IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rekonstruksi Gelugu Kayu kelapa merupakan salah satu bahan struktur yang sangat potensial karena ketersediaannya cukup besar dan mudah ditemukan di halaman rumah, perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Balok kayu kelapa secara tradisional telah dimanfaatkan untuk kuda-kuda, gording, usuk, dan reng rangka atap rumah-rumah di pesisir pantai selatan Jawa. Selain dalam bentuk balok atau papan, beberapa struktur khusus seperti tiang pancang dan tumpukan gelugupenyangga terowongan pertambangan tidak memerlukan batang berbentuk geometri balok tetapi cukup dalam bentuk gelondongan (gelugu) sebagai komponen strukturnya. Pemanfaatan kayu kelapa dalam bentuk gelugu memiliki keistimewaan daripada dalam bentuk balok, karena proses penggergajian dari gelugu menjadi balok menghilangkan bagian terluar kayu kelapa padahal bagian ini memiliki sifat fisis mekanis terbaik. Evaluasi sifat fisis mekanis gelugu sampai saat ini belum pernah dilakukan, tetapi evaluasi contoh kecil bebas cacat (ckbc)-nya telah dilakukan secara intensif. Kayu kelapa ckbc sangat bervariasi, sehingga dapat diperoleh potongan kayu kelas kuat V hingga I karena berat jenisnya berkisar,,. Sifat fisis mekanis kayu kelapa ckbc sangat heterogen, namun memiliki keteraturan yang lebih baik daripada kayu konvensional. Rahayu (6) menyampaikan bahwa semakin ke arah tepi, nilai berat jenis kayu kelapa meningkat, demikian pula dengan MOE, MOR, dan kekerasannya. Wardhani (5) melaporkan hal serupa yaitu kerapatan tertinggi terdapat pada pangkal, sedangkan terendah terdapat pada empulur, demikian pula dengan MOE dan MOR-nya. Disebutkan pula bahwa kerapatan, MOE, dan MOR kayu kelapa mengikuti persamaan linier negatif dari pangkal ke ujung sehingga bagian ujung lebih rendah daripada bagian pangkal. Pengujian ckbc sebagaimana dilaporkan Wardhani (5) dilakukan pada kadar air kesetimbangan (%-8%) sehingga variasi kadar air maupun kelembaban (RH) diabaikan pula.

2 Sifat fisis mekanis gelugu yang meliputi kerapatan, sifat elastis ( Modulus Elastisitas, Modulus Geser, dan 6 Poisson s rasio), serta kekuatan (MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan tekan tegak lurus serat, kekuatan geser sejajar serat, kekuatan geser tegak lurus serat, dan kekuatan tarik sejajar serat) sangat penting diketahui agar dapat mendesain dengan baik. Kerapatan Gelugu Kerapatan kayu kelapa ckbc berkisar,, kg/cm. Kerapatan tertinggi terletak pada bagian tepi pangkal batang, sedangkan terendah terletak pada bagian pusat ujung batang. Analisis data dengan menggunakan regresi bertatar menghasilkan persamaan terbaik sebagai berikut : =,7-,z+,r -,58t+,98zt+,7tr (n=; R (adj)=7,6%; Sd=,). Persamaan tersebut disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar. Gambar (a) dan (b) memperlihatkan kerapatan kayu kelapa ckbc secara kuadratik berbeda berdasarkan posisi horisontalnya. Untuk setiap lempengan kayu kelapa, titik pusat batang merupakan titik balik fungsi kuadratik sehingga kerapatan terendah tepat berada di pusat batang. Keberadaan titik balik di pusat batang juga menunjukkan bahwa sumbu ordinat (x=) membelah potongan tepat menjadi dua bagian yang simetris. Hal ini menunjukkan bahwa posisi arah mata angin pada saat pohon kelapa tumbuh berdiri tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan kayunya. Kerapatan kayu belahan sebelah Timur sama dengan kerapatan kayu belahan sebelah Barat. Kondisi ini terjadi karena pada kedua pohon kelapa sampel, sinar matahari bukan merupakan faktor pembatas penting yang mempengaruhi pertumbuhannya. Kedua pohon kelapa tersebut hidup di tanah datar tanpa naungan sehingga mendapatkan cukup sinar matahari, baik pada pagi ataupun sore hari. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui pengaruh arah mata angin pada kayu dari pohon kelapa yang tumbuh di lereng gunung atau tepi pantai yang mendapatkan intensitas cahaya matahari yang berbeda ekstrim pada pagi dan sore hari sepanjang pertumbuhannya. Pada pohon 5

3 kerapatan (kg/cm) kerapatan (kg/cm ) kerapatan (kg/cm) kerapatan (kg/cm ) konifer dan daun lebar yang mengalami perbedaan intensitas cahaya ekstrim, sifat fisis mekanis kayu pada tiap sisinya berbeda karena pertumbuhan sekunder terjadi dengan kecepatan berbeda sehingga empulur tidak berada tepat di pusat batang. a) Pohon I.. b).. Pohon I jarak dari titik pusat (cm) tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=6,5 m tinggi=8,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m posisi ketinggian (m) r= cm r= cm r= cm r=6 cm r=8 cm r= cm r= cm c) Pohon II. d). Pohon II jarak dari titik pusat (cm) tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=6,5 m tinggi=8,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m posisi ketinggian (m) r= cm r= cm r= cm r=6 cm r=8 cm r= cm r= cm Gambar. Kerapatan kayu kelapa ckbc pohon berdasarkan posisi (a) horisontal (b) vertikal; dan pohon berdasarkan posisi (c) horisontal (d) vertikal; Gambar (a) dan (c) menunjukkan pula bahwa kayu kelapa ckbc memiliki kerapatan lebih tinggi bila semakin jauh posisinya dari pusat batang. Pola sebaran kerapatan kayu kelapa secara horisontal dari tepi-pusat-tepi mengikuti persamaan kuadratik. Kurva kuadratik semakin terjal dengan semakin tinggi posisi lempengan dari atas tanah. Kemiringan (slope) kurva kuadratik mengikuti persamaan d/dr=,666r+,98tr, sehingga semakin terjal dengan semakin tinggi posisi vertikalnya. Pada lempengan pangkal batang, kurva kuadratik lebih mendatar daripada lempengan ujung batang. Hal ini menunjukkan bahwa selisih kerapatan pada jarak tertentu dari pusat ke tepi batang pada lempengan pangkal lebih rendah dibanding lempengan ujung. Kerapatan kayu lempengan ujung lebih heterogen dibanding lepengan pangkal. Heterogenitas yang tinggi pada lempengan ujung daripada lempengan pangkal ini terlihat dengan lebih ekstrimnya perbedaan antar dua potongan pada jarak yang sama dari 6

4 pusat batang. Namun karena diameter batang bagian ujung lebih kecil daripada pangkal, selang kerapatan lebih sempit pada bagian ujung daripada bagian pangkal. Pada pohon selang kerapatan lempengan ujung berkisar,-,6 kg/cm, dan lempengan pangkal berkisar,7-, kg/cm. Pada pohon selang kerapatan lempengan ujung berkisar,-,6 kg/cm, dan lempengan pangkal berkisar,- kg/cm. Seandainya taper pohon kelapa bernilai sehingga diameter ujung sama dengan diameter pangkal, maka selang kerapatan bagian ujung akan lebih lebar daripada pangkal. Penyebaran kerapatan kayu kelapa secara vertikal (pangkal-tengah-ujung) mengikuti pola linier. Wardhani (5) menyatakan bahwa semakin ke ujung kerapatan kayu kelapa semakin berkurang. Gambar (b) dan (c) memperlihatkan bahwa pola tersebut berlaku untuk potongan pusat (core) kayu kelapa. Pada pusat kayu kelapa, kerapatan menurun dengan semakin tinggi posisinya di dalam batang. Pola ini terjadi pada potongan pusat batang hingga jarak sejauh ±7 cm ke tepi pada pohon, dan ± cm pada pohon. Pola sebaliknya terjadi pada potongan selebihnya hingga tepi batang. Pada potongan tepi ini kerapatan semakin tinggi dengan semakin tinggi posisi vertikalnya di dalam batang; dari pangkal ke ujung kerapatan kayu kelapa tepi semakin naik. Pola penyebaran kerapatan kayu kelapa pada posisi horisontal dan vertikal tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menduga kerapatan gelugu rekonstruksi. Kerapatan gelugu rekonstruksi merupakan berat gelugu hasil rekonstruksi dibagi dengan volumenya, sehingga perhitungan teoritis dilakukan secara bertahap melalui estimasi berat, volume, dan selanjutnya kerapatan. Perhitungan teoritis ini menggunakan prinsip-prinsip kalkulus dan geometri analitis. Model kerucut terpancung merupakan model ideal untuk rekonstruksi gelugu yang lebih mendekati kenyataan. Gelugu memiliki taper, sehingga diameter ujung lebih kecil daripada diameter pangkalnya. Namun demikian perubahan diameter tersebut tidak terlalu besar dibandingkan pohon konifer maupun daun lebar. Model kerucut terpancung yang dipergunakan disajikan pada Gambar 5. Pada penelitian ini, bentuk geometri ideal gelugu diasumsikan 7

5 sebagai sebuah lingkaran yang terbentuk dari komponen-komponen berukuran sangat kecil berbentuk mirip persegi panjang. T T T T dr rd r R R R Gambar 5. Model rekonstruksi gelugu berbentuk kerucut terpancung (silindris bertaper) (penampang lingkaran ujung berjari-jari R dan pangkal R, serta tinggi T -T ) Gambar 5 memperlihatkan bahwa penampang lingkaran pada gelugu, dibentuk oleh komponen-komponen sangat kecil yang mirip persegi panjang. Untuk sudut d sangat kecil, maka rumus-rumus persegi panjang cukup memadai untuk menghitung luas area tiap komponen sehingga balok kecil dengan ukuran penampang rd dr dan tinggi dt dapat dihitung volumenya (dv) dengan rumus : dv=rd dr dt. Setiap potong komponen ini memiliki kerapatan yang mengikuti persamaan: = f (r,t), sehingga berat setiap komponen (dw) adalah: dw=dv= f (r,t)rd dr dt. Dengan demikian berat seluruh balok kayu kelapa (W) sepanjang T -T adalah: T R π W f (r,t)rd drdt ρ T π T R ρ T f (r, t)rdrdt Seperti disampaikan sebelumnya, sebaran kerapatan (=f (r,t)) kayu kelapa ckbc pada setiap posisi vertikal dan horisontalnya dapat didekati dengan persamaan : =,7-,z+,r -,58t+,98zt+,7tr (n=; R (adj)=7,6%; Sd=,). Dengan demikian berat gelugu untuk pohon dan dapat dinyatakan dengan persamaan : 8

6 W T T R T,7 -,z,r,58t,98zt,7tr rdrdt,,7 W,7 -,z r,58t,98zt tr r dt T T,,7 W,7 -,z R,58t,98zt tr R dt T Namun jari-jari maksimum gelugu semakin ke ujung semakin kecil, sehingga jarijari maksimum setiap ketinggian tertentu perlu dihitung pula. Jari-jari pohon pada ketinggian,5 m adalah cm, dan pada ketinggian,5 m adalah 5,5 cm. Sehingga lebar jari-jari batang kelapa pohon pada tiap ketinggian dapat dinyatakan dengan: R I 7,5,5 t 5,5,67 -,56t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m) R Sedangkan jari-jari pohon pada ketinggian,5 m adalah,5 cm, dan pada ketinggian,5 m adalah 6 cm sehingga lebar jari-jari pohon pada setiap ketinggian adalah: R II 9,5 t 6 5, -,6t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m) Oleh karena itu untuk pohon, berat setiap sortimen gelugu sepanjang T -T adalah: T,,7 W,7,67 -,56t,58t t,67 -,56t,67 -,56t dt T Persamaan di atas dapat dipecah menjadi suku, yaitu: T T,7 -,56 * a.,7,67 -,56t dt =,67 -,56t T T T,, -,56 * T b.,67 -,56t dt =,67 -,56t T dt =,58,67 t - *,67 *,56t,56 t dt c.,58t,67 -,56t = T,67,58 T *,67 *,56,56 t - t t T T T T 5 T 9

7 T T,7 dt = d. t,67 -,56t,7,67 *,67 t - *,56 t 6 *,67 *,56 t *,67 *,56 5 5,56 6 t t 6 Berat sortimen gelugu sepanjang T -T merupakan jumlah keempat suku tersebut. Oleh karena itu apabila pembagian batang pohon kelapa dilakukan untuk setiap potongan sepanjang meter dari pangkal ke ujung maka diperoleh sortimen dengan berat seperti disajikan pada Tabel 8. T T Tabel 8. Berat sortimen gelugu dari pohon Sortimen Tinggi (m) Berat ke- Pangkal (To) Ujung (T ) (xg) Sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon dapat direkonstruksi dengan cara serupa. Berat setiap potongan gelugu dari pohon kedua dapat dinyatakan dengan: T,,7 W, R,6t tr R dt T T,,7 W, 5,-,6t,6t t5,-,6t 5,-,6t dt T Untuk kemudahan perhitungan persamaan di atas dipecah menjadi suku yaitu: T T, -,6 * T T T T, a., 5,-,6t dt = 5,-,6t b. 5,-,6t dt = 5,-,6t c. 5,-,6t, -,6 * 5,,6t dt =,6 t T T T 5 T * 5,*,6 - t,6 t T T

8 T d. t5,-,6t T,7,7 5, dt * 5, t - *,6 t 6 * 5, *,6 t * 5, *,6-5 t 5,6 6 t 6 T T Dengan demikian berat setiap sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon kedua dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Berat sortimen gelugu dari pohon Sortimen Tinggi (m) Berat ke- Pangkal (To) Ujung (T ) (xg) Volume kayu gelondongan (log) pada umumnya dihitung sebagai volume benda silindris. Besarnya jari-jari yang dipergunakan pada rumus volume adalah jari-jari rataan pangkal dan ujung sehingga volume gelugu dinyatakan pula dengan : R R v T T Rumus volume (v ) tersebut merupakan pendekatan berbias dari volume benda sebenarnya, karena pendekatan volume silindris tidak sesuai dengan bentuk geometris gelugu yang lebih mendekati bentuk kerucut terpancung. Berdasarkan Gambar 5, volume gelugu dapat dinyatakan dengan : T T R T T v R, dan disederhanakan menjadi: R RR R v T T Selain kedua rumus di atas, pendekatan volume benda putar yang diperoleh melalui metode integrasi dapat pula digunakan untuk menghitung volume gelugu.

9 Volume benda berbentuk kerucut terpancung dapat dihitung dengan mengikuti rumus volume benda putar (Purcell 98) yaitu: v T h( t) dt. T Sesuai dengan rumus tersebut setiap sortimen gelugu sepanjang (T -T ) yang diperoleh dari pohon ke- adalah: v T T,67,56t dt =,67,56t T T dan dari pohon ke- adalah: T,56 * 5,, t dt = 5,,6 t v 6 T,6 * Berdasarkan ketiga rumus volume tersebut di atas, volume sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon disajikan pada Tabel, sedangkan yang diperoleh dari pohon disajikan pada Tabel. Pendekatan volume silindris menderita bias sistematik, sehingga volume hasil perhitungan selalu lebih kecil daripada kenyataan. Hasil perhitungan dengan rumus volume silindris lebih kecil dari dua pendekatan lainnya dengan selisih sebesar R R T T T. Sedangkan pendekatan dengan rumus volume kerucut terpancung identik dengan pendekatan volume benda putar. Selisih yang terjadi pada kedua pendekatan tersebut hanya disebabkan pembulatan desimal dalam proses pengerjaan. Namun untuk keperluan praktis, perbedaan pendekatan silindris dengan dua lainnya masih sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu pendekatan silindris masih cukup baik untuk menghitung volume sortimen gelugu meskipun menderita bias sistematik. Sementara itu pendekatan kerucut terpancung dan volume benda putar adalah pendekatan ideal yang lebih mendekati kenyataan. Tabel dan memperlihatkan pohon memiliki dimensi batang lebih besar daripada pohon sehingga volumenya pun lebih besar. Meskipun ditebang pada umur sama, faktor genetik dan lingkungan pertumbuhan dapat menghasilkan T

10 perbedaan kecepatan pertumbuhan. Kedua faktor tersebut menyebabkan pohon memiliki riap volume lebih tinggi daripada pohon. Tabel. Volume sortimen gelugu dari pohon berdasarkan rumus silindris (v ), kerucut terpancung (v ), dan benda putar (v ). Sort. Tinggi (m) Jari-jari (cm) Volume (xcm ) ke- Pangkal (T ) Ujung (T ) Pangkal (R ) Ujung (R ) v v v,,, 7,9 7, 7, 6,,5, , 8, 8, ,7,9, ,8 9, 8, ,5 79,7 79,5 Rataan 9, 9,6 9,5 Tabel. Volume sortimen gelugu dari pohon berdasarkan rumus silindris (v ), kerucut terpancung (v ), dan benda putar (v ). Sort. Tinggi (m) Jari-jari (cm) Volume (xcm ) ke- Pangkal (T ) Ujung (T ) Pangkal (T ) Ujung (T ) v v v 5,9,, 58,7 59, 59, 6 9, 9, 9, 6 8,,5, ,9 8, 8, , 6, 6, , 97, 97, Rataan 7, 7,7 7,7 Kerapatan benda merupakan besaran sifat fisis yang telah sangat dikenal. Kerapatan menunjukkan berat benda per unit volumenya. Kerapatan berkaitan erat dengan sifat fisis dan mekanis material sehingga menjadi salah satu besaran penting yang perlu diketahui untuk berbagai aplikasi. Kerapatan kayu berkaitan erat dengan sifat mekanis kayu seperti modulus elastisitas (MOE), keteguhan lentur patah (MOR), kekerasan, keteguhan tekan, keteguhan tarik, dll. Kerapatan juga berkaitan dengan beban mati yang diterima struktur akibat berat sendiri. Oleh karena itu kerapatan setiap sortimen gelugu yang akan dipergunakan sebagai material struktur perlu diketahui. Kerapatan sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon kelapa dan, disajikan pada Tabel. Kerapatan sortimen gelugu dipilih

11 dengan volume silinder sebagai penyebutnya karena untuk batang pendek ( m) dan taper kecil, bias sistematik yang terjadi dapat diabaikan. Tabel. Kerapatan sortimen gelugu dari pohon dan Tinggi (m) Pohon Pohon Pangkal Ujung Berat Volume Kerapatan Berat Volume (T ) (T ) (x gr) (x cm ) (gr/cm ) (x gr) (x cm ) 6,, 5,9,8 6 7,9, ,7,8 6 5,,9 9,, ,,8 77,, ,7,76 8 8,9, ,8, ,, ,5, ,,57 Rataan ,,7 Sortimen ke- Kerapatan (gr/cm ) Seperti terlihat pada Tabel, kerapatan gelugu yang diperoleh dari pohon memiliki pola serupa dengan pohon. Secara umum kerapatan gelugu bagian pangkal lebih tinggi daripada bagian ujung. Namun kerapatan gelugu pohon lebih rendah daripada pohon. Pohon berdiameter lebih besar daripada pohon. Pohon kelapa tidak mengalami pertumbuhan sekunder, namun diperkirakan pohon tumbuh di tempat yang lebih subur atau memiliki genetik yang lebih baik sehingga tumbuh dengan riap volume lebih besar. Mirip seperti pohon konifer maupun daun lebar, pohon sejenis yang tumbuh pada kondisi fisik lingkungan yang lebih subur berdiameter lebih besar namun berkerapatan rendah. Kejadian yang mirip terjadi pada pohon kelapa yang berdiameter besar namun berkerapatan rendah dibanding pohon kelapa. Secara teoritis, model matematis berbentuk geometri kerucut terpancung lebih mendekati kenyataan. Namun demikian sebagian besar persamaan struktur, terutama lenturan, mengasumsikan keseragaman luas penampang sepanjang bentang. Pelanggaran asumsi ini menimbulkan perhitungan yang sangat kompleks meskipun pada struktur sederhana. Pada kolom tekan dan tarik ketidakseragaman luas penampang dapat diatasi dengan modifikasi sederhana, tetapi tidak demikian pada kasus balok lentur. Oleh karena itu keputusan memilih model geometris silindris atau kerucut terpancung perlu pertimbangan lebih lanjut pada kondisi penggunaannya. Meskipun model kerucut terpancung lebih

12 mendekati kenyataan namun aplikasinya kurang disukai, sehingga model silindris lebih disarankan. Terlebih lagi untuk taper yang sangat kecil atau bentang pendek, seperti pada penelitian ini, hasil perhitungan dengan kedua model memberikan nilai yang sama. Sifat Elastis Gelugu Sifat elastis benda merupakan kemampuan benda untuk menahan perubahan bentuk (deformasi) di bawah batas tertentu sehingga benda masih dapat kembali ke bentuk semula setelah beban dilepaskan. Batas ini disebut batas elastis. Apabila benda mendapatkan beban di atas batas elastis, deformasi permanen atau bahkan kerusakan akan terjadi. Elastisitas berimplikasi terhadap deformasi yang terjadi akibat tegangan rendah sehingga benda dapat kembali ke bentuk semula setelah beban dilepaskan. Untuk mendekripsikan perilaku elastis kayu diperlukan konstanta elastisitas (9 di antaranya saling bebas), yaitu modulus elastisitas (E), modulus geser (G), dan 6 Poisson s rasio (). Modulus elastisitas dan Poisson s rasio mempunyai hubungan matematis sebagai berikut: ij ji ; i j; i, j = L, R, T E i E j Sebagai benda orthotropis, kayu memiliki tiga buah modulus elastisitas, yang dilambangkan dengan E L, E R, dan E T, yang berturut-turut merupakan modulus elastisitas sepanjang arah longitudinal, radial, dan tangensial kayu. Ketiga modulus elastisitas ini normalnya diperoleh dari pengujian tekan, namun khusus E L dapat diperoleh dari pengujian lentur. Bahkan E L yang diperoleh dari pengujian lentur seringkali merupakan satu-satunya data modulus elastisitas yang tersedia untuk kayu dari suatu species. Namun E L yang diperoleh dari pengujian lentur masih mengandung defleksi akibat gaya geser sehingga hasilnya perlu dikoreksi dengan meningkatkannya sebesar ±% untuk menghilangkan pengaruh gaya geser. E L lentur yang telah dikoreksi ini selanjutnya dapat digunakan untuk menduga sifat elastis lainnya yaitu E R, E T, dan modulus geser (G) berdasarkan 5

13 rasio masing-masing konstanta setiap species. Bodig dan Jayne (98) menyatakan bahwa rasio konstanta elastis kayu rataan adalah sebagai berikut: E L ; E R : E T :,6 : G LR : G LT : G RT : 9, : E L : G LR : Modulus elastisitas merupakan salah satu besaran sifat elastis yang telah dikenal luas selain modulus geser dan Poisson s rasio. Modulus elastisitas menunjukkan perbandingan antara tegangan dan regangan di bawah batas elastis sehingga benda akan kembali ke bentuk semula apabila beban dilepaskan. Kayu merupakan benda orthotropis yang memiliki tiga buah modulus elastisitas, yang dilambangkan dengan E L, E R, dan E T. Lambang E L, E R, dan E T berturut-turut merupakan modulus elastisitas sepanjang arah longitudinal, radial, dan tangensial kayu. Ketiga konstanta modulus elastisitas ini diperoleh melalui pengujian tekan, namun khusus E L dapat diperoleh dari pengujian lentur. E L yang diperoleh melalui pengujian lentur sederhana dengan beban tunggal di tengah bentang masih mengandung defleksi akibat gaya geser, sehingga hasilnya dapat ditingkatkan sebesar ±% untuk memperoleh E L murni (FPL 999). Berdasarkan pengujian contoh uji, analisis regresi bertatar menghasilkan persamaan terbaik untuk menduga modulus elastisitas setiap potong kayu kelapa menurut posisi horisontal dan vertikalnya adalah: E=-88z+89,5r -88t Grafik persamaan tersebut disajikan pada Gambar 6. (n=; R (adj)=7,58%; Sd=79). Seperti halnya dengan kerapatan, pola penyebaran modulus elastisitas (E) kayu kelapa pada posisi horisontal mengikuti persamaan kuadratik dengan titik balik tepat di sumbu ordinat (x=) (Gambar 6(a) dan 6(c)). Sumbu ordinat menjadi sumbu simetri yang membelah kurva tepat menjadi dua bagian yang simetris, sehingga tidak cukup alasan untuk menolak bahwa E kayu kelapa belahan timur sama dengan belahan baratnya. Arah mata angin tidak berpengaruh nyata terhadap E. Berkaitan dengan penampangnya yang berbentuk lingkaran sempurna, potongan kayu kelapa dari sisi manapun pada jarak dari pusat batang dan ketinggian yang sama memiliki E yang sama pula. Masih menjadi tanda 6

14 Modulus Elastisitas (N/mm ) Modulus Elastisitas (N/mm ) Modulus Elastisitas (N/mm ) Modulus Elastisitas (N/mm ) tanya apakah lingkaran sempurna masih dapat terbentuk pada pohon kelapa yang mendapatkan perbedaan intensitas cahaya matahari yang ekstrim pada pagi dan sore hari. a) Pohon I jarak dari titik pusat (cm) tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=6,5 m tinggi=8,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m c) Pohon I 6 8 Posisi ketinggian (m) r= cm r= cm r= cm r=6 cm r=8 cm b) Pohon II jarak dari titik pusat (cm) tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=6,5 m tinggi=8,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m d) Pohon II 6 8 Posisi ketinggian (m) r= cm r= cm r= cm r=6 cm r=8 cm r= cm Gambar 6. Modulus Elastisitas kayu kelapa ckbc pohon berdasarkan posisi (a) horisontal (b) vertikal; dan pohon berdasarkan posisi (c) horisontal (d) vertikal; Gambar 6(a) dan 6(c) juga memperlihatkan bahwa E dipengaruhi oleh posisi horisontalnya secara kuadratik. Modulus Elastisitas (E) terendah terdapat tepat di tengah batang dan tertinggi berada di tepi batang. E pada pohon berkisar. -.6 N/mm, dan pada pohon berkisar.. N/mm. Seluruh kurva kuadratik pada Gambar 6(a) dan 6(c) memiliki kemiringan yang sama (d/dr bernilai tetap sebesar 79r) untuk setiap lempengan pada berbagai ketinggian, sehingga kurva saling sejajar satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa E kayu kelapa bagian ujung, tengah, dan pangkal memiliki variasi yang sama. Namun karena diameter ujung lebih kecil daripada pangkal, selang E bagian ujung lebih kecil daripada bagian pangkal. E pohon bagian ujung berkisar.. N/mm, dan bagian pangkal berkisar..6 N/mm. E pohon bagian ujung berkisar..5 N/mm sedangkan bagian pangkal berkisar.. N/mm. Perbedaan lebar selang E antara bagian 7

15 pangkal dan ujung ini murni hanya disebabkan taper pohon kelapa, dan bukan pengaruh ketinggian lempengan batang dari atas tanah ataupun jarak potongan dari pusat batang. Gambar 6(b) dan 6(d) memperlihatkan bahwa E kayu kelapa menurun secara linier berdasarkan posisi vertikalnya. E kayu kelapa bagian pangkal lebih tinggi dibanding ujung. Besarnya penurunan ini konsisten pada setiap potongan yang berjarak sama dari pusat batang, sehingga kurva linier pada Gambar 6(b) dan 6(d) sejajar seluruhnya. Dengan memperhatikan Gambar 6 tersebut, terlihat bahwa E pohon selalu lebih tinggi dibanding E pohon dengan selisih yang konstan sebesar 878 N/mm. Variasi E kayu kelapa ckbc pada berbagai posisi ini berkaitan erat dengan sifat anatomi/mikroskopis kayu kelapa, yaitu dari tengah ke tepi batang jumlah vascular bundle semakin banyak dengan diameter makin besar sehingga persentase luas dibanding penampangnya semakin besar. E dipengaruhi luasan vascular bundle. Makin tinggi luasan vascular bundle, E makin tinggi pula. Demikian pula dari pangkal ke ujung persentase luasan vascular bundle makin rendah, meskipun jumlahnya makin banyak. Vascular bundle bagian ujung belum mature (matang) sehingga diameternya kecil. Hal ini konsisten dengan menurunnya E ckbc yang diperoleh dari bagian ujung daripada bagian pangkal. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa modulus elastisitas (E) yang diperoleh dari pengujian lentur perlu ditingkatkan %-nya untuk mendapatkan modulus elastisitas arah longitudinal (E L ). Oleh karena itu persamaan modulus elastisitas setiap potong kayu kelapa ckbc berdasarkan posisi vertikal dan horisontalnya yang diperoleh yaitu: E=-88z+89,5r -88t (n=; R (adj)=7,58%; Sd=79); perlu ditingkatkan menjadi : E L =865-9z+98,5r -7t (n=; R (adj)=7,58%; Sd=67); Untuk mendapatkan modulus elastisitas gelugu, teori dasar yang disusun disajikan seperti pada Gambar 7. 8

16 P r -R o R -R o R L L Gambar 7. Gelugu yang menerima beban tekan Gambar 7 memperlihatkan sebuah gelugu berjari-jari R dan panjang L yang diberi beban terpusat sebesar P. Beban terpusat tersebut disebarkan dahulu melewati sebuah pelat baja yang sangat kaku sehingga diasumsikan tidak terjadi deformasi pada pelat baja. Deformasi yang terjadi pada gelugu akibat beban P adalah sebesar L, dan berlaku sama untuk seluruh penampang, sehingga regangan () yang terjadi untuk setiap cincin kecil setebal r adalah: L L sedangkan tegangan () yang terjadi pada setiap potongan kecil berbentuk cincin setebal dr adalah : dp. rdr Lebih lanjut modulus elastisitas longitudinal (E L ) dapat dinyatakan dengan: dp L EL rdr sehingga setiap potongan akan mendapatkan beban sebesar dp, yaitu: L dp EL rdr L L dp fe L ( r, t)rdr L L r Persamaan di atas memperlihatkan kondisi yang berbeda dengan pandangan konvensional. Persamaan tersebut berimplikasi bahwa beban tidak didistribusikan merata pada seluruh penampang meskipun disalurkan melalui pelat baja kaku 9

17 tanpa deformasi. Beban terdistribusi sesuai dengan daya dukung setiap elemen dalam menahan perubahan bentuk. Elemen yang memiliki E L tinggi akan menyerap gaya yang lebih besar dan selanjutnya memberikan reaksi yang lebih besar daripada elemen yang memiliki E L rendah. Jumlah gaya yang diterima seluruh elemen merupakan P total pada batang, dan dinyatakan dengan: R L P fe r t rdr L L (, ) ; Dan modulus elastisitas gelugu hasil rekonstruksi adalah: R P L EL f E ( r, t) rdr L R R L Selanjutnya dengan memasukkan persamaan modulus elastisitas longitudinal potongan kayu kelapa ckbc menurut posisi vertikal dan horisontalnya, diperoleh: E L E E L L R 865-9z 98,5r - 7t rdr R R 865-9z 98,5r - 7t dr R 98,5 865r - 9zr r - 7tr R 98,5 E L 865-9z R - 7t R Sementara itu kayu kelapa memiliki taper. Hubungan tinggi (t) dengan jari-jari maksimum (R) pohon kelapa dinyatakan dengan: R I,67 -,56t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m) dan taper pohon kelapa dinyatakan dengan : R II 5, -,6t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m) Dengan demikian modulus elastisitas gelugu pada ketinggian tertentu dapat dinyatakan dengan: 98,5 a. untuk pohon : E 865,67 -,56t - 7t L 5

18 98,5 b. untuk pohon : E 9 5,-,6t - 7t L Nilai numerik modulus elastisitas longitudinal setiap sortimen gelugu disajikan pada Tabel. Tabel. Modulus Elastisitas Longitudinal (E L ) Gelugu Pohon Sortimen ke- Tinggi (m) Jari-jari (cm) Modulus Elastisitas (E L ) (N/mm ) Pangkal Ujung Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan,7,, ,,, ,,5, ,5 8,98 9, ,98 7,9 8, ,9 6,8 7, ,8 5,77 6, Rataan Pohon Sortimen ke- Tinggi (m) Jari-jari (cm) Modulus Elastisitas (E L ) (N/mm ) Pangkal Ujung Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan 5,,, ,,75,9 65 6,75,6, ,6,8, ,8 8,89 9, ,89 7,6 8, ,6 6, 6, Rataan Struktur anatomis kayu kelapa sangat berbeda dengan kayu konvensional. Kayu kelapa tidak memiliki jari-jari, sehingga tidak memiliki arah radial dan tangensial. Ketiadaan arah tangensial dan radial juga disebabkan bentuk geometris penampang sortimen gelugu berupa lingkaran penuh. Dengan demikian perbandingan modulus elastisitas yang disampaikan Bodig dan Jayne (98) perlu dimodifikasi dari E L : E R : E T :,6 : menjadi E L : E : :,. E adalah modulus elastisitas arah tranversal (tegak lurus serat) yang merupakan rataan modulus elastisitas arah radial dan arah tangensial. Melalui perbandingan tersebut diperoleh modulus elastisitas transversal setiap sortimen gelugu (Tabel ). 5

19 Tabel. Modulus Elastisitas Arah Tranversal (E ) Gelugu Pohon No Modulus Elastisitas // Serat (E L ) (N/mm ) Modulus Elastisitas Serat (E ) (N/mm ) Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan Rataan Pohon No Modulus Elastisitas // Serat (E L ) (N/mm ) Modulus Elastisitas Serat (E ) (N/mm ) Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan Rataan Modulus of rigidity (disebut juga modulus geser) merupakan besaran yang menunjukkan ketahanan komponen dalam menahan defleksi yang disebabkan oleh gaya geser. Sebagai benda orthotropis, kayu memiliki tiga modulus geser yaitu G LR, G LT, dan G RT yang berturut-turut merupakan konstanta elastis pada bidang LR, LT, dan RT. G LR adalah notasi untuk modulus geser berdasarkan regangan geser bidang LR akibat tegangan geser pada bidang LT dan RT. Modulus geser bervariasi dalam satu species ataupun antar species, serta dipengaruhi kadar air dan berat jenis kayu. Bodig dan Jayne (98) menyatakan bahwa perbandingan E L dengan G LR adalah : E L : G LR : dan perbandingan modulus geser tiap penampang adalah: G LR : G LT : G RT : 9, : Oleh karena bentuk geometri penampang gelugu berupa lingkaran, serta struktur anatominya tidak memiliki sel jari-jari, maka G LR dan G LT pada sortimen gelugu diasumsikan sama. Dengan demikian perbandingan G LR dan G LT cukup diambil rataannya. Untuk memudahkan, notasi modulus geser rataan bidang longitudinal 5

20 tangensial-radial dilambangkan dengan G L, sehingga perbandingan modulus geser setiap penampang menjadi: E L : G L : ; dan G L : G RT 9,7 : G RT merupakan modulus geser bidang tegak lurus serat, dan G L merupakan modulus geser bidang sejajar serat. Dengan memanfaatkan perbandingan tersebut diperoleh modulus geser setiap penampang pada setiap potong sortimen gelugu sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Modulus Geser Sortimen Gelugu Pohon Sort- E L (N/mm ) G// serat (G L (N/mm ) G serat (G RT ) (N/mm ) ke- Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan Rataan Pohon Sort- E L (N/mm ) G// serat (G L (N/mm ) G serat (G RT ) (N/mm ) ke- Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan Pangkal Ujung Rataan Rataan Nilai sifat elastis gelugu yang meliputi modulus elastisitas dan modulus geser hasil penelitian ini merupakan penyederhanaan dari kondisi nyata di lapangan. Dengan keterbatasan akibat asumsi bentuk silindris maka pengguna diharuskan memilih nilai yang paling rasional karena setiap bagian sortimen memiliki nilai elastisitas yang berbeda. memegang peranan yang lebih penting. Pada kondisi ini justifikasi desain Sifat elastis pada umumnya tidak berkaitan dengan kondisi keamanan struktur, tetapi lebih pada fungsi layan dan arsitektur bangunan. Struktur yang mengalami deformasi lebih besar dari deformasi maksimum rencana tampak kurang indah dan kehilangan fungsi 5

21 layannya, meskipun struktur tersebut masih aman dan terhindar dari kerusakan. Pendekatan serviceability limit state berlaku pada sifat elastis ini sehingga pada umumnya dipilih nilai sifat elastis rataan. Setiap benda yang menerima beban aksial, memberikan reaksi berupa deformasi tegak lurus arah beban dan deformasi sejajar arah beban. Apabila beban aksial tekan sebesar P diberikan pada sebuah benda dengan panjang L dan lebar T, benda tersebut akan mengalami deformasi berupa pertambahan lebar sebesar (T -T) dan pemendekan sebesar (L-L ). (Gambar 8a). Sebaliknya apabila benda mengalami beban aksial tarik sebesar P, benda tersebut akan mengalami deformasi berupa berkurangnya lebar sebesar (T-T ) dan pemanjangan sebesar (L -L). (Gambar 8b). Pertambahan dimensi diberi tanda positif (+), sedangkan berkurangnya dimensi diberi tanda negatif (-). Besarnya deformasi pasif tegak lurus arah aksial proporsional dengan deformasi aktif sejajar arah aksial, sehingga rasio antara regangan () pasif dan regangan () aktif adalah konstan. Rasio antara regangan pasif dan regangan aktif ini disebut dengan Poisson s rasio. Umumnya pada benda normal, Poisson s rasio selalu bernilai negatif, namun beberapa benda sintetis (antara lain: busa, plastik dan karton pengganjal barang dalam kemasan) telah didesain agar memiliki Poisson s rasio positif. P a) b) P L L L L T T Gambar 8. Deformasi akibat beban aksial: a) tekan, b) tarik T T Pada material orthotropik seperti halnya kayu, terdapat 6 (enam) buah nilai Poisson s rasio yaitu LR, LT, RL, RT, TR, dan TL. Huruf pertama pada subskrip 5

22 merupakan arah regangan aksial, dan huruf kedua merupakan arah deformasi lateral. Notasi LR menunjukkan Poisson s rasio untuk deformasi arah radial akibat tegangan arah longitudinal. Poisson s rasio tidak hanya memberikan pengaruh pada benda yang mengalami beban aksial tarik atau tekan, tetapi juga pada balok lentur. Pada balok lentur sederhana dengan beban tunggal terpusat di tengah bentang (one point loading) (Gambar 9), terjadi momen lentur dan gaya geser. P h Momen Lentur / PL Gaya Geser (Gaya Lintang) / P - / P L Gambar 9. Diagram momen lentur dan gaya lintang pada balok lentur sederhana dengan beban tunggal terpusat di tengah bentang Pada balok lentur sederhana dengan bentang L dan tinggi h seperti Gambar 9, benda yang menerima beban sebesar P akan mengalami deformasi berupa lendutan (defleksi) yang disebabkan oleh momen lentur (M) dan gaya geser (G). Besarnya defleksi akibat momen lentur adalah M, dan defleksi akibat gaya geser adalah, sehingga total defleksi adalah: M ' PL PL PL 8Ef I 8EI GKA Di mana : E f : modulus elastisitas tampak (apparent modulus of elasticity) E : modulus elastisitas sebenarnya (true modulus of elasticity) I : momen inersia G : modulus geser (shear modulus) K : koefisien geser (shear coefficient) A : luas penampang 55

23 Pada ckbc, penampang balok berbentuk persegi panjang I bh ; A bh sehingga persamaan di atas dapat disesuaikan menjadi: L E h f L Eh GK E f h E GK L FPL (999) menyatakan modulus elastisitas arah longitudinal (E L ) ekuivalen dengan E true (E), dan nilainya % lebih tinggi daripada E apparent (E f ), sehingga modulus elastisitas yang diperoleh dari pengujian lentur sederhana dengan beban terpusat dapat ditingkatkan %-nya untuk mendapatkan modulus elastisitas arah longitudinal. Hal itu terjadi pada specimen uji one point loading standar yaitu panjang bentang (L) kali tinggi (h)-nya. Bodig dan Jayne (98) melaporkan bahwa untuk kondisi pengujian berdasar ASTM D98 tersebut rasio E apparent dan E f E true adalah,9, 9, sehingga E apparent hasil pengujian one point loading E harus ditingkatkan sebesar 8,9%-nya untuk mendapatkan E true. Namun Bodig dan Jayne (98) melakukan kesalahan perhitungan dengan menyatakan E apparent harus ditingkatkan 8,9%-nya untuk mendapatkan E true. Dengan nilai E f, 9 E, seharusnya E apparent perlu ditingkatkan sebesar 9,8%-nya untuk mendapatkan E true. Dengan revisi tersebut, nilai yang dilaporkan FPL (999) konsisten dengan yang dilaporkan Bodig dan Jayne (98) hasil revisi. Perbedaan yang terjadi lebih disebabkan pembulatan angka penting. FPL (999) menggunakan angka penting, sedangkan Bodig dan Jayne (98) menggunakan angka penting. Oleh karena itu penulis lebih mengacu perbandingan yang dilaporkan Bodig dan Jayne (98), sehingga persamaan di atas dimodifikasi menjadi:,9e E GK,9E K 7,G 56

24 adalah : Bodig dan Jayne (98) menyatakan bahwa perbandingan E L dengan G LR E L : G LR : Namun pada bab berikutnya Bodig dan Jayne (98) menyatakan bahwa E L /G LR untuk kayu diasumsikan konstan sebesar 6. Dua nilai rasio yang berbeda ini agak membingungkan, namun demikian Sulistyowati () telah melakukan percobaan untuk mencari nilai perbandingan tersebut dan memperoleh nilai E L /G LR adalah 6. Oleh karena itu nilai rasio sebesar 6 dipilih pada tulisan ini. Sementara itu Bodig dan Jayne (98) menyatakan perbandingan modulus geser tiap penampang adalah: Oleh karena itu, G LR : G LT : G RT : 9, :. E L : G LR : G LT : G RT 6 : : 9, :. Kayu kelapa tidak memiliki sel jari-jari, sehingga G LR ekuivalen dengan G LT, dan diambil nilai rataannya sehingga perbandingan di atas diubah menjadi: E L : G LRLT : G RT 6 : 9,7:. Lebih lanjut koefisien geser dapat ditentukan dengan: K,9 7, 6 * 9,7,86 Nilai koefisien geser (K) sebesar,86 hasil perhitungan berada tepat pada batas atas selang yang disarankan ASTM D98-99 yaitu untuk penampang persegi berkisar,8,86 dan untuk penampang lingkaran berkisar,86,9. Untuk penampang persegi, menurut ASTM D98-99 hubungan antara koefisien geser dengan Poisson s rasio dapat dinyatakan dengan : K Berdasarkan hubungan tersebut, Poisson s rasio kayu kelapa ckbc dapat diperoleh, yaitu: K K *,86,6 *,86 57

25 Nilai Poisson s rasio hasil perhitungan tersebut adalah LR (khusus kayu kelapa diasumsikan sama dengan LT ). Hasil perhitungan mendapatkan nilai sebesar,6, lebih tinggi daripada yang disarankan ASTM D98-99 yaitu berkisar,5,5. FPL (999) telah melakukan penelitian empiris terhadap puluhan jenis kayu, baik softwood dan hardwood, dan seluruhnya memiliki Poisson s rasio berkisar,5,5. Bodig dan Jayne (98) membuat daftar Poisson s rasio rataan kayu pada umumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Poisson s rasio kayu rataan (Bodig dan Jayne 98) Rasio Softwood Hardwood LR,7,7 LT,,5 RT,7,67 TR,5, RL,, RT,,7 Data-data empiris seperti tersaji pada Tabel 6 tidak mendukung hasil perhitungan teoritis. Peristiwa ini terjadi akibat ditetapkannya asumsi-asumsi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Asumsi yang dilanggar antara lain: a. Sumbu kartesian betul-betul saling tegak lurus, dan diasumsikan sebagai sumbu-sumbu longitudinal, radial, dan tangensial pada kayu. Pelanggaran asumsi ini bertambah besar dengan semakin dekat posisi kayu dengan pusat batang. b. Perbandingan modulus elastisitas arah longitudinal (E L ) dengan modulus geser (G LR ) adalah 6:. Perbandingan ini bervariasi pada setiap potongan kayu baik dalam satu species maupun antar species. sebesar 6 memerlukan justifikasi empiris bagi setiap jenis kayu. Penetapan rasio E L /G LR Selain pelanggaran asumsi tersebut di atas, Poisson s rasio bernilai kecil sehingga sangat peka terhadap penggunaan angka penting. Perubahan sampai desimal ketiga pada koefisien geser masih dapat mengubah Poisson s rasio hingga desimal pertama. Sementara itu setiap literatur antara lain FPL (999) dan Bodig dan Jayne (98) hanya memberikan nilai sampai desimal pertama, sehingga hasil 58

26 perhitungan selanjutnya memberikan bias cukup besar. Untuk menghindari kesalahan tersebut, sebelum hasil penelitian empiris dapat diperoleh, Poisson s rasio gelugu menggunakan data empiris hardwood yang dilaporkan Bodig dan Jayne (98) sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Sifat Kekuatan Gelugu Keteguhan lentur patah merupakan terjemahan dari Modulus of Rupture (MOR) yaitu kemampuan maksimum kayu untuk menahan beban lentur yang nilainya proporsional dengan momen maksimum yang terjadi pada spesimen. MOR telah dikenal luas sebagai salah satu sifat kekuatan kayu, meskipun besaran tersebut tidak memperlihatkan tegangan yang sebenarnya karena rumus yang digunakan hanya valid untuk tegangan di bawah batas elastis (FPL 999). Sementara itu kekuatan kayu selalu terjadi di atas batas elastis. Pada ASTM, MOR dinotasikan dengan S R. Sementara itu analisis regresi bertatar terhadap contoh uji hasil pengujian keteguhan lentur patah (S R ) ckbc menghasilkan persamaan regresi terbaik sebagai berikut: S R =,7+,98r -,56zt (n=; R (adj)=7,79%; Sd=7,7). dimana: S R : keteguhan lentur patah (MPa) r : jarak contoh uji dari pusat batang (cm) t : posisi ketinggian contoh uji pada pohon kelapa asal (m) z : peubah boneka yang mewakili pohon dan pohon Grafik persamaan tersebut disajikan pada Gambar. Gambar (a) dan (c) memperlihatkan bahwa MOR kayu kelapa ckbc dipengaruhi posisi horisontalnya menurut fungsi kuadratik. Pola ini konsisten dengan pola penyebaran kerapatan dan modulus elastisitas. Seperti dua besaran sebelumnya, kurva kuadratik MOR berdasar posisi horisontalnya memiliki titik balik tepat di pusat batang dan sumbu ordinat (x=) menjadi sumbu simetrinya. Dengan demikian MOR kayu kelapa belahan bagian Timur dapat dinyatakan sama dengan belahan bagian Barat. Selanjutnya semakin jauh jaraknya dari titik pusat, MOR kayu kelapa ckbc 59

27 Modulus of Rupture (N/mm ) Modulus of Rupture (N/mm ) Modulus of Rupture (N/mm ) Modulus of Rupture (N/mm ) meningkat secara kuadratik. Kemiringan (slope) kurva kuadratik tersebut bernilai sama yaitu sebesar,596r untuk setiap lempengan pada seluruh ketinggian sehingga kurvanya saling sejajar satu sama lain. Bahkan pada pohon kurva kuadratik saling berimpit, sehingga heterogenitas MOR setiap potongan kayu kelapa ckbc pada satu lempengan baik pada posisi pangkal, tengah, dan ujung batang adalah sama. Perbedaan selang MOR terjadi hanya disebabkan lebih kecilnya diameter lempengan batang ujung dan bukan oleh posisi potongan kayu kelapa di dalam batang. Seandainya diameter ujung sama dengan diameter pangkal, maka selang MOR kayu kelapa ckbc pun akan sama lebarnya. a) Pohon I jarak dari titik pusat (cm) tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=6,5 m tinggi=8,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m b) Pohon I posisi ketinggian (m) r= cm r= cm r= cm r=6 cm r=8 cm c) Pohon II d) 8 8 Pohon II jarak dari titik pusat (cm) posisi ketinggian (m) 5 tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m tinggi=6,5 m tinggi=8,5 m tinggi=,5 m tinggi=,5 m r= cm r= cm r= cm r=6 cm r=8 cm r= cm Gambar. MOR kayu kelapa ckbc pohon berdasarkan posisi (a) horisontal (b) vertikal; dan pohon berdasarkan posisi (c) horisontal (d) vertikal; MOR kayu kelapa ckbc yang diperoleh dari pohon bagian ujung berkisar 5 N/mm dan bagian pangkal berkisar N/mm. Sementara itu MOR kayu kelapa ckbc dari pohon bagian ujung berkisar 58 N/mm dan bagian pangkal berkisar 8 N/mm. Hasil ini memperlihatkan bahwa kayu kelapa ckbc dari pohon secara total memiliki selang MOR yang lebih lebar daripada pohon. Hal ini terjadi karena pohon tumbuh dengan lebih baik 6

28 sehingga berdiameter lebih besar dibanding pohon. Diameter pohon berkisar 8 cm, sedangkan diameter pohon berkisar cm. Gambar (b) dan (d) memperlihatkan pengaruh ketinggian potongan contoh uji dari atas tanah terhadap MOR kayu kelapa ckbc. Pada Gambar (b) terlihat bahwa garis hubungan antara posisi ketinggian vs MOR ckbc betul-betul mendatar. Hal itu memberikan makna bahwa MOR kayu kelapa ckbc yang diperoleh dari pohon tidak dipengaruhi oleh posisi vertikalnya. Pada jarak yang sama dari pusat batang, MOR ckbc pohon bernilai sama baik pada pangkal, tengah maupun ujung. Sementara itu pada pohon posisi vertikal memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap MOR ckbc-nya. MOR kayu kelapa ckbc semakin turun dengan semakin tinggi posisi vertikalnya di dalam batang. Gaya atau kopel yang bekerja pada balok lentur menimbulkan dua akibat yaitu: (a) perubahan bentuk (deformasi) berupa lendutan (defleksi) tegak lurus sumbu longitudinal, dan (b) tegangan normal dan tegangan geser pada penampang tegak lurus sumbu longitudinal. Balok lentur (Gambar ) mengalami tegangan normal yang dapat dinyatakan dengan Mr. Pada komponen batang di bawah I garis netral terjadi tegangan tarik, sedangkan di atas garis netral terjadi tegangan tekan. +r MOR Garis netral r -r MOR Gambar. Tegangan normal akibat beban lentur MOR (S R ) ckbc merupakan kapasitas maksimum setiap contoh uji dalam menerima beban lentur. Apabila batang rekonstruksi disusun, setiap ckbc akan 6

29 mengalami tegangan normal sebesar Mr. I Oleh karena itu kurva kuadratik persamaan MOR ckbc hasil regresi bertatar tersebut dapat diplotkan bersamasama tegangan normal seperti tersaji pada Gambar. Benda akan tetap tegar apabila menerima beban di bawah kapasitasnya, sehingga gelugu akan tetap kuat apabila S R ckbc di setiap titik lebih besar daripada gaya normal yang diterima di titik tersebut. Gelugu akan mulai mengalami kerusakan tepat ketika S R ckbc sama dengan gaya normalnya. +r MOR gelugu Kurva SR ckbc Garis netral Titik kritis -r MOR gelugu Gambar. Kurva kuadratik S R ckbc diplotkan bersama-sama tegangan normal Untuk alasan kemudahan dan kelaziman Gambar 9 dirotasi 9 o dan hanya diambil bagian atas saja, sehingga menjadi Gambar, yaitu: Titik kritis SR ckbc Gambar. Kurva pola sebaran S R ckbc dan tegangan normal pada gelugu Selanjutnya untuk menggambarkan terjadinya peristiwa kerusakan akibat tegangan normal, sebuah fungsi kerusakan (F) diperkenalkan. Fungsi kerusakan dapat berupa salah satu dari dua fungsi yaitu:. F S, atau R S R. F lnf lns ln R -r +r 6

30 Untuk alasan kemudahan, bentuk pertama dipilih sebagai fungsi kerusakan yang dipergunakan. Fungsi kerusakan tersebut, yang menggambarkan kerusakan akibat gaya normal dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar. Kurva pada Gambar merupakan selisih antara kurva S R dan kurva tegangan normal pada Gambar. F -r Daerah rusak Daerah kuat Titik kritis +r Daerah rusak Gambar. Fungsi Kerusakan akibat Tegangan Normal Garis tepat ketika F = merupakan garis batas di mana kerusakan mulai terjadi. Daerah di mana F < merupakan daerah rusak, sedangkan daerah di mana F > merupakan daerah kuat. Untuk menentukan bagian kayu yang kritis, yaitu bagian kayu yang menerima beban saat F=, dilakukan prosedur sebagai berikut : F S R F,7,98r -,56zt Titik awal kerusakan sekaligus merupakan titik singgung kurva S R ckbc dan tegangan normal (Gambar ). Pada titik singgung, kemiringan kurva S R ckbc sama dengan kemiringan kurva tegangan normal, sehingga: df dr M I,596r,596r Selanjutnya titik kritis posisi awal kerusakan, yaitu saat F=, diperoleh melalui: M I F,7,98r -,56zt,98r,7 -,56zt Persamaan di atas merupakan persamaan kuadratik standar y=ax +bx+c yang dapat diselesaikan dengan rumus: M I r sehingga r, dapat diperoleh, yaitu: x, b b ac a 6

31 jarak dari titik pusat (r) (cm) jarak dari titik pusat (r) (cm) r, r,,98,7 -,56zt,98,7 -,56zt,98 Kerusakan akibat tegangan lentur pada pohon kelapa selalu dimulai pada jarak sejauh :,7,,98 r 5, cm dari pusat batang, sedangkan pada pohon setiap sortimen yang diperoleh dari setiap ketinggian akan mulai mengalami kerusakan pada bagian batang sejauh,7 -,56t r, dari pusat batang.,98 Dalam bentuk grafik, posisi awal kerusakan gelugu dapat dilihat pada Gambar 5. Sesuai dengan Gambar 5, kerusakan tidak dimulai dari pusat batang meskipun kayu kelapa ckbc yang diperoleh dari pusat batang memiliki S R paling rendah. Kerusakan gelugu juga tidak diawali pada bagian tepi meskipun setiap serat bagian tepi menerima tegangan normal paling tinggi. Kerusakan gelugu dimulai pada bagian yang lebih dalam, yaitu bagian yang kapasitas seratnya sedikit lebih rendah daripada tegangan normal yang diterima. a. Pohon I 5 tepi batang b. Pohon II 5 tepi batang 5 titik kritis 5 titik kritis posisi ketinggian (t) (m) titik kritis tepi batang posisi ketinggian (t) (m) titik kritis tepi batang Gambar 5. Posisi titik kritis awal kerusakan gelugu akibat tegangan normal Keteguhan lentur patah ditentukan oleh titik kritisnya, yaitu posisi awal mula kerusakan terjadi. Oleh karena itu keteguhan lentur patah gelugu berkaitan erat dengan S R ckbc di titik kritisnya. Perkiraan keteguhan lentur patah kayu kelapa ckbc dari pohon dan pada titik kritisnya disajikan pada Tabel 7. Mengacu kurva linier pada Gambar, tegangan normal pada sortimen gelugu yang mengalami beban maksimum (P max ) senantiasa melalui titik 6

32 koordinat (r,) bernilai (,) dan (r,s R ) di mana r adalah titik kritis dan S R adalah MOR ckbc pada titik kritisnya. Menurut definisi, tegangan normal dapat disajikan dalam bentuk : M r, I sehingga M/I merupakan kemiringan (slope) kurva linier pada Gambar, yang dapat diselesaikan dengan: M I ' ' SR SR. ' ' r r Tabel 7. MOR Sortimen Kayu Kelapa ckbc pada Titik Kritisnya Sort. Tinggi (m) Pohon Pohon ke- Pangkal Ujung Titik Kritis (cm) S R (N/mm ) Titik Kritis (cm) S R (N/mm ) 5, 6,99 5,58 6,6 5, 6,99 5, 59,76 6 5, 6,99,99 55, , 6,99,67 5, 5 8 5, 6,99, 8, 6 5, 6,99,9,5 7 5, 6,99,5,8 Selanjutnya MOR sortimen gelugu merupakan tegangan normal maksimum pada batang. Tegangan normal maksimum pada batang terjadi pada serat yang berada pada jarak terjauh dari garis netral, yang dapat dinyatakan dengan: M S R R, I di mana R adalah jari-jari gelugu di tengah batang. Kemiringan garis (M/I) dan MOR (S R ) setiap sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon dan pohon, disajikan pada Tabel 8. Meskipun penelitian empiris untuk menentukan kerapatan dan sifat mekanis gelugu belum pernah dilakukan, model-model matematis dapat dibangun berdasarkan kerapatan dan sifat mekanis kayu kelapa ckbc pada berbagai posisi horisontal dan vertikal sehingga kerapatan dan sifat mekanis gelugu dapat diduga. 65

33 Tabel 8. MOR Sortimen Gelugu Sort. ke- Tinggi (m) Pohon Pohon Pangkal Ujung M/I R (cm) S R (N/mm ) M/I R (cm) S R (N/mm ),7,7 6,,,68 67,8,7,66 8,55,8,9 5, 6,7,59,89,9, 5,5 6 8,7 9,5,,,8,56 5 8,7 8, 7,58, 9,5 6, 6,7 7,7 9,9, 8,5 9,6 7,7 6, 8,6,6 6,96 79,8 Kerapatan, MOE, dan MOR gelugu menurun dengan semakin tinggi posisi asalnya dari batang pohon. Model silindris dan kerucut terpancung menghasilkan dugaan nilai kerapatan, MOE, dan MOR sortimen gelugu yang tidak jauh berbeda karena pohon kelapa memiliki taper kecil, dan pembagian batang menjadikannya sortimen berukuran pendek. Oleh karena itu penyederhanaan perhitungan mekanika struktur yang mengasumsikan keseragaman penampang sepanjang bentang masih dapat ditoleransi. Diameter penampang setiap sortimen yang dipergunakan untuk desain tumpukan gelugu pada penelitian ini adalah rata-rata diameter pangkal dan ujung setiap sortimen gelugu. Alternatif lain, yaitu model kerucut terpancung lebih mendekati kenyataan namun aplikasinya untuk keperluan desain struktur sangat rumit karena beberapa asumsi mekanika struktur akan dilanggar, sehingga model silindris lebih dipilih. Model silindris yang dipilih pada penelitian ini telah menghasilkan nilai bagi besaran-besaran sifat elastis gelugu yang dapat dipergunakan sebagai input sifat material pada analisis struktur yang menggunakan gelugu sebagai bahan bakunya. Model silindris tersebut menghasilkan nilai sifat elastis gelugu yang meliputi modulus elastisitas arah longitudinal (E L ) dan tranversal (E T ), serta modulus geser bidang radial-tangensial (G RT ) dan bidang longitudinal transversal (G L ), namun tidak berhasil mendapatkan nilai Poisson s rasio yang konsisten. Lebih lanjut sifat elastis berkaitan dengan serviceability limit states sehingga desainer diharapkan mengambil nilai rata-ratanya ketimbang nilai bagian pangkal atau ujung. 66

34 MOR gelugu dapat direkonstruksi berdasarkan S R ckbc-nya yaitu dengan menentukan titik kritis awal mula terjadinya kerusakan akibat tegangan normal pada batang. MOR gelugu merupakan tegangan normal maksimum pada gelugu. Tegangan normal maksimum terjadi pada tepi batang dan dapat diperoleh melalui ekstrapolasi titik pusat diagram kartesian (,) dengan titik singgung S R ckbc dengan tegangan normal tersebut. Nilai MOR gelugu tidak dapat langsung dipergunakan untuk desain struktur tetapi merupakan langkah awal untuk mendapatkan kapasitas material. Beberapa tahapan proses untuk mendapatkan kapasitas material masih diperlukan, yaitu konversi menjadi tahanan referensi (tegangan ijin atau kuat acuan) kemudian mengoreksinya dengan faktor-faktor penyesuaian yang tepat. Kapasitas material ini selanjutnya dibandingkan dengan beban yang diterima struktur, sehingga kesetimbangan struktur dapat diperoleh melalui proses desain yang baik. B. Desain Tumpukan Gelugu sebagai Penyangga Terowongan Tegangan-tegangan ijin (Allowable Stress=F x ) Tegangan ijin (F x ) merupakan nilai tegangan yang umum dipublikasikan untuk keperluan desain, yaitu gaya maksimum per unit area yang masih dapat diderita secara aman oleh komponen struktur. Kayu merupakan benda orthotropis, sehingga tegangan ijinnya berbeda untuk setiap sumbu terkait dengan struktur orthotropiknya. Tegangan ijin dapat diidentifikasi berdasar deskripsi mutu kayu sesuai standar yang digunakan serta ditetapkan bagi setiap sortimen atau kelompok sortimen dan disajikan berupa tabel tegangan ijin untuk mengantisipasi penggunaan akhir sortimen tersebut. Tabel tegangan ijin (F x ) disusun sedemikian rupa yang berisikan tegangan ijin lentur (F b ), tegangan ijin tekan sejajar serat (F c// ), tegangan ijin tekan tegak lurus serat (F c ), tegangan ijin tarik sejajar serat (F t// ), dan tegangan ijin geser sejajar serat (F s// ) sehingga dapat dipilih nilai yang sesuai dengan kondisi penggunaan akhirnya. Tegangan ijin diperoleh dengan mengambil 5% ekor bawah (5% lower exclution limit=r,5 ) dari hasil pengujian kekuatan material kemudian dibagi dengan faktor penyesuaian (adjustment factor=af). Pada penelitian ini, tegangan 67

35 ijin lentur (F b ) diperoleh dari estimasi MOR setiap sortimen gelugu (Tabel 8), yang selanjutnya dimodifikasi berdasarkan rumus berikut: R,5 Fb, SR z,5 * Sd Fb, SR,65*7,7 SR Fb.66,, Sehingga tegangan ijin lentur sortimen gelugu bernilai sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Tegangan Ijin Lentur (F b ) Sortimen Gelugu Sort. Tinggi (m) Pohon Pohon ke- Pangkal Ujung S R (N/mm ) F b (N/mm ) Kelas mutu S R (N/mm ) F b (N/mm ) Kelas mutu 6, 57,87 TS5 67,8 6,7 TS5 8,55 5,9 TS5 5, 5,5 TS5 6,89 5,99 TS5 5,5 6,7 TS5 6 8,,5 TS5,56 9,76 TS ,58, TS 6,,5 TS 6 9,9 8,8 TS5 9,6 7,6 TS5 7 8,6, TS 79,8,5 TS Standar Kehutanan Indonesia (SKI) No. C-bo--987 tentang Spesifikasi Kayu Bangunan untuk Perumahan mengklasifikasikan kelas mutu kayu kontruksi dengan kode TS diikuti angka 5 hingga 5. Kelas mutu TS5, TS7, TS, TS,..., TS5 memberi makna bahwa tegangan ijin lentur kayu yang berada dalam kelas mutu tersebut berturut-turut adalah 5 kg/cm, 75 kg/cm, kg/cm, 5 kg/cm,..., 5 kg/cm, sehingga kelas mutu sortimen gelugu dari potongan pangkal hingga potongan ke-7 dari pohon dan berkisar antara TS hingga TS5 (Tabel 9). Nilai-nilai tegangan ijin untuk setiap kelas mutu telah ditabelkan dalam SKI C-bo--987, sehingga tegangan ijin setiap sortimen dapat disajikan pada Tabel. 68

36 Tabel. Tegangan ijin sortimen gelugu sesuai kelas mutu SKI C-bo--987 Sort. ke- Tinggi (m) Tegangan Ijin (N/mm ) Sortimen dari Pohon pangkal ujung Kelas F b F t// F c// F s F c Kelas mutu mutu TS5 5,, 7,,6 5, TS5 5,, 7,,6 5, TS5 5,, 7,,6 5, TS5 5,, 7,,6 5, 6 TS5 5,, 7,,6 5, TS5 5,, 7,,6 5, 6 8 TS5 5,, 7,,6 5, TS5 5,, 7,,6 5, 5 8 TS,5 9,5 5,,,8 TS,5 9,5 5,,,8 6 TS5 5, 5, 9,,8,7 TS5 5, 5, 9,,8,7 7 TS,, 5,5,5, TS,, 5,5,5, Tegangan Ijin (N/mm ) Sortimen dari Pohon F b F t// F c// F s F c Tumpukan Gelugu Tunggal Tumpukan gelugu Tunggal (Gambar 6) dibangun dengan cara menumpuk sortimen gelugu menjadi berbentuk cubical. Setiap lapisan terdiri atas dua batang yang diletakkan sejajar. Arah batang tegak lurus dengan arah batang lapisan sebelumnya. Di antara lapisan diberikan tumpuan berupa potongan sortimen gelugu sepanjang cm yang ujung dan pangkalnya dicoak setengah lingkaran saling tegak lurus(gambar 7). Batang ini berfungsi sebagai tumpuan dan sekaligus pengunci. (a) atas (b) muka (c) samping (d) D Gambar 6. Tumpukan gelugu tunggal Struktur tumpukan gelugu tersebut disusun dengan material gelugu dari pohon dan, seperti yang disketsakan pada Gambar 8a. Kode Ki-j menunjukkan bahwa sortimen berkode tersebut adalah sortimen dari pohon kelapa ke-i, potongan ke-j. Dengan asumsi penampang seragam sepanjang bentang, bentuk geometri silinder dipergunakan untuk analisis struktur. Diameter 69

37 penampang pada setiap sortimen adalah diameter rata-rata pangkal dan ujung sortimen tersebut. Sifat penampang dan sifat material setiap sortimen yang dimasukkan sebagai input pada software SAP adalah nilai hasil rekonstruksi sortimen bersangkutan. Gambar 7. Bentuk tumpuan antar lapisan Gambar 8. Material yang digunakan (a) dan beban yang bekerja (b) pada tumpukan gelugu tunggal Apabila struktur tumpukan gelugu tunggal tersebut mendapat beban merata sebesar Q N/mm (Gambar 8b), maka timbul reaksi pada batang-batang berupa gaya aksial, momen lentur, dan gaya geser. Sketsa gaya aksial, momen lentur dan 7

38 gaya geser disajikan pada Gambar Lampiran. Tegangan aksial () merupakan gaya aksial (P) dibagi dengan luas penampang (A): P P, A R sehingga tegangan aksial setiap batang disajikan pada Tabel Lampiran. Gaya lintang (V) dikonversi menjadi tegangan geser horisontal () dengan rumus: c V yda (Nash, 97). Ib y Notasi b adalah lebar bidang geser. Lebar bidang geser maksimum terjadi di bidang netral sehingga nilai b adalah R. c y yda adalah first moment of area (Q y ) yang untuk penampang berbentuk lingkaran (Gambar 9) diselesaikan menjadi: c Q y yda Q y y R r sin rddr r Qy sin d Q y R R sin d R Q y cos R Q y. dr d y = rsin Gambar 9. First Moment of Area Lingkaran I adalah momen inersia. Untuk penampang berbentuk lingkaran (Gambar 9), momen inersianya dapat dihitung sebagai berikut: 7

39 I I I c y y da R r sin rddr R R I r sin ddr sin d Karena cos()=cos - sin, dan sin + cos = maka: cos sin R I R I cos d cos d I R sin 6 R I. Oleh karena itu tegangan geser horisontal dihitung dengan rumus : c V V yda, Ib R y dan nilai numeriknya untuk tumpukan gelugu tunggal disajikan pada Tabel Lampiran. Gaya aksial, gaya geser, dan momen lentur merupakan sisi demand yang nilainya harus sama atau kurang dari kapasitas struktur. Demand (Q) untuk gaya aksial adalah V Q A bl R 8VL R Q P A R, untuk gaya geser adalah, dan untuk momen lentur adalah Q M. Pada format ASD, kesetimbangan struktur dirumuskan dengan (Q F x C D A), sehingga untuk gaya aksial menjadi (Q F c// F k A), gaya geser menjadi (Q F s// F k A), dan momen lentur menjadi (Q F b F k I/R). Faktor-faktor penyesuaian (F k ) yang digunakan untuk gaya aksial adalah C D, C M, C t, C F, C i, dan C P, untuk gaya geser adalah C D, C M, C t, dan C i, dan untuk momen lentur adalah C D, C M, C t, C L, C F, C fu, C i, C r. Notasi di sebelah kanan pada persamaan kesetimbangan struktur (F x C D A), merupakan sisi kapasitas dari struktur yaitu beban kombinasi maksimum yang 7

40 masih dapat diterima dengan aman oleh struktur. Struktur paling efisien dapat diperoleh apabila nilai kapasitas sama dengan kombinasi beban yang diterimanya. Pada ASD setiap kombinasi beban dianggap tidak memiliki variasi sehingga kombinasi beban merupakan jumlah dari masing-masing beban (Q). Akibat kombinasi beban merata sebesar Q N/mm, komponen akan memberikan reaksi berupa gaya aksial sebesar P N, gaya lintang sebesar V N, dan momen lentur sebesar M Nmm (Gambar Lampiran ). Sebuah rasio (k) dimunculkan untuk mendapatkan kombinasi beban maksimum (Q max ) yang masih dapat diterima dengan aman oleh struktur. Rasio (k) ini diperoleh melalui perbandingan sisi kapasitas dengan reaksi struktur berupa gaya aksial, geser horisontal, dan momen lentur batang (komponen) akibat beban merata sebesar Q N/mm sehingga diperoleh Q max yang berturut-turut disajikan pada Tabel Lampiran, dan. Q max diperoleh melalui rumus: a. untuk gaya aksial : F C C C // D M t F i P Q kq AQ C P C C F C C C C P C C c c // D M t F i P max R b. untuk gaya geser : F // CDCM CtCFCi Fs // CDCM CtCFCi Qmax kq AQ R A V c. untuk momen lentur : Q max k FbC DC Q s M C C t L M C F C fu C C i r I R FbC DC Q M C C t L M C F C Q fu Q C C i r R Q Q max pada kasus ini adalah beban kombinasi maksimum yang dapat didistribusikan secara merata pada balok teratas struktur tumpukan gelugu. Apabila tumpukan gelugu menerima beban merata lebih besar dari Q max maka struktur mengalami kerusakan. Batang-batang kritis, yaitu batang pertama yang mengalami kerusakan ketika beban melampaui kapasitasnya, ditetapkan sebagai batang yang memiliki Q max terkecil dibanding batang-batang lain. Untuk tumpukan gelugu tunggal, batang-batang kritis akibat beban merata sebesar Q N/mm, disajikan pada Tabel. 7

41 Tabel. Batang-batang kritis dan kombinasi beban merata maksimum pada tumpukan gelugu tunggal (ASD) No batang kritis Q max (N/mm) Aksial P ;;; -6 Momen (M) ; (±) Momen (M) 8 Lintang (V) 8 (±)99 Lintang (V) ;;; (±) Sesuai dengan Tabel, kombinasi beban maksimum (Q max ) terkecil terjadi pada batang nomor 8 yang menerima gaya lintang (V). Kombinasi beban merata maksimum yang dapat diterima oleh batang paling atas adalah 99 N/mm, sehingga kombinasi beban maksimum yang dapat diterima struktur tumpukan gelugu tunggal adalah 96 kn. Berbeda dengan ASD, pada LRFD diperkenalkan time effect factor () dan resistance factor (). Format conversion factor (K F ) berfungsi untuk menkonversi tegangan ijin (F ) menjadi tahanan acuan (R n ). Beban kombinasi memiliki faktor pengali bagi setiap komponen beban, sehingga kesetimbangan struktur pada LRFD dinyatakan dengan: (Q) R n A. Persamaan kesetimbangan struktur untuk gaya aksial adalah (Q) K F F c// A, untuk gaya geser (Q) K F F s// A, dan untuk momen lentur adalah (Q) K F F b I/R. (Q) max yang terjadi pada setiap batang akibat kombinasi beban sebesar (Q) N/mm dalam format LRFD diperoleh melalui rumus: a. untuk gaya aksial : F K C c // F M t F i P Qmax kq AQ b. untuk gaya geser : P C C C C F K C c // F M P C C t F C C Fs // K FCM CtCFCi Fs // K FCM CtCFCi Qmax kq AQ R A V c. untuk momen lentur : Q max k Fb K FC Q M C C t M L C F C fu C C i r I R Fb K FC Q Proses selebihnya sama dengan ASD sehingga diperoleh batang-batang kritis dan kombinasi beban maksimumnya (Tabel ). M C C t M i L C P F R C Q fu C C i Q r R Q 7

42 Tabel. Batang-batang kritis dan kombinasi beban merata maksimum pada tumpukan gelugu tunggal (LRFD) No batang kritis (Q) max (N/mm) Aksial P ;;; -8 Momen (M) ; (±)8 Momen (M) 8 59 Lintang (V) 8 (±)8 Lintang (V) ;; ; (±)98 Batang-batang kritis hasil analisis struktur dengan format LRFD sama dengan ASD. Perbedaan hanya tampak pada besaran beban kombinasi maksimumnya. Kombinasi beban maksimum LRFD,96 kali lebih besar daripada ASD. Namun perbedaan ini terjadi karena perbedaan format saja, sehingga dimensi material hasil analisa struktur LRFD sama dengan ASD. Analisa struktur format LRFD tidak menghasilkan struktur yang lebih hemat bahan ketimbang ASD pada faktor keamanan yang sama. Mengacu pada batang kritis no 8 (Tabel ), apabila beban yang diterima struktur hanya beban mati, maka besarnya adalah, sehingga Q max adalah (±)8/,=(±)9 N/mm. Nilai ini bahkan sedikit lebih kecil daripada hasil analisa struktur dengan ASD yang mendapatkan Q max sebesar 99 N/mm (Tabel ). Efektifitas dan efisiensi LRFD baru tampak ketika beban yang diterima struktur merupakan kombinasi dari beban mati, beban hidup, beban angin, beban salju, dll. Kombinasi beban dalam format LRFD tampak,96 lebih besar daripada ASD hanya disebabkan oleh perbedaan faktor-faktor penyesuaian, yaitu penambahan faktor, penggantian C D dengan, dan konversi F x menjadi R n dengan mengalikannya dengan K F. Nilai-nilai faktor koreksi ini bernilai sama untuk gaya aksial tekan sejajar serat, momen lentur, dan gaya geser horisontal sehingga nilai (Q) max (hasil LRFD) selalu,96 kali lebih besar daripada Q max (hasil ASD). Tumpukan Gelugu Berseling Tumpukan gelugu berseling dibangun dengan menumpuk gelugu secara berselang-seling, saling tegak lurus sehingga berbentuk cubical. Pada lapisan ganjil dipergunakan batang dan pada lapisan genap dipergunakan batang (Gambar ). 75

43 Di setiap pertemuan antar lapisan, sebuah penumpu dipasangkan. Penumpu dibuat dari gelugu sepanjang cm yang dicoak setengah lingkaran (Gambar 8). (a) atas (b) muka (c) samping (d) D Gambar. Tumpukan gelugu berseling Sketsa tumpukan gelugu berseling yang diolah dengan software SAP disajikan pada Gambar a. Struktur tersebut menerima beban vertikal arah gravitasi yang didistribusikan merata pada batang teratas sebesar Q N/mm (Gambar b), sehingga timbul reaksi pada batang berupa tegangan aksial, tegangan geser, dan momen lentur (Gambar Lampiran 5). Nilai numerik gaya aksial, gaya geser, dan momen lentur disajikan pada Tabel Lampiran 6, 7, dan 8. Kombinasi beban maksimum pada setiap komponen tumpukan gelugu berseling dihitung dengan prosedur yang sama dengan tumpukan gelugu tunggal sehingga diperoleh batangbatang kritis seperti pada Tabel. Tabel. Batang-batang Kritis dan Kombinasi Beban Maksimum pada Tumpukan gelugu Berseling (ASD dan LRFD) No Batang Kritis ASD: Q max (N/mm) LRFD: (Q) (N/mm) Aksial P ;;;;5; Momen (M) ;;5;6 (±)7 (±)77 Momen (M) ; 58 Lintang (V) ; (±)98 (±)7 Lintang (V) ;; 5;6 (±)6 (±)7 Seperti pada tumpukan gelugu tunggal, batang kritis tumpukan gelugu berseling terjadi pada batang yang menerima tegangan geser. Apabila format ASD yang digunakan, kombinasi beban maksimum yang dapat diterima oleh batang teratas adalah 98 N/mm, sehingga struktur dapat menerima kombinasi 76

44 beban maksimum sebesar 588 kn. Apabila format LRFD yang digunakan, maka kombinasi beban merata maksimum yang dapat diterima tampak,96 kali lebih besar yaitu 7 N/mm (58 kn). Gambar. Material yang Digunakan (a) dan Beban yang Bekerja (b) pada Tumpukan gelugu Berseling Tumpukan Gelugu Berseling Ganda Tumpukan gelugu berseling ganda dibangun dengan cara menumpuk sortimen gelugu sehingga berbentuk cubical. Setiap lapisan terdiri atas tiga batang yang diletakkan sejajar. Arah batang tegak lurus dengan arah batang lapisan sebelumnya. Di antara lapisan diberikan tumpuan berupa potongan sortimen gelugu sepanjang cm yang dicoak setengah lingkaran yang berfungsi sebagai tumpuan dan sekaligus pengunci (Gambar 8). gelugu berseling ganda disajikan pada Gambar. Gambar tumpukan Sketsa struktur dan material yang digunakan disajikan pada Gambar (a) dan beban yang diterima disajikan pada Gambar (b). Akibat beban yang diterimanya, setiap komponen memberikan reaksi berupa gaya aksial, gaya lintang, dan momen lentur yang sketsanya disajikan pada Gambar Lampiran 9. Analisis struktur (Tabel Lampiran,, dan ) mendapatkan batang-batang 77

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek DAFTAR NOTASI A g = Luas bruto penampang (mm 2 ) A n = Luas bersih penampang (mm 2 ) A tp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) A l =Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi (mm 2 ) A s = Luas

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp A cp Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C C m Cc Cs d DAFTAR NOTASI = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas bruto penampang (mm²) = Luas bersih penampang (mm²) = Luas penampang

Lebih terperinci

DESAIN TUMPUKAN GELUGU (KELAPA GELONDONGAN) SEBAGAI PENYANGGA TEROWONGAN PERTAMBANGAN DALAM FORMAT ASD DAN LRFD EFFENDI TRI BAHTIAR

DESAIN TUMPUKAN GELUGU (KELAPA GELONDONGAN) SEBAGAI PENYANGGA TEROWONGAN PERTAMBANGAN DALAM FORMAT ASD DAN LRFD EFFENDI TRI BAHTIAR DESAIN TUMPUKAN GELUGU (KELAPA GELONDONGAN) SEBAGAI PENYANGGA TEROWONGAN PERTAMBANGAN DALAM FORMAT ASD DAN LRFD EFFENDI TRI BAHTIAR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) SIFAT KEKUATAN KAYU MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) 1 A. Sifat yang banyak dilakukan pengujian : 1. Kekuatan Lentur Statis (Static Bending Strength) Adalah kapasitas/kemampuan kayu dalam menerima beban

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu pengujian mekanik beton, pengujian benda uji balok beton bertulang, analisis hasil pengujian, perhitungan

Lebih terperinci

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI-5 2002 DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh

Lebih terperinci

PUNTIRAN. A. pengertian

PUNTIRAN. A. pengertian PUNTIRAN A. pengertian Puntiran adalah suatu pembebanan yang penting. Sebagai contoh, kekuatan puntir menjadi permasalahan pada poros-poros, karena elemen deformasi plastik secara teori adalah slip (geseran)

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. A cp. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

DAFTAR NOTASI. A cp. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom DAFTAR NOTASI A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C Cc Cd = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom (mm²) = Luas bruto

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²)

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²) DAFTAR NOTASI A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas bruto penampang

Lebih terperinci

Tegangan Dalam Balok

Tegangan Dalam Balok Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 05 SKS : SKS Tegangan Dalam Balok Pertemuan 9, 0, TIU : Mahasiswa dapat menghitung tegangan yang timbul pada elemen balok akibat momen lentur, gaya normal, gaya

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. beban hidup dan beban mati pada lantai yang selanjutnya akan disalurkan ke

BAB III LANDASAN TEORI. beban hidup dan beban mati pada lantai yang selanjutnya akan disalurkan ke BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pelat Pelat beton (concrete slabs) merupakan elemen struktural yang menerima beban hidup dan beban mati pada lantai yang selanjutnya akan disalurkan ke balok dan kolom sampai

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C Cc Cs d DAFTAR NOTASI = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom (mm²) = Luas

Lebih terperinci

D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Eksentrisitas dari pembebanan tekan pada kolom atau telapak pondasi

D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Eksentrisitas dari pembebanan tekan pada kolom atau telapak pondasi DAFTAR NOTASI A cp = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm 2 Ag = Luas bruto penampang (mm 2 ) An = Luas bersih penampang (mm 2 ) Atp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) Al = Luas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2008 sampai bulan Februari 2009. Tempat pembuatan dan pengujian glulam I-joist yaitu di Laboratorium Produk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kuat Tekan Beton SNI 03-1974-1990 memberikan pengertian kuat tekan beton adalah besarnya beban per satuan luas, yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani dengan gaya

Lebih terperinci

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran Bab 5 Puntiran 5.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas mengenai kekuatan dan kekakuan batang lurus yang dibebani puntiran (torsi). Puntiran dapat terjadi secara murni atau bersamaan dengan beban aksial,

Lebih terperinci

xxv = Kekuatan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu y untuk aksial tekan yang nol = Momen puntir arah y

xxv = Kekuatan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu y untuk aksial tekan yang nol = Momen puntir arah y DAFTAR NOTASI A cp = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² Ag = Luas bruto penampang (mm²) An = Luas bersih penampang (mm²) Atp = Luas penampang tiang pancang (mm²) Al = Luas total

Lebih terperinci

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk

Lebih terperinci

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM PENGUJIAN BETON 4.1. Umum Beton adalah material struktur bangunan yang mempunyai kelebihan kuat menahan gaya desak, tetapi mempunyai kelebahan, yaitu kuat tariknya rendah hanya 9 15% dari kuat desaknya.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kuat Tekan Beton Sifat utama beton adalah memiliki kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya. Kekuatan tekan beton adalah kemampuan beton untuk menerima

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Struktur kayu merupakan suatu struktur yang susunan elemennya adalah kayu. Dalam merancang struktur kolom kayu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan besarnya

Lebih terperinci

Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN

Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN Sifat mekanika bahan Hubungan antara respons atau deformasi bahan terhadap beban yang bekerja Berkaitan dengan kekuatan, kekerasan, keuletan dan kekakuan Tegangan Intensitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT Pembebanan Batang Secara Aksial Suatu batang dengan luas penampang konstan, dibebani melalui kedua ujungnya dengan sepasang gaya linier i dengan arah saling berlawanan yang berimpit i pada sumbu longitudinal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Baja Baja merupakan bahan konstruksi yang sangat baik, sifat baja antara lain kekuatannya yang sangat besar dan keliatannya yang tinggi. Keliatan (ductility) ialah kemampuan

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C Cc Cs d DAFTAR NOTASI = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom (mm²) = Luas

Lebih terperinci

5- STRUKTUR LENTUR (BALOK)

5- STRUKTUR LENTUR (BALOK) Pengertian Balok 5- STRUKTUR LENTUR (BALOK) Balok adalah bagian dari struktur bangunan yang menerima beban tegak lurus ( ) sumbu memanjang batang (beban lateral beban lentur) Beberapa jenis balok pada

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005 .;.. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPIIIEIEN HISIL HUliN Kampus IPB Darmaga PO BOX 168 Bogor 161 Alamat Kawat FAHUTAN Bogor Phone: (251) 621285, Fax: (251)

Lebih terperinci

III. TEGANGAN DALAM BALOK

III. TEGANGAN DALAM BALOK . TEGANGAN DALA BALOK.. Pengertian Balok elentur Balok melentur adalah suatu batang yang dikenakan oleh beban-beban yang bekerja secara transversal terhadap sumbu pemanjangannya. Beban-beban ini menciptakan

Lebih terperinci

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi DAFTAR SIMBOL a tinggi balok tegangan persegi ekuivalen pada diagram tegangan suatu penampang beton bertulang A b luas penampang bruto A c luas penampang beton yang menahan penyaluran geser A cp luasan

Lebih terperinci

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan perilaku struktur bambu akibat beban rencana. Pengujian menjadi penting karena bambu merupakan material yang tergolong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : 1. Kayu Bangunan Struktural : Kayu Bangunan yang digunakan untuk bagian struktural Bangunan dan

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²). DAFTAR NOTASI A cp Ag An Atp Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton (mm²). Luas bruto penampang (mm²). Luas bersih penampang (mm²). Luas penampang tiang pancang (mm²). Al Luas total tulangan

Lebih terperinci

sejauh mungkin dari sumbu netral. Ini berarti bahwa momen inersianya

sejauh mungkin dari sumbu netral. Ini berarti bahwa momen inersianya BABH TINJAUAN PUSTAKA Pada balok ternyata hanya serat tepi atas dan bawah saja yang mengalami atau dibebani tegangan-tegangan yang besar, sedangkan serat di bagian dalam tegangannya semakin kecil. Agarmenjadi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

V. BATANG TEKAN. I. Gaya tekan kritis. column), maka serat-serat kayu pada penampang kolom akan gagal

V. BATANG TEKAN. I. Gaya tekan kritis. column), maka serat-serat kayu pada penampang kolom akan gagal V. BATANG TEKAN Elemen struktur dengan fungsi utama mendukung beban tekan sering dijumpai pada struktur truss atau frame. Pada struktur frame, elemen struktur ini lebih dikenal dengan nama kolom. Perencanaan

Lebih terperinci

1.2. Tujuan Penelitian 2

1.2. Tujuan Penelitian 2 DAFTA R 1SI HALAMAN JUDUL i LEMBAR PENGESAHAN ii HALAMAN MOTTO iii HALAMAN PERSEMBAHAN iv KATA PENGANTAR v DAFTARISI vii DAFTARNOTASI x DAFTARGAMBAR xn DAFTARTABEL xiv DAFTAR LAMPIRAN xv ABSTRAKSI xvi

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG RUSUNAWA UNIMUS

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG RUSUNAWA UNIMUS TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG RUSUNAWA UNIMUS Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata (S-1) Pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Katolik

Lebih terperinci

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 205. Torsi. Pertemuan - 7

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 205. Torsi. Pertemuan - 7 Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 05 SKS : 3 SKS Torsi Pertemuan - 7 TIU : Mahasiswa dapat menghitung besar tegangan dan regangan yang terjadi pada suatu penampang TIK : Mahasiswa dapat menghitung

Lebih terperinci

4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI Pendahuluan

4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI Pendahuluan 4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI 4.1. Pendahuluan Dalam bidang konstruksi secara garis besar ada dua jenis konstruksi rangka, yaitu konstruksi portal (frame) dan konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara 0.2-1.28 kg/cm 3. Berat jenis kayu merupakan suatu petunjuk dalam menentukan kekuatan

Lebih terperinci

2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT

2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT 2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT Pendahuluan Elemen struktur komposit merupakan struktur yang terdiri dari 2 material atau lebih dengan sifat bahan yang berbeda dan membentuk satu kesatuan sehingga menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kuat Tekan Beton Sifat utama beton adalah memiliki kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya. Kekuatan tekan beton adalah kemampuan beton untuk menerima

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kekakuan Lamina Kayu Ekaliptus Pemilahan lamina menggunakan metode defleksi menghasilkan nilai modulus elastisitas (MOE) yang digunakan untuk pengelompokkan lamina.

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG PERPUSTAKAAN PUSAT YSKI SEMARANG

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG PERPUSTAKAAN PUSAT YSKI SEMARANG TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG PERPUSTAKAAN PUSAT YSKI SEMARANG Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

V. PENDIMENSIAN BATANG

V. PENDIMENSIAN BATANG V. PENDIMENSIAN BATANG A. Batang Tarik Batang yang mendukung gaya aksial tarik perlu diperhitungkan terhadap perlemahan (pengurangan luas penampang batang akibat alat sambung yang digunakan). Luas penampang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI (3.1)

BAB III LANDASAN TEORI (3.1) BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kelangsingan Kelangsingan suatu kolom dapat dinyatakan dalam suatu rasio yang disebut rasio kelangsingan. Rasio kelangsingan dapat ditulis sebagai berikut: (3.1) Keterangan:

Lebih terperinci

Pd M Ruang lingkup

Pd M Ruang lingkup 1. Ruang lingkup 1.1 Metode ini menentukan sifat lentur potongan panel atau panel struktural yang berukuran sampai dengan (122 X 244) cm 2. Panel struktural yang digunakan meliputi kayu lapis, papan lapis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM DAN LATAR BELAKANG Sejak permulaan sejarah, manusia telah berusaha memilih bahan yang tepat untuk membangun tempat tinggalnya dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Pemilihan

Lebih terperinci

BAB II TINJAIJAN PllSTAKA

BAB II TINJAIJAN PllSTAKA BAB II TINJAIJAN PllSTAKA Kayu memiliki perbedaan kokuatan dan kekakuan bukan saja antar spesies, namun juga dalan species yang sama (Blass dkk., 1995; Rhude, ). Hal tersebut di atas disebabkan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi umum Desain struktur merupakan salah satu bagian dari keseluruhan proses perencanaan bangunan. Proses desain merupakan gabungan antara unsur seni dan sains yang membutuhkan

Lebih terperinci

1 HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TRI TUNGGAL SEMARANG

1 HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TRI TUNGGAL SEMARANG TUGAS AKHIR 1 HALAMAN JUDUL PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TRI TUNGGAL Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Fakultas Teknik Program

Lebih terperinci

STRUKTUR CANGKANG I. PENDAHULULUAN

STRUKTUR CANGKANG I. PENDAHULULUAN STRUKTUR CANGKANG I. PENDAHULULUAN Cangkang adalah bentuk struktural berdimensi tiga yang kaku dan tipis serta yang mempunyai permukaan lengkung. Permukaan cangkang dapat mempunyai bentuk sembarang. Bentuk

Lebih terperinci

TUGAS MAHASISWA TENTANG

TUGAS MAHASISWA TENTANG TUGAS MAHASISWA TENTANG o DIAGRAM BIDANG MOMEN, LINTANG, DAN NORMAL PADA BALOK KANTILEVER. o DIAGRAM BIDANG MOMEN, LINTANG, DAN NORMAL PADA BALOK SEDERHANA. Disusun Oleh : Nur Wahidiah 5423164691 D3 Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom Kolom beton murni dapat mendukung beban sangat kecil, tetapi kapasitas daya dukung bebannya akan meningkat cukup besar jika ditambahkan tulangan longitudinal. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2]

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2] BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Elemen Hingga Analisa kekuatan sebuah struktur telah menjadi bagian penting dalam alur kerja pengembangan desain dan produk. Pada awalnya analisa kekuatan dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom lentur. Kolom merupakan elemen struktur yang menahan gaya aksial dan momen 2.1.1. Pengertian dan prinsip dasar kolom Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN...1

BAB 1 PENDAHULUAN...1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERNYATAAN...iii KATA PENGANTAR...iv DAFTAR ISI...v DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR...xi DAFTAR PERSAMAAN...xiv INTISARI...xv ABSTRACT...xvi

Lebih terperinci

BAB 4 Tegangan dan Regangan pada Balok akibat Lentur, Gaya Normal dan Geser

BAB 4 Tegangan dan Regangan pada Balok akibat Lentur, Gaya Normal dan Geser BAB 4 Tegangan dan Regangan pada Balok akibat Lentur, Gaya Normal dan Geser 4.1 Tegangan dan Regangan Balok akibat Lentur Murni Pada bab berikut akan dibahas mengenai respons balok akibat pembebanan. Balok

Lebih terperinci

Tata Cara Pengujian Beton 1. Pengujian Desak

Tata Cara Pengujian Beton 1. Pengujian Desak Tata Cara Pengujian Beton Beton (beton keras) tidak saja heterogen, juga merupakan material yang an-isotropis. Kekuatan beton bervariasi dengan alam (agregat) dan arah tegangan terhadap bidang pengecoran.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kayu merupakan suatu bahan mentah yang didapatkan dari pengolahan pohon pohon yang terdapat di hutan. Kayu dapat menjadi bahan utama pembuatan mebel, bahkan dapat menjadi

Lebih terperinci

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F KAYU LAMINASI Oleh : Yudi.K. Mowemba F 111 12 040 Pendahuluan Kayu merupakan bahan konstruksi tertua yang dapat diperbaharui dan merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang penting. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA II.1 Umum dan Latar Belakang Kolom merupakan batang tekan tegak yang bekerja untuk menahan balok-balok loteng, rangka atap, lintasan crane dalam bangunan pabrik dan sebagainya yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - April 2012 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Teknologi dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Kuat Tekan Beton Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk menerima gaya tekan persatuan luas. Kuat tekan beton mengidentifikasikan mutu dari sebuah struktur. Semakin tinggi

Lebih terperinci

PENGANTAR KONSTRUKSI BANGUNAN BENTANG LEBAR

PENGANTAR KONSTRUKSI BANGUNAN BENTANG LEBAR Pendahuluan POKOK BAHASAN 1 PENGANTAR KONSTRUKSI BANGUNAN BENTANG LEBAR Struktur bangunan adalah bagian dari sebuah sistem bangunan yang bekerja untuk menyalurkan beban yang diakibatkan oleh adanya bangunan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR PERPAJAKAN PUSAT KOTA SEMARANG

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR PERPAJAKAN PUSAT KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR PERPAJAKAN PUSAT KOTA SEMARANG Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

II. KAJIAN PUSTAKA. gaya-gaya yang bekerja secara transversal terhadap sumbunya. Apabila

II. KAJIAN PUSTAKA. gaya-gaya yang bekerja secara transversal terhadap sumbunya. Apabila II. KAJIAN PUSTAKA A. Balok dan Gaya Balok (beam) adalah suatu batang struktural yang didesain untuk menahan gaya-gaya yang bekerja secara transversal terhadap sumbunya. Apabila beban yang dialami pada

Lebih terperinci

VI. BATANG LENTUR. I. Perencanaan batang lentur

VI. BATANG LENTUR. I. Perencanaan batang lentur VI. BATANG LENTUR Perencanaan batang lentur meliputi empat hal yaitu: perencanaan lentur, geser, lendutan, dan tumpuan. Perencanaan sering kali diawali dengan pemilihan sebuah penampang batang sedemikian

Lebih terperinci

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. :

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. : PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA Laporan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Oleh : KEVIN IMMANUEL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG Bobly Sadrach NRP : 9621081 NIRM : 41077011960360 Pembimbing : Daud Rahmat Wiyono, Ir., M.Sc FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Lebih terperinci

VII. KOLOM Definisi Kolom Rumus Euler untuk Kolom. P n. [Kolom]

VII. KOLOM Definisi Kolom Rumus Euler untuk Kolom. P n. [Kolom] VII. KOOM 7.1. Definisi Kolom Kolom adalah suatu batang struktur langsing (slender) yang dikenai oleh beban aksial tekan (compres) pada ujungnya. Kolom yang ideal memiliki sifat elastis, lurus dan sempurna

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin-

KATA PENGANTAR. telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin- KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin- Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR

BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR 3.1. ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR PELAT Struktur bangunan gedung pada umumnya tersusun atas komponen pelat lantai, balok anak, balok induk, dan kolom yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih bawah hingga akhirnya sampai ke tanah melalui fondasi. Karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih bawah hingga akhirnya sampai ke tanah melalui fondasi. Karena BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka struktural yang memikul beban dari balok. Kolom meneruskan beban-beban dari elevasi atas ke elevasi yang lebih bawah hingga akhirnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Material Beton II.1.1 Definisi Material Beton Beton adalah suatu campuran antara semen, air, agregat halus seperti pasir dan agregat kasar seperti batu pecah dan kerikil.

Lebih terperinci

Bab 6 Defleksi Elastik Balok

Bab 6 Defleksi Elastik Balok Bab 6 Defleksi Elastik Balok 6.1. Pendahuluan Dalam perancangan atau analisis balok, tegangan yang terjadi dapat diteritukan dan sifat penampang dan beban-beban luar. Untuk mendapatkan sifat-sifat penampang

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI BAB I β adalah faktor yang didefinisikan dalam SNI ps f c adalah kuat tekan beton yang diisyaratkan f y

DAFTAR NOTASI BAB I β adalah faktor yang didefinisikan dalam SNI ps f c adalah kuat tekan beton yang diisyaratkan f y DAFTAR NOTASI BAB I β adalah faktor yang didefinisikan dalam SNI 03-2847-2002 ps. 12.2.7.3 f c adalah kuat tekan beton yang diisyaratkan BAB III A cv A tr b w d d b adalah luas bruto penampang beton yang

Lebih terperinci

ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR. Anton Wijaya

ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR. Anton Wijaya ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian Pendidikan sarjana teknik sipil Anton Wijaya 060404116 BIDANG

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN BEKISTING DITINJAU DARI SEGI KEKUATAN, KEKAKUAN DAN KESTABILAN PADA SUATU PROYEK KONSTRUKSI

STUDI PEMBUATAN BEKISTING DITINJAU DARI SEGI KEKUATAN, KEKAKUAN DAN KESTABILAN PADA SUATU PROYEK KONSTRUKSI STUDI PEMBUATAN BEKISTING DITINJAU DARI SEGI KEKUATAN, KEKAKUAN DAN KESTABILAN PADA SUATU PROYEK KONSTRUKSI DENIE SETIAWAN NRP : 9721019 NIRM : 41077011970255 Pembimbing : Maksum Tanubrata, Ir., MT. FAKULTAS

Lebih terperinci

DAFfAR NOTASI. = Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi ( batang. = Luas dari tulangan geser dalam suatu jarak s. atau luas dari tulangan

DAFfAR NOTASI. = Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi ( batang. = Luas dari tulangan geser dalam suatu jarak s. atau luas dari tulangan NOTASI 1 DAFfAR NOTASI a = Tinggi blok tegangan beton persegi ekivalen Ab = Luas penampang satu batang tulangan. mm 2 Ag Ah AI = Luas penampang bruto dari beton = Luas dari tulangan geser yang pararel

Lebih terperinci

Struktur Balok-Rusuk (Joist) 9 BAB 3. ANALISIS DAN DESAIN Uraian Umum Tinjauan Terhadap Lentur 17

Struktur Balok-Rusuk (Joist) 9 BAB 3. ANALISIS DAN DESAIN Uraian Umum Tinjauan Terhadap Lentur 17 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAKSI PRAKATA DAFTAR -ISI i i i iii iv v vii DAFTAR NOTASI DAN SIMBOL ix DAFTAR GAMBAR xii BAB 1. TENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1

Lebih terperinci

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman DASAR-DASAR STRUKTUR KAYU A. MENGENAL KAYU 1. Pengertian kayu Kayu adalah bahan yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan (dalam) alam dan termasuk vegetasi hutan. Tumbuh-tumbuhan yang dimaksud disini adalah

Lebih terperinci

VII ELASTISITAS Benda Elastis dan Benda Plastis

VII ELASTISITAS Benda Elastis dan Benda Plastis VII EASTISITAS Kompetensi yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa setelah mempelajari bab elastisitas adalah kemampuan memahami, menganalisis dan mengaplikasikan konsep-konsep elastisitas pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan BAB III LANDASAN TEORI A. Pembebanan Dalam perancangan suatu struktur bangunan harus memenuhi peraturanperaturan yang berlaku sehingga diperoleh suatu struktur bangunan yang aman secara konstruksi. Struktur

Lebih terperinci

KAJIAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANG BIASA DAN BALOK BETON BERTULANGAN KAYU DAN BAMBU PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi

KAJIAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANG BIASA DAN BALOK BETON BERTULANGAN KAYU DAN BAMBU PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi KAJIAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANG BIASA DAN BALOK BETON BERTULANGAN KAYU DAN BAMBU PADA SIMPLE BEAM Naskah Publikasi untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Teknik Sipil

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman Judul i Pengesahan ii Persetujuan iii Surat Pernyataan iv Kata Pengantar v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR NOTASI xviii DAFTAR LAMPIRAN xxiii ABSTRAK xxiv ABSTRACT

Lebih terperinci