KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Karakteristik Kekuatan dan Kekakuan Balok Glulam Kayu Mangium adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi. Bogor, Desember 2009 Indah Sulistyawati NIM E /RPM

3 ABSTRACT INDAH SULISTYAWATI. The Strength and Stiffness Characteristics of Mangium Timber Glulam Beam. Under the supervision of NARESWORO NUGROHO, SURJONO SURJOKUSUMO, YUSUF SUDO HADI. Acacia mangium is one of the fast growing tree species that developed by Indonesian forestry government. Fast growing wood species has a smaller log diameter caused by the short cycle. To meet the availability of structural component with the dimension that do not depend on the wood log diameter, a structured form of non-solid wood was developed that is glulam (glued laminated). The wood characterictic such as the mechanical properties of the main structural member of beam that must be known are the stiffness and strength. The experimental test and the analytical process should be done exactly. The objectives of this research were to analyze the physical and mechanical properties of mangium wood; develope the new Curve SM-2009 method to obtain the shear modulus (G) of wood glulam beam; analyze the stiffness by taking into account the shear modulus material for glulam beam; analyze the actual strength value based on the data used from the each displacement transducer or strain gauge appliances. The wood used in this research was mangium wood cutted from Legok, Bogor, Perhutani Unit III West Java, at the age of about 8 years, with log diameter of cm. Polyurethane as Water Based Polymer Isocyanate was used for adhesive. The ratio of resin and hardener was 100:15 by weight. The entire specimens test were prepared based on the dimension requirement. Lamina samples for glulam were evaluated to determine the stiffness or modulus of elasticity (MOE) using non-destructive test. The MOE properties of each lamina were gathered during the initial grade sorting. The formation of lamina arranging was made to form the glulam. The small clear test was done based on ASTM D143 (2005), Test Methods for Small Clear Specimen of Wood. Shear modulus of wood material was conducted based on the regulation as arranged by the ASTM D198-5a (2008), Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes. The new Curve SM-2009 method was done which take into account the deflection caused by bending, when L =14 h and L < 14 h. The transformed cross section method was done based on ASTM D (2008), Standard Practice for Establishing Allowable Poperties for Structural Glued Laminated (Glulam). The results showed that mangium wood as strength class II-III wood (PKKI) and design value E10-12 (RSNI) can be used as structural material; the depth beam will gradually be upgraded if the deflection influence caused by shear force is taken into account; the new developed Curve SM-2009 method to obtain shear modulus (G) was the simplified of ASTM D198-5a (2008) method; displacemet tranducer can be used to analyze the actual strength based on Transformed Cross Section method, and strain gauge as an equipments alternatively. Keywords: displacement tranducer, glulam, mangium wood, strain gauge, transformed cross section.

4 RINGKASAN Kayu Acacia mangium merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang merupakan salah satu spesies yang sukses dan berkembang pertumbuhannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa karakteristik kayu mangium merupakan kayu kelas kuat II-III (berdasarkan PKKI) dan kayu dengan kuat acuan E10-12 (berdasarkan RSNI 2002). Kayu dengan karakteristik tersebut dapat digunakan sebagai komponen yang bersifat struktural. Glulam merupakan rekayasa produk pengaturan tegangan (stress-rated product) yang terdiri dari dua atau lebih papan kayu yang disebut lamina direkat satu dengan lainnya secara bersama-sama dengan arah serat longitudinal seluruh lapisan, paralel terhadap panjangnya, pernyataan yang dikemukan oleh Moody et al. (1999). Dalam pembuatan balok glulam dengan menyusun lamina yang mempunyai mutu lebih tinggi pada daerah dengan tegangan besar dan mutu yang lebih rendah pada daerah lainnya, penampang laminasi akan bekerja efektif didalam menerima beban lentur. Oleh karena terdapat kebebasan dalam menentukan dimensi penampang melintang balok glulam, maka dengan ketinggian penampang balok terdapat hal yang perlu mendapat perhatian dalam memperhitungkan besar modulus elastisitasnya (MOE). Dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya lintang yang mengandung faktor modulus geser (G), akan menghasilkan nilai yang lebih tepat. Untuk memperoleh nilai modulus geser (G) kayu mangium dapat dilakukan berdasarkan pengujian laboratorium berdasarkan peraturan ASTM D198-5a (2008). Berdasarkan teori regangan, dikembangkan metode baru yang relatif lebih sederhana dan dapat diselesaikan dengan waktu lebih singkat jika dibandingkan peraturan ASTM. Selanjutnya kurva yang dihasilkan pada metode baru ini diberi nama KURVA SM 2009 (SM = Shear Modulus). Analisis kekuatan glulam tidak dapat dilakukan seperti pada balok kayu utuh, oleh karena glulam tersusun dari beberapa lamina dengan MOE berbeda. Analisis kekuatan untuk glulam dilakukan menggunakan metode Transformed Cross Section Area, yaitu metode penggunaan konversi nilai MOE yang bervariasi pada masing-masing lamina tehadap satu nilai MOE. Metode ini mempunyai

5 pengaruh mengurangi lebar lamina dengan MOE rendah, dan menambah lebar lamina dengan MOE tinggi, berdasarkan pernyataan Bodig dan Jayne (1993). Untuk aplikasi penggunaan metode Transformed Cross Section, diperlukan data uji lentur yang dilengkapi dengan Displacement Tranducer, yang berfungsi untuk mengukur defleksi yang terjadi akibat adanya pembebanan. Tegangan lentur juga dapat diketahui, dengan memasang strain gauge sebagai alat pengukur regangan yang terjadi pada lokasi terpilih. Dari besar regangan dapat dihitung besarnya tegangan lentur. Nilai modulus geser terhadap modulus elastisitasnya atau E/G masingmasing diperoleh dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009 untuk balok utuh masing-masing adalah 19,16 dan 18,77. Sedangkan untuk balok glulam adalah 25,41 dan 24,89. Nilai E/G dengan cara ASTM D198-5a (2008) dan pengembangan metode Kurva SM-2009 adalah tidak berbeda nyata, berarti pengembangan metode ini telah teruji kebenarannya, maka dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan. Untuk balok glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) diperoleh MOE true rata-rata adalah MPa, dan MOE app rata-rata adalah MPa. Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui bahwa MOE true balok glulam adalah 18,3% lebih besar jika dibandingkan dengan MOE app. Berdasarkan Kurva SM diperoleh MOE true rata-rata balok glulam adalah MPa, dan MOE app rata-rata adalah MPa, atau MOE true balok utuh adalah 15,2% lebih besar jika dibandingkan dengan MOE app. Terlihat terjadi peningkatan yang cukup signifikan nilai pada MOE true apabila dibandingkan dengan MOE app untuk balok glulam. Kajian pada balok glulam, displacemet tranducer dapat menunjang penggunaan metode Transformed Cross Section untuk memperoleh tegangan lentur aktual di berbagai posisi ketinggian penampang glulam. Strain gauge yang memberikan data regangan yang terjadi akibat suatu pembebanan pada balok glulam dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendapatkan tegangan lentur aktual. v

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atu tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB

7 KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Kayu SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi: Ujian Tertutup : tanggal pelaksanaan 5 November Prof. Bambang Suryoatmono, Ph.D. Guru Besar Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil Universitas Parahyangan dan Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Parahyangan, Bandung 2. Dr. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT. Dekan Fakultas Teknik, Universitas Pakuan, Bogor Ujian Terbuka: tanggal pelaksanaan 1 Desember Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor dan Ketua Organisasi Mapeki (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) 2. Prof. Dr. Ir Ridwan Suhud Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti, Jakarta

9 Judul Disertasi Nama NIM : Karakteristik Kekuatan dan Kekakuan Balok Glulam Kayu Mangium : Indah Sulistyawati : E /RPM Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. Ketua Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo, MSF. PhD. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. Anggota Anggota Diketahui, Ketua Departemen Hasil Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 1 Desember 2009 Tanggal Lulus: ix

10 PRAKATA Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat, karunia, serta hidayahnya sehingga penulisan disertasi dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada yang terhormat Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS., Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo, MSF. PhD., Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr., sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, kritik, saran, dan dorongan semangat selama proses studi doktor yang dilakukan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang terhormat pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr., dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS., sebagai Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kehutanan atas kesempatan studi yang diberikan. Kami ucapkan pula kepada yang terhormat Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc., dan Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MSc. sebagai ketua dan sekretaris Departemen Hasil Hutan atas kegiatan studi yang disediakan pada Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Kayu. Terima kasih sebesar-besarnya kepada yang kami hormati Prof. Bambang Suryoatmono, PhD., yang telah memberikan banyak ilmu dalam bidang keteknikan dan konstruksi kayu pada saat kami dalam masa kuliah program doktor, serta masukan yang sangat berharga pada saat ujian tertutup serta dalam penyempurnaan disertasi ini. Kami sampaikan pula kepada yang terhormat Dr. Ir. Anita Firmanti, MT., sebagai penguji pada ujian kualifikasi, Dr. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT., penguji pada sidang tertutup, dan Prof. Dr. Ir Ridwan Suhud, serta Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS., sebagai penguji ujian terbuka, atas berkenannya memberikan masukan yang sangat berharga. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Amin Suroso, ST, Esti Prihatini, S.Si, serta seluruh staf dan laboran di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB atas kerjasamanya dan segala bantuannya dalam pelaksanaan pengujian laboratorium di Fakultas Kehutanan IPB, ketua, staf, dan laboran Laboratorium Struktur Puslitbangkim PU Cileunyi Bandung, atas diskusi dan masukan serta pelaksanaan pengujian laboratorium.

11 Kepada keluarga besar (Alm.) Soegiyo dan Muhammad Nyak Leman (Alm.) kami ucapkan terima kasih atas dukungan, doa serta kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Teuku Mushaddiq, MMT., atas segala dukungan moril dan materiil, serta dengan segala penuh kesabaran dapat memahami kondisi penulis selama menjalani studi. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada anak-anakku tercinta Amalia Elfi Muna, SE. MM., Sari Nurul Hanifa, S. Ked., Teuku Ade Nur Shofwan, menantu Ir. Jimmy Gunawan, serta cucu Jason Akbar yang segala aktifitasnya selalu menghibur dan penulis sangat sayangi, atas kasih sayang, pengertian serta dapat memahami kekurangan perhatian selama penulis menjalani studi doktor. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan, dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu teknologi konstruksi kayu. Bogor, Desember 2009 Indah Sulistyawati xi

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 27 Agustus 1956 sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan (Alm) Soegiyo dan Supari. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti, lulus pada tahun Pendidikan Program Magister ditempuh di Magister Teknik Sipil dibidang Struktur, Universitas Trisakti, lulus tahun Program Doktor dilanjutkan di Mayor Rekayasa dan Peningkatan Mutu Kayu, Sekolah Pascasarjana IPB, mulai tahun Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti sejak tahun 1986 sampai dengan sekarang. Selama mengikuti program Doktor, penulis telah hadir dan presentasi makalah pada 10 th World Conference on Timber Engineering (WCTE), 2-5 Juni, 2008, di Miyazaki, Japan; International Symposium on Wood Science and Technology (IWAPS), September, 2008, di Harbin, China; dan International Symposium IWRS (Indonesian Wood Research Society) pada tanggal 2-3 November 2009 di Bogor.. Seminar nasional yang penulis telah hadir dan presentasi makalah, yaitu: Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) ke X pada tanggal 9-11 Agustus, di Pontianak, Kalimantan Barat; Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) ke XI pada tanggal 8-10 Agustus, 2008 di Palangkaraya, Kalmantan Tengah; Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki) ke XII pada tanggal Juli, 2009 di Bandung; Seminar nasional FTHH (Forum Teknologi Hasil Hutan) pada tanggal Oktober 2009 di Bogor. Tulisan-tulisan ilmiah telah dimuat dalam Jurnal Teknik Sipil, Intitut Teknologi Bandung; Jurnal Teknik Sipil, Universitas Trisakti; Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis; dan Jurnal Rimba Kalimantan. Penulis menjadi anggota MC/TC 165 dibawah koordinasi Badan Standarisasi Nasional yang mempunyai kegiatan penyusunan peraturan dibawah ISO (The International Organization for Standarization) dalam bidang struktur kayu, sejak tahun 2009; anggota Mapeki (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia)

13 sejak tahun 2003 sampai sekarang; Pengurus Organisasi Mapeki periode tahun pada bidang Kerjasama dan Income Generating Activities. Penulis menikah dengan Ir. Teuku Mushaddiq, MMT., pada tahun 1981 dan dikaruniai dua orang putri, satu orang putra yaitu, Amalia Elfi Muna, SE. MM., Sari Nurul Hanifa, S. Ked., dan Teuku Ade Nur Shofwan. Anak pertama telah menikah dengan Ir. Jimmy Gunawan, yang telah memberikan satu orang cucu dengan nama Jason Akbar kepada penulis. xiii

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN... xiii DAFTAR NOTASI...xx 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Novelty Penelitian... 7 Halaman 2. TINJAUAN PUSTAKA Kayu Acacia mangium Rekayasa Kayu Glulam Defleksi Berdasarkan Teori Energi Regangan Pengujian Modulus Geser Berdasarkan ASTM Berdasarkan ASTM D198 (1999) Berdasarkan ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008) Metode Transformasi Penampang Melintang ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU MANGIUM Pendahuluan Tujuan Penelitian Bahan dan Metode Bahan dan Alat Metodologi Analisis Data Hasil dan Pembahasan Kesimpulan... 38

15 4. ANALISIS KEKUATAN MEKANIS BALOK GLULAM DENGAN KETEBALAN LAMINA BERBEDA Pendahuluan Tujuan Penelitian Bahan dan Metode Bahan dan Alat Metodologi Analisis data Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ANALISIS MODULUS GESER (G) BALOK UTUH DAN GLULAM Pendahuluan Tujuan Penelitian Pengembangan Metode Baru (Kurva-SM2009) Dalam Mendapatkan Modulus Geser Kayu Eksperimen berdasarkan ASTM a (2008) dan Metode Baru Kurva SM Bahan dan Metode Bahan dan Alat Metodologi Hasil dan Pembahasan Balok utuh Balok Glulam Perbandingan modulus geser dan elastisitas balok utuh dan glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM Kesimpulan ANALISIS KEKAKUAN DAN KEKUATAN BALOK GLULAM UKURAN STRUKTURAL Pendahuluan Tujuan Penelitian Bahan dan Metodologi Bahan dan Alat Metodologi Hasil dan Pembahasan xv

16 6.5. Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN UMUM DAN SARAN KESIMPULAN UMUM SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvi

17 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kekuatan mekanis, berat jenis dan kadar air kayu mangium Tabel 2.2 Perbandingan mendapatkan modulus geser (G) berdasarkan ASTM dan teori energi regangan Tabel 3.1 Sifat fisis dan mekanis kayu mangium Tabel 4.1 Penampang melintang balok glulam dan balok utuh Tabel 4.2 Modulus elastisitas balok glulam dan balok utuh Tabel 4.3 Modulus of Rupture (MOR) balok glulam dan balok utuh Tabel 5.1 Nilai rasio defleksi akibat gaya geser terhadap momen lentur untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan Halaman Tabel 5.2 Formula Kurva SM-2009 berdasarkan rasio h L untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan.. 65 Tabel 5.3 Nilai a berdasarkan KURVA SM L Tabel 5.4 Nilai E true, E app pada = 14, dan modulus geser G balok utuh h berdasarkan ASTM D198-5a (2008) L Tabel 5.5 Rasio nilai G terhadap E app pada = 14balok utuh berdasarkan h Kurva SM L Tabel 5.6 Nilai E true, E app pada = 14, dan modulus geser G balok glulam h berdasarkan ASTM D198-5a (2008) L Tabel 5.7 Rasio nilai G terhadap Eapp pada = 14 balok glulam h berdasarkan Kurva SM Tabel 6.1 Kelompok kelas kuat lamina Tabel 6.2 Nilai Modulus elatisitas efektif, kekakuan lentur balok glulam dan rasio keduanya

18 Tabel 6.3 Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan metode konvensional dan transformasi Tabel 6.4 Regangan serat atas dan bawah menggunakan strain gauge xviii

19 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian... 5 Gambar 2.1 Balok dengan beban terpusat di tengah bentang terletak di atas dua Gambar 2.2 Penampang balok persegi panjang Gambar 2.3 Kurva untuk mendapatkan modulus geser (G) Gambar 2.4 Susunan tiga lapis lamina simetris Gambar 2.5 Susunan n lapis lamina tidak simetris Gambar 3.1 Uji lentur dengan mesin pemilah Panter Gambar 3.2 Kerapatan kayu mangium Gambar 3.3 Berat jenis kayu mangium Gambar 3.4 Kadar air kayu mangium Gambar 3.5 Susut longitudinal, radial, dan tangensial kayu mangium Gambar 3.6 Tegangan tekan sejajar serat kayu mangium Gambar 3.7 Tegangan tekan tegak lurus serat kayu mangium Gambar 3.8 Tegangan tarik tegak lurus serat kayu mangium Gambar 3.9 Tegangan geser sejajar serat kayu mangium Gambar 3.10 Modulus elastisitas kayu mangium hasil pemilahan dengan Mesin Pemilah Panter Gambar 4.1 Proses pengempaan balok glulam Gambar 4.2 Pelaksanaan uji lentur balok glulam dan balok utuh menggunakan Universal Testing Machine Gambar 4.3 Kerapatan balok glulam dan balok utuh Gambar 4.4 Modulus elastisitas rata-rata balok glulam dan balok utuh Gambar 4.5 Beban maksimum dan MOR balok glulam dan balok utuh Gambar 4.6 Tipikal kerusakan balok glulam akibat uji lentur Halaman

20 Gambar 4.7 Tren nilai MOE terhadap MOR balok glulam dan balok utuh 53 Gambar 4.8 MOE dan MOR rata-rata balok glulam dan balok utuh Gambar 4.9 Hubungan MOE-MOR balok glulam Gambar 4.10 Hubungan MOE-MOR balok utuh Gambar 5.1 Kurva hubungan modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok utuh Gambar 5.2 Hubungan rasio defleksi akibat gaya geser dan momen lentur terhadap rasio panjang bentang terhadap tinggi balok untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan.. 62 Gambar 5.3 Pengembangan metode baru Kurva SM-2009 mendapatkan nilai modulus geser G Gambar 5.4 Nilai E app berdasarkan panjang bentang masing-masing balok utuh h 1 Gambar 5.5 Kurva hubungan dengan nilai balok utuh L E berdasarkan ASTM D198-5a (2008) L Gambar 5.6 Nilai E true terhadap E app pada = 14 balok utuh berdasarkan h ASTM D198-5a (2008) L Gambar 5.7 Nilai pembagi modulus geser G terhadap E app pada = 14 h balok utuh Gambar 5.8 Nilai E app berdasarkan panjang bentang masing-masing balok glulam h 1 Gambar 5.9 Kurva hubungan dengan nilai balok glulam L E berdasarkan ASTM D198-5a (2008) Gambar 5.10 Modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok glulam Gambar 5.11 Nilai pembagi modulus geser G terhadap modulus elastisitas balok glulam Gambar 5.12 Perbandingan modulus elastisitas dan rasio E/G balok utuh dan glulam xx

21 Gambar 6.1 Strain gauge pada sisi atas dan bawah balok glulam Gambar 6.2 Displacement tranducer pada tengah bentang balok glulam. 91 Gambar 6.3 Balok glulam siap untuk dilakukan uji lentur Gambar 6.4 Susunan lamina balok glulam berdasarkan kelas kuat Gambar 6.5 Modulus elastisitas masing-masing lamina balok glulam Gambar 6.6 Pengujian lentur balok glulam ukuran struktural Gambar 6.7 Balok diatas dua perletakan dengan beban masing-masing ½ P pada sepertiga bentang Gambar 6.8 Diagram regangan dan tegangan balok glulam Gambar 6.9 Modulus elastisitas lamina dengan varisasi jarak bentang Gambar 6.10 Histogram kelompok kuat acuan lamina Gambar 6.11 Hubungan gaya-defleksi hasil uji lentur balok glulam Gambar 6.12 Defleksi dan gaya maksimum balok glulam Gambar 6.13 Modulus elastisitas efektif dan true balok glulam Gambar 6.14 Tren nilai EI terhadap MOE masing-masing balok glulam Gambar 6.15 Kurva MOR berdasarkan metode konvensional dan transformasi Gambar 6.16 Tipikal kerusakan glulam ukuran struktural Gambar 6.17 Tegangan nominal dan aktual balok glulam Gambar 6.18 Tren nilai MOE terhadap MOR masing-masing balok gulam111 Gambar 6.19 Nilai MOR berdasarkan metode transformasi dan uji regangan dengan strain gauge xxi

22 DAFTAR NOTASI τ = tegangan geser (MPa) ρ = kerapatan (g/cm 3 ) y i b tr = ketinggian titik berat atau garis netral (mm) = lebar balok transformasi pada lapis ke i (mm) i A tr = luas lamina lapisan i tertransformasi (mm 2 ) I 0 = momen inersia elemen i tertransformasi (mm 4 ) i tr σ n = tegangan lentur (MPa) δ = deformasi (mm) A = luas penampang (mm 2 ) A = modifikasi luas geser (mm 2 ) A bidang-gerser = luas penampang bidang geser (cm 2 ) A bidang-tekan = luas penampang bidang tekan (cm 2 ) b = lebar potongan melintang penampang balok (mm) b i d i = lebar balok pada lapis ke i (mm) = jarak titik berat elemen i terhadap garis netral penampang (mm) CV = koefsien variasi (%) E = MOE = modulus elastisitas (MPa) E app = modulus elastisitas apparent (MPa) E eff E true E i E n = modulus elastisitas efektif (MPa) = modulus elastisitas true (MPa) = MOE tertransformasi pada lapisan ke i (MPa) = MOE pengukur (MPa) f 1, f 2 = faktor pengaruh pembebanan G = modulus geser (MPa) h = tinggi potongan melintang penampang balok (mm) I = momen Inersia (mm 4 ) I tr = momen inersia transformasi (mm 4 ) k = faktor bentuk penampang L = panjang bentang (mm)

23 L kt L o M = panjang kondisi kering tanur (mm) = panjang awal (mm) = momen (Nmm) MOR = modulus of rupture (MPa) m = momen lentur akibat beban satu satuan n = faktor transformasi P = beban (N) S = statis momen penampang (mm 3 ) SD = standar deviasi U = usaha V = volume (mm 3 ) V kt = volume kondisi kering tanur (cm 3 ) V ku = volume kondisi kering udara (cm 3 ) v = gaya geser akibat beban satu satuan W kt W ku y Δ Δ b Δ s = berat kondisi kering tanur (g) = berat kondisi kering udara (g) = jarak titik tinjauan terhadap garis netral penampang (mm) = defleksi (mm) = defleksi akibat lentur (bending) (mm) = defleksi akibat gaya geser (shear) (mm) Δ total = defleksi total (mm) xxiii

24 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Modulus elatisitas apparent untuk uji modulus geser (G) balok utuh Modulus elatisitas apparent untuk uji modulus geser (G) balok glulam Modulus elastisitas lamina balok glulam ukuran struktural Kuat acuan lamina untuk balok glulam ukuran struktural

25 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acacia mangium atau biasa disebut kayu mangium merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) mempunyai pertumbuhan tahunan yang tinggi dibandingkan dengan kayu jenis lainnya. Jenis cepat tumbuh seperti kayu mangium mempunyai rotasi umur pendek yaitu sekitar 8-10 tahun dibandingkan jenis lainnya yang lebih dari 25 tahun. Pada umumnya kayu yang dihasilkan dari jenis cepat tumbuh mempunyai diameter kecil karena siklus pemotongan yang pendek, sehingga kayu sebagai bahan alamiah berupa balok atau log belum merupakan produk yang efisien sebagai komponen struktural. Adanya ketersediaan balok dengan diameter kecil, sedangkan kebutuhan sebagian komponen struktural memerlukan dimensi yang cukup besar, maka perlu suatu metode yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk memenuhi ketersediaan komponen struktural dengan dimensi yang tidak tergantung dengan diameter kayu, dikembangkanlah bentuk struktur bukan kayu utuh (solid wood) melainkan komponen laminasi yang dibuat melalui perekatan atau biasa disebut dengan balok laminasi atau balok glulam (glued laminated). Serrano (2002) mengemukakan bahwa glulam adalah susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat. Moody et al. (1999) menyatakan bahwa glulam merupakan rekayasa produk bermutu tegangan (stress-rated product) yang terdiri dari dua atau lebih lapisan kayu yang direkat satu dengan lainnya secara bersama-sama dengan arah serat longitudinal seluruh lapisan yang disebut sebagai lamina, paralel terhadap panjangnya. Juga dinyatakan bahwa glulam merupakan bahan yang terbuat dari lapisan kayu pilihan Prinsip desain laminasi adalah memaksimalkan dimensi dengan meminimalkan material. Apabila prinsip tersebut dapat dilakukan secara simultan maka tujuan penggunaan laminasi dapat dicapai secara maksimal, sehingga laminasi merupakan desain ekonomis dengan tetap memenuhi prinsip struktural,

26 2 dinyatakan Bodig dan Jayne (2003). Juga dinyatakan bahwa sistem lapisan komposit khususnya laminasi kayu menambah pilihan di dalam desain struktur. Breyer (2007) mengemukakan bahwa apabila didesain bentang besar dan beban yang bekerja adalah besar, penggunaan kayu gergajian menjadi tidak praktis, maka dengan pertimbangan segi arsitek dapat digunakan struktur glulam. Berglund dan Rowell (2005) mengemukakan bahwa keuntungan paling besar dari penggunaan glulam adalah untuk menghasilkan balok besar dapat dibuat dari kayu dengan log berdiameter kecil, kayu dengan kualitas rendah, serta lamina penyusun glulam lebih cepat dikeringkan jika dibandingkan dengan kayu utuh dengan dimensi besar. Balok kayu utuh dengan adanya cacat kayu, mengakibatkan kapasitas memikul beban menjadi lebih kecil, dengan membuang cacatnya dan kemudian merekatkan kembali atau mengatur posisi cacat kayu secara tepat maka sifat mekanisnya akan meningkat. Perekat merupakan material dengan sifat berbeda dengan kayu. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis kayunya, seperti kekakuan dan kekuatannya. Dengan dimensi penampang melintang glulam yang sama, dapat disusun sejumlah lamina secara horizontal dengan ketebalan tertentu. Semakin banyak jumlah lamina, semakin tipis tebal lamina. Semakin banyak jumlah lamina semakin besar luas bidang rekatan. Faherty dan Williamson (1999) mengemukakan bahwa perekat dipilih lebih kuat dan mempunyai ketahanan yang lebih besar daripada kayu yang direkat. Pemilihan jenis perekat pada balok laminasi dipertimbangkan secara teknis maupun ekonomis sesuai dengan penggunaannya. Perlu diketahui jenis perekat yang dipilih adalah yang paling sesuai dengan penggunaan sistem laminasi. Wiryomartono (1958) mengemukakan bahwa komponen glulam selain memberi kemungkinan yang sangat luas pada arsitek dan perencana dalam menentukan bentuk serta arsitektur bangunan yang akan dibangun juga mengakibatkan berkembangnya industri perekat untuk glulam. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti di berbagai negara diperoleh

27 3 jenis perekat dengan mutu yang lebih tinggi, sehinnga dapat meyakinkan dan memuaskan penggunaan glulam. Untuk meningkatkan kekuatan dan kekakuan dari balok dibawah pembebanan lentur selain mengupayakan menyusun lamina pada daerah tepi atas dan bawah penampang (dimana pada daerah tersebut mengalami tegangan maksimum) adalah membuat balok relatif tinggi. Balok tinggi mempunyai momen inersia yang lebih besar dibandingkan dengan balok rendah. Dalam perhitungan kekakuan balok, defleksi yang terjadi akibat gaya gaya geser sering diabaikan. Analisis kekakuan dengan memperhitungkan defleksi akibat lentur dan defleksi akibat gaya geser perlu dipertimbangkan apabila material balok dibuat dari kayu. Pengaruh adanya pengabaian gaya geser akan menghasilkan perhitungan besar defleksi yang kurang tepat, sehingga mempunyai dampak nilai kekakuan yang kurang tepat pula. Khususnya pada balok dengan rasio bentang terhadap tinggi balok adalah kecil sesuai dengan pernyataan Biblis (1965). Oleh karena balok glulam dapat disusun dari lamina-lamina sehingga memungkinkan terbentuk balok glulam dengan ketinggian yang cukup tinggi maka hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Susunan lamina pada balok glulam dengan modululus elastisitas yang berbeda-beda mempunyai pengaruh pada sifat mekanis glulam. Analisis secara tepat untuk balok glulam diperlukan untuk memenuhi kondisi tersebut Perumusan Masalah Kayu jenis cepat tumbuh dari hutan tanaman industri merupakan jenis kayu yang ketersediannya cukup potensial untuk digunakan. Salah satu jenis kayu tersebut adalah kayu mangium. Apakah kayu mangium mempunyai karakteristik material yang dapat digunakan sebagai komponen bersifat struktural? Oleh karena kayu yang dihasilkan dari jenis cepat tumbuh mempunyai diameter log kecil, maka perlu direncanakan rekayasa produk kayu yang sesuai. Balok glulam merupakan salah satu pilihan ideal. Glulam tersusun dari laminalamina dengan ketebalan tertentu, berapa besar pengaruh sifat mekanis balok glulam sehubungan dengan perbedaan ketebalan lamina?

28 4 Prinsip laminasi antara lain memaksimalkan dimensi, dimana salah satu pengertian dimensi adalah ketinggian penampang. Didalam pembuatan analisis kekakuan akan lebih tepat apabila dapat mengetahui permasalahan terabaikan yang sebenarnya dapat diperhitungkan sehingga dapat memperoleh nilai lebih tinggi atau dapat dikatakan akan diperoleh desain yang lebih ekonomis. Didalam menganalisis kekakuan balok yang dinyatakan sebagai modulus elastisitas selalu mengabaikan defleksi yang terjadi akibat pengaruh adanya gaya geser yang mengandung nilai modulus geser (G). Dengan mengabaikan defleksi akibat gaya geser berapa besar pengaruhnya terhadap perhitungan modulus elastisitas? Metode untuk mendapatkan nilai modulus geser adalah berdasarkan ASTM D198, apakah dapat dikembangkan metode lain yang lebih sederhana? Balok glulam ukuran struktural disusun dari lamina dengan modulus elastisitas berbeda. Analisis kekakuan dan kekuatan balok glulam tidak sama dengan balok utuh. Bagaimana cara menganalisis kekakuan dan kekuatan glulam tersebut? Secara skematik alir pikir sebagai dasar pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat seperti pada Gambar 1.1.

29 5 Perumusan Masalah: KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM STUDI PUSTAKA PENELITIAN PENUNJANG Penelitian I - Kerapatan, berat jenis, kadar air - Susut kayu pada arah longitudinal, radial, dan tangensial - Tegangan tekan sejajar serat, tegangan tekan tegak lurus serat tegangan tarik tegak lurus serat, tegangan geser sejajar - MOE PENELITIAN UTAMA Penelitian II Perilaku balok utuh dan glulam (glued laminated) dengan ketebalan lamina berbeda Penelitian III Pengembangan metode: modulus geser (G) MOE dan MOR glulam dan balok utuh Modulus geser (G) balok utuh Modulus geser (G) balok glulam Keterangan: Garis hubungan Garis manfaat hasil Penelitian IV Karakteristik balok glulam ukuran struktural MOE glulam Tegangan lentur (MOR) glulam, berdasarkan data dengan Displacement Tranducer dan Strain Gauge Gambar 1.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian

30 Tujuan Penelitian Tujuan umum yang akan diperoleh pada penelitian ini adalah membuat analisis kekuatan dan kekakuan balok glulam yang terbuat dari kayu mangium. Tujuan khusus yang akan dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis sifat fisis dan mekanis kayu mangium. 2. Menganalisis pengaruh ketebalan lamina terhadap kekakuan dan kekuatan glulam serta membandingkan terhadap balok utuh dengan seluruh MOE lamina maupun balok utuh mendekati sama. 3. Mendapatkan nilai modulus geser (G) kayu untuk balok utuh maupun glulam berdasarkan ASTM D198-5a (2008), membuat perbandingan hasil keduanya, dan membuat metode baru dalam mendapatkan nilai modulus geser. 4. Menganalisis pertambahan nilai kekakuan dengan memperhitungkan nilai modulus geser. 5. Menganalisis kekuatan glulam dengan adanya pengaturan lamina dilakukan dengan metode Transformed Cross Section berdasarkan data uji lentur dengan menggunakan bantuan alat displacement tranducer dan strain gauge Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Meyakinkan bahwa A. mangium sebagai kayu fast growing species merupakan jenis kayu yang berpotensi sebagai material struktural. 2. Memberikan informasi bagi perencana balok glulam, perhitungan modulus elastisitas dan kekuatan lentur balok glulam yang lebih tepat. 3. Memberikan masukan dalam pembuatan peraturan konstruksi kayu Indonesia, sehubungan dengan analisis dan pelaksanaan pengujian lentur balok glulam di laboratorium.

31 Hipotesis Penelitian Sesuai dari tujuan yang dilakukan dapat dirinci hipotesis dari penelitian adalah sebagai beikut: 1. Ketebalan lamina mempunyai pengaruh terhadap kekakuan dan kekuatan glulam. 2. Kekakuan dan kekuatan glulam, diduga memiliki nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan balok utuh. 3. Dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya geser yang mengandung faktor modulus geser (G), diduga akan memperbesar kekakuan balok glulam. 4. Kekuatan balok glulam yang dinyatakan dalam besaran nilai tegangan lentur akan sama apabila menggunakan data uji lentur dengan bantuan alat displacement tranducer atau strain gauge Novelty Penelitian Novelty yang telah diperoleh setelah mengadakan penelitian secara analitik dan empiris adalah sebagai berikut: 1. Penemuan metode baru dengan diberikan nama Kurva SM-2009 untuk mendapatkan nilai modulus geser (G). Pengembangan metode ini merupakan penyederhanan metode yang diatur dalam ASTM D198-5a (2008). 2. Pendekatan metode transformasi dalam perhitungan kekuatan balok glulam dilakukan secara empiris dengan bantuan alat displacement tranducer dan strain gauge.

32 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Acacia mangium Pada akhir tahun 1980-an Pemerintah Indonesia mencangankan program pembangunan hutan tanaman industri (HTI). Pembangunan HTI terutama dimaksudkan untuk merehabilitasi lahan-lahan dalam kawasan hutan tidak produktif. Di masa depan peran HTI untuk memasok kebutuhan kayu akan semakin penting oleh karena pasokan kayu dari hutan alam akan terus menurun. Kayu mangium telah menjadi salah satu spesies pohon yang penting dalam pembuatan hutan tanaman industri di Indonesia. Pada saat itu, kayu mangium merupakan spesies yang paling banyak ditanam, terutama pada HTI di Sumatera dan Kalimantan. Spesies ini dikembangkan untuk HTI karena laju pertumbuhan cepat, mempunyai kemampuan tumbuh pada lahan marginal seperti alang-alang, kayunya cocok untuk berbagai keperluan seperti bahan baku pulp, MDF (medium density fiber board), papan partikel (particle board), dan kayu pertukangan, pernyataan ini telah disampaikan oleh Hardiyanto (2004). Pemanfaatan kayu mangium hingga saat ini telah mengalami spektrum yang luas, baik untuk kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Jamaludin et al. (2008) memberikan pendapat bahwa dengan adanya perubahan kondisional baik yang menyangkut kapasitas industri maupun adanya desakan kebutuhan kayu, maka kayu mangium digunakan pula sebagai kayu pertukangan maupun kayu energi sebagai bahan bakar arang. Kayu mangium adalah tanaman yang banyak tumbuh di wilayah Papua Nugini, Papua Barat dan Maluku. Tanaman ini pada mulanya dikembangkan eksitu di Malaysia Barat dan selanjutnya di Malaysia Timur, yaitu di Sabah dan Serawak. Oleh karena kayu mangium menunjukkan pertumbuhan yang baik, maka Filipina telah mengembangkan pula sebagai hutan tanaman. Penyebaran kayu mangium dikenal pula di kepulauan Sula, Seram, Aru, dan Timur laut Quensland, berdasarkan pernyataan Pinyopusarerk et al. (1993).

33 9 Berdasarkan pernyataan Mandang dan Pandit (1997), kayu mangium termasuk dalam Sub Famili Mimosideae, famili Leguminoseae. Nama lainnya adalah kasia, kihia (Sunda), akasia (berlaku umum). Dikatakan pula bahwa kayu mangium mempunyai ciri umum sebagai berikut: a. Warna: teras berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. b. Corak: polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. c. Tekstur: halus sampai agak kasar dan merata. d. Arah serat: biasanya lurus, kadang-kadang berpadu e. Kilap: permukaan agak mengkilap. f. Kesan raba: licin. g. Kekerasan: agak keras sampai keras. Sedangkan ciri anatomi berdasarkan pernyataan dari kedua penulis tersebut adalah sebagai berikut: a. Pembuluh/pori: baur, soliter dan berganda radial yang terdiri atas 2-3 pori, kadang-kadang sampai 4, diameter agak kecil, jarang sampai agak jarang, bidang perforasi sederhana. b. Parenkim: bertipe paratrakeal bentuk selubung disekeliling pembuluh, kadang-kadang bentuk sayap pada pembuluh kecil. c. Jari-jari: sempit, jarang sampai agak jarang, ukurannya agak pendek sampai pendek. d. Sifat fisis: berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66); kelas awet II; kelas kuat II-III. Ginoga (1997) melaporkan hasil pengujian sifat mekanis kayu mangium dengan umur tanam 9 dan 10 tahun adalah seperti dirinci pada Tabel 2-1.

34 10 Tabel 2.1 Kekuatan mekanis, berat jenis dan kadar air kayu mangium Sumber: Ginoga (1997) Umur (Thn) BJ (BKU) 10 0,57 0,53-0,61* 0,033** 9 0,51 0,45-0,56* 0,0034** Keterangan: MOR 942,23 812, ,47* 104,11** 725,37 599,82-850,92* 78,911** Kekuatan mekanis (kg/cm 2 ) MOE Tegangan (x10 3 ) Proporsional τ // serat 113, ,13 435,85 405,97-465,73* 24,07** 118, ,32 416,48 365,87-467,09* 31,81** BJ (BKU) = Berat jenis berdasarkan berat dan volume kering udara MOR = modulus of rupture MOE = modulus elastisitas (modulus of elasticity) τ = tegangan geser sejajar serat // serat * ) = kisaran **) = simpangan baku KA (%) 14,48 15,32 Kayu mangium termasuk jenis yang mudah dikeringkan tanpa cacat yang berarti. Pada penelitian terhadap kayu berupa quarter sawn dan flat sawn dimana masing-masing memiliki kadar air adalah 112% dan 99%, Silitonga (1987) melaporkan bahwa untuk mencapai kadar air akhir 9% kedua contoh tersebut masing-masing memerlukan waktu 10 dan 16 hari. Pecah ujung jarang terjadi dan tidak melengkung. Surjokusumo (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan kayu mangium sangat cepat dibandingkan hasil hutan tanaman industri lainnya yaitu mencapai 50 m 3 /ha/tahun pada daur 9 s/d 10 tahun atau dengan diameter antara 30 s/d 40 cm Rekayasa Kayu Glulam Glulam pertama kali digunakan di Eropa sebagai konstruksi pada auditorium Bassel di Negara Switzerland tahun Sistem ini dipatenkan sebagai Hertzer System dan digunakan perekat yang tidak tahan air. Jadi penggunaannya terbatas pada kondisi kering saja, menurut pernyataan Moody et al. (1999). Riberholt (2007) telah mengemukakan bahwa pada tahun 1835 dan 1855, di Inggris dan Skotlandia, jembatan kereta api pertama dibangun menggunakan glulam lengkung dengan panjang bentang 18 m dan 36 m. Pada

35 11 awal abad 19, glulam lengkung dan balok digunakan sebagai struktur atap, menggunakan perekat casein. Selama perang dunia ke II, kebutuhan membangun bangunan militer yang terdiri dari komponen struktural yang besar, seperti gudang dan hanggar pesawat terbang, menambah ketertarikan terhadap sistem glulam. Perkembangan perekat resin sintetis tahan air mengizinkan penggunaan glulam kayu untuk jembatan dan bangunan eksterior lainnya, menurut Moody et al. (1999). Dikatakan pula bahwa selama tahun 1990-an, produksi glulam semakin berkembang dan diekspor dalam jumlah yang cukup berarti, dikirim ke negaranegara Pacific Rim terutama Jepang. Struktur glulam pertama diproduksi di New Zealand pada tahun Dasar terbentuknya industri glulam di New Zealand adalah adanya perkebunan kayu berdaun jarum, Radiata pine dan Douglas fir. Karena banyaknya jumlah Radiata pine, maka struktur glulam banyak menggunakan kayu jenis ini, McIntosh (2008). Perekat yang digunakan adalah melamine-urea formaldehyde. Pada tahun 1965, New Zealand Forest Products membangun gedung 3 (tiga) lantai dari kayu Radiata pine dengan perekat casein untuk komponen interior dan menggunakan perekat resorcynol untuk komponen eksterior. Di Indonesia, di Aula Barat dan Timur Kampus Institut Teknik Bandung (ITB), pertama kali dibuat struktur glulam dengan sistim laminasi mekanis. Sambungan mekanis untuk menyatukan lamina satu dengan lainnya sebagai pembentuk glulam, digunakan baut. Pada posisi tertentu dipasang klem baja untuk lebih mempererat ikatan antar lamina. PT PAL Surabaya telah membuat lunas kapal terbuat dari kayu dengan sistem laminasi. Dibandingkan dengan kayu gergajian sebagai material struktural, glulam mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: (1) dimensi: dapat dibuat sebagai produk struktur kayu dengan dimensi yang lebih besar dari komponen kayu gergajian; (2) segi arsitektural: dapat dibuat untuk bentang besar, sebagai material terekspose atau elemen dekoratif; (3) pengkondisian: pengaruh retak dapat diminimalkan, dengan cara pengkondisian papan lamina sebelum digunakan sebagi produk glulam; (4) variasi penampang melintang: dapat didesain dengan penampang melintang yang berbeda sepanjang arah longitunal sesuai dengan kekuatan dan kekakuan yang ditentukan; (5) variasi kelas kayu: dapat disusun dari

36 12 papan lamina dengan kelas kayu yang berbeda, spesies kayu juga dapat bervariasi disesuaikan fungsi glulam; (6) ramah lingkungan: pohon berkayu mempunyai kemampuan mudah diperbaharui, relatif memerlukan energi rendah didalam pembuatannya, mampu menyimpan karbon, dan bekasnya dapat digunakan kembali. Glulam merupakan bahan ideal untuk struktur dengan bentang besar, untuk balok lurus dan tapered dapat digunakan untuk bentang sampai dengan 30 m atau lebih, pernyataan ini dikemukakan oleh Thelandersson (2002). Forest and Wood Products Research and Development Corporation dari Australian Government (2007), mengemukakan bahwa glulam dapat dibuat menjadi komponen struktural dengan dimensi besar dan panjang yang terbuat dari banyak lamina dengan ukuran tipis. Kapasitas kekuatan bertambah dibandingkan dengan kekuatan komponen lamina awalnya, dan laminasi disusun sejajar arah serat. Setelah diadakan pemilihan lamina dengan sedikit cacat, dilakukan perekatan dan diklem secara bersama-sama dengan tekanan tertentu dan dilakukan curing. Dinyatakan pula bahwa kekakuan kayu tidak mempunyai pengaruh dengan adanya proses laminasi, biasanya balok glulam yang dibentuk dari lamina mempunyai MOE sama atau lebih kecil dari balok utuh. Pengaruh pengurangan kekuatan dapat diminimalkan dengan mengatur distribusi mata kayu (knots), pecah/belah (splits), kemiringan serat (slope of grain) sepanjang komponen. Kekakuan glulam tidak terpengaruh oleh proses laminasi, dan balok laminasi mempunyai kekakuan sama dari kayu pembentuknya. Pada umumnya MOE balok glulam lebih kecil apabila dibandingkan dengan MOE laminasi pembentuknya. Sebagai komponen balok glulam yang mengalami lentur, mata kayu yang besar diletakkan pada daerah mendekati sumbu netral. Hal ini dilakukan karena pada daerah tersebut tegangan lentur yang terjadi adalah kecil. Dengan membuang mata kayu, kayu laminasi akan menjadi bahan yang bebas cacat, penjelasan ini dikemukakan oleh Fank dan Prion (2002). Juga dinyatakan bahwa agar glulam dapat dijamin lurus atau lengkung sesuai dengan desainnya, setelah proses perekatan selesai dilakukan pada seluruh lamina selanjutnya diberikan tekanan atau diklem > 0,7 MPa atau 7,0 kg/cm 2. Pada NDS

37 13 Commentary (2004) tertulis bahwa balok glulam dibuat dari material kering yang harus dikontrol kualitasnya, termasuk cacat kayu. Dalam tahap kualifikasi perencanaan perlu ditentukan jenis perekat serta prosedur perekatan yang sesuai, agar memenuhi kekuatan geser rekat antar lapisan seperti yang ditentukan oleh NDS Commentary (2004). Fungsi dari perekatan adalah mengisi ruang kayu, menghasilkan ikatan perekat pada masing-masing komponen yang sama kuat serta membentuk ikatan kohesi diantara komponen. Pada struktur glulam, garis rekat harus cukup kuat dan dapat mempertahankan integritasnya sesuai dengan kelas serta umur yang diharapkan. Sejak tahun 1960, di Eropa menggunakan perekat sintetis, seperti Urea dan Recorcinol, dimana perekat ini merupakan perekat terbaik. Kemudian akhir-akhir ini digunakan campuran Urea dengan Melamine. Dalam sepuluh tahun terakhir banyak digunakan perekat Polyurethane, yang dikenal sebagai perekat ramah lingkungan, pernyataan yang disampaikan oleh Riberholt (2007). Polyurethane dapat digunakan untuk pembuatan rangka furnitur dan bangunan-bangunan. Usysal dan Özçifçi (2006) memberikan pendapat bahwa Polyurethane dapat digunakan sebagai material perekat dengan kondisi kelembaban jangka panjang, namun tidak direkomendasikan digunakan untuk perekatan material kayu dengan kerapatan tinggi Defleksi Berdasarkan Teori Energi Regangan Konsep energi regangan merupakan salah satu konsep yang menjelaskan hubungan antara beban dan deformasi, dijelaskan oleh Megson (2005). Usaha yang dilakukan oleh beban adalah energi regangan yang disimpan pada batang dan dinyatakan dalam notasi U. Dengan adanya gaya tarik, batang akan bertambah panjang maka timbul regangan. Regangan dengan notasi ε adalah perpanjangan per satuan panjang. Adanya regangan ini menambah taraf energi dari batang. Dengan demikian besaran yang disebut energi regangan, didefinisikan sebagai energi yang diserap oleh batang selama proses pembebanan. Dari prinsip konservasi energi, diketahui bahwa energi sama dengan usaha yang dilakukan oleh beban asalkan tidak ada energi yang ditambahkan atau dikurangi didalam batang panas. Besar energi regangan dapat dituliskan sebagai berikut,

38 δ1 U = P dδ (2.1) 0 Pada desain struktur balok seringkali didalam perhitungan defleksi pada suatu titik tertentu diasumsikan hanya akibat momen lentur saja meskipun pada titik yang ditinjau mempunyai pengaruh defleksi dengan adanya gaya lintang atau juga biasa disebut gaya geser. Persamaan defleksi akibat momen lentur dapat dituliskan, 2 d y M ( x) = (2.2) 2 dx EI 14 Perhitungan defleksi akibat gaya geser pada balok dengan material dari kayu, sering diabaikan. Biblis (1965) memberikan pernyataan bahwa dengan mengabaikan pengaruh adanya gaya geser akan menghasilkan perhitungan besar defleksi yang kurang tepat. Pernyataan tersebut berlaku khususnya untuk balok dengan rasio bentang terhadap tinggi balok adalah kecil, sebagai contoh adalah balok dengan penampang I dan box yang relatif mempunyai tebal badan (web) tipis. Tulisan yang dibuat oleh Orosz (1970) menyatakan bahwa defleksi akibat gaya geser sering diperlukan selain momen lentur pada konstruksi yang menggunakan material kayu. Juga dituliskan bahwa perkiraan perbandingan modulus geser dan modulus elastisitas kayu adalah 1/16, 1/2,50 untuk baja, dan 1/2,30 sampai dengan 1/2,70 untuk beton. Persamaan untuk defleksi akibat gaya geser pada kurva defleksi elastis dari balok, pertama kali dibuat oleh Grashof (1878) dan dikembangkan oleh Rankine (1895) dalam Biblis (1965), dan Orosz (1970). Sebelum membicarakan masalah cara mendapatkan modulus geser dari kayu, terlebih dahulu dibahas persamaan defleksi akibat momen lentur dan gaya geser. Analisa yang digunakan untuk memperoleh persamaan tersebut menggunakan konsep energi regangan. Konsep energi regangan didasarkan pada hubungan adanya penambahan energi yang terjadi akibat adanya deformasi. Energi regangan sama dengan usaha yang dilakukan akibat adanya beban yang diterapkan secara perlahan-lahan pada suatu komponen, hal ini dinyatakan oleh Beer dan Johnston (1992) serta Gere dan Timoshenko (1997).

39 15 Energi regangan untuk tegangan normal akibat momen lentur adalah: U = 2 σ x 2E dv (2.3) Penurunan rumus defleksi akan diuraikan untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis yang terletak diatas dua perletakan sederhana dibebani gaya terpusat ditengah bentang, Gambar 2.1. L/2 P L (a) Δ b Δ s Δ tot (b) + M (c) L Keterangan: = sendi = rol Gambar 2.1 Balok dengan beban terpusat di tengah bentang terletak di atas dua buah perletakan sederhana (a) Defleksi total akibat momen lentur dan gaya geser (b) Diagram momen lentur (c) Diagram gaya geser Dengan menggunakan teori Castigliano maka besar defleksi akibat momen lentur adalah, U = X Δ b X = = 0 L L M M Mmdx = dx = X EI X (2.4) 0 0 EI dimana M adalah momen lentur akibat beban luar dan dapat ditulis sebagai M, X = 0 M sedangkan adalah momen lentur m akibat beban satu satuan pada titik yang X defleksinya akan dicari. 0

40 Sehingga, 1 L L Px Px i 2 Px Δb= dx = dx EI P = EI 6 EI 0 i L Px PL = (2.5) 48EI Orosz (1970) menuliskan berdasarkan hukum Hooke, persamaan Usaha U akibat gaya geser menggunakan teori energi regangan adalah: U = 2 τ xy dv (2.6) 2G Sedangkan besaran tegangan geser adalah, VS τ = (2.7) bi maka, U 1 L = A 2 2 V S da dx 2 I b G (2.8) dan faktor bentuk k dinyatakan sebagai, k 2 S A da 2 I b = 2 A (2.9) Sehingga persamaan (2.8) dapat dituliskan kembali seperti persamaan sebagai berikut, U = k 2 L 0 2 V dx GA (2.10) Dengan menggunakan teori Castigliano, maka besar defleksi pada suatu titik akibat gaya geser adalah, U = X V V Vvdx = k dx = k X GA X (2.11) 0 0 GA Δ s X = = 0 L L 0 dimana V adalah gaya geser akibat beban luar dan dapat ditulis sebagai V, X = 0 V sedangkan adalah gaya geser v akibat beban satu satuan pada titik yang X defleksinya akan dicari.

41 17 dx P P A P G k i i L o s = Δ L Px GA k = GA kpl 4 = (2.12) Faktor k untuk balok berpenampang persegi panjang dapat dihitung berdasarkan persamaan (2.9). Gambar 2.2 Penampang balok persegi panjang Statis momen S adalah: ( ) y d b y b y b ybdy S d y d y = = = (2.13) dan ( ) y y d d b S + = (2.14) maka, = d bdy S b I A k ( )dy y y d d b b I A d + = = d d d I Ab (2.15) d b I = sehingga y d Y h dy b X

42 2 5 2 b d 8 12 k = d = = ( 2) b d , 20 Faktor k untuk penampang persegi panjang adalah 1,20, maka defleksi akibat gaya geser adalah, 1 L / 2 P( ) Px L /, PL (. ) Δ s = dx = = (2.16) 0 2GA 4GA 4GA 0 Sehingga defleksi total akibat momen lentur dan gaya geser untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis terletak di atas dua perletakan sederhana dengan beban di tengah bentang, secara umum dapat dituliskan, 18 atau 3 PL kpl Δ = + (2.17) 48EI 4GA 3 PL 0, 30PL Δ = + (2.18) 48EI GA Dengan cara yang sama seperti di atas, defleksi total untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis terletak di atas dua perletakan sederhana dengan 2 (dua) beban terpusat ½ P masing-masing pada sepertiga bentang adalah, 3 23PL 0, 20PL Δ = + (2.19) 1296EI GA 2.4. Pengujian Modulus Geser Berdasarkan ASTM Berdasarkan ASTM D198 (1999) Salah satu acuan yang dapat digunakan untuk menentukan modulus geser kayu adalah peraturan ASTM D tentang Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes. Untuk mendapatkan nilai modulus geser kayu,

43 19 pada peraturan tersebut perlu memasukkan nilai Poisson ratio sebesar 0,05 sampai dengan 0,50. Untuk memperoleh hasil yang lebih tepat seharusnya dengan memasukkan faktor Poisson ratio sesuai dengan material yang diuji. Kesulitan yang terjadi adalah belum banyak data atau hasil penelitian yang memperlihatkan besar Poisson rasio dari berbagai jenis kayu di Indonesia. Defleksi elastis pada balok persegi panjang dengan beban terpusat di tengah bentang dinyatakan, 3 PL PL Δ = + (2.20) 48EI 4GA' Modifikasi luas geser adalah hasil perkalian luas penampang geser A dan koefisien geser K, dimana K adalah ratio dari regangan geser rata-rata pada penampang terhadap regangan geser pada titik pusat. Apabila persamaan (2.18) dituliskan kembali, maka, 3 PL PL Δ tot = + (2.21) 48EI 4GKA Kita tinjau kembali persamaan dasar yang digunakan pada peraturan ini dengan mengabaikan kontribusi defleksi akibat geser, dituliskan, 3 PL Δ = (2.22) 48E I f dimana E f merupakan modulus elastisitas apparent, sehingga 3 3 PL PL PL = + (2.23) 48E I 48EI GKA f 4 Untuk penampang persegi panjang dengan lebar balok b dan tinggi h, maka persamaan (2.22) dapat dituliskan, 2 L E h f 2 2 L 1 = + (2.24) 2 Eh KG pada dua sisi dari persamaan (2.24) dikalikan dengan (h/l) 2, maka persamaan untuk penampang persegi panjang menjadi, h = + (2.25) E f E KG L Persamaan (2.25) dapat dituliskan sebagai bentuk persamaan sederhana y = b + mx, dimana y =1/E f, b adalah 1/E, m adalah 1/(KG), serta x adalah (h/l) 2.

44 Dari persamaan ini dapat diilustrasikan menjadi suatu kurva sebagaimana terlihat pada Gambar /E f m = K 1 = 1/(KG) untuk penampang persegi panjang A K 1 1/E O (h/l) 2 Gambar 2.3 Kurva untuk mendapatkan modulus geser (G) Kurva pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa sumbu horizontal merupakan perbandingan tinggi terhadap panjang bentang dikuadratkan dari benda uji yang dicari besar modulus gesernya, dan pada sumbu vertikal merupakan nilai 1/E f yang merupakan hasil perhitungan modulus elstisitas apparent hasil pengujian lentur dilaboratorium dengan mengadakan pengukuran defleksi yang terjadi akibat beban terpusat yang bekerja ditengah bentang. Diamati dari bentuk kurva pada Gambar 2.3 dan dengan memperhatikan persamaan (2.25) dapat disimpulkan bahwa apabila perbandingan (h/l) 2 lebih kecil pengaruh defleksi akibat gaya geser akan semakin besar. Semakin kecil nilai (h/l) 2, maka semakin besar pula pengaruh defleksi akibat gaya geser terhadap defleksi total yang terjadi. Rasio (h/l) 2 yang ditentukan pada peraturan ini adalah antara 0,035 dan 0,0025 dengan dimensi penampang melintang yang sama dan minimal diadakan pengujian dengan empat bentang atau L yang berbeda. Dari uraian diatas dapat dibedakan cara penulisan rumus berdasarkan ASTM D dan berdasarkan teori energi regangan yang telah diuraikan terdahulu adalah terletak pada besar faktor 1/K dan k. Kalau diperhatikan persamaan (2.17) dan (2.23) adalah sama, perbedaan kedua persamaan tersebut hanya terletak pada faktor k adalah sama dengan 1/K. Jadi prinsip perhitungan dari peraturan ASTM adalah berdasarkan teori energi regangan.

45 21 Selanjutnya dapat dihitung nilai 1/K untuk penampang persegi panjang adalah antara 1,190 1,163 dan dibulatkan menjadi antara 1,20-1,17, sedangkan nilai k pada teori energi regangan adalah tetap 1,20. Nilai 1/K pada peraturan ASTM D dipengaruhi selain dari nilai Poisson ratio juga dari bentuk penampang, sedangkan pada teori energi regangan nilai k dipengaruhi hanya oleh faktor bentuk penampang saja. Pada kenyataannya untuk material kayu meskipun jenisnya sama kemungkinan mempunyai Poisson Ratio yang berbeda apalagi dengan jenis kayu lainnya. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang terjadi pada persamaan defleksi akibat gaya geser untuk material kayu dengan menggunakan teori energi yang menggunakan faktor bentuk k sebagai salah satu faktor penentu. Apabila didalam penggunaan persamaan untuk defleksi akibat gaya geser memasukkan nilai Poisson Rasio akan menghasilkan nilai defleksi yang lebih tepat. Permasalahan yang terjadi adalah terbatasnya data nilai Poisson rasio, apabila diperlukan nilai tersebut biasanya dimasukkan nilai ν antara 0,2 0,50 untuk material kayu. Ditinjau dari nilai modulus geser G yang diperoleh dengan persamaan 1 G = untuk penampang persegi panjang terlihat bahwa setelah K K 1 diadakan perhitungan terjadi sedikit perbedaan untuk penampang persegi panjang oleh karena memasukkan nilai Poisson Rasio Berdasarkan ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008) Persamaan defleksi total yang digunakan pada ASTM D198 (1999) adalah sama dengan persamaan yang dinyatakan pada ASTM D198 (2005), apabila dituliskan kembali persamaan tesebut adalah sebagai berikut, 3 PL PL Δ = + (2.26) 48EI 4GKA Dengan adanya pembaharuan peraturan ASTM yang dibuat pada tahun 1999 dan direvisi pada tahun 2005 dan 2008, terdapat beberapa perbedaan yang terjadi. Dari perbandingkan sebagaimana disebutkan pada Tabel 2.2 dapat diamati bahwa definisi dari K untuk kedua peraturan tersebut berbeda satu sama lain. Pada peraturan ASTM D198 (1999) nilai K tergantung dari nilai Poisson rasio sedangkan pada peraturan ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008) tidak

46 22 tergantung dari Poisson ratio, dan nilai K merupakan faktor bentuk sebagaimana yang disebutkan pada teori energi. Terlihat bahwa nilai 1/K pada kedua peraturan ini adalah sama dengan pada teori energi regangan yang dinyatakan sebagai k, yaitu 1/K atau k untuk penampang persegi panjang adalah 1,20. Nilai modulus geser G pada kedua peraturan ini juga sama seperti pada perhitungan apabila menggunakan teori energi regangan. Tabel 2.2 Perbandingan mendapatkan modulus geser (G) berdasarkan ASTM dan teori energi regangan Diskripsi ASTM D198 (1999) ASTM D198 (2005) dan ASTM D198-5a (2008) Teori Energi Regangan Definisi K adalah ratio dari K = faktor bentuk k = faktor bentuk faktor K regangan geser rata-rata atau k pada penampang terhadap regangan geser pada titik pusat. Nilai Untuk penampang Untuk penampang persegi Untuk faktor K persegi panjang panjang penampang atau k K =(10(1+υ))/(12+11υ) K = 5/6 = 0,8333 persegi panjang dimana υ = Poisson ratio Atau 1/K =6/5 = 1,20 k = 1,20 k = diambil antara 0,005 (tidak tergantung dengan (tidak tergantung 1/K dan 0,50 sehingga nilai poisson rasio) dengan nilai K = 0,84 s/d 0,86 poisson rasio) atau 1/K =1,20 s/d 1,17 Nilai Untuk penampang Untuk penampang persegi Untuk Modulus persegi panjang panjang penampang Geser (G) G = 1 K K 1 1/ K G = K 1 persegi panjang G = k G = 6/(5 K 1 ) atau 1,20/K 1 K 1 G = 1,17/K 1 s/d 1,20/K 1 G = 6/(5 K 1 ) atau 1,20/K 1

47 Metode Transformasi Penampang Melintang Metode trransformasi penampang melintang (Transformed Cross Section) adalah mentransformasikan penampang, yang terdiri dari beberapa bahan atau bahan yang sama tetapi kemampuan mekanis berbeda, kedalam suatu penampang ekuivalen yang disusun dari hanya satu bahan, dan dianalisis dengan cara biasa yang dipergunakan untuk balok satu bahan. Didalam analisis kekuatan glulam tidak dapat dilakukan seperti pada balok dengan kayu utuh, oleh karena glulam tersusun dari beberapa lapis material dengan MOE berbeda. Analisis kekuatan untuk glulam dilakukan menggunakan metode Transformed Cross Section, yaitu metode penggunaan konversi nilai MOE yang bervariasi pada masingmasing lamina terhadap satu nilai MOE, metode ini dijelaskan oleh Bodig dan Jayne (2003). Transformed Cross Section merupakan potongan melintang transformasi komponen material homogen dengan satu nilai MOE yang merupakan hasil perubahan dari bentuk komponen komposit, telah dinyatakan oleh Beer dan Johnston (1992). Penelitian yang telah dilakukan Lee dan Kim (2000) menunjukkan bahwa prediksi kekuatan glulam dilakukan dengan metode Transformed Cross Section dibandingkan terhadap pengujian laboratorium menghasilkan nilai yang hampir sama. Faktor transformasi dari lapisan lamina adalah: E E i n = (2.27) n Berdasarkan faktor transformasi dapat digambarkan kembali penampang melintang aktual menjadi penampang melintang transformasi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4. Dengan mentransformasikan semua bagian balok kedalam suatu bahan yang memiliki harga E tertentu, dimana bahan tersebut menjadi bahan khayal. Maka akan lebih mudah untuk mentransformasikan bahan ke salah satu dari berbagai bahan pada balok tersebut.

48 24 h h i h n Garis netral h i b (a) b n b (b) Gambar 2.4 Susunan tiga lapis lamina simetris (a) Penampang aktual (b) Penampang melintang transformasi Momen inersia dari penampang yang tertranformasi dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut, I tr n i i i 2 [ I0 Atr ( d ) ] = 2 + untuk glulam horizontal (2.28) tr i I tr 1 n i 3 = btrh untuk glulam vertikal (2.29) i 12 Secara umum tegangan lentur nominal dapat dinyatakan, σ = M n y I (2.30) tr Dari tegangan lentur nominal dapat ditentukan tegangan aktual yang terjadi pada setiap titik dengan memperhitungkan kembali pengaruh MOE asalnya, sehingga dapat dituliskan bahwa, i M btr σ a = y (2.31) I b tr i Untuk glulam dengan susunan lamina yang mempunyai sifat mekanis yang tidak simetris, adanya momen lentur menjadikan suatu penyelesaian yang lebih rumit. Masing-masing lebar lamina ditransformasikan dengan cara mengalikan lebar masing-masing lamina dengan faktor transformasi, Gambar 2.5. Selanjutnya perlu diketahui terlebih dahulu garis netral atau titik berat penampang melintang. Letak garis netral dapat dihitung dengan persamaan,

49 25 y n i 1 i i i 1 i E1h h + ( h / 2 i= 1 = 1 n i i E1 h i= 1 (2.32) Setelah diperoleh letak titik berat pada balok yang tidak simetris, dapat dihitung tegangan lentur aktual pada titik tinjauan yang diinginkan menggunakan sebagaimana pada persamaan (2.32). b5 b4 b3 E2 E4 E5 E3 - - b E1 + b2 b + (a) (b) (c) (d) Gambar 2.5 Susunan n lapis lamina tidak simetris (a) Penampang aktual (b) Tegangan lentur nominal (c) Penampang melintang transformasi (d) Tegangan aktual

50 3. ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU MANGIUM 3.1. Pendahuluan Sifat fisis kayu merupakan sifat dasar kayu yang berperan penting dan erat hubungannya dengan struktur kayu, pernyataan yang dibuat oleh Tsoumis (1991). Sifat fisis kayu yang sangat penting antara lain kerapatan (density), berat jenis (specific gravity), kadar air (moisture content), dan susut (shrinkage). Haygreen dan Bowyer (1993), memberikan pernyataan bahwa sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan dan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Kollmann dan Cote (1968) menjelaskan bahwa sifat mekanis kayu yang dapat digunakan untuk menilai kekuatan kayu adalah kekuatan lentur statis (static bending strength), kekakuan (stiffness), kekuatan tekan (compressive strength), kekuatan tarik (tensile strength), kekuatan geser (shearing strength), keuletan (toughness), kekerasan (hardness), dan ketahanan belah (cleavage resistance). Untuk mendapatkan nilai MOE dapat dilakukan dengan cara pengujian tanpa merusak (non destructive test). Untuk mendapatkan nilai MOR harus dilakukan pengujian sampai terjadi kerusakan atau biasa disebut keruntuhan (destructive test). Kekuatan lentur statis merupakan sifat kekuatan kayu untuk menahan beban yang berusaha melengkungkan kayu dan bekerja pada arah tegak lurus sumbu netral balok. Sifat yang termasuk dalam hal ini adalah tegangan yang terjadi sampai pada batas proporsional dan tegangan runtuh (MOR). MOR merupakan tegangan serat yang terjadi pada beban maksimum (fibre stress at maximum load) yang juga dapat dinyatakan sebagai tegangan yang terjadi pada saat benda mengalami kerusakan atau keruntuhan. Sifat kekuatan kayu bervariasi tergantung dari arah serat dan arah gaya yang bekerja. Kekuatan tekan pada kayu dibedakan dua macam yaitu kekuatan tekan tegak lurus dan sejajar arah serat kayu. Kekuatan tekan tegak lurus arah serat lebih kecil daripada kekuatan tekan sejajar arah serat. Demikian juga kekuatan tarik juga dibedakan menjadi dua macam yaitu kekuatan tarik tegak lurus dan sejajar arah serat. Kekuatan tarik tegak lurus arah serat lebih kecil daripada kekuatan tarik sejajar arah serat.

51 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisis dan mekanis kayu mangium dan kelas kuat kayu berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia Bahan dan Metode Bahan dan Alat Jenis kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu mangium, diperoleh dari hasil tebang hutan tanaman industri milik Perum Perhutani Unit III lokasi di Legok, Bogor, Jawa Barat. Umur pohon pada saat ditebang sekitar 8 tahun, dengan diameter pohon sekitar cm. Setelah penebangan log kayu diangkut ke pemotongan kayu (sawmill) dan dilakukan proses pemotongan kayu sesuai dengan ukuran lebar dan tinggi masing-masing lebih dari 60 mm, dan 120 mm serta panjang lebih dari 3000 mm. Setelah diadakan pemotongan, kayu diangkut ke laboratorium Puslitkim (Pusat Penelitian Pemukiman) PU, Cileunyi Bandung. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan secara alami, kayu disusun secara rapi diruang beratap dan diantara lapis diberikan kayu reng dengan ketebalan sekitar 30 mm. Kipas angin dipasang selama 24 jam sebanyak empat buah dengan posisi berubah-ubah dengan maksud agar kayu dapat kering dengan waktu lebih cepat apabila dibandingkan dengan tidak dilakukan pengipasan. Untuk mengetahui perkiraan kadar air kayu, diadakan pengetesan dengan alat pengukur kadar air digital yaitu dengan menusukkan jarum pada kayu dan secara langsung dapat diketahui nilai kadar airnya. Pengetesan secara random menunjukkan bahwa kadar air kering udara dari bahan dasar benda uji adalah sekitar 14 sampai dengan 16%. Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan keyakinan bahwa kayu dalam kondisi kering udara ideal dan dapat dipersiapkan sebagai material untuk pengujian sifat fisis atau mekanis kayu. Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat potong, penghalus, Calliper, alat pengukur kadar air digital, oven, alat pemilahan

52 kayu Panter, beban, Universal Testing Machine (UTM) kapasitas 10 KN, komputer, kalkulator, dan alat tulis Metodologi Penelitian dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bangunan Konstruksi Puslitkim PU, Cileunyi, Bandung. Pengujian sifat fisis dilakukan menggunakan benda uji bebas cacat. Sifat fisis antara lain kadar air, kerapatan, berat jenis, dan susut kayu pada arah longitudinal, radial maupun tangensial. Sifat mekanis kayu antara lain tegangan geser sejajar serat, tegangan tekan sejajar serat, tegangan tekan tegak lurus serat, dan tegangan tarik tegak lurus serat, dan modulus elastisitas MOE. Pengujian dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur pada standar ASTM D143 (2005) tentang Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. Dimensi dari benda uji untuk mendapatkan nilai kerapatan dan berat jenis adalah 20 mm (panjang) x 20 mm (lebar) x 20 mm (tinggi) dengan kadar air kering udara antara 14-16%. Seluruh benda uji sebanyak dua puluh delapan buah diukur secara tepat panjang, lebar dan tingginya dengan alat pengukur digital selanjutnya ditimbang. Benda uji dikeringkan dalam oven dengan suhu antara C selama 24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven benda uji didinginkan sebentar dan selanjutnya masing-masing benda uji ditimbang, hasil penimbangan disebut berat kering tanur. Uji susut kayu mangium disiapkan dengan dimensi 20 mm x 20 mm x 50 mm. Panjang 50 mm merupakan arah serat tinjauan yaitu masing-masing longitudinal untuk mendapatkan nilai susut longitudinal, arah serat radial untuk susut radial dan arah serat tangensial untuk susut tangensial. Lebar dan tinggi masing-masing benda uji sebesar 20 mm dengan arah serat lainnya. Masing masing benda uji diukur panjangnya secara tepat dan kemudian dimasukkan didalam oven dengan suhu C selama 24 jam. Benda uji dikeluarkan dari oven kemudian diadakan pengukuran panjangnya kembali. Kekuatan tekan sejajar serat merupakan kemampuan kayu menahan gaya tekan sejajar arah serat dan mengakibatkan terjadi perpendekan kayu. Kayu

53 29 dengan ukuran lebar, tinggi, dan panjang masing-masing adalah 50 mm, 50 mm, dan 200 mm sebanyak 10 buah diukur secara tepat dengan alat pengukur digital. Benda uji diberikan beban tekan sejajar serat pada permukaan potongan melintang secara bertahap dengan kecepatan 0,003 mm/mm panjang benda uji per menit. Oleh karena panjang benda uji adalah 200 mm maka kecepatan pembebanan adalah 0,6 mm/menit. Pembebanan dilakukan sampai terjadi kerusakan (failure) dari benda uji. Kekuatan tekan tegak lurus serat merupakan kemampuan kayu menahan gaya tekan yang bekerja tegak lurus arah serat. Benda uji sebanyak 10 buah dengan dimensi lebar, tinggi, dan panjang masing-masing adalah 50 mm, 50 mm, dan 150 mm diadakan pengukuran secara tepat dengan alat pengukur digital bagian tengah benda uji arah memanjang. Benda uji diletakkan secara mendatar dan pada bagian tengah atas diletakkan pelat baja dengan ukuran 50 mm x 50 mm. Pembebanan diberikan diatas pelat baja secara bertahap dengan kecepatan 0,305 mm/min. Pembebanan dilakukan sampai terjadi kerusakan dari benda uji. Kekuatan tarik (tensile strength) tegak lurus serat adalah kekuatan kayu untuk menahan beban luar yang berusaha menarik kayu tersebut. Benda uji sebanyak 10 buah masing-masing diberikan beban tarik tegak lurus serat, dengan kecepatan pembebanan 2,5 mm/menit. Pembebanan dilakukan sampai terjadi kerusakan dari benda uji. Kekuatan geser sejajar serat merupakan kemampuan kayu dalam menahan geseran antar serat. Kekuatan geser dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar serat. Benda dengan dimensi lebar, tinggi, dan panjang masing-masing adalah 50 mm, 50 mm, dan 63 mm dicoak sebesar 13 mm pada bagian atas. Jadi bidang geser adalah 50 mm x 50 mm untuk panjang dan tinggi. Pengujian ini dilakukan dengan menekan pada bagian yang tercoak. Pembebanan diberikan dengan kecepatan sebesar 0,6 mm/menit. Pembebanan dilanjutkan sampai melewati batas proposional dan berhenti setelah terjadi kerusakan. Soerjokusumo (2003) dalam buku panduannya, menjelaskan penggunaan pemilah kayu secara mekanis berdasarkan nilai MOE. Pengujian dilakukan menggunakan mesin pemilah Panter (Plank Sorter) yang telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun Pelaksanaan pemilahan mekanis kayu menggunakan

54 30 alat tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 3.1. Mesin pemilah Panter merupakan mesin yang dirancang berdasarkan prinsip pendugaan kekuatan kayu melalui parameter kekakuannya. Mesin ini merupakan suatu sistem pemilahan kayu secara masinal yang sederhana dan pengujiannya bersifat tidak merusak (non destructive test). Dengan metode ini kelas kuat kayu yang diindikasikan dengan nilai MOE setiap balok kayu yang dipilah dapat diketahui dengan cepat tanpa terjadi kerusakan. Gambar 3.1 Uji lentur dengan mesin pemilah Panter 3.4. Analisis Data Analisis data dilakukan sesuai dengan masing-masing jenis pengujian yang telah dilakukan pada pengujian laboratorium. Kerapatan merupakan nilai dari berat benda uji sebelum dioven dibagi dengan volume sebelum dioven pula, yaitu pada kondisi kering udara, dapat dihitung dengan persamaan, Kerapa tan = W ku = ρ (3.1) Vku Berat jenis kayu adalah berat kering tanur dibagi dengan volume kering udara benda uji dibagi dengan berat air dibagi dengan volume air pada kondisi

55 31 kering udara. Nilai berat air dibagi dengan volume air adalah satu. Persamaan berat jenis dapat dituliskan sebagai berikut, W V kt Berat Jenis = ku (3.2) Wa V a Kadar air merupakan hasil pembagian kandungan berat air terhadap berat kering tanur dari benda uji. Berat air adalah selisih dari berat benda uji sebelum dioven dikurangi dengan berat kering tanur benda uji. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan, ( W W ) ku kt Kadar Air = x 100%. (3.3) W kt Susut longitudinal, tangensial dan radial, masing-masing dapat dihitung berdasarkan perbedaan perubahan deformasi terhadap panjang aslinya pada arah dimaksud, dan dapat dihitung dengan persamaan, ( Lo Lku ) Susut = x 100% (3.4) L o Kekuatan tekan sejajar serat dan kekuatan tekan tegak lurus serat, masingmasing dihitung berdasarkan persamaan (3.5), dan (3.6) sebagai berikut, P σ // serat = (3.5) A bidang tekan P σ serat = (3.6) A bidang tekan Kekuatan geser sejajar serat dapat dihitung berdasarkan persamaan, P τ // serat = (3.7) A bidang geser 3.5. Hasil dan Pembahasan Dari pengukuran dan penimbangan yang dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai kerapatan dan berat jenis rata-rata kayu mangium masing-masing adalah 0,53 g/cm 3, dan berat jenis 0,46, masing-masing kedua nilai tersebut dapat dilihat pada

56 Gambar 3.2 dan Gambar 3.3. Pada pengamatan kayu mangium yang telah dilakukan, diperoleh kadar air sebesar 16,35 %, lihat Gambar ,80 Kerapatan (g/cm3 0,60 0,40 0,20 0,00 Kerapatan rata-rata= 0,53 g/cm 3 STDEV = 0.08 COV = 15,47% Nomor Benda Uji Gambar 3.2 Kerapatan kayu mangium 0,80 Berat Jenis 0,60 0,40 0,20 0,00 BJ rata-rata = 0,46 STDEV = 0,08 COV = 16,48% Nomor Benda Uji Gambar 3.3 Berat jenis kayu mangium 25 Kadar Air (%) Kadar Air rata-rata = 16,35% STDEV = 3,29 COV =20,10% Nomor Benda Uji Gambar 3.4 Kadar air kayu mangium

57 33 Hasil pengujian menunjukkan bahwa perubahan panjang atau susut kayu mangium adalah sebagai berikut: susut arah tangensial adalah 5,51% dengan SD 0,49 dan CV 8,86%; susut arah radial adalah 2,74% dengan SD 0,30 dan CV 11,00%; serta susut arah longitudinal adalah 0,10% dengan SD 0,03 dan CV 34,71%, lihat Gambar 3.5. Susut Longitudinal (%) 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 Susut Longitudinal rata-rata = 0.10% STDEV = 0,03 COV = 34,71% Nomor benda uji Susut Tangensial (%) Susut Radial (%) 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Susut Radial rata-rata = 2,74% STDEV = 0,30 COV = 11,00% Nomor benda uji Susut Tangensial rata-rata = 5,51% STDEV = 0,49 COV = 8,86% Nomor Benda Uji Gambar 3.5 Susut longitudinal, radial, dan tangensial kayu mangium Tegangan tekan sejajar serat diperoleh dengan cara membagi gaya maksimum yang bekerja dengan luas permukaan benda uji. Nilai tegangan tekan

58 34 sejajar serat kayu mangium adalah 27,94 MPa dengan SD 1,78 dan CV 6,37%, dapat dilihat pada Gambar 3.6. Tegangan tekan tegak lurus serat adalah gaya maksimum dibagi dengan luas penampang tekan. Nilai tegangan tekan tegak lurus arah serat rata-rata kayu mangium adalah 12,02 MPa dengan SD 2,66 dan CV 22,18%, dapat dilihat pada Gambar 3.7. Tegangan tarik tegak lurus serat adalah gaya maksimum dibagi dengan luas biang tarik. Nilai tegangan tarik tegak lurus arah serat rata-rata kayu mangium adalah 3,57 MPa dengan SD 0,44 dan CV 12,18%, dapat dilihat pada Gambar Teg. Tekan Sejajar Serat (MPa) σ tekan//serat rata-rata = 27,94 Mpa 10 STDEV = 1,78 COV = 6,37% Nomor Benda Uji Gambar 3.6 Tegangan tekan sejajar serat kayu mangium Teg. Tekan Tegak Lurus Serat (MPa) σ tekan serat rata-rata = 12,02 MPa STDEV = 2,66 COV = 22,18% Nomor Benda Uji Gambar 3.7 Tegangan tekan tegak lurus serat kayu mangium

59 35 Teg. Tarik Tegak Lurus Serat (MPa) σ tarik serat rata-rata = 3,57 MPa STDEV = 0,44 COV = 12,18% Nomor Benda Uji Gambar 3.8 Tegangan tarik tegak lurus serat kayu mangium Dari pengujian ini didapatkan tegangan geser sejajar serat adalah 8,56 MPa dengan SD = 1,01, dan CV = 11,82%, lihat Gambar 3.9. Teg. Geser Sejajar Serat (MPa) τ geser//serat rata-rata = 8,56 Mpa STDEV = 1,01 COV = 11,82% Nomor Benda Uji Gambar 3.9 Tegangan geser sejajar serat kayu mangium Dari hasil uji lentur menggunaksn mesin pemilah Panter diperoleh hasil MOE rata-rata adalah 9540 MPa dengan SD = 951, dan CV = 9,97%, lihat Gambar 3.10.

60 36 Modulus Elastisitas (MPa) MOE rata-rata = 9540 MPa (E-10) STDEV = 951 COV = 9,97% Nomor Benda Uji Gambar 3.10 Modulus elastisitas kayu mangium hasil pemilahan dengan Mesin Pemilah Panter Dari hasil pengujian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis dari kayu mangium sangat beragam. Perbedaan nilai yang diperleh dari penelitian oleh penulis dan peneliti lainnya disebabkan oleh karena beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu: kondisi alam lokasi tanam seperti cuaca dan jenis tanah tempat pohon tumbuh, sistem tanam dan perawatan masa pertumbuhan dan kualitas bibit. Tabel 3.1 menunjukkan hasil pengujian sifat fisis dan mekanis kayu mangium yang dilakukan oleh penulis dan peneliti lainnya.

61 37 Tabel 3.1 Sifat fisis dan mekanis kayu mangium Jenis Penulis (2008) Peneliti lainnya Nama (*) Kerapatan (g/cm 3 ) 0,53 (kondisi kering udara) 0,42-0,60 Berat jenis 0,46 0,65 0,42-0,43 (kondisi basah) 0, 50-0,60 (kondisi kering) 0,48-0,52 0,57 0,43-0,47 Susut arah 0,03 longitudinal (%) Susut arah radial 2,74 2,7 (%) 1,35 Susut arah 5,51 6,4 tangensial (%) 2,61 MOE (MPa) (umur 12 tahun) MOR (MPa) 74, ,5 97 (umur 12 tahun) Tegangan 43,31-48,49 Tekan//serat 43,44 (MPa) (umur 12 tahun) McDicken dan Brewbaker (1984) Razali dan Kuo (1991) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) McDicken dan Brewbaker (1984) Sining (1988) Saleh dan Wong (1991) Ong (1985) Saleh dan Wong (1991) Ong (1985) Wang et al. (1989) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) Wang et al. (1989) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) Zin et al. (1991) Razali dan Hamami (1992) Tegangan 8,56 15,81-17,28 Zin et al. (1991) geser//serat (MPa) Keterangan: (*) sumber dari Kader et al. Properties and Utilization. Didalam: Acacia mangium, Growing and Utlization. Dari hasil pengujian sifat fisis dan mekanis yang dilakukan penulis pada penelitian ini kayu mangium dapat digolongkan berdasarkan peraturan kayu yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan Daftar I Peraturan Konstruksi Kayu Indonensia PKKI NI kelas kuat kayu didasarkan pada nilai MOE kayu. Dari pengujian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa MOE kayu mangium sekitar MPa atau nilai MOE rata-rata 9540 MPa, digolongkan sebagai kayu kelas kuat II III (MOE = MPa). Pada peraturan yang sama kelas kuat kayu dapat digolongkan berdasarkan berat jenis kayu. Dari pengujian yang telah dilaksanakan untuk kayu mangium

62 38 diperoleh nilai kerapatan rata-rata adalah 0,53 g/cm 3 dan nilai berat jenis rata-rata adalah 0,46, berdasarkan PKKI dapat digolongkan sebagai kayu kelas kuat II (BJ = 0,40-0,60). b. Berbeda dengan PKKI, penggolongan kuat acuan pada RSNI (Rencana Standar Nasional Indonesia) 2002 tentang Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia didasarkan pada nilai MOE dan dilengkapi dengan nilai kuat tekan tegak lurus serat, tekan sejajar serat, tarik tegak lurus serat, tarik sejajar serat dan kuat geser sejajar serat yang dapat diambil dalam perencanaan kayu. Pada RSNI tidak menggolongkan kelas kuat kayu berdasarkan berat jenis kayu. Dari hasil pengujian diperoleh modulus elastistas (MOE) kayu mangium sekitar MPa atau nilai MOE rata-rata 9540 MPa, tegangan tekan sejajar serat rata-rata 27,94 MPa, tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata 12,02 MPa dan tegangan geser sejajar serat rata-rata 8,56 MPa. Berdasarkan nilai kuat acuan yang tercantum pada RSNI, kayu tersebut dapat digolongkan sebagai kuat acuan E Pemilihan kayu sebagai komponen struktural ditentukan berdasarkan pembebanan, bentang, bentuk dan dimensi yang direncanakan. Untuk beban dan bentang besar, digunakan kayu dengan kelas kuat tinggi. Sebaliknya untuk komponen struktur penunjang atau untuk menahan beban kecil atau untuk benting kecil digunakan kayu dengan kelas kuat yang lebih rendah. Kayu dengan kelas kuat II-III memungkinkan dan telah biasa digunakan sebagai komponen struktural. Penggunaannya tentunya telah direncanakan tidak melampaui batas kemampuan sifat mekanis kayu Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sehubungan dengan sifat fisis dan mekanis kayu mangium sebagai berikut: 1. Kayu mangium mempunyai kerapatan rata-rata 0,53 g/cm 3, berat jenis 0,46, dan MOE rata-rata 9540 MPa.

63 39 2. Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, kayu mangium merupakan kayu kelas kuat II-III (berdasarkan PKKI) dan kuat acuan E10-12 (berdasarkan RSNI 2002). 3. Kayu kelas kuat II-III didalam aplikasi sehari-hari sudah biasa digunakan sebagai komponen kayu yang bersifat struktural.

64 4. ANALISIS KEKUATAN MEKANIS BALOK GLULAM DENGAN KETEBALAN LAMINA BERBEDA 4.1. Pendahuluan Karakteristik struktur balok glulam dipengaruhi oleh lamina-lamina penyusunnya. Pada pinsipnya, berbagai spesies kayu dapat digunakan sebagai produk glulam selama digunakan perekat yang sesuai. Kekakuan (stiffness) merupakan kemampuan menahan perubahan bentuk atau lengkungan, dan modulus elastisitas (MOE) kayu merupakan indikasi dari kekakuan. Mamlouk dan Zaniewski (2006) menyatakan bahwa MOE adalah kemiringan proporsional garis linear dari kurva tegangan dan regangan. MOR (modulus of rupture) merupakan kekuatan serat yang terjadi pada beban maksimum yaitu pada saat benda mengalami kerusakan (failure), dan dikatakan sebagai kekuatan maksimum. Perekat dapat secara sempurna mentransfer dan mendistribusi tegangan, sehingga memungkinkan meningkatkan kekuatan dan kekakuan laminasi. Transfer tegangan yang efektif dari satu lamina kelamina lainnya tergantung dari kekuatan ikatan dari rantai imajiner sambungan rekatan dengan perekat. Kondisi sambungan dengan perekat tergantung dari kompleksitas faktor karakteristik dari kayu, perekat dan metode proses perekatan. Sulistyawati et al. (2003), menyatakan bahwa penyebab terjadinya ketidaksempurnaan proses perekatan adalah kondisi glulam yang tidak monolit, sehingga mengakibatkan penurunan sifat mekanis dari glulam. Hal ini menjadi pertimbangan untuk diperhatikan didalam produksi glulam. Perekat merupakan material dengan sifat berbeda dengan kayu. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis glulam, seperti kekakuan dan kekuatannya. Dengan dimensi penampang melintang glulam yang sama, dapat disusun sejumlah lamina secara horizontal dengan ketebalan tertentu. Semakin banyak jumlah lamina, semakin tipis tebal lamina. Semakin banyak jumlah lamina semakin besar luas bidang rekatan.

65 41 Pengaruh adanya bahan perekat dan perbedaan ketebalan lamina pada balok glulam perlu diamati untuk mengetahui kemampuan kekakuan dan kekuatannya Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekakuan dan kekuatan balok utuh dan glulam dengan ketebalan lamina berbeda, dengan seluruh MOE lamina dan balok utuh mendekati sama. Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Mengetahui kekakuan balok gulam berdasarkan ketebalan lamina. 2. Mengetahui gaya maksimum yang dapat dipikul oleh balok glulam berdasarkan ketebalan lamina. 3. Mengetahui MOR (modulus of rupture) balok glulam berdasarkan ketebalan lamina. 4. Membandingkan kekakuan dan kekuatan balok glulam dengan balok utuh Bahan dan Metode Bahan dan Alat Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Akasia (Acacia mangium, famili Leguminoseae) yang merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species). Kayu ditebang dari Legok, Bogor, Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dengan diameter log sekitar 20 cm-28 cm dan umur tanam sekitar 8 tahun. Perekat yang digunakan adalah Polyurethane (Water Based Polymer Isocyanate, WBPI). Perekat terdiri dari dua bagian yaitu PI 3100 sebagai resin dan H7 sebagai hardener, keduanya dicampur dengan perbadingan 100:15 berdasarkan berat. Berat labur adalah 280 g/m 2 dan dilakukan pemolesan perekat pada kedua permukaan kayu. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah : gergaji mesin bandsaw); gergaji tangan; mesin serut (planner); kilang pengering (dry kiln); amplas; displacement tranducer; alat pengukur dimensi digital; alat

66 42 pengukur kadar air digital (digital moisture meter); timbangan elektrik; beban; Universal Testing Machine (UTM); alat pemilah kayu; alat tulis dan kalkulator; komputer dengan perangkat penunjangnya Metodologi Pelaksanaan uji lentur dilakukan mengacu pada peraturan ASTM D143 (2005), Test Methods for Small Clear Specimen of Wood. Pengujian lentur balok dengan memberikan beban terpusat ditengah bentang menggunakan Universal Testing Machine, Instron 330 Type dengan kapasitas beban sebesar 50 KN. Kecepatan pembebanan adalah 3 mm/menit, dan pengujian dilakukan sampai terjadi kerusakan (failure) pada masing-masing balok uji. Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Penyiapan benda uji Balok glulam disusun dari lamina-lamina dengan ketebalan masing-masing 20 mm untuk glulam A, 15 mm untuk glulam B, dan 10 mm untuk glulam C, dengan lebar lebih dari 60 mm dan panjang 900 mm. Balok utuh disiapkan dengan ukuran bersih 60 mm x 60 mm x 900 mm untuk tebal, lebar dan panjang. Seluruh lamina dan balok utuh dalam kondisi kering udara dengan kadar air kesetimbangan sekitar 15%. Sebelum penyusunan lamina menjadi glulam, terlebih dahulu dilakukan pemilahan seluruh lamina berdasarkan nilai modulus elastisitasnya (MOE). Lamina dengan kelompok ketebalannya dikumpulkan berdasarkan besar MOE yang sama. Masing-masing lamina dengan ketebalan 20 mm disusun sebanyak 3 lapis, 15 mm sebanyak 4 lapis, dan 10 mm sebanyak 6 lapis. MOE lamina-lamina yang digunakan untuk membentuk balok glulam, seluruhnya mendekati nilai MOE balok utuh. Masing-masing jumlah benda uji balok glulam A, B, C, dan balok utuh adalah 10 (sepuluh) buah. Bahan perekat disiapkan sesuai dengan standar teknik yang ditentukan oleh produsen. Sebelum diaplikasikan, kedua komponen perekat yaitu base resin dan hardener dicampur dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 100 : 15

67 43 (berdasarkan berat). Sebelum proses perekatan, permukaan lamina dalam keadaan halus, dibersihkan dari segala kotoran. Pelaburan perekat dilakukan pada kedua permukaan (double spread) lamina dengan berat labur 280 g/m 2. Balok laminasi yang telah selesai seluruh proses perekatan diletakkan diantara 2 (dua) buah profil besi siku yang dilengkapi dengan pelat besi dan selanjutnya dilakukan kempa dingin dengan cara diklem setiap jarak 30 cm selama 2 (dua) jam. Tabel 4.1 Penampang melintang balok glulam dan balok utuh 60 mm Glulam A 60 3 x 20 mm 60 mm Glulam B 60 4 x 15 mm 60 mm Glulam C 60 6 x 10 mm Balok utuh mm ---

68 44 Sebelum dilakukan perataan sisi glulam dan pengujian lentur, balok glulam dikondisikan terlebih dahulu selama 7 (tujuh) hari untuk menjamin proses pematangan perekatan. Perataan sisi penampang glulam dilakukan sampai terbentuk lebar dan tinggi masing-masing adalah 60 mm. Tabel 4.1 menunjukkan penampang balok laminasi maupun utuh serta jumlah lapisan lamina. Proses pengempaan balok glulam dapat dilihat pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 Proses pengempaan balok glulam Pengujian lentur balok glulam dan balok utuh Uji lentur setiap balok glulam dan balok utuh dengan cara meletakkan balok tersebut diatas dua perletakan dengan bentang antara keduanya 830 mm. Perbandingan dari panjang bentang dan tinggi penampang balok adalah sekitar 14. Gambar 4.2 Pelaksanaan uji lentur balok glulam dan balok utuh menggunakan Universal Testing Machine

69 45 Beban terpusat diberikan ditengah bentang, pelaksanaan pengujian dilakukan dengan kecepatan pembebanan adalah 3 mm/menit, dan peningkatan beban diberikan sampai terjadi kerusakan balok. Pelaksanaan pengujian lentur dapat dilihat seperti pada Gambar Analisis data Hasil uji lentur menghasilkan data defleksi (Δ) dan beban terpusat (P) yang bekerja ditengah bentang. MOE diperoleh dengan perhitungan secara analitik dengan mengambil data defleksi dari grafik P - Δ yang menunjukkan garis linier yaitu hubungan dalam batas elastis. Persamaan untuk memperoleh modulus elastisitas MOE adalah: 3 PL MOE = (4.1) 3 4 Δ bh MOR (modulus of rupture) merupakan tegangan lentur pada serat tepi atas atau bawah penampang balok yang paling jauh dari titik berat penampang akibat gaya maksimum yang bekerja pada saat terjadi kerusakan. Persamaan untuk memperoleh nilai MOR adalah: 3 PL MOR = (4.2) 2 2 bh 4.5. Hasil dan Pembahasan Besaran kerapatan balok glulam dan balok utuh yang diperoleh dari pengukuran potongan masing-masing kedua balok tersebut berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 60 mm x 60 mm x 60 mm, dapat dilihat pada Gambar 4.3. Kerapatan glulam B, C, dan balok utuh adalah hampir sama. Kerapatan glulam A lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketiga jenis balok lainnya. Material kayu dari pohon yang sama atau pohon yang tumbuhnya berdekatan dalam satu kawasan, dan dengan umur yang sama tidak menjamin mempunyai nilai kerapatan yang persis sama. Hasil pengujian lentur balok glulam dan balok utuh dengan beban terpusat ditengah bentang dibuat grafik hubungan P-Δ, dan selanjutnya diadakan

70 46 perhitungan MOE menggunakan persamaan (4.1) dan MOR dengan persamaan (4.2). Tabel 4.2 menunjukkan nilai MOE masing-masing benda uji balok glulam maupun balok utuh. Kerapatan (g/cm 3 ) 0,80 0,60 0,40 0,20 0,63 0,54 0,53 0,54 0,00 Glulam A Glulam B Glulam C Balok Utuh Gambar 4.3 Kerapatan balok glulam dan balok utuh Tabel 4.2 Modulus elastisitas balok glulam dan balok utuh Benda Uji (glulam) MOE (MPa) Benda Uji (glulam) MOE (MPa) Benda Uji (glulam) MOE (MPa) Benda Uji (balok utuh) MOE (MPa) A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D rata-rata SD CV(%) 12,38 13,10 12,83 11,31 Keterangan: A = balok glulam dengan 3 lamina, ketebalan masing-masing lamina 20 mm B = balok glulam dengan 4 lamina, ketebalan masing-masing lamina 15 mm C = balok glulam dengan 6 lamina, ketebalan masing-masing lamina 10 mm D = balok utuh Gambar 4.4 menunjukkan bahwa MOE rata-rata glulam A terdiri dari tiga lamina dengan masing-masing ketebalan 20 mm adalah 11,3% lebih rendah dari balok utuh. Glulam B terdiri dari empat lamina dengan masing-masing ketebalan

71 47 15 mm mempunyai nilai MOE 11,0% lebih tinggi dari balok utuh. Sedangkan Glulam C terdiri dari enam lamina dengan masing-masing ketebalan 10 mm adalah 9,5% lebih tinggi dari balok utuh. Analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95%, nilai F hitung > F (α = 5%), dimana F hitung = 6,47 dan F (α = 5%) = 2,87, nilai MOE dipengaruhi oleh konfigurasi penampang balok. Uji lanjut DMRT (Duncan s Multiple Range Test) menunjukkan bahwa MOE balok glulam dengan ketebalan lamina 15 mm (glulam B) setara dengan 10 mm (glulam C), dan keduanya setara dengan balok utuh. MOE glulam dengan ketebalan lamina 20 mm (glulam A) tidak setara dengan glulam B dan C, tetapi setara dengan balok utuh. Ketebalan lamina glulam B dan C lebih tipis jika dibandingkan dengan A, dan jumlah lamina glulam B dan C lebih banyak daripada A, maka luas bidang rekatan glulam B dan C lebih besar jika dibandingkan dengan A. Hasil penelitian menunjukkan MOE glulam B dan C lebih besar daripada A, maka luas bidang rekatan mempunyai pengaruh terhadap nilai MOE. Lebih besar luas rekatan lebih besar nilai MOE balok glulam atau kekakuannya. Meskipun luas rekatan glulam C lebih besar daripada B, MOE glulam C lebih kecil daripada B, tetapi MOE keduanya setara. Hal ini menunjukkan bahwa luas rekatan bukan merupakan satu hal yang mempengaruhi nilai MOE-nya, tetapi tipe kerusakan dapat menjadi suatu kondisi yang mempengaruhi nilai MOE MOE (MPa) Glulam A Glulam B Glulam C Balok Utuh Gambar 4.4 Modulus elastisitas rata-rata balok glulam dan balok utuh

72 Berdasarkan gaya maksimum yang dapat dipikul oleh balok glulam dan balok utuh dihitung besar MOR, yang ditunjukkan pada Tabel Benda Uji (glulam) Tabel 4.3 Modulus of Rupture (MOR) balok glulam dan balok utuh MOR (MPa) Benda Uji (glulam) MOR (MPa) Benda Uji (glulam) MOR (MPa) Benda Uji (balok utuh) MOR (MPa) A1 46,16 B1 73,23 C1 45,41 D1 58,69 A2 50,78 B2 52,51 C2 59,52 D2 51,46 A3 47,12 B3 59,92 C3 53,64 D3 55,47 A4 41,08 B4 64,13 C4 54,38 D4 50,94 A5 42,62 B5 53,62 C5 52,91 D5 50,97 A6 44,45 B6 65,43 C6 65,22 D6 49,06 A7 30,88 B7 62,86 C7 55,00 D7 54,64 A8 44,71 B8 49,49 C8 52,20 D8 50,34 A9 41,32 B9 65,66 C9 61,72 D9 57,27 A10 54,59 B10 58,43 C10 47,81 D10 49,10 rata-rata 44,37 60,53 54,78 52,80 SD 6,34 7,22 6,03 3,46 CV(%) 14,29 11,92 11,02 6,55 Keterangan: A = balok glulam dengan 3 lamina, ketebalan masing-masing lamina 20 mm B = balok glulam dengan 4 lamina, ketebalan masing-masing lamina 15 mm C = balok glulam dengan 6 lamina, ketebalan masing-masing lamina 10 mm D = balok utuh Gambar 4.5 menunjukkan beban maksimum rata-rata dan MOR rata-rata yang terjadi pada ketiga jenis glulam A, B, dan C serta balok utuh. Ditinjau dari tiga balok glulam, C dengan ketebalan lamina 10 mm merupakan balok yang menahan beban maksimum terbesar, yaitu N, diikuti dengan glulam B dengan ketebalan lamina 15 mm, N dan selanjutnya glulam A tebal lamina 20 mm menahan beban maksimum paling kecil, 8352 N. Balok utuh menahan beban maksimum 9045 N, lebih kecil dari glulam B dan C, tetapi lebih besar dari glulam A. Beban maksimum yang dapat dipikul oleh glulam A adalah 7,7% lebih rendah, glulam B dan C masing-masing 14,5% dan 15,0% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan balok utuh. Apabila ditinjau dari nilai rata-rata ketiga jenis glulam, diperoleh hasil beban maksimum rata-rata adalalah 9706 N atau 7,3% lebih besar apabila dibandingkan terhadap beban maksimum yang dapat ditahan balok utuh. MOR glulam A adalah 16,0% lebih rendah, dan masing-masing 14,7%

73 49 serta 3,6% lebih tinggi untuk glulam B dan C apabila dibandingkan terhadap balok utuh. Analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95%, nilai F hitung > F (α = 5%), dimana F hitung = 12,73 dan F (α = 5%) = 2,87, nilai MOR dipengaruhi oleh konfigurasi penampang balok. Uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa MOR glulam dengan ketebalan lamina 15 mm (glulam B) berbeda nyata dengan ketebalan lamina 10 mm (glulam C), 20 mm (glulam A), dan balok utuh. Sedangkan glulam C dengan ketebalan lamina 10 mm tidak berbeda nyata dengan balok utuh. Pmaks (N) ,37 60,53 54,78 52, MOR (MPa) 0 Glulam A Glulam B Glulam C Balok Utuh 0 Pmaks MOR Gambar 4.5 Beban maksimum dan MOR balok glulam dan balok utuh Rasio beban maksimum terhadap nilai MOR balok glulam A,B,C maupun balok utuh masing-masing adalah 1,9, 1,7, 1,9, dan 1,7. Glulam C dapat mencapai beban maksimum sebesar N, lebih besar dari balok glulam B, yaitu N, tetapi MOR glulam C sebesar 54,78 MPa lebih kecil dari pada MOR glulam B, yaitu 60,53 MPa. Seharusnya perbandingan beban maksimum yang dapat dipikul terhadap MOR yang terjadi pada masing-masing balok glulam maupun balok utuh adalah sama. Pada kenyataannya kedua nilai tersebut berbeda, hal ini terjadi oleh karena beban maksimum diperoleh secara langsung dari pengujian lentur yang dilakukan pada saat pengujian laboratorium, sedangkan MOR merupakan hasil perhitungan yang dipengaruhi oleh dimensi penampang balok. Dimensi balok yang dimaksud adalah lebar dan tinggi glulam maupun balok utuh.

74 50 Pengukuran dimensi hanya dilakukan pada tiga lokasi saja, yaitu pada bagian kiri, tengah dan kanan dari balok, kemudian diadakan perhitungan dimensi penampang rata-ratanya. Perbedaan juga terjadi oleh karena terdapat ketidakseragaman penampang pada seluruh panjang balok. Meskipun telah diupayakan menyiapkan benda uji dengan dimensi penampang yang sama pada seluruh panjang balok, pada kenyataannya masih terdapat perbedaan. Hal ini oleh karena dalam penyiapan benda uji dilakukan penyerutan dengan peralatan yang sederhana, tidak dapat menjamin dimensi lebar atau tinggi balok sama pada seluruh panjangnya. Apabila balok diasumsikan sebagai bahan yang homogen pada seluruh panjangnya, seharusnya tidak terjadi perbedaan rasio beban maksimum dan MOR pada masing-masing tipe balok glulam terhadap balok utuh. Perbedaan terjadi diantara balok glulam sendiri maupun terhadap balok utuh, selain dari sifat homogenitas bahan kayu juga disebabkan oleh beberapa parameter antara lain kualitas perekatan maupun jumlah lamina pada glulam sehubungan dengan total luas rekatannya. Falk dan Colling (1995) menyampaikan bahwa adanya rekatan laminasi dapat menghasilkan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan laminanya sendiri. Tipikal kerusakan yang terjadi pada masing-masing kelompok balok glulam digunakan sebagai pengamatan terjadinya perbedaan nilai beban maksimum yang dapat ditahan dan nilai MOR-nya. Secara umum tipe kerusakan balok glulam maupun balok utuh dapat dilihat pada Gambar 4.6. Hasil pengamatan pada saat pengujian lentur di laboratorium terlihat bahwa dari sepuluh benda uji glulam A sebanyak lima buah mengalami kerusakan pada serat terluar balok yaitu pada daerah tarik dan kerusakan slip terjadi pada rekatan lamina lapis terbawah balok. Lima benda uji lainnya yang termasuk glulam A mengalami kerusakan pada serat terbawah balok, tanpa terjadi kerusakan slip antar lamina. Hampir seluruh kerusakan glulam B terjadi pada serat terluar balok yang merupakan daerah tarik, hanya terdapat satu balok mengalami kerusakan pada serat terluar daerah tarik dan kerusakan slip pada rekatan lamina lapis terbawah balok. Pada glulam C, dari sepuluh benda uji terdapat dua buah benda uji mengalami kerusakan slip pada daerah rekatan antar lamina, masing-masing satu buah terjadi kerusakan slip pada

75 51 rekatan lamina lapis pertama atau terbawah, satu buah benda uji kerusakan slip pada rekatan lamina lapis pertama dan kedua, balok lainnya yang termasuk glulam C mengalami kerusakan sisi terluar yaitu pada daerah tarik balok. Kerusakan glulam horizontal sering diawali dengan terjadinya slip pada sambungan antara lapisan diikuti kerusakan pada daerah tarik yaitu pada serat bawah penampang, merupakan hasil penelitian Sulistyawati et al. (2005). Glulam A Glulam B Glulam C Gambar 4.6 Tipikal kerusakan balok glulam akibat uji lentur Gambar 4.7 menunjukkan tren hubungan nilai MOE dan MOR masingmasing benda uji balok glulam maupun balok utuh. Berdasarkan tren tersebut, dievaluasi korelasi nilainya dengan tipe kerusakan untuk balok glulam atau utuh. Terlihat tidak adanya korelasi linear antara MOE dan MOR untuk masing-masing benda uji. Beberapa hasil menunjukkan bahwa MOE lebih tinggi tetapi lebih rendah untuk MOR. Diawali terjadi kerusakan slip pada daerah tarik balok A1, A2, dan A10, tetapi balok-balok tersebut memiliki MOE dan MOR lebih besar jika

76 52 dibandingkan dengan benda uji lainnya. Pada benda uji balok glulam A7 mempunyai MOE yang tinggi dengan MOR yang lebih rendah dari lainnya, walaupun tidak terjadi kerusakan slip di antara lamina. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat tipe kerusakan yang berbeda-beda. Slip yang terjadi mungkin terjadi akibat adanya pengaruh lenturan. Pada sisi atas garis netral penampang balok mengalami tekanan sedangkan pada bagian bawah garis netral mengalami tarikan, dan dengan tidak terikat kuatnya perekat mengakibatkan terjadi slip diantara lamina. Sulistyawati et al. (2006 dan 2008) dari hasil penelitiaannya menyampaikan bahwa terjadi beberapa kerusakan slip pada glulam yang disusun oleh lamina secara horizontal terjadi pada daerah tarik, yaitu pada lapis pertama garis rekat antar lamina. Desain yang ideal dari glulam adalah apabila merupakan material yang seragam, kenyataannya tidak sepenuhnya seperti yang diharapkan. Karena ketidak sempunaan sifat saling kunci secara mekanis antara kayu dan perekat mungkin akibat proses perekatan, akibat adanya pembebanan yang mulai betambah basar terjadi deformasi yang mengakibatkan slip antar lamina. Kekuatan akan mulai berkurang sehingga akan mempercepat terjadinya kerusakan. Transfer tegangan yang efektif dari satu lapisan ke lainnya tergantung pada kekuatan suatu sambungan perekatan. Sifat saling kunci mekanis terjadi pada saat perekat meresap melalui permukaan kedalam mikrostruktur dari kayu. Selain proses perekatan juga merupakan hal yang mempengaruhinya.

77 53 Balok glulam dengan tebal lamina = 20 mm MOE (MPa) MOR (MPa) 0 0 A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 Benda Uji MOE MOR Balok glulam dengan tebal lamina 15 mm MOE (MPa) MOR (MPa) 0 0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 Benda Uji MOE MOR Balok glulam dengan tebal lamina 10 mm MOE (MPa) C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 Benda Uji MOE MOR MOR (MPa) Balok Utuh MOE (MPa) D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 Benda Uji MOR (MPa) MOE MOR Gambar 4.7 Tren nilai MOE terhadap MOR balok glulam dan balok utuh

78 54 Beban vertikal terpusat ditengah bentang yang bekerja pada balok menyebabkan terjadi baik tegangan lentur maupun tegangan geser pada tengah bentang yang pada kondisi ini merupakan titik kritis sepanjang bentang balok. Dalam batas regangan elastis, tegangan lentur yang terjadi adalah maksimum pada sisi tepi atas atau bawah. Sebaliknya tegangan lentur adalah nol pada sumbu netral penampang melintang balok. Sedangkan tegangan geser pada sisi atas atau bawah penampang melintang adalah nol, dan maksimum pada sumbu netral penampang melintang balok glulam. Pada lapisan lamina mendekati garis netral mempunyai kombinasi tegangan lentur yang lebih kecil tetapi gaya geser yang lebih besar. Pada kenytaannya terjadi slip pada lapisan kedua, yang mempunyai tegangan geser yang lebih besar dibandingkan lapisan dibawahnya. Hal ini perlu dipertimbangkan untuk diperhatikan bahwa didalam perhitungan kapasitas tegangan dari balok glulam bukan hanya tegangan lentur maksimum tetapi kombinasi tegangan lentur dan tegangan geser. Gambar 4.8 menunjukkan nilai MOE dan MOR rata-rata seluruh balok glulam A, B dan C, juga MOE dan MOR rata-rata balok utuh. Besar MOE ratarata balok glulam 3,0% lebih tinggi jika dibandingkan dengan MOE balok utuh. Begitu pula MOR balok glulam 0,81% lebih tinggi jika dibandingkan dengan MOR balok utuh ,75 65,75 53,23 52,80 (MPa) MOEx100 MOR Balok Glulam Balok Utuh Gambar 4.8 MOE dan MOR rata-rata balok glulam dan balok utuh

79 55 MOR (MPa) y = 3741,6e 0,0109x R 2 = 0, MOE (MPa) Gambar 4.9 Hubungan MOE-MOR balok glulam Gambar 4.9 menunjukkan hubungan MOE-MOR dari balok Glulam A, B dan C, yaitu balok glulam dengan lamina masing-masing 3 x 20 mm, 4 x 15 mm, dan 6 x 10 mm. Berdasarkan regresi tipe exponensial dapat dituliskan hubungan MOE dan MOR ketiga jenis glulam adalah y = 3741,6e x dengan derajat kepercayaan R 2 = 0,39. Sedangkan Gambar 4.10 menunjukkan hubungan MOE- MOR untuk balok utuh dan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan y = 1680,4e x dengan derajat kepercayaan R 2 = 0, MOR (MPa) y = 1680,4e 0,0257x 2000 R 2 = 0, MOE (MPa) Gambar 4.10 Hubungan MOE-MOR balok utuh

80 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk balok glulam dan balok utuh dengan dimensi penampang melintang dan modulus elastisitas sama, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Kekakuan balok glulam cenderung meningkat dengan ketebalan lamina yang semakin tipis. 2. Semakin tipis ketebalan lamina, semakin besar gaya maksimum yang dapat ditahan. 3. Kekuatan yang dinyatakan sebagai MOR balok glulam tidak selalu meningkat dengan ketebalan lamina yang semakin tipis. 4. Nilai rata-rata kekakuan dan kekuatan balok glulam adalah sama dengan balok utuh.

81 5. ANALISIS MODULUS GESER (G) BALOK UTUH DAN GLULAM 5.1. Pendahuluan Dalam pengembangan metode desain komponen kayu seperti balok deformasi akibat gaya geser merupakan suatu parameter yang penting pada suatu proses desain. Modulus geser kayu yang merupakan parameter sifat geser kayu diperlukan untuk mendesain struktur balok untuk kondisi tertentu. Dengan pengujian lentur di laboratorium, diperoleh besaran defleksi kemudian diadakan perhitungan sederhana, dapat diketahui nilai modulus elastisitas (E) atau sering dinyatakan sebagai MOE kayu. Didalam perhitungan tersebut biasanya hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur saja dan hampir tidak pernah memperhitungkan defleksi akibat pengaruh gaya geser atau gaya lintang. Untuk memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser diperlukan data modulus geser kayu. Tetapi pada kenyataannya hanya sedikit sekali informasi atau penelitian tentang nilai modulus geser kayu. Hal ini mengakibatkan didalam perhitungan yang menyangkut nilai tersebut sering diabaikan. Telah dibuktikan oleh beberapa peneliti kayu bahwa dengan mengabaikan defleksi akibat gaya geser pada material kayu akan menghasilkan nilai E yang tidak tepat, yaitu nilai E yang lebih kecil. Bodig (2003) memberikan pernyataan bahwa peningkatan kesalahan karena mengabaikan defleksi akibat geser E tergantung dari tipe balok, kondisi pembebanan, rasio, dan rasio bentangtinggi balok. G Untuk balok tinggi dari kayu perlu memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya lintang, tidak hanya pengaruh lentur saja. Apabila terdapat informasi yang cukup dari hasil penelitian yang menghasilkan nilai modulus geser kayu, perencana dapat menggunakannya didalam perhitungan sehubungan kekakuan kayu akibat pengaruh gaya geser. Yoshihara (1998) memberikan pernyataan bahwa pengaruh tegangan geser tergantung dari rasio tinggi/panjang bentang balok, apabila rasio tinggi-panjang bentang adalah besar, maka hal ini harus mendapat perhatian. Sulistyawati (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa untuk balok tinggi dengan panjang

82 58 bentang pendek atau nilai kuadrat dari rasio tinggi balok terhadap panjang bentang balok cukup besar, defleksi akibat gaya geser mempunyai nilai yang perlu diperhitungkan. Juga dinyatakan bahwa dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya geser yang mengandung nilai modulus geser untuk balok, kekakuan lentur (EI) balok kayu mempunyai nilai lebih besar. Berdasarkan realita bahwa sebenarnya nilai modulus elastisitas E menjadi lebih besar untuk tinggi dan panjang balok tertentu, maka didalam memperhitungkan nilai kekakuan, pengaruh defleksi akibat gaya geser harus diperhitungkan. Hal ini sebenarnya mempunyai arti bahwa kapasitas balok menahan lendutan menjadi lebih besar. Dengan memperhitungkan E yang lebih besar, maka didalam desain balok kayu akan diperoleh desain yang lebih ekonomis. Untuk memperhitungkan defleksi akibat gaya geser perlu dicari nilai modulus geser (G) kayu. Salah satu aturan yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai modulus geser kayu adalah ASTM D198-5a (2008). Peraturan ini merupakan revisi terakhir pada masa kini yang telah beberapa kali diadakan perbaikan. Pada penelitian ini dikembangkan pula suatu cara mendapatkan nilai tersebut dengan cara pengujian yang lebih cepat dan analisis yang lebih sederhana, yaitu dengan pembacaan kurva hubungan E normal/short-span - G/E normal-span dengan cara mengadakan pengujian L lentur untuk ukuran kayu dengan perbandingan = 14 sebagai balok bentang h L normal (normal span) dan < 14 sebagai balok bentang pendek (short span), dan h kemudian secara cepat dapat mengetahui nilai modulus geser Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah memperoleh nilai modulus geser (G) kayu mangium. Tujuan khusus dari penelitian untuk balok utuh dan balok glulam dengan rincian sebagai berikut: 1. Memperoleh nilai modulus geser dengan pengujian laboratorium berdasarkan peraturan ASTM D198-5a (2008).

83 59 2. Memperoleh nilai modulus geser dengan membuat pengembangan metode baru dengan nama Kurva SM-2009 (SM = Shear Modulus). 3. Membandingkan hasil menggunakan kedua metode tersebut Pengembangan Metode Baru (Kurva-SM2009) Dalam Mendapatkan Modulus Geser Kayu Teori untuk mendapatkan modulus geser kayu dikembangkan berdasarkan teori energi regangan. Penurunan rumus defleksi total untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis yang terletak diatas dua perletakan sederhana dibebani gaya terpusat di tengah bentang telah diuraikan terdahulu pada Bab 2 tentang Tinjauan Pustaka. Rumus ini dituliskan kembali sebagai berikut, 3 PL 0, 30PL Δ total = + (5.1) 48EI GA Perbandingan defleksi akibat gaya geser dan momen lentur adalah, Δ Δ s b 0, 30PL 48EI = x 3 GA PL = 0, 30PL 4Ebh x 2 Gbh L 3 = 1, 20 E G h L 2 (5.2) Dari persamaan (5.2) dapat dilihat bahwa perbandingan defleksi akibat gaya geser terhadap momen lentur mengandung nilai G E, nilai E dan G merupakan parameter sifat bahan kayu yang diamati. Perbandingan antara deflesksi akibat gaya geser dan akibat momen lentur akan berubah, sesuai dengan besaran h sebagai tinggi balok dan L sebagai panjang bentang balok. Dengan h besar h tetap, semakin besar bentang balok akan semakin kecil nilai. Pada L kondisi seperti ini pengaruh gaya geser pada benda uji mendekati nol, sehingga defleksi yang terjadi akibat gaya geser dapat diabaikan, maka persamaan defleksi dapat dituliskan sebagai berikut, 3 PL Δ = (5.3) 48EI 2

84 Besar modulus elastisitas yang berasal dari persamaan (5.3) disebut sebagai E apparent, dapat dituliskan, 60 E app 3 PL = 48 ΔI (5.4) 2 h Untuk mengetahui batasan sebagai nilai yang dianggap kecil atau L besar akan ditinjau dari hasil percobaan secara empiris yang dilakukan dilaboratorium menggunakan bahan yang digunakan mendapatkan modulus geser pada bab ini. Seharusnya dalam suatu uji lentur untuk mendapatkan modulus elastisitas, untuk bahan yang sama dengan bentang berbeda mempunyai nilai L mendekati sama. Tetapi pada kenyataannya apabila < 14, maka modulus h elastisitas yang dihitung akibat momen lentur saja menghasilkan nilai yang lebih kecil. Artinya didalam perhitungan terdapat parameter atau pengaruh yang terabaikan. Untuk menunjang pernyataan ini penulis mengambil terlebih dahulu hasil uji lentur dari beberapa variasi panjang bentang dengan tinggi balok tetap, yang selanjutnya telah dihitung nilai E app. Pada Wood Hand Book, Wood as an Engineering Material (1999), tercantum nilai modulus elastisitas yang telah disusun pada suatu tabel untuk berbagai jenis kayu. Dijelaskan bahwa untuk memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser, nilai modulus elastisitas tersebut dapat ditambahkan sebesar 10%. Gambar 5.1 menunjukkan kurva hubungan dan E app pada sumbu y terhadap L L pada sumbu x. Pada saat = 14, maka E app mempunyai nilai yang lebih besar h h dibandingkan perbandingan L/h lainnya, dan semakin kecil rasio h L semakin kecil nilai E app.

85 MOEapp (MPa y = -45,889x ,2x - 269,47 R 2 = 0, L/h Gambar 5.1 Kurva hubungan modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok utuh Telah dibuktikan diatas apabila nilai 2 h L adalah kecil berarti h L adalah besar, maka pengaruh geser dapat diabaikan. Tetapi apabila nilai 2 h L adalah besar berarti h L adalah kecil maka pengaruh gaya geser tidak dapat diabaikan. Secara analitis, perbandingan defleksi akibat gaya geser dan momen lentur sebesar 2 E h 1, 20 dapat digambarkan dalam kuva hubungan Δ s /Δ b pada sumbu G L L y dan pada sumbu x, lihat Gambar 5.2, atau dituangkan dalam suatu tabel, h yaitu Tabel 5.1. L Grafik pada Gambar 5.2 menunjukkan bahwa apabila > 14, maka secara h perlahan grafik menunjukkan nilai perbandingan jelasnya nilai perbandingan Δ Δ s b Δ Δ s b semakin kecil. Untuk lebih berdasarkan h L dan E/G adalah antara 6 sampai L dengan 18%, masing-masing untuk = 14 h dengan 30. dengan G E mulai dari 10 sampai

86 62 (defl geser/defl lentur)% L/h E/G = 10 E/G = 15 E/G = 20 E/G = 25 E/G = 30 Gambar 5.2 Hubungan rasio defleksi akibat gaya geser dan momen lentur terhadap rasio panjang bentang terhadap tinggi balok untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan Apabila dicermati pada peraturan ASTM D (2007) untuk uji lentur L kayu ditentukan perbandingan adalah 14. Hal ini tentunya merupakan suatu h alasan mendasar sebagai pertimbangan untuk mendapatkan nilai-nilai hasil analitis uji tersebut.

87 Tabel 5.1 Nilai rasio defleksi akibat gaya geser terhadap momen lentur untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan 63 E/G L/h ,70 4,15 4,69 5,33 6,12 7,10 8,33 9,92 12,00 14,81 18, ,07 4,57 5,16 5,87 6,73 7,81 9,17 10,91 13,20 16,30 20, ,44 4,98 5,63 6,40 7,35 8,52 10,00 11,90 14,40 17,78 22, ,81 5,40 6,09 6,93 7,96 9,23 10,83 12,89 15,60 19,26 24, ,19 5,81 6,56 7,47 8,57 9,94 11,67 13,88 16,80 20,74 26, ,56 6,23 7,03 8,00 9,18 10,65 12,50 14,88 18,00 22,22 28, ,93 6,64 7,50 8,53 9,80 11,36 13,33 15,87 19,20 23,70 30, ,30 7,06 7,97 9,07 10,41 12,07 14,17 16,86 20,40 25,19 31, ,67 7,47 8,44 9,60 11,02 12,78 15,00 17,85 21,60 26,67 33, ,04 7,89 8,91 10,13 11,63 13,49 15,83 18,84 22,80 28,15 35, ,41 8,30 9,38 10,67 12,24 14,20 16,67 19,83 24,00 29,63 37, ,78 8,72 9,84 11,20 12,86 14,91 17,50 20,83 25,20 31,11 39, ,15 9,13 10,31 11,73 13,47 15,62 18,33 21,82 26,40 32,59 41, ,52 9,55 10,78 12,27 14,08 16,33 19,17 22,81 27,60 34,07 43, ,89 9,97 11,25 12,80 14,69 17,04 20,00 23,80 28,80 35,56 45, ,26 10,38 11,72 13,33 15,31 17,75 20,83 24,79 30,00 37,04 46, ,63 10,80 12,19 13,87 15,92 18,46 21,67 25,79 31,20 38,52 48, ,00 11,21 12,66 14,40 16,53 19,17 22,50 26,78 32,40 40,00 50, ,37 11,63 13,13 14,93 17,14 19,88 23,33 27,77 33,60 41,48 52, ,74 12,04 13,59 15,47 17,76 20,59 24,17 28,76 34,80 42,96 54, ,11 12,46 14,06 16,00 18,37 21,30 25,00 29,75 36,00 44,44 56,25 Dengan dasar uji lentur di laboratorium serta perhitungan analitis, serta pertimbangan aturan uji lentur pada ASTM D143, maka penulis menentukan bahwa E L=14h sebagai E normal- span, sehingga dapat dituliskan bahwa, E normal span 3 PL = EL= 14 h = (5.5) 48ΔI Oleh karena itu didalam mengadakan perhitungan defleksi pada pengujian L benda uji dengan < 14 seharusnya memperhitungkan pengaruh gaya geser h selain momen, sehingga besar defleksi sebenarnya adalah atau 3 PL 0. 3PL Δ L< 14 h = + (5.6) E I GA 48 L= 14h PL 0. 3PL E 3 L= 14h Δ l< 14h = + (5.7) 48 EL= 14hI GA EL= 14h

88 64 Sehingga E l= 14h PL 0. 3PL E 48 Δ I GA Δ < 3 L= 14h = + (5.8) L< 14h L 14h atau E L= 14h 3 PL 0. 3PL = + 48Δ Gbh L 14hI Δ < L< 14h (5.9) E L= 14h E 3 PL 0, 3PL = (5.10) 3 48Δ L< 14hI Gbh PL E 48E I L= 14h + L= 14h L< `14h Persamaan (5.10) dapat pula dituliskan, E L= 14h = E L< 14h + Gbh E L= 14h 0, 3PL 3 PL bh E 12 L< 14h 2 1, 20 h = E L < 14h 1+ (5.11) G L EL= 14h untuk penyederhanaan, diambil E E L< 14h 1, = 1+ a L= 14h 20 G a =, maka h L E L =14h 2 (5.12) Dari persamaan (5.12) disusun masing-masing formula untuk rasio L dan h yang berbeda pada Tabel 5.2.

89 65 Tabel 5.2 Formula Kurva SM-2009 berdasarkan rasio h L untuk balok dengan beban terpusat ditengah bentang diatas dua perletakan L/h Formula EL= 14h 0, = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, 012 = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, = 1 + E a L< 14h EL= 14h 0, 03 = 1 + E a L< 14h Dari persamaan (5.12) dapat digambarkan sebagai kurva hubungan pada sumbu y terhadap a pada sumbu x, dimana nilai a merupakan rasio E E L= 14h L< 14h G E L =14h lihat Gambar 5.3. Kedua nilai masing-masing pembilang dan pembagi persamaan (5.12) merupakan modulus elastisitas dengan memperhitungkan defleksi akibat momen lentur saja. Dari kurva tersebut diperoleh nilai modulus geser G. Untuk mengetahui nilai a lebih tepat untuk digunakan memperoleh nilai modulus geser G, dapat dilihat pada Tabel 5.3.,

90 66 2,00 1,95 1,90 1,85 P 1,80 1,75 1,70 ½ L ½ L 1,65 1,60 EL= 14h/EL<14h 1,55 1,50 1,45 1,40 1,35 1,30 1,25 1,20 1,15 1,10 1,05 1,00 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,14 0,15 a = G/EL=14h L/h = 13 L/h = 12 L/h = 11 L/h = 10 L/h = 9 L/h = 8 L/h = 7 L/h = 6 Gambar 5.3 Pengembangan metode baru Kurva SM-2009 mendapatkan nilai modulus geser G

91 67 Tabel 5.3 Nilai a berdasarkan KURVA SM-2009 E L=14h /E L<14h a = G/E L=14h L/h ,02 0, , , , , , , , ,04 0, , , , , , , , ,06 0, , , , , , , , ,08 0, , , , , , , , ,10 0, , , , , , , , ,12 0, , , , , , , , ,14 0, , , , , , , , ,16 0, , , , , , , , ,18 0, , , , , , , , ,20 0, , , , , , , , ,22 0, , , , , , , , ,24 0, , , , , , , , ,26 0, , , , , , , , ,28 0, , , , , , , , ,30 0, , , , , , , , ,32 0, , , , , , , , ,34 0, , , , , , , , ,36 0, , , , , , , , ,38 0, , , , , , , , ,40 0, , , , , , , , ,42 0, , , , , , , , ,44 0, , , , , , , , ,46 0, , , , , , , , ,48 0, , , , , , , , ,50 0, , , , , , , , ,52 0, , , , , , , , ,54 0, , , , , , , , ,56 0, , , , , , , , ,58 0, , , , , , , , ,60 0, , , , , , , , ,62 0, , , , , , , , ,64 0, , , , , , , , ,66 0, , , , , , , , ,68 0, , , , , , , , ,70 0, , , , , , , , ,72 0, , , , , , , , ,74 0, , , , , , , , ,76 0, , , , , , , , ,78 0, , , , , , , , ,80 0, , , , , , , , ,82 0, , , , , , , , ,84 0, , , , , , , , ,86 0, , , , , , , , ,88 0, , , , , , , , ,90 0, , , , , , , , ,92 0, , , , , , , , ,94 0, , , , , , , , ,96 0, , , , , , , , ,98 0, , , , , , , , ,00 0, , , , , , , ,03000

92 68 Setelah diperoleh nilai modulus geser kayu, dapat dihitung nilai modulus elastisitas sebenarnya yang disebut sebagai E true yang telah memperhitungkan defleksi akibat momen lentur dan gaya geser. Dari pembahasan terdahulu telah dinyatakan bahwa defleksi total merupakan penjumlahan dari defleksi akibat momen lentur dan gaya geser, dituliskan kembali, Δ tot = Δ b + Δ selanjutnya dijabarkan sebagai, s sehingga, PL 48E E E app 3 app 3 PL = I 48E Δ Δ b true + Δ I s 3 PL : E I true true s = 1 + (5.13) atau, E Δ s true = 1 + Eapp (5.14) Δ b

93 Eksperimen berdasarkan ASTM a (2008) dan Metode Baru Kurva SM Bahan dan Metode Bahan dan Alat Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Akasia (Acacia mangium, famili Leguminosae) yang merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species). Kayu ditebang dari Legok, Perum Perhutani Unit III, Bogor, Jawa Barat dengan diameter log antara mm dan umur tanam sekitar 8 tahun. Perekat yang digunakan adalah polyurethane (Water Based Polymer Isocyanate, WBPI). Perekat terdiri dari dua bagian yaitu PI 3100 sebagai resin dan H7 sebagai hardener, keduanya dicampur dengan perbandingan 100:15 berdasarkan berat. Berat labur adalah 280 g/m 2 dan dilakukan pemolesan perekat pada kedua permukaan kayu. Pengeringan lamina maupun balok utuh dilakukan secara alamiah sampai mencapai kadar air sekitar 15%. Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat potong kayu, penghalus kayu, calliper, alat ukur kadar air, Universal Testing Machine Instron 330 Type dengan kapasitas beban sebesar 50 KN, dan komputer dengan perangkat penunjangnya Metodologi Lokasi Penelitian Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Keteknikan Kayu Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penyiapan benda uji Benda uji balok utuh disiapkan sebanyak 3 (tiga) buah dengan dimensi penampang 65 mm x 65 mm untuk lebar dan tinggi serta panjang balok adalah 1200 mm, disusun diberi jarak antara diletakkan di bawah ruang beratap. Seluruh balok utuh dikeringkan sampai tercapai kondisi kering udara, dengan kadar air

94 70 kesetimbangan sekitar 15%. Selanjutnya balok kayu dihaluskan sehingga mempunyai dimensi penampang 60 mm x 60 mm. Balok glulam atau balok lamina disusun dari lamina-lamina dengan dimensi penampang 22 mm x 65 mm untuk lebar dan tinggi serta panjang lamina adalah 1000 mm. Seluruh lamina dikeringkan sampai tercapai kondisi kering udara, dengan kadar air kesetimbangan sekitar 15%. Seluruh lamina dihaluskan permukaannya sehingga mempunyai ketebalan sekitar 20 mm. Sebelum penyusunan lamina menjadi glulam, terlebih dahulu dilakukan pemilahan seluruh lamina berdasarkan nilai modulus elastisitasnya (MOE). Lamina dengan kelompok ketebalannya dikumpulkan berdasarkan besar MOE yang sama. Balok glulam disusun dari 3 (tiga) buah lamina. Bahan perekat disiapkan sesuai dengan standar teknik yang ditentukan oleh produsen. Sebelum diaplikasikan, kedua komponen perekat yaitu base resin dan hardener dicampur dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 100 : 15 (berdasarkan berat). Sebelum proses perekatan, permukaan lamina dalam keadaan halus, dibersihkan dari segala kotoran. Pelaburan perekat dilakukan pada kedua permukaan (double spread) lamina dengan berat labur 280 g/m 2. Balok laminasi yang telah selesai seluruh proses perekatan diletakkan diantara 2 (dua) buah profil besi siku yang dilengkapi dengan pelat besi dan selanjutnya dilakukan kempa dingin dengan cara diklem setiap jarak 30 cm selama 2 (dua) jam. Sebelum dilakukan perataan sisi glulam dan pengujian lentur, balok glulam dikondisikan terlebih dahulu selama 7 hari untuk menjamin proses pematangan perekatan. Perataan sisi penampang glulam dilakukan sampai terbentuk lebar adalah 60 mm. Metode Penelitian Untuk memperoleh nilai modulus geser dilakukan pengujian dengan dua metode: (1) berdasarkan ASTM D198-5a (2008) tentang Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes Section 44-51, Shear Modulus, (2) metode baru Kurva SM-2009 yang dikembangkan penulis dengan cara pembacaan kurva hubungan E L/h=14 /E L/h<14 - G/E L/h=14.

95 71 1. Berdasarkan ASTM D198-05a(2008) Balok terletak diatas dua perletakan diberikan beban terpusat ditengah bentang dan diukur defleksi yang terjadi ditengah bentang. Prosedur ini dilakukan minimal empat panjang bentang yang berlainan pada satu balok benda uji. Masing-masing panjang bentang ditentukan sebesar kwadrat dari tinggi per panjang bentang atau 2 h L adalah diantara 0,035 sampai dengan 0,0025, atau 2 2 h h L = sampai dengan (5.16) 0, 035 0, 0025 Oleh karena penampang benda uji balok ditentukan 6 cm x 6 cm maka panjang bentang untuk pengujian adalah antara 32 sampai 120 cm. Jumlah balok uji yang dilakukan pengujian adalah sebanyak 3 (tiga) buah. Dengan balok yang sama dilakukan pengujian dengan mengatur panjang bentang masing-masing adalah 110 cm, 75 cm, 60 cm, dan 46 cm, untuk seluruh benda uji. Pertambahan beban diberikan dengan prediksi terjadi tegangan lentur masih dalam batas elastis. Pembacaan besar defleksi di tengah bentang dilakukan pada setiap pertambahan beban. Kecepatan pembebanan adalah 3 mm/menit. Untuk memperkirakan bahwa pengujian masih pada batas elastis dilakukan dengan menentukan batas beban terbesar yang bekerja dengan cara menghitung tegangan lentur yang mungkin timbul. Berdasarkan data uji lentur digambarkan kurva hubungan gaya dan defleksi, sudut kemiringan dari kurva digunakan untuk perhitungan modulus elastisitas kayu. Sebelum diadakan pengujian masing-masing balok diadakan pengukuran dimensi penampang melintang balok, yaitu lebar dan tinggi balok pada tiga lokasi tinjauan sepanjang balok, selanjutnya dipergunakan untuk perhitungan E balok kayu.

96 72 Modulus geser diperoleh dari kurva hubungan nilai h L 2 pada arah sumbu x dan nilai 1 pada arah sumbu y. Nilai modulus geser adalah proporsional E f terhadap titik potong garis lurus dari beberapa titik koordinat hasil pengujian terhadap sumbu y dihitung dari koordinat titik O(0,0), ditunjukkan nilai terhadap 1, dimana Ef adalah E apparent dan E adalah E true. E 2. Berdasarkan Metode Baru Kurva SM-2009 Data yang digunakan untuk analisis metode baru Kurva SM-2009, sekaligus menggunakan data uji lentur yang telah dilakukan untuk metode ASTM D198-5a (2008) yang telah dijelaskan terdahulu. Balok terletak diatas dua perletakan diberikan beban terpusat ditengah bentang dan diukur defleksi yang terjadi ditengah bentang. Data yang diperlukan adalah defleksi yang terjadi masingmasing pada 2 (dua) variasi panjang bentang dengan tinggi balok h tetap, yaitu L L dengan rasio = 14 dan < 14. Dari kedua jenis data defleksi dihitung nilai h h E app. Berdasarkan kurva hubungan E L/h=14 /E L/h<14 pada sumbu y dapat diperoleh nilai a pada sumbu x, lihat Gambar 5.3. Dari nilai a yang merupakan rasio G/E L/h=14, dapat dihitung nilai modulus geser kayu G Hasil dan Pembahasan Balok utuh 1. Berdasarkan ASTM D198-05a(2008) Hasil pengujian balok diatas dua perletakan dengan bentang yang berbedabeda dapat dihitung masing-masing E app yaitu modulus elastisitas yang hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur. h L 2 masing-masing balok uji adalah

97 73 antara 0,003 s/d 0,017, nilai tersebut memenuhi syarat sebagaimana diatur berdasarkan peraturan ASTM D198-05a (2008), yaitu diantara 0,0025 sampai dengan 0,035. E app masing-masing benda uji dengan panjang bentang berbeda secara rinci dipaparkan pada Gambar 5.4. Dari grafik tersebut dapat diamati bahwa dengan bentang balok lebih besar mempunyai nilai E app lebih besar pula jika dibandingkan dengan bentang yang lebih kecil. Meskipun kadang terjadi pada balok 1 bahwa E app dengan panjang bentang 60 cm lebih besar jika dibandingkan dengan panjang bentang 75 cm. Juga untuk benda uji 2, E app dengan panjang bentang 75 cm lebih besar jika dibandingkan dengan panjang bentang 110 cm. Tetapi apabila data tersebut dibuat grafik kemudian diselesaikan persamaan regresinya, dapat dinyatakan bahwa semakin pendek bentang, diperoleh nilai E app yang semakin kecil Eapp (MPa) L= 1100 mm L= 750 mm L = 600 mm L = 460 mm Balok Balok Balok Gambar 5.4 Nilai E app berdasarkan panjang bentang masing-masing balok utuh Masing-masing nilai 1 E app dapat dihitung untuk masing-masing balok kemudian diplotkan pada kurva seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5. Persamaan regresi dibuat berdasarkan keempat nilai tersebut dari setiap balok. Pernyataan terdahulu bahwa semakin kecil panjang bentang semakin kecil nilai E, sebaliknya 1 semakin kecil panjang bentang semakin besar nilai. Dari ketiga diagram E

98 74 tersebut, pada nilai x = 0 dengan perpotongan garis nilai-nilai E 1 diperoleh nilai 1, dan selanjutnya dapat dihitung nilai Etrue masing-masing balok. E true Balok uji 1 1/MOE x 1/ (1/MPa) y = 285,52x + 8,6942 R 2 = 0,75 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 (h/l) 2 Balok uji 2 1/MOE x 1/ (1/MPa) y = 303,67x + 9,0569 R 2 = 0,74 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 (h/l) 2 Balok uji 3 1/MOE x 1/ (1/MPa) y = 122,56x + 9,4024 R 2 = 0,94 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 (h/l) 2 2 h 1 Gambar 5.5 Kurva hubungan dengan nilai balok utuh berdasarkan L E ASTM D198-5a (2008)

99 75 Modulus geser G merupakan 1, 2, dimana K 1 adalah kemiringan garis linier yang K 1 terbentuk dari diagram hubungan h L 2 dan 1. E app Dari hasil analisis yang dilakukan lebih lanjut, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.4, nilai G adalah (1/23,44), (1/23,86) dan (1/10,19) x E app masingmasing untuk balok 1, 2, dan 3. atau rata-rata (1/19,16) x E app pada = 14. L h L Tabel 5.4 Nilai E true, E app pada = 14, dan modulus geser G balok utuh h berdasarkan ASTM D198-5a (2008) BALOK Persamaan garis (K 1 x 10-5 ) (1/MPa) (b x 10-5 ) (1/MPa) E true (MPa) G (MPa) E app (MPa) 1/a = MOE app /G 1 y = 285,52 x + 8, ,52 8, ,92 420, ,31 23,44 2 y = 303,67 x + 9, ,67 9, ,31 395, ,41 23,86 3 y = 122,56 x + 9, ,56 9, ,58 979, ,37 10,19 rata-rata 11059, ,70 19,16 SD 7,78 CV (%) 40,58 Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi Pada proses mendapatkan nilai modulus geser berdasarkan ASTM D198-5a (2008), sekaligus dapat diperoleh nilai E true. Gambar 5.6 menunjukkan bahwa E true rata-rata adalah MPa, dan E app adalah 9751 MPa. Dari kedua nilai tersebut dapat diketahui bahwa E true 13,4% lebih besar jika dibandingkan dengan E app pada L = 14. h Persentasi perbedaan yang terjadi dalam hal nilai modulus elastisitas akan mempunyai dampak yang signifikan sehubungan dengan desain penampang balok yang ekonomis. Khususnya hal ini mempunyai arti apabila diterapkan pada balok tinggi atau balok dengan perbandingan panjang bentang terhadap tinggi balok L < 14. h

100 76 Modulus Elastisitas (MPa) MOEapp MOEtrue L Gambar 5.6 Nilai E true terhadap E app pada = 14 h D198-5a (2008) balok utuh berdasarkan ASTM 2. Berdasarkan Metode Baru Kurva SM-2009 Telah dijelaskan pada metode pengujian diatas bahwa data modulus elastisitas yang digunakan pada penelitian ini sekaligus diperoleh dari hasil uji lentur berdasarkan ASTM D198-05a (2008). Untuk mendapatkan modulus geser dengan metode ini, yaitu dengan cara pembacaan kurva hubungan E L/h=14 /E L/h<14 tehadap G/E L/h<14 dapat dilihat kembali Gambar 5.3. Pada sub bab ini akan L L ditinjau modulus elastisitas untuk = 14 dan = 6. Kedua nilai tersebut h h dihitung berdasarkan persamaan regresi yang telah diperoleh dari kurva hubungan 2 h L dan nilai 1 yang dipaparkan pada Gambar 5.5. E L Tabel 5.5 menunjukkan nilai rasio E app pada = 14 h terhadap E app pada L = 6, selanjutkan dengan memplotkan pada kurva Metode Baru Kurva SM-2009, h dapat dilihat nilai a, dimana a merupakan rasio G E L =14h.

101 L Tabel 5.5 Rasio nilai G terhadap E app pada = 14balok utuh berdasarkan Kurva h SM-2009 Balok L/h (h/l) 2 (1/MPa) (MPa) E app(l/h=14) / E app(l/h=10) a 1/a (1/E app ) 10-5 E app ,005 10, ,31 1,64 0, ,96 6 0,028 16, , ,005 10, ,41 1,65 0, ,37 6 0,028 17, , ,005 10, ,37 1,28 0,1002 9,98 6 0,028 12, ,32 ratarata 18,77 SD 7,62 CV (%) 40,58 Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi 77 Berdasarkan pembacaan kurva diperoleh nilai a untuk masing-masing balok 1, 2. dan 3 adalah 0,0428, 0,04, dan 0,1002. Dari nilai tersebut, modulus geser G untuk masing-masing balok 1, 2, dan 3 adalah (1/22,96), (1/23,37), dan (1/9,98) x L E app pada = 14. Apabila ketiga nilai tersebut dirata-ratakan, maka nilai G h L adalah (1/18,77) x E app pada. = 14 h L Nilai pembagi dari faktor terhadap E app pada = 14 untuk metode h pertama berdasarkan ASTM D198-5a (2008) dan metode kedua dengan cara pembacaan Kurva SM-2009 digambarkan dalam diagram batang seperti ditunjukkan pada Gambar 5.7. Nilai 1/a untuk kedua metode tidak berbeda nyata. Untuk nilai 1/a berdasarkan Kurva SM-2009 adalah 2% lebih kecil apbila dibandingkan berdasarkan metode ASTM. Secara statistik dengan uji T, nilai modulus geser G dengan kedua metode tersebut adalah tidak berbeda nyata.

102 /a ASTM D198-5a (2008) 23,44 23,86 10,19 Kurva SM ,96 23,37 9,98 L Gambar 5.7 Nilai pembagi modulus geser G terhadap E app pada = 14 h utuh balok Balok Glulam 1. Berdasarkan ASTM D198-05a(2008) Hasil pengujian balok glulam diatas dua perletakan dengan bentang yang berbeda-beda sama seperti yang dilakukan untuk balok utuh dapat dihitung masing-masing nilai E app yaitu modulus elastisitas yang hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur. Nilai tersebut secara rinci dapat dilihat pada Gambar 5.8. Dari grafik tersebut dapat diamati bahwa pada balok glulam 1 dengan bentang lebih besar mempunyai nilai E app lebih besar pula jika dibandingkan dengan bentang yang lebih kecil. Pada balok glulam 2, dengan bentang 1100 mm mempunyai nilai E app lebih kecil jika dibandingkan dengan bentang 750 mm, kemudian menurun pada bentang yang lebih pendek yaitu 600 mm, selanjutnya terjadi kenaikan nilai pada bentang 460 mm. Pada balok glulam 3 mempunyai tren yang tidak sama dengan kedua balok glulam lainnya, pada panjang bentang semakin pendek yaitu 750 mm dan 600 mm mempunyai nilai E app yang membesar, kemudian pada bentang 460 mm mempunyai nilai terkecil dibandingkan 3 (tiga) nilai lainnya.

103 Eapp (MPa) L =1100 mm L = 750 mm L = 600 mm L = 460 mm Glulam Glulam Glulam Gambar 5.8 Nilai E app berdasarkan panjang bentang masing-masing balok glulam Masing-masing nilai 1 E app dapat dihitung untuk masing-masing balok kemudian diplotkan pada kurva seperti ditunjukkan pada Gambar 5.9. Persamaan regresi dibuat berdasarkan keempat nilai dari setiap balok. Dari ketiga diagram tersebut, pada nilai x = 0, diperoleh nilai 1, dan selanjutnya dapat dihitung E true nilai E true masing-masing balok.

104 80 Balok Glulam 1 (1/MOEapp) x 1/ (1/MPa) y = 427,13x + 7,5141 R 2 = 0,86 0 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 (h/l) 2 Balok Glulam 2 (1/MOEapp) x 1/ (1/MPa) y = 304,68x + 7, R 2 = 0,54 0 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 (h/l) 2 Balok Glulam 3 (1/MOEapp) x 1/ (1/MPa) y = 116,18x + 7,2284 R 2 = 0, ,000 0,005 0,010 0,015 0,020 (h/l) 2 2 h 1 Gambar 5.9 Kurva hubungan dengan nilai balok glulam berdasarkan L E ASTM D198-5a (2008)

105 Dari hasil analisis yang dilakukan lebih lanjut, yang ditunjukkan pada Tabel 5.6. diperoleh nilai G adalah (1/36,72), (1/27,13) dan (1/12,38) x E app masingmasing untuk balok glulam 1, 2, dan 3. atau rata-rata (1/25,41) x E app pada L = 14. h L Tabel 5.6 Nilai E true, E app pada = 14, dan modulus geser G balok glulam h berdasarkan ASTM D198-5a (2008) BALOK Persamaan garis (K 1 x 10-5 ) (1/MPa) (b x 10-5 ) (1/MPa) E true (MPa) G (MPa) E app (MPa) 1/a = E app /G 1 y = 427,13 x + 7, ,13 7, ,31 280, ,37 36,72 2 y = 304,68 x + 7, ,68 7, ,61 393, ,26 27,13 3 y = 116,18x + 7, ,18 7, , , ,84 12,38 rata-rata 13318, ,49 25,41 SD 12,26 CV (%) 48,26 Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi Berdasarkan Metode Baru Kurva SM-2009 Apabila data besaran E app untuk balok glulam diplotkan kemudian digambarkan dan dibuat serta garis tren polinomial, Gambar 5.10, dapat dilihat L bahwa tren E app akan menjadi lebih kecil untuk sekitar < 14. Telah dibahas h sebelumnya untuk balok utuh bahwa pada saat rasio bentang balok terhadap tinggi L balok = 14, maka kondisi tersebut dinyatakan sebagai batasan timbulnya h modulus elastisitas apparent, yaitu modulus elasisitas yang hanya memperhitungkan pengaruh defleksi akibat momen lentur saja. Kurva hubungan L E app pada sumbu y dan pada sumbu x unuk balok glulam mempunyai tren yang h L dapat dikatakan sama dengan balok utuh. Pada saat = 14, nilai E app adalah lebih h

106 82 L L besar jika dibandingkan E app pada < 14, dan semakin kecil rasio semakin h h kecil nilai E app. Oleh karena itu untuk mendapatkan modulus geser G untuk balok glulam juga menggunakan Metode Baru Kurva SM MOEapp (MPa y = -92,796x ,6x ,3 R 2 = 0, L/h Gambar 5.10 Modulus elastisitas apparent terhadap rasio panjang bentang dan tinggi balok glulam Seperti yang dilakukan untuk balok utuh, terlebih dahulu dihitung E yang L L hanya memperhitungkan defleksi akibat lentur, pada saat = 14 dan = 6 L/h. h h Kedua nilai tersebut dihitung berdasarkan persamaan regresi yang telah diperoleh dari kurva hubungan 2 h L dan nilai 1 E yang dipaparkan pada Gambar 5.9. L L Tabel 5.7 menunjukkan nilai rasio E app pada = 14 terhadap E app pada = 6 h h selanjutkan dengan memplotkan pada kurva Metode Baru Kurva SM-2009, dapat dilihat nilai a, dimana a merupakan rasio G E L =14h.,

107 83 L Tabel 5.7 Rasio nilai G terhadap Eapp pada = 14 h Kurva SM-2009 balok glulam berdasarkan Balok L/h (h/l) 2 (1/MPa) (MPa) E app(l/h=14) /E app(l/h=10) a 1/a (1/E app) 10-5 E app ,005 9, ,37 2,00 0, ,97 6 0,028 19, , ,005 9, ,26 1,74 0, ,57 6 0,028 16, , ,005 7, ,84 1,34 0, ,13 6 0,028 10, ,23 rata-rata 24,89 SD 12,01 CV (%) 48,26 Keterangan: SD = standar deviasi; CV = koefisien variasi Berdasarkan pembacaan Kurva SM-2009 diperoleh nilai a untuk masingmasing balok 1, 2. dan 3 adalah 0,0278, 0,0376, dan 0,0825. nilai modulus geser G untuk masing-masing balok 1, 2, dan 3 adalah (1/35,97), (1/26,56), dan (1/12,13) x E app.. Apabila ketiga nilai tersebut dirata-ratakan, maka nilai G adalah L (1/24,89) x E app pada = 14. h Nilai pembagi modulus geser G terhadap E app untuk kedua metode digambarkan dalam diagram batang seperti ditunjukkan pada Gambar Nilai 1/a untuk kedua metode tidak berbeda nyata. Untuk nilai 1/a berdasarkan Kurva SM-2009 adalah 2% lebih kecil apbila dinbandingkan berdasarkan metode ASTM D198-5a (2008). Secara statistik dengan uji T, nilai modulus geser G dengan kedua metode tersebut adalah tidak berbeda nyata.

108 /a ASTM D198-5a (2008) 36,72 27,13 12,38 Kurva SM ,97 26,57 12,13 Gambar 5.11 Nilai pembagi modulus geser G terhadap modulus elastisitas balok glulam Perbandingan modulus geser dan elastisitas balok utuh dan glulam dengan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM-2009 Telah dijelaskan diatas hasil penelitian yang telah diperoleh nilai modulus geser untuk masing-masing balok utuh maupun balok glulam menggunakan metode ASTM D198-5a (2008) dan Kurva SM Pada sub bab ini akan disampaikan perbandingan satu sama lain nilai modulus geser, modulus elastisitas apparent maupun true untuk balok utuh, glulam dengan kedua metode tersebut. Modulus elastisitas apparent hanya memperhitungkan defleksi akibat momen lentur, sedangkan modulus elastisitas true memperhitungkan defleksi akibat momen lentur dan gaya geser yang mengandung faktor modulus geser G. Gambar 5.12 merupakan kurva batang yang menunjukkan nilai-nilai tersebut. Pada balok glulam selalu terjadi peningkatan nilai E app, E true, dan rasio E/G jika dibandingkan dengan balok utuh dengan kedua metode. Dengan metode yang sama yaitu ASTM D198-5a (2008), ketiga nilai tersebut untuk balok glulam masing-masing lebih besar 15,5, 20,42, dan 32,62% jika dibandingkan dengan balok utuh. Sedangkan dengan metode yang sama yaitu metode Kurva SM-2009, ketiga nilai tersebut untuk balok glulam masing-masing lebih besar 15,49, 19,38, dan 32,61% jika dibandingkan dengan balok utuh.

109 Eapp (MPa) Etrue (MPa) E/G ASTM D198-5a (2008) Balok Utuh ,16 KURVA SM-2009 Balok Utuh ,77 ASTM D198-5a (2008) Glulam ,41 KURVA SM-2009 Glulam ,89 Gambar 5.12 Perbandingan modulus elastisitas dan rasio E/G balok utuh dan glulam Rasio E/G balok glulam sekitar 25 lebih besar apabila dibandingkan dengan balok utuh dengan nilai sekitar 19. Hal ini disebabkan oleh karena pada balok glulam terdapat garis rekat yang dapat menghambat adanya deformasi pada arah tegak lurus serat kayu. Dari hasil yang telah diperoleh apabila rasio E/G besar seperti pada glulam, maka nilai E true akan meningkat lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio E/G yang lebih kecil seperti yang terjadi pada balok utuh. Modulus elastisitas yang diperhitungkan adalah modulus elastisitas apparent pada rasio L dan h yang sama L untuk balok glulam dan utuh,. dalam hal ini digunakan rasio = 14. h 5.6. Kesimpulan Hasil penelitian tentang modulus geser (G) untuk balok utuh dan balok glulam yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Modulus elastisitas apparent balok utuh maupun glulam akan semakin kecil untuk balok pendek (short-span), yaitu balok dengan perbandingan panjang

110 86 L bentang terhadap tinggi balok atau < 14, relatif mempunyai nilai lebih h L L besar pada = 14, meskipun pada > 14 terjadi peningkatan relatif kecil. h h E 2. Masing-masing nilai E app, E true, rasio balok glulam adalah lebih besar G jika dibandingkan dengan balok utuh. 3. Dalam menghitung nilai modulus elastisitas pada balok glulam, pengaruh defleksi akibat gaya geser relatif cukup besar. Peningkatan E true tehadap E app pada balok glulam adalah lebih besar jika dibandingkan dengan balok utuh; mendapatkan nilai modulus geser kayu lebih mudah dan sederhana dengan cara Kurva SM-2009 daripada ASTM D198-5a (2008). 4. Nilai modulus geser untuk balok utuh dan glulam yang diperoleh dari metode Kurva SM-2009 tidak berbeda nyata dengan metode ASTM D198-5a (2008). 5. Dengan metode ASTM D198-5a (2008), E true dapat secara langsung dari 2 1 h kurva hubungan dan. E L 6. Dengan metode Kurva SM-2009, E true dapat secara cepat dihitung E berdasarkan tabel rasio. G 7. Metode Kurva SM-2009 dapat dipertangungg jawabkan untuk digunakan mendapatkan nilai modulus geser G.

111 6. ANALISIS KEKAKUAN DAN KEKUATAN BALOK GLULAM UKURAN STRUKTURAL 6.1. Pendahuluan Balok glulam sebagai bentuk rekayasa struktur bukan kayu utuh merupakan komponen struktural dengan dimensi yang tidak tergantung dengan diameter kayu. Glulam singkatan dari Glued Laminated merupakan susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat, Gurdal et al. (1999). Arah serat seluruh lapis kayu, paralel terhadap panjang balok. Bodig dan Jayne (1993) mengemukakan bahwa kayu sebagai material alamiah berupa balok atau log mungkin belum merupakan produk yang efisien sebagai komponen struktural, sebuah balok kayu utuh dengan adanya cacat kayu kapasitas dalam memikul beban menjadi lebih kecil. Dengan memotong menjadi papan yang biasa disebut lamina, kemudian menyusun dan melekatkan kembali dengan menghilangkan cacat kayu atau mengatur posisi cacat kayu secara tepat maka sifat mekanisnya dapat meningkat. Dinyatakan oleh Berglund dan Rowell (2005) bahwa keuntungan paling besar dari penggunaan glulam adalah dapat menjadi balok besar yang dibuat dari kayu dengan log berdiameter kecil, dapat disusun dari kayu dengan kwalitas rendah, lamina penyusun glulam merupakan kayu tipis yang dapat dikeringkan lebih cepat daripada kayu utuh dengan dimensi besar. Moody et al. (1999) memberikan penjelasan bahwa glulam merupakan rekayasa produk pengaturan tegangan (stress-rated product) yang terdiri dari dua atau lebih papan kayu yang direkat satu dengan lainnya secara bersama-sama dengan arah serat longitudinal seluruh lapisan yang disebut sebagai lamina, paralel terhadap panjangnya. Juga dinyatakan bahwa glulam merupakan bahan yang terbuat dari lapisan kayu pilihan. Lamina dapat diatur dengan mutu disesuaikan dengan fungsi ditinjau dari segi kemampuan struktural didalam menerima beban. Susunan lamina dengan mutu berbeda pada lapis tertentu akan mempengaruhi sifat mekanis kayu. Dalam pembuatan balok glulam dengan menyusun lamina yang mempunyai mutu lebih tinggi pada daerah dengan

112 88 tegangan besar dan mutu yang lebih rendah pada daerah lainnya, penampang laminasi akan bekerja efektif didalam menerima beban lentur. Perekat merupakan material dengan sifat berbeda dengan kayu. Adanya perekat diantara lapisan kayu pada glulam, memungkinkan terjadi perubahan sifat mekanis glulam, seperti kekakuan dan kekuatannya. Glulam merupakan komponen dari material komposit, yaitu material terdiri dari beberapa sifat mekanis, dalam hal ini terdapat lamina kayu dengan modulus elastisitas (MOE) berbeda masing-masing lapisan dan bahan perekat yang terdapat diantara susunan lamina-lamina. Sifat elastisitas bahan untuk menahan lenturan pada balok glulam dan kekuatan yang ditunjukkan sebagai tegangan lentur, tidak dapat dihitung sebagaimana layaknya balok utuh. Oleh karena terdapat kebebasan dalam menentukan dimensi penampang melintang balok glulam, sehubungan dengan ketinggian penampangnya terdapat hal yang perlu mendapat perhatian dalam memperhitungkan besar modulus elastisitasnya (MOE). Dengan memperhitungkan defleksi akibat gaya lintang yang mengandung faktor modulus geser (G), akan menghasilkan nilai yang lebih tepat. Kajian dalam menganalisis kekuatan glulam adalah untuk mengetahui tegangan lentur, yang terjadi akibat adanya pengaruh lentur. Modulus of Rupture (MOR) merupakan kekuatan atau tegangan lentur maksimum terjadi pada serat tepi atas dan bawah penampang melintang balok, masing-masing mengalami lentur tekan pada serat tepi atas dan tarik pada serat tepi bawah. Lamina dimodelkan sebagai material ekivalen homogen dengan MOE konstan pada seluruh penampang. Didalam analisis kekuatan glulam tidak dapat dilakukan seperti pada balok kayu utuh, oleh karena glulam tersusun dari beberapa lamina dengan MOE berbeda. Analisis kekuatan untuk glulam dilakukan menggunakan metode Transformed Cross Section, yaitu metode penggunaan konversi nilai MOE yang bervariasi pada masing-masing lamina terhadap satu nilai MOE, dan metode ini mempunyai pengaruh mengurangi lebar lamina dengan MOE rendah, dan menambah lebar lamina dengan MOE tinggi, Bodig dan Jayne (1993). Transformed Cross Section merupakan potongan melintang transformasi komponen material homogen dengan satu nilai MOE yang

113 89 merupakan hasil perubahan dari bentuk komponen komposit (Beer, 1992). Dengan adanya perbedaan MOE masing-masing lamina, dapat diperoleh nilai MOR setiap titik tinjauan. Lee et al. (2000) menyatakan bahwa data yang paling sesuai digunakan sebagai variabel data masukan untuk prediksi kekuatan glulam dengan metode Transformed Cross Section adalah metode MSR (Machine Stress Rating). Penyelesaian secara analitik didalam memperoleh nilai tegangan lentur dengan metode Transformed Cross Section dilakukan uji lentur dilaboratorium dengan menggunakan alat displacement tranducer dan strain gauge. Displacement tranducer mempunyai fungsi mengukur besaran defleksi yang terjadi pada balok saat diberi pembebanan. Strain gauge berfungsi megukur regangan pada lokasi ditempat terpilih. Penggunaan kedua alat tersebut perlu diketahui hasilnya untuk dibuat perbandingan diantara keduanya Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kekakuan yang dinyatakan sebagai modulus elastisitas dan kekuatan yang dinyatakan sebagai tegangan lentur dari balok glulam ukuran pemakaian. Tujuan khusus yang akan dicapai pada penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis modulus elastisitas dan kekakuan lentur apparent. 2. Menganalisis modulus elastisitas dan kekakuan lentur true dengan memperhitungkan faktor modulus geser (G). 3. Menganalisis tegangan lentur maksimum atau modulus of rupture (MOR), serta tegangan yang terjadi pada setiap titik berdasarkan data hasil pengujian lentur dengan alat displacement tranducer. 4. Menganalisis tegangan lentur maksimum atau modulus of rupture (MOR) berdasarkan data hasil pengujian lentur dengan alat strain gauge. 5. Membandingkan nilai MOR yang diperoleh dari analisis berdasarkan data pengujian lentur menggunakan alat displacement tranducer, dan strain gauge.

114 Bahan dan Metodologi Bahan dan Alat Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah Acacia mangium, famili Leguminosae yang merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species). Kayu ditebang dari Legok, Bogor, Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dengan diameter log sekitar cm, dan umur tanam sekitar 8 tahun. Perekat yang digunakan adalah Polyurethane (Water Based Polymer Isocyanate, WBPI). Perekat dengan nama PI-3100 terdiri dari 2 komponen yaitu base resin dan hardener (H-7). Peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat potong kayu, penghalus kayu, amplas, alat ukur dimensi (calliper), alat ukur kadar air digital (digital moisture content), timbangan elektrik, alat tulis, komputer dengan peangkat penunjangnya. Alat uji lentur digunakan Universal Testing Machine UH-C500B dilengkapi dengan Portable Data Logger TDS 303 dan External Display Unit EDU 11 Type R Alat pengukur regangan Strain Gauges digunakan Tokyo Sokki Kenkyujo Type PFL-30-11, dengan gauge length adalah 30 mm, lihat Gambar 6.1. Sedangkan alat pengukur defleksi displacement tranducer dapat dilihat seperti pada Gambar 6.2. Gambar 6.1 Strain gauge pada sisi atas dan bawah balok glulam

115 91 Gambar 6.2 Displacement tranducer pada tengah bentang balok glulam Metodologi Lokasi Penelitian Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor, serta Laboratorium Struktur Bangunan Puslitbangkim PU Cileunyi Bandung, Jawa Barat. Penyiapan benda uji Balok kayu untuk glulam dipotong dari log kayu dengan arah longitudinal dengan ukuran 70 mm x 150 mm x 3000 mm untuk lebar, tinggi dan panjangnya. Seluruh balok dikeringkan secara alamiah, disusun dengan bagian lebar dari penampang melintang balok secara horisontal dengan jarak 40 mm, diberi reng diatasnya dengan ukuran 2 mm x 3 mm dengan arah berlawanan susunan bawahnya. Dengan cara yang sama disusun lapis perlapis dalam arah vertikal. Setelah balok kering, yaitu mempunai kadar air sekitar 18%, balok dibelah menjadi papan lamina. Papan lamina dibuat dengan ukuran 25 mm x 65 mm x 300 mm untuk masing-masing tebal, lebar dan panjangnya. Seluruh lamina disusun kembali dengan cara penyusunan sama dengan pada proses pengeringan balok

116 92 sampai mencapai kadar air kesetimbangan sekitar 14%. Permukaan lamina dihaluskan sehingga tebal lamina menjadi sekitar 22 mm, dengan lebar 65 mm dan panjang 3000 mm. Pemilahan seluruh lamina dilakukan berdasarkan modulus elastisitasnya (MOE) dengan cara mengadakan pengujian lentur sistem non destructive test. Masing-masing lamina diadakan pengujian lentur dengan varisai 5 (lima) jarak bentang, yaitu 500 mm, 1000 mm, 1500 mm, 2000 mm, dan 2500 mm. Lamina diletakkan diatas dua perletakan diberikan beban terpusat ditengah bentang serta dilakukan pengukuran defleksi dengan alat deflektometer ditengah bentang. Sebelum diadakan pengujian lentur terlebih dahulu dimensi papan lamina diukur untuk tebal dan lebarnya pada bagian tepi kiri kanan dan tengah arah panjang lamina. Dari data gaya P dan defleksi hasil uji lentur masing-masing lamina dibuat analisis untuk mendapatkan nilai MOE. Nilai MOE dihitung berdasarkan hubungan P dan defleksi yang linier, yaitu diagram hubungan pada daerah elastis. Selanjutnya diadakan pengelompokan lamina berdasarkan kelas kuat yang dinyatkan dengan notasi E. Sebagai contoh kelas kuat E12 adalah kayu dengan MOE = MPa. Balok glulam disusun dari 7 (tujuh) lapis lamina. Lamina dengan MOE paling besar diletakkan pada lapis sisi terluar, yaitu bagian lapis teratas dan terbawah balok glulam. Secara berurutan MOE yang lebih rendah disusun secara berurutan kearah bagian tengah lapisan glulam. Berdasarkan Timber Construction Manual (2005), penempatan laminasi dengan kelas kuat lebih tinggi pada bagian yang diharapkan mengalami tegangan besar akibat suatu pembebanan, akan menghasilkan balok glulam yang efisien dalam hal penggunaan bahan kayu yang tersedia. Perekat disiapkan sesuai dengan standar teknik yang ditentukan dari produsen. Sebelum diaplikasikan, kedua komponen perekat yaitu resin dan hardener dicampur dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 100 : 15 (berdasarkan berat). Sebelum proses perekatan, permukaan lamina dalam keadaan halus, dibersihkan dari segala kotoran. Seluruh sistem pelaburan perekat dilakukan dengan menggunakan kape, dan dilaburkan pada kedua permukaan (double spread) lamina dengan berat labur 280 g/m 2. Perekat yang terdiri dari

117 93 base dan resin disiapkan dan ditimbang untuk masing-masing lapis lamina. Perekatan dimulai pada lapisan balok glulam terbawah, dilanjutkan dengan lapisan lebih atas. Balok glulam yang telah diselesaikan seluruh proses perekatan diletakkan diantara 2 (dua) buah pelat besi dengan tebal 10 mm dan selanjutnya dilakukan kempa dingin dengan cara diklem setiap jarak 30 cm, dilakukan selama 4 (empat) jam. Sebelum diadakan perataan kembali seluruh permukaan glulam dan diadakan pengujian lentur, balok glulam perlu dikondisikan terlebih dahulu selama 7 hari untuk menjamin proses pematangan perekatan. Penyerutan dilakukan kembali sehingga lebar balok glulam sekitar 60 mm dan panjang 2600 mm. Pengukuran dimensi penampang melintang yang terdiri dari lebar dan tinggi balok dilakukan pada seluruh balok glulam, pengukuran dilakukan pada 3 posisi yaitu bagian tepi kiri kanan dan tengah. Balok glulam siap untuk diadakan uji dapat dilihat seperti pada Gambar 6.3. Gambar 6.4 menunjukkan penampang balok glulam dengan nilai kelas kuat kayu untuk masing-masing lamina, dan Gambar 6.5 menunjukkan nilai MOE masing-masing lamina. Gambar 6.3 Balok glulam siap untuk dilakukan uji lentur

118 94 E12 E11 E10 E10 E11 E12 E11 E10 E9 E11 E12 E11 E10 E10 E11 E12 E11 E10 E10 E11 E12 E11 E10 E11 E12 E12 E15 E12 E15 E12 E15 E12 E14 E12 E14 Balok 1 Balok 2 Balok 3 Balok 4 Balok 5 E12 E13 E13 E13 E13 E11 E11 E11 E11 E11 E10 E10 E10 E10 E11 E10 E9 E9 E9 E9 E11 E11 E11 E11 E11 E12 E12 E12 E12 E12 E13 E13 E13 E13 E13 Balok 6 Balok 7 Balok 8 Balok 9 Balok 10 Gambar 6.4 Susunan lamina balok glulam berdasarkan kelas kuat Balok 1 Balok 2 Balok 3 Balok 4 Balok Balok 6 Balok 7 Balok 8 Balok 9 Balok 10 Gambar 6.5 Modulus elastisitas masing-masing lamina balok glulam

119 95 Metode Penelitian Pengujian lentur di laboratorium untuk glulam dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur pada ASTM D198-5a (2008) tentang Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes Section 4-11 tentang Flexure. Uji lentur lamina dilakukan dengan cara sederhana, lamina diletakkan diatas dua perletakan, masing-masing lamina dilakukan dengan 5 (empat) macam jarak perletakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya pebedaan nilai modulus elastisitas apabila pengujian dilakukan dengan jarak bentang berbeda. Pengujian dilakukan dengan memberikan gaya ditengah bentang, diukur besar defleksi yang terjadi dibawah beban. Beban ditingkatkan lebih besar dari beban sebelumnya. Diadakan pengukuran defleksi yang terjadi. Besar pembebanan yang diberikan ditentukan sebesar beban yang diperkirakan mengakibatkan tegangan masih dalam batas elastis. Selisih masing-masing besaran kedua beban dan defleksi yang dijadikan sebagai parameter dalam perhitungan modulus elastisitas yang terjadi. Pengujian lentur yang dilakukan merupakan pengujian non destructive. Setelah diperoleh masing-masing MOE lamina, selanjutnya diadakan pemilahan lamina berdasarkan kelompok nilai kelas kuat kayu. Pengujian lentur balok glulam dilakukan dengan meletakkannya diatas dua perletakan, diberikan dua beban terpusat masing-masing pada satu pertiga bentang (third point loading). Pembacaan pertambahan besar beban dan defleksi yang terjadi ditengah bentang ditransfer kedalam data logger, begitu pula besar regangan yang terjadi pada serat sisi atas dan bawah balok glulam. Pembebanan diberikan hingga terjadi keruntuhan balok glulam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine. Kadar air diukur beberapa saat sebelum pengujian dengan bantuan alat digital moisture meter dan diperoleh nilai sekitar 14 ~ 16 %. Dari kurva hubungan defleksi-beban hasil pengujian lentur dihitung modulus elastisitas tanpa dan memperhitungkan pengaruh defleksi akibat gaya geser yang mengandung nilai modulus geser G. Dari gaya maksimum yang terjadi dihitung nilai tegangan maksimum nominal pada sisi atas dan bawah balok glulam.

120 96 Dengan metode Transformed Cross Section (penampang melintang tertransformasi), dihitung tegangan aktual pada setiap titik tinjauan, berdasarkan ketentuan yang diatur pada ASTM D (2008) tentang Standard Practice for Establihing Allowable Poperties for Structural Glued Laminated Timber (Glulam). Gambar 6.6 Pengujian lentur balok glulam ukuran struktural Analisis Pada umumnya didalam memperhitungkan defleksi yang terjadi pada suatu titik dari balok yang dibebani hanya memperhitungkan pengaruh akibat adanya lentur saja, padahal pada titik tersebut juga terdapat pengaruh defleksi akibat gaya lintang meskipun pada posisi tersebut tidak terdapat gaya lintang. Sebagai gambaran balok yang dibebani dua buah gaya terpusat, pada tengah bentang diantara dua buah gaya terpusat tidak bekerja gaya lintang, tetapi pada tersebut terdapat pengaruh defleksi akibat gaya lintang. Defleksi akibat gaya lintang dari perletakan sampai beban terpusat mempengaruhi daerah tengah bentang. Secara umum persamaan defleksi total yang terjadi pada setiap lokasi dapat dituliskan sebagai berikut,

121 97 Defleksi total untuk balok berpenampang persegi panjang, elastis, homogen, dan isotropis yang terletak diatas dua perletakan sederhana dibebani gaya terpusat masing-masing ½ P pada sepertiga bentang, Gambar 6.7 adalah, 3 23PL PL Δ total = + k (6.1) 1296EI 6GA Nilai k adalah 1,20 untuk penampang empat persegi panjang. Δ total disini memperhitungkan defleksi akibat lentur dan gaya geser. Persamaan (6.2) dapat dituliskan kembali sebagai berikut, 3 23PL 0, 2PL Δ total = + (6.2) 1296EI GA Rasio Δ s dapat dijperoleh dari persamaan (6.2) sebagai berikut, Δ b Δ Δ s b E h = 0, 94 G L 2 (6.3) Dari persamaan (6.3) dapat diperoleh modulus elastisitas true sebagaimana telah dijelaskan pula pada Bab 5, yang telah memperhitungkan pengaruh momen lentur dan gaya geser. Oleh karena glulam tersusun dari lamina-lamina dengan modulus elastisitas yang berbeda, maka pada rumus untuk mendapatkan MOE true menggunakan Eeff. Rumus dimaksud adalah,, dimana, Δ = 1 + (6.4) s MOE true Eeff Δ b { I i i E 0 + Eeff = I tranf A i i ( d ) 2 (6.5)

122 98 P ½ P ½ P 1/3 L 1/3 L 1/3 L Gambar 6.7 Balok diatas dua perletakan dengan beban masing-masing ½ P pada sepertiga bentang Untuk mendapatkan nilai tegangan lentur pada setiap titik glulam dengan MOE lamina yang tidak seragam untuk seluruh lapisan dilakukan berdasarkan metode Transformed Cross Section, yang mana dengan adanya perbedaan MOE masing-masing lamina, dapat diperoleh nilai tegangan lentur setiap titik tinjauan. Glulam terdiri dari beberapa jenis MOE dengan nilai lebih kecil berada pada daerah mendekati sumbu netral dan MOE dengan nilai lebih besar terletak pada sisi atas dan bawah penampang, Tegangan lentur yang terjadi pada setiap ketinggian penampang terlebih dahulu dihitung sebagai tegangan lentur nominal berdasarkan penampang dengan masing-masing MOE lapisan lamina yang telah ditransformasi pada satu lamina tertentu, Gambar 6.8. Pada kasus ini ditentukan MOE yang tetap adalah lamina terbesar, MOE terbesar ditentukan sebagai nilai transformasi.

123 99 9 x 2cm =18 cm 6 (a) (b) (c) (d) Gambar 6.8 Diagram regangan dan tegangan balok glulam a. Penampang balok glulam b. Diagram regangan c. Diagram tegangan lentur nominal d. Diagram tegangan lentur aktual 6.4. Hasil dan Pembahasan.Dari hasil uji lentur non destructive, dihitung nilai MOE masing-masing lamina dengan 5 (lima) variasi jarak bentang, yaitu 500 mm, 1000 mm, 1500 mm, 2000 mm, dan 2500 mm, lihat Gambar 6.9. Dari garis regresi dapat diketahui bahwa uji lentur dengan jarak bentang 500 mm menghasilkan modulus elastisitas terendah dibandingkan keempat jarak bentanng lainnya. Untuk menghasilkan nilai modulus elastisitas rata-rata diambil dari nilai modulus elastisitas dengan jarak bentang 1000 mm, 1500 mm, 2000 mm, dan 2500 mm. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keempat kondisi tersebut menghasilkan nilai modulus elastisitas yang mendekati sama.

124 Modulus Elastisitas (MPa) Nomor Benda Uji L = 500 mm L = 1000 mm L = 1500 mm L = 2000 mm L = 2500 mm Poly. (L = 500 mm) Poly. (L = 1000 mm) Poly. (L = 1500 mm) Poly. (L = 2000 mm) Poly. (L = 2500 mm) Gambar 6.9 Modulus elastisitas lamina dengan varisasi jarak bentang Selanjutnya masing-masing lamina sebanyak 90 (sembilan puluh) buah dikelompokkan berdasarkan kuat acuan, kelompok kuat acuan lamina dapat dilihat pada Tabel 6.1. Dari seluruh lamina yang tersedia dipilih sebanyak 70 (tujuh puluh) lamina untuk disusun menjadi 10 (sepuluh) balok glulam. Histogram kuat acuan kelompok lamina dapat dilihat pada Gambar Dari histrogam tersebut terlihat bahwa persentase mayoritas berdasarkan kelompok kuat acuan adalah E10 dan E12, atau MOE sekitar 9000 kg/cm 2 dan kg/cm 2. KUAT ACUAN Tabel 6.1 Kelompok kuat acuan lamina JUMLAH KUMULATIF JUMLAH PERSEN KUMULATIF PERSEN E ,67 6,67 E ,89 15,56 E ,11 26,67 E ,67 43,33 E ,33 66,67 E ,78 84,44 E ,00 94,44 E ,22 96,67 E ,33 100,00 Total benda uji 90

125 101 Hitogram KUAT ACUAN Normal Variable Kelompok 90 lamina Kelompok 70 lamina Mean StDev N Frekuensi Kuat Acuan 14 Gambar 6.10 Histogram kelompok kuat acuan lamina Dari hasil uji lentur balok glulam dapat digambarkan tipikal kurva hubungan gaya pada arah sumbu y dan defleksi pada arah sumbu x, Gambar Untuk lebih jelasnya kurva hubungan gaya- defleksi seluruh glulam dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan berdefleksi balok glulam pada saat mencapai gaya maksimum adalah berbedabeda. Sebenarnya metode Transformed Cross Section,berlaku untuk kondisi tegangan-regangan dalam batas elastis, dan memenuhi strain compatibily. Didalam perhitungan modulus elastisitas memang memperhitungkan kondisi hubungan tegangan-regangan dalam batas elastis atau hubungan gaya-defleksi merupakan garis lurus. Pada kenyataannya pada saat balok glulam dibebani, beberapa balok glulam tidak memenuhi syarat terjadinya strain compatibily. Kondisi ini terlihat pada Lampiran 7 yang melengkapi Gambar 6.11, untuk glulam 2,7, dan 8, dimana kurva hubungan gaya-defleksi pada bagian atas mulai melengkung. Hal ini terjadi antara lain ketidaksempurnaan didalam pembuatan balok glulam, disebabkan karena keterbatasan ketersediaan peralatan yang memadai. Dengan keterbatasan yang terjadi penulis akan melakukan analisis balok glulam berdasarkan metode Transformed Cross Section meskipun tidak dapat memenuhi persyaratan secara sempurna.

126 Gaya (N) Defleksi (mm) Gambar 6.11 Tipikal hubungan gaya-defleksi hasil uji lentur balok glulam ukuran struktural Besar defleksi yang terjadi merupakan faktor yang menunjukkan kemampuan kekakuan balok, dimana kemampuan balok mengandung nilai modulus elastisitas dari material pembentuknya. Gambar 6.12 menunjukkan bahwa apabila kemampuan glulam menerima beban pada saat mulai terjadi kerusakan adalah besar, maka defleksi yang terjadi juga besar, sebaliknya apabila kemampuan menerima beban saat mulai terjadi kerusakan adalah kecil maka defleksi yang terjadi juga kecil. Kondisi ini antara lain dapat mempercepat terjadinya kerusakan benda uji tersebut. Pada balok glulam GL 4 terlihat bahwa gaya maksimum yang dipikul dan defleksi pada saat gaya maksimum tercapai adalah paling kecil apabila dibandingkan dengan balok glulam lainnya. Hal ini apabila diamati dari kerusakan yang terjadi pada saat pengujian adalah terjadi slip pada antara lapis ke 3 dan ke 4 dari susunan lamina balok glulam. Slip terjadi sampai hampir ditengah bentang balok glulam, yaitu 130 cm dari ujung balok glulam. Balok glulam GL 5 juga terjadi slip juga antara lapis ke 3 dan 4, tetapi hanya sekitar 60 cm dari ujung balok glulam. Berbeda dengan balok glulam GL 7, kemampuan defleksi adalah paling menonjol tinggi diantara balok uji lainnya. Dari pengamatan kerusakan yang terjadi pada saat uji lentur adalah tidak terdapat slip pada lapisan antara lamina, dan kerusakan sampai hancur terjadi pada serat kayu daerah tarik yaitu bagian bawah (lapis 1, 2, dan 3), ditengah bentang balok glulam. Gaya maksimum terjadi pada balok glulam GL 9, kerusakan hanya terjadi pada sisi terbawah dimulai dari lokasi adanya gubal kayu yang berada segaris dibawah salah satu

127 103 pusat gaya, yaitu pada sepertiga bentang. Kekakuan balok glulam semakin kecil apabila terjadi kerusakan slip pada antar lapisan lamina, dan konfigurasi penampang balok glulam mempengaruhi nilai kekakuan maksimumnya, Sulistyawati et al. (2008) GL 1 GL 2 GL 3 GL 4 GL 5 GL 6 GL 7 GL 8 GL 9 GL 10 Defleksi (mm) 41,1 54,3 39,7 29,1 33,2 38,5 67,4 47,4 46,7 36,6 Gaya Maksimum (KN) 32,00 35,99 32,12 25,99 31,04 29,01 35,97 33,36 37,05 27,03 Keterangan: GL = glulam Gambar 6.12 Defleksi dan gaya maksimum balok glulam Telah dijelaskan terdahulu bahwa perbedaan modulus elastisitas tergantung dari rasio panjang bentang L dan tinggi balok h, serta rasio nilai modulus elastisitas akibat momen lentur saja terhadap modulus geser G atau MOE/G. Pada perhitungan MOE app balok glulam diperhitungkan sebagai MOE eff, yaitu modulus elastisitas yang telah memperhitungkan masing-masing MOE lamina penyusunnya. MOE eff dihitung menggunakan persamaan (6.5), MOE true dihitung berdasarkan persamaan (6.4). MOE true dihitung dengan memperhitungkan modulus geser yang telah dibahas pada Bab V untuk balok glulam dimana rasio E/G adalah 25. Nilai MOE eff dan MOE true dapat dilihat seperti pada Gambar 6.13, apabila diadakan perbandingan, nilai MOE true adalah lebih besar 10,43% terhadap MOE eff.

128 GL 1 GL 2 GL 3 GL 4 GL 5 GL 6 GL 7 GL 8 GL 9 GL 10 MOEeff (Mpa) MOEtrue (MPa) Gambar 6.13 Modulus elastisitas efektif dan true balok glulam Pada bagian alinea ini akan dilihat besar pengaruh adanya perekatan terhadap kekakuan glulam. Hal ini dilakukan dengan membnadingkan nilai MOE efektif yang telah dihitung dengan nilai EI yang merupakan kekakuan lentur 3 23PL komponen balok glulam, dimana persamaan nilai tersebut adalah. Dari 1296Δ persamaan terakhir terlihat bahwa nilai E sebagai MOE dan I menjadi satu kesatuan. Pada awalnya dipikirkan bahwa untuk komponen yang bersifat komposit yaitu komponen yang mengandung lebih dari satu jenis material, yaitu kayu dan adanya perekat diantara lapisan, perlu diketahui pengaruhnya terhadap sifat elastisitas material yang diidentifikasikan dengan nilai EI sebagai nilai kekakuan komponen balok glulam yang mengalami lenturan. Berdasarkan hasil perhitungan untuk nilai MOE ef dan EI dapat dilihat pada Tabel 6.2, dan untuk melihat tren nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Gambar Tren nilai MOE app dan EI masing-masing balok glulam adalah sama, menunjukkan bahwa dengan adanya perekat diantara lapisan lamina pada balok glulam tidak meningkatkan nilai modulus elastisitasnya.

129 Tabel 6.2 Nilai Modulus elatisitas efektif, kekakuan lentur balok glulam dan rasio keduanya No Glulam MOEeff (MPa) EI (Nmm 2 ) EI/MOEeff GL ,327E GL ,370E GL ,414E GL ,312E GL ,522E GL ,164E GL ,257E GL ,331E GL ,534E GL ,069E rata-rata ,330E SD 210 1,448E CV (%) 1,74 6,21 5,89 Keterangan: GL = glulam 105 3E EI (N/mm 2 ) 2E+11 1E MOEeff (MPa) No Benda Uji 0 EI (N/mm2) MOEeff (MPa) Gambar 6.14 Tren nilai EI terhadap MOE efektif masing-masing balok glulam Analisis dengan metode konvensional pada seluruh glulam menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai MOR pada sisi teratas dan terbawah balok glulam atau masing-masing bagian serat tertekan dan tertarik. Hal ini terjadi oleh karena pada perhitungan MOR menggunakan asumsi bahwa glulam merupakan susunan lamina dengan MOE yang sama, sehingga garis netral penampang balok glulam terdapat pada setengah ketinggian balok glulam. Perhitungan cara konvensional menggunakan momen inersia I tanpa memperhitungkan pengaruh perbedaan MOE masing-masing lapis lamina. Kondisi ini mengakibatkan MOR pada sisi teratas dan terbawah mempunyai nilai

130 106 yang sama, hanya pebedaannya pada sisi dibawah garis netral timbul tegangan lentur dengan nilai positip, sedangkan pada setengah bagian yaitu diatas garis netral timbul tegangan lentur negatif. Garis netral merupakan garis melalui titik berat penampang dengan tegangan lentur adalah sama dengan nol. MOR merupakan tegangan lentur maksimum yang terjadi pada sisi terbawah dan teratas balok glulam. Analisis berdasarkan metode Transformed Cross Section, dihitung tegangan lentur nominal dan aktual yang terjadi pada setiap ketinggian penampang. Kedua tegangan tersebut dihitung berdasarkan penampang dengan masing-masing MOE lapisan lamina yang telah ditransformasi pada satu lamina tertentu. Pada kasus ini ditentukan MOE yang tetap adalah lamina pada lapisan paling bawah yaitu lapisan lamina dengan MOE terbesar ditentukan sebagai pengukur, sedangkan lainnya sebagai nilai transformasi. Oleh karena masing-masing lamina mempunyai MOE berbeda, memungkinkan terjadinya pergeseran titik berat atau garis netral penampang glulam. Setelah diadakan penghitungan letak titik berat atau garis netral penampang balok glulam diperoleh hasil bahwa garis netral seluruh balok uji glulam yang dilakukan pada penelitian ini terletak dibawah titik tengah penampang glulam. Kondisi ini mengakibatkan tegangan nominal yang terjadi pada sisi paling atas dan paling bawah penampang balok glulam tidak sama besar. Tegangan nominal pada sisi paling atas mempunyai nilai absolut yang lebih besar jika dibandingkan dengan sisi paling bawah. Tegangan aktual merupakan perkalian nilai tegangan nominal dengan faktor transfomasi yang merupakan rasio MOE tertransformasi pada lapisan lamina dimaksud dibagi dengan MOE lamina pengukur. Lamina pengukur pada seluruh benda uji glulam merupakan lamina paling bawah yaitu dengan lamina yang mempunyai MOE terbesar jika dibandingkan dengan lapisan lamina diatasnya. Nilai faktor transformasi berbeda untuk masing-masing lamina dan nilainya adalah lebih kecil dari 1. Nilai tegangan lentur nominal pada sisi paling bawah adalah sama dengan tegangan lentur aktual pada sisi yang sama. Sedangkan tegangan lentur aktual pada posisi lainnya adalah lebih kecil dari tegangan lentur nominalnya. Nilai tegangan lentur maksimum pada sisi paling bawah atas paling atas glulam atau

131 107 MOR dari hasil perhitungan secara konvensional serta MOR aktual hasil perhitungan dengan metode Transformed Cross Section. dapat dilihat pada Tabel 6.3. Dengan lebih mudah dapat dilihat perbedaan nilai MOR yang diperoleh dengan metode konvensional dan metode Transformed Cross Section atau transformasi pada Gambar MOR dengan metode transformasi pada serat atas yaitu serat yang mengalami tegangan tekan tidak jauh berbeda dengan tegangan serat bawah maupun atas dengan cara konvensional. Tetapi tegangan pada serat bawah yaitu tegangan tarik dengan metode transformasi untuk beberapa glulam terlihat perbedaan yang relatif berarti. Tabel 6.3 Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan metode konvensional dan transformasi MOR (MPa) Benda Uji Metode Konvensional Metode Transformasi Serat Bawah = Serat Atas Aktual Serat Bawah Aktual Serat Atas GL1 51,96 59,69 51,52 GL2 55,02 62,23 54,95 GL3 50,90 57,44 50,84 GL4 42,02 47,09 42,11 GL5 46,68 52,25 46,89 GL6 44,70 48,25 45,70 GL7 55,69 59,41 57,54 GL8 50,83 53,89 52,65 GL9 56,62 59,74 59,25 GL10 43,33 45,49 45,41 Rata-rata 49,77 54,55 50,69 SD 5,31 6,03 5,61 CV (%) 10,66 11,06 11,08 Keterangan: GL = glulam Apabila MOR dengan metode transformasi untuk glulam pada serat bawah dibandingkan dengan MOR pada serat bawah metode konvensional terjadi perbedaan lebih besar untuk GL 1 adalah 14, 9 %, GL 2 adalah 13,1%, GL 3 adalah 12,9, GL 4 adalah 12,1%, dan 11, 9% untuk GL 5. Sedangkan untuk balok glulam lainnya mempunyai perbedaan untuk GL 6 adalah 8,0 %, GL 7 adalah

132 108 6,7%, untuk GL 8 adalah 6,0%, GL 9 adalah 5,6%, dan 5,0% untuk GL 10. Perbedaan yang terjadi disebabkan antara lain oleh karena adanya pengaruh adanya MOE terbesar terletak pada susunan lamina terbawah. 80 MOR (MPa) GL1 GL2 GL3 GL4 GL5 GL6 GL7 GL8 GL9 GL10 Konvensional Aktual Serat Bawah Transformasi Aktual Serat Atas Transformasi (--) Gambar 6.15 Kurva MOR berdasarkan metode konvensional dan transformasi Sebagai salah satu prinsip pembuatan komponen glulam dengan menyusun lamina MOE lebih besar pada sisi tepi atau menjauhi garis netral, dan secara berurutan lamina dengan MOE yang lebih kecil sampai terkecil pada arah mendekati atau pada garis netral. Prinsip ini telah dilakukan didalam pembuatan susunan lamina masing-masing balok glulam. Untuk balok glulam Gl 1, 2, dan 3 dibuat susunan lamina dari lapis terbawah sampai teratas dengan kelas kuat kayu yang sama diantara satu dengan ketiganya. MOR yang terjadi berdasarkan metode konvensional dan transformasi untuk serat atas maupun atas glulam adalah hampir sama, tetapi mempunyai nilai yang lebih besar untuk serat bawah. Lamina paling bawah untuk ketiganya mempunyai kuat acuan E15 dan E12 untuk lapis paling atas. Jadi ketiga balok glulam tersebut mempunyai susunan kuat acuan yang tidak simetris. Oleh karena kuat acuan yang lebih besar terletak dibawah, maka setelah dihitung berdasarkan luas penampang transformasi, diperoleh bahwa posisi garis netral berada dibawah garis horisontal yang melalui titik tengah penampang. Hal ini mengakibatkan besar tegangan lentur nominal pada sisi tepi daerah tarik lebih kecil jika dibandingkan dengan tegangan lentur nominal pada sisi tepi daerah tekan. Selanjutnya setelah dihitung besar tegangan lentur aktual yang merupakan

133 109 tegangan lentur nominal dikalikan dengan faktor transformasi, diperoleh tegangan lentur aktual pada daerah tekan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan tegangan lentur aktual pada daerah tarik. Perlu diperhatikan balok glulam GL 4, 5, 6, dan 7 yang dibuat susunan lamina dari lapis terbawah sampai teratas dengan kelas kuat kayu yang sama diantara satu dengan keempatnya. Terlihat bahwa pada balok glulam 7 mempunyai nilai MOR terbesar dengan metode konvensional maupun transformasi. Hasil yang kecil dimungkinkan terjadinya kerusakan lebih awal yang terjadi oleh karena adanya kerusakan yang dimulai dari letak mata kayu atau pada perlemahan kayu lainnya. Begitu pula pada GL 8, 9 dan 10 dengan susunan lamina dari lapis terbawah sampai teratas dengan kelas kuat kayu yang sama diantara satu dengan ketiganya. GL 10 mempunyai nilai MOR yang terendah dibandingkan GL 8, dan 9, kerusakan pada GL10 adalah slip pada garis rekat pertama dari bawah. Slip dapat mengakibatkan kemampuan maksimum memikul beban menjadi lebih rendah, sehingga kekuatan serta kekakuan lebih rendah. Wiryomartono (1976) dalam tulisannya mengusulkan bahwa slip balok dapat dihalangi dengan menempatkan pasak diantara lapisan lamina. Tipikal kerusakan balok glulam dapat dilihat pada Gambar Oleh karena pada metode transformasi memperhitungkan pengaruh masingmasing MOE lamina, maka dengan menggunakan metode transformasi memungkinkan letak garis netral tidak terdapat ditengah ketinggian penampang melintang balok glulam. Dari 10 (sepuluh) benda uji glulam dengan susunan lamina seperti yang telah ditentukan, seluruhnya posisi garis netral terletak dibawah setengah ketinggian balok glulam. Hal ini mengakibatkan MOR nominal pada serat teratas adalah lebih besar apabila dibandingkan dengan serat terbawah. Oleh karena tegangan aktual dipengaruhi dengan faktor transformasi masing-masing lapisan, hasil analisis menunjukkan MOR serat teratas mempunyai nilai yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan serat terbawah. Gambar 6.17 menunjukkan tipikal tegangan nominal dan aktual balok glulam pada masing-masing titik tinjauan pada seluruh ketinggiannya.

134 110 (a) (c) (b) (d) Gambar 6.16 Tipikal kerusakan glulam ukuran struktural (a) Slip digaris rekat lapis ketiga pada ujung balok glulam (b) Gabungan slip dan retak antara dua garis rekat (c) Slip digaris rekat lapis pertama pada daerah tarik ditengah bentang (d) Hancur pada serat bawah daerah tarik Nilai MOR dengan metode konvensial adalah sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan cara transformasi oleh karena pada metode konvensional memperhitungkan momen inersia tidak mempertimbangkan besaran MOE masing-masing lamina. Untuk perhitungan MOR dengan metode transformasi memperhitungkan momen inersia transformasi yaitu momen inersia yang memperhitungkan besaran MOE masing-masing lamina.

KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI

KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI KARAKTERISTIK KEKUATAN DAN KEKAKUAN BALOK GLULAM KAYU MANGIUM INDAH SULISTYAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F KAYU LAMINASI Oleh : Yudi.K. Mowemba F 111 12 040 Pendahuluan Kayu merupakan bahan konstruksi tertua yang dapat diperbaharui dan merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang penting. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pengaruh Variasi Penyusunan

Lebih terperinci

Fengky S Yoresta. Studi Eksperimental Perilaku Lentur Balok Glulam Kayu Pinus (Pinus merkusii ) Fengky S Yoresta

Fengky S Yoresta. Studi Eksperimental Perilaku Lentur Balok Glulam Kayu Pinus (Pinus merkusii ) Fengky S Yoresta Studi Eksperimental Perilaku Lentur Balok Glulam Kayu Pinus (Pinus merkusii ) (An Experimental Study on the Flexural Behavior of Glulam Beam of Pinus Wood (Pinus merkusii)) Departemen Hasil Hutan, Fakultas

Lebih terperinci

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Desember 00 : 7 BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) LAMINATED BEAMS FROM COCONUT WOOD (Cocos nucifera L) Djoko Purwanto *) *) Peneliti Baristand

Lebih terperinci

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 9 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pembuatan CLT dengan sambungan perekat yang dilakukan di laboratorium dan bengkel kerja terdiri dari persiapan bahan baku,

Lebih terperinci

Kekakuan dan Kekuatan Lentur Maksimum Balok Glulam dan Utuh Kayu Akasia

Kekakuan dan Kekuatan Lentur Maksimum Balok Glulam dan Utuh Kayu Akasia Sulistyawati, dkk. ISSN 0853-2982 Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil Kekakuan dan Kekuatan Lentur Maksimum Balok Glulam dan Utuh Kayu Akasia Indah Sulistyawati Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR Rizfan Hermanto 1* 1 Mahasiswa / Program Magister / Jurusan Teknik Sipil / Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan

Lebih terperinci

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI-5 2002 DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2008 sampai bulan Februari 2009. Tempat pembuatan dan pengujian glulam I-joist yaitu di Laboratorium Produk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi Cross laminated timber (CLT) merupakan salah satu produk kayu rekayasa yang dibentuk dengan cara menyusun sejumlah lapisan kayu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia teknik sipil, pengkajian dan penelitian masalah bahan bangunan dan model struktur masih terus dilakukan. Oleh karena itu masih terus dicari dan diusahakan

Lebih terperinci

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek DAFTAR NOTASI A g = Luas bruto penampang (mm 2 ) A n = Luas bersih penampang (mm 2 ) A tp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) A l =Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi (mm 2 ) A s = Luas

Lebih terperinci

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M)

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M) KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M) Johannes Adhijoso Tjondro 1 dan Benny Kusumo 2 1 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan,

Lebih terperinci

PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER

PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas tugas dan melengkapi syarat untuk menempuh Ujian Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kayu merupakan suatu bahan mentah yang didapatkan dari pengolahan pohon pohon yang terdapat di hutan. Kayu dapat menjadi bahan utama pembuatan mebel, bahkan dapat menjadi

Lebih terperinci

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan kayu yang digunakan sebagai bahan baku konstruksi telah lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu gergajian sangat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg. PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.) SUKMA SURYA KUSUMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kekakuan Lamina Kayu Ekaliptus Pemilahan lamina menggunakan metode defleksi menghasilkan nilai modulus elastisitas (MOE) yang digunakan untuk pengelompokkan lamina.

Lebih terperinci

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) SIFAT KEKUATAN KAYU MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) 1 A. Sifat yang banyak dilakukan pengujian : 1. Kekuatan Lentur Statis (Static Bending Strength) Adalah kapasitas/kemampuan kayu dalam menerima beban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM DAN LATAR BELAKANG Sejak permulaan sejarah, manusia telah berusaha memilih bahan yang tepat untuk membangun tempat tinggalnya dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Pemilihan

Lebih terperinci

ANALISA STRUKTUR GEDUNG 8 LANTAI DARI MATERIAL KAYU TERHADAP BEBAN GEMPA

ANALISA STRUKTUR GEDUNG 8 LANTAI DARI MATERIAL KAYU TERHADAP BEBAN GEMPA ANALISA STRUKTUR GEDUNG 8 LANTAI DARI MATERIAL KAYU TERHADAP BEBAN GEMPA Rahman Satrio Prasojo Program Studi Teknik Sipil, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Utara Email

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i. Prakata... ii. Pendahuluan... iii

Daftar Isi. Daftar Isi... i. Prakata... ii. Pendahuluan... iii Daftar Isi Daftar Isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iii 1 Ruang Lingkup... 1 2 Acuan Normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Pengertian dan penggunaan... 2 5 Persyaratan... 2 5.1 Persyaratan Umum...

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

Kajian Eksperimental Perilaku Lentur Balok Laminasi Lengkung dari Kayu Jabon

Kajian Eksperimental Perilaku Lentur Balok Laminasi Lengkung dari Kayu Jabon Reka Racana Teknik Sipil Itenas No.3 Vol.3 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional September 2017 Kajian Eksperimental Perilaku Lentur Balok Laminasi Lengkung dari Kayu Jabon ERMA DESMALIANA Institut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber 2.1.1 Definisi Cross Laminated Timber (CLT) pertama dikembangkan di Swiss pada tahun 1970-an. Produk ini merupakan perpanjangan dari teknologi rekayasa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN 1 PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Sifat Mekanik Kayu Keruing untuk Konstruksi Mechanics Characteristic of Keruing wood for Construction

Sifat Mekanik Kayu Keruing untuk Konstruksi Mechanics Characteristic of Keruing wood for Construction Jurnal aintis Volume 13 Nomor 1, April 2013, 83-87 ISSN: 1410-7783 Sifat Mekanik Kayu Keruing untuk Konstruksi Mechanics Characteristic of Keruing wood for Construction Sri Hartati Dewi Program Studi Teknik

Lebih terperinci

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M)

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M) KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M) Johannes Adhijoso Tjondro 1, Altho Sagara 2 dan Stephanus Marco 2 1 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Makalah yang telah Dipublikasikan Terkait dengan Penelitian Disertasi

Lampiran 1. Daftar Makalah yang telah Dipublikasikan Terkait dengan Penelitian Disertasi 125 Lampiran 1. Daftar Makalah yang telah Dipublikasikan Terkait dengan Penelitian Disertasi Dwi Joko Priyono, Surjono Surjokusumo, Yusuf S.Hadi dan Naresworo Nugroho: No Topic/Judul Dipublikasikan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - April 2012 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Teknologi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Struktur kayu merupakan suatu struktur yang susunan elemennya adalah kayu. Dalam merancang struktur kolom kayu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan besarnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika TINJAUAN PUSTAKA Oriented Strand Board (OSB) Awalnya produk OSB merupakan pengembangan dari papan wafer (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika pada tahun 1954. Limbah-limbah

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO BAMBU PETUNG DAN KAYU SENGON TERHADAP KAPASITAS TEKAN KOLOM LAMINASI

PENGARUH RASIO BAMBU PETUNG DAN KAYU SENGON TERHADAP KAPASITAS TEKAN KOLOM LAMINASI TEKNOLOGI DAN KEJURUAN, VOL. 32, NO. 1, PEBRUARI 2009: 71 78 PENGARUH RASIO BAMBU PETUNG DAN KAYU SENGON TERHADAP KAPASITAS TEKAN KOLOM LAMINASI Lezian Arsina Karyadi Sutrisno Abstract: The effect of the

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005 .;.. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPIIIEIEN HISIL HUliN Kampus IPB Darmaga PO BOX 168 Bogor 161 Alamat Kawat FAHUTAN Bogor Phone: (251) 621285, Fax: (251)

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK VOLUME 12 NO. 2, OKTOBER 2016 PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU Fengky Satria Yoresta 1, Muhammad Irsyad Sidiq 2 ABSTRAK Tulangan besi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS KAYU

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS KAYU PENGUJIAN SIFAT MEKANIS KAYU MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT ) 1 Pengujian kayu Pemanfaatan kayu yang beragam memerlukan pengujian sifat kayu pengujian sifat mekanis kayu 2 Metode pengujian kayu Metode pengujian

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004), klasifikasi botani kelapa sawit dapat diuraikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis pada kayu laminasi dipengaruhi oleh sifat fisis bahan pembentuknya yaitu bagian face, core, dan back. Dalam penelitian ini, bagian face adalah plywood

Lebih terperinci

PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR SABUT KELAPA (Cocos nucifera L.) SKRIPSI

PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR SABUT KELAPA (Cocos nucifera L.) SKRIPSI PEMBUATAN PAPAN PARTIKEL BERBAHAN DASAR SABUT KELAPA (Cocos nucifera L.) SKRIPSI OLEH : LISBETH DAMERIAHNI SIJABAT 110308031 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Pengeringan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan dan

Lebih terperinci

KUAT LENTUR DAN PERILAKU LANTAI KAYU DOUBLE STRESS SKIN PANEL (250M)

KUAT LENTUR DAN PERILAKU LANTAI KAYU DOUBLE STRESS SKIN PANEL (250M) KUAT LENTUR DAN PERILAKU LANTAI KAYU DOUBLE STRESS SKIN PANEL (250M) Johannes Adhijoso Tjondro 1, Fina Hafnika 2 1 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung E-mail:

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA i PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i PENGARUH PERENDAMAN

Lebih terperinci

ANALISA DAN EKSPERIMENTAL PERILAKU TEKUK KOLOM TUNGGAL KAYU PANGGOH Putri Nurul Hardhanti 1, Sanci Barus 2

ANALISA DAN EKSPERIMENTAL PERILAKU TEKUK KOLOM TUNGGAL KAYU PANGGOH Putri Nurul Hardhanti 1, Sanci Barus 2 ANALISA DAN EKSPERIMENTAL PERILAKU TEKUK KOLOM TUNGGAL KAYU PANGGOH Putri Nurul Hardhanti 1, Sanci Barus 2 1 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia

SNI Standar Nasional Indonesia SNI 03-6448-2000 SNI Standar Nasional Indonesia Metode pengujian kuat tarik panel kayu struktural ICS 79.060.01 Badan Standarisasi Nasional Daftar Isi Daftar Isi...i 1 Ruang Lingkup...1 2 Acuan...2 3 Kegunaan...2

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan kayu untuk hampir semua bangunan struktural masih sangat umum bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kayu yang digunakan untuk bangunan struktural umumnya terdiri

Lebih terperinci

KUALITAS PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG DARI AKASIA DAN ISOSIANAT

KUALITAS PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG DARI AKASIA DAN ISOSIANAT KUALITAS PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG DARI AKASIA DAN ISOSIANAT HASIL PENELITIAN Oleh: Desi Haryani Tambunan 061203010/ Teknologi Hasil Hutan DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

ANALISIS METODE ELEMEN HINGGA DAN EKSPERIMENTAL PERHITUNGAN KURVA BEBAN-LENDUTAN BALOK BAJA ABSTRAK

ANALISIS METODE ELEMEN HINGGA DAN EKSPERIMENTAL PERHITUNGAN KURVA BEBAN-LENDUTAN BALOK BAJA ABSTRAK ANALISIS METODE ELEMEN HINGGA DAN EKSPERIMENTAL PERHITUNGAN KURVA BEBAN-LENDUTAN BALOK BAJA Engelbertha Noviani Bria Seran NRP: 0321011 Pembimbing: Yosafat Aji Pranata, ST., MT. ABSTRAK Salah satu bagian

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KARAKTERISTIK ORIENTED STRAND BOARD DARI KAYU AKASIA DAN AFRIKA BERDASARKAN PENYUSUNAN ARAH STRAND NURHAIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 8 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur (Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on Flexural Test)

Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur (Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on Flexural Test) Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur (Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on Flexural Test) Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan menurut kekuatan lentur paku serta pembenaman paku ke dalam balok terhadap empat jenis kayu dilakukan selama kurang lebih tiga

Lebih terperinci

PERHITUNGAN BEBAN DAN TEGANGAN KRITIS PADA KOLOM KOMPOSIT BAJA - BETON

PERHITUNGAN BEBAN DAN TEGANGAN KRITIS PADA KOLOM KOMPOSIT BAJA - BETON PERHITUNGAN BEBAN DAN TEGANGAN KRITIS PADA KOLOM KOMPOSIT BAJA - BETON (Studi Literature) TUGAS AKHIR DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT UNTUK MENEMPUH UJIAN SARJANA TEKNIK SIPIL

Lebih terperinci

EVALUASI PERBANDINGAN KONSEP DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI BETON

EVALUASI PERBANDINGAN KONSEP DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI BETON EVALUASI PERBANDINGAN KONSEP DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI BETON TUGAS AKHIR SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENYELESAIKAN PENDIDIKAN SARJANA TEKNIK DI PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL oleh

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU Abdurachman, Nurwati Hadjib dan Adi Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl Gunung Batu No

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring pesatnya pertambahan jumlah penduduk saat ini, maka hal ini sangat berdampak pada kebutuhan akan tempat tinggal. Peluang ini dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di alam dan pertama kali digunakan dalam sejarah umat manusia. Kayu sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. di alam dan pertama kali digunakan dalam sejarah umat manusia. Kayu sampai saat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kayu merupakan salah satu material konstruksi yang paling banyak terdapat di alam dan pertama kali digunakan dalam sejarah umat manusia. Kayu sampai saat ini masih

Lebih terperinci

PERILAKU BALOK KOMPOSIT KAYU PANGGOH BETON DENGAN DIISI KAYU PANGGOH DI DALAM BALOK BETON

PERILAKU BALOK KOMPOSIT KAYU PANGGOH BETON DENGAN DIISI KAYU PANGGOH DI DALAM BALOK BETON PERILAKU BALOK KOMPOSIT KAYU PANGGOH BETON DENGAN DIISI KAYU PANGGOH DI DALAM BALOK BETON Vivi Angraini 1 dan Besman Surbakti 2 1 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl.Perpustakaan No.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kayu merupakan salah satu sumber alam yang bersifat dapat diperbarui.

BAB I PENDAHULUAN. Kayu merupakan salah satu sumber alam yang bersifat dapat diperbarui. ---- -~ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kayu merupakan salah satu sumber alam yang bersifat dapat diperbarui. pemanfaatannya sebagai bahan konstruksi sudah sangat lama, jauh sebelwn berkembangnya

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR Rizfan Hermanto 1 1 Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Pascasarjana, Bandung ABSTRAK

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BANK MANDIRI JL. NGESREP TIMUR V / 98 SEMARANG

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BANK MANDIRI JL. NGESREP TIMUR V / 98 SEMARANG HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BANK MANDIRI JL. NGESREP TIMUR V / 98 SEMARANG Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Fakultas

Lebih terperinci

PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA

PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA Nor Intang Setyo H. 1, Gathot H. Sudibyo dan Yanuar Haryanto 3 1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2010. Tempat yang dipergunakan untuk penelitian adalah sebagai berikut : untuk pembuatan

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.)

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) HASIL PENELITIAN Oleh : TRISNAWATI 051203021 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS DAFTAR SIMBOL BJ : Berat Jenis ρ : Berat Jenis (kg/cm 3 ) m : Massa (kg) d : Diameter Kayu (cm) V : Volume (cm 3 ) EMC : Equilibrium Moisture Content σ : Stress (N) F : Gaya Tekan / Tarik (N) A : Luas

Lebih terperinci

PERILAKU BALOK BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN PELAT BAJA DALAM MEMIKUL LENTUR (Penelitian) NOMI NOVITA SITEPU

PERILAKU BALOK BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN PELAT BAJA DALAM MEMIKUL LENTUR (Penelitian) NOMI NOVITA SITEPU PERILAKU BALOK BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN PELAT BAJA DALAM MEMIKUL LENTUR (Penelitian) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : 1. Kayu Bangunan Struktural : Kayu Bangunan yang digunakan untuk bagian struktural Bangunan dan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin-

KATA PENGANTAR. telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin- KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin- Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI

VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI 1 VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI SKRIPSI ANDRIAN TELAUMBANUA 111201059/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

) DAN ANALISIS PERKUATAN KAYU GLULAM BANGKIRAI DENGAN PELAT BAJA

) DAN ANALISIS PERKUATAN KAYU GLULAM BANGKIRAI DENGAN PELAT BAJA ABSTRAK STUDI ANALISIS KINERJA BANGUNAN 2 LANTAI DAN 4 LANTAI DARI KAYU GLULAM BANGKIRAI TERHADAP BEBAN SEISMIC DENGAN ANALISIS STATIC NON LINEAR (STATIC PUSHOVER ANALYSIS) DAN ANALISIS PERKUATAN KAYU

Lebih terperinci

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal 1 Ruang lingkup Spesifikasi ini memuat ketentuan mengenai jenis, ukuran, persyaratan modulus elastisitas dan keteguhan lentur mutlak

Lebih terperinci

PERILAKU KERUNTUHAN BALOK BETON BERTULANG TULANGAN GANDA ABSTRAK

PERILAKU KERUNTUHAN BALOK BETON BERTULANG TULANGAN GANDA ABSTRAK PERILAKU KERUNTUHAN BALOK BETON BERTULANG TULANGAN GANDA David Marteen Tumbur Sinaga NRP: 0321008 Pembimbing: Yosafat aji Pranata, ST., MT. ABSTRAK Salah satu bagian struktural suatu konstruksi yang memiliki

Lebih terperinci

Metode pengujian lentur posisi tegak kayu dan bahan struktur. bangunan berbasis kayu

Metode pengujian lentur posisi tegak kayu dan bahan struktur. bangunan berbasis kayu Metode pengujian lentur posisi tegak kayu dan bahan struktur 1 Ruang lingkup bangunan berbasis kayu Metode pengujian ini menyediakan penurunan sifat lentur posisi tegak kayu dan bahan struktur bangunan

Lebih terperinci

PENGARUH CAMPURAN KADAR BOTTOM ASH DAN LAMA PERENDAMAN AIR LAUT TERHADAP LENDUTAN PADA BALOK

PENGARUH CAMPURAN KADAR BOTTOM ASH DAN LAMA PERENDAMAN AIR LAUT TERHADAP LENDUTAN PADA BALOK PENGARUH CAMPURAN KADAR BOTTOM ASH DAN LAMA PERENDAMAN AIR LAUT TERHADAP LENDUTAN PADA BALOK Muhadi Wiji Novianto Dosen Pembimbing : 1. Ir. Ristinah S., MT 2. Roland Martin Simatupang, ST., MT Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya yang terdiri dari bahan semen hidrolik ( portland cement), agregat kasar, agregat halus, air dan bahan tambah (admixture

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SKRIPSI Oleh: MARIAH ULFA 101201035 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG Bobly Sadrach NRP : 9621081 NIRM : 41077011960360 Pembimbing : Daud Rahmat Wiyono, Ir., M.Sc FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Lebih terperinci

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan struktural yang dipilah masinal

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan struktural yang dipilah masinal Pd S-01-2005-C Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan struktural yang dipilah masinal DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Daftar isi Daftar isi.i Prakata....ii 1 Ruang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

8. Sahabat-sahabat saya dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu yang telah membantu dalam menyelesaikan dan menyusun Tugas Akhir ini.

8. Sahabat-sahabat saya dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu yang telah membantu dalam menyelesaikan dan menyusun Tugas Akhir ini. KATA HANTAR Puji dan syukur yang melimpah kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala cinta kasih, berkat, bimbingan, rahmat, penyertaan dan perlindungan-nya yang selalu menyertai sehingga penulis dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON. Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo

SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON. Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo Abstraksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat-sifat fisika kayu keruing dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara 0.2-1.28 kg/cm 3. Berat jenis kayu merupakan suatu petunjuk dalam menentukan kekuatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Mei sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,

Lebih terperinci