PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI"

Transkripsi

1 STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR EDY WIBOWO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008 Edy Wibowo NRP A

3 ABSTRACT EDY WIBOWO. Strategic Planning Of General Policy Of Local Government Budgeting (APBD) To Increase The Quality Of Human Development In Bogor District. Under Direction of SRI HARTOYO and SAID RUSLI. Main goal of many countries in the world is to give prosperity to their people through development. However some countries have been fighting for their goal for many years. Indonesia is one of some countries in the world with the situation mentioned above. According to UNDP (2005), Human Development Index (HDI) of Indonesia is 68,7 and is placed Indonesia in 110 among 117 countries in the world. The low HDI level of Indonesia is very disappointing. Since 1999 when the decentralization era in Indonesia has been declared, every local government has responsibility to increase HDI as well as central government. Main source of local government in this case is development budget or Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD). The problem raised is how to manage APBD in order to fit the goal. This study was carried out to plan the strategies that produce programs which are suitable for optimizing HDI growth. This study was carried out in Bogor District and uses it as a case study. According to mathematical method (multiple regression), real public expenditure in APBD is significantly influenced HDI (Alfa = 0.05). HDI will increase point if real public expenditure is increase Rp. 1 billion. During , proportion of real public and officer expenditure in Bogor s APBD was unbalanced (i.e percent : 67.9 percent). This unbalanced proportion of APBD expenditure has caused non optimum of HDI growth. Shortfall reduction analysis of HDI also showed that HDI growth in Bogor was very low. Some strategic planning and programs have been chosen to improve HDI growth by using SWOT and AHP analysis. Best strategy for developing education sector in Bogor is S-T strategy. Alternative programs which match for this strategy are : free study cost for elementary and junior high school level, building and reconstruction of school facilities. Best strategy for developing health sector is S-T strategy. Alternative programs in charge are : free cost health service especially for the poor, building and reconstruction of health facilities. Best strategy for economic sector is also S-T strategy and the suitable programs are : investment aid of small scale business as well as training and motivating unskilled labor force. Key words : strategic planning of general policy of APBD, human development index

4 RINGKASAN EDY WIBOWO. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SAID RUSLI. Tujuan utama pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap negara adalah menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Hanya saja setelah sekian lama mendeklarasikan kemerdekaannya, tidak semua negara berhasil mencapai tujuan yang diinginkannya. Berbagai macam kendala dihadapi oleh setiap negara dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat mewujudkan tujuan bernegara tersebut setelah merdeka selama lebih kurang 62 tahun. Dalam hal pelaksanaan pembangunan manusia, Indonesia masih dalam tahap memulai sehingga belum memberikan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan angka IPM 68,7, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 67,7 pada tahun Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (urutan 61, IPM : 79,6), Thailand (urutan 73, IPM : 77,8), Filipina (urutan 84, IPM : 75,8) dan Vietnam (urutan 108, IPM : 70,4). Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, maka upaya meningkatkan IPM selain menjadi tanggung jawab pemerintah pusat juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Salah satu modal dasar utama bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia adalah dana pembangunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kecenderungan yang terjadi di tiap-tiap daerah di Indonesia adalah bahwa peningkatan APBD tidak serta merta menaikkan angka IPM secara optimal. Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia juga cenderung kurang optimal dalam memanfaatan APBD untuk kepentingan peningkatan IPM. Pada tahun 2000 APBD Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp. 250,27 milyar dan pada tahun 2005 menjadi Rp. 1,32 triliun. Pada tahun 2000 angka IPM Kab. Bogor adalah sebesar 63,32 dan pada tahun 2006 menjadi 69,45 poin. Jika dilihat pertambahan kenaikan (increment), maka terjadi kecenderungan menurun dari 3,38 poin pada tahun 2000 menjadi 1,04 poin di tahun Untuk dapat memanfaatkan APBD secara optimal bagi kenaikan angka IPM diperlukan tahapan-tahapan perencanaan APBD yang baik terutama dalam hal penyusunan program dan kegiatan dalam APBD atau yang biasa disebut sebagai kebijakan umum APBD. Tahapan yang harus dilakukan dalam hal ini adalah mengetahui faktor-faktor apa saja yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan IPM. Seperti diketahui angka IPM terdiri dari tiga komponen yaitu (1) indeks pendidikan yang dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH), (2) indeks kesehatan yang dipengaruhi oleh angka harapan hidup (AHH) dan (3) indeks daya beli yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita per tahun. Pengetahuan akan faktor-faktor tersebut di atas akan mengarahkan kita pada penentuan fokus program dan kegiatan dalam APBD. Program-program yang dihasilkan tersebut kemudian ditentukan skala prioritasnya. Program-program yang menjadi prioritas inilah kemudian yang dijadikan sebagai program yang dicantumkan dalam kebijakan umum APBD.

5 Berdasarkan metode reduksi Shortfall yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan IPM di Kabupaten Bogor sejak tahun ternyata diketahui bahwa angka reduksi Shortfall tahun di Kabupaten Bogor adalah sebesar 1,37 poin. Menurut UNDP angka reduksi Shortfall Kabupaten Bogor termasuk dalam kategori pertumbuhan IPM lambat. Hal ini menujukkan bahwa pengelolaan pembangunan di Kabupaten Bogor belum sepenuhnya berhasil meningkatkan IPM secara optimal. Metode analisis regresi berganda yang digunakan untuk mengetahui pengaruh belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap IPM di Kabupaten Bogor memperlihatkan bahwa belanja publik riil dan belanja aparatur riil berpengaruh nyata terhadap IPM pada alfa = 0,05 (nilai p-value ANOVA = 0,00143) dengan koefisien determinasi sebesar 0,8874. Belanja publik berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,05 dan belanja aparatur berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,1. Daya ungkit belanja publik terhadap IPM menurut hasil analisis regresi berganda adalah sebesar 0,019 poin untuk setiap kenaikan Rp. 1 milyar belanja publik riil. Kecenderungan selama ini proporsi belanja publik dan belanja aparatur di Kabupaten Bogor tidak seimbang. Proporsi belanja aparatur dan belanja publik sejak adalah rata-rata sebesar 67,9 persen berbanding 32,1 persen. Inilah salah satu penyebab kurang optimalnya pertumbuhan IPM di Kabupaten Bogor. Metode analisis SWOT yang dilakukan terhadap komponen IPM berupa pendidikan, kesehatan dan perekonomian memperlihatkan bahwa strategi pembangunan yang dapat diterapkan di sektor pendidikan dan sektor perekonomian adalah strategi diversifikasi (strategi S-T). Adapun strategi pembangunan yang dapat diterapkan untuk sektor kesehatan adalah berupa pilihan strategi diversifikasi (strategi S-T) atau strategi progresif (strategi S-O). Strategi S-T yang dapat dilakukan untuk sektor pendidikan adalah menyeimbangkan rasio guru dan siswa terutama untuk tingkat SLTP dan SLTA dengan menambah jumlah siswa SLTP dan SLTA, meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, memberikan subsidi pendidikan untuk mengatasi daya beli yang rendah, dan mengurangi angka putus sekolah. Strategi S-T untuk sektor kesehatan yang dapat dilakukan adalah menekan tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan, meningkatkan cakupan pelayanan persalinan medis, memberikan subsidi kesehatan untuk mengatasi daya beli yang rendah, dan meningkatkan kelembagaan masyarakat di sektor kesehatan. Strategi S-T yang dapat diterapkan untuk sektor perekonomian adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ketersediaan SDM tenaga kerja, menaikkan tingkat pendapatan masyarakat dan meningkatkan kelembagaan masyarakat di sektor perekonomian. Berdasarkan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang ditujukan untuk menentukan prioritas pembangunan daerah diketahui bahwa pelaku pembangunan yang paling dominan adalah aparatur dibanding masyarakat dan swasta. Berdasarkan kendala pembangunan daerah, maka faktor yang paling berpengaruh berturut-turut adalah aspek aparatur, biaya, kebijakan, manfaat dan partisipasi masyarakat. Program-program pembangunan yang dapat dijadikan rekomendasi berdasarkan AHP adalah : pelayanan kesehatan gratis, penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP, pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil menengah (KUKM), pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja, pembangunan sarana kesehatan dan penyelenggaraan perijinan investasi satu atap. Kata kunci : perancangan kebijakan umum APBD, Indeks Pembangunan Manusia

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR EDY WIBOWO Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc

9 Judul Tugas Akhir : Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor Nama : Edy Wibowo NRP : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Ketua Ir. Said Rusli, M.A. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S. Tanggal Ujian : 7 Juli 2008 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah berupa kajian pembangunan daerah ini adalah optimalisasi pemanfaatan APBD untuk meningkatkan pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Bogor. Adapun judul yang digunakan adalah Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Melalui prakata ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. dan Bapak Ir. Said Rusli, M.A. selaku dosen pembimbing, serta segenap staf pengajar dan karyawan di Program Studi Manajamen Pembangunan Daerah (MPD) yang dipimpin oleh Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MPD Bogor angkatan ke-2 ( ) atas kekompakannya selama ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Bapak (Alm) Marsono dan Ibu Markeri serta adik-adik tercinta atas dukungan moral dan do a yang diberikan. Hal yang sama juga penulis sampaiakan untuk istri tercinta Widyastuti, STp dan anak-anak : Ahmad Syamil Fiddin, Asma Khoirunnisa, Ahmad Faqih dan Aisyah Syahidatunnisa atas do a dan kebersamaannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2008 Edy Wibowo i

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Januari 1971 dari ayah (Alm) Marsono dan ibu Markeri. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Jakarta dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah di SMA Negeri 18 Jakarta pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 1994 sebagai Sarjana Teknologi Pertanian dengan keahlian di bidang Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah bekerja sebagai peneliti pada PT Intidaya Agrolestari yang bergerak di bidang agribisnis. Penulis saat ini bekerja sebagai Anggota DPRD Kabupaten Bogor periode dari fraksi PKS dan menjabat sebagai Sekretaris Komisi B (bidang ekonomi dan keuangan). Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor. ii

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Kajian... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pembangunan Pergeseran Paradigma Pembangunan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Peran Pemerintah Dan Pemerintah Daerah III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Metode Penelitian Dan Kajian Lokasi Penelitian Dan Kajian Metode Pengolahan Dan Analisis Data Metode Analisis Regresi Berganda Metode Reduksi Shortfall Metode Statistika Deskriptif Metode Perancangan Program Metode Analisis SWOT Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BOGOR Kondisi Wilayah Keadaan Penduduk iii

13 Halaman 4.3. Kondisi Sosial Budaya Kondisi Perekonomian Kondisi Pemerintahan Di Kabupaten Bogor Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor Penyusunan Kebijakan Umum APBD Di Kabupaten Bogor V. KAJIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KAB. BOGOR Pengaruh Belanja Publik dan Belanja Aparatur Terhadap IPM Kab. Bogor Pertumbuhan IPM Di Kabupaten Bogor Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pendidikan Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Kesehatan Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perekonomian VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Rekomendasi Program Pembangunan Program Sektor Pendidikan Program Sektor Kesehatan Program Sektor Perekonomian Penentuan Prioritas Pembangunan Prioritas Pembangunan Sektor Pendidikan Prioritas Pembangunan Sektor Kesehatan Prioritas Pembangunan Sektor Perekonomian VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Indeks Pembangunan Manusia Di Indonesia Tahun Perkembangan Realisasi APBD Dan IPM Di Kabupaten Bogor Keterkaitan Millenium Development Goal Dan Pembangunan Manusia 16 4 Nilai Maksimum Dan Minimum Komponen IPM Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun 2004 dan IPM Tahun Klasifikasi Pertumbuhan IPM Menurut UNDP Faktor Strategi Eksternal dan Faktor Strategi Internal Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP Komposisi Kecamatan Dan Penduduk Berdasarkan Tingkat Perkembangan Wilayahnya Komposisi Penduduk Kab. Bogor Berdasarkan Usia Tahun Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Di Kabupaten Bogor Dinas Daerah Dan Lembaga Teknis Daerah Di Kabupaten Bogor Perkembangan IPM Kabupaten Bogor Tahun Prosentase Realisasi APBD Untuk Bidang-bidang Prioritas Di Kabupaten Bogor Realisasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Dalam APBD Kab. Bogor Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh Belanja Aparatur Dan Belanja Publik Dalam APBD Terhadap IPM di Kab. Bogor Perkembangan Jumlah Siswa Di Kabupaten Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Ruang Kelas dan Kondisinya di Kab. Bogor Pada Tahun Perkembangan Jumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dan Penanganan Buta Huruf di Kab. Bogor Pada Tahun v

15 Halaman 20 Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kab. Bogor Pada Tahun Perkembangan Jumlah Tenaga Medis Di Kab. Bogor Pada Tahun Perkembangan JumlahPersalinan Di Kab. Bogor Pada Tahun Perkembangan Rumah Tangga Yang Memiliki Sarana Air Bersih Dan Jamban Keluarga Di Kab. Bogor Pada Tahun Perkembangan Jumlah Posyandu Di Kabupaten Bogor Tahun Perkembangan Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Kabupaten Bogor Pada Tahun Beberapa Jenis Perijinan Investasi Di Kabupaten Bogor Perkembangan Infrastruktur Di Kabupaten Bogor Pada Tahun Analisis SWOT Sektor Pendidikan Di Kab. Bogor Analisis SWOT Sektor Kesehatan di Kabupaten Bogor Analisis SWOT Sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor Rekomendasi Program Pembangunan Daerah Di Kabupaten Bogor Faktor Yang Berpengaruh Dalam Program Pembangunan Di Kab. Bogor Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Kesehatan Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Perekonomian Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan, Kesehatan dan Perekonomian di Kabupaten Bogor Berdasarkan AHP vi

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Korelasi DAU Per Kapita Dan IPM Di Tiap Propinsi Di Indonesia Korelasi DAU Per Kapita Dan IPM Tiap Kabupaten/Kota Di Inonesia Perkembangan APBD Dan IPM Di Kabupaten Bogor Bagan Alir Penetapan Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Derajat Pendidikan Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Derajat Kesehatan Penyebab Langsung Dan Tidak Langsung Perubahan Daya Beli Kerangka Pemikiran Pemanfaatan APBD Untuk Meningkatkan IPM 30 9 Matriks Pilihan Strategi Dalam Analisis SWOT Hirarki Pemilihan Program Pembangunan Di Kabupaten Bogor Peta Kabupaten/ Kota Di Jawa Barat Kecamatan-kecamatan Di Kabupaten Bogor Pemanfaatan Ruang Di Kabupaten Bogor Jaringan Jalan Di Kabupaten Bogor Piramida Penduduk Kabupaten Bogor Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Di Kabupaten Bogor Persentase Realisasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Kab. Bogor Perkembangan Angka Partisipasi Murni di Kab. Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Putus Sekolah di Kab. Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Buta Huruf di Kab. Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Guru di Kab. Bogor Tahun Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Rata-rata Lama Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun vii

17 Halaman 23 Realisasi Belanja Pendidikan APBD Kab. Bogor Tahun Angka Kematian Bayi dan Jumlah Kematian Ibu di Kab. Bogor Tahun Tingkat Gizi Balita di Kab. Bogor Tahun Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Angka Harapan Hidup di Kab. Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun Diagram Pencar Hubungan Antara PDRB Dengan Daya Beli di Kab. Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Lulusan SLTP dan SLTA di Kabupaten Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Investasi Di Kabupaten Bogor Tahun Perkembangan Jumlah Perusahaan Di Kabupaten Bogor Tahun Hasil AHP Terhadap Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor 108 viii

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh Belanja Aparatur Dan Belanja Publik Terhadap IPM Kuesioner Analisis SWOT Pembangunan Manusia Di Kab. Bogor Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Pendidikan Di Kab. Bogor Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Kesehatan Di Kab. Bogor Kuesioner AHP Pemilihan Prioritas Program Bidang Ekonomi Di Kab. Bogor Prioritas Pelaku Pembangunan Dan Aspek Penunjang Keberhasilan Pembangunan Yang Paling Berpengaruh Berdasarkan Metode AHP Prioritas Program Sektor Pendidikan Berdasarkan Metode AHP Prioritas Program Sektor Kesehatan Berdasarkan Metode AHP Prioritas Program Sektor Perekonomian Berdasarkan Metode AHP ix

19 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap negara adalah menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Hanya saja setelah sekian lama mendeklarasikan kemerdekaannya, tidak semua negara berhasil mencapai tujuan yang diinginkannya. Berbagai macam kendala dihadapi oleh setiap negara dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat mewujudkan tujuan bernegara tersebut setelah merdeka selama lebih kurang 62 tahun. Dalam perjalanannya, pembangunan di Indonesia terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan paradigma pembangunan di berbagai belahan dunia. Pada kurun 1970-an pemerintah menekankan pada adanya pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan. Menurut Dumairy (1996) perkonomian Indonesia pada era tersebut tumbuh rata-rata 7 persen per tahun. Investasi meningkat dengan laju yang menggembirakan dari 11 persen menjadi 24 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama dua periode pembangunan lima tahun (PELITA) yaitu dari dan Perekonomian Indonesia saat itu sangat menggantungkan pada sumber utama penerimaan devisa dari minyak bumi sebanyak hampir 80 persen. Pada tahap selanjutnya terjadi pergeseran arah pembangunan ke arah pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan karena ternyata pertumbuhan ekonomi malah menimbulkan kesenjangan yang tajam antara golongan kaya dan golongan miskin. Pada kurun 1980-an pemerintah bekerja keras menciptakan pemerataan pendapatan. Pemerintah secara dominan menerapkan program-program pembangunan kepada daerah-daerah miskin dan pelosok-pelosok desa untuk 1

20 2 mengejar ketertinggalan. Lama kelamaan pendekatan terpusat (centralized) ini menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah yang akibatnya pembangunan menjadi beban pemerintah. Kesadaran akan hal ini melahirkan pendekatan pembangunan yang lain yaitu pendekatan pembangunan manusia yang menekankan pada tercapainya perkembangan manusia (human growth) melalui pelayanan sosial, pemberdayaan dan sebagainya. Hasil akhir dari pembangunan manusia adalah lahirnya manusia yang mandiri dan mampu berkontribusi terhadap keberlanjutan pembangunan nasional secara umum. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan indikator kualitas pembangunan manusia melalui human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM) yang pencapaiannya tergantung pada derajat kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh United Nation Development Program (UNDP) pada laporan tahunannya. Dalam hal pelaksanaan konsep pembangunan manusia, Indonesia masih dalam tahap memulai sehingga belum memberikan hasil yang mamuaskan. Pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan angka IPM 68,7, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 67,7 pada tahun Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (urutan 61, IPM : 79,6), Thailand (urutan 73, IPM : 77,8), Filipina (urutan 84, IPM : 75,8) dan Vietnam (urutan 108, IPM : 70,4). Tentu saja keadaan ini perlu diperbaiki mengingat beberapa negara yang lebih belakangan merdeka dibanding Indonesia berada pada urutan di atas Indonesia seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina. Oleh karena itu diperlukan upaya yang serius untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Indonesia. 2

21 3 Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia 1, maka upaya meningkatkan IPM selain menjadi tanggung jawab pemerintah pusat juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2005, daerah di Indonesia yang memiliki angka IPM terbesar adalah DKI Jakarta yaitu sebesar 76,1 dan daerah dengan angka IPM terkecil adalah Papua yaitu sebesar 62,1. Gambaran lengkap IPM seluruh propinsi di Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia Tahun 2005 No Propinsi IPM 2005 No Propinsi IPM DKI Jakarta M a l u k u Sulawesi Utara Nanggroe Aceh D R i a u L a m p u n g DI Yogyakarta Banten Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Kalimantan Timur Jawa Timur Sumatera Utara Sulawesi Selatan Sumatera Barat Gorontalo B e n g k u l u Sulawesi Tenggara J a m b i Kalimantan Selatan Kep. Bangka Belitung Maluku Utara Sumatera Selatan Kalimantan Barat Jawa Barat Nusa Tenggara Timur B a l i Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Papua Sumber : BPS (2005) Salah satu modal dasar utama bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia yang indikatornya adalah IPM adalah dana pembangunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kecenderungan yang terjadi di tiap-tiap daerah di Indonesia adalah bahwa 1) Otonomi Daerah diundangkan melalui paket paket UU Otonomi Daerah (UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 3

22 4 peningkatan APBD tidak serta merta menaikkan angka IPM secara optimal. Sebagai gambaran dapat dilihat pada grafik di bawah ini di mana dana alokasi umum (DAU) per kapita sebagai salah satu komponen APBD yang dikucurkan oleh pemerintah pusat kepada masing-masing propinsi memiliki korelasi yang sangat rendah dengan peningkatan IPM (Gambar 1). 1, , Rp. x 1000 Papua DAU Per Kapita , , Maluku 1, Kaltim NTT R 2 = NTB Jawa Barat Jak ar t a IPM 2005 Gambar 1. Korelasi DAU per kapita dan IPM di Tiap Propinsi di Indonesia (Diolah dari data DAU 2004 dan IPM 2005) Kondisi yang sama juga terjadi dengan DAU per kapita yang dikucurkan pemerintah pusat kepada masing-masing kabupaten/kota di Indonesia. Korelasi antara DAU per kapita dengan angka IPM sangat rendah sekali. Daerah dengan DAU per kapita tinggi tetapi menghasilkan IPM yang rendah adalah Kab. Nabire dan daerah yang kondisinya sebaliknya adalah Kota Bekasi. Gambaran korelasi DAU per kapita dengan peningkatan angka IPM untuk masing-masing kabupaten / kota di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2. 4

23 5 DAU per kapita Kab. Natuna Kab. Nabire Kab. Bulungan Kota Padang Panjang DAUPC Kab. Jayawijaya Kab. Bogor R 2 = 6E-06 Kota Sampang IPM Kota Bekasi HDI Gambar 2. Korelasi DAU per kapita dan IPM Tiap Kabupaten/ Kota di Indonesia (Siregar, 2007) Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia juga memiliki kecenderungan yang sama dalam memanfaatan APBD untuk kepentingan peningkatan IPM. Secara umum sejak tahun 2000 hingga tahun 2006 terjadi peningkatan APBD tetapi pada saat bersamaan pertambahan angka IPM yang dihasilkan cenderung menurun. Rata-rata kenaikan belanja APBD adalah sebesar Rp. 154,73 miliar per tahun. Peningkatan juga terjadi pada APBD riil (berdasarkan harga konstan atau telah disesuaikan dengan menghilangkan pengaruh inflasinya). Rata-rata kenaikan belanja APBD riil adalah sebesar Rp. 31,48 miliar per tahun. Perkembangan APBD dan pencapaian IPM Kab. Bogor tahun dapat dilihat pada Gambar 3. 5

24 6 Rp (Miliar) 1, , , , APBD , APBD riil IPM IPM Gambar 3. Perkembangan APBD dan IPM di Kab. Bogor (Pemda Kab. Bogor, ) Situasi seperti di atas menggambarkan bahwa pemanfaatan APBD di Kab. Bogor tidak dapat menaikkan angka IPM secara optimal. Untuk mengatasi keadaan tersebut diperlukan perbaikan-perbaikan dalam pemanfaatan APBD di Kab. Bogor. Pertanyaan penting yang harus dijawab dalam hal ini adalah bagaimana memanfaatkan APBD untuk menaikkan angka IPM secara optimal Perumusan Masalah Kabupaten Bogor adalah salah satu daerah otonom di Indonesia yang memiliki kewajiban untuk meningkatkan angka IPM-nya melalui pemanfaatan APBD dengan sebaik-baiknya. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah bahwa peningkatan besaran APBD dari Rp. 250,27 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp. 1,32 triliun pada tahun 2005 memang telah menaikkan angka IPM Kab. Bogor dari 63,32 pada tahun 2000 menjadi 69,45 pada tahun 2006, namun pertambahan kenaikan (increment) angka IPM tiap tahunnya ternyata cenderung menurun dari 3,38 poin pada tahun 2000 menjadi 1,04 poin di tahun 2006 (Tabel 2). 6

25 7 Tabel 2. Perkembangan Realisasi APBD dan IPM Kab. Bogor (Pemda Kab. Bogor (2006) Tahun Realisasi Belanja APBD (Rp. Juta) Indeks Pembangunan Manusia IPM IPM APBD APBD APBD riil APBD riil , ,85 63, , , , ,13 66, , , , ,01 67, ,13 (19.108,91) ,10 (55.971,90) 67, , , , ,36 68, , , ,93 (22.938,53) 68, , , , , Keterangan : Tahun dasar dalam memperhitungkan inflasi adalah tahun 2000 Untuk dapat memanfaatkan APBD secara optimal bagi kenaikan angka IPM diperlukan tahapan-tahapan perencanaan APBD yang baik terutama dalam hal penyusunan program dan kegiatan dalam APBD yang tertuang dalam Kebijakan Umum APBD. Seperti diketahui angka IPM terdiri dari tiga komponen yaitu (1) indeks pendidikan yang dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH), (2) indeks kesehatan yang dipengaruhi oleh angka harapan hidup (AHH) dan (3) indeks daya beli yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita per tahun. Tahap pertama yang harus diketahui dalam hal ini adalah faktorfaktor apa sajakah yang secara langsung mempengaruhi RLS, AMH, AHH dan daya beli. Pengetahuan akan faktor-faktor yang mempengaruhi langsung kenaikan angka IPM akan mengarahkan pada penentuan fokus program dalam APBD. Pada tahap selanjutnya, program-program tersebut kemudian ditentukan skala prioritasnya berdasarkan aspek-aspek tertentu yang penting dalam pelaksanaannya. Dengan adanya program dan skala prioritasnya masing-masing, maka kemudian dapat 7

26 8 ditentukan Kebijakan Umum APBD seperti apa yang cocok untuk tiap-tiap sektor yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian Tujuan Tujuan penyusunan kajian pembangunan daerah yang berjudul Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor adalah untuk : 1. Mengkaji hubungan pemanfaatan APBD dengan peningkatan kualitas hidup manusia di Kabupaten Bogor. 2. Merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup manusia di Kabupaten Bogor. 3. Merumuskan strategi perencanaan dan program-program yang tepat dalam Kebijakan Umum APBD untuk mendorong peningkatan pembangunan manusia yang optimal di Kabupaten Bogor Manfaat Kajian Manfaat yang diharapkan dari kajian yang berjudul Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor ini adalah untuk : 1. Membantu upaya optimalisasi pemanfaatan APBD untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor. 2. Memberikan informasi bagi daerah lain mengenai strategi perancangan APBD yang dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia. 8

27 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pembangunan Secara normatif pembangunan diartikan sebagai proses yang memungkinkan masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusionalnya dalam mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka, berkelanjutan, adil dan merata (Korten 1990; Suryadi 2001). Pembangunan merupakan proses yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan (Suryono, 2001). Dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional diartikan sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Adapun tujuan bernegara secara umum adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan dapat juga dilihat dari sisi administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi. Administrasi pembangunan berkaitan dengan manajemen pembangunan sedangkan pembangunan administrasi adalah perbaikan organisasi pemerintah dalam membangun. Menurut Kartasasmita (1997), dalam analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi manajemen pembangunan yaitu perencanaan, pengerahan sumberdaya, pengerahan pembangunan oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan, serta evaluasi dan pengawasan. Adapun pembangunan adminsitrasi adalah keadaan yang memungkinkan tercapainya efektifitas penggunaan sumberdaya. 9

28 Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Suryadi (2001), dalam perkembangannya, pembangunan yang dilakukan negara-negara di dunia mengalami beberapa pergeseran paradigma. Dalam kurun berkembang paradigma pertumbuhan (growth). Pada kurun berlaku paradigma kesejahteraan (welfare) dan pada kurun berkembang paradigma pembangunan manusia (people centered development). Adapun di era 2000-an seperti saat ini, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan suatu millenium development goals yang dideklarasikan pada September Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, menekankan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara dan peningkatan pendapatan masyarakat. Alat ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara yang utama adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Menurut Mankiw (2003), GDP adalah nilai pasar semua barang jadi dan jasa yang diproduksi sebuah negara selama kurun waktu tertentu. Untuk menggambarkan keterkaitannya dengan jumlah penduduk, sering dipakai ukuran PDB per kapita atau lebih populer disebut pendapatan per kapita. Setelah berjalan sekian lama ternyata pertumbuhan ekonomi menimbulkan persoalan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan. Sejak itu beralihlah paradigma pembangunan kepada pembangunan kesejahteraan yang menekankan pada perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam waktu yang sesingkat mungkin. Dalam perjalanannya konsep pembangunan ini malah menimbulkan pengaruh dominan dari pemerintah di tiap-tiap negara. Kritik yang muncul terhadap konsep pemerataan pendapatan nasional adalah pelaksanaannya yang sentralistik sehingga menimbulkan ketergantungan rakyat dengan pemerintah 10

29 11 atau ketergantungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat atau juga ketergantungan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Pada gilirannya konsep ini tidak menimbulkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) karena adanya ketergantungan (Suryadi, 2001). Suryadi (2001) menjelaskan bahwa kesadaran untuk lebih menekankan pada adanya proses pembangunan berkelanjutan memunculkan paradgima pembangunan manusia pada era 1900-an. Paradigma pembangunan manusia pada dasarnya adalah pembangunan yang menekankan pada pembangunan yang berkelanjutan yang didukung oleh pendekatan pembangunan manusia (human development) melalui aksiaksi pelayanan sosial (social service), pembelajaran sosial (social learning), pemberdayaan (empowerment), peningkatan kapasitas (capacity building) dan peningkatan kelembagaan (institutional building). Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini dapat dikatagerokian dalam beberapa periode yaitu periode orde lama ( ), periode orde baru ( ) dan periode reformasi (1998-sekarang). Menurut Dumairy (1996) selama dua puluh tahun pertama sejak merdeka pembangunan di Indonesia berjalan relatif kurang menggembirakan. Hal tersebut terjadi karena seringnya pergantian kabinet akibat adanya ketidakstabilan politik pada masa itu. Pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan dengan laju 6,9 persen dalam periode turun secara drastis menjadi tinggal 1,9 persen pada periode Dampak kemerosotan pembangunan yang terjadi pada masa tersebut berujung pada pergantian kekuasaan pemerintahan dari orde lama kepada orde baru. Pada masa orde baru dicanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sejak 1969 dengan titik tekan pada adanya trilogi pembangunan yaitu 11

30 12 stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dalam PELITA I ( ) prioritas pertama diarahkan pada stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Pada PELITA II ( ) sasaran dibalik menjadi pertumbuhan ekonomi yang menempati prioritas pertama. Selama dua PELITA ini kinerja perekonomian Indonesia sangat memuaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era tersebut rata-rata mencapai 7 persen per tahun. Investasi meningkat dengan laju yang menggembirakan dari 11 persen menjadi 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hanya saja dominasi perekonomian pada waktu itu ditopang oleh hanya satu sumber utama yaitu minyak bumi. Sumber utama penerimaan devisa saat itu sebanyak 80 persen berasal dari minyak bumi (Dumairy, 1996). Selama kurun dua pelita pertama ternyata terjadi ketidakmerataan pendapatan nasional dan regional. Secara nasional pada akhir PELITA II diketahui angka Gini Ratio Indonesia sebagai indikator pemerataan pendapatan mencapai 0,504. Koefisien Gini Ratio berkisar antara 0 1. Nilai Gini Ratio mendekati nol berarti distribusi pendapatan semakin baik dan jika mendekati 1 berarti distribusi semakin jelek. Secara regional berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat dan juga antara wilayah di Pulau Jawa dengan Luar Jawa (Dumairy, 1996) Kesadaran pentingnya pemerataan pembangunan muncul pada rencana pembangunan Indonesia selanjutnya terutama sejak PELITA III ( ). Pada masa ini pemerintah banyak mempersiapkan proyek-proyek pembangunan di berbagai daerah dengan tetap menempatkan kendali pembangunan pada pemerintah pusat di Jakarta. Salah satu wujud keberhasilan pembangunan adalah tercapainya swasembada beras tahun Banyak saluran irigasi dan areal pertanian yang 12

31 13 dibangun serempak untuk mencapai prestasi terebut. Hal yang sama juga dilakukan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan dibangunnya banyak sekolah-sekolah dasar berdasarkan Insturksi Presiden (INPRES) dan juga Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Pada PELITA IV ( ), target pertumbuhan ditetapkan hanya 5 persen per tahun, lebih rendah dari pada periode sebelumnya sebesar 6 persen per tahun. Pada masa ini peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan mulai ditingkatkan dengan adanya deregulasi dan debirokratisasi. Pada PELITA V ( ) pertumbuhan ekonomi mencapai 6,7 persen per tahun. Paket deregulasi dan debirokratisasi tetap dilanjutkan sehingga dapat meningkatkan ekspor komoditas non migas. Pada PELITA VI ( ) pemerintah mengalami persoalan beban utang luar negeri yang sangat berat yang merupakan akumulasi pembiayaan pembangunan tahun-tahun sebelumnya (Dumairy, 1996). Terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997 mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah memerintah selama kurang lebih 32 tahun. Persoalan yang ditinggalkan pemeritahan orde baru yang paling memberatkan adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 1998 yaitu sebesar -6,21 persen (Bappenas, 1998). Pemerintah saat ini menyadari kelemahan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dan mulai menerapkan pendekatan pembangunan yang lain. Salah satu pendekatan pembangunan yang diterapkan adalah pendekatan pembangunan manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Salah satu misi pembangunan yang tertuang dalam GBHN tahun adalah perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. 13

32 Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Menurut Todaro dan Smith (2003) pembangunan memiliki tiga nilai inti yaitu tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Kemampuan hidup diartikan kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup. Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan minimal yang diperlukan manusia untuk hidup dengan layak. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan akan pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan. Kebutuhan dasar di atas dapat dibuat bertingkat tergantung urgensinya. Menurut Sumardjo (2007), Asian Bank Development (ADB) telah menetapkan bahwa hierarki kebutuhan dasar tersebut diawali dengan kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) seperti kebutuhan akan makanan dan gizi, kesehatan, sanitasi dan air bersih serta kebutuhan akan pakaian yang layak. Pada tahap selanjutnya adalah kebutuhan akan keamanan (security) yang meliputi perumahan, pekerjaan, pendapatan dan kedamaian. Pada tahap akhir terdapat kebutuhan untuk berkembang (enabling) yang meliputi pendidikan dasar, partisipasi, peranan keluarga dan psikososial. Konsep tingkat kebutuhan manusia yang terkenal adalah yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Kebutuhan manusia menurut pendapat Maslow bertingkattingkat. Tingkatan kebutuhan tersebut secara berurut adalah (1) kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tidur, berkeluarga dan kebutuhan dasar lainnya, (2) kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan akan kasih sayang, (4) kebutuhan 14

33 15 akan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, dan (5) kebutuhan akan aktualisasi diri (Flippo, 1990). Kesadaran akan perlunya pemahaman mengenai kebutuhan dasar manusia sangat penting. Setiap pemerintahan wajib mendahulukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebelum memenuhi kebutuhan yang lainnya. Perserikatan Bangsabangsa (PBB) juga telah menetapkan perlunya pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebagai bagian dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB yang dibuat pada tanggal 10 Desember Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah menetapkan satu kebijakan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun Pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam pembangunan saat ini telah diakui di tingkat internasional. PBB dalam hal ini telah menetapkan suatu tujuan pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) pada September Tujuan pembangunan milenium pada intinya bertumpu pada konsep pembangunan manusia. Melalui delapan tujuan yang ditetapkan dalam MDGs, pembangunan manusia seutuhnya diharapkan dapat dicapai. Keterkaitan antara tujuan MDGs dengan pembangunan manusia dapat dilihat pada Tabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Satu kesulitan yang ditemukan dalam penerapan konsep pembangunan manusia adalah dalam hal mengukur tingkat keberhasilan pembangunan. Hal ini terjadi karena konsep tersebut menempatkan manusia sebagai pusat dari keseluruhan proses pembangunan. Pembangunan manusia mencakup hampir semua aspek 15

34 16 kehidupan manusia mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, kesetaraan jender, kesempatan memperoleh pekerjaan, gizi anak, hingga kemampuan untuk membaca dan menulis bagi orang dewasa. Untuk keperluan mengukur hasil-hasil pembangunan manusia, PBB melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan sebuah tolok ukur khusus yang dikenal sebagai human development index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya (UNDP, 2003). Tabel 3. Keterkaitan Millenium Development Goals dengan Pembangunan Manusia Indikator Pembangunan Manusia Hidup yang sehat dan usia yang panjang Pendidikan yang memadai Standar kehidupan yang layak Kondisi Penting Untuk Pembangunan Manusia Kebebasan politik dan sosial dalam kehidupan bermasyarakat Kelestarian Lingkungan Kesetaraan terutama kesetaraan jender Menyelaraskan lingkungan ekonomi global Sumber : UNDP (2003) Millenium Development Goals Tujuan 4,5,6 : menunrunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan menangani penyakit utama Tujuan 2,3 : menuntaskan pendidikan dasar, kesetaraan jender dalam pendidikan, dan memberdayakan wanita Tujuan 1 : mengurangi kemiskinan dan kelaparan Keterkaitan dengan Millenium Development Goals Tidak termasuk tujuan tetapi termasuk sasaran yang penting dalam MDG Tujuan 7 : menjamin kelestarian lingkungan Tujuan 3 : mempromosikan kesetaraan jender dan pemberdayaan wanita Tujuan 8 : memperkuat kemitraan negara kaya dan negara miskin Menurut UNDP (2003), IPM pada dasarnya adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktorfaktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni: 16

35 17 1. Usia yang panjang dan sehat, diukur dengan angka harapan hidup (AHH), 2. Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis atau angka melek huruf (AMH) dengan pembobotan dua per tiga serta angka partisipasi kasar atau ratarata lama sekolah (RLS) dengan pembobotan satu per tiga 3. Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS. Gambar 4. Bagan Alir penetapan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) Metodologi penghitungan angka IPM pada dasarnya cukup mudah. Pertama kali harus diketahui data berupa : angka harapan hidup (AHH) dalam satuan tahun, angka melek huruf (AMH) dalam persentase penduduk, angka rata-rata lama sekolah (RLS) dalam satuan tahun dan angka pengeluaran per kapita dalam satuan mata uang. Masing-masing data ini kemudian diubah menjadi indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya berli dengan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan oleh UNDP sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. 17

36 18 Tabel 4. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Komponen IPM Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Konsumsi Per Kapita Sumber : BPS Kab. Bogor (2005) Nilai Nilai Keterangan Maksimum Minimum Standar UNDP Standar UNDP 15 0 Standar UNDP Standar UNDP yang disesuaikan Untuk memudahkan penjelasan dimisalkan data awal komponen IPM diketahui sebagai berikut : AHH : 67,8 tahun, AMH : 90,1%, RLS : 7 tahun dan konsumsi per kapita : Rp per bulan. Indeks dihitung dengan rumus : Indeks x(i) = [x(i) x(i) min] / [x(i) maks x(i) min] Dengan demikian indeks kesehatan diperoleh sebesar : (67,8 25) / (85 25) = 0,713. Indeks pendidikan ditentukan oleh dua komponen yaitu AMH dan RLS dengan proporsi 2/3 untuk AMH dan 1/3 untuk RLS. Oleh karena itu indeks pendidikan diperoleh sebesar : {(2/3) x [(90,1 0) / (100 0)]} + {(1/3) x [(7-0) / (15 0)]} = 0,756. Adapun indeks daya beli diperoleh sebesar : (576,3 300) / (732,7 300) = 0,636. Angka IPM dihitung dengan persamaan : IPM = (1/3) x (indeks kesehatan + indeks pendidikan + indeks daya beli) maka diperoleh IPM = (1/3) x [0, , ,632] = 0,701. Untuk memudahkan pembacaan angka IPM tersebut kemudian dikalikan 100 sehingga dinyatakan IPM sebesar = 70,10, (BPS Kab. Bogor, 2005). Penghitungan yang lebih rumit diperlukan pada waktu menentukan besaran AHH, AMH, RLS dan daya beli. 18

37 19 Penghitungan akan bertambah rumit jika data dasar yang diperlukan berkenaan dengan komponen-komponen tersebut kurang tersedia sebagaimana sering terjadi di Indonesia Peran Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Indikator yang terdapat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu indikator pendidikan, kesehatan dan daya beli merupakan indikator yang menggambarkan keberhasilan pembangunan sosial ekonomi di satu wilayah. Penerapan otonomi daerah di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1999 telah memberikan beban tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya peningkatan angka IPM. Berdasarkan UU 22/99 yang telah diperbaharui oleh UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan meliputi penanganan bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pertanian dalam arti luas, perindustrian dan perdagangan, transportasi dan sebagainya. Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian yang besar pada upaya peningkatan angka IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pemerintah RI memberikan Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada tiap daerah untuk keperluan pembangunan daerah. Menurut salah satu ketentuan yang ditetapkan dalam PP 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan pasal 40 disebutkan : 1. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. 2. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. 19

38 20 3. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 4. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH). 5. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Menurut ketentuan di atas tertulis jelas bahwa pemberian Dana Perimbangan dari pemerintah pusat salah satunya adalah dalam rangka meningkatkan angka IPM di tiap daerah. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa sejak tahun 1999 pemerintah pusat telah mengalokasikan dan menyalurkan DAU kepada setiap propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan. Pada tahun 2004, pemerintah mengalokasikan DAU untuk 32 propinsi di Indonesia sebesar Rp. 80,3 triliun. Alokasi DAU tersebut menghasilkan angka IPM Indonesia tahun 2005 sebesar 68,7. IPM tersebut adalah IPM kumulatif dari seluruh IPM yang ada di tiap daerah. Menurut Siregar (2007) pada kenyataannya korelasi antara DAU per kapita dengan pertumbuhan angka IPM sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa DAU tidak banyak digunakan untuk menghasilkan program-program pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menunjang pertumbuhan angka IPM. Besaran DAU per kapita tahun 2004 dan angka IPM yang dicapai tahun 2005 untuk 30 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. 20

39 21 Tabel 5. Dana Alokasi Umum (DAU) per kapita (Rp. Ribu) tahun 2004 dan IPM tahun 2005 No 1 Papua Propinsi 2 M a l u k u 3 Kalimantan Tengah 4 Maluku Utara 5 Gorontalo DAU/ Kapita IPM 2005 No 1, Sulawesi Tengah Nusa Tenggara 7 Timur Sulawesi Tenggara 9 Aceh 10 Sulawesi Utara 11 B e n g k u l u J a m b i Kep. Bangka 13 Belitung Kalimantan Timur 15 Sumatera Barat Sumber : Depkeu (2004), diolah Propinsi DAU/ Kapita IPM 2005 Kalimantan Selatan Kalimantan Barat B a l i Sulawesi Selatan DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara R i a u Sumatera Selatan L a m p u n g Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Banten DKI Jakarta

40 22 BAB III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Peningkatan APBD idealnya dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD untuk meningkatkan IPM secara optimal salah satunya ditentukan oleh alokasi APBD untuk kepentingan pelayanan publik terutama untuk pelayanan pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Oleh karena itu hal utama yang harus diketahui adalah pengaruh alokasi APBD terutama belanja aparatur dan belanja publik terhadap kenaikan IPM. Kajian terdahulu yang dilakukan Cardiman (2006) memperlihatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari alokasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD dengan angka IPM di Kota Bekasi. Pengaruh belanja publik dan belanja aparatur terhadap angka IPM bersifat positif. Kajian pembangunan daerah ini disusun untuk mengetahui pengaruh alokasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap kenaikan angka IPM Kab. Bogor. Setelah kita mengetahui pengaruh alokasi APBD terhadap IPM, maka hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana alokasi APBD tersebut digunakan. Jika alokasi untuk sektor kesehatan, pendidikan dan perekonomian digunakan untuk membiayai program-program yang berdampak langsung terhadap angka IPM, maka kenaikan IPM dapat optimal. Angka IPM sangat dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah (RLS), angka melek huruf (AMH), angka harapan hidup (AHH) dan daya beli per kapita. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006), banyak faktor yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan angka IPM. Faktorfaktor tersebut dapat diuraikan berdasarkan masing-masing indeks pendidikan, 22

41 23 kesehatan dan daya beli. Selain penyebab langsung, terdapat juga penyebab tidak langsung level 1 dan level 2 serta penyebab mendasar. Jika pengaruh masing-masing faktor terhadap masing-masing komponen IPM dapat diketahui, maka pembiayaan program-program APBD yang berkaitan langsung dengan hal tersebut dapat meningkatkan angka IPM secara optimal. Gambaran mengenai faktor-faktor penyebab langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan derajat pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli serta kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7. IPM DERAJAT PENDIDIKAN INDIKATOR RATA-RATA LAMA SEKOLAH ANGKA MELEK HURUF PENYEBAB LANGSUNG PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 1 PARTISIPASI PENDIDIKAN (SD, SMP, SMA) KUANTITAS GURU DROP OUT KUALITAS GURU PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 2 KUALITAS KUANTITAS BIAYA AKSESIBILITAS SARANA DAN SARANA DAN PENDIDIKAN (JARAK/JALAN) PRASARANA PRASARANA PENDIDIKAN PENDIDIKAN PENEYBAB MENDASAR DAYA BELI MOTIVASI KELEMBAGAAN ALOKASI (KEMISKINAN) DUKUNGAN MASYARAKAT ANGGARAN KELUARGA Gambar 5. Penyebab langsung dan tidak langsung perubahan derajat pendidikan (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa indikator peningkatan derajat pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf. (AMH). Besar kecilnya angka rata-rata lama sekolah dipengaruhi langsung oleh tingkat 23

42 24 partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal (jenjang SD, SLTP dan SLTA). Ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat partisipasi sekolah adalah angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). 2 Angka melek huruf dipengaruhi secara langsung oleh banyaknya siswa yang putus sekolah dan juga banyaknya jumlah penduduk buta huruf. Secara umum penyebab tidak langsung yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah kuantitas dan kualitas guru. Semakin baik kuantitas dan kualitas guru maka akan semakin meningkatkan partisipasi dan menurunkan jumlah putus sekolah. Penyebab tidak langsung yang lain adalah kuantitas dan kualitas sarana pendidikan, biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana pendidikan. Faktor kuantitas dan kualitas sarana pendidikan menentukan dalam hal ketersediaan daya tampung sekolah. Semakin banyak dan semakin baik sarana pendidikan akan meningkatkan partisipasi sekolah dan mengurangi angka putus sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada faktor kemudahan menjangkau sarana sekolah. Semakin mudah sarana sekolah dijangkau oleh masyarakat akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan angka putus sekolah. Penyebab mendasar yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah daya beli, dukungan keluarga, kelembagaan di masyarakat dan alokasi anggaran pendidikan. Penyebab mendasar daya beli mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah terutama dalam hal biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana pendidikan. 2) Ada tiga jenis APK yaitu APK SD, APK SLTP dan APK SLTA. APK SD adalah rasio jumlah murid sekolah SD semua umur dengan jumlah anak umur 7-12 tahun, APK SLTP adalah rasio jumlah murid SLTP semua umur dengan jumlah anak umur SD dan APK SLTA adalah rasio jumlah murid SLTA semua umur dengan jumlah anak umur tahun. Angka partisipasi murni juga ada tiga yaitu APM SD, APM SLTP dan APM SLTA. APM SD adalah rasio jumlah murid SD umur 7-12 tahun dengan jumlah anak umur 7-12 tahun, APM SLTP adalah rasio jumlah murid SLTP umur tahun dengan jumlah anak umur tahun, dan APM SLTA adalah jumlah murid SLTA umur tahun dengan jumlah anak umur tahun. 24

43 25 Masyarakat yang memiliki daya beli rendah tidak mampu menyediakan biaya pendidikan yang memadai dan biaya transportasi untuk sekolah anak-anaknya. Faktor dukungan keluarga berkaitan erat dengan faktor daya beli. Dukungan keluarga yang lemah dalam menyekolahkan anak-anaknya umumnya terjadi pada keluarga yang memiliki daya beli rendah. Mereka lebih menginginkan anak-anaknya bekerja dari pada menempuh pendidikan. Pada keluarga yang memilik daya beli relatif baik, motivasi keluarga untuk menyekolahkan anak-anaknya relatif tinggi. Adapun faktor kelembagaan masyarakat lebih berkaitan dengan penyediaan pendidikan non formal untuk menampung siswa yang putus sekolah. Semakin baik kelembagaan di masyarakat akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menekan buta huruf. Kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sejenis partisipasi masyarakat untuk membantu sektor pendidikan terutama untuk menyelenggarakan berbagai macam jenis pendidikan non formal seperti pendidikan buta aksara, SLTP terbuka dan lain sebagainya. Penyebab mendasar alokasi anggaran pemerintah berkaitan dengan kemampuan pemerintah menyediakan sarana pendidikan yang memadai bagi masyarakat baik kuantitas maupun kualitasnya. Semakin besar alokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan maka akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan angka buta huruf. Alokasi anggaran yang dimaksud bukan hanya untuk penyediaan sarana pendidikan tetapi juga untuk perbaikan kesejahteraan guru termasuk penyediaan subsidi bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. 25

44 26 IPM DERAJAT KESEHATAN INDIKATOR ANGKA HARAPAN HIDUP ANGKA KEMATIAN BAYI ANGKA KEMATIAN IBU PENYEBAB LANGSUNG GIZI BALITA GIZI IBU PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 1 PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 2 KUANTITAS PELAYANAN KONSUMSI PENYAKIT INFEKSI PERSALINAN DIBANTU MEDIS MAKANAN BERGIZI IKUTAN TENAGA KESEHATAN JUMLAH TENAGA DISTRIBUSI SARANA DAN PRASARANA KEMAMPUAN MEMBIAYAI MEDIS DAN NON KESEHATAN KESEHATAN PENEYBAB MENDASAR KONDISI SANITASI KESADARAN KEMISKINAN KELEMBAGAAN AKSESIBILITAS LINGKUNGAN PERILAKU HIDUP MASYARAKAT THD SARANA BERSIH DAN SEHAT KESEHATAN HORIZONTAL CAUSALITY Gambar 6. Penyebab langsung dan penyebab tidak langsung perubahan derajat kesehatan (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa derajat kesehatan memiliki indikator tunggal yaitu angka harapan hidup (AHH). Angka harapan hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah angka harapan hidup waktu lahir yaitu perkiraan ratarata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Besaran AHH dipengaruhi oleh angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu saat melahirkan (AKI). Angka kematian bayi adalah besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan per seribu kelahiran hidup. Penyebab langsung yang mempengaruhi AKB antara lain adalah tingkat gizi balita sedangkan penyebab yang mempengaruhi AKI adalah tingkat gizi ibu saat mengandung. Semakin baik tingkat gizi dipastikan akan semakin mengurangi AKB 26

45 27 dan AKI. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi AKB dan AKI adalah jumlah pelayanan medis, pelayanan gizi, penanggulangan penyakit dan penanganan persalinan. Semakin baik berbagai pelayanan kesehatan yang diperlukan akan semakin menekan AKB dan AKI. Penyebab tidak langsung lain yang mempengaruhi AKB dan AKI adalah ketersediaan tenaga medis, sebaran sarana dan prasarana kesehatan serta kemampuan masyarakat untuk membiayai layanan kesehatan. Faktor ketersediaan tenaga medis yang memadai dan sebaran sarana kesehatan yang merata ke setiap wilayah akan semakin mengurangi AKB dan AKI. Adapun faktor kemampuan membiayai kesehatan adalah juga faktor yang sangat penting. Semakin baik daya beli masyarakat maka akan semakin mudah membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan. Penyebab mendasar dari semua hal yang mempengaruhi derajat kesehatan sebenarnya adalah budaya hidup sehat dan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan tempat tinggal. Penyebab mendasar lainnya adalah kemiskinan, kelembagaan masyarakat dan kemudahan menjangkau fasilitas kesehatan. Kemiskinan dan budaya hidup sehat saling mempengaruhi satu sama lain. Semakin tinggi kemiskinan akan semakin sulit budaya hidup sehat diterapkan. Penyebab mendasar kelembagaan di masyarakat sebetulnya berkaitan erat dengan budaya hidup sehat. Pada masyarakat yang budaya hidup sehatnya baik, kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan akan mudah terbentuk. Nilai-nilai seperti kewajiban menjaga kebersihan, membuang sampah pada tempatnya hingga pembentukan lembaga sosial yang mengurusi soal kesehatan adalah contoh kelembagaan kesehatan yang ada di masyarakat. 27

46 28 IPM DAYA BELI INDIKATOR KONSUMSI PER KAPITA PENYEBAB LANGSUNG TINGKAT PENDAPATAN) SERAPAN TENAGA KERJA PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 1 PERTUMBUHAN EKONOMI KUALITAS SDM DISTRIBUSI PENDAPATAN PENYEBAB TIDAK LANGSUNG LEVEL 2 PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKLIM INVESTASI LAJU INVESTASI ALAM PENEYBAB MENDASAR KEMISKINAN KUALITAS KELEMBAGAAN ENTREPRENEURSHIP AKSES THD INFRASTRUKTUR EKONOMI LEMBAGA WILAYAH MASYARAKAT EKONOMI KONDISI MAKRO NASIONAL Gambar 7. Penyebab langsung dan penyebab tidak langsung perubahan daya beli (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa daya beli memiliki indikator tunggal berupa konsumsi per kapita. Semakin tingginya konsumsi per kapita semakin memperlihatkan tingginya daya beli. Penyebab langsung yang mempengaruhi daya beli adalah besarnya tingkat pendapatan masyarakat dan serapan tenaga kerja. Masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan memadai akan meningkatkan jumlah konsumsi per kapita. Hal yang sama juga terjadi pada penyebab berupa serapan tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri akan semakin meningkatkan jumlah masyarakat yang berpenghasilan sehingga otomatis akan berpeluang meningkatkan jumlah konsumsi per kapita. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah pertumbuhan ekonomi, kualitas sumber daya manusia dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi sangat berkaitan erat dengan konsumsi per kapita. Adanya 28

47 29 pertumbuhan ekonomi berarti adanya kenaikan angka Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu komponen pembentuk PDB adalah konsumsi masyarakat di samping terdapat komponen lain seperti belanja pemerintah, investasi swasta dan selisih ekspor-impor. Penyebab tidak langsung kualitas sumber daya manusia berkaitan erat dengan peluang serapan tenaga kerja. Semakin baik kualitas SDM yang ada akan semakin meningkatkan serapan tenaga kerja. Penyebab berupa distribusi pendapatan berperan dalam meningkatkan pemerataan pendapatan yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi. Semakin baik distribusi pendapatan akan berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita. Jika distribusi pendapatan kurang baik maka ada kecenderungan pada masyarakat berpenghasilan tinggi untuk menabung dari pada mengeluarkan konsumsi. Penyebab tidak langsug lainnya yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah pemanfaatan sumber daya alam (SDA), tingkat investasi. Pemanfaatan SDA berkaitan erat dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semakin baik pemanfaatan SDA akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada penyebab berupa tingkat investasi. Semakin baik iklim investasi maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penyebab mendasar yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah kemiskinan, kualitas infrastruktur wilayah, kelembagaan ekonomi masyarakat dan kewirausahaan masyarakat serta kemudahan menjangkau permodalan. Kemiskinan yang tinggi dipastikan akan menyebabkan rendahnya konsumsi per kapita. Rendahnya kualtias dan kuantitas infrastruktur wilayah seperti jalan dan jembatan juga akan menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Kualitas dan kuantitas infrastruktur yang baik akan memperlancar arus barang dan jasa yang berarti juga 29

48 30 meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penyebab berupa kelembagaan masyarakat di sektor ekonomi, motivasi kewirausahaan di masayarakt dan kemudahan menjangkau permodalan sangat berkaitan erat. Motivasi wirausaha akan lahir jika kelembagaan ekonomi di masyarakat berjalan dengan baik dan juga adanya kemudahan menjangkau permodalan yang diperlukan dalam wirausaha. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat pendidikan, kesehatan dan daya beli di atas adalah faktor-faktor yang akan dibahas dalam penelitian ini. Setelah faktor-faktor penting yang mempengaruhi masing-masing komponen dalam IPM diketahui, maka kajian dilanjutkan dengan menentukan prioritas program pembangunan untuk masing-masing sektor. Hasil akhir dari kajian yang dilakukan adalah rekomendasi program pembangunan yang dapat dibiayai oleh APBD. Secara umum kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini adalah seperti Gambar 8. APBD Kesehatan Pendidikan Perekonomian Lainnya AHH AMH RLS PPP Gizi buruk Tkt. Imunisasi Kemiskinan, dll PKBM Peserta PKBM Kemiskinan, dll Daya tampung Tkt. Kelulusan Kemiskinan, dll Lapangan Kerja Tkt. Kemiskinan Tkt. Investasi, dll Strategi Perancangan APBD dengan AHP (Analytical Hierarchy Process) APBD berorientasi IPM Gambar 8. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan APBD Untuk Meningkatkan IPM 30

49 Metode Penelitian Dan Kajian Metode yang digunakan dalam kajian pembangunan daerah ini meliputi metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data serta metode perancangan program. Hasil akhir dari kajian pembangunan daerah ini adalah berupa rekomendasi program dan kebijakan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah terutama berkaitan dengan strategi perancangan APBD yang dapat mengoptimalkan peningkatan kualitas pembangunan manusia. Ukuran yang digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia dalam hal ini adalah indeks pembangunan manusia (IPM) Lokasi Penelitian dan Kajian Lokasi pelaksanaan penelitian dan kajian ini adalah di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kajian ini dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan. Adapun unit analisis yang menjadi sasaran penelitian adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Aspek yang dikaji adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejak tahun 1997 sampai 2006 dan pertumbuhan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sejak tahun 1997 sampai Metode Pengolahan Dan Analisis Data Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang berasal dari BPS Kab. Bogor, Pemda Kab. Bogor dan BAPPEDA Kab. Bogor serta instansi teknis yang ada di Kabupaten Bogor seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Bagian Perekonomian Kab. Bogor. Untuk mengetahui pengaruh APBD terhadap IPM digunakan metode analisis regresi 31

50 32 berganda (multiple regression). Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan IPM digunakan metode reduksi Shortfall yang ditetapkan oleh United Nation Development Program (UNDP). Adapun untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor dugaan terhadap indeks kesehatan, indeks pendidikan dan daya beli, dilakukan metode penyajian menggunakan statistika deskriptif Metode Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang digunakan untuk menduga nilai variabel terikat (dependent) dengan menggunakan lebih dari satu variabel bebas (independent). Parameter penting yang dihasilkan dari analisis regresi berganda yang bermanfaat untuk mengambil kesimpulan adalah : (1) koefisien determinasi yang menggambarkan persentase keragaman variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas di mana nilai koefisien determinasi semakin mendekati 100% berarti semakin baik, (2) selang kepercayaan model yang menggambarkan tingkat perbedaan nyata (signifikan) dari persamaan yang digunakan yang nilainya biasanya adalah 90 95% (alfa : 0,1 atau alfa : 0,05), (3) nilai intersep dan nilai koefisien model beserta selang kepercayaannya masing-masing yang menggambarkan berapa nilai intersep dan nilai koefisien masing-masing variabel bebas beserta selang kepercayaannya di mana nilai-nilai ini kemudian dapat disusun menjadi sebuah persamaan regresi berganda. Untuk mengetahui pengaruh realisasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap IPM dilakukan analisis regresi berganda dengan variabel terikat angka IPM dan variabel bebasnya adalah realisasi belanja publik dan realisasi belanja aparatur dalam APBD. Angka realisasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD yang digunakan adalah angka realisasi belanja yang sudah dihilangkan pengaruh inflasinya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : 32

51 33 Y(t) = ßo + ß1 A(t) + ß2 B(t) + ε(t).... ( 1) Di mana : Y(t) A(t) B(t) ßo ßi, i = 1,2,3 ε(t) : Indeks Pembangunan Manusia Tahun ke-t : Realisasi Belanja Aparatur Tahun ke-t : Realisasi Belanja Publik Tahun ke-t : Koefisien Intersep : Parameter Regresi : Error term Metode Reduksi Shortfall Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi Shortfall per tahun. Ukuran ini secara sederhana menujukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal yaitu IPM = 100 (BPS Kab. Bogor, 2005). Prosedur perhitungan reduksi Shortfall dirumuskan sebagai berikut : (IPM t+n IPM t) x 100 1/n R =... (IPM ideal IPM t) (2) Di mana : IPM t : IPM pada tahun t IPM t+n : IPM pada tahun t+n IPM ideal : 100 Untuk menentukan klasifikasi pertumbuhan IPM, UNDP telah menetapkan tiga klasifikasi. Klasifikasi tersebut terdiri dari klasifikasi pertumbuhan IPM cepat, pertumbuhan IPM sedang dan pertumbuhan IPM lambat. Rincian ketentuan mengenai klasifikasi pertumbuhan IPM yang ditetapkan oleh UNDP dapat dilihat pada Tabel 6. 33

52 34 Tabel 6. Klasifikasi Pertumbuhan IPM Menurut UNDP Klasifikasi Pertumbuhan IPM Angka Reduksi Shortfall Cepat R > 1,70 Sedang 1,50 < R < 1,70 Lambat R < 1,50 Sumber : BPS Kab. Bogor (2005) Metode Statistika Deskriptif Metode statistika deskriptif dalam kajian ini digunaka untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi IPM baik sektor pendidikan, kesehatan maupun perekonomian. Statistika deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat (Walpole, 1992). Beberapa metode statistika deskriptif yang digunakan adalah : penyajian data dalam bentuk grafik, penentuan nilai rata-rata, penentuan trend atau kemiringan data, dan beberapa metode statistika deskriptif lainnya Metode Perancangan Program Perancangan program merupakan tahap penyampaian hasil kajian kepada para stakeholder pembangunan daerah yang meliputi unsur pemerintahan, masayarakat dan pihak swasta. Respon dari para stakeholder dihimpun sedemikian rupa sehingga menjadi strategi penerapan hasil kajian. Respon para stakeholder juga diperlukan untuk menentukan prioritas program pembangunan daerah yang akan disusun dalam kajian. Pemaparan atau sosialisasi program disampaikan kepada beberapa pihak di lingkungan Pemda Kab. Bogor dan juga masyarakat untuk mendapat tanggapan. Jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak 12 orang terdiri dari unsur 34

53 35 Pemerintah Kab. Bogor terutama dari BAPPEDA, anggota DPRD Kab. Bogor terutama pimpinan komisi, masyarakat terutama akademisi dan pihak swasta terutama kontraktor dan perusahaan swasta.. Data respon para stakeholder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT untuk menentukan strategi perencanaan pembangunan dan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun prioritas program pembangunan daerah yang dapat dibiayai oleh APBD Metode Analisis SWOT Metode analisis SWOT pertama kali dikembangkan oleh Albert Humphrey dari Stanfrod University AS pada tahun Metode analisis SWOT merupakan metode yang ditujukan untuk menyusun strategi perencanaan (strategic planning) bagi program dan kegiatan organisasi yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal organisasi yang bersangkutan. Kondisi internal organisasi dikelompokkan dalam kategori S (strength atau kekuatan) dan W (weakness atau kelemahan). Kondisi eksternal organisasi dikelompokkan dalam kategori O (opportunity atau peluang) dan T (threat atau ancaman). Metode analisis SWOT terdiri dari beberapa tahap pengerjaan yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data yang merupakan tahap sangat penting dalam analisis. Semakin akurat data yang digunakan maka akan semakin tepat keputusan yang akan dibuat. Data yang dikumpulkan diusahakan berkaitan dengan data keadaan internal organisasi dan juga keadaan eksternal yang berpengaruh terhadap organisasi. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dalam matriks faktor strategi internal dan matriks faktor strategi eksternal. Bentuk matriks adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7. 35

54 36 Tabel 7. Faktor Strategi Eksternal dan Faktor Strategi Internal Faktor Strategi Internal Bobot Rating Bobot x Rating Kekuatan Total Kekuatan Kelemahan Total Kelemahan TOTAL FAKTOR INTERNAL 1,0 Peluang Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Bobot x Rating Total Peluang Ancaman Total Ancaman TOTAL FAKTOR EKSTERNAL 1,0 Sumber : Rangkuti (2001) Pengisian matrik dimulai dengan mengisi kolom faktor strategi internal dan eksternal yang disesuaikan dengan kelompok kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman. Bobot masing-masing faktor ditetapkan dengan skala 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting) berdasarkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis organisasi. Semua penjumlahan angka bobot tidak boleh melebihi 1,0 pada faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun faktor eksternal (peluang dan ancaman). Pengisian rating masing-masing faktor ditetapkan dengan skala 4 (sangat baik) sampai 1 (buruk) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi. 36

55 37 Tahap analisis dimulai dengan menghitung perkalian bobot dengan rating dari faktor-faktor internal dan eksternal. Berdasarkan nilai perkalian tersebut dapat ditentukan komponen yang paling besar nilainya pada faktor internal dan faktor eksternal. Masing-masing komponen yang memiliki nilai terbesar tersebut dijadikan sebagai komponen yang paling berpengaruh dalam organisasi. Tahap pengambilan keputusan dilakukan dengan membuat matrik strategi SWOT dan menetapkan pilihan strategi berdasarkan komponen yang paling berpengaruh baik dari faktor internal maupun eksternal. Matriks strategi SWOT dapat dilihat pada Gambar 9. Faktor Eksternal Faktor Internal Opportunities (O) atau Peluang Threats (T) atau Ancaman Sumber : Rangkuti (2001) Strengts (S) atau Kekuatan Strategi S-O atau Progresif menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi S-T atau Diversifikasi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Weakness (W) atau Kelemahan Strategi W-O atau Korektif mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi W-T atau Defensif mengatasi kelemahan untuk menghindari ancaman Gambar 9. Matriks Pilihan Strategi Dalam Analisis SWOT Metode Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode analisa yang digunakan untuk mengambil keputusan yang komplek dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L. 37

56 38 Saaty pada tahun Beberapa keunggulan dari AHP antara lain : (1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan, (2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias), (3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan. Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menerapkan AHP adalah : 1. menentukan hirarki yaitu merumuskan persoalan dalam bentuk struktur berupa diagram pohon yang terdiri dari tujuan, kriteria dan alternatif. 2. tahap menetapkan prioritas yaitu menentukan prioritas dari masing-masing kriteria atau sub kriteria dengan membandingkannya satu sama lain. Untuk melakukan pembandingan digunakan skala banding seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP Intensitas Keterangan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen lainnya 5 Elemen yang satu lebih penting dibanding elemen lainnya 7 Elemen yang satu jelas lebih penting dibanding elemen lainnya 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Sumber : Saaty (1988) 3. tahap sintesis yaitu penyatuan keputusan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas tiap elemen. 4. tahap mempertimbangkan konsistensi untuk menjamin semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. 38

57 39 Metode AHP dalam kajian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak EXPERT CHIOICE 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc. Pengambilan keputusan dalam kajian ini dilakukan untuk tiga sektor yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi atau daya beli. Hasil akhir dari keputusan yang dibuat dengan AHP adalah rekomendasi program APBD yang menjadi prioritas untuk masing-masing sektor. Hirarki pemilihan program pembangunan yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 10. Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor Pelaku Pemerintahan Swasta Masyarakat Pembangunan Daerah Kendala Aspek Aspek Aspek Aspek Aspek Pembangunan Biaya Kebijakan Aparatur Manfaat Partisipasi Alternatif Program Program Program Pembangunan Bid. Pendidikan Bid. Kesehatan Bid. Ekonomi Gambar 10. Hirarki Pemilihan Program Pembangunan Di Kabupaten Bogor 39

58 40 BAB IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BOGOR 4.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Bogor adalah salah satu dari 25 kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa barat. Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah sebesar Ha. Secara geografis letak Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok dan Kab. Tangerang Propinsi Banten di sebelah Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Karawang, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Lebak. Meski tidak berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, namun jarak antara pusat Kabupaten Bogor dengan Jakarta hanya sekitar 60 km yang dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang satu jam. Keadaan ini memperlihatkan letak strategis Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga ibukota negara (Gambar 11). Jakarta Bekasi Bogor Sukabumi Cianjur Karawang Subang Purwa karta Bandung Sumedang Indramayu Maja leng ka Cirebon Kuningan Garut Tasik malaya Ciamis Gambar 11. Peta Kabupaten/Kota di Jawa Barat 40

59 41 Wilayah Kabupaten Bogor ditinjau dari aspek fisik memiliki ketinggian tempat antara m dpl (di atas permukaan laut). Oleh karena itu willayah Kabupaten Bogor terdiri dari dataran rendah, dataran menengah dan dataran tinggi. Komposisi wilayah berdasarkan ketinggian adalah dataran rendah (29,28%), dataran menengah (42,62%) dan dataran tinggi (28,39%). Salah satu ciri khas dari Kabupaten Bogor adalah curah hujan tahunannya yang relatif tinggi yaitu antara mm per tahun dengan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai Maret. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 411 desa dan 17 kelurahan. Ibukota Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Cibinong yang letaknya relatif tepat di tengah wilayah Kabupaten Bogor. Gambaran lokasi ibukota Kabupaten Bogor dan kecamatan-kecamatan lainnya dapat dilihat pada Gambar 12. Pada tahun 2005 tercatat jumlah Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Kabupaten Bogor sebanyak RT dan RW. Tajur Halang Leuwi Sadeng Tenjolaya Tanjung Sari Cigombong Ibu Kota Kab. Bogor Gambar 12. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bogor (Setda Kab. Bogor, 2006) 41

60 42 Pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor sebagian besar didominasi oleh kawasan budidaya terbatas dan kawasan budidaya yang terletak di bagian Tengah dan Utara. Kawasan budidaya terbatas di bagian tengah diperuntukkan sebagian besar untuk pemukiman dan pertanian sedangkan kawasan budidaya diperuntukkan bagi pemukiman dan industri. Kawasan non budidaya yang terletak di bagian Selatan sebagian besar adalah kawasan yang dilindungi dan hanya sedikit yang diperuntukkan bagi pemukiman dan pertanian. Gambaran pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 13. Kawasan budidaya Kawasan budidaya terbatas Kawasan non budidaya Gambar 13. Pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Pola pemanfaatan ruang seperti disajikan di atas membawa konsekuensi pada beberapa hal salah satunya adalah dalam penyediaan infrastruktur jalan. Hingga tahun 2005 panjang jalan di Kabupaten Bogor tercatat sebesar 1.507,52 km. Infrastruktur jalan berangsur-angsur berkurang volume keluasannya dari kawasan budi daya, budidaya terbatas hingga kawasan non budidaya. Infrastruktur jalan relatif 42

61 43 lebih baik di kawasan budidaya daripada di kawasan budidaya terbatas. Demikian halnya dengan kawasan budidaya terbatas dan kawasan non budidaya. Hal ini dapat difahami karena sebagian besar penduduk tinggal di kawasan budidaya dan budidaya terbatas (Gambar 14). Jalan Negara Jalan Kabupaten Gambar 14. Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Dalam perjalanannya, pembangunan di Kabupaten Bogor tidak sepenuhnya menghasilkan pemerataan di tiap-tiap kecamatan. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006) terdapat sekitar 8 kecamatan yang relatif tertinggal dari segi tingkat perkembangan wilayahnya, 21 kecamatan yang masuk kategori berkembang dan 11 kecamatan yang masuk kategori maju. Pembagian kecamatan berdasarkan tingkat perkembangan wilayahnya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9. 43

62 44 Tabel 9. Komposisi Kecamatan dan Penduduk Berdasarkan Tingkat Perkembangan Wilayahnya Kategori Kurang Jumlah Penduduk Kategori Berkembang Jumlah Penduduk Kategori Maju Jumlah Penduduk Rumpin Cigudeg Sukajaya Nanggung Pamijahan Sk. makmur Cariu Tanjung Sari Parung Panjang Tenjo Jasinga Leuwiliang Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Tamansari Cijeruk Caringin Ciawi Sukaraja Bb. Madang Kemang Ranca Bungur Ciseeng Gn Sindur Klapanunggal Jonggol Cigombong Leuwisadeng Cileungsi Gn Putri Citeureup Cibinong Bojong Gede Parung Dramaga Ciomas Mg. Mendung Cisarua Tajur Halang JUMLAH JUMLAH JUMLAH Sumber : (Bappeda Kab. Bogor, 2006) 4.2. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2005 mencapai jiwa dengan komposisi laki-laki jiwa dan wanita jiwa (BPS Kab. Bogor, 2005). Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur memperlihatkan mayoritas penduduk Kabupaten Bogor berusia antara 5-14 tahun. Berdasarkan struktur penduduk maka piramida penduduk Kabupaten Bogor termasuk kedalam pola constrictive yang ditandai dengan penduduk yang berada dalam kelompok umur termuda jumlahnya sedikit. Secara umum terdapat tiga pola piramida penduduk yaitu pola constrictive, expansive dan stationary (Rusli, 2007). Ciri piramida penduduk yang 44

63 45 expanisve adalah sebagian besar penduduk berada dalam kelompok umur muda. Adapun ciri constrictive adalah penduduk yang berada dalam kelompok umur termuda jumlahnya sedikit. Piramida berbentuk stationary memperlihatkan keadaan jumlah penduduk dalam tiap kelompok umur relatif sama banyaknya kecuali pada kelompok umur tertentu. Secara empiris, piramida penduduk berubah dari struktur expansive ke arah stationary (250,000) (200,000) (150,000) (100,000) (50,000) - 50, , , , ,000 Laki- laki Perempuan Gambar 15. Piramida penduduk Kab. Bogor tahun 2005 Menurut BPS Kabupaten Bogor (2005), penduduk Kabupaten Bogor tergolong penduduk muda menuju transisi. Hal ini diperlihatkan oleh panjang batang piramida untuk kelompok umur 0-4, 5-9 dan tahun yang sedikit lebih panjang dari kelompok umur lainnya. Hal ini berarti ada kecenderungan komposisi penduduk di masa depan akan semakin didominasi oleh penduduk usia produktif. Perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan atau sex ratio di Kabupaten Bogor adalah sebesar 103,34. Hal ini berarti jumlah penduduk laki-laki lebih besar dari jumlah penduduk perempuan. Komposisi penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2005 berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel

64 46 Tabel 10. Komposisi Penduduk Kab. Bogor Berdasarkan Usia Tahun 2005 Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah Prosentase Sex Ratio , , , % 98.18% , , , % % , , , % % , , , % % , , , % 97.84% , , , % 99.73% , , , % 99.81% , , , % % , , , % % ,938 93, , % % ,210 74, , % % ,023 58, , % % ,851 75, , % 91.95% Jumlah 1,880,515 1,819,672 3,700, % % Sumber : BPS Kab. Bogor (2005) Problem Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam masalah penduduk saat ini adalah dalam hal besarnya jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang mencapai angka jiwa pada tahun 2005 merupakan jumlah penduduk terbesar ke dua di Propinsi Jawa Barat yang total penduduknya berjumlah jiwa (BPS, 2005). Tingginya jumlah penduduk Kabupaten Bogor di samping berasal dari pertambahan kelahiran juga berasal dari adanya perpindahan penduduk dari daerah lain. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor secara umum untuk periode relatif tinggi yaitu 3,94% (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Bogor dari sisi sosial budaya adalah tipikal masyarakat Jawa Barat yang sangat menjaga kerukunan dan mempertahankan tradisi turun 46

65 47 temurun dengan baik. Hal ini terwujud dalam semboyan Kabupaten Bogor yaitu Prayoga Tohaga Sayaga yang memiliki makna masyarakat Kabupaten Bogor yang mengutamakan persatuan, kekokohan dan kekuatan pendirian serta perjuangan untuk selalu siap siaga menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai cita-cita yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Kondisi sosial budaya masyarakat Kabupaten Bogor dalam perjalanannya mengalami perubahan-perubahan akibat pengaruh dari daerah sekitarnya. Masyarakat yang tinggal di wilayah bagian Utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta mengalami perubahan sosial menjadi lebih terbuka terhadap perkembangan dan mengarah kepada tipikal masyarakat perkotaan. Masyarakat yang tinggal di wilayah bagian Selatan (berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi), wilayah bagian Timur (berbatasan dengan Kab. Cianjur) dan wilayah bagian Barat (berbatasan dengan Propinsi Banten) cenderung lebih rentan terhadap perubahan dan mengarah pada tipikal masyarakat pedesaan. Kabupaten Bogor dari segi sejarah dan budaya tercatat sebagai wilayah tempat berdirinya Kerajaan Tarumanegara pada akhir abad ke 5M. Peninggalan bersejarah berupa prasasti terdapat di beberapa wilayah seperti Prasasti Ciaruteun (Kec. Ciampea), Prasasti Kebun Kopi (Kec. Cibungbulang) dan Prasasti Jambu (Kec. Leuwiliang). Pada abad-abad selanjutnya muncul kerajaan-kerajaan di wilayah Kabupaten Bogor seperti Kerajaan Sunda, Pajajaran Galuh dan Kawali. Hari lahir Kabupaten Bogor yang ditetapkan pada tanggal 3 Juni 1482 bertepatan dengan pelantikan Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja melalui upacara Kedabhakti. Jika dihitung dari waktu tersebut, maka pada tahun 2007 usia Kabupaten Bogor sudah mencapai 525 tahun. 47

66 48 Secara umum dari segi pendidikan, masyarakat Kabupaten Bogor mayoritas berpendidikan dasar dan menengah. Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006), pada tahun 2006, penduduk Kabupaten Bogor berpendidikan SD (42,92%), SLTP (30,96%), SLTA (13,03%), Diploma dan Sarjana (2,80%) tidak sekolah (3,15%) dan belum sekolah (5,49%). Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan akan pendidikan di Kabupaten Bogor sangat penting untuk diperhatikan Kondisi Perekonomian Penduduk Kabupaten Bogor secara umum merasakan adanya dampak pertumbuhan ekonomi sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun Menurut Bappeda Kab. Bogor (2005) laju pertumbuhan ekonomi (LPE) di Kabupaten Bogor terus meningkat sejak tahun 1999 hingga Keadaan ini menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor relatif baik. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh angka Produk Domestik Bruto (PDRB) yang cenderung meningkat sejak tahun 2002 hingga Angka PDRB riil Kabupaten Bogor meningkat dari sebesar Rp. 18,23 Triliun (2002) menjadi Rp. 21,89 Triliun (2004). Gambaran perkembangan LPE di Kabupaten Bogor sejak tahun dapat dilihat pada Gambar 16. Secara umum perkembangan LPE di Kabupaten Bogor dapat dikatakan sedang menguat kembali sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun Pada waktu krisis ekonomi terjadi, LPE di Kabupaten Bogor sempat mencapai 23,6% untuk kemudian berangsur-angsur membaik hingga tahun 1999 mencapai angka 1,6%. Jika kita melihat kecenderungan LPE di Kabupaten Bogor sejak 1999, maka terdapat kecenderungan menaik meski belum mencapai angka seperti pada LPE tahun 1994 yang menembus angka 9.9%. 48

67 LPE (%) Gambar 16. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) di Kabupaten Bogor (Bappeda Kab. Bogor, 2005) Hal yang berkebalikan terjadi pada aspek pemerataan ekonomi. Kenaikan LPE ternyata tidak diikuti dengan adanya pemerataan ekonomi di Kabupaten Bogor. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor. Pada kurun Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor meningkat cukup tajam dari jiwa pada tahun 2000 menjadi jiwa pada tahun 2006 atau sebesar 27,5% dari total penduduk. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor No Indikator 1 Jumlah penduduk (jiwa) 2 Laju pertumbuhan penduduk (%) 5 Jumlah penduduk miskin (jiwa) Realisasi Kinerja ,67 5,3 4,05 3,94 2, Sumber : Bappeda Kab. Bogor (2006) 49

68 50 Rendahnya dampak positif kenaikan LPE terhadap kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat difahami karena ternyata struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor sekunder dan sektor tersier. Sektor primer adalah sektor ekonomi yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja di pedesaan yaitu berupa sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sektor primer adalah juga sektor pekerjaan yang paling mudah untuk dilakukan oleh masyarakat tanpa keahlian tertentu. Sektor sekunder terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas, air bersih dan sektor bangunan. Adapun sektor tersier terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan jasa-jasa lainnya. Pada tahun 2004 kontribusi sektor sekunder terhadap perekonomian sebesar 61,42%, sektor tersier sebesar 27,32% dan sektor primer sebesar 11,26% Kondisi Pemerintahan Di Kabupaten Bogor Pemerintahan Kabupaten Bogor terdiri dari unsur eksekutif berupa Pemerintah Daerah Kab. Bogor, unsur legislatif berupa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Bogor dan unsur yudikatif yang terdiri dari unsur Kejaksaan, Pengadilan serta Kepolisian. Pemrintah Daerah Kab. Bogor dipimpin oleh Bupati Bogor yang dibantu oleh Sekretaris Daerah yang membawahi beberapa Dinas dan Lembaga Teknis Daerah. Struktur pemerintah daerah beberapa kali mengalami perubahan sehubungan dengan adanya perubahan atruan dari pemerintah pusat. Nama-nama dinas dan lembaga teknis daerah yang ada di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel

69 51 Tabel 12. Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Kab. Bogor Dinas Daerah Kab. Bogor 1. Dinas Pendidikan 2. Dinas Kesehatan 3. Dinas Pertanian dan Kehutanan 4. Dinas Peternakan dan Perikanan 5. Dinas Pertambangan dan Energi 6. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 7. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 8. Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi 9. Dinas Perhubungan 10. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 11. Dinas Bina Marga dan Pengairan 12. Dinas Cipta Karya 13. Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 14. Dinas Pendapatan Daerah Lembaga Teknis Daerah Kab. Bogor 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Badan Pengawas Pembangunan Daerah 3. Badan Pendidikan dan Pelatihan 4. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial 5. Kantor Koperasi dan UKM 6. Kantor Penanaman Modal Daerah 7. Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah 8. Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat 9. Rumah Sakit Daerah Cibinong 10. Rumah Sakit Daerah Ciawi Sumber : Sekretariat Daerah Kab. Bogor (2006) Unsur legislatif di Kabupaten Bogor ditempati oleh DPRD Kab. Bogor yang terdiri dari 45 anggota DPRD. Fungsi DPRD sesuai dengan aturan perundangundangan adalah melakukan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi DPRD untuk membentuk peraturan daerah bersama eksekutif. Fungsi anggaran adalah fungsi DPRD untuk menyusun Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama eskeutif. Adapun fungsi pengawasan DPRD adalah fungsi DPRD dalam mengawasi jalannya roda pembangunan oleh eksekutif. Pada perode , DPRD Kab. Bogor memiliki empat komisi yang terdiri dari Komisi A (bidang pemerintahan dan hukum), Komisi B (bidang ekonomi dan keuangan), Komisi C (bidang pembangunan) dan Komisi D (bidang kesejahteraan sosial). Tugas komisi-komisi ini adalah mengawasi kebijakan pembangunan daerah oleh pemerintah daerah sesuai dengan bidang tugas masing- 51

70 52 masing. Dalam prakteknya masing-masing komisi mengadakan kooridansi dengan dinas-dinas terkait. DPRD Kab. Bogor juga memiliki panita anggaran legislatif yang bertugas untuk merancang isi APBD bersama dengan panitia anggaran eksekutif. Panitia anggaran kedua belah pihak inilah yang menentukan alokasi anggaran untuk sektor-sektor pembangunan setelah menerima aspirasi dari maysarakat. Untuk membahas peraturan daerah dan kebijakan lainnya, DPRD dapat membentuk panitia legislasi dan panitia khusus. DPRD juga memiliki Badan Kehormatan yang berfungsi mengawasi kinerja dan pelanggaran kode etik oleh anggota DPRD Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor Pembangunan manusia di Kabupaten Bogor mulai dilaksanakan secara seksama sejak tahun 2001 atau dua tahun sejak diterapkannya otonomi daerah tahun Hal ini ditandai dengan disusunya Perda No 2 tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda) tahun yang menetapkan visi Kabupaten Bogor yaitu Terwujudnya Masyarakat yang Maju, Mandiri, Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa. Visi tersebut mengandung makna mewujudkan masyarakat Kabupaten Bogor ke arah yang lebih baik atau menuju peradaban yang lebih tinggi dengan mengoptimalkan segala potensi daerah yang telah dimiliki sesuai dengan kemampuan daerah sendiri untuk mencapai kondisi aman, sentosa, makmur dengan berlandaskan keyakinan, kepercayaan, ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Visi ini kemudian diperkuat dengan disusunya visi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor secara khusus yaitu Tercapainya Pelayanan Prima demi Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bogor yang Maju, Mandiri, Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa. 52

71 53 Kata kunci yang berkenaan dengan pernyataan visi di atas, adalah : tercapainya pelayanan prima, yang merupakan wujud nyata dari upaya pengelolaan dan pemberian pelayanan terbaik (excellent service), bermutu dan berkualitas untuk semua jenis pelayanan dari Pemerintah Kabupaten Bogor kepada masyarakat. Indikator pelayanan prima yang diharapkan adalah adanya pelayanan yang lebih baik (better), lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan memenuhi tuntutan kepuasan publik (public satisfaction). Visi di atas juga menjelaskan komitmen yang kuat untuk mencapai peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan tertuangnya kata-kata mandiri, dan sejahtera. Kata mandiri menyiratkan perlunya pemberdayaan (empowerment) sementara sejahtera mengandung makna perlunya peningkatan daya beli, pendidikan dan kesehatan. Visi tersebut dijabarkan dalam misi sebagai berikut : 1. Melakukan Reformasi Pelayanan Publik menuju Tata Pemerintahan yang Baik 2. Meningkatkan Profesionalisme Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 3. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan; 4. Menumbuhkembangkan Potensi Industri, Pertanian dan Pariwisata secara Optimal dan Lestari; 5. Meningkatkan Kualitas dan Menata Sarana, Prasarana dan Infrastruktur Wilayah; 6. Memajukan Kehidupan Keagamaan dan Kondisi Sosial Kemasyarakatan. Pembangunan manusia di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001 telah mengalami kemajuan meskipun belum terlalu optimal. Indikator pembangunan manusia berupa angka IPM Kabupaten Bogor relatif terus meningkat sejak tahun Perkembangan IPM Kabupaten Bogor dari tahun 1997 hingga 2006 dapat dilihat pada Tabel

72 Tabel 13. Perkembangan IPM Kabupaten Bogor Tahun Komponen AMH (%) 89,07 92,04 90,77 89,5 90,78 92,8 92,8 93,22 93,87 94,28 RLS (tahun) 6,275 7,35 6,625 5,9 5,9 6,1 6,18 6,26 6,32 6,9 AHH (tahun) 61,9 64,5 64,95 65,4 66,38 66,8 66,82 66,94 66,99 67,2 PPP (Rp. ribu) 554,85 534,00 524,65 515,30 549,20 550,4 551,52 552,45 553,60 558,87 Indeks kesehatan 61,50 65,83 66,58 67,33 68,97 69,67 69,70 69,90 69,98 70,33 Indeks pendidikan 73,32 77,69 75,24 72,78 73,63 75,42 75,60 76,06 76,62 78,19 Indeks melek huruf 86,10% 92,04% 86,10% 89,50% 90,78% 92,80% 92,80% 93,22% 93,87% 94,28% Indeks lama sekolah 41,83% 49,00% 44,17% 39,33% 39,33% 40,67% 41,20% 41,73% 42,13% 46,00% Indeks daya beli 58,90 54,08 51,92 49,76 57,59 57,87 58,13 58,34 58,61 59,83 IPM 64,57 65,87 64,58 63,32 66,73 67,65 67,81 68,10 68,41 69,45 Sumber : Bappeda Kab. Bogor (2006) 54

73 Penyusunan Kebijakan Umum APBD Di Kabupaten Bogor Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Secara umum dokumen APBD terdiri dari ringkasan umum APBD (yang memuat gambaran pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah), rincian APBD untuk setiap organisasi perangkat daerah, dan rincian APBD berdasarkan sektor pembangunan. Programprogram pembangunan daerah biasanya dicantumkan dalam rincian APBD berdasarkan sektor pembangunan. Semenjak diterapkanya prinsip anggaran berbasis kinerja, maka penyusunan APBD oleh pantia angaran eksekutif dan legislatif diawali dengan pembahasan mengenai Kebijakan Umum APBD (KU-APBD). Menurut PP 58/2005, KU-APBD adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode satu tahun. Kebijakan yang berkaitan dengan belanja berisi rencana umum program pembangunan daerah yang akan dikerjakan selama satu tahun ke depan. Bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun KU-APBD adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran dari visi dan misi kepala daerah sebelum memangku jabatan. Apabila KU-APBD telah ditetapkan, maka selanjutnya dilakukan penyusunan Prioritas dan Plafon Anggran Sementara (PPAS). Berdasarkan KU-APBD dan PPAS inilah proses penyusunan APBD dilakukan pada tahap-tahap selanjutnya. Penyusunan KU-APBD di Kabupaten Bogor dilakukan berdasarkan penjabaran dari visi dan misi pemerintah daerah yang telah ditetapkan. Berdasarkan visi dan misi tersebut telah disusun berbagai program dan kegiatan pembangunan

74 56 daerah untuk 16 bidang yang meliputi : (1) bidang administrasi umum pemerintahan, (2) bidang pertanian, (3) bidang perikanan dan peternakan, (4) bidang pertambangan dan energi, (5) bidang perindustrian dan perdagangan, (6) bidang perkoperasian, (7) bidang ketenagakerjaan, (8) bidang penanaman modal, (9) bidang kesehatan, (10) bidang penataan ruang, (11) bidang pendidikan dan kebudayaan, (12) bidang sosial, (13) bidang pekerjaan umum, (14) bidang perhubungan, (15) bidang kependudukan dan (16) bidang kepariwisataan. Secara umum sejak tahun 2000, prioritas pembangunan daerah Kabupaten Bogor diarahkan untuk meningkatkan pembangunan di bidang pekerjaan umum (infrastruktur), pendidikan, kesehatan dan perekonomian (meliputi pertanian, peternakan dan perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdangangan, perkoperasian, penanaman modal, perhubungan dan kepariwisataan). Hal ini dapat dilihat dari realisasi APBD Kabupaten Bogor yang memberikan porsi cukup besar untuk bidang-bidang yang diprioritaskan. Prosentase realisasi APBD Kabupaten Bogor sejak tahun untuk bidang yang diprioritaskan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase Realisasi APBD Untuk Bidang-bidang Prioritas Di Kab. Bogor Tahun Pendidikan Kesehatan Ekonomi Infrastruktur Lain-lain % 5.59% 43.46% 31.21% 11.55% % 7.91% 9.10% 38.22% 20.66% % 13.20% 11.13% 40.63% 14.00% % 20.76% 3.78% 48.31% 12.14% % 19.28% 4.62% 58.90% 1.95% % 18.22% 5.25% 54.89% 2.28% % 19.54% 9.50% 51.75% 1.30% Rata % 14.93% 12.41% 46.27% 9.13% Sumber : Pemda Kab. Bogor ( ), diolah

75 57 BAB V. KAJIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR 5.1. Pengaruh Belanja Publik Dan Belanja Aparatur Terhadap IPM Kabupaten Bogor Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor secara nominal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 realisasi APBD Kabupaten Bogor sebesar Rp. 148,8 milyar dan pada tahun 2006 bertambah menjadi Rp. 1,3 triliun. Rata-rata kenaikan realisasi APBD nominal di Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp. 129,8 milyar per tahun atau sebesar 31,29 persen. Kenaikan realisasi APBD Kab. Bogor jika dihitung secara riil dengan menghilangkan faktor inflasi, maka didapat angka persentase kenaikan rata-rata sebesar 14,60 persen per tahun. Total realisasi belanja APBD Kabupaten Bogor secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Realisasi Belanja Aparatur dan Publik Dalam APBD Kab. Bogor (Pemda Kab. Bogor, 2006) Tahun Belanja APBD (Rp. Juta) Indeks Harga Konsumen* Belanja APBD Riil (Rp. Juta) ,80 50,7 293, ,81 80,0 220, ,75 96,3 243, , , , , ,04 124,7 659, ,13 133,1 603, ,94 141,3 689, ,361,80 155,9 666, ,209,23 182,0 723, Keterangan : *) Tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000

76 58 Komponen belanja dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) secara umum terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja yang diperuntukkan bagi program dan kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Belanja aparatur adalah belanja yang diperuntukkan bagi aparatur pemerintah seperti belanja operasional kantor, gaji dan tunjangan, pengadaan fasilitas dan operasional kantor. Belanja publik pada waktu sebelum otonomi daerah disebut sebagai belanja pembangunan sedangkan belanja aparatur sering disebut sebagai belanja rutin. Selama periode proporsi belanja aparatur dengan belanja publik rata-rata sebesar 67,9 persen berbanding 32,1 persen. Proporsi belanja aparatur dan belanja publik di Kabupaten Bogor adalah seperti terlihat pada Gambar % 90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0% B. Publ i k 55.4% 49.1% 31.3% 27.3% 26.7% 29.2% 18.9% 21.7% 29.0% 32.6% B. Aparatur 44.6% 50.9% 68.7% 72.7% 73.3% 70.8% 81.1% 78.3% 71.0% 67.4% Gambar 17. Persentase Realisasi Belanja Aparatur dan Belanja Publik Kab. Bogor

77 59 Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa telah terjadi ketidakseimbangan proporsi belanja aparatur dan belanja publik di Kabupaten Bogor. Salah satu alasan ketimpangan ini adalah besarnya jumlah pegawai pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang mencapai orang pada tahun Besarnya jumlah pegawai menyebabkan besarnya jumlah gaji dan tunjangan yang harus disediakan. Hal lain yang juga mempengaruhi ketimpangan proporsi belanja adalah besarnya organisasi perangkat daerah yang harus dibiayai yang meliputi 27 instansi di kabupaten (kantor bupati, DPRD, Sekretariat Daerah dan 24 dinas/badan/kantor), 40 kantor kecamatan dan 17 kantor kelurahan. Jumlah pegawai dan perangkat daerah yang besar di Kabupaten Bogor tersebut terutama terjadi sejak otonomi daerah diberlakukan. Tahun Peningkatan proporsi belanja publik sangat diharapkan untuk meningkatkan IPM di Kabupaten Bogor. Belanja publik diyakini berpengaruh terhadap pencapaian IPM karena belanja publik berkaitan langsung dengan program-program pembangunan. Hasil analisis regresi berganda dengan menggunakan persamaan (1) memperlihatkan bahwa belanja pubik dan belanja aparatur berpengaruh positif terhadap IPM. Hasil analisis selengkapnya memperlihatkan bahwa belanja publik dan belanja aparatur berpengaruh nyata terhadap IPM pada alfa = 0,05 (nilai p-value ANOVA = 0,00143) dengan koefisien determinasi sebesar 0,8874. Belanja publik berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,05 dan belanja aparatur berpengaruh positif terhadap IPM pada alfa = 0,1. Daya ungkit belanja publik terhadap IPM menurut hasil analisis regresi berganda adalah sebesar 0,019 poin untuk setiap kenaikan Rp. 1 milyar belanja publik riil. Hasil lengkap analisis regresi pengaruh belanja APBD terhadap IPM di Kab. Bogor dapat dilihat pada Tabel 16.

78 60 Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh Belanja Aparatur dan Belanja Publik Dalam APBD Terhadap IPM di Kab. Bogor Variabel Bebas Koefisien t-hitung p-value Intersep 62,188 84,842 1,806 x A (Belanja Aparatur) 0,005 2, B (Belanja Publik) 0,019 2, R 2 : Pertumbuhan Indeks Pembangunan (IPM) Manusia Di Kab. Bogor. Angka IPM Kabupaten Bogor selama periode belum mengalami kenaikan yang optimal. Berdasarkan perhitungan dengan metode reduksi Shortfall diketahui besarnya angka reduksi Shortfall tahun di Kabupaten Bogor adalah 1,37. Metode reduksi Shortfall adalah metode umum yang digunakan untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu tertentu. Ukuran ini secara sederhana menujukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal yaitu IPM = 100. Menurut UNDP angka reduksi Shortfall Kabupaten Bogor termasuk dalam kategori pertumbuhan IPM lambat. Hal ini menujukkan bahwa pengelolaan pembangunan di Kabupaten Bogor belum sepenuhnya berhasil meningkatkan IPM secara optimal. Peningkatan angka IPM sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi komponennya. Komponen IPM sebagaimana difahami terdiri dari indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks pendidikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH).

79 61 Indeks kesehatan dipengaruhi oleh angka harapan hidup (AHH) dan indeks daya beli dipengaruhi oleh daya beli per kapita. Perkembangan komponen IPM berupa angka RLS menunjukkan adanya peningkatan dari 6,275 tahun (1997) menjadi 6,90 tahun (2006) dengan kenaikan ratarata per tahun sebesar 0,17 tahun. Angka melek huruf (AMH) sebagai indikator pembangunan di bidang pendidikan di Kabupaten Bogor juga menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Angka melek huruf Kabupaten Bogor pada tahun 1997 tercatat sebesar 89,07 persen dan pada tahun 2006 mencapai 94,28 persen. Rata-rata kenaikan AMH di Kabupaten Bogor adalah sebesar 0,82 persen. Hal yang sama juga terjadi pada komponen AHH yang meningkat dari 61,0 tahun (1997) menjadi 67,2 tahun (2006) dengan rata-rata kenaikan AHH per tahun adalah sebesar 0,79 tahun. Hal yang berbeda terjadi pada komponen daya beli di Kabupaten Bogor. Pada periode daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari Rp per kapita per bulan menjadi Rp per kapita per bulan. Namun demikian jika dihitung rata-rata pertumbuhan daya beli per tahun akan memperlihatkan hasil yang negatif sebesar minus Rp per kapita per bulan. Kenyataan tersebut di atas memperlihatkan bahwa titik lemah perkembangan komponen IPM di Kabupaten Bogor secara umum terletak pada komponen RLS dan daya beli. Rata-rata pertumbuhan tahunan RLS di Kabupaten Bogor relatif rendah karena tidak mencapai 0,5 tahun. Demikian halnya dengan daya beli yang menunjukkan rata-rata pertumbuhan tahunan negatif. Kondisi ini tentu saja memperlihatkan pentingnya fokus pembangunan di Kabupaten Bogor tertuju pada peningkatan RLS dan daya beli di samping mempertahankan pertumbuhan komponen IPM lainnya.

80 Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pendidikan Kualitas pembangunan di sektor pendidikan berdasarkan pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh besarnya rata-rata lama sekolah (RLS) yang ditempuh oleh masyarakat dan besarnya angka melek huruf (AMH) yang terjadi di masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah tingkat partisipasi pendidikan, tingkat putus sekolah, kuantitas dan kualitas guru, kuantitas dan kualitas sarana sekolah, biaya pendidikan, kemudahan menjangkau sarana pendidikan, daya beli, dukungan keluarga, kelembagaan masyarakat dan alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah, (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Tingkat partisipasi pendidikan di Kab. Bogor dapat dilihat salah satunya dari angka partisipasi murni (APM). Pada periode tahun , APM untuk semua jenjang pendidikan di Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan. Ratarata pertumbuhan APM selama lima tahun adalah sebesar 3,53 persen untuk SD, 2,61 persen untuk SLTP dan 3,65 persen untuk SLTA. Perkembangan APM Kabupaten Bogor tahun dapat dilihat pada Gambar % 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% APM SD 84.67% 87.26% 93.05% 97.64% 98.80% APM SLTP 55.50% 57.57% 54.15% 59.72% 65.93% APM SLTA 12.31% 19.42% 25.72% 26.22% 26.93% Gambar 18. Perkembangan Angka Partisipasi Murni di Kab. Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006).

81 63 Angka Partisipasi Murni adalah angka yang menunjukkan persentase jumlah anak pada usia tertentu yang selayaknya sekolah. Angka maksimal dari APM adalah 100 persen yang menggambarkan bahwa seluruh anak usia sekolah telah memasuki bangku sekolah sesuai jenjangnya. Angka partisipasi murni tertinggi di Kabupaten Bogor adalah APM SD sebesar 98,8 persen pada tahun Kondisi yang kurang menggembirakan terjadi pada APM SLTP yang hanya mencapai 65,9 persen dan APM SLTA yang hanya 26,9 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebanyak 34,1 persen anak usia tahun yang tidak memasuki jenjang SLTP dan sebanyak 73.1 persen anak usia tahun yang tidak memasuki jenjang SLTA. Perkembangan jumlah siswa di Kabupaten Bogor untuk masing-masing jenjang pendidikan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Perkembangan Jumlah Siswa Di Kabupaten Bogor Tahun Jumlah Siswa Tingkat SD Tingkat SLTP Tingkat SLTA Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Perkembangan jumlah siswa putus sekolah di Kabupaten Bogor tahun berfluktuasi yaitu berkisar antara siswa SD, dan siswa SLTP, serta siswa SLTA. Besarnya jumlah siswa putus sekolah pada dasarnya memperkecil Angka Partisipasi Murni (APM). Oleh karena itu satu-satunya jalan untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah adalah dengan menaikkan APM. Perkembangan jumlah siswa putus sekolah di Kabupaten Bogor pada tahun dapat dilihat pada Gambar 19.

82 DO SD DO SLTP DO SLTA Gambar 19. Perkembangan Jumlah Putus Sekolah di Kab. Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Data lain yang penting diperhatikan berkaitan dengan angka melek huruf (AMH) adalah jumlah penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor. Adanya penduduk yang buta huruf secara langsung mempengaruhi AMH. Semakin banyak penduduk yang buta huruf akan semakin mengurangi nilai AMH. Penduduk yang buta huruf dapat berasal dari tiga kelompok yaitu : penduduk usia lanjut yang sama sekali tidak pernah sekolah, anak usia 7-12 tahun yang tidak memasuki jenjang SD yang ditunjukkan dari APM yang belum mencapai 100 persen, atau dari anak yang putus sekolah di tingkat SD terutama di tahun-tahun awal (kelas 1 3). Oleh karena itu program pemberantasan buta huruf harus dapat menjangkau ketiga kelompok dimaksud. Perkembangan jumlah penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor pada tahun dapat dilihat pada Gambar 20.

83 Gambar 20. Perkembangan Jumlah Buta Huruf di Kab. Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Perkembangan jumlah guru di Kabupaten Bogor pada periode memperlihatkan kecenderungan peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Rata-rata kenaikan jumlah guru adalah sebesar 2,16 persen (guru SD), 9,81 persen (guru SLTP) dan 10,85 persen (guru SLTA). Jika dihitung berdasarkan rasio guru dan siswa untuk masing-masing tingkatan maka diperoleh angka rasio guru dan siswa rata-rata selama sebesar 1 : 32 untuk tingkat SD, 1 : 15 untuk tingkat SLTP, dan 1 : 10 untuk tingkat SLTA. Keadaan ini memperlihatkan bahwa dari segi jumlah guru sebetulnya tidak ada permasalahan yang berarti terutama untuk guru di tingkat SLTP dan SLTA. Rasio ideal jumlah guru dengan siswa untuk tingkat SLTP dan SLTA paling tidak sama dengan rasio guru dan siswa di tingkat SD. Oleh karena itu rasio guru dan siswa di tingkat SLTP serta SLTA harus dapat dikurangi. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil rasio guru dan siswa di tingkat SLTP dan SLTA adalah dengan jalan menambah jumlah siswa yang bersekolah di SLTP dan SLTA. Perkembangan jumlah guru di Kabupaten Bogor pada dapat dilihat pada Gambar 21.

84 Guru SD Guru SLTP Guru SLTA Gambar 21. Perkembangan Jumlah Guru di Kab. Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Faktor berikutnya yang penting untuk diperhatikan karena pengaruhnya yang besar terhadap angka rata-rata lama sekolah (RLS) adalah kuantitas dan kualitas sarana sekolah. Salah satu persoalan yang menyebabkan rendahnya APM SLTP adalah daya tampung sekolah di tingkat SLTP. Daya tampung SLTP yang terbatas dapat menyebabkan banyak siswa lulusan SD tidak dapat bersekolah di tingkat SLTP. Perkembangan jumlah ruang kelas untuk masing-masing tingkatan dengan kondisinya di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 18. Ukuran yang dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan daya tampung sekolah adalah rasio ruang kelas dengan siswa pada masing-masing tingkatan. Berdasarkan data tahun diketahui bahwa angka rata-rata rasio ruang kelas dengan siswa adalah sebesar 1 : 46 untuk tingkat SD, 1 : 64 untuk tingkat SLTP dan 1 : 39 untuk tingkat SLTA. Berdasarkan data rasio ruang kelas dan siswa

85 67 diketahui bahwa telah terjadi kekurangan jumlah ruang kelas di tingkat SLTP karena rasionya paling rendah. Tabel 18. Perkembangan Jumlah Ruang Kelas dan Kondisinya di Kabupaten Bogor Pada Tahun Uraian Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SLTA Ruang Kelas SD Baik Rusak Ringan Rusak Berat Ruang Kelas SLTP Baik Rusak Ringan Rusak Berat Ruang Kelas SLTA Baik Rusak Ringan Rusak Berat Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Cara lain untuk melihat adanya kekurangan jumlah ruang kelas SLTP adalah dengan membandingkan jumlah siswa kelas 6 SD dan jumlah siswa kelas 1 SLTP. Jika diasumsikan seluruh siswa kelas 6 akan masuk ke kelas 1 SLTP, maka selama tahun di Kabupaten Bogor terdapat rata-rata siswa kelas 6 SD yang tidak tertampung di SLTP. 3 Besarnya jumlah siswa SD yang tidak tertampung inilah salah satu yang menyebabkan angka rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor hingga tahun 2005 masih berada di bawah 7. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya yang sungguh-sungguh guna menambah jumlah SLTP atau menambah jumlah ruang kelas SLTP. 3) Untuk memperkirakan jumlah siswa kelas 6 SD adalah dengan membagi jumlah seluruh siswa SD di setiap tahun dengan angka 6 (jumlah tingkatan dalam SD) dan untuk memperkirakan jumlah siswa kelas 1 SLTP adalah dengan membagi jumlah seluruh siswa SLTP di setiap tahun dengan angka 3 (jumlah tingkatan dalam SLTP).

86 68 Faktor penting lainnya yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah faktor yang dipengaruhi persoalan ekonomi yang di dalamnya termasuk faktor daya beli, biaya pendidikan dan juga faktor motivasi atau dukungan keluarga. Daya beli masyarakat yang rendah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menjangkau biaya pendidikan yang dibutuhkan. Ada kecenderungan selama ini bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan akan semakin meningkat biaya pendidikan yang diperlukan. Hal ini terjadi karena fasilitas yang diperlukan untuk belajar di tingkat SLTP dan SLTA lebih mahal dibandingkan di tingkat SD. Penyebab lainnya adalah kenyataan bahwa lokasi SLTP dan SLTA umumnya terdapat di perkotaan sehingga diperlukan biaya transportasi untuk menjangkaunya. Semua keadaan ini menyebabkan motivasi keluarga untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi menjadi berkurang. Daya beli masyarakat Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun dengan kenaikan rata-rata sebesar 1,1 persen per tahun. Besarnya daya beli masyarakat pada tahun 2005 adalah sebesar Rp per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR), nilai tersebut sebetulnya relatif kecil. Upah minimum regional adalah batasan minimal gaji yang harus diberikan oleh perusahaan terhadap karyawannya. Nilai UMR dihitung berdasarkan nilai kebutuhan minimum regional yang menggambarkan besarnya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Sebagai gambaran UMR Kabupaten Bogor tahun 2005 adalah sebesar Rp per jiwa per bulan. Dengan nilai daya beli masyarakat yang berada di bawah UMR berarti bahwa terdapat komponen kebutuhan hidup minimal yang tidak dapat dipenuhi oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Bogor. Salah satu komponen kebutuhan hidup tersebut dapat dipastikan adalah biaya pendidikan.

87 69 Jika kita perharikan Gambar 5 yang menjelaskan tentang penyebab langsung dan tidak langsung perubahan derajat pendidikan, maka daya beli adalah penyebab mendasar yang paling utama yang mempengaruhi derajat pendidikan. Untuk mengetahui besarnya pengaruh daya beli terhadap derajat pendidikan dapat digunakan analisa korelasi antara daya beli dengan indeks pendidikan. Diagram pencar hubungan antara daya beli dengan indeks pendidikan dapat dilihat pada Gambar Rata Lama Sekolah Daya Beli Gambar 22. Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Rata-rata Lama Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun Berdasarkan Gambar 22 dapat dikemukakan dua fakta yaitu : daya beli memiliki korelasi yang rendah dengan rata-rata lama sekolah (RLS) pada tahun (koefisien korelasi = - 0,5235). Daya beli kemudian memiliki korelasi yang tinggi dengan RLS pada tahun Kondisi tersebut salah satunya terjadi karena pada tahun 1998 krisis ekonomi melanda Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Pengaruh daya beli yang melemah terhadap sektor pendidikan dapat dilihat

88 70 dari terjadinya korelasi negatif antara daya beli dengan RLS hingga tahun Pada tahun perekonomian Indonesia mulai membaik yang berdampak pada kenaikan daya beli. Daya beli yang meningkat berpengaruh positif terhadap sektor pendidikan. Kenyataan tersebut menggambarkan besarnya pengaruh daya beli terhadap sektor pendidikan. Peran faktor kelembagaan masyarakat di sektor pendidikan di Kabupaten Bogor salah satunya ditandai dengan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Fungsi PKBM yang selama ini dijalankan adalah menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf, kegiatan belajar (Kejar) Paket A untuk anak putus sekolah tingkat SD, Kejar Paket B untuk tingkat SLTP dan Kejar Paket C untuk tingkat SLTA. Perkembangan PKBM dan cakupan pemberantasan buta huruf di Kabupaten Bogor tahun dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Perkembangan Jumlah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dan Penanganan Buta Huruf di Kabupaten Bogor Pada Tahun Uraian Jumlah Buta Huruf Buta Huruf Tertangani Jumlah PKBM Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa secara umum persentase penanganan penduduk buta huruf masih sangat kecil yaitu rata-rata sebesar 9,22 persen selama tahun Cakupan penanganan buta huruf oleh PKBM selama periode meningkat dari 21 siswa menjadi 140 siswa setiap unit PKBM. Rata-rata cakupan pelayanan PKBM selama adalah sebesar 42 siswa untuk setiap

89 71 unit PKBM. Untuk menuntaskan buta huruf di Kabupaten Bogor harus dilakukan peningkatan jumlah PKBM. Jika diinginkan cakupan pelayanan PKBM tetap sebesar 42 siswa per unit PKBM, maka jumlah PKBM yang dibutuhkan sebanyak 454 unit untuk menuntaskan penduduk buta huruf. Jika cakupan pelayanan setiap unit PKBM ditingkatkan menjadi 100 siswa, maka jumlah PKBM yang diperlukan adalah sebanyak 192 unit. Faktor mendasar berupa alokasi anggaran pendidikan yang diberikan oleh Pemda Kabupaten Bogor relatif berpengaruh terhadap derajat pendidikan terutama berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah. Selama tahun , persentase realisasi anggaran pendidikan dalam APBD Kabupaten Bogor rata-rata sebesar 4,87 persen dari seluruh total APBD. Perkembangan realisasi belanja sektor pendidikan dalam APBD Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar p. Milyar R B. Pddk B. Pddk - inflasi Gambar 23. Realisasi Belanja Pendidikan APBD Kab. Bogor Tahun (Pemda Kab. Bogor, 2006).

90 72 Berdasarkan Gambar 23 dapat diketahui bahwa realisasi anggaran pendidikan di Kabupaten Bogor sangat berfluktuasi. Jika dilihat berdasarkan realisasi belanja pendidikan menurut harga berlaku maka terdapat kecenderungan peningkatan. Namun jika dilihat berdasarkan realisasi belanja pendidikan setelah pengaruh inflasi dihilangkan (menurut harga konstan), maka terdapat kecenderungan penurunan realisasi anggaran pendidikan. Jika dilihat dari besarnya APBD Kabupaten Bogor, peningkatan anggaran pendidikan sebenarnya bukan masalah. Anggaran publik sektor pendidikan (di luar gaji guru) dalam APBD Kabupaten Bogor selama tahun rata-rata sebesar 4,87 persen dari total APBD Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Kesehatan Kualitas pembangunan di sektor kesehatan menurut pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh indikator tunggal berupa angka harapan hidup (AHH). Angka harapan hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah angka harapan hidup waktu lahir yaitu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Besaran AHH dipengaruhi oleh angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu saat melahirkan (AKI). Angka kematian bayi adalah besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan per seribu kelahiran hidup. Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi AHH adalah angka kematian bayi (AKB), angka kematian

91 73 ibu (AKI), jumlah pelayanan medis, tingkat gizi balita, penanganan persalinan, jumlah tenaga kesehatan, daya beli, kualitas lingkungan, dan kelembagaan masyarakat. Angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Bogor tahun cenderung mengalami penurunan dari 52,74 menjadi 42,42 kematian per 1000 kelahiran. Angka ini relatif mendekati AKB di tingkat nasional. Pada tahun 2000 AKB Kabupaten Bogor sebesar 52,74 dan AKB di tingkat nasional sebesar 52,0 kematian per 1000 kelahiran. Keadaan tersebut menunjukkan adanya upaya yang baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam menekan AKB. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan kematian ibu adalah dengan mengetahui jumlah kematian ibu karena kehamilan dan melahirkan. Jumlah kematian ibu di Kabupaten Bogor pada tahun relatif tidak banyak mengalami perubahan yang mencolok. Rata-rata jumlah kematian ibu karena kehamilan pada adalah sebesar 62,4 orang. Perkembangan AKB dan jumlah kematian ibu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar Angka Kematian Bayi Jml Kematian Ibu Gambar 24. Angka Kematian Bayi dan Jumlah Kematian Ibu di Kab. Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006).

92 74 Faktor lain yang mempengaruhi angka harapan hidup (AHH) adalah jumlah pelayanan medis atau fasilitas kesehatan. Semakin banyak tersedia fasilitas kesehatan, maka AHH akan semakin meningkat. Perkembangan fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor sejak cenderung meningkat. Fasilitas kesehatan yang dimaksud dalam hal ini adalah praktek dokter umum dan spesialis, bidan, rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan rumah bersalin. Perkembangan jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor pada dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kabupaten Bogor Pada Tahun Fasilitas Kesehatan Puskesmas Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling Dokter Praktek Umum Dokter Praktetk Spesialis Rumah Sakit Rumah Bersalin Total Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan. Rata-rata kenaikan jumlah fasilitas kesehatan selama adalah sebesar 264 fasilitas setiap tahun. Fasilitas kesehatan yang paling dominan adalah dokter praktek umum. Jika dilihat berdasarkan tingkatan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan kepada masyarakat, maka tingkatan pertama adalah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling. Tingkatan pelayanan yang selanjutnya adalah dokter praktek umum dan spesialis. Tingkatan pelayanan yang paling akhir adalah rumah bersalin dan rumah sakit. Perkembangan fasilitas kesehatan dasar di

93 75 Kabupaten Bogor relatif tidak meningkat. Perkembangan fasilitas kesehatan menengah terutama dokter meningkat cukup berarti dan perkembangan fasilitas kesehatan lanjutan relatif tidak meningkat. Untuk meningkatkan kualitas pembangunan sektor kesehatan, maka penyediaan fasilitas kesehatan dasar harus diperbanyak karena dibutuhkan untuk mencegah memburuknya penyakit dan kematian. Perkembangan jumlah tenaga medis selama memperlihatkan adanya peningkatan. Jika dihitung berdasarkan rasio jumlah tenaga medis dengan jumlah penduduk, maka diperoleh : rasio jumlah dokter dengan penduduk sebesar 1 : orang, dan rasio jumlah perawat dengan penduduk sebesar 1: Rasio jumlah bidan dengan penduduk perempuan jika diketahui sex ratio sebesar 103,34% maka diperoleh angka sebesar 1 : (Tabel 21). Tabel 21. Perkembangan Jumlah Tenaga Medis Di Kabupaten Bogor Pada Tahun Uraian Rasio T. Medis dg Pddk Jml Penduduk Dokter Umum Dokter Gigi : Perawat : Bidan : Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Rasio jumlah dokter dengan penduduk di Kabupaten Bogor sangat jauh dari jumlah rasio ideal. Rasio ideal dokter dengan penduduk adalah sebesar 1 : Rasio jumlah bidan dengan penduduk perempuan di Kabupaten Bogor yang sebesar 4) Rasio ideal menurut Indikator Indonesia Sehat 2010 sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No 1202/MENKES/VIII/2003.

94 76 1 : 2192 juga relatif kurang jika dibandingkan dengan rasio ideal yaitu 1 : Berdasarkan persentase pelayanan persalinan yang dilakukan oleh bidan terlihat pula bahwa cakupan pelayan persalinan belum mencapai 100 persen. Jumlah persentase pelayanan persalinan oleh bidan di Kabupaten Bogor pada tahun cenderung tetap yaitu berkisar persen. Beberapa faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pelayanan persalinan oleh bidan adalah faktor ekonomi seperti daya beli yang rendah dan faktor budaya berupa masih diminatinya persalinan oleh tenaga persalinan tradisional (sunda : paraji). Penanganan persalinan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya peristiwa kematian ibu melahirkan. Perkembangan jumlah persalinan yang ditangani oleh tenaga medis di Kabupaten Bogor pada tahun dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perkembangan Jumlah Persalinan Di Kabupaten Bogor Pada Tahun Uraian Jml persalinan Jml persalinan Medis Persentase 57,10% 60,90% 61,50% 63,22% 60,00% Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Berdasarkan tingkat gizi selama tahun dapat dikatakan bahwa secara umum balita yang ada di Kabupaten Bogor relatif memiliki tingkat gizi yang baik. Persentase balita yang bergizi baik dan lebih pada tahun rata-rata sebesar 88,19 persen. Namun demikian persentase balita bergizi kurang dan buruk selama periode yang sama ternyata relatif masih tinggi yaitu sebesar 11,81 persen. Jika ditinjau dari keinginan untuk menekan jumlah balita penderita gizi buruk dan

95 77 kurang, angka persentase sebesar 11,81 persen relatif tinggi karena berada di atas 10 persen. Tingkat gizi buruk dan kurang yang terjadi selama juga memperlihatkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut menuntut adanya perbaikan dalam hal penanganan gizi balita di Kabupaten Bogor. Tingkat gizi balita di Kabupaten Bogor selama tahun dapat dilihat pada Gambar Jm l Bal i t a Gizi Bur uk Gizi Kur ang Gizi Baik Gizi Lebih Gambar 25. Tingkat Gizi Balita di Kab. Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Faktor mendasar yang diduga mempengaruhi kualitas pembangunan sektor kesehatan adalah daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang semakin baik akan semakin mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengetahui pengaruh daya beli terhadap sektor kesehatan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan menggunakan diagram pencar. Diagram pencar

96 78 pengaruh daya beli terhadap sektor kesehatan terutama angka harapan hidup (AHH) di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan Gambar 26 dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Bogor daya beli relatif tidak begitu berpengaruh terhadap angka harapan hidup (koefisien korelasi = -0,30). Namun jika dilihat dari tahun , daya beli memiliki korelasi yang tinggi dengan angka harapan hidup (koefisien korelasi = 0,8721). Semakin tinggi daya beli akan semakin tinggi angka harapan hidup. Hal ini dapat difahami karena dengan adanya daya beli yang tinggi maka masyarakat dapat membiayai kebutuhan kesehatan yang diperlukan Angka Harapan Hidup Daya Beli Gambar 26. Diagram Pencar Hubungan Antara Daya Beli Dengan Angka Harapan Hidup di Kab. Bogor Tahun Faktor kualitas lingkungan diduga berpengaruh terhadap kualitas pembangunan sektor kesehatan terutama berkaitan dengan faktor budaya hidup sehat. Indikator dari adanya budaya hidup sehat di bidang kesehatan yang baik adalah meningkatnya kualitas lingkungan. Perkembangan kualtias lingkungan hidup

97 79 sehat di Kabupaten Bogor salah satunya dapat dilihat dari kondisi rumah tangga yang memiliki sarana air bersih dan jamban keluarga (Tabel 23.) Tabel 23. Perkembangan Rumah Tangga Yang Memiliki Sarana Air Bersih Dan Jamban Keluarga Di Kabupaten Bogor Pada Tahun Indikator Lingkungan Rumah dengan Sarana Air Bersih Rumah dengan Jamban Keluarga Jumlah Rumah Tangga Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Sejak tahun jumlah rumah tangga yang memiliki sarana air bersih dan jamban keluarga cenderung meningkat. Rata-rata peningkatan jumlah sarana air bersih dan jamban keluarga mencapai rumah tangga (11,4 persen per tahun) dan rumah tangga (10,61 persen per tahun). Jika dilihat dari persentase kepemilikan sarana air bersih dan jamban keluarga, maka persentase kepemilikan sarana air bersih di Kabupaten Bogor rata-rata adalah sebesar 54,5 persen dari rumah tangga yang ada. Adapun persentase kepemilikan jamban di Kabupaten Bogor adalah sebesar 38,23 persen. Jika diasumsikan kepemilikan sarana air bersih juga mencakup kepemilikan jamban dan sebaliknya, maka paling tidak di Kabupaten Bogor masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki sarana air bersih sekaligus jamban sebesar rata-rata rumah tangga atau sekitar 7,02 persen. Faktor kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan salah satunya dapat dilihat dari partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pos pelayanan kesehatan terpadu (posyandu). Posyandu adalah bentuk partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara swakelola terutama pelayanan kesehatan untuk balita. Semakin banyak jumlah posyandu menunjukkan

98 80 semakin meningkatnya kelembagaan masyarakat di bidang kesehatan. Perkembanguan jumlah posyandu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perkembangan Jumlah Posyandu Di Kabupaten Bogor Tahun Uraian Jumlah Balita Jumlah Posyandu Rasio Posyandu dan Balita 1 : 86,64 1 : 99,11 1 : 120,63 1 : 121,45 1 : 122,49 Sumber : Bappeda (Kab. Bogor, 2006) Selama periode jumlah posyandu tidak mengalami peningkatan yang berarti. Jika dihitung berdasarkan rasio jumlah posyandu dengan jumlah balita yang ada maka diperoleh angka rata-rata rasio sebesar 1 : 110. Angka rasio ini relatif kecil karena setiap posyandu harus menangani lebih dari 100 balita. Jika diasumsikan pelayanan di posyandu memerlukan 3 menit per balita, maka diperlukan sekitar 300 menit atau 5 jam setiap kali mengadakan pelayanan. Pelayanan posyandu yang optimal diharapkan hanya berlangsung selama 2,5-3 jam. Untuk itu diperlukan penambahan jumlah posyandu sebanyak dua kali lipat dari jumlah yang ada sehingga rasionya menjadi 1 : Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perekonomian Kualitas pembangunan di sektor perekonomian menurut pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh indikator tunggal berupa daya beli. Daya beli yang dimaksud dalam hal ini adalah besarnya kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan hidup sehar-hari sehingga dapat hidup secara layak. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya beli antara lain adalah : tingkat pendapatan masyarakat, serapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, ketersediaan sumber daya

99 81 manusia, tingkat investasi, pelayanan perijinan investasi, kondisi infrastruktur, dan kelembagaan masyarakat. Berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun diketahui bahwa tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor relatif stabil jika dihitung berdasarkan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harga konstan. Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat selama adalah sebesar Rp per kapita per tahun atau Rp per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan daya beli, maka tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor ternyata sedikit di bawah rata-rata daya beli (Rp per kapita per bulan). Tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor jika dihitung berdasarkan PDRB harga berlaku menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat berdasarkan PDRB harga berlaku adalah sebesar Rp per kapita per bulan. Nilai ini berada sedikit di atas rata-rata daya beli (Rp per kapita per bulan). Perkembangan tingkat pendapatan masyarakat Kabupaten Bogor tahun dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Perkembangan Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Kabupaten Bogor Pada Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Uraian PDRB Konstan* (juta) PDRB Berlaku (juta) Jumlah Penduduk Tkt Pendapatan (Konstan) Tkt Pendapatan (Berlaku) Keterangan : Tahun dasar perhitungan PDRB adalah tahun Faktor lain yang berpengaruh terhadap daya beli adalah tingkat penyerapan tenaga kerja. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penyerapan

100 82 tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor formal yaitu di semua perusahaan yang ada di Kabupaten Bogor. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Kabupaten Bogor dari tahun menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata serapan tenaga kerja untuk industri menengah dan besar adalah orang per tahun dan jumlah serapan tenaga kerja untuk industri kecil orang per tahun. Rata-rata kenaikan jumlah tenaga kerja per tahun adalah 20,67 persen untuk industri menengah dan besar serta 5,61 persen untuk industri kecil (Gambar 27) Industri Mngh & Besar Industri Kecil Gambar 27. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Daya serap tenaga kerja di sektor industri yang merupakan sektor sekunder dalam PDRB terhadap total angkatan kerja 5 di Kabupaten Bogor sebenarnya relatif kecil yaitu berkisar antara 1,69 2,44 persen. Menurut BPS (2000), jumlah tenaga kerja di sektor industri di Indonesia tahun 2000 mencapai 7,58 juta orang atau sekitar 5) Jumlah angkatan kerja di Kabupaten Bogor tahun berkisar antara orang. Angka ini diperoleh dari total jumlah penduduk berusia tahun yang proporsinya dihitung berdasarkan komposisi penduduk tahun 2005.

101 83 8,19 persen dari seluruh total angkatan kerja (92,5 juta orang). Daya serap tenaga kerja yang lebih besar dapat dipastikan berasal dari sektor lainnya terutama sektor primer (pertanian dan pertambangan). Daya serap tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tahun 2000 mencapai 43,6 juta orang atau sekitar 47,13 persen dari total angkatan kerja di Indonesia (BPS, 2000). Dengan menggunakan persentase yang sama, diperkirakan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian di Kabupaten Bogor dapat mencapai jumlah antara 1,01 1,24 juta orang. Faktor berikutnya yang berpengaruh terhadap daya beli adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di daerah ditandai dengan meningkatnya PDRB dari tahun ke tahun. Angka PDRB menggambarkan nilai pasar seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di satu daerah selama kurun waktu tertentu. Berdasarkan Tabel 26, angka PDRB di Kabupaten Bogor sejak tahun menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata kenaikan PDRB selama adalah sebesar 5,16 persen (harga konstan) dan 14,64 persen (harga berlaku). Tingkat hubungan antara PDRB dengan daya beli dapat dilihat pada diagram pencar (Gambar 28). Analisis korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa korelasi antara PDRB dengan daya beli cukup tinggi yaitu sebesar 0,994 (PDRB harga konstan) dan 0,978 (PDRB harga berlaku). Hal ini memperlihatkan bahwa PDRB memiliki pengaruh yang kuat terhadap daya beli. Angka PDRB sebagaimana diketahui adalah ukuran yang menggambarkan nilai pasar seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk di satu daerah pada kurun waktu tertentu. Angka PDRB secara matematis terdiri dari komponen belanja pemerintah, konsumsi masyarakat, belanja swasta (investasi) dan selisih ekspor impor. Angka PDRB selain menggambarkan produksi sekaligus juga menggambarkan konsumsi seluruh penduduk.

102 84 Daya Beli (Rp/ bln) PDRB (Rp. Jut a) PDRB Riil PDRB Nominal Gambar 28. Diagram Pencar Hubungan Antara PDRB Dengan Daya Beli di Kab. Bogor Tahun Faktor ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berperan cukup penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak tersedia SDM yang memadai terutama dari segi pendidikan dan keterampilan akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia yang memiliki pendidikan dan keterampilan yang tinggi akan mudah mendapatkan pekerjaan atau berwirausaha menciptakan lapangan kerja sendiri. Pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan ketersediaan SDM adalah dengan melihat jumlah lulusan sekolah formal terutama tingkat SLTP dan SLTA. Jumlah lulusan SLTP dan SLTA di Kabupaten Bogor pada cenderung meningkat. Rata-rata kenaikan jumlah lulusan SLTA sekitar 31,21 persen setiap tahun dan rata-rata kenaikan jumlah lulusan SLTP sekitar 5,26 persen setiap tahun. Perkembangan jumlah lulusan SLTP dan SLTA dapat dilihat pada Gambar 29.

103 murid SLTA Lulusan SLTA murid SLTP Lulusan SLTP Gambar 29. Perkembangan Jumlah Lulusan SLTP dan SLTA di Kabupaten Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006) Faktor berikutnya yang mempengaruhi daya beli adalah tingkat investasi. Investasi merupakan salah satu komponen PDRB yang cukup penting. Peningkatan investasi di satu daerah akan meningkatkan PDRB yang berarti terjadi pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam kaitannya dengan PDRB sering disebut sebagai Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB). Peningkatan investasi dapat dipastikan akan berdampak pada terciptanya sejumlah lapangan pekerjaan baru yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan pengangguran. Perkembangan investasi di Kabupaten Bogor sejak tahun menunjukkan adanya peningkatan. Jumlah investasi di Kabupaten Bogor pada berkisar antara Rp. 1,6 2,15 triliun. Nilai investasi tersebut masih jauh dibawah nilai investasi tingkat nasional tahun 2005 yang mencapai Rp. 599,8 triliun.

104 86 Rata-rata pertambahan investasi di Kabupaten Bogor adalah sebesar 7,68 persen per tahun. Jika dibandingkan dengan angka PDRB, maka pada tahun 2005 rasio investasi dengan PDRB sebesar 9,23 persen (harga konstan) dan 6,21 persen (harga berlaku). Angka tersebut masih berada di bawah rata-rata investasi di tingkat nasional tahun 2005 yang mencapai rasio sebesar 9,93 persen dari PDB harga konstan. Perkembangan investasi di Kabupaten Bogor pada dapat dilihat pada Gambar 30. 2, , Rp. Miliar 1, , Ind. Mngh & Besar 1, , , , , Ind. Kecil Total Investasi 1, , , , , Gambar 30. Perkembangan Jumlah Investasi Di Kabupaten Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Berkembangnya investasi di satu daerah sangat ditentukan oleh beberapa hal yang mendukung iklim investasi antara lain prosedur perijinan investasi, kondisi infrastruktur wilayah, kondisi keamanan wilayah dan sebagainya. Prosedur perijinan yang semakin mudah dan cepat dapat mendorong meningkatnya investasi di satu daerah. Prosedur perijinan investasi di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari seberapa

105 87 banyak pemerintah daerah mengeluarkan perijinan yang diperlukan bagi berdirinya satu usaha secara formal. Pada tahun jumlah perusahaan yang berdiri secara formal di Kabupaten Bogor menunjukkan adanya peningkatan. Rata-rata jumlah perusahaan yang berdiri di Kabupaten Bogor pada tahun adalah sebanyak 1541 perusahaan. Adapun peningkatan jumlah perusahaan yang berdiri selama adalah 140 perusahaan setiap tahun atau sebanyak 7,82 persen. Perkembangan jumlah perusahaan di Kabupaten Bogor pada tahun dapat dilihat pada Gambar Ind. Mngh & Besar Ind. Kecil Total Unit Usaha Gambar 31. Perkembangan Jumlah Perusahaan Di Kabupaten Bogor Tahun (Bappeda Kab. Bogor, 2006). Prosedur perijinan investasi di Kabupaten Bogor selama ini relatif rumit. Hal tersebut terjadi karena masih banyaknya jumlah perijinan dan masih tersebarnya beragam perijinan dimaksud ke berbagai instansi yang ada di Kabupaten Bogor.

106 88 Paling tidak terdapat 10 jenis perijinan yang berkaitan dengan investasi yang harus ditempuh oleh investor seperti dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Beberapa Jenis Perijinan Investasi Di Kabupaten Bogor No Instansi Berwenang Jenis Perijinan 1 Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Ijin Pemanfaatan Penggunaan Tanah (IPPT), Ijin Pengelolaan Lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 2 Dinas Cipta Karya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Pemasangan Reklame (jika berkaitan dengan pemasangan papan nama perusahaan) 3 Sekretariat Daerah Ijin Gangguan, Ijin Lokasi, Ijin Pemanfaatan Kekayaan Daerah (jika memanfaatkan aset pemda) 4 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 5 Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan 7 Dinas Pertambangan dan Energi Ijin Tanda Daftar Perusahaan, Ijin Usaha Perdagangan (jika berkaitan dengan usaha perdagangan) Ijin Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan (jika berkaitan dengan usaha di bidang pertanian) Ijin Usaha Pertambangan Daerah, Rencana Eksploitasi Tambang (jka berkaitan dengan usaha di bidang pertambangan) 8 Dinas Pariwisata Ijin Usaha Pariwisata, Ijin Usaha Jasa Pariwisata (jika berkaitan dengan usaha di bidang pariwisata) 9 Dinas Perhubungan Ijin Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (jika berkaitan dengan penggunaan kendaraan bermotor niaga) 10 Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Sumber : Pemda Kab. Bogor (2007), diolah Ijin Tenaga Kerja Asing (jika berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing) Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempermudah prosedur perijinan di Kabupaten Bogor adalah dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perijinan yang mengelola pelayanan perijinan dalam satu atap. Ada dua model pelayanan perijinan yang dapat diterapkan yaitu : menyatukan ijin-ijin yang berkaitan dengan investasi yang selama ini diberikan oleh berbagai instansi di daerah ke dalam

107 89 satu instansi atau hanya mengkoordinasikan perijinan investasi oleh satu instansi namun wewenang perijinan tetap tersebar di berbagai instansi. 6 Faktor yang mendukung investasi selanjutnya yang cukup penting adalah keadaan infrastruktur wilayah terutama jalan raya. Keadaan infrastruktur jalan di Kabupaten Bogor selama relatif tidak banyak bertambah dari segi panjang jalan. Jumlah panjang jalan di Kabupaten Bogor sejak tahun 2002 hingga 2005 masih tetap sepanjang 1,507,5 km. Kondisi jalan rata-rata 39,47 persen dalam keadaan baik, 16,24 persen dalam keadaan sedang, 13,63 persen dalam keadaan rusak ringan dan 30,87 persen dalam keadaan rusak berat. Perkembangan keadaan infrastruktur jalan di Kabupaten Bogor pada tahun dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perkembangan Infrastruktur Di Kabupaten Bogor Tahun Kondisi Jalan Jumlah (Ruas) Panjang (Km) 1.506, , , ,52 Baik (Km) 487,58 623,45 525,33 742,71 Baik (%) 32,36% 41,38% 34,87% 49,27% Sedang (Km) 250,97 246,23 207,55 274,35 Sedang (%) 16,66% 16,34% 13,78% 18,20% Rusak Ringan (Km) 273,75 165,89 216,21 165,72 Rusak Ringan (%) 18,17% 11,01% 14,35% 10,99% Rusak Berat (Km) 494,27 471,00 547,48 347,81 Rusak Berat (%) 32,81% 31,26% 36,34% 23,07% Sumber : Bappeda Kab. Bogor (2006) 6) Ketentuan mengenai UPT Perijinan satu atap telah diatur dalam PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 47 yang menyatakan : Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu. Unit pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan.

108 90 Faktor berikutnya yang mempengaruhi daya beli masyarakat adalah faktor kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan perekonomian. Kelembagaan masyarakat di sektor ekonomi salah satunya dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam bidang ekonomi. Salah satu indikator keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan perekonomian adalah berdirinya koperasi di satu daerah. Koperasi adalah badan usaha yang paling mudah dibentuk oleh masyarakat yang dapat digunakan untuk mengakses berbagai macam fasilitas yang diberikan oleh pemerintah terutama permodalan dan pelatihan keterampilan. Berdasarkan data pada tahun 2005, jumlah koperasi di Kabupaten Bogor mencapai unit koperasi. Rasio jumlah koperasi yang ada jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja sebagai patokan adalah 1 : Rasio ini relatif kecil jika dibandingkan dengan rasio yang sama di tingkat nasional pada tahun 2003 yang mencapai 1 : 897. Rasio tersebut diperoleh dari perbandingan jumlah koperasi di Indonesia tahun 2003 sebanyak unit (Depkop, 2005) dan jumlah angkatan kerja tahun 2003 yang diperkirakan oleh Bappenas sebesar 102,8 juta orang. Dengan keadaan tersebut berarti di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 diperkirakan terdapat kekurangan koperasi sekitar koperasi hingga menjadi koperasi atau kekurangan sekitar 121,1 persen.

109 91 BAB VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 6.1. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Kebijakan umum APBD merupakan gambaran umum mengenai kebijakan pembangunan yang akan dijalankan dengan menggunakan APBD sebagai sumber pendanaan. Gambaran umum kebijakan yang disusun meliputi kebijakan untuk memperoleh pendapatan daerah, kebijakan belanja daerah dan pembiayaan daerah. Kebijakan yang berkaitan dengan belanja daerah sangat penting terutama dalam rangka meningkatkan kualitas pembangunan manusia di setiap daerah. Kebijakan umum APBD yang berkaitan dengan belanja daerah harus ditetapkan dengan strategi yang tepat. Hal tersebut berkaitan dengan adanya sejumlah kendala seperti ketersediaan dana APBD yang terbatas, waktu pelaksanaan APBD yang singkat (1 tahun) dan lain sebagainya. Strategi perancangan kebijakan umum APBD harus dapat menciptakan kebijakan belanja daerah yang efektif meskipun terdapat sejumlah kendala yang mesti dihadapi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menyusun strategi perancangan kebijakan umum APBD adalah analisis SWOT. Metode analisis SWOT yang digunakan untuk menyusun strategi perancangan kebijakan umum APBD di Kabupaten Bogor menggunakan data dan informasi yang telah dikaji dalam bab sebelumnya. Hasil kajian tersebut menjadi bahan masukkan bagi penetapan faktorfaktor internal dan eksternal yang akan dianalisis dengan analisis SWOT. Bahan masukan yang lainnya berasal dari kuesioner yang diberikan kepada responden yang merupakan stakeholder pembangunan di Kabupaten Bogor. Analisis SWOT pada kajian ini ditujukan untuk menetapkan strategi perancangan kebijakan umum APBD di sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian.

110 92 Berdasarkan kajian terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan kualitas pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian di Kabupaten Bogor dapat diketahui bahwa masing-masing faktor memiliki keadaan yang berbeda-beda. Untuk keperluan analisis SWOT, masing-masing faktor dikelompokkan dalam kelompok SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman). Penilaian dari para stakeholder terhadap faktor-faktor yang dimuat dalam kuesioner SWOT (Lampiran 2) menjadi masukan untuk penentuan strategi perancangan kebijakan umum APBD di Kabupaten Bogor. Penilaian para stakeholder yang menjadi responden terhadap faktor-faktor internal yang berpengaruh dalam pembangunan di sektor pendidikan memperlihatkan bahwa unsur kekuatan lebih dominan dari pada unsur kelemahan. Penilaian terhadap faktor-faktor eksternal memperlihatkan bahwa unsur ancaman lebih besar dari pada unsur peluang. Rekapitulasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sektor pendidikan di Kabupaten Bogor setelah dikelompokkan berdasarkan analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Analisis SWOT Sektor Pendidikan di Kabupaten Bogor. K o m p o n e n Bobot Rating Nilai Kekuatan Rasio Guru dan siswa memadai 0,20 4 0,80 Alokasi anggaran pendidikan memadai 0,30 3 0,90 Kelemahan APM SLTP dan SLTA kurang 0,35 3 1,05 Rasio ruang kelas dan siswa SLTP kurang 0,15 3 0,45 Peluang Kelembagaan masyarakat yang potensial 0,25 3 0,75 Aksesibilitas sarana SD yang baik 0,10 4 0,40 Ancaman Daya beli masyarakat rendah 0,45 4 1,80 Putus sekolah yang masih tinggi 0,20 2 0,40

111 93 Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa sektor pendidikan di Kabupaten Bogor memiliki unsur kekuatan dengan nilai 1,7 poin, unsur kelemahan dengan nilai 1,5 poin, unsur peluang dengan nilai 1,15 poin, dan unsur ancaman dengan nilai 2,2 poin. Hasil ini memperlihatkan bahwa unsur internal yang lebih besar adalah unsur kekuatan dan unsur eksternal yang lebih besar adalah unsur ancaman. Pada situasi tersebut strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sektor pendidikan di Kabupaten Bogor adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi. Strategi diversifikasi ditujukan untuk memanfaatkan kekuatan yang ada dalam menghadapi ancaman. Kekuatan yang dapat dioptimalkan antara lain adalah : menyeimbangkan rasio guru dan siswa terutama untuk tingkat SLTP dan SLTA di mana pada saat ini masih banyak guru di kedua tingkatan ini yang kekurangan jam mengajar, meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan. Ancaman yang harus ditanggulangi antara lain adalah : meningkatkan daya beli masyarakat dan menekan angka putus sekolah. Hasil penilaian responden terhadap pembangunan sektor kesehatan agak berbeda dengan sektor pendidikan. Penilaian responden terhadap faktor-faktor internal yang berpengaruh di sektor kesehatan memperlihatkan bahwa unsur kekuatan lebih dominan dari pada unsur kelemahan. Penilaian terhadap faktor-faktor eksternal memperlihatkan bahwa unsur ancaman memiliki nilai yang sama dengan unsur peluang. Keadaan terebut memungkinkan diterapkannya dua strategi perencanaan pembangunan di sektor kesehatan. Rekapitulasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan sektor kesehatan di Kabupaten Bogor setelah dikelompokkan berdasarkan komponen SWOT dapat dilihat pada Tabel 29.

112 94 Tabel 29. Analisis SWOT Sektor Kesehatan di Kabupaten Bogor. K o m p o n e n Bobot Rating Nilai Kekuatan Angka kematian bayi dan ibu yang kecil 0, Jumlah persalinan medis yang memadai 0, Kelemahan Fasilitas kesehatan yang kurang memadai 0, Jumlah tenaga medis yang kurang memadai 0, Peluang Tingkat gizi balita yang relatif baik 0, Kualitas lingkungan hidup yang relatif baik 0, Ancaman Daya beli masyarakat rendah 0, Kelembagaan masyarakat yang kurang 0, Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap sektor kesehatan di Kabupaten Bogor diketahui bahwa unsur kekuatan memiliki nilai 1,80 poin, unsur kelemahan memiliki nilai 1,20 poin, unsur peluang dan ancaman masing-masing memiliki nilai 1,50 poin. Keadaan ini menggambarkan bahwa unsur internal yang dominan adalah kekuatan dan unsur eksternal memiliki nilai yang sama antara peluang dan ancaman. Pada situasi seperti ini strategi yang dapat diterapkan untuk membangun sektor kesehatan di Kabupaten Bogor dapat berupa strategi S-T atau strategi diversifikasi dan strategi S-O atau strategi progresif secara bersamaan. Strategi diversifikasi ditujukan untuk memanfaatkan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman sedangkan strategi progresif ditujukan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna memanfaatkan peluang yang tersedia. Kekuatan sektor kesehatan di Kabupaten Bogor yang dapat dimanfaatkan antara lain adalah keberhasilan pemerintah daerah menekan angka kematian bayi dan ibu serta keberhasilan dalam meningkatkan pelayanan persalinan secara medis. Peluang sektor kesehatan yang dapat dimanfaatkan adalah tingkat gizi balita yang relatif baik serta adanya keinginan masyarakat untuk menjaga kondisi lingkungan

113 95 hidup. Unsur ancaman di sektor kesehatan yang harus ditanggulangi adalah rendahnya daya beli masyarakat yang mempengaruhi biaya kesehatan dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kelembagaan sektor kesehatan seperti penyediaan posyandu. Faktor-faktor yang mempengaruhi sektor perekonomian masyarakat sebagaimana telah dikaji dalam bab sebelumnya juga umum memiliki keadaan yang berbeda satu sama lain. Beberapa faktor terlihat memiliki kecenderungan yang posistif antara lain adalah pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan SDM, tetapi beberapa faktor lainnya memiliki kecenderungan negatif. Rekapitulasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli di Kabupaten Bogor setelah dikelompokkan berdasarkan analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Analisis SWOT Sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor. K o m p o n e n Bobot Rating Nilai Kekuatan Pertumbuhan Ekonomi yang meningkat 0, Ketersediaan SDM yang memadai 0, Kelemahan Penyerapan tenaga kerja yang relatif kecil 0, Pelayanan perijinan yang kurang optimal 0, Peluang Tingkat investasi yang relatif baik 0, Kondisi infrastuktur yang relatif baik 0, Ancaman Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah 0, Kelembagaan masyarakat yang kurang 0, Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap sektor perekonomian di Kabupaten Bogor dapat diketahui bahwa unsur kekuatan memiliki nilai 2,00 poin, unsur kelemahan memiliki nilai 1,60 poin, unsur peluang memiliki nilai 1,50 poin dan unsur ancaman memiliki 1,75 poin. Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa unsur internal yang dominan adalah kekuatan dan unsur eksternal yang

114 96 dominan adalah kelemahan. Pada situasi tersebut, strategi yang tepat untuk diterapkan dalam pembangunan perekonomian di Kabupaten Bogor adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi. Strategi diversifikasi ditujukan untuk mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki berupa pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan SDM yang memadai untuk menghadapi ancaman yang ada berupa tingkat pendapatan yang rendah dan aspek kelembagaan masyarakat di bidang ekonomi yang relatif kurang berkembang Rekomendasi Program Pembangunan Hasil analisis SWOT memperlihatkan bahwa secara umum strategi yang tepat untuk pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian adalah strategi S-T. Pada sektor kesehatan dapat juga diterapkan strategi S-O. Strategi-strategi tersebut menekankan pada pemanfaatan unsur kekuatan di masing-masing sektor untuk menghadapi persoalan berupa ancaman. Pada dasaranya stratagei S-T menekankan pada adanya diversifikasi atau keragaman program untuk mengatasi ancaman. Untuk itu diperlukan adanya kreativitas atau terobosan dalam membuat program dan kegiatan di sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian Program Sektor Pendidikan Berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi yang layak diterapkan pada sektor pendidikan adalah strategi S-T atau diversifikasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna menghadapi sejumlah ancaman. Kekuatan yang dimiliki dalam hal ini adalah ketersediaan guru dan potensi anggaran pemerintah yang dapat disediakan untuk membangun sektor pendidikan. Adapun ancaman yang ada adalah faktor daya beli masyarakat yang rendah dan angka putus sekolah yang

115 97 relatif cukup tinggi. Program pembangunan sektor pendidikan yang dapat direkomendasikan dalam hal ini adalah : 1. program sekolah bebas biaya (gratis) untuk siswa SD/ SLTP, 2. program sekolah SD-SLTP satu atap atau pendidikan dasar sembilan tahun, 3. program pembentukan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola, 4. prorgram pembentukan PKBM plus keterampilan, 5. program pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung sekolah. Program sekolah gratis SD-SLTP adalah program yang dimaksudkan untuk menanggulangi hambatan daya beli masyarakat yang rendah. Program tersebut diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi murni (APM) di Kabupaten Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor hingga saat ini belum sepenuhnya dapat memberlakukan pendidikan gratis. Adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat untuk siswa SD dan SLTP baik sekolah negeri maupun swasta belum mampu menghapuskan adanya pungutan untuk siswa. Penyebab hal ini antara lain adalah : (1) penggelembungan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) oleh pihak sekolah yang membuat alokasi BOS tidak mencukupi sehingga kekurangannya tetap dimintakan kepada orang tua siswa dan (2) pungutan uang pembangunan yang dipaksakan kepada orang tua siswa terutama pada saat pendaftaran siswa baru. Untuk mengatasi hal ini diperlukan komitmen pemerintah daerah dalam mengawal pelaksanaan program pendidikan gratis. Kebutuhan anggaran penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP di Kabupaten Bogor relatif besar. Komponen pembiayaan sekolah SD-SLTP yang harus disediakan pemerintah antara lain adalah : biaya operasional sekolah (BOS) setiap bulan dan

116 98 biaya pendaftaran siswa baru. Komponen biaya operasional sekolah saat ini telah disediakan oleh pemerintah pusat melalui program BOS tahun 2007 yang besarannya adalah Rp /siswa/tahun untuk siswa SD dan Rp /siswa/tahun untuk siswa SLTP. Perkiraan besarnya kebutuhan BOS yang disediakan pemerintah pusat untuk seluruh siswa SD dan SLTP di Kabupaten Bogor tahun 2007 sekitar Rp. 179,6 milyar dengan rincian Rp. 126,1 milyar untuk siswa SD dan Rp. 53,5 milyar untuk siswa SLTP. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dapat pula menganggarkan tambahan BOS sesuai kemampuan keuangan daerah. Komponen biaya pendaftaran siswa baru sebetulnya adalah komponen biaya yang dapat dihilangkan jika ada kemauan dari pemerintah daerah untuk mencegah sekolah melakukan pungutan. Hanya saja pihak sekolah bersama dengan komite sekolah yang merupakan perwakilan orang tua siswa sering menyepakati adanya pungutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas pelengkap sekolah. Berdasarkan pengamatan peruntukan biaya pendaftaran umumnya dilakukan untuk pembelian seragam sekolah, buku pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan penambahan fasilitas sekolah. Beberapa komponen biaya pendaftaran sebetulnya dapat dihilangkan seperti biaya pengadaan seragam sekolah yang dapat dilakukan secara mandiri oleh orang tua siswa. Biaya kegiatan ekstrakurikuer sebetulnya sudah ditanggulangi oleh BOS karena termasuk operasional sekolah. Pemerintah daerah dapat membantu biaya pengadaan buku pelajaran dan penambahan fasilitas sekolah. Perkiraan besaran anggaran yang diperlukan untuk membebaskan biaya pendaftaran sekolah di Kabupaten Bogor adalah sekitar Rp. 28,6 milyar. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi SD dan 471 SLTP dengan ketentuan Rp. 10 juta untuk SD dan Rp. 15 juta untuk SLTP. Anggaran tersebut dapat menghapuskan pungutan biaya pendaftaran siswa baru terutama untuk sekolah negeri yang menjadi

117 99 tanggung jawab pemerintah. Pungutan masih dimungkinkan untuk sekolah swasta sesuai dengan kemampuan orang tua siswa karena sekolah swasta relatif mandiri dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Program penggabungan sekolah SD-SLTP dalam satu atap di mana siswa belajar selama sembilan tahun ditujukan salah satunya untuk mengurangi beban biaya transportasi. Salah satu penyebab banyaknya siswa lulusan SD yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang SLTP adalah karena lokasi SLTP yang jauh untuk dijangkau sehingga memerlukan biaya transportasi. Apabila siswa lulusan SD terus dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang SLTP di tempat yang sama, maka hal ini dapat mengurangi tingkat putus sekolah. Program peningkatan partisipasi sekolah non formal untuk menanggulangi angka buta huruf yang dapat direkomendasikan dalam hal ini antara lain adalah penyelenggaraan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola yang mendekatkan PKBM dengan tempat tinggal penduduk buta huruf. Penyelenggaraan PKBM di Kabupaten Bogor selama ini masih mengandalkan pada inisatif masyarakat terutama dalam penyediaan tempat belajar. Pemerintah daerah dalam hal ini hanya memfasilitasi bahan pelajaran dan bantuan sebagian dana operasional PKBM. Untuk dapat menyelenggarakan PKBM sistem jemput bola, pemerintah daerah harus menentukan lokasi PKBM di wilayah yang banyak penduduk buta hurufnya dan mudah dijangkau. Program lain yang dapat dilakukan adalah penyelenggaraan PKBM plus yang selain menyelenggarakan kegiatan pemberantasan buta huruf juga menyertakan program peningkatan penghasilan. Program ini mensinergikan pemberantasan buta huruf dan peningkatan pendapatan (daya beli). Perpaduan dua hal ini diharapkan dapat menarik minat penduduk yang buta huruf untuk belajar di PKBM.

118 100 Program pembangunan dan rehabilitasi sekolah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan daya tampung sekolah, mengoptimalkan rasio ruang kelas dan siswa, serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana pendidikan. Program ini sangat mungkin untuk diterapkan karena anggaran pendidikan dalam APBD masih dapat ditingkatkan. Kebutuhan pembangunan dan perbaikan seluruh ruang kelas yang rusak berat di Kabupaten Bogor diperkirakan sebanyak ruang kelas mulai dari jenjang SD hingga SLTA. Jika diasumsikan biaya untuk memperbaiki ruang kelas adalah sebesar Rp. 100 juta, maka diperlukan sekitar Rp. 500 milyar untuk menyelesaikan semua kerusakan. Jika pertambahan ruang kelas yang rusak berat sebesar 6 persen atau 300 ruang kelas per tahun, maka diperlukan anggaran sebesar Rp. 280 milyar per tahun selama dua tahun untuk memperbaiki seluruh ruang kelas yang rusak Program Sektor Kesehatan Strategi pembangunan sektor kesehatan yang dapat diterapkan berdasarkan hasil analisis SWOT adalah strategi S-T (diversifikasi) atau strategi S-O (progresif). Strategi tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna menghadapi sejumlah ancaman dan juga untuk memanfaatkan peluang yang tersedia. Program pembangunan sektor kesehatan yang direkomendasikan adalah : 1. program imunisasi dasar gratis, 2. program pemberian makanan tambahan gratis, 3. program revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu), 4. program pelayanan kesehatan gratis untuk keluarga miskin dan berpenghasilan rendah. 5. program pembangunan dan rehabilitasi sarana kesehatan milik pemerintah.

119 101 Program sektor kesehatan di Kabupaten Bogor yang selama ini dilakukan berkaitan dengan imunisasi adalah program pengembangan imunisasi (PPI) untuk balita seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerrin), Hepatitis B, Polio, DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) dan Campak serta imunisasi non PPI seperti HIB (Haemophillus Influenza type B), MMR (Measles, Mumps, Rubella), Tifoid, Hepatitis A dan Varisela. Pelayanan imunisasi tersebut sebagian diberikan secara gratis dan sebagian dikenakan biaya di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) atau pos pelayanan terpadu (posyandu). Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan imunisasi lebih sering terjadi karena hambatan budaya daripada ekonomi. Sebagian orang tua tidak menginginkan anaknya diimunisasi karena dampak sementaranya seperti balita menjadi panas dan gejala lainnya. Hambatan budaya lainnya adalah ketidakfahaman tentang manfaat imunisasi dan juga kerumitan-kerumitan dalam pelaksanaan imunisasi. Solusi yang direkomendasikan untuk meningkatkan cakupan imunisasi di Kabupaten Bogor antara lain adalah peningkatan sosialisasi tentang pentingnya imunisasi dan juga pemberian imunisasi dasar atau imunisasi PPI secara gratis. Program penanganan gizi balita di Kabupaten Bogor salah satunya dilakukan melalui pemberian makanan tambahan (PMT). Hambatan yang selama ini terjadi pada program ini antara lain adalah adanya kecenderungan balita kurang menyukai jenis makanan tambahan yang diberikan sehingga program tidak efektif. Hal yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi persoalan ini misalnya dengan fortifikasi bahan makanan yang biasa dimakan balita. Fortifikasi yang diberikan adalah berupa zat gizi yang dibuat secara khusus dalam bentuk bubuk. Dengan cara ini balita tidak harus mengubah jenis makanannya tetapi cukup ditambah zat fortifikasi. Program pemberian makanan tambahan gratis diharapkan dapat meningkatkan gizi balita yang ada di Kabupaten Bogor.

120 102 Sarana yang dapat digunakan untuk melaksanakan program peningkatan cakupan imunisasi dan pelayanan gizi balita di atas adalah posyandu. Rasio jumlah posyandu dengan jumlah balita juga sangat kecil yaitu 1 : 110. Keadaan ini diduga menjadi sebab mengapa peningkatan indeks kesehatan di Kabupaten Bogor kurang optimal. Untuk itu hal yang dapat direkomendasikan adalah peningkatan jumlah posyandu di Kabupaten Bogor melalui program revitalisasi posyandu. Program pelayanan kesehatan gratis untuk keluarga miskin dan berpenghasilan rendah layak direkomendasikan dalam rangka membantu mereka memperoleh pelayanan kesehatan. Program ini perlu dilaksanakan karena daya beli yang rendah masih menjadi ancaman di sektor kesehatan. Program lain yang juga layak direkomendasikan adalah pembangunan dan rehabilitasi sarana kesehatan. Hal terebut perlu dilakukan karena jumlah fasilitas kesehatan yang kurang memadai masih menjadi kelemahan mendasar di sektor kesehatan di Kabupaten Bogor. Komponen anggaran yang diperlukan untuk program kesehatan gratis terdiri dari biaya pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan pelayanan rujukan di rumah sakit. Anggran operasional pelayanan dasar diperkirakan sebesar Rp. 5 milyar per tahun untuk 209 puskesmas/pustu/pusling. Nilai tersebut diperoleh dari rata-rata retribusi kesehatan per tahun yang selama ini diperoleh di Kabupaten Bogor. Anggaran pelayanan rujukan untuk 1,1 juta keluarga miskin selama ini ditanggung oleh pemerintah pusat melalui asuransi keluarga miskin (askeskin) dengan premi sebesar Rp /jiwa/tahun. Oleh karena itu anggaran yang harus disediakan dalam hal ini hanya untuk sekitar 2 juta penduduk berpenghasilan rendah dalam bentuk asuransi kesehatan daerah (askesda). Perkiraan anggaran yang diperlukan dalam hal ini adalah Rp. 120 milyar per tahun untuk premi sebesar Rp /jiwa/tahun.

121 Program Sektor Perekonomian Strategi pembangunan sektor perekonomian yang dapat diterapkan berdasarkan hasil analisis SWOT adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi. Strategi tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan yang ada guna menghadapi sejumlah ancaman dan juga untuk memanfaatkan peluang yang tersedia. Program pembangunan sektor perekonomian yang dapat direkomendasikan dalam hal ini adalah : 1. program pendidikan dan pelatihan angkatan kerja, 2. program pelayanan perijinan investasi satu atap, 3. program pembangunan infrastruktur perekonomian, 4. prorgram pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah, 5. program pengembangan pertanian terpadu. Ketersediaan SDM yang memadai adalah salah satu kekuatan yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor di sektor perekonomian. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDM tersebut maka dibutuhkan program semacam pemberian pendidikan dan pelatihan terutama kepada penduduk yang masuk kelompok angkatan kerja. Hal tersebut perlu dilakukan karena meningkatnya ketersediaan SDM yang siap untuk bekerja atau SDM yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri akan memberi peluang meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja dan memperoleh penghasilan. Pada akhirnya hal tersebut akan akan berpengaruh positif terhadap daya beli. Untuk tahap awal, program pendidikan dan pelatihan difokuskan untuk melatih lulusan SLTA dan penduduk yang belum bekerja. Perkiraan jumlah lulusan

122 104 SLTA setiap tahun adalah siswa dan jumlah pengangguran setiap tahun adalah orang. Untuk itu diperlukan program pendidikan dan pelatihan harus dapat melayani sekitar orang. Jika diasumsikan biaya pendidikan dan pelatihan yang diperlukan sebesar Rp per orang, maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 21 milyar per tahun. Kenyataan bahwa pengaruh investasi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor menunjukkan pentingnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi. Salah satu program yang perlu dilakukan adalah pemberian pelayanan perijinan investasi satu atap. Peningkatan investasi dipastikan akan mendorong peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaann bagi masyarakat. Pada akhirnya hal tersebut akan akan memberikan peluang bagi meningkatnya daya beli masyarakat. Peluang peningkatan investasi perlu juga didukung oleh ketersediaan infrasturktur wilayah yang memadai. Kondisi infrastuktur wilayah di Kabupaten Bogor yang relatif memadai perlu senantiasa ditingkatkan untuk menunjang iklim investasi. Program pemerintah yang dapat diterapkan dalam hal ini adalah pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur wilayah terutama jalan dan jembatan. Program tersebut selain mendorong tumbuhnya investasi, secara langsung juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi infrastruktur yang baik di satu daerah akan memperlancar arus barang dan jasa sehingga dapat memberikan peluang adanya peningkatan produksi barang dan jasa. Peningkatan produksi barang dan jasa adalah berarti juga peningkatan pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang diperlukan untuk perbaikan infrastruktur ditentukan oleh banyaknya infrastruktur yang rusak terutama rusak ringan dan berat. Panjang jalan yang rusak ringan dan berat di Kabupaten Bogor tahun 2005 sebesar 513,53 km.

123 105 Biaya yang diperlukan untuk memperbaiki jalan yang rusak kurang lebih Rp per meter jalan. Anggaran yang diperlukan untuk memperbaiki jalan di Kabupaten Bogor diperkirakan sebesar Rp Anggaran ini akan bertambah besar jika anggaran perbaikan jembatan dan juga anggaran pemeliharaan rutin jalan dimasukkan dalam komponen perbaikan infrastruktur. Program pemerintah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perekonomian adalah program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil-menengah (KUKM). Program tersebut diharapkan dapat mendorong tumbuhnya KUKM di Kabupaten Bogor. Peningkatan jumlah KUKM akan berdampak pada peningkatan jumlah lapangan pekerjaan dan jumlah orang yang berpenghasilan. Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh positif terhadap daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor. Anggaran yang diperlukan untuk membantu KUKM di Kabupaten Bogor ditentukan oleh seberapa besar jumlah KUKM di Kabupaten Bogor dan juga seberapa besar bantuan modal akan diberikan. Jumlah KUKM di Kabupaten Bogor berdasarkan data tahun 2005 diketahui sebanyak unit terdiri dari industri kecil dan koperasi. Jika diinginkan adanya rasio ideal koperasi dengan angkatan kerja, maka diperlukan tambahan sebanyak unit koperasi. Total KUKM yang harus dibantu permodalannya di Kabupaten Bogor kurang lebih unit. Anggaran yang diperlukan untuk membantu permodalan seluruh KUKM di Kabupaten Bogor diperkirakan sebesar Rp dengan asumsi bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp. 5 juta per unit KUKM. Anggaran tersebut dapat diperkecil jika pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan lembaga keuangan seperti Bank Jabar dan lembaga keuangan lainnya.

124 106 Kenyataan bahwa faktor pertumbuhan ekonomi menjadi unsur kekuatan dan faktor penyerapan tenaga kerja menjadi kelemahan menunjukkan perlunya pemerintah daerah Kabupaten Bogor melaksanakan program yang mensinergikan kedua hal di atas. Program yang direkomendasikan dalam hal ini adalah program pengembangan pertanian secara terpadu. Sebagaimana diketahui, sektor pertanian adalah sektor primer yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Bogor. Sebagai sektor primer maka sektor pertanian adalah sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar dibanding sektor sekunder dan sektor tersier. Arah dari program pengembangan pertanian dalam hal ini adalah untuk meningkatkan daya beli para petani di Kabupaten Bogor Penentuan Prioritas Pembangunan Penentuan prioritas pembangunan daerah dilakukan untuk menetapkan beberapa prioritas program pembangunan yang berorientasi pada peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) secara optimal. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan terdapat beberapa alternatif program pembangunan yang layak untuk didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor. Program-program tersebut tersebar dalam sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 31. Program-program di atas perlu ditentukan prioritasnya satu sama lain. Untuk menentukan priritas diperlukan penilaian dengan menggunakan beberapa variabel. Variabel-variabel tersebut adalah : (1) aspek biaya yang diperlukan, (2) aspek pembuatan kebijakan, (3) aspek kesiapan aparatur, (4) aspek kemanfaatan bagi masyarakat dan (5) aspek partisipasi masyarakat.

125 107 Tabel 31. Rekomendasi Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor Sektor Pendidikan Kesehatan Perekonomian Rekomendasi Progam Pembangunan Daerah Sekolah gratis untuk tingkat SD-SMP Sekolah SD-SMP satu atap atau sekolah 9 tahun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sistem jemput bola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat plus keterampilan Pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah Pelayanan imunisasi dasar gratis Pemberian makanan tambahan gratis Revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu) Pelayanan kesehatan gratis untuk keluarga miskin Pembangunan dan rehabilitasi sarana kesehatan pemerintah Pendidikan dan pelatihan angkatan kerja Pelayanan perijinan investasi satu atap Pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur wilayah Pemberian bantuan permodalan bagi KUKM Pengembangan pertanian terpadu Tinjauan terhadap aspek biaya ditekankan pada besar kecilnya pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan program pembangunan. Semakin rendah biaya yang diperlukan berarti semakin prioritas program tersebut. Aspek pembuatan kebijakan menekankan pada sejauh mana kemauan institusi eksekutif dan legislatif dalam membuat kebijakan yang mendukung program tersebut. Aspek kesiapan aparatur menekankan pada kesiapan aparatur pemerintah dalam mendukung program dimaksud. Aspek kemanfaatan bagi masyarakat menekankan pada besar kecilnya manfaat program bagi masyarakat. Semakin besar manfaat program bagi mayarakat akan semakin prioritas program tersebut. Aspek partisipasi menekankan pada sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung program yang ditetapkan. Secara umum hirarki pemilihan program pembangunan daerah yang telah diproses dengan program EXPERT CHOICE 2000 adalah seperti pada Gambar 32.

126 108 Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor Pelaku Pembangunan Pemerintahan Daerah Swasta Masyarakat 0,105 0,637 0,258 Kendala Pembangunan Aspek Biaya Aspek Kebijakan Aspek Aparatur Aspek Manfaat Aspek Partisipasi 0,257 0,195 0,385 0,109 0,053 Alternatif Pembangunan Bid. Pendidikan Sekolah gratis (0,346) Sarana sekolah (0,206) PKBM jpt bola (0,172) Sekolah 1 atap (0,150) PKBM plus (0,126) Bid. Kesehatan Kesehatan gratis (0,360) Sarana kesehatan (0,234) Rev. posyandu (0,196) Imunisasi gratis (0,166) PMT gratis (0,044) Bid. Ekonomi Permodalan KUKM (0,293) Diklat Angk. Kerja (0,254) Perijinan 1 atap (0,215) Pemb. infrastuktur (0,162) Pertanian Terpadu (0,076) Gambar 32. Hasil AHP Terhadap Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor Berdasarkan hasil analisis dengan metode AHP diketahui bahwa urutan pelaku pembangunan yang paling berpengaruh adalah : pemerintah daerah (nilai 0,637), masyarakat (nilai 0,258) dan swasta (nilai 0,105). Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pembangunan. Keberhasilan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagian besar merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara periodik menetapkan program-program pembangunan termasuk anggarannya. Besar kecilnya porsi anggaran pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian ditetapkan oleh pemerintah melalui mekanisme tetentu yang tidak mudah diakses oleh pihak swasta maupun masyarakat. Pemerintah pusat dalam hal ini telah mengalokasikan anggaran pembangunan dalam

127 109 bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) kepada setiap pemerintah daerah yang ditujukan untuk membantu pencapaian IPM. Pelaksanaan program-program pembangunan sebagian besar juga dilaksanakan oleh aparat pemerintah. Adapun swasta dan masyarakat memiliki peran dalam pembangunan yang tidak sebesar porsi yang dimiliki oleh pemerintah. Pihak swasta umumnya berperan dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah terutama proyek infrastruktur. Pihak swasta juga berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Adapun pihak masyarakat memiliki peran sebagai pendukung keberhasilan progam pembangunan. Hal yang diharapkan dari pihak masyarakat yang paling penting adalah partisipasi dalam pembangunan. Kurangnya partisipasi dari masyarakat akan menyebabkan kegagalan program pembangunan. Hasil analisis dengan AHP memperlihatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam keberhasilan program pembangunan menurut ketiga pelaku pembangunan daerah (pemerintah daerah, swasta dan masyarakat) adalah aspek aparatur. Adapun faktor yang paling rendah pengaruhnya adalah faktor partisipasi. Secara lengkap urutan faktor yang berpengaruh dalam pembangunan daerah adalah seperti Tabel 32. Tabel 32. Faktor Yang Berpengaruh Dalam Program Pembangunan di Kab. Bogor Urutan Aspek Nilai AHP 1 Aparatur Biaya Kebijakan Kemanfaatan Partisipasi Peran aparatur pemerintah dalam melaksanakan program-program pembangunan sangat besar. Keberhasilan pencapaian target pembangunan daerah

128 110 berupa IPM sangat dipengaruhi oleh kesiapan aparatur pemerintahan. Pada sektor pendidikan aparatur pemerintah berperan mulai dari tingkat sekolah yaitu para guru dan kepala sekolah hingga aparatur di tingkat Dinas Pendidikan. Pada sektor kesehatan aparatur pemerintaan berperan mulai dari tingkat petugas kesehatan dan dokter serta bidan di Puskesmas hingga aparatur di tingkat Dinas Kesehatan serta Rumah Sakit Umum Daerah. Adapun pada sektor perekonomian, aparatur pemerintah berperan mulai dari petugas penyuluh di lapangan hingga aparat di berbagai dinas yang membidangi sektor perekonomian. Menurut catatan Sekretariat Daerah Kab. Bogor (2006), jumlah aparatur pemerintahan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Bogor berjumlah orang dan yang berstatus tenaga kontrak berjumlah orang. Jenjang pendidikan aparatur pemerintah di Kabupaten Bogor adalah SD (2,9%), SLTP (3,7%), Diploma (47,3%) dan Sarjana (26,7%). Faktor biaya dan kebijkan menempati urutan berikutnya dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Semakin mencukupinya anggaran yang disediakan untuk melaksanakan program pembangunan akan semakin besar peluang tercapainya target pembangunan. Alokasi terbesar dari belanja publik umumnya disediakan untuk sektor ekonomi dan infrastruktur yaitu berkisar antara persen. Pada aspek kebijakan, Pemerintah Kabupaten Bogor sampai saat ini belum membuat peraturan daerah (PERDA) yang berkaitan secara khusus dengan pengelolaan pendidikan, kesehatan maupun perekonomian. Adapun perda yang pernah dibuat adalah sebatas perda pembentukan dinas pendidikan, dinas kesehatan dan dinas-dinas yang berhubungan dengan sektor perekonomian. Perda ini perlu ditunjang dengan perda khusus seperti perda pengelolaan pendidikan atau perda pelayanan kesehatan dan perda tentang pengelolaan perekonomian masyarakat.

129 111 Aspek kemanfaatan program dan aspek partisipasi menempati urutan terbawah dari faktor-faktor yang berpengaruh pada pembangunan daerah. Hal ini memperlihatkan bahwa bagi para pelaku pembangunan aspek kemanfaatan dan partisipasi masyarakat relatif kurang berpengaruh dibanding aspek lainnya. Aspek kemanfaatan pada dasarnya meninjau sejauh mana program yang digulirkan bermanfaat bagi masyarakat (aspek outcome) sedangkan aspek partisipasi melihat sejauhmana program yang akan digulirkan mendapat respon dari masyarakat secara luas Prioritas Pembangunan Sektor Pendidikan Hasil analisis dengan AHP untuk menentukan prioritas pembangunan daerah di sektor pendidikan memperlihatkan bahwa progam penyelenggaraan sekolah gratis dari tingkat SD-SLTP menempati prioritas pertama. Urutan berikutnya adalah program pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah, program pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola, program penyelenggaraan SD-SLTP satu atap (9 tahun), dan program PKBM plus keterampilan. Uraian selengkapnya dari prioritas program pembangunan sektor pendidikan dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan Urutan Program Pembangunan Nilai AHP 1 Penyelenggaraan Sekolah Gratis SD-SLTP 0,346 2 Pembangunan Dan Rehabilitasi Gedung Sekolah 0,206 3 Penyelenggaraan PKBM Sistem Jemput Bola 0,172 4 Penyelenggaraan SD-SLTP Satu Atap (9 Tahun) 0,150 5 Penyelenggaraan PKBM Plus Keterampilan 0,126 Penetapan penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP menjadi prioritas pembangunan sektor pendidikan merupakan hal yang sangat tepat. Berdasarkan

130 112 kajian sebelumnya diketahui bahwa faktor penting bagi tercapainya peningkatan derajat pendidikan adalah daya beli masyarakat. Penyelenggaraan sekolah gratis atau bebas biaya mulai dari jenjang SD hingga SLTP adalah solusi mengatasi rendahnya partisipasi sekolah formal dan tingginya angka putus sekolah. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor hingga saat ini belum mampu menyelenggarakan program pendidikan gratis untuk jenjang SD-SLTP terutama di sekolah negeri milik pemerintah meskipun sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat disebabkan antara lain oleh mentalitas aparatur yang masih sering melakukan pungutan-pungutan kepada siswa. Menurut para pelaku pembangunan (pemerintah daerah, swasta dan masyarakat), program pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah menjadi prioritas kedua setelah program penyelenggaraan sekolah gratis. Penetapan prioritas tersebut disebabkan oleh adanya pemahaman umum bahwa gedung sekolah masih merupakan satu-satunya tempat penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang formal. Banyaknya gedung-gedung sekolah yang rusak menandakan kurangnya pembangunan pada sektor pendidikan. Prioritas pembangunan berikutnya yang harus dilakukan adalah program penyelenggaraan PKBM sistem jemput bola. Program ini sebetulnya adalah program pengentasan buta huruf yang berarti juga program peningkatan angka melek huruf (AMH). Program ini relatif berpengaruh terhadap derajat pendidikan terutama dalam meningkatkan angka melek huruf (AMH). Pemerintah Kabupaten Bogor selama ini belum optimal dalam menyelenggarakan program dimaksud karena masih mengandalkan pada inisiatif masyarakat dalam penyediaan tempat belajar. Pemerintah Kabupaten Bogor semestinya membentuk PKBM di lokasi-lokasi yang jumlah penduduk buta hurufnya tinggi.

131 113 Program penyelenggaraan SD-SLTP satu atap atau progam pendidikan dasar 9 tahun adalah solusi untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah. Selama ini sering ditemui siswa yang sudah lulus SD (6 tahun) tidak melanjutkan ke jenjang SLTP karena hambatan biaya dan jarak sekolah yang bertambah jauh. Rasio jumlah lulusan SD dengan daya tampung SLTP sangat tidak seimbang. Penetapan progam penyelenggaraan SD-SLTP satu atap meski ditempatkan sebagai prioritas ke empat sebetulnya adalah program yang penting. Kendala terbesar dari program tersebut adalah kendala kebijakan dan kesiapan aparatur. Terdapat sejumlah kebijakan yang harus dibuat di daerah termasuk di pusat untuk mengakomodasi program tersebut. Pengguliran progam SD-SLTP satu atap secara ideal dapat berarti penghapusan jenjang sekolah SLTP sehingga sangat mungkin mendapat penolakan dari berbagai pihak. Hal yang paling mungkin dilakukan sebagai tahap uji coba adalah pengguliran SD-SLTP satu atap di lokasi tertentu yang akses transportasinya terbatas. Program penyelenggaraan PKBM plus keterampilan yang ditempatkan sebagai prioritas terakhir adalah program pengentasan buta huruf yang digabungkan dengan pendidikan keterampilan. Program tersebut diadakan untuk menggabungkan kebutuhan peserta PKBM yang mayoritas usia produktif. Perpaduan kegiatan pemberantasan buta huruf dan pelatihan keterampilan untuk meningkatakan pendapatan diharapkan dapat menarik minat masyarakat yang buta huruf untuk belajar di PKBM. Program seperti ini belum optimal dilaksanakan di Kabupaten Bogor karena jumlahnya masih sangat terbatas. Jumlah PKBM secara keseluruhan di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 adalah sebanyak 66 unit dengan jumlah penduduk buta huruf sebanyak orang.

132 Prioritas Pembangunan Sektor Kesehatan Hasil analisis dengan AHP untuk menentukan prioritas pembangunan daerah di sektor kesehatan memperlihatkan bahwa progam pelayanan kesehatan gratis menempati prioritas pertama. Urutan berikutnya adalah program pembangunan sarana kesehatan, program revitalisasi pos pelayanan terpadu (Posyandu), program pemberian imunisasi gratis dan program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi balita. Uraian selengkapnya dari prioritas program pembangunan sektor kesehatan dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Kesehatan Urutan Program Pembangunan Nilai AHP 1 Pelayanan Kesehatan Gratis 0,360 2 Pembangunan Sarana Kesehatan 0,234 3 Revitalisasi Posyandu 0,196 4 Pemberian Imunisasi gratis 0,166 5 Pemberian Makanan Tambahan Bagi Balita 0,044 Penetapan progam pelayanan kesehatan gratis menjadi prioritas pembangunan sektor kesehatan memperlihatkan bahwa bagi para pelaku pembangunan, aspek ekonomi menjadi alasan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Program pelayanan kesehatan gratis yang dilaksanakan di Kabupaten Bogor selama ini ditujukan untuk masyarakat miskin atau masyarakat berpenghasilan rendah. Program ini cukup berhasil membantu masyarakat miskin untuk mendapat pelayanan kesehatan secara maksimal mulai dari puskesmas hingga rumah sakit. Program pembangunan sarana kesehatan yang ditetapkan pada prioritas kedua sejalan dengan hasil kajisan sebelumnya yang menempatkan faktor sarana kesehatan sebagai faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap AHH. Pembangunan sarana kesehatan dalam hal ini meliputi puskesmas, puskesmas

133 115 pembantu (pustu), puskesmas keliling, rumah sakit, praktek dokter umum, rumah bersalin dan sebagainya. Jumlah sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Bogor sejak tahun cenderung mengalami peningkatan. Program revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu) yang berupa pembentukan dan pengaktifan posyandu di setiap pelosok desa pada dasarnya adalah program yang menunjang tercapainya AHH secara optimal. Posyandu adalah tempat dilaksanakannya berbagai pelayanan kesehatan untuk ibu dan balita seperti imunisasi dan pemberian makanan tambahan bergizi. Program ini bersama dengan program pemberian imunisasi gratis dan program pemberian makanan tambahan untuk balita secara nyata berpengaruh terhadap AHH. Program revitalisasi posyandu yang diselenggarakan di Kabupaten Bogor belum berlangsung secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan jumlah posyandu di Kabupaten Bogor yang relatif tetap dari tahun Prioritas Pembangunan Sektor Perekonomian Hasil analisis dengan AHP untuk menentukan prioritas pembangunan daerah di sektor perekonomian memperlihatkan bahwa progam pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil - menengah (KUKM) menempati prioritas pertama. Urutan berikutnya adalah program pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja, program penyelenggaraan perijinan investasi satu atap, program pembangunan infrastruktur ekonomi dan program pengembangan pertanian. Uraian selengkapnya dari prioritas program pembangunan sektor perekonomian dapat dilihat pada Tabel 35.

134 116 Tabel 35. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Perekonomian Urutan Program Pembangunan Nilai AHP 1 Pemberian Bantuan Permodalan Bagi KUKM 0,293 2 Pendidikan Dan Pelatihan Bagi Angkatan Kerja 0,254 3 Penyelenggaraan Perijinan Investasi Satu Atap 0,215 4 Pembangunan Infrastruktur Ekonomi 0,162 5 Pengembangan Pertanian Terpadu 0,076 Menurut para pelaku pembangunan, program yang menjadi prioritas di sektor perekonomian di Kabupaten Bogor adalah pemberian bantuan permodalan bagi KUKM. Program ini adalah juga salah satu bentuk program pengembangan ekonomi lokal karena pelaku KUKM sebagian besar adalah masyarakat yang tinggal di wilayah yang bersangkutan. Bantuan permodalan yang digulirkan kepada KUKM akan memperbesar kapasitas usaha yang berarti juga meningkatkan jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Peningkatan jumlah barang dan jasa adalah berarti peningkatan nilai produk domestik reginonal bruto (PDRB) yang berarti terjadi pertumbuhan ekonomi. Pada sisi lain pemberian bantuan permodalan bagi KUKM juga akan berdampak pada peningkatan jumlah lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Selama ini program pemberian bantuan permodalan kepada KUKM di Kabupaten Bogor masih terbatas jumlahnya. Pengelolaan KUKM di Kabupaten Bogor juga masih dilakukan oleh instansi setingkat kantor yaitu oleh Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang memiliki kewenangan terbatas. Program selanjutnya yang dianggap prioritas adalah program pendidikan dan pelatihan untuk angkatan kerja. Program ini sebenarnya adalah program untuk mempersiapkan penduduk yang masuk kategori angkatan kerja agar memiliki keterampilan sehingga dapat diserap oleh sektor industri. Program pendidikan dan pelatihan untuk angkatan kerja di Kabupaten Bogor selama ini masih terbatas

135 117 jumlahnya. Program ini ditangani oleh Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang baru memiliki satu unit Balai Latihan Kerja (BLK). Program yang cukup penting untuk dilaksanakan selanjutnya adalah program penyelenggaraan perijinan satu atap. Pelayanan perijinan investasi satu atap perlu dilakukan untuk mengatasi kendala rendahnya minat investasi di Kabupaten Bogor. Menurut Pemda Kab. Bogor (2006) jumlah macam perijinan yang berkaitan dengan investasi di Kabupaten Bogor adalah sebanyak 18 jenis perijinan yang dikelola oleh 10 instansi. Hal ini tentu saja menjadi kendala bagi investor untuk mengurus perijinan investasi. Program pelayanan perijinan investasi satu atap diharapkan dapat mempersingkat waktu pelayanan perijinan sehingga lebih mempermudah para investor. Perbaikan pelayanan perijinan investasi akan meningkatkan laju investasi di Kabupaten Bogor. Peningkatan investasi berarti peningkatan lapangan pekerjaan yang dengan demikian berarti juga terjadi peningkatan serapan tenaga kerja. Banyaknya masyarakat yang bekerja secara langsung akan berdampak pada peningkatan daya beli. Program pembangunan infrastruktur wilayah menempati urutan prioritas berrikutnya untuk dilaksanakan. Infrastruktur wilayah yang memadai akan membuat arus barang dan jasa menjadi lancar sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi secara langsung akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan akhirnya daya beli juga akan meningkat. Program pembangunan infrastruktur di Kabupaten Bogor sebetulnya telah berjalan dengan baik dan senantiasa mengalami peningkatan. Alokasi APBD untuk pembangunan infrastruktur dan perekonomian berkisar antara persen dari belanja publik. Program terakhir yang menjadi prioritas pembangunan sektor perekonomian adalah progam pengembangan pertanian. Sektor pertanian adalah sektor primer yang

136 118 menjadi salah satu penyumbang nilai produk domestik regional bruto (PDRB). Sektor pertanian adalah juga sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja terutama di pedesaan. Program pengembangan pertanian yang berjalan dengan baik akan meningkatkan serapan tenaga kerja di pedesaan. Jumlah penduduk miskin yang dominan di Kabupaten Bogor terdapat di wilayah pedesaan. Sebagian besar penduduk miskin tersebut adalah juga pengangguran atau pekerja tidak tetap. Kategori penduduk seperti inilah yang akan tersentuh dengan program pengembangan pertanian secara terpadu dengan tujuan peningkatan daya beli. Dengan menggunakan AHP dapat diketahui urutan-urutan program pembangunan yang menjadi prioritas di ke tiga sektor sekaligus. Penentuan program berdasarkan prioritas tersebut diperlukan apabila terjadi keterbatasan APBD yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Urutan-urutan program pembangunan untuk kesemua sektor baik pendidikan, kesehatan dan perekonomian dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Urutan Prioritas Program Pembangunan Sektor Pendidikan, Kesehatan dan Perekonomian di Kabupaten Bogor Berdasarkan AHP Urutan Program Pembangunan Nilai AHP 1 Pelayanan Kesehatan Gratis 0,360 2 Penyelenggaraan Sekolah Gratis SD-SLTP 0,346 3 Pemberian Bantuan Permodalan Bagi KUKM 0,293 4 Pendidikan Dan Pelatihan Bagi Angkatan Kerja 0,254 5 Pembangunan Sarana Kesehatan 0,234 6 Penyelenggaraan Perijinan Investasi Satu Atap 0,215 7 Pembangunan Dan Rehabilitasi Gedung Sekolah 0,206 8 Revitalisasi Posyandu 0,196 9 Penyelenggaraan PKBM Sistem Jemput Bola 0, Pemberian Imunisasi gratis 0, Pembangunan Infrastruktur Ekonomi 0, Penyelenggaraan SD-SLTP Satu Atap (9 Tahun) 0, Penyelenggaraan PKBM Plus Keterampilan 0, Pengembangan Pertanian Terpadu 0, Pemberian Makanan Tambahan Bagi Balita 0,044

137 119 BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu tolok ukur kesejahteraan yang digunakan adalah angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tiga komponen yang digunakan dalam IPM adalah rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH); angka harapan hidup (AHH); dan daya beli. Untuk mengoptimalkan pencapaian IPM, pemerintah pusat dalam hal ini telah memberikan Dana Alokasi Umum (DAU) kepada tiap propinsi dan kabupaten/kota. Namun dalam perjalanannya tidak semua daerah dapat memanfaatkan DAU secara optimal untuk meningkatkan angka IPM. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor selama era otonomi daerah telah mendapat alokasi DAU yang cukup besar dan cenderung meningkat. Peningkatan alokasi DAU yang dimasukkan dalam APBD ternyata tidak diikuti dengan peningkatan IPM secara optimal. Pertambahan (increment) angka IPM pada tahun cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan kajian hal ini disebabkan karena alokasi belanja publik yang relatif kecil dibanding belanja aparatur. Hasil analisis regresi berganda memperlihatkan bahwa pengaruh belanja publik terhadap IPM sangat signifikan pada taraf 0,05. Daya ungkit belanja publik terhadap IPM adalah sebesar 0,019 poin untuk setiap pertambahan Rp. 1 milyar belanja publik riil. Hasil analisis SWOT memperlihatkan bahwa strategi perencanaan yang optimal bagi sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian adalah strategi S-T atau strategi diversifikasi dengan cara mengoptimalkan kekuatan untuk menanggulangi ancaman. Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) memperlihatkan bahwa menurut para pelaku pembangunan di Kabupaten Bogor (pemerintah daerah, swasta dan

138 120 masyarakat) prioritas program pembangunan sektor pendidikan adalah : penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP, pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah, penyelenggaraan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sistem jemput bola, penyelenggaraan SD-SLTP satu atap (pendidikan dasar 9 tahun), penyelenggaraan PKBM plus keterampilan. Prioritas program pembangunan sektor kesehatan adalah : pelayanan kesehatan gratis, pembangunan sarana kesehatan, revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu), pemberian imunisasi gratis dan pemberian makanan tambahan bagi balita. Adapun prioritas program pembangunan untuk sektor perekonomian berturut-turut adalah : pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha kecil - menengah (KUKM), pendidikan dan pelatihan bagi angkatan kerja, penyelenggaraan perijinan investasi satu atap, pembangunan infrastruktur ekonomi dan pengembangan pertanian Saran Kajian pembangunan daerah yang dilaksanakan ini merupakan kajian awal yang berkaitan dengan strategi perancanan program pembangunan yang akan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Bogor. Untuk lebih menyempurnakan hasil kajian ini disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk masing-masing sektor yang berhubungan dengan IPM terutama untuk menentukan rincian kegiatan dari program-program yang telah direkomendasikan. 2. Perlu dilakukan kajian sejenis di daerah lain dengan data yang lebih beragam terutama untuk mengakomodasi faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap IPM.

139 121 Pemerintah daerah Kabupaten Bogor pada dasarnya telah memiliki analisis yang tepat berkaitan dengan rencana peningkatan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor. Hasil analisis tersebut salah satunya tercantum dalam bentuk diagram penyebab langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi derajat pendidikan, kesehatan dan daya beli. Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor antara lain : 1. Perlu dibuat kegiatan kajian peningkatan kualitas pembangunan manusia oleh Bappeda Kabupaten Bogor yang memuat strategi perencanaan pembangunan dan penentuan prioritas program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan IPM di Kabupaten Bogor. 2. Perlu dibuat sebuah Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Manusia di Kabupaten Bogor yang memuat data dan informasi yang berkaitan dengan pembangunan manusia yang dapat diperbaharui dan dipergunakan setiap saat baik untuk perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi secara berkesinambungan. 3. Program dan kegiatan yang ditetapkan dalam Kebijakan Umum APBD sebaiknya mengacu pada hasil kajian yang telah dilakukan terutama yang berkaitan dengan sektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian. 4. Perlu senantiasa dilakukan koordinasi antara berbagai instansi yang berperan dalam keberhasilan pembangunan manusia di Kabupaten Bogor baik yang berhubungan dengan pendataan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya sehingga peningkatan kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Bogor dapat terwujud.

140 122 DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Penyusunan Masterplan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. Bogor : Bappeda Kab. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Program Pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) Akselerasi Pencapaian IPM Jawa Barat. Bogor : Bappeda Kab. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Perkembangan Ekonomi Indonesia. index.php?module=contentexpress&func=print&ceid= Desember Badan Pusat Statistik Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun Bogor : BPS Kab. Bogor. Cardiman Strategi Alokasi Belanja Publik Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Tugas Akhir. Bogor: Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Departemen Keuangan Republik Indonesia Keputusan Preseiden Republik Indonesia No 109 Tahun 2003 Tentang Dana Alokasi Umum Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun Jakarta : Depkeu RI. Departemen Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Koperasi Indonesia Periode Jakarta : Depkop dan UKM RI. Dumairy Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kartasasmita, G Administrasi Pembangunan : Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Korten, DC Getting to the 21st Century: Voluntary Action and the Global Agenda. Connecticut : Kumarian Press Inc. Mankiw, NG Pengantar Ekonomi, Edisi ke-2, Jilid ke-2. Haris M, penerjemah; Wisnu CK, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Principles Of Economics.

141 123 Flippo, EB Manajemen Personalia, Edisi ke-6, Jilid ke-2. Masud M, penerjemah; Sirait A, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Personel Management. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 2/2001 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 21/2002 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 21/2004 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 5/2005 Tentang Sisa Perhitungan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 6/2006 Tentang Pertangungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Tentang Pertangungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran Bogor : Pemda Kab. Bogor. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT Gramdedia Pustaka Utama. Rusli, S Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia. Bogor : Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB. Saaty, T.L Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Komplek. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo. Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor Selayang Pandang Kabupaten Bogor. Bogor : Setda Kab. Bogor. Siregar, H Metode Analisis Kebijakan Pembangunan Daerah. Bogor : Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB.

142 124 Sumardjo Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia. Bogor : Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB. Suryadi Paradigma Pembangunan dan Kapabilitas Aparatur. Makalah Badan Diklat Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Suryono, A Teori dan Isu Pembangunan. Malang : UM-Press. Todaro, M. P. dan S.C. Smith Pembangunan Ekonomi, Edisi ke-8. Haris M, penerjemah; Wisnu CK, editor. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Economic Development. United Nation Development Program Human Development Report. New York : Oxford University Press. Walpole, R.E Pengantar Statistik Edisi Ke-3. Bambang S, penerjemah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Introduction To Statistics.

143 L A M P I R A N 125

144 126 Lampiran 1. Hasil Analisis Regresi Berganda Pengaruh B. Aparatur dan B. Publik Terhadap IPM Tahun IPM B. Aparatur/ Rutin*) B. Publik/ Pembangunan*) ,57 130, , ,87 112, , ,58 167,041 76, ,32 182,064 68, ,7 368, , ,7 466, , ,81 489, , ,1 540, , ,41 473, , ,45 487, ,073 *) Pengaruh Inflasi Sudah Dihilangkan SUMMARY OUTPUT B. PUBLIK DAN B. APARATUR TERHADAP IPM Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0, Observations 9 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 2 27, , , , Residual 6 3, , Total 8 30, Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept 62, , , ,80582E-10 B. Aparatur 0, , , , B. Publik 0, , , , Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% 60, , , , , , , , , , , ,

145 127

STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR EDY WIBOWO

STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR EDY WIBOWO STRATEGI PERANCANGAN KEBIJAKAN UMUM APBD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BOGOR EDY WIBOWO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pembangunan Secara normatif pembangunan diartikan sebagai proses yang memungkinkan masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusionalnya dalam mengelola

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI. masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD

BAB III. METODOLOGI. masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD 22 BAB III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Peningkatan APBD idealnya dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD untuk meningkatkan

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia, sepakat untuk mengadopsi deklarasi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG ASEP AANG RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA PENDAPATAN BELANJA PEMBIAYAAN. Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

TINJAUAN PUSTAKA PENDAPATAN BELANJA PEMBIAYAAN. Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT

STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT STRATEGI PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG UNTUK MENSINERGIKAN PROGRAM RAKSA DESA ABAS SUDRAJAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan untuk mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik. Pembangunan di berbagai negara berkembang dan di Indonesia seringkali diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara, maka dibutuhkan pembangunan. Pada September tahun 2000, mulai dijalankannya Millennium Development

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER IPM (INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA) KABUPATEN PASER TAHUN 2011 Pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Paser pada kurun 2007 2011 terus mengalami peningkatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state of mind) dari suatu masyarakat yang telah melalui kombinasi tertentu dari proses sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kekayaan suatu negara yang dijadikan sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development) dirumuskan sebagai perluasan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang harus dicapai dalam pembangunan. Adapun salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan dalam pembangunan adalah

Lebih terperinci

BAB VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 91 BAB VI. PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 6.1. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Kebijakan umum APBD merupakan gambaran umum mengenai kebijakan pembangunan yang akan dijalankan dengan menggunakan APBD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth) merupakan awal proses pembangunan suatu negara. Pembangunan suatu negara diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dialami oleh semua negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah kehilangan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi merupakan cara pandang ke depan tentang kemana Pemerintah Kabupaten Belitung akan dibawa, diarahkan dan apa yang diinginkan untuk dicapai dalam kurun

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan agar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah BAB. 3 AKUNTABILITAS KINERJA A. PENGUATAN IMPLEMENTASI SAKIP PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai rencana strategis

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka pangjang, dan pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia belakangan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Sharp et al. (1996) mengatakan kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah objek utama dalam perabadan dunia. Dalam skala internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam pembangunan dan peradaban,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat.

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini banyak literatur ekonomi pembangunan yang membandingkan antara pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

Pengertian Paradigma. Paradigma I Normal Sc. Anomalies Crisis Revol Paradigma II

Pengertian Paradigma. Paradigma I Normal Sc. Anomalies Crisis Revol Paradigma II 1 Pengertian Paradigma Diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1962), yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bukan berkembangan secara kumulatif, sebagaimana banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR 1.5 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah daratan (tidak memiliki wilayah laut) yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. MDGs ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses untuk melakukan perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih baik dan berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 32 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil lokasi di seluruh kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN 4.1 Pendidikan di Banten Pemerintah Provinsi Banten sejauh ini berupaya melakukan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA KATA PENGANTAR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK UTARA KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Lombok Utara tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN

ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN ALTERNATIF PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN KARIMUN Yudithia SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar dimasyarakat

Lebih terperinci