BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING"

Transkripsi

1 BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING 5.1 Pendahuluan Rekahan dapat menjadi faktor utama dalam penyebaran porositas dalam batugamping. Rekahan di batugamping dapat ditemui dalam jenjang skala yang panjang, dari milimeter sampai puluhan meter. Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi dari rekahan dipengaruhi oleh : i) Komposisi batuan ii) Ukuran butir batuan iii) Porositas batuan iv) Ketebalan Lapisan v) Posisi struktur Koestler et al. (1995) menyatakan bahwa tujuan utama mempelajari distribusi frekuensi dari properti rekahan adalah untuk mengetahui perilaku (karakter) dari pola sistem rekahan pada semua skala pengamatan. Menurut Turcotte (1992) dan Korvin (1992) op.cit. Koestler et al. (1995), penskalaan (scaling) dari spasi rekahan mengikuti geometri fraktal, dan menurut Koestler et al. (1995) panjang rekahan dapat diasumsikan memiliki perilaku yang sama. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini dilakukan untuk meneliti pengaruh tiga dari lima faktor di atas, yaitu: komposisi batuan, ukuran butir batuan, dan posisi struktur terhadap sistem rekahan yang berkembang pada batugamping. 5.2 Teori dasar Rekahan atau fracture adalah permukaan yang memotong batuan atau mineral, yang menyebabkan batuan atau mineral kehilangan kohesi pada bidang tersebut (Twiss dan Moores, 1992). Nelson (1985) menyatakan bahwa rekahan merupakan bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alamiah akibat deformasi atau diagenesa. Oleh karena itu dalam penelitian ini, rekahan didefinisikan sebagai permukaan diskontinuitas 11

2 yang memotong batuan atau mineral, yang menyebabkan hilangnya kohesi, terbentuk secara alamiah akibat deformasi atau diagenesa. Menurut Dennis (1987) op.cit. Koestler et al. (1995) terdapat tiga mode rekahan (Gambar 5.1), yaitu : Mode I adalah rekahan ekstensional (extensional fracture), pergerakannya relatif tegak lurus terhadap bidang rekahan. Mode II adalah rekahan gerus (shear fracture), pergerakannya relatif sejajar bidang rekahan dan tegak lurus ujung rekahan. Mode III adalah rekahan gerus (shear fracture), dengan pergerakan relatif sejajar dengan ujung rekahan. Gambar Tiga jenis mode rekahan, Mode I adalah rekahan terbuka, Mode II dan Mode III adalah rekahan gerus (Dennis, 1987 op.cit. Koestler et al., 1995) Selain ketiga mode di atas, di daerah penelitian dijumpai jenis rekahan lain yaitu stylolite. Menurut Park dan Schot (1968) op.cit. Nelson (1985), stylolite adalah penampakan umum pada batugamping, batudolomit, dan batupasir yang terbentuk akibat diagenesa. Permukaan stylolite dicirikan dengan keberadaan material yang relatif tidak mudah larut (insoluble residue) dari suatu batuan. Stylolite pada umumnya dianggap terbentuk sebagai akibat dari pressure dissolution yang terjadi karena adanya perbedaan tingkat kelarutan dari material penyusun batuan akibat dari differential stress yang bekerja. Material akan melarut pada bagian permukaan yang terkena tekanan tinggi dan akan mengendap pada tempat dengan tekanan lebih rendah atau terbuang dari sistem. 12

3 Gambar Stylolite, orientasi dan hubungannya dengan tegasan utama (Nelson, 1985) Power law adalah hubungan polinomial yang menunjukan sifat dari skala invarians, k k persamaannya adalah: f ( x) = ax + o( x ) dimana a dan k adalah konstanta dan o(x k ) adalah nilai fungsi asimtot kecil dari x Clauset, et al. (27). y Gambar Grafik Linier sebagai contoh persebaran data yang mengikuti distribusi Power Law. Clauset, et al. (27). Studi lain menyatakan bahwa ketebalan rekahan ekstensional terisi mineral juga mengikuti distribusi Power Law. Distribusi Power Law dihasilkan dari proses yang tidak linear dan memiliki geometri fraktal (Sapiie et al., 27). Sanderson et al. (1994) op.cit Sapiie et al. (27) menyatakan bahwa set data fraktal, dalam hal ini rekahan, dengan distribusi Power Law akan mengikuti persamaan: N( T) = kt c x 13

4 dimana : T: aperture rekahan N: Jumlah kumulatif rekahan ekstensional yang memiliki apertur >T k: Konstanta c: Dimensi fraktal. Sapiie et al. (27) telah meneliti karakter dari rekahan pada batugamping, yaitu; hubungan antara spasi rekahan dan panjang rekahan dengan jumlah kumulatifnya mengikuti pola distribusi Power Law pada litologi batugamping, rekahan pada litologi batugamping yang sama akan memiliki perbedaan nilai densitas rekahan yang berbeda apabila berdekatan sesar, dan jenis fasies pada batugamping mempengaruhi distribusi rekahan. 5.3 Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data didesain agar tujuan penelitian untuk mendapatkan hubungan empiris dan fungsional intensitas rekahan tersebut dapat tercapai. Terdapat beberapa istilah dalam metode pengambilan data yang digunakan (Gambar 5.3.1). Gambar Peristilahan dalam teknik pengambilan data. Garis B-B adalah garis lintasan, A adalah besar bukaan rekahan, L adalah panjang rekahan, dan S adalah spasi antar rekahan (Sapiie,1999). Teknik pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Pengukuran koordinat geografis lokasi-lokasi pengamatan dengan menggunakan global positioning system. 14

5 2. Pengukuran atribut lapisan batuan : (i) Fasies, (ii) jurus dan kemiringan, 3. Penentuan lintasan pengamatan, yaitu jalur lintasan yang digunakan untuk mengamati rekahan. Jalur pengamatan ini merupakan pita ukur yang ditempelkan di atas permukaan singkapan 4. Pada setiap lintasan pengamatan dilakukan penentuan keberadaan rekahan yang tidak alamiah, yang mungkin terbentuk akibat proses penambangan. Rekahan yang tidak alamiah ini tidak dimasukkan ke dalam pencatatan data. 5. Pada setiap lintasan pengamatan dilakukan pengamatan jenis rekahan (vuggy, rekahan gerus, rekahan ekstensional, stylolite) kemudian dilakukan pengukuran atribut rekahan yaitu : (i) kedudukan, (ii) panjang, (iii) besar bukaan (apertur), dan (iv) morfologi rekahan. 5.4 Data Lokasi Pengambilan Data Pengukuran dilakukan di empat Lokasi di Gunung Guha dan satu lokasi di Gunung Balukbuk. Keterangannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini Kode Lokasi Koordinat titik awal pengukuran arah pengukuran panjang pengukuran Fasies jumlah rekahan Guha-1 S6 51'7.8"; E1723'46.8" Guha-2 S6 51 '12." E17" 23 '43.1" Guha-3 S6 51 '14.3" E17 23 '4.2" Guha-4 S6 51 '16.7" E17 23 '47.8" BLB-1 S E N 335 E 64 cm Platycoral Bindstone 122 N 17"E 23 cm Branchingcoral Bafflestone 436 N 155 E 256 cm Platycoral Bindstone- Grainstone N 145 E 216 cm Coral Framestone N 32 E 8 cm Grainstone Tabel Keterangan lokasi, data, jumlah rekahan, dan fasies. Posisi dari pengukuran juga dapat dilihat pada Peta Lintasan Fasies (Lampiran 5). Data rekahan yang diukur di lapangan terlampir di Lampiran

6 5.4.2 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan mengunakan jumlah kumulatif properti rekahan (panjang, apertur, jumlah rekahan) yang intervalnya dihitung setiap cm, kecuali pada pengolahan panjang dan spasi rekahan, misalnya: Jarak (cm) Strike (N... E) Dip (... ) Apertur(cm) Panjang (cm) interval Interval Total Apertur Total Panjang Tabel Contoh pengolahan data secara jumlah kumulatif tiap interval cm. Pengolahan panjang dan apertur rekahan,yaitu; interval pengamatan rekahan dibagi tiap seratus meter, dari interval - cm disebut interval cm, 11-2 cm disebut interval 2, dan seterusnya. Pada tiap interval tersebut dijumlahkan panjang rekahan yang termasuk interval tersebut misalnya pada bagian berwarna hijau, interval cm memiliki komponen jarak 31cm dan 89 cm, total panjang rekahan pada interval ini adalah panjang rekahan di jarak 31 cm ditambah panjang rekahan di jarak 89 cm maka didapatkan total panjang di interval seratus adalah 173,2 cm. Pengolahan aperture juga memakai cara yang sama. Setelah didapatkan total panjang dan total apertur maka dibuat grafik untuk membandingkan keduanya dengan interval jaraknya cm. Untuk pengolahan spasi rekahan dilakukan cara yang berbeda. Spasi rekahan adalah jarak antara dua rekahan terdekat yang saling sejajar pada arah normal atau tegak lurus bidang rekahan (Pollard dan Wu, 22). Oleh karena itu, pengukuran spasi rekahan dilakukan pada rekahan-rekahan dalam set yang sama. Dua rekahan yang berdekatan pada satu set yang sama belum tentu sejajar, karena itu diambil kedudukan rata-ratanya agar menjadi sejajar dan dapat diukur spasinya. Jarak yang diukur selama pengamatan di lapangan 16

7 masih merupakan jarak semu karena pengukuran jarak mengikuti scanline sehingga yang diperoleh belum tentu jarak tegak lurus antar dua rekahan. Berdasarkan uraian di atas, maka spasi rekahan sebenarnya (Si) dihitung dengan menggunakan rumus : Si = So x Cosβ x Cosα x Cosө dengan : β : Sudut vertikal antara scanline dengan bidang horizontal α : Sudut horizontal antara scanline dengan arah kemiringan ө : Sudut vertikal antara garis normal rekahan dengan bidang horizontal So : Spasi semu yaitu jarak yang diukur di lapangan Untuk mengetahui pola distribusi dari spasi rekahan terhadap jumlah kumulatifnya dilakukan pengeplotan antara spasi rekahan dengan jumlah kumulatifnya pada grafik normal (linier) dan log-log. 5.5 Pembahasan Pada sub bab ini akan dibahas hasil pengolahan data dan analisanya. Hal hal yang akan dibahas, yaitu; Hubungan jumlah kumulatif rekahan dengan spasi rekahan, hubungan jumlah kumulatif rekahan dengan panjang rekahan, hubungan panjang dan apertur rekahan, dan intensitas rekahan Hubungan Jumlah Kumulatif Rekahan dengan Spasi Rekahan Hasil pengolahan jumlah kumulatif dan spasi rekahan ditampilkan pada grafik linear di bawah ini. Tujuannya adalah untuk melihat apakah penyebaran data mengikuti distribusi Power Law. 17

8 Spasi Rekahan-Jumlah Kumulatif Guha-1 2 Jumlah kumulatif 15 5 A Spasi rekahan (Cm) Spasi Rekahan -Jumlah Kumulatif Guha Jumlah kumulatif B Spasi rekahan(cm) 16 Spasi rekahan -Jumlah Kumulatif Guha-3 jumlah kumulatif C spasi rekahan(cm) 18

9 Spasi rekahan - Jumlah kumulatif Guha Jumlah Kumulatif D Spasi Rekahan(cm) Spasi rekahan-jumlah Kumulatif BLB Jumlah kumulatif E spasi rekahan(cm) Grafik Grafik hubungan antara spasi rekahan dengan jumlah kumulatif rekahan. A: Lokasi Guha-1,B: Lokasi Guha-2,C: Lokasi Guha-3, D: Lokasi Guha-4,E: Lokasi BLB-1 Grafik hubungan antara spasi rekahan dengan jumlah kumulatifnya di semua lokasi pengukuran menunjukan distribusi data yang mengikuti distribusi Power law. Hal ini menunjukan bahwa penyebaran spasi rekahan pada batugamping, khususnya pada fasies Platycoral Bindstone, Branchingcoral Bafflestone dan Grainstone menunjukan penyebaran yang tidak linear dan memiliki geometri fraktal. 19

10 Berdasarkan analisa bahwa distibusi rekahan pada lokasi pengukuran mengikuti distribusi Power Law dan geometri fraktal maka diterapkan rumus: N( T) = kt c (Sanderson et al., 1994 op.cit. Sapiie et al., 27) untuk menarik suatu nilai rata-rata jumlah kumulatif pada grafik log-log. Grafik log-log dipilih untuk mendapatkan suatu garis lurus dalam perata-rataan jumlah kumulatif rekahan, hal ini dijelaskan dengan persamaan: log N( T) = clogt + logk Spasi Rekahan - Jumlah Kumulatif Guha-1 Jumlah kumulatif 1 1 y = x R 2 = Spasi rekahan (Cm) Jumlah kumulatif Power (Jumlah kumulatif) Grafik Grafik log-log hubungan spasi rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha-1. Jumlah kumulatif 1 Spasi Rekahan - Jumlah Kumulatif Guha-2 y = 476.4x R 2 =.995 y = 2E+7x R 2 = Spasi rekahan(cm) Jumlah kumulatif 1 Jumlah kumulatif 2 Power (Jumlah kumulatif 1) Power (Jumlah kumulatif 2) Grafik Grafik log-log hubungan spasi rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha-2. 11

11 Spasi rekahan - Jumlah Kumulatif Guha-3 jumlah kumulatif 1 1 y = x R 2 = spasi rekahan (cm) Jumlah Kumulatif Power (Jumlah Kumulatif) Grafik Grafik log-log hubungan spasi rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha-3. Spasi rekahan Vs Jumlah kumulatif Guha 4 Jumlah Kumulatif 1 1 y = x.6787 R 2 =.9714 y = 16512x R 2 = Spasi Rekahan(cm) Jumlah kumulatif1 jumlah kumulatif2 Power (J umlah kumulatif1) Power (jumlah kumulatif2) Grafik Hubungan spasi rekahan dan jumlah kumulatif di lokasi Guha

12 Spasi rekahan -Jumlah kumulatif BLB-1 Jumlah kumulatif 1 1 y = x.914 R 2 = Spasi Rekahan(cm) jumlah kumulatif 1 Power (jumlah kumulatif 1) Grafik Hubungan spasi rekahan dan jumlah kumulatif di lokasi BLB-1. Dari hasil pengeplotan pada grafik log-log maka didapatkan persamaan garis yang diregresi secara Power Law, yaitu: Lokasi Persamaan Garis R 2 k c Guha-1 y = x Guha-2 y = 476.4x y = x Guha-3 y = x Guha-4 y = x y = 16512x BLB-1 y = x Tabel Rangkuman persamaan regresi, koefisien korelasi, konstanta proporsionalitas, dan dimensi fraktal semua lokasi. Dari hasil regresi diperoleh hubungan antara spasi dengan jumlah kumulatif rekahan mengikuti persamaan : y = k (x) -c dengan y menyatakan jumlah kumulatif rekahan, x menyatakan besar spasi atau panjang rekahan, k menyatakan konstanta proporsionalitas, dan c menyatakan dimensi fraktal. Dari garis regresi diperoleh nilai R 2 (koofisien korelasi) yaitu angka dari sampai 1 yang menunjukkan seberapa dekat estimasi dari garis regresi berhubungan dengan data yang ada. Garis regresi yang paling terpercaya adalah garis regresi dengan nilai R 2 mendekati 112

13 1. Sedangkan kisaran nilai R 2 daerah penelitian berkisar , yang berarti datadata rekahan dalam satu populasi memiliki keterkaitan yang tinggi sehingga persamaan yang dihasilkan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Terdapat dua populasi data spasi rekahan di lokasi Guha-2 dan Guha-4. Garis regresi pertama berhubungan dengan spasi rekahan yang bernilai relatif kecil, sedangkan garis regresi kedua berhubungan dengan spasi rekahan yang bernilai relatif besar. Menurut Sapiie et al. (27), populasi yang lebih dari satu disebabkan oleh lebih kompleksnya litologi dan atau struktur geologi pada daerah tersebut. Apabila melihat posisi Lokasi Guha-2 dan Guha-4, merupakan daerah yang terkena sesar geser menganan Guha (lihat Lampiran 2). Ditinjau dari segi fasies batugampingnya, pada lokasi Guha-2 dan Guha-4, fasiesnya adalah branchingcoral bafflestone dan coral framestone dengan tekstur pertumbuhan koral yang acak. Hal ini juga kemungkinan menjadi penyebab terbentuknya populasi ganda pada analisis hubungan spasi rekahan dan jumlah kumulatifnya pada lokasi tersebut Hubungan Jumlah Kumulatif Rekahan dengan Panjang Rekahan Hasil pengolahan jumlah kumulatif dan panjang rekahan ditampilkan pada grafik linear di bawah ini. Tujuannya adalah untuk melihat apakah penyebaran data mengikuti distribusi Power Law. Jumlah Kumulatif A Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha Panjang (cm) 113

14 Jumlah Kumulatif B Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha Panjang (cm) Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha-3 Jumlah Kumulatif C Panjang (cm) Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha-4 Jumlah kumulatif D Panjang (cm) 114

15 Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan BLB-1 Jumlah Kumulatif E Panjang (cm) Grafik Grafik linear hubungan antara panjang rekahan dengan jumlah kumulatif rekahan. A: Lokasi Guha-1,B: Lokasi Guha-2,C: Lokasi Guha-3, D: Lokasi Guha-4,E: Lokasi BLB-1 Grafik hubungan antara panjang rekahan dengan jumlah kumulatifnya di semua lokasi pengukuran menunjukan distribusi data yang mengikuti pola distribusi Power law. Hal ini menunjukan bahwa penyebaran spasi rekahan pada batugamping, khususnya pada fasies Platycoral Bindstone, Branchingcoral Bafflestone dan Grainstone menunjukan penyebaran yang tidak linear dan memiliki geometri fraktal. Berdasarkan analisa bahwa distibusi rekahan pada lokasi pengukuran mengikuti distribusi Power Law dan geometri fraktal maka diterapkan rumus: N( T) = kt c (Sanderson et al., 1994 op.cit. Sapiie et al., 27) untuk menarik suatu nilai rata-rata jumlah kumulatif pada grafik log-log. Grafik log-log dipilih untuk mendapatkan suatu garis lurus dalam perata-rataan jumlah kumulatif rekahan, hal ini dijelaskan dengan persamaan: log N( T) = clogt + logk 115

16 Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha-1 Jumlah Kumulatif 1 y = x R 2 =.82 y = x R 2 = Panjang (cm) Grafik Grafik log-log hubungan panjang rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha-1. Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha-2 Jumlah Kumulatif 1 1 y = x R 2 = Panjang (cm) Grafik Grafik log-log hubungan panjang rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha

17 Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha-3 Jumlah Kumulatif 1 y = x R 2 = Panjang (cm) Grafik Grafik log-log hubungan panjang rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha-3. Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan Guha-4 Jumlah Kumulatif (cm) 1 1 y = x R 2 =.792 y = 2922x R 2 = Panjang (cm) Grafik Grafik log-log hubungan panjang rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi Guha

18 Jumlah Kumulatif - Panjang Rekahan BLB-1 Jumlah Kumulatif 1 1 y = x R 2 = Panjang Rekahan (cm) Grafik Grafik log-log hubungan panjang rekahan dengan jumlah kumulatif di lokasi BLB-1 Dari hasil pengeplotan pada grafik log-log maka didapatkan persamaan garis yang diregresi secara Power Law, yaitu: Lokasi Persamaan Garis R 2 k c Guha-1 y = x y = x Guha-2 y = x Guha-3 y = x Guha-4 y = x y = 2922x BLB-1 y = x Tabel Rangkuman persamaan regresi, koefisien korelasi, konstanta proporsionalitas, dan dimensi fraktal semua lokasi. Dari hasil regresi diperoleh hubungan antara spasi dengan jumlah kumulatif rekahan mengikuti persamaan : y = k (x) -c dengan y menyatakan jumlah kumulatif rekahan, x menyatakan besar spasi atau panjang rekahan, k menyatakan konstanta proporsionalitas, dan c menyatakan dimensi fraktal. 118

19 Dari garis regresi diperoleh nilai R 2 (koofisien korelasi) yaitu angka dari sampai 1 yang menunjukkan seberapa dekat estimasi dari garis regresi berhubungan dengan data yang ada. Garis regresi yang paling terpercaya adalah garis regresi dengan nilai R 2 mendekati 1. Sedangkan kisaran nilai R 2 daerah penelitian berkisar , yang berarti data-data rekahan dalam satu populasi memiliki keterkaitan yang tinggi sehingga persamaan yang dihasilkan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Terdapat dua populasi data spasi rekahan di lokasi Guha-1 dan Guha-4. Garis regresi pertama berhubungan dengan spasi rekahan yang bernilai relatif kecil, sedangkan garis regresi kedua berhubungan dengan spasi rekahan yang bernilai relatif besar. Menurut Sapiie et al. (27), populasi yang lebih dari satu disebabkan oleh lebih kompleksnya litologi dan atau struktur geologi pada daerah tersebut. Apabila melihat posisi Lokasi, Guha-1 merupakan daerah yag dilalui Sesar Naik Guha dan Guha-4 merupakan daerah yang terkena Sesar Menganan Guha (lihat Lampiran 2) Hubungan Panjang Rekahan dengan Apertur Rekahan Hasil pengeplotan data dari panjang rekahan dan aperturnya dari lima lokasi ditampilkan sebagai berikut: Lokasi Guha-1 Panjang - Apertur Guha Panjang (cm) Apertur (cm) Interval (cm) Panjang Apertur Grafik Hubungan panjang rekahan dengan apertur di lokasi Guha

20 Hubungan panjang dengan apertur rekahan dapat dilihat pada Grafik Hubungan panjang dan apertur rekahan yang teramati adalah saling berbanding lurus. Fasies pada lokasi ini adalah platycoral bindstone. Lokasi Guha-2 Panjang - Aperture Guha Aperture(cm) Interval(cm) Apertur Panjang Grafik Hubungan panjang rekahan dengan apertur di lokasi Guha-2. Hubungan panjang dengan apertur rekahan dapat dilihat pada Grafik Hubungan panjang dan apertur rekahan yang teramati adalah saling berbanding lurus. Fasies pada lokasi ini adalah branchingcoral bafflestone Panjang(cm) Lokasi Guha-3 Pada pengamatan di lokasi Guha-3 batas fasies dapat ditentukan dengan jelas antara Grainstone dan Platycoral Bindstone. Oleh karena itu penafsiran hubungan panjang rekahan dan apertur akan dibagi menjadi 4 zona seperti terlihat pada Tabel Jarak Zona Fasies -375cm A1 Grainstone cm B1 Platy Coral Bindstone cm A2 Grainstone cm B2 Platy Coral Bindstone Tabel Keterangan Fasies pada lokasi Guha-3. 12

21 Panjang - Apertur Guha-3 Apertur (cm) B2 A2 B1 A Panjang (cm) Interval (cm) Aperture Panjang Grafik Hubungan panjang rekahan dengan apertur di lokasi Guha-3. Hubungan panjang dengan apertur rekahan dapat dilihat pada Grafik Hubungan panjang dan apertur rekahan yang teramati adalah saling berbanding lurus. Hubungan tersebut tidak dipengaruhi oleh perbedaan fasies. Lokasi Guha-4 Panjang - Apertur Guha Apertur (cm) Panjang (cm) Interval (cm) Apertur Panjang Grafik Hubungan panjang rekahan dengan apertur di lokasi Guha

22 Hubungan panjang dengan apertur rekahan dapat dilihat pada Grafik Hubungan panjang dan apertur rekahan yang teramati adalah saling berbanding lurus. Lokasi Guha Panjang - Apertur BLB Panjang (Cm) Apertur (Cm) Interval (Cm) Apertur Panjang Grafik Hubungan panjang rekahan dengan apertur di lokasi Guha-4. Hubungan panjang dengan apertur rekahan dapat dilihat pada Grafik Hubungan panjang dan apertur rekahan yang teramati adalah saling berbanding lurus. Berdasarkan hasil yang didapat dari semua lokasi diketahui bahwa hubungan panjang dan apertur rekahan adalah saling berbanding lurus pada fasies Grainstone dan Boundstone. 122

23 5.5.4 Intensitas Rekahan Nilai dari intensitas rekahan dihitung dengan menggunakan cara menjumlahkan jumlah rekahan tiap interval m. Hasilnya kemudian di plot ke grafik seperti di bawah ini: Lokasi Guha-1 A Intensitas Rekahan Guha Jumlah Rekahan(n) Jarak(Cm) Stylolite Vuggy Rekahan ekstensional Total intensitas B Keterangan. A : Foto Singkapan pada pengukuran rekahan di lokasi Guha-1 B : Grafik Intensitas rekahan di lokasi Guha-1 123

24 Dari foto dan grafik di atas dapat kita lihat bahwa pada interval 4 cm nilai rekahan naik, hal ini disebabkan karena adanya rekahan-rekahan besar pada interval tersebut. Rekahan dengan nilai intensitas tertinggi adalah stylolite dan terendah adalah vuggy. Fasiesnya adalah platycoral bindstone dengan komponen utama butiran. Nilai rekahan dan nilai intensitas total rekahan dapat dilihat pada Tabel Jenis Rekahan Intensitas(1/cm) stylolite.15 rekahan ekstensional.3 vuggy.1 Total intensitas.19 Tabel Intensitas rekahan dan nilainya di lokasi Guha-1 Lokasi Guha A Intensitas Rekahan Guha-2 Jumlah Rekahan(n) B Jarak(cm) Stylolite Vuggy Rekahan Ekstensional Total intensitas Keterangan A: Foto Singkapan pada pengukuran rekahan di lokasi Guha-2 B : Grafik Intensitas rekahan di lokasi Guha-2 124

25 Dari foto dan grafik di atas dapat kita lihat bahwa penyebaran rekahan tidak sama pada tiap interval. Pada interval 5,, 13, dan 2 cm nilai rekahan lebih besar dari nilai rata-rata. Hal ini disebabkan karena adanya rekahan-rekahan besar pada interval tersebut. Rekahan dengan nilai intensitas tertinggi adalah stylolite dan terendah adalah vuggy. Fasiesnya adalah branchingcoral bafflestone dan komponen utamanya butiran. Nilai rekahan dan nilai intensitas total rekahan dapat dilihat pada Tabel Jenis Rekahan Intensitas(1/cm) stylolite.12 rekahan ekstensional.4 vuggy.2 Total intensitas.19 Tabel Nilai intensitas rekahan pada lokasi Guha-2. Lokasi Guha-3 Pada pengukuran di lokasi Guha-3, batas fasies dapat ditentukan dengan jelas antara grainstone dan platycoral bindstone. Oleh karena itu penafsiran intensitas rekahan akan dibagi menjadi 4 zona: Jarak Zona Fasies -375cm A1 Grainstone cm B1 Platy Coral Bindstone cm A2 Grainstone cm B2 Platy Coral Bindstone Tabel Zonasi Fasies Batugamping pada lokasi Guha

26 A Intensitas rekahan Guha Jumlah rekahan(n) B Jarak(cm) Total Intensitas Vuggy Stylolite Rekahan ekstensional Keterangan A: Foto Singkapan pada pengukuran rekahan di lokasi Guha-3 B : Grafik Intensitas rekahan di lokasi Guha-3 Interval Stylolit Vuggy Ekstension fracture Total A B A B Tabel Nilai intensitas rekahan di lokasi Guha-3 Intensitas pada daerah ini dipengaruhi oleh rekahan stylolite dan vuggy. Pada interval A1 dan A2 rekahan vuggy lebih besar intensitasnya daripada stylolite dan pada interval B1 dan B2 rekahan stylolite lebih besar intensitasnya daripada vuggy. Sifat dari rekahan 126

27 dapat dilihat perbedaannya pada tiap fasies pada platycoral bindstone maka stylolite akan banyak terdapat, sedangkan sebaliknya pada grainstone. Fasies grainstone komponennya didominasi butiran sedangkan platycoral bindstone didominasi mikrit. Lokasi Guha-4 A Intensitas rekahan Guha jumlah rekahan(n) 1 5 B jarak(cm) Stylolite Rekahan ekstensional Total intensitas Keterangan A: Foto Singkapan pada pengukuran rekahan di lokasi Guha-4 B : Grafik Intensitas rekahan di lokasi Guha-4 Jenis Rekahan Intensitas(1/cm) Stylolite.14 Ekstension Fracture.5 Tabel Nilai intensitas rekahan di lokasi Guha-4 Nilai intensitas rekahan dipengaruhi oleh rekahan stylolite dan rekahan ekstensional. Penyebaran nilai stylolite rata-rata pada.14/cm, dan rekahan ekstensional pada.5/cm. Pada interval 13 sampai 19 lebih besar dari rata-rata. Nilai ini berasosiasi dengan 127

28 rekahan-rekahan besar. Total intensitas rata-rata rekahan bernilai.19/cm. Pada interval 13 sampai 19 lebih besar dari rata-rata. Lokasi BLB intensitas Rekahan 1/cm Jarak(cm) S ty lo lite EF Total Densitas Grafik Intensitas rekahan di lokasi BLB-1 Jenis rekahan Intensitas(1/cm) Stylolite.9 Rekahan ekstensional.1 Total Intensitas.1 Tabel Nilai intensitas rekahan di lokasi BLB-1 Nilai intensitas rekahan dipengaruhi oleh rekahan stylolite dan rekahan ekstensional. Penyebaran nilai stylolite rata-rata pada.9/cm, dan rekahan ekstensional pada.1/cm. Pada interval 3 sampai 4 intensitas total rekahan lebih besar dari rata-rata. Nilai ini muncul pada interval dengan rekahan-rekahan besar. Total intensitas rata-rata rekahan 128

29 bernilai.1/cm. Jenis fasies pada lokasi ini adalah grainstone yang komposisi penyusun utamanya adalah butiran. Resume intensitas rekahan dapat dilihat pada Tabel dan Grafik intensitas(1/cm) Resume intensitas Rekahan stylolit ef vuggy total keterangan: PCB: Platycoral Bindstone BCB: Branchingcoral Bafflestone CF: Coral Framestone G: Grainstone B M: Mikrit S: Sesar ef: rekahan ekstensional.5 guha-1 guha-2 guha-3(a- 1) guha-3(a- 2) guha-3(b- 1) guha-3(b- 2) Guha-4 BLB-1 PCB+B BCB+B+S G+B G+B PCB+M PCB+M CF+B+S G+B Grafik Resume Intensitas rekahan di semua lokasi. Keterangan Lokasi stylolit ef vuggy total PCB+B guha BCB+B+S guha G+ B guha-3(a-1) G+ B guha-3(a-2) PCB+M guha-3(b-1) PCB+M guha-3(b-2) CF+B+S Guha G+B BLB keterangan: PCB: Platycoral Bindstone BCB: Branchingcoral Bafflestone CF: Coral Framestone G: Grainstone M: Mikrit S: Sesar ef: Rekahan ekstensional Tabel Resume Intensitas rekahan di semua lokasi. 129

30 Rekahan yang paling banyak dijumpai pada Coral Framestone, Branchingcoral Bafflestone, Platycoral Bindstone atau diringkas menjadi Boundstone adalah stylolite. Nilai intensitas stylolite akan lebih besar jika batuannya mengandung lebih banyak mikrit. Nilai intensitas pada Grainstone lebih kecil daripada nilai intensitas di Boundstone. Intensitas rekahan tidak terlalu berbeda secara keseluruhan pada daerah yang dilalui sesar besar, namun nilai intensitas rekahan cenderung naik di dekat rekahan besar. Berdasarkan pembahasan hubungan spasi rekahan dengan jumlah kumulatif, hubungan panjang dan apertur rekahan, dan intensitas rekahan maka dapat disimpulkan: Rekahan yang terdapat pada fasies Boundstone dan Grainstone adalah stylolite, rekahan gerus, vuggy, dan rekahan ekstensional. Rekahan yang dominan pada boundstone adalah stylolite.hubungan spasi rekahan dan jumlah kumulatifnya mengikuti distribusi Power Law dan memiliki geometri fraktal. Hubungan panjang rekahan dan jumlah kumulatifnya mengikuti distribusi Power Law dan memiliki geometri fraktal. Intensitas rekahan pada fasies boundstone lebih besar daripada grainstone. Nilai intensitas rekahan di fasies grainstone di daerah dipengaruhi sesar lebih besar daripada yang tidak terpengaruh sesar. Keterdapatan mikrit memperbesar nilai intensitas stylolite. Hubungan antara panjang dan apertur rekahan berbanding lurus pada Fasies Boundstone dan Grainstone. 13

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 5.1 Definisi dan Terminologi Rekahan Rekahan merupakan bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alamiah akibat deformasi atau diagenesa. Karena itu dalam

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 6. 1 Pendahuluan Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi rekahan dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir, porositas, ketebalan lapisan,

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING 6.1 Pendahuluan Batugamping di daerah penelitian terdiri atas beberapa fasies yang berbeda dan kehadiran rekahan pada fasies batugamping yang berbeda

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING 5.1 Teori Dasar 5.1.1 Mekanisme Pembentukan Rekahan Rekahan adalah suatu bidang diskontinuitas pada batuan yang diinterpretasikan sebagai hasil dari

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Kesarjanaan Strata Satu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang penelitian ini secara umum adalah pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat

Lebih terperinci

PROPINSI JAWA BARAT SKRIPSI. Disusun Untuk Mencapai Kelulusan Strata Satu (S-1) Di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

PROPINSI JAWA BARAT SKRIPSI. Disusun Untuk Mencapai Kelulusan Strata Satu (S-1) Di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian GEOLOGI, DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING, DAN KARAKTERISTIK REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING FORMASI RAJAMANDALA, DAERAH GUNUNG GUHA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, PROPINSI JAWA BARAT SKRIPSI Disusun

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar sesar anjak berarah WNW - ESE, sesar-sesar geser berarah NE - SW. Bukti-bukti

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut : Landasan Teori Geologi Struktur Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk (arsitektur) batuan akibat proses deformasi serta menjelaskan proses pembentukannya. Proses

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (sarjana) sebagai syarat yang harus ditempuh supaya mahasiswa dinyatakan lulus

BAB I PENDAHULUAN. (sarjana) sebagai syarat yang harus ditempuh supaya mahasiswa dinyatakan lulus BAB I PENDAHULUAN Skripsi merupakan tugas akhir mahasiswa program pendidikan strata-1 (sarjana) sebagai syarat yang harus ditempuh supaya mahasiswa dinyatakan lulus dari Jurusan Teknik Geologi Fakultas

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan Data

Bab III Pengolahan Data S U U S Gambar 3.15. Contoh interpretasi patahan dan horizon batas atas dan bawah Interval Main pada penampang berarah timurlaut-barat daya. Warna hijau muda merupakan batas atas dan warna ungu tua merupakan

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I BAB IV RESERVOIR KUJUNG I Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri dan potensi reservoir, meliputi interpretasi lingkungan pengendapan dan perhitungan serta pemodelan tiga dimensi

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT Satuan batugamping Gunung Sekerat tersingkap dengan baik, dengan penyebaran kurang lebih 10% dari luas daerah penelitian, dalam Peta Geologi (Lampiran G-3) satuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV ANALISIS KINEMATIK BAB IV ANALISIS KINEMATIK Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas yang dapat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI BAB IV STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar (Gambar 4.1) yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar naik berarah relatif WNW-ESE, sesar geser berarah relatif utara-selatan dan

Lebih terperinci

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar RESUME KEKAR A. Definisi Kekar Kekar merupakan pola sistematik yang ditandai dengan blok yang saling berpisan bidang rekahan akan tetapi tidak menunjukan pergeseran terlampau berarti pada titik bagiaan

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line Scan Line dan RQD 1. Pengertian Scan Line Salah satu cara untuk menampilkan objek 3 dimensi agar terlihat nyata adalah dengan menggunakan shading. Shading adalah cara menampilkan objek 3 dimensi dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Tahap pertama merupakan pendekatan tidak langsung, yaitu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV ANALISIS KINEMATIK BAB IV ANALISIS KINEMATIK 4.1 Data Lereng yang dijadikan objek penelitian terletak di pinggir jalan raya Ponjong Bedoyo. Pada lereng tersebut terdapat banyak diskontinuitas yang dikhawatirkan akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching Penampang hasil pengolahan dengan perangkat lunak Ipi2win pada line 08 memperlihatkan adanya struktur antiklin. Struktur ini memiliki besar tahanan jenis

Lebih terperinci

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH MASALAH 1. GEOLOGI TEKNIK

Lebih terperinci

Foto 32. Singkapan batugamping fasies foraminifera packestone yang berlapis.

Foto 32. Singkapan batugamping fasies foraminifera packestone yang berlapis. besar Lepidocyclina spp., Amphistegina spp., Cycloclypeus spp., sedikit alga, porositas buruk berupa interpartikel, intrapartikel dan moldic, berlapis baik. Pada sayatan tipis (Lampiran A-5: analisis petrografi)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

Strain, Stress, dan Diagram Mohr

Strain, Stress, dan Diagram Mohr TUGAS GL-2212 GEOLOGI STRUKTUR Strain, Stress, dan Diagram Mohr Oleh: Hafidha Dwi Putri Aristien NIM 12111003 Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi

Lebih terperinci

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956) Novia Dian Sundari STRIKE-SLIP FAULTS 12/39585 Sesar mendatar (Strike slip fault atau Transcurent fault atau Wrench fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA Oleh : Salatun Said Hendaryono PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI UPN VETERAN YOGYAKARTA 1 POKOK BAHASAN : PENDAHULUAN GEOLOGI DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini pendirian suatu konstruksi terus berkembang seiring dengan kebutuhan manusia terhadap kegiatan tersebut yang terus meningkat. Lebih lanjut lagi,

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian Pola struktur yang berkembang pada daerah penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh pola Jawa dengan kompresi berarah utara-selatan karena terbentuk pola struktur dan kelurusan yang berarah relatif barat-timur.

Lebih terperinci

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Identifikasi Struktur Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Dasar Analisis Macam keterakan berdasarkan gaya pembentuknya: Irrotational Strain (pure shear) disebabkan tegasan tekanan (model Moody & Hill, 1956)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tugas akhir merupakan persyaratan utama untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK BAB IV INTERPRETASI SEISMIK Analisa dan interpretasi struktur dengan menggunakan data seismik pada dasarnya adalah menginterpretasi keberadaan struktur sesar pada penampang seismik dengan menggunakan bantuan

Lebih terperinci

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold).

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold). 9. Struktur Geologi 9.1. Struktur geologi Struktur geologi adalah gambaran bentuk arsitektur batuan-batuan penyusunan kerak bumi. Akibat sedimentasi dan deformasi. berdasarkan kejadiannya, struktur geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1 BAB I PENDAHULUAN Karakterisasi reservoar adalah bentuk usaha dalam menentukan kualitas reservoar (Sudomo, 1998). Kualitas reservoar dikontrol oleh faktor pembentukan batuan karbonat, yaitu tekstur dan

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi 3.2.3.3 Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan data analisis mikrofosil pada batupasir (lampiran B), maka diperoleh umur dari Satuan Breksi yaitu N8 (Akhir Miosen Awal) dengan ditemukannya

Lebih terperinci

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan. Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR Dalam pembahasan kali ini, penulis mencoba menganalisis suatu prospek terdapatnya hidrokarbon ditinjau dari kondisi struktur di sekitar daerah tersebut. Struktur yang menjadi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar KEKAR (JOINT) A. Definisi Kekar Kekar adalah salah satu struktur geologi yang berupa rekahan pada batuan yang tidak terlalu mengalami pergeseran pada bidang rekahannya. Kekar merupakan gejala yang umum

Lebih terperinci

BAB V ANALISA SEKATAN SESAR

BAB V ANALISA SEKATAN SESAR BAB V ANALISA SEKATAN SESAR 5.1 Analisa Sesar Pada daerah analisa ini terdapat sebanyak 19 sesar yang diperoleh dari interpretasi seismik. Pada penelitian sebelumnya keterdapatan sesar ini sudah dipetakan,

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan. Ukuran pergerakan ini adalah bersifat relatif

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1. Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING IV.1 Pendahuluan Batuan Karbonat Klastik Terrigenous Sedimen yang global dan tak terbatas dengan iklim. Suplai sedimen berasal dari kontinen dan laut. Ukuran dari butiran

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR Pada interval Formasi Talangakar Bawah didapat 2 interval reservoir yaitu reservoir 1 dan reservoir 2 yang ditunjukan oleh adanya separasi antara log neutron dan densitas.

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

FUNGSI DAN PERSAMAAN LINEAR. EvanRamdan

FUNGSI DAN PERSAMAAN LINEAR. EvanRamdan FUNGSI DAN PERSAMAAN LINEAR TEORI FUNGSI Fungsi yaitu hubungan matematis antara suatu variabel dengan variabel lainnya. Unsur-unsur pembentukan fungsi yaitu variabel (terikat dan bebas), koefisien dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i PERNYATAAN... ii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x SARI... xi ABSTRACT... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1. Latar

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pemahaman yang baik terhadap geologi bawah permukaan dari suatu lapangan minyak menjadi suatu hal yang penting dalam perencanaan strategi pengembangan lapangan tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi sifat-sifat litologi dan fisika dari batuan reservoar, sehingga dapat dikarakterisasi dan kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan karbonat menyusun 20-25% batuan sedimen dalam sejarah geologi. Batuan karbonat hadir pada Prakambrium sampai Kuarter. Suksesi batuan karbonat pada Prakambrium

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesarsesar mendatar yang umumnya berarah timurlaut baratdaya dan lipatan yang berarah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

7. Peta Geologi Pengertian dan Kegunaan

7. Peta Geologi Pengertian dan Kegunaan 7 Peta Geologi 71 Pengertian dan Kegunaan Peta geologi adalah gambaran tentang keadaan geologi suatu wilayah, yang meliputi susunan batuan yang ada dan bentuk bentuk struktur dari masingmasing satuan batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bagian dalam penelitian geologi permukaan adalah dengan menganalisis fasies lingkungan pengendapan yang didapat dari singkapan. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU

PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU 1 ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU Data : Diketahui arah dip semu dari batuan yang sama pada dua singkapan batuan sedimen adalah 30, N 45 E dan 40, N 150 E dan tidak menunjukkan

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian geologi dilakukan untuk mengenal dan memahami kondisi geologi suatu daerah. Penelitian tersebut dapat meliputi penelitian pada permukaan dan bawah permukaan.

Lebih terperinci

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG IV.1. Analisis Geometri Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan arahnya, sesar yang ada didaerah sepanjang struktur Iliran- Kluang dapat dibedakan atas tiga kelompok,

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB IV FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB IV FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Menurut Fahrudi (2004), lingkungan pengendapan dari hasil analisis fasies batugamping meliputi Reef Slope, Reef Framework, dan Proximal Talus. Fahrudi (2004)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan tugas akhir yang berjudul Geologi dan Analisis Struktur Geologi Daerah Cileungsi dan Sekitarnya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 metode geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Dimana kedua metode tersebut saling mendukung, sehingga

Lebih terperinci

BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN

BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN IV.1 Model Geologi Model geologi daerah penelitian dibuat berdasarkan data sumur, peta geologi permukaan terdahulu, dan kegempaan mikro. Untuk data lithologi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN DAFTAR ISI v Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

8. Pengertian dalam Hubunngan Geologi

8. Pengertian dalam Hubunngan Geologi 8. Pengertian dalam Hubunngan Geologi 8.1 Prinsip dasar perlapisan batuan sedimen Peta geologi umumnya menggambarkan bermacam-macam batuan dan struktur geologinya. Gambaran tersebut mengikuti aturan atau

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB III TEORI DASAR

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB III TEORI DASAR BAB III TEORI DASAR 3.1 INTERPRETASI PENAMPANG SEISMIK 3.1.1 Metoda seismik Prinsip dasar metoda seismik adalah perambatan energi gelombang seismik yang ditimbulkan oleh sumber getaran di permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi cadangan minyak bumi dan gas di bagian Barat Indonesia kini sudah melewati titik puncak kejayaannya, hampir seluruh lapangan minyak di bagian barat Indonesia

Lebih terperinci