Chapter Six. Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional. Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Chapter Six. Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional. Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty"

Transkripsi

1 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty The validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only through the application of the present Convention.

2 64 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional A. Batalnya Perjanjian Internasional Sebuah perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan apabila terpenuhi beberapa kondisi yang dipersyaratkan baik oleh Konvensi maupun berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Pasal 42 (1) Konvensi menyebutkan bahwa, the validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only through the application of the present Convention. Hal ini untuk mencegah negara-negara mengelak kewajiban yang dibebankan oleh perjanjian dengan memberikan alasan yang dibuat-buat terhadap keabsahan perjanjian. 41 Namun ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan dibatalkannya sebuah perjanjian internasional. Beberapa hal tersebut akan dibahas dalam bagian ini dengan lebih rinci. 1. Kewenangan Membuat Perjanjian Internasional Konstitusi sebagian besar negara-negara di dunia menentukan bahwa kepala negara tidak dapat membuat atau meratifikasi perjanjian internasional tanpa persetujuan lembaga legislatif. 42 Permasalahan akan muncul terhadap keabsahan perjanjian tersebut apabila kepala negara tetap membuat perjanjian internasional tanpa mengindahkan konstitusi, dengan alasan apapun. Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Sebagian menyebutkan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum 41 B. Conforti & A. Labella, Invalidity and Termination of Treaties: the Role of National Courts, EJIL 1, 1990, hlm Lihat L. Wildhaber, Treaty Making Power and Constituion: An Interpretational and Comparative Study, 1971.

3 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 65 asalkan konstitusi negara tersebut cukup dikenal oleh negaranegara di dunia, indikator yang sebenarnya sangat subjektif. Sebagian lain menyatakan bahwa perjanjian tersebut sah, namun dengan pengecualian apabila salah satu pihak sepatutnya mengetahui pihak yang lain telah bertindak dengan melanggar konstitusi. Sebagian besar negara sepakat dengan pendapat kedua, yang selaras dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Wina, yaitu: (1) A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance. (2) A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. Pasal 46 sebenarnya mempertimbangkan hubungan antara lembaga legislatif dengan eksekutif dalam sebuah negara. Tapi yang perlu diingat adalah tindakan pihak eksekutif untuk membuat perjanjian tetap mengikat negara tersebut. Hanya saja yang perlu dipertimbangkan adalah pejabat eksekutif mana yang berwenang untuk mewakili negara dalam membuat sebuah perjanjian internasional. Akan mustahil bila seorang tukang ketik dianggap dapat mewakili negara sebagaimana seorang Menteri Luar Negeri. Berdasarkan Pasal 7 (1) Konvensi, seseorang dianggap mewakili sebuah negara untuk menerima atau memberikan

4 66 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional kesaksian terhadap sebuah naskah perjanjian atau untuk tujuan memberikan persetujuan mengikatkan diri terhadap sebuah perjanjian, dengan syarat: a. Menunjukkan surat kuasa yang sepatutnya; atau b. Disimpulkan dari pengalaman dan praktik negara-negara atau keadaan lain yang menunjukkan bahwa orang tersebut memang mewakili negara untuk tujuan tersebut dan memberikan surat kuasa. Pasal 7 (2) menyatakan bahwa kepala negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri, dilihat dari sifat tugas dan fungsi mereka tanpa membawa surat kuasa, dipertimbangkan sebagai perwakilan negara untuk tujuan melakukan segala tindakan yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional. Pada kenyataannya, kondisi ini jarang terjadi, namun pernah terjadi sebagaimana kasus penandatangan Perjanjian London (London Accord 1960) yaitu perjanjian pendirian negara Cyprus yang ditandatangani oleh perwakilan Cyprus Yunani dan perwakilan Cyprus Turki. Keabsahan kedua orang tersebut dipertanyakan di Mahkamah Internasional sebagai penanda tangan perjanjian tersebut. 43 Terhadap ketentuan dalam Pasal 7, apabila tidak terpenuhi maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai perwakilan negara dalam membuat perjanjian internasional, dan bila telah 43 Baca Dunoff, Jeffrey L.International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2 nd edition. Aspen Publishers, NY Hlm

5 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 67 dibuat perjanjian maka perjanjian tersebut tidak memiliki akibat hukum, kecuali setelahnya dikonfirmasi kembali oleh negara tersebut. 2. Larangan Tertentu Dalam Menyetujui Perjanjian Walaupun seseorang telah mendapatkan kewenangan untuk membuat perjanjian atas nama negara, berdasarkan Pasal 7, terkadang bisa saja terjadi terdapat sebuah pembatasan atau larangan tertentu (specific restriction) terhadap kewenangannya tersebut. Contoh ketika perwakilan tersebut diingatkan untuk tidak menandatangani perjanjian kecuali perjanjian tersebut mengandung ketentuan khusus yang menurut negaranya sangat penting. Bila perwakilan tersebut melanggar ketentuan tersebut maka Pasal 47 menyatakan bahwa pelanggaran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian, kecuali larangan tersebut telah disampaikan kepada perwakilan negara lain sebelum perjanjian ditandatangani. Pasal 47 Konvensi Wina lengkapnya berbunyi, if the authority of a representative to express the consent of a State to be bound by a particular treaty has been made subject to a specific restriction, his omission to observe that restriction may not be invoke as invalidating the consent expressed by him unless the restriction was notified to the other negotiating State prior to his expressing such consent.

6 68 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 3. Penggunaan Kekerasan Dengan Ancaman (Threat) atau Kekuatan Militer (Use of Force) Pasal 52 Konvensi Wina menyatakan A treaty is void if its conclusion has been procured by the threat or use of force in violation of the principles of international law embodied in the Charter of the United Nations. Kekerasan dalam bentuk ancaman dan kekuatan militer ini dilarang oleh Pasal 2 (4) Piagam PBB. Dalam Konvensi Wina tidak dijelaskan maksud dari ancaman, sehingga penyusunan Perjanjian PBB tentang Konvensi Hukum Laut mengadopsi kedua Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina tentang Larangan Kekerasan Militer, Politik, dan Ekonomi dalam Pembuatan Perjanjian Internasional (Declaration on the Prohibition of Military, Political, or Economic Coercion in the Conclusion of Treaties). Dalam Paragraf Pertama Konvensi tersebut negara anggota mengutuk segala bentuk ancaman atau penggunaan tekanan, apakah dalam bentuk militer, politik, maupun ekonomi, oleh setiap negara untuk memaksa negara lain melakukan tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian internasional dengan melanggar prinsip persamaan kedaulatan negara dan kebebasan berkontrak. Perjanjian yang dilakukan di bawah ancaman kekerasan sering disebut dengan istilah unequal treaties, walaupun istilah ini terlihat tidak sesuai dengan maksud dalam Konvensi dan

7 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 69 sedikit mengambang, karena belum tentu perjanjian tersebut isinya tidak seimbang. Negara-negara yang berpendapat bahwa unequal treaty adalah tidak sah jarang sekali memberikan definisi tentang istilah itu sendiri. 4. Kekeliruan (Error) Kekeliruan adalah sebuah salah tafsir atau anggapan terhadap sebuah fakta yang dapat menghilangkan kesepakatan. Sebuah negara dapat menyatakan keliru terkait dengan sebuah fakta atau situasi yang diasumsikan oleh negara tersebut pada saat pembuatan perjanjian sehingga berakibat pada ditandatangani perjanjian tersebut. Maknanya, sekiranya tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan sebuah fakta atau kondisi, maka perjanjian tersebut tidak akan dibuat atau dilanjutkan oleh negara tersebut karena tidak akan ada kata sepakat dari para pihak. Kata sepakat yang sebenarnya hanya akan terjadi bila semua fakta atau situasi difahami secara sama oleh semua pihak. Pasal 48 Konvensi Wina selengkapnya adalah: (1) A State may invoke an error in a treaty as invalidating its consent to be bound by the treaty if the error relates to a fact or situation which was assumed by that State to exist at the time when the treaty was concluded and formed an essential basis of its consent to be bound by the treaty. (2) Paragraph 1 shall not apply if the State in question contributed by its own conduct to the error or if the circumstances were such as to put that State on notice of a possible error.

8 70 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional (3) An error relating only to the wording of the text of a treaty does not affect its validity; articles 79 then applies. Kekeliruan hanya dapat membatalkan perjanjian apabila kekeliruan tersebut mengenai unsur pokok atau dasar dari perjanjian itu sendiri. Namun bila kekeliruan terjadi hanya mengenai redaksi naskah perjanjian tidak akan membatalkan persetujuannya untuk terikat dengan perjanjian tersebut Penipuan (Fraud) Sebagaimana halnya kekeliruan, penipuan dapat mengakibatkan anggapan salah terhadap sebuah fakta, tapi berbeda dengan kekeliruan, penipuan dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain. Negara pihak yang menjadi korban dari tindakan tersebut dapat menyatakan telah terjadi penipuan dan menarik kesepakatannya untuk terikat pada perjanjian tersebut Korupsi Perwakilan Negara Pasal 50 Konvensi Wina mengatur mengenai korupsi yang dilakukan oleh perwakilan sebuah negara dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Korupsi dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung yang dilakukan oleh perwakilan negara tersebut dalam membuat perjanjian internasional. Pasal 50 lengkapnya berbunyi: if the expression of a 44 Pasal 48 (3) Konvensi Wina 45 Pasal 49 Konvensi Wina

9 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 71 State s consent to be bound by atreaty has been procured through the corruption of its representative directly or indirectly by another negotiating State, the State may invoke such corruption as invalidating its consent to be bound by the treaty. 7. Akibat Batalnya Perjanjian Internasional Akibat hukum terhadap perjanjian internasional yang tidak sah sangat tergantung dari penyebab tidak sahnya perjanjian tersebut. Dalam kasus perwakilan negara bukanlah orang yang sah secara hukum 46 dan perjanjian yang dibuat di bawah ancaman 47, kekerasan senjata 48, maupun perjanjian yang bertentang dengan asas-asas hukum umum 49, maka perjanjian tersebut tidak sah, atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan untuk kasus mengenai ketentuan hukum nasional tentang kewenangan membuat perjanjian, larangan ketentuan khusus, kekeliruan, penipuan, ataupun korupsi, serta penggunaan kekerasan militer dan ancaman merupakan pilihan bagi para pihak, karena perjanjian tersebut tidak batal secara otomatis melainkan dapat dibatalkan oleh para pihak. Perjanjian akan tetap sah selama belum ada pihak yang mengajukan 46 Pasal 8 Konvensi Wina 47 Pasal 51 Konvensi Wina 48 Pasal 52 Konvensi Wina 49 Pasal 53 Konvensi Wina

10 72 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional tuntutannya, dan hak untuk menuntut juga dibatasi pada kondisi tertentu. 50 B. Berakhirnya Perjanjian Internasional Pasal 26 Konvensi Wina menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya, para pihak tidak dapat melepaskan diri mereka dari kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian, suka atau tidak suka, kalau tidak, maka hubungan hukum yang timbul akan sia-sia. Aturan hukum tentang berakhirnya perjanjian mencoba memberi solusi yang cukup adil bagi semua pihak. Pasal 42 (2) Konvensi mencoba melindungi hubungan hukum di antara para pihak dengan mengatur sebagai berikut: The termination of a treaty, its denunciation or the withdrawal of a party, may take place only as a result of the application of the provisions of the treaty or of the present Convention. The same rule applies to suspension of the operation of a treaty. Sebagaimana halnya pembuatan perjanjian internasional, maka berakhirnya perjanjian juga harus didasarkan pada persetujuan bersama negara-negara. Pasal 18 UU Perjanjian Internasional mengatur mengenai hal-hal yang menyebabkan berakhirnya sebuah perjanjian internasional, yaitu, apabila: a. Terdapat kesepakatan antara para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; 50 Lihat Pasal 45 Konvensi Wina

11 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 73 c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. Objek perjanjian hilang; h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Selain itu ada juga kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan perjanjian internasional berakhir, yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian ini. 1. Persetujuan Para Pihak Pasal 54 Konvensi Wina menyebutkan bahwa berakhirnya perjanjian atau penarikan diri para pihak dapat dilakukan bila sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut, atau setiap saat dengan persetujuan dari semua para pihak setelah melakukan konsultasi dengan negara pihak lainnya. Sebaliknya, sebuah perjanjian multilateral tidak dapat berakhir hanya semata-mata dengan alasan jumlah negara anggota tidak memadai untuk melaksanakan perjanjian. Pada dasarnya, hampir semua perjanjian di abad modern ini telah memuat ketentuan berakhirnya perjanjian dan cara menarik diri dari perjanjian tersebut. Terkadang juga diatur secara jelas bahwa perjanjian akan berakhir pada waktu yang sudah ditentukan, atau ketika sebuah kejadian terjadi. Bahkan ada perjanjian yang memberikan waktu khusus bagi para pihak

12 74 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional semata-mata untuk menarik diri dari perjanjian yang sudah dibuat. Berakhirnya perjanjian atau menarik diri dari perjanjian dapat dilakukan dengan persetujuan semua pihak dalam perjanjian. Dulunya, perjanjian dapat diakhiri hanya melalui cara yang sama ketika perjanjian tersebut berlaku. Maksudnya kalau perjanjian tersebut berlaku dengan cara diratifikasi, maka untuk mengakhirinya juga cukup dengan meratifikasi perjanjian baru yang lain, dan tidak perlu mengakhiri perjanjian yang terdahulu. Tapi hal ini sudah tidak diakui lagi saat ini. Malah Komisi Hukum Internasional berpendapat bahwa perjanjian juga dapat diakhiri sepenuhnya dengan cara yang tidak langsung melalui tindakan para pihak, yang jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka sudah tidak perjanjian tersebut. berkehendak lagi untuk melanjutkan Hak penuh untuk melakukan pembubaran atau penarikan diri dari perjanjian pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali memang diatur dalam perjanjian tersebut. Namun peluang untuk itu tetap diberikan sebagaimana diatur melalui Pasal 56 Konvensi Wina, yang menyebutkan: (1) A treaty which contains no provision regarding its termination and which does not provide for denunciation or withdrawal is not subject to denunciation or withdrawal unless: a. It is established that the parties intended to admit the possibility of denunciation or withdrawal; or

13 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 75 b. A right of denunciation or withdrawal may be implied by the nature of the treaty. (2) A party shall give not less than twelve months notice of its intention to denounce or withdraw from a treaty under paragraph 1. Jadi pembubaran ataupun penarikan diri dari perjanjian diperbolehkan dengan cara memberitahukan sebelum 12 bulan dari masa tersebut. Selain beberapa cara di atas, ada juga cara berakhirnya perjanjian atas persetujuan bersama yang dilakukan kemudian hari, dinamakan abrogasi perjanjian. Abrogasi ini dapat dilakukan secara terang-terangan dengan membuat perjanjian baru untuk mengakhiri perjanjian lama. Atau bisa juga dilakukan secara diam-diam dengan membuat perjanjian baru mengenai hal yang sama tapi ketentuan substansinya sudah berbeda dengan yang lama. Abrogasi ini harus dilakukan dengan persetujuan semua negara para pihak. 2. Berakhirnya Perjanjian Karena Pelanggaran Perjanjian Pelanggaran terhadap isi perjanjian bilateral oleh salah satu pihak memberikan hak pada pihak lain untuk menghentikan perjanjian baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian tertentu saja dalam perjanjian. 51 Kekuasaan negara yang dirugikan untuk mengakhiri perjanjian merukan salah satu sanksi utama terhadap pelanggaran perjanjian. Negara yang 51 Pasal 60 (1) Konvensi Wina: A material breach of a bilateral treaty by one of the parties entitles to the other to invoke the breach as a ground for terminating the treaty or suspending its operation in whole or in part.

14 76 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional menderita kerugian juga dapat mengajukan gugatan kompensasi terhadap kerugian yang telah dialaminya akibat pelanggaran perjanjian tersebut. Permasalahan akan menjadi lebih rumit ketika perjanjian tersebut merupakan perjanjian multilateral dengan banyak negara anggota di dalamnya. Sebagai contoh nyata, ketika negara A melanggar perjanjian, maka tidak serta merta negara B akan dapat mengajukan penghentian perjanjian, karena hal ini bisa saja tidak adil bagi negara C, D, dan negara lainnya yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Menurut Pasal 60 (2) Konvensi Wina, pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak akan menimbulkan hak bagi pihak lain untuk mengakhiri pelaksanaan perjanjian sebagian ataupun seluruhnya, dengan persetujuan seluruh negara anggota. Harus digarisbawahi bahwa pelanggaran perjanjian hanya dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian apabila pelanggaran tersebut terkait dengan materi atau substansi yang sangat penting dan serius. Pasal 60 (3) memberikan pengertian dari pelanggaran materi (material breach) sebagai (a) a repudiation of the treaty not sanctioned by the present Convention ; atau (b) the violation of a provision essential to the accomplishedment of the object or purpose of the treaty. Pengertian ini tidak sempurna karena tidak menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan yang penting tidak mengandung pelanggaran materi kecual hal tersebut merupakan pelanggaran yang serius. Sebagai contoh, jika sebuah negara

15 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 77 membuat perjanjian untuk mengirimkan 1000 ton batu bara namun hanya mengirimkan 999 ton saja, maka berdasarkan pengertian Pasal 60 (3), salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan pengakhiran perjanjian hanya karena kekurangan pengiriman yang sangat kecil nilainya tersebut (jumlah batu bara disini merupakan hal yang substansial). Pelanggaran perjanjian tidak secara otomatis mengakhiri perjanjian, melainkan hanya memebrika peluang bagi pihak yang dirugikan untuk mengakhiri atau menghentikan perjanjian. Bahkan pihak yang dirugikan bisa kehilangan haknya untuk mengakhiri perjanjian apabila setelah mengetahui fakta bahwa telah terjadi pelanggaran, pihak tersebut menyetujui untuk tetap melanjutkan perjanjian, baik secara terang-terangan ataupun secara diam-diam melalui tindakannya yang tetap melanjutkan perjanjian. Perjanjian juga dapat diakhiri apabila terjadi sebuah peristiwa yang menyebabkan objek perjanjian tersebut musnah, atau peristiwa-peristiwa lain yang menyebabkan perjanjian tersebut tidka mungkin untuk dilaksanakan. Contohnya bila sebuah perjanjian dilakukan terkait penggunaan danau sebagai sumber energi, tentu akan mustahil perjanjian tersebut dilanjutkan bila danau yang menjadi objek perjanjian tersebut telah mengering. Hal ini juga tidak menyebabkan perjanjian berakhir dengan sendirinya, melainkan memberikan peluang bagi para pihak untuk memilih mengakhiri atau tetap melanjutkan perjanjian

16 78 Chapter Sixe Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional tersebut. Ketentuan ini bertentangan dengan kebiasaan hukum internasional terdahulu. Perubahan keadaan secara fundamental juga dapat memberikan peluang untuk mengakhiri perjanjian internasional (rebus sic stantibus) 52, Norma ius cogens atau munculnya kaidah hukum baru akan membatalkan dan mengakhiri sebuah perjanjian dengan sendirinya 53. Kovensi Wina tidak membahas masalah perang terkait dengan berakhirnya perjanjian internasional. Namun hukum kebiasaan menentukan bahwa perjanjian bilateral akan berakhir apabila terjadi perang di antara kedua negara tersebut. Sedangkan bagi perjanjian multilateral, perjanjian hanya dihentikan di antara sesama negara yang berperang saja, hal ini tidka berlaku apabila perjanjian tersebut memang dilakukan di saat perang terjadi dan terkait dengan kekerasan perang Akibat Berakhirnya Perjanjian Pasal 70, 71 (2) dan Pasal 72 Konvensi Wina mengatur mengenai akibat berakhirnya atau dihentikannya perjanjian. Pasal 70 (1) menyebutkan bahwa akibat berakhirnya perjanjian dapat melepaskan para pihak dari semua kewajiban untuk melaksanakan ketentuan dalam perjanjian, dan hal ini tidak akan 52 Pasal 62Konvensi Wina 53 Pasal 64 Konvensi Wina 54 Boer Mauna, Ibid. Hlm. 162.

17 Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional 79 mempengaruhi setiap hak, kewajiban maupun kondisi hukum yang telah dilakukan oleh para pihak sebelumnya. Apabila perjanjian berakhir karena bertentangan dengan norma hukum baru, maka para pihak harus menghindari sebisa mungkin untuk melaksanakan kewajiban yang timbul atas dasar norma yang bertentangan tersebut, dan mengusahakan untuk menyesuaikan dengan norma hukum baru, atau bila pertentangannya sangat fundamental, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Chapter Five. Pelaksanaan Perjanjian Internasional. Article 26 Vienna Convention on Treaty

Chapter Five. Pelaksanaan Perjanjian Internasional. Article 26 Vienna Convention on Treaty Chapter Five Pelaksanaan Perjanjian Internasional Article 26 Vienna Convention on Treaty Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith. Chapter Five

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau

Lebih terperinci

QUO VADIS PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAW MAKING TREATY OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI. Gautama Budi Arundhati.

QUO VADIS PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAW MAKING TREATY OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI. Gautama Budi Arundhati. QUO VADIS PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAW MAKING TREATY OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Gautama Budi Arundhati Abstract The Constitutional Court of Repubic of Indonesia as the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang menyumbang sekitar 880,17 triliun pada Produk Domestik Bruto

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang menyumbang sekitar 880,17 triliun pada Produk Domestik Bruto 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor pendukung utama ekonomi Indonesia yang menyumbang sekitar 880,17 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia

Lebih terperinci

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1) Chapter Three Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

INTERNASIONAL ; BAGIAN 2

INTERNASIONAL ; BAGIAN 2 2 PEBJANJIAN INTERNASIONAL ; BAGIAN 2 No. No. _........... Tgl. ----. K l;,e.s - - - ------- H a diah/ Beli._ - ----- ---. ' ;...,. Dari... -- - --. --. -. - --- '--- ---.! '.... BAGIAN 2 341.()4 \'A-R

Lebih terperinci

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: BAB IV HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menunjukkan hubungan hukum nasional dengan hukum internasional SASARAN

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APABILA TIDAK HANYA SATU KONSUMEN YANG MERASA TELAH DIRUGIKAN OLEH PRODUK YANG SAMA

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APABILA TIDAK HANYA SATU KONSUMEN YANG MERASA TELAH DIRUGIKAN OLEH PRODUK YANG SAMA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APABILA TIDAK HANYA SATU KONSUMEN YANG MERASA TELAH DIRUGIKAN OLEH PRODUK YANG SAMA Oleh : Kadek Anggiana Dwi Cahyani I Wayan Wiryawan Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HAK CIPTA ANTARA DAN AMERIKA SERIKAT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa di Washington, Amerika Serikat, pada tanggal

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

-2- Peraturan Presiden tentang Pengesahan Final Acts of the World Conference on International Telecommunications, Dubai, 2012 (Akta-Akta Akhir Konfere

-2- Peraturan Presiden tentang Pengesahan Final Acts of the World Conference on International Telecommunications, Dubai, 2012 (Akta-Akta Akhir Konfere No.3, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Akta Akhir. Konferensi. Telekomunikasi Internasional. Dubai, 2012. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa di Honolulu, Amerika Serikat, pada tanggal 5 September 2000, Konferensi Tingkat Tinggi Multilateral mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN FINAL ACTS OF THE PLENIPOTENTIARY CONFERENCE, GUADALAJARA, 2010 (AKTA-AKTA AKHIR KONFERENSI YANG BERKUASA PENUH, GUADALAJARA, 2010) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA Disusun oleh : Robinson Smarlat Muni NPM : 07 05 09786 Program Studi

Lebih terperinci

BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami hakikat dan dasar berlakunya Hukum Internasional serta kaitannya dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch BAB V PENUTUP V.1 KESIMPULAN Dari uraian dan pembahasan yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch Profit Tax

Lebih terperinci

BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat membandingkan antara hubungan diplomatik dengan hubungan konsuler. SASARAN BELAJAR (SB)

Lebih terperinci

Oleh Malahayati 1. Keywords: Paksaan (Coercion), Perjanjian Internasional (Treaty), London Treaty

Oleh Malahayati 1. Keywords: Paksaan (Coercion), Perjanjian Internasional (Treaty), London Treaty Penggunaan Paksaan Dalam Penandatanganan Perjanjian Internasional (Analisis Perjanjian London Tahun 1960) The Use of Coercion in Signing International Treaty (Legal Analysis to the London Treaty 1960)

Lebih terperinci

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1992 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF THE SUDAN ON ECONOMIC AND

Lebih terperinci

RESUME PAJAK INTERNASIONAL

RESUME PAJAK INTERNASIONAL RESUME PAJAK INTERNASIONAL ARTIKEL 5 & 7 DISUSUN OLEH : SIGIT HARNOWO (1106134575) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2013 COMMENTARY OF ARTICLE 5 CONCERNING THE DEFINITION

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisa terhadap judul dan topik pembahasan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengesahan perjanjian internasional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya dengan menggunakan sarana hukum atau berlandaskan pada hukum dan aturan

Lebih terperinci

BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami kedudukan subyek hukum dalam hukum internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA Oleh: I Made Wirayuda Kusuma A.A. Ngurah Wirasila Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRAK Proses pembuatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS IN THE WESTERN AND CENTRAL PENGELOLAAN SEDIAAN

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 159 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON MUTUAL ADMINISTRATIVE ASSISTANCE IN TAX MATTERS (KONVENSI TENTANG BANTUAN ADMINISTRATIF BERSAMA DI BIDANG PERPAJAKAN)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.316, 2014 PENGESAHAN. Konvensi. Bantuan Administratif. Perpajakan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 159 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON MUTUAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN

Lebih terperinci

PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL WORKSHOP STANDARDISASI PEDOMAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Umbara Setiawan Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DAN ASAS PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC PROSUNT TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA CELAH TIMOR ANTARA INDONESIA, AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE Oleh : Stephanie Maarty K Satyarini

Lebih terperinci

STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA Oleh Ketut Surya Darma I Made Sarjana A.A. Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ATAS PENGGUNAAN KLAUSULA BAKU DALAM TRANSAKSI PENYEDIA JASA PENGIRIMAN YANG DILAKUKAN PT. CITRA VAN

TINJAUAN YURIDIS ATAS PENGGUNAAN KLAUSULA BAKU DALAM TRANSAKSI PENYEDIA JASA PENGIRIMAN YANG DILAKUKAN PT. CITRA VAN vi TINJAUAN YURIDIS ATAS PENGGUNAAN KLAUSULA BAKU DALAM TRANSAKSI PENYEDIA JASA PENGIRIMAN YANG DILAKUKAN PT. CITRA VAN. TIKI (TITIPAN KILAT) DIKAITKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III 52 BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU- IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The Association of Southeast Asian Nations 3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 56/1994, PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN IRELAND ON COPYRIGHT PROTECTION Oleh: PRESIDEN

Lebih terperinci

SOAL JAWAB 110 : HUKUM DAN ASURANSI 26 SEPTEMBER 2000

SOAL JAWAB 110 : HUKUM DAN ASURANSI 26 SEPTEMBER 2000 SOAL JAWAB 110 : HUKUM DAN ASURANSI 26 SEPTEMBER 2000 BAGIAN I 1. Uraikan 2 (dua) bidang usaha perasuransian menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam Bab II yang berjudul Bidang Usaha

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN AMENDMENT TO THE BASEL CONVENTION ON THE CONTROL OF TRANSBOUNDARY MOVEMENTS OF HAZARDOUS WASTES AND THEIR DISPOSAL ( AMENDEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1. Aspek-aspek Perjanjian Internasional 2.1.1. Istilah-Istilah Perjanjian Internasional Mengenai peristilahan dari perjanjian internasional, jika

Lebih terperinci

Sumber Hukum Internasional : Prinsip Prinsip Umum Hukum (General Principles of Law)

Sumber Hukum Internasional : Prinsip Prinsip Umum Hukum (General Principles of Law) Sumber Hukum Internasional : Prinsip Prinsip Umum Hukum (General Principles of Law) Prinsip umum hukum adalah salah satu sumber hukum internasional.prinsip umum hukum adalah salah satu dari sumber hukum

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan masyarakat dengan cara merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi,

BAB I PENDAHULUAN. keamanan masyarakat dengan cara merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang sifatnya serius karena menimbulkan masalah serta ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat dengan

Lebih terperinci

RESERVASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

RESERVASI PERJANJIAN INTERNASIONAL MAKALAH HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL RESERVASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi terhadap Reservasi Indonesia dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1991 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE PEOPLE'S REPUBLIC OF BULGARIA ON ECONOMIC

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci