Gambar 6. Rata-rata Fekunditas Telur Ikan Synodontis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 6. Rata-rata Fekunditas Telur Ikan Synodontis"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fekunditas Fekunditas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ikan. Fekunditas adalah jumlah telur matang yang dikeluarkan oleh induk betina atau jumlah telur yang dikeluarkan pada waktu pemijahan (Nikolsky 1969 dalam Rose dkk 2001). Pada penelitian ini pengamatan fekunditas dilakukan dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan dengan proses stripping dari masing-masing induk. Ikan S.decora yang digunakan memiliki berat rata-rata 396,00 g dan ratarata penurunan bobot setelah stripping sebesar 18,98%. S.notatus yang digunakan memiliki berat rata-rata 507,50 g dengan rata-rata penurunan bobot setelah stripping sebesar 24,53%, S.multipunctatus memiliki berat rata-rata 20,25 g dengan rata-rata penurunan bobot setelah stripping sebesar 4,74% dan Synodontis nigriventris memiliki berat rata-rata 10,25 g dengan rata-rata penurunan bobot setelah stripping sebesar 24,20%. Gambar 6. Rata-rata Fekunditas Telur Ikan Synodontis 24

2 25 Fekunditas tertinggi dihasilkan S.notatus dengan rata-rata butir dan fekunditas terendah dihasilkan S.multipunctatus dengan rata-rata 38 butir, dapat dilihat pada Gambar 6. Penurunan bobot tertinggi yang diperoleh S.notatus dengan rata-rata sebesar 24,53% dan menghasilkan telur sebanyak butir sedangkan S.multipunctatus memiliki rata-rata penurunan bobot terendah sebesar 4,74% dan menghasilkan telur sebanyak 38 butir. Hal ini sesuai dengan pendapat Woynarovich & Horvart (1980) yang menyatakan bahwa jumlah telur dipengaruhi oleh bobot tubuh induk. Jumlah fekunditas akan semakin tinggi jika penurunan bobot tubuh induk setelah memijah semakin tinggi dan diameter telur yang dihasilkan semakin kecil. Faktor lain yang mempengaruhi adalah perbedaan jumlah telur antara masing-masing spesies yang bergantung pada kemampuan individu untuk menghasilkan telur (Nikolsky 1969 dalam Rose dkk 2001). Tabel 1. Rata-rata Diameter Telur Spesies Rata-rata Diameter Telur (mm) Synodontis decora 1,80 ± 0,01 Synodontis notatus 1,62 ± 0,01 Synodontis multipunctatus 2,09 ± 0,01 Synodontis nigiventris 1,25 ± 0,01 Pada pengamatan diketahui rata-rata diameter telur tertinggi didapatkan S.multipunctatus sebesar 2,09 ± 0,01 mm sedangkan rata-rata diameter telur terendah didapatkan S.nigriventris sebesar 1,25 ± 0,01 mm, dapat dilihat pada Tabel 1. S.multipunctatus menghasilkan fekunditas terendah dengan rata-rata 38 butir dan S.notatus menghasilkan fekunditas tertinggi dengan rata-rata butir. Hal ini sesuai dengan pendapat Wotton (1990) dalam Fitrianti (2011) yang menyatakan ikan yang memiliki diameter telur lebih kecil biasanya mempunyai fekunditas yang tinggi dibandingkan dengan ikan yang memiliki diameter yang lebih besar.

3 Kesesuaian Pemijahan Kesesuaian pemijahan dilakukan dengan pengukuran antara kepala sperma dan lubang mikrofil telur. Pada pengamatan mikrofil telur digunakan larutan untuk mempermudah pengamatan. Larutan yang digunakan adalah campuran antara asam asetat glasial, etanol dan formalin dengan perbandingan 1:3:6. Diameter kepala sperma dan dan lubang mikrofil diamati menggunakan mikroskop mȕnster dengan perbesaran 100x. Pengolahan foto hasil pengamatan dilakukan dengan bantuan software Image J. Tabel 2. Ukuran Kepala Sperma dan Lubang Mikrofil Synodontis nigriventris Synodontis decora Synodontis notatus Synodontis multipunctatus Preparat Kepala sperma (μm) Lubang mikrofil (μm) Lubang mikrofil (μm) Lubang mikrofil (μm) Lubang mikrofil (μm) 1 1,9 2,1 2,3 2,0 2,4 2 2,1 2,0 2,1 2,2 2,3 3 2,0 1,9 2,3 2,1 2,4 4 2,0 2,0 2,1 2,1 2,3 Rata-rata 1,95 2,00 2,20 2,10 2,35 SD 0,08 0,52 0,12 0,08 0,05 Selisih - 0,05 0,25 0,15 0,40 Kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil tertinggi di dapatkan pada S.nigriventris x S.nigriventris selisih ukuran antara ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil sebesar 0,05 μm, S.notatus x S.nigriventris memiliki selisih sebesar 0,15 μm dan perbedaan selisih ukuran tertinggi S.multifuctatus x S.nigriventris sebesar 0,40 μm, dapat dilihat pada Tabel 2. Proses hibridisasi diduga dapat dilakukan karena ukuran kepala sperma yang lebih kecil dibandingkan ukuran lubang mikrofil telur. Hal ini sesuai dengan Ginzburg

4 27 (1972) yang menyatakan bahwa beberapa spesies ikan teleostei ukuran kepala sperma berkisar antara 2-3 μm. Ikan Salmo salar memiliki ukuran kepala sperma sebesar 3,5-4 μm dengan diameter lubang mikrofil 3-4 μm. Salmo trutta memiliki ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil sebesar 3 μm dan Carrasius carrasius memiliki ukuran kepala sperma sebesar 3,2 μm dan diameter lubang mikrofil telur sebesar 3,5-4 μm. 4.3 Derajat Pembuahan Telur Hibridisasi dapat dilakukan dengan pemijahan secara buatan. Fertilitas atau pembuahan adalah penggabungan antara inti sperma dan inti sel telur sehingga membentuk zigot yang kemudian mengalami pembelahan. Hal ini dapat terjadi apabila sperma berhasil menembus mikrofil telur dan bersatu dengan inti telur (Lagler 1972). Derajat pembuahan pada ikan sangat ditentukan oleh kualitas telur, spermatozoa, media dan penanganan manusia. Telur-telur yang diletakkan di air akan cepat mengembang dan mempercepat proses penutupan mikrofil. Waktu yang diperlukan oleh spermatozoa untuk membuahi sel telur sangat singkat (Woynarovich dan Horvath 1980). Pada penelitian ini telur yang diamati sebanyak 100 butir yang diambil secara acak dari total telur yang dihasilkan masing-masing ulangan perlakuan. Derajat pembuahan telur dihitung dengan melakukan pengamatan pada telur yang telah dibuahi. Perbedaan antara telur yang dibuahi dan tidak dibuahi dapat dilihat dari warna yang muncul. Telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih keruh sedangkan telur yang dibuahi berwarna bening. Pengamatan menunjukan bahwa pemijahan pada S.nigriventris x S.nigriventris menghasilkan derajat pembuahan yang tertinggi diikuti S.notatus x S.nigriventris dengan derajat pembuahan 53,75% dan derajat pembuahan terendah S.multifuctatus x S.nigriventris sebesar 25%, dapat dilihat pada Gambar 7.

5 28 Gambar 7. Rata-rata Derajat Pembuahan Telur Ikan Derajat pembuahan memiliki perbedaan nyata antara tiap persilangan. Derajat pembuahan tertinggi diperoleh S.nigriventris x S.nigriventris (89,00%) dan derajat pembuahan terendah diperoleh S.multipunctatus x S.nigriventris (25,00%), dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan Tabel 3. Rata-rata Derajat Pembuahan Telur Per Perlakuan Hibridisasi Rata-rata Derajat Pembuahan (%) A S.decora x S.nigriventris 40,00 ± 8,52 b B S.notatus x S.nigriventris 53,75 ± 2,99 c C S.multipunctatus x S.nigriventris 25,00 ± 8,98 a D S.nigriventris x S.nigriventris 89,00 ± 3.74 d Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan adanya perbedaan nyata menurut uji Duncan taraf kepercayaan 95%

6 29 Derajat pembuahan tertinggi diperoleh S.nigriventris x S.nigriventris (89,00%) diikuti S.notatus x S.nigriventris (53,75%) dan derajat pembuahan terendah diperoleh S.multipunctatus x S.nigriventris (25,00%). Perbedaan derajat pembuahan diduga akibat kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil yang berbeda. Ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil antara S.nigriventris dan S.nigriventris memiliki selisih ukuran terkecil sebesar 0,05 μm, S.notatus dan S.nigriventris memiliki selisih sebesar 0,15 μm dan perbedaan selisih ukuran tertinggi S.multifuctatus x S.nigriventris sebesar 0,40 μm. Tingginya derajat pembuahan pada S.nigriventris dan S.nigriventris diduga karena selisih ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil terendah sehingga mencapai kesesuaian pemijahan yang lebih baik dibandingkan pasangan hibridisasi lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Chervas (1994) dalam Said (2011) yang menyatakan terdapat beberapa faktor lain yang menentukan derajat pembuahan antara lain faktor genetik, morfologis dan fisiologis. Faktor morfologis yaitu kesesuaian lubang mikrofil dan diameter kepala sperma sedangkan faktor fisiologis yaitu kualitas sperma ikan jantan. Kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil telur sebagai faktor morfologis mendukung tinggi rendahnya derajat pembuahan. Kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil ikan diduga menentukan keberhasilan pembuahan telur. Semakin dekat ukuran kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil maka semakin tinggi peluang keberhasilan fertilisasi. Kesesuaian tertinggi diperoleh S.nigriventris x S.nigriventris dengan selisih ukuran 0,05 μm yang menghasilkan derajat pembuahan tertinggi (89,00%). Hal ini sesuai dengan pendapat Kurniasih dan Gustiano (2007) yang menyatakan bahwa keberhasilan pada pembuahan ikan ditentukan oleh keberhasilan penetrasi sperma terhadap mikrofil telur. Derajat pembuahan tertinggi diperoleh antara S.nigriventris x S.nigriventris yaitu pemijahan antara spesies yang sama, rendahnya derajat pembuahan pada hasil hibridisasi lain diduga akibat perbedaan kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil. Hal ini juga terjadi pada penelitian Lenomand

7 30 et al (1999) yang melakukan hibridisasi dengan 10 kombinasi perkawinan antar spesies pada ikan lele asli Indonesia (Clarias batrachus, C.meladerma, C.nieuhofil dan C.teijsmanni) dengan lele afrika (C.gariepinus) hanya C.meladerma x C.gariepinus, C.meladerma x C.nieuhofil dan C.meladerma x C.teijsmanni yang dapat menghasilkan keturunan. Kegagalan terjadi akibat ukuran mikrofil telur yang lebih kecil dibandingkan diameter sperma dari spesies jantan yang digunakan. 4.4 Kualitas Larva Kualitas larva dibagi berdasarkan larva yang menetas normal dan abnormal. Penetasan adalah perubahan intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase kehidupan (tempat luas), hal ini penting dalam perubahan-perubahan morfologi hewan (Gusrina 2012). Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena dua proses, pertama adalah kerja mekanik, embrio sering mengubah posisi karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan dalam cangkangnya. Dengan pergerakan-pergerakan tersebut bagian telur lembek dan tipis akan pecah sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Kedua adalah kerja enzimatik, yaitu enzim dan zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharink embrio. Semakin aktif embrio bergerak akan semakin cepat penetasan terjadi. Aktifitas embrio dan pembentukan chorionase dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar (Lagler et al 1962). Pada periode inkubasi terjadi proses-proses embriogenesis di dalam telur yaitu pembentukan organ-organ tubuh sehingga embrio berdiferensasi menjadi lebih panjang/besar daripada lingkaran kuning telurnya. Perbedaan lama periode inkubasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal antara lain suhu dan cahaya (Effendie 1997). Lama periode inkubasi masing-masing telur hasil hibridisasi berbeda berkisar antara jam setelah dilakukan pembuahan. Lama periode inkubasi S.nigriventris x S.nigriventris dan S.notatus x S.nigriventris berkisar antara

8 jam sedangkan S.decora x S.nigriventris berkisar antara jam dan S.multipunctatus x S.nigriventris berkisar antara jam. Menurut Said (2011), perbedaan lama periode inkubasi dapat disebabkan perbedaan kualitas telur atau kemampuan tumbuh embrio. Kualitas telur yang mempengaruhi antara lain ketebalan chorion, ketahanan chorion dan efektifitas enzim pelunakan chorion yang berbeda-beda pada setiap spesies. Pada penelitian ini adanya perbedaan dalam lama periode inkubasi diduga berasal dari faktor internal yaitu perbedaan dari masing-masing pasangan hibridisasi seperti laju pertumbuhan embrio yang berbeda sehingga waktu yang dibutuhkan untuk inkubasi untuk masing-masing pasangan uji berbeda. Embrio yang menetas menjadi larva kemudian diamati untuk menghitung rata-rata derajat penetasan. Kualitas larva abnormal adalah ikan yang menetas dengan salah satu bagian tubuh yang cacat, ditunjukan pada Gambar 8. Gambar tersebut menunjukan bagian ekor larva pada perlakuan S.decora x S.nigriventris dengan bentuk tulang bagian badan ke bagian ekor yang kaku menyerupai bentuk kail. Selama pengamatan bagian tubuh larva abnormal tidak dapat bergerak secara fleksibel seperti larva normal. Larva abnormal juga ditemukan pada perlakuan S.notatus x S.nigriventris dan S.multipunctatus x S.nigriventris Gambar 8. Larva Abnormal Perlakuan S.decora x S.nigriventris

9 32 Perhitungan derajat penetasan dibagi menjadi dua. Pertama adalah perhitungan derajat penetasan keseluruhan dimana semua telur yang menetas dihitung. Kedua adalah perhitungan derajat penetasan dengan menghitung jumlah telur yang menetas dengan kondisi tubuh normal dan perhitungan derajat penetasan dengan menghitung jumlah telur yang menetas dengan kondisi tubuh abnormal. Derajat penetasan total dihitung dengan membandingkan jumlah telur yang menetas menjadi larva dengan jumlah telur yang dibuahi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa derajat penetasan tertinggi di peroleh pada S.nigriventris x S.nigriventris sebesar 84,79% diikuti S.notatus x S.nigriventris sebesar 64,19% dan terendah pada S.multifuctatus x S.nigriventris sebesar. 43,00%, dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Rata-rata Kualitas Larva Total Ikan Synodontis Hasil pengamatan menunjukan bahwa sperma S.nigriventris memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk membuahi telur S.notatus dibandingkan

10 33 S.decora dan S.multipunctatus. Hal ini sesuai dengan penelitian Said (2011) melakukan hibridisasi interspesies ikan pelangi, hasil penelitian menunjukan bahwa Melanotaeniai maccullochi x Melanotaeniai maccullochi sebagai kontrol mampu menetaskan telur-telurnya sebesar 88,32% yang lebih tinggi dari derajat penetasan larva hibrid M.herbertaxelrodi x M.maccullochi sebesar 33,22% (Said 2011). Perlakuan Tabel 4 Rata-rata Derajat Penetasan Telur per Perlakuan Rata-rata Hibridisasi Derajat Pembuahan (%) A S.decora x S.nigriventris 55,00 ± 14 ab B S.notatus x S.nigriventris 64,19 ± 8 ab C S.multipunctatus x S.nigriventris 43,00 ± 13 a D S.nigriventris x S.nigriventris 84,79 ± 4 c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan adanya perbedaan nyata menurut uji Duncan taraf kepercayaan 95% Penetasan tertinggi diperoleh S.nigriventris x S.nigriventris sebesar 84,79%. Derajat penetasan hasil hibridisasi tertinggi diperoleh antara S.notatus x S.nigriventris (64,19%) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan S.decora x S.nigriventris (55,00%) dan derajat penetasan diperoleh terendah S.multifuctatus x S.nigriventris (43,00%), dapat dilihat pada Tabel 4. Rendahnya penetasan telur diduga karena adanya perbedaan sumber telur maupun sperma mempengaruhi perkembangan embrio yang terbentuk dan efektivitas kerja enzim pelunakan chorion, sehingga nilai derajat penetasan akan berbeda. Perbedaan derajat penetasan dapat diakibatkan kandungan atau komposisi telur yang berbeda pada setiap spesies sehingga memiliki respon yang berbeda terhadap sperma S.nigriventris.

11 34 Perlakuan hibridisasi dengan kualitas larva ikan normal (tanpa cacat fisik) tertinggi diperoleh S.nigriventris x S.nigriventris, dapat dilihat pada Gambar 10. Jika dihubungkan dengan kesesuaian ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil maka dapat disimpulkan bahwa semakin berdekatan ukuran kesesuaian maka akan meningkatkan derajat penetasan larva normal. Gambar 10. Rata-rata Kualitas Larva Ikan Synodontis Normal Perbedaan kualitas larva diduga disebabkan perbedaan kecocokan antara materi genetik yang dibawa oleh sperma dan materi genetik yang terdapat pada telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djuhanda (1981) yang menyatakan pada bagian kepala terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel. Pada nukleus terdapat informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Fungsi spermatozoa menurut yaitu gamet jantan mempunyai spesifikasi untuk mencari gamet betina dari spesies-spesiesnya, mempenetrasi dan menghantarkan material genetik haploidnya kepada sel telur yang di penetrasi. Gamet betina

12 35 menunggu gamet jantan untuk melakukan penetrasi, menerima material genetik, menggabungkan material inti gamet jantan yang mempenetrasinya untuk membentuk inti diploid dan memulai perkembangan untuk menghasilkan individu baru. Kualitas larva abnormal dihitung dengan membandingkan jumlah telur yang menetas menjadi larva abnormal dengan jumlah telur yang dibuahi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa derajat penetasan tertinggi yang menghasilkan larva abnormal tertinggi adalah S.multifuctatus x S.nigriventris, dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Rata-rata Kualitas Larva Ikan Synodontis Abnormal Terjadinya larva cacat secara fisik dapat disebabkan berbagai faktor, dalam penelitian ini diduga abnormalitas disebabkan perbedaan ukuran antara kepala sperma dan lubang mikrofil telur sehingga semakin sesuai ukuran keduanya maka peluang terjadinya abnormal pada larva akan menurun. Menurut Chevasus (1983) bahwa hasil hibridisasi sangat bervariasi mulai dari

13 36 ketidakmampuan spesies untuk melakukan kawin silang, sampai menghasilkan larva yang akan menjadi anak ikan yang fertil. Hasil yang diperoleh tersebut dipengaruhi oleh sejauh mana hubungan kekerabatan spesies yang disilangkan. Faktor lain yang diduga menyebabkan abnormalitas adalah perbedaan bentuk dan ukuran atau komposisi gen-gennya. Hal ini sesuai pendapat Goldstein (1967) dalam Japet (2011) yang menyatakan bahwa jumlah kromosom dalam satu set tiap spesies pada keadaan normal adalah tetap. Jumlah kromosom satu spesies yang sama dengan spesies lain dapat memiliki perbedaan bentuk, ukuran dan komposisi gen-gennya. Makin jauh hubungan kekerabatan suatu organisme, makin besar kemungkinan perbedaan jumlah, bentuk dan susunan kromosomnya (Ville dan Dethier 1971 dalam Sucipto 2012). Hasil penelitian menyatakan bahwa kromosom ikan nila merah berjumlah 44 buah baik pada spesies Oreochromi mossambicus, O.niloticusm dan O.aurens (Ahmad dkk 1995 dalam Sucipto 2012). 4.5 Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup berkaitan dengan mortalitas yang menunjukan banyaknya ikan yang mati selama percobaan (Winberg et al dalam Edmonson dkk 1971). Embrio yang menetas kemudian akan tumbuh menjadi larva. Pada stadium larva ketahanan hidup berada pada masa kritis. Menurut Gusrina (2012) salah satu sifat unggul yang dapat muncul dari ikan hasil hibridisasi adalah kelangsungan hidup yang tinggi. Kelangsungan hidup larva bergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada stadium larva ketahanan hidupnya sangat kritis. Kelangsungan hidup larva tersebut tergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan (Said 2011). Benih ikan yang tidak segera mendapatkan pakan dari luar yang sesuai akan mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Umumnya ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dari induknya (Moav 1968) Kelangsungan Hidup Total Kelangsungan hidup total merupakan keseluruhan jumlah ikan yang menetas baik dalam kondisi normal maupun abnormal. Perhitungan kelangsungan

14 37 hidup dilakukan sejak larva berusia 1 hari hingga 30 hari. Jumlah masing-masing ikan uji disamakan yaitu 20 ekor larva untuk setiap ulangannya. Larva di dapatkan dengan pengambilan acak dari telur yang telah dibuahi. Kelangsungan hidup tertinggi diperoleh ikan hasil persilangan S.notatus x S.nigriventris dan S. S.decora x S.nigriventris sebesar 83,75% diikuti hasil hibridisasi S.multifuctatus x S.nigriventris dan terendah diikuti S.nigriventris x S.nigriventris (71,25%), dapat dilihat pada Gambar 12. Hal ini menunjukan bahwa larva hasil hibridisasi memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang lebih baik terhadap lingkungan dibandingkan kontrol. Gambar 12. Rata-rata Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup tertinggi diperoleh hibridisasi antara S.decora x S.nigriventris dan S.notatus x S.nigriventris yang tidak berbeda nyata antara keduanya namun berbeda nyata terhadap S.multifuctatus x S.nigriventris yang menunjukan nilai rata-rata yang lebih rendah. Kelangsungan hidup terendah diperoleh S.nigriventris x S.nigriventris, dapat dilihat pada Tabel 5. Hal ini

15 38 menunjukan bahwa ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Gilangsari (2000) dan Ath thar dkk (2011). Gilangsari (2000) menyatakan ikan hibrid memiliki kelangsungan hidup ikan hibrid Pangasius nasutatus x Pangasius hypothalamus sebesar 93,2% lebih tinggi dibandingkan P.hypotalamus x P.hypotalamus sebesar 88%. Ath thar dkk (2011) menyatakan hal yang sama bahwa kelangsungan hidup hibridisasi ikan mas Kuningan x Subang lebih tinggi dibandingkan Kuningan x Kuningan dan Subang x Subang. Tabel 5. Rata-rata Kelangsungan Hidup per Perlakuan Hibridisasi Rata-rata Kelangsungan Hidup (%) S.decora x S.nigriventris S.notatus x S.nigriventris S.multipunctatus x S.nigriventris S.nigriventris x S.nigriventris 83,75 ± 2,5 c 83,75 ± 2,5 c 76,25 ± 4.8 ab 71,21 ± 2.5 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan adanya perbedaan nyata menurut uji Duncan taraf kepercayaan 95% Kelangsungan Hidup Normal Kelangsungan hidup larva yang menetas normal dihitung hari pertama menetas dan pengamatan dilakukan hingga hari ketiga puluh. Larva yang menetas normal memiliki kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan kelangsungan hidup larva abnormal. Larva yang menetas normal dapat diketahui dengan pemangamatan bentuk fisik yaitu bentuk tubuh yang proporsional dan tidak mengalami perubahan bentuk tubuh yang menyimpang dari bentuk tubuh induk. Kelangsungan hidup pada larva normal tertinggi diperoleh S.notatus x S.nigriventris sebesar 91,96%, diikuti S.decora x S.nigriventris sebesar 88,21%, S.multifuctatus x S.nigriventris sebesar 86,19% dan S.nigriventris x S.nigriventris sebesar 71,25%. Kelangsungan hidup diakhir penelitian

16 Kelangsungan Hidup (%) 39 menunjukan bahwa hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi hal ini sesuai dengan pendapat Moav (1968) yang menyatakan bahwa pada umumnya ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dari induknya. Hibridisasi intraspesifik termasuk kedalam outbreeding. Outbreeding adalah perkawinan antara individu-individu yang tidak sekerabat (berbeda induknya), yang akan menghasilkan heterosigositas yang akan menguatkan individu-individunya terhadap perubahan lingkungan yang biasa disebut juga mempunyai fitnes yang tinggi. Fitnes yaitu kemampuan relatif pada organisma untuk bertahan hidup dan pemindahan gen untuk generasi berikutnya. Individu yang mempunyai heterosigositas yang tinggi akan mempunyai fitness yang tinggi Kelangsungan Hidup Larva Normal (%) Hari Ke- Gambar 13. Kelangsungan Hidup Normal S.decora x S.nigriventris S.notatus x S.nigriventris S.multifuctatus x S.nigriventris S.nigriventris x S.nigriventris Kelangsungan hidup ikan rendah terjadi pada masa-masa kritis. Masamasa kritis ikan terjadi pada saat kuning telur yang terdapat di dalam tubuhnya habis terserap dan benih harus mencari makanan dari luar. Benih ikan yang tidak segera mendapatkan pakan dari luar yang sesuai akan mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Kelangsungan hidup dipengaruhi dua faktor yaitu faktor dari dalam ikan itu sendiri dan faktor dari luar atau lingkungan. Faktor dari dalam ikan

17 40 meliputi umur ikan, ukuran dan kemampuan beradaptasi. Faktor lingkungan meliputi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan, ketersediaan makanan dan kompetisi antar ikan untuk mendapatkan makanan jika jumlah makanan yang tersedia tidak mencukupi (Royce 1973). Pada penelitian ini faktor lingkungan berada pada kondisi yang terkontrol maka diduga perbedaan kelangsungan hidup pada larva ikan normal diakibatkan oleh faktor dari dalam ikan itu sendiri seperti kemampuan ikan untuk beradaptasi dengan lingkungan Kelangsungan Hidup Abnormal Kelangsungan hidup embrio yang menetas secara abnormal dihitung sejak hari pertama menetas dan dilakukan hingga hari ketiga puluh. Cacat yang terjadi pada larva umumnya berupa pembengkokan tulang ekor. Cacat pada kedua bagian tubuh tersebut membuat gerakan larva menjadi terbatas. Larva yang mengalami cacat seluruhnya mati sebelum pengamatan hingga hari ketiga puluh. Tabel 6. Jumlah Larva Abnormal per Perlakuan Hibridisasi Jumlah Larva S.decora x S.nigriventris 4 S.notatus x S.nigriventris 7 S.multipunctatus x S.nigriventris 9 S.nigriventris x S.nigriventris 0 Jumlah larva abnormal tertinggi didapatkan S.multipunctatus x S.nigriventris sebanyak 9 ekor, dapat dilihat pada Tabel 6. Larva abnormal ditemukan disemua perlakuan. Bidwell et al. (1985) dalam Andias (2008) mengemukakan bahwa larva yang abnormal dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (korion) yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk

18 Kelangsungan Hidup (%) 41 keluar. Setelah korion dapat dipecahkan, maka embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang cacat. Pada S.decora x S.nigriventris larva abnormal mati pada hari ketiga. Pada hasil persilangan lain seluruh larva abnormal mati secara total pada hari kelima, dapat dilihat pada Gambar 14. Pada perlakuan S.nigriventris x S.nigriventris tidak ditemukan larva abnormal Kelangsungan Hidup Larva Abnormal (%) Hari Ke- Gambar 14. Kelangsungan Hidup Larva Abnormal S.decora x S.nigriventris S.notatus x S.nigriventris S.multifuctatus x S.nigriventris S.nigriventris x S.nigriventris 4.6 Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi dan lingkungan. Pertumbuhan juga merupakan faktor penting dalam keberhasilan usaha budidaya perikanan. Pertumbuhan yang lambat akan menyebabkan lamanya waktu pemeliharaan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, lamanya waktu pemeliharaan juga akan meningkatkan resiko-resiko dalam pemeliharaan, seperti terserang penyakit, kematian massal, dan sebagainya (Lesmana 2010). Pengukuran pertumbuhan mutlak dilakukan dengan melakukan penimbangan bobot larva pada hari pertama dan hari ketiga puluh.

19 42 Gambar 15. Rata-rata Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan tertinggi diperoleh hasil hibridisasi S.notatus x S.nigriventris dengan rata-rata sebesar 1,4 g diikuti S.multipunctatus x S.nigriventris sebesar 1,16 g, kemudian S.decora x S.nigriventris sebesar 0,74 g, dapat dilihat pada Gambar 15. Pertumbuhan terendah diperoleh hasil hibridisasi antara S.nigriventris x S.nigriventris sebesar 0,71 g. Pertumbuhan mutlak yang lebih tinggi pada ikan hasil hibridisasi dibandingkan ikan hasil pemijahan S.nigriventris x S.nigriventris. Hal ini sesuai dengan pendapat Kiprichnikov (1981) yang menyatakan ikan hibrida akan lebih unggul dari pada tetuanya dalam hal pertumbuhan dan sesuai dengan pendapat Gilangsari (2000) yang menyatakan ikan hasil hibridisasi antara Pangasius hypotalamus x Pangasius nasutus memiliki bobot rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan induknya

20 43 Tabel 7. Pertumbuhan Mutlak per Perlakuan Hibridisasi Pertambahan Bobot (gram) S.decora x S.nigriventris 0,74 ±0,04 S.notatus x S.nigriventris 1,40 ±0,04 S.multipunctatus x S.nigriventris 1,16 ±0,03 S.nigriventris x S.nigriventris 0,71 ±0,12 Ikan hasil hibridisasi S.decora x S.nigriventris, S.notatus x S.nigriventris dan S.multipunctatus x S.nigriventris memiliki pertumbuhan yang lebih seragam yang ditunjukan dengan standar deviasi dengan angka yang lebih kecil (0,03-0,04) dibandingkan ikan hasil pemijahan S.nigriventris x S.nigriventris (0,12), dapat dilihat pada Tabel 7. Standar defiasi pertumbuhan yang rendah pada ikan hasil hibridisasi menunjukan ikan memiliki ukuran yang seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendie (1979) yang menyatakan ikan hibrida memiliki keuntungan yaitu memperoleh keturunan dengan pertumbuhan yang seragam. 4.7 Karakter Fenotipe Kualitatif Fenotipe adalah karakteristik yang dapat diukur atau sifat nyata yang dipunyai oleh organisme. Fenotipe merupakan hasil interaksi antara genotipe dan lingkungan serta merupakan bentuk luar atau sifat-sifat yang tampak. Karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat diukur nilai atau derajatnya. Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dilihat ada atau tidaknya suatu karakter. Hukum hukum mendel II menyatakan apabila dua individu mempunyai dua pasang sifat atau lebih maka sepasang sifat diturunkan secara bebas. Keturunan F1 merupakan individu baru dengan genotip gabungan dari induk dengan alel dominan yang selalu terekspresikan (nampak secara visual) dan alel resesif (tidak tampak secara visual tetapi akan diwariskan pada turunannya). Pada F2 pada perkawinan F1 dengan sesama akan dihasilkan perbandingan fenotif 12:4

21 44 untuk 2 sifat dominan (Afifudin 2003). Jika diasumsikan warna gelap merupakan warna dominan maka S.decora yang memiliki warna coklat tua kehitaman memiliki genotip CC dan corak bintik bulat berwarna hitam pada bagian tubuh memiliki genotip HH maka S.nigriventris yang memiliki warna coklat muda dengan corak garis coklat pada memiliki genotip cchh, maka akan dihasilkan 100% F1 dengan genotip CcHh dan fenotip coklat tua dengan corak bintik berwarna hitam pada bagian ekor. (a) (b) Gambar 16. Ikan Hibrid S.decora x S.nigriventris Pada pengamatan yang dilakukan, ikan hibrid S.decora x S.nigriventris umumnya mewarisi kenampakan tubuh yang lebih mendekati indukan S.decora seperti corak pada bagian kepala dengan lingkaran hitam kecil yang menyebar dan lingkaran hitam besar yang tersebar pada bagian tubuh, dapat dilihat pada Gambar 16b. Namun ditemukan jenis warna lain yaitu coklat terang, dapat dilihat pada Gambar 16a. Perbandingan antara warna dasar coklat muda dan coklat tua adalah 1:3. Hal ini juga terjadi pada persilangan S.notatus x S.nigriventris. Terjadinya perbedaan warna atau FI yang tidak 100% mengeluarkan fenotip dengan warna dan corak dominan diduga disebabkan adanya penyimpangan hukum mendel yaitu atavisme. Atavisme diakibatkan terjadinya interaksi yang menyimpang dari

22 45 beberapa gen. Atavisme dapat dideteksi jika terdapat keturunan F1 yang tidak menyerupai sifat dominan induknya (Ferdinad dkk 2009). S.notatus memiliki warna dasar tubuh abu dengan bagian ventral keputihan. Ikan hibrid S.notatus x S.nigriventris menghasilkan 2 warna yang berbeda yaitu coklat terang, dapat dilihat pada Gambar 17a dan warna dasar tubuh abu gelap, dapat dilihat pada Gambar 17b. (a) (b) Gambar 17. Ikan Hibrid S.notatus x S.nigriventris S.multipunctatus memiliki warna dasar abu-abu muda dengan corak ekor berbintik. Warna dasar bintik adalah hitam bulat. Punggung dan sirip dada berwarna hitam. Jika diasumsikan warna gelap merupakan warna dominan maka S.multipunctatus yang memiliki warna abu-abu muda memiliki genotip aa dan corak bintik pada bagian ekor berwarna hitam memiliki genotip HH maka S.nigriventris yang memiliki warna coklat muda dengan corak bintik coklat pada bagian ekor memiliki genotip AAhh, maka akan dihasilkan 100% F1 dengan genotip AaHh dan fenotip coklat tua dengan corak bintik berwarna hitam pada bagian ekor. Pada hasil pengamatan ikan hibrid S.multipunctatus x S.nigriventris menghasilkan 2 corak ekor yang berbeda. Jenis pertama adalah

23 46 corak garis hitam, dapat dilihat pada Gambar 18a dan jenis kedua adalah sirip berbintik coklat, dapat dilihat pada Gambar 18b. (a) Gambar 18. Ikan Hibrid S.multipunctatus x S.nigriventris (b) Perbedaan pada ikan hibrid diturunkan induk melalui gen yang dibawa sperma dan telur. Johansen (1991) dalam Ferdinand dkk (2009) menyatakan bahwa gen adalah unit terkecil dari suatu makhluk hidup yang mengandung substansi hereditas. Gen terdiri sari protein dan asam nukleat (DNA dan RNA) dan terdapat pada kromosom. Kromosom pada satu spesies yang sama dengan spesies lain dapat memiliki perbedaan bentuk, ukuran dan komposisi gen-gennya. Makin jauh hubungan kekerabatan suatu organisme, makin besar kemungkinan perbedaan jumlah, bentuk dan susunan kromosomnya (Ville dan Dethier 1971 dalam Sucipto 2009). Keturunan dengan warna beragam menunjukkan materi genetik yang dimiliki induk betina maupun induk jantan memiliki berperan dalam pewarisan warna dan corak terhadap keturunannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gomelsky et al. (1996) dalam Sumantadinata dkk (2002) menyatakan bahwa segregasi warna pada keturunan normal tergantung pada kedua induknya, sehingga sukar dalam menentukan nilai kontribusi dari masing-masing induk terhadap keturunannya.

24 47 Tabel 8. Hasil Penelitian Pengamatan Perlakuan A B C D Fekunditas (butir) Derajat Pembuahan (%) 40,00 53,75 25,00 89,00 Total 55,00 64,19 43,00 84,79 Kualitas Larva (%) Normal 48,13 59,07 30,00 84,79 Abnormal 6,88 5,12 13,00 0,00 Total 83,75 83,75 76,25 71,25 Kelangsungan Hidup Normal 88,21 91,96 86,19 71,25 (%) Abnormal 0,00 0,00 0,00 0,00 Pertumbuhan Mutlak (g) 0,74 1,40 1,16 0,71 Keterangan: A. S.decora x S.nigriventris, B. S.notatus x S.nigriventris, C. S.multifuctatus x S.nigriventris, D. S.nigriventris x S.nigriventris.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ginogenesis Ginogenesis pada penelitian dilakukan sebanyak delapan kali (Lampiran 3). Pengaplikasian proses ginogenesis ikan nilem pada penelitian belum berhasil dilakukan

Lebih terperinci

GENETIKA DAN HUKUM MENDEL

GENETIKA DAN HUKUM MENDEL GENETIKA DAN HUKUM MENDEL Pengertian Gen Pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Hunt Morgan, ahli Genetika dan Embriologi Amerika Serikat (1911), yang mengatakan bahwa substansi hereditas yang dinamakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Synodontis Synodontis temasuk pada famili Mochokidae atau kelompok lele yang hidup di wilayah Afrika. Famili ini terdiri dari 10 genus dan 190 spesies (Koblmüller dkk 2006). Genus

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Pengaruh Hibridisasi Interspesifik Ikan Synodontis Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih

KATA PENGANTAR Pengaruh Hibridisasi Interspesifik Ikan Synodontis Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Hibridisasi Interspesifik

Lebih terperinci

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID TERMINOLOGI P individu tetua F1 keturunan pertama F2 keturunan kedua Gen D gen atau alel dominan Gen d gen atau alel resesif Alel bentuk alternatif suatu gen yang terdapat

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013.

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat-alat Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daya Rekat Telur Ikan Komet Daya rekat merupakan suatu lapisan pada permukaan telur yang merupakan bagian dari zona radiata luar yang mengandung polisakarida dan sebagian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

Mengatur perkembangan dan metabolisme individu. (pada peristiwa apa peran ini dapat dilihat/terjadi? ).

Mengatur perkembangan dan metabolisme individu. (pada peristiwa apa peran ini dapat dilihat/terjadi? ). HEREDITAS Hubungan antara gen, DNA, Kromosom & Hereditas Pengertian hereditas? Melalui apa sifat diturunkan? Apa itu gen? Bagaimana hubungan antara gen dengan DNA? Bagaimana hubungan antara gen dengan

Lebih terperinci

3.KUALITAS TELUR IKAN

3.KUALITAS TELUR IKAN 3.KUALITAS TELUR IKAN Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik. Faktor eksternal meliputi: pakan,

Lebih terperinci

BAB IV PEWARISAN SIFAT

BAB IV PEWARISAN SIFAT BAB IV PEWARISAN SIFAT Apa yang akan dipelajari? Apakah gen dan kromosom itu? Bagaimanakah bunyi Hukum Mendel? Apa yang dimaksud dengan sifat resesif, dominan, dan intermediat? Faktor-faktor apakah yang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA ACARA 2 SIMULASI HUKUM MENDEL NAMA : HEPSIE O. S. NAUK NIM : KELOMPOK : III ( TIGA )

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA ACARA 2 SIMULASI HUKUM MENDEL NAMA : HEPSIE O. S. NAUK NIM : KELOMPOK : III ( TIGA ) LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA ACARA 2 SIMULASI HUKUM MENDEL NAMA : HEPSIE O. S. NAUK NIM : 1506050090 KELOMPOK : III ( TIGA ) JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2017

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh :

EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh : EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh : FIRMAN HIKMAWAN C14103067 SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Budidaya Perairan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. 1. Pokok Bahasan : Jenis dan tipe ayam komersial A.2. Pertemuan minggu ke : 6 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Ayam tipe petelur 2. Ayam tipe pedaging 3. Ayam tipe dwiguna

Lebih terperinci

Kromosom, DNA, Gen, Non Gen, Basa Nitrogen

Kromosom, DNA, Gen, Non Gen, Basa Nitrogen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung Mata Kuliah : Biologi Umum Kode MK : Bio 612101 Tahun Ajaran : 2014/2015 Pokok Bahasan : Genetika Jani Master, M.Si.

Lebih terperinci

- - PEWARISAN SIFAT - - sbl5gen

- - PEWARISAN SIFAT - - sbl5gen - - PEWARISAN SIFAT - - Modul ini singkron dengan Aplikasi Android, Download melalui Play Store di HP Kamu, ketik di pencarian sbl5gen Jika Kamu kesulitan, Tanyakan ke tentor bagaimana cara downloadnya.

Lebih terperinci

Hukum Pewarisan Sifat Mendel. Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih,S.Pt.,MP

Hukum Pewarisan Sifat Mendel. Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih,S.Pt.,MP Hukum Pewarisan Sifat Mendel Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih,S.Pt.,MP Hukum pewarisan Mendel adalah hukum pewarisan sifat pada organisme yang dijabarkan oleh Gregor Johann Mendel dalam karyanya 'Percobaan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Penetasan Telur Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan

Lebih terperinci

Penerapan Peluang Diskrit, Pohon, dan Graf dalam Pewarisan Sifat Ilmu Genetika

Penerapan Peluang Diskrit, Pohon, dan Graf dalam Pewarisan Sifat Ilmu Genetika Penerapan Peluang Diskrit, Pohon, dan Graf dalam Pewarisan Sifat Ilmu Genetika Imam Prabowo Karno Hartomo NIM : 13507123 Jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Aplikasi Kombinatorial dan Peluang Diskrit Untuk Menyelesaikan Masalah-Masalah dalam Hukum Pewarisan Mendel

Aplikasi Kombinatorial dan Peluang Diskrit Untuk Menyelesaikan Masalah-Masalah dalam Hukum Pewarisan Mendel Aplikasi Kombinatorial dan Peluang Diskrit Untuk Menyelesaikan Masalah-Masalah dalam Hukum Pewarisan Mendel Andri Rizki Aminulloh 13506033 Program Studi Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

MODUL MATA PELAJARAN IPA

MODUL MATA PELAJARAN IPA KERJASAMA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DENGAN FAKULTAS MIPA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA MODUL MATA PELAJARAN IPA Pewarisan sifat untuk kegiatan PELATIHAN PENINGKATAN MUTU GURU DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan yang banyak dipelihara di daerah Jawa Barat dan di Sumatera (khususnya Sumatera Barat). Ikan nilem ini mempunyai cita

Lebih terperinci

SIMBOL SILSILAH KELUARGA

SIMBOL SILSILAH KELUARGA SIMBOL SILSILAH KELUARGA Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa dapat : 1. Menjelaskan teori tentang pewarisan sifat perolehan 2. Menjelaskan Hukum Mendel I 3. Menjelaskan Hukum Mendel II GENETIKA Genetika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD Nama : Angga Rio Pratama Kelas : S1 TI 2C NIM : 10.11.3699 Lingkungan Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010/2011 Peluang Usaha Pengembangbiakan Love Bird (

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel

Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel Hukum Mendel yang sering dikonotasikan dengan hukum pewarisan didasarkan pada prinsip-prinsip segregasi (Hk.Mendel I) dan penggabungan kembali (Hk. Mendel II) gen-gen

Lebih terperinci

MODUL E-LEARNING PEWARISAN SIFAT. IPA SMP/MTs KELAS IX ISTIQOMAH

MODUL E-LEARNING PEWARISAN SIFAT. IPA SMP/MTs KELAS IX ISTIQOMAH MODUL E-LEARNING PEWARISAN SIFAT IPA SMP/MTs KELAS IX ISTIQOMAH KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-nya, sehingga dapat menyusun bahan ajar modul

Lebih terperinci

KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA

KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA Genetika merupakan salah satu bidang ilmu biologi yang mempelajari tentang pewarisan sifat atau karakter dari orang tua kepada anaknya. Ilmu genetika modern meliputi beberapa

Lebih terperinci

PENGANTAR GENETIKA DASAR HUKUM MENDEL ISTILAH DALAM GENETIKA. OLEH Dr. Hasnar Hasjim

PENGANTAR GENETIKA DASAR HUKUM MENDEL ISTILAH DALAM GENETIKA. OLEH Dr. Hasnar Hasjim PENGANTAR GENETIKA DASAR HUKUM MENDEL ISTILAH DALAM GENETIKA OLEH Dr. Hasnar Hasjim 1.PENGANTAR GENETIKA Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat keturunan yang diwariskan kepada anak cucu dan variasi

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar SNI : 01-6484.2-2000 Standar Nasional Indonesia Benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar Prakata Standar benih ikan lele dumbo kelas benih sebar diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat

Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat A. Siklus sel dan siklus hidup organisme B. Prinsip dasar reproduksi dan pewarisan material genetik: mitosis, meiosis dan fertilisasi C.Pola pewarisan sifat:

Lebih terperinci

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PELEPASAN IKAN LELE MUTIARA.

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PELEPASAN IKAN LELE MUTIARA. KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN IKAN LELE MUTIARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

Definisi Genetika. Genetika Sebelum Mendel. GENETIKA DASAR Pendahuluan dan Genetika Mendel

Definisi Genetika. Genetika Sebelum Mendel. GENETIKA DASAR Pendahuluan dan Genetika Mendel Definisi Genetika GENETIKA DASAR Pendahuluan dan Genetika Mendel Oleh: Dr. Ir. Dirvamena Boer, M.Sc.Agr. HP: 081 385 065 359 e-mail: dirvamenaboer@yahoo.com Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari

Lebih terperinci

Gambar 1. 7 sifat kontras yang terdapat pada tanaman ercis

Gambar 1. 7 sifat kontras yang terdapat pada tanaman ercis 2. PEWARISAN SIFAT A. SEJARAH PEWARISAN SIFAT Gregor Johann Mendel yang lahir tahun 1822 di Cekoslovakia adalah orang yang pertama kali melakukan mengadakan penelitian dan meletakkan dasar-dasar hereditas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi

Lebih terperinci

Untuk mempermudah memahami materi ini, perhatikan peta konsep berikut ini. Pewarisan Sifat. meliputi

Untuk mempermudah memahami materi ini, perhatikan peta konsep berikut ini. Pewarisan Sifat. meliputi Bab 5 Pewarisan Sifat Banyak sifat yang dimiliki makhluk hidup yang menurun dari induk kepada keturunannya, sehingga sifat orang tua dapat muncul pada anaknya atau bahkan sifat-sifat tersebut muncul pada

Lebih terperinci

LAPORAN GENETIKA SIMULASI PERSILANGAN MONOHIBRIDA

LAPORAN GENETIKA SIMULASI PERSILANGAN MONOHIBRIDA LAPORAN GENETIKA SIMULASI PERSILANGAN MONOHIBRIDA KELOMPOK DIHIBRID 1. AGUSTINA ADHI SURYANI 4401412055 2. AMALIA TRISTIANA 4401412063 3. DINULLAH ALHAQ 4401412126 ROMBEL 01 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Embrio Ikan Nilem Hasil pengamatan embriogenesis ikan nilem, setelah pencampuran sel sperma dan telur kemudian telur mengalami perkembangan serta terjadi fase

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna lebih

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA IMITASI PERBANDINGAN GENETIS PERCOBAAN MENDEL O L E H. Yulia (F ) Kelompok : Brown

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA IMITASI PERBANDINGAN GENETIS PERCOBAAN MENDEL O L E H. Yulia (F ) Kelompok : Brown LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA IMITASI PERBANDINGAN GENETIS PERCOBAAN MENDEL O L E H Yulia (F05109031) Kelompok : Brown PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Dasar pewarisan sifat pada ternak Factor-faktor yang mempengaruhi fenotif ternak Genetika populasi

Dasar pewarisan sifat pada ternak Factor-faktor yang mempengaruhi fenotif ternak Genetika populasi Dasar pewarisan sifat pada ternak Factor-faktor yang mempengaruhi fenotif ternak Genetika populasi Apabila kita mengawinkan sapi Bali, maka anaknya yang diharapkan adalah sapi Bali bukan sapi madura. Demikian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pertumbuhan induk ikan lele tanpa perlakuan Spirulina sp. lebih rendah dibanding induk ikan yang diberi perlakuan Spirulina sp. 2%

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6138 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3

Lebih terperinci

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP)

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) 1. Mata Kuliah : Genetika dan Pemuliaan Ikan 2. Kode / bobot : PKB 363/ 3 SKS 3. Deskripsi Singkat : Genetika dan Pemuliaan Ikan merupakan mata kuliah dasar yang

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) kelas benih sebar SNI : 01-6146 - 1999 Standar Nasional Indonesia Benih Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan...ii 1 Ruang Lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi... 1 4

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA TUMBUHAN

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA TUMBUHAN LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA TUMBUHAN ACARA III PERSILANGAN MONOHIBRID Semester : Ganjil 2015 Oleh : Sungging Birawata A1L114097 / Rombongan 14 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM GENETIKA DASAR. Disusun oleh : Dr. Henny Saraswati, M.Biomed PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PETUNJUK PRAKTIKUM GENETIKA DASAR. Disusun oleh : Dr. Henny Saraswati, M.Biomed PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PETUNJUK PRAKTIKUM GENETIKA DASAR Disusun oleh : Dr. Henny Saraswati, M.Biomed PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2017 2 Petunjuk Praktikum Genetika Dasar TATA

Lebih terperinci

Gambar 1. Itik Alabio

Gambar 1. Itik Alabio TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN INDUK IKAN NILA JANTAN PANDU DAN INDUK IKAN NILA BETINA KUNTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Tabel 5. Distribusi jumlah kromosom ikan manvis golden marble

Tabel 5. Distribusi jumlah kromosom ikan manvis golden marble HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari hasil pengamatan dan pengukuran kromosom didapatkan hasil bahwa ada beberapa persamaan dan perbedaan untuk masing-masing varietas ikan manvis yang diamati. Data hasil pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 6. Pewarisan Sifat pada Makhluk HidupLatihan Soal 6.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 6. Pewarisan Sifat pada Makhluk HidupLatihan Soal 6.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 6. Pewarisan Sifat pada Makhluk HidupLatihan Soal 6.1 1. Pasangan gen yang memiliki sifat yang sama pada kromosom homolog disebut... Kromosom Kromatin Alela Diploid Kunci Jawaban

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6130 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

Suhardi, S.Pt.,MP. Genetika DALAM PEMULIAAN TERNAK

Suhardi, S.Pt.,MP. Genetika DALAM PEMULIAAN TERNAK Suhardi, S.Pt.,MP Genetika DALAM PEMULIAAN TERNAK Arti Penting Pemuliaan Ternak BIBIT KESEHATAN LINGKUNGAN P A K A N PRODUKTIVITAS TERNAK M A N A J E M E N Problem Utama di Indonesia???? Produktivitas

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prolarva 4.1.1 Laju Penyerapan Kuning Telur Penyerapan kuning telur pada larva lele dumbo diamati selama 72 jam, dengan rentang waktu pengamatan 12 jam. Pengamatan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp)

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) MENGENAL IKAN LOUHAN -Nama lain : flower horn, flower louhan dan sungokong. -Tidak mengenal musim kawin. -Memiliki sifat gembira, cerdas dan cepat akrab dengan pemiliknya.

Lebih terperinci

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia SNI 6138:2009 Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 6138:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Mendel II menyatakan adanya pengelompokkan gen secara bebas. Seperti telah diketahui, persilangan antara dua individu dengan satu sifat beda ( monohibrid)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pertumbuhan Turunan Hibrid Huna Pertumbuhan bobot tubuh turunan hibrid antara huna capitmerah dengan huna biru sampai umur 4 bulan relatif sama, pada umur 5 bulan mulai tumbuh

Lebih terperinci

HUKUM MENDEL DAN PENYIMPANGANNYA

HUKUM MENDEL DAN PENYIMPANGANNYA HUKUM MENDEL DAN PENYIMPANGANNYA Standar Kompetensi : Menerapkan Prinsip prinsip Genetika Tanaman dan Hewan Kompetensi Dasar : Menerapkan Hukum Mendel dan Penyimpangannya dalam Pewarisan Sifat TujuanPembelajaran

Lebih terperinci

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen.

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENDAHULUAN Pada tahun 1908, ahli Matematika Inggris G.H. Hardy dan seorang ahli

Lebih terperinci

Pendahuluan. Pendahuluan. GENETIKA DASAR Teori Kromosom tentang Pewarisan

Pendahuluan. Pendahuluan. GENETIKA DASAR Teori Kromosom tentang Pewarisan GENETIKA DASAR Teori Kromosom tentang Pewarisan Oleh: Dr. Ir. Dirvamena Boer, M.Sc.Agr. HP: 08 385 065 359 e-mail: dirvamenaboer@yahoo.com Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari Dipublikasi

Lebih terperinci

Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 1: Induk kelas induk pokok (Parent stock)

Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 1: Induk kelas induk pokok (Parent stock) Standar Nasional Indonesia SNI 7471.1:2009 Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 1: Induk kelas induk pokok (Parent stock) ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 7471.1:2009 Daftar isi Daftar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN

PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN PENGARUH UMUR LALAT BUAH (Drosophila melanogaster Meigen) JANTAN TERHADAP NISBAH KELAMIN SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat penyelesaian Program Sarjana Sains (S1)

Lebih terperinci

Kombinatorial dan Peluang Membantu Penyelesaian Permasalahan Genetik Sederhana

Kombinatorial dan Peluang Membantu Penyelesaian Permasalahan Genetik Sederhana Kombinatorial dan Peluang Membantu Penyelesaian Permasalahan Genetik Sederhana Kevin Alfianto Jangtjik / 13510043 Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Ikan Rainbow. 1. Klasifikasi dan Morfologi. Klasifikasi ikan rainbow (ITIS, 2012) adalah : : Acanthopterygii

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Ikan Rainbow. 1. Klasifikasi dan Morfologi. Klasifikasi ikan rainbow (ITIS, 2012) adalah : : Acanthopterygii II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Ikan Rainbow 1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan rainbow (ITIS, 2012) adalah : Kingdom Phylum Subphylum Superclass Class Subclass Infraclass Superorder Order Suborder

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6483.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Deskripsi...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan ternak unggas yang cukup popular di masyarakat terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang mungil yang cocok untuk dimasukkan

Lebih terperinci

Bab PEWARISAN SIFAT. Bab 5 Pewarisan Sifat 93. (Sumber: i31.photobucket)

Bab PEWARISAN SIFAT. Bab 5 Pewarisan Sifat 93. (Sumber: i31.photobucket) Bab 5 PEWARISAN SIFAT (Sumber: i31.photobucket) Perkembangbiakan generatif akan menghasilkan keturunan yang memiliki sifat-sifat dari induknya. Misalnya pada manusia ditemukan adanya perbedaan dan persamaan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci