BAB V KEPENTINGAN AKTOR SOSIAL TERHADAP KONVERSI LAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KEPENTINGAN AKTOR SOSIAL TERHADAP KONVERSI LAHAN"

Transkripsi

1 33 BAB V KEPENTINGAN AKTOR SOSIAL TERHADAP KONVERSI LAHAN Tanah adalah faktor produksi utama bagi aktor pemanfaat sumber daya agraria. Aktor pemanfaat sumberdaya agraria dibagi menjadi tiga yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pada kasus konversi lahan sawah menjadi non sawah (terminal tipe A) di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan, aktor masyarakat adalah pemilik lahan yang dikonversikan lahannya dan petani. Aktor pemerintah adalah pemerintah desa dan daerah yang berkaitan dengan terjadinya konversi lahan sawah, dan aktor swasta adalah pemegang tender pembangunan terminal Tipe A. Aktor swasta tidak dikaji lebih dalam pada penelitian ini. Hal ini disebabkan aktor swasta tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap penguasaan dan pemanfaatan lahan. Pihak swasta hanya sebagai aktor yang terlibat dalam menjalankan proyek pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Budiman (2009) menyatakan bahwa konversi lahan tidak bisa dilepaskan dari proses transfer pemilikan lahan, khususnya proses jual beli. Kasus konversi lahan sawah irigasi teknis di Desa Kertawangunan pun diawali dengan proses transfer pemilikan lahan dari masyarakat pemilik lahan kepada pemerintah daerah, melalui proses jual beli lahan dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. 5.1 Proses Pembebasan Lahan Sawah Pembebasan lahan pertanian untuk pembangunan terminal di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan terjadi pada Tahun Lahan pertanian yang dibebaskan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan adalah lahan sawah seluas 5,7 ha. Lahan sawah seluas 3,5 ha merupakan tanah bengok dan lahan sawah seluas 2,2 ha merupakan tanah milik masyarakat Desa Kertawangunan. Lahan sawah ini menjadi sumber penghasilan masyarakat Desa Kertawangunan. Lahan sawah yang digarap oleh masyarakat merupakan hasil sewa maupun bagi hasil maro dengan pemilik sawah. Proses pembebasan lahan sawah yang dijadikan Terminal Tipe A Kertawangunan melalui beberapa tahapan diantaranya: musyawarah rencana pembangunan, musyawarah penawaran harga, musyawarah keputusan harga, dan

2 34 pengalihan surat pajak tanah dari desa ke kabupaten. Proses pembebasan tanah yang dilakukan berkaitan dengan pihak Pemerintah Desa Kertawangunan, Dinas Perhubungan Kabupaten Kuningan yang berkaitan langsung dengan rencana pembangunan terminal, Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan yang sekarang berada dalam Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) mengenai inventaris tanah Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, dan masyarakat pemilik tanah serta tokoh masyarakat. Tidak ada panitia khusus dari desa untuk proses pembebasan lahan. Pihak pemerintah Desa Kertawangunan hanya sebagai fasilitator antara masyarakat dengan Dinas Perhubungan dan Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan. Sebelum adanya musyawarah pertama di Desa Kertawangunan mengenai rencana pembangunan terminal, Dinas Perhubungan mengutarakan rencana lokasi untuk pembangunan terminal Tipe A di Desa Kertawangunan kepada pemerintah desa. Setelah itu, pemerintah desa mengadakan musyawarah antara perangkat desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), masyarakat pemilik tanah, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang rencana Dinas Perhubungan untuk pembangunan terminal tipe A serta lokasi yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal tersebut. Musyawarah kedua dan ketiga setelah ada kesepakatan lokasi antara Pemerintah Daerah dalam hal ini berkaitan dengan Dinas Perhubungan dan masyarakat Desa Kertawangunan, mengenai penawaran dan keputusan harga. Penawaran harga yang diberikan oleh masyarakat pemilik lahan disesuaikan dengan letak lahan dengan kedekatannya dari jalan raya. Keputusan harga merupakan harga yang ditawarkan dari pihak pemerintah daerah yang diwakili dari Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan, yang sesuai dengan kesepakatan dengan masyarakat pemilik lahan sawah. Harga yang ditawarkan oleh pemilik lahan dan keputusan harga melalui kesepakatan adalah: a. Lahan yang berdekatan dengan jalan raya Harga penawaran warga per bata (14 m 2 ) Rp ,00 Harga kesepakatan per bata (14 m 2 ) Rp ,00 b. Lahan berada di tengah-tengah Harga penawaran warga per bata (14 m 2 ) Rp ,00 Harga kesepakatan per bata (14 m 2 ) Rp ,00

3 35 c. Lahan yang di ujung (jauh dari jalan raya) Harga penawaran warga per bata (14 m 2 ) Rp ,00 Harga kesepakatan per bata (14 m 2 ) Rp ,00 Proses selanjutnya adalah pengalihan surat pajak tanah dari desa ke kabupaten. Bagi pemilik tanah yang merupakan tanah milik pribadi, langsung di proses di pemerintah daerah setelah adanya pemindahalihan surat pajak tanah. Setelah melalui proses pengalihan surat tanah dari desa ke kabupaten, masyarakat desa pemilik tanah langsung memproses penjualan tanahnya ke pemerintah daerah bagian keuangannya, tidak ada kaitannya lagi dengan desa. Berbeda dengan tanah milik perangkat desa yang merupakan tanah bengkok, setelah adanya kesepakatan antara semua pihak untuk masalah pembangunan terminal, dibuat peraturan Desa Kertawangunan. Peraturan Desa yang dibuat adalah dengan persetujuan dari Badan Perwakilan Desa tentang Sewa Menyewa Tanah Hak Pakai Desa Kertawangunan dengan Pemerintah Daerah. Setelah ada Peraturan desa untuk pembangunan terminal yang sesuai dengan kesepakatan semua pihak, peraturan desa ini kemudian diajukan ke Kabupaten. Kemudian terbentuk Peraturan Desa Kertawangunan No 147/01-Perdes/2004 tentang sewa menyewa hak pakai Desa Kertawangunan dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan seluas m 2 yang terletak di Blok Parenca Persil 006 untuk pembangunan terminal. 5.2 Konversi Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi lahan atau alih fungsi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia (Utomo, dkk., 1992). Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga bersifat sementara. Alih fungsi kawasan pertanian lahan basah irigasi teknis menjadi fasilitas umum bersifat permanen. Hal ini disebabkan pemanfaatan atau penggunaan tanah sebagai ruang pembangunan untuk fasilitas umum (terminal) tidak dapat dijadikan sawah kembali. Konversi lahan pertanian khususnya konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi non sawah (terminal) yang terjadi di Desa Kertawangunan tidak terlepas dari faktor pendorong yang menjadikan lahan tersebut harus dikonversikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi terminal di Desa Kertawangunan adalah faktor kebijakan pemerintah dan lokasi

4 36 sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Kedua faktor ini sama dengan faktor-faktor konversi yang dinyatakan dalam penelitian Sumaryanto, dkk. (1994). Kedua faktor ini satu sama lain saling berkaitan dalam rangka memajukan Kabupaten Kuningan. 1) Kebijakan Pemerintah Daerah Faktor pertama adalah kebijakan pemerintah daerah yang paling berpengaruh terhadap terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi Terminal Tipe A Kertawangunan. Pembangunan dan atau pengelolaan wilayah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya dengan tetap memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan, sesuai dengan peraturan yang berlaku yang termasuk juga di dalamnya mengenai penataan ruang. Wewenang pemerintah daerah dalam hal penataan ruang adalah menyelenggarakan penataan ruang daerahnya yang terdiri dari unsur perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah daerah dengan adanya kewenangan yang diberikan oleh Bupati merencanakan dan memanfaatkan tanah untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan ini adalah atas dasar kebijakan pemerintah daerah dengan wewenang dari Bupati yang mendapat pembiayaan dari pemerintah pusat untuk menjalankan pembangunan di Kabupaten Kuningan. Pemanfaatan tanah sebagai ruang untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan belum terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dibangun pada Tahun , sedangkan pada saat itu RTRW Kabupaten Kuningan belum rampung. RTRW Kabupaten Kuningan baru dapat dirampungkan pada Tahun Hal ini dituturkan oleh Bapak HDR Kepala Bagian Tata Ruang: untuk pembangunan terminal Tipe A belum ditetapkan dalam tata ruang. Setiap lima tahun sekali selalu ada revisi untuk RTRW, pada saat itu RTRW Kabupaten Kuningan masih dibuat dan baru selesai pada Tahun 2008.

5 37 Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dapat terlaksana meskipun belum direncanakan dalam RTRW Kabupaten Kuningan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan dari pemerintah daerah dan kewenangan Bupati untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Luas lahan untuk terminal tipe A sekurang-kurangnya lima hektar. Persyaratan luas lahan minimal lima hektar untuk pembangunan terminal ini, mengharuskan pemerintah daerah mengambil alih tanah milik masyarakat dan aparat Desa Kertawangunan untuk digunakan pembangunan terminal tipe A. Kebutuhan tanah dalam rangka pembangunan terminal tipe A mengharuskan terjadinya konversi lahan sawah yang berada di sekitar lokasi pembangunan terminal. Tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal dibeli dari masyarakat pemilik tanah pribadi dan disewa dari aparat Desa Kertawangunan oleh pemerintah daerah. Tanah ini menjadi penguasaan dan inventaris dari pemerintah daerah karena telah ada pemindahalihan kepemilikan. Lahan sawah yang dikonversi untuk pelebaran terminal luasnya sebesar 5,7 ha. Lahan sawah ini merupakan kawasan pertanian lahan basah irigasi teknis. Peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian diantaranya: Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994; dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis. Cara yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk mengkonversikan lahan sawah beririgasi teknis agar tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan yaitu dengan mengkondisikan sawah beririgasi teknis menjadi tanah kering. Perizinan dalam pembangunan terminal ini pun baru dibuat setelah pembangunan terminal tipe A ini selesai. 2) Lokasi Sawah Terhadap Pusat Pertumbuhan Ekonomi Faktor lain yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan terminal adalah lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Sawah irigasi yang digunakan lokasinya berdekatan dengan jalan raya dan berada di samping terminal Ancaran (sebelum di bangun Terminal Tipe A Kertawangunan).

6 38 Terminal Ancaran merupakan terminal tipe C yang luasnya lebih kecil dan lebih terbatas fasilitasnya dibandingkan dengan terminal tipe A. Di sekeliling Terminal Ancaran merupakan lahan sawah irigasi teknis. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan membutuhkan lahan sekurang-kurangnya lima hektar, oleh karena itu sawah irigasi teknis di sekeliling Terminal Ancaran menjadi kebutuhan bagi pembangunannya. Selain itu, sesudah dibangunnya terminal tipe A mulai banyak berkembang pertokoan didekat terminal tersebut. Sumaryanto, dkk. (1994) menyatakan bahwa panjang jalan aspal yang ada di suatu desa dapat digunakan sebagai proksi dari kualitas prasarana transportasi di desa tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin membaik aksesibilitas suatu desa, kecenderungan terjadinya konversi lahan semakin tinggi. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan tujuannya adalah untuk memperlancar aksesibilitas dan keterjangkauan jarak antar kecamatan sebagai solusi dalam pemerataan pembangunan transportasi. Rencana selanjutnya adalah pembangunan jalan yang menghubungkan dengan kecamatan lain sebagai jalan masuk menuju terminal. Pembangunan jalan ini pun akan mengakibatkan semakin bertambahnya sawah irigasi yang terkonversikan. Sebagaimana penuturan Bapak DJDJ: agar dapat menembus jalur utara sudah ada rencana dari pemerintah daerah untuk pembangunan jalan baru, untuk pembangunan jalan baru tersebut sudah dilakukan pengecekan lahan oleh yang ahlinya yang didatangkan dari pusat. Jalan tersebut akan langsung menuju daerah Cirendang. Rencananya akan di bangun pada tahun ini, tapi sampai sekarang belum terlaksana. Lahan untuk pembangunan jalan baru ini merupakan lahan sawah irigasi teknis milik masyarakat Dusun Parenca. Lahan ini sudah melalui proses pembebasan lahan, dan sekarang lahan tersebut sudah menjadi milik pemerintah daerah. Menurut penuturan Bapak DSK: Yeuh neng, lahan sawah anu di Dusun Parenca anu caket jalan na ngalewatan makam, anu bade ka kantor desa teh bade dianggo kangge jalan anyar. Ari tanah na mah entos dipeser ku pemerintah daerah. Lahan sawah yang di Dusun Parenca deket jalan yang melewati pemakaman, jalan yang menuju kantor desa akan digunakan untuk pembangunan jalan baru. Tanahnya sudah dibeli oleh pemerintah daerah.

7 39 Terdapatnya terminal tipe A di Desa Kertawangunan menyebabkan kebutuhan akan aksesibilitas jalan semakin tinggi dan laju konversi lahan sawah irigasi teknis pun semakin tinggi juga. Pola konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan berdasarkan faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat, dan prosesnya termasuk konversi sistematik berpola enclave. Konversi lahan berpola enclave adalah sehamparan tanah yang terkonversi secara serentak, pemilik tanah terdiri dari beberapa orang. Kasus konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan merupakan konversi lahan secara serentak dalam waktu yang sama dimana tanah dibutuhkan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan yaitu seluas 5,7 hektar. Luas lahan sawah ini dimiliki oleh 17 orang yang terdiri dari sepuluh orang masyarakat desa (pemilik tanah pribadi) dan tujuh orang aparat desa (pemilik tanah bengkok). 5.3 Kepentingan Pemerintah Aktor pemerintah yang terlibat dalam pembebasan lahan sawah irigasi teknis untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan adalah Pemerintah Desa Kertawangunan, Dinas Perhubungan Kabupaten Kuningan, Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan. Kepentingan pemerintah dalam pembebasan lahan ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara pembangunan. Kepentingan aparat desa dalam pelaksanaan sewa menyewa tanah hak pakai Desa Kertawangunan yang digunakan pembangunan terminal untuk menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Alasan lainnya untuk menambah penghasilan/upah perangkat desa. Hal ini disebabkan upah perangkat desa sebelum lahan disewakan untuk pembangunan terminal merupakan hasil sewa dari masyarakat desa yang mengelola lahan tersebut. Hasil sewa yang diperoleh dari masyarakat yang mengelola lahan tersebut jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan harga sewa yang ditawarkan oleh pemerintah daerah. Harga tanah yang disewakan perangkat desa kepada masyarakat (petani) untuk dikelola sebesar Rp ,00 sampai Rp ,00/100 bata per tahun. Besarnya sewa oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan sebagaimana dituangkan dalam pasal empat dalam Peraturan Desa Kertawangunan tentang Sewa Menyewa Tanah Hak Pakai Desa Kertawangunan dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang menyebutkan bahwa: besarnya uang sewa adalah Rp

8 ,00/100 bata (tujuh ratus ribu rupiah) setiap tahunnya dan dimasukan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) serta dituangkan dalam surat perjanjian sewa menyewa. Sebagaimana penuturan dari Kepala Desa Kertawangunan Bapak DJDJ: Lahan sawah yang sekarang digunakan untuk terminal tadinya disewakan kepada masyarakat untuk diolah. Biasanya harga sewa yang diberikan antara Rp ,00/100 bata sampai Rp ,00/100 bata per tahun. Pemerintah daerah memberikan harga sewa yang lebih besar untuk pembangunan terminal sebesar Rp ,00/100 bata per tahun. Lahan sawah milik perangkat desa yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal adalah tanah bengkok. Tanah bengkok merupakan tanah untuk gaji aparat desa dan merupakan tanah aset daerah. Jadi, ketika tanah tersebut dibutuhkan kembali oleh daerah untuk pembangunan, maka tanah tersebut harus dikembalikan. Data lahan sawah aparat desa yang merupakan tanah bengkok terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Lahan Aparat Desa yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan Pekerjaan di Desa Kertawangunan No. Nama Pekerjaan Luas Lahan Terkonversi (m 2 ) 1. UH Sekdes AWN Ngabihi MKR Ekbang ABL Kesra SPM Kadus JND Kadus NNG Kadus Sumber: Peraturan Desa Kertawangunan, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, 2004 Tanah bagi pemerintah daerah memiliki nilai kepentingan umum yaitu untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Kepentingan pemerintah daerah dalam hal ini kaitannya dengan Dinas Perhubungan dalam rangka pengembangan wilayah. Transportasi memiliki peranan penting dalam pengembangan wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan (2008) antara lain: a) mempermudah aksesibilitas dalam melakukan interaksi dan proses distribusi-koleksi antar wilayah, sehingga dapat meningkatkan pengembangan manfaat sosial dan ekonomi, serta tata ruang wilayah seperti peningkatan mobilitas penduduk dan pengembangan terhadap sektor-sektor produktif regional; b) membuka peluang terhadap wilayah/sub

9 41 wilayah yang masih terisolasi, sehingga dapat memacu perkembangan pada wilayah tersebut. Sistem jaringan transportasi dalam rencana struktur ruang Kabupaten Kuningan meliputi: pengembangan jaringan jalan baru, peningkatan jalan eksisting serta pengembangan dan pembangunan terminal dan halte. Tujuan pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan adalah untuk memperlancar aksessibilitas dan keterjangkauan jarak antar kecamatan sebagai solusi dalam pemerataan pembangunan transportasi. Selama ini, titik pertemuan dari segala arah untuk transportasi adalah di wilayah Utara (menuju terminal Cirendang), maka untuk pemerataan pembangunan transportasi dialihkan ke wilayah Timur (menuju Terminal Tipe A Kertawangunan). Sebagaimana konsep peruntukkan terminal Kertawangunan adalah sebagai pengganti terminal Cirendang yang selama ini menjadi titik simpul utama pelayanan angkutan umum di Kabupaten Kuningan. Hal ini dituturkan pula oleh Bapak NN dari Dinas Perhubungan yang menyatakan bahwa: lokasi yang dipilih untuk pembangunan terminal di wilayah Timur karena di wilayah Utara sebagai titik pertemuan segala arah sudah padat sehingga rawan kemacetan. Pembangunan terminal tipe A juga harus memenuhi standar luas lahan seluas lima hektar. Di wilayah Utara lahannya juga tidak memadai untuk pembangunan terminal Tipe A. Legalitas terminal Tipe A ini pun didasarkan pada Surat Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Darat Nomor: SK.787/AJ.106/DRJD/2004 tanggal 17 Mei 2004 tentang Penetapan Lokasi Terminal Penumpang Tipe A Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. 5.4 Kepentingan Masyarakat Aktor masyarakat adalah masyarakat pemilik lahan sawah yang sawahnya digunakan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dan petani yang menggarap lahan sawah. Pemilik lahan sawah yang lahannya dikonversikan untuk pembangunan terminal ini merupakan masyarakat yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai pedagang. Pemilik tanah yang lahannya dikonversikan terdiri dari sepuluh orang, dapat dilihat pada Tabel 5.

10 42 Tabel 5. Luas Lahan Pribadi yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan Pekerjaan di Desa Kertawangunan No. Nama Pekerjaan Luas Lahan Terkonversi (m 2 ) 1. DD Pedagang TMD Pedagang/Petani UJ Pedagang AL (Alm) Pensiunan MSD (Alm) Pedagang/Petani STJ Pedagang JNL (Alm) Pedagang SPD Wiraswasta SHJ Pensiunan MMN Wiraswasta 840 Pemilik lahan pada dasarnya tidak memiliki keinginan untuk menjual tanah tersebut. Tanah yang mereka miliki sebagian besar dikelola dengan sistem bagi hasil dengan petani. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik lahan dan petani adalah sistem maro. Tanah milik mereka kemudian dijual karena penawaran harga yang sesuai dengan kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemerintah daerah. Tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan diberikan penawaran harga dua kali lipat dari harga pasaran oleh pemerintah daerah. Harga lahan yang lebih tinggi ini menyebabkan ketertarikan pemilik lahan untuk menjual lahannya kepada pemerintah daerah. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu ERN menantu dari Bapak STJ: tanah warisan gaduh suami abdi nu diical kanggo ngabangun terminal luasna 350 bata. Harga diicalna teh Rp ,00/bata na. Ngical tanah teh sami-sami nguntungkeun kanggo pamarentah oge sareng anu ngicalna oge. tanah warisan suami saya yang dijual untuk pembangunan terminal seluas 350 bata. Harga jualnya Rp ,00/ bata. Menjual tanah itu sama-sama saling menguntungkan baik untuk pemerintah maupun untuk pemilik tanah. Alasan lain penjualan tanah yang dilakukan oleh pemilik lahan yaitu menambah modal usaha. Sebagian besar pemilik lahan sawah bermatapencaharian sebagai pedagang. Penjualan lahan memberikan keuntungan bagi pemilik lahan untuk

11 43 modal usahanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak TMD yang pekerjaannya sebagai pedagang sekaligus petani: ari nikmat na mah ngagarap sawah neng, lamun dari segi keuntungan memang lebih untung icalan. Artos tina ngical tanah dianggo modal icalan ayeuna. sebenarnya nikmatnya memang mengelola sawah, walaupun dari segi keuntungan lebih untung jualan. Uang hasil penjualan tanah digunakan untuk modal usaha yang sekarang dijalankan. Ada pula yang menggunakan uang hasil menjual tanah untuk membeli tanah kembali di daerah lain. Seperti yang dilakukan oleh Bapak DD dan Bapak MMN. Bapak MMN menyatakan bahwa: Tanah abdi anu 50 bata upami henteu kacandak kanggo terminal moal diical, kumargi nyaah tanahna sae kanggo pertanian, tanah kualitas no.1. Artos tina hasil ngical tanah eta teh dianggo meser deui tanah di daerah nu sanes. Tanah saya yang 50 bata kalau tidak terambil untuk terminal tidak akan dijual, karena sayang tanahnya bagus untuk pertanian tanah kualitas no. 1. Uang hasil menjual tanah digunakan lagi untuk membeli tanah di daerah lain. Hasil penjualan lahan pun ada yang dibagikan kepada keluarganya dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Keputusan dibebaskannya lahan oleh pemilik lahan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan disebabkan oleh penawaran harga yang sesuai, modal usaha, dan pemilikan lahan baru yang lebih luas di daerah lain. Harga lahan yang diperoleh pemilik lahan perorangan dan pemanfaatan hasil penjualan lahan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dapat dilihat pada Tabel 6. Pemilik lahan perorangan yang dapat ditemui dilapangan sebanyak tujuh orang dari sepuluh orang yang lahannya digunakan untuk pembangunan terminal. Dua orang pemilik lahan sudah tidak berada di lingkungan Desa Kertawangunan yaitu AL dan UJ. Satu orang pemilik lahan lainnya telah meninggal Bapak MSD, informasinya telah di dapat dari DD yang merupakan putra Bapak MSD.

12 44 Tabel 6. Data Responden Mengenai Pekerjaan, Status Kepemilikan Tanah, Luas Tanah, Harga Tanah dan Pemanfaatan Hasil Penjualan Tanah di Desa Kertawangunan No. Responden Pekerjaan Status Luas tanah yang Harga Tanah Pemanfaatan hasil 1. DD putra Bapak MSD (Alm) 2. TMD Wiraswasta, Petani 3. ERN Ibu Rumah menantu Tangga STJ 4. NN anak Bapak JNL (Alm) dikonversikan Pedagang Pemilik 200 bata 200 bata Buruh Bangunan per bata Rp ,00 Rp ,00 penjualan Digunakan untuk modal usaha, dibagikan kepada keluarganya Pemilikpenggarap 50 bata Rp ,00 Membuat toko untuk 200 bata Rp ,00 usaha, modal usaha Pemilik 350 bata Rp ,00 Digunakan untuk membangun rumah, modal usaha Pemilik 40 bata Rp ,00 Digunakan untuk keperluan sehari-hari 5. SPD Wiraswasta Pemilik 100 bata Rp ,00 Digunakan untuk membeli lahan di daerah lain 6. SHJ Pensiunan Pemilik 100 bata Rp ,00 Dibagikan kepada keluarganya 7. MMN Wiraswasta Pemilik 50 bata Rp ,00 Digunakan untuk membeli lahan di daerah lain

13 45 Dilain pihak, masyarakat bermatapencaharian sebagai petani yang mengelola lahan di lahan pemilik tidak mendapatkan keuntungan dari pembebasan lahan tersebut. Pada saat pembebasan lahan sawah terdapat suatu penolakan dari masyarakat yang bergantung hidupnya pada lahan sawah. Penolakan pembebasan lahan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dilakukan oleh petani dan buruh karena kebutuhan mereka akan lahan garapan. Akan tetapi, petani tidak memiliki kekuasaan terhadap lahan sawah karena petani hanya menyewa dan menggarap lahan sawah bukan sebagai pemilik lahan sawah. Pembebasan lahan tersebut menyebabkan petani kehilangan lahan garapan. Secara tidak langsung, para petani menjadi kehilangan mata pencahariannya. Seperti yang diutarakan oleh Bapak BHR (petani): lahan nu diperyogikeun kanggo terminal teh aya kontra neng ti masyarakat, biasalah lamun pembangunan aya pro sareng kontrana. Masalahna mah kumaha kanggo kelanjutan hirup masyarakat (petani), saentos dibangun ieu terminal teh. lahan yang dibutuhkan untuk terminal ada kontra dari masyarakat, bisalah kalau pembangunan ada pro dan kontranya. Masalahnya bagaimana kelanjutan hidup masyarakat (petani), setelah dibangunnya terminal. Bagi petani yang dibutuhkan dengan adanya pembangunan terminal ini adalah kesempatan kerja baru untuk keberlangsungan hidup mereka. 5.5 Peta Kepentingan Aktor Merujuk pada hasil penelitian Tetiani (2002) dalam Nurjanah dan Nilamsari (2002) dari kasus-kasus yang diteliti menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan pengusaha selalu bersifat mutualistis, sebagai sesama pelaku kapitalisme. Kedua aktor tersebut bersama-sama mendominasi masyarakat (petani) dalam rangka mendominasi penguasaan sumber agraria yang sebelumnya dimiliki atau dikuasai petani. Akibatnya akses petani terhadap sumber agraria berkurang atau hilang sama sekali. Kekuatan kapitalis dalam hal ini menang terhadap ekonomi subsisten. Pada kasus proses konversi lahan sawah menjadi terminal Tipe A di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan terlihat bahwa terdapat kesamaan dengan penelitian Tetiani (2002) dalam Nurjanah dan

14 46 Nilamsari (2002) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria. Perbedaannya adalah penelitian di Desa Kertawangunan tidak melibatkan swasta sebagai subyek agraria, sehingga tidak ada hubungan mutualistis antara pemerintah dan swasta. Hubungan penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria tanah antara masyarakat (petani) dan pemerintah di Desa Kertawangunan dapat dilihat pada Gambar 4. Pemerintah Daerah Petani Sumber-sumber Agraria Gambar 4. Hubungan-Hubungan Agraria di Desa Kertawangunan Keterangan: menunjukkan pengambilalihan terhadap penguasaan/pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya agraria oleh pemerintah daerah, yang sebelumnya dikuasai oleh masyarakat menunjukkan hilangnya penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dari masyarakat (petani) hubungan konflik dari dominasi pemerintah daerah terhadap petani dalam mengambil alih sumberdaya agraria yang dimiliki oleh masyarakat Pemerintah daerah dalam pembangunan fasilitas umum berupa Terminal Tipe A Kertawangunan menggunakan kewenangannya untuk proses konversi lahan sawah irigasi teknis. Pemilik lahan yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai pedagang mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan lahan. Dilain pihak, masyarakat (petani) mengalami kerugian dengan hilangnya peran ekonomis dari lahan yang mereka gunakan sebagai lahan pertanian. Pembebasan lahan sawah irigasi teknis ini menyebabkan hilangnya penguasaan/pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dari mayarakat (petani). Hubungan antara masyarakat (petani) dan pemerintah daerah dengan kepentingan yang berbeda menyebabkan benturan antara kedua belah pihak. Benturan kepentingan ini terjadi ketika pemerintah daerah mengambil alih lahan pertanian untuk dijadikan Terminal Tipe A Kertawangunan. Dilain pihak, masyarakat (petani) memiliki kepentingan atas tanah tersebut dalam peran

15 47 ekonomis tanah. Lahan sawah irigasi teknis ini merupakan sumber kehidupan para petani yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perbedaan kepentingan antara pemerintah dan petani ini, sangat merugikan para petani. Sebagian besar petani merasakan dampak negatif dari pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu NN (petani): ayeuna mah teu tiasa molah sawah, sawah nu dimana deui tuda tos teu aya. Basa keur molah mah hoyong gaduh naon bae tiasa, ayeuna mah sesah, beas bae kedah meser. sekarang tidak bisa mengolah sawah lagi, sawahnya sudah tidak ada. Dulu selagi ngolah sawah keinginan untuk punya apa saja bisa, tetapi sekarang beras saja harus beli. Realisasi kepentingan pemerintah daerah menyebabkan lahan sawah irigasi teknis harus dikonversikan. Masyarakat (petani) tidak dapat mengelola kembali lahan yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 5.6 Ikhtisar Tanah merupakan modal utama bagi para aktor pemanfaat sumberdaya agraria. Aktor pemanfaat sumberdaya agraria tanah diantaranya: pemerintah, swasta dan masyarakat. Pada kasus di Desa Kertawangunan, aktor yang dikaji yaitu pemerintah dan masyarakat. Pihak swasta tidak dikaji lebih dalam pada penelitian ini. Hal ini disebabkan aktor swasta tidak berkaitan langsung dengan proses pembebasan lahan dan kepentingan terhadap lahan, melainkan hanya sebagai pihak yang terlibat dalam menjalankan proyek pembangunan terminal atau pihak pemegang tender pembangunan terminal. Konversi lahan tidak dapat dilepaskan dari proses pembebasan lahan. Proses pembebasan lahan di Desa Kertawangunan melibatkan pemerintah daerah dalam hal ini terkait dengan Dinas Perhubungan dan Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan, Aparat Desa Kertawangunan, tokoh masyarakat, dan pemilik lahan. Aparat pemerintah Desa Kertawangunan dalam pembebasan lahan bertindak sebagai fasilitator antar pemilik lahan dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah kaitannya dengan Dinas Perhubungan memiliki kepentingan akan lahan untuk pembangunan terminal tipe A. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan ditujukan untuk pengembangan wilayah. Transportasi memiliki

16 48 peran yang sangat penting dalam pengembangan wilayah. Lahan yang telah dibebaskan dari kepemilikan ini, kemudian dicatat sebagai lahan aset pemeritah daerah pada bagian Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Desa Kertawangunan adalah kebijakan daerah dan lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan. Kebijakan pemerintah daerah serta kewenangan Bupati mempermudah terlaksananya pembangunan terminal tipe A, walaupun dalam RTRW belum direncanakan dan belum ada perizinan untuk pembangunan terminal tersebut. Faktor lain yaitu lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi, lokasi sawah irigasi teknis yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal tipe A berada dekat dengan jalan raya. Pola konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan termasuk konversi sistemik berpola enclave. Konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan dipengaruhi pula oleh kepentingan-kepentingan para aktor pemanfaat sumberdaya agraria. Pada kasus Desa Kertawangunan terdapat dua aktor yang berkepentingan terhadap konversi lahan yaitu antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah desa dan daerah. Aparat Pemerintah Desa Kertawangunan pada dasarnya memiliki kepentingan dalam pembebasan lahan untuk menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) serta menambah penghasilan perangkat desa. Tujuan pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan bagi pemerintah daerah, untuk memperlancar aksesibilitas dan keterjangkauan jarak antar kecamatan sebagai solusi dalam pemerataan pembangunan transportasi. Kepentingan pemilik lahan dalam pembebasan lahan sawah irigasi adalah perolehan harga jual yang sesuai dari pemerintah daerah. Hasil penjualan tanah ini digunakan juga untuk modal usaha karena sebagian besar pemilik lahan bermatapencaharian sebagai pedagang dan digunakan untuk membeli lahan yang lebih luas di daerah lain. Dilain pihak yaitu masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani memerlukan pekerjaan yang baru dengan dikonversikannya lahan tersebut. Hal ini disebabkan petani kehilangan lahan garapannya yang merupakan tempat penghidupan mereka. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan benturan antara masyarakat (petani) dengan pemerintah.

BAB VI DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP HUBUNGAN AKTOR

BAB VI DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP HUBUNGAN AKTOR 49 BAB VI DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP HUBUNGAN AKTOR 6.1 Perubahan Orientasi Nilai Terhadap Lahan Orientasi nilai terhadap lahan yang dimaksud dikategorikan menjadi tiga, yaitu nilai keuntungan, nilai

Lebih terperinci

ALIH FUNGSI LAHAN: POTENSI PEMICU TRANSFORMASI DESA - KOTA (Studi Kasus Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan )

ALIH FUNGSI LAHAN: POTENSI PEMICU TRANSFORMASI DESA - KOTA (Studi Kasus Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan ) ALIH FUNGSI LAHAN: POTENSI PEMICU TRANSFORMASI DESA - KOTA (Studi Kasus Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan ) 1 Evi Novia Nurjanah dan 2 Heru Purwandari 1 Alumni Departemen SKPM Fakultas Ekologi

Lebih terperinci

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kuningan 4.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kuningan terletak di ujung Timur Laut Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 6 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanah dan Penggunaan Tanah Tanah sebagai sumberdaya pada dasarnya diperlukan bagi semua kegiatan kehidupan dan penghidupan. Tanah sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN 43 BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN 5.1 Fenomena Konversi Lahan Kecamatan Bogor Selatan adalah wilayah yang lahannya tergolong subur. Salah satu bagian dari Kota Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG

BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PESERTA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DI DESA KEMANG Bab ini mendeskripsikan profil rumahtangga peserta PNPM MP di Desa Kemang yang di survei

Lebih terperinci

KEPALA DESA DEMPET KECAMATAN DEMPET KABUPATEN DEMAK PERATURAN DESA DEMPET

KEPALA DESA DEMPET KECAMATAN DEMPET KABUPATEN DEMAK PERATURAN DESA DEMPET KEPALA DESA DEMPET KECAMATAN DEMPET KABUPATEN DEMAK PERATURAN DESA DEMPET NOMOR : Tahun 2016 T E N T A N G KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DESA DEMPET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

BAB VII IMPLIKASI KONVERSI LAHAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

BAB VII IMPLIKASI KONVERSI LAHAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH 62 BAB VII IMPLIKASI KONVERSI LAHAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH 7.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan merupakan matra spasial dari Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PEMBIAYAAN PERSIAPAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS YANG DIBEBANKAN PADA MASYARAKAT

PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PEMBIAYAAN PERSIAPAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS YANG DIBEBANKAN PADA MASYARAKAT BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2018 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PEMBIAYAAN PERSIAPAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS YANG DIBEBANKAN PADA MASYARAKAT DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan jalan. Transportasi merupakan bagian yang tidak dapat. dipisahkan dari kehidupan manusia. Terdapat hubungan erat antara

BAB I PENDAHULUAN. jaringan jalan. Transportasi merupakan bagian yang tidak dapat. dipisahkan dari kehidupan manusia. Terdapat hubungan erat antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Transportasi adalah pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan jaringan jalan. Transportasi merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi, memperlancar perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi, memperlancar perdagangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur dalam perekonomian akan mendorong peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi, memperlancar perdagangan antar daerah, dan memperlancar

Lebih terperinci

KONVERSI LAHAN: BENTURAN KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA

KONVERSI LAHAN: BENTURAN KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA KONVERSI LAHAN: BENTURAN KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA (Studi Kasus Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) EVI NOVIA NURJANAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan Pasal 16 Peraturan Menteri Dalam Negeri

Lebih terperinci

KEPALA DESA SUMBERBERAS KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA SUMBERBERAS NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN TANAH KAS DESA SUMBERBERAS

KEPALA DESA SUMBERBERAS KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA SUMBERBERAS NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN TANAH KAS DESA SUMBERBERAS KEPALA DESA SUMBERBERAS KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA SUMBERBERAS NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN TANAH KAS DESA SUMBERBERAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SUMBERBERAS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK

BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK 48 BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK 7.1 Sejarah Mobilitas Penduduk Perempuan Desa Karacak Fenomena mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa sebenarnya

Lebih terperinci

SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 11 TAHUN 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG

SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 11 TAHUN 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 11 TAHUN 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DAN KEKAYAAN DESA, PENGURUSAN DAN PENGAWASANNYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 10 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 83 BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN) 7.1 Persepsi Masyarakat Umum Desa Pangradin Terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)

Lebih terperinci

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 52 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 52 TAHUN 2015 TENTANG 1 SALINAN BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 52 TAHUN 2015 TENTANG PENGHASILAN TETAP, TUNJANGAN DAN PENERIMAAN LAIN YANG SAH BAGI KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN LAMONGANN DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat sebab tanah dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal ini tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

KUWU LIMPAS KECAMATAN PATROL KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DESA LIMPAS NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

KUWU LIMPAS KECAMATAN PATROL KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DESA LIMPAS NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG KUWU LIMPAS KECAMATAN PATROL KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DESA LIMPAS NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KUWU LIMPAS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting di dalam pembangunan nasional karena sektor ini memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang sangat besar (Soekartawi,

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian muncul sejak manusia mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu kelompok manusia untuk bergantung dan

Lebih terperinci

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 5 TAHUN 2012

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 5 TAHUN 2012 BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMEKARAN DESA CILEUNGSING MENJADI DESA CILEUNGSING DAN DESA CIRENDANG KECAMATAN CIKAKAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 6

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a. bahwa Desa memiliki hak asal usul

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA 1 BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya

Lebih terperinci

PEMERINTAH DESA WIROKERTEN KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PEMERINTAH DESA WIROKERTEN KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PEMERINTAH DESA WIROKERTEN KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DESA WIROKERTEN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PEMANFAATAN TANAH DESA WIROKERTEN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG DUKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI TERHADAP PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN POLITEKNIK BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 5 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia,

PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebagaimana besar kehidupan manusia bergantung pada tanah. Tanah dinilai sebagai suatu harta

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah Penelitian dilakukan di Kecamatan Panumbangan, Sindangkasih dan Cihaurbeuti. Tiga kecamatan ini berada di daerah Kabupaten Ciamis sebelah utara yang berbatasan

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PENGHASILAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PENGHASILAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PENGHASILAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk optimalisasi sumber pendapatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantarjati

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 78

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 78 BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 78 PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 78 TAHUN 2017 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN DAN PENGELOLAAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI Desa Kembang Kuning terbagi atas tiga dusun atau kampung, yakni Dusun I atau Kampung Narogong, Dusun II atau Kampung Kembang Kuning, dan Dusun III atau Kampung Tegal Baru. Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 NOMOR 3 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara 1 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 4. Undang-Undang Nomor 1

Lebih terperinci

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 6 TAHUN 2012

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 6 TAHUN 2012 BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMEKARAN DESA CURUGLUHUR MENJADI DESA CURUGLUHUR DAN DESA MEKARSARI KECAMATAN SAGARANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI PARKIR KENDARAAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pulau, dengan populasi lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2010, Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. pulau, dengan populasi lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2010, Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau, dengan populasi lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2010, Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

TENTANG PENETAPAN ALOKASI DAN PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2006

TENTANG PENETAPAN ALOKASI DAN PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2006 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 124 /PMK.02/2005 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DAN PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2006 Menimbang : a. bahwa sesuai dengan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun 1960 menjadi sejarah dalam sistem penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sistem penguasaan tanah oleh Belanda

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PEMEKARAN DESA CIDADAP MENJADI DESA CIDADAP DAN DESA MEKARTANI KECAMATAN CIDADAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG PENERBITAN IZIN LOKASI DAN PERSETUJUAN PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 4 TAHUN 2012

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 4 TAHUN 2012 BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PEMEKARAN DESA HEGARMANAH MENJADI DESA HEGARMANAH DAN DESA CIMANGGIS KECAMATAN CICANTAYAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. struktur ekonomi manusia yang di dalamnya bidang pertanian, industri-perdagangankomunikasi-transportasi

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. struktur ekonomi manusia yang di dalamnya bidang pertanian, industri-perdagangankomunikasi-transportasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Ekonomi Geografi ekonomi adalah cabang geografi manusia yang bidang studinya struktur aktivitas keruangan ekonomi sehingga titik

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN EKS TANAH BENGKOK KELURAHAN KABUPATEN MADIUN

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN EKS TANAH BENGKOK KELURAHAN KABUPATEN MADIUN 1 BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN EKS TANAH BENGKOK KELURAHAN KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa guna menunjang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGETAN, Menimbang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924 Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL Indeks: HASIL.

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA SEWA TANAH SAWAH MILIK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA SEWA TANAH SAWAH MILIK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA SEWA TANAH SAWAH MILIK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. TINJAUAN UMUM Pemerataan pembangunan di seluruh penjuru tanah air merupakan program pemerintah kita sebagai usaha untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan terutama di bidang ekonomi.

Lebih terperinci

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 7 TAHUN 2O15 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 7 TAHUN 2O15 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA SALINAN BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 7 TAHUN 2O15 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN LAHAN UNTUK PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dinamika perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang selaras, serasi dan berkesinambungan serta mengatur hubungan antara

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN BANGUNAN GEDUNG YANG DIDANAI MELALUI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN TAHUN JAMAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 21 TAHUN 2012

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 21 TAHUN 2012 BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PEMEKARAN DESA CITARIK MENJADI DESA CITARIK DAN DESA JAYANTI KECAMATAN PALABUHANRATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

2 masyarakat hukum serta keserasian dan sinergi dalam pelaksanaan pengaturan dan kebijakan mengenai desa; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaiman

2 masyarakat hukum serta keserasian dan sinergi dalam pelaksanaan pengaturan dan kebijakan mengenai desa; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaiman LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.157, 2015 PEMERINTAHAN. Desa. Penyelenggaraan. Pembangunan. Pembinaan. Pemberdayaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5717). PERATURAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi dan politik yang terjadi sejak akhir tahun 1997 telah menghancurkan struktur bangunan ekonomi dan pencapaian hasil pembangunan di bidang kesejahteraan sosial selama

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENGHASILAN TETAP, TUNJANGAN, DAN INSENTIF PADA LINGKUP PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci