BAB I PENDAHULUAN. Kepemimpinan adalah suatu gejala sosial yang menarik, karena

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Kepemimpinan adalah suatu gejala sosial yang menarik, karena"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan adalah suatu gejala sosial yang menarik, karena peranannya yang tak terpisahkan dari kegiatan masyarakat. Ia mempunyai sifat yang universal, yang selalu ada dan senantiasa diperlukan pada setiap usaha bersama manusia, karena menyangkut masalah relasi dan saling mempengaruhi antar pemimpin dan yang dipimpin (Kartono, 2010). Hal tersebut telah melahirkan fenomena hubungan antara dua pihak dimana pihak pertama memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mengatur orang atau kelompok lain, sedangkan seseorang atau kelompok lain sebagai pihak yang diatur. Jika kekuasaan tersebut diwujudkan dalam diri seseorang, maka orang yang memiliki kekuasaan ini dinamakan pemimpin, sedangkan pihak yang menerima pengaruh dinamakan pengikut (Setiadi, 2011). Pada awalnya, kepemimpinan lahir bersamaan dengan timbulnya peradaban manusia, yakni sejak dimulainya hidup dan interaksi sosial antara individu. Interaksi itu menyebabkan terjadinya hubungan satu sama lain dan membentuk suatu ikatan sosial yang terwujud dengan pengadaan kelompok. Selo Soemarjan (Soekanto, 2009) mengatakan sejak mula terbentuknya suatu kelompok sosial, seseorang atau beberapa orang diantara warga-warganya melakukan peranan yang lebih aktif daripada rekan-rekannya. Peran orang tadi atau beberapa orang tampak lebih menonjol dari lainnya. 1

2 Kepemimpinan dapat ditemukan pada setiap lembaga sosial, mulai dari unit sosial terkecil, yakni keluarga, desa dan negara, juga pada tingkat lokal, regional dan nasional bahkan internasional di setiap tempat dan waktu. Kepemimpinan diperlukan untuk menggerakkan dan mengorganisasi manusia dalam kehidupan bersama. Dalam sejarah peradaban manusia, pemikiran tentang kepemimpinan selalu dikaitkan dengan laki-laki (Klenke, 1996). Pemimpin selalu diposisikan kepada laki-laki. Bilamana perempuan menjadi pemimpin harus memenuhi standard kepemimpinan laki-laki yang diakui efektivitasnya sebagai pemimpin, sehingga perempuan untuk menjadi pemimpin bukanlah proses yang mudah. Sulitnya perempuan menjadi pemimpin diasumsikan adanya stereotipe yang melihat perempuan mahluk yang lemah dan laki-laki adalah mahluk yang kuat. Laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti kuat, keras, rasional, berani, gagah dan perkasa. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminim seperti halus, lemah, perasa, sopan, cantik dan penakut (Fakih, 2004). Stereotipe tersebut akhirnya membuat konstruksi sosial adanya pembagian ruang berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ruang domestik menjadi daerah milik perempuan sementara ruang publik menjadi milik laki-laki. Pada gilirannya, pembagian ruangan ini menjadikan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci piring, mengasuh anak, juga memelihara ternak, mengambil air dan mengumpulkan hasil panen oleh sebagian masyarakat masih dianggap pekerjaan perempuan. Jenis pekerjaan laki-laki seperti berburu, memperbaiki rumah, menebang pohon, ikut dalam rapat-rapat dan pertemuan. 2

3 Konstruksi sosial seperti inilah yang dikandung dalam masyarakat patriarki. Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Demikian juga Salomon (dalam Budiman, 2000) mengatakan bahwa di antara sekian banyak mitos yang selama ini membingkai persepsi masyarakat adalah mitos perempuan sebagai istri, ibu, sebuah mitos gender yang menunjukkan hegemoni laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Mengutip pendapat Masudi, Faturochman (2002) mengatakan bahwa sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender. Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan lingkungan dan pergeseran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dihindari oleh masyarakat. Pembagian kerja dalam sistem patriarki yang selama ini terjadi dalam banyak komunitas masyarakat dunia, telah mengalami pergeseran. Saat ini batas sektor publik dan domestik sebagai batas antara wilayah laki-laki dan perempuan menjadi kabur. Perempuan saat ini telah turut mengambil peran di ruang publik. Posisi perempuan sebagai pemimpin di ruang publik menunjukkan kecenderungan 3

4 adanya peningkatan di antaranya adanya perempuan yang menjadi pimpinan di beberapa instansi pemerintah dan swasta. Kondisi inipun semakin terbuka didorong oleh faktor-faktor perubahan zaman yang cukup pesat terutama di era globalisasi. Menjadi pemimpin adalah hak setiap warga negera baik laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Ini sudah sejak lama dideklrasikan dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (1948) yang telah disetujui oleh Negara-negara anggota PBB, termasuk oleh Indonesia menyebutkan sejumlah pasal yang memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih pemimpin maupun menjadi pemimpin. Kita, sebagai warga Perserikatan Bangsa Bangsa, menjamin penetapan kembali atas pengakuan hak-hak politik manusia, harkat dan martabat individu, dan persamaan hak-hak antara laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Setiap warga negara Republik Indonesia baik laki-laki maupun perempuan sepanjang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan berhak menjadi pemimpin. Ini ditegaskan dalam Peraturan Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu bahwa perempuan berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Indonesia berkomitmen untuk menjalankan prinsip kesetaraan gender melalui berbagai komitmen nasional dan internasional. Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Faktanya masih banyak kendala di masyarakat jika perempuan menjadi pemimpin. Ini terlihat dari adanya perbedaan pendapat di kalangan masyarakat luas mengenai kepemimpinan perempuan. Menurut Klenke (1996), perempuan 4

5 untuk tampil sebagai pemimpin diibaratkan sebagai fenomena atap kaca atau glass ceiling (seolah tanpa halangan), yaitu adanya hambatan yang seolah-olah tidak terlihat, tembus pandang tetapi dalam kenyataannya merintangi akses perempuan dan kaum minoritas lain dalam menuju kepemimpinan puncak. Hambatan ini meliputi eksternal maupun internal. Dalam hambatan internal, penghambatnya berasal dari diri dan lingkungan terdekat: perempuan kurang percaya diri, terikat dengan persoalan keluarga (anak-anak, suami). Hambatan eksternal, penghambatnya berasal dari luar diri perempuan yaitu nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama dan sebagainya. Keterlibatan perempuan dalam mengisi kedudukan kepemimpinan di wilayah publik merupakan fenomena yang penting dalam era modernisasi dan globalisasi. Pada satu sisi, masuknya perempuan ke dalam wilayah kerja publik sebagai pemimpin memberikan gambaran adanya perubahan dalam masyarakat. Namun di sisi lain ketika perempuan sudah diterima menjadi pemimpin namun jumlah perempuan yang menjadi pemimpin tidak berimbang dengan banyaknya jumlah perempuan. Jumlah pemimpin perempuan tetap sangat terbatas (Saparinah, 2009). Kepemimpinan perempuan pun menjadi topik yang banyak dibicarakan ketika beredar satu buku yang disusun oleh pasangan penulis Amerika, John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Pasangan ini dalam bukunya yang menjadi populer di seluruh dunia, Megatrends 2000 (1990) telah meramalkan tahun 2000 sebagai dekade kepemimpinan perempuan. Pembahasan utama dalam buku tersebut adalah fakta angka perempuan Amerika dalam dunia bisnis. Ramalan ini 5

6 telah menggugah pengamat dan peneliti masalah perempuan di mancanegara dan di Indonesia untuk mengkaji sejauh mana kebenarannya. Kebangkitan kepemimpinan perempuan terjadi di berbagai bidang pekerjaan publik termasuk di Indonesia. Di bidang politik dan pemerintahan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada Pemilu tahun ,8% 18 % pada Pemilu tahun 2009 cukup substansif, di tahun 2009, hanya ada satu dari 33 orang Gubernur yang terpilih adalah perempuan (UNDP, 2010). Kebangkitan kepemimpinan perempuan pun terjadi dalam gereja di Indonesia, yakni bertambahnya perempuan yang menjadi pendeta (pemimpin umat). Gereja sebagai salah satu lembaga sosial di masyarakat yang ditata dalam keteraturan. Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya yang telah dipanggil ke luar dari kehidupan lama ke dalam kehidupan terang. Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya adalah organisasi yakni organisasi Gereja yang adalah tubuh Kristus memiliki sistem kepemimpinan. Dalam perkembangannya, khususnya dalam gereja-gereja Protestan, perempuan sudah mulai diterima menjadi pendeta. Fenomena yang sangat menarik dalam gereja sejauh ini jumlah pendeta perempuan semakin pesat pertambahannya namun pendeta perempuan belum banyak yang ikut serta dalam pengambilan keputusan. Fakta ini menjadi menarik untuk diteliti dalam kehidupan bergereja di Inodesia. Di tahun 2000-an ini jumlah pendeta perempuan sudah hampir menyamai jumlah pendeta laki-laki bahkan di beberapa gereja sudah melebihi jumlah pendeta laki-laki, misanya di GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) 60% pendetanya adalah perempuan (Wawancara dengan Pdt. Steven Kumenit, Sabtu, 25 Oktober 2014). Menurut Judo (Stephen (ed), 1995), sampai 6

7 akhir abad ke 20 gereja-gereja di Indonesia telah memberikan tempat bagi perempuan untuk tampil sebagai pemimpin yakni menjadi pendeta walaupun jumlahnya sedikit. Penerimaan perempuan untuk menjadi pendeta yang pada gilirannya akan menjadi pemimpin di gereja telah menunjukkan perkembangan walaupun pertumbuhannya sangat lambat. Dari catatan sejarah gereja atas penerimaan pendeta perempuan baik tahun berdirinya gereja tersebut dan tahun pentahbisan pendeta perempuan pertama sekali. Antara lain adalah GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah Utara) berdiri tahun 1850, pentahbisan pendeta perempuan pertama tahun GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) berdiri tahun 1843, pentahbisan pendeta perempuan yang pertama tahun GKPI berdiri tahun 1964, pentabisan pendeta perempuan pertama tahun BNKP berdiri tahun 1862 pentahbisan pendeta perempuan pertama tahun HKBP berdiri tahun 1824, pentahbisan pendeta perempuan pertama tahun 1986 (Gesine, 2008). Dari laporan Biro Wanita dari PGI tentang peranan wanita dalam gereja tahun 1983 mengungkapkan bahwa sekalipun gereja yang pada prinsipnya setuju untuk memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki semua jabatan gereja. Namun pada kenyataannya dari tingkat jemaat hingga tingkat sinode (lembaga pusat Gereja) perempuan menduduki posisi pimpinan masih teramat sedikit (Biro Wanita DGI, 1983). Kondisi ini menunjukkan sulitnya perempuan menjadi pemimpin di tengah-tengah gereja. Kepemimpinan perempuan di gereja secara normatif memiliki legitimasi yang sangat kuat, baik secara teologis, filosofis, maupun hukum. Namun budaya patriarki juga terinternasliasi dalam menginterpretasi ajaran-ajaran agama dan 7

8 penanaman nilai-nilai kepada anggotanya, termasuk dalam agama Kristen yang dibawa ke Indonesia. Injil yang dibawa ke daerah di Indonesia oleh misionaris Belanda turut menanamkan interpretasi Alkitab dalam perspektif patriarki. Pertemuan budaya lokal dengan kegiatan penginjilan yang patriarki menghasilkan gereja yang cenderung menganut sistem patriarki (kuasa ada pada laki-laki). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan masih sulit bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi pemimpin dalam Gereja. Seperti yang diungkapkan dalam tesis Pendeta Wanita Toraja (Priyanti,1998). Hambatan yang ada dalam tesis ini adalah ajaran dan tradisi agama Kristen yang patriarki yang dibawa oleh Zending yang memandang perempuan itu lebih rendah dari lakilaki. Perempuan untuk menjadi pendeta lama baru bisa diterima Padahal sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat Toraja, kedudukan perempuan sangat sentral. Sebagai masyarakat yang egaliter, kedudukan laki-laki dan perempuan setara. Di dalam agama suku, mereka mengenal To Burake, wanita imam, yang berperan sebagai pimpinan upacara tertinggi dalam upacara religi. Membahas tentang kepemimpinan pendeta perempuan di dalam Gereja Batak Karo Protestan (selanjutnya disebut GBKP) tidak bisa terlepas dari latar belakang masuk Injil kepada orang Karo. GBKP adalah gereja yang lahir dari buah pekabaran Injil oleh badan zending dari Belanda yakni NZG (Nederlands Zendelingegnootschap). Ajaran teologi yang dibawa oleh NZG ke Karo adalah teologi Calvinis. Pelopor dari ajaran calvinis ini adalah Johanes Calvin ( ). Johanes Calvin menegaskan bahwa laki-lakilah yang diciptakan segambar dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus a second degree, kelas dua, oleh 8

9 karena itu sepanjang zaman perempuan harus dikucilkan dari kepemimpinan publik (Douglas, 1985:53). Dalam tatanan organisasai, struktur GBKP dari sejak awal berdirinya telah menetapkan sistem tatanan bergereja (kepemimpinan dalam gereja) adalah berdasar kepada azas presbiterial sinodal (Cooley,1976). Presbiterial sinodal berasal dari kata presbyter, secara etimologis berarti. tua-tua atau yang dituakan dan GBKP menggunakan penerjemahan yang menyebutnya pelayan khusus atau pejabat gereja (yakni Pendeta, Pertua dan Diaken). Sinodal berasal dari kata synode yang diturunkan dari kata sun hodos, artinya berjalan bersama. Dengan sistem presbiterial sinodal ini, pendeta, pertua dan diaken di GBKP bersamasama menjalankan kepemimpinan dalam gereja. Sistem presbiterial sinodal ini wujud dalam sidang-sidang yang merupakan keputusan tertinggi yang mengikat setiap anggota GBKP. Kedudukan Pendeta, pertua atau diaken adalah sama hanya dibedakan oleh tugas pelayanan (Tata Gereja GBKP, 2010 Edisi Sinode). Dalam tatanan organisasi yang telah diwariskan dan dasar teologi calvinis inilah kepemimpinan di GBKP dilayankan. Kedudukan perempuan dalam pelayanan publik yang tidak terlalu diperhitungkan. Seiring dengan kehidupan budaya orang Karo yang pada dasarnya sudah memiliki latar belakang budaya patriarki dan patrilineal. Di mana garis keturunan diwariskan dari marga ayah (laki-laki), sehingga pada budaya Karo perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan diposisikan sebagai subordinat laki-laki. Ajaran agama yang dibawa oleh NZG ke orang Karo yang melahirkan GBKP sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki berjumpa dengan budaya orang Karo yang pada dasarnya adalah patriarki dan patrilineal. Walaupun para 9

10 misionaris sangat memperhatikan perempuan Karo dengan berbagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Namun untuk memberikan peluang bagi perempuan sebagai pemimpin di tengah gereja merupakan proses yang cukup panjang dan lama. Sehingga dalam sejarahnya baru pada tahun 1984 setelah 97 tahun berdiri GBKP memutuskan menerima perempuan menjadi pendeta berdasarkan keputusan sidang sinode GBKP yang ke XXIX, 5-11 November di Jakarta. Pentahbisan pendeta perempuan pertama dilakukan di GBKP pada tahun 1987 kepada Pdt Rosmalia br Barus, Sm.Th. Perempuan menjadi pendeta di GBKP setiap tahun jumlahnya semakin meningkat. sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini Tabel 1.1.Jumlah Pendeta Laki-laki dan Perempuan GBKP yang Ditahbiskan Tahun Jumlah Tahun Pendeta laki-laki Pendeta perempuan orang 6 orang orang 24 orang orang 26 orang orang 33 orang orang 14 orang Jumlah 58 orang 103 orang Sumber: Kantor Moderamen, Laporan SKS-SPK Data di atas menunjukkan bahwa saat ini ada kecenderungan peningkatan jumlah pendeta perempuan lebih banyak dari pendeta laki-laki. Secara keseluruhan dapat dilihat jumlah pendeta laki-laki dan pendeta perempuan di gereja sudah menunjukkan angka yang seimbang sebagaimana yang tertera pada tabel 1.2 berikut ini. 10

11 Tabel 1.2.Perbandingan Jumlah Pendeta Laki-laki dan Perempuan Tahun Jumlah Tahun Pendeta laki-laki Pendeta perempuan orang 111 orang orang 117 orang orang 141 orang orang 167 orang orang 200 orang Sumber: Kantor Moderamen GBKP,tahun 2014 Pertambahan ini merupakan fenomena yang patut untuk diteliti sehubungan dengan kepemimpinan di gereja GBKP. Sebagaimana diatur dalam Tata Gereja GBKP perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi pemimpin di GBKP baik itu pendeta, pertua dan diaken. (Tata Gereja GBKP, 2010:5). Di bawah ini ada data yang menunjukkan pendeta perempuan di GBKP yang memiliki posisi pada struktur kepemimpinan dalam tabel 1.3 berikut ini. 11

12 Wilayah pelayanan Tabel 1.3. Posisi Pendeta Perempuan di GBKP dalam Struktur Kepemimpinan di Gereja Jabatan Moderamen Ketua Umum (1) Ketua Bidang (5) Sekretaris /Wkl (2) Bendahara(1 Anggota(2) Klasis (22 klasis) Ketua Sekretaris Ketua Bidang Runggun (528) Ketua Majelis Pendeta Ketua Majelis Non Pdt Perempuan Jenis kelamin Jumlah Laki-laki Sumber: Statistik GBKP 2013 Gambaran data tersebut di atas menunjukkan walaupun pendeta perempuan telah diperbolehkan menjadi pemimpin namun dari sisi jumlah tidak setara dengan para laki-laki yang menjadi pemimpin dalam menduduki posisi dalam struktur baik itu di Majelis Jemaat (Runggun), Klasis dan Sinode (Moderamen). Kondisi ini menunjukkan ada perbedaan perlakuan terhadap pendeta perempuan dan pendeta laki-laki. Perempuan masih sulit untuk masuk sebagai pelaksana yang memiliki posisi dalam struktural. Dalam organisasi gereja, GBKP menganut sistem presbiterial-sinodal. Organisasi gereja dipahami sebagai penataan jemaat (kepemimpinan) yang didasarkan kepada asas kesatuan dan kebersamaan (kolegial) para pejabat gereja yakni pendeta, pertua dan diaken yang selanjutnya akan disebut dengan majelis jemaat. Jabatan pendeta, pertua dan diaken menjadi unsur-unsur pokok yang berperan utama dalam kepemimpinan GBKP dalam menata jemaat. Untuk 12

13 melaksanakan misi gereja sebagai cerminan kepemimpinan Kristus terhadap setiap dan seluruh orang percaya. Sistem kepemimpinan itu menempatkan majelis jemaat selalu bermusyawarah dalam persidangan secara berkala sesuai dengan ketentuan tata gereja. Praktek kepemimpinan dimaksudkan sebagai aktivitas penataan kehidupan gereja sesuai dengan struktur organisasinya. Dalam kerangka struktur organisasi GBKP, penataan dilakukan melalui ketiga level satuan yang ada yakni: Jemaat/Runggun (level terkecil), Klasis (level menengah) dan Moderamen (level tertinggi) sebagai pelaksana sinodal. Pada masing-masing satuan, kegiatan kepemimpinan mencakup dua hal pokok yaitu pengambilan keputusan dan pelaksanaannya. Secara struktural, masing-masing susunan ini meliputi seluruh warga jemaat dan pelayan khusus pada levelnya serta memiliki sebuah badan pekerja sebagai satuan kelompok kecil, yang bertugas melaksanakan pengorganisasian pelayanan di wilayahnya (lihat lampiran L-4). 1. Moderamen Sinode adalah persekutuan seluruh jemaat yang merupakan perwujudan Keesaan GBKP. Koordinator pelaksana Sidang Sinode adalah Moderamen. Yang merupakan persekutuan kerja para pelayan khusus yang mengemban tugas kepemimpinan gereja atas keseluruhan GBKP yang dipilih oleh sidang sinode. Moderamen terdiri dari seorang ketua umum, dari unsur pendeta, ketua bidang marturia dari unsur pendeta, ketua bidang koinonia dari unsur pendeta, ketua bidang diakonia dari unsur pendeta, ketua bidang personalia dan sumber dayan manusia dari unsur pendeta, ketua bidang dana dan usaha dari unsur pertua atau 13

14 diaken, sekretaris umum dari unsur pendeta, wakil sekretaris dari unsur pertua atau diaken, seorang bendahara dari unsur pertua atau diaken, dua orang anggota, dari unsur pertua atau diaken. (Tata Gereja GBKP, 2010: 23, 24) 2. Klasis Klasis, adalah wujud kesatuan dan persekutuan beberapa jemaat dalam satu wilayah yang dibentuk berdasarkan kebutuhan demi perkembangan pelaksanaan panggilandan tugas gereja. Syarat pembentukannya adalah minimal 20 jemaat dan sekurang-kurangnya anggota sidi, memiliki paling tidak 5 orang pendeta dan mampu membiayai sendiri yang menjadi kebutuhan wilayah bersangkutan. Badan Pekerja Klasis adalah pelaksana harian klasis dan mengkoordinasikan pelayanan jemaat di wilayahya serta membina dan mengawasinya. BP ini dipilih dalam sidang klasis, terdiri dari ketua dari unsur pendeta, ketua bidang koinonia dari unsur pendeta, ketua bidang marturia dari unsur pertua, ketua bidang diakonia dari unsur diaken, sekretaris dari unsur pendeta atau pertua atau diaken, wakil sekretaris dari unsur pertua atau diaken, bendahara dari unsur pertua atau diaken, 2 orang anggota dari unsur pendeta, pertua, diaken. (Tata Gereja GBKP, 2010). 3. Jemaat/ Runggun Menurut Tata Gereja GBKP, Jemaat adalah persekutuan orang percaya yang beribadat, bersaksi dan melayani di suatu daerah atau tempat yang telah mempunyai sedikitnya 200 anggota sidi dan Majelis Jemaat. Syarat-syarat menjadi Jemaat: telah mampu membiayai pelayanan, memiliki tempat ibadah, memiliki kelengkapan administrasi, mampu mengatur dan melaksanakan tugas 14

15 panggilan gereja dan di dalam jemaat terdiri dari beberapa sector dan kemungkinan ada bakal jemaat. Majelis Jemaat adalah persekutuan kerja para pejabat gereja yang mengemban peran kepemimpinan di jemaat setempat untuk melaksanakan tugas panggilan gereja. Sebagai pengelola kegiatan dan pelaksanaan administrasi serta mewakili wewenang satuan Majelis Jemaat dalam tugas sehari-hari, diangkat Badan Pekerja Majelis Jemaat yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Jika Jemaat tersebut mempunyai Pendeta, biasanya Pendeta itulah yang menjabat ketua majelis yang ditetapkan melalui persidangan majelis jemaat (Tata Gereja GBKP, 2010). Dalam tabel 1.3 (hal 11, Bab I, tesis) menunjukkan dalam struktur gereja GBKP laki-laki lebih banyak menduduki posisi dalam struktur daripada perempuan. Ini antara lain karena anggota majelis jemaat didominasi oleh lakilaki. Tentang posisi perempuan dalam struktur kepemimpinan GBKP dapat dikatakan masih lemah, sebab sampai sekarang masih sedikit terlihat adanya pendeta perempuan yang menduduki jabatan inti pada kepengurusan organisasi GBKP dalam setiap level satuan, kecuali menyangkut seksi pelayanan kategorial seperti organisasi kaum ibu (Moria), sekolah Minggu (KA-KR). Dari gambaran terdahulu di atas terlihat bahwa peran pendeta perempuan dalam kepemimpinan GBKP secara relatif masih sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh beberapa pengaruh, antara lain: 1. Faktor budaya, yang selalu cenderung menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan 15

16 2. Faktor sosiologis-psikologis praktis, artinya pertimbanganyang didasarkan pada kemampuan gerak laki-laki lebih bebas dan dinamis dibanding perempuan 3. Faktor senioritas, pendeta perempuan umumnya masih relatif muda dari segi umur dan pengalaman, kurang memperoleh peluang dalam jabatan kepemimpinan struktural (Pdt Efrata Tarigan, 1997). Kenyataan menunjukkan pendeta perempuan di GBKP masih sangat sedikit menduduki posisi dalam struktural sekalipun jumlah perempuan yang mejadi pendeta sudah semakin banyak. Ini mendorong peneliti melakukan penelitian tentang kepemimpinan pendeta perempuan di GBKP Klasis Medan Namorambe yang mencakup wilayah pelayanannya di sekitar kotamadya Medan dan Kabupaten Deliserdang. Peneliti memilih lokasi penelitian ini dengan alasan bahwa warga Karo ada di daerah ini, gereja GBKP ada 20 jemaat dan reprensentatif untuk mejadi obyek penelitian. Klasis inipun mayoritas dilayani oleh pendeta perempuan dan dipimpin oleh ketua Klasis pendeta perempuan. Di GBKP, klasis adalah wujud kesatuan dan persekutuan beberapa jemaat dalam satu wilayah yang dibentuk berdasarkan kebutuhan demi perkembagan pelaksanaan, panggilan dan tugas gereja. Pada saat ini GBKP terdiri dari 22 klasis yang meliputi seluruh daerah di Indonesia. Dalam 22 klasis ini terdiri dari 533 jemaat, yang terdiri dari jiwa yang ada dalam kepala keluarga, dilayani oleh 391 pendeta aktif, 6357 pertua dan 3749 diaken Wilayah klasis Medan Namorambe meliputi 20 jemaat yang tersebar di kabupaten Deli Serdang dan kotamadya Medan, khususnya ada di 4 kecamatan: Kecamatan Medan Tuntungan, Pancur Batu, Namorambe, dan Medan Johor. Merupakan jemaat perkotaan ( 4 jemaat) dan jemaat pedesaan (16 Jemaat) 16

17 Jumlah anggota jemaat : jiwa yang ada dalam 3734 kepala keluarga. Dilayani oleh 15 orang pendeta aktif : 8 orang pendeta laki-laki dan 9 orang pendeta perempuan; 323 anggota Majelis (134 perempuan dan 189 laki-laki). Penelitian ini tidak dapat dilakukan kepada seluruh Jemaat Klasis Medan Namorambe, tetapi dilaksanakan berdasarkan sampel yang dianggap representatif (Bungin, 2001:103). Sehubungan dengan itu, penulis mengambil tiga jemaat yaitu; 1. GBKP Runggun Simpang Selayang 2. GBKP Runggun Namo Bintang 3. GBKP Runggun Namo Pinang Ketiga Runggun ini menurut penulis sudah presentatif untuk mendeskripsikan bagaimana kepemimpinan pendeta perempuan di GBKP. Ketiga Runggun ini sudah mewakili jemaat GBKP di desa, pinggiran kota dan kota. GBKP Runggun Simpang Selayang mewakili jemaat kota, GBKP Runggun Namobintang mewakili jemaat pinggiran kota, GBKP Runggun Namopinang mewakili jemaat desa. Ketiga jemaat ini dipimpin/dilayani oleh pendeta perempuan. Berdasarkan tujuan utama penelitian ini, peneliti melakukan untuk mengetahui kepemimpinan pendeta perempuan di GBKP dalam persepsi pertua dan diaken yang selanjutnya akan disebut majelis jemaat. Penggolongan atas kategori jemaat perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan dilakukan mengingat setiap kategori tersebut memiliki karakteristik sendiri yang tidak lepas dari pengaruh dan situasi dari lingkungan masing-masing. Jemaat perkotaan dicirikan oleh warganyan yang bersifat heterogen dalam hal profesi, pendidikan, status sosial ekonomi, gaya hidup perkotaan yang bervariasi dengan 17

18 aneka kebutuhan dan tuntutan hidup. Jemaat pinggiran kota adalah jemaat transisi yang sedang mengalami perubahan dari desa ke kota. Jemaat pedesaan terdiri dari warga jemaat yang relatif homogen dengan ciri-ciri gaya hidup yang masih didominasi oleh nilai-nilai budaya etnik bersangkutan, dengan mata pencaharian pertanian dan taraf pendidikan rata-rata sekolah dasar. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan kepemimpinan pendeta perempuan GBKP dalam struktural. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, struktural adalah berkenaan dengan struktur yakni, cara sesuatu disusun atau dibangun. Dalam sosiologis, struktur adalah sebagai perangkat aturan dan sumberdaya. Sifat-sifat struktural mengekspresikan bentuk-bentuk dominasi dan kekuasaan (Giddens, 2003). Struktural menurut peneliti adalah berhubungan dengan kekuasaan yakni hak untuk bisa menetapkan dan mengambil keputusan. Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana persepsi pertua dan diaken (selanjutnya disebut majelis) GBKP terhadap kepemimpinan pendeta perempuan. Peneliti tidak membedakan antara pertua dan diaken karena sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian bahwa jabatan pertua dan diaken dalam gereja memiliki kekuasaan yang sama. Dalam struktur kepemimpinan GBKP yang bersifat periodesasi (5 tahun satu periode) maka para majelis inilah yang akan bersidang untuk memilih pemimpin di setiap wilayah pelayanan sebagaimana yang telah diatur dalam tata gereja GBKP. Dalam tulisan ini peneliti kemudian menyebutnya dengan majelis. Majelis inilah yang menjadi pengambil keputusan di GBKP sesuai dengan sistem organisasi GBKP yang berazas presbiterial sinodal, 18

19 1.2. Rumusan Masalah Pertambahan jumlah perempuan menjadi pendeta di GBKP yang semakin banyak namun berbanding terbalik dengan jumlah pendeta perempuan yang sedikit duduk dalam struktural baik di runggun, klasis dan Moderamen. mendorong penulis meneliti dengan merumuskan permasalahan: 1. Bagaimana sebenarnya persepsi majelis terhadap pendeta perempuan yang duduk sebagai ketua di posisi struktural? 2. Mengapa sedikit kepemimpinan Pendeta perempuan di GBKP dalam struktural? 3. Bagaimanakah sebenarnya pandangan Pendeta perempuan terhadap sedikitnya pendeta perempuan dalam struktural? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis bertujuan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Mengetahui persepsi majelis terhadap pendeta perempuan yang duduk sebagai ketua di posisi struktural. 2. Mengetahui kepemimpinan pendeta perempuan dalam struktural di GBKP. 3. Mengetahui pandangan Pendeta perempuan tehadap sedikitnya pendeta perempuan dalam struktural. Untuk melakukan penelitian tersebut maka penulis membatasi diri dengan meneliti tiga orang pendeta perempuan, dan seluruh majelis Klasis Medan Namorambe di tiga jemaat yakni Runggun Simpang Selayang, Runggun Namo Bintang dan Runggun Namo Pinang. 19

20 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah bagi GBKP, munculnya kesadaran pada GBKP bahwa jumlah pendeta perempuan yang semakin besar akan mendorong GBKP untuk meningkatkan pemberdayaan pendeta perempuan terutama dalam kepemimpinan. Jumlah yang semakin besar didukung dengan SDM yang baik akan menghasilkan pendeta perempuan yang berkualitas. Tulisan ini bermanfaat penyadaran kepada pendeta perempuan bahwa tantangan terbesar bagi kepemimpinan perempuan adalah ketidaksiapan perempuan menjadi pemimpin di tengah pengaruh budaya yang patrarki, beban ganda yang diberikan kepada perempuan dengan konstruksi sosial yang bias gender. Tantangan ini dihadapi dengan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin dan bekerjasama dengan laki-laki. Manfaat dari tulisan ini juga akan memberikan pemahaman bahwa dominasi kekuasaan laki-laki yang besar dipengaruhi oleh ajaran agama (teologia calvinis) budaya lokal masyarakat (budaya patriarki) merupakan tantangan bagi kepemimpinan perempuan. Pemahaman yang sudah ada tidak menjadi kemutlakan namun menyadari ada perubahan seiring denga perubahan pada masyarakat itu sendiri. Ada gerakan-gerakan perubahan antara lain gerakan feminisme baik dalam masyarakat dan juga gereja yang mengubah pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Meningkatnya pemberdayaan pendeta perempuan dalam kepemimpinan di gereja akan berdampak dalam kemajuan bangsa dan negara. Sebagai pemimpin, guru dan gembala pendeta perempuan akan memberikan sumbangan yang membangun di tengah peningkatan ketakwaan umat. Sumbangsih perempuan sebagai pemimpin tidak akan kalah dari sumbangsih laki-laki. 20

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kepemimpinan merupakan hal yang penting berada dalam gereja. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan gereja sebagai organisasi. Dalam teori Jan Hendriks mengenai jemaat

Lebih terperinci

POKOK POKOK PERATURAN (P2P) MAMRE GBKP

POKOK POKOK PERATURAN (P2P) MAMRE GBKP Rumusan Amandemen P2P MAMRE GBKP POKOK POKOK PERATURAN (P2P) MAMRE GBKP 2015 2020 BAB I HAKEKAT, KEDUDUKAN DAN TUGAS PANGGILAN Pasal 1 Nama dan Kedudukan 1. Perbapan (Kaum Bapak) merupakan salah satu Lembaga

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP Pada bagian ini penulisan akan dibagi menjadi dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. 5.1.KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Gereja adalah persekutuan orang percaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk memperoleh data lapangan guna. penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk memperoleh data lapangan guna. penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Untuk memperoleh data lapangan guna penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif sangat mengandalkan manusia

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PELAYANAN (GBP) KAKR GBKP

GARIS-GARIS BESAR PELAYANAN (GBP) KAKR GBKP GARIS-GARIS BESAR PELAYANAN (GBP) KAKR GBKP 2010-2015 Pendahuluan Kebaktian Anak Kebaktian Remaja (KAKR) adalah salah satu wadah beribadah dan pengembangan iman para anak dan remaja GBKP, yang juga adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai Runggun dan termasuk di dalam lingkup Klasis Jakarta-Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai Runggun dan termasuk di dalam lingkup Klasis Jakarta-Bandung. BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan 1. Latar Belakang Masalah Gereja 1 dipahami terdiri dari orang-orang yang memiliki kepercayaan yang sama, yakni kepada Yesus Kristus dan melakukan pertemuan ibadah secara

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB PEMBUKAAN Sesungguhnya Allah didalam Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Ia adalah sumber kasih, kebenaran, dan hidup, yang dengan kuat kuasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki 44 wilayah klasis, 2.504 jemaat, dengan jumlah warga mencapai 1.050.411 jiwa yang dilayani oleh 1.072 pendeta, (Lap. MS-

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN Masyarakat Karo terkenal dengan sikap persaudaraan dan sikap solidaritas yang sangat tinggi. Namun ironisnya sikap persaudaraan dan kekerabatan yang mewarnai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja adalah persekutuan orang percaya yang dipanggil oleh Allah dan diutus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia, ini merupakan hakikat gereja. Gereja juga dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat Karo adalah masyarakat yang menganut sistem patriaki, yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat Karo adalah masyarakat yang menganut sistem patriaki, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Karo adalah masyarakat yang menganut sistem patriaki, yang artinya garis keturunan berdasarkan ayah. Hal ini jelas dilihat dari kehidupan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Gereja adalah suatu kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus 1. Sebagai kehidupan bersama religius,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu:

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu: IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu: (1) Kelurahan Kedaton, (2) Kelurahan Surabaya, (3) Kelurahan Sukamenanti, (4) Kelurahan Sidodadi, (5) Kelurahan Sukamenanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Secara umum gereja berada di tengah dunia yang sedang berkembang dan penuh dengan perubahan secara cepat setiap waktunya yang diakibatkan oleh kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Pada umumnya dipahami bahwa warga gereja terdiri dari dua golongan, yaitu mereka yang dipanggil penuh waktu untuk melayani atau pejabat gereja dan anggota jemaat biasa.

Lebih terperinci

3. Sistem Rekrutmen Pengerja Gereja (vikaris) Gereja Kristen Sumba

3. Sistem Rekrutmen Pengerja Gereja (vikaris) Gereja Kristen Sumba 3. Sistem Rekrutmen Pengerja Gereja (vikaris) Gereja Kristen Sumba 3.1 Selayang Pandang Gereja Kristen Sumba Gereja Kristen Sumba adalah gereja yang berada di pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gereja merupakan persekutuan orang-orang percaya di dalam Kristus.

BAB I PENDAHULUAN. Gereja merupakan persekutuan orang-orang percaya di dalam Kristus. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Gereja merupakan persekutuan orang-orang percaya di dalam Kristus. Dasar kesaksian dan pelayanan gereja adalah Kristus. Kekuasaan dan kasih Kristus tidak terbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan A.1. Latar belakang permasalahan Harus diakui bahwa salah satu faktor penting di dalam kehidupan masyarakat termasuk kehidupan bergereja adalah masalah kepemimpinan.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.1.a Pengertian Emeritasi Secara Umum Emeritasi merupakan istilah yang tidak asing di telinga kita. Dalam dunia pendidikan kita mengetahui adanya profesor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tana Toraja merupakan salah satu daerah yang memiliki penduduk mayoritas beragama Kristen. Oleh karena itu bukan hal yang mengherankan lagi jikalau kita menjumpai

Lebih terperinci

KEPEMIMPINAN PENDETA PEREMPUAN DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) DI KLASIS MEDAN NAMORAMBE: SUATU TINJAUAN FENOMENOLOGIS TESIS OLEH

KEPEMIMPINAN PENDETA PEREMPUAN DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) DI KLASIS MEDAN NAMORAMBE: SUATU TINJAUAN FENOMENOLOGIS TESIS OLEH KEPEMIMPINAN PENDETA PEREMPUAN DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) DI KLASIS MEDAN NAMORAMBE: SUATU TINJAUAN FENOMENOLOGIS TESIS OLEH IRAMA Br PURBA 127047004 SEKOLAH PASCA SARJANA SOSIOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pekabaran Injil (PI) atau penginjilan sering disebut juga dengan evangelisasi atau evangelisme, 1 merupakan salah satu bentuk misi Gereja. Kata Injil yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gereja di Papua yang dikenal sebagai Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI TP)

BAB I PENDAHULUAN. Gereja di Papua yang dikenal sebagai Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI TP) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gereja di Papua yang dikenal sebagai Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI TP) mulai disebut sebagai suatu gereja mandiri yaitu melalui sidang sinode umum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN MAHASISWA KRISTEN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN MAHASISWA KRISTEN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN MAHASISWA KRISTEN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG BAB I PEMBUKAAN Mahasiswa Kristen Institut Teknologi Bandung sebagai bagian dari umat Allah di Indonesia memiliki tugas dan tanggung

Lebih terperinci

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tidak dapat dipungkiri bahwa ada begitu banyak tuntutan, tanggungjawab dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pendeta jemaat. Dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk kepada anak-anak. Mandat ini memberikan tempat bagi anak-anak untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk kepada anak-anak. Mandat ini memberikan tempat bagi anak-anak untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika Tuhan Yesus naik ke surga, Ia memberikan mandat kepada seluruh murid untuk pergi ke seluruh dunia dan menjadikan semua bangsa menjadi muridnya (Matius

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja

Lebih terperinci

Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan. di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tesis. Diajukan kepada

Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan. di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tesis. Diajukan kepada Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tesis Diajukan kepada Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama untuk Memperoleh Gelar Magister Sosiologi Agama oleh

Lebih terperinci

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA PENDAHULUAN Telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa setiap orang baik laki-laki dan perempuan dipanggil untuk bergabung dalam

Lebih terperinci

TATA GEREJA PEMBUKAAN

TATA GEREJA PEMBUKAAN TATA GEREJA PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya gereja adalah penyataan Tubuh Kristus di dunia, yang terbentuk dan hidup dari dan oleh Firman Tuhan, sebagai persekutuan orang-orang percaya dan dibaptiskan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PENJELASAN ISTILAH (1) Tata Gereja GKJ adalah seperangkat peraturan yang dibuat berdasarkan Alkitab sesuai dengan yang dirumuskan di dalam Pokok-pokok Ajaran GKJ dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diberikan saran penulis berupa usulan dan saran bagi GMIT serta pendeta weekend.

BAB V PENUTUP. diberikan saran penulis berupa usulan dan saran bagi GMIT serta pendeta weekend. BAB V PENUTUP Setelah melalui tahap pembahasan dan analisis, maka selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Timbulnya anggapan bahwa perempuan merupakan kaum lemah masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan perempuan yang telah di konstruksikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. desa maupun kota, termasuk di Kecamatan Medan Selayang. Medan, dan GBKP Runggun Sunggal-Asam Kumbang Medan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. desa maupun kota, termasuk di Kecamatan Medan Selayang. Medan, dan GBKP Runggun Sunggal-Asam Kumbang Medan. 63 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 Kesimpulan Gereja Batak Karo Protestan adalah gereja protestan yang melayani masyarakat Suku Batak Karo. Gereja masyarakat Karo ini berdiri sejak 18 April 1890 di Tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat tidak dapat dihindari. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (10/2), mencatat ekonomi Indonesia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan arus globalisasi, maka muncul pula persoalan-persoalan baru yang harus dihadapi oleh sumber daya manusia yang ada di dalam Gereja. Oleh

Lebih terperinci

BAB I

BAB I BAB I PENDAHULUAN 11. LATAR BELAKANG Kepemimpinan yang baik merupakan salah satu syarat bagi pertumbuhan, kestabilan, dan kemajuan kelompok apa pun. Ini berlaku bagi kelompok berskala raksasa, seperti

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I. berasal dari bahasa Yunani, yaitu ekklesia (ek= dari, dan kaleo=memanggil), yaitu

BAB I. berasal dari bahasa Yunani, yaitu ekklesia (ek= dari, dan kaleo=memanggil), yaitu BAB I A. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa Gereja hadir karena Tuhan Yesus memanggil umat manusia unuk menjadi pengiring-nya (murid). Mereka dipanggil dalam sebuah persekutuan dengan Dia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan visi dan misinya. Karena itu organisasi mempunyai sistem dan mekanisme yang diterapkan sebagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan di kota saat ini mulai dipenuhi dengan aktivitas yang semakin padat dan fasilitas yang memadai. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri oleh gereja-gereja

Lebih terperinci

BAB III. Deskripsi Proses Perumusan Tema-Tema Tahunan GPIB. 1. Sejarah Singkat GPIB. GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) adalah bagian

BAB III. Deskripsi Proses Perumusan Tema-Tema Tahunan GPIB. 1. Sejarah Singkat GPIB. GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) adalah bagian BAB III Deskripsi Proses Perumusan Tema-Tema Tahunan GPIB 1. Sejarah Singkat GPIB GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) adalah bagian dari GPI (Gereja Protestan Indonesia) yang dulunya bernama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi baik itu organisasi profit. maupun non profit memiliki kebijakan mutasi.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi baik itu organisasi profit. maupun non profit memiliki kebijakan mutasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap organisasi baik itu organisasi profit maupun non profit memiliki kebijakan mutasi. Kebijakan mutasi ini dalam organisasi profit berkaitan erat dengan pengembangan

Lebih terperinci

BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI

BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI PASAL 13 : BADAN PENGURUS SINODE Badan Pengurus Sinode adalah pimpinan dalam lingkungan Sinode yang terdiri dari wakil-wakil jemaat anggota yang bertugas menjalankan fungsi

Lebih terperinci

TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN

TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN [1] Allah adalah Pencipta langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia yang diciptakan menurut gambar- Nya. Allah menciptakan segalanya baik namun dosa manusia menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Desa Sugau Nama desa secara administrasi disebut desa Sugau, masyarakat sering menyebut desa ini dengan nama Simpang Durin Pitu. Simpang Durin Pitu dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang YB. Mangunwijaya (Alm)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang YB. Mangunwijaya (Alm) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia dewasa ini jumlah wanita yang memiliki pekerjaan diluar rumah semakin meningkat, hampir 40,6% pendatang baru dalam dunia kerja antara tahun 1996 dan 2006

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Jemaat merupakan bidang yang baru dalam kekristenan, baik Protestan maupun Katolik dan masuk ke dalam ranah teologi praktis, di mana terjadi adanya perpindahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam pengajaran gereja sakramen disebut sebagai salah satu alat pemelihara keselamatan bagi umat Kristiani. Menurut gereja-gereja reformasi hanya ada dua sakramen,

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki keterbatasan sehingga manusia dapat melakukan ritual - ritual atau kegiatan keagamaan lain

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Secara umum masyarakat Karo menganggap bahwa agama Hindu-Karo adalah agama Pemena (Agama Pertama/Awal). Dalam agama Pemena, terdapat pencampuran konsep

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah daripada kaum laki-laki masih dapat kita jumpai saat ini. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel kabapaan. Stelsel kebapaan ini yang dianut masyarakat Karo ini dapat dilihat dari kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan.

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. Beberapa ahli yang bekecimpung di dalam gerakan teologi feminis mendefenisikan teologi feminis yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan. Gereja merupakan sebuah wadah yang seharusnya aktif untuk dapat

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan. Gereja merupakan sebuah wadah yang seharusnya aktif untuk dapat BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Gereja merupakan sebuah wadah yang seharusnya aktif untuk dapat menjangkau seluruh jemaatnya agar dapat merasakan kehadiran Allah ditengahtengah kehidupannya. Dengan itu maka,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara akan persoalan Perjamuan Kudus maka ada banyak sekali pemahaman antar jemaat, bahkan antar pendeta pun kadang memiliki dasar pemahaman berbeda walau serupa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pendeta adalah seorang pemimpin jemaat, khususnya dalam hal moral dan spiritual. Oleh karena itu, dia harus dapat menjadi teladan bagi jemaatnya yang nampak

Lebih terperinci

PERATURAN RUMAH TANGGA BAB I KEANGGOTAAN. Pasal 1

PERATURAN RUMAH TANGGA BAB I KEANGGOTAAN. Pasal 1 PERATURAN RUMAH TANGGA BAB I KEANGGOTAAN Pasal 1 Anggota GKPS adalah orang-orang yang terdaftar di jemaat GKPS terdiri dari: a. Anggota Baptis b. Anggota Sidi c. Anggota Siasat d. Anggota Persiapan. Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN SIASAT GEREJA DI GKPS (RUHUT PAMINSANGON)

PERATURAN SIASAT GEREJA DI GKPS (RUHUT PAMINSANGON) PERATURAN SIASAT GEREJA DI GKPS (RUHUT PAMINSANGON) 76 Ketetapan Synode Bolon GKPS ke-32 Tahun 1994 No. 5/1 Tahun 1994 Tentang RUHUT PAMINSANGON DI GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN SYNODE BOLON GEREJA

Lebih terperinci

LAMPIRAN. A. Foto-foto. Kedua gambar diatas adalah ketua sinode pertama (gambar paling atas) dan juga

LAMPIRAN. A. Foto-foto. Kedua gambar diatas adalah ketua sinode pertama (gambar paling atas) dan juga LAMPIRAN A. Foto-foto Kedua gambar diatas adalah ketua sinode pertama (gambar paling atas) dan juga mantan ketua sinode periode lalu (gambar bawah sebelah kiri) serta ketua sinode periode 2011-2015 (gambar

Lebih terperinci

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua) Oleh, Michael Willy Patawala 712008039 TUGAS

Lebih terperinci

PENELAHAAN ALKITAB ANTAR GENERASI

PENELAHAAN ALKITAB ANTAR GENERASI PENELAHAAN ALKITAB ANTAR GENERASI Studi Kritis Terhadap pelaksanaan PJJ sebagai Pembinaan Warga Jemaat Antar Generasi di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) TESIS Diajukan kepada Fakultas Teologi Untuk

Lebih terperinci

BAB IV. Refleksi Teologis

BAB IV. Refleksi Teologis BAB IV Refleksi Teologis Budaya patriarki berkembang dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia dan mengakibatkan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja ini menyebabkan

Lebih terperinci

Pendeta merupakan jabatan penting dalam gereja Kristen. Jabatan pendeta sampai saat ini

Pendeta merupakan jabatan penting dalam gereja Kristen. Jabatan pendeta sampai saat ini Pendahuluan Pendeta merupakan jabatan penting dalam gereja Kristen. Jabatan pendeta sampai saat ini masih merupakan jabatan yang sentral dalam gereja bukan saja sebagai pemimpin jemaat. Tetapi juga sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian BAB 6 PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian terhadap hipotesis yang telah diajukan. Penjelasan secara diskripsi tentang hasil pnelitian ini menekankan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tugas panggilan Gereja adalah memelihara iman umat-nya. 1 Dengan mengingat bahwa yang menjadi bagian dari warga Gereja bukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi saat ini, banyak orang. yang menulis dan meneliti tentang sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi saat ini, banyak orang. yang menulis dan meneliti tentang sumber daya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Dalam era globalisasi saat ini, banyak orang yang menulis dan meneliti tentang sumber daya manusia. Cardoso (2003) mengatakan salah satu sumber daya yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Gereja adalah persekutuan umat Tuhan Allah yang baru. Ungkapan ini erat hubungannya dengan konsep tentang gereja adalah tubuh Kristus. Dalam konsep ini

Lebih terperinci

TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN

TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN [1] Allah adalah Pencipta langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia yang diciptakan menurut gambarnya. Allah menciptakan segalanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Dalam menjalani proses kehidupan, peristiwa kematian tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Namun, peristiwa kematian sering menjadi tragedi bagi orang

Lebih terperinci

TATA DASAR TATA DASAR

TATA DASAR TATA DASAR TATA DASAR PEMBUKAAN TUHAN itu Allah yang Esa (Ul. 6:4),pencipta alam semesta beserta segenap isinya dan yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-nya (Kej. 1). Semua manusia telah menyalahgunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timbul karena adanya hubungan antara organisasi dan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. timbul karena adanya hubungan antara organisasi dan masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akuntabilitas bagi setiap organisasi baik organisasi privat maupun organisasi publik non pemerintah termasuk organisasi Gereja sangat dibutuhkan. Setiap organisasi

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pendampingan dan konseling pastoral adalah alat-alat berharga yang melaluinya gereja tetap relevan kepada kebutuhan manusia. 1 Keduanya, merupakan cara

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA

LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Teologi untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol) Oleh David Sarman H Pardede Nim

Lebih terperinci

Pasal 3 1. Peserta Biasa mempunyai Hak Bicara dan Hak Suara 2. Peserta Luar Biasa mempunyai Hak Bicara

Pasal 3 1. Peserta Biasa mempunyai Hak Bicara dan Hak Suara 2. Peserta Luar Biasa mempunyai Hak Bicara TATA TERTIB MUSYAWARAH PIMPINAN PARIPURNA AMGPM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Musyawarah Pimpinan Paripurna Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku dilaksanakan berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar Bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Karo itu suku bangsa Haru kemudian di sebut Haru dan akhirnya dinamai suku Karo sekarang ini (P. Sinuraya,2000: 1). Setelah hancurnya Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan

Lebih terperinci

Dalam rangka mewujudkan kehidupan bergereja yang lebih baik, GKJ Krapyak mempunyai strategi pelayanan kemajelisan sebagai berikut :

Dalam rangka mewujudkan kehidupan bergereja yang lebih baik, GKJ Krapyak mempunyai strategi pelayanan kemajelisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jika melihat sekilas tentang bagaimana Gereja menjalankan karyanya -khususnya Gereja Kristen Jawa (GKJ)-, memang sangat tampak bahwa Gereja merupakan sebuah organisasi

Lebih terperinci

BAB V REFLEKSI TEOLOGIS

BAB V REFLEKSI TEOLOGIS BAB V REFLEKSI TEOLOGIS Menurut Kejadian 1:27, 1 pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan keunikan masing-masing. Baik laki-laki dan perempuan tidak hanya diberikan kewajiban saja, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sistem nilai, norma, stereotipe, dan ideologi gender telah lama dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan antara perempuan dengan laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang pelayanan yang penting dan strategis karena menentukan masa depan warga gereja. Semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah Perbincangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan 1 akan tetap menjadi permasalahan yang menarik, serta senantiasa menjadi bahan yang relevan

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN (JUKLAK) PEMILIHAN PELAKSANA HARIAN MAJELIS JEMAAT MASA BAKTI 2017 s.d 2020

PETUNJUK PELAKSANAAN (JUKLAK) PEMILIHAN PELAKSANA HARIAN MAJELIS JEMAAT MASA BAKTI 2017 s.d 2020 PETUNJUK PELAKSANAAN (JUKLAK) PEMILIHAN PELAKSANA HARIAN MAJELIS JEMAAT MASA BAKTI 2017 s.d 2020 I. Dasar Pelaksanaan Tata Gereja GPIB tahun 2015 1. Tata Dasar, Bab IV ttg Penatalayanan Gereja 2. Peraturan

Lebih terperinci