TINJAUAN PUSTAKA Sejarah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Sejarah"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne diseases, Australian Q fever, Australian Q, Balkan influenza, Balkan Nine Mile Fever, Coxiella burnetii infection, Derrick-bunet diseases, Hibernovenal bronchopneumoni, Q fever pneumonia, Querry fever dan Puzzling fever (Acha dan Szyfres 2003). Nama Q fever berasal dari kata Querry (Q) yang pertama kali ditemukan oleh Edward Holbrook Derrick pada tahun Kejadian penyakit ini bermula pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia yang menderita demam namun tidak jelas penyebabnya (Baca dan Paretsky 1983). Meskipun telah dilakukan penelitian terhadap penyakit tersebut pada saat itu, namun belum berhasil menemukan penyebab utama dari Q fever, sehingga dinamakan penyakit Maladi Q (Query) fever. Pada tahun 1939 Macfarlane Burnett menyatakan bahwa penyebab Q fever adalah riketsia, dari ordo Rickettsiales, famili Rickettsiaceae dengan nama spesies Rickettsia diaporica, namun untuk mengenang jasa Macfarlane Burnett diubah menjadi Rickettsia burnetii (Maurin dan Raoult 1999). Berdasarkan analisis sekuen 168 rrna yang dilakukan Maurin dan Raoult (1999), ternyata Rickettsia burnetii secara filogenik lebih dekat dengan Pseudomonas aeruginosa, Francisella tularensis, Escherichia coli, dan Legionella pneumophila dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma. Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan dengan kelompok tersebut dan akhirnya berdiri sendiri dengan nama Coxiella burnetii seperti tercantum pada Gambar 1.

2 8 Gambar 1 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara Coxiella burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria berdasarkan analisis sekuen 16S rrna (Maurin dan Raoult 1999). Organisme C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar µm dan panjang µm, struktur menyerupai spora (spora like) (Fournier et al. 1998). C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif namun secara umum sulit dilihat dengan teknik pewarnaan Gram, sehingga dipakai pewarnaan Gimenez yang umum digunakan untuk pewarnaan spesimen klinik atau kultur laboratorium. Alternatif lain adalah menggunakan pewarnaan Stamps dengan pewarna 2% basic fuchsin dan counterstained methylen blue (Baca dan Paretsky 1983; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998).

3 9 k b Gambar 2 Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk besar (Fournier et al. 1998). Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat ekstraseluler dan diduga merupakan bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yaitu antigen fase I dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I bersifat lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua fase antigen ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al. 1998). a b Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998). Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronis, antibodi terhadap antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000).

4 10 Menurut Centers for Diseases Control (CDC 2005) pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan peningkatan antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kondisi kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I. Center for Food Security and Public Health (CFSPH 2007) menyebutkan bahwa agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid. C. burnetii pada bahan pangan asal hewan dan olahannya dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -18 C sampai dengan -20 C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam suhu 4-6 C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis (Maurin dan Raoult 1999; CDC 2005). Epidemiologi Q Fever pada Hewan Hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati, kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan, dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; Parker et al. 2006; Muskens et al. 2007). Burung dan rodensia merupakan pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing, dan domba merupakan reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan Vellema 2009). Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sumber penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan, susu, dan luka yang terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier et al. 1998). C. burnetii dapat mengkontaminasi lingkungan jika ada hewan yang melahirkan, yaitu melalui cairan amnion, plasenta, feses, dan urin secara terus menerus selama beberapa bulan. Kambing sering menjadi sumber infeksi ke

5 11 manusia karena kejadian pada kambing lebih lama dibandingkan domba, yaitu selama dua kali masa kebuntingan (Hatchette et al. 2003; Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi Q fever bersifat laten (Kloppert et al. 2004). Caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar ke hewan pelihara, dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang terinhalasi. Caplak dapat berperan sebagai perantara pada hewan tetapi tidak pada manusia. Penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak seksual karena agen penyebab ditemukan pada semen sapi (Marrie 2000; Maurin dan Raoult 1999). Beberapa negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Korea, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara, Q fever merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Penelitian tentang Q fever telah banyak dilakukan dan bahkan sekuensing genom dari C. burnetii telah dilakukan secara lengkap (Seshadri et al. 2003). Hal ini dilakukan karena C. burnetii berpotensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (Raoult 2002). Hasil survei di Jepang pada tahun 1954 menunjukkan bahwa 2.5% dari sapi dan 1.7% dari kambing yang diperiksa terbukti mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Htwe et al. 1992). Ho et al. (1995) melaporkan bahwa C. burnetii telah diisolasi pada 36 (16.8%) dari 214 sampel susu segar yang diambil dari sapi perah yang mengalami gangguan reproduksi di Jepang bagian tengah. Menurut laporan Scrimgeour et al. (2003), 9.8% dari 102 pasien anak-anak di rumah sakit di Oman terbukti seropositif terhadap C. burnetii. Pemeriksaan terhadap 54 ekor domba yang berasal dari provinsi yang berbeda di Oman ternyata 52% seropositif terhadap C. burnetii. Selain itu, terdapat hubungan yang nyata antara kasus infeksi C. burnetii pada hewan dan pada manusia. Setiyono et al. (2005) menetapkan kriteria baru untuk uji serologis terhadap Q fever dengan metode IFA, dan penggunaan PCR juga telah dievaluasi serta dapat dipakai untuk mendeteksi C. burnetii (Ogawa et al. 2004).

6 12 Q Fever pada Manusia Menurut Van den Brom dan Vellema 2009, kejadian Q fever pada manusia berhubungan erat dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak, pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan; pekerja di peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di kebun binatang. Penularan antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang belakang), saliva, dan hubungan seksual. Selain itu bisa tertular selama menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Beberapa faktor yang mempermudah seseorang terserang Q fever yaitu tidak divaksinasi Q fever dan yang mengalami imunosupresan karena menderita penyakit tertentu, misalnya AIDS, kanker, limpoma, tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung, gangguan ginjal kronis atau penerima transplan organ (Norlander 2000). Hasil penelitian Marrie (2003) menunjukkan bahwa C. burnetii dapat menimbulkan pneumonia yang fatal pada manusia. Penularan Q fever secara aerosol dapat menimbulkan lesi yang hebat pada paru-paru (Stein et al. 2005). Q Fever sebagai Penyebab Food-borne Diseases Kim et al menyatakan bahwa jika sapi perah terinfeksi C. burnetii maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu, hal ini merupakan salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolaksis et al. 2009). Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif DNA C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo menggunakan metode nested PCR. Fretz et al. (2007) menemukan 17 sampel (4.7%) dari 359 sampel susu sapi positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR di Zwitzerland, tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan kambing. Q Fever di Indonesia Kaplan dan Bertagna (1955) melakukan penelitian tentang keberadaan Q fever di Indonesia menggunakan metode CAT terhadap 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis dan ditemukan positif antibodi C. burnetii. Sebanyak

7 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang, didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode CAT (Rumawas 1976). Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari penderita pneumonia yang pernah tinggal di Indonesia. Penelitian seroepidemiologi terbaru terhadap spotted fever group rickettsia (SFGR) di Indonesia dilakukan oleh Richards et al. (2003) di Kepulauan Gag yang menunjukkan bahwa reaktor yang bereaksi positif sebanyak %. C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukan pada hewan ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan penularan kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di beberapa wilayah di Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada hasil seroprevalensi di kota Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA. Penelitian pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii, serta pada kambing dan domba 3.64% positif C. burnetii menggunakan metode nested PCR (Mahatmi 2006). Gejala Penyakit Hewan yang terinfeksi C. burnetii tidak selalu menunjukkan gejala klinis, bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Fase akut C. burnetii dapat ditemukan di dalam darah, jantung, hati dan limpa hewan yang terinfeksi. Penyakit umumnya berlanjut menjadi kronis dan secara terus menerus hewan akan mengekskresikan bakteri melalui tinja dan urin (Smith 1999; Ho et al. 1995). Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rhinitis, frekuensi pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, endometritis, tidak fertil dan beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005). Sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan Vellema 2009). Infeksi C. burnetii pada hewan umumnya bersifat subklinis, yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, gangguan pernapasan ringan dan gangguan reproduksi berupa abortus pada domba dan sapi. Namun, pada manusia infeksi

8 14 C. burneii sering bersifat akut dan menahun serta dapat menimbulkan kondisi yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan endokarditis yang berakibat kematian (Raoult 2002). Ho et al. (1995) menyatakan bahwa beberapa kasus pneumonia pada anak-anak di Jepang ternyata disebabkan oleh Q fever. Penularan pada manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual. Selain itu dilaporkan bisa tertular selama menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Manusia yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala dari penyakit lain. Gejala akut pada umumnya seperti flu (flu like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue), pegal-pegal, sakit tenggorokan, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan bobot badan. Penyakit Q fever yang tidak terobati dalam kurun waktu dua minggu, dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), hepatitis, infeksi kulit, hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis, artritis, tromboplebitis, pleuritis dan pankreatitis. Wanita hamil yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Kasus Q fever akut akan menjadi kronis sebanyak 2-10% jika selama 6-12 bulan tidak diberikan pengobatan yang efektif, yaitu terjadi endokarditis, infeksi osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique syndrome), dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al. 2008). Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular). Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan seringnya mengalami kelelahan yang panjang disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah,

9 15 dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; CDC 2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita penyakit Q fever akut ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel darah putih cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis yang abnormal, seperti hematuria, leukosituria, proteinuria (Ergar et al. 2006). Masa inkubasi penyakit Q fever pada manusia bervariasi mulai 2-5 minggu dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis infeksi C. burnetii (Maurin dan Roault 1999). Orang yang terinfeksi 1-10 sel mikroorganisme C. burnetii dapat menimbulkan gejala klinis (CFSPH 2007). Teknik Diagnosa Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paruparu fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil, bulat atau seperti benang. Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).

10 16 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu metoda immunokimia yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen dengan antibodi yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikatornya. Antigen atau antibodi yang dilabel dengan enzim dan diikatkan dengan pendukung immunosorbent akan membentuk antigen-antibodi kompleks. Metoda ELISA dengan antigen kompetitif, antibodi dilapiskan pada immunosorbent (substrat padat), kemudian antigen sampel dan antigen yang berlabel enzim dimasukan kedalam immunosorbent sehingga terjadi kompetisi antara antigen sampel dengan antigen berlabel enzim untuk berikatan dengan antibodi dan terbentuk kompleks antibodi-antigen. Tambahan substrat yang spesifik terhadap kerja enzim, akan dihasilkan reaksi yang menghasilkan warna. Hasil warna tersebut dapat dilihat secara visual atau diukur dengan menggunakan kolorimeter atau spektrofotometer. Ciri utama metoda ini adalah menggunakan suatu indikator enzim untuk reaksi immunologi (Burgess 1995). Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah banyak, waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitasnya rendah. Adapun kekurangan teknik ELISA diantaranya sering menimbulkan reaksi positif palsu, hal ini disebabkan karena antigen standar yang digunakan umumnya dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan antibodi dalam serum berikatan dengan epitop-epitop lain yang ada di permukaan sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005). Field et al. (2002) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa Q fever yaitu teknik ELISA dan IFA. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa teknik ELISA memberikan sensitivitas 95% dan spesifitas 88%, sedangkan menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifitas 98%. Penelitian yang sama juga dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitifitas dan spesifitas masing-masing 93.8% dan 83.3%. Teknik ELISA baik digunakan untuk tes skrining dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifitasnya dapat ditingkatkan dengan mengkombinasi IFA. Hasil penelitian yang dilakukan Kennerman et al. (2010) menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok)

11 17 yang berumur antara bulan di Turki sejak tahun dengan menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx Laboratories, Broomfield, CO, USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta 7.9% seropositif pada sapi 9 dari 571 ekor di Albania. Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji serologis (ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif dengan ELISA, 32% positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Tujuh ekor domba yang seronegatif, dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil positif, hal ini menunjukkan PCR mempunyai sensitifitas lebih tinggi dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001). Perbandingan uji serologis dan molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut menunjukkan bahwa apabila serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah infeksi dapat didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ketiga sampai keempat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya untuk mengonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003). Nested Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polymerase sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sampel yang diperiksa. polymerase chain reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Mahatmi et al melakukan penelitian dengan menggunakan sampel jantung dan hati untuk melihat C. burnetii pada fase kronis. Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan replikasi sampel DNA menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen. Pasangan primer yang pertama akan mengamplifikasi fragmen yang cara kerjanya mirip dengan PCR pada

12 18 umumnya. Pasangan primer yang kedua biasanya disebut nested primers (sepasang primer tersebut terletak di dalam fragmen pertama) yang berikatan di dalam fragmen produk PCR yang pertama untuk memungkinkan terjadinya amplifikasi produk PCR yang kedua dimana hasilnya lebih pendek dari yang pertama. Nested PCR adalah PCR yang sangat spesifik dalam melakukan amplifikasi karena jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua sangat rendah (Chauhan et al. 2009). Nested PCR merupakan variasi dari reaksi polymerase chain reaction biasa (PCR). Nested PCR dan PCR biasa keduanya berguna untuk memperbanyak fragmen DNA tertentu dalam jumlah banyak. Pada nested PCR digunakan 2 pasang primer sedangkan pada PCR biasa hanya menggunakan 1 pasang primer. Oleh karena itu, hasil fragmen DNA dari nested PCR lebih spesifik (lebih pendek) dibandingkan dengan PCR biasa. Waktu yang diperlukan dalam reaksi nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR dilakukan 2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali reaksi PCR. Selain itu, keuntungan nested PCR adalah meminimalkan kesalahan amplifikasi gen dengan menggunakan 2 pasang primer (Chauhan et al. 2009). Menurut Louise et al 2001, secara umum, PCR adalah suatu proses perbanyakan DNA secara in vitro melalui beberapa tahap, yaitu denaturasi, penempelan primer, dan pemanjangan. Prinsip kerja nested PCR tidak jauh berbeda dengan PCR biasa, namun nested PCR akan bekerja menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik melalui dua proses PCR secara terpisah. Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki fase penempelan, di mana sepasang primer pertama melekat di kedua utas tunggal DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua primer tersebut dan terbentuklah produk PCR pertama. Kemudian produk PCR pertama tersebut dijalankan pada proses PCR kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer) akan mengenali sekuen DNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR pertama dan memulai amplifikasi bagian di antara kedua primer tersebut. Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada sekuens DNA hasil PCR pertama.

13 19 Modifikasi metode Qiao untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada telur ayam ras dan lokal dapat menghasilkan konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. Metode nested PCR mampu mendeteksi DNA C. burnetii pada konsentrasi 300 pg. Metode nested PCR mempunyai spesifitas yang tinggi (concerved) dan 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan PCR biasa untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Purnawarman 2011). Pencegahan dan Pengendalian Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang diproduksi dalam telur berembrio. Plasenta sapi atau domba perlu ditanam atau dibakar setelah itu di area kelahiran dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach atau hidrogen peroksida) untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan yang bunting atau sedang melahirkan dijaga dari hewan lain. NNDSS (2003) melaporkan bahwa sejak tahun dilakukan upaya pencegahan penyakit ini, yaitu melakukan program vaksinasi Q fever pada pekerja di industri pengolahan daging dan RPH. Tahun dilaksanakan vaksinasi pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Penggunaan vaksin Q fever yang aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal, uji serologis atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian antara strain antigen C. burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis sangat berperan terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi. Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever. Pengobatan Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999). Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi adalah (1) memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko; (2) disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan)

14 20 dari plasenta, sisa abortan dan fetus; (3) karantina ternak yang akan diimpor; (4) autoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium; (5) pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 C selama 30 menit atau 71.6 C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 C selama 6.2 menit atau 61.1 C selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008) Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever akut pada manusia adalah doksisiklin. Penyakit yang kronis pengobatan dapat berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai untuk ibu hamil. Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-trimoksazol (kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol), namun pengobatan ini dapat menyebabkan kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q fever akan tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya. Efektifitas pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui. Pemberian antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum. Antimikroba yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier tetapi untuk menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi. Pengawasan Q fever yang terbaik di peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan hewan.

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii TINJAUAN PUSTAKA 57 Sejarah Q fever Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula pada pekerja rumah

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA HASIL DAN PEMBAHASAN Q fever merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan pekerjaannya (occupational hazard) dan dapat

Lebih terperinci

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan PEMBAHASAN UMUM Sampai dengan tahun 2006 ada beberapa penelitian serologi tentang penyakit Query fever (Q fever) di Indonesia. Tahun 1955 ditemukan positif pada 188 serum sapi mengandung antibodi Coxiella

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2007-2011

Lebih terperinci

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya.

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya. Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya. Tes HIV umum, termasuk imuno-assay enzim HIV dan pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT 71 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi 566 pulau besar dan kecil dengan luas daratan sekitar 47,3 ribu km 2. Kondisi alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan.

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan. BAB I PENDAHULUAN Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam tubuh seperti alkohol, menyaring

Lebih terperinci

Peranan berbagai modalitas diagnostik dalam deteksi Trichomonas vaginalis

Peranan berbagai modalitas diagnostik dalam deteksi Trichomonas vaginalis Karya Ilmiah Peranan berbagai modalitas diagnostik dalam deteksi Trichomonas vaginalis Dr. RACHMAT HIDAYAT, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2015 i LEMBAR PENGESAHAN Setelah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi kesehatan dunia, WHO, baru-baru ini membunyikan tanda bahaya untuk mewaspadai serangan berbagai penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini, wabah penyakit

Lebih terperinci

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 51-56 ISSN : 1411-8327 Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii (SENSITIVITY AND SPECIFICITY OF NESTED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS 23 Apr 2003 Kasus sindrom pernapasan akut parah, atau lebih dikenal dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) masih menempatkan berita utama di sebagian

Lebih terperinci

Jika tidak terjadi komplikasi, penyembuhan memakan waktu 2 5 hari dimana pasien sembuh dalam 1 minggu.

Jika tidak terjadi komplikasi, penyembuhan memakan waktu 2 5 hari dimana pasien sembuh dalam 1 minggu. Virus Influenza menempati ranking pertama untuk penyakit infeksi. Pada tahun 1918 1919 perkiraan sekitar 21 juta orang meninggal terkena suatu pandemik influenza. Influenza terbagi 3 berdasarkan typenya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat

Lebih terperinci

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Rita Shintawati Pendahuluan Relapsing fever (RF) demam berulang infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Gejala klinis yg khas timbulnya demam berulang diselingi periode

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS BAB 2 TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS 2.1 Pengenalan Singkat HIV dan AIDS Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, HIV adalah virus penyebab AIDS. Kasus pertama AIDS ditemukan pada tahun 1981. HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara

Lebih terperinci

AVIAN INFLUENZA. Dr. RINALDI P.SpAn Bagian Anestesi/ICU Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.DR.Sulianti Saroso

AVIAN INFLUENZA. Dr. RINALDI P.SpAn Bagian Anestesi/ICU Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.DR.Sulianti Saroso AVIAN INFLUENZA Dr. RINALDI P.SpAn Bagian Anestesi/ICU Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.DR.Sulianti Saroso Flu burung atau Avian Influenza adalah jenis influenza pada binatang yang sebenarnya telah ditemukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Distrik Bobonaro Distrik Bobonaro terletak di antara 8 o 48-9 15 Lintang Selatan dan 125 o 55-125 24 Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan suhu

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP )

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP ) SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP ) Topik : Imunisasi Pentavalen Hari / Tanggal : Selasa/ 08 Desember 2014 Tempat : Posyandu Katelia Waktu Pelaksanaan : 08.00 sampai selesai Peserta / Sasaran : Ibu dan Anak

Lebih terperinci

Mengapa disebut sebagai flu babi?

Mengapa disebut sebagai flu babi? Flu H1N1 Apa itu flu H1N1 (Flu babi)? Flu H1N1 (seringkali disebut dengan flu babi) merupakan virus influenza baru yang menyebabkan sakit pada manusia. Virus ini menyebar dari orang ke orang, diperkirakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. daging yang beredar di masyarakat harus diperhatikan. Akhir-akhir ini sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Produk makanan olahan saat ini sedang berkembang di Indonesia. Banyaknya variasi bentuk produk makanan olahan, terutama berbahan dasar daging yang beredar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroorganisme yang tidak dapat dikulturkan dengan teknik standar diperkirakan masih ada sekitar 99%. Metagenomik muncul sebagai metode baru yang dapat mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi

Pertanyaan Seputar Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 dan Penyakit Influenza pada Babi 1 Lab Biomedik dan Biologi Molekuler Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl Raya Sesetan-Gang Markisa No 6 Denpasar Telp: 0361-8423062; HP: 08123805727 Email: gnmahardika@indosat.net.id;

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli dikenal sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali

Lebih terperinci

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI FLU BURUNG AVIAN FLU AVIAN INFLUENZA BIRD FLU RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI VIRUS INFLUENZA Virus famili orthomyxoviridae Tipe A,B,C Virus A dan B penyebab wabah pada manusia Virus C

Lebih terperinci

Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik

Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik Rickettsia typhi Penyebab Typhus Endemik (Manda Ferry Laverius/078114010) Penyakit typhus disebabkan oleh beragai macam bakteri. Meskipun penyakit ini memiliki kesamaan ciri secara umum, namun typhus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu menjadi bahan pangan sumber protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral,

Lebih terperinci

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan

Lebih terperinci

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena merupakan salah satu sumber protein hewani yang terjangkau oleh hampir sebagian besar lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB 4 ANTRAKS. 1. Defenisi Penyakit Antraks

BAB 4 ANTRAKS. 1. Defenisi Penyakit Antraks BAB 4 ANTRAKS 1. Defenisi Penyakit Antraks Kuman antraks pertama kali di isolasi oleh Robert Koch pada tahun 1877. Meskipun penyakit alaminya sudah banyak berkurang, antraks menarik perhatian karena dapat

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

Frequent Ask & Questions (FAQ) MERS CoV untuk Masyarakat Umum

Frequent Ask & Questions (FAQ) MERS CoV untuk Masyarakat Umum Frequent Ask & Questions (FAQ) MERS CoV untuk Masyarakat Umum Apa itu MERS CoV? Mers CoV adalah singkatan dari Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (Sindrom pernapasan Timur Tengah karena Virus

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Tifoid 1. Pengertian Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang terdapat pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 VIRUS HEPATITIS B Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage Oleh AROBIYANA G0C015009 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNUVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV). HBV ditemukan pada tahun 1966 oleh Dr. Baruch Blumberg berdasarkan identifikasi Australia antigen yang sekarang

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Definisi Virus hepatitis adalah gangguan hati yang paling umum dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.(krasteya et al, 2008) Hepatitis B adalah

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya

Lebih terperinci

Pengambilan dan Pengiriman Sampel

Pengambilan dan Pengiriman Sampel Pengambilan dan Pengiriman Sampel Kenali Laboratorium Anda Ketahui jenis-jenis uji yang dapat dilakukan dan pilihlah yang terbaik Sediakan semua informasi yang dibutuhkan Hubungi lab bila Anda perlu informasi

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi yang dalam beberapa tahun ini telah menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Penyakit DBD adalah penyakit

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS VIRUS FIRMAN JAYA OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS PENDAHULUAN Metaorganisme (antara benda hidup atau benda mati) Ukuran kecil :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci