BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibatasi, dimana terjadi suatu kegiatan tertentu (Gunawan 1981 dalam Iskandar,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibatasi, dimana terjadi suatu kegiatan tertentu (Gunawan 1981 dalam Iskandar,"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Lokasi Lokasi merupakan suatu area yang secara umum dapat dikenali atau dibatasi, dimana terjadi suatu kegiatan tertentu (Gunawan 1981 dalam Iskandar, 2009). Penentuan suatu lokasi suatu sekolah perlu diperhatikan pemetaan sekolah. Pemetaan sekolah tidak hanya sekedar menunjukkan peta atau gambar lokasi lahan serta bangunan sekolah. Pemetaan sekolah tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan lokasi sekolah secara tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan keadaan jumlah usia anak sekolah serta sarana dan prasarana sekolah secara lengkap. Berkaitan dengan pemilihan lokasi ini maka letak suatu sekolah diharapkan dalam suatu lokasi yang baik dan optimal. Teori Lokasi sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi, atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (Tarigan, 2006) sangat berperan dalam menganalisis sebaran sekolah menengah ini. Teori laian yang dapat menganalisis sebaran lokasi sekolah adalah Teori Palander. Teori ini menjelaskan tentang pendistribusian lokasi fasilitas yang memberikan pelayanan jasa (Agustin, 2006). Teori Palander menyatakan bahwa barang dan jasa dapat diproduksi berdasarkan pertimbangan batas penduduk minimal dan jangkauan pasar. Batas minimal

2 penduduk adalah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk kelancaran dan kesinambungan penawaran barang. Kalau jumlahnya di bawah jumlah tertentu maka pelayanan akan mahal dan kurang efisien, jika meningkat di atas jumlah standar maka pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Sedangkan jangkauan pasar (range) adalah jarak yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh lagi dari jarak standar yang ditentukan maka orang akan mencari wilayah lain yang lokasinya lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama. Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi dalam pendistribusian pusat pelayanan dipengaruhi (Sujarto, 1989 dalam Agustin, 2006) : 1. Faktor Manusia : Manusia yang dimaksud dalam hal ini adalah yang akan mempergunakan pusat-pusat pelayanan yang menyangkut pertimbangan jumlahnya, kepadatan penduduk, perkembangan penduduk, status sosial ekonomi masyarakat, nilainilai, potensi masyarakat, pola kebudayaan, dan antropologi. 2. Faktor Lingkungan : Lingkungan yang dimaksud adalah tempat dimana manusia melaksanakan kegiatan kehidupannya. Hal ini menyangkut pertambangan skala lingkungan dalam arti fungsi dan peranan sosial ekonominya, jaringan pergerakan, letak geografis lingkungan dan sifat keterpusatan lingkungan.

3 Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang turut mempengaruhi apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas merupakan tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi di tinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi aksesibilitas tersebut, maka dalam suatu analisis tentang kota atau rencana kota dikenal suatu standar lokasi (Jayadinata, 1999), yaitu : Tabel 2.1 Standar Jarak Dalam Kota No Prasarana Jarak Dari Tempat Tinggal (Berjalan Kaki) 1. Pusat Tempat Kerja 20 menit s.d 30 menit 2. Pusat Kota (Pasar dan sebagainya) 30 menit s.d 45 menit 3. Pasar Lokal ¾ km atau 10 menit 4. Sekolah Dasar (SD) dan Taman ¾ km atau 10 menit 5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 ½ km atau 20 menit 6. Sekolah Menengah Atas (SMA) 20 atau 30 menit 7. Tempat Olahraga (Rekreasi) 1 ½ km atau 20 menit Sumber : Chapin dalam Jayadinata (1999) 2.2 Teori Fasilitas Sosial Menurut Permendagri No.1/1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah

4 Daerah. Fasilitas Sosial yang dimaksud adalah fasilitas yang dibutuhkan oleh penduduk dalam lingkungan permukiman, yang meliputi : fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi, kebudayaan, olahraga, lapangan terbuka serta pemakaman. Fasilitas sosial adalah sebagai kegiatan atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental, dan spiritual (Sujarto, 1989 dalam Muharani, 2003). Kebutuhan tersebut diantaranya : fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan, fasilitas kemasyarakatan, fasilitas rekreasi, fasilitas olahraga, dan tempat perkuburan. 2.3 Fasilitas Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas Tahun 2003). Berdasarkan defenisi fasilitas sosial yang telah diuraikan di atas, maka fasilitas pendidikan dapat didefenisikan sebagai aktifitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental, dan spiritual melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

5 spiritual keagamaan, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Terdapat 4 (empat) jenis fasilitas pendidikan menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.378/KPTS/1987, yaitu : 1. Taman Kanak-Kanak : merupakan fasilitas pendidikan yang paling dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak usia (5-6) tahun. 2. Sekolah Dasar : merupakan fasilitas pendidikan yang disediakan untuk anakanak usia antara (6-12) tahun. 3. Sekolah Menengah Pertama : merupakan fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan Sekolah Dasar. 4. Sekolah Menengah Umum : merupakan fasilitas pendidikan yang berfungsi sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan SMP. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 14 disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selanjutnya pada pasal 18 dijelaskan yang dimaksud dengan pendidikan menengah yaitu : 1. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. 2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. 3. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

6 4. Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Standar yang digunakan untuk fasilitas satuan pendidikan menengah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun Standar Sarana-Prasarana Pendidikan Beberapa standar yang dapat dijadikan acuan dalam perencanaan sarana dan prasarana pendidikan, yaitu : Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI Standar sarana dan prasarana ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun Standar mencakup sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan : satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Dalam penelitian ini hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikannya saja yang didalamnya diatur mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan. Standar satuan pendidikan SMA dan MA, yaitu : a. Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel. b. Satu SMA/MA dengan 3 rombel melayani maksimum 6000 jiwa penduduk. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombel atau pembangunan SMA/MA baru.

7 Standar dalam hal pendistribusian fasilitas pendidikan yang dikeluarkan Departemen PU maka untuk pertimbangan dalam perencanaan fasilitas pendidikan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : a. Jumlah penduduk pendukung yang akan dilayani. b. Struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin. c. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk. d. Keadaan sosial ekonomi penduduk Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana Struktur pemerintahan yang dipergunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya untuk perumahan sederhana didasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan ( jiwa), kecamatan ( jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2.500 jiwa), kelurahan ( jiwa), dan kecamatan ( jiwa).

8 Tabel 2.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m 2 ) Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMTP SMTA Sumber : Keputusan Menteri PU No.20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dalam Iskandar Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota Depdagri ini di dasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan ( jiwa), kecamatan ( jiwa). Pola sebaran penduduknya : rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (3000 jiwa), kelurahan ( jiwa), kecamatan ( jiwa), dan kota ( jiwa). Tabel 2.3 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m 2 ) Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMTP SMTA Sumber : Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria Depdagri Atlas DKI Jakarta Raya, Tanah dan Kegiatan Pembangunan PUBL No.214 Tahun 1982 dalam LPPWK 1993 dalam Iskandar, 2009

9 2.4.4 Standar Dinas Tata Kota (DTK) DKI Jakarta Struktur pemerintahan yang digunakan pada standar dinas tata kota DKI Jakarta didasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan ( jiwa), kecamatan ( jiwa), dan wilayah ( jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah : rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2500 jiwa), sub distrik (5.000 jiwa), kelurahan ( jiwa), distrik ( jiwa), kecamatan ( jiwa), sub wilayah ( jiwa), dan wilayah ( jiwa). Tabel 2.4 Standar Dinas Tata Kota DKI Jakarta Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk Pendukung (jiwa) < 200 jiwa/ha Luas Tiap Unit (200 s.d 400) jiwa/ha > 400 jiwa/ha Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMTP (10 lokal) SMTA (10 lokal) Sumber : Buku Data dan Analisis RBWK Kecamatan-Kecamatan DKI dalam Buku Penelitian/Penyempurnaan Standar Sarana Kota dalam Iskandar, Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya Departemen PU didasarkan pada

10 jumlah penduduk : kelurahan ( jiwa), kecamatan ( jiwa), wilayah ( jiwa), kota ( jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah RT (250 jiwa), RW (2500 jiwa), kelurahan ( jiwa), kecamatan ( jiwa), wilayah ( jiwa), dan kota ( jiwa). Tabel 2.5 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU Jenis Sarana Kota Sekolah Dasar Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa) 1600 SMTP 4800 SMTA 4800 Jarak Mudah dicapai dengan radius pencapaian maksimum 1000 meter, dihitung dari unit terjauh Radius maksimum 1000 meter Radius maksimum 3 km dari unit yang dilayaninya Luas Lahan 2000 m m m 2 (1 lt) 8000 m 2 (2 lt) 5000 m 2 (3 lt) Sumber : Penyempurnaan terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU, Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan 2003, dalam Agustin Standar dan Ketentuan Mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan Menengah Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Sehingga standar sarana dan prasarana

11 fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan yang telah dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam standar fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas, yaitu : 1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan. 2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki. 3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan, perkantoran, perindustrian). Selain pedoman di atas terdapat juga pedoman perencanaan gedung sekolah dari Departemen Pekerjaan Umum, dengan mempertimbangkan aspek-aspek : 1. Fasilitas sekolah menengah umum direncanakan dengan kecenderungan perkembangan kota, rencana induk kota, dan harus disetujui oleh pemerintah daerah setempat. 2. Kepadatan dan potensi penduduk (% penduduk usia sekolah) harus mendukung kegiatan pendidikan sehingga selain akan dapat menentukan lokasi sekolah juga harus dapat menentukan jenis dan tipe sekolah. 3. Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/tempuh, faktor usia, kemampuan fisik siswa, dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (jalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan. 4. Kondisi lingkungan sangat menentukan lokasi fisik sekolah. Lingkungan dibedakan dalam lingkungan alami, yaitu : geografi, topografi,

12 klimatologi, flora dan fauna, dan lingkungan buatan seperti bangunan dan lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi). Syarat lokasi bangunan sekolah terhadap lingkungan adalah tercapainya : kenyamanan, ketenangan, kesehatan, dan keamanan. Standar lokasi sekolah yang dinyatakan De Chiara dan Koppelman (1975) dengan kriteria umumnya meliputi radius daerah jangkauan, karakteristik desain, dan lokasi yang dianjurkan pada setiap tingkatan pendidikan Rinciannya ada pada tabel 2.4 di atas. Menurut De Chiara dan Koppelman (1975) suatu sekolah menengah yang terdiri dari kombinasi antara sekolah dan taman komunitas sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan perumahan untuk memudahkan akses. De Chiara (1975) menyatakan standar aksesibilitas untuk sekolah menengah, yaitu : dapat ditempuh berjalan kaki dengan jarak maksimum antara (1,6 s.d 2,4) km sedangkan bila menggunakan kendaraan bermotor maksimum 4 km.

13 Tabel 2.6 Kriteria Umum Penempatan Fasilitas Pendidikan Menurut De Chiara dan Koppelman Jenis Fasilitas Elementary School (SD) Junior High School (SMP) Senior High School (SMA) Daerah Jangkauan (meter) 400 s.d s.d s.d 1600 Sumber : Chiara dalam Iskandar, Karakteristik Desain Harus dapat diakses dengan berjalan kaki dari perumahan tanpa menyebrangi jalan. Jika ada jalan yang harus diseberangi, jalan tersebut harus jalan lokal. Harus jauh dari jalan arteri primer, dan harus tersedia di jalan setapak dari area lain. Harus dekat dengan kawasan taman dan jauh dari kebisingan Lokasi Dekat dengan kawasan pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Dekat dengan konsentrasi perumahan atau dekat dengan pusat permukiman Terletak di pusat untuk memudahkan akses dan dekat dengan fasilitas umum lainnya. Sedangkan menurut konsep Neighborhood Unit aspek jarak dan waktu untuk fasilitas masyarakat dibagi kedalam lima kategori, yaitu :

14 Tabel 2.7 Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana No Kategori Jarak (meter) Waktu Tempuh (menit) 1 Sangat Dekat Dekat Sedang Cukup Jauh Jauh > 3000 > 40 Sumber : Udjianto, 1994 dalam Agustin, 2006 Menurut John Black (1979) bahwa hendaknya dalam pengaturan dan perencanaan lokasi fasilitas pendidikan, perencana kota perlu memperhatikan sistem transportasi yang melayani, faktor jarak dari lokasi permukiman serta kesesuaian lahan dengan tata guna lahan lainnya. 2.5 Faktor Pemilihan Lokasi Sekolah Dalam menganalisis Sebaran Sekolah Menengah yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa faktor yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, berdasarkan literatur dan disesuaikan dengan standar-standar yang ada. Faktor tersebut diantaranya, yaitu : Faktor Jangkauan Pelayanan Faktor jangkauan pelayanan ini dianalisis berdasarkan wilayah terdekat yang mampu diakses sesuai peta jaringan jalan berdasarkan batasan

15 jarak yang diberikan antara tempat tinggal-sekolah. Jarak tempuh maksimal tempat tinggal-sekolah berdasarkan standar yang berlaku di Indonesia dengan tidak membedakan transportasi yang dipilih dan kondisi jalan yang ditempuh. Kemampuan mengakses lokasi suatu sekolah akan mempengaruhi kestrategisan suatu lokasi sekolah, karena menyangkut kemudahan untuk menuju lokasi tersebut dari berbagai lokasi yang berada disekitarnya atau wilayah lainnya. Indikator yang menentukan jangkauan pelayanan ini, yaitu : kedekatan lokasi dengan jaringan transportasi dan pusat kota. Dalam analisis ini akan digunakan standar jangkauan pelayanan fasilitas pendidikan Cipta Karya Departemen PU, kriteria jarak jangkauan fasilitas menurut konsep Neighborhood Unit, Standar Jarak Dalam Kota dan kriteria penempatan lokasi fasilitas pendidikan menurut Joseph De Chiara dan Koppelman. Daerah jangkauan yang dimaksud adalah kedudukan dan jarak jangkauan fasilitas pendidikan menengah terhadap pengguna fasilitas pendidikan saat ini yang nyata dilapangan. Data yang digunakan adalah data primer mengenai lokasi tempat tinggal siswa pengguna fasilitas pendidikan terhadap lokasi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi. Dalam bagian ini akan dibahas juga mengenai faktor lain yaitu waktu tempuh dan kondisi transportasi dalam menjangkau fasilitas pendidikan. Data yang digunakan adalah data hasil survei primer berupa data waktu tempuh siswa dari rumah ke sekolah, data kondisi dan tingkat kemudahan moda transportasi dalam mencapai lokasi sekolah. Data primer yang diperoleh dievaluasi dengan

16 menggunakan standar sarana prasarana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga dengan standar waktu tempuh (pencapaian) menurut konsep Neighborhood Unit. Analisis jangkauan pelayanan ini membutuhkan data spasial (jaringan jalan dan sebaran sekolah) Faktor Pola Distribusi Faktor pola distribusi ini dianalisis berdasarkan penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah. Jumlah daya tampung sekolah merupakan persediaan. Sedangkan permintaan ditinjau dari jumlah penduduk usia sekolah untuk pendidikan menengah (16-18) tahun hasil sensus penduduk per kecamatan/kelurahan. Analisis terhadap pola distribusi ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah daya tampung atau kapasitas pendidikan menengah yang ada telah memenuhi kebutuhan penduduk penggunanya atau belum baik secara keseluruhan satu kota maupun untuk tiap kecamatan. Usia sekolah untuk tingkat pendidikan menengah adalah (16-18) tahun. Yang menjadi tolak ukurnya adalah kapasitas pendidikan menengah tiap kecamatan sama dengan atau melebihi jumlah penduduk usia (16-18) tahun di Kota Tebing Tinggi. Faktor pemenuhan kebutuhan penduduk akan fasilitas pendidikan ini dianalisis berdasarkan penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaanpermintaan sekolah. Standar yang digunakan untuk menganalisis pola distribusi menggunakan standar sarana prasarana sekolah menengah menurut

17 Departemen Pendidikan Nasional. Analisis pola distribusi ini membutuhkan analisis jaringan (network analysis) yang melibatkan data tabular/non spasial (data kependudukan dan kapasitas sekolah) dan data spasial (sebaran sekolah) Faktor Kondisi Lahan Sekolah Dalam mendirikan suatu lokasi sekolah maka harus diperhatikan rencana peruntukan lahan yang disesuaikan dengan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Keterangan yang diinginkan dalam RDTR dan RTRW tersebut meliputi : ketentuan penataan bangunan, peta lokasi tanah, data tanah, dan peruntukan lahan (Prihantini, 2008). Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah. Kesesuaian lokasi sekolah ditinjau menggunakan standar yang berlaku atau dapat diterapkan di Indonesia mengenai tata guna lahan dan aktivitas lingkungan yang berbahaya, berdampak negatif, atau tidak mendukung proses pendidikan di sekolah. Sedangkan analisis kesesuaian aktivitas lingkungan memerlukan analisis ruang (spatial analysis) yang menggabungkan peta tata guna lahan, peta jaringan jalan, dan peta sebaran sekolah.

18 2.6 SIG Dalam Menganalisis Sebaran Lokasi Sekolah Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan tools yang penting dalam melakukan pengolahan data spasial terutama dalam skala besar karena dapat dilakukan secara efesien dalam hal waktu, biaya, dan ketepatan pengambilan keputusan. Apabila pengolahan data spasial dilakukan secara konvensional akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang lebih besar. Sebagian besar data yang dianalisis berupa data spasial dalam bentuk peta tematik. Analisis data selanjutnya dengan menggunakan tools SIG dilakukan dalam bentuk metode tumpang susun (overlay). Analisis overlay ini dilakukan dalam penentuan suatu lokasi sekolah yang layak sesuai standar yang ada. Hasil SIG dapat berupa peta cetak warna, peta digital, dan data tabuler yang dapat menggambar jenis, penampakan, dan informasi yang beragam. Peta akan menampilkan data dan informasi berbasis keruangan tentang lokasi dan atribut yang dimiliki melalui gambar. Selain peta sebagai out put dari SIG, maka output dapat berupa sistem informasi Jenis Peta Peta merupakan hal yang penting dalam analisis SIG ini karena merupakan sumber data. Selama ini peta hanya dikenal dalam bentuk atlas merupakan peta analog. Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan seperti peta rupa bumi yang diterbitkan Bakosurtanal. Umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial.

19 Peta juga menggambarkan tentang kondisi dan keberadaan penampakan yang ada di muka bumi. Menurut Supriadi, dkk.(2007) peta dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu : peta topografi dan peta tematik. Peta topografi merupakan peta yang menunjukkan penampakan alamiah dan buatan manusia di bumi. Topografi menggambarkan bentuk permukaan bumi yang diwujudkan oleh kontur, lahan, jalan kereta api, dan berbagai feature lainnya. Peta topografi menunjukkan penampakan fisik permukaan bumi seperti : jalan, sungai, dan bangunan. Sedangkan peta kontur menampakkan garis yang menghubungkan titik tertentu yang memiliki kesamaan nilai, misalnya ketinggian tempat dari permukaan laut. Peta tematik merupakan sumber penting dari informasi SIG. Peta tematik merupakan sarana untuk menyampaikan konsep geografis melalui tema tertentu, seperti kepadatan populasi, iklim, jenis tanah, geologi, kesesuaian lahan, pergerakan barang, dan penggunaan lahan Resolusi Peta Resolusi peta berhubungan dengan besarnya ketelitian suatu lokasi atau objek lainnya yang terdapat dalam suatu peta digambarkan pada skala tertentu. Jika peta dengan skala besar maka resolusi objek akan lebih teliti dibandingkan dengan kondisi sebenarnya (Supriadi, dkk., 2007). Sebaliknya apabila skala peta semakin kecil maka ketelitian suatu peta juga akan berkurang sebab objek yang digambarkan akan semakin kecil dan mungkin

20 tidak akan kelihatan di peta. Suatu desa yang cukup luas mungkin akan hilang di peta berskala kecil. Dalam hal penggunaan peta ini maka ketelitian merupakan hal yang sangat penting, seperti yang juga di atur dalam PP No.10 tahun 2000 tentang ketelitian peta dalam penataan ruang. Dalam spesifikasi teknis pemetaan rupa bumi digital disebutkan apabila peta yang digunakan sebagai sumber merupakan hasil pemotretan udara ada beberapa ketelitian yang dibutuhkan pada titik kontrol horizontal. Titik kontrol horizontal diukur dengan GPS (metode beda fasa) dengan Bench Marck (BM) sebagai titik kontrol terdekat dengan kode N0 atau N1 yaitu titik kontrol geodesi Bakorsutanal. Skala Peta Tabel 2.8 Ketelitian Titik Kontrol Horizontal Ketelitian Horizontal minimum yang dibutuhkan Unsur Ketelitian Horizontal Minimum yang Dibutuhkan Titik Kontrol 1 : m 1 m 1 : m 2.5 m 1 : m 5 m 1 : m 10 m 1 : m 25 m Sumber : Bakorsutanal, 2001 dalam Amelia, 2007 Titik kontrol vertikal diukur dengan alat ukur sifat datar atau cara trigonometris dengan total station dan diikatkan pada titik kontrol tinggi terdekat dengan kode TTG. Jika TTG tidak tersedia, maka harus diikatkan

21 dengan Mean Sea Level (MSL) terdekat dengan melakukan pengukuran pasang surut dalam waktu yang memadai sesuai dengan ketelitian yang diperlukan pada skala peta. Skala Peta Tabel 2.9 Ketelitian Titik Kontrol Vertikal Interval Kontur Ketelitian Vertikal minimum yang dibutuhkan Unsur Ketelitian Vertikal Minimum yang Dibutuhkan Titik Kontrol 1 : m 2 m 1 m 1 : m 5 m 2.5 m 1 : m 10 m 5 m 1 : m 20 m 10 m 1 : m 50 m 25 m Sumber : Bakorsutanal, 2001 dalam Amelia, 2007 Langkah selanjutnya adalah melakukan kontrol kualitas yang dimaksudkan untuk memperoleh jaminan bahwa titik kontrol yang dipilih adalah memenuhi syarat geometris, dapat dengan baik diidentifikasi, tidak berubah tempatnya serta telah diukur dan dihitung sesuai dengan syarat-syaratnya. Sistem proyeksi peta adalah suatu sistem yang memungkinkan penggambaran unsur-unsur spasial yang terdapat di atas permukaan ellipsoid ke atas lembar peta. Dalam proyeksi peta banyak digunakan rumus-rumus matematika yang digunakan untuk mentransformasikan koordinat titik-titik yang terdapat di atas permukaan ellipsoid ke dalam bentuk koordinat kartesian yang terdapat di atas lembar peta. Datum secara umum dapat diartikan sebagai

22 besaran atau konstanta yang dapat berperan sebagai referensi untuk proses hitungan besaran lainnya. Permasalahan timbul ketika suatu negara menggunakan model bumi yang beda dengan negara lainnya yang berdekatan. (Prahasta, 2005). Berdasarkan hal tersebut maka perlu disamakan persepsi spasial melalui transformasi datum. Transformasi datum dari datum lokal ke datum global dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : menggunakan aplikasi perangkat lunak SIG (misal : ArcView) atau perangkat lunak lain yang secara khusus digunakan untuk melakukan transformasi datum dengan menggunakan metode-metode yang telah tersedia (Prahasta, 2005) Digitasi Peta dan Check Plot Digitasi peta dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data digital dari data sekunder dalam bentuk peta hard copy. Pelaksanaan digitasi peta adalah untuk memperoleh data digital untuk keperluan data base jaringan jalan, sungai atau tempat-tempat tertentu lainnya Digitasi Peta Digitasi pada dasarnya adalah mengubah bentuk data dari format analog (peta analog) menjadi format digital, sehingga dapat disimpan dan ditampilkan dalam komputer. Ada 2 metode dalam digitasi ini (Supriadi, dkk., 2007), yaitu :

23 a. Heads-down digitising (Manual Digitasi): Heads-down digitising dilakukan dengan mengikuti jalur feature peta baik dalam bentuk point, line maupun poligon dengan puck yang menentukan koordinat setiap point sample untuk disimpan dalam komputer. b. Heads-up digitising (Otomatis Digitasi): Heads-up digitising dilakukan dengan menggunakan hasil scanning peta. Langkah yang dilakukan hampir sama dengan heads-down digitising, jika pada heads-down digitasi menggunakan puck maka pada digitising on screen ini menggunakan mouse untuk mengikuti track yang akan dibuat themenya. Pada digitasi peta perlu melakukan perubahan sistem transformasi. Digitasi merupakan transformasi informasi dari format analog menjadi bentuk digital. Digitasi secara manual termasuk pemakaian meja digitasi atau menggunakan layar komputer. Digitasi dilakukan dengan menetapkan sistem koordinat kartesian mengikuti pola sumber data. Digitasi berarti juga menyalin track ke dalam bentuk titik, garis atau poligon dengan menggunakan mouse atau pack Check Plot Check Plot dilakukan untuk memeriksa kebenaran hasil digitasi. Pemeriksaan kebenaran ini dilakukan dengan membandingkan peta asli (hard copy) dengan hasil cetak peta digitasi.

24 2.6.4 Editing Peta dan Pembentukan Topologi Editing Peta Editing peta dilakukan adalah untuk memeriksa kelengkapan peta hasil digitasi atas dasar peta sumber yang digunakan serta kesinambungan unsur peta yang bersebelahan. Tindak lanjut dari pemeriksaan tersebut adalah melengkapi unsur yang belum di digitasi, membentuk hasil digitasi yang tidak sempurna (overshoot dan undershoot) dan mendigitasi ulang unsur-unsur yang posisinya bergeser dari posisi unsur yang seharusnya Pembentukan Topologi Pembentukan topologi dilakukan adalah untuk mengorganisir data sedemikian rupa sehingga akan mudah diakses dan digunakan untuk kegiatan analisis selanjutnya. Proses topologi dilakukan lebih dari satu kali untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Untuk menghasilkan data dengan kualitas yang baik perlu diperhatikan aturan dalam pembentukan topologi. Aturan topologi adalah aturan hubungan antar komponen data spasial. Dalam membangun suatu data base spasial digital aturan topologi ini sangat diperlukan untuk menjamin kualitas dari data spasial, sehingga jika suatu saat data spasial akan digunakan untuk keperluan analisa hasilnya tidak akan terjadi kesalahan.

25 2.6.5 Metode Analisis Tumpang Susun (Overlay) Overlay merupakan metode tumpang tindihkan dua layer atau lebih serta membuat kembali topologi titik, garis dan poligon, dan operasi penggabungan atribut untuk penelitian kesesuaian, manajemen resiko serta evaluasi potensi (Supriadi, dkk., 2007) Overlay Data Raster Overlay data raster dengan dua layer lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan overlay data vector, karena tidak menggunakan operasi topologi, tetapi hanya operasi pixel dengan pixel. Metode yang biasanya digunakan dalam overlay data raster terdiri dari : a. Weighting Point Method : Metode ini dilakukan apabila ada dua layer bernilai N 1 dan N 2 ditumpang tindih dengan timbangan T 1 dan T 2 akan menghasilkan : P = T 1. N 1 + T 2. N 2 dengan : T 1 + T 2 = 1. Metode ini hanya sesuai jika data atribut mempunyai nilai numerik yang dapat dilakukan melalui operasi numerik. b. Ranking Method : Metode ini melakukan tumpang tindihkan data atribut berdasarkan tingkat kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah : minimum ranking, multiplication ranking, dan selective ranking.

26 1. Minimum ranking : mengambil ranking terendah dari overlay kedua layer sebagai susunan layer yang baru. 2. Multiplication ranking : mengalikan ranking karena berpengaruhnya lebih baik dibanding akibat penambahan. 3. Selective ranking : menentukan tingkat kombinasi berdasarkan pengalaman profesi pengguna Overlay Data Vektor Overlay data vector lebih sulit dilakukan karena harus memperbaiki tabel topologi hubungan antar titik, garis, dan poligon. Hasil overlay data vektor dapat berupa objek garis dan area baru melalui penambahan perpotongan (node) yang dibutuhkan overlay topologi. Jenis-jenis overlay vektor, yaitu : 1. Point in polygon overlay : titik dioverlay pada peta polygon. Topologi titik merupakan atribut baru setiap titik polygon. 2. Line on polygon overlay : garis dioverlay ke polygon. Topologi garis merupakan atribut ID garis lama dan ID area. 3. Polygon on polygon overlay : dua layer dioverlay menghasilkan polygon baru dan saling berpotongan. Topologi polygon merupakan daftar ID polygon asli.

27 2.7 Aksesibilitas Pendidikan Pemerataan harus dapat dilihat dalam konteks kata akses (Friedman dan Nozick, 1974). Pernyataan tersebut memiliki makna bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengakses. Apabila dihubungkan dengan pendidikan maka yang dimaksud dengan peningkatan aksesibilitas pendidikan adalah pendidikan yang disediakan oleh berbagai stake-holder harus dapat memenuhi kebutuhan hak akses masyarakat akan pendidikan tanpa terkecuali. Setiap masyarakat tidak ada lagi yang tidak dapat mengakses. Peningkatan aksesibilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerataan, pemerataan yang memiliki makna bahwa setiap wilayah memiliki jumlah fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Penyesuaian ini didasarkan pada jumlah penduduk yang membutuhkan fasilitas ini dengan berdasarkan pada standar-standar dan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhalak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No 20 tahun 2003). Dalam salah satu ajaran agama menjelaskan, bahwa batasan dari suatu pendidikan adalah sampai ke liang lahat. Jadi alangkah pentingnya pendidikan, maka wajar apabila pendidikan menjadi suatu prioritas dan pilihan utama dari suatu kebutuhan bagi setiap manusia.

28 Masyarakat pada dasarnya masih sangat mengharapkan adanya suatu kebijakan tentang sekolah yang berdampak terhadap peningkatan aksesibilitas pendidikan. Pengalaman menunjukan pada beberapa tahun terakhir ini di Indonesia aksesibilitas dalam memperoleh kesempatan pendidikan masih belum terjawab di tingkat pendidikan menengah, selama ini yang sudah direalisasi sebatas pada kebijakan di tingkat Pendidikan Dasar, yang dikenal dengan Wajar 9 Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2009 ini. Namun beberapa daerah propinsi di Indonesia telah mulai melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun dengan target semua penduduk pada wilayah tersebut minimal berpendidikan SMA. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tersebut hendaknya membawa dampak terhadap masyarakat, yaitu berupa adanya kesempatan, kemudahan dan kemampuan (aksesibilitas) masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang layak sehingga akan meningkatkan pemerataan pendidikan. 2.8 Penelitian Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang sebelumnya pernah dilakukan mengenai sebaran sekolah maupun penentuan lokasi sekolah diperoleh gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi sebaran sekolah maupun penentuan lokasi sekolah. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wiwik Prihantini (2008) tentang : Pendirian Lokasi Sekolah Di Kota Salatiga Dengan Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis bahwa kriteria penentuan lokasi suatu SLTP adalah :

29 a. Peta Pendidikan : Peta pendidikan adalah jumlah kebutuhan sekolah dalam suatu wilayah yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi sekolah yang tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah usia sekolah. Untuk menghitung kepadatan penduduk adalah dengan menghitung jumlah penduduk mencapai kurang lebih orang lulusan SD/MI mencapai 20 orang maka diperlukan 1 unit bangunan SMP/MTs. b. Ketersediaan Dokumentasi Administrasi : Dalam menentukan lokasi sekolah perlu diperhatikan status hukum lahan sekolah yang bukan merupakan tanah sengketa/gugatan, sitaaan atau dalam proses peradilan dan surat tanah yaitu bukti surat kepemilikian yang sah. Dokumen administrasi ini dapat berupa sertifikat tanah, girik atau akta. c. Lahan Sekolah Pendirian suatu lokasi sekolah harus memperhatikan rencana peruntukan lahan yang berupa advis planning, yaitu surat keterangan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan RDTR Kota yang meliputi : ketentuan penataan bangunan (koefisien dasar bangunan, koefisien luas bangunan, koefisien dasar hijau, garis sempadan bangunan, rencana jalan, dan tipe bangunan), peta lokasi tanah, data tanah, peruntukan. Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah.

30 Kajian Kurniati (2007) tentang : Peran Sistem Informasi Geografis Dalam Bidang Pendidikan disebutkan bahwa : peningkatan aksesibilitas pendidikan dapat dilakukan dengan adanya pemetaan sekolah yang apabila disinergikan dengan SIG akan diperoleh suatu sistem yang mampu mendata daerah atau wilayah mana saja yang belum terakses pendidikan secara baik sehingga dapat diberikan solusinya. Mahrani, Ade (2003) tentang : Evaluasi Distribusi Fasilitas Pendidikan SD di Kecamatan Batununggal Kota Bandung Dengan Memanfaatkan SIG menyatakan bahwa : untuk perencanaan pembangunan fasilitas SD di masa yang akan datang sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan dan perlu memperhatikan : kebutuhan, standar dan ketentuan, daerah jangkauan layanan, tata guna lahan, jaringan jalan dan aksesibilitas. 2.9 Kerangka Pemikiran Penelitian ini berawal dari fenomena pertumbuhan penduduk dan kota yang mempengaruhi kinerja pelayanan fasilitas pendidikan, perubahan demografi penduduk usia sekolah, serta perubahan kondisi fisik dan pemanfaatan ruang. Perubahan-perubahan ini pada gilirannya akan memberi dampak bagi sekolah. Jangkauan pelayanan sekolah terbatas dan tidak merata di seluruh wilayah, ditambah pola distribusi yang tidak lagi sesuai antara supply dan demand, serta kondisi tapak yang kurang mendukung kegiatan belajar-mengajar.

31 Aksesibilitas pendidikan ditentukan oleh hambatan jarak dan waktu menuju sekolah. Kualitas pendidikan juga dipengaruhi oleh fasilitas yang memadai dan lingkungan yang kondusif. Sehingga untuk menilai dan memperbaiki kinerja pelayanan fasilitas pendidikan, perlu dilakukan analisis terhadap lokasi sekolah. Analisis lokasi dilakukan berdasarkan tiga faktor: jangkauan pelayanan, pola distribusi, dan aktivitas lingkungan sekolah yang mengacu pada kajian literatur : ketentuan Diknas, Cipta Karya PU, SPM, teoriteori yang terkait, dan hasil penelitian sebelumnya. Sebelum dilakukan analisis untuk mengevaluasi ketiga faktor di atas, dilakukan identifikasi terhadap distribusi lokasi sekolah, pola jaringan jalan, dan demografi penduduk usia sekolah untuk mendukung evaluasi jangkauan pelayanan dan evaluasi pola distribusi. Mengevaluasi kondisi lahan, dilakukan identifikasi kondisi fisik ruang dan pemanfaatan ruang. Analisis yang dilakukan meliputi analisis jaringan : jangkauan pelayanan, analisis spasial : pola distribusi supply dan demand, serta analisis kesesuaian lahan. Alur kerja dari ketiga analisis tersebut selanjutnya akan dijelaskan pada bagian kerangka analisis. Berdasarkan hasil analisis (yang meliputi tiga analisis di atas), dilakukan analisis penentuan lokasi yang optimal yang juga mengacu pada kajian literatur.

32 SEKOLAH MENENGAH DI KOTA TEBING TINGGI FAKTOR JANGKAUAN PELAYANAN FAKTOR POLA DISTRIBUSI FAKTOR KONDISI LAHAN SEKOLAH Sistem Informasi Geografis Dalam Menganalisis Sebaran Sekolah Menengah PETA SPASIAL LOKASI SEKOLAH YANG IDEAL Peningkatan Aksesibilitas Pendidikan Gambar 2.1 Bagan Alir Kerangka Berpikir

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP Nomor 10 Tahun 2000 (dalam Indarto,2010 : 177) Secara umum peta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP Nomor 10 Tahun 2000 (dalam Indarto,2010 : 177) Secara umum peta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peta 2.1.1 Pengertian Peta Menurut PP Nomor 10 Tahun 2000 (dalam Indarto,2010 : 177) Secara umum peta didefinisikan sebagai gambaran dari unsur unsure alam maupun buatan manusia

Lebih terperinci

KAJIAN PENEMPATAN FASILITAS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DALAM ASPEK SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

KAJIAN PENEMPATAN FASILITAS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DALAM ASPEK SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS KAJIAN PENEMPATAN FASILITAS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DALAM ASPEK SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ESLI D. TAKUMANSANG ABSTRAK Infrastruktur pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data by: Ahmad Syauqi Ahsan Data pada SIG Mendapatkan data adalah bagian yang sangat penting pada setiap proyek SIG Yang harus diketahui: Tipe-tipe data yang dapat

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN SLTP DI KECAMATAN MAPANGET Orvans Lexsi Uang 1, Michael M. Rengkung², & Amanda S.

EVALUASI KETERSEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN SLTP DI KECAMATAN MAPANGET Orvans Lexsi Uang 1, Michael M. Rengkung², & Amanda S. EVALUASI KETERSEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN SLTP DI KECAMATAN MAPANGET Orvans Lexsi Uang 1, Michael M. Rengkung², & Amanda S. Sembel 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut Erwin Raisz dalam Rosana (2003 ) peta adalah gambaran konvensional

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut Erwin Raisz dalam Rosana (2003 ) peta adalah gambaran konvensional II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Peta 1.1. Pengertian Peta Menurut Erwin Raisz dalam Rosana (2003 ) peta adalah gambaran konvensional dari permukaan bumi yang diperkecil sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Pembangunan Wilayah a. Pengertian Geografi Pembangunan Geografi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari kaitan sesama antar

Lebih terperinci

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan Pengumpulan dan Integrasi Data Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengetahui sumber data dari GIS dan non GIS data Mengetahui bagaimana memperoleh data raster dan vektor Mengetahui

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

ANALISA KUALITAS SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota Mojokerto, Jawa Timur)

ANALISA KUALITAS SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota Mojokerto, Jawa Timur) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2014) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 ANALISA KUALITAS SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota, Jawa

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. selembar kertas atau media lain dalam bentuk dua dimesional. (Dedy Miswar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. selembar kertas atau media lain dalam bentuk dua dimesional. (Dedy Miswar, BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Peta a. Pengertian Peta Peta merupakan gambaran permukaan bumi yang diperkecil, dituangkan dalam selembar kertas atau media lain dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk mencapai sasaran studi diperlukan landasan teortis sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Bab ini dimaksudkan untuk memaparkan landasan teoritis maupun kebijakan yang mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Misbakhul Munir Zain 3506100055 Program Studi Teknik Geomatika ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pemanfaatan data spasial belakangan ini semakin meningkat sehubungan dengan kebutuhan masyarakat agar segalanya menjadi lebih mudah dan praktis terkait

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi BAB III DESAIN RISET Dalam bab ini akan dibahas metodologi penelitian yang digunakan, unit analisis yang digunakan, data yang mendukung penelitian, pengumpulan data, lokasi penelitian, pemilihan sampel,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Lokasi Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri Primer Tohpati-Kusamba Terhadap Penggunaan Lahan di Desa Gunaksa Kecamatan Dawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom

I. PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut

Lebih terperinci

ANALISA PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota Mojokerto, Jawa Timur)

ANALISA PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota Mojokerto, Jawa Timur) ANALISA PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS BERBASIS WEB (Studi Kasus : Kota Mojokerto, Jawa Timur) ELON FADILAH SETIAWAN 3510100052 JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ditentukan sesuai dengan SNI nomor :1994 yang dianalisis dengan

BAB III METODE PENELITIAN. ditentukan sesuai dengan SNI nomor :1994 yang dianalisis dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, yakni penentuan lokasi untuk TPA sampah. Penentuan lokasi TPA sampah ditentukan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. Persiapan

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. Persiapan 35 BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK 3.1. Tahapan Pelaksanaan Secara khusus tahapan pelaksanaan pembuatan Peta Lahan Investasi ini dapat dilihat pada diagram alir di bawah ini : Persiapan Administrasi Situasi

Lebih terperinci

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto Pengertian SIG Sistem informasi yang menggunakan komputer untuk mendapatkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data yang mengacu pada lokasi geografis

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR LAMPIRAN I iv DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

KAJIAN JANGKAUAN PELAYANAN DAN KEBUTUHAN FASILITAS PENDIDIKAN DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL

KAJIAN JANGKAUAN PELAYANAN DAN KEBUTUHAN FASILITAS PENDIDIKAN DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL KAJIAN JANGKAUAN PELAYANAN DAN KEBUTUHAN FASILITAS PENDIDIKAN DI KECAMATAN SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL Hismur Salam, Haryani, Ezra Aditia Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV. BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK 3.1. Persiapan 3.1.1.Persiapan Administrasi a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas lampung kepada CV. Geoplan Nusantara b. Transkrip nilai semester

Lebih terperinci

Dosen Pembimbing : Ir. Sardjito, MT Selvi Purnama Dewi

Dosen Pembimbing : Ir. Sardjito, MT Selvi Purnama Dewi Penentuan Persebaran Lokasi Fasilitas Pendidikan SLTP Kota Banyuwangi Dosen Pembimbing : Ir. Sardjito, MT Selvi Purnama Dewi 3606.100.032 ABSTRAK Pelayanan fasilitas pendidikan masih terdapat anak usia

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN SPASIAL SEKOLAH SMP/MTs DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN (Suatu Studi Kasus Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan)

KAJIAN SEBARAN SPASIAL SEKOLAH SMP/MTs DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN (Suatu Studi Kasus Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan) 1 KAJIAN SEBARAN SPASIAL SEKOLAH SMP/MTs DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN (Suatu Studi Kasus Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan) Wiranda Adam 1, Dr. Nawir Sune, M.Si, 2, Daud Yusuf, S.Kom, M.Si

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. segala sesuatu tentang peta. Mulai dari sejarah, perkembangan, pembuatan,

I. PENDAHULUAN. segala sesuatu tentang peta. Mulai dari sejarah, perkembangan, pembuatan, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peta adalah gambaran permukaan bumi yang diproyeksikan ke dalam bidang datar dengan skala tertentu. Kartografi merupakan ilmu yang khusus mempelajari segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 JALAN Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu

METODE PENELITIAN. deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek,

Lebih terperinci

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Artikel Ilmiah Diajukan kepada Program Studi Sistem Informasi guna memenuhi

Lebih terperinci

2014 ANALISIS LOKASI SEKOLAH DI KECAMATAN PARONGPONG KAB. BANDUNG BARAT

2014 ANALISIS LOKASI SEKOLAH DI KECAMATAN PARONGPONG KAB. BANDUNG BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini, hampir sebagian kota di Indonesia berkembang semakin pesat, di tandai dengan laju pertumbuhan dan persebaran penduduknya lebih terpusat kepada kota

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1 of 8 08/07/2009 20:16 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM Teks tidak dalam format asli. Kembali LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan

Lebih terperinci

PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG

PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG KONSEP ONE MAP POLICY 1 Standard Referensi Satu georeferensi yang sama Satu Pedoman yang sama Geoportal Basisdata Standar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 5 C.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan merupakan suatu kawasan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat karena mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM TGGM KARTOGRAFI DIGITAL. Oleh Gondang Riyadi. 21 March 2014 Kartografi - MGR

Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM TGGM KARTOGRAFI DIGITAL. Oleh Gondang Riyadi. 21 March 2014 Kartografi - MGR KARTOGRAFI DIGITAL Oleh Gondang Riyadi hal 1 Perkembangan Teknologi Pemetaan Teknologi pemetaan yang pada awalnya dilakukan secara manual (konvensional) bergeser kearah digital. Termasuk di dalamnya teknik

Lebih terperinci

PERENCANAAN FASILITAS PENDIDIKAN TINGKAT SLTA DI KABUPATEN MERAUKE

PERENCANAAN FASILITAS PENDIDIKAN TINGKAT SLTA DI KABUPATEN MERAUKE PERENCANAAN FASILITAS PENDIDIKAN TINGKAT SLTA DI KABUPATEN MERAUKE Tanila Tahiya 1, Papia J. C Franklin², &Esli D Takumansang 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan

BAB IV METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA 3.1 TINJAUAN UMUM WILAYAH YOGYAKARTA 3.1.1 Kondisi Geografis dan Aministrasi Kota Yogyakarta terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa dengan luas 32,50 km2. Kota

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip AGUSTUS 2015

Jurnal Geodesi Undip AGUSTUS 2015 ANALISIS DAYA TAMPUNG FASILITAS PENDIDIKAN TERHADAP JUMLAH PENDUDUK USIA SEKOLAH BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Widya Prajna, Sutomo Kahar, Arwan Putra Wijaya *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan Pajak.Penerimaan Negara.Bakosurtanal. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

C. Prosedur Pelaksanaan

C. Prosedur Pelaksanaan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan peta-peta digital beserta data tabulernya, yaitu peta administrasi, peta tanah, peta geologi, peta penggunaan Lahan (Landuse), peta lereng,

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Kota Tangerang Selatan yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Tangerang propinsi Banten. Kota Tangerang Selatan mempunyai luas wilayah

Lebih terperinci

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 Matakuliah Waktu : Sistem Informasi Geografis / 3 SKS : 100 menit 1. Jelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG). Jelaskan pula perbedaan antara SIG dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Moh. Nazir (2003:54) metode deskriptif adalah suatu metode penelitian dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam proses kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam proses kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat hal tersebut pembangunan pendidikan memerlukan perencanaan, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Polusi maupun efek rumah kaca yang meningkat yang tidak disertai. lama semakin meninggi, sehingga hal tersebut merusak

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Polusi maupun efek rumah kaca yang meningkat yang tidak disertai. lama semakin meninggi, sehingga hal tersebut merusak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Meningkatnya frekuensi curah hujan, khususnya yang terjadi di musimmusim penghujan dan bertambahnya populasi serta permukiman penduduk di daerah Kota Medan setiap

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012)

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012) 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 5 Juli 2013, meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan pengamatan lapangan (ground

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang merupakan bagian dari pelayanan sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat kota, karena sarana merupakan pendukung kegiatan/aktivitas masyarakat kota

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Pengenalan Hardware dan Software GIS. Spesifikasi Hardware ArcGIS

Pengenalan Hardware dan Software GIS. Spesifikasi Hardware ArcGIS Software SIG/GIS Pengenalan Hardware dan Software GIS Spesifikasi Hardware ArcGIS Pengenalan Hardware dan Software GIS Pengenalan Hardware dan Software GIS Pengenalan Hardware dan Software GIS Table Of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN KLATEN

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN KLATEN BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN KLATEN Rancangan Sekolah Luar Biasa tipe C yang direncanakan berlokasi di Kabupaten Klaten. Perencanaan suatu pembangunan haruslah mengkaji dari berbagai aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak. a. Processor Intel Pentium 4 atau lebih tinggi

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak. a. Processor Intel Pentium 4 atau lebih tinggi BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak 4.1.1 Spesifikasi Perangkat Keras Persyaratan minimum perangkat keras agar nantinya dapat bekerja optimal adalah : a.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik serta alatalat tertentu(surakhmad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam arti yang

BAB I PENDAHULUAN. dan arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam arti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat serta berperan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan sangat penting

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA

BAB III TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN KOTA YOGYAKARTA 3.1. TINJAUAN UMUM 3.1.1. Kondisi Administrasi Luas dan Batas Wilayah Administrasi Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya sehingga batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan. daya alam dan manusia serta memperluas lapangan pekerjaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan. daya alam dan manusia serta memperluas lapangan pekerjaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka menggali potensi lahan daerah kabupaten wilayah Lampung Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan investasi pada daerah tersebut.

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN PRASARANA DAN SARANA FASILITAS PENDIDIKAN BERDASARKAN PENDEKATAN TEORI NEIGHBORHOOD UNIT (STUDI KASUS : KECAMATAN WENANG)

EVALUASI KETERSEDIAAN PRASARANA DAN SARANA FASILITAS PENDIDIKAN BERDASARKAN PENDEKATAN TEORI NEIGHBORHOOD UNIT (STUDI KASUS : KECAMATAN WENANG) EVALUASI KETERSEDIAAN PRASARANA DAN SARANA FASILITAS PENDIDIKAN BERDASARKAN PENDEKATAN TEORI NEIGHBORHOOD UNIT (STUDI KASUS : KECAMATAN WENANG) I Putu Harianja Prayogo 1, Andy Malik²,& Amanda Sembel 3

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Coding SIG

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Coding SIG SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Coding SIG Disusun Oleh : ADI MAHENDRA (201031118) AGUSTINUS SUAGO (200931057) HENDRA TANGDILINTIN (200831113) MUHAMMAD ISHAK (201231014) ZUHRUF F.H (200631021) SUTRISNO (200931046)

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan jasa, mempromosikan produk dan jasa, mengambil bahan dari supplier dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan jasa, mempromosikan produk dan jasa, mengambil bahan dari supplier dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Padatnya jumlah penduduk dan tingkat kemacetan di kota-kota besar seringkali menimbulkan keresahan bagi sebagian besar warganya, terutama dalam bidang usaha dikarenakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jarak dari Kecamatan Megamendung ke Desa Megamendung adalah 8 km,

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jarak dari Kecamatan Megamendung ke Desa Megamendung adalah 8 km, V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Desa Megamendung Desa Megamendung merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Secara geografis, Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci