BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1. Aspek-aspek Perjanjian Internasional Istilah-Istilah Perjanjian Internasional Mengenai peristilahan dari perjanjian internasional, jika dikaitkan dengan konteks praktek yang berkembang dalam pembentukan perjanjian internasional oleh negara-negara di dunia telah melahirkan berbagai macam bentuk peristilahan atau terminologi dalam perjanjian internasional itu sendiri. Namun apapun peristilahan yang digunakan dalam pembentukan perjanjian internasional tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang telah sepakat dalam mengadakan perjanjian internasional tersebut. Adanya perbedaan dari peristilahan perjanjian internasional yang dibuat, dimaksudkan untuk mengelompokan suatu perjanjian internasional tersebut atas dasar kesamaan materi atau subtansi apa yang diatur. Kemudian motif lain dari berkembangnya peristilahan dari perjanjian internasional adalah untuk menilai bobot dari perjanjian internasional satu dengan lainnya yang juga memiliki perbedaan substansi. Selain itu, adanya perbedaan peristilahan pembentukan perjanjian internasional ini dimaksudkan untuk membedakan antara perjanjian internasional yang baru dibuat dengan perjanjian internasional yang telah ada sebelumnya. Adapun berbagai peristilahan atau terminologi yang ada dalam perjanjian internasional adalah sebagai berikut: a. Perjanjian Internasional/Traktat (Treaty) 20

2 Penggunaan istilah treaty dalam pembentukan perjanjian internasional, dapat diklasifikasikan kedalam dua pengertian, yakni pengertian umum dan pengertian khusus. Berdasarkan pengertian umum, bahwa treaty diartikan sebagai perjanjian internasional. Maksutnya adalah bahwa perjanjian internasional dalam arti umum ini, mencakup segala hal yang ada dalam perjanjian internasional itu sendiri, 1 baik subyek yang terlibat dalam pembentukan perjanjian internasional dan juga substansi apa yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut, serta adanya keterikatan perjanjian internasional terhadap hukum internasional. Kemudian berdasarkan pengertian khusus, perjanjian internasional diartikan sebagai traktat. Dalam artian ini bahwa penggunaan istilah traktat dalam pembentukan perjanjian internasional biasanya digunakan dalam perjanjian internasional dengan materi atau substansi yang sangat mendasar. 2 Kemudian dalam praktiknya, perjanjian internasional tersebut membutuhkan adanya pengesahan/ratifikasi. Sebagai contoh perjanjian internasional dalam konteks ini adalah mengatur mengenai masalah perdamaian, ekstradisi, persahabatan dan lain sebagainya. 3 b. Konvensi (Convention) Penggunaan istilah convention dalam pembentukan perjanjian internasional, dapat pula dibedakan menjadi dua pengertian, yakni pengertian secara umum dan khusus. Pengertian secara umum dalam peristilahan ini yakni bahwa convention diartikan sebagai perjanjian internasional. Jika kita kaitkan dengan ketentuan Article 38 Statute of The International Court of Justice (selanjutnya disebut dengan Statuta Mahkamah Internasional) yang menyebutkan adanya 1 T.O. Elias, 1974, The Modern Law of Treaties, Oceana Publications, INC, Dobbs Ferry, NY., h Boer Mauna, op.cit, h Kholis Roisah, 2015, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktik, Setara Press, Malang, h. 6.

3 penggunaan istilah convention untuk menunjuk suatu pejanjian internasional yang juga dinyatakan sebagai salah satu sumber hukum internasional. Atas dasar tersebut maka istilah ini dinyatakan dalam kedudukan tertinggi, karena digunakan dalam praktek internasional. 4 Kemudian dalam artian khusus, bahwa convention merujuk kepada perjanjian internasional yang bersifat luas dan memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk ikut berpartisipasi. Selain itu dalam pengertian ini, perjanjian internasional dengan istilah convention memiliki sifat law-making, yang artinya bahwa merumuskan atau menciptakan kaidah-kadihan hukum bagi masyarakat internasional. 5 Selain itu dalam perjanjian internasional yang diistilahkan dengan convention ini, digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur tentang masalah yang besar serta penting dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas baik dalam lingkup regional maupun umum. c. Persetujuan (Agreement) Penggunaan istilah agreement dalam pembentukan perjanjian internasional, biasanya ditujukan bagi perjanjian internasional yang materi atau substansinya bersifat teknis dan administratif. Jika dibandingkan dengan peristilahan lainnya, maka agreement memiliki ruang lingkup yang lebih sederhana dan relatif kecil. Penggunaan istilah agreement biasanya ditemukan pula dalam kerjasama pada bidang perkenomian. Misalnya, perjanjian internasional dalam bidang perpajakan, perlindungan investasi atau penanaman modal, dan dalam perjanjian bantuan keuangan. 6 4 Ibid, h Ibid. 6 Ibid, h. 92.

4 d. Piagam (Charter) Penggunaan istilah charter dalam pembentukan perjanjian internasional, sangat erat kaitannya dengan organisasi internasional. Maksutnya adalah, dalam pembentukannya suatu organisasi internasional menggunakan istilah charter untuk konstitusi atau dasar dari dibentuknya organisasi tersebut. e. Kovenan (Covenant) Penggunaan istilah covenant dalam pembentukan perjanjian internasional, hampir sama dengan istilah charter yakni erat kaitannya dengan perjanjian internasional yang kemudian dijadikan sebagai konstitusi bagi suatu organisasi internasional. 7 Hanya saja dalam istilah ini kita dapat menemukan contoh lain yang berbeda dan tidak berhubungan dengan organisasi internasional yakni adanya International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) pada tanggal 16 Desember f. Deklarasi (Declaration) Penggunan istilah declaration dalam pembentukan perjanjian internasional, erat kaitannya dengan suatu perjanjian internasional yang mengatur mengenai suatu ketentuan umum dari para pihak untuk melakukan suatu tindakan atau langkah-langkah yang bijaksana dimasa yang akan datang. 8 Selain itu yang menjadi ciri khas dalam declaration adalah dari segi isinya, declaration tidak mengatur mengenai hal-hal yang spesifik seperti misalanya bagaimana cara berlakunya perjanjian internasional tersebut, kemudian siapa pihak yang bertanggung jawab dan lain 7 Wayan Parthiana, op.cit, h Boer Mauna, op. cit, h. 93.

5 sebagainya. Akan tetapi hal-hal yang ada dalam declaration hanya berisi prinsip-prinsip dan suatu pernyataan umum akan sikap pihak tertentu terhadap permasalahan yang sedang dibahas. g. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) Penggunaan istilah MoU pada prakteknya dapat merupakan perjanjian yang sifatnya ksepakatan dasar atau induk dan perjanjian yang bersifat implementatif, bahkan dalam MoU tidak mengatur hak dan kewajiban secara jelas, serta dalam pelaksanaanya memerlukan perjanjian lagi. 9 Selain itu, penggunaan istilah MoU dalam pembentukan perjanjian internasional, merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional dari suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, MoU ini dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan. 10 h. Protokol (Protocol) Penggunaan istilah protocol dalam pembentukan perjanjian internasional, merupakan salah satu jenis perjanjian internasional yang kurang formal menurut J G Starke. 11 Hal tersebut di dasari atas adanya jenis-jenis dari protocol itu sendiri, antara lain protocol of signature, optional protocol, dan protocol based on a framework treaty, 12 yang keseluruhannya bersifat perjanjian tambahan bagi ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian utamanya. 9 Kholis Roisah, op.cit, h Ibid, h Wayan Parthiana, op.cit, h Boer Mauna, op.cit, h

6 i. Statuta (Statute) Penggunaan istilah statute dalam pembentukan perjanjian internasional, dapat disamakan dengan charter atau piagam. Hal ini dikarenakan pada dasarnya istilah ini erat kaitannya dengan pembentukan organisasi internasional yang diawali oleh pembentukan konstitusi yang berasal dari perjanjian internasional dengan istilah statute. j. Pakta (Pact) Penggunaan istilah pact dalam pembentukan perjanjian internasional, erat kaitannya dengan peruntukan perjanjian internasional dalam bidang militer, pertahanan, dan keamanan. 13 k. Pengaturan (Arrangement) Penggunaan istilah arrangement dalam pembentukan perjanjian internasional mengacu kepada suatu bentuk perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian yang sudah ada sebelumnya (perjanjian induk). Dalam istilah ini juga merujuk kepada suatu perjanjian internasional yang bersifat implementatif, serta berkaitan dengan suatu perjanjian yang memiliki jangka waktu relatif singkat serta bersifat teknis Pengertian Perjanjian Internasional Mengenai pengertian dari perjanjian internasional, kita dapat mencari dari dua sumber utama, yakni melalui berbagai ketentuan perundang-undangan baik pada tingkat nasional maupun 13 Wayan Parthiana, op.cit, h Kholis Roisah, op.cit, h. 13.

7 internasional serta melalui pendapat para ahli yang mendefinisikan perjanjian internasional itu sendiri. Pertama, jika kita tinjau pengertian perjanjian internasional berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional, khususnya UU Perjanjian Internasional Pasal 1 angka 1 yang menjelaskan bahwa: bahwa: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Sementara dalam UU Hubungan Luar Negeri khususnya Pasal 1 angka 3 menjelaskan Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. Kedua, jika kita tinjau pengertian perjanjian internasional berdasarkan peraturan internasional, khususnya ketentuan Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut: Treaty means an international agreement conclude between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever is particular designation Yang artinya bahwa perjanjian internasional adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya.

8 Sementara dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986 yang menyatakan sebagai berikut: Treaty means an international agreement governed by international law and conclude in written form: i. between one or more States and one or more international organizations; or ii. between international organizations, whether that agreement is embodied in a single instruments and whatever its particular designation. Yang artinya bahwa Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: i. antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau ii. sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. Kemudian pengertian dari perjanjian internasional pun dikemukakan oleh beberapa ahli. Pertama, Wayan Parthiana menglasifikasikan pengertian Perjanjian Internasional menjadi pengertian dalam arti luas dan arti sempit. Yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Perjanjian Internasional merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. 15 Sementara Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa Perjanjian intenasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 16 Kemudian para ahli hukum internasional juga memberikan pandangannya mengenai definisi perjanjian internasional antara lain, menurut O Connel perjanjian internasiona adalah an agreement between states, governed by international law as district from municipal law, the form and manner of wich is material legal consequances of the act. 17 Kemudian para ahli yang lain 15 Wayan Parthiana, op.cit, h Mochtar Kusumaatmadja, loc.cit. 17 O Connel DP, International Law, Volume I, Stevens, London: Stevens 1965, h. 146.

9 berpendat bahwa tidak hanya negara yang dapat menjadi subyek dalam pembentukan perjanjian internasional. Pendapat tersebut diantaranya dikemukakan oleh Herman Mosler yang menjelaskan bahwa perjanjian internasional adalah Treaties are contractual angangement between subject of international law destined to create rights and obligation for the parties. 18 Kemudian Maclom Show berpendapat bahwa A treaty is basically an agreement between parties on the international scene. Althought may be conclude, or made, between states and international organizations, they are primarily concerned with relation between state Unsur-unsur Perjanjian Internasional Berdasarkan pengertian perjanjian internasional seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, maka dapat kita sebut dan jelaskan unsur-unsur yang harus dipenuhi dan harus ada, agar suatu perjanjian internasional dapat dikatakan sempurna. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a. Kata Sepakat Unsur ini merupakan unsur utama dari adanya suatu perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan tanpa ada kata sepakat tidak mungkin tebentuknya suatu perjanjian internasional. Kata sepakat ini dapat pula dikatakan sebagai suatu asas hukum yang umum, karena segala perbuatan hukum khususnya pada bidang perjanjian, umumnya pun wajib mengandung unsur kata sepakat atau yang dapat pula disebutkan dengan istilah asas konsensualisme. Jika kita melihat 18 Herman Mosler, The International Society as a Legal Community, The Nederland: Sjnoff and Nor doff, 1980, h Kholis Roisah, op.cit, h. 2.

10 secara umum pula, berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Burgelijk Wetbook (BW) yang menyebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan oleh para pihak. Selai itu kata sepakat juga mengandung tiga pengertian dalam konteks pembentukan perjanjian internasional antara lain, pertama bahwa kesepakatan yang sah dalam pembentukan perjanjian internasional adalah kesepakatan yang dilakukan oleh subyek hukum internasional, kedua bahwa kesepakatan yang telah terjadi harus tunduk kepada hukum internasional baik dalam bentuk tertulis, maupun hukum internasional yang tidak tertulis (international customary law) dan yang ketiga, bahwa kesepakatan yang dimaksud dalam konteks ini, kesepakatan yang akan menimbulkan suatu akibat hukum. Akibat hukum yang dimaksud adalah adanya hak dan kewajiban yang dimilki oleh para pihak dalam pembentukan perjanjian internasional sebagai konsekuensi logis dari adanya pembentukan perjanjian internasional. 20 b. Adanya Subyek Hukum Subyek Hukum yang dimaksud dalam konteks perjanjian internasional, tentu saja subyek hukum internasional. Bedasarkan ketentuan hukum internasional setidaknya ada 7 (tujuh) subyek hukum yang dapat mejadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, antara lain Negara, Negara Bagian, Tahta Suci atau Vatikan, Wilayah Perwalian, Organisasi Internasional, Kelompok yang sedang berperang atau kaum Belligerensi, dan Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. Adanya subyek hukum internasional sebagai pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, merupakan konsekuensi logis dari hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap subyek hukum internasional, termasuk mengadakan atau menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian intenasional. 20 Ibid, h. 3.

11 Namun Wayan Parthiana menjelaskan tidak semua subyek hukum internasional memiliki kemampuan yang sama dalam pembentukan perjanjian internasional. Maksutnya adalah bahwa adanya pengklasifikasian kekuatan para subyek hukum internasional dalam mengadakan perjanjian internasional. Misalnya ada subyek hukum internasional yang memilki kapasitas penuh (full capacity) dalam mengadakan perjanjian internasional seperti negara. 21 Namun ada juga subyek hukum internasional yang memiliki kekuatan terbatas pada bidang atau lapangan apa yang dikuasai, misalnya seperti suatu organisasi internasional yang bergerak dalam bidang kesehatan tidak boleh melampaui kekuatannya untuk mengadakan perjanjian internasional diluar daripada bidang kesehatan. c. Adanya Suatu Obyek Tertentu Suatu obyek dalam perjanjian internasional merupakan salah satu unsur yang wajib ada dalam pembentukan perjanjian internasional. Hal ini sangat beralasan dengan argumentasi bahwa para pihak dalam mengadakan perjanjian internasional tentu saja menginginkan sesuatu dari pihak lainnya. Obyek merupakan salah satu main point atau poin utama dalam terciptanya suatu perjanjian internasional. Biasanya untuk mengetahui apa obyek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian internasional kita dapat melihat dari judul atau nama suatu perjanjian internasional tertentu. Kejelasan obyek dalam perjanjian internasional juga menjadi penting karena melalui obyek lah dapat menimbulkan berbagai dampak mulai dari dampak moral yang paling rendah, dampak politik, hingga dampak hukum dengan adanya suatu perkara atau kasus jika terjadi suatu permasalahan ataupun sengketa atas obyek yang ada dalam suatu perjanjian internasional tersebut. 21 Wayan Parthiana, op.cit, h. 19.

12 d. Tunduk pada Rezim Hukum Internasional Mengenai unsur ini Boer Mauna menjelaskan bahwa, suatu perjanjian internasional yang sesuai adalah perjanjian internasional tersebut diatur oleh rezim hukum internasional. Maksutnya adalah suatu perjanjian internasional wajib tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang juga memiliki dampak pada ranah hukum publik. Tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional apabila dasar mengikat dari perjanjian internasional tersebut ada pada ketentuan hukum setempat yang hanya berlaku pada beberapa kalangan atau wilayah maupun hal-hal yang menyentuh ranah privat atau kepentingan salah satu pihak, meskipun pihak dalam pembentukan perjanjian internasional tersebut adalah negara atau organisasi internasional yang merupakan subyek hukum internasional yang memilki hak dalam mengadakan perjanjian internasional berdasarkan kekuatan masing-masing pihak Subyek-Subyek Perjanjian Internasional Dalam konteks pembentukan perjanjian internasional, subyek yang dimaksud adalah tentu saja subyek-subyek hukum internasional yang dikenal dan diakui memiliki kemampuan untuk menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional. Jika kemudian kita melihat dari sejarah perkembangan hukum internasional khususnya pada masa abad duapuluh dan setelah perang dunia kedua, telah terjadi suatu peningkatan pada pola hubungan-hubungan internasional dan juga lahirnya organisasi internasional yang bersifat permanen. 23 Yang kemudian berbagai hubungan-hubungan internasional tersebut tidak hanya dilakukan oleh negara sebagai actor tetapi pihak lain seperti organisasi internasional maupun pihak 22 Boer Mauna, op.cit, h Wayan Parthiana, op.cit, h. 18.

13 lain mulai mengeksiskan diri pada pergaulan internasional melalui berbagai cara. Oleh sebab perkembangan tersebut, negara tidak lagi satu-satunya subyek hukum internasional yang diakui, namun subyek-subyek hukum internasional berkembang kearah yang lebih variatif. Para subyek hukum internasional lainnya ini disebut dengan istilah non state actors. Namun demikian, meskipun sudah dikenal dan diakui sebagai subyek hukum internasional, tidak lantas membuat tiap-tiap subyek hukum internasional memiliki kemampuan yang sama dalam mengadakan perjanjian internasional. Setiap subyek hukum internasional memiliki batasanbatasan tertentu terkait dengan pembentukan perjanjian internasional yang sama sekali berbeda satu sama lain. Adapun subyek hukum internasional dalam konteks pembentukan perjanjian internasional adalah sebagai berikut: a. Negara Negara dalam kedudukannya sebagai pihak dalam pembentukan perjanjian internasional menurut wayan parthiana adalah subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh untuk mengadakan atau untuk duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Hak suatu negara untuk mengadakan perjanjian internasional adalah merupakan atribut dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. 24 Kemudian berkaitan dengan obyek-obyek perjanjian internasional yang dapat dibentuk oleh negara, itu erat kaitannya dengan dua hal. Pertama berkaitan dengan konstitusi dari negara terkait mengenai asas-asas, kaidah-kaidah, yang menjadi cita-cita negara dalam konteks pembentukan perjanjian internasional yang dapat menjadi salah satu cara untuk mensejahterakan warga negara. Kedua berkaiatan dengan politik luar negeri dan dalam negeri negara terkait. Hal 24 Ibid, h. 19.

14 ini jelas saja menjadi faktor penentu dari perjanjian internasional disuatu negara, karena pada hakikatnya suatu perjanjian internasional memilki dampak yang bersifat publik, oleh karena itu akan menjadi penting pertimbangan politis dalam negeri serta strategi dan kebijakan politik luar negeri dari suatu negara dalam mengawal dan mengarahkan pembentukan perjanjian internasional. b. Negara Bagian Berbicara mengenai negara bagian, tentu saja akan berkaitan dengan bentuk dari suatu negara. Bentuk negara yang mengenal adanya negara bagian, tentu saja negara dengan bentuk federasi atau bisa juga disebut dengan negara federal. Dalam konteks pembentukan perjanjian internasional ada dua model yang diterapkan oleh negara-negara federal menurut wayan parthiana. Pertama, adalah negara federal yang hubungan-hubungan internasionalnya dilaksanakan oleh pemerintah negara federal, sedangkan pemerintah negara bagian hanya mengurus dan mengatur masalah-masalah dalam negeri, dan tidak berhak mengurus dan mengatur masalahmasalah internasional. Jadi hanya negara federal yang dapat mewakili negara dalam konteks pembentukan perjanjian internasional. Kedua, adalah negara federal yang memberikan hakhak dan kewenangan kepada negara bagiannya, dalam batas-batas tertentu untuk mengadakan hubungan-hubungan internasional, yang salah satu bentuknya adalah mengadakan atau menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional. 25 c. Tahta Suci atau Vatikan Tahta Suci atau Vatikan, yang dikepalai oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi dari gereja katolik, juga diakui sebagai subyek hukum internasional. Diakuinya tahta suci sebagai subyek 25 Ibid, h. 20.

15 hukum internasional mempunyai latar belakang sejarahnya tersendiri. Walaupun Tahta Suci bukanlah negara dalam pengertian yang sebenarnya tetapi praktis kedudukannya sama dengan negara, yang salah satu pola hubungannya Tahta Suci dapat menjalin hubungan diplomatik dalam bidang keagamaan dengan negara lain ataupun organisasi internasional. 26 d. Organisasi Internasional Suatu organisasi internasional dibentuk berdasarkan perjanjian internasional dalam istilah covenant ataupun statute. Dimana perjanjian internasional tersebut langsung menjadi konstitusi dari organisasi internasional tersebut. Kemudian dalam konteks pembentukan perjanjian internasional yang dilakukan oleh organisasi internasional, suatu organisasi internasional memiliki kewenangan dan cakupan yang cukup besar. Hanya saja organisasi internasional harus dan wajib taat kepada konstitusi dari organisasi internasional tersebut yang sudah terlebih dahulu menentukan batasan serta arahan dari organisasi internasional itu sendiri. Selain itu organisasi internasional hanya dapat mengadakan perjanjian internasional pada ranahnya saja, tidak boleh meluas kepada ranah lain yang tidak disebutkan dalam konstitusi dari organisasi internasional tersebut Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional Mengenai bentuk dari perjanjian internasional, secara umum dapat dibedakan menjadi sebagai berikut: 26 Ibid, h. 21.

16 a. Perjanjian Internasional yang berbentuk tertulis Perjanjian internasional dalam bentuk tertulis ini merupakan bentuk yang sering dilakukan dalam berbagai praktik pembentukan perjanjian internasional. Hal ini didasari atas adanya suatu kepastian serta ketegasan atas kekuatan mengikat dari perjanjian internasional itu sendiri. Selain itu dalam bentuk ini akan terciptanya suatu kejelasan mengenai sasaran apa yang dingin dituju oleh para pihak dalam membentuk suatu perjanjian internasional. Dari segi kepastian hukum, perjanjian internasional dalam bentuk ini akan dapat menjadi bukti yang otentik dan sah dalam kaitannya terjadi suatu pelanggaran dikemudian hari. b. Perjanjian Internasional Tidak Tertulis Perjanjian internasional tak tertulis, pada umumnya adalah merupakan pernyataan secara bersama atau secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya masing-masing mengenai suatu permasalahan tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak. 27 Jika mengacu kepada kenyataan yang terjadi, pernyataan yang bemuatan positif dari representatif suatu negara baik itu presiden atau menteri luar negeri dalam menanggapi suatu permasalahan dari pihak lain, secara langsung akan memiliki ikatan seperti bentuk perjanjian untuk ditaati dan dilaksanakan, hanya saja ikatan tersebut hanya bersifat tanggung jawab moral atau morale obligation dan belum bisa dikatakan telah mengikat secara hukum layaknya perjanjian internasional dalam bentuk tertulis Macam-Macam Perjanjian Internasional 27 Ibid, h. 35.

17 Adapun macam-macam dari perjanjian internasional dapat dilihat dari berbagai macam pendekatan, antara lain sebagai berikut: 28 a. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah negara yang menjadi pihak 1. Perjanjian internasional bilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang jumlah dari pihak pembentukannya, hanya terdiri dari dua negara saja; 2. Perjanjian internasional multilateral, yaitu suatu perjanjian internasional yang jumlah dari pihak pembentukannya, terdiri dari lebih dari dua negara. b. Perjanjian Internasional ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak dalam pembentukannya 1. Perjanjian internasional khusus atau tertutup, yaitu suatu perjanjian internasional yang substansinya hanya berisi mengenai kepentingan dan maksud dari para pihak yang mengadakan perjanjian saja, jadi tidak dimungkinkan adanya pihak lain karena memang tidak memiliki kepentingan; 2. Perjanjian internasional terbuka, yaitu suatu perjanjian internasional yang memungkinkan adanya pihak lain untuk ikut menjadi pihak dalam suatu perjanjian internasional, meskipun sebelumnya pihak tersebut tidak termasuk kedalam pihak yang mengadakan perjanjian internasional. Adanya pihak baru dalam jenis perjanjian internasional ini dinyatakan melalui pernyataan untuk mengikatkan diri atau consent to be bound dan bersedia untuk tunduk pada ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional tersebut. c. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukumnya 1. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku hanya pada pihak terkait, yaitu suatu perjanjian internasional yang substansinya menciptakan suatu 28 Ibid, h

18 kaidah hukum namun dari segi keterikatannya hanya mengikat pihak yang dinyatakan secara jelas dalam perjanjian, dan tidak mengikat pihak lain. 2. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku terbatas dalam suatu kawasan, yaitu suatu perjanjian internasional yang sifatnya terbuka bagi pihak lain yang sebelumnya tidak menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional, hanya saja dengan syarat bahwa pihak terkait harus berasal dari suatu kawasan yang sama. Misalnya negara-negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations (ASEAN) 3. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum, yaitu suatu perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum serta berlaku secara umum. Adapun alasan dari berlakunya secara umum dalam jenis perjanjian ini dikarenakan substansi yang diatur pastilah bersinggungan dan berkaitan dengan kepentingan seluruh negara di dunia. Salah satu contoh dari perjanjian internasional yang berlaku secara umum Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun Unsur-Unsur Formal Perjanjian Boer Mauna menjelaskan bahwa berkaitan dengan unsur-unsur formal dari suatu perjanjian terdiri dari mukadimah, batang tubuh, klausula-klausula penutup dan annex, yang kemudian penjelasannya adalah sebagai berikut: 29 a. Mukadimah Bagian mukadimah bisa dikatakan sebagai bagian pembuka dari suatu perjanjian internasional, yang biasanya terdiri dari penyebutan para pihak atau negara-negara yang menjadi 29 Boer Mauna, op.cit, h

19 pihak dalam pembentukan perjanjian internasional tersebut. Selain itu dalam bagian ini biasanya berisi mengenai spirit atau semangat dari dibentuknya suatu perjanjian internasional. b. Batang Tubuh Pada bagian batang tubuh ini segala substansi dari suatu perjanjian internasional itu diatur dan kemudian dari segi penulisan biasanya pelbagai hal yang diatur dan ingin dituju, dituliskan melalui bentuk pasal-pasal dan jumlahnya tergantung dari hal apa yang diatur dan dibicarakan. c. Ketentuan Penutup Pada bagian ketentuan penutup ini biasanya berisi mengenai beberapa mekanisme pengaturan seperti mulai berlaku, syarat-syarat berlaku, lama berlakunya perjanjian, amandemen, revisi, aksesi dan lain-lainnya. 30 d. Annex Pada bagian ini berisi mengenai ketentuan-ketentuan teknik atau tambahan mengenai satu pasal atau keseluruhan perjanjian dan terpisah dari perjanjian. Walaupun terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dengan perjanjian dan memiliki kekuatan hukum yang sama seperti pasal-pasal dalam perjanjian Proses Perumusan dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Secara yuridis, berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional disebutkan tahapan dari pembentukan perjanjian internasional adalah sebagai berikut: 30 Ibid, h. 107.

20 a. Penjajakan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan penjajakan adalah merupakan tahapa awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. Dapat dicermati berdasarkan penjelasan diatas bahwa pada proses ini erat kaitannya dengan suatu langkah-langkah informal yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak yang ingin mengadakan perajanjian internasional. Misalnya saja dengan mengunjungi pihak yang ingin diajak mengadakan perjanjian internasional, kemudian melakukan perbicangan atau diskusi antar kepala negara mengenai kemungkinan diadakannya suatu perjanjian internasional. b. Perundingan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan perundingan adalah merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional. c. Perumusan Naskah Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan perumusan naskah adalah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional. d. Penerimaan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan penerimaan adalah merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil

21 perundingan dapat disebut penerimaan yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Sementara dalam perundingan multikateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional. e. Penandatanganan Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Perjanjian Internasional bahwa yang dimaksud dengan Penandatanganan adalah merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/ accession/ acceptance/ approval) Sementara menurut Damos Dumoli Agusman, dari sisi internal Indonesia maka pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada beberapa komponen utama, yaitu: 31 a. Lembaga Pemrakarsa Langkah awal dalam pembentukan suatu perjanjian internasional, negara Indonesia biasanya akan menentukan manakah lembaga/pihak yang paling tepat untuk mengambil alih atau menjadi tonggak terdepan dalam pembentukan perjanjian internasional. Berdasarkan UU Perjanjian Internasional Pasal 5 menyebutkan lembaga negara dan lembaga pemerintah baik departemen maupun nondepartemen di tingkat pusat dan daerah dapat menjadi pemrakarasa dalam 31 Damos Dumoli Agusman, op.cit, h

22 pembentukan perjanjian internasional. Hanya saja pada hakekatnya lembaga pemrakarsa disini haruslah lembaga yang secara ekslusif memiliki tugas pokok dan fungsi yang relevan dengan materi perjanjian internasional. b. Mekanisme Koordinasi dan Konsultasi Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya mengenai lembaga pemrakarsa bahwa setiap lembaga yang memiliki keinginan dalam mengadakan perjanjian internasional harus terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri (Menlu). Adanya sistem koordinasi dan konsultasi dengan menteri luar negeri ini merupakan salah satu konsep yang dinamakan one door policy yang artinya bahwa menteri luar neegeri dalam konteks ini, merupakan satu-satunya jalan masuk untuk melakukan evaluasi dan penilaian terhadap keinginan pembentukan suatu perjanjian internasional, dalam rangka meningkatkan efisiensi kerja dan kepastian hukum. Kemudian berkaitan dengan prosedur yang harus dilakukan dalam mekanisme konsultasi dan koordinasi ini adalah sebagai berikut: (1) Lembaga pemrakarsa/focal point mengkoordinasikan rapat yang melibatkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan instansi terkai lainnya untuk tahap penjajakan, perumusan posisi, dan pelaksanaan perundingan. (2) Apabila rapat intradepartemen menyetujui draft yang dibahas, maka lembaga pemrakarsa akan mempersiapkan counterdraft. Counterdraft ini selanjutnya disampaikan kepada pihak mitra melalui Kemlu. Proses tukar menukar dokumen (draft/counterdraft) ini berlangsung terus, dan sekiranya kedua pihak belum mencapai kesepakatan atas materi perjanjian

23 internasional tersebut, maka kedua pihak akan membahasnya dalam tahap perundingan yang juga melibatkan Departemen Luar Negeri (Deplu). (3) Pedoman Delegasi Republik Indonesia Mengenai pembuatan pedoman delegasi republik Indonesia merupakan salah satu unsur yang paling penting ketika akan mengadakan suatu perjanjian internasional, karena nantinya pedoman ini lah yang dapat menjadi acuan bagi negara Indonesia dalam mengadakan suatu perjanjian internasional. Hal tersebut cukup beralasan mengingat sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Perjanjian Internasional yang menjelaskan hal-hal yang ada dalam pedoman delegasi republik Indonesia ini antara lain: a. Latar belakang permasalahan b. Analisis permasalahan, yang ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia c. Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan Pembatalan dan Berkahirnya Perjanjian Internasional Berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian internasional (termination or withdrawal or denunciation) pada dasarnya harus disepakati oleh para pihak pada perjanjian dan diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri. Sebelum memutusklan melakukan terminasi atau penarikan diri, maka lembaga pemrakarsa perlu mengkoordinasikan rapat interdepartemen dengan instansi terkait. 32 Jika mengacu kepada Konvensi Wina 1969 telah membedakan antara pengakhiran perjanjian internasional yang didasarkan pada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang 32 Damos Dumoli Agusman, op.cit, h. 64.

24 dilakukan secara sepihak atau yang dikenal dengan doktrin Rebuc Sic Stantibus seperti pembatalan dan penghentian sementara terhadap perjanjian internasional. Namun jika mengacu kepada UU Perjanjian Internasional, justru tidak mengenal atau mengatur mengenai pembatalan dari perjanjian internasional, akan tetapi hanya mengenal dan mengatur mengenai pengakhiran dari perjanjian internasional. Adapun alasan yang dapat mengakibatkan pengakhiran dari perjanjian internasional berdasarkan ketentuan Pasal 18 UU Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut: a. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. obyek perjanjian hilang; h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan

BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA. dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Internasional Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional telah dan nampaknya

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI

PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN Prasayarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL I. PENDIRIAN Prasyarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas menguntungkan dan tidak melanggar

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1) Chapter Three Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. Aktor Non-Negara

RechtsVinding Online. Aktor Non-Negara PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI INDONESIA Oleh: Yeni Handayani Sebagai negara kesatuan yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.14/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERJANJIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1780, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Perjanjian Internasional. Penyusunan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi.

Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi. IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2000 DALAM PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (The Implementation of UU No. 24/2000 in the Making and Ratification of International Treaties) Oleh: Malahayati,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian Sebelum membahas permasalahan lebih lanjut, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini. 1. Pengertian

Lebih terperinci

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya REVIEW BUKU Judul : Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Penerbit : PT. Remaja Rosda Karya Bahasa : Inggris Jumlah halaman : 554 Halaman Tahun

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisa terhadap judul dan topik pembahasan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengesahan perjanjian internasional

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian 1. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL

BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional 1. Pengertian Perjanjian Internasional Hukum Internasional di dalam pelaksanaannya, memiliki beberapa beberapa

Lebih terperinci

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA TAHUN Oleh: Gerald E.

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA TAHUN Oleh: Gerald E. KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI WINA TAHUN 1969 1 Oleh: Gerald E. Songko 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tahapan pembentukan perjanjian

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH DAERAH SEBAGAI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH

PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH DAERAH SEBAGAI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH 36 PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH DAERAH SEBAGAI KEWENANGAN OTONOMI DAERAH Noer Indriati Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah Abstract Law number 32 year 2004 on Regional

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

TINJAUAN YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL TINJAUAN YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL Dewi Setyowati 1, Nurul Hudi 2 dan Levina Yustitianingtyas 3 1,2,3 Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Lebih terperinci

BEBERAPA MASALAH DALAM PENGIMPLEMENTASIAN KEWAJIBAN NEGARA INDONESIA DI BAWAH PERJANJIAN INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA

BEBERAPA MASALAH DALAM PENGIMPLEMENTASIAN KEWAJIBAN NEGARA INDONESIA DI BAWAH PERJANJIAN INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA BEBERAPA MASALAH DALAM PENGIMPLEMENTASIAN KEWAJIBAN NEGARA INDONESIA DI BAWAH PERJANJIAN INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA I Wayan Parthiana email: iwayanparthiana@gmail.com Abstracts Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK FEDERASI JERMAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 1983 (1/1983) TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG REJIM HUKUM NEGARA NUSANTARA DAN HAK-HAK MALAYSIA DI LAUT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL BADAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi dimana ilmu

Lebih terperinci

BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oppenheim: International treaties are conventions, or contracts, between two or more statets concerning various matters of interest

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

KERJASAMA INTERNATIONAL PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL : DASAR HUKUM, BENTUK & RUANG LINGKUPNYA. Oleh : Abdul Fickar Hadjar

KERJASAMA INTERNATIONAL PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL : DASAR HUKUM, BENTUK & RUANG LINGKUPNYA. Oleh : Abdul Fickar Hadjar KERJASAMA INTERNATIONAL PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL : DASAR HUKUM, BENTUK & RUANG LINGKUPNYA Oleh : Abdul Fickar Hadjar Pendahuluan Dalam konteks penegakan hukum pidana transnasional maupun

Lebih terperinci

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA

JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA JURNAL PERANAN KONVENSI TOKYO 1963 TENTANG KEJAHATAN PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DI INDONESIA Disusun oleh : Robinson Smarlat Muni NPM : 07 05 09786 Program Studi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden

Lebih terperinci

REPOSISI POLITIK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB HUKUM DI INDONESIA

REPOSISI POLITIK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB HUKUM DI INDONESIA Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016, Halaman 326-333 p-issn : 2086-2695, e-issn : 2527-4716 REPOSISI POLITIK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB HUKUM DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional II.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM INTERNASIONAL INTERNATIONAL LAW : 1. PUBLIC INTERNATIONAL LAW ( UNITED NATIONS LAW, WORLD LAW, LAW of NATIONS) 2. PRIVATE INTERNATIONAL LAW 2 DEFINISI "The Law of Nations,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri

UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri HUBUNGAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI OLEH PEMERINTAH DAERAH DASAR HUKUM UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri Ps. 1 (1) : Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional

Lebih terperinci

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DAN ASAS PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC PROSUNT TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA CELAH TIMOR ANTARA INDONESIA, AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE Oleh : Stephanie Maarty K Satyarini

Lebih terperinci

Oleh : RANI DWI WATI NIM. E

Oleh : RANI DWI WATI NIM. E ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK BULGARIA Penulisan Hukum

Lebih terperinci

KONSEKUENSI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI TERHADAP KETERIKATAN PEMERINTAH INDONESIA PADA PERJANJIAN INTERNASIONAL *

KONSEKUENSI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI TERHADAP KETERIKATAN PEMERINTAH INDONESIA PADA PERJANJIAN INTERNASIONAL * KONSEKUENSI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI TERHADAP KETERIKATAN PEMERINTAH INDONESIA PADA PERJANJIAN INTERNASIONAL * Andi Sandi Ant.T.T. ** dan Agustina Merdekawati *** Bagian Hukum Tata negara dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK FEDERASI JERMAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Organisasi Regional di Asia Tenggara dimulai dari inisiatif pemerintah di lima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Lebih terperinci

KULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG

KULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG SILABUS Mata Kuliah : Sistem Tata Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2038 SKS : 3 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum 2. Sudaryanto, S.H., M.Hum 3. Bambang Irianto, S.H., M.Hum 4. Eva Arief,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Poin-poin Kunci: Introduction

Poin-poin Kunci: Introduction Poin-poin Kunci: Pemakaian kata pengesahan dengan undang-undang dalam UUPI telah menimbulkan kesalahpahaman terrhadap proses pengikatan terhadap perjanjian internasional. Pengaturan Pasal 10 dan Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Subyek hukum: pemegang, pemilik, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban (individu dan badan hukum). Subyek hukum Internasional adalah setiap pemilik, pemegang, atau pendukung

Lebih terperinci

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

Mekanisme dan Optimalisasi Pelaksanaan Kerja Sama Luar Negeri Pemerintah Indonesia

Mekanisme dan Optimalisasi Pelaksanaan Kerja Sama Luar Negeri Pemerintah Indonesia Mekanisme dan Optimalisasi Pelaksanaan Kerja Sama Luar Negeri Pemerintah Indonesia Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang :

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Pengertian dan Penggolongan Organisasi Administrasi Internasional

Pengertian dan Penggolongan Organisasi Administrasi Internasional Pengertian dan Penggolongan Organisasi Administrasi Internasional Oleh: Marita Ahdiyana marita_ahdiyana@uny.ac.id WHY? Mengapa organisasi internasional dibutuhkan? What? Achievement apa yang ingin diwujudkan?

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN SINGAPURA DI BIDANG PERTAHANAN KEAMANAN SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci