novergicus) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA ADRIYAN PERMANA PUTRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "novergicus) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA ADRIYAN PERMANA PUTRA"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS PEMBERIAN KEDELAI PADA TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA ADRIYAN PERMANA PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 ABSTRAK ADRIYAN PERMANA PUTRA. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS. Studi ini mengamati pengaruh pemberian kedelai (tanaman kaya fitoestrogen) pada induk tikus Sprague-Dawley bunting dan laktasi dengan dosis 5 mg/kgbb/hari terhadap pertambahan bobot badan, bobot uterus, dan bobot ovarium anaknya. Tikus dibagi dalam empat kelompok. Kelompok A adalah kelompok anak tikus yang berasal dari induk diberi kedelai mulai 14 hari kebuntingan sampai 14 hari laktasi. Kelompok B adalah kelompok anak tikus yang berasal dari induk yang diberi kedelai mulai 14 hari kebuntingan sampai melahirkan. Kelompok C adalah kelompok induk yang diberi kedelai sejak melahirkan hingga laktasi 14 hari. Sedangkan kelompok D adalah kontrol yang tidak diberi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak lebih tinggi pada kelompok B (p<0,05) sedangkan pada kelompok C tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif dalam peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai pada saat bunting dibandingkan dengan menyusui. Kata kunci: kedelai, fitoestrogen, tikus putih, reproduksi. 2

3 EFEKTIVITAS PEMBERIAN KEDELAI PADA TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA ADRIYAN PERMANA PUTRA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

4 Nama : Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina Nama : Adriyan Permana Putra Normor Pokok : B Disetujui : Dr. Nastiti Kusumorini Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Diketahui : Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB Tanggal lulus : 4

5 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis di Kandang Hewan Percobaan dan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluargaku tercinta: Ibu, Bapak dan kelima saudara kandung penulis Frans, Ari, Yudhi, Yesi, dan Fauzan yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti. 2. Dr. Nasititi Kusumorini dan Dr. drh Aryani S. Satyaningtijas, MSc, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi saran positif kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Semua karyawan laboratorium Fisiologi: Pak Edi, Pak Wawan, Ibu Sri, Ibu Ida, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian. 4. Teman satu penelitian; Kukuh Diki. Teman-teman Asteroidea 41, Balio 27 (Zulfikar, Agung, Reza, Adi, Uli, Hendra dkk) terimakasih atas bantuan dan dukungannya. 5. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Namun semoga tulisan ini masih dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis. Bogor, januari 2009 Penulis 5

6 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Adriyan Permana Putra. Penulis dilahirkan di Sawah Lunto, Sumatra Barat pada tanggal 12 Januari Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara dari ayahanda Masdi S.IP dan ibunda Yusma Elita. Penulis mulai mengenyam pendidikan di SDN 007 Bengkalis hingga lulus tahun Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 1 Bengkalis hingga lulus tahun Penulis melanjutkan pendidikannya di SMUN 1 Bengkalis hingga tahun Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa kegiatan organisasi. Penulis pernah tergabung dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa DPM tahun (2006/2007) anggota komisi eksternal. Penulis sempat juga menjabat sebagai pengurus di Ikatan Mahasiswa Kedoteran Hewan Indonesia (IMAKAHI). Penulis ikut serta dalam organisasi Dewan Keluarga Mushala (DKM) An-Nahl (2006/2008) dan ROHIS angkatan 41 (2006/2008). Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa BRI (2006/2008). 6

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...viii DAFTAR GAMBAR...ix DAFTAR LAMPIRAN...x PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesis... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai... 4 Fitoestrogen... 5 Metabolisme fitoestrogen... 9 Biokimia fitoestrogen Estrogen Peran estrogen pada kebuntingan Peran estrogen terhadap organogenesis Tikus putih Siklus estrus tikus Proestrus...19 Estrus...19 Metestrus...20 Diestrus METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Bahan dan alat Metode penelitian vi

8 Tahap persiapan...23 Tahap perlakuan dan perlakuan hewan coba...24 Pengamatan dan pengambilan sampel...25 Analisa data HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian kedelai terhadap hadirnya siklus estrus anak Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot badan anak Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot ovarium anak Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot uterus anak KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA...37 vii

9 DAFTAR TABEL Halaman 1 Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen α dan β pada tikus Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih Persentase hadirnya siklus estrus anak tikus usia 4,6, dan 8 minggu Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina 4-6 dan 6-8 minggu Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu viii

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kedelai Fitoestrogen yang paling umum ditemukan pada tumbuhan Glucon dan aglucon dari fitoestrogen Perbandingan metabolisme fitoestrogen (lignan dan isoflavon) secara skematik Interaksi metabolisme fitoestrogen dan estrogen Steroidogenenesis estrogen pada hewan betina Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus Diagram tahap perlakuan Persentase pertambahan bobot badan anak tikus pada usia 4-6 dan 6-8 minggu Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu ix

11 Daftar Lampiran Halaman 1 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap pertambahan bobot badan anak tikus betina 1.1 Analisa pertambahan bobot badan 4-6 minggu Analisa pertambahan bobot badan 6-8 minggu Analisa Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Ovarium anak tikus 2.1 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 4 minggu Analisa bobot ovarium pada tikus umur 6 minggu Analisa bobot ovarium pada tikus umur 8 minggu Analisa Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Uterus anak tikus 3.1 Analisa bobot uterus pada tikus umur 4 minggu Analisa bobot uterus pada tikus umur 6 minggu Analisa bobot uterus pada tikus umur 8 minggu...45 x

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan bahan makanan yang terkenal dengan kandungan proteinnya senilai daging, juga kandungan vitamin, mineral, dan lemaknya. Lemak dalam kedelai adalah lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan menghindari penggumpalan lemak dalam darah, serta menurunkan risiko penyakit jantung koroner (American Heart Association 2000). Cina, Jepang, Korea, dan beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah negara-negara yang memiliki tingkat konsumsi kedelai tinggi (Anonim a 2008). Di Indonesia banyak produk makanan yang berasal dari olahan kacang kedelai diantaranya adalah tahu dan tempe yang terkenal sebagai menu makanan sehari-hari dan sebagai sumber protein yang murah dibandingkan dengan protein hewani. Manfaat dari kedelai ternyata tidak sebatas kandungan protein yang tinggi, belakangan diketahui oleh para ahli bahwa kedelai mengandung suatu substrat yang memiliki khasiat mirip estrogen. Subtrat ini yang kemudian dinamai dengan fitoestrogen, berasal dari kata phyto yang berarti tumbuhan dan estrogen adalah zat yang merangsang estrus (estro = estrus, gen = generate) (Thomson 2005). Penemuan ini sangat berharga terutama dalam dunia kedokteran. Kajian dan penelitian tentang fitoestrogen belakangan semakin intensif dilakukan karena kacang kedelai (soybeans) mengandung fitoestrogen dalam jumlah yang bermakna untuk pengobatan. Penduduk Jepang yang mengkonsumsi produk kedelai (soy products) ternyata memperlihatkan rendahnya angka kejadian penyakit yang umum diderita kaum wanita terkait kekurangan hormon (Andra 2007). Konsumsi produk-produk kedelai juga menurunkan prevalensi penyakit seperti kardiovaskular (yakni dengan mengendalikan kadar kolesterol pada kadar yang normal), mencegah kanker payudara dan prostat, meningkatkan kesehatan tulang (mencegah osteoporosis), dan mengurangi berbagai gejala serta keluhan menopause (Heinnermen 2003). Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dan laktasi telah diketahui dapat mempengaruhi perkembangan morfologi dan fungsional organ reproduksi (Hughes et al.2004). Fetus dan anak yang baru lahir (neonate) lebih peka terhadap 1

13 2 estrogen oleh sebab itu konsumsi fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi dapat mempengaruhi periode penting dari perkembangan dan pertumbuhan (Hughes et al. 2004). Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten, hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening. Seperti yang telah dilaporkan sebelumnya bahwa penggunaan DES (dietilstilbestrol) ketika kebuntingan dapat menyebabkan struktur genital yang abnormal pada hewan jantan(viscenzo et al. 2005). Untuk itu perlu diketahui seberapa besar pengaruh pemaparan fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi terhadap fetus dan neonatal. Sehingga hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika hendak mengkonsumsi bahan yang banyak mengandung fitoestrogen contohnya konsumsi kedelai pada saat kebuntingan dan laktasi. Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tikus sebagai hewan model. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan kemungkinan bahwa fitoestrogen dari kedelai dapat dipindahkan dari induk kepada anaknya melalui transplasental pada saat prenatal dan melalui susu induk postnatal. Kedelai mengandung isoflavon yang mempunyai aktivitas estrogenik sehingga anak tikus dari induk yang diberikan kedelai diharapkan dapat menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi yang pada akhirnya meningkatkan profil dan kinerja reproduksi. Oleh sebab itu maka parameter yang dijadikan ukuran pada penelitian ini adalah pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak tikus betina. Peningkatan dari parameter tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja reproduksi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kedelai pada induk tikus bunting dan menyusui terhadap kinerja reproduksi anak tikus betina berupa perubahan bobot badan, bobot ovari, dan bobot uterus. 2

14 3 Hipotesis Pemberian kedelai 5 mg/kg bb/hari secara peroral pada induk tikus bunting dan atau menyusui mempengaruhi bobot badan, bobot ovari, dan bobot uterus anaknya. Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu kedokteran. Data yang dihasilkan dapat memberikan informasi terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh konsumsi kedelai pada saat kebuntingan dan menyusui terhadap penampilan anak serta dapat menjadi acuan atau dasar untuk melakukan penelitian di bidang reproduksi selanjutnya. 3

15 4 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar makanan Asia Timur seperti kecap, tahu dan tempe. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan biji dapat dibuat menjadi tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel, taosi, tauco (Anonim b 2008). Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam) (Gambar 1). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Klasifikasi ilmiah kedelai menurut AAK (1989) tergolong kedalam kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Fabales, subfamili Fabaceae, famili Faboideae, genus Glycine (L) Merr, Spesies Glycine max dan Glycine soja. Gambar 1 Kedelai putih (kiri) dan kedelai hitam (kanan). Kedelai mempunyai akar yang memiliki bintil pengikat nitrogen bebas. Kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Kedelai mengandung protein 4

16 5 yang berkisar 30-40%, karbohidrat 34.8%, dan lemak 18.1%. Kedelai juga mengandung vitamin A, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, vitamin K, Kalsium, Zat Besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium, dan seng. Kedelai juga merupakan sumber isoflavon berfungsi sebagai zat estrogenik, antioksidan dan antikarsinogenik. Kedelai memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan lainnya (Achadiat 2007). Kandungan protein dan isoflavon di dalam kedelai tertera dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya (Sumber: Kligler 2003) Penelitian pada kedelai yang telah dibuktikan para ahli antara lain adalah khasiatnya dalam menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kekebalan tubuh, menghambat pertumbuhan kanker payudara, prostat, usus, mencegah osteoporosis, menghambat pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen 2003). Fitoestrogen Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis tumbuh-tumbuhan yang merupakan senyawa non steroidal mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004). Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus -OH/ hidroksil yang berjarak ,5 A 0 pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A 0 dan gugus -OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar 5

17 6 mempunyai efek estrogenik, yakni memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Achadiat 2007). Substrat tadi baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen tersebut. Namun afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibanding estrogen endogen atau dapat dikatakan bahwa diperlukan jumlah yang sangat besar bagi fitoestrogen untuk memperoleh efek yang memadai seperti estrogen (Tsourounis 2004). Menurut Yildiz (2005) kunci struktural penting dari suatu zat agar dapat berperan sebagai estrogen atau estradiol-like effects adalah: a. Memiliki cincin fenol yang sangat penting perannya dalam berikatan dengan estrogen reseptor (ERs) b. Cincin dari isoflavon menyerupai cincin dari estrogen pada bagian ikatan reseptor. c. Berat molekular serupa dengan estrogen (BM=272) d. Jarak antara dua gugus hidroksil dari inti isoflavon sama seperti yang dimiliki oleh estradiol. e. Pola hidroksilasi yang optimal. Fitoestrogen pertama kali diamati pada tahun Pada saat itu masih belum diketahui apakah zat ini dapat mempengaruhi metabolisme hewan atau manusia. Pada tahun 1940-an baru disadari bahwa domba yang digembalakan di daerah yang banyak ditumbuhi red clover atau semanggi merah ternyata menyebabkan domba tersebut menjadi sangat subur karena diduga banyak memakan tumbuhan yang kaya akan fitoestrogen ini (Johnston 2003). Semenjak itu mulai banyak penelitian mengkaji manfaat dari fitoestrogen ini. Penelitian fitoestrogen diarahkan pada fungsinya terhadap regulasi kolestrol dalam tubuh dan dalam mempertahankan densitas tulang pada perempuan menopause (Yildiz 2005) Fitoestrogen memiliki 3 kelompok utama yaitu isoflavone, lignan, dan coumestan, dan beberapa herbal lain. Tiga kelompok tersebut terdapat pada 300 tanaman, terutama tumbuhan keluarga polong-polongan. Menurut Tsourounis (2004) kelompok dari fitoestrogen tersebut adalah: 1. Isoflavone terdapat pada : soybean (kacang kedelai), lentil (miju - miju), chickpeas/garbanio bean (buncis), red clover (semanggi merah) 6

18 7 2. Lignan terdapat pada : Flaxseed (biji rami), cereal (padi - padian), sayursayuran, dan buah-buahan. 3. Coumestan terdapat pada : sunflower seed (biji bunga matahari), bean sprout (kecambah taoge). 4. Bentuk lain terdapat pada herbal Black cohosh, Dong Quai, ginseng, Evening primrose (Kligler 2003). Black cohosh tumbuh di hutan-hutan Amerika Selatan dan sekarang telah diekstraksi serta dikemas menjadi produk obat untuk menopause. Pada umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa tersebut, melainkan selalu mengandung banyak sekali senyawa estrogenik secara bersama-sama (Achadiat 2007). Fitoestrogen pada tumbuhan paling umum di temukan dalam bentuk coumestan dan isoflavon yang tergolong dalam kelompok flavonoid. Struktur molekul kedua senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Fitoestrogen yang paling umum ditemukan pada tumbuhan (Coumestan dan isoflavon) (Sumber : Jennylen 2005). Isoflavon adalah kelompok yang paling menonjol dan yang telah banyak diteliti. Isoflavon terdiri dari tiga jenis senyawa yakni genistein, daidzein, dan glycitin. Kedelai mengandung isoflavon dengan kadar daidzein 38%; genistein 50%; dan glycitin 12%. Walaupun merupakan isoflavon kedua terbanyak setelah genistein, daidzein dikenal paling potensial untuk menimbulkan efek estrogenik (Andra 2007) 7

19 8 Kedelai merupakan sumber isoflavon (fitoestrogen) dan mengandung antioksidan yang berfungsi melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas. Di dalam tiap gram protein kedelai mengandung isoflavon total sebesar 5,1-5,5 mg terdiri dari daidzein, genistein, dan sedikit glycitin. Daizein berkisar 10,5-85 dan genestein ,5 mg/100g berat kering di dalam kedelai atau produk olahannya (Widodo 2005) Sebagai fitoestrogen, isoflavon kedelai memiliki dua efek penting. Pertama, saat kadar estrogen tinggi, fitoestrogen bisa menghentikan bentuk estrogen yang lebih poten diproduksi oleh tubuh (dengan memblokir reseptor estrogen) dan bisa membantu mencegah penyakit yang dikendarai oleh hormon, seperti kanker payudara. Kedua, saat kadar estrogen rendah, seperti pada keadaan setelah menopause, fitoestrogen bisa menggantikan estrogen tubuh itu sendiri, sehingga bisa mengurangi hot flashes dan melindungi tulang (Andra 2007). Isoflavon di dalam tumbuhan terdapat dalam bentuk glikosida terkonjugasi (glycoside conjugate) yang disebut glucon (genistin dan daidzin). Glucon akan dimetabolisme oleh bakteri pencernaan menjadi senyawa aktif yang disebut aglicon (genistein dan daidzein) (Speroff & Fritz 2005). Senyawa aktif ini (aglikon) akan masuk aliran darah dan beredar keseluruh tubuh dimana ia akan berikatan dengan sejumlah organ dengan reseptor khusus. Gambar 3 merupakan skematis perubahan glukon menjadi aglikon oleh bakteri di dalam usus. Glucon Bakteri Usus Aglucon Gambar 3 Glucon dan aglucon dari fitoestrogen (Sumber : Thomson 2005). 8

20 9 Metabolisme Fitoestrogen Semua fitoestrogen secara garis besar diabsorbsi sebagai metabolit prekursor yaitu dalam bentuk awal dari fitoestrogen yang belum aktif atau kurang bersifat estrogenik (merupakan fitoestrogen dalam bentuk glikosida terkonjugasi). Fitoestrogen kelompok lignan akan diabsorbsi sebagai matairesinol, secoisolaricinol. Selanjutnya metabolit prekursor ini akan di dimetabolisme oleh bakteri intestinum menjadi senyawa aktif yang bersifat estrogenik yaitu enterolacton dan enterodiol. Sedangkan fitoestrogen kelompok isoflavon akan diserap sebagai formononetin, daidzin, genistin dan biochanin A yang akan dimetabolisme oleh bakteri intestinum menjadi daidzein dan genistein. Selanjutnya senyawa ini akan dimetabolisme atau diekskresi tanpa perubahan bentuk biokimiawi dalam urin dan faeses (Wolf 2005). Daidzein dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi equol dan ODM-angiolensin sedangkan genistein berubah menjadi Pethylphenol untuk diekskresikan melalui urin. Keseluruhan proses ini secara skematis diterangkan dalam Gambar 4. Formononentin Daidzin Biochanin-A dan Genistin Gambar 4 Perbandingan metabolisme fitoestrogen (lignan dan isoflavon) secara skematik (Sumber : Ibanez & Baulieu 2005) Kedelai terutama mengandung biochanin-a dan formononetin dengan aktivitas estrogenik lemah, tetapi masing-masing diubah dalam usus menjadi genistein dan daidzein yang lebih estrogenik dan selanjutnya menjadi equol yang lebih estrogenik daripada daidzein (Speroff dan Fritz 2005). Equol dihasilkan dari 9

21 10 daidzein dalam usus yang merupakan produk buangan oleh sebab itu kurang berperan di dalam tubuh. Produksi equol akan lebih banyak ditemukan pada orang diet tinggi karbohidrat dan berhubungan dengan risiko kanker payudara yang rendah (Ibanez & Baulieu 2005). Biokimia Fitoestrogen Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol, sehingga dapat berikatan dengan kedua reseptor estrogen yaitu ERα dan ERβ. Afinitas ikatan fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen lebih besar terhadap ERβ dibanding ERα (Tabel 2) (Tsourounis 2004). Afinitas fitoestrogen (genistein) rendah terhadap reseptor alpha yakni 5% sedangkan terhadap reseptor betha hanya 36% jika dibandingkan dengan 17β estradiol, walaupun demikian kadar sirkulasi yang berulang dari fitoestrogen mampu menghasilkan aktivitas biologik yang potensial (Tsourounis 2004). Tabel 2 Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen α dan β pada tikus (Sumber : Ibanez & Baulieu 2005) Prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis, merupakan beberapa tempat yang dipengaruhi khusus oleh fitoestrogen (Tsourounis 2004). Isoflavon akan berikatan dengan reseptor estrogen di organ tersebut, walaupun kurang poten dibandingkan 17β estradiol namun dengan kadar yang lebih tinggi dan sirkulasi yang berulang dapat menimbulkan efek yang potensial. Hal ini disebabkan karena reseptor estrogen akan diblokir oleh fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah berikatan pada reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas estrogenik yang relatif lemah (Tsourounis 2004). Dengan kata lain fitoestrogen dapat bersaing dan 10

22 11 menggantikan fungsi estrogen. Hal ini sangat menguntungkan karena mengingat kadar estrogen yang tinggi telah dikaitkan dengan kanker payudara, kanker indung telur dan kanker rahim. Asupan protein kedelai dalam tubuh memberikan kesempatan pada fitoestrogen untuk mengambil alih tugas estrogen endogen ketika kadar fitoestrogen tinggi di dalam tubuh, sehingga mengurangi potensi berbahaya dari estrogen yakni mengubah sel normal menjadi sel kanker (berperan sebagai antiestrogenik). Fitoestrogen berperan dalam menstabilkan fungsi hormonal, yakni dengan cara menghambat aktivitas estrogen yang berlebihan yang dapat menginduksi terjadinya kanker dan juga dapat mensubtitusi estrogen ketika kadarnya di dalam tubuh rendah (Anonim a 2008). Fitoestrogen memiliki efek menormalkan hormon, tidak hanya menghambat penyerapan estrogen secara berlebihan, tetapi juga mampu meningkatkannya pada wanita yang kadar estrogennya rendah (Anonim a 2008). Lignan dan isoflavon merupakan estrogenik lemah dan merupakan agen antiestrogenik parsial. Lignan dan isoflavon memiliki kemampuan antimikrobial, antikarsinogenik, dan antiinflamasi. Menurut Tsourounis (2004) efek fitoestrogen antara lain: 1. Meningkatkan steroid hormon binding globulin (SHBG) dengan diikuti penurunan kadar hormon steroid bebas. Terutama nyata untuk androgen, juga untuk estradiol. 2. Memblokir atau menduduki reseptor estradiol sebagai akibat tingginya kadar fitoestrogen. Walaupun afinitas ikatan lemah, estradiol akan digantikan dari reseptor akibat massa substrat yang signifikan. 3. Efek fitoestrogen yang paling penting adalah inhibisi enzim intraseluler. Genistein mampu menonaktivasi rantai sinyal seluruh growth factor dan keluarga tirosinkinase, misalnya insulin-like growth factor (IGF-1), insulin, epidermal growth factor (EGF), transfonning growth factor (TGFβ) dan fibroblast growth factor (FGF) dengan memblokir tirosinkinase. Oleh karena itu second messenger dari rantai sinyal growth hormon tidak dapat terbentuk. Selanjutnya, efek inhibisi terjadi pada aromatase 17β OH dehidrogenase dan 5α reduktase (Gambar 5) 11

23 12 Gambar 5 Interaksi metabolisme fitoestrogen dan estrogen (Sumber : Ibanez & Baulieu 2005) Estrogen Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita, seperti payudara, dan juga terlibat dalam penebalan endometrium maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, di antaranya hot flash, berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Achadiat 2007) Ada tiga bentuk estrogen dalam jumlah bermakna di dalam plasma hewan betina utama yaitu 17β estradiol, estron, dan estriol. Pada manusia sejak menarche (siklus menstruasi pertama) sampai menopause (berhentinya menstruasi), estrogen utama adalah 17β-estradiol. Di dalam tubuh, ketiga jenis estrogen tersebut disentesa dari androgen dengan bantuan enzim. Estradiol dikonversi dari testosteron di dalam sel granulosa dengan bantuan enzim aromatase atas stimulasi FSH, sedangkan estron dibuat dari androstenadion (Gambar 6) (Johnson & Everitt 1984). Estron bersifat lebih lemah daripada estradiol. Pada wanita pascamenopause estron ditemukan lebih banyak daripada estradiol. Berbagai zat alami maupun buatan telah ditemukan memiliki aktivitas bersifat mirip estrogen. Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen, sedangkan bahan alami dari tumbuhan yang memiliki aktivitas seperti estrogen disebut fitoestrogen. Estrogen-estrogen ini akan berikatan pada dua jenis reseptor yang dikenal dengan 12

24 13 estrogen reseptor alpha (ERα) dan estrogen reseptor betha (ERβ) (Ibanez & Baulieu 2005) Gambar 6 Steroidogenenesis estorgen pada hewan betina (Sumber : Johnson & Everitt 1984). ERα dan ERβ banyak terdapat pada jaringan reproduksi wanita (ovarium, endometrium, dan payudara), kulit, pembuluh darah tulang dan otak. Pada reproduksi laki-laki reseptor ini banyak terdapat pada prostat. Pada otak hampir seluruh bagiannya mengandung reseptor ERβ kecuali pada hipokampus yang secara khusus mengandung ERα (Brown 2004). Distribusi reseptor estrogen ERβ yang tinggi terdapat pada kelenjar prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis (Tsourounis 2004). Susunan syaraf pusat adalah target lain dari estrogen yang akan memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis. Berdasarkan kadarnya dalam plasma, estrogen dapat berperan sebagai kontrol umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi LH dan FSH, atau sebagai kontrol umpan balik positif dengan menstimulasi sekresi LH & FSH. Estrogen juga berperan dalam perilaku seksual. Estrogen mempunyai peran penting pada metabolisme tulang dengan cara menurunkan reasorbsi dengan menghambat ekspresi IL-6 yang menstimulasi osteolisis. Dalam sistem kardiovaskuler estrogen 13

25 14 bermanfaat untuk meningkatkan keseimbangan fisiologis kolesterol dengan memperbaiki komponen lipoprotein HDL (Yoles et al. 2005). Estrogen terutama berfungsi dalam proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Menurut Guyton & Hall (1997) fungsi estrogen adalah sebagai berikut: a. Pada uterus dan organ kelamin wanita. Ovarium, tuba fallopi, uterus dan vagina semuanya akan bertambah besar atas pengaruh estrogen. Pembesaran juga terjadi pada genitalia eksterna akibat meningkatnya deposisi lemak. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula adalah epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas b. Pada tuba fallopi. Menyebabkan proliferasi tuba fallopi, dan yang paling penting, estrogen menyebabkan bertambah banyaknya sel silia yang membatasi tuba fallopi. c. Pada payudara. Menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan duktus yang luas, dan deposisi lemak pada payudara. d. Pada tulang rangka. Menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoblastik dan laju pertumbuhan menjadi cepat pada awal pubertas. e. Pada tulang. Kekurangan estrogen pada usia tua akan menyebabkan berkurangnya aktivitas osteoblastik, matriks tulang, dan deposit kalsium serta fosfat tulang, sehingga menyebabkan osteoporosis. f. Pada pengendapan protein. Menyebabkan sedikit peningkatan total protein tubuh, terbukti dari adanya keseimbangan nitrogen yang lebih positif apabila diberikan estrogen. g. Pada metabolisme dan deposit lemak. Sedikit meningkatkan laju kecepatan metabolisme. Estrogen menyebabkan peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan subkutan. 14

26 15 h. Pada kulit. Estrogen akan menyebabkan kulit akan berkembang membentuk tekstur yang halus dan lembut serta menyebabkan kulit lebih vaskular daripada normal. i. Pada keseimbangan elektrolit. Menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, namun efeknya ringan dan jarang bermakna kecuali pada masa kebuntingan. Peran Estrogen pada Kebuntingan Peran estrogen pada saat kebuntingan adalah ikut membantu dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi. Uterus akan mengalami hiperplasi dan hipertropi akibat estrogen dengan tujuan mempersiapkan kebuntingan. Estrogen bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah buluh darah ke uterus. Peningkatan jumlah vaskularisasi pada uterus akan memperlancar aliran darah ke uterus. Estrogen juga diperlukan dalam hal regulasi progesteron. Kerja progesteron diinisiasi oleh estrogen. Estrogen dan progesteron secara bersamasama berfungsi dalam memelihara kebuntingan. Estrogen juga memegang peranan penting terhadap perkembangan fetus selama kebuntingan. Estrogen memicu pematangan dari organ ginjal, paru, hati, adrenal dan pembentukan plasenta yang sempurna (Albrecht & Pepe 2007). Peran Estrogen Terhadap Organogenesis Diferensiasi gonad dan organ reproduksi terjadi di saat perkembangan fetus semasa kandungan. Organ reproduksi betina berasal dari perkembangan duktus Mullerian sedangkan duktus Wolffian akan mengalami atropi. Duktus Mullerian inilah untuk selanjutnya yang akan membentuk struktur organ reproduksi betina. Sebaliknya untuk hewan jantan, organ reproduksi berasal dari perkembangan duktus Wolffian sedangkan duktus Mullerian akan mengalami regresi. Proses diferensiasi sistem reproduksi pada fetus jantan sangat bergantung pada kehadiran hormon androgen (Hafez 2000). Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dapat mempengaruhi diferensiasi dari organ reproduksi. Pada kasus pemberian diethylstilbestrol (DES) yang dilakukan pada tikus bunting telah menyebabkan keterlambatan regresi dari duktus mullerian pada hewan jantan. Duktus mullerian yang tidak sempat hilang 15

27 16 akan terbawa hingga lahir sehingga menyebabkan struktur genital abnormal pada tikus jantan. Selain menyebabkan kegagalan diferensiasi sex pada hewan jantan, paparan estrogen yang berlebih pada kebuntingan juga menyebabkan komplikasi lain seperti epididymal cysts, meatal stenosis, hypospadias, cryptorchidism and microphallus (Vicenzo et al. 2005). Frekuensi dari terjadinya abnormalitas ini sangat tergantung pada kadar dan waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang mendapat paparan estrogen pada periode akhir kebuntingan memiliki resiko lebih rendah terjadinya abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat paparan pada awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Sedangkan paparan estrogen disaat prenatal tidak menyebabkan struktur genital abnormal pada hewan betina. Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten, hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening (Hughes et al. 2004). 16

28 17 Tikus Putih Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan Norwegia seperti yang diduga dari namanya (Malole & Pramono 1989). Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley (Gambar 7). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway rats) berdasarkan Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Rodensia Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Species : Rattus novergicus Gambar 7 Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley Terdapat lima macam basic stock tikus putih (Albino Normay rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Long Evans lebih kecil ukuran badannya daripada Sprague Dawley dan memiliki warna yang gelap pada bagian atas kepala dan bagian depan tubuh. Wistar memiliki kepala yang besar dan ekornya lebih pendek (Baker et al. 1979). Untuk keperluan penelitian tikus putih memiliki nilai fisiologis yang telah terdata dengan baik. Informasi nilai fisiologis dari tikus putih disajikan dalam Tabel 3. 17

29 18 Tabel 3 Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus Lama/panjang siklus: Fase 1 diestrusi Fase 2 proestrus (awal) Fase 3 proestrus (akhir) Fase 4 estrus Fase 5 metaestrus Durasi total siklus Lama estrus Waktu ovulasi Lama kebuntingan Jumlah anak perinduk Usia lepas sapih Usia pubertas Kriteria Berat organ : (berat basah dalam g/100 g bobot badan) 60 jam 60 jam 12 jam jam 8 jam 4-5 hari 9-20 jam Nilai 8-11 jam sesudah estrus hari 6-10 ekor 21 hari 6-8 minggu Testis (single) Ovary (single) Lain-lain: Lama hidup Berat dewasa jantan Berat dewasa betina Konsumsi makanan per berat badan, per hari 0,05 0, tahun g g 10 g/100g/hari Konsumsi minum per berat badan, per hari 10-12/100g/hari (Sumber : Waynforth & Flecknell 1992 ; Malole & Pramono 1989) Siklus Estrus Tikus Siklus estrus tikus berlangsung selama empat sampai enam hari. Meskipun pemilihan waktu siklus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksteroseptif seperti cahaya, suhu, status nutrisi dan hubungan sosial. Secara umum siklus estrus pada tikus dibagi menjadi empat fase (Turner & Bagnara 1976) yaitu fase proestrus, 18

30 19 estrus, metestrus, dan diestrus. Masing-masing fase ini menggambarkan proses fisiologis yang berbeda. Keempat fase ini dapat diketahui dari pemeriksaan preparat apus vagina yang dicirikan oleh keberadaan sel yang dominan pada saat itu (Tabel 4). Tabel 4 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih Fase Ulasan vagina proestus Awal: sel-sel berinti banyak Akhir: sel-sel bertanduk 25 % estrus Awal: sel-sel bertanduk 75 % Akhir: sel-sel pavement 25 % metestrus Awal: sel-sel pavement 100% Akhir:sel-sel pavement dan leukosit diestrus Awal: leukosit Akhir: leukosit dan sel berinti banyak muncul (Sumber : Baker et al. 1979) Proestrus. Stadium ini berlangsung dalam dua tahap yaitu proestrus awal (60 jam) dan proestrus akhir (12 jam). Stadium ini menandakan akan datangnya birahi, stadium ini ditandai dengan terjadinya involusi fungsional korpus luteum dari fase sebelumnya serta pembengkakan praovulasi folikel. Pada fase ini cairan yang terkumpul didalam uterus akan menyebabkan uterus menjadi sangat kontraktil. Preparat apus vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti, yang muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan (Turner & Bagnara 1976) (Gambar 8 a & b). Estrus, stadium ini merupakan periode berahi. Kopulasi dimungkinkan pada saat ini karena hanya pada fase ini hewan betina mau didekati oleh pejantan. Selama estrus terjadi perubahan perilaku seperti telinga yang bergerak-gerak dan sikap lordosis dalam menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan jantan. Fase berakhir 9 sampai 15 jam dan dicirikan dengan aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi. Dibawah pengaruh FSH, selusin atau lebih folikel ovari tumbuh dengan cepat; dengan demikian periode ini merupakan periode yang didominasi oleh kadar estrogen yang tinggi. Salah satu fungsi estrogen dapat dilihat pada uterus yang mengalami perbesaran progesif dan mengembung lantaran akumulasi cairan lumen (Turner & Bagnara 1976). Tingginya kadar estrogen ini akan menekan sekresi FSH dan sebaliknya merupakan umpan balik 19

31 20 positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH yang sangat tinggi (LH surge) sesaat sebelum ovulasi. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh perubahan histologik di dalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal. Cairan lumen di dalam uterus banyak yang hilang sebelum ovulasi. Apabila terjadi fertilisasi dan kebuntingan siklus terganggu selama masa gestasi (masa kebuntingan), yang berakhir 20 sampai 22 hari pada tikus. Hewan menjadi estrus pada akhir kebuntingan, namun siklusnya sekali lagi terganggu sampai berakhirnya laktasi (Turner & Bagnara 1976). Sel-sel menanduk didalam preparat apus vagina dipakai sebagai petunjuk estrus (Gambar 8 c & d). Sel-sel menanduk ini merupakan gambaran banyaknya mitosis yang terjadi di dalam mukosa vagina, lapisan permukaannya menjadi squmosa. Menjelang estrus berakhir, di dalam lumen vagina terdapat massa seperti keju terdiri atas sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi (Turner & Bagnara 1976). Metestrus. Stadium ini terjadi segera sesudah ovulasi, dan merupakan saat antara estrus dan diestrus yang berakhir 10 sampai 14 jam. Perkawinan biasanya tidak dimungkinkan pada stadium ini. Ovari mengandung korpus luteum yang mengandung sel-sel lutein dan folikel-folikel kecil; vaskularisasi dan kontraktilitas uterus akan berkurang. Banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama dengan sedikit sel-sel menanduk (Turner & Bagnara 1976) (Gambar 8 e & f). Pada fase ini produksi estrogen mulai berkurang digantikan oleh dominasi hormon progesteron yang dihasilkan oleh sel-sel lutein. Estrogen, progesteron dan inhibin (dihasilkan oleh sel granulosa dari folikel antral yang matang) pada fase ini akan memberikan efek umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofise anterior sehingga menyebabkan penekanan FSH dan LH dan perkembangan folikel sejenak terhenti (Guyton & Hall 1997). Diestrus. Stadium ini berakhir 60 sampai 70 jam, pada masa tersebut terjadi regresi fungsional korpus luteum. Uterus menjadi kecil, anemik dan sedikit kontraktil. Mukosa vagina tipis dan banyak ditemukannya leukosit pada preparat apus vagina. Pada fase ini terjadi regresi korpus luteum yang mengakibatkan terjadinya penurunan progesteron yang dihasilkan. Rendahnya kadar progesteron dan estrogen pada fase ini akan merangsang kembali hipotalamus dan hipofise 20

32 21 anterior untuk mensekresi FSH dan LH dan siklus berulang ke proestrus. Fase diestrus didominasi oleh sel leukosit dan mulai munculnya sel epitel berinti (Gambar 8 g & h) Keempat siklus ini sangat erat kaitannya dengan siklus ovarium. Siklus ovarium terbagi menjadi fase folikular dan fase luteal. Fase proestrus dan estrus terletak di dalam fase folikular. Sedangkan fase metestrus dan diestrus terletak di dalam fase luteal. Di saat fase folikular atas pengaruh dari FSH terjadi pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Fase proestrus adalah tingkat perkembangan folikel sampai pertumbuhan maksimal. Fase estrus adalah fase pematangan folikel de Graaf hingga menunggu ovulasi yang ditandai dengan tingginya kadar estrogen dan sekresi LH. Fase metestrus adalah fase pembentukan korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri dari sel-sel teka dan granulosa yang mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel-sel lutein atas pengaruh LH. Fase ini ditandai oleh tingginya kadar progesteron yang diperlukan untuk memelihara kebuntingan jika terjadi fertilisasi. Seandainya tidak terjadi fertilisasi dan kebuntingan maka korpus luteum akan beregresi. Fase ini disebut fase diestrus atau fase istirahat (Guyton & Hall 1997). 21

33 22 Gambar 8 Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus (a, b), estrus (c, d), metestrus (e, f) dan diestrus (g, h). Tertandai; Leukocytes (L), epithelial (E) and cornified cell (C). (Sumber : Marcondes et al. 2002) 22

34 23 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2007 sampai dengan Juli Penelitian dilakukan di kandang hewan percobaan FKH dan Laboratorium Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor Bahan dan Alat Hewan yang digunakan sebagai model dalam penelitian ini adalah tikus betina bunting paritas kedua dari spesies Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley berumur 3,5-4 bulan, dengan bobot badan rata-rata gram. Bahan yang digunakan adalah kedelai yang telah digiling halus, aquades, pewarna giemsa, buffer alkohol, metanol, dan eter. Peralatan yang digunakan adalah spuit, sonde lambung, gelas objek, mikroskop, cotton bud, timbangan tikus, timbangan analitik GR-202, perangkat kandang, dan alat diseksi. Metode Penelitian Tahap Persiapan a. Tikus Tiga puluh ekor tikus betina diadaptasikan terlebih dahulu dalam kandang. Tikus ditempatkan dalam kandang berukuran 34 x 25 x 12 cm yang beralaskan sekam dan bertutupkan kawat. Tikus diberi makan secara teratur dengan kebutuhan diet yang terjaga (feed intake diasumsikan sama), minum ad libitum, dan ditempatkan pada ruangan dengan perbandingan lama gelap dan terang 14:10, suhu ruangan o C dengan kelembaban relatif 40-50% sebagai kondisi umumnya. b. Perkawinan Tikus jantan dan betina (rasio kawin 1:2) dimasukkan ke dalam satu kandang. Proses perkawinan biasanya terjadi malam hari. Untuk mengetahui terjadinya perkawinan dilakukan pemeriksaan ulas vagina. Terjadinya perkawinan diindikasikan dengan ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina. Hari 23

35 24 ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina ditetapkan sebagai hari pertama kebuntingan (Turner & Bagnara 1976). Tahap Perlakuan dan Pengelompokan Hewan Coba Perlakuan pada penelitian ini adalah pemberian sediaan kedelai mentah peroral yang diberikan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung. Sediaan kedelai dibuat dengan mencampurkan 10 gr tepung kedelai kedalam 50 ml aquades. Dosis kedelai yang diberikan adalah 5 mg/kg BB/ hari. Untuk menghindari tercekam akibat pemberian kedelai dengan volume yang besar, maka kedelai diberikan dalam 2 tahap yaitu pada pagi hari dan sore hari dan dilakukan pada jam yang sama setiap harinya. Induk tikus yang positif bunting dikelompokkan sesuai perlakuan sebagai berikut: Kelompok A : diberi kedelai 5 mg/kgbb/ hari mulai pada usia kebuntingan 14 hari hingga usia menyusui 14 hari. Kelompok B : diberi kedelai 5 mg/kgbb/ hari mulai pada usia kebuntingan 14 hari hingga hari kelahiran. Kelompok C : diberi kedelai 5 mg/kgbb/ hari sejak induk melahirkan hingga usia menyusui 14 hari. Kelompok D : tidak diberi kedelai. Anak yang dilahirkan dipelihara bersama induknya sampai usia 21 hari. Pada umur 21 hari tikus disapih dan dikelompokan (4-5 ekor) sesuai dengan kelompok induknya. Tikus dipelihara hingga umur 4, 6, dan 8 minggu untuk pengambilan sampel. Tiap kelompok terdiri dari 5 ekor anak tikus betina, sehingga total sampel anak betina yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 60 ekor. Tahap perlakuan disajikan dalam diagram (Gambar 9) 24

36 25 Gambar 9. Diagram tahap perlakuan. Pengamatan dan Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan pada anak berumur 4, 6 dan 8 minggu. Umur 4 minggu adalah model untuk tikus yang belum dewasa (immature rats), umur 6 minggu adalah tikus yang mulai pubertas (prepubertal rats) sedangkan umur 8 minggu adalah contoh untuk tikus dewasa (mature rats).. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus. Selain itu, juga dilakukan pengambilan sampel ulas vagina yang digunakan untuk memeriksa status siklus estrus anak tikus. a. Pengambilan sampel ulas vagina Pengambilan preparat ulas vagina (pap smear) bertujuan untuk mengetahui status siklus estrus anak tikus. Ulas vagina dilakukan dengan cara mengoleskan cotton buds yang telah dibasahi NaCl fisiologis 0,9% diusapkan secara perlahan padaa dinding vagina tikus. Lalu hasil koleksi dioleskan ke gelas objek yang bersih. Preparat kemudian diwarnai, terlebih dahulu dilakukan fiksasi dalam metanol 10% selama 5 menit diikuti Giemsa selama 30 menit lalu dibilas dengan air mengalir perlahan beberapa detik, kemudian preparat ulas vagina diamati di bawah mikroskop. Fase siklus estrus diketahui berdasarkan jenis sel yang dominan terlihat. Fase proestrus didominasi oleh sel epitel berinti. Fase estrus didominasi oleh sel tanduk. Pada fase metestrus ditemukan sel-sel tanduk dan leukosit. Sedangkan fase diestrus yang paling dominan terlihat adalah sel leukosit (Marcondes et al. 2002). 25

37 26 b. Koleksi uterus dan ovarium Sebelum dikorbankan tikus dibius terlebih dahulu menggunakan eter. Tikus dimatikan dengan cara cervical dislocation. Pembedahan dilakukan pada bagian abdomen. Otot beserta kulit digunting lurus sejajar linea alba mulai dari bagian perineal terus ke anterior hingga diaphragma. Otot abdomen dikuakkan ke sisi kiri dan kanan lalu difiksir. Uterus dicari dibawah usus kemudian dipreparir bersamaan ovarium. Sebelum ditimbang organ dibersihkan dari lemak mesentericus. Ovarium dipisahkan dari uterus dan masing-masing ditimbang bobotnya menggunakan timbangan digital. Bobot yang didapatkan merupakan bobot basah organ. Setelah ditimbang organ kemudian dimasukkan dalam larutan buffer formalin. Analisa data Data yang diperoleh dianalisa dan dibandingkan dengan menggunakan metode analysis of variance (ANOVA), dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel & Torrie 1991) 26

38 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Hadirnya Siklus Estrus Anak Pengaruh pemberian kedelai selama kebuntingan terhadap siklus estrus disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase terhadap hadirnya siklus estrus anak tikus pada usia 4, 6, dan 8 minggu pada masing-masing kelompok perlakuan 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu Belum ada siklus 0% Ada siklus 100% Ada siklus 100% Klp P E M D P E M D P E M D A % 57% 28,5% 43% 28,5% 0 B % 12,5% 37,5% 25% 14% 0 14% 72% C ,5% 71,5% 57% 43% 0 0 D % 86% % Keterangan : Klp= kelompok, A=kedelai saat bunting dan laktasi, B=kedelai saat bunting, C=kedelai saat laktasi, D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol). P= proestrus, E= estrus, M= metestrus, D= diestrus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tikus umur 4 minggu, belum terjadi pembukaan vagina (vaginal opening) dan belum adanya siklus. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian kedelai selama kebuntingan tidak mempengaruhi usia pubertas hal ini terlihat karena pada semua perlakuan siklus estrus dapat dilihat pada usia 6 minggu. Peristiwa estrus pertama kali merupakan tanda bahwa tikus telah memasuki usia pubertas. Usia pubertas dari anak tikus dalam penelitian ini tidak diketahui kapan secara pasti karena pemeriksaan ulas vagina tidak dilakukan setiap hari, namun dalam interval 2 minggu. Usia pubertas pada tikus umumnya dicapai pada umur 6-8 minggu (Malole & Pramono 1989). Hasil yang didapat menunjukan bahwa sebagian besar anak tikus pada umur 6 minggu berada pada fase metestrus dan diestrus. Sedangkan untuk umur 8 minggu siklus estrus lebih bervariasi. Kelompok A dan C lebih banyak berada pada fase proestrus dan estrus. Sedangkan kelompok B dan D berada pada fase metestrus dan diestrus. Fase proestrus dan estrus disebut fase folikuler sedangkan fase metestrus dan diestrus disebut fase luteal. Pada fase folikuler uterus akan akan mengalami pembesaran dan mengembung akibat akumulasi cairan akibat pengaruh estrogen (Turner & Bagnara 1976). Sejalan dengan penurunan kadar estrogen pada fase metestrus dan diestrus uterus akan mengecil dan akumulasi 27

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan di era modern ini semakin beragam bahan yang digunakan, tidak terkecuali bahan yang digunakan adalah biji-bijian. Salah satu jenis biji yang sering digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu hasil bumi yang sangat dikenal di Indonesia. Kedelai yang dibudidayakan terdiri dari dua spesies, yaitu, kedelai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus Tikus digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus (Meehan 1984). Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus BAB IV HASIL PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur kebuntingan 0-13 hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan salah satu jenis tanaman polong-polongan (golongan Leguminoceae). Terdapat dua spesies kedelai yang biasa dibudidayakan, yaitu kedelai putih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. Menopause yang dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid, sering menjadi ketakutan

Lebih terperinci

KANDUNGAN SENYAWA ISOFLAVON DALAM TEMPE DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN. Dr. Sri Handayani

KANDUNGAN SENYAWA ISOFLAVON DALAM TEMPE DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN. Dr. Sri Handayani KANDUNGAN SENYAWA ISOFLAVON DALAM TEMPE DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN Dr. Sri Handayani Tim PPM Jurusan Pendidikan Kimia FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai 19 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai (Glycine max) sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM dan baru masuk ke Indonesia, terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai paling baik ditanam di ladang dan persawahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap jumlah kelenjar endometrium, jumlah eritrosit dan lekosit tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tumbuhan Bunga Matahari (Helianthus annuus L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tumbuhan Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tumbuhan Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) Klasifikasi dari tumbuhan bunga matahari yaitu: Kingdom : Plantae (tumbuhan) Super divisi : Spermatophyta (mengahsilkan biji)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II VAGINAL SMEAR Oleh : Nama : Nur Amalah NIM : B1J011135 Rombongan : IV Kelompok : 2 Asisten : Andri Prajaka Santo LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 20 PENDAHULUAN Latar Belakang Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang diolah melalui proses fermentasi kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedelai dan produk olahannya mengandung senyawa

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

FITOESTROGEN DITINJAU DARI BIOFARMAKA

FITOESTROGEN DITINJAU DARI BIOFARMAKA FITOESTROGEN DITINJAU DARI BIOFARMAKA Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS. Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB Seminar Ilmiah Nasional Fitoestrogen sebagai Sumber Hormon Alami Jakarta 31 Maret 2012 BIOFARMAKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai megabiodiversity country, yaitu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar telah memasuki arus modernisasi. Hal ini menyebabkan pergeseran ataupun perubahan, terutama dalam gaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah. perkembangan, sedangkan pada akhirnya perubahan itu menjadi kearah

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah. perkembangan, sedangkan pada akhirnya perubahan itu menjadi kearah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah manusia itu akan melalui suatu proses yang sama, yaitu semuanya selalu dalam perubahan. Pada awal hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam periode 10 tahun terakhir jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode 10 tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas merupakan salah satu masalah penting bagi setiap orang. Infertilitas pada pria berkaitan erat dengan spermatogenesis. Proses ini dipengaruhi oleh dua faktor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolesterol terbentuk secara alamiah. Dari segi ilmu kimia, kolesterol merupakan senyawa kompleks yang dihasilkan oleh tubuh bermacammacam fungsi, lain untuk membuat

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max)

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max) PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max) Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jenis makanan yang terdapat di masyarakat tidak jarang mengandung bahan kimia berbahaya serta tidak layak makan, penggunaan bahan kimia berbahaya yang marak digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wijen (Sesamum indicum L) 1. Sistematika Tanaman Tanaman wijen mempunyai klasifikasi tanaman sebagai berikut : Philum : Spermatophyta Divisi : Angiospermae Sub-divisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau kesehatan, tetapi juga budaya. Budaya minum jamu ini masih terpelihara di

BAB I PENDAHULUAN. atau kesehatan, tetapi juga budaya. Budaya minum jamu ini masih terpelihara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamu merupakan salah satu warisan bangsa, bukan hanya dari konsep obat atau kesehatan, tetapi juga budaya. Budaya minum jamu ini masih terpelihara di Indonesia. Hal

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Menopause merupakan salah satu proses dalam siklus reproduksi alamiah yang akan dialami setiap perempuan selain pubertas, kehamilan, dan menstruasi. Seorang perempuan

Lebih terperinci

Lecithin Softgel, Herbal Obat Kolesterol

Lecithin Softgel, Herbal Obat Kolesterol Lecithin Softgel, Herbal Obat Kolesterol Lecithin softgel mengandung 60% atau sekitar 720mg natural sari kedelai konsentrat yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia. Manusia telah makan kedelai sejak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus) TINJAUAN PUSTAKA Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari mencit liar yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Radikal bebas adalah sebuah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Clarkson dan Thompson, 2000)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kematian akibat hipertensi di Indonesia. Hipertensi disebut sebagai. (menimbulkan stroke) (Harmilah dkk., 2014).

BAB I PENDAHULUAN kematian akibat hipertensi di Indonesia. Hipertensi disebut sebagai. (menimbulkan stroke) (Harmilah dkk., 2014). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia (Soenarta,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menstruasi A. Pengertian Menstruasi Menstruasi merupakan keadaan fisiologis, yaitu peristiwa keluarnya darah, lendir ataupun sisa-sisa sel secara berkala. Sisa sel tersebut

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Penulis

KATA PENGANTAR. Penulis ii iii iv KATA PENGANTAR Assalamu alaikum warahmatullohi wabarakatuh Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji bagi Allah hanya karena rakhmat dan hidayah-nya penulisan buku dengan judul Efektivitas pemberian

Lebih terperinci

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif Kelompok 3 Aswar Anas 111810401036 Antin Siti Anisa 121810401006 Nenny Aulia Rochman 121810401036 Selvi Okta Yusidha 121810401037 Qurrotul Qomariyah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pubertas 2.1.1. Definisi Pubertas Pubertas adalah masa dimana ciri-ciri seks sekunder mulai berkembang dan tercapainya kemampuan untuk bereproduksi. Antara usia 10 sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya usia harapan hidup (UHH) di Indonesia dari tahun ke tahun.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya usia harapan hidup (UHH) di Indonesia dari tahun ke tahun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan termasuk pembangunan kesehatan telah meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, antara lain dengan meningkatnya usia harapan hidup (UHH)

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KACANG MERAH (Phaseolus vulgaris, L.) TERHADAP PERKEMBANGAN FOLIKEL OVARIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus, L.

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KACANG MERAH (Phaseolus vulgaris, L.) TERHADAP PERKEMBANGAN FOLIKEL OVARIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus, L. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK (Rizka Qori Dwi Mastuti) 131 PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KACANG MERAH (Phaseolus vulgaris, L.) TERHADAP PERKEMBANGAN FOLIKEL OVARIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus, L.) Rizka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. kadar hormon seseorang. Aging proses pada pria disebabkan oleh menurunnya sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus kehidupan khususnya manusia pasti akan mengalami penuaan baik pada wanita maupun pria. Semakin bertambahnya usia, berbanding terbalik dengan kadar hormon seseorang.

Lebih terperinci

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pasca Menopause Wanita mempunyai masa kehidupan seksual dimana banyak folikel primodial tumbuh menjadi folikel vesicular setiap siklus seksual, dan akhirnya hampir semua ovum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap satu diantara enam penduduk dunia adalah remaja. Sedangkan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Di Indonesia, jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus seksual wanita usia 40-50 tahun biasanya menjadi tidak teratur dan ovulasi sering gagal terjadi. Setelah beberapa bulan, siklus akan berhenti sama sekali. Periode

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas merupakan suatu kondisi kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Seseorang dengan BMI 30 dikategorikan sebagai obesitas (WHO, 2014). Obesitas dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mengeluarkan hormon estrogen (Manuaba, 2008). Menarche terjadi di

BAB II LANDASAN TEORI. mengeluarkan hormon estrogen (Manuaba, 2008). Menarche terjadi di 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Menarche a. Pengertian menarche Menarche adalah pengeluaran darah menstruasi pertama yang disebabkan oleh pertumbuhan folikel primodial ovarium yang mengeluarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA

PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Air Susu Ibu Air susu ibu (ASI) adalah makanan pertama alami untuk bayi yang memberikan energi dan nutrisi yang dibutuhkan bayi pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN DAFTARISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMP

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 (lima) kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eva Anriani Lubis, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eva Anriani Lubis, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lemak merupakan salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Lemak ini mencakup kurang lebih 15% berat badan dan dibagi menjadi empat kelas yaitu trigliserida,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai dan Tempe

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai dan Tempe 21 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai dan Tempe Kedelai (Glycine max) adalah tanaman semusim yang termasuk kelas Magnoliopsida, ordo Fabales, family Fabaceae dan genus Glycine (Wikipedia 2007), berasal dari Cina

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa negara berkembang seperti Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang cukup besar sehingga aktivitas maupun pola hidup menjadi sangat beraneka ragam. Salah satu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengaruh pemberian ekstrak daun kenari terhadap jumlah kelenjar endometrium Pengamatan jumlah kelenjar endometrium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci