PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA"

Transkripsi

1 PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Rozza Tri Kwatrina NRP E

3 ABSTRACT ROZZA TRI KWATRINA. Determining of Harvest Quota and Initial Population Size of Rusa Deer on Captive Breeding at Dramaga Research Forest. Under supervised by YANTO SANTOSA and AGUS PRIYONO KARTONO. Development Center of Deer Captive Breeding Technology at Dramaga Research Forest (DRF) is projected to be one of professional institution that produce deer offspring for conservation and commercial requirement. The objective of this research were to determine the harvest quota, initial harvest time, and initial population size of rusa deer on DRF, and to give the best alternative about deer captive breeding system. Data and information were collected by literature study and field observation during December 2008 until April The result revealed that minimal harvest quota for intensive system (IS), semi intensive (SS) system, and extensive system (ES) were 226, 33, and 16 individual/year respectively. Initial harvest timing was minimal 4 years after introducing of initial population size. Initial population size for IS, SS and ES on initial harvest timing 4 years were 376, 89, and 78 individual respectively. Semi intensive system (SS) was the best deer captive breeding system alternative for DRF based on feed plant available, harvest quota, population size, carrying capacity, and sensitivity analysis. Keywords: rusa deer, harvest quota, population size, feed plant productivity, captive breeding

4 RINGKASAN ROZZA TRI KWATRINA. Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan AGUS PRIYONO KARTONO. Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia yang jumlah populasinya cenderung semakin menurun di alam sebagai akibat dari perburuan secara ilegal untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis. Tingginya kebutuhan akan rusa perlu diantisipasi dengan pemenuhan ketersediaan rusa dari penangkaran di dalam negeri. Oleh sebab itu Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam mengembangkan penangkaran rusa sebagai konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari untuk tujuan restocking ke habitat alam dan pemenuhan kebutuhan bibit rusa di unit-unit penangkaran rusa. Agar penangkaran dapat memanen sejumlah rusa setiap tahunnya, diperlukan perencanaan mengenai berapa jumlah rusa yang dapat dipanen, kapan dapat dipanen, dan sistem penangkaran apa yang sesuai untuk penangkaran yang berlokasi di Hutan Penelitian Dramaga Bogor ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) menentukan kuota panenan, waktu awal pemanenan rusa timor, dan ukuran populasi awal rusa timor, (2) memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Metode yang digunakan terdiri dari studi literatur dan pengumpulan data langsung di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kuota panenan minimal per tahun yang dapat ditetapkan berdasarkan sistem penangkaran adalah sebanyak 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada sistem ekstensif. Waktu awal pemanenan ditetapkan minimal empat (4) tahun setelah populasi awal tersedia berdasarkan target panenan berupa rusa timor keturunan kedua berumur minimal 15 bulan. Ukuran populasi awal yang harus tersedia tergantung pada waktu awal pemanenan. Pada waktu awal pemanenan minimal empat tahun, ukuran populasi awal yang harus tersedia adalah 376 individu pada sistem intensif, 89 individu pada sistem semi intensif, dan 78 individu pada sistem ekstensif. Sistem penangkaran yang dipilih untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga berdasarkan ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal, luas areal, dan analisis sensitivitas adalah sistem semi intensif. Kata kunci: rusa timor, kuota panenan, ukuran populasi, produktivitas hijauan pakan, penangkaran

5 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

6 PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

7 Judul Tesis Nama NRP : PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA : Rozza Tri Kwatrina : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA Ketua Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Anggota Diketahui Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 28 Agustus 2009 Tanggal Lulus: 10 September 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA.

9 PRAKATA Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: (1) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas kebesaran jiwanya mempercayakan penelitian ini pada penulis, serta pemikiran dan arahannya yang membuka wawasan dan pemahaman penulis, (2) Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas pemikiran, waktu dan kesabarannya membimbing penulis, (3) Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. atas kesediaannya selaku Penguji Luar Komisi, masukan serta koreksinya sehingga menjadikan tesis ini lebih baik. Selama persiapan, pelaksanaan, dan penulisan karya ilmiah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Bapak Ir. Muh.Abidin, MP., (2) Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kepala Pusat Penelitian Hasil Hutan, Kepala Laboratorium Terpadu Puslit Hasil Hutan, Ketua Kelompok Peneliti Kimia dan Energi, Dr. Chalid Thalib dan Dr. I. Wayan Matius dari Pusat Penelitian Ternak, Dr. Pratiwi dari Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Air, dan Dr. Irnayuli Sitepu dari Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan, yang telah memberi izin dan kesempatan sehingga penulis dapat menggunakan alat dan fasilitas penelitian, (3) Prof. Riset. Dr. Ir. M. Bismark. MS. dan Prof. Riset Dr. Ir. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. atas motivasi dan dukungannya, (4) Ir. Mariana Takandjandji atas segala kebersamaan, dukungan, motivasi, dan bantuannya sejak dari awal perkuliahan, (5) Ir. Endro Subiandono selaku Ketua Kelompok Peneliti Konservasi Sumber Daya Hutan beserta para peneliti dan teknisi, Drh. Pudjo Setio, M.Si. selaku ketua tim pengelola Pusat Teknologi Pengembangan Penangkaran Rusa, dan Bapak Zainal selaku Kepala Pengelola Hutan Penelitian Dramaga, (6) Pak Carlan dan Pak Iwan beserta keluarga, serta semua petugas di penangkaran atas bantuan dan kerjasamanya selama di lapangan, (7) Teman-teman S2 Research School angkatan 2007 atas kebersamaannya, (8) Teman-teman S2 KVT angkatan 2007 (Bu Merry, Dewi, Bu Yayu, Pak Aswan, Pak Glen, Pak Paijo/Yohan, Pak Teddy, Pak Iman, Pak Toto, dan Pak Andy) atas kebersamaannya, serta Pak Sofwan, Bi Uum, Bu Irma, dan Pak Ismail atas bantuannya.

10 Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada suami tercinta Santiyo Wibowo, STP., dan anak-anak tersayang (Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazhifah) atas kasih sayang, doa, dan pengorbanannya. Kepada orangtua tercinta (Gafar BA & Djanewar), serta mertua tercinta (Sanly Surat & Ratna Komalasari) atas doa, motivasi, dan dukungannya. Kepada kakak-kakak (Ni Pi, Da Nang, Da At, beserta keluarga) atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan. Akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Kiranya Allah SWT Maha Sempurna membalas semua kebaikan dengan yang terbaik. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2009 Rozza Tri Kwatrina

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 3 April 1975 sebagai anak keempat dari pasangan Gafar BA dan Djanewar. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 3/77 Bukit Tinggi pada tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 7 Bukit Tinggi, pada tahun 1990 dan SMA Negeri I Bukittinggi pada tahun Pada tahun 1993, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Biologi Fakultas FMIPA, Universitas Andalas dan berhasil memperoleh gelar Sarjana pada tahun Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika. Penulis menikah dengan Santiyo Wibowo, STP dan dikaruniai oleh ALLAH SWT dua orang putri bernama Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazhifah.

12 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii iv v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelititan Kerangka Pemikiran Hipotesis... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi Habitat, Penyebaran, dan Status Perilaku dan Reproduksi Nilai Ekonomi Rusa Sistem Penangkaran Rusa Analisis Populasi Definisi dan Karakteristik Populasi Natalitas Mortalitas Model Pertumbuhan Populasi Daya Dukung Pemanenan Analisis Break Event Point III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak, Luas dan Status Hukum Iklim dan Topografi Topografi dan Tanah Flora Fauna Lokasi Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Tempat Waktu Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data Teknik Pengumpulan Data Kondisi Biofisik Habitat Biaya Penangkaran Parameter Demografi Rusa Timor i

13 4.4.4 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Produktivitas Hijauan Pakan Tingkat Konsumsi Pakan Analisis Data Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan Tingkat Konsumsi Pakan Rusa Daya Dukung habitat Kuota Panenan Ukuran Populasi Pada Saat Pemanenan Ukuran Populasi Awal Pendugaan Kebutuhan Areal Penangkaran Analisis Pemilihan Sistem Penangkaran Analisis Populasi pada Sistem Penangkaran Terpilih V. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan Tingkat Konsumsi Pakan Daya Dukung Habitat Analisis Populasi Parameter Demografi Kuota Panenan Berdasarkan Break Even Point Ukuran Populasi Sensitivitas Ukuran Populasi Awal Secara Ekologi dan Ekonomi Luas Areal Penangkaran Pemilihan Sistem Penangkaran Spesifikasi dan Perkembangan Populasi Awal Pada Sistem Penangkaran Terpilih VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi lokasi, vegetasi tumbuhan bawah dan hijauan pakan di Hutan Penelitian Dramaga Penyebaran jenis-jenis hijauan pakan pada setiap lokasi Produktivitas dan ketersediaan hijauan pakan rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian empat individu rusa timor Parameter demografi populasi rusa timor pada beberapa lokasi. penangkaran semi intensif di Jawa Barat Biaya tetap, biaya variabel, dan kuota panenan rusa timor pada tiga sistem penangkaran Ukuran populasi awal berdasarkan waktu awal pemanenan Sensitivitas ukuran populasi awal secara ekologis dan ekonomis Luas areal penangkaran berdasarkan ukuran populasi awal dan waktu awal pemanenan Kelas umur individu awal pada sistem terpilih (semi intensif) Perkembangan populasi awal rusa timor sampai tahun ke iii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Rusa timor jantan dan betina Peta Lokasi Hutan Penelitian Dramaga Plot pengamatan produktivitas hijauan pakan Penimbangan rusa sebelum pengamatan konsumsi pakan Kondisi beberapa lokasi tumbuhan bawah Jumlah jenis hijauan sumber pakan berdasarkan lokasi Perbandingan produktivitas hijauan pakan dengan tingkat cahaya harian Kandang rusa dan tempat pakan pada pengamatan tingkat konsumsi di Hutan Penelitian Dramaga Hubungan waktu awal pemanenan dengan ukuran populasi awal berdasarkan sistem penangkaran Pengaruh pembinaan habitat terhadap luas areal penangkaran berdasarkan tahun awal pemanenan dan sistem penangkaran iv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Intensitas cahaya harian pada lokasi pengamatan di Hutan Penelitian Dramaga Jenis-jenis tumbuhan bawah pada sembilan lokasi pengamatan di Hutan Penelitian Dramaga Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga Data iklim areal Hutan Penelitian Dramaga dan sekitarnya Data pengamatan tingkat konsumsi pakan Biaya investasi pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif Biaya tetap pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif Biaya variabel pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif v

17 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia. IUCN Red List of Threatened Species tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah populasi rusa timor di alam cenderung semakin menurun sekitar 10% dalam kurun waktu minimal lima belas tahun terakhir. Total populasi diperkirakan hanya individu dewasa. Kondisi ini disebabkan berbagai hal yang salah satunya adalah perburuan secara ilegal pada habitat aslinya di alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis (IUCN 2008). Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam upaya konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari adalah kegiatan penangkaran. Perkembangan penangkaran rusa di masa yang akan datang diperkirakan semakin besar. Hal ini didasarkan pada tingginya pemanfaatan terhadap rusa, terutama daging rusa, sebagai pemenuhan kebutuhan protein hewani. Tingkat konsumsi daging rusa oleh konsumen restoran di wilayah DKI Jakarta sebesar 84,21% (Suita & Mukhtar 2002). Selain itu, sebesar 60% dari penjual daging yang diwawancarai dalam penelitian Suita & Mukhtar (2002) menyatakan berminat menjual daging rusa. Namun demikian, walaupun permintaan dan minat cukup tinggi, sebagian besar daging rusa masih diimpor dari luar negeri karena terbatasnya ketersediaan rusa di dalam negeri. Oleh sebab itu, penyediaan bibit rusa timor di dalam negeri yang dikembangkan melalui unit-unit penangkaran menjadi sangat penting dilakukan. Salah satu institusi pemerintah yang sedang mengembangkan penangkaran rusa timor adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Penangkaran yang terletak di Hutan Penelitian Dramaga ini selain berfungsi sebagai media pendidikan, penelitian, rekreasi, juga berfungsi sebagai salah satu lembaga penyedia bibit rusa timor. Penangkaran ini diharapkan menjadi salah satu lembaga resmi yang menyediakan bibit rusa timor dari penangkaran secara profesional untuk tujuan konservasi dan pemanfaatan secara komersil di unit-unit penangkaran.

18 2 Sesuai dengan salah satu tujuan pengelolaan satwaliar yaitu untuk konservasi dan pemanenan (Cauhgley 1977), maka pengelolaan populasi rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga perlu diarahkan untuk memperoleh panenan lestari. Banyaknya jumlah rusa yang dipanen setiap tahun merupakan kuota panenan yang mesti ditetapkan oleh pengelola dan diharapkan dapat berkontribusi terhadap ketersediaan populasi rusa timor di alam maupun di unit-unit penangkaran. Keberhasilan suatu pengelolaan sangat tergantung pada upaya pemanenan yang dilakukan dan waktu pemanenan (Xu et al. 2005), sehingga salah satu pertanyaan sulit yang harus dijawab oleh pengelola populasi satwaliar adalah berapa jumlah satwa yang harus dipanen dari populasi dalam setiap tahunnya (CCM 2008), dan kapan pemanenan dapat mulai dilakukan. Besarnya ukuran populasi yang awal yang harus disediakan dipengaruhi oleh waktu pemanenan, semakin lama jangka waktu pemanenan maka ukuran populasi awal yang harus disediakan menjadi lebih kecil. Oleh sebab itu, pertanyaan penting yang perlu dijawab untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah berapa kuota panenan yang dapat ditetapkan setiap tahunnya? kapan pemanenan sebaiknya dilakukan? dan berapa ukuran populasi awal yang harus tersedia agar kuota panenan dapat tercapai?. Penelitian-penelitian tentang pengelolaan populasi khususnya rusa, sebagian besar menitikberatkan pada habitat alam di suaka margasatwa dan taman nasional seperti yang dilakukan oleh Hasiholan (1995), Iqbal (2004) dan Wichatitsky et al. (2005), atau di taman buru yang menitikberatkan pada aspek perburuan dan nilai ekonomi seperti yang dilakukan oleh Mukhtar (1996), Ratag (2006) dan Priyono (2007). Penelitian-penelitian yang dilakukan di penangkaran, sebagian besar membahas aspek reproduksi, pengelolaan habitat, desain tapak, atau aspek finansial usaha penangkaran seperti yang dilakukan oleh Teddy (1998), Handarini et al. (2004), Semiadi et al. (2005), Sumanto (2006) dan Nurulaini et al. (2007). Demikian juga dengan penelitian mengenai populasi dan pemanenan, sebagian besar dilakukan di alam pada kawasan beriklim nontropis seperti yang dilakukan oleh Trenkel et al. (2000), Mysterud et al. (2007), serta Trepet & Eskina (2007). Berdasarkan hal tersebut dan terbatasnya penelitian mengenai

19 3 penentuan kuota panenan dan ukuran populasi rusa di penangkaran, maka penelitian ini dilakukan. Perbedaan sistem penangkaran dapat mempengaruhi kuota panenan dan ukuran populasi awal yang harus ditetapkan. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis pemilihan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga, berdasarkan kuota panenan, ukuran populasi awal, dan luas areal penangkaran, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan penangkaran selanjutnya. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menentukan kuota panenan, waktu awal pemanenan, dan ukuran populasi awal rusa timor 2. Memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan panduan bagi pengelola atau pengusaha untuk menentukan kuota panenan dan waktu pemanenan, dan ukuran populasi awal, serta memberikan rekomendasi mengenai pengelolaan populasi di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga 1.4 Kerangka Pemikiran Kesenjangan antara jumlah permintaan dengan ketersediaan rusa, berdampak terhadap meningkatnya perburuan rusa di alam. Oleh sebab itu, upaya penyediaan rusa dari hasil penangkaran melalui kegiatan pemanenan mesti ditingkatkan. Kuota panenan merupakan sejumlah rusa yang dipanen dari penangkaran. Kuota panenan dari suatu populasi dapat ditentukan secara ekologis ataupun secara ekonomis. Kuota secara ekologis pada prinsipnya merupakan sejumlah anggota populasi yang dapat dikeluarkan dari suatu populasi dengan mempertimbangkan daya dukung dan ukuran populasi aktual yang tersedia tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi. Untuk pengelolaan populasi satwa yang

20 4 memiliki target pemanenan tertentu dengan mempertimbangkan sejumlah biaya penyelenggaraan penangkaran, maka penentuan kuota panenan secara ekonomis perlu digunakan. Dalam hal ini, kuota panenan tidak ditetapkan berdasarkan ukuran populasi aktual yang tersedia, melainkan berdasarkan target pemanenan tertentu yang ingin dicapai oleh pengelola penangkaran dengan mempertimbangkan aspek ekonomi. Analisis Break Even Point (BEP) merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menetapkan kuota panenan secara ekonomis. Kuota panenan yang diperoleh dari perhitungan BEP ini merupakan kuota panenan minimal yang harus ditetapkan agar kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Pada prinsipnya BEP diperhitungkan berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap menggambarkan biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan penangkaran, sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu individu rusa. Kuota panenan yang telah ditetapkan hanya dapat dipanen apabila terpenuhinya ukuran populasi yang tersedia pada saat pemanenan, dan ukuran populasi awal saat kegiatan penangkaran dimulai. Besarnya nilai ukuran populasi awal tersebut sangat tergantung pada kuota panenan yang ditetapkan dan waktu pemanenan. Semakin besar kuota panenan yang ditetapkan, dan semakin singkat jangka waktu pemanenan maka semakin besar ukuran populasi awal yang harus tersedia. Selain itu, peubah-peubah parameter demografi seperti natalitas, mortalitas, laju pertumbuhan populasi, dan komposisi jenis kelamin, sangat mempengaruhi besarnya ukuran populasi awal yang akan ditetapkan. Besarnya kuota panenan yang ditetapkan juga terkait dengan sistem penangkaran yang akan diterapkan di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Dalam penelitian ini, sistem penangkaran rusa dibedakan atas penangkaran sistem intensif, semi intensif, dan ekstensif. Untuk mencapai target kuota panenan pada sistem penangkaran ekstensif dan semi intensif dimana semua atau sebagian besar kebutuhan rusa disediakan oleh alam, maka komponen daya dukung habitat yang menentukan adalah ketersediaan hijauan pakan, yang dapat diketahui melalui penghitungan produktivitas hijauan pakan. Sedangkan untuk penangkaran dengan sistem intensif, dimana semua kebutuhan satwa disediakan dan diatur oleh

21 5 manusia, maka komponen daya dukung habitat yang menentukan adalah kebutuhan terhadap ruang yang dapat diketahui melalui penghitungan kebutuhan areal penangkaran. Akhirnya, aspek pemanenan yang mencakup kuota panenan dan waktu pemanenan tersebut menjadi tujuan dalam penelitian ini, untuk menjawab ukuran populasi awal yang harus tersedia dan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. 1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian tentang penentuan kuota panenan dan ukuran populasi awal rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah: semakin tinggi kuota panenan semakin tinggi ukuran populasi awal yang harus tersedia.

22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Cetartiodactyla, Sub Ordo Ruminantia, Family Cervidae, Sub Family Cervinae, dan Genus Rusa. Nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis de Blainville, Namun demikian, nama rusa timor juga memiliki beberapa sinonim, yaitu: Cervus celebensis Rorig, 1896; Cervus hippelaphus G.Q. Cuvier, 1825; Cervus lepidus Sundevall, 1846; Cervus moluccensis Quoy & Gaimard, 1830; Cervus peronii Cuvier, 1825; Cervus russa Muller & Schlegel, 1845; Cervus tavistocki Lydekker, 1900; Cervus timorensis Blainville, 1822; dan Cervus tunjuc Horsfield, 1830 (IUCN 2008). Secara morfologi rusa timor memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dan kaki yang lebih pendek dibandingkan rusa sambar (Cervus unicolor) dan rusa bawean (Axis kuhlii). Warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna lebih terang dibandingkan bagian punggung. Warna bulu ini tersebar merata pada seluruh tubuh dan tidak memiliki titik-titik (spot) pada tubuhnya. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina. Panjang tubuh berkisar antara cm, tinggi bahu cm, berat kg, dan panjang ekor cm. Rusa jantan dewasa memiliki ranggah. Ranggah penuh mempunyai tiga ujung runcing dengan panjang rata-rata cm (Schroder 1976, Drajat 2002, Worlddeer 2005) Habitat, Penyebaran, dan Status Rusa timor merupakan jenis yang sangat utama pada habitat padang rumput di daerah tropis dan sub tropis, tapi dapat beradaptasi pada habitat hutan, pegunungan, serta semak belukar. Walaupun dapat beradaptasi mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, rusa timor jarang dijumpai pada ketinggian di atas 2500 m di atas permukaan laut. Semiadi dan Hedges dalam IUCN (2008) bahkan mengungkapkan bahwa rusa timor hidup pada ketinggian m dari

23 7 permukaan laut. Jika dibandingkan jenis rusa sambar, rusa timor juga memiliki adaptabilitas yang tinggi untuk hidup pada daerah yang kering. Hal ini disebabkan kebutuhan air pada rusa timor sangat rendah (Schroder 1976). Walaupun demikian rusa timor juga dapat hidup di daerah rawa (Worlddeer 2005). a b Gambar 1 Rusa timor jantan (a) dan betina (b). Rusa timor merupakan satwa asli Indonesia. Menurut Bemmel (1949) rusa timor berasal dari Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Malaka. Namun demikian kalangan ahli lainnya menyatakan bahwa rusa timor hanya berasal dari Jawa dan Bali (IUCN 2008). Dalam perkembangannya, rusa timor menyebar luas sampai ke bagian timur wilayah Indonesia seiring dengan perpindahan manusia. Hal ini berbeda dengan jenis rusa sambar yang daerah penyebarannya hanya berada di bagian Barat wilayah Indonesia. Luasnya penyebaran rusa timor juga terlihat dari banyaknya sub spesies yang dimiliki, yakni 8 sub-spesies. Menurut Bemmel (1949), penamaan sub-spesies ini didasarkan atas daerah penyebarannya, yakni: a. Cervus t. russa, terdapat di Jawa dan Kalimantan (S.E. Borneo). b. Cervus t. laronesiotes, terdapat di Pulau Peucang. c. Cervus t. renschi, terdapat di Bali. d. Cervus t. timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Pulau Kambing, Alor, Pantar, Pulau Rusa. e. Cervus t. macassaricus, terdapat di Sulawesi, Banggai, Selayar. f. Cervus t. jonga, terdapat di Pulau Buton dan Pulau Muna. g. Cervus t. moluccensis, terdapat di Ternate, Mareh, Moti, Halmahera, Bacan, Parapotan, Buru, Seram dan Ambon. h. Cervus t. florensiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo, Flores, Adonara, Solor dan Sumba.

24 8 Berdasarkan kategori IUCN Red List, sejak tahun 2008 rusa timor termasuk dalam kategori rentan (vulnerable). Sebelumnya rusa timor berstatus resiko rendah/kurang perhatian (lower risk/least concern) sejak tahun Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari individu dewasa, dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan (IUCN 2008). Di Indonesia, rusa timor termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun demikian, rusa dapat dimanfaatkan melalui penangkaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwaliar, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu di bidang peternakan, rusa telah menjadi salah satu satwa potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/ Perilaku dan Reproduksi Rusa timor bersifat nokturnal, akan tetapi juga dapat mencari makan pada siang hari (Reyes 2002). Namun pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Schroder (1976) bahwa rusa timor secara alamiah tidak bersifat nokturnal, tetapi dapat secara mudah berubah sifat menjadi nokturnal dan pergi ke wilayah terbuka pada siang hari. Rusa jantan dan betina biasanya hidup terpisah dalam kelompok tertentu, kecuali pada musim kawin. Selama musim kawin, rusa jantan menjadi lebih agresif dan menghiasi ranggahnya dengan dedaunan dan ranting untuk menarik perhatian betina dan mengintimidasi jantan lainnya (Reyes 2002). Rusa timor bersifat sosial, dan dapat dijumpai dalam kelompok kecil dengan jumlah individu mencapai 25 individu. Perilaku rusa di penangkaran dilaporkan oleh Lelono (2005) yang menggambarkan tiga pola aktivitas harian rusa timor, yaitu aktivitas makan, aktivitas istirahat, dan aktivitas lain. Aktivitas makan dilakukan pada pagi (pukul ), siang (pukul ), dan sore (pukul ).

25 9 Aktivitas istirahat dilakukan pada pagi dan sore hari setelah aktivitas makan. Aktivitas lain terdiri dari aktivitas berjalan, memelihara diri, merawat anak, bercumbu, bertarung, berlari dan lainnya. Rusa dapat hidup selama tahun di alam maupun di penangkaran, dengan rata-rata 17,5 tahun. Usia dewasa kelamin rata-rata 21 bulan, walaupun juga ditemukan rusa dewasa kelamin pada usia lebih kurang 15 bulan. Umumnya rusa mengalami dewasa kelamin pada usia bulan. Menurut Semiadi (2006) dewasa kelamin dipengaruhi oleh berat badan dan ketersediaan pakan. Kelahiran pada rusa tropis terjadi sepanjang tahun. Sody (1940) menyatakan bahwa musim kelahiran pada rusa timor umumnya terjadi pada bulan April Juni, sedangkan di Jawa pada bulan September, Flores pada bulan Maret serta Sulawesi pada Januari dan Agustus. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dalam setiap kelahiran adalah satu. Rata-rata masa menyusui adalah 8 bulan atau 251 hari, ratarata masa menyapih adalah 7 bulan atau 228 hari, walaupun demikian untuk wilayah timur Indonesia, masa sapih pada rusa timor adalah 4 7 bulan (Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Reyes 2002). Untuk di penangkaran di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pubertas rusa timor adalah 8 8,1 bulan, siklus berahi 20 hari, lama berahi 2 hari, lama bunting 8,3 bulan, dan jumlah anak pada setiap kelahiran pada umumnya 1 ekor. Umur perkawinan pertama pada jantan adalah 11 12,67 bulan, dan 10 15,25 bulan pada betina. Namun demikian rusa timor sudah mampu kawin pertama kali umur 7 bulan. Umur kebuntingan pertama adalah bulan, dan lama kebuntingan adalah 8,3 8,5 bulan. Umur melahirkan pertama adalah bulan, dan interval kelahiran pertama dan kedua adalah 13,25-13,75 bulan. Persentase kelahiran di Indonesia berkisar antara 45 75% (Semiadi 2006, Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Takandjandji et al. 1998) Nilai Ekonomi Rusa Sebagai satwa herbivora, rusa memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan daging, ranggah, velvet, kulit, bahkan satwa hidup, sehingga sangat potensial dikembangkan di penangkaran. Di dunia, seperti Kanada, wapiti (Cervus canadensis) jantan dijual senilai CDN$ Velvet rusa juga memiliki nilai

26 10 ekonomi tinggi, dan Republik Korea merupakan pasar utama penjualan velvet rusa secara internasional. Sedangkan New Zealand merupakan negara modern pertama penghasil velvet di dunia. Di Kanada, pada tahun 1997, pemanenan ranggah wapiti mencapai 50 ton dengan nilai total mencapai CDN$7,13 juta. Pada pasar lokal seperti di Vancouver, harga velvet tertinggi mencapai CDN$260/kg, dan terendah senilai CDN$45/kg. Sementara di Malaysia velvet dijual dengan harga RM 3.000/kg (Chardonnet et al. 2002, Semiadi 2002) Daging merupakan produk yang paling populer dari satwaliar di seluruh dunia dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga jual karkas rusa fallow (Dama dama) di Amerika Serikat pada tahun 1997 adalah US$4,5/pound. Di Canada, harga jual daging untuk venison antara C$3,1 C$3,6/pound. Sedangkan di Australia harga jual karkas rusa fallow mencapai A$2,24/kg, untuk daging rusa merah A$2,56/kg, dan rusa jawa A$2,12/kg. Untuk Selandia baru, harga jual karkas rusa merah mencapai antara NZ$3,32 hingga NZ$5,20/kg karkas (Semiadi 2002). Salah satu alasan pemilihan daging rusa, adalah karena rusa mampu mengkonversi 30 kilogram bahan kering menjadi 3 kilogram daging, sehingga rusa lebih efisien dibandingkan sapi dan domba. Daging rusa memiliki rasa yang khas dan rendah kalori, sehingga digunakan sebagai venison. Di Malaysia, harga daging rusa mencapai RM 30 perkilogram lebih tinggi dibandingkan daging sapi yang hanya RM 10 perkilogram (Drajat 2002, Semiadi 2002). Untuk Indonesia harga daging rusa bervariasi pada kisaran Rp ,- perkilogram. Untuk ranggah, hasil penelitian Garsetiasih (2000) menunjukkan bahwa harga tanduk rusa tua dalam bentuk hiasan di beberapa tempat di Bogor memiliki harga Rp ,- sampai Rp ,-. Sedangkan untuk satwa hidup memiliki nilai jual bervariasi mulai dari Rp ,- sampai Rp ,- 2.2 Sistem Penangkaran Rusa Sistem penangkaran rusa pada beberapa wilayah di beberapa negara mengacu pada prinsip pengelolaan habitat yaitu secara intensif atau extensif. Pada pengelolaan intensif, campur tangan manusia sangat tinggi, sebaliknya pada pengelolaan ekstensif manusia hanya mengatur beberapa aspek habitat dan kebutuhan hidup satwa.

27 11 Pengelolaan secara ekstensif berimplikasi terhadap luasnya areal dan umumnya tenaga dan biaya yang dibutuhkan perhektarnya relatif rendah. Sebaliknya pada pengelolaan intensif dibutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk setiap hektar areal. Beberapa tindakan pengelolaan yang termasuk ke dalam pengelolaan ekstensif diantaranya adalah pembakaran terkendali, pengendalian semak belukar, dan seleksi tumbuhan sumber pakan. Sedangkan pengelolaan intensif diantaranya adalah pemberian pakan oleh pengelola secara cut and carry, membangun kebun pakan, membangun kandang, sumber air, peneduh (cover). Pengelolaan reproduksi secara non alami juga dapat digolongkan pada pengelolaan secara intensif (SRNF 2008). Di beberapa negara, pengelolaan ekstensif lebih penting dan efektif dibandingkan sistem intensif. Namun pada beberapa situasi, pengelolaan secara intensif digabungkan dengan pengelolaan ekstensif untuk mencapai pengelolaan yang lebih efektif dalam mengatasi beberapa faktor pembatas. Konsep pengelolaan intensif dan ekstensif tersebut di Indonesia diadaptasi ke dalam sistem penangkaran secara intensif dan ekstensif. Penggabungan kedua konsep tersebut melahirkan sistem semi intensif yang banyak diterapkan pada berbagai penangkaran di Indonesia. Sistem-sistem penangkaran tersebut diterapkan dalam beberapa bentuk pemeliharaan. Semiadi dan Nugraha (2004) mengelompokkan ke dalam bentuk pemeliharaan, yaitu diikat, dikandangkan, dan dilepas di padang umbaran yang disebut pedok (paddock). Bentuk pemeliharaan diikat dan dikandangkan dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan intensif, sedangkan penggembalaan di padang umbaran dapat tergolong pada sistem ekstensif atau semi intensif tergantung pada tingkat campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat, populasi, dan reproduksi satwa. 2.3 Analisis Populasi Definisi dan Karakteristik Populasi Populasi adalah sekelompok organisme sejenis atau memiliki kesamaan genetik yang secara bersama-sama mendiami wilayah tertentu dan waktu tertentu, serta mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Odum 1971, Krebs 1978, Alikodra 1990). Menurut Tarumingkeng (1992), populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang

28 12 tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Krebs (1978) menyatakan unsur utama dari populasi adalah individu organisme yang memiliki potensi untuk berkembang-biak. Populasi tersebut dapat dibagi ke dalam sejumlah deme atau populasi lokal yang merupakan kelompok organisme yang mampu berkembang-biak, yang merupakan unit kolektif terkecil dari sebuah populasi tumbuhan atau satwa. Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Tarumingkeng (1992) yang menyatakan bahwa deme adalah populasi setempat yang merupakan sekelompok individu dimana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Populasi memiliki beragam karakteristik kelompok, yang secara pengukuran statistik tidak dapat diterapkan secara individual. Karakteristik dasar dari populasi adalah ukuran atau kepadatannya (densitas). Densitas atau disebut juga kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang yang umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau volume. Ukuran populasi atau kepadatan ini dipengaruhi oleh empat parameter populasi yang dikenal sebagai parameter populasi primer, yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Selain itu, terdapat parameter populasi sekunder yang terdiri dari distribusi umur, komposisi genetik, dan pola sebaran ruang (Krebs 1978, Alikodra 2002) Natalitas Suatu populasi dapat meningkat disebabkan oleh natalitas. Natalitas, yang dapat juga disebut sebagai potensi perkembangbiakan, adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa laju natalitas adalah jumlah organisme yang lahir per induk per satuan waktu. (Odum 1971, Krebs 1978).

29 13 Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk ke dalam klas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran tersebut ditentukan oleh faktor-faktor: (1) perbandingan komposisi kelamin dan kebiasaan kawin, (2) umur tertua dimana individu masih mampu untuk berkembangbiak (maximum breeding age), (3) umur termuda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002) Mortalitas Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas terdiri dari angka kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode waktu; dan angka kematian spesifik, yaitu perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama satu periode waktu. Faktor-faktor yang menyebabkan kematian adalah; (1) kematian oleh keadaan alam, seperti bencana alam, penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, (2) kematian oleh kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, (3) kematian oleh adanya pertarungan dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan dan air serta untuk menguasai kawasan, dan (4) kematian yang disebabkan oleh aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, perburuan, pencemaran dan kecelakaan lalulintas (Alikodra 2002).

30 Model Pertumbuhan Populasi Ukuran dan kepadatan populasi dapat bertambah, tetap, atau berkurang. Besarnya penambahan atau pengurangan ukuran atau kepadatan populasi tersebut dapat dinyatakan dengan laju pertumbuhan populasi. Dalam pertumbuhan populasi, laju petumbuhan pada awalnya rendah kemudian mencapai maksimal dan akhirnya menurun sampai akhirnya mencapai nol pada kondisi dimana jumlah individu sama dengan daya dukung lingkungannya (Krebs, 1978) Laju pertumbuhan populasi dapat disebabkan oleh faktor internal (genetik), eksternal (lingkungan), atau interaksi keduanya. Pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam suatu model pertumbuhan populasi. Dikenal ada dua model pertumbuhan populasi, yaitu model pertumbuhan eksponensial dan model pertumbuhan logistik. Model pertumbuhan eksponensial terjadi pada populasi yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan. Pada kondisi ideal dan tidak ada faktor penghambat (fisik maupun biotik), maka populasi akan berkembang terus dan tumbuh secara maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa populasi tumbuh dalam keadaan lingkungan yang tidak membatasi pertumbuhannya. Secara realistis, terdapat persaingan, keterbatasan ruang dan makanan yang akan menyebabkan pertumbuhan populasi menurun dan pada akhirnya berhenti pada saat daya dukung sudah tercapai. Apabila model pertumbuhan eksponensial diterapkan untuk waktu yang tidak terbatas tetapi sumber dayanya terbatas, maka akan menjadi tidak realistis karena tidak diperhitungkannya faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan populasi seperti kerapatan, makanan dan lainnya. Atas dasar hal tersebut, maka dibangun model yang lebih realistis yang memasukkan faktor kerapatan populasi sebagai faktor pembatas, sehingga disebut sebagai model terpaut kerapatan atau model pertumbuhan logistik. Model matematis pertumbuhan kerapatan adalah sebagai berikut:

31 15 Keterangan: N t = ukuran populasi pada waktu ke-t N 0 = ukuran populasi awal K = kapasitas daya dukung lingkungan r = laju pertumbuhan t = waktu ke-t e = bilangan euler (e = 2, ) Menurut Tarumingkeng (1992), model logistik dibangun berdasarkan asumsi-asumsi: (1) populasi akan mencapai keseimbangan dengan lingkungan sehingga memiliki sebaran umur stabil (stable age distribution), (2) populasi memiliki laju pertumbuhan yang secara berangsur-angsur menurun secara tetap dengan konstanta r, (3) pengaruh r terhadap peningkatan kerapatan karena bertumbuhnya populasi merupakan respon yang instantaneous atau seketika itu juga dan tidak terpaut penundaan atau senjang waktu (time lag), (4) sepanjang waktu pertumbuhan keadaan lingkungan tidak berubah, (5) pengaruh kerapatan adalah sama untuk semua tingkat umur populasi, dan (6) peluang untuk berkembangbiak tidak dipengaruhi oleh kerapatan. 2.4 Daya Dukung Sharkey (1970) mendefinisikan daya dukung sebagai bobot satwa dari satu atau gabungan populasi yang dapat disokong secara permanen pada area tertentu. Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Bailey (1984) yang menyatakan bahwa daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat. Menurut Alikodra (2002), besarnya nilai daya dukung ditentukan oleh kondisi potensi makanan dan ruang. Selain itu nilai daya dukung tidak berlaku umum melainkan spesifik bagi suatu spesies tertentu pada waktu dan lokasi tertentu, sehingga kondisi habitat yan berbeda akan menyebabkan perbedaan daya dukung habitat. Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat, misalnya produkstifitas hijauan. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang

32 16 rumput dapat dilakukan dengan cara pemotongan hijauan pada suatu luasan sampel savanal, menimbang dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu. Beberapa ahli membagi daya dukung atas dua kategori yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah kepadatan maksimum satwa yang masih dapat hidup secara lestari tanpa pemanenan dan rekayasa terhadap vegetasi, sedangkan daya dukung ekonomis adalah kepadatan satwa yang memungkinkan pemanenan maksimal secara lestari dan selalu lebih rendah dari daya dukung ekologis (Caughley 1976). Daya dukung ekologis terdiri dari tingkat kepadatan subsisten, tingkat kepadatan toleran, dan tingkat kepadatan aman. Sedangkan daya dukung ekonomis terdiri dari tingkat kepadatan pemanenan maksimum, dan tingkat kepadatan yang dampaknya minimum terhadap satwa lain dan habitatnya. 2.5 Pemanenan Pemanenan merupakan salah satu komponen penting dalam program pengelolaan populasi satwa khususnya yang bernilai ekonomis, seperti rusa. Pengelolaan akan sangat menentukan tujuan dan target yang akan dicapai dalam pemanenan (Evans et al. 1999). Prinsip pemanenan dalam pengelolaan populasi adalah menyediakan panenan lestari, yaitu sejumlah hasil yang dapat diambil dari tahun ketahun tanpa menyebabkan penurunan populasi. Jumlah panen lestari tertinggi yang mungkin diperoleh disebut sebagai panen lestari maksimum (maximum sustainable yield), sedangkan panen lestari yang dapat diperoleh tanpa menyebabkan kerusakan disebut dengan panen lestari optimum (optimum sustainable yield) (Caughley 1977). Pada pengelolaan Ungulata untuk tujuan pemanenan umumnya digunakan konsep tingkat kepadatan pemanenan maksimum, yaitu jumlah satwaliar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini dapat dicapai dengan cara mengatur faktor-faktor kesejahteraan, dengan demikian, keadaan pemanenan maksimum memerlukan pengelolaan secara intensif. Selain itu, juga diperlukan data dasar untuk menetapkan jumlah satwaliar maksimum yang dapat dipanen, dan memelihara populasi agar mencapai jumlah yang maksimum. Untuk mendapatkan jumlah hasil pemanenan maksimum yang tepat diperlukan berbagai fakta seperti model

33 17 populasi yang dapat disusun berdasarkan respon pertumbuhan populasi terhadap berbagai macam ukuran populasi dan kondisi produktifitas habitat (Adams 1971, Anderson 1971). 2.6 Analisis Break Even Point Analisis Break Even Point (BEP) merupakan sebuah teknik yang telah digunakan secara luas oleh manajemen produksi dan manajemen akuntan. Tujuan dari analisis BEP adalah untuk menentukan jumlah pulang pokok (breakeven quantity) dari suatu produk dengan mempelajari hubungan diantara struktur biaya perusahaan, volume output, dan keuntungan (Martin et al. 1991). Jumlah pulang pokok yang ditentukan sebagai BEP adalah sejumlah unit yang harus terjual dalam upaya menghasilkan keuntungan sebesar nol tetapi akan menutupi biayabiaya yang berhubungan, sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian. Dengan demikian prinsip dasar BEP adalah total penerimaan sama dengan total pengeluaran. BEP dapat dinyatakan dalam unit atau harga (FeedBurner 2008, Home et al. 1995). Analisis BEP berdasarkan pada pengelompokan biaya produksi atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap atau biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak bervariasi berdasarkan volume penjualan atau jumlah dari perubahan output. Biaya tetap bersifat independen terhadap kuantitas produk yang dihasilkan dan seimbang terhadap sejumlah harga yang tetap. Biaya variabel atau biaya langsung adalah biaya yang tetap per unit output tetapi berubah secara keseluruhan jika output berubah. Total biaya variabel diperhitung berdasarkan biaya variabel per unit dan mengalikannya dengan jumlah produksi dan penjualan (Martin et al. 1991). Break Even Point dapat diketahui dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu, trial and error analysis, contribution margin analysis, dan algebric analysis (Martin et al. 1991). Asumsi yang digunakan dalam analisis BEP adalah (1) semua barang produksi terjual habis, (2) apabila harga jual dan biaya berubah, maka harga dan biaya produksi tetap. Analisis BEP dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajerial yaitu mengatur tingkat harga, menargetkan biaya tetap dan biaya variable yang optimal, menentukan pilihan strategi yang

34 18 berbeda bagi perusahaan, serta merencanakan penjualan setiap bulan atau setiap tahun. Selain itu, BEP berfungsi sebagai indikator kelayakan suatu usaha, dan sebuah teknik pengawasan operasi (Berry 2003). Namun demikian analisis BEP memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya (1) hubungan biaya-volumekeuntungan diasumsikan linier, (2) kurva total penerimaan diperkirakan meningkat secara linier dengan volume output, (3) diasumsikan produksi tetap dan penjualan tidak tetap, dan (4) perhitungan breakeven merupakan bentuk analisis yang statis. Oleh sebab itu analisis BEP digunakan untuk tindakan-tindakan manajerial, bukan untuk pengambilan keputusan akhir (Martin et al. 1991).

35 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak, Luas dan Status Hukum Dramaga yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, merupakan salah satu dari 13 dalam lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Secara administratif pemerintahan, Dramaga termasuk ke dalam wilayah Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Secara geografis, Hutan Penelitian Dramaga terletak pada posisi antara 6 o 32 59,04 6 o 33 13,98 LS dan 106 o 44 0, o 44 59,64 BT. Berdasarkan ketinggian tempat, areal Dramaga terletak pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut dengan luas keseluruhan adalah 57,75 ha. Sekitar 10 ha dari luasan tersebut, digunakan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research). Status hukum Dramaga adalah milik Departemen Kehutanan Republik Indonesia c.q. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (IPB & Dephut 1999). Penangkaran HP Darmaga CIFOR Setu Gede Hutan Penelitian Dramaga Gambar 2 Peta Lokasi Dramaga. 3.2 Iklim dan Topografi Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe curah hujan di wilayah Hutan Penelitian Dramaga termasuk ke dalam tipe A dan tidak memiliki bulan kering. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Kls I Dramaga tahun 2005 sampai dengan 2007, suhu rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Oktober sebesar

36 20 26,23 o C dan terendah pada bulan Februari sebesar 25,33 o C. Kelembaban relatif rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Februari sebesar 89,33% dan terendah pada bulan September sebesar 77%. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Februari sebesar 364 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 71,5 mm, sedangkan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2383,5 mm. 3.3 Topografi dan Tanah Bentuk wilayah datar sampai agak berombak dengan kelerengan 0 6% dan berada pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut. Tanah di areal Hutan Penelitian Dramaga termasuk latosol coklat kemerahan. Bahan induknya tuf volkan intermedier yang dicirikan oleh lapisan setebal ± 17 cm, berwarna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8, lembab) pada kedalaman cm. Di bawah lapisan ini terdapat lapisan lain yang warna dan teksturnya hampir sama dengan tanah di atas lapisan induk. Tanah latosol pada lapisan atas berwarna coklat tua kemerahan (5 YR 3/3, lembab) dan berangsur-angsur lebih cerah pada lapisan dalam (5 YR ¾, lembab). Tekstur liat sampai liat berdebu (halus), struktur gumpal sampai remah, konsistensi gembur, liat, plastis. Solum dangat dalam, batas lapisan umumnya baur, drainase sedang sampai baik dan air tanahnya dalam (8 12 m). Reaksi tanah masam sampai sedang (ph 5,0 6,0), kadar C organik dan N sedang pada lapisan atas, rendah sampai sedang pada lapisan bawah, kadar P 2 O 5 tinggi sekali, sedangkan K 2 O sangat rendah di semua lapisan. Kejenuhan basa rendah dan permeabilitas sedang, yaitu 4,31 cm/jam pada lapisan atas dan 0,22 cm/jam pada lapisan bawah (IPB & Dephut 1999). 3.4 Flora Dramaga merupakan salah satu Hutan Penelitian di pulau Jawa yang mewakili ekosisitem dataran rendah. Sejak tahun 1956 sampai 1998 di Hutan Penelitian Dramaga telah diintroduksi sebanyak 130 jenis tumbuhan mencakup 88 marga dan 43 famili. Berdasarkan penyebaran alaminya terbagi atas jenis asli Indonesia dan jenis introduksi dari luar Indonesia. Jenis tanaman asli Indonesia berasal dari hampir seluruh pulau besar yang ada di Indonesia, mencakup Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Sedangkan jenis tanaman introduksi

37 21 berasal dari negara beriklim tropis dan subtropis. Jenis tanaman asing terdiri dari kelompok daun jarum (Gymnospermae) dan kelompok daun lebar (Angiospermae). Jenis yang dominan dari kedua kelompok ini adalah Pinus spp, Khaya, dan Terminalia. Untuk jenis tanaman asli Indonesia, pada kelompok daun jarum (Gymnospermae) terdiri dari marga Agathis, Pinus dan Podocarpus. Sedangkan pada kelompok daun lebar ((Angiospermae) terdiri dari Shorea, Eugenia, Diptecarpus, dan Hopea. Tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga terdiri dari jenis jukut kakawatan (Cynodon dactylon), paku kawat (Lycopodium cernuum), kirinyuh (Eupatorium pallescens), paku areuy (Gleichenia linearis), dan harendong (Melastoma polyanhum) (IPB & Dephut 1999). 3.5 Fauna Jenis-jenis fauna utama yang ditemukan di Hutan Penelitian Dramaga diantaranya, ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), tupai/bajing (Lariscus sp.), dan musang (Paradoxurus hermaphroditus) (IPB & Dephut 1999). Solihati (2007) menyatakan bahwa selama tiga periode pengamatan pada tahun 2006 di areal Dramaga, dijumpai 29 jenis burung yang termasuk ke dalam 20 famili dengan indeks keragaman 2,51. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Lonchura leucogastroides, Sterptopelia chinensis, dan Prinia familiaris. Jenis yang melimpah adalah Collocalia liinchi, Dicaeum trochileum, Lonchura leucogastroides, Passer montanus, dan Prinia familiaris. Selain itu terdapat dua jenis burung endemik Jawa yaitu Spizaetus bartelsi dan Stachyris grammiceps. 3.6 Lokasi Penangkaran di Hutan Penelitian Dramaga Hutan Penelitian Dramaga merupakan suatu areal percobaan dan penelitian yang secara keseluruhan memiliki luas 57,75 ha. Dari luasan tersebut 10 ha digunakan untuk perkantoran dan fasilitas CIFOR, seluas 35,85 ha digunakan untuk kegiatan hutan penelitian dan penyediaan fasilitas kerja, dan seluas 11,9 ha berfungsi sebagai areal penyangga. Sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan Hutan Penelitian Dramaga sebagai sarana koleksi dan pelestarian jenis-jenis pohon, maka sebagian besar vegetasi di Hutan Penelitian Dramaga merupakan

38 22 tegakan jenis-jenis pohon asli Indonesia dan eksotik yang telah berumur lebih dari 30 tahun. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di dalam kawasan Hutan Penelitian Dramaga adalah pembangunan penangkaran rusa timor pada tahun Penangkaran tersebut diberi nama Pusat Pengembangan Teknologi Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis). Penangkaran yang diresmikan pembangunannya oleh Menteri Kehutanan H. MS Kaban pada tanggal 15 Mei 2008 ini menggabungkan kegiatan konservasi dengan kegiatan Eko Widya Wisata. Luas areal penangkaran yang direncanakan seluas hampir 7 hektar akan dikembangkan secara bertahap. Dalam perkembangannya, populasi rusa timor di penangkaran terus bertambah melalui introduksi maupun kelahiran. Rusa yang berasal diintroduksi berasal dari penangkaran di Hutan Penelitian Haurbentes, Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor. Untuk selanjutnya, populasi terus ditambah dengan melakukan pengambilan dari berbagai sumber diantaranya Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Ukuran populasi sampai bulan Juni 2008 adalah 19 individu, yang terdiri dari 6 jantan, 9 betina, dan 3 anak.

39 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor yang merupakan salah satu Hutan Penelitian yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Penelitian berlangsung selama ± 5 (lima) bulan, dari Desember 2008 hingga April Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: (1) perlengkapan untuk inventarisasi tumbuhan, meliputi: pita meter, tali rafia, dan tally sheet (2) perlengkapan untuk pengukuran berat basah dan berat kering tumbuhan pakan rusa, meliputi: pagar bambu, tali rafia, gunting rumput, neraca timbang, timbangan digital merk AND GF-200 dengan ketelitian 0,001 g, oven elektrik, kantong plastik ukuran 2 kg, kertas koran, spidol permanen, (3) perlengkapan untuk pengamatan konsumsi pakan, meliputi: plastik terpal ukuran 2 m, papan, paku, timbangan ternak merk Great Scale XK-3190A7 Weighing Indicator, timbangan ukuran 5 kg, gunting, parang, dan kantong plastik (4) perlengkapan pembuatan spesimen herbarium, yakni: alkohol 70%, kertas koran, kantong plastik, dan label spesimen (5) peta tematik Hutan Penelitian Dramaga skala 1:5000 yang memuat informasi mengenai tata ruang dan petak-petak percobaan tumbuhan di kawasan Hutan Penelitian Dramaga (6) kamera, dan alat tulis

40 Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: komponen biaya penangkaran rusa, jenis tumbuhan bawah, jenis tumbuhan pakan, produktivitas hijauan pakan, tingkat konsumsi pakan, kebutuhan ruang per individu rusa, serta parameter demografi rusa timor (natalitas, mortalitas, dan laju pertumbuhan populasi). Data sekunder meliputi: kondisi biofisik Hutan Penelitian Dramaga, dan bioekologi rusa timor. 4.4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data kondisi biofisik Hutan Penelitian Dramaga, komponen biaya penangkaran rusa, dan parameter demografi rusa timor. Sedangkan pengamatan langsung dimaksudkan untuk memperoleh data komposisi jenis tumbuhan bawah, jenis tumbuhan pakan, biomassa dan produktivitas tumbuhan pakan, serta tingkat konsumsi pakan rusa timor Kondisi Biofisik Habitat Pengumpulan data biofisik Hutan Penelitian Dramaga dan kawasan di sekitarnya dilakukan melalui studi literatur untuk mengetahui karakteristik habitat dan lingkungan rusa timor. Data dan informasi berasal dari berbagai sumber seperti jurnal, hasil penelitian, dan laporan studi yang relevan. Selain itu data juga diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika Biaya Penangkaran Pengumpulan data biaya penangkaran bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai komponen dan biaya yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran rusa timor. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pengelola penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Selain itu juga dilakukan studi literatur terhadap berbagai sumber data dan informasi yang relevan seperti jurnal, hasil penelitian, dan laporan.

41 25 Biaya penangkaran dikelompokkan menjadi biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang disusun berdasarkan sistem penangkaran, yaitu sistem intensif, semi intensif dan ekstensif. Untuk penyusunan biaya-biaya tersebut digunakan standar biaya yang berlaku secara lokal maupun nasional, yang mencakup standar biaya pegawai, tenaga kerja, upah, bahan dan pekerjaan. Standar biaya yang digunakan antara lain standar biaya umum tahun 2009, dan standar harga barang dan jasa pemerintah kota Bogor tahun 2009 yang diperoleh dari instansi terkait, diantaranya Departemen Keuangan dan Dinas Cipta Karya Kotamadya Bogor Parameter Demografi Rusa Timor Data parameter demografi rusa timor digunakan untuk menentukan ukuran populasi awal rusa timor untuk Data yang dikumpulkan meliputi: natalitas, mortalitas, dan laju pertumbuhan populasi. Data diperoleh dari berbagai hasil penelitian ilmiah, dan laporan-laporan yang relevan mengenai rusa timor di berbagai tempat, serta kunjungan ke beberapa penangkaran rusa timor di wilayah Jawa Barat Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Analisis vegetasi tumbuhan bawah bertujuan untuk mengetahui jenis dan komposisi tumbuhan bawah, serta jenis tumbuhan pakan rusa timor. Metode yang digunakan metode kuadrat dalam bentuk petak tunggal berukuran 1 m x 1 m. Petak contoh pertama ditempatkan secara acak pada lokasi pengamatan dan selanjutnya dilakukan secara sistematik dengan jarak antar petak 5 m. Jumlah petak contoh yang digunakan didasarkan pada kurva lengkung spesies area, dimana penambahan petak sampel akan dihentikan apabila tidak terdapat penambahan jumlah jenis spesies rumput lebih dari 5 10% (Oosting et al dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988). Petak contoh ditempatkan pada sembilan lokasi di dalam dan di luar areal penangkaran. Lokasi I, II, III, IX terletak di dalam penangkaran yang merupakan areal tempat kegiatan penangkaran diselenggarakan, sedangkan lokasi IV, V, VI, VII, dan VIII terletak di luar penangkaran, mewakili lokasi-lokasi yang berpotensi terdapat rumput dan hijauan sebagai sumber pakan rusa timor. Lokasi di dalam

42 26 penangkaran meliputi: areal kurang ternaungi, areal ternaungi di bawah tegakan, areal terbuka tanpa naungan, dan areal yang telah diolah di bawah tegakan. Lokasi di luar penangkaran meliputi: areal terbuka pada kebun murbei, areal ternaungi di bawah tegakan pada kebun murbei, areal berumput tanpa naungan yang terdapat pada dua lokasi, dan areal berumput di bawah naungan. Data yang dikumpulkan adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, serta jenis tumbuhan pakan rusa timor. Selain itu pada setiap lokasi dicatat tingkat intensitas cahaya harian dengan menggunakan Lux meter. Pencatatan dilakukan pada pagi, siang dan sore hari selama tiga (3) hari Produktivitas Hijauan Pakan Produktivitas hijauan pakan diduga melalui pengamatan tumbuhan pakan rusa timor pada petak contoh berukuran 1m x 1m. Sebanyak 5 petak contoh masing-masing ditempatkan secara sistematik pada sembilan lokasi pengamatan di dalam dan di luar penangkaran, sehingga total petak contoh pengamatan adalah 45 petak contoh. Lokasi pengamatan produktivitas hijauan pakan disesuaikan dengan lokasi pengamatan analisis vegetasi tumbuhan bawah. Pada setiap petak contoh dilakukan pemotongan setiap jenis rumput dan tumbuhan pakan rusa kemudian dibiarkan selama 20 hari. Setelah jangka waktu 20 hari tersebut, setiap jenis rumput dan tumbuhan hijauan pakan dipotong kembali, dipisahkan berdasarkan jenisnya, dan ditimbang berat basahnya (Prasetyonohadi 1986). Sisa bagian hijauan yang tertinggal akan dibiarkan tumbuh selama 20 hari, kemudian dilakukan pemotongan dan penimbangan kembali dengan cara yang sama sebanyak 3 kali. Gambar 3 Plot pengamatan produktivitas hijauan pakan

43 27 Untuk mengetahui produktivitas dan ketersediaan dalam berat kering, serta kadar biomassa, dilakukan analisis biomassa terhadap ± 50 g bobot segar hijauan sampel yang diperoleh pada setiap pemotongan untuk setiap hijauan pakan. Selanjutnya sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 70 0 C selama 48 jam Tingkat Konsumsi Pakan Tingkat konsumsi pakan harian rusa timor diketahui dengan memberikan sejumlah hijauan pakan kepada empat (4) individu rusa timor yang dipelihara dalam kandang pemeliharaan yang terpisah. Empat rusa mewakili jenis kelamin jantan dan betina, serta kelas umur anak dan dewasa. Sebelum pengamatan, setiap rusa ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat badannya. Hijauan pakan juga ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya. Banyaknya hijauan pakan yang diberikan adalah dua kali sepuluh persen dari berat badan rusa. Berat hijauan sisa diketahui dengan menimbang hijauan yang tidak dimakan pada hari berikutnya. Selisih antara berat hijauan awal dengan berat hijauan sisa merupakan gambaran berat hijauan yang dimakan oleh rusa timor dalam satuan kilogram per hari. Pemberian hijauan pakan dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari selama tujuh (7) hari yang dianggap sebagai ulangan. a b c d Gambar 4 Penimbangan rusa sebelum pengamatan konsumsi pakan (a) kandang individu, (b) penyiapan timbangan, (c) penimbangan rusa, (d) indikator timbangan

44 Analisis Data Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Data analisis vegetasi ditabulasi untuk mengetahui jenis dan jumlah jenis tumbuhan bawah, serta tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi pengamatan. Selain itu, data vegetasi disajikan dalam bentuk matrik yang menggambarkan keberadaan jenis-jenis tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan Ketersediaan pakan rusa di Hutan Penelitian Dramaga ditentukan melalui penghitungan produktivitas hijauan, yaitu pertambahan biomassa tumbuhan pakan pada petak contoh dengan mempertimbangkan seluruh hijauan yang potensial sebagai sumber pakan, serta luas masing-masing lokasi. Ketersediaan pakan pada masing-masing lokasi diduga dengan menggunakan persamaan: Keterangan: = ketersediaan hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/th); BB i = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) A = luas areal lokasi (ha) a i = unit contoh pengamatan ke-i (ha) t = waktu pengamatan (th) fk = faktor konsumsi rusa (digunakan nilai 70%) Ketersediaan hijauan pakan di dalam areal penangkaran merupakan ketersediaan hijauan pakan pada lokasi I, II, III, dan IX, sedangkan ketersediaan hijauan pakan di luar areal penangkaran merupakan ketersediaan hijauan pakan pada lokasi IV, V, VI, VII, dan VIII. Ketersediaan pakan total merupakan gabungan ketersediaan di dalam dan di luar penangkaran. Dalam bentuk lain, ketersediaan pakan total juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Keterangan: P = ketersediaan hijauan pakan seluruh lokasi (kg/th) p = produktivitas hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/ha/th) A = luas areal masing-masing lokasi (ha) fk = faktor konsumsi

45 Untuk mengetahui ketersediaan hijauan pakan dalam berat kering, maka digunakan persamaan berdasarkan Semiadi (2006): 29 Keterangan: KB i = kadar biomassa hijauan pakan pengamatan ke-i (%); BK i = bobot kering hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) BB i = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) Tingkat Konsumsi Pakan Rusa Tingkat konsumsi pakan merupakan selisih antara berat hijauan yang diberikan dengan berat hijauan yang tersisa. Rata-rata tingkat konsumsi pakan untuk 4 individu rusa selama 7 hari pengamatan dihitung dengan menggunakan persamaan: Konsumsi pakan (kg/hr) = Berat hijauan pakan awal (kg) Berat hijauan pakan sisa (kg) Daya dukung habitat Nilai daya dukung habitat merupakan perbandingan antara produktivitas hijauan dengan tingkat konsumsi, sehingga daya dukung dihitung dengan menggunakan persamaan: Keterangan: K = daya dukung habitat (individu/ha) P = ketersediaan hijauan pakan (kg/ha) C = rata-rata komsumsi pakan setiap individu(kg/individu) Berdasarkan pendekatan tiga sistem penangkaran rusa, yaitu sistem ekstensif, semi intensif dan intensif, maka daya dukung diduga berdasarkan ketersediaan pakan pada ketiga sistem penangkaran tersebut. Perbedaan ketersediaan pakan pada ketiga sistem tersebut terletak pada cara memperoleh tumbuhan pakan yaitu: tumbuhan pakan yang dapat langsung dikonsumsi dari alam (terletak di dalam areal penangkaran), dan tumbuhan pakan yang disediakan oleh manusia melalui pemotongan/cut and carry (terletak di luar areal penangkaran). Untuk sistem intensif, pakan berasal dari luar areal penangkaran.

46 30 Untuk sistem semi intensif, pakan berasal dari dalam dan luar areal penangkaran, sedangkan untuk sistem ekstensif pakan hanya berasal dari dalam areal penangkaran saja. Dengan demikian daya dukung untuk ketiga sistem penangkaran dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Keterangan: K 1 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran ekstensif (individu) K 2 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran semi intensif (individu) K 3 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran intensif (individu) P A = ketersediaan hijauan pakan yang terdapat di dalam areal penangkaran (kg/th) P B = ketersediaan hijauan pakan yang terdapat di luar areal penangkaran (kg/th) C = rata-rata konsumsi pakan setiap individu (kg/th) Kuota Panenan Kuota panenan ditetapkan berdasarkan perhitungan nilai Break Event Point (BEP) yaitu jumlah panenan minimal yang masih layak pada suatu penangkaran rusa. Pendekatan BEP menggambarkan jumlah produksi minimal yang masih memungkinkan kegiatan penangkaran dapat terus diselenggarakan. Penentuan kuota panenan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: a) Sistem penangkaran yang digunakan, meliputi: sistem ekstensif, sistem semi intensif, dan sistem intensif, b) Jenis produk yang dihasilkan adalah satu jenis produk (single product) yaitu bibit rusa. Dasar yang digunakan dalam penghitungan BEP adalah nilai biaya tetap dan biaya variabel yang ditetapkan berdasarkan biaya investasi masing-masing penangkaran. Selanjutnya, kuota panenan rusa timor yang dinyatakan sebagai Qt, dihitung dengan menggunakan persamaan (Home et al. 1995): Keterangan: Qt = BEP/kuota panenan (individu/th) F = total biaya tetap (Rp./th) P = harga jual per unit produk (Rp./individu) V = biaya variabel per unit produk) (Rp./individu/th)

47 Ukuran Populasi Pada Saat Pemanenan Kuota panenan (Qt) yang telah ditetapkan merupakan jumlah rusa yang dapat dipanen setiap tahun sehingga populasi tetap lestari dan kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Kuota panenan dapat tercapai apabila ukuran populasi pada saat pemanenan mencukupi. Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY), maka ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Keterangan: Nt = ukuran populasi pada saat pemanenan (individu) Qt = kuota panenan (individu/th) h = laju pemanenan r = laju pertumbuhan eksponensial Ukuran Populasi Awal Untuk mencapai kuota panenan dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka dilakukan perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan penangkaran dimulai. Ukuran populasi awal (N 0 ) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan populasi terpaut kerapatan atau disebut juga model logistik (Caughley 1977). Persamaan dasar model logistik adalah: Berdasarkan persamaan tersebut, maka ukuran populasi awal (N 0 ) dapat ditentukan menurut persamaan: Keterangan: N t = ukuran populasi pada waktu pemanenan (individu) N 0 = ukuran populasi awal (individu) K = daya dukung habitat (individu/th) r = laju pertumbuhan t = waktu pemanenan (th) e = bilangan euler (e = 2, )

48 32 Ukuran populasi awal dihitung berdasarkan peubah parameter demografi terutama laju pertumbuhan populasi dengan mempertimbangkan komposisi kelamin. Nilai laju pertumbuhan diperoleh dengan merata-ratakan atau menganalogikan dengan nilai natalitas dan mortalitas yang diperoleh dari penangkaran lain di Jawa Barat yang memiliki kondisi hampir sama dengan lokasi penelitian. Ukuran populasi awal juga ditentukan berdasarkan waktu pemanenan. Untuk mengetahui pengaruh parameter pengamatan terhadap ukuran populasi awal, dilakukan analisis untuk mengetahui sensitivitas secara ekologi dan ekonomi. Sensitivitas secara ekologi bertujuan untuk melihat pengaruh parameter laju pertumbuhan terhadap kuota panenan dan ukuran populasi awal, sedangkan sensitivitas secara ekonomi bertujuan untuk melihat pengaruh parameter biaya operasional terhadap ukuran populasi awal. Pada penelitian ini digunakan kenaikan dan penurunan nilai sebesar 5% dari nilai awal masing-masing parameter Pendugaan Kebutuhan Areal Penangkaran Pendugaan kebutuhan luas areal penangkaran rusa timor pada tiga sistem penangkaran dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis yang dimodifikasi dari Priyono (2007). Pendekatan yang digunakan untuk sistem ekstensif dan intensif adalah kebutuhan areal penangkaran berdasarkan ketersediaan pakan, sedangkan untuk sistem intensif digunakan pendekatan kebutuhan areal penangkaran berdasarkan kebutuhan terhadap ruang. Keterangan: A x = kebutuhan areal penangkaran sistem ekstensif (ha) A y = kebutuhan areal penangkaran sistem semi intensif (ha) A z = kebutuhan areal penangkaran sistem intensif (ha) N = populasi rusa (individu) C = kebutuhan konsumsi setiap individu (kg/individu/th) P A = produktivitas hijauan pakan di dalam areal penagkaran (kg/ha/th) P B = produktivitas hijauan pakan di luar areal penangkaran (kg/ha/th) R = kebutuhan ruang setiap individu (m 2 /individu) fc = faktor koreksi bagi konsumsi setiap individu rusa (25%) fr = faktor pengaman kebutuhan ruang setiap individu (2 kali kebutuhan ruang setiap individu)

49 Analisis Pemilihan Sistem Penangkaran Sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ditentukan berdasarkan kuota panenan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan. Selain itu pemilihan juga mempertimbangkan produktivitas pakan, ketersediaan areal penaangkaran, dan sensitivitas secara ekologi dan ekonomi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ditetapkan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga Analisis populasi pada sistem penangkaran terpilih Pada sistem penangkaran terpilih dilakukan penyusunan spesifikasi rusa yang mencakup ukuran populasi berdasarkan kelas umur, dan nisbah kelamin. Perkembangan populasi awal selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tabel yang menggambarkan perkembangan populasi pada tahun berikutnya. Dalam perhitungan ini digunakan data parameter demografi dan reproduksi seperti peluang hidup, kematian, persentase kebuntingan, persentase keberhasilan melahirkan, dan nisbah kelamin anak yang dilahirkan. Data tersebut diperoleh dari jurnal dan hasil penelitian yang relevan.

50 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah dan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Hutan Penelitian Dramaga selain merupakan sarana koleksi jenis tumbuhan, juga merupakan habitat bagi rusa timor yang terdapat di penangkaran Pusat Penelitian Teknologi Penangkaran Rusa. Salah satu fungsi habitat adalah sebagai sumber pakan bagi rusa yang terdapat di dalamnya. Selain berupa tegakan pohon, pada Hutan Penelitian Dramaga juga terdapat vegetasi tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tumbuhan sumber pakan rusa timor. Tumbuhan bawah tersebut tersebar di beberapa lokasi dengan kondisi yang berbeda-beda sebagaimana disajikan pada Gambar 5. a b c Gambar 5 Kondisi beberapa lokasi tumbuhan bawah; (a) di bawah tegakan di dalam areal penangkaran, (b) di luar areal penangkaran, (c) pada padang rumput, (d) pada areal kebun murbei. Tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga sebagian terdapat di dalam areal penangkaran, dan sebagian lainnya terletak di luar areal penangkaran. Pada beberapa lokasi, tumbuhan bawah terdapat di bawah tegakan pohon, dalam kondisi ternaungi, dan sangat kurang penetrasi cahaya matahari. Namun demikian terdapat juga areal yang tidak ternaungi berupa celah (gap), sehingga penetrasi cahaya matahari dapat mencapai lantai hutan. Selain itu, vegetasi tumbuhan bawah juga terdapat pada areal terbuka yang tersinari cahaya matahari sepanjang hari yaitu padang rumput, areal kebun murbei, dan areal penyangga. Kondisi lokasi dan vegetasi tumbuhan bawah pada setiap lokasi disajikan pada Tabel 1. d

51 Tabel 1 Kondisi lokasi, vegetasi tumbuhan bawah dan hijauan pakan di Hutan Penelitian Dramaga 35 Lokasi Kondisi Karakteristik Di dalam areal penangkaran: I Terletak di dalam areal penangkaran di bawah tegakan pohon, telah dilakukan pemangkasan II Terletak di dalam areal penangkaran, terdapat celah (gap) diantara tegakan pohon III Terletak di dalam areal penangkaran di bawah tegakan pohon, ternaungi IX Terletak di dalam penangkaran pada lahan terbuka berupa padang rumput Di luar areal penangkaran: IV Terletak di luar penangkaran di sekitar areal murbei V Terletak di luar penangkaran pada areal kebun murbei VI Terletak di luar penangkaran ternaungi VII Terletak di luar penangkaran di areal penyangga, tidak ternaungi VIII Terletak di luar penangkaran pada lahan terbuka, terdapat rumput Rata cahaya harian (lux) Jumlah jenis tumbuhan bawah Jumlah jenis hijauan pakan Sebagian besar lokasi di dalam areal penangkaran memiliki tingkat cahaya harian yang lebih rendah dibandingkan lokasi lain di luar areal penangkaran. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lokasi yang terletak di bawah tegakan hutan sehingga mengurangi sinar matahari yang sampai ke lantai hutan. Satu-satunya lokasi yang memiliki tingkat cahaya tinggi di dalam areal penangkaran adalah lokasi IX ( lux) yang merupakan areal terbuka dan tidak terdapat tegakan pohon. Tingkat cahaya harian pada masing-masing lokasi disajikan pada Lampiran 1. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan hijauan pakan yang ditemukan pada areal yang tidak ternaungi lebih banyak dibandingkan pada areal yang ternaungi. Jumlah jenis paling sedikit terdapat pada lokasi III yang terdapat di bawah tegakan pohon, yaitu 6 jenis tumbuhan bawah dan 3 jenis hijauan pakan. Jumlah jenis paling banyak terdapat pada plot VII dan IX yang merupakan areal terbuka, yaitu 15 jenis tumbuhan bawah dan 10 jenis hijauan pakan. Jumlah jenis hijauan sumber pakan pada masing-masing lokasi disajikan pada Gambar 6.

52 36 Gambar 6 Jumlah jenis hijauan sumber pakan berdasarkan lokasi Rusa timor merupakan satwa herbivora yang memakan hijauan dan rumput (grazer) disamping juga memakan ranting dan dedaunan (concentrate selector atau browser). Oleh sebab itu, ketersediaan tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga sangat penting artinya bagi penyediaan sumber pakan karena sebagian besar tumbuhan sumber pakan rusa timor tersedia pada tingkat vegetasi tumbuhan bawah. Pada sembilan lokasi di dalam dan di luar areal penangkaran pada Hutan Penelitian Dramaga ditemukan 38 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 20 famili, dan 23 jenis diantaranya merupakan tumbuhan yang berpotensi sebagai hijauan pakan rusa timor. Sebagian besar jenis tumbuhan bawah dan hijauan pakan yang mendominasi termasuk dalam famili Poaceae. Jenis dan dominasi jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada lokasi pengamatan disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 dan 3. Jenis-jenis tumbuhan/hijauan sumber pakan yang temukan pada masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 2.

53 Tabel 2. Penyebaran jenis-jenis hijauan pakan pada setiap lokasi Jenis hijauan pakan Ageratum conyzoides L. Kyllingia monocephala Rottb. Calliandra callothyrsus Benth. Melastoma polyanthum L. Clidemia hirta L. Mimosa pudica L. Oxalis corniculata L. Piper aduncum L. Polygala paniculata L. Lycopodium cernuum L. Panicum montanum L. Setaria barbata Lam. Konth. Axonopus compressus P.B. Heirochloe horsfieldii Kunth.Maxim. Imperata cylindrica L. Beauv. Leersia hexandra Swartz. Isachne globosa Thunb. Carex baccans Noes. Phyllanthus niruri L. Centela asiatica L. (Urb.) Mikania micrantha H.B.K. Commelina nudiflora L. Rottboellia grandulosa Trin. Lokasi I II III IV V VI VII VIII IX * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 4 * * * * * * * * * * * * * * * 4 * * 2 * * * 3 * * * * 4 * 1 Total * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 37 Total Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis-jenis hijauan pakan yang dijumpai tersebar pada lokasi yang berbeda-beda. Beberapa jenis hanya ditemukan di bawah tegakan di dalam areal penangkaran saja seperti Calliandra callothyrsus, Melastoma polyanthum, Clidemia hirta, dan Lycopodium cernuum. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan IPB & Dephut (1999), yang juga menemukan Melastoma polyanthum dan Lycopodium cernuum di bawah tegakan pohon di HP Dramaga. Diduga jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang dapat beradaptasi pada lingkungan dengan tingkat cahaya rendah. Sebaliknya, beberapa jenis lain seperti Kyllingia monocephala, Imperata cylindrica, Mimosa pudica, Commelina nudiflora hanya dijumpai pada lokasi yang tidak ternaungi atau areal terbuka. Jenis-jenis tersebut umum dijumpai pada tempat terbuka dengan tingkat cahaya tinggi (Steenis 2006). Jenis hijauan yang ditemukan pada lokasi pengamatan termasuk dalam daftar 60 jenis hijauan yang dikonsumsi rusa timor sebagaimana yang dikelompokkan oleh Semiadi (2006). Beberapa diantaranya adalah Ageratum conyzoides, Axonopus compressus, Imperata cylindrica, Panicum spp, Setaria dan

54 38 spp, Caliandra callothyrsus, Mimosa pudica, Oxalis corniculata, Piper aduncum, Lycopodium cernuum, dan Polygala paniculata. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian Witchatitsky et al. (2005), yang menemukan beberapa jenis hijauan seperti Imperata cylindrica, Ageratum conyzoides, dan beberapa jenis dari jenis Carex sp., Kyllingia sp., dan Lycopodium sp. pada rumen rusa timor. Keberadaan jenis-jenis hijauan pakan tersebut sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pakan bagi rusa timor. Berdasarkan kondisi areal yang sebagian berupa tegakan pohon, maka perlu adanya pengelolaan jenis hijauan pakan. Moser et al. (2006) menyatakan bahwa pengelolaan tumbuhan sumber pakan bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hijauan yang dapat diperoleh dengan memperbesar ruang masuknya cahaya matahari pada areal berhutan dengan cara membuka sebagian kanopi pohon. 5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan Produktivitas hijauan pakan potensial diketahui melalui pemanenan hijauan pakan sebanyak 3 kali dengan interval waktu pemotongan 20 hari pada 45 plot pengamatan berukuran 1 m x 1m yang tersebar pada sembilan lokasi. Hampir seluruh areal penangkaran dapat diakses oleh rusa untuk mendapatkan hijauan pakan. Namun demikian, hijauan yang ada tidak seluruhnya tersedia bagi rusa. Menurut Brown (1954) sebagian hijauan yang dapat dikonsumsi rusa disebut sebagai proper use. Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya nilai proper use, diantaranya topografi, kondisi tanah, jenis tanaman, jenis satwa, tingkat kesuburan suatu jenis pakan, dan keadaan musim. Berdasarkan perilaku rusa timor dalam memakan hijauan di alam, yang teramati saat kunjungan ke beberapa penangkaran, tidak semua bagian hijauan dikonsumsi oleh rusa. Hanya sekitar 70% dari keseluruhan bagian hijauan yang dikonsumsi oleh rusa. Bagian tanaman yang dapat dimakan tersebut merupakan proser use, yang dalam penelitian ini disebut sebagai faktor konsumsi. Dengan demikian dalam pendugaan produktivitas hijauan yang langsung diperoleh rusa, berlaku asumsi bahwa proporsi bagian rumput dan hijauan yang efektif dikonsumsi oleh rusa adalah sebesar 70%. Sedangkan untuk produktivitas hijauan yang disediakan oleh manusia, asumsi faktor konsumsi tidak berlaku.

55 Selain mempertimbangkan faktor konsumsi, produktivitas dihitung dengan mempertimbangkan musim hujan dan musim kemarau. Penentuan musim ini berdasarkan pada rata-rata bulan basah dan bulan kering selama tiga tahun, yaitu tahun yang diperoleh dari Badan Meterologi dan Geofisika Dramaga Bogor. Rincian data curah hujan di sekitar kawasan Hutan Penelitian Dramaga disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan asumsi dan pertimbangan tersebut, diperoleh produktivitas hijauan dan ketersediaan pakan pada sembilan lokasi sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Produktivitas dan ketersediaan hijauan pakan rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga Lokasi Tingkat cahaya harian Produktivitas hijauan pakan (kg/ha/th) Luas areal (ha) Ketersediaan biomassa hijauan pakan (kg/th) (lux) Berat segar Berat kering Berat segar Berat kering Di dalam areal penangkaran: I ,48 141,07 0,3 317,83 29,62 II ,62 116,16 0,25 220,08 20,33 III ,22 36,51 3, ,87 88,16 IX , ,08 2, , ,39 Di luar areal penangkaran: IV ,68 652, , ,33 V ,97 762,52 1, ,36 838,77 VI ,05 431,82 1, ,57 647,73 VII ,71 878,14 0, ,35 439,07 VIII , , , ,17 Tabel 3 menunjukkan bahwa produktivitas hijauan pakan tertinggi terdapat pada lokasi IX yaitu sebanyak ,09 kg/ha/th berat segar atau setara dengan 4.079,08 kg/ha/th berat kering, sedangkan yang terendah pada lokasi III sebanyak 502,22 kg/ha/th berat segar atau setara dengan 36,51 kg/ha/th berat kering. Rendahnya produktivitas pada lokasi III diduga disebabkan oleh kondisi tumbuhan hijauan yang ternaungi oleh tegakan pohon sehingga kurang mendapat cahaya matahari untuk pertumbuhannya. Dugaan ini diperkuat dengan hasil pengukuran rata-rata tingkat cahaya yang sangat rendah pada lokasi III yaitu sebesar lux. Kondisi yang berbeda terdapat pada lokasi VIII dan IX dimana nilai produktivitas hijauan relatif tinggi dibandingkan lokasi-lokasi lainnya. Kondisi lokasi yang berupa areal terbuka dengan rata-rata tingkat cahaya yang tinggi yaitu 39

56 40 masing-masing sebesar lux dan lux, diduga sangat mendukung pertumbuhan hijauan pakan. Sebaliknya, lokasi yang ternaungi kurang mendukung pertumbuhan hijauan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Deptan (2005) yang melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat naungan maka produktivitas biomassa legum dan rumput semakin rendah. Perbandingan produktivitas pakan dengan tingkat cahaya harian pada setiap lokasi, disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Perbandingan produktivitas hijauan pakan dengan tingkat cahaya harian Nilai produktivitas hijauan pakan tertinggi pada lokasi IX sebanyak ,09 kg/ha/th, lebih rendah dibandingkan nilai produktivitas hijauan pada beberapa tempat lain di Jawa Barat. Sebagai pembanding, produktivitas hijauan di penangkaran Rusa Perum Perhutani Jonggol di dalam kandang dengan pemagaran adalah sebanyak 4,95 g/m 2 /hari atau ,5 kg/ha/th (Teddy 1998). Sedangkan produktivitas hijauan pakan di penangkaran Ranca Upas Bandung sebanyak 59,25 kg/ha/hari atau ,25 kg/ha/th (Feriyanto 2002). Namun demikian, apabila dibanding dengan daerah Indonesia Timur dengan kondisi klimatologi yang berbeda, produktivitas hijauan di Hutan Penelitian Dramaga lebih tinggi. Hasil penelitian Kayat & Takandjandji (2003) di Bu at, Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa produktivitas hijauan pakan rusa timor yang disukai adalah 969,5 kg/ha/bl atau sama dengan kg/ha/th.

57 41 Produktivitas hijauan dan luas areal sangat menentukan ketersediaan pakan pada suatu areal. Apabila produktivitas hijauan pada dua lokasi relatif sama, namun luas areal berbeda, maka ketersediaan hijauan pakan akan lebih tinggi pada lokasi yang memiliki areal yang lebih luas. Tabel 3 menunjukkan bahwa walaupun produktivitas hijauan pakan pada lokasi IX paling tinggi, ketersediaan biomassa hijauan pakan tertinggi justru terdapat pada lokasi VIII yaitu sebanyak ,92 kg/th. Hal ini disebabkan luas areal pada Lokasi VIII paling tinggi yaitu sekitar 5 hektar. Ketersediaan hijauan pakan terendah terdapat pada lokasi II yaitu sebanyak 220,08 kg/th. Berdasarkan rata-rata kadar biomassa hijauan di Hutan Penelitian Dramaga sebanyak 17,23%, maka ketersediaan hijauan pakan tertinggi dalam berat kering adalah 9.707,17 kg/th, dan terendah sebanyak 20,33 kg/th. Jumlah ketersediaan hijauan pakan di dalam areal penangkaran sebanyak ,45 kg/th, dan di luar areal penangkaran sebanyak ,56 kg/th. Sehingga total ketersediaan hijauan pakan areal pada Hutan Penelitian Dramaga adalah ,01 kg/th atau setara dengan berat kering sebesar ,57 kg/th. 5.3 Tingkat Konsumsi Tingkat konsumsi pakan yang dihitung dalam penelitian ini adalah tingkat konsumsi pakan harian yang menunjukkan banyaknya hijauan pakan yang dimakan oleh satu individu rusa untuk dapat beraktivitas. Rusa yang digunakan dalam pengamatan tingkat konsumsi mewakili jenis kelamin dan usia anak (< 2 tahun) dan dewasa (> 2 tahun). Rincian konsumsi pakan harian rusa timor disajikan pada Lampiran 4. Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian rusa timor selama tujuh hari pengamatan di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga disajikan pada Tabel 4.

58 Tabel 4 Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian empat individu rusa timor Rusa Berat badan rusa (kg) Rata-rata konsumsi (kgbb) Kadar biomassa hijauan pakan (%) Rata-rata konsumsi (kgbk) 42 Proporsi rata-rata konsumsi (kgbb) per berat badan (%) Per Per jenis individu kelamin 17,55 Dewasa 37,11 6,39 17,23 1,10 17,22 Anak 29,52 5,28 17,23 0,91 17,89 Dewasa 59,46 8,16 17,23 1,41 13,72 14,86 Anak 35,78 5,76 17,23 0,99 16,10 Rata-rata (kg) 40,47 6,40 17,23 1,10 16,15 16,15 Keterangan: BB = berat basah, BK = berat kering Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga sebesar 6,4 kgbb/individu/hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Teddy (1998) yang memperoleh rata-rata tingkat konsumsi harian sebanyak 5,88 kgbb/individu/hari. Tingginya tingkat konsumsi dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, perbedaan jumlah dan spesifikasi rusa yang digunakan. Teddy (1998) menggunakan dua ekor rusa dewasa yang jenis kelaminnya tidak diketahui, sedangkan pada penelitian ini menggunakan empat ekor rusa yang mewakili kelas umur anak dan dewasa serta jenis kelamin jantan dan betina. Kedua, perbedaan dugaan kandungan air pada hijauan di kedua tempat. Kandungan air hijauan di Hutan Penelitian Dramaga cukup tinggi yaitu 82,77%, sedangkan kadar biomassa hanya 17,23%. Untuk mendapatkan gambaran kadar biomassa yang dikonsumsi, maka tingkat konsumsi dapat dinyatakan dalam berat kering. Berdasarkan kadar biomassa hijauan pakan di HP Dramaga sebesar 17,23%, maka tingkat konsumsi rusa timor setara dengan 1,1 kgbk/individu/hari. Nilai yang diperoleh ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh Garsetiasih et al. (2003) yaitu sebesar 1,08 kgbk/hari untuk tingkat konsumsi rumput dan daun nampong. Namun demikian jika dibandingkan hasil yang diperoleh Kii & Dryden (2005), nilai yang diperoleh lebih rendah yaitu masing-masing 1,19 kgbk/individu/hari dan 1,17 kgbk/individu/hari untuk tingkat konsumsi dua jenis rumput pakan.

59 43 Gambar 8 Kandang rusa dan tempat pakan pada pengamatan tingkat konsumsi di HP Dramaga Proporsi rata-rata tingkat konsumsi terhadap berat badan rusa timor adalah sebesar 16,15%. Nilai ini lebih rendah dari proporsi konsumsi rusa timor di alam sebagaimana diperoleh Hasiholan (1995), yaitu sebesar 19% dari berat badannya. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda antara lingkungan penangkaran dan lingkungan alam. Pada lingkungan alam, rusa memiliki ruang yang lebih luas untuk beraktivitas, sehingga kebutuhan energi lebih besar dan tingkat konsumsi lebih tinggi. Sebaliknya, di lingkungan penangkaran pergerakan rusa tidak sebebas di lingkungan alam sehingga kebutuhan energi dan tingkat konsumsi lebih rendah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lelono (2003) yang menunjukkan bahwa aktivitas utama pada rusa timor di penangkaran adalah aktivitas makan, kemudian disusul aktivitas istirahat, dan aktivitas lainnya. Selain itu, lebih rendahnya aktivitas rusa di penangkaran juga dapat mengakibatkan berat badan yang lebih besar dibandingkan berat badan rusa di alam, sehingga perbandingan tingkat konsumsi dengan badan badan yang lebih besar akan menghasilkan nilai proporsi yang lebih rendah. Proporsi rata-rata tingkat konsumsi terhadap berat badan pada rusa betina sebesar 17,55% lebih tinggi dibandingkan pada rusa jantan sebesar 14,86%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi rusa jantan dewasa pada saat pengamatan yang sedang mengalami musim kawin, dan rusa jantan anak yang sedang mengalami pertumbuhan ranggah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lelono (2003) yang menunjukkan bahwa individu yang paling banyak beraktivitas adalah jantan dominan. Dalam kondisi tersebut, aktivitas rusa cenderung lebih aktif dan agresif, serta tingkat konsumsi menurun.

PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA

PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rusa Timor 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-Ekologi Rusa Timor 1. Taksonomi Menurut Schroder (1976), rusa timor (Cervus timorensis) diklasifikasikan ke dalam : Phylum Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E

PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 PROGRAM KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016

Lebih terperinci

PENENTUAN SISTEM PENANGKARAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville 1822) BERDASARKAN JATAH PEMANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL

PENENTUAN SISTEM PENANGKARAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville 1822) BERDASARKAN JATAH PEMANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL Media Konservasi Vol. 17, No. 2 Agustus 2012 : 55 64 PENENTUAN SISTEM PENANGKARAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis de Blainville 1822) BERDASARKAN JATAH PEMANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL (Determining of Captive

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi

Lebih terperinci

BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI

BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI II.1 Pengertian Satwa Liar Di Indonesia terdapat banyak jenis satwa liar. Satwa liar adalah semua jenis satwa yang memiliki sifat-sifat liar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Rusa Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam Bangsa (Ordo) Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) Cervidae. Suku Cervidae terbagi

Lebih terperinci

Ketersediaan Tumbuhan Pakan dan Daya Dukung Habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di Kawasan Hutan Penelitian Dramaga

Ketersediaan Tumbuhan Pakan dan Daya Dukung Habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di Kawasan Hutan Penelitian Dramaga Ketersediaan Tumbuhan Pakan dan Daya Dukung Habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di Kawasan Hutan Penelitian Dramaga Rozza T. Kwatrina 1 *, Mariana Takandjandji 2, dan M. Bismark 2 1 Balai Penelitian

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Rusa Sambar Perilaku satwa liar merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya

Lebih terperinci

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh :

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh : PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT Oleh : Isniatul Wahyuni 1) (E34120017), Rizki Kurnia Tohir 1) (E34120028), Yusi Widyaningrum 1) (E34120048),

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang I. PENDAWLUAN A. Latar Belakang Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan satu dari empat sub spesies Macropus agilis yang penyebarannya terdapat di wilayah selatan kepulauan

Lebih terperinci

Teknis Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan

Teknis Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan SEMINAR SEHARI PROSPEK PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) SEBAGAI STOK PERBURUAN Teknis Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan Oleh: Achmad M. Thohari, Burhanuddin Masyud,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

EVALUASI PENANGKARAN RUSA CERVUS TIMORENSIS DI PULAU JAWA. (The Backyard Evaluasion of Species Cervus timorensis in Java Island )

EVALUASI PENANGKARAN RUSA CERVUS TIMORENSIS DI PULAU JAWA. (The Backyard Evaluasion of Species Cervus timorensis in Java Island ) EVALUASI PENANGKARAN RUSA CERVUS TIMORENSIS DI PULAU JAWA (The Backyard Evaluasion of Species Cervus timorensis in Java Island ) S. I. Santoso dan Zainal Fanani Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA VINA SITA NRP.1508 100 033 JURUSAN BIOLOGI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Itik Rambon Ternak unggas yang dapat dikatakan potensial sebagai penghasil telur selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, melihat

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Sapi Bali Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar 1.519 ekor (Unit Pelaksana Teknis Daerah, 2012). Sistem pemeliharaan sapi bali di Kecamatan Benai

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

DESAIN PENANGKARAN RUSA TIMOR BERDASARKAN ANALISIS KOMPONEN BIO-EKOLOGI DAN FISIK DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR MARIANA TAKANDJANDJI

DESAIN PENANGKARAN RUSA TIMOR BERDASARKAN ANALISIS KOMPONEN BIO-EKOLOGI DAN FISIK DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR MARIANA TAKANDJANDJI DESAIN PENANGKARAN RUSA TIMOR BERDASARKAN ANALISIS KOMPONEN BIO-EKOLOGI DAN FISIK DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR MARIANA TAKANDJANDJI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1.Populasi Minimum Lestari Pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1.Populasi Minimum Lestari Pengertian 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Populasi Minimum Lestari 2.1.1. Pengertian Ukuran populasi minimum lestari yang lebih dikenal dengan Minimum viable population (MVP) menyatakan ambang batas ukuran populasi suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu (Sumber : Suharyanto, 2007) Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur Kabupaten Kaur adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Luas wilayah administrasinya

Lebih terperinci

PENDUGAAN DAYA DUKUNG DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI RUSA TIMOR DI CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, CIAMIS JAWA BARAT

PENDUGAAN DAYA DUKUNG DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI RUSA TIMOR DI CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, CIAMIS JAWA BARAT PENDUGAAN DAYA DUKUNG DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI RUSA TIMOR DI CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, CIAMIS JAWA BARAT GLEN ERIC KANGIRAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Keadaan Umum Balai Pengembangan Ternak Domba Margawati merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komodo (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) merupakan kadal besar dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor

Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor R. Garsetiasih 1 dan Nina Herlina 2 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor 2 Sekretariat Jenderal Departemen

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PRODUKTIVITAS RUMPUT LAPANG DAN PALATABILITAS KULIT PISANG NANGKA (Musa paradisiaca L) UNTUK PAKAN TAMBAHAN PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DI PENANGKARAN S U N A R N O SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

IV. BAHAN DAN METODE

IV. BAHAN DAN METODE IV. BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2004 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan TINJAUAN PUSTAKA Geografi Desa Celawan a. Letak dan Geografis Terletak 30677 LU dan 989477 LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Pantai Cermin dengan ketinggian tempat 11 mdpl, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan

Lebih terperinci