HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Q fever merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan pekerjaannya (occupational hazard) dan dapat ditularkan melalui makanan (foodborne diseases) (Vaidya et al. 2008). Mikroorganisme ini dilaporkan mampu menyebar sejauh km dari sumber infeksi yang dibawa oleh angin (aerosol transmission), mempunyai dosis infeksi yang rendah (low infectious dose), stabil di lingkungan dan beberapa kondisi psikokimia (stable in the environment). Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) apabila C. burnetii disebarkan ke suatu wilayah dengan populasi penduduk sebesar 5 juta, maka orang akan sakit dan 150 orang meninggal (CFSPH 2007; Marrie 2003). Data penelitian terhadap keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever di Indonesia adalah nyata secara serologi dan molekuler, walaupun masih perlu dibuktikan dengan melakukan isolasi dan identifikasi mikroorganisme C. burnetii. Q fever termasuk penyakit eksotik di Indonesia, yaitu penyakit zoonosa yang belum ditemukan atau dilaporkan terjadi di Indonesia (Komnas 2010). Hasil ELISA Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 46 sampel yang terdiri dari 46 sampel serum darah dan 46 sampel darah utuh (whole blood). Hasil pengujian serologis dengan metode ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit, IDEXX, Switzerland) memperlihatkan dari 46 sampel serum darah sapi perah, 23 sampel (50%) positif Q fever sedangkan 23 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif. Penggunaan metode ini dinyatakan valid jika Optical Density (OD) kontrol positif tidak lebih dari 2.0 dan OD kontrol negatif tidak lebih dari 0.5, perbedaan antara kontrol positif dan negatif harus lebih besar atau sama dengan 0.3. Hasil positif terhadap Q fever pada uji ini apabila nilai (%) sama dengan atau lebih besar 40%, sedangkan suspect jika nilai (%) adalah 30% - <40% dan negatif

2 30 jika nilai (%) adalah kurang dari 30%. Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode ELISA dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode ELISA Jenis Jumlah ELISA Rata-rata Nilai (%) Sampel (ekor) (+) (-) (+) (-) Serum Hasil penelitian ini menunjukkan seropositif sebanyak 50% dengan rata-rata persentasi nilai positif adalah 92.54%. Sampel serum darah sapi perah berasal dari sapi perah impor dari Australia yang merupakan negara endemis dan pertama kali ditemukan kasus Q Fever. ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit, IDEXX, Switzerland) mempunyai sensitifitas 100% dan spesifitas 100% jika dibandingkan dengan CFT dengan korelasi 98%. ELISA digunakan dalam diagnosa karena mudah dikerjakan dan handal. Jumlah sampel yang positif C. burnetii pada pemeriksaan serologis pada umumnya cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode PCR. Hewan yang positif antibodi terhadap C. burnetii pada pemeriksaan serologis adalah hewan yang telah terinfeksi dalam waktu lama, sementara agen penyebabnya sendiri belum tentu ada dalam tubuh hewan (Mahatmi et al. 2006). Sampel serum darah sapi perah berasal dari sapi perah yang diimpor dari Australia yang merupakan negara endemis dan pertama kali ditemukan kasus Q Fever. Penelitian terbaru dilakukan oleh Cooper et al. (2011) terhadap sapi potong di daerah Queensland dengan tingkat insidensi Q fever tertinggi di Australia, sebanyak 16.8% (SK 95%; %) seropositif terhadap Q Fever. ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi, hal ini sesuai dengan penelitian Vaidya et al. (2011) terhadap 920 sampel yang berupa swab genital dan feses, susu, urin dan serum. Sampel dikoleksi dari 88 ekor sapi, 33 ekor kerbau, 43 ekor domba dan 53 ekor kambing dengan riwayat gangguan reproduksi dan diskrining terhadap C. burnetii. Sampel diuji dengan trans-pcr, real-time PCR, IFA, ELISA dan metode isolasi. Prevalensi terhadap Q fever secara keseluruhan adalah 13.82%, sedangkan untuk masing-masing hewan prevalensi Q fever pada sapi sebesar 12.78%, kerbau sebesar 16.66%, domba sebesar 11.04% dan kambing sebesar 6.13%. Dibandingkan dengan IFA, kedua

3 31 PCR mempunyai sensitifitas tertinggi yaitu 85.18% kemudian ELISA (74.07%) dan metode isolasi (14.81%), namun dalam hal spesifitas metode isolasi adalah paling spesifik (100%) kemudian kedua PCR (99.47%) dan ELISA (98.44%). Tindakan pencegahan sangat penting untuk melindungi hewan dan manusia dari paparan C. burnetii. Ruminansia yang mengalami keguguran sebaiknya dicurigai terhadap infeksi Q Fever. Jika hewan menunjukkan seropositif terhadap Q fever maka (1) susu harus dipastikan sudah dipasteurisasi dengan benar, (2) melakukan disinfeksi hewan secara teratur terutama kandang tempat melahirkan dengan bleach solution 10%, (3) hewan bunting diberi kandang terpisah, (4) membersihkan dengan cepat dan membuang dengan benar materi dari hewan yang telah melahirkan termasuk fetus yang abortus untuk mencegah kontak dengan hewan lain, dan (5) menjaga pupuk kandang dari ternak yang terinfeksi. Hasil Nested PCR Sampel yang diambil berupa whole blood dari sapi perah yang sama dan diekstraksi menggunakan DNeasy Blood and Tissue Kit dari Qiagen. Prinsip dari ekstraksi ini adalah pertama kali sampel akan dilisiskan dengan proteinase K dan bufer ditambahkan untuk mengoptimalkan pengikatan DNA. Selama sentrifugasi DNA akan terikat pada membran DNeasy, kontaminan dan enzim inhibitor akan dibuang dalam dua tahap pencucian yang efektif, sedangkan DNA akan terelusi dalam air atau bufer dan siap digunakan. Tingkat kemurnian DNA diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Menurut Sulandari dan Zein (2003) penyerapan sinar ultra violet oleh nukelotida secara maksimal dicapai pada panjang gelombang 280 nm. Apabila Optical Density pada 260 nm (OD 260 ) sama dengan 1 (satu), maka konsentrasinya setara dengan 50 µl/ml DNA untai ganda. Untuk menghitung konsentrasi DNA digunakan rumus : konsentrasi DNA (µg/ml) = A260 x 50 x faktor pengenceran. Tingkat kemurnian DNA ditentukan oleh tingkat kontaminasi dalam larutan DNA dan dapat dihitung dengan membagi nilai OD 260 dengan OD 280. Hasil ekstraksi DNA diukur konsentrasi dan tingkat kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil ekstraksi 46 sampel whole blood didapatkan rata-rata konsentrasi DNA adalah µg/ml dan tingkat kemurnian

4 32 DNA adalah Menurut Colclough (2004) tingkat kemurnian DNA berkisar antara Jika nilai rasio kurang dari 1.5 maka masih ditemukan adanya kontaminasi fenol atau protein dalam larutan DNA, sedangkan jika rasio lebih dari 2.1 maka terdapat RNA dalam larutan DNA. Penggunaan metode nested PCR sangat bermanfaat jika konsentrasi C. burnetii dalam sampel tidak mencukupi untuk dideteksi dengan PCR. Penelitian Purnawarman et al. (2012) menunjukkan tingkat sensitivitas menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2) dan (OMP3- OMP4) mampu mendeteksi DNA C. burnetii hingga 300 pg/μl. Prinsip dasar PCR adalah memperoleh target DNA yang banyak dengan bantuan oligonukleotida sintetik yang sesuai sekuen target dengan menggunakan enzim polymerase DNA. Peningkatan secara eksponensial dari target DNA diperoleh setelah dilakukan denaturasi (denaturation), perlekatan primer (primer annealing) dan perpanjangan (extension) oleh polymerase DNA (Latchman 1995). Menurut Meena et al. (1995) keberhasilan teknik PCR ditentukan berdasarkan konsentrasi (optimalisasi) magnesium klorida (MgCl 2 ), kalium klorida (KCl), deoxyribo-nucleotide-triphosphat (dntp), taq polymerase, primer, ph, suhu perlekatan (annealing temperature) dan siklus (cycles). Hasil nested PCR dari 46 sampel yang diperiksa adalah negatif (lihat Gambar 8). a b cda b c a b a b cda 438 pb A B 438 pb Gambar 8 Hasil nested PCR dari 46 sampel yang diperiksa, A adalah sampel 1-23 dan B adalah sampel 24-46, (a) DNA ladder 100 pb, (b) sampel, (c) kontrol positif, (d) kontrol negatif. Negatif nested PCR dapat disebabkan karena sifat C. burnetii yang merupakan bakteri intraseluler, pada fase akut dapat ditemukan di darah namun

5 33 pada fase kronis bakteri banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat di organ seperti jantung, hati, plasenta dan susu. Metode PCR terhadap sampel susu dari sapi yang seropositif Q fever dengan jumlah bakteri minimal 4 x 10 6 per ml susu menunjukkan PCR positif (Lorenz et al. 1998). Faktor lain yaitu jumlah sel bakteri sangat sedikit sehingga DNA C. burnetii yang terekstraksi sedikit sehingga amplikon yang terbentuk juga relatif sedikit dan pita yang terbentuk sangat tipis dan bahkan tidak kelihatan dalam gel. Nested PCR dengan primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode laboratorium yang akurat dalam mendeteksi C. burnetii pada fase akut Q fever (Ogawa et al. 2004; Zang et al. 1998). Fretz et al. (2007) mendapatkan limit deteksi C. burnetii dengan metode nested PCR pada pangan asal hewan yaitu 10 3 sel per 1 ml susu sapi atau domba, 10 2 sel per 1 ml susu kambing, dan 10 2 sel per 15 mg kuning telur. Sedangkan limit deteksi C. burnetii pada mayones adalah 2 x 10 2 sel bakteri per 50 gram mayones (Sadamasu et al. 2006). Gambar 8 memperlihatkan hasil elektroforesis dengan pewarnaan ethydium bromida. Kontrol positif (C. burnetti) terlihat jelas fragmen terbentuk pada 438 pb. Pemilihan kontrol negatif menggunakan Staphylococcus aureus didasarkan pada penelitian Ogawa et al. (2004) yang menunjukkan adanya pita spesifik dari C. burnetii dibandingkan 12 bakteri lain (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Legionella pneumophila, Haemophilus infuenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium intracellulare, Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium gondonae, Chlamydia pneumoniae) dengan metode nested PCR. Teknik PCR yang digunakan pada penelitian ini adalah nested PCR yang menggunakan dua pasang primer. Penggunaan metode nested PCR sangat bermanfaat jika konsentrasi C. burnetii dalam sampel tidak mencukupi untuk dideteksi dengan PCR. Penelitian Purnawarman et al. (2012) menunjukkan tingkat sensitivitas menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2) dan (OMP3- OMP4) mampu mendeteksi DNA C. burnetii hingga 300 pg/μl. Hasil uji spesifisitas menunjukkan penggunaan satu pasang (OMP1- OMP2) atau dua pasang primer (OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4) dapat mendeteksi C. burnetii

6 34 secara spesifik (conserved) dan tidak terjadi hibridisasi silang (crosshybridization) dengan B. abortus, E. coli, P. Aeruginosa, dan C. jejuni. Primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 dapat mendeteksi sampai dengan 2 x 10 2 sel bakteri per sampel. Primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik serta telah digunakan sebagai metode diagnostik laboratorium yang cepat dan akurat untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Ogawa et al. 2004). Pembahasan Umum Caplak bertindak sebagai vektor C. burnetii yang dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya. Penularan dari hewan ke manusia melalui vektor caplak secara langsung sangat jarang terjadi. Penularan melalui material atau makanan yang terkontaminasi feses caplak yang terinfeksi C. burnetii dapat terjadi karena konsentrasi C. burnetii sangat tinggi pada feses caplak yang terinfeksi. C. burnetii mengalami multiplikasi di dalam lisosom sel epitel usus caplak (Sonenshine et al. 2002). Caplak Ixodidae spp. dan Argasidae spp. berperan penting sebagai vektor C. burnetii pada sapi dan unggas, karena hewanhewan tersebut merupakan induk semang dari stadium dewasa caplak. Induk semang dari larva dan nimfa caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, logomorphs dan marsupials (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010). C. burnetii dalam tubuh caplak berada pada fase I yang sangat infeksius serta mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang panas dan kering (Maurin dan Raoult 1999). Mekanisme penularan C. burnetii oleh vektor caplak ke caplak lainnya dapat secara horizontal dengan co-feeding yaitu transmisi terjadi ketika dua caplak atau lebih menghisap darah hewan yang sama. Jika salah satu caplak terinfeksi C. burnetii maka akan menulari caplak yang lain. Secara vertikal dapat terjadi melalui telur (transovarial). Untuk memelihara kelangsungan hidup C. burnetii maka harus melalui transmisi transtadial pada induk semang antara (hewan liar). Penularan C. burnetii dari caplak ke hewan domestik dapat dibagi menjadi transmisi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat melalui saliva (salivarian transmission) dan melalui feses (stercorarian transmission). Caplak

7 35 yang terinfeksi akan mengandung C. burnetii di dalam saliva dan feses. Pada saat caplak menggigit hewan akan timbul respon menggaruk dan menggesekan kulit sehingga saliva dan feses masuk ke dalam tubuh hewan tersebut (Edman 2004; Hill dan Donald 2005). Sesuai dengan hasil kuisioner yang didapat bahwa jarak antara lokasi pengambilan sampel dengan Bandar Udara Soekarno-Hatta adalah sekitar km, hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran Q Fever. CFSPH (2007) melaporkan kontaminan yang terdapat pada tanah dan debu akan terbawa oleh angin sejauh lebih dari 805 meter, sedangkan pada air dapat menyebar melalui irigasi sawah dan sungai. Ternak ruminansia yang terinfeksi akan mengeluarkan (shedding) C. burnetii ke lingkungan sebanyak 10 9 bakteri per gram plasenta pada saat melahirkan atau abortus dan akan mengkontaminasi tanah, debu, dan air. Menurut Angelakis dan Raoult (2010) apabila sapi dimasukkan ke dalam wilayah endemik Q Fever, maka 40% dari sapi tersebut akan terinfeksi dalam kurun waktu enam bulan, hal ini sesuai dengan kondisi yang diperoleh di lapangan. Sapi perah dengan hasil seropositif ELISA ditelusuri kembali dengan cara menguji serum arsip (serum yang dikoleksi pada saat pertama kali sapi perah masuk ke Indonesia). Hasil yang diperoleh dengan ELISA adalah seronegatif, hal ini berarti bahwa sapi perah yang dilalu-lintaskan dari Bandar Udara Soekarno- Hatta terinfeksi Q fever pada saat disebar di wilayah tujuan dimana sapi perah yang baru datang bercampur dengan sapi perah yang sudah ada sebelumnya. Pemakaian vaksin fase I pada sapi yang belum terinfeksi sangat efektif untuk mencegah terjadinya shedding C. burnetii. Vaksinasi secara rutin juga sangat penting dan direkomendasikan untuk hewan yang terinfeksi untuk memastikan efektifitasnya (Guatteo et al. 2008). Centers for diseases control and prevention (CDC) melaporkan bahwa 75% emerging infectious diseases (EID) dalam 20 tahun terakhir disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang dapat menginfeksi manusia (zoonosis) dan 1415 mikroorganisme patogen pada manusia yang telah diketahui, 61.6% bersumber dari hewan (CDC 2005). Purnawarman (2011) menyatakan bahwa pengendalian yang sistematis dengan menerapkan konsep One World One Health (OWOH), yaitu konsep tentang penanganan masalah kesehatan yang dikaitkan antara

8 36 kesehatan manusia (human health), kesehatan hewan (animal health) dan kesehatan lingkungan (ecosystem health) dalam satu kesatuan. OWOH mengutamakan suatu pendekatan interdisiplim dan lintas sektoral dalam pengendalian penyakit, diantaranya surveilans dan monitoring penyakit. Prioritas pengendalian penyakit harus pada hewannya dan perlu dibangun sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) yang terpadu dengan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat sampai daerah. Pengendalian zoonosis tidak dapat dipisahkan dari pengawasan keamanan pangan (food safety), seperti Q fever yang dapat ditularkan ke manusia akibat mengkonsumsi pangan asal hewan (foodborne diseases). Aspek pengaturan dan pengawasan peredaran bahan pangan asal hewan di dalam negeri serta masuknya bahan pangan dari luar negeri (impor) harus diperketat dan dikoordinasikan sebaik-baiknya dengan institusi terkait. Pemasukan hewan dan produk hewan akan berdampak terhadap risiko masuknya mikroorganisme patogen atau penyakit hewan menular/zoonosis ke Indonesia, sehingga akan mempengaruhi kesehatan hewan, kesehatan manusia, kesehatan lingkungan, dan perekonomian nasional. Penerapan Sanitary-Phytosanitary (SPS) yang mengacu pada standar OIE Terrestrial Code serta penerapan analisa risiko (risk analysis) perlu dilakukan bagi negara pengimpor (Purnawarman 2011). Kesinambungan pengendalian zoonosis, peran serta swasta dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dengan membangun kesadaran masyarakat (public awareness) dalam rangka mencegah dan mengendalikan zoonosis berbasis masyarakat (community based zoonosis control) secara terus menerus. Komunikasi, informasi, dan edukasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat juga diperlukan untuk pengendalian zoonosis. Purnawarman (2011) menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian zoonosis di Indonesia yaitu (1) penataan wilayah (zoning) usaha peternakan yang serumpun (ruminansia/unggas) dalam suatu kawasan sesuai dengan peruntukannya dan dengan jarak antar peternakan yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) kegiatan monitoring dan surveilans terpadu dengan melibatkan laboratorium kesehatan maupun laboratorium veteriner yang mempunyai fasilitas biosafety level 2 (BSL 2) dan BSL 3 di beberapa wilayah di Indonesia, sehingga

9 37 dapat dirumuskan sistem pengendalian menghadapi EID yang tertuang dalam sebuah pedoman; serta (3) mewujudkan kelembagaan bidang zoonosis yang bersifat multidisiplin dan multisektor yang bertugas mengkoordinasikan antar kementrian teknis dan lembaga-lembaga lain yang terkait dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis di Indonesia.

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan PEMBAHASAN UMUM Sampai dengan tahun 2006 ada beberapa penelitian serologi tentang penyakit Query fever (Q fever) di Indonesia. Tahun 1955 ditemukan positif pada 188 serum sapi mengandung antibodi Coxiella

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT 71 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi 566 pulau besar dan kecil dengan luas daratan sekitar 47,3 ribu km 2. Kondisi alam

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 51-56 ISSN : 1411-8327 Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii (SENSITIVITY AND SPECIFICITY OF NESTED

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii TINJAUAN PUSTAKA 57 Sejarah Q fever Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula pada pekerja rumah

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne diseases, Australian Q fever,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2007-2011

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Campylobacter spp. pada Ayam Umur Satu Hari Penghitungan jumlahcampylobacter spp. pada ayam dilakukan dengan metode most probable number (MPN). Metode ini digunakan jika

Lebih terperinci

Pengambilan dan Pengiriman Sampel

Pengambilan dan Pengiriman Sampel Pengambilan dan Pengiriman Sampel Kenali Laboratorium Anda Ketahui jenis-jenis uji yang dapat dilakukan dan pilihlah yang terbaik Sediakan semua informasi yang dibutuhkan Hubungi lab bila Anda perlu informasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization atau WHO (2006), mendefinisikan foodborne disease sebagai istilah umum untuk menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman

Lebih terperinci

PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SAMPEL

PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SAMPEL PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SAMPEL Pengambilan dan Pengiriman Sampel Kenali Laboratorium Anda Ketahui jenis-jenis uji yang dapat dilakukan dan pilihlah yang terbaik Sediakan semua informasi yang dibutuhkan

Lebih terperinci

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and 23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis Aves memiliki pembuluh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Kuisioner Penyediaan telur yang aman dan berkualitas sangat diperlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Penanganan telur mulai dari sesaat setelah

Lebih terperinci

PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING

PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah kesehatan masyarakat veteriner Dosen Pengampu : drh. Dyah Mahendrasari S. M. Sc Di Susun Oleh : 1. Ningrum Pangstu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena

BAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian bahan cetak di kedokteran gigi digunakan untuk mendapatkan cetakan negatif dari rongga mulut. Hasil dari cetakan akan digunakan dalam pembuatan model studi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang secara normal ada dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. E. coli termasuk

Lebih terperinci

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salmonella merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit yang disebut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut : 25 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep berikut : Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai Manajemen Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH - Pemeriksaan - Petugas Pemeriksa - Cara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

1 0,53 0,59 2 0,3 0,2 3 0,02 0,02 4 0,04 0,04 5 0,3 0,3 Ilustrasi rangkaian isolasi DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

1 0,53 0,59 2 0,3 0,2 3 0,02 0,02 4 0,04 0,04 5 0,3 0,3 Ilustrasi rangkaian isolasi DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. PERBANDINGAN BEBERAPA METODE ISOLASI DNA UNTUK PENENTUAN KUALITAS LARUTAN DNA TANAMAN SINGKONG (Manihot esculentum L.) Molekul DNA dalam suatu sel dapat diekstraksi atau diisolasi untuk berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga kebersihan tangan merupakan salah satu cara untuk mencegah penyebaran infeksi melalui jalan fecal-oral, seperti diare. Diare didefinisikan sebagai buang air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya.

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya. Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya. Tes HIV umum, termasuk imuno-assay enzim HIV dan pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur, Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten sehingga jumlah keseluruhan sampel

Lebih terperinci

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA Dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Lektor mata kuliah ilmu biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler, dan Fisiologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli dikenal sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat intraseluler

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia,

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Sampel daging ayam yang diteliti diperoleh dari pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. Selama pengambilan kuisioner terdapat 24 pedagang

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH 29-211 Sri Handayani Irianingsih *, Rama Dharmawan * Dessie Eri Waluyati ** dan Didik Arif Zubaidi *** * Medik Veteriner pada Laboratorium

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah terjadinya infeksi silang yang bisa ditularkan terhadap pasien, dokter

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah terjadinya infeksi silang yang bisa ditularkan terhadap pasien, dokter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap pekerjaan mempunyai risiko kerja masing-masing, termasuk bagi praktisi yang memiliki pekerjaan dalam bidang kedokteran gigi. Salah satu risiko tersebut adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER Sunaryati Sudigdoadi Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwa ta

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Virus Terbawa Benih Uji serologi menggunakan teknik deteksi I-ELISA terhadap delapan varietas benih kacang panjang yang telah berumur 4 MST menunjukkan bahwa tujuh varietas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) memerlukan deteksi cepat untuk kepentingan diagnosis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan dengan kandungan gizi lengkap yaitu terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu bahan pangan yang penting

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Distrik Bobonaro Distrik Bobonaro terletak di antara 8 o 48-9 15 Lintang Selatan dan 125 o 55-125 24 Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon DNA genomik sengon diisolasi dari daun muda pohon sengon. Hasil uji integritas DNA metode 1, metode 2 dan metode 3 pada gel agarose dapat dilihat pada Gambar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 007 sampai dengan Juni 008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan

Lebih terperinci