RESERVASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESERVASI PERJANJIAN INTERNASIONAL"

Transkripsi

1 MAKALAH HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL RESERVASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi terhadap Reservasi Indonesia dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita/Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women) Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester matakuliah Hukum Perjanjian Internasional Haryo Indraqsho DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam melakukan hubungan internasional suatu negara dengan negara lain biasanya melakukan beberapa bentuk-bentuk perjanjian untuk mengatur tata cara, hubungan hukum dan hak serta kewajiban yang ditimbulkan dalam perjanjian tersebut. Perjanjian Internasional sendiri adalah salah satu sumber hukum internasional. Perjanjian tersebut mempunyai berbagai jenis, yaitu Treaty, Convention, Agreement, Memorandum Of Understanding, Protocol, Charter, Declaration, Final Act Arrangement, Exchange Of Notes, Agreed Minutes, Summary Records, Process Verbal, Modus Vivendi, Letter Of Intent. 1 Viena Convention on the Law of Treaties atau Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional telah mengatur tata cara pembuatan perjanjian internasional. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan. 2 Penjajakan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. Perundingan merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional. Perumusan Naskah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional. Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional. Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan ratification, accession, acceptance, approval). Terikatnya suatu negara dengan perjanjian internasional, bisa dikatakan masuknya ketentuan dalam hukum internasional ke dalam hukum nasional. Hubungan hukum 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 2 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 2

3 internasional dengan hukum nasional yang seringkali berbeda dan bertentangan tersebut menimbulkan kesulitan dalam proses pemberlakuan perjanjian internasional tersebut. Hubungan internasional dan hukum internasionalnya yang bersifat koordinatif tidak dapat memaksa suatu negara untuk tunduk pada hukum internasional. Pada tanggal 24 Juli 1984, Indonesia telah meratifikasi (Convention on the Elimination of All form of Discrimination Againts Women/CEDAW). Ratifikasi itu dalam bentuk undangundang, yaitu UU Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). Sesuai dengan Asas Pacta Sunt Servanda maka ketentuan dalam CEDAW harus dilaksanakan oleh Indonesia dengan itikad baik dan Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk 1. Kewajiban negara Indonesia sebagai Negara Pihak untuk memajukan, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi sebagaimana tersebut dalam instrumen terkait, kecuali jika dilakukan reservasi (pensyaratan) atau deklarasi (pernyataan) khusus pada pasalpasal tertentu. 2. Dimasukkannya instrumen internasional terkait ke dalam hukum nasional maka bisa digunakan dalam proses litigasi. 3. Melakukan pelaporan secara berkala (periodic report) sebagai bagian dari State Self- Reporting Mechanism yang disyaratkan oleh instrumen-instrumen internasional tersebut. Dengan ratifikasi ini, Indonesia telah memasukan CEDAW ke dalam hukum nasional. I.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pensyaratan atau reservasi(pensyaratan) tersebut? 2. Bagaimanakah hubungan reservasi suatu perjanjian internasional dengan kedaulatan nasional suatu negara? 3. Ketentuan CEDAW tentang apa yang direservasi oleh Indonesia? I.3 Tujuan Mengetahui arti, tujuan, tata cara, serta hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh reservasi tersebut serta hubungannya terhadap kedaulatan nasional suatu negara. Dalam arti khusus untuk mengetahui ketentuan dalam CEDAW yang direservasi oleh Indonesia dan akibat yang ditimbulkannya. 3

4 BAB II PEMBAHASAN II.1 Reservasi Menurut Konvensi Wina 1969 yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1d), pengertian reservasi atau pensyaratan adalah ; reservation means a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of the treaty in their application to that State; Dari ketentuan diatas, dapat dijelaskan bahwa reservasi adalah suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa reservasi adalah; 1. Pernyataan sepihak Negara 2. Untuk mengajukan pensyaratan atau pengecualian 3. Terhadap pasal-pasal tertentu dalam suatu perjanjian 4. Diajukan saat penandatangan, ratifikasi, akseptasi, aprobasi dan aksesi. Untuk selanjutnya, reservasi diatur lebih lanjut dalam pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Pasal 19 menjelaskan tentang syarat-syarat(pembatasan) reservasi dalam pelaksanaannya; Article 19 A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, formulate a reservation unless: a) the reservation is prohibited by the treaty; b) the treaty provides that only specified reservations, which do not include the reservation in question, may be made; or c) in cases not failing under subparagraphs (a) and (b), the reservation is incompatible with the object and purpose of the treaty. Yang dapat diartikan sebagai berikut; Suatu Negara, waktu menandatangani, meratifikasi, menerima atau aksesi dapat mengajukan pensyaratan terhadap suatu perjanjian, kecuali; 4

5 pensyaratan dilarang oleh perjanjian, pensyaratan tertentu dimana tidak termasuk pensyaratan yang dilarang, dan pensyaratan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian. Pasal 20 tentang, penerimaan atau keberatan terhadap reservasi yang diajukan oleh suatu negara. Article 20 Acceptance of and objection to reservations 1. A reservation expressly authorized by a treaty does not require any subsequent acceptance by the other contracting States unless the treaty so provides. 2. When it appears from the limited number of the negotiating States and the object and purpose of a treaty that the application of the treaty in its entirety between all the parties is an essential condition of the consent of each one to be bound by the treaty, a reservation requires acceptance by all the parties. 3. When a treaty is a constituent instrument of an international organization and unless it otherwise provides, a reservation requires the acceptance of the competent organ of that organization. 4. In cases not falling under the preceding paragraphs and unless the treaty otherwise provides: a) acceptance by another contracting State of a reservation constitutes the reserving State a party to the treaty in relation to that other State if or when the treaty is in force for those States; b) an objection by another contracting State to a reservation does not preclude the entry into force of the treaty as between the objecting and reserving States unless a contrary intention is definitely expressed by the objecting State; c) an act expressing a State s consent to be bound by the treaty and containing a reservation is effective as soon as at least one other contracting State has accepted the reservation. 5. For the purposes of paragraphs 2 and 4 and unless the treaty otherwise provides, a reservation is considered to have been accepted by a State if it shall have raised no objection to the reservation by the end of a period of twelve months after it was notified of the reservation or by the date on which it expressed its consent to be bound by the treaty, whichever is later. 5

6 Dari ketentuan pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa suatu Negara dapat meminta reservasi tanpa memerlukan persetujuan dari pihak perjanjian(negara) lain, kecuali terbatasnya negara-negara yang terlibat dalam perjanjian dan maksud dan tujuan perjanjian. Jika hal ini berakibat pada pelaksanaan perjanjian dalam keseluruhan para pihak maka persetujuan dari negara(pihak) yang lain diperlukan. Penerimaan atau keberatan terhadap reservasi yang dilakukan oleh suatu negara tidak berdampak pada pelaksaan perjanjian tersebut dan hubungan negara tersebut dengan negara lain pihak perjanjian. Bahkan reservasi tersebut dapat efektif berlaku walaupun hanya satu negara saja yang menyetujui reservasi tersebut. Jika tidak ada negara lain keberatan terhadap reservasi dalam waktu 12 bulan setelah ada pernyataan reservasi atau waktu yang ditetapkan dala perjanjian, maka negara lain pihak perjanjian tersebut otomatis terikat pada perjanjian tersebut. Hal lain dijelaskan dalam pasal 20 adalah, apabila dalam perjanjian tersebut termasuk salah satu unsur organisasi internasional, maka jika ada suatu negara meminta reservasi dalam perjanjian tersebut diperlukan persetujuan dari badan yang berkompeten dari organisasi internasional itu. Pasal 21 tentanga efek dari penerimaan reservasi dan penolakan reservasi. Ketentuan ini mengatur tentang perubahan atau modifikasi tentang status reservasi. Article 21 Legal elects of reservations and of objections to reservations 1. A reservation established with regard to another party in accordance with articles 19, 20 and 23: a) modifies for the reserving State in its relations with that other party the provisions of the treaty to which the reservation relates to the extent of the reservation; and b) modifies those provisions to the same extent for that other party in its relations with the reserving State. 2. The reservation does not modify the provisions of the treaty for the other parties tthe treaty inter se. 3. When a State objecting to a reservation has not opposed the entry into force of the treaty between itself and the reserving State, the provisions to which the reservation relates do not apply as between the two States to the extent of the reservation 6

7 Ketentuan pasal 21 tersebut menjelaskan bahwa reservasi tidak mengubah ketentuan perjanjian bagi pihak yang lain. Jika suatu negara mengajukan keberatan terhadap reservasi, tetapi tidak menentang berlakunya suatu perjanjian tersebut antara pihak-pihak perjanjian yang lain, peraturan yang merupakan dan berhubungan tidak diterapkan. Dengan kata lain, ketentuan dari perjanjian untuk para pihak yang lain tidak dibatasi oleh adanya reservasi. Pasal 22 tentang penarikan terhadap pensyaratan dan penarikan terhadap penolakan pensyaratan. Article 22 Withdrawal of reservations and of objections to reservations 1. Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at any time and the consent of a State which has accepted the reservation is not required for its withdrawal. 2. Unless the treaty otherwise provides, an objection to a reservation may be withdrawn at any time. 3. Unless the treaty otherwise provides, or it is otherwise agreed: (a) the withdrawal of a reservation becomes operative in relation to another contracting State only when notice of it has been received by that State; (b) the withdrawal of an objection to a reservation becomes operative only when notice of it has been received by the State which formulated the reservation. Dalam pasal 22 diatas dimungkinkan terjadi penarikan reservasi dan keberatan terhadap reservasi. Suatu negara dapat menarik status reservasinya tanpa memerlukan persetujuan dari negara lain. Hal ini juga berlaku dalam hal penarikan keberatan suatu negara terhadap reservasi negara lain. Akibat dari penarikan penerimaan atau keberatan suatu reservasi menjadi berlakukan apabila pernyataan penarikan tersebut telah diterima negara yang bersangkutan. Pasal 23 tentang prosedur pengajuan reservasi, Article 23 Procedure regarding reservations 1. A reservation, an express acceptance of a reservation and an objection to a reservation must be formulated in writing and communicated to the contracting States and other States entitled to become parties to the treaty. 2. If formulated when signing the treaty subject to ratification, acceptance or approval, a reservation must be formally confirmed by the reserving State when 7

8 expressing its consent to be bound by the treaty. In such a case the reservation shall be considered as having been made on the date of its confirmation. 3. An express acceptance of, or an objection to, a reservation made previously to confirmation of the reservation does not itself require confirmation. 4. The withdrawal of a reservation or of an objection to a reservation must be formulated in writing. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa reservasi dinyatakan saat penandatangan, ratifikasi, dan aksesi. Penerimaan atau keberatan terhadap suatu reservasi harus diberitahukan kepada negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Jika reservasi diajukan saat ratifikasi, akseptasi, atau aprobasi, reservasi tersebut harus diberitahukan/dinyatakan saat negara yang mengajukan reservasi terikat pada perjanjian. Penerimaan atau penolakan terhadap suatu reservasi tidak perlu dikonfirmasikan kepada pihak yang memerlukannya(pihak yang tidak mengajukan reservasi). Penarikan suatu reservasi atau keberatan suatu reservasi harus dinyatakan secara tertulis. Dari ketentuan pasal-pasal diatas, reservasi memiliki akibat hukum terhadap para pihak dalam perjanjian; menurut Wallace(1985;236) reservasi mempunyai efek: membatasi bagi suatu negara yang bersangkutan dalam hubungannya dengan negara lain, dimana reservasi suatu perjanjian berlaku.dan membatasi ketentuan-ketentuan sedemikian rupa untuk pihak lain dalam hubungannya dengan penerima reservasi tersebut. misalnya, jika negara A mereservasi pasal 11 suatu konvensi dan kemudian negara B menerima reservasi tersebut, maka negara A tidak dapat mengadakan hubungan dengan negara B menggunakan pasal 11 konvensi tersebut. Dalam hal reservasi suatu perjanjian ada dua doktrin dalam memandang suatu reservasi. Pertama adalah Unamity Doctrine yang menjelaskan bahwa pengajuan reservasi oleh suatu negara harus disetujui(diterima) oleh semua negara yang lain pihak perjanjian. Sedangkan doktrin yang lain adalah Pan American Doctrine, yang memperbolehkan suatu reservasi meski ada negara yang menolak reservasi tersebut. Hal ini memang terlihat bahwa reservasi memecah suatu perjanjian. 3 Negara-negara akan menyatu dalam perjanjian yang sama, tapi dengan adanya reservasi, ketentuan suatu perjanjian akan berlaku diantara pihak yang lain sedangkan ketentuan yang lain akan berlaku dipihak yang lain. Tujuan umum suatu reservasi adalah menarik sebanyak mungkin negara yang ada di dunia untuk menyepakati dan menjadi 3 Beccam M.M. Wallace, Hukum Internasional, IKIP Semarang Press : Semarang

9 pihak dalam suatu perjanjian dan akhirnya akan membantu perkembangan hukum Internasional. II.2 Reservasi Perjanjian Internasional dan Kedaulatan Negara Kedaulatan negara atau state souvereignty memiliki tiga pengertian yaitu, Equality of States;Territorial Integrity, dan Non-intervention 4. Equality of state adalah kedudukan setara antar negara-negara di dunia. Prinsip ini penting karena sejalan dengan sifat hukum internasional yang koordinatif. Tidak ada negara yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada negara yang lain Territorial intergrity adalah kemampuan suatu negara untuk mempertahankan dan mngatur wilayah kekuasaan teritorialnya secara efektif. Sedangkan Non-intervention adalah tidak ada intervensi atau paksaan dari pihak-pihak asing terhadap negara tersebut dalam melaksanakan kekuasaannya. Dalam Montevideo Convention on The Rights and Dutiesnof States tahun 1933 menegaskan bahwa, Negara selaku subjek hukum internasional empat kualifikasi, yaitu 1. memiliki penduduk tetap; 2. memiliki batas wilayah tertentu; 3. memiliki pemerintahan 4. memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan Negara lain. Dalam kapasitas dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain, dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dengan kedudukan negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional karena negara adalah subjek hukum internasional dengan kedaulatan absolut. Disini terdapat perbedaan dan pertentangan antara kepentingan nasional dan internasional. Perbedaan dan pertentangan tersebut mempengaruhi proses berlakunya suatu hukum internasional. Secara garis besar ada dua teori dalam memahami berlakunya hukum internasional yaitu, teori voluntarisme dan teori objektivis. 5 Teori voluntarisme mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah serta menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara. Sedangkan, teori objektivis menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan 4 http//: Nations Convention Against Transnational Organized Crime-" Protection of Souvereignty"-2000; Article 4 United Nations Convention Against Corruption Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56 9

10 mengikat hukum internasional dan menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum. Dasar terakhir yang dimaksud adalah puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori objektivis ini. Lebih lanjut, teori voluntarisme sejalan dengan aliran dualisme. Aliran dualisme memandang hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Menurut Mochtar Kusumaatmadja(2003:57), alasan yang mendasari aliran ini adalah a) Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional; b) Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara; c) Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional. d) Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional. Dari alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hirarki antara hukum internasional dan hukum nasional karena tidak ada ketergantungan diantara perangkatperangkat hukumnya, bahkan terlepas satu sama lain. Berbeda dengan aliran dualisme, aliran monisme didasarkan bahwa ada satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Hal ini berakibat adanya hubungan hirakis antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dan hubungan hirarkis ini ternagi menjadi dua primat(keutamaan). Primat pertama adalah Primat hukum internasional. Primat HI ini menganggap hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Tampaknya hal ini didukung oleh teori Hans Kelsen(stefenbautheory) sebelumnya yang menjelaskan bahwa hukum internasional bahwa adalah grundnorm dari hukum nasional. Penerimaan hukum internasional oleh hukum nasional juga didasarkan pada asas itikad baik(pacta Sunt Servanda). Dalam konteks hubungan internasional, negara yang telah 10

11 membuat perjanjian dengan negara lain dianggap akan menaati ketentuan perjanjian tersebut. Asas tersebut menjelasakan bahwa tidak mungkin suatu negara akan membuat perjanjian jika tidak ingin menaati perjanjian tersebut, kecuali memang tidak ada itikad baik. Perkembangan selanjutnya yang mendukung primat hukum internasional adalah doktrin inkorporasi yang banyak dianut negara anglo-saxon(common law) mengganggap bahwa hukum internasional adalah bagian dari hukum nasional suatu negara dan berlaku setelah penandatanganan perjanjian tersebut, kecuali deperlukan persetujuan dari lembaga legislative suatu negara. Primat yang kedua adalah Primat hukum nasional. Primat ini berpandangan bahwa hukum internasional adalah kepanjangan dari hukum nasional untuk urusan luar negeri(bagian dari hukum tata negara). Hal ini berdasarkan fakta dalam praktek hubungan internasional yang bersifat koordinatif, yaitu tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara dan dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara. 6 Dalam membuat suatu perjanjian internasional, Indonesia mempunyai pedoman dalam membuat perjanjian internasional tersebut. Salah satunya adalah kepentingan nasional; Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. 7 Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada kemungkinan terdapat perbedaan bahkan pertentangan antara hukum internasional(perjanjian internasional). Namun tidak mungkin perbedaan dan pertentangan ini tidak dicari jalan keluarnya. Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional penting bagi suatu negara dalam melakukan hubungan internasional. Dalam perjanjian internasional yang bersifat bilateral, kesepakatan untuk dalam menyelesaikan perbedaan untuk mencapai kepentingan nasional dapat lebih mudah tercapai. Kepentingan nasional, hak dan kewajiban yang ditimbulkan tersebut biasanya akan dijelaskan dan disepakati saat tahap penjajagan dan perundingan perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral dalam membuat ketentuan yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan negara peserta dalam perjanjian 6 Ibid. hal 61 7 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 11

12 tersebut sangat sulit. Hal ini sejalan dengan arti reservasi menurut peraturan perundangundangan Indonesia yang mengartikan reservasi sebagai berikut; Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Kata multilateral dalam definisi tersebut merupakan hal yang logis karena berbagai perbedaan sistem hukum yang dianut negara peserta, kepentingan nasional, hak dan kewajiban yang diinginkan menyulitkan bahwa perjanjian internasional tersebut dapat merinci seluruh kepentingan yang berbeda-beda bahkan bertentangan antar negara peserta. Hal inilah yang membuat reservasi menjadi penting. Sesuai dengan tujuan reservasi yaitu menarik sebanyak mungkin negara yang ada di dunia untuk menyepakati dan menjadi pihak dalam suatu perjanjian. Dengan reservasi hal ini menjadi mungkin, karena suatu negara dapat mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian dan disesuaikan dengan kondisi nasionalnya. Sifat hukum internasional yang koordinatif tidak memungkinkan suatu negara dapat dipaksa untuk menyetujui sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingannya. II.3 Reservasi dalam CEDAW oleh Indonesia Pada tanggal 24 Juli 1984, Indonesia telah meratifikasi (Convention on the Elimination of All form of Discrimination Againts Women/CEDAW). Ratifikasi ini dalam bentuk Undang- Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women).Karena ratifikasi tersebut diadakan dengan undang-undang, hal ini mengakibatkan bahwa perjanjian internasional dan segala ketentuannya yang ada di dalamnya menjadi bagian dari hukum nasional yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Indonesia. Namun dalam ratifikasi tersebut, Indonesia mengajukan reservasi. Indonesia meminta reservasi terhadap ketentuan penyelesaian perselisihan penafsiran atau penerapan konvensi ini. Pasal 1 Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) 12

13 yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini. 8 Objek reservasi tersebut adalah pasal 29 ayat (1) CEDAW; Article any dispute between teo or more states parties concerning the interpretation or application of the present Convention which is not settyled by negotiation shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the dat of the request for arbitration the parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statute of the Court. 9 Atau ; Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut. Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrast pihak-pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrasi itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah itu. Indonesia berpendapat bahwa penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional hanya dapat diajukan apabila pihak-pihak yang bersengketa menyepakatinya sebelumnya. Dengan kata lain, para pihak harus sepakat terlebih dulu untuk menyelesaikan sengketa melalui Mahkamah Internasional, bukan diajukan oleh salah satu pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menjelaskan bahwa Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa apabila para pihak(negara) sepakat untuk menyerahkan sengketa ke Mahkamah Internasional. Efek reservasi adalah membatasi tanggung jawab suatu negara--reservasi yang sah berarti bahwa suatu negara tidak terikat dengan pasal ataupun ayat tertentu dari suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini Indonesia tidak dapat diajukan atau mengajukan pihak lain 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita. 9 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women(CEDAW) 13

14 kepada Mahkamah Internasional apabila terdapat perbedaan mengenai penafsiran atau penerapan CEDAW. Reservasi ini tidak mempengaruhi ketentuan-ketentuan lainnya dalam CEDAW, Indonesia tetap berkewajiban untuk memberikan laporan kegiatan dan kemajuan yang dilakukan Indonesia dalam pelaksanaan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Berdasarkan pasal 18 CEDAW, negara pihak berkewajiban menyerahkan laporan mengenai langkah-langkah legislatif, yudikatif, adminsitratif atau lainnya, sebagaimana telah diadopsi oleh negara tersebut. 10 Laporan tersebut diserahkan kepada Sekertaris Jenderal PBB yang kemudian Komite CEDAW yang berwenang untuk memberikan saran serta rekomendasi umum berdasarkan penelitian atas laporan dan informasi yang diterima dari negara-negara yang menjadi pihak. Di samping itu Komite juga berwenang untuk meminta laporan kepada badan khusus di bawah badan PBB, dan kemudian memberikan rekomendasi terhadap badan tersebut. Laporan ini digunakan untuk memantau perkembangan dari pelaksanaan CEDAW di negara peserta Konvensi. BAB III PENUTUP Kesimpulan Struktur masyarakat internasional yang koordinatif tidak memungkinkan suatu negara untuk memaksa negara lain untuk mematuhi suatu ketentuan internasional. Setiap negara mempunyai kedaulatan nasional, sehingga negara tersebut berhak untuk mengikatkan diri atau tidak dalam suatu perjanjian internasional tanpa ada intervensi dari negara lain. Dalam suatu perjanjian internasional ada ketentuan yang disebut reservasi atau pensyaratan. Reservasi adalah suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral, dengan maksud untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan. Reservasi memungkinkan suatu negara dapat menerapkan suatu perjanjian internasional(beserta akibat hukumnya) sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Dengan reservasi, diharapkan sebanyak mungkin pihak(negara) untuk terlibat dan taat terhadap perjanjian internasional tersebut, meskipun terjadi pemecahan hak dan kewajiban. 10 Sri Wiyanti Eddyono, S.H., Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2004 Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat; 2005, Jakarta 14

15 Karena dengan reservasi dalam satu perjanjian, hak dan kewajiban yang terjadi tidak akan sama untuk para pihak. Sehingga membantu perkembangan dan efektivitas perjanjian internasional. Dalam konteks CEDAW, Indonesia telah mereservasi ketentuan CEDAW dalam hal persengketaan akibat. Alasan Indonesia untuk mengajukan reservasi ini berdasarkan Statuta Mahkamah Internasional pasal 36 ayat (1), yang menjelaskan diperlukannya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa di Mahkamah Internasional. Sehingga dengan reservasi ini, Indonesia tidak dapat diajukan atau mengajukan negara lain peserta konvensi kepada Mahkamah Internasional apabila ada perbedaan penafsiran dan penerapan CEDAW. 15

16 DAFTAR PUSTAKA Beccam M.M. Wallace, Hukum Internasional, IKIP Semarang Press : Semarang Eddyono, Sri Wiyanti S.H., Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2004 Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat; 2005, Jakarta Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, Alumni: Jakarta Hartono, Sunaryati. Ratifikasi dan Undang-Undang Hak-Hak Asasi Manusia, DIKTI Depdiknas: Jakarta 2000 Peraturan Perundangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women Sumber Internet http//: 16

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1) Chapter Three Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 56/1994, PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN IRELAND ON COPYRIGHT PROTECTION Oleh: PRESIDEN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HAK CIPTA ANTARA DAN AMERIKA SERIKAT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa di Washington, Amerika Serikat, pada tanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK PASAL 1: AMENDEMEN AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK A. Pasal 4, ayat 1 qua Ayat berikut wajib dimasukkan sesudah Pasal 4 ayat 1 ter

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL

DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Chapter Six. Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional. Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty

Chapter Six. Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional. Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty The validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 88/1996, PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE CONVENTION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED STATES OF AMERICA FOR THE AVOIDANCE

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1992 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF THE SUDAN ON ECONOMIC AND

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE CONVENTION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED STATES

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1984 (7/1984) Tanggal: 24 JULI 1984 (JAKARTA) Sumber: LN 1984/29; TLN NO. 3277 Tentang: PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Chapter Five. Pelaksanaan Perjanjian Internasional. Article 26 Vienna Convention on Treaty

Chapter Five. Pelaksanaan Perjanjian Internasional. Article 26 Vienna Convention on Treaty Chapter Five Pelaksanaan Perjanjian Internasional Article 26 Vienna Convention on Treaty Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith. Chapter Five

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 24 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE GERMAN DEMOCRATIC REPUBLIC ON ECONOMIC AND TECHNICAL COOPERATION

Lebih terperinci

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH Mengenal Konvensi-konvensi Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. TRAINING

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 adalah

Lebih terperinci

Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Lebih dahulu mana, Hukum Nasional atau Hukum Internasional? Lebih tinggi mana, Hukum Nasional atau Hukum Internasional? Pandangan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL WORKSHOP STANDARDISASI PEDOMAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Umbara Setiawan Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch BAB V PENUTUP V.1 KESIMPULAN Dari uraian dan pembahasan yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch Profit Tax

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional Sejak awal abad ke-20,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya dengan menggunakan sarana hukum atau berlandaskan pada hukum dan aturan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2005

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2005 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN MONTREAL AMENDMENT TO THE MONTREAL PROTOCOL ON SUBSTANCES THAT DEPLETE THE OZONE LAYER ( AMENDEMEN MONTREAL ATAS PROTOKOL MONTREAL

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA Oleh: I Made Wirayuda Kusuma A.A. Ngurah Wirasila Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRAK Proses pembuatan

Lebih terperinci

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1991 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE PEOPLE'S REPUBLIC OF BULGARIA ON ECONOMIC

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III 52 BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU- IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The Association of Southeast Asian Nations 3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM INTERNASIONAL INTERNATIONAL LAW : 1. PUBLIC INTERNATIONAL LAW ( UNITED NATIONS LAW, WORLD LAW, LAW of NATIONS) 2. PRIVATE INTERNATIONAL LAW 2 DEFINISI "The Law of Nations,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN AMENDMENT TO THE BASEL CONVENTION ON THE CONTROL OF TRANSBOUNDARY MOVEMENTS OF HAZARDOUS WASTES AND THEIR DISPOSAL ( AMENDEMEN

Lebih terperinci

PERJANJIAN PEMBENTUKAN KONSORSIUM Perjanjian Pembentukan Konsorsium ( PERJANJIAN AWAL ) ini ditandatangani pada hari ini [...] tanggal [...] bulan [...] tahun [...] (...-...-20...), antara: I. PT. [...],

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty

Chapter One. Pendahuluan. Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty Chapter One Pendahuluan Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty A treaty an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in

Lebih terperinci

Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Romania (selanjutnya disebut sebagai "Para Pihak";

Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Romania (selanjutnya disebut sebagai Para Pihak; MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA DEPARTEMEN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI ROMANIA TENTANG PEMBENTUKAN KONSUL TASI BILATERAL Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1993 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA CONCERNING THE PROTECTION AND

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa di Honolulu, Amerika Serikat, pada tanggal 5 September 2000, Konferensi Tingkat Tinggi Multilateral mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 61/1992, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK TUNISIA MENGENAI KERJASAMA EKONOMI, TEKNIK DAN ILMU PENGETAHUAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:

Lebih terperinci

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Parlemen Republik Fiji, yang selanjutnya disebut sebagai "Para Pihak";

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Parlemen Republik Fiji, yang selanjutnya disebut sebagai Para Pihak; REPUBLIK INDONESIA MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PARLEMEN REPUBLIK FIJI MENGENAI PROGRAM KEMITRAAN ANTARPARLEMEN Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

PERKULIAHAN III Devica Rully M., SH. MH. LLM.

PERKULIAHAN III Devica Rully M., SH. MH. LLM. HAKEKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL PERKULIAHAN III Devica Rully M., SH. MH. LLM. DASAR KEKUATAN MENGIKAT HI Alasan Pembahasan : O HI tidak memiliki lembaga2 yang lazim diasosiasikan dengan

Lebih terperinci

Oleh: Putu Ayu Yulia Handari S. Suatra Putrawan Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Oleh: Putu Ayu Yulia Handari S. Suatra Putrawan Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KERJA ANTARA PIHAK PENGUSAHA DENGAN PIHAK PEKERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Oleh: Putu Ayu Yulia Handari S. Suatra

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS IN THE WESTERN AND CENTRAL PENGELOLAAN SEDIAAN

Lebih terperinci

BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB XIII PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oppenheim: International treaties are conventions, or contracts, between two or more statets concerning various matters of interest

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan No.1084, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Mengadili Perkara Perempuan. Pedoman. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian

BAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Gita Wanandi I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH

AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH Oleh : A.A. Dalem Jagat Krisno Ni Ketut Supasti Dharmawan A.A. Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL ON THE AUTHENTIC QUINQUELINGUAL TEXT OF THE CONVENTION ON INTERNATIONAL CIVIL AVIATION, CHICAGO 1944 (PROTOKOL TENTANG

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian 1. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci