BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING"

Transkripsi

1 BAB VI KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING 6.1 Pendahuluan Batugamping di daerah penelitian terdiri atas beberapa fasies yang berbeda dan kehadiran rekahan pada fasies batugamping yang berbeda di lapangan menjadi salah satu hal yang akan dibahas pada penelitian ini. Rekahan merupakan permukaan yang memotong batuan sehingga batuan tersebut kehilangan gaya kohesi pada bidang tersebut (Twiss dan Moores, 1992). Nelson (1985) mengartikan rekahan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang kehilangan kohesi akibat deformasi atau diagenesa dan terbentuk secara alamiah. Pada rekahan, khususnya spasi dari rekahan sangat dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir batuan, porositas batuan, ketebalan lapisan, dan posisi struktur (Nelson, 1985). 6.2 Dasar Teori Berdasarkan etimologis, istilah rekahan berasal dari bahasa latin, yaitu kata fractus, yang dapat diartikan sebagai patahan. Kata rekahan merupakan istilah umum untuk kegagalan (failure) dalam material pada kondisi brittle (Koestler et al., 1995). Rekahan secara umum dibagi menjadi 3 mode (Dennis, 1987 dalam Koestler et al.,1995) yaitu: Mode I, Mode II, dan Mode III (Gambar 6.1). Mode I merupakan mode rekahan ekstensional, atau dikenal sebagai mode rekahan bukaan atau regangan, pergerakan pada mode ini searah dengan sumbu y atau tegak lurus terhadap diding rekahan. Rekahan yang termasuk kedalam klasifikasi ini adalah kekar (Gambar 6.1 A). Mode II merupakan rekahan gerus, mode ini menguraikan rekahan gerus dengan pergerakan searah sumbu x atau pergerakan yang terjadi berupa gerakan geser yang tegak lurus terhadap tepi dari rekahan (Gambar 6.1 B). Mode III merupakan rekahan gerus yang menguraikan pergerakan gerusan dari rekahan searah sumbu z atau paralel terhadap tepi dari rekahan (Gambar 6.1 C). 72

2 A. Extension (Mode I) B. Shear (Mode II) C. Shear (Mode III) Gambar 6.1 Perbedaan dari berbagai tipe umum rekahan berdasarkan pergerakan relatifnya; A. Ekstension atau mode I, B. Rekahan gerus mode II, C. Rekahan gerus mode III (Twiss dan Moores,1992). Tipe rekahan lainnya adalah stylolite, yakni rekahan yang terjadi akibat adanya pressure dissolution, membentuk bidang yang tegak lurus terhadap tegasan utamanya dengan morfologinya berbentuk sinusoidal yang tajam (Gambar 6.2). Stylolite dan rekahan merupakan fitur sekunder selama deformasi atau diagenesis fisik dari batuan (Nelson, 1985). Gambar 6.2 Diagram skematik yang menunjukkan hubungan geometric dari stylolite, tension gashes, rekahan unloading, dan paleo-state dari stress (Nelson, 1985). 73

3 Menurut Aguilera (1995) stylolite merupakan rekahan yang dimulai pada konsentrasi stress planar di dalam tubuh batuan. Jadi stylolite dapat terjadi karena diagenesis maupun karena deformasi. Stylolite yang terjadi karena diagenesis umumnya disebabkan pembebanan, sedangkan stylolite yang terjadi akibat deformasi contohnya dapat terjadi pada batuan yang terlipat. Jika kedua hal penyebab stylolite tersebut terjadi maka akan ditemukan stylolite yang saling memotong. Menurut Park dan Schot (1968) dalam Nelson (1985), stylolite adalah penampakan umum pada batugamping, batudolomit, dan batupasir yang terbentuk akibat diagenesis. Stylolite dapat dikenali dari bidang diskontinuitas yang tak beraturan antara dua unit batuan, membentuk geometri kolom atau piramid dan berakibat dua unit batuan tersebut akan saling mengunci (interlocking) sepanjang permukaan stylolite. Permukaan stylolite dicirikan dengan keberadaan material yang relatif tidak mudah larut (insoluble residu) dari suatu batuan. Stylolite pada umumnya dianggap terbentuk sebagai akibat dari pressure dissolution yang terjadi karena adanya perbedaan tingkat kelarutan dari material penyusun batuan akibat dari differential stress yang bekerja. Material akan melarut pada bagian permukaan yang terkena tekanan tinggi dan akan mengendap pada tempat dengan tekanan lebih rendah atau terbuang dari sistem. 6.3 Sistem Rekahan Sistem rekahan pada umumnya berhubungan dengan struktur dan proses tektonik, oleh Nelson (1985), Twiss dan Moores (1992), rekahan yang berasosiasi dengan tektonik dapat dibedakan menjadi dua sistem rekahan, yaitu: rekahan yang berhubungan dengan sesar dan rekahan yang berhubungan dengan lipatan. Pada sistem rekahan yang berhubungan dengan sesar (fault-related fracture system), pada umumnya rekahan yang hadir adalah dua set shear fracture (Gambar 6.3). Set pertama akan sejajar dengan sesar yang ada, sedangkan set yang kedua akan membentuk sudut sekitar 60 0 dan disebut conjugate shear fracture. Rekahan lain yang dapat hadir adalah satu set extension fracture yang sejajar dengan tegasan utama, terletak pada pertengahan sudut antara dua set shear fracture tersebut. 74

4 Gambar 6.3 Pola rekahan gerus yang dipengaruhi oleh sesar (Twiss dan Moores, 1992) Sistem rekahan yang berhubungan dengan lipatan (fold-related fracture system), menunjukkan rekahan dengan pola yang kompleks (Gambar 6.4). Pada gambar fold-related fracture system (Gambar 6.4), orientasi dari rekahan dinyatakan dalam sistem koordinat ortogonal yang berhubungan dengan geometri lipatan. Sumbu a terletak pada bidang lapisan dan tegak lurus terhadap sumbu lipatan, sumbu b paralel terhadap sumbu lipatan dan umumnya terletak pada bidang perlapisan, sedangkan sumbu c tegak lurus terhadap bidang perlapisan. Gambar 6.4 Pola rekahan gerus yang berhubungan dengan lipatan (Twiss dan Moores, 1992) 75

5 6.4 Jenis Rekahan Rekahan Berdasarkan Penyebab Alami Rekahan yang dipelajari pada penelitian ini adalah rekahan yang terbentuk secara alami. Nelson (1985) membagi rekahan berdasarkan penyebab alamiahnya menjadi: rekahan tektonik, rekahan regional, rekahan kontraksional, dan rekahan yang berhubungan dengan permukaan. Rekahan tektonik merupakan suatu sistem rekahan yang umumnya berasosiasi dengan proses tektonik yang berlangsung secara lokal. Rekahan ini secara spesifik sangat dipengaruhi oleh sesar (fault-related fracture system) dan lipatan (fold-related fracture system). Rekahan regional adalah sistem rekahan yang berkembang pada daerah yang luas dengan perubahan orientasi yang kecil, rekahan ini umumnya tidak menunjukkan pergeseran (offset), dan selalu tegak lurus terhadap bidang perlapisan umum. Rekahan kontraksional umumnya berjenis tension atau ektension yang berasosiasi dengan pengurangan volume dari batuan akibat desiction, syneresis, gradient thermal, dan perubahan fase mineral, sedangkan rekahan yang berhubungan dengan permukaan adalah sistem rekahan yang terbentuk akibat pelepasan stress dan strain yang tersimpan pada batuan, misalnya proses unloading atau proses ketikan terjadi pelapukan Rekahan Berdasarkan Morfologi Rekahan Rekahan berdasarkan penyebab alamiahnya membentuk beberapa morfologi yang khas, oleh Nelson (1985) morfologi tersebut dibedakan menjadi: rekahan terbuka, rekahan terdeformasi, rekahan vuggy, dan rekahan terisi mineral. Morfologi rekahan terbuka dicirikan oleh rekahan yang tak tersemenkan dan tidak mengandung berbagai macam mineralisasi sekunder. Rekahan terbuka pada umumnya memeiliki porositas yang sangat kecil, dan cenderung meningkatkan permeabilitas paralel terhadap bidang rekahan,. Morfologi rekahan terdeformasi misalnya, rekahan gores-garis (slickenside). dan rekahan gouge-filled. Rekahan gores garis merupakan hasil dari gelinciran friksional sepanjang rekahan atau bidang sesar. Morfologi rekahan gores garis menghasilkan striasi pada permukaan yang dapat meningkatkan permeabilitas paralel terhadap rekahan namun secara drastis mengurangi permeabilitas yang tegak lurus terhadap rekahan. Morfologi gouge-filled berasal dari material 76

6 hancuran yang sangat halus yang terjadi di antara dinding dari rekahan sebagai hasil dari pergerakan atau penggerusan yang dapat mengakibatkan permeabelitas akan berkurang secara drastis. Morfologi rekahan vuggy merupakan jenis rekahan sebagai hasil dari perkolasi air asam yang melewati rekahan, apabial terus berlangsung akan dapat membentuk karst. Pada morfologi rekahan ini akan dihasilkan porositas dan permeabilitas yang cukup signifikan. Selain ketiga morfologi diatas, terdapat jenis morfologi rekahan terisi oleh mineral. Rekahan ini tersemenkan oleh mineralisasi sekunder, material yang mengisi umumnya kuarsa dan kalsit. Mineralisasi sekunder ini sebagian dapat memberikan efek positif untuk mencegah atau mengurangi penutupan rekahan. 6.5 Geometri Sistem Rekahan Dalam Tiga Dimensi Geometri sistem rekahan yang diperlukan untuk penelitian rekahan antara lain: bentuk dan skala dari rekahan, spasi rekahan dan hubungan rekahan terhadap litilogi dan ketebalan lapisan, pola spasial dan distribusi dari sistem rekahan, serta orientasi dari rekahan. Bentuk rekahan umumnya bergantung pada tipe batuan dan struktur batuan itu sendiri. Sedangkan skala rekahan dapat berukuran mikroskopik atau makroskopik. Beberapa rekahan makroskopis dapat berukuran sentimeter, meter, atau bahkan mencapai ukuran kilometer, sedangkan rekahan mikroskopik misalnya rekahan mikro (microfractures). Sedangkan Spasi rekahan dapat diartikan rata-rata jarak tegaklurus antara rekahan atau jumlah rata-rata dari rekahan yang ditemukan dalam suatu jarak standar normal terhadap rekahan.dalam sebuah kelompok sistematis dan dapat diukur. Spasi rata-rata rekahan cenderung konsisten, dan hal tersebut tergantung pada jenis batuan dan pada ketebalan dari suatu lapisan tempat rekahan tersebut berkembang. Pola dan distribusi dari rekahan dapat diketahui dengan mengeplot lokasi pada peta dan mengamati orientasi dari rekahan. Dalam area yang cukup luas dan baik dapat dilihat hubungan dari rekahan yang ada antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pengolahan data jurus dan kemiringan rekahan yang telah dikumpulkan, kemudian dapat dilihat hubungannya terhadap struktur lokal yang bekerja di daerah tersebut. 77

7 Perlu dilakukan pengumpulan seluruh data orientasi dari rekahan yang cukup representatif dalam setiap singkapan sehingga dapat membantu kita untuk mengidentifikasi kelompok rekahan dan untuk menginterpretasi gaya tektonik yang menghasilkan rekahan tersebut. Data tersebut kemudian kelompokan dan dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya. Orientasi data rekahan dikumpulkan dan dibandingkan dengan menggunakan stereonet. Orientasi dari rekahan yang beragam mungkin berhubungan dengan satu kejadian fracturing, hal tersebut sangat penting untuk memahami hubungan antara rekahan dan setiap orientasi rekahan yang diukur di permukaan, yang kemudian dapat memberikan analisis statistik untuk di interpretasi lebih lanjut. Rekahan terjadi tidak secara acak, tetapi mengikuti suatu pola tertentu, sehingga dengan data yang memadai akan dapat ditemukan suatu hubungan antara rekahan dengan gaya penyebabnya. Salah satu analisis mengenai rekahan ini disebut sebagai analisis fraktal. Menurut Mandelbrot (1983) dan Turcotte (1997), rumus atau persamaan matematis yang digunakan dalam menganalisa fraktal disebut sebagai Power Law, yakni : N = k (S) -c Keterangan: N = Jumlah kumulatif rekahan k = Konstanta S = Spasi Rekahan c = Dimensi Fraktal, merupakan kemiringan (slope) garis kurva 6.6 Batasan dan Tujuan Studi Rekahan pada Batugamping di Daerah Penelitian Pembahasan sistem rekahan ini dibatasi pada studi mengenai hubungan intensitas rekahan terhadap tekstur batugamping (fasies). Lokasi pengambilan data juga akan diperhatikan untuk mengetahui intensitas rekahan pada fasies yang sama dengan kondisi tektonik yang relatif berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor litologi berupa perbedaan fasies terhadap intensitas rekahan yang berkembang pada batugamping. Pengumpulan data rekahan diambil dari fasies batugamping, yaitu: fasies mudstone, fasies wackestone, fasies foraminifera packstone, fasies foraminifera grainstone, dan fasies coral coral boundstone. 78

8 6.7 Data Metode Pengambilan Data Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara sistematis dengan metode scanline sampling (Gambar 6.5). Dalam metode ini pencatatan atribut rekahan dilakukan sepanjang garis pengamatan, yang dibatasi oleh ketinggian yang sesuai dengan tinggi pengamat dari garis pengamatan. Rekahan yang dicatat dan diobservasi adalah seluruh rekahan yang memotong garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam pengukuran jarak rekahan. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah nomor identitas rekahan (no. ID), jarak dari datum, kedudukan rekahan (jurus/kemiringan), aperture, panjang, pergeseran, tipe/set, bentuk, dan material pengisi rekahan. Gambar 6.5 Sketsa pencatatan rekahan dan hal-hal yang dicatat selama observasi rekahan. B-B adalah scanline. A adalah tebal dan atau bukaan rekahan, S adalah spasi rekahan, dan L adalah panjang rekahan (Sapiie, 1998) 79

9 6.7.2 Lokasi Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan pada setiap jenis fasies yang terdapat di daerah penelitian, yaitu: fasies foraminifera packstone, fasies wackestone, fasies foraminifera grainstone, fasies mudstone, dan fasies coral coral boundstone. Lokasi pengukuran scanline di daerah penelitian dapat dilihat pada gambar 6.6 dan gambar 6.7. Lokasi pengambilan data scanline tersebut adalah: a. Lokasi 1 (E-192) Koordinat awal : 06 43'04,4" LS dan '37,6" BT Kedudukan garis pengukuran : 3 0, N 164º E, dengan panjang 21 meter Kedudukan lapisan : N 248 E / 14 Fasies batugamping : Foraminifera Packstone b. Lokasi 2 (E-186) Koordinat awal : 06 43'04,5" LS dan '39" BT Kedudukan garis pengukuran : 3 0, N 162 E, dengan panjang 21 meter Kedudukan lapisan Fasies batugamping : N 287 E/14 : Wackestone c. Lokasi 3 (E-182) Koordinat awal : 06 43'13,2" LS dan '44,5" BT Kedudukan garis pengukuran : 8, N 125 E, dengan panjang 21 meter Kedudukan lapisan Fasies batugamping : N 135 E/10 : Foraminifera Grainstone 80

10 d. Lokasi 4 (E- 189) Koordinat awal : 06 43'02,4" LS dan '45,3" BT Kedudukan garis pengukuran : 4, N 10 E, dengan panjang 21 m Kedudukan lapisan Fasies batugamping : N 390 E/16 : Mudstone e. Lokasi 5 (E-318) Koordinat awal : 06 43'32,8" LS dan '08,9" BT Kedudukan garis pengukuran : 4 0, N 215º E, dengan panjang 70 meter Kedudukan lapisan Fasies batugamping : masif : Coral Coral boundstone1 f. Lokasi 6 (E-317) Koordinat awal : 06 43'21,6" LS dan '18,6" BT Kedudukan garis pengukuran : 3 0, N 182º E, dengan panjang 5 m Kedudukan lapisan : masif Fasies batugamping : Coral Coral boundstone 2 81

11 Gambar 6.6 Lokasi pengambilan data scanline di daerah penelitian 82

12 Gambar 6.7 Lokasi pengambilan data scanline dilihat dari penampang GH Foto 6.1 Lokasi scanline 1 pada fasies foraminifera packstone di Quarry C, tali pengukuran terbentang dari utara ke selatan 83

13 Foto 6.2 Lokasi scanline 2 pada fasies wackestone di Quarry C Foto 6.3 Lokasi scanline 3 pada fasies foraminifera grainstone di Quarry C 84

14 Foto 6.4 Lokasi scanline 4 pada fasies mudstone di Quarry E Foto 6.5 Lokasi scanline 5 pada fasies coral coral boundstone 1 di Quarry A 85

15 Foto 6.6 Lokasi scanline 6 pada fasies coral coral boundstone 2 di Quarry B Data Lapangan Data rekahan hasil pengukuran terlampir (Lampiran D) Pemilahan dan Pengolahan Data Di daerah penelitian, aktivitas manusia seperti peledakan, sangat intensif dilakukan, akibatnya adalah sangat sulit untuk menemukan kondisi batuan yang layak untuk diambil data rekahan. Kondisi tersebut mengharuskan pengamatan yang lebih teliti terhadap data rekahan, karena terdapat rekahan yang alami dan tidak alami (induced fractures), untuk itu perlu dilakukan pemilahan data agar kedua rekahan tersebut dapat dipisahkan. Rekahan tidak alami atau induced fractures pada daerah penelitian umumnya berupa rekahan akibat aktivitas penambangan, seperti peledakan (Foto 6.7). Pemisahan rekahan yang alami dan tidak alami dilakukan berdasarkan pola maupun kemenerusan rekahan yang ada. Pemisahan juga dilakukan pada tahap pemilahan data dengan memilah data rekahan berdasarkan 86

16 orientasi rekahan. Rekahan tanpa orientasi dominan dapat diasumsikan sebagai induced fracture, untuk kemudian dipisahkan dan tidak diikutsertakan dalam pengolahan data. Foto 6.7 a) Foto aktivitas peledakan di Quarry A dan b) sketsa model rekahan akibat penambangan yang termasuk kedalam induced fracture system (Nelson, 1985) Langkah selanjutnya adalah pemilahan data berdasarkan jenis rekahan. Jenis rekahan ditentukan saat pengamatan lapangan dengan melihat geometri maupun jenis pergerakan yang ada. Pada pengamatan yang dilakukan di enam lokasi diperoleh tiga jenis rekahan, yaitu rekahan gerus (shear fractures), rekahan terbuka (extensional fractures), dan stylolites. Setelah dipilah berdasarkan jenis rekahan, dilakukan pemilahan berdasarkan orientasi rekahan, meliputi jurus dan kemiringan rekahan. Rekahan-rekahan yang sejenis dan memiliki orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set rekahan tertentu. Pemilahan orientasi tersebut diperoleh melalui pemilahan data dengan menggunakan stereonet (Lampiran D), secara rinci tertera pada tabel 6.1. Pemilahan rekahan menghasilkan set-set (kumpulan) rekahan sebagai berikut: 1. Lokasi 1: empat set rekahan, 2. Lokasi 2: tiga set rekahan, 3. Lokasi 3: lima set rekahan, 4. Lokasi 4: tiga set rekahan, 87

17 5. Lokasi 5: tiga set rekahan, 6. Lokasi 6: dua set rekahan. Tabel 6.1 Tabel set, orientasi umum, dan interpretasi genesa rekahan Orientasi Umum Lokasi Jenis Rekahaan Kode Strike Dip Fasies N.ºE ( ) Extensional Lokasi 1 Fracture EFA Packstone EFB Packstone EFB Packstone EFB Packstone Lokasi 2 Extensional Fracture EFA wackestone EFB wackestone EFC wackestone Lokasi 3 Extensional Fracture EFA grainstone EFB grainstone EFC grainstone EFD grainstone Lokasi 4 Extensional Fracture EFA mudstone EFB mudstone EFC mudstone EFD mudstone Lokasi 5 Extensional Fracture EFA coral boundstone EFB coral boundstone EFC coral boundstone Stylolite STE coral boundstone Lokasi 6 Extensional Fracture EFA coral boundstone EFB coral boundstone 88

18 6.8 Hubungan Sistem Rekahan dengan Fasies Batugamping dan Struktur Geologi Terdekat di Daerah Penelitian Hubungan sistem rekahan terhadap tekstur batugamping pda penelitian ini hanya terbatas pada intensitas rekahan di setiap fasies batugamping yang berbeda. Hubungan antara rekahan dan struktur geologi terdekat dapat diketahui dari intensitas rekahan yang diperoleh pada batugamping dengan fasies yang sama namun berbeda dalam lokasi pengamatan (kondisi tektonik yang berbeda). Perhitungan intensitas rekahan pada setiap fasies di lokasi pengamatan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan rekahan dan perbedaan tekstur batuan (jenis fasies batugamping). A. Intensitas Rekahan Penentuan intensitas rekahan, dilakukan dengan pendekatan yang sederhana, yaitu dengan membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur. Dalam penentuan intensitas rekahan, dilakukan pendekatan yang sederhana dengan membandingkan frekuensi rekahan pada setiap interval jarak yang diukur. Selanjutnya dihitung intensitas rekahan pada setiap tekstur batugamping yang ada dengan menggunakan rumus di atas. Penghitungan Intensitas dilakukan pada rekahan alami yang ada di lapangan, hasil pengolahan dituangkan dalam bentuk grafik Intensitas terhadap jarak. Berikut adalah beberapa grafik antara intensitas rekahan dalam satuan persen terhadap interval jarak pengukuran setiap seratus centimeter di daerah penelitian. 89

19 Grafik 6.1 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies packstone Grafik 6.2 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies wackestone 90

20 Grafik 6.3 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies grainstone Grafik 6.4 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies mudstone 91

21 Grafik 6.5 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral boundstone Grafik 6.6 Grafik hubungan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada fasies coral boundstone 2 92

22 Grafik 6.7 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies batugamping Grafik 6.8 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan EF dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies batugamping 93

23 Grafik 6.9 Grafik perbandingan antara intensitas rekahan SF dan jarak interval pengukuran pada setiap fasies batugamping Dari hasil perhitungan serta grafik yang didapat selanjutnya dilakukan perbandingan nilai intensitas rekahan dari tiap lokasi (Tabel 6.2) Tabel 6.2 Intensitas rekahan pada fasies batugamping daerah penelitian Lokasi Fasies Jenis Rekahan Intensitas ratarata (1/cm) Persen Intensitas (%) 1. Foraminifera packstone EF, SF 0,048 4,8 2 Wackestone EF, SF 0,043 4,3 3 Foraminifera graistone EF, SF 0, Mudstone EF, SF 0,0395 3,95 5 Corals coral boundstone 1 EF ,45 6 Corals coral boundstone 2 EF 0, ,5 Keterangan : EF (Extensional Fracture) dan SF (Shear Fracture) B. Interpretasi Nilai intensitas rekahan terbesar diperoleh dari rekahan yang terdapat pada batugamping fasies coral boundstone 2 (13,5%). Intensitas rekahan terbanyak berikutnya secara berurutan 94

24 diperoleh dari batugamping fasies foraminifera grainstone (7,85%), fasies foraminifera packstone (4,8%), fasies wackestone (4,3%), fasies mudstone (3,95%), dan fasies coral boundstone 1 (1,45). Berdasarkan hasil perbandingan nilai intensitas rekahan pada tiap fasies dan lokasi dapat ditarik kesimpulan: 1. Intensitas rekahan dipengaruhi oleh faktor litologi (jenis fasies), dalam penelitian ditunjukan oleh hasil intensitas yang berbeda pada setiap fasies batugamping. 2. Kondisi tektonik berkaitan dengan kontrol struktur sesar dan intrusi yang terdapat dilapangan turut mempengaruhi intensitas rekahan yang terbentuk, dalam penelitian ini dibuktikan dengan intensitas rekahan yang diperoleh dari dua fasies yang sama dengan lokasi yang berbeda atau kondisi tektonik berbeda (Gambar 6.5) yaitu fasies coral boundstone. Pada fasies coral boundstone 2 (Lokasi 6) intensitas rekahan lebih besar dibandingkan dengan intensitas rekahan yang diperoleh dari fasies coral boundstone 1 (Lokasi 5). Fakta ini turut diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Price (1966) dalam Nelson (1985) bahwa intensitas rekahan akan tinggi pada daerah dengan energi strain yang besar. 3. Pengukuran scanline yang dilakukan pada setiap fasies, kecuali pada fasies coral boundstone, memiliki kondisi tektonik (struktur sesar) yang relatif sama. Intensitas yang sangat besar pada fasies coral boundstone 2 diperkirakan terjadi akibat lokasi pengukuran yang berdekatan dengan zona sesar dan intrusi (Gambar 6.5) serta apabila melihat intensitas yang terdapat pada fasies coral boundstone 1 yang kecil, maka intensitas rekahan terbesar kemungkinan bukan pada fasies coral boundstone. 4. Berdasarkan hasil penguraian pada fasies coral boundstone dan pertimbangan lokasi pengukuran scanline, maka dapat disimpulkan bahwa intensitas rekahan terbesar diperoleh dari fasies foraminifera graistone (7,85 %), hal ini mungkin disebabkan oleh tekstur fasies foraminifera grainstone yang memiliki lebih banyak butiran dibandingkan dengan matrik dan semennya, sehingga relatif tidak resisten dibandingkan dengan fasies lain. 95

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 6. 1 Pendahuluan Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi rekahan dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir, porositas, ketebalan lapisan,

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 5.1 Definisi dan Terminologi Rekahan Rekahan merupakan bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alamiah akibat deformasi atau diagenesa. Karena itu dalam

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING BAB V KARAKTERISASI REKAHAN PADA FASIES BATUGAMPING 5.1 Teori Dasar 5.1.1 Mekanisme Pembentukan Rekahan Rekahan adalah suatu bidang diskontinuitas pada batuan yang diinterpretasikan sebagai hasil dari

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING BAB V KARAKTERISASI REKAHAN DI FASIES BATUGAMPING 5.1 Pendahuluan Rekahan dapat menjadi faktor utama dalam penyebaran porositas dalam batugamping. Rekahan di batugamping dapat ditemui dalam jenjang skala

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar sesar anjak berarah WNW - ESE, sesar-sesar geser berarah NE - SW. Bukti-bukti

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan. Ukuran pergerakan ini adalah bersifat relatif

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan.

Lebih terperinci

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut : Landasan Teori Geologi Struktur Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk (arsitektur) batuan akibat proses deformasi serta menjelaskan proses pembentukannya. Proses

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV ANALISIS KINEMATIK BAB IV ANALISIS KINEMATIK Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas yang dapat

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Kesarjanaan Strata Satu,

Lebih terperinci

GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR

GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR Fracture & stress states Fracture orientations relative to the principal stress orientations Stress = Gaya per satuan area yang mengenai suatu bidang Kondisi stress yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV ANALISIS KINEMATIK BAB IV ANALISIS KINEMATIK 4.1 Data Lereng yang dijadikan objek penelitian terletak di pinggir jalan raya Ponjong Bedoyo. Pada lereng tersebut terdapat banyak diskontinuitas yang dikhawatirkan akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini pendirian suatu konstruksi terus berkembang seiring dengan kebutuhan manusia terhadap kegiatan tersebut yang terus meningkat. Lebih lanjut lagi,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang penelitian ini secara umum adalah pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu ( S-1) pada Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, maka setiap mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Analisis Struktur Daerah Pasirsuren dan Sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Analisis Struktur Daerah Pasirsuren dan Sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

Strain, Stress, dan Diagram Mohr

Strain, Stress, dan Diagram Mohr TUGAS GL-2212 GEOLOGI STRUKTUR Strain, Stress, dan Diagram Mohr Oleh: Hafidha Dwi Putri Aristien NIM 12111003 Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi

Lebih terperinci

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Identifikasi Struktur Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Dasar Analisis Macam keterakan berdasarkan gaya pembentuknya: Irrotational Strain (pure shear) disebabkan tegasan tekanan (model Moody & Hill, 1956)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH MASALAH 1. GEOLOGI TEKNIK

Lebih terperinci

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar RESUME KEKAR A. Definisi Kekar Kekar merupakan pola sistematik yang ditandai dengan blok yang saling berpisan bidang rekahan akan tetapi tidak menunjukan pergeseran terlampau berarti pada titik bagiaan

Lebih terperinci

GEOLOGI STRUKTUR PRINSIP GAYA & DEFORMASI

GEOLOGI STRUKTUR PRINSIP GAYA & DEFORMASI GEOLOGI STRUKTUR PRINSIP GAYA & DEFORMASI Definitions Stress adalah gaya yang mengenai batuan (atau sesuatu yang lain) Strain adalah perubahan dalam ukuran dan/atau bentuk dari suatu objek padat (solid

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB III TEORI DASAR

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB III TEORI DASAR BAB III TEORI DASAR 3.1 INTERPRETASI PENAMPANG SEISMIK 3.1.1 Metoda seismik Prinsip dasar metoda seismik adalah perambatan energi gelombang seismik yang ditimbulkan oleh sumber getaran di permukaan bumi

Lebih terperinci

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line Scan Line dan RQD 1. Pengertian Scan Line Salah satu cara untuk menampilkan objek 3 dimensi agar terlihat nyata adalah dengan menggunakan shading. Shading adalah cara menampilkan objek 3 dimensi dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Tahap pertama merupakan pendekatan tidak langsung, yaitu

Lebih terperinci

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar KEKAR (JOINT) A. Definisi Kekar Kekar adalah salah satu struktur geologi yang berupa rekahan pada batuan yang tidak terlalu mengalami pergeseran pada bidang rekahannya. Kekar merupakan gejala yang umum

Lebih terperinci

PAPER GEOLOGI TEKNIK

PAPER GEOLOGI TEKNIK PAPER GEOLOGI TEKNIK 1. Apa maksud dari rock mass? apakah sama atau beda rock dengan rock mass? Massa batuan (rock mass) merupakan volume batuan yang terdiri dan material batuan berupa mineral, tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1. Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40.

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40. Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40. 4.1.4 Sesar Anjak Cisaar 1 Gejala sesar ini dijumpai pada Sungai Cisaar pada lokasi CS 40, CS 41, CS 4, CS 2, dan CS 10. Kehadiran sesar ini ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

GAYA PEMBENTUK GEOLOGI STRUKTUR

GAYA PEMBENTUK GEOLOGI STRUKTUR GAYA PEMBENTUK GEOLOGI STRUKTUR Gaya a) Gaya merupakan suatu vektor yang dapat merubah gerak dan arah pergerakan suatu benda. b) Gaya dapat bekerja secara seimbang terhadap suatu benda (gaya gravitasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesarsesar mendatar yang umumnya berarah timurlaut baratdaya dan lipatan yang berarah

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA Oleh : Salatun Said Hendaryono PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI UPN VETERAN YOGYAKARTA 1 POKOK BAHASAN : PENDAHULUAN GEOLOGI DAERAH

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian Pola struktur yang berkembang pada daerah penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh pola Jawa dengan kompresi berarah utara-selatan karena terbentuk pola struktur dan kelurusan yang berarah relatif barat-timur.

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008 4.1. Geoteknik Tambang Bawah Tanah Geoteknik adalah salah satu dari banyak alat dalam perencanaan atau design tambang. Data geoteknik harus digunakan secara benar dengan kewaspadaan dan dengan asumsiasumsi

Lebih terperinci

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold).

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold). 9. Struktur Geologi 9.1. Struktur geologi Struktur geologi adalah gambaran bentuk arsitektur batuan-batuan penyusunan kerak bumi. Akibat sedimentasi dan deformasi. berdasarkan kejadiannya, struktur geologi

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI BAB IV STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar (Gambar 4.1) yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar naik berarah relatif WNW-ESE, sesar geser berarah relatif utara-selatan dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan tugas akhir yang berjudul Geologi dan Analisis Struktur Geologi Daerah Cileungsi dan Sekitarnya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan

Lebih terperinci

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas 3.2.4 Satuan Batupasir-Batulempung 3.2.4.1 Penyebaran Satuan Batupasir-Batulempung menempati bagian selatan daerah penelitian (Gambar 3.6), meliputi + 10% dari luas daerah penelitian (warna hijaupada peta

Lebih terperinci

GEOLOGI, STUDI FASIES, DAN KARAKTERISASI REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH GUNUNG KROMONG, CIREBON, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A

GEOLOGI, STUDI FASIES, DAN KARAKTERISASI REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH GUNUNG KROMONG, CIREBON, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A GEOLOGI, STUDI FASIES, DAN KARAKTERISASI REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH GUNUNG KROMONG, CIREBON, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A Diajukan untuk memenuhi syarat pembuatan Tugas Akhir-Sarjana Strata Satu (S-1)

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT)

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT) SESAR MENDATAR Pergerakan strike-slip/ pergeseran dapat terjadi berupa adanya pelepasan tegasan secara lateral pada arah sumbu tegasan normal terkecil dan terdapat pemendekan pada arah sumbu tegasan normal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan peta geologi regional Lembar Bogor yang dibuat oleh Effendi, dkk (1998), daerah Tajur dan sekitarnya memiliki struktur-struktur geologi yang cukup menarik

Lebih terperinci

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani GEOLOGI STRUKTUR PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.com Lembaga Pelatihan OSN PEDAHULUAN Geologi : Ilmu yang mempelajari bumi yang berhubungan

Lebih terperinci

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi 3.2.3.3 Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan data analisis mikrofosil pada batupasir (lampiran B), maka diperoleh umur dari Satuan Breksi yaitu N8 (Akhir Miosen Awal) dengan ditemukannya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Menurut Lobeck (1939), faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentangan alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian. Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari bagaimana bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK BAB IV INTERPRETASI SEISMIK Analisa dan interpretasi struktur dengan menggunakan data seismik pada dasarnya adalah menginterpretasi keberadaan struktur sesar pada penampang seismik dengan menggunakan bantuan

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI Analisis Struktur 4.1 Struktur Lipatan 4.1.1 Antiklin Buniasih Antiklin Buniasih terletak disebelah utara daerah penelitian dengan arah sumbu lipatan baratlaut tenggara

Lebih terperinci

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956) Novia Dian Sundari STRIKE-SLIP FAULTS 12/39585 Sesar mendatar (Strike slip fault atau Transcurent fault atau Wrench fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan Data

Bab III Pengolahan Data S U U S Gambar 3.15. Contoh interpretasi patahan dan horizon batas atas dan bawah Interval Main pada penampang berarah timurlaut-barat daya. Warna hijau muda merupakan batas atas dan warna ungu tua merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i PERNYATAAN... ii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x SARI... xi ABSTRACT... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1. Latar

Lebih terperinci

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm.

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm. Gambar 3.17. Foto singkapan konglomerat, lokasi GGR-9 Gambar 3.18. Foto singkapan konglomerat, menunjukkan fragmen kuarsa dan litik, lokasi GGR-9 Secara megaskopis, ciri litologi batupasir berwarna putih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan karbonat menyusun 20-25% batuan sedimen dalam sejarah geologi. Batuan karbonat hadir pada Prakambrium sampai Kuarter. Suksesi batuan karbonat pada Prakambrium

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA

GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA GEOLOGI DAERAH LAWELE DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LASALIMU, KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA TUGAS AKHIR A Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu Program Studi Teknik Geologi,

Lebih terperinci

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama berupa plagioklas, kuarsa (C6-C7) dan k-feldspar (D3-F3).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan tugas akhir merupakan hal pokok bagi setiap mahasiswa dalam rangka merampungkan studi sarjana Strata Satu (S1) di Institut Teknologi Bandung. Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG IV.1. Analisis Geometri Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan arahnya, sesar yang ada didaerah sepanjang struktur Iliran- Kluang dapat dibedakan atas tiga kelompok,

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 SESAR Sesar yang terjadi pada daerah ini pada umumnya mempunyai dua arah. Arah ertama adalah sesar yang memiliki arah relatif barat timur. Sesar yang memiliki arah

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen 3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen Akhir-Pliosen Tengah bagian bawah (Lampiran B). Sampel

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Metoda yang dilakukan dalam analisis geomorfologi adalah dengan analisis citra SRTM dan analisis peta topografi, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci