BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
|
|
- Sonny Sugiarto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat membandingkan antara hubungan diplomatik dengan hubungan konsuler. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. Menyebutkan pengertian Hubungan Diplomatik; 2. Memberikan pengertian Hubungan Konsuler; 3. Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Diplomatik; 4. Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Konsuler.
2 P O K O K B A H A S A N PENGERTIAN HUKUM DIPLOMATIK Hukum diplomatik adalah himpunan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dalam hubungan diplomatik sebagai bagian dari hukum internasional yang paling mapan dan sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat internasional. Konvensi Wina sebagai sumber hukum diplomatik telah memberikan inspirasi bagi hampir semua negara-negara di seluruh dunia, dalam melaksanakan hubungan diplomatik mereka. Banyak kasus dalam peradilan nasional mendasarkan keputusannya pada Konvensi Wina, walaupun salah satu pihak yang bersengketa belum menjadi pihak dalam Konvensi ini. UU NO. 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI Meningkatnya hubungan dan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara lain, baik dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral, dalam rangka pelaksanaan hubungan dan politik luar negeri memerlukan adanya pengaturan mengenai kegiatan hubungan luar negeri tersebut yang jelas, terkoordinasi dan terpadu serta mempunyai kekuatan hukum. Untuk itu, Indonesia mengeluarkan Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri yang mengatur secara menyeluruh dan terpadu mengenai kegiatan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri yaitu Undang-undang No. 37 tahun Indonesia yang sudah meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi-misi Khusus Dalam ketentuan umum Undang-undang No. 37 tahun 1999 disebutkan bahwa Politik Luar Negeri adalah: Kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Indonesia yang diambil dalam melakuakan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Ditegaskan juga bahwa hubungan luar negeri dan politik luar negeri Indonesia didasarkan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan GBHN dan politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif untuk kepentingan nasional. Undangundang juga menentukan bahwa bentuk diplomasi yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan haruslah bersifat kreatif, akti dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam perdebatan.
3 PEMBUKAAN DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK 1. Pembukaan Hubungan Diplomatik Setiap negara yang merdeka dan berdaulat memiliki hak legasi. Hak legasi ini adalah hak suatu negara untuk mengirimkan wakilnya ke negara lain (legasi aktif) dan kewajiban untuk menerima wakil-wakil negara asing (legasi pasif). Namun kemudian, praktek negara-negara mulai meninggalkan hak legasi ini, artinya tidak satu negarapun diharuskan menerima duta besar dari negara lain. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961 bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar kesepakatan bersama. Kesepakatan ini biasanya dituangkan dalam bentuk Komunike Bersama dan Perjanjian Persahabatan. Penolakan juga dapat dilakukan dengan alasan apapun juga. Hal ini erat kaitannya dengan pengakuan. Biasanya negara memberikan pengakuan terlebih dahulu, baru diikuti dengan hubungan diplomatik. 2. Penunjukan Kepala Perwakilan Pengangkatan duta besar biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Caloncalon duta besar diajukan oleh Menteri Luar Negeri kepada negara utnuk mendapatkan persetujuannya. Menurut Pasal 29 Undang-undang No. 37 tahun 1999, seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Negara penerima berhak menolak seorang calon dengan dasar perilaku atau kebijakan professional si calon di masa lalu. Bila telah ditolak, maka negara penerima tidak harus memberikan alasan mengenai penolakan tersebut. Penerimaan duta besar (agrément) dapat dicabut kembali dengan syarat bahwa duta besar yang bersangkutan belum tiba di negara penerima. 3. Tugas-Tugas Perwakilan Diplomatik Pasal 3 Konvensi Wina menyebutkan tentang tugas-tugas yang harus dilakukan oleh perwakilan diplomatik, yaitu: a. Mewakili negara pengirim di negara penerima; b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warganegaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional; c. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima; d. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada Pemerintah negara pengirim;
4 e. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dengan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 4. Berakhirnya Hubungan Diplomatik Berakhirnya suatu misi diplomatik dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: c. Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas dari pejabat diplomatik itu telah berakhir; d. Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara tersebut menolak untuk mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai anggota perwakilan. Selain itu ada juga alasan lain yang menyebabkan berakhirnya fungsi diplomatik, yaitu: a. Putusnya hubungan diplomatic; b. Hilangnya negara pengirim atau negara penerima; PERSONA NON GRATA Pasal 9 Konvensi Wina mengatur mengenai persona non grata. Penyataan persona non grata adalah pernyataan dari negara penerima yang dapat diberikan setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan kepada negara pengirim tentang status salah satu anggota staf diplomatik yang harus dipanggil kembali dan mengakhiri tugasnya di perwakilan. Selain itu pernyataan persona non grata dapat juda ditetapkan bila negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang pantas melakukan kewajibannya, sehingga negara penerima tidak mengakui pejabat tersebut sebagai anggota perwakilan. Tindakan persona non grata biasanya dilakukan terhadap diplomat yang terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka melakukan kegiatan-kegitan dengan menggunakan fasilitas perwakilan, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mencampuri urusan dalam negeri negara penerima, melakukan penyelundupan atau membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat. HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN DIPLOMATIK 1. Dasar Pertimbangan Pemberian Hak-Hak Istimewa Dan Kekebalan Ada tiga teori mengenai dasar pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik di luar negeri. Teori tersebut adalah:
5 a. Teori Eksteritorialitas; Teori ini menganggap seorang pejabat diplomatik seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, walaupun sebenarnya dia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya di sana. Oleh karena seorang diplomat dianggap tetap berada di negerinya maka ketentuan-ketentuan negara penerima tidak berlaku kepadanya. Teori ini kurang diterima karena dianggap tidak realistis, yang hanya didasarkan atas suatu fiksi dan tidak diterima oleh masyarakat internasional. b. Teori Representatif; Bagi pejabat diplomatik dan perwakilan diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas yang seperti itu maka pejabat dan perwakilan diplomatik menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan di negara penerima. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu dimana negara penerima memberikan semua hak, kebebasan dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan kepada rajanya. c. Teori Kebutuhan Fungsional; Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik hanya didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori ini kemudian didukung oleh Konvensi Wina 1961, yang dituangkan dalam Pembukaan Konvensi dengan menyatakan bahwa tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan tersebut bukan untuk menguntungkan orang perorangan tetapi untuk membantu pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi misi diplomatik sebagai wakil dari negara. 2. Kekebalan Pribadi Pejabat Diplomatik Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan bahwa pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya. Perlindungan juga diberikan dengan jaminan kebebasan bergerak dan bepergian di wilayah negara penerima. 3. Kekebalan Yurisdiksional Hal yang terpenting dari tidak boleh diganggunya seorang diplomat adalah haknya untuk bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalahmasalah kriminal. Kekebalan para diplomat adalah bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili atau dihukum. Bila dia melakukan tindakan kriminal di negara penerima, maka akan menjadi kebijakan pemerintah atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang
6 diplomat. Bila tidak diadili oleh negara penerima, maka diplomat tersebut akan bebas sama sekali dari tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya apabila hukum pidana negaranya memberikan wewenang untuk mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga negaranya di luar negeri. 4. Pembebasan Pajak Para pejabat diplomatik tidak membayar pajak di negara penerima karena dari segi prinsip, pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada negara. Pajak hanya dipungut oleh negara terhadap warga negaranya dan orangorang asing bukan diplomat yang berdiam di negaranya atas dasar prinsip kedaulatan teritorial. Tetapi pungutan local atau retribusi yang dilakukan oleh pihak berwenang harus tetap dibayarkan, seperti pungutan air, listrik, penyaluran kotoran dan penjagaan malam. 5. Pencabutan Kekebalan Pasal 32 Konvensi menyatakan bahwa kekebalan dari kekuasaan hukum pejabat-pejabat diplomatik dan orang-orang yang menikmati kekebalan dapat ditanggalkan oleh negara pengirim, dan penanggalan kekebalan tersebut harus dilakukan dengan jelas dan nyata. HUBUNGAN KONSULER 1. Pembukaan Hubungan Konsuler LEMBAGA KONSULER Suatu hubungan konsuler dapat dibuka dengan melakukan kesepakatankesepakatan dengan negara asing. Perwakilan konsuler merupakan dinas publik suatu negara yang terletak di negara asing, tetapi hanya mengurus masalah-masalah perdagangan dan pelayaran, bukan masalah yang bersifat politis. Perwakilan konsuler tidak harus berada di suatu negara yang sudah merdeka, melainkan bisa juga di wilayah-wilayah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri. Banyak negara yang membuat perjanjian konsuler dengan menentukan mengenai lokasi konsulat dan luasnya wilayah operasional konsulat tersebut. Atas alasan keamanan, negara penerima dapat menolak pembukaan konsulat di tempat-tempat tertentu. 2. Fungsi Konsuler
7 Fungsi seorang konsul terbatas kepada masalah-masalah administrative. Berdasarkan Pasal 5 Konvensi Wina disebutkan bahwa tugas-tugas konsul adalah: a. melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warganegaranya yang berada di negara penerima; b. memajukan hubungan niaga, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan; c. mengamati keadaan dan perkembangan di bidang perdagangan, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan di negara penerima; d. mengeluarkan paspor dan surat jalan kepada warganegara pengirim, visa atau surat-surat lainnya; e. membantu warganegara pengirim, bertindak sebagai notaries dan pejabat catatan sipil; f. melaksanakan hak pengawasan dan pemeriksaan terhadap kapal-kapal negara pengirim; g. serta fungsi-fungsi lain yang tidak dilarang oleh hukum dan peraturan negaranegara penerima. 3. Hak-Hak Istimewa Dan Kekebalan Konvensi Wina 1963 memberikan hak-hak istimewa, kekebalan dan kemudahan kepada para konsulat dengan tujuan untuk memperlancar dan mempermudah kegiatan-kegiatan yang dilakukan mereka di negara penerima. Adapun kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut diantaranya: a. Kekebalan terhadap kantor konsuler yang tidak boleh diganggu gugat dan para petugas negara setempat tidak boleh masuk kecuali dengan izin kepala perwakilan; b. Kekebalan alat komunikasi yang bebas digunakan untuk kegiatan resmi konsuler; c. Kebebasan berkomunikasi antara konsulat dengan negara pengirimnya; d. Kekebalan pribadi pejabat konsuler, namun dalam keadaan tertentu pejabat konsuler tidak kebal terhadap yurisdiksi kriminal; e. Kekebalan fiscal yang membebaskan kantor-kantor konsuler dari pajak nasional dan local di negara penerima; f. Pembebasan dari pajak pribadi; g. Pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor oleh perwakilan konsuler untuk keperluan resmi konsuler.
8 R I N G K A S A N 1. Menyebutkan pengertian Hubungan Diplomatik; Hukum diplomatik adalah himpunan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dalam hubungan diplomatik sebagai bagian dari hukum internasional yang paling mapan dan sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat internasional. 2. Memberikan pengertian Hubungan Konsuler; Perwakilan konsuler merupakan dinas publik suatu negara yang terletak di negara asing, tetapi hanya mengurus masalah-masalah perdagangan dan pelayaran, bukan masalah yang bersifat politis. Perwakilan konsuler tidak harus berada di suatu negara yang sudah merdeka, melainkan bisa juga di wilayah-wilayah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri. 3. Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Diplomatik; Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan bahwa pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya. Perlindungan juga diberikan dengan jaminan kebebasan bergerak dan bepergian di wilayah negara penerima. Hal yang terpenting dari tidak boleh diganggunya seorang diplomat adalah haknya untuk bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalahmasalah kriminal. Kekebalan para diplomat adalah bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili atau dihukum. Bila dia melakukan tindakan kriminal di negara penerima, maka akan menjadi kebijakan pemerintah atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomat. Bila tidak diadili oleh negara penerima, maka diplomat tersebut akan bebas sama sekali dari tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya apabila hukum pidana negaranya memberikan wewenang untuk mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan warganegaranya di luar negeri. Para pejabat diplomatik tidak membayar pajak di negara penerima karena dari segi prinsip, pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada negara. Pajak hanya dipungut oleh negara terhadap warga negaranya dan orang-orang asing bukan diplomat yang berdiam di negaranya atas dasar prinsip kedaulatan teritorial. Tetapi pungutan local atau retribusi yang dilakukan oleh pihak
9 berwenang harus tetap dibayarkan, seperti pungutan air, listrik, penyaluran kotoran dan penjagaan malam. 4. Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Konsuler. a. Kekebalan terhadap kantor konsuler yang tidak boleh diganggu gugat dan para petugas negara setempat tidak boleh masuk kecuali dengan izin kepala perwakilan; b. Kekebalan alat komunikasi yang bebas digunakan untuk kegiatan resmi konsuler; c. Kebebasan berkomunikasi antara konsulat dengan negara pengirimnya; d. Kekebalan pribadi pejabat konsuler, namun dalam keadaan tertentu pejabat konsuler tidak kebal terhadap yurisdiksi kriminal; e. Kekebalan fiscal yang membebaskan kantor-kantor konsuler dari pajak nasional dan local di negara penerima; f. Pembebasan dari pajak pribadi; g. Pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor oleh perwakilan konsuler untuk keperluan resmi konsuler. L A T I H A N Mahasiswa membuat sebuah tabel tentang perbandingan antara hubungan diplomatik dan hubungan konsuler. D A F T A R P U S T A K A Adolf Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, 1996 Agrawala, S.K., (eds.) Essays on the Law of Treaties. Orient Longman: New Delhi, Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7 th edition, Peter Malanczuk, Routledge, New York, 1997
10 AM.Wahyudidjafar, Judicial Review: Sebuah Pengantar, Aust, Anthony, "Modern treaty law and practice", Cambridge University Press, 2000 B. Conforti & A. Labella, Invalidity and Termination of Treaties: the Role of National Courts, EJIL 1, 1990 Bennet, Le Roy. International Organizations, Prentice Hall, Inc. USA, 1995 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2003, Alumni, Bandung Bowett, D.H, The Law of International Institutions, Stevens, London, 1982 Brierly, J.L, The Law of Nations, 6 th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock, Oxford, London, 1985 Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford University Press, , Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford, Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989 Churchill, R.R., dan Lowe, A.V. The Law of the Sea, 3th edition, Manchester University Press, 1999 Charter of the United Nations Djalal. Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bina Cipta, 1979 Dorman, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, Dunoff, Jeffrey L.International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2 nd edition. Aspen Publishers, NY Drs. R. Poerwanto, SH, MA, M.Si, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, 2010.
11 Damos Dumoli Agusman, Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek di Indonesia Tentang Perjanjian Internasional, Refleksi Dinamika Hukum, 2008, dapat diakses di %3Aapa-perjanjian-internasional-itu&catid=45%3Aeresources&Itemid=76&lang=en , Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia: Tinjauan dan Perspektif Praktik Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 3 April Electronic Information System for International Law (EISIL) Electronic Legal Resources on International Terrorism (UNODC) Elias, T.O. The Modern Law of Treaties, Oceana, Dobbs Fery, NY, 1974 E. Klein, Genocide Convention (Advisory Opinion), EPIL II, 1995 Gautama, Sudargo, Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, , Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, , Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku Kedelapan). Bandung: Alumni, International Court of Justice International Law Commission (ILC) International Law website Komar Mike., 1981, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian Internasional, Diktat. Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional. Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, , Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Bina Cipta, 1978.
12 Kusumo Hamidjojo, Budiono., 1986, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung. Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional. Konvensi Wina 1986 tentan Perjanjian Internasional Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Sesama Organisasi Internasional Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Lita Arijati, et al, 2009, Kemungkinan Perjanjian Internasional Di-Judicial Review- Kan, L. Wildhaber, Treaty Making Power and Constituion: An Interpretational and Comparative Study, 1971.
13
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi terhadap penyelesaian sengketa internasional secara damai
Lebih terperinciHUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:
BAB IV HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menunjukkan hubungan hukum nasional dengan hukum internasional SASARAN
Lebih terperinciBAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami hakikat dan dasar berlakunya Hukum Internasional serta kaitannya dengan
Lebih terperinciBAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami kedudukan subyek hukum dalam hukum internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e f bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik
Lebih terperinciMATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER
MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 9 HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER A. Sejarah Hukum Diplomatik Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan
Lebih terperinciPENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA Oleh : Windy Lasut 2
PENANGGALAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DI NEGARA PENERIMA MENURUT KONVENSI WINA 1961 1 Oleh : Windy Lasut 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya pelanggaran yang
Lebih terperinciBAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari
Lebih terperinciOleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu
Lebih terperinciSILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013
SILABUS Mata Kuliah : Hukum Pidana Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2081 SKS : 2 Dosen : Ir. Bambang Siswanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN
Lebih terperinciBAB VI NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
BAB VI NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapatmenghubungkan aspek-aspek negara dalam Hukum Internasional dengan benar. SASARAN
Lebih terperinciBAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,
Lebih terperinciBAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA
BAGIAN KEEMPAT AKTIFITAS NEGARA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL BABXII PERWAKILAN NEGARA A. Macam-macam perwakilan negara Dewasa ini hampir setiap negara yang berdaulat selalu mengadakan hubungan dengan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pertanyaan utama dalam penulisan hukum / skripsi ini, dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder
Lebih terperinciSILABUS. Mata Kuliah : Hukum Pidana Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2081 SKS : 2 : Ir. Bambang Siswanto, S.H., M.Hum
SILABUS Mata Kuliah : Pidana Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2081 SKS : 2 Dosen : Ir. Bambang Siswanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 NTAG 1 HALAMAN PENGESAHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional.
i BAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan
Lebih terperinciKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
SILABUS Mata Kuliah : Hukum Internasional nal Kode Mata Kuliah : HKI 2037 SKS : 4 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum 2. Bambang Irianto, S.H., M.Hum 3. Ir. Bambang Sisiwanto, S.H., M.Hum 4. Sudaryanto,
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan 30.
39 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Tahun 1961 mengatur secara umum tentang perlindungan Misi Diplomatik baik dalam wisma maupun kediaman duta pada Pasal 22 dan
Lebih terperinci: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi
Mata Kuliah Dosen : Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si Memahami Diplomasi Pada masa kini dengan berkembang luasnya isu internasional menyebabkan hubungan internasional tidak lagi dipandang
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan
Lebih terperinciKEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN
Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciK143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975
K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciKEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN
Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciNOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciGARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP]
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP] Program Studi Hubungan Versi/revisi: Nama Mata Kuliah : Dosen : Very Aziz, Lc., M.Si. SKS : 3 SKS Berlaku Mulai : Maret 2017 Silabus/Deskripsi singkat Tujuan
Lebih terperinci: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya
REVIEW BUKU Judul : Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Penerbit : PT. Remaja Rosda Karya Bahasa : Inggris Jumlah halaman : 554 Halaman Tahun
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah
Lebih terperinciLex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013
PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para
Lebih terperinciSILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL
SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2015 S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata
Lebih terperinci- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khususnya menggunakan pendekatan diplomasi atau negosiasi. Pendekatan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional dengan negara maupun subyek hukum internasional lainnya yang bukan negara.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan dan perkembangan yang
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA
TINJAUAN HUKUM DIPLOMATIK TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PRAKTIK SPIONASE YANG DILAKUKAN MELALUI MISI DIPLOMATIK DILUAR PENGGUNAAN PERSONA NON-GRATA Oleh I. Gst Ngr Hady Purnama Putera Ida Bagus Putu Sutama
Lebih terperinciHUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL. Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:
BAB X HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat membandingkan peran organisasi internasional dalam perkembangan Hukum Internasional. SASARAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perubahan dan perkembangan yang
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara
Lebih terperinciBAB XIV DOKTRIN KEDAULATAN NEGARA DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA INTERNASIONAL
BAB XIV DOKTRIN KEDAULATAN NEGARA DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA INTERNASIONAL Adanya perubahan doktrin kedaulatan dari asas ketertiban dalam negeri seperti dianut oleh Jean Bodin dan para pengikutnya, menjadi
Lebih terperinciI. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciKEPPRES 108/2003, ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI
Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 108/2003, ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI *51380 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 108 TAHUN 2003 (108/2003) TENTANG ORGANISASI
Lebih terperinciTelah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:
LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciBAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan
Lebih terperinciPENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia Makna kata Perwakilan Diplomatik secara Umum Istilah diplomatik berasal
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan
Lebih terperinciISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK. Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang. : suatu persetujuan yang diberikan oleh negara
LAMPIRAN ISTILAH-ISTILAH DIPLOMATIK Accreditation : Akreditasi. Wilayah negara penerima yang merupakan jurisdiksi diplomatik bagi Perwakilan diplomatik sesuatu negara pengirim yang ditetapkan menurut prinsip-prinsip
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
Lebih terperinciBab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)
Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) PENGERTIAN DAN TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara bilateral
Lebih terperinciRGS Mitra 1 of 8 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TANGGAL 31 DESEMBER 2003
RGS Mitra 1 of 8 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2003 TANGGAL 31 DESEMBER 2003 ORGANISASI PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciMENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008
MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN WARGA PADA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional.
Lebih terperinciSATUAN ACARA PERKULIAHAN
3 SATUAN ACARA PERKULIAHAN A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH :KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : PRASYARAT : JUMLAH SKS : 2 SKS SEMESTER
Lebih terperinciKEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004
KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
Lebih terperinci2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama, sebab negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat
Lebih terperinciANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN
ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai
Lebih terperinci3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.
I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen
Lebih terperincinasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.
NEGARA DAN INDIVIDU NASIONALITAS Merupakan status hukum keanggotaan kolektivitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya dijamin melalui konsep hukum negara yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE AUSTRIAN FEDERAL GOVERNMENT ON VISA EXEMPTION FOR HOLDERS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adalah suatu menjadi pendapat umum bahwa hakekat manusia itu adalah sebagai kepribadian dan masyarakat.dua unsur eksistensi ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT
Lebih terperinciInstitute for Criminal Justice Reform
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB II KONSEP KEDUDUKAN DAN HAK-HAK HUKUM WARGA NEGARA ASING DALAM NEGARA BERDAULAT
23 BAB II KONSEP KEDUDUKAN DAN HAK-HAK HUKUM WARGA NEGARA ASING DALAM NEGARA BERDAULAT 2.1 Konsep Negara Berdaulat Asal kata kedaulatan dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah souvereignity yang berasal
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.383, 2012 KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Susunan Organisasi. Indeks Perwakilan. Konsulat Jenderal Republik Indonesia. PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciDAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)
DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK
Lebih terperinciUMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL
Lebih terperinciHUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 31, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
Lebih terperinciPERATURAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 08 TAHUN 2006 NOMOR 35 TAHUN 2006 TENTANG
PERATURAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 08 TAHUN 2006 NOMOR 35 TAHUN 2006 TENTANG PEMANTAU ASING DALAM PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1994 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1994 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa untuk menjamin ketertiban dan kelancaran
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Lebih terperinciPada waktu sekarang hampir setiap negara. perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini. perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan
1 A. URAIAN FAKTA Pada waktu sekarang hampir setiap negara perwakilan diplomatik di negara lain, hal ini mempunyai dikarenakan perwakilan dianggap sebagai cara yang paling baik dan efektif dalam mengadakan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI A. Sejarah Perkembangan Kementerian Luar Negeri Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa: 16 Tahun 1945-1950 Tugas
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA
Lebih terperinciPERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara
Lebih terperinci