ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI"

Transkripsi

1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari diketahui dari hasil analisis model persamaan struktural sebagaimana pada Gambar 6. Dari gambar tersebut dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu : (1) faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani (Y1); dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2). Chi-Square=340,15, df=347, P-value=0,05934, RMSEA=0.073, CFI=0,98 Gambar 6. Model Lengkap Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Sertifikasi)

2 152 Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Belajar Petani Hasil analisis SEM menunjukkan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi intensitas belajar petani berturut-turut dari nilai koefisien yang paling besar yaitu: Kelembagaan pendukung pembelajaran petani (X5), Kelembagaan masyarakat (X4), Karakteristik petani (X1), dan Kompetensi Penyuluh/Pendamping (X2). Pendekatan pembelajaran (X3) dalam penelitian ini ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani. Hubungan antara intensitas belajar petani dengan peubah yang mempengaruhinya dapat dituliskan dengan persamaan : Y1= 0,26*X1 + 0,17*X2 + 0,26*X4 + 0,31*X5, R 2 = 0,78 Artinya secara simultan pengaruh keempat peubah tersebut pada intensitas belajar petani sebesar 0,78. Hal ini mempunyai makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut sebesar 78 persen, sedangkan sisanya sebesar 22 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Dengan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 dalam penelitian ini diterima, walaupun tidak semua peubah pada hipotesis 1 diterima. Hipotesis 1 penelitian ini adalah intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dipengaruhi oleh karakteristik petani, kompetensi penyuluh/ pendamping, pendekatan pembelajaran, kelembagaan masyarakat dan kelembagaan pendukung. Satu peubah dalam penelitian ini yaitu pendekatan pembelajaran ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di kedua kabupaten secara keseluruhan tergolong rendah. Rendahnya intensitas belajar petani tersebut disebabkan oleh belum baik faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa intensitas belajar petani yang rendah ini disebabkan oleh lemahnya kelembagaan pendukung pembelajaran petani, lemahnya dinamika kelembagaan masyarakat, rendahnya kompetensi penyuluh/pendamping, dan konsep diri dan motivasi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) yang tidak maksimal.

3 153 Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Faktor yang menjadi penentu intensitas belajar petani sertifikasi ialah kelembagaan pendukung pembelajaran petani. Hal tersebut dapat dianalisis dari adanya perbedaan intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul tergolong sedang, sedangkan di Wonogiri tergolong rendah. Perbedaan intensitas belajar petani di kedua lokasi penelitian ternyata dipengaruhi kuat oleh adanya perbedaan kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Kelembagaan pendukung pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda khususnya berkaitan dengan keberadaan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari (Pokja HRL), yang merupakan tim kerja khusus yang dibentuk Bupati untuk mengembangkan Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul. Pokja Hutan Rakyat Lestari ini melibatkan berbagai unsur, baik Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Keberadaan Pokja Hutan Rakyat Lestari telah menyebabkan kegiatan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari dapat berlangsung dengan lebih baik karena melibatkan berbagai pihak yang berperan aktif untuk mencapai tujuan bersama. Pokja HRL bukan saja melibatkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dari unsur Pemerintah Daerah, tetapi juga Bappeda, yang memberikan dampak yang positif terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Menurut hasil analisis SEM, aspek kelembagaan pendukung yang paling berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi ialah dukungan kegiatan dan dukungan personil. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk dukungan atau fasilitasi yang langsung bersentuhan, dirasakan dan dinikmati oleh petani adalah kegiatan pembelajaran dan kehadiran penyuluh/pendamping di desa untuk mendampingi petani dalam mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Dukungan kegiatan dan dukungan personil yang diberikan kelembagaan pendukung pembelajaran di Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda, sehingga menyebabkan perbedaan intensitas belajar petaninya. Dukungan kegiatan bermanfaat di Gunung Kidul yang difasilitasi lembaga pendukung, sejak adanya pendampingan dari PKHR, Lembaga Arupa, Yayasan Shorea dan Dishutbun (yang tergabung dalam Pokja HRL), cukup banyak. Kegiatan tersebut berupa

4 154 pelatihan, magang, studi banding bagi para pengurus/anggota kelompok. Selain itu bantuan-bantuan dari berbagai pihak maupun kegiatan kunjungan-kunjungan, termasuk Belajar Antar Petani, Pelatihan petani se-asean yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi (PT), maupun LSM telah meningkatkan aktivitas pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul. Bahkan sampai pada saat penelitian dilakukan, kegiatan pelatihan masih terus dijalankan. Walaupun kegiatan pendampingan berkaitan dengan proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari telah selesai, tetapi kegiatan pemeliharaan dan pemantapan hasil sertifikasi terus dilakukan. Sementara di Wonogiri dukungan kegiatan oleh lembaga pendukung pembelajaran petani sertifikasi sangat terbatas, bahkan setelah proses sertifikasi selesai, tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan untuk pemantapan Hutan Rakyat Lestari atau yang sudah disertifikasi. Memang ada usaha perbengkelan yang terus dijalankan, hanya tidak dikelola dengan baik dan kurang melibatkan pengurus atau anggota lainnya, sehingga hanya dinikmati oleh beberapa orang saja. Demikian juga dengan dukungan personil untuk pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Dengan adanya Pokja HRL, terdapat kerja sama yang baik antara personil yang ditempatkan untuk mendampingi pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul, khsususnya di antara pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Walaupun memang diakui sampai dengan saat ini, sekalipun institusi pembina mereka tergabung dalam satu kelompok kerja (POKJA), namun untuk tim yang bertugas langsung mendampingi masyarakat di desa masih belum bersinergi dengan baik, terutama antara LSM, PT dengan penyuluh dari Pemda. Sebagai contoh berkaitan dengan kompetensi penyuluh dan pendamping, khusus pendamping dari PT dan LSM sering diadakan pertemuan, pelatihan dan sharing tentang permasalahan dan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada masyarakat. Penyuluh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul atau saat ini Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) belum terlibat banyak dalam pertemuan tersebut, padahal bila dapat bersinergi dalam pertemuan dan pelatihan ini, akan mempunyai dampak yang sangat baik, karena antara penyuluh dari LSM, Perguruan Tinggi,

5 155 dan Pemda dapat saling melengkapi dan berbagi pengalaman dalam mendampingi masyarakat Gunung Kidul. Aspek kelembagaan pendukung lainnya yang berpotensi terhadap intensitas belajar petani ialah kesamaan nilai hutan antara masyarakat dan Pemerintah. Kesamaan nilai ini menjadi modal utama bagi terjadinya kolaborasi atau kemitraan yang baik antara masyarakat, Pemerintah dan Lembaga lainnya yang berkepentingan dalam Hutan Rakyat Lestari. Adanya Keputusan Bupati tentang pembentukan Pokja HRL maupun peraturan-peraturan daerah lainnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari (seperti Perda Hutan Rakyat Lestari yang pada saat penelitian belum tersusun, masih dilakukan perumusan bersama oleh Pokja HRL) sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan pembelajaran masyarakat mengenai Hutan Rakyat Lestari. Dukungan anggaran yang diberikan oleh lembaga pendukung pembelajaran juga merupakan aspek kelembagaan pendukung pembelajaran yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi. Dengan adanya Pokja di Gunung Kidul, maka anggaran untuk kegiatan Hutan Rakyat Lestari termasuk di dalamnya pembelajaran masyarakat menjadi tanggung jawab bersama. Sebagai contoh, keterlibatan PKHR UGM dalam pendampingan pembelajaran masyarakat Gunung Kidul tentang Hutan Rakyat Lestari secara tidak langsung menarik dukungan pendanaan dari donor PKHR, dalam hal ini Ford Foundation. Dengan demikian pendanaan sertifikasi hutan rakyat/hutan Rakyat Lestari tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemda, dalam hal ini Dinas Kehutanan sebagai instansi pembina teknis, saja, tetapi merupakan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Kelembagaan Masyarakat Hampir semua aspek kelembagaan masyarakat di kedua kabupaten termasuk kategori sedang, tetapi kelembagaan masyarakat mempunyai pengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Lembaga informal dalam masyarakat seperti arisan, sampai dengan saat ini berjalan baik di Gunung Kidul maupun di Wonogiri. Lembaga ini berlangsung cukup lama dan cukup diminati oleh warga. Petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri mengakui bahwa

6 156 arisan menjadi lembaga yang mempunyai peranan dalam pembelajaran petani. Wadah ini bila ditinjau dari segi ekonomi/keuangan tidak terlalu besar manfaatnya, karena mereka hanya mengumpulkan Rp /bulan. Tetapi wadah ini menjadi daya tarik bagi petani untuk berkumpul, bersosialisasi dan saling tukar menukar informasi dan hiburan petani setelah seharian bekerja di ladang. Salah satu contoh di Desa Kedungkeris, Gunung Kidul dimana peneliti mendapatkan kesempatan untuk menghadirinya, terdapat suasana kekeluargaan dan akrab, walaupun tidak secara langsung menjadi wadah untuk pembelajaran masyarakat, khususnya melalui interaksi antar petani. Organisasi formal lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, FKPS (di Wonogiri), Koperasi Wana Manunggal Lestari (di Gunung Kidul) dan lainnya diakui juga berperan, tetapi sebagian besar petani mengakui bahwa peranan organisasi formal tersebut dalam pembelajaran petani berada di bawah urutan setelah arisan. Artinya organisasi formal tersebut belum dapat sepenuhnya berperan sebagai wadah pembelajaran yang paling efektif bagi petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Dari hasil analisis SEM, diperoleh hasil bahwa aspek kelembagaaan masyarakat yang paling berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani adalah norma/nilai, kemudian diikuti dengan aspek kesamaan tujuan, dan kepemimpinan. Norma atau nilai-nilai yang diyakini dan dijalankan oleh masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri memberikan pengaruh yang baik terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Beberapa contoh nilai-nilai dalam masyarakat yang mendukung intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari ialah kepercayaan kepada pemimpin/pemerintah, aturan tentang kewajiban melakukan penanaman setelah penebangan, gotong royong/sambatan, dan nilai hidup/budaya kerja keras. Petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul sangat mempercayai pemerintah dan pemimpinnya. Hal ini terbukti, ketika sertifikasi Hutan Rakyat Lestari belum menampakkan hasil yang diharapkan yaitu kenaikan harga jual kayu (premium price) mereka mengaku kecewa tetapi tidak mempersalahkan pemimpin atau pemerintah yang telah mengenalkan dan

7 157 membawa mereka untuk memperoleh sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Mereka tetap percaya bahwa pemerintah selalu berniat baik untuk memajukan masyarakatnya. Kepercayaan masyarakat Gunung Kidul terhadap pemerintah merupakan kapital sosial yang potensial dalam pengembangan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul. Hal ini ditegaskan oleh Fukuyama (1995), yang diacu dalam Field (2010). Menurut Fukuyama kepercayaan adalah unsur dasar kapital sosial. Kapital sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan abadi di tengah-tengah masyarakat atau pada bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Kepercayaan adalah dasar dari tatanan sosial, komunitas bergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul secara spontan. Field (2010) menegaskan bahwa jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan rendah. Hal ini terbukti di Forum Komunitas Petani Sertifikasi di Wonogiri, jaringan tidak berfungsi dengan baik karena petani tidak mempercayai pengurus FKPS. Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, terdapat norma atau aturanaturan tidak tertulis berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari, yang masih dipegang oleh masyarakat dan diwariskan secara turun temurun baik. Misalnya kewajiban menanam, dan memelihara pohon yang ditanam, tidak lama setelah menebang di lahannya. Wajib tanam berbeda dalam hal jumlahnya, baik antar dusun maupun desa di Kabupaten Wonogiri dan Gunung Kidul. Norma ini bahkan di beberapa kelompok sudah menjadi aturan tertulis yang dituangkan dalam AD/ART Kelompok tani. Norma dan aturan tidak tertulis, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri, juga merupakan kapital sosial, yang tidak dapat dipisahkan dengan jaringan dan kepercayaan. Menurut Fukuyama (1999), yang diacu dalam Field (2010), norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan secara berulang-ulang. Budaya gotong royong juga mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi. Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Desa Selopuro dan Sumberejo Wonogiri memulai kegiatan hutan rakyat dengan gotong royong melakukan penanaman sekitar tahun Budaya gotong royong sudah mengakar pada masyarakat Gunung Kidul maupun Wonogiri, sehingga tidak sulit

8 158 bagi masyarakat untuk mempelajari dan memiliki sikap positif terhadap Hutan Rakyat Lestari khususnya dalam aspek sosial. Walaupun dalam penerapannya, masih sulit bagi masyarakat untuk bekerja sama dan masih banyak mengembangkan Hutan Rakyat Lestari secara individual. Masyarakat masih belum terbiasa berorganisasi secara formal, sehingga sulit bagi masyarakat untuk dapat mengelola kelompok tani sebagai kelompok formal. Apalagi bila kelompok itu memang sengaja dibentuk oleh lembaga eksternal pendukung pembelajaran untuk memenuhi persyaratan mendapatkan sertifikat ekolabel tanpa adanya kesadaran dan kebutuhan masyarakat untuk membentuknya. Sebagai contoh, salah satu kelompok tani di Desa Girisekar yaitu Kelompok Sekar Eko Jati, yang pada saat penelitian dilakukan sudah mati, karena memang kelompok ini dibentuk pada pertengahan proses sertifikasi di Gunung Kidul tanpa adanya sosialisasi dan pendekatan, hanya untuk memenuhi persyaratan luasan Hutan Rakyat Lestari. Sebaliknya Kelompok Tani Percabaan di Wonogiri, yang tumbuh sekitar tahun 1970 secara swadaya karena kebutuhan masyarakat sendiri, yang pada saat itu sedang giat-giatnya bergotong royong melakukan penanaman di dusun Jarak. Sampai dengan saat ini kelompok tersebut masih berjalan dengan baik, walaupun memang belum dapat mengikuti dinamika organisasi modern seperti yang diharapkan, dengan adanya pembagian tugas yang baik dan keterkaitan antar bagian dalam menjalankan organisasi. Kesesuaian tujuan organisasi kemasyarakatan dengan tujuan anggota, menjadi indikator yang cukup kuat merefleksikan kelembagaan masyarakat, yang mempengaruhi intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Kesesuaian tujuan ini penting bagi kelangsungan organisasi dan partisipasi anggota dalam mempertahankan organisasi tersebut. Bila kesesuaian tujuan ini tidak tercapai, organisasi tersebut cenderung akan sulit berkembang, bahkan seringkali mati. Pada penelitian ini ditemukan beberapa bukti yang menguatkan pernyataan ini. Berkaitan dengan persyaratan sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), ada ketentuan mengenai keberadaan organisasi atau kelembagaan masyarakat yang menyokong manajemen Hutan Rakyat Lestari. Sehingga untuk keperluan tersebut maka dibentuklah Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML) di Gunung Kidul, Forum Komunitas Petani

9 159 Sertifikasi (FKPS) dan Tempat Pengelolaan Kayu Sertifikasi (TPKS), serta kelompok tani di beberapa desa yang memang belum ada kelompok tani, seperti di Dusun Belimbing, Desa Girisekar, Gunung Kidul. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk lebih kepada kepentingan perolehan sertifikat tanpa didahului dengan proses penyadaran, sosialisasi dan pembentukan kesepahaman mengenai visi, misi dan tujuan organisasi, sehingga akhirnya masyarakat tidak merasa bahwa dirinya sebagai bagian dari organisasi dan merasa perlu untuk mempertahankan dan mengembangkan organisasi tersebut. Oleh karenanya maka kelangsungan dan dinamika kelompok atau organisasi tersebut perlahan-lahan memudar, kritis bahkan mati. Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, tidak seperti organisasi-organisasi lainnya yang disebutkan di atas, saat ini masih terus berjalan dan diupayakan pengembangannya. Pendampingan terhadap koperasi sampai dengan saat ini masih terus dilakukan oleh LSM Shorea. Belum banyak manfaat yang telah didapatkan anggota, tetapi sedikit banyak telah menjadi wadah pembelajaran masyarakat juga dalam mengembangkan usaha Hutan Rakyat Lestari. Koperasi yang letaknya di Desa Dengok, menyulitkan komunikasi dan pengembangannya, mungkin ke depan perlu lebih disederhanakan, dan dibentuk unit-unit keuangan yang lebih sederhana di desa atau kecamatan sebagai cabang dari koperasi tk kabupaten. Kepemimpinan merupakan aspek kelembagaan masyarakat yang cukup potensial mempengaruhi intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari. Kepemimpinan di kedua kabupaten cukup berpengaruh untuk kelangsungan dan dinamika kelompok tani. Sebagian besar ketua kelompok Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) adalah kepala dusun, yang merupakan kepercayaan masyarakat dan menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian segi positif dari ketua kelompok yang merangkap kepala dusun ialah dinamika kelompok cukup terjaga, apalagi dengan kepala dusun yang juga menjadi ketua Gabungan Kelompok Tani Pertanian (Gapoktan) ataupun Ketua Tani Nasional Andalan (KTNA). Kelompok yang dikepalai oleh tokoh-tokoh ini relatif lebih maju, karena luasnya jaringan informasi maupun anggaran yang dapat diakses oleh ketua memberi dampak

10 160 positif bukan saja pada dusun tetapi juga kepada kelompok tani yang dipimpinnya. Aspek-aspek kelembagaan masyarakat lainnya seperti sanksi, keterkaitan antar bagian, toleransi juga mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi tetapi tidak sama potensinya dengan ketiga aspek di atas. Sanksi, baik di Wonogiri dan Gunung Kidul belum dilaksanakan dengan baik. Penerapan sanksi, sangat jarang dilakukan, tidak ada orang yang ditunjuk untuk menjadi penegak hukum atau sanksi bila aturan tidak dijalankan oleh masyarakat. Menurut mereka, selama ini jarang sekali sanksi diterapkan, karena jarang juga masyarakat yang melakukan pelanggaran, khususnya berkaitan dengan kewajiban tanam dan pelihara setelah penebangan, menurut mereka menanam sudah menjadi budaya mereka sehingga dengan kesadaran sendiri mereka akan melakukan penanaman, bahkan dalam jumlah melebihi dari aturan yang ada. Bila sanksi dapat diterapkan dengan baik, maka kelembagaan masyarakat di kedua lokasi penelitian menjadi lebih baik lagi dalam mendukung intensitas pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Toleransi masyarakat terhadap nilai-nilai baru di kedua lokasi penelitian tidak sulit. Khususnya di Gunung Kidul, mereka sangat terbuka apalagi bila inovasi atau nilai baru diperkenalkan oleh pemerintah. Mereka percaya bahwa tidak mungkin Pemerintah akan menyengsarakan rakyatnya. Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa atau kraton/kerajaan dengan sistem pemerintahan kesultanan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Demikian juga dengan diperkenalkannya Hutan Rakyat Lestari kepada masyarakat. Mereka menyambut baik, dan tidak merasa kecewa bila sampai dengan saat ini belum mencapai hasil yang mereka harapkan yaitu tingginya harga kayu sertifikasi. Karakteristik Petani Dilihat dari koefisien regresinya, pengaruh peubah karakteristik petani terhadap intensitas belajar adalah sama kuatnya dengan pengaruh kelembagaan masyarakat. Aspek karakteristik petani dalam penelitian yang secara nyata berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani secara berturut-turut dari yang paling besar potensinya yaitu konsep diri petani, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.

11 161 Konsep diri yang positif sangat berpengaruh terhadap proses belajar seseorang. Konsep diri dapat dibentuk dari pengalaman seseorang. Konsep diri terhadap Hutan Rakyat Lestari petani sertifikasi di Gunung Kidul positif, sehingga berpengaruh terhadap intensitas belajar di Gunung Kidul yang cenderung sedang. Sementara konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri cenderung negatif terutama disebabkan oleh kekecewaan terhadap LSM pendamping, dan pengurus FKPS sehingga membentuk konsep diri yang negatif terhadap Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang negatif ini juga berpengaruh terhadap intensitas belajar petani di Wonogiri yang cenderung rendah. Motivasi ekstrinsik sangat berkaitan dengan dukungan dari kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki motivasi ekstrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani sertifikasi di Wonogiri. Kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul lebih banyak melibatkan institusi dari berbagai unsur dan solid, tergabung dalam Pokja dengan kegiatan yang berkelanjutan, bahkan setelah sertifikat diperoleh. Sementara di Wonogiri kelembagaan pendukung pembelajaran hanya melibatkan satu unsur saja yaitu LSM (tidak ada PT maupun Pemda) dan kegiatan tidak berkelanjutan sehingga motivasi ekstrinsik petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) kurang berkembang. Motivasi intrinsik petani baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari adalah tinggi, terlebih lagi di Gunung Kidul, sekalipun pada lokasi non sertifikasi, motivasi intrinsik petani terhadap hutan rakyat tinggi. Untuk masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri mengembangkan hutan rakyat, yang secara sederhana dilaksanakan dengan menanam pohon, sudah dilakukan dengan kesadaran yang tinggi, bahkan sudah membudaya. Pengalaman keberhasilan mengembangkan hutan rakyat dan manfaat yang sudah dirasakan oleh masyarakat petani, baik di Wonogiri maupun Gunung Kidul mendorong mereka untuk terus mau mengembangkan hutan rakyat. Pengalaman inilah yang membentuk motivasi intrinsik yang tinggi pada petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (1985), diacu dalam Tan et. al (2001) dimana murid-murid

12 162 yang memiliki motivasi intrinsik mencapai hasil yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya memiliki motivasi ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut mendukung pernyataan Soedijanto (1994) dan Suparno (2001). Soedijanto (1994) menyatakan bahwa pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar maka ia telah memiliki perasaaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah memiliki pengalaman mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk berhasil. Suparno (2001) mengemukakan bahwa untuk proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri positif. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang. Sejalan dengan ini Marzano (1992) juga mengungkapkan bahwa belajar akan efektif jika melalui lima dimensi belajar, diantaranya adalah memiliki sikap dan persepsi positif terhadap belajar. Kompetensi Penyuluh Penilaian kompetensi penyuluh dan pendamping oleh petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri secara umum cenderung rendah, walaupun terdapat perbedaan nyata antara penilaian petani di kedua lokasi penelitian. Petani di Gunung Kidul menilai kompetensi petani cenderung sedang, sedangkan di Wonogiri cenderung rendah. Walaupun secara umum kompetensi petani bernilai rendah, tetapi secara nyata kompetensi penyuluh mempengaruhi intensitas pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa aspek kompetensi penyuluh yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani ialah kemampuan penyuluh dalam: (1) menganalisis permasalahan; (2) meningkatkan kapasitas petani; dan (3) mengembangkan wawasan teknis petani. Intensitas pertemuan petani dengan penyuluh yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan

13 163 penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, khususnya pendampingan dalam proses sertifikasi Ekolabel, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Petani sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul berpendapat bahwa kompetensi penyuluh atau pendamping dalam menganalisis permasalahan nyata yang dihadapi petani, dapat ditingkatkan bila penyuluh atau pendamping tinggal bersama dengan masyarakat yang didampinginya. Petani sertifikasi di Dusun Pijenan dan Jeruken, Desa Giri Sekar, Gunung Kidul mengungkapkan pengalaman mereka didampingi oleh pendamping dari LSM Shorea, yang tinggal bersama dengan masyarakat. Dengan kebersamaan hidup dengan petani sertifikasi, baik dalam kegiatan formal maupun informal, pendamping dapat merasakan dan meningkatkan empati sehingga dapat mendalami permasalahan sesungguhnya yang dirasakan oleh petani. Bagi petani sertifikasi, penyuluh dan pendamping yang mau dan dapat tinggal bersama dengan masyarakat yang didampingi menjadi harapan untuk dapat meningkatkan intensitas pembelajaran mereka. Peningkatan kapasitas petani merupakan aspek kompetensi penyuluh yang dinilai cukup berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani HRL. Peningkatan kapasitas petani, khususnya di Gunung Kidul, selain berkaitan dengan pengelolaan atau manajemen usaha maupun kelompok, juga berkaitan dengan kemampuan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, termasuk penanganan pasca panen. Peningkatan kapasitas petani tidak dapat dilakukan hanya dengan pertemuan atau diskusi selama satu sampai dua jam saja. Peningkatan kapasitas petani memerlukan frekuensi dan interaksi yang lebih banyak, baik dengan penyuluh, materi belajar maupun lingkungan belajar. Sebagai contoh: peningkatan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dilakukan baik dengan pelatihan, magang maupun studi banding, menghasilkan interaksi yang lebih baik antara petani dengan penyuluh, maupun petani dengan materi dan lingkungan belajar. Dengan demikian untuk pengembangan intensitas belajar petani sertifikasi di masa mendatang perlu lebih difokuskan pada kegiatan-

14 164 kegiatan untuk meningkatkan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kompetensi penyuluh dalam mengembangkan atau meningkatkan wawasan teknis kehutanan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, dinilai masih kurang oleh petani sertifikasi, khususnya di Wonogiri. Petani sertifikasi, khususnya di Wonogiri mendapatkan pembelajaran mengenai budidaya tanaman kayu-kayuan lebih banyak secara turun menurun (informal), dan tanpa melalui pembelajaran formal ataupun nonformal lainnya. Salah satu kelemahan pendamping di Wonogiri adalah kurangnya tenaga teknis yang berkaitan dengan teknis kehutanan, karena sebagian besar pendamping dari LSM PERSEPSI bukan berlatar belakang pendidikan kehutanan. Sementara pendamping di Gunung Kidul, berlatar belakang pendidikan kehutanan, tetapi kelemahanannya adalah kurang mengakomodir pengetahuan lokal masyarakat. Hal tersebut diakui oleh salah seorang pamong, bahwa sebenarnya mereka sudah tahu cara menghitung tinggi pohon, volume pohon dengan cara dan kearifan masyarakat dan sudah terbukti cukup akurat. Tetapi mereka diajarkan cara lain yang menurut mereka cukup membingungkan dan lebih sulit. Pembelajaran lebih baik bila dapat mengkombinasikan antara pengetahuan teknis dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Pengetahuan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari yang baru, yang dikombinasikan dengan pengetahuan lokal masyarakat, sesuai dengan kebutuhan, mudah dipahami dan diterapkan oleh petani sertifikasi menjadi hal-hal menarik yang dapat meningkatkan intensitas belajar petani. Pentingnya mengakomodir apa yang telah dimiliki oleh masyarakat dalam pengelolaan usaha kehutanan ini sejalan dengan pendapat Darusman (2001) bahwa strategi pengembangan usaha masyarakat akan membuahkan hasil yang baik jika strategi yang diterapkan berprinsip pada apa yang dimiliki masyarakat, apa yang berkembang di masyarakat dan bukan dengan cara mengintroduksikan sesuatu hal yang baru, yang sesungguhnya tidak dikuasai, bahkan tidak disukai oleh masyarakat.

15 165 Pendekatan pembelajaran Berkaitan dengan pendekatan pembelajaran hal yang menarik adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap intensitas belajar petani sertifikasi sangat kecil atau bahkan tidak nyata. Artinya pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Hal ini bertentangan dengan banyak pendapat berkaitan dengan proses pembelajaran di antaranya ialah Sumanto (2006), Goodwin (1971), van den Ban (1999) dan Sudjana (2000). Semua pendapat menyatakan bahwa proses belajar dipengaruhi oleh pendekatan atau metode yang digunakan oleh fasilitator dalam proses belajar. Metode atau pendekatan pembelajaran yang berbeda menghasilkan proses dan hasil belajar yang berbeda pula. Sudjana (2000) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang berpusatkan kepada peserta didik menghasilkan keterlibatan peserta didik yang tinggi, umpan balik lebih akurat, dan proses belajar dapat dilakukan lebih optimal dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang berpusatkan pada pendidik atau fasilitator. Keberhasilan petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam memperoleh sertifikasi Ekolabel ternyata bukan merupakan hasil dari pembelajaran selama proses pendampingan yang berlangsung beberapa tahun. Keberhasilan tersebut lebih merupakan proses belajar mandiri secara arif oleh petani yang telah berlangsung puluhan tahun. Proses belajar masyarakat di kedua lokasi penelitian diawali oleh kesadaran kritis berkaitan dengan permasalahan kesulitan hidup dan kondisi alam yang sangat kritis, dan harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Pembelajaran mereka tentang Hutan Rakyat selama ini lebih banyak diwariskan turun menurun dari orang tua mereka. Hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Rogers (1969), bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers mencetuskan teori belajar yang non-direktif dengan menggunakan prinsip self determination dan selfdirections dengan pendekatan learner centered. Menurut Rogers, pembelajaran memberikan kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk

16 166 menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Menurut teori ini, perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka untuk meningkatkan kemandirian dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh penyuluh atau pendamping, terutama di Wonogiri dinilai sangat rendah oleh petani sertifikasi. Mereka bahkan banyak yang mengaku belum pernah mendapatkan pembelajaran dari penyuluh ataupun pendamping. Bahkan ada yang mengaku sampai usia mereka saat ini belum pernah bertemu dengan penyuluh ataupun pendamping. Proses pembelajaran di Gunung Kidul jauh lebih baik, karena lebih sering mendapatkan pendampingan dan pembelajaran dari penyuluh dan pendamping, khususnya di Desa Kedung Keris sehingga pendekatan pembelajaran dinilai sedang oleh petani. Secara keseluruhan, penilaian petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian adalah rendah, dilihat dari nilai skor rataannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Pendekatan pembelajaran atau pendampingan petani, khususnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari, dilihat dari lima indikator yang merepresentasikannya, lebih cenderung menggunakan pendekatan mengajar (teaching) daripada pembelajaran (learning). Pertama, dalam hal materi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari lebih diarahkan untuk mencapai target-target tertentu dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi. Materi pembelajaran lebih banyak ditetapkan oleh LSM pendamping, petani kurang dilibatkan. Dengan demikian materi pembelajaran kurang dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya masalah utama masyarakat adalah bagaimana mengatasi kebiasaan tebang butuh. Sebenarnya masyarakat menginginkan adanya usaha produktif lain yang dapat mengalihkan kebiasaan tebang butuh, untuk menambah penghasilan mereka selama menunggu waktu tepat untuk memanen kayu.

17 167 Kedua, metode pembelajaran lebih banyak tatap muka, diskusi kelompok dalam pertemuan-pertemuan rutin kelompok seperti salapanan, atau tiap tanggal tertentu tiap bulan. Selain pertemuan kelompok, dilakukan juga praktek di lapangan, seperti pendugaan volume kayu, pemetaan batas lahan milik dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil pengurus yang mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan praktek di lapangan, sebagian besar anggota tidak dilibatkan. Ketiga, model pembelajaran lebih banyak diskusi kelompok, tapi masih lebih banyak didominasi oleh penyuluh dan pendamping serta pengurus kelompok. Diskusi belum banyak dapat menggali pengalaman dan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Keempat, tahapan pembelajaran dengan menggunakan paham trickle down effect, dengan asumsi pengurus terlebih dahulu diikutkan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan berharap akan menyebarluaskan materi yang telah didapat oleh pengurus kepada anggota lainnya, tetapi ternyata proses penyebarluasan materi pembelajaran atau informasi kepada anggota tidak berjalan dengan baik. Kelima, cara pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari banyak kegiatan di lapangan (learning by doing), namun belum banyak menggali pengalaman dan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kurang menggunakan experiental learning, discovery learning, dan cara pembelajaran andragogi lainnya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (sertifikasi) di kedua lokasi penelitian ternyata masih belum menerapkan empat prinsip pembelajaran orang dewasa yang diperkenalkan oleh Knowles (1979). Keempat prinsip mendasar dalam pendidikan orang dewasa tersebut ialah: (1) Orang dewasa memiliki konsep diri sehingga mampu mengambil keputusan sendiri, memikul tanggung jawab dan menyadari tugas dan perannya. Oleh karenanya perlu diciptakan iklim belajar yang sesuai keadaan orang dewasa dengan melibatkan peserta belajar dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, perencanaan belajar, proses belajar mengajar dan mengevaluasi kemajuan dalam proses belajarnya; (2) orang dewasa memiliki banyak pengalaman, yang membentuk pendapat dan kepribadian orang tersebut. Sehingga dalam pembelajaran perlu dimanfaatkan dan digali kekayaan pengalaman yang dimiliki

18 168 orang dewasa, proses belajar ditekankan pada aplikasi praktis dan belajar dari pengalamannya; (3) orang dewasa memiliki kesiapan belajar, berdasarkan kebutuhan yang dirasakan; dan (4) orientasi belajar orang dewasa adalah aplikasi belajar langsung dimanfaatkan sehingga materi pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah dan pengalaman belajar dirancang berdasarkan masalah atau fokus perhatian peserta belajar. Bila dikaitkan dengan strategi pengembangan masyarakat yang diperkenalkan oleh Batten, diacu dalam Isbandi (2003), pendekatan pembelajaran di kedua lokasi penelitian sebenarnya dapat dilakukan dengan pendekatan non direktif karena tingkat kesadaran kritis masyarakat terhadap pengelolaan hutan rakyat yang sudah tinggi. Pendekatan nondirektif, atau lebih dikenal dengan pendekatan partisipatif dilakukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pada pendekatan ini penyuluh dan pendamping tidak menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan tersebut adalah masyarakat itu sendiri, penyuluh lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Tujuan dari pendekatan non direktif adalam upaya pengembangan masyarakat adalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka. Faktor yang mempengaruhi Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat Lestari Hasil analisis SEM pada Gambar 6 menunjukkan bahwa perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2) dipengaruhi secara nyata oleh peubah : Intensitas belajar (Y1) dan karakteristik petani (X1). Faktor Kelembagaan masyarakat (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku petani. Hubungan antara Perilaku Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Y2) dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya dituliskan dengan persamaan: Y2 = 0,51*Y1 + 0,40*X1, R 2 = 0,72. Dari persamaan tersebut,

19 169 dapat disimpulkan bahwa peubah yang paling berpengaruh terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari ialah Intensitas Belajar. Selanjutnya peubah lain yang mempengaruhi perilaku petani ialah karakteristik individu petani. Secara simultan pengaruh kedua peubah tersebut pada perilaku petani mengelola Hutan Rakyat Lestari adalah sebesar 0,72. Hal ini mengandung makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut adalah 72 persen, sedangkan sisanya 28 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Dengan demikian, hipotesis 2 dalam penelitian ini diterima, walaupun ada satu peubah yang ditolak atau tidak berpengaruh secara langsung, yaitu kelembagaan masyarakat (X4). Perilaku petani mengelola Hutan Rakyat Lestari dalam penelitian ini secara umum tergolong sedang untuk aspek produksi dan ekologi, dan tinggi untuk aspek sosial. Namun, tingginya perilaku sosial, bila dikaji lebih mendalam ternyata tidak pada semua ranah tinggi. Tingginya ranah pengetahuan dan sikap ternyata tidak berimplikasi terhadap ranah ketrampilan, karena pada ranah ketrampilan tergolong rendah. Artinya walaupun petani baik dalam wawasan atau pengetahuan dan memiliki sikap positif terhadap aspek sosial Hutan Rakyat Lestari, namun belum diimbangi dengan ketrampilannya menerapkan aspek sosial Hutan Rakyat Lestari. Petani dalam melaksanakan usaha Hutan Rakyat Lestari lebih banyak melakukannya secara individu, dan belum banyak dikerjakan bersama secara berkelompok. Keberadaan kelompok tani yang diharapkan menjadi unit manajemen dalam Hutan Rakyat Lestari belum berjalan dengan baik dan mendukung perilaku positif dari anggotanya. Intensitas Belajar Hasil analisis SEM mengungkapkan bahwa intensitas belajar petani memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari, walaupun secara keseluruhan intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi cenderung rendah. Artinya baik buruknya perilaku petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri dipengaruhi kuat oleh tingkat intensitas belajar petani. Intensitas belajar petani dalam penelitian ini direfleksikan oleh lima aspek berikut, dari nilai tertinggi sampai

20 170 terendah yaitu interaksi antara : (1) petani dengan penyuluh atau pendamping; (2) petani dengan materi pembelajaran; (3) petani dengan lingkungan belajar; (4) petani dengan kelompok tani; dan (5) petani dengan petani. Intensitas belajar yang tinggi akan mempengaruhi perilaku yang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Bila dikaitkan dengan tingkat intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri, maka rendahnya tingkat intensitas belajar petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian, terutama dipengaruhi oleh : rendahnya intensitas interaksi petani dengan penyuluh/pendamping, intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran, dan intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar. Interaksi petani dengan penyuluh/pendamping Rendahnya interaksi petani dan penyuluh/pendamping antara lain karena : (1) keterbatasan jumlah penyuluh kehutanan, terutama yang ditugaskan untuk mendampingi, khususnya di Wonogiri. Perhatian pemerintah, khususnya, Dinas Kehutanan sebagai induk pembina penyuluh, lebih kepada lokasi-lokasi dengan persentasi lahan kritis yang luas. Penempatan penyuluh lebih banyak disesuikan dengan program rehabilitasi lahan kritis. Desa Sumberejo dan Selopuro di Wonogiri merupakan daerah yang sudah dianggap berhasil dalam pelestarian alam dan lingkungan, dan sedikit lahan kritis sehingga kurang mendapat perhatian fokus pemerintah; (2) penyuluh dan pendamping tidak tinggal bersama dengan masyarakat. Penyuluh dan pendamping biasanya datang ketika ada kegiatan atau kadang-kadang pada pertemuan kelompok. Dengan demikian sangat jarang frekuensi pertemuan, begitu juga dengan intensitas hubungan yang terjalin dengan penyuluh lebih bersifat formal, sebatas petugas pemerintah atau petugas pendamping dan petani sebagai sasaran penyuluhan. Walaupun di Gunung Kidul, interaksi lebih baik, namun petani menginginkan intensitas pertemuan yang lebih banyak dengan penyuluh dan pendamping. Manfaat interaksi dengan penyuluh/pendamping bila intensitas pertemuan dan hubungan tinggi sangat banyak, yang paling penting ialah penyuluh/pendamping dapat berempati, mendalami permasalahan yang dihadapi petani dan kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh petani. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971), menyebutkan

21 171 bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan murid mempengaruhi hasil belajar. Interaksi antara penyuluh dan petani, yang diharapkan oleh petani sebenarnya seperti yang diungkapkan wanita Aborigin Australi, yang dikutip dalam Suharto (2005) : If you have come to help me you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together. Untuk dapat bekerja sama dengan petani, penyuluh dan pendamping harus melihat perjuangan petani sebagai bagian dari perjuangan penyuluh dan pendamping juga, bukan dengan maksud sekedar menolong petani. Berkaitan dengan pendekatan pengembangan masyarakat (community development), peran penyuluh dan pendamping menurut Batten dalam Isbandi (2003) adalah sebagai katalisator, pemercepat perubahan (enabler) yang mempercepat terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat untuk menentukan arah langkahnya sendiri (self-determination) dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri (self-help). Havelock (1973) menyebutkan empat hal yang perlu diperhatikan oleh penyuluh atau pendamping sebagai agen pembaharu agar dapat membantu kliennya memecahkan masalah: (1) sikap bersahabat; (2) kesamaan, agen pembaharu yang efektif adalah yang dirasakan sama dengan kliennya, dalam arti cara berpakaian, gaya bicara dan lainnya; (3) manfaat: keberadaan agen pembaharu harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat; dan (4) responsif: seorang agen pembaharu harus selalu menjadi seorang pendengar yang baik dan penuh perhatian. Interaksi petani dengan materi belajar, khususnya di Wonogiri sangat rendah. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya interaksi tersebut adalah: (1) rendahnya intensitas pertemuan dengan Penyuluh dan pendamping, bahkan di Wonogiri banyak petani hutan rakyat sertifikasi yang sama sekali tidak mengetahui penyuluh atau pendampingnya. Padahal pertemuan kelompok sekaligus arisan berjalan cukup baik, dengan jumlah kehadiran anggota yang cukup banyak 50% lebih di tiap-tiap kelompok. Sebenarnya pertemuan kelompok secara rutin atau arisan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pembelajaran dan interaksi petani dengan materi pembelajaran; (2) materi pembelajaran lebih banyak given, tidak sesuai dengan permasalahan dan

22 172 kebutuhan petani. Dan seringkali hanya diberikan kepada beberapa orang pengurus kelompok saja. Petani di Wonogiri menginginkan materi pembelajaran berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi, khususnya untuk mengatasi penebangan kayu yang belum cukup besar karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka berharap mendapatkan materi pembelajaran mengenai pengolahan kayu pasca panen, budidaya ikan di bawah tegakan dan lainnya. Namun, keinginan tersebut kurang mendapat perhatian lembaga pendukung. Interaksi petani dengan lingkungan belajar di Wonogiri sangat rendah. Petani sedikit memiliki akses untuk berinteraksi dengan lingkungan belajar, yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Lingkungan belajar dalam hal ini hal-hal yang mendukung proses belajar Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), baik sarana prasarana, institusi yang mendukung proses belajar dan lainnya. Misalnya, di Wonogiri telah dibuat tempat penampungan kayu, bengkel kerja, di Gunung Kidul telah ada koperasi, tetapi sulit dijangkau petani karena letaknya tidak strategis. Sebenarnya hampir semua kelompok memiliki tempat pertemuan yang tetap, umumnya di rumah ketua kelompok, namun sekretariat yang umumnya mudah dijangkau anggota belum difasilitasi menjadi salah satu sarana atau lingkungan belajar yang baik bagi anggotanya. Lingkungan belajar yang paling mudah dijangkau oleh semua petani sebenarnya tegalan, kebun dan pekarangan tempat mereka mengelola lahan, tetapi tanpa adanya pendampingan yang baik, lingkungan tersebut tidak menjadi lingkungan belajar yang baik bagi petani. Padahal sangat banyak hal yang dapat dipelajari dari interaksi dengan lahan usaha, pekarangan, atau tegalan yang mereka miliki sebagai lingkungan belajar. Memperhatikan interaksi petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) dengan penyuluh, materi belajar dan lingkungan belajar, dikaitkan dengan kecenderungan pembelajaran menurut Dwiyogo (2008), dapat dikatakan pembelajaran di kedua lokasi penelitian masih lebih cenderung ke arah pembelajaran tradisional, dimana pembelajaran masih sangat tergantung dari guru, terbatas pada tempat dan waktu tertentu. Pengembangan pembelajaran bagi petani pengelola hutan rakyat lestari lebih diarahkan kepada pembelajaran visioner, dimana pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja

23 173 dan melalui apa saja. Petani pengelola hutan rakyat lestari sebenenarnya telah memiliki motivasi intrinsik yang sangat tinggi, bahkan di Gunung Kidul dengan konsep diri yang tinggi, sehingga dapat diarahkan pada pembelajaran visioner sehingga petani dapat mengembangkan pembelajaran mandiri dengan tidak tergantung pada penyuluh, tempat dan waktu tertentu saja. Karakteristik petani Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam penelitian ini termasuk kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata karakteristik petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari. Karakteristik petani dalam penelitian ini direfleksikan oleh aspek, secara berurutan dari nilai koefisien yang paling tinggi: konsep diri, motivasi ekstrinsik, dan motivasi intrinsik. Artinya selain peubah intensitas belajar, konsep diri, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri secara nyata mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang positif menghasilkan perilaku yang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, demikian sebaliknya konsep diri yang negatif menghasilkan perilaku yang kurang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Hal ini terungkap dari hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa petani di Wonogiri walaupun mempunyai motivasi intrinsik yang tinggi, tetapi karena adanya konflik internal, kecemburuan sosial, ketidakpercayaan terhadap LSM pendamping, kurangnya pembinaan dan tidak berlanjutnya pendampingan telah menurunkan semangat petani bahkan menghasilkan konsep diri yang negatif terhadap perkembangan Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang negatif tersebut telah menghambat pengembangan Hutan Rakyat Lestari, khususnya berkaitan dengan penerapan nilai-nilai sosial dalam pengelolaan hutan rakyat sertifikasi. Sebagai contoh dalam hal pemasaran, yang sebenarnya sangat penting untuk dilakukan secara komunal, akhirnya karena sistem FKPS tidak berjalan, dan ketidakpercayaan anggota terhadap pengurus, tidak dapat berjalan baik, dan akhirnya petani lebih suka menjual kayu secara perseorangan.

24 174 Motivasi ekstrinsik yang kurang baik, akan berdampak negatif terhadap perilaku petani, sekalipun motivasi intrinsiknya baik. Hal ini terbukti di Wonogiri, dimana motivasi intrinsik petani tinggi, namun kurang didukung atau difasilitasi oleh kelembagaan pendukung pembelajaran dan lingkungan belajar yang baik sehingga menimbulkan motivasi ekstrinsik yang kurang baik. Bahkan motivasi ekstrinsik semakin buruk dengan adanya ketidakpercayaan terhadap LSM pendamping, dan hubungan yang kurang harmonis dengan pengurus FKPS menyebabkan konsep diri petani terhadap Hutan Rakyat Lestari menjadi negatif. LSM pendamping, yang dianggap telah ingkar janji dan ketidakterbukaan pengurus FKPS menyebabkan perilaku petani yang kurang baik. Dengan pengalaman yang kurang baik, konsep diri dan motivasi ekstrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri kurang baik, sehingga menyebabkan intensitas belajar yang cenderung rendah. Tetapi karena motivasi intrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri sangat tinggi, petani tetap mau terus belajar mengembangkan Hutan Rakyat Lestari secara mandiri, walaupun kurang didukung oleh lembaga pendukung pembelajaran sehingga perilaku petani huta rakyat sertifikasi di Wonogiri masih tergolong sedang. Motivasi intrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian yang sangat tinggi, yang dibentuk melalui pengalaman, telah mempengaruhi pengetahuan, sikap dan ketrampilan mereka dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri lebih banyak mendapatkan pengetahuan melalui pembelajaran sendiri dan turun temurun dari orang tua mereka. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan pembelajaran sendiri ini, yang disebut kearifan lokal, telah membentuk kesadaran mereka tentang pentingnya Hutan Rakyat Lestari. Dengan demikian kesadaran yang kemudian memotivasi mereka untuk lebih banyak belajar dan mengembangkan Hutan Rakyat Lestari. Sebagai contoh pertama, petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri mendapatkan pengetahuan tentang nilai ekonomi kayu karena didorong motivasi intrinsik ingin mengembangkan hutan rakyat dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri sekarang mulai mengganti tanaman mahoni dengan tanaman sengon laut, karena mempunyai nilai ekonomi kayu yang lebih tinggi. Mereka mau

25 175 melakukan percobaan dan penghitungan keuntungan sendiri, dengan biaya sendiri karena motivasi intrinsik yang sangat tinggi. Contoh kedua, dari segi ekologi, karena telah merasakan manfaat dari tanaman kayu-kayuan dalam memunculkan mata-mata air baru, dan didorong untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik lagi, petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri membandingbandingkan penyerapan air oleh tanaman. Dan hasilnya mereka mendapatkan bahwa tanaman akasia sangat rakus air dan tidak dapat menahan air dengan baik dibandingkan tanaman jati. Dengan demikian pengetahuan, sikap dan ketrampilan mereka dalam mengembangkan Hutan Rakyat Lestari menjadi lebih baik. Kelembagaan Masyarakat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Tetapi kelembagaan masyarakat memberikan pengaruh tidak langsung terhadap perilaku petani sertifikasi. Artinya, keberadaan kelompok tani dan kelembagaan masyarakat lainnya, dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh langsung terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Keberadaan kelompok tani dan kelembagaan lainnya memberikan pengaruh terhadap intensitas belajar petani, yang kemudian intensitas belajar petani tersebut berpengaruh terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Kelompok Tani dan kelembagaan masyarakat lainnya, seperti Koperasi, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) dan lainnya masih bersifat terlalu formal, dan banyak yang dibentuk hanya untuk memenuhi persyaratan sertifikasi. Kelembagaan ini sebenarnya diharapkan dapat menjadi wadah pengembangan kapasitas petani hutan rakyat sertifikasi, khususnya dalam pengembangan pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat baik dalam aspek ekologi, produksi dan sosial. Namun karena sifat kelembagaan ini lebih ke arah organisasi modern dan formal, sehingga sulit diikuti dan dijalankan oleh masyarakat yang belum terbiasa dalam berorganisasi. Selain itu masyarakat belum menyadari pentingnya keberadaan organisasi dan merasakan manfaat dari keberadaan organisasi tersebut dalam usaha hutan rakyat yang mereka kelola.

26 176 Sementara organisasi yang tumbuh dari masyarakat seperti arisan, kelompok pengajian, belum difasilitasi menjadi media pembelajaran dan pembentukan perilaku petani, khususnya dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Padahal keberadaan kelompok sosial masyarakat seperti ini bila dikembangkan dan difasilitasi dengan baik dapat menjadi kapital sosial masyarakat yang sangat potensial untuk peningkatan perilaku positif bagi petani hutan rakyat sertifikasi. Pengaruh Faktor Lain Dari hasil analisa SEM didapatkan bahwa peubah intensitas belajar dan karakteritik individu petani secara simultan mempengaruhi perilaku petani mengelola hutan rakyat (lestari) sebesar 0,72. Hal ini mengandung makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut adalah 72 persen, sedangkan sisanya 28 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Peubah lain yang diduga mempengaruhi perilaku petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi), yang dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya adalah perilaku non konsumtif petani dan pola pengelolaan ekonomi rumah tangga. Perilaku petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat (sertifikasi) tergolong sedang dalam aspek produksi dan aspek ekologi, dan tinggi dalam aspek sosial. Perilaku lestari petani tersebut diduga dipengaruhi juga oleh perilaku non konsumtif petani hutan rakyat (sertifikasi). Bila perilaku petani pengelola hutan rakyat konsumtif, tidak akan ditemui hutan rakyat dengan kelestarian produksi dan kelestarian hasil hutan, karena semua kayu yang mempunyai nilai jual cukup tinggi akan ditebang untuk dijual. Hal ini yang menjadi kekuatiran banyak pihak terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri di masa mendatang. Mengingat semakin meningkatnya harga kayu baik akibat semakin menipisnya stok kayu dari hutan alam atau hutan produksi, dikuatirkan hutan rakyat akan mengalami hal yang sama sebagaimana pengeksploitasian hutan alam yang telah rusak. Perilaku petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) yang tidak konsumtif diharapkan dapat mencegah terjadinya

27 177 over cutting yang akan mengancam kelestarian sumberdaya hutan, baik dari segi produksi, ekologi dan sosial. Demikian juga dalam pola pengelolaan ekonomi rumah tangga, bila petani pengelola hutan rakyat (sertifikasi) tidak dapat mengelola ekonomi rumah tangga dengan baik, maka mereka tidak akan memperhatikan dan memperdulikan kearifan tebang butuh. Bila petani hutan rakyat tidak dapat mengelola ekonomi rumah tangganya dengan baik, maka petani cenderung memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan kurang memikirkan adanya tabungan bagi masa depan atau keperluan mendesak. Padahal kenyataan yang ada, baik petani hutan rakyat (sertifikasi) di Gunung Kidul maupun Wonogiri melakukan tebang butuh, yaitu membatasi penebangan kayu hanya jika ada keperluan mendesak dan tidak ada alternatif lainnya yang dapat dimanfaatkan. Petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki pola mengelola ekonomi rumah tangga yang baik, mereka sangat memperhatikan keperluan tabungan, bahkan bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi juga anak dan cucu mereka. Latar belakang kehidupan petani di masa lalu yang sangat sulit, telah membentuk perilaku petani yang sangat menghargai sumberdaya yang dimiliki untuk dikelola dengan baik, sehingga berdampak pada perilaku pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik. Pola pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik membentuk kesadaran untuk menabung dengan cara penanaman pohon segera setelah penebangan dilakukan. Kebiasaan menanam (setelah penebangan) bahkan sudah membudaya bagi petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri, sehingga membentuk perilaku lestari petani hutan rakyat (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri. Peran Penting Kelembagaan dalam Proses Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa faktor kelembagaan memegang peranan penting dalam proses pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi, baik kelembagaan eksternal pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, maupun kelembagaan internal masyarakat. Kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, terutama di Gunung Kidul menunjukkan bahwa adanya kelembagaan pendukung yang bersinergi dan berkolaborasi dengan baik dapat

28 178 berdampak pada proses pembelajaran petani sertifikasi yang baik, sehingga menghasilkan intensitas belajar yang lebih baik di Gunung Kidul. Beberapa hal keunggulan kelembagaan yang berkolaborasi dan sistemik antara lain pertama dengan adanya komitmen bersama lembaga atau institusi untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari berdampak pada keseriusan lembaga atau institusi yang terlibat untuk memberikan perhatian, mengalokasikan dana dan kegiatan, juga menempatkan personil untuk mendukung pembelajaran petani tentang Hutan Rakyat Lestari. Kedua, keterlibatan berbagai institusi dengan fungsi yang beragam, yaitu penelitian, pendidikan, penyuluhan dan pemasaran-perkreditan, akan melengkapi proses pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi. Sebagai contoh, fungsi penelitian yang dilakukan oleh pihak Perguruan Tinggi akan menghasilkan temuan-temuan atau inovasi yang penting untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Hasil-hasil temuan atau inovasi tersebut perlu disosialisasikan kepada petani melalui penyuluh dan pendamping. Oleh karena itu dibutuhkan institusi yang berfungsi pendidikan maupun penyuluhan. Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis Pemda maupun Kementerian Kehutanan untuk meningkatkan kapasitas penyuluh dan pendamping perlu bekerja sama dan terkait dengan fungsi penelitian, sehingga penyuluh dan pendamping dapat ditingkatkan kapasitasnya berkaitan dengan hasil temuan institusi penelitian, berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari baik teknis maupun aspek sosial lainnya. Fungsi penyuluhan yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat akan saling melengkapi dalam mempersiapkan dan memfasilitasi tenaga penyuluh dan pendamping, sehingga dapat melakukan tugas pendampingan petani hutan rakyat sertifikasi dengan baik. Fungsi pemasaran dan perkreditan merupakan peran penting dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, yang sampai dengan saat ini belum berjalan dengan baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Kelemahan petani hutan rakyat sertifikasi terutama dalam hal pemasaran, sehingga belum ada peningkatan pendapatan secara nyata dari kayu yang dipanen dari hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikasi. Kelembagaan pemasaran penting untuk meningkatkan posisi tawar petani yang masih rendah dalam penentuan harga jual kayu hutan

29 179 rakyat. Rendahnya posisi tawar petani karena adanya kebutuhan mendesak untuk memperoleh uang kontan, sehingga harga jual kayu biasanya ditentukan oleh tengkulak. Menurut Widayanti et. al, (2005), permasalahan pemasaran ini dapat dipecahkan apabila kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat telah kuat atau dikelola oleh organisasi yang profesional, yang dibentuk dari pemilik hutan rakyat. Keberadaan kelembagaan pemasaran menjadi aspek penting dalam meningkatkan intensitas belajar petani dalam mengembangkan pengelolaan hutan rakyat lestari, karena kelembagaan pemasaran yang berjalan baik akan lebih memotivasi petani untuk mengembangkan usaha hutan rakyat lestari dan akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Lembaga perkreditan sangat penting bagi petani hutan rakyat sertifikasi untuk mencegah petani menebang pohon di bawah standar, pada saat dibutuhkan yaitu pada saat kebutuhan keluarga yang besar dan mendesak, seperti hajatan, menyekolahkan anak, biaya pengobatan sakit dan lainnya. Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, sebenarnya dibentuk untuk melakukan fungsi ini, namun belum dapat berjalan baik. Sejalan dengan pentingnya lembaga perkreditan, Prihadi (2010) menyatakan bahwa fasilitas kredit tunda tebang mendukung pelaksanaan penundaan penebangan bagi kayu-kayu yang masih belum memenuhi standar. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kredit tunda tebang telah meningkatkan keunggulan kompetitif dan memiliki tingkat efisiensi lebih baik dibandingkan tanpa adanya kredit tunda tebang. Keterkaitan antara fungsi penelitian, fungsi pendidikan, fungsi penyuluhan dan fungsi pemasaran-perkreditan dalam pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi merupakan hal penting. Sampai dengan saat ini koperasi belum termasuk dalam Pokja, demikian juga keterlibatan pihak swasta yang berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Padahal cukup banyak pihak swasta yang dapat dilibatkan menjadi mitra untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari, misalnya perusahaan furniture, perusahaan air minum, yang mendapatkan manfaat dari kelestarian hutan. Beberapa perusahaan yang telah menjalin kerjasama dengan Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul antara lain ialah Java furniture Lestari (Jakarta), CV. Airlangga Mebelindo Design, Surabaya, CV. Alpin Furniture, Jakarta, UD Ellika, Jepara dan UD Karya Jati, Jepara.

30 180 Keterlibatan swasta dalam POKJA diharapkan dapat ikut merumuskan konsep pemasaran hasil Hutan Rakyat Lestari sehingga mendapatkan hasil yang lebih tinggi, dan petani memiliki posisi tawar yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kraenzel (2001) bahwa pendekatan whole person yang dipopulerkan oleh Apps (1996) dalam pendidikan orang dewasa, dibutuhkan dalam membangun hubungan dalam pemasaran hasil pertanian, agar petani mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Perspektif hubungan kerja dalam pemasaran hasil pertanian telah bergeser dari yang berorientasi pada pengawasan (control oriented), dikenal dengan I win you loose ke arah orientasi pada komitmen (commitment oriented) untuk mencapai tujuan bersama, dikenal dengan I win you win (win-win solution). Bila dikaitkan dengan pendapat Reed (2004) berkaitan dengan jenis hubungan antar institusi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, hubungan antar institusi pendukung pembelajaran di Gunung Kidul dapat dikatakan termasuk jenis kolaborasi (collaboration). Reed (2004) membedakan kerja sama (cooperation), kolaborasi (collaboration) dan kemitraan sesungguhnya (true partnership). Kolaborasi adalah tipe hubungan antar institusi dimana misi institusi yang bermitra saling tumpang tindih (overlap), dan masing-masing pihak menyepakati peranan yang setara dari misinya melalui perencanaan bersama. Tingkatan hubungan kolaborasi lebih tinggi dari kerja sama (cooperation) tetapi di bawah true partnership. Kerja sama adalah hubungan dengan saling berbagi kegiatan, sebagai hasil dari ajakan dari pihak lainnya. Permintaan yang sesuai dengan misi, nilai dan tujuan pihak yang diajak akan ditanggapi positif oleh pihak yang dilibatkan. Kegiatan di Gunung Kidul telah direncanakan bersama antar institusi yang terlibat dalam Pokja, dan telah disepakati peranan yang menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan, belum bersinergi seperti yang diharapkan. Handy (1985), yang diacu dalam Pretty (1997), menyatakan bentuk kolaborasi dimulai dengan forming, storming, norming, dan performing, maka di Gunung Kidul dapat dikatakan sudah mencapai tahapan performing dimana Pokja dapat melakukan pekerjaan lebih efektif sebagai sebuah tim kerja. Hal tersebut dapat terbukti dengan didapatkannya sertifikasi Ekolabel pada kayu hutan rakyat

31 181 dari wilayah binaan mereka dan langkah nyata ke arah terbitnya Peraturan Daerah tentang Hutan Rakyat Lestari yang dirumuskan bersama oleh Pokja. Sedangkan di Wonogiri dapat dikatakan belum memasuki tahapan manapun, termasuk tahapan forming. Karena sejak dari awal kegiatan sertifikasi tidak ada kesepakatan dan kesepahaman antara Pemda (Dinas Kehutanan) dan LSM pendamping. Berkaitan dengan hal tersebut, Pretty (1995) menegaskan bahwa untuk pertanian berkelanjutan diperlukan kelembagaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim yang multidisipliner, fleksibel dan heterogen, serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian untuk proses pembelajaran petani yang baik, pertama-tama perubahan bukan pada petani, tetapi paradigma kelembagaan pendukung pembelajaran, sekaligus mindset para pengambil kebijakan pada kelembagaan tersebut. Wollenberg (2005) menekankan bahwa pengelolaan kolaboratif dapat berjalan baik jika kelompok kepentingan mencoba untuk terlibat dalam proses yang berkembang dan berkelanjutan untuk saling memahami pengetahuan, tujuan, kepentingan, kapasitas dan aksi masing-masing. Kolaborasi juga dapat ditingkatkan dengan menjamin bahwa tidak ada pandangan atau pengetahuan dari satu kelompok pun yang mendominasi proses ini. Pembelajaran bersama mengakui bahwa kelompok kepentingan membawa pengetahuan yang berbeda (termasuk nilai-nilai, kapasitas, perspektif, metode pembelajaran, tempat pengalaman sejarah) pada proses kolaborasi tersebut. Pengetahuan dan pengalaman ini dapat menjadi aset bagi penyelesaian masalah. Pembelajaran bersama juga mendorong persepsi saling ketergantungan (interdependency) dan saling menghargai. Sejalan dengan hal tersebut, Nemarundwe (2005) mengungkapkan bahwa ada tiga persyaratan untuk kolaborasi, yaitu perlu fasilitasi pembelajaran dari pengalaman yang efektif, kekuasaan yang setara dalam proses pembelajaran tersebut dan kesediaan untuk aktif dalam proses multi tahap dalam kolaborasi. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat (internal) di kedua lokasi penelitian memiliki peran penting dalam proses pembelajaran petani. Kelembagaan informal seperti arisan, gotong royong, kelompok pengajian ternyata lebih disukai sebagai wadah pembelajaran bagi petani hutan rakyat sertifikasi, sedangkan kelompok formal yang dibentuk sebagai

32 182 persyaratan dalam proses sertifikasi seperti beberapa kelompok tani, koperasi, forum komunitas petani, kurang dinamis, dan kurang diminati oleh petani sebagai wadah pembelajaran. Salah satu alasan adalah para petani hutan rakyat sertifikasi, baik di Wonogiri maupun Gunung Kidul, belum terbiasa dengan struktur organisasi yang kaku, dengan peraturan dan tujuan organisasi yang kurang sesuai atau tidak menjawab kebutuhan mereka. Soetomo (2008) menyatakan bahwa kunci pertama keberhasilan program eksternal adalah apabila dapat mendorong munculnya aktivitas lokal. Apabila dampak keberlanjutan yang diharapkan, maka aktivitas lokal tersebut harus dapat menolong munculnya aktivitas lokal berikutnya sehingga akan tercapai suatu siklus kemandirian dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagai syarat agar aktivitas lokal tersebut dapat mendorong aktivitas berikutnya perlu adanya manfaat yang dirasakan pada tingkat warga masyarakat maupun pada tingkat komunitas, sehingga dapat memperkuat institusi yang mendorong kesinambungan aktivitas tersebut. Nemarundwe (2005) mengungkapkan dari pengalaman kolaborasi kelembagaan pengelolaan hutan di Zimbabwe, bahwa untuk meningkatkan peluang terjadinya pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu ada kolaborasi antara kelembagaan informal dan formal yaitu dengan saling berbagai tanggung jawab. Arisan dan gotong royong yang berkembang baik di kedua lokasi penelitian, yang didasarkan oleh persahabatan, kekerabatan dan kepercayaan merupakan kapital sosial yang perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Hubungan sosial pada masyarakat ini menjadi kekuatan yang sangat mendukung proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan bila terus dilestarikan dapat membentuk kapital lainnya, kapital manusia, kapital fisik dan lainnya. Dengan kapital sosial, kapital manusia dan kapital fisik yang berasal dari masyarakat sendiri akan sangat mendukung keberlanjutan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Lawang (2005) menegaskan bahwa bila semua kapital yang tersedia di dalam masyarakat (manusia, fisik dan sosial) dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam suatu program, maka bukan saja mencapai tujuan yang diinginkan tetapi juga menghasilkan keberlanjutan program itu sendiri. Nilai-nilai hidup/budaya kerja keras, yang sangat kental terlihat di Gunung Kidul maupun Wonogiri, juga mempengaruhi pembelajaran petani hutan rakyat

33 183 lestari (sertifikasi). Kesulitan hidup di waktu yang lampau karena kondisi fisik lahan dan alam yang sangat kritis telah menempa dan membentuk sikap mental penduduk di Gunung Kidul dan Wonogiri sebagai pekerja keras. Tidak jarang pada saat penelitian ditemui orang-orang yang sudah lanjut usia masih bekerja di ladang, bahkan membawa pakan ternak dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak jarang para wanita setengah baya memanen hasil ladang dan membawanya untuk dijual di pasar dengan berjalan kaki berkilo meter. Mereka tetap melakukan pekerjaan-pekerjaan berat sekalipun secara finansial kebutuhan mereka telah terpenuhi karena ditunjang oleh anak-anak mereka yang telah berhasil dalam pekerjaan di kota-kota besar, bahkan di luar negeri. Kepemimpinan yang kuat mengakar dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari juga terlihat pada Kelompok Tani Percabaan di Desa Selopuro maupun di Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Sumberejo. Dilihat dari latar belakang sejarah hutan rakyat, dimana masyarakat digerakkan untuk bersama-sama melakukan penanaman di lahan kritis, dimulai dari contoh yang diberikan oleh pemimpin, ternyata membuahkan hasil yang baik, yaitu tumbuhnya budaya menanam dalam masyarakat di Wonogiri. Pengaruh pemimpin, yang terus ada sampai dengan penelitian ini dilakukan merupakan faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Djogo (2005) bahwa dalam upaya pembangunan berkelanjutan kepemimpinan lingkungan menjadi salah satu andalan. Kepemimpinan lingkungan dapat dibangun atau sudah eksis di dalam sebuah masyarakat tradisional atau masyarakat dan institusi pedesaan. Kepemimpinan lingkungan biasanya muncul karena adanya persoalan serius di bidang lingkungan atau pembangunan yang berdampak pada lingkungan. Kepemimpinan lingkungan pada dasarnya ialah bagaimana kita memimpin, bersikap dan bertindak sehingga orang lain mau bertindak sehingga orang lain mau berbuat baik untuk lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut Cao dan Zhang (2005), belajar dari pengalaman pengelolaan hutan berbasis komunitas di Yunnan, China mengungkapkan bahwa nilai-nilai budaya bersama menciptakan dasar yang kuat untuk negosiasi dan kompromi yang berhasil, yang membawa pada pengelolaan

34 184 hutan secara lebih efektif. Tetapi nilai-nilai bersama saja tidak cukup, tanpa kepemimpinan yang efektif dalam proses-proses informal untuk membangun konsensus, upaya pengelolaan hutan bisa gagal. Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Model lengkap yang menggambarkan hubungan semua peubah yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, dapat dianalisis dari persamaan struktural yang dihasilkan dari analisis SEM, dan secara sederhana digambarkan pada Gambar 7. Kompetensi penyuluh (X2) Karakteristik petani (X1) Kelembagaan masyarakat (X4) Intensitas Belajar Petani (Y1) Kelembagaan Pendukung pembelajaran (X5) Perilaku Petani (Y2) Gambar 7. Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Sesuai dengan model yang didapat dari hasil penelitian, perilaku petani di kedua lokasi penelitian, yang tergolong sedang, dapat ditingkatkan dengan memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, yaitu: (1) Intensitas belajar petani; dan (2) Karakteristik petani. Dan untuk meningkatkan intensitas belajar petani perlu diperhatikan peningkatan aspek yang berpengaruh yaitu : (1) Kelembagaan pendukung pembelajaran; dan (2) Kompetensi Penyuluh.

35 185 Pengembangan Perilaku Petani Lestari melalui Peningkatan Intensitas Belajar Petani Peningkatan perilaku positif petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan intensitas belajar petani. Intensitas belajar petani di Gunung Kidul dan Wonogiri, yang saat ini cenderung sedang, dapat ditingkatkan dengan mengembangkan intensitas interaksi antara petani dengan penyuluh, materi belajar, kelompok tani, petani lainnya, dan lingkungan belajar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa aspek intensitas interaksi penyuluh/pendamping dengan petani merupakan indikator yang paling dominan merepresentasikan intensitas belajar petani. Intensitas interaksi petani dengan penyuluh bukan saja ditingkatkan melalui peningkatan frekuensi pertemuan dengan penyuluh, tetapi juga dari kualitas atau intensitas pertemuan. Komunikasi dengan penyuluh dan pendamping berkelanjutan baik secara formal maupun informal, dengan konteks hubungan pertemanan dan bukan sebagai guru dengan murid. Setiap interaksi yang dilakukan oleh petani dengan penyuluh atau pendamping, dapat membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi atau meningkatkan perilaku petani. Intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran ditingkatkan dengan cara memfasilitasi materi pembelajaran, dalam berbagai bentuk (cetakan, audio visual, dan lainnya), yang mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan dan minat petani. Pengadaan materi pembelajaran, terutama dikaitkan dengan pencarian solusi terhadap permasalahan yang dihadapi petani. Penyuluh dan pendamping juga perlu meningkatkan kapasitas petani agar dapat mencari informasi secara mandiri, baik melalui kerja sama dengan institusi pendukung pembelajaran maupun melalui media telekomunikasi. Intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar ditingkatkan dengan meningkatkan kapasitas petani dalam mendapatkan akses kepada sumber informasi, institusi pendukung pembelajaran ataupun sumber pembelajaran lainnya yang berkaitan dengan pengembangan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat juga akan membuka peluang petani untuk mendapatkan pelajaran melalui kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, seperti metode Sekolah Lapang dan lainnya.

36 186 Intensitas interaksi petani dengan kelompok tani dapat ditingkatkan melalui manajemen kelompok yang lebih baik (perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, pengawasan), sehingga kelompok dapat berjalan dinamis dan aktif dalam mencapai tujuan bersama. Dan tiap-tiap anggota dan bagian dapat berperan aktif dalam menjalankan fungsinya. Intensitas interaksi petani dengan petani ditingkatkan kapasitasnya sehingga interaksi antar petani menjadi lebih berkualitas, dalam arti setiap petani dapat menjadi sumber informasi terpercaya bagi sesama petani (dikenal dengan istilah farmer to farmer). Peningkatan Intensitas Belajar Petani melalui Penguatan Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Petani Untuk meningkatkan intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari perlu memperhatikan peubah yang mempunyai pengaruh paling besar yaitu kelembagaan pendukung pembelajaran petani. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang relatif kolaboratif di Gunung Kidul menghasilkan intensitas belajar petani yang cukup baik. Sedangkan kelembagaan pendukung yang kurang kolaboratif seperti di Wonogiri, menghasilkan intensitas belajar petani yang rendah atau kurang baik. Salah satu kelemahan dalam kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul ialah kurangnya keterlibatan swasta. Baik pada pelaksanaan di lapangan, maupun dalam Pokja masih sangat kurang atau bahkan belum ada keterlibatan pihak swasta, khususnya yang berkaitan dengan pemasaran, penting sekali dilibatkan. Memang saat ini di Gunung Kidul baru dilaksanakan pengembangan Hutan Rakyat Lestari yang penekanannya pada pengelolaan hutan secara lestari, bukan pada sertifikasinya. Saat ini fokus masih terarah pada sosialisasi Hutan Rakyat Lestari, belum dikaitkan dengan program pasca panen atau pemasarannya sehingga belum melibatkan pihak swasta. Namun untuk peningkatan pengaruh kelembagaan pendukung pembelajaran pada intensitas belajar petani di masa mendatang perlu dikembangkan dengan melibatkan pihak swasta dalam Pokja ini. Selain kelemahan pada kelembagaan pemasaran, kelemahan yang ada dalam kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari baik di

37 187 Gunung Kidul dan Wonogiri ialah kurangnya mengakomodir kebutuhan, nilainilai masyarakat dalam pembelajaran. Sebagai contoh: kebiasaan petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri melakukan sistem tebang butuh dalam pemanenan dan penanaman sejumlah pohon segera setelah penebangan sebenarnya merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat dalam melakukan metode pengaturan hasil hutan, yang menghasilkan kelestarian hutan. Bahkan dapat dikatakan mendekati keadaan hutan normal yang dikenal dalam manajemen hutan, di antaranya ialah dengan adanya sebaran kelas umur normal, volume/ persediaan normal dan pertumbuhan normal (Meyer et.al, 1961). Tetapi berkaitan dengan persyaratan sertifikasi, pihak eksternal ingin mengubah kebiasaan tebang butuh petani hutan rakyat sertifikasi dengan metode pengaturan hasil yang biasa diterapkan pada hutan negara. Soetomo (2008) menyatakan bahwa faktor penghambat yang sering dijumpai kelembagaan eksternal dalam belajar dari pengetahuan dan kearifan lokal adalah adanya kesenjangan komunikasi antara pihak eksternal tersebut dengan masyarakat, sehingga kurang mampu memahami kerangka fikir masyarakat lokal. Selain itu, kendala juga disebabkan oleh kenyataan bahwa masih adanya prasangka bahwa masyarakat lokal khususnya masyarakat desa memiliki pengetahuan yang rendah sehingga masyarakat desa bukan sumber pengetahuan, sebaliknya di sisi yang lain pihak eksternal yang melaksanakan program di desa sebagai pihak yang lebih menguasai pengetahuan. Selanjutnya Soetomo (2008) menyebutkan bahwa dalam proses belajar sosial, hubungan dan kedudukan antara pihak eksternal dan masyarakat lokal tidak bersifat vertikal, melainkan horisontal karena pihak eksternal sekedar sebagi mitra. Melalui proses belajar tersebut masyarakat belajar untuk memahami dan memberi makna bahwa ide dari pihak eksternal dapat memberi manfaat sehingga mereka dapat menerimanya. Sebaliknya, apabila dalam proses belajar tersebut masyarakat menilai ide tersebut tidak bermanfaat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat dapat menolaknya. Oleh karena itu dalam proses belajar sosial, komunikasi dialogis, yang bersifat dua arah bukan instruksi atau perintah yang bersifat satu arah, berperan sangat penting.

38 188 Saat ini para penyuluh dan pendamping petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri, maupun institusi pembinanya masih cenderung lebih banyak menekankan kompetensi teknis dan belum banyak mengembangkan kapasitas masyarakat sesuai dengan minat serta kebutuhan petani untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan penelitian Narayan (1993), yang diacu dalam Pretty (1997), yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh seberapa banyak faktor dalam kelembagaan eksternal yang merupakan kebutuhan atau minat masyarakat lokal. Disimpulkan bahwa kesuksesan kelembagaan eksternal ditentukan oleh sejauhmana kelembagaan eksternal mengakomodir orientasi utama atau nilainilai, kebutuhan dan minat masyarakat lokal, respons selama pelaksanaan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengambil keputusan. Keberadaan BP2KP di Gunung Kidul seharusnya dapat meningkatkan pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Saat ini BP2KP belum terlibat dalam Pokja Hutan Rakyat Lestari, tetapi sebagai institusi yang memiliki tupoksi dalam pemberdayaan masyarakat dan instansi pembina para penyuluh kehutanan maka sudah seharusnya BP2KP dilibatkan Pokja. Bahkan peranan BP2KP dalam menyusun program pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, pelatihan penyuluh pendamping sebagai pelaksana teknis pembelajaran masyarakat di lapangan sangat penting bagi pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Mengacu kepada Pretty (1997) serta Moyo dan Hagman (1999) untuk pembangunan berkelanjutan diperlukan kelembagaaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim multidisipliner, fleksibel dan heterogen serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Kelembagaan eksternal harus realistik, cepat menanggapi masukan sehingga perlu memiliki respons adaptif untuk perubahan. Pembelajaran harus ditetapkan pada pemecahan masalah, interaktif dan berdasarkan kondisi di lapangan. Keterkaitan antara kelembagaan pendukung pembelajaran yang lebih baik, ialah bagaimana mengkaitkan antara penelitian, penyuluhan, pendidikan bagi masyarakat. Masing-masing lembaga mempunyai tugas pokok dan fungsi berlainan namun memiliki keterkaitan dan saling melengkapi, bekerja secara sinergis sehingga proses pembelajaran masyarakat dapat berjalan lebih baik. Hal

39 189 ini sejalan dengan pendapat Roling (1989) Rivera dan Schram (1987), yang diacu dalam Rivera et.al. (2005) bahwa sekumpulan institusi menjadi sebuah sistem jika komponennya terkait satu dengan lainnya, dan institusi yang terpisah tersebut saling terhubung sehingga dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan untuk saling berbagi sumberdaya manusia, fisik dan finansial untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Sistem ini dikenal dengan Agricultural Knowledge Information System (AKIS), yang terdiri dari tiga institusi yaitu penelitian, penyuluhan, kelembagaan pendidikan pertanian dengan petani sebagai pusat dari tujuan sistem tersebut, yaitu pelayanan terhadap petani. Seiring dengan perkembangannya AKIS berkembang menjadi AKIS/RD, yang mengutarakan empat mayor subsistem dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, yaitu : (1) subsistem penciptaan pengetahuan; (2) subsistem difusi pengetahuan; (3) subsistem penggunaan pengetahuan; (4) subsistem pendukung pertanian, terdiri dari kredit, input dan fungsi pasar. Pernyataan ini menguatkan hasil penelitian di atas bahwa dalam Pokja perlu dimasukkan pihak swasta yang tergolong dalam subsistem pendukung: yang menyediakan kredit, dan khususnya pemasaran. Bila dikaitkan dengan AKIS/RD, Pokja Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dapat dikatakan atau berfungsi sebagai sebuah sistem, yang terdiri dari subsistem pendidikan, penelitian, penyuluhan, informasi dan pemasaran sebagai subsistem tambahan dari keanggotan Pokja yang ada saat ini. Kelembagaan pendukung pembelajaran yang berkolaborasi, sudah merupakan keharusan dalam pengelolaan kehutanan berkelanjutan ke depan. Mengacu pada AKIS, yang disebarkan oleh FAO (2005), diperlukan pendekatan sistem dalam penyuluhan. Sistem penyuluhan terdiri dari lima sub sistem yang saling terkait, yaitu sub sistem penelitian, sub sistem pendidikan, sub sistem pendukung (support system), sub sistem penyuluhan dan sub sistem petani. Semua sub sistem ini saling terkait satu dengan yang lainnya dan masing-masing sub sistem memiliki peran dan fungsi yang berbeda, dan saling interdependensi. Dikaitkan dengan model AKIS yang dikembangkan oleh FAO, maka satu sub sistem yang belum ada dalam Pokja yaitu keterlibatan support system, yang melayani kredit, pemasaran dan lainnya.

40 190 Pokja Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, merupakan salah satu bentuk kolaborasi kelembagaan pendukung, yang menghasilkan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) yang lebih baik dibandingkan dengan Wonogiri. Pada kelembagaan pendukung pembelajaran di Wonogiri kurang adanya kerja sama, bahkan cenderung mengarah kepada hubungan yang kurang harmonis. Dan bila dikaitkan dengan AKIS, masih sangat jauh dari yang diharapkan, karena pada kelembagaan pendukung di Wonogiri baru terdapat satu sub sistem yaitu penyuluhan saja, sedangkan sub sistem lainnya tidak ada. Dengan kolaborasi yang lebih baik, diharapkan terdapat kesamaan visi, misi dan tujuan sistem yang mengikat semua sub sistem di dalamnya, sehingga walaupun masing-masing lembaga sebagai sub sistem tetap menjalankan fungsi dan perannya masing-masing, tetapi secara bersamaan mereka juga memperjuangkan tujuan sistem dimana mereka bergabung. Dengan demikian perlu ada pembagian peran dan tugas, yang tegas, yang mencakup penyediaan sarana, prasarana, fasilitas dan personil pendukung yang menjamin tercapai tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Mattesich et.al. (2001) yang mendefinisikan kolaborasi sebagai hubungan yang saling menguntungkan dan didefinisikan secara jelas antara dua atau lebih organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan tersebut mencakup komitmen terhadap tujuan bersama, struktur yang dikembangkan bersama dan tanggung jawab yang dibagi, kewenangan dan pertanggungjawaban bersama, dan berbagi sumberdaya dan pahala. Selanjutnya Mattesich et. al. (2001) mengungkapkan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak ialah konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada; adanya saling menghormati, kesepahaman dan kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya antar pihak, dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak, dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak, keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat, pemenuhan kepentingan setiap pihak; frekuensi komunikasi; dan ketersediaan sumberdaya. Salah satu faktor penting untuk mewujudkan kolaborasi tersebut adalah kesejajaran kapasitas sehingga semua pihak yang berkolaborasi mampu untuk

41 191 berbagi kewenangan, peran dan tanggung jawab, berbagi resiko dan keuntungan dan saling kontrol. Ketidakseimbangan kapasitas para pihak dapat mengganggu kepercayaan (trust) dan kesetaraan (equity) antar pihak dalam suatu kolaborasi, oleh karena itu perlu peningkatan kapasitas para pihak yang berkolaborasi. Seringkali masyarakat atau petani sebagai pihak dengan kapasitas yang lemah dalam suatu kolaborasi, oleh karenanya Chaskin et.al (2001) mengungkapkan kombinasi empat strategi utama dalam peningkatan kapasitas, yaitu: pengembangan kepemimpinan, pengembangan organisasi, pengorganisasian masyarakat dan pengembangan kolaborasi antar organisasi. Peningkatan kapasitas petani tersebut dapat dilakukan melalui pertemuan kelompok, diskusi petani dengan lembaga pendukung dan personilnya, diskusi petani dengan para penyuluh dan pendamping, studi banding dan pelatihan-pelatihan. Dikaitkan dengan hasil SEM, aspek kelembagaan pendukung pembelajaran yang mempengaruhi intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi, terutama adalah dukungan kegiatan dan personil yang kompeten. Maka untuk pengembangan intensitas belajar, perlu diwujudkan kegiatan nyata kelembagaan pendukung yang berkolaborasi secara sinergis, yang dapat memenuhi kebutuhan dan membantu penyelesaian permasalahan yang dihadapi masyarakat. Demikian juga kelembagaan pendukung perlu mendukung personilpersonil yang kompeten dan dapat bersinergi dengan personil dari lembaga lain serta dapat saling melengkapi dalam pendampingan pembelajaran melalui kegiatan bersama. Untuk itu penting bagi kelembagaan pendukung pembelajaran mengadakan pelatihan bersama dan peningkatan kapasitas personil-personil agar dapat melakukan pendampingan petani dengan baik. Selain dari itu kelembagaan pendukung pembelajaran perlu terus mensosialisasikan visi, misi dan tujuan bersama sehingga dapat dicapai kesepahaman, kepercayaan dan kesepakatan bersama. Peningkatan Intensitas Belajar Petani Melalui Peningkatan Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Dalam penelitian ini kompetensi penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dan Wonogiri secara keseluruhan cenderung rendah, tetapi kompetensi

42 192 penyuluh atau pendamping berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani. Jadi, untuk dapat meningkatkan intensitas belajar petani, penyuluh atau pendamping perlu meningkatkan kemampuannya, khususnya dalam dalam kemampuan menganalisis permasalahan, peningkatan kapasitas petani, dan peningkatan wawasan teknis kehutanan, khususnya teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Ketiga aspek tersebut ialah aspek yang kuat merefleksikan kompetensi penyuluh dan pendamping. Penyuluh diharapkan dapat lebih memahami permasalahan nyata yang dihadapi petani sehingga dapat lebih berempati pada petani. Dalam hal ini kemampuan yang diharapkan dari penyuluh ialah kemampuan bukan untuk mencarikan pemecahan masalah yang tepat untuk permasalahan petani, tetapi untuk membantu petani agar mereka dapat mengambil solusi bagi permasalahan mereka sendiri. Di sisi lain penyuluh dan pendamping diharapkan dapat mencapai target-target yang ditentukan oleh institusi pembinanya. Penyuluh dan pendamping dikatakan kompeten bila dapat mencari titik temu dan memadukan antara kepentingan petani yang didampinginya dengan kepentingan dan target yang diharapkan oleh institusi pembinanya. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999) bahwa penyuluhan merupakan alat kebijakan yang tepat jika kepentingan utama petani bertepatan dengan kepentingan agen penyuluhan. Kondisi yang ada saat ini ialah penyuluh dan pendamping masih lebih banyak membela kepentingan insitusi tempat mereka bernaung dan kurang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan petani. Hal ini dapat disebabkan oleh latar belakang penyuluh kehutanan, yang pada saat direkrut pertama kali sebagai pegawai honorer proyek penghijauan. Paradigma penyuluhan pada saat itu lebih menekankan keberhasilan proyek penghijauan, sehingga penyuluh kehutanan ditanamkan untuk memobilisasi penduduk untuk melakukan kegiatan penanaman. Perubahan paradigma penyuluhan ini masih belum dipahami oleh penyuluh kehutanan, bahkan oleh pejabat pengambil kebijakan dan penyelenggara penyuluhan kehutanan baik di pusat maupun pemda. Oleh karena itu sangat dibutuhkan perubahan mindset penyuluhan ini melalui pelatihan atau sosialisasi

43 193 baik pada pejabat pengambil keputusan di Pusat maupun penyelenggara penyuluhan kehutanan di daerah, sampai kepada penyuluh kehutanan di lapangan. Kepekaan penyuluh kehutanan atau pendamping terhadap permasalahan riil yang dihadapi petani, dapat dikembangkan bila penyuluh tinggal dan hidup bersama-sama masyarakat. Oleh karenanya dalam kebijakan penempatan penyuluh dan pendamping perlu ditegaskan penyuluh tinggal bersama dengan masyarakat yang didampinginya sehingga perlu juga diperhitungkan konsekuensi biaya untuk memfasilitasi penyuluh dan pendamping tinggal di desa sekitar masyarakat yang didampinginya. Di sisi lain jumlah penyuluh kehutanan yang ada saat ini sangat terbatas, sehingga perlu dikembangkan penyuluh atau pendamping swadaya dari masyarakat sendiri, dengan melatih petani maju setempat yang mau dan dapat diandalkan untuk membantu teman petani lainnya. Penyuluhan kehutanan berkelanjutan yang diharapkan ke depan ialah penyuluh yang memberi perhatian dan fokus pada peningkatan kapasitas petani yang didampinginya, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kapasitas petani dalam hal ini juga meliputi kapasitas dalam teknis Hutan Rakyat Lestari, kapasitas dalam mengelola usahatani berkelanjutan, kapasitas manajemen kelompok dan lainnya. Peningkatan kapasitas petani, perlu disesuaikan dengan minat dan kebutuhan petani dan difokuskan pada pemecahan permasalahan dan pengembangan usahatani Hutan Rakyat Lestari. Penentuan kebutuhan pelatihan tersebut ditentukan bersama-sama dengan petani hutan rakyat sertifikasi, sehingga kebutuhan pelatihan bukan saja ditentukan berdasarkan sudut pandang penyelenggara penyuluhan saja, tetapi dikombinasikan dengan minat dan kebutuhan petani. Dengan demikian diharapkan petani memiliki motivasi tinggi untuk ditingkatkan kapasitasnya. Peningkatan wawasan teknis kehutanan, khususnya pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, perlu dikembangkan sesuai dengan minat, budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, bukan hanya mengintroduksi hal-hal baru yang sulit atau tidak dikenal masyarakat. Oleh karena itu penting sekali menggali potensi, kebiasaan, minat yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, sebelum menetapkan jenis peningkatan wawasan teknis yang dibutuhkan petani. Dengan demikian peningkatan wawasan teknis sekaligus juga menggali,

44 194 mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kompetensi penyuluh dan pendamping yang dibutuhkan untuk meningkatkan intensitas belajar petani tersebut, berkaitan dan sejalan dengan pendapat Chamala dan Shingi (1997) bahwa penyuluh harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting yaitu : pemberdayaan; pengelolaan kelompok dan penguatan kelembagaan masyarakat; pengembangan sumberdaya petani; serta pemecahan masalah dan pendidikan. Oleh karena itu perlu direncanakan dengan baik, peningkatan kompetensi penyuluh berkaitan dengan peranan tersebut. Keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan pendidikan dalam kelembagaan pendukung sebagai suatu sistem dalam hal ini sangat penting. Dengan adanya keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan pendidikan, dapat dipersiapkan dengan baik pelatihan penyuluh dan pendamping sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh lembaga penyuluhan. Sejalan dengan hal tersebut, Sumardjo (2010) mengemukakan empat kompetensi yang perlu dimiliki oleh penyuluh yaitu: (1) kompetensi personal yaitu kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian penyuluh yang tercermin dari kemampuan membawakan diri, kepemimpinan, kesantunan, motivasi berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan ciri kepribadian penyuluh lainnya; (2) kompetensi sosial menyangkut kemampuan-kemampuan berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerja sama dan bersinergi, mengembangkan kesetiakawanan, kohesif dan mampu saling percaya mempercayai; (3) kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan mengubah pengetahuan, ketrampilan dan sikap sasaran penyuluhan; dan (4) kompetensi komunikasi inovatif menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati, kemampuan komunikasi partisipatif, menggali dan mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan.

45 195 Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Strategi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari merupakan penjabaran dari model pengembangan pembelajaran petani yang dihasilkan dari analisis SEM. Strategi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Gambar 8) terdiri dari input (masukan), proses, output (keluaran), dan outcome (hasil). Gambar 8. Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Dukungan Kelembagaan Masyarakat dalam Pembelajaran Petani untuk Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kab. Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah Local

Lebih terperinci

Jurnal Penyuluhan, September 2012 Vol. 9 No. 2

Jurnal Penyuluhan, September 2012 Vol. 9 No. 2 Dukungan Kelembagaan Masyarakat dalam Pembelajaran Petani untuk Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kab. Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah Local

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun

Lebih terperinci

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA Kasus Kelompok Tani Karya Agung Desa Giriwinangun, Kecamatan Rimbo Ilir, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi NOVRI HASAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak

Lebih terperinci

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah Kecamatan Kahayan Kuala merupakan salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau yang sangat

Lebih terperinci

Kemandirian Ekonomi Melalui Sertifikasi Hutan Rakyat (Kasus. di Gunungkidul) Ir. Murbani Dishutbun Kab. Gunungkidul. 6 Februari 2009 Bogor - Indonesia

Kemandirian Ekonomi Melalui Sertifikasi Hutan Rakyat (Kasus. di Gunungkidul) Ir. Murbani Dishutbun Kab. Gunungkidul. 6 Februari 2009 Bogor - Indonesia Kemandirian Ekonomi Melalui Sertifikasi Hutan Rakyat (Kasus di Gunungkidul) Ir. Murbani Dishutbun Kab. Gunungkidul 6 Februari 2009 Bogor - Indonesia Kondisi Hutan Rakyat Luas hutan di kabupaten Gunungkidul

Lebih terperinci

MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI:

MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI: 1 MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI: Kasus Di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah (Model

Lebih terperinci

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

BAB III Tahapan Pendampingan KTH BAB III Tahapan Pendampingan KTH Teknik Pendampingan KTH 15 Pelaksanaan kegiatan pendampingan KTH sangat tergantung pada kondisi KTH, kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi oleh KTH dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang mampu dan dapat diperbaharui. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya dalam berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG 78 VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG 7.1. Perumusan Strategi Penguatan Kelompok Tani Karya Agung Perumusan strategi menggunakan analisis SWOT dan dilakukan melalui diskusi kelompok

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah survey, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lahirnya Kelembagaan Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dalam kelompok tersebut. Kesamaan kepentingan menyebabkan adanya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Strategi Strategi adalah perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tugas pokok penyuluh pertanian adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

Hasil Penelitian 105

Hasil Penelitian 105 Hasil Penelitian 105 106 SERTIFIKASI PHBML... 107 108 SERTIFIKASI PHBML... 109 Tabel 1. Gambaran jumlah responden dalam penelitian No Dusun Total KK Responden Status 1 Sudan, Selopuro 49 KK 5 org Pengurus

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 251 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab terakhir ini diuraikan beberapa kesimpulan, mengacu pada rumusan masalah yang dikemukakan di Bab I, dan rekomendasi ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 207 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis dan dibahas pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk/jenis kegiatan

Lebih terperinci

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya memiliki beberapa fungsi sistem penyuluhan yaitu: 1. Memfasilitasi

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan

Lebih terperinci

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS KELOMPOK MANTAN TENAGA KERJA WANITA DI DESA CIBAREGBEG

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS KELOMPOK MANTAN TENAGA KERJA WANITA DI DESA CIBAREGBEG 48 VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS KELOMPOK MANTAN TENAGA KERJA WANITA DI DESA CIBAREGBEG Berdasarkan data baik masalah maupun potensi yang dimiliki oleh kelompok, maka disusun strategi program

Lebih terperinci

PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE

PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE Analisis Masalah Pendekatan kelompok melalui pengembangan KUBE mempunyai makna strategis dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Melalui KUBE,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.52, 2010 Kementerian Pertanian. Pelatihan. Pertanian Swadaya. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.52, 2010 Kementerian Pertanian. Pelatihan. Pertanian Swadaya. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.52, 2010 Kementerian Pertanian. Pelatihan. Pertanian Swadaya. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03/Permentan/PP.410/1/2010 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan PKBM merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang lahir dari kesadaran tentang betapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Hutan memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat disekitarnya terkait dengan faktor ekonomi, budaya dan lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA A Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2014 1. Visi Untuk melaksanakan tugas dan fungsi serta menjawab tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi, Dinas Kean mempunyai

Lebih terperinci

Perspektif Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Sosial Dan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia

Perspektif Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Sosial Dan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2016 Perspektif Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Sosial Dan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia Sarintan Efratani

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS 53 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.174, 2014 PENDIDIKAN. Pelatihan. Penyuluhan. Perikanan. Penyelenggaraan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5564) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro

KEMITRAAN SEKOLAH. Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro KEMITRAAN SEKOLAH Workshop Strategi Pengembangan Mutu Sekolah Bagi Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah diselenggarakan Prodi S2 Manajemen Pendidikan dan S3 Ilmu Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA 92 VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA 8.1. Identifikasi Potensi, Masalah dan Kebutuhan Masyarakat 8.1.1. Identifikasi Potensi Potensi masyarakat adalah segala sesuatu yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian merupakan faktor penunjang ekonomi nasional. Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa lalu bersifat linier dan cenderung bersifat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari uraian program dan kegiatan DAK pada Dinas Kehutanan Pasaman

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari uraian program dan kegiatan DAK pada Dinas Kehutanan Pasaman BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari uraian program dan kegiatan DAK pada Dinas Kehutanan Pasaman Barat maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Implementasi program dan kegiatan DAK pada Dinas

Lebih terperinci

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL Sepanjang era Orde Baru praksis pembangunan kehutanan senantiasa bertolak dari pola pikir bahwa penguasaan sumberdaya hutan merupakan state property saja

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PROGRAM INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

Jurnal Penyuluhan, Maret 2012 Vol. 8 No. 1

Jurnal Penyuluhan, Maret 2012 Vol. 8 No. 1 Pendahuluan 1 Kerusakan hutan yang semakin parah, baik akibat illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, ketimpangan antara kapasitas ter- 1 Korspondensi. Telepon: 081315889996 E-mail: fathursyifa.nita@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KARANGANYAR, Hutan Sehat, Desa Sehat Oleh : Endang Dwi Hastuti*

KARANGANYAR, Hutan Sehat, Desa Sehat Oleh : Endang Dwi Hastuti* KARANGANYAR, Hutan Sehat, Desa Sehat Oleh : Endang Dwi Hastuti* Berjarak sekitar 7 kilometer dari ibu kota kabupaten, Desa Karanganyar berada di Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 5 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PRODUK LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di 63 BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil analisis kesesuaian, pengaruh proses pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende dapat dibahas

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Keberadaan hutan perlu dijaga agar tidak mengalami degradasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Keberadaan masyarakat sekitar hutan yang pada umumnya

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa untuk mengoptimalkan

Lebih terperinci

Hubungan Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan

Hubungan Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan 101 HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL DAN SOSIAL EKONOMI ANGGOTA MASYARAKAT SERTA DUKUNGAN PEMIMPIN, PROGRAM DAN KELEMBAGAAN NON FORMAL DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN HUTAN Kajian hubungan

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partisipasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat, sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi, melalui kemitraan, transparasi, kesetaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan penyuluhan dalam pembangunan pertanian berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antara praktek yang dijalankan oleh petani dengan pengetahuan dan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian negara Indonesia, menjadi fondasi perekonomian negara, dan merupakan andalan sebagai pendorong pembangunan

Lebih terperinci

VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS KELOMPOK MANTAN TKW DI DESA CIBAREGBEG

VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS KELOMPOK MANTAN TKW DI DESA CIBAREGBEG VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS KELOMPOK MANTAN TKW DI DESA CIBAREGBEG Dalam bagian ini akan disampaikan faktor yang mempengaruhi kapasitas kelompok yang dilihat dari faktor intern yakni: (1) motivasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, pada bagian akhir ini penulis mengemukakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 30 METODOLOGI PENELITIAN Metode Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pilihan strategi studi kasus. Menurut Moleong (2005), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

Diarsi Eka Yani. ABSTRAK

Diarsi Eka Yani. ABSTRAK KETERKAITAN PERSEPSI ANGGOTA KELOMPOK TANI DENGAN PERAN KELOMPOK TANI DALAM PEROLEHAN KREDIT USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Depok) Diarsi Eka Yani

Lebih terperinci

SISTEM. Oleh: Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky. Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto

SISTEM. Oleh: Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky. Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto LAPORAN AKHIR TA. 2013 PERAN PENYULUH SWADAYA DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN Oleh: Kurnia Suci Indraningsih Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto PUSAT

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA 2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 2.1.1 Visi Untuk melaksanakan tugas dan fungsi serta menjawab tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi,

Lebih terperinci

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013

2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA 2.1. Rencana Strategis dan Rencana Kinerja Tahun 2013 2.1.1 Visi Untuk melaksanakan tugas dan fungsi serta menjawab tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/PP.410/1/2010 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELEMBAGAAN PELATIHAN PERTANIAN SWADAYA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/PP.410/1/2010 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELEMBAGAAN PELATIHAN PERTANIAN SWADAYA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 0/Permentan/PP.4//0 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELEMBAGAAN PELATIHAN PERTANIAN SWADAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

DEFINISI OPERASIONAL, INDIKATOR DAN PENGUKURAN PEUBAH PENELITIAN PEUBAH DEFINISI OPERASIONAL INDIKATOR PENGUKURAN *)

DEFINISI OPERASIONAL, INDIKATOR DAN PENGUKURAN PEUBAH PENELITIAN PEUBAH DEFINISI OPERASIONAL INDIKATOR PENGUKURAN *) 176 Lampiran 1 DEFINISI OPERASIONAL, INDIKATOR DAN PENGUKURAN PEUBAH PENELITIAN PEUBAH DEFINISI OPERASIONAL INDIKATOR PENGUKURAN *) FAKTOR INTERNAL (X 1) : Umur (X1.1) Tingkat Pendidikan (formal dan non

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. commit to user

BAB VI PENUTUP. commit to user BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis data yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, penulis mencoba untuk merefleksikan beberapa hal pokok yang diungkapkan dalam

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN : 2017 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG DEWAN KETAHANAN PANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini sebagai salah satu institusi yang memiliki peran sentral dan strategis dalam proses transformasi sosial serta pemberdayaan insani,

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

PENGERTIAN PENYULUHAN

PENGERTIAN PENYULUHAN PENGERTIAN PENYULUHAN Istilah penyuluhan (extension) pertama-tama digunakan pada pertengahan abad ke-19 untuk menggambarkan program pendidikan bagi orang dewasa di Negara Inggris (Cambridge University

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03//Permentan/OT.140/1/2011 TANGGAL : 31 Januari 2011 PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan PENGANTAR Latar Belakang Pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan kerja

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Istilah penyuluhan telah dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang bekerja di dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN. Perumusan visi dan misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN. Perumusan visi dan misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Perumusan visi dan misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lamandau tidak terlepas dari kondisi lingkungan internal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki keleluasaan untuk mengelola daerah dan sumberdaya alam yang ada di daerahnya. Dengan keleluasaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 12, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci