar (nest box) serta di seluruh tubuh ayam ras maupun lokal. Gambaran Sanitasi, Higiene Personal dan Biosekuriti di Peternakan Telur diambil dari 38 peternakan ayam di wilayah Bogor, terdiri dari 29 peternakan ayam sektor 2 dan 9 peternakan sektor 4. Kriteria peternakan ayam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. Peternakan Ayam Tabel 3 Kriteria peternakan ayam (FAO 2004) Skala Usaha Kriteria Populasi Biosekuriti (ekor) Tinggi Sektor 1 Industri terintegrasi/ komersial besar Sektor 2 Produksi komersial/komersial kecil Tinggi Sektor 3 Produksi komersial/komersial kecil Rendah Sektor 4 Peternakan ayam lokal 1-10 Rendah Pemilihan peternakan ayam sektor 2 sudah dapat mewakili peternakan ayam sektor 1 dari kriteria tingkat biosekuriti yang tinggi. Hal yang sama juga terhadap peternakan ayam sektor 4 yang mewakili peternakan ayam sektor 3 dari kriteria tingkat biosekuriti yang rendah. Berdasarkan hasil kuesioner yang dijaring dari 38 peternakan didapatkan persentase gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan seperti pada Tabel 4. Secara umum gambaran sanitasi di peternakan ayam sektor 2 tergolong kategori baik sampai sedang ( %) dan hanya sebagian yang buruk (6.9%), sedangkan sektor 4 tergolong buruk (100%). Hal ini disebabkan karena kondisi lokasi peternakan sangat dekat dengan pemukiman dan jarak antar kandang satu dengan yang lain kurang dari satu kali lebar kandang. Selain itu kondisi kandang, tempat pakan, tempat minum, lingkungan kandang, sumber air dan ventilasi belum memenuhi persyaratan sesuai

50 34 dengan pedoman beternak ayam yang baik dan benar (good farming practices). Gambaran higiene personal di peternakan ayam sektor 2 tergolong kategori sedang sampai buruk ( %), yaitu kelengkapan kerja (baju seragam, sepatu bot, masker) belum diterapkan pada semua peternakan, sarana cuci tangan belum tersedia dan pemeriksaan kesehatan bagi karyawan belum dilakukan secara berkala, sedangkan pada sektor 4 gambaran higiene personal umumnya buruk (100%). Tabel 4 Gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan ayam sektor 2 dan sektor 4 Peternakan Ayam Jumlah Peternakan Ayam Kategori Sanitasi (%) Higiene Personal (%) Biosekuriti (%) Sektor 2 29 Baik Sedang Buruk Sektor 4 9 Baik Sedang Buruk Penerapan biosekuriti di peternakan ayam sektor 2 umumnya baik sampai sedang ( %), hal ini didukung dengan tindak sanitasi dilakukan sebelum masuk peternakan dan kandang. Selain itu program pengobatan, vaksinasi dan disinfeksi telah disusun dalam bentuk program dan dilaksanakan dengan baik. Untuk sektor 4 pelaksanaan biosekuriti tergolong buruk (100%), sehingga ayam mudah terinfeksi berbagai penyakit dan dapat mengakibatkan kontaminasi mikroba ke dalam telur secara transovarial melalui induk ayam (vertikal) maupun lingkungan yang tercemar (horizontal). KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah (1) DNA C. burnetii tidak ditemukan pada 352 sampel telur yang berasal dari peternakan ayam petelur ras dan petelur lokal di wilayah Bogor dan (2) belum dapat diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan peternakan sektor 2 dan 4 (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii.

51 SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK MENDETEKSI DNA Coxiella burnetii (Sensitivity and Specificity of Nested Polymerase Chain Reaction for Detection of Coxiella burnetii DNA) Abstrak Telah dilakukan penelitian sensitivitas dan spesifisitas penggunaan nested polymerase chain reaction (nested PCR) untuk mendeteksi keberadaan DNA Coxiella burnetii (C. burnetii). Nested PCR menggunakan primer eksternal (OMP1, OMP2) dan internal (OMP3, OMP4), didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kd serta digunakan untuk mengamplifikasi fragmen sepanjang 501 pb dan 438 pb. Nested PCR mempunyai tingkat sensitivitas 50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan PCR yang hanya menggunakan primer eksternal. Hasil uji sensitivitas didapat limit deteksi nested PCR menggunakan DNA murni mencapai 300 pg/µl. Berdasarkan uji spesifisitas, nested PCR hanya dapat mendeteksi DNA C. burnetii dan tidak terjadi hibridisasi silang dengan DNA Brucella abortus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Campylobacter Jejuni. Nested PCR sudah digunakan sebagai metode diagnosa untuk penyakit Q fever yang disebabkan oleh C. burnetii. Kata Kunci: nested PCR, Coxiella burnetii, sensitivitas dan spesifisitas Abstract A sensitivity and specificity of nested polymerase chain reaction (nested PCR) to detect Coxiella burnetii (C. burnetii) DNA were studied. The primer system which consists of external primers (OMP1 and OMP2) and internal primers (OMP3 and OMP4), was designed from the nucleotide sequence of the com I gene encoding a 27 kda outer membrane protein and used to specifically amplify a 501 bp and 438 bp fragment. This nested PCR assay was 50 fold as sensitive as that using PCR external primer. The Nested PCR has a detection limit as low as 300 pg/µl. Specificity studies showed that nested PCR could only detect C. burnetii DNA and didn t happened cross hybridization with Brucella abortus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa and Campylobacter Jejuni DNA. Nested PCR has been used for diagnostic method of C. burnetii as agent of Q fever disease. Key words: nested PCR, Coxiella burnetii, sensitivity and specificity PENDAHULUAN Query fever (Q fever) merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan pekerjaaannya (occupational hazard) dan dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) (Vaidya et al. 2008). Penyakit ini disebabkan oleh C. burnetii yang bersifat obligat intraseluler, termasuk bacteria like organism, gram negatif dan berbentuk pleomorfik (bentuknya tidak tetap,

52 36 batang atau kokoid), berukuran lebar mikron dan panjang mikron, mempunyai 2 bentuk yaitu besar (large form/large cell variant) dan kecil (small form/small cell variant) yang diduga sebagai bentuk yang infeksius (Fournier et al. 1998; Heinzen et al. 1999). C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yakni antigen fase I dan fase II. Fase I ditemukan di alam atau hewan (patogenik), sedangkan fase II ditemukan setelah dibiakkan di telur tertunas atau sel kultur (kurang patogenik) (Angelakis dan Raoult 2010; Maurin dan Raoult 1999). Agen penyebab tahan terhadap kondisi lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa disinfektan sehingga dapat bertahan hidup hingga 30 hari pada sputum kering, 120 hari pada debu, 49 hari pada urin kering marmut, 19 bulan pada feses caplak dan bulan pada wol (CFSPH 2007). C. burnetii peka terhadap 0,05% hipoklorit, 5% peroksida, 1:100 larutan lisol, glutaraldehid, etanol, gas formaldehid, iradiasi dengan sinar gamma serta pemanasan susu pada suhu pasteurisasi lebih dari 62.7 C selama 30 menit atau 71.6 C selama 15 detik dan pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 C selama 6.2 menit atau 61.1 C selama 3.5 menit (CFSPH 2007; Mine 2008). Penularan dari hewan ke manusia melalui inhalasi fomite atau partikel debu (feses, urin dan wol), kontak langsung (plasenta dan sisa abortus) atau makanan (susu, daging, telur dan air) yang terkontaminasi 1-10 organisma (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010; Anonim 2003; CFSPH 2007). Sedangkan penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui transfusi darah dan kontak seksual (Milazzo et al. 2001). Orang yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinik yang asymptomatis (60%), symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala penyakit lain. Gejala akut umumnya seperti flu (flue like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lemas (fatigue), pegalpegal, sakit tenggorokan, batuk, dada sakit, muntah, diare dan sakit perut. Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 1-4 minggu. Apabila dua minggu tidak diobati penyakit ini dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), radang hati (hepatitis), miokarditis, perikarditis, meningoensefalitis dan plasentitis (pada wanita). Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007). Apabila penyakit Q fever yang bersifat akut berlangsung selama 6-12 bulan tanpa pengobatan yang efektif, maka 2-10% dari kasus tersebut akan menjadi kronis, seperti

53 37 endokarditis, infeksi osteoartikular dan pneumonia fibrosis. Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan), sehingga dari segi kesehatan masyarakat veteriner, penyakit Q fever perlu mendapat perhatian yang serius (CDC 2005). Diagnosa yang tepat secara klinis terhadap Q fever sangat sulit dilakukan karena tidak ada gejala klinis yang khas pada hewan maupun manusia. Untuk itu diperlukan teknik diagnosa laboratorium yang tepat serta didukung peralatan yang memadai. Diagnosa C. burnetii dapat dilakukan menggunakan uji serologis maupun melalui pendekatan molekuler menggunakan teknik PCR (Fournier et al. 1998). Beberapa metode serodiagnosis yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), capilary tube microagglutination, complement fixation test (CFT) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA). Diagnosis paling akurat terhadap Q fever adalah dengan metode nested PCR (Setiyono et al. 2005; Zhang et al. 1998). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalivet) Bogor pada bulan Februari sampai dengan Maret Bahan dan Alat Penelitian DNA murni yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA C. burnetii Nine Mile 2 ATCC (NM2) (Staatliches Untersuchungsamt Hessen, Standort Gieβen, Jerman) dan Brucella abortus ATCC 23452, Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 dan Campylobacter jejuni ATCC Bahan untuk PCR adalah 2 pasang primer, yaitu OMP1-OMP2 eksternal (Sigma) dan OMP3-OMP4 internal (Sigma), air milli Q, PCR bufer (Sigma), MgCl 2 15 mm (Sigma), dntp 2 mm (Vivantis), Taq TM DNA polymerase (Vivantis), ethidium bromide dan agarose (Vivantis)

54 38 Alat yang digunakan adalah mikropipet, GeneAmp PCR System 9700 (Applied Biosystem), elektroforesis (BioRad), spektrofotometer (NanoDrop, ND 1000), freezer, refrigerator, UV illumination (TM-20 UVP, Inc) dan kamera polaroid. Metode Penelitian Untuk menentukan tingkat optimasi (optimalisasi) PCR dan nested PCR dalam mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii, maka pengujian dilakukan dengan mengukur konsentrasi awal DNA menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi DNA dibuat menjadi 150 nano gram/µl (ng/µl), sehingga diperoleh konsentrasi akhir dalam reaksi PCR sebesar 75 ng/µl. DNA C. burnetii tersebut diencerkan menjadi 30 ng/µl, 15 ng/µl, 3 ng/µl, 300 piko gram/µl (pg/µl), 30 pg/µl, 3 pg/µl, 0.3 pg/µl dan 0.03 pg/µl. Masing-masing konsentrasi tersebut diamplifikasi dengan menggunakan satu pasang primer (OMP1- OMP2) untuk PCR dan dua pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) untuk nested PCR. Untuk mengetahui tingkat spesifitas metode nested PCR, maka dilakukan pendeteksian terhadap bakteri yang menyebabkan gangguan reproduksi seperti kejadian abortus pada ruminansia, yaitu B. abortus dan beberapa bakteri yang dalam satu famili Proteobacteria, yaitu E. coli, P. aeruginosa dan C. jejuni. Primer dan Amplifikasi DNA Primer oligonukeotida yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5 -AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3 ), OMP2 (5 -TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3 ), OMP3 (5 -GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3 ) dan OMP4 (5 -TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3 ), yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kd dan digunakan untuk mengamplifikasi fragmen sepanjang 501 pb dan 438 pb (Hendrix et al. 1993; Seshasdri et al. 2003; Zhang et al. 1998). Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 50 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mm (Sigma), 5 µl dntp 2 mm (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1100 µm, 0.5 µl primer OMP2 100 µm, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 25 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 C, 1 menit, pelekatan (annealing)

55 39 pada temperatur 54 C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran menggunakan DNA thermal cycler. Untuk amplifikasi kedua yaitu campuran reaksinya volume 50 µl yang berisi 37 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mm (Sigma), 5 µl dntp 2 mm (Vivantis), 0.5 µl primer OMP3 100 µm, 0.5 µl primer OMP4 100 µm, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 1 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template, sedangkan analisis PCRnya sama dengan amplifikasi pertama. Deteksi PCR Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (Vivantis), yaitu sebanyak 4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE. Setelah cetakan agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan standar berat molekul DNA (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, hasilnya dilihat menggunakan UV illumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid. Hasil PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer eksternal (OMP1-OMP2) yang menghasilkan fragmen 501 pb, sedangkan nested PCR dari primer internal (OMP3-OMP4) akan menghasilkan fragmen 438 pb. HASIL DAN PEMBAHASAN Sensitivitas PCR Hasil uji nested PCR menunjukkan bahwa tingkat optimasi menggunakan satu pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) hanya mempunyai kemampuan mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii 15 ng (15000 pg), sedangkan dengan dua pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) memiliki kemampuan mendeteksi hingga 300 pg (lihat Tabel 5 dan Gambar 7). Penggunaan dua pasang primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 lima puluh kali lebih sensitif dibandingkan dengan satu pasang primer OMP1-OMP2 (lihat Tabel 5 dan

56 40 Gambar 7), sedangkan Ogawa et al. (2004) menyatakan primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sepuluh kali lebih sensitif dibandingkan dengan primer CB1 dan CB2. Nested PCR lebih sensitif dibandingkan dengan PCR. Hal ini disebabkan karena nested PCR menggunakan produk hasil PCR dari primer eksternal yang diamplifikasi kembali menggunakan primer internal sehingga dengan konsentrasi yang rendahpun, DNA C. burnetii dapat dideteksi. Selain itu Nested PCR tidak menghasilkan target yang non spesifik, sedangkan dengan uji PCR masih terdeteksi adanya target yang non spesifik yaitu pada pita 150 pb (Gambar 7). Menurut Zhang et al. (1998) satu sel bakteri C. burnetii setara dengan konsentrasi DNA 5 fg, sehingga bila diperoleh 300 pg maka sensitivitas metode nested PCR dapat mendeteksi sebanyak 6 x 10 4 sel bakteri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tatsumi et al. (2006) bahwa pada sampel telur dengan konsentrasi bakteri antara 10 4 sampai dengan 10 6 dapat dideteksi dengan metode real time PCR (quantitative PCR test). Tabel 5 Perbandingan sensitivitas PCR dan nested PCR dalam mendeteksi DNA C. burnetii dengan konsentrasi 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl Konsentrasi DNA PCR nested PCR 75 ng/µl ng/µl ng/µl ng/µl pg/µl pg/µl pg/µl pg/µl pg/µl - - Dari penelitian yang dilakukan Ogawa et al. (2004) menunjukkan bahwa primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 dapat mendeteksi sebanyak 6 sel bakteri per tabung PCR atau setara dengan 2 x 10 2 sel bakteri per sampel. Primer CB1 dan CB2 hanya dapat mendeteksi 60 sel bakteri per tabung PCR atau setara dengan 2 x 10 3 sel bakteri per sampel. Hirai et al. (2005) telah mengembangkan metode nested PCR untuk mendeteksi C. burnetii pada telur yaitu dengan menambahkan 3.2 x 10 1 sel bakteri C. burnetii ke dalam 1 gram kuning telur.

57 41 a b Gambar 7 Sensitivitas PCR (a) dan nested PCR (b) menggunakan konsentrasi DNA C. burnetii 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl. (kolom M: DNA ladder 100 pb). Penelitian selanjutnya mendapatkan limit deteksi C. burnetii dengan metode nested PCR pada pangan asal hewan yaitu 10 3 sel per 1 ml susu sapi atau domba, 10 2 sel per 1 ml susu kambing dan 10 2 sel per 15 mg kuning telur (Fretz et al. 2007), serta 5 x 10 2 sel bakteri per 50 gram mayones (Sadamasu et al. 2006). Selain itu primer yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 lebih sensitif dibandingkan dengan sepasang primer Q3-Q5 dan Q4-Q6 untuk mendeteksi C. burnetii pada sampel serum darah dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998). Spesifisitas PCR Hasil uji spesifisitas menggunakan satu pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) maupun dua pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) menunjukkan spesifik untuk mendeteksi DNA C. burnetii (conserved). Hal ini dapat dilihat dengan adanya pita spesifik pada DNA C. burnetii dan tidak terjadi hibridisasi silang (cross-hybridization) dengan DNA B. abortus, E. coli, P. aeruginosa dan C. jejuni (lihat Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri B. abortus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang sama dengan C. burnetii seperti abortus pada ruminansia dan beberapa bakteri dari kelompok famili Proteobacteria sub divisi gamma (E. coli, P. aeruginosa) dan delta (C. jejuni) tidak terjadi amplifikasi silang (cross amplification), sehingga penggunaan primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat spesifik untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Hasil penelitian Ogawa et al. (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat pita yang spesifik dari C. burnetii dibandingkan 12 bakteri lain (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Legionella pneumophila,

58 42 Haemophilus infuenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium intracellulare, Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium gondonae, Chlamydia pneumoniae) dengan menggunakan primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4). a b Gambar 8 Uji Spesifisitas DNA C. burnetii dengan metode PCR (a) dan nested PCR (b). (kolom 1: kontrol negatif/dh 2 O, kolom 2: B. abortus, kolom 3: E. coli, kolom 4: P. aeruginosa, kolom 5: C. jejuni, kolom 6: C. burnetii dan kolom M: DNA ladder 100 pb). Primer ini sangat sensitif dan spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode diagnosa laboratorium yang akurat dalam mendeteksi C. burnetii pada fase akut Q fever (Ogawa et al. 2004; Zhang et al. 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas metode nested PCR sangat memadai untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii dengan konsentrasi 300 pg, sehingga pada bahan pangan asal hewan seperti telur yang mengandung DNA C. burnetii dengan konsentrasi < 300 pg tidak dapat terdeteksi. KESIMPULAN Metode nested PCR merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii. Tingkat sensitivitas metode nested PCR menggunakan primer eksternal (OMP1- OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) memiliki kemampuan mendeteksi DNA C. burnetii hingga konsentrasi 300 pg. Metode nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi DNA C. burnetii.

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne diseases, Australian Q fever,

Lebih terperinci

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan PEMBAHASAN UMUM Sampai dengan tahun 2006 ada beberapa penelitian serologi tentang penyakit Query fever (Q fever) di Indonesia. Tahun 1955 ditemukan positif pada 188 serum sapi mengandung antibodi Coxiella

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii TINJAUAN PUSTAKA 57 Sejarah Q fever Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula pada pekerja rumah

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA HASIL DAN PEMBAHASAN Q fever merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan pekerjaannya (occupational hazard) dan dapat

Lebih terperinci

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK BAWANTA WIDYA SUTA. 2007.

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT) DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT) ADINI ALVINA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 51-56 ISSN : 1411-8327 Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii (SENSITIVITY AND SPECIFICITY OF NESTED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT 71 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi 566 pulau besar dan kecil dengan luas daratan sekitar 47,3 ribu km 2. Kondisi alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Distrik Bobonaro Distrik Bobonaro terletak di antara 8 o 48-9 15 Lintang Selatan dan 125 o 55-125 24 Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan suhu

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIMIKROBA PADA PUTIH TELUR DARI BEBERAPA JENIS UNGGAS TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF SKRIPSI CHAIRUL

AKTIVITAS ANTIMIKROBA PADA PUTIH TELUR DARI BEBERAPA JENIS UNGGAS TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF SKRIPSI CHAIRUL AKTIVITAS ANTIMIKROBA PADA PUTIH TELUR DARI BEBERAPA JENIS UNGGAS TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF SKRIPSI CHAIRUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu menjadi bahan pangan sumber protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral,

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

PENERAPAN BIOSEKURITI DAN HIGIENE DI TEMPAT PENAMPUNGAN UNGGAS DI JAKARTA BARAT KUKUH GALIH WASKITA

PENERAPAN BIOSEKURITI DAN HIGIENE DI TEMPAT PENAMPUNGAN UNGGAS DI JAKARTA BARAT KUKUH GALIH WASKITA PENERAPAN BIOSEKURITI DAN HIGIENE DI TEMPAT PENAMPUNGAN UNGGAS DI JAKARTA BARAT KUKUH GALIH WASKITA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PENERAPAN BIOSEKURITI DAN HIGIENE DI TEMPAT

Lebih terperinci

GAMBARAN PERILAKU BERISIKO TERINFEKSI

GAMBARAN PERILAKU BERISIKO TERINFEKSI UNIVERSITAS UDAYANA GAMBARAN PERILAKU BERISIKO TERINFEKSI Toxoplasma gondii PADA PEDAGANG DAGING DAN DETEKSI Toxoplasma gondii PADA AIR YANG DIGUNAKAN PEDAGANG DAGING DI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN KARANGASEM

Lebih terperinci

... "". t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

... . t'..' KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS B NASIP BIN ELI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. ',',~:' c '\"~l, ;, ~,,:,~~'".,1'."'... ;,;...~~'.t... J, ".:rr ",.,t;,:..'tr~,'".~"... :~... ;!.t:~* ( ' ~ \ KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS Oleh NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2007-2011

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, kerbau, kuda, domba, kambing,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Sampel daging ayam yang diteliti diperoleh dari pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. Selama pengambilan kuisioner terdapat 24 pedagang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroorganisme yang tidak dapat dikulturkan dengan teknik standar diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru yang dapat mempelajari

Lebih terperinci

KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU EDI DARUDJATI

KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU EDI DARUDJATI KUALITAS MIKROBIOLOGIK MENTEGA IMPOR DARI PERANCIS DAN SELANDIA BARU EDI DARUDJATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 vi ABSTRAK STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 Francine Anne Yosi, 2007; Pembimbing I: Freddy Tumewu Andries, dr., MS Pembimbing II: July Ivone, dr. AIDS (Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NANANG SYAIFUL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang- BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan protein yang tinggi masyarakat Indonesia yang tidak disertai oleh kemampuan untuk pemenuhannya menjadi masalah bagi bangsa Indonesia. Harper dkk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, anjing, burung,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, anjing, burung, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TORCH adalah singkatan dari toxoplasma, rubella, citomegalovirus, dan herpes, yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa atau parasit darah dan virus. Penyebab

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi

Lebih terperinci

ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR)

ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR) ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR) By Amalia Masturotul M 09/283370/PA/12532 Detection

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru tetapi juga dapat mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui bahwa telur ayam merupakan sumber protein hewani pelengkap gizi pada makanan, dan sebagian menggunakannya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Produk makanan olahan saat ini sedang berkembang di Indonesia. Banyaknya variasi bentuk produk makanan olahan, terutama berbahan dasar daging yang beredar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai potensi yang sangat baik untuk menopang pembangunan pertanian di Indonesia adalah subsektor peternakan. Di Indonesia kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI FLU BURUNG AVIAN FLU AVIAN INFLUENZA BIRD FLU RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI VIRUS INFLUENZA Virus famili orthomyxoviridae Tipe A,B,C Virus A dan B penyebab wabah pada manusia Virus C

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli dikenal sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Kuisioner Penyediaan telur yang aman dan berkualitas sangat diperlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Penanganan telur mulai dari sesaat setelah

Lebih terperinci

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE KAMBING DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN TINGKAT CEMARAN MIKROBA DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR CHAIDIR TAUFIK

KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE KAMBING DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN TINGKAT CEMARAN MIKROBA DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR CHAIDIR TAUFIK KEAMANAN MENGKONSUMSI SATE KAMBING DITINJAU DARI ASPEK PEMANASAN DAN TINGKAT CEMARAN MIKROBA DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR CHAIDIR TAUFIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 2 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Bab 4 P E T E R N A K A N

Bab 4 P E T E R N A K A N Bab 4 P E T E R N A K A N Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak utama

Lebih terperinci

DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA

DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK DINY

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI BAKTERI Salmonella enteric I serotype typhi PADA DAGING SATE YANG DIJAJAKAN DI AREA KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN.

IDENTIFIKASI BAKTERI Salmonella enteric I serotype typhi PADA DAGING SATE YANG DIJAJAKAN DI AREA KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN. IDENTIFIKASI BAKTERI Salmonella enteric I serotype typhi PADA DAGING SATE YANG DIJAJAKAN DI AREA KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN Oleh: NORATIQAH AISYAH 090100448 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITI

Lebih terperinci